You are on page 1of 26

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Editorial

Program
 Apa yang dimaksud dengan AMDAL? Perlindungan
 Apa guna AMDAL? Ozon
 Bagaimana Prosedur AMDAL?
Proper
 Siapa yang menyusun AMDAL?
 Siapa saja yang terlibat dalam AMDAL? Adipura
 Apa yang dimaksud dengan UKL dan UPL Langit Biru
 Apa kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya?
Warga Madani
Kalpataru
Apa yang dimaksud dengan AMDAL?
Bahan Berbahaya
AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. & Beracun
Adiwiyata
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Program
Lainnya ...
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial- Serba-Serbi
ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi
kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan
keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun
1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

"...kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; dibuat


pada tahap perencanaan..."

Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang
diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan
pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah
salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib
mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.
AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang
penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.

Dokumen AMDAL terdiri dari :

 Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-


ANDAL)
 Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
 Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
 Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai
oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan
apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.

Apa guna AMDAL?

 Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah


 Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan
hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
 Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha
dan/atau kegiatan
 Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup
 Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari
suatu rencana usaha dan atau kegiatan

"...memberikan alternatif solusi minimalisasi dampak negatif"

"...digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberi


ijin usaha dan/atau kegiatan"

Bagaimana prosedur AMDAL?

Prosedur AMDAL terdiri dari :

 Proses penapisan (screening) wajib AMDAL


 Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
 Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
 Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau
kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu
menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau
tidak.

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala


BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana
kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi
masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat
terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk
menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses
pelingkupan).

Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan


dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan
peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di
luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan
kembali dokumennya.

Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan
RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil
penilaian Komisi AMDAL).

Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa
mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL
untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian
ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh
penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Siapa yang harus menyusun AMDAL?

Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan.

Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan


untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah
memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar
minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala
Bapedal Nomor 09/2000.

Siapa saja pihak yang terlibat dalam proses AMDAL?

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL,
pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.

Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL.
Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat
Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi,
dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola
lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan
dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi
Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini
diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-
anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh
Gubernur dan Bupati/Walikota.

Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala


bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain
sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan,
faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada
lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya.
Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi
masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.

Apa yang dimaksud dengan UKL dan UPL ?

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan


Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib
melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86
tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).

Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya
pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.

Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan


menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang
tersedia.

UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk


pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan
atau kegiatan.

Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan
menggunakan formulir isian yang berisi :

 Identitas pemrakarsa
 Rencana Usaha dan/atau kegiatan
 Dampak Lingkungan yang akan terjadi
 Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
 Tanda tangan dan cap

Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :


 Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup
Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah
kabupaten/kota
 Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup
Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
 Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih
dari satu propinsi atau lintas batas negara

Apa kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya ?

AMDAL-UKL/UPL

Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi
diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH
17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi
dalam pengelolaan limbahnya.

AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib

Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan
lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi
peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak
bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut
dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan
yang Diwajibkan.

Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik,


dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya
kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan
oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan


menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.

AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela

Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya menghendaki


untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat
melakukan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan
pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat
mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun
1994 tentang Panduan umum pelaksanaan Audit Lingkungan.

Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang


wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban
penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini
sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat
membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat
"memperbaiki" ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL.

Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam dan


sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan
perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah
Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000,
dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi
industri/bisnis, dan lainnya.

Copyright © 2006, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, All Rights

Begitu pentingnya pengelolaan lingkungan yang langsung berhubungan dengan lingkungan


masyarakat dan lingkungan alam di sekitar kegiatan sehingga pengelolaan lingkungan harus
ditinjau dari berbagai aspek seperti aspek legal, aspek hukum pidana, dan aspek kegiatan
pembangunan itu sendiri. Dengan demikian dasar pengelolaan lingkungan yang cukup rinci
sehingga melaksanakan pengelolaan lingkungan selalu serius.
Lingkup pengelolaan lingkungan mendasari pelaksanaan pengelolaan lingkungan. Dalam
perencanaan pengelolaan lingkungan ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu: pemilihan
teknologi, ketahanan peralatan produksi dan pengelolaan lingkungan, dan penyediaan SDM.

Pada pengelolaan lingkungan dilakukan dengan pendekatan teknologi, ekonomi, institusi.


Terdapat 2 (dua) dokumen pengelolaan lingkungan yang dibedakan berdasarkan pada penting
tidaknya dampak terhadap lingkungan.
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) disusun
berdasarkan evaluasi dampak penting pada studi ANDAL. Sedangkan Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) disusun dari perkiraan dampak
terhadap lingkungan tetapi bukan termasuk dampak penting.
Kedua pengelolaan lingkungan dilakukan sesuai tahap pada pembangunan, yaitu prakonstruksi,
konstruksi, dan operasi.
1. Sumber peraturan dan perundangan mengenai lingkungan hidup dalam tingkat nasional,
sektoral maupun regional/daerah dapat dijumpai.
a. Nasional: UU 19945; Ketentuan MPR-RI, Keputusan Presiden, Undang-Undang Khusus;
Peraturan Pemerintah.
b. Sektoral: Peraturan Menteri; SK Menteri; Regional/Daerah
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup dan telah diperbarui di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 yaitu terdiri dari:

a. Bab I mengenai ketentuan umum yang terdiri dari pasal 1 sampai dengan pasal 6.
b. Bab II mengenai Tata Laksana pada Bagian pertama adalah kerangka Acuan ANDAL, yaitu
pada pasal 7.
c. Bab II Bagian kedua mengenai Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana
Pengelolaan Lingkungan karena (RKL) pemantauan lingkungan (RPL) yaitu dari pasal 8 sampai
dengan pasal 14.

3. Bab II Bagian ketiga mengenai kadaluwarsa dan gugurnya keputusan persetujuan analisis
dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan, yaitu
dari Pasal 15 sampai dengan pasal 16.
4. Bab II bagian ke empat mengenai Komisi AMDAL, yaitu dari pasal 17 sampai dengan Pasal
19.
5. Bab III, Pasal 20 sampai Pasal 21 mengenai pembinaan.
6. Bab IV, Pasal 22 sampai Pasal 25 mengenai pengawasan.
7. Bab V, Pasal 26 sampai Pasal 28 mengenai pembiayaan.
8. Bab VI Pada pasal 29 adalah ketentuan penutup.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diperlukan karena:

a. setiap kegiatan/usaha manusia dan pembangunan akan menimbulkan perubahan lingkungan


hidup sebagai hasil sampingan pembangunan;
b. pembangunan adalah mutlak diperlukan untuk meningkatkan harkat derajat bangsa, meskipun
ada hasil sampingannya yang dipengaruhi kualitas lingkungan hidup;
c. AMDAL diperlukan agar kualitas lingkungan hidup tidak rusak karena adanya suatu
kegiatan/usaha pembangunan;
d. AMDAL harus dilakukan untuk proyek-proyek pembangunan yang akan menimbulkan
dampak penting, karena undang-undang atau peraturan menghendaki demikian.

2. Kegunaan AMDAL bagi masyarakat:

Sebagai kajian kelayakan lingkungan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang prosesnya
melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan, AMDAL sangat berguna dalam:

a. memberikan informasi secara jelas mengenai suatu rencana usaha, berikut dampak-dampak
lingkungan yang akan ditimbulkannya;
b. menampung aspirasi, pengetahuan, dan pendapat penduduk, khususnya dalam masalah
lingkungan, akan didirikannya rencana usaha tersebut;
c. menampung informasi setempat yang berguna bagi pemrakarsa dan masyarakat dalam
mengantisipasi dampak dan mengelola lingkungan.

3. Kelayakan suatu kegiatan atas dasar penyaringan terhadap kelayakan teknologi, kelayakan
lingkungan suatu keakraban sosial ekonomi.

Kerangka Acuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (KA-AMDAL)

1. Kerangka Acuan adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan yang merupakan
hasil pelingkupan (PP Nomor 51 Tahun 1993, Pasal 1). Pedoman Umum Penyusunan KA-
ANDAL digunakan sebagai acuan bagi penyusunan Pedoman Teknis Penyusunan KA-ANDAL
atau sebagai dasar penyusunan KA-ANDAL bilamana Pedoman Teknis Penyusunan KA-
ANDAL usaha atau kegiatan yang bersangkutan belum ditetapkan.

2. Pedoman Umum Penyusunan KA-ANDAL berlaku pula bagi keperluan penyusunan AMDAL
Kegiatan Terpadu/Multisektor, AMDAL Kawasan dan AMDAL Regional.

3. Tujuan KA-ANDAL adalah: merumuskan lingkup dan kedalaman studi ANDAL dan
mengarahkan studi ANDAL agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan biaya, tenaga,
dan waktu yang tersedia.

4. Fungsi Dokumen KA-ANDAL adalah: Sebagai rujukan penting bagi pemrakarsa, instansi
yang bertanggung jawab yang membidangi rencana usaha atau kegiatan, dan penyusun studi
ANDAL tentang lingkup dan kedalaman studi ANDAL yang akan dilakukan dan sebagai salah
satu bahan rujukan bagi penilai dokumen ANDAL untuk mengevaluasi hasil studi ANDAL.

5. Dasar Pertimbangan Penyusunan KA-ANDAL, yaitu adanya keanekaragaman, keterbatasan


sumber daya dan efisiensi dalam penyusunan KA-ANDAL perlu mengikuti diagram alir
sehingga akhirnya dapat memberikan masukan yang diperlukan oleh perencana dan pengambil
keputusan yaitu:

a. Mengetahui pengumpulan data dan informasi tentang:

1) Rencana usaha atau kegiatan.


2) Rona lingkungan awal.
b. Proyeksi perubahan rona lingkungan awal sebagai akibat adanya rencana usaha atau kegiatan.
c. Penentuan dampak penting terhadap lingkungan yang ditimbulkan oleh rencana usaha atau
kegiatan.
d. Evaluasi dampak penting terhadap lingkungan
e. Rekomendasi/saran tindak untuk pengambil keputusan, perencana dan pengelola lingkungan
berupa:

1) Alternatif usaha atau kegiatan.


2) Rencana Pengelolaan Lingkungan.
3) Rencana Pemantauan Lingkungan

Kegiatan Pembangunan yang Berdampak Pada Lingkungan

Rencana kerja dan komponen suatu rencana kegiatan pembangunan merupakan deskripsi dari:

1. Penentuan batas-batas lahan yang digunakan dan dapat memperlihatkan hubungannya dengan
kegiatan lain sekitarnya.
2. Hubungan antara lokasi rencana usaha atau kegiatan dengan jarak tersedianya sumber daya:
air, energi, alam hayati, dan non hayati.
3. Alternatif usaha atau kegiatan pembangunan berdasarkan studi kelayakan.
4. Tata letak usaha kegiatan dilengkapi dengan peta yang berskala memadai yang memuat
tentang letak bangunan dan struktur lainnya yang akan dibangun dalam lokasi rencana usaha atau
kegiatan.
5. Tahap pelaksanaan rencana usaha atau kegiatan pembangunan

Ruang Lingkup Studi

1. Dalam melaksanakan Studi AMDAL perlu membuat ruang lingkungan studinya. Pertama-
tama harus ditentukan dahulu wilayah studinya/area studi yang kemudian melakukan
pengamatan terhadap parameter lingkungan.
2. Ruang lingkup wilayah studi ditetapkan berdasarkan pertimbangan ruang
kegiatan/pembangunan dilaksanakan.
3. Penentuan wilayah studi ditetapkan berdasarkan 4 pendekatan, yaitu pendekatan: teknis,
ekosistem, atau dua teknis.
4. Lingkungan terdiri dari komponen-komponen lingkungan dan setiap komponen lingkungan
dibagi lagi menjadi parameter lingkungan. Parameter lingkungan sangat membantu dalam
menganalisis suatu kegiatan pembangunan terhadap lingkungannya, yaitu antara lain untuk
mengetahui tingkat pencemaran terhadap lingkungan.

Metode Analisis dalam Studi AMDAL


Metode Non-Matriks

Beberapa metode pendukung yang dapat melengkapi analisis dampak lingkungan di antaranya
adalah metode bagan alir, metode overlay (penumpukan peta), metode cost and benefit, dan
metode analisis sistem informasi.

1. Metode bagan alir atau metode analisis jaringan (network analysis) menggambarkan bagan
interaksi suatu sebab-akibat dampak yang akan terjadi pada suatu komponen lingkungan dan
bagaimana kondisinya setelah terkena dampak. Lewat bagan alir ini secara kronologis dapat
dijabarkan interaksi sebab-akibat baik pada tingkat dampak primer, sekunder dan tersier.

2. Metode overlay dapat menggambarkan wilayah-wilayah yang terkena dampak, sedangkan


metode analisis jaringan dapat menggambarkan hubungan sebab-akibat suatu kegiatan terhadap
dampak.
3. Metode cost and benefit ini merupakan pendekatan secara makro, karena manfaat proyek tidak
terbatas pada wilayah di mana proyek itu berada, tetapi manfaat proyek, dapat dinikmati juga
oleh wilayah-wilayah lainnya. Kelayakan proyek dinilai dari perbandingan cost and benefit yang
berkisar dari 0 - 1. Proyek dikatakan layak bila perbandingan B/C di antara 0,6 - > 1.

4. Metode analisis sistem jaringan merupakan metode yang menggabungkan metode antara
fotogrametri dan cartogrametri. Kini metode tersebut banyak dimanfaatkan untuk Sistem
Informasi Geografi (SIG) yang sangat mengandalkan kemajuan teknologi di bidang komputer.

Metode Matriks

Metode matriks adalah metode yang menggunakan daftar uji (checklist) dua dimensi, yaitu daftar
horizontal yang memuat acuan kegiatan pembangunan yang potensial menimbulkan dampak dan
daftar vertikal yang memuat daftar komponen lingkungan hidup yang mungkin terkena dampak.

Beberapa metode matriks interaksi yang sangat terkenal antara lain: matrik interaksi Leopold,
Fisher and Davies, Moore, Philips and Defilipi, Welch and Lewis, Lohani and Thank, Ad-hoc,
dan checklist. Dari ketiga metode matriks yang sering digunakan pada studi AMDAL tersebut di
atas dapat dirangkum sebagai berikut.

1. Metode Ad-Hoc merupakan metode yang sangat sederhana dan tidak menunjukkan
keistimewaan di samping tidak mempunyai acuan tertentu sehingga hasilnya tidak konsisten
antara satu penelitian dengan penelitian lainnya. Metode ini melibatkan suatu tim dalam
pendugaan dampak lingkungan menurut keahliannya masing-masing.

2. Metode Checklist merupakan metode yang lebih baik dibandingkan dengan metode Ad-Hoc
karena telah ada susunan aktivitas kegiatan proyek dan komponen lingkungan. Metode ini telah
berkembang dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks.

3. Metode Leopold merupakan metode matriks yang dapat memberikan informasi yang lebih
lengkap. Metode matriks Leopold membagi aktivitas pembangunan yang berpotensi
menimbulkan dampak menjadi 100 macam, dan komponen lingkungan hidup yang terkena
dampak menjadi 88 macam. Matriks Leopold menggambarkan pula penilaian terhadap besar dan
pentingnya suatu dampak. Metode ini mempunyai keuntungan maupun kesulitan dalam
menganalisis dampak, oleh karena itu beberapa pakar memodifikasi metode matriks Leopold ini

Teknik Identifikasi dan Pendugaan Dampak

Melaksanakan identifikasi dampak merupakan tahap awal dalam analisis dampak lingkungan.
Tahapan ini merupakan tahapan analisis yang penting dan sangat menentukan tahap-tahap
analisis berikutnya. Bila tahap identifikasi dapat dilakukan dengan baik maka proses analisis
berikutnya akan lebih mudah. Teknik yang digunakan dalam analisis identifikasi dampak dapat
dilakukan dengan cara “Analogies, profesional judgment, dan delphi”. Adapun untuk kriteria
untuk mengidentifikasi dampak penting dapat digunakan 7 (tujuh) kriteria dampak penting
seperti yang tertuang dalam keputusan Kepala Bapedal RI Nomor 056 Tahun 1994.
Pendugaan dampak sering diartikan dengan prakiraan dampak atau ramalan dampak atau
prediksi dampak. Dampak yang diprakirakan adalah selisih kualitas lingkungan tanpa proyek
(Qtp) dengan kualitas lingkungan dengan proyek (Qdp) atau Dampak = Qtp - Qdp.

1. Dampak positif bila Qdp > Qtp.

2. Dampak negatif bila Qdp < Qtp.

b. Tidak ada dampak bila Qdp = Qtp.

Metode pendugaan diklasifikasikan menjadi 2 (dua) metode, yaitu metode formal dan metode
informal, metode formal terdiri dari:

1. model prakiraan cepat;


2. model matematik;
3. model fisik;
4. model eksperimental.

Sedangkan metode informal terdiri atas:


1. penilaian para ahli;
2. analogi.

Evaluasi dampak dapat mencapai 2 (dua) sasaran yaitu:

a. memberikan informasi tentang komponen apa saja yang terkena dampak dan seberapa besar
dampak itu terjadi;
b. memberi bahan untuk mengambil keputusan terutama komponen apa saja yang terkena
dampak.

Untuk dapat menafsirkan atau menginterpretasikan suatu hasil evaluasi dampak, perlu suatu
kriteria penafsiran atau interpretasi dampak menurut Fandeli (1992) kriteria tersebut didasarkan
pada significancy, explicit criteria, uncertamity, risk, alternatifves, aggregation, dan public
involvement.
Metode evaluasi dampak yang digunakan di antaranya adalah overlay, matrik, cheklist,
flowchart, atau bagan alur.
Sumber Buku Pengantar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Karya Mimmim Arumi
Wardiati
Kebakaran liar, atau juga kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, kebakaran rumput, atau
kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi dapat juga
memusnahkan rumah-rumah atau sumber daya pertanian. Penyebab umum termasuk petir,
kecerobohan mansusia, dan pembakaran.

Musim kemarau dan pencegahan kebakaran hutan kecil adalah penyebab utama kebakaran hutan
besar.

Kebakaran hutan dalam bahasa Inggris berarti "api liar" yang berasal dari sebuah sinonim dari
Api Yunani, sebuah bahan seperti-napalm yang digunakan di Eropa Pertengahan sebagai senjata
maritim

Kebakaran hutan besar


Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Statistik
 2 Penyebab
 3 Dampak
 4 Lihat pula
 5 Referensi
 6 Pranala luar

Statistik
Jumlah permukaan yang terbakar setiap tahunnya mewakili sekitar:

 Perancis: 21.100 hektar (211 km², 52.140 acres, 81 mile² ; 0,04% Perancis
 Portugal:
o 1991 : 182.000 ha (1.820 km², 449.732 acres, 703 mile²; 2% wilayah negara)
o 2003 : 424.900 ha (4.249 km², 1,05 juta acres, 1.641 mile²; 4,6% wilayah negara;
20 meninggal)
o 2004 : 120.530 ha (1.205,3 km², 297.836 acres, 465 mile²; 1,3% wilayah negara)
o 2005: 286.400 ha (2.864 km², 707.668 acres, 1.106 mile²; 3.1% wilayah negara;
17 meninggal)
 Amerika Serikat: 1,74 juta hektar (17.400 km², 4,3 juta acres, 6.718 mile²; 0,18% wilayah
negara)
 Indonesia - Sumber data: sebelum 1997 dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(BAPEDAL) dan Canadian International Development Agency (CIDA) - Collaborative
Environmental Project in Indonesia (CEPI). Data 1997/1998 dari Asian Development
Bank (ADB) . Data 1999-2005 berasal dari Departemen Kehutanan Indonesia.
o 1982 dan 1983: 3,6 juta hektar ( 36.000 km², 8,9 juta acres, 13.900 mile²).
o 1987: 49.323 hektar ( 492 km², 121.880 acres, 190 mile²).
o 1991: 118.881 hektar (1.189 km², 293.761 acres, 459 mile²).
o 1994: 161.798 hektar (1.618 km², 399.812 acres, 625 mile²).
o 1997 dan 1998: 9,8 juta hektar ( 97.550 km², 24,1 juta acres, 37.664 mile²).
Sumber data dari ADB.
o 1999: 44.090 hektar (441 km², 108.989 acres, 170 mile² ).
o 2000: 8.255 hektar ( 83 km², 20.399 acres, 32 mile²).
o 2001: 14.351 hektar (144 km², 35.462 acres, 55 mile²).
o 2002: 36.691 hektar (367 km², 90.665 acres, 142 mile²).
o 2003: 3.745 hektar ( 37 km², 9.254 acres, 14 mile²).
o 2004: 13.991 hektar (140 km², 34.573 acres, 54 mile²).
o 2005: 13.328 hektar (133 km², 32.934 acres, 51 mile²)

Penyebab
Penyebab Kebakaran liar, antara lain:
 Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
 Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok secara sembarangan dan
lupa mematikan api di perkemahan.
 Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung
berapi.
 Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka
lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
 Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut
kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.

Dampak
Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran liar antara lain:

1. Menyebarkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer. Kebakaran hutan pada 1997
menimbulkan emisi / penyebaran sebanyak 2,6 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer
(sumber majala Nature 2002). Sebagai perbandingan total emisi karbon dioksida di
seluruh dunia pada tahun tersebut adalah 6 miliar ton.
2. Terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak asap
atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas
di suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.
3. Menyebabkan banjir selama beberapa minggu di saat musim hujan dan kekeringan di saat
musim kemarau.
4. Kekeringan yang ditimbulkan dapat menyebabkan terhambatnya jalur pengangkutan
lewat sungai dan menyebabkan kelaparan di daerah-daerah terpencil.
5. Kekeringan juga akan mengurangi volume air waduk pada saat musim kemarau yang
mengakibatkan terhentinya pembangkit listrik (PLTA) pada musim kemarau.
6. Musnahnya bahan baku industri perkayuan, mebel/furniture. Lebih jauh lagi hal ini dapat
mengakibatkan perusahaan perkayuan terpaksa ditutup karena kurangnya bahan baku dan
puluhan ribu pekerja menjadi penganggur/kehilangan pekerjaan.
7. Meningkatnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan
kanker paru-paru. Hal ini bisa menyebabkan kematian bagi penderita berusia lanjut dan
anak-anak. Polusi asap ini juga bisa menambah parah penyakit para penderita TBC/asma.
8. Asap yang ditimbulkan menyebabkan gangguan di berbagai segi kehidupan masyarakat
antara lain pendidikan, agama dan ekonomi. Banyak sekolah yang terpaksa diliburkan
pada saat kabut asap berada di tingkat yang berbahaya. Penduduk dihimbau tidak
bepergian jika tidak ada keperluan mendesak. Hal ini mengganggu kegiatan keagamaan
dan mengurangi kegiatan perdagangan/ekonomi. Gangguan asap juga terjadi pada sarana
perhubungan/transportasi yaitu berkurangnya batas pandang. Banyak pelabuhan udara
yang ditutup pada saat pagi hari di musim kemarau karena jarak pandang yang terbatas
bisa berbahaya bagi penerbangan. Sering terjadi kecelakaan tabrakan antar perahu di
sungai-sungai, karena terbatasnya jarak pandang.
9. Musnahnya bangunan, mobil, sarana umum dan harta benda lainnya.
Banjir lumpur panas Sidoarjo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Desa Renokenongo dan Kedungbendo yang tergenang lumpur

Banjir Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo (Lusi) , adalah
peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa
Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 27 Mei 2006,
bersamaan dengan gempa berkekuatan 5,9 SR yang melanda Yogyakarta. Semburan lumpur
panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian,
dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di
Jawa Timur.

Lokasi
Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten
Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan
Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.

Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang
merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas. Oleh
karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas
pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri
punya dua teori soal asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan
pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat
sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih banyak yang condong kejadian itu
adalah akibat pemboran.

Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol
Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur
pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-
Banyuwangi,Indonesia

Perkiraan penyebab kejadian

Lokasi semburan lumpur

Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT Lapindo di dekat
lokasi itu, karena banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa luapan lumpur bukan keluar
dari lubang pemboran yang dilakukan PT LAPINDO.

Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan
menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu
diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender
pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk
mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing )
yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation
loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam
sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150
kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8
inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo
mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum”
memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara
formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat
prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona
pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal
mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka
merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung
yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan
pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari
formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa
lumpurnya Lapindo (Medici).

Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira
target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu
gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk
melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik)
atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke
luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur
standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera
ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan
mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur
naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13
3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil &
kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan.
Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan
BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang
lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout
terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.

Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia setiap
tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah
disetujui oleh BP MIGAS.

Volume lumpur
Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena adanya patahan, banyak
tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke Madura seperti Gunung Anyar di Madura, "gunung"
lumpur juga ada di Jawa Tengah (Bleduk Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan
ratusan tahun yang lalu. Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100.000
meter kubik perhari, yang tidak mungkin keluar dari lubang hasil "pemboran" selebar 30 cm.
Dan akibat pendapat awal dari WALHI maupun Meneg Lingkungan Hidup yang mengatakan
lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul diatas tanah milik masyarakat,
yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung seluruh luapan lumpur dan
akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.

Beberapa hasil pengujian


Hasil Baku Mutu
uji Parameter Hasil uji maks
(PP Nomor 18/1999)
lumpur Arsen 0,045 Mg/L 5 Mg/L
Barium 1,066 Mg/L 100 Mg/L
Boron 5,097 Mg/L 500 Mg/L
Timbal 0,05 Mg/L 5 Mg/L
Raksa 0,004 Mg/L 0,2 Mg/L
Sianida Bebas 0,02 Mg/L 20 Mg/L
Berdasarkan 2 Mg/L (2,4,6 Trichlorophenol)
Trichlorophenol 0,017 Mg/L
pengujian 400 Mg/L (2,4,4 Trichlorophenol)
toksikologis
di 3
laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata
lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium,
Boron, Timbal, Raksa, Sianida Bebas dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik
seperti Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya. Hasil
pengujian menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.[1]
Hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun organisme
akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut tidak berbahaya dan
tidak beracun bagi biota akuatik. LC50 adalah pengujian konsentrasi bahan pencemar yang dapat
menyebabkan 50 persen hewan uji mati. Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki
nilai LC50 antara 56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended Particulate Phase (SPP) terhadap
larva udang windu dan di atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia carinata. Sementara
berdasarkan standar EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya
sama atau kurang dari 30.000 mg/L SPP.

Di beberapa negara, pengujian semacam ini memang diperlukan untuk membuang lumpur bekas
pengeboran (used drilling mud) ke dalam laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 Mg/L
SPP, lumpur dapat dibuang ke perairan.

Namun Simpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan hasil berbeda, dari hasil
penelitian Walhi dinyatakan bahwa secara umum pada area luberan lumpur dan sungai Porong
telah tercemar oleh logam kadmium (Cd) dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia
apalagi kadarnya jauh di atas ambang batas. Dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur
Lapindo dan sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar yaitu mencapai 146 kali dari
ambang batas yang telah ditentukan. (lihat: Logam Berat dan PAH Mengancam Korban
Lapindo)

Berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam
lingkungan adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg.
Maka dari hasil analisis di atas diketahui bahwa seluruh titik pengambilan sampel lumpur
Lapindo mengandung kadar Chrysene diatas ambang batas. Sedangkan untuk Benz(a)anthracene
hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, yang kesemunya diatas ambang batas.

Dengan fakta sedemikian rupa, yaitu kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam
lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali diatas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu.
Maka bahaya adanya kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah
mengancam keberadaan manusia dan lingkungan:

 Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan)


 Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan kulit
 Kanker
 Permasalahan reproduksi
 Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit

Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat
sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun kedepan. Dan yang paling berbahaya adalah keberadaan
PAH ini akan mengancam kehidupan anak cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar
semburan lumpur Lapindo beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Namun sampai Mei
2009 atau tiga tahun dari kejadian awal ternyata belum terdapat adanya korban sakit atau
meninggal akibat lumpur tersebut.

Hasil analisa logam pada materi


Kep. MenKes no Lumpur Air Lumpur Sedimen Sungai Air Sungai
Parameter Satuan
907/2002 Lapindo Lapindo Porong Porong

Kromium
mg/L 0,05 nd nd nd nd
(Cr)

Kadmium
mg/L 0,003 0,3063 0,0314 0,2571 0,0271
(Cd)

Tembaga
mg/L 1 0,4379 0,008 0,4919 0,0144
(Cu)

Timbal (Pb) mg/L 0,05 7,2876 0,8776 3,1018 0,6949

Dampak

Peta Semburan

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak
Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun
membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.

 Lumpur menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa
dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk
diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana
pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah
menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan
total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi.
Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam
lumpur.
 Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan
tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39
ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon;
serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
 Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan
ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
 Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
 Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana
dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
 Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit.
Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590,
Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo),
pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
 Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
 Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah
menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
 Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya
patah [2].
 Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan
sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam [3].
 Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan
mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan
jalur Waru-tol-Porong.
 Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
 Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu
jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.

Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang
dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula
terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Upaya penanggulangan
Rumah yang terendam lumpur panas

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan
membuat tanggul untuk membendung area genangan lumpur. Namun demikian, lumpur terus
menyembur setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam
tergenanginya lumpur pada permukiman di dekat tanggul. Jika dalam tiga bulan bencana tidak
tertangani, adalah membuat waduk dengan beton pada lahan seluas 342 hektar, dengan
mengungsikan 12.000 warga. Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, untuk menampung
lumpur sampai Desember 2006, mereka menyiapkan 150 hektare waduk baru. Juga ada cadangan
342 hektare lagi yang sanggup memenuhi kebutuhan hingga Juni 2007. Akhir Oktober,
diperkirakan volume lumpur sudah mencapai 7 juta m3.Namun rencana itu batal tanpa sebab
yang jelas.

Badan Meteorologi dan Geofisika meramal musim hujan bakal datang dua bulanan lagi. Jika
perkira-an itu tepat, waduk terancam kelebihan daya tampung. Lumpur pun meluap ke segala
arah, mengotori sekitarnya.

Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) memperkirakan, musim hujan bisa membuat
tanggul jebol, waduk-waduk lumpur meluber, jalan tol terendam, dan lumpur diperkirakan mulai
melibas rel kereta. Ini adalah bahaya yang bakal terjadi dalam hitungan jangka pendek.

Sudah ada tiga tim ahli yang dibentuk untuk memadamkan lumpur berikut menanggulangi
dampaknya. Mereka bekerja secara paralel. Tiap tim terdiri dari perwakilan Lapindo,
pemerintah, dan sejumlah ahli dari beberapa universitas terkemuka. Di antaranya, para pakar dari
ITS, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Tim Satu, yang menangani
penanggulangan lumpur, berkutat dengan skenario pemadaman. Tujuan jangka pendeknya
adalah memadamkan lumpur dan mencari penyelesaian cepat untuk jutaan kubik lumpur yang
telah terhampar di atas tanah.

Skenario penghentian semburan lumpur

Ada pihak-pihak yang mengatakan luapan lumpur ini bisa dihentikan, dengan beberapa skenario
dibawah ini, namun asumsi luapan bisa dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil sama sekali,
yang mengartikan luapan ini adalah fenomena alam. Skenario pertama, menghentikan luapan
lumpur dengan menggunakan snubbing unit pada sumur Banjar Panji-1. Snubbing unit adalah
suatu sistem peralatan bertenaga hidrolik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan well-
intervention & workover (melakukan suatu pekerjaan ke dalam sumur yang sudah ada).
Snubbing unit ini digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor seberat 25 ton dan panjang 400
meter yang tertinggal pada pemboran awal. Diharapkan bila mata bor tersebut ditemukan maka
ia dapat didorong masuk ke dasar sumur (9297 kaki) dan kemudian sumur ditutup dengan
menyuntikan semen dan lumpur berat. Akan tetapi skenario ini gagal total. Rangkaian mata bor
tersebut berhasil ditemukan di kedalaman 2991 kaki tetapi snubbing unit gagal mendorongnya ke
dalam dasar sumur.

Skenario kedua dilakukan dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking)


menghindari mata bor yang tertinggal tersebut. Pengeboran dilakukan dengan menggunakan rig
milik PT Pertamina (persero). Skenario kedua ini juga gagal karena telah ditemukan terjadinya
kerusakan selubung di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki, serta terjadinya pergerakan
lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu mempersulit pelaksanaan sidetracking. Selain itu
muncul gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan membahayakan
keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran telah lebih dari 15 meter dari
permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan lagi. Karena itu, Lapindo Brantas
melaksanakan penutupan secara permanen sumur BJP-1.

Skenario ketiga, pada tahap ini, pemadaman lumpur dilakukan dengan terlebih dulu membuat
tiga sumur baru (relief well). Tiga lokasi tersebut antara lain: Pertama, sekitar 500 meter barat
daya Sumur Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1.
Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini skenario ini masih
dijalankan.

Ketiga skenario beranjak dari hipotesis bahwa lumpur berasal dari retakan di dinding sumur
Banjar Panji-1. Padahal ada hipotesis lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung lumpur
(mud volcano), seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Bledug
Kuwu terus memuntahkan lumpur cair hingga membentuk rawa.

Rudi Rubiandini, anggota Tim Pertama, mengatakan bahwa gunung lumpur hanya bisa dilawan
dengan mengoperasikan empat atau lima relief well sekaligus. Semua sumur dipakai untuk
mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur. Kendalanya pekerjaan ini mahal dan
memakan waktu. Contohnya, sebuah rig (anjungan pengeboran) berikut ongkos operasionalnya
membutuhkan Rp 95 miliar. Biaya bisa membengkak karena kontraktor dan rental alat
pengeboran biasanya memasang tarif lebih mahal di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima
sumur akan membutuhkan Rp 475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang menganggur
di tengah melambungnya harga minyak.

Rovicky Dwi Putrohari, seorang geolog independen, menulis bahwa di lokasi sumur Porong-1,
tujuh kilometer sebelah timur Banjar Panji-1, terlihat tanda-tanda geologi yang menunjukkan
luapan lumpur pada zaman dulu, demikian analisanya. Rovicky mencatat sebuah hal yang
mencemaskan: semburan lumpur di Porong baru berhenti dalam rentang waktu puluhan hingga
ratusan tahun.
Antisipasi kegagalan menghentikan semburan lumpur

Jika skenario penghentian lumpur terlambat atau gagal maka tanggul yang disediakan tidak akan
mampu menyimpan lumpur panas sebesar 126,000 m3 per hari. Pilihan penyaluran lumpur panas
yang tersedia pada pertengahan September 2006 hanya tinggal dua.Skenario ini dibuat kalau
luapan lumpur adalah kesalahan manusia, seandainya luapan lumpur dianggap sebagai fenomena
alam, maka skenario yang wajar adalah 'bagaimana mengalirkan lumpur kelaut' dan belajar
bagaimana hidup dengan lumpur.

Pilihan pertama adalah meneruskan upaya penangangan lumpur di lokasi semburan dengan
membangun waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang ada sekarang. Dengan sedikit
upaya untuk menggali lahan ditempat yang akan dijadikan waduk tambahan tersebut agar daya
tampungnya menjadi lebih besar. Masalahnya, untuk membebaskan lahan disekitar waduk
diperlukan waktu, begitu juga untuk menyiapkan tanggul yang baru, sementara semburan lumpur
secara terus menerus, dari hari ke hari, volumenya terus membesar.

Pilihan kedua adalah membuang langsung lumpur panas itu ke Kali Porong. Sebagai tempat
penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat waduk yang telah tersedia, tanpa perlu digali, memiliki
potensi volume penampungan lumpur panas yang cukup besar. Dengan kedalaman 10 meter di
bagian tengah kali tersebut, bila separuhnya akan diisi lumpur panas Sidoardjo, maka potensi
penyimpanan lumpur di Kali Porong sekitar 300,000 m3 setiap kilometernya. Dengan kata lain,
kali Porong dapat membantu menyimpan lumpur sekitar 5 juta m3, atau akan memberikan
tambahan waktu sampai lima bulan bila volume lumpur yang dipompakan ke Kali Porong tidak
melebihi 50,000 m3 per hari. Bila yang akan dialirkan ke Kali Porong adalah keseluruhan
lumpur yang menyembur sejak awal Oktober 2006, maka volume lumpur yang akan pindah ke
Kali Porong mencapai 10 juta m3 pada bulan Desember 2006. Volume lumpur yang begitu besar
membutuhkan frekuensi dan volume penggelontoran air dari Sungai Brantas yang tinggi, dan
kegiatan pengerukan dasar sungai yang terus menerus, agar Kali Porong tidak berubah menjadi
waduk lumpur. Sedangkan untuk mencegah pengembaraan koloida lumpur Sidoardjo di perairan
Selat Madura, diperlukan upaya pengendapan dan stabilisasi lumpur tersebut di kawasan pantai
Sidoardjo.

Para pakar yang melakukan simposium di ITS pada minggu kedua September, menyampaikan
informasi bahwa kawasan pantai di Kabupaten Sidoardjo mengalami proses reklamasi pantai
secara alamiah dalam beberapa dekade terakhir disebabkan oleh proses sedimentasi dan
dinamika perairan Selat Madura. Setiap tahunnya, pantai Sidoardjo bertambah 40 meter.
Sehingga upaya membentuk kawasan lahan basah di pantai yang terbuat dari lumpur panas
Sidoardjo, merupakan hal yang selaras dengan proses alamiah reklamasi pantai yang sudah
berjalan beberapa dekade terakhir.

Dengan mengumpulkan lumpur panas Sidoardjo ke tempat yang kemudian menjadi lahan basah
yang akan ditanami oleh mangrove, lumpur tersebut dapat dicegah masuk ke Selat Madura
sehingga tidak mengancam kehidupan nelayan tambak di kawasan pantai Sidoardjo dan nelayan
penangkap ikan di Selat Madura. Pantai rawa baru yang akan menjadi lahan reklamasi tersebut
dikembangkan menjadi hutan bakau yang lebat dan subur, yang bermanfaat bagi pemijahan ikan,
daerah penyangga untuk pertambakan udang. Pantai baru dengan hutan bakau diatasnya dapat
ditetapkan sebagai kawasan lindung yang menjadi sumber inspirasi dan sarana pendidikan bagi
masyarakat terhadap pentingnya pelestarian kawasan pantai..

Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur

Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat keputusan
pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Dalam surat itu
disebutkan, tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga
infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan
paling kecil. Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pekerjaan Umum, dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama
enam bulan. Seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT
Lapindo Brantas.Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudy Rubiandini ternyata gagal total
walaupun telah menelan biaya 900 milyar rupiah.

Keputusan Pemerintah

Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas
Sidoardjo langsung ke Kali Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan
volume semburan lumpur dari 50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per
hari, untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur
tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan
lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.

Pendapat Kontra pembuangan lumpur secara langsung

Banyak pihak menolak rencana pembuangan ke laut ini, diantaranya Walhi [4] dan ITS [5].
Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan
Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan
produksi tambak pada lahan seluas 989 hektar di dua kecamatan mengalami kegagalan panen.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian akibat luapan lumpur pada
budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai
Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara
mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong, bisa mengakibatkan dampak yang semakin
meluas yakni sebagian besar tambak di sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di
sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang
pantai. [6]

Dampak lumpur itu bakal memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong. Ketika masuk ke
laut, lumpur otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600
hektare di pesisir Sidoarjo akan terpengaruh.

Alternatif yang sudah dikaji lembaga seperti Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya, dengan
memisahkan air dari endapan lumpur lalu membuang air ke laut. Lumpur itu mengandung 70
persen air, sisanya bahan endapan. Kalau air bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tak
perlu diperlebar, dan tekanan pada tanggul bisa dikurangi. Sampai tahun 2009 ternyata teori itu
tidak bisa membuktikan adanya dampak tersebut.

Penahanan tersangka
Dalam kasus ini, Polda Jawa Timur telah menetapkan 12 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici
Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 1 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3
orang dari PT Tiga Musim Jaya. PT Tiga Musim Jaya terkait kasus Lapindo karena ia merupakan
penyedia operator rig (alat bor).Namun sangat sulit membuktikan adanya kesalahan manusia,
karena banyak ahli yang justru mengatakan fenomena ini sebagai kesalahan manusia akhirnya
berhenti bicara karena teori nya salah.

Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan
Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara. "Otomatis
UU pencemaran lingkungan hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak
lingkungan hidup," kata Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Bachrul Alam yang
sejak tahun 2009 menjadi KAPOLDA JATIM.Kritik

Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat dan PT
LAPINDO adalah korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus mengungsi dan
kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak, sementara Lapindo telah
mengeluarkan uang sebesar Rp 6 Triliun lebih untuk masalah ini. Pemerintah hanya
membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari
harga NJOP yang rata-rata harga tanah dibawah Rp. 100 ribu- dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1
juta dan bangunan Rp 1,5 juta masing-masing permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo,
Renokenongo, Siring, dan jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga
penanganan infrastruktur yang rusak.Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya
menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.

Aktivis lingkungan hidup juga hanya mengecam penanganan kasus banjir lumpur ini tanpa
memberikan solusi yang positif bagi semuanya.[7][8]

PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah
disepakati bersama dengan korban.Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883
buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status
tanah yang belum jelas. [9][10][11][12]

You might also like