You are on page 1of 14

http://www.pixeletphotomagz.

com/id/parmalim-keagamaan-lokal-tradisional-batak-toba/

Parmalim, Keagamaan Lokal Tradisional


Batak Toba
Pada desa Hutatinggi Kecamatan Lagu Boti Kabupaten Tobasamosir Provinsi Sumatera Utara Indonesia
terdapat satu komunitas masyarakat keagamaan lokal tradisional Batak Toba yaitu Parmalim. Berasal
dari kata Par-Malim atau Par-Ugamo Malim, Parmalim menjadi pengikut dari sebuah lembaga
keagamaan Ugamo Malim yang berpusat di desa Hutatinggi kecamatan Laguboti di Kabupaten
Tobasamosir.

Komunitas ini berkeyakinan bahwa para leluhur tidak ada dipenjara dan tertindas karena
mencuri, membunuh, memitnah, menipu dan berjinah yang merupakan etika Hamalimon.
Menurut kepercayaan Hamalimon, apabila melakukan tindakan melanggar hukum maka leluhur
akan dipenjara dan difitnah meskipun tindakan itu dilakukan atas kebenaran yang diyakini,
seperti menyembah Mulajadi Nabolon yang di sebut Debata dan Tuhan tertinggi.

Kerbau dicucuk hidungnya sebelum


di sembelih sebelum upacara ritual Parmalim dimulai di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti,
Kabupaten Tobasamosir, Sumatera Utara, Indonesia, 26 Juli 2010. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET

Parmalim berkembang pada masa pemerintahan Sisingamangaraja XII. Kemudian diturunkan


kepada Raja Mulia Naipospos. Salah seorang pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII diberi
amanah untuk mempertahankan Hadebataon Batak dengan ajaran Hamalimon. Sampai sekarang,
keberadaan Parmalim masih terus dipertahankan oleh turunan Raja Mulia Naipospos.
Seorang anak turunan suku Batak
menggntungkan hiasan berbahan pelepah kelapa di pundaknya pada saat persiapan upacara ritual
Parmalim di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasamosir, Sumatera Utara, Indonesia,
26 Juli 2010. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET

Generasi ke tiga Sisingamangaraja XII

Raja Marnangkok Naipospos, salah satu turunan Raja Mulia Naipospos mengatakan,
persebarannya meliputi beberapa wilayah di Indonesia, seperti wilayah Toba-Samosir,
Kabupaten Simalungun, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhanbatu, kota Medan, Batam,
Pekanbaru, Duri hingga sebagian di pulau Jawa, Kalimantan dan Irian Jaya.

“Para pengikut ajaran ini pada umumnya berkumpul di desa Hutatinggi sebagai pusat
keagamaan, sedikitnya dua kali dalam setahun, pada waktu dimana upacara besar tahunan yaitu
perayaan Sipaha sada dan Sipaha lima diselenggarakan,” katanya sebelum pelaksanaan upacara
ritual Parmalim, Senin (26/7).
Sejumlah umat menggiring kerbau
liar mengakhiri upacara ritual Parmalim di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten
Tobasamosir, Sumatera Utara, Indonesia, 26 Juli 2010. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET

Desa Hutatinggi menjadi pusat dari berbagai kegiatan kepercayaan Parmalim sejak 1921 ketika
dikeluarkan Controleur Van Toba yang sekaligus menandai lembaga keagamaan Parmalim
diakui secara legal-formal.

Seorang Parmalim yang sudah


dewasa wajib mengenakan tali-tali dan sarung dalam upacara Parmalim. Tampakk seorang suku Batak
mengenakan tali-tali sebelum upacara ritual Parmalim dimulai di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti,
Kabupaten Tobasamosir, Sumatera Utara, Indonesia, 26 Juli 2010. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET

Hingga saat ini pemimpin Parmalim Hutatinggi sudah tiga generasi dan kebetulan turunan Raja
Mulia Naipospos. Kepemimpinan ini bukan lah menganut monarki dan keharusan dari garis
keturunan yang sama. Mereka disebut “Ihutan” yang secara bebas diterjemahkan “yang diikuti”
warga Parmalim. Dan selengkapnya disebut Ihutan Parmalim.
Togap Sitorus, salah satu pengikut Parmalim mengaku bahwa ajaran ini mengajarkan umat untuk
bersikap bijaksana dan sederhana. Contohnya menggunakan sarung saat mengikuti upacara ritual
Parmalim untuk mengakui kesepahaman dan keseteraan antar umat.

“Pemakaian sarung menandakan seluruh umat manusia sama. Tidak ada perbedaan termasuk
dalam berpakaian,” katanya.

Seorang umat Parmalim berdoa dengan khsusuk dalam


upacara ritual Parmalim di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasamosir, Sumatera
Utara, Indonesia, 26 Juli 2010. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET

Sementara Lenny boru Sitorus (23) menilai bahwa ajaran Parmalim ini merupakan wadah yang
tepat untuk taat kepada ajaran Tuhan YME secara tulus atas dorongan hati. Karena itu, setiap
upacara atau ritual Parmalim akan diikutinya tanpa ada paksaan dari siapapun.

“Tidak juga karena saya turunan Parmalim makanya saya taat kepada ajaran ini, tapi memang
karena dorongan hati yang menyatakan bahwa wadah ini tepat untuk taat kepada ajaran Tuhan,”
ucapnya.
Usai menortor muda-mudi suku
Batak beragama Parmalim kembali ke tempat menandai upacara ritual Parmalim berakhir di Desa
Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasamosir, Sumatera Utara, Indonesia, 26 Juli 2010.
FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET

Sedangkan, Rizal Hendrik Sirait (16), seorang siswa kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP)
mengaku bersemangat setiap mengikuti upacara ritual Parmalim meski usianya masih tergolong
muda. Biasanya anak seusianya pada jaman sekarang, belum begitu taat mengikuti ajaran agama.

Sampai sekarang meski Indonesia telah merdeka, Parmalim masih terpenjara dalam arti bukan
fisik. Parmalim masih berpegang teguh kepada pesan leluhur untuk tidak bersifat dendam.

http://toniibloges.blogspot.com/2010/10/kepercayaan-asli-suku-batak.html

Kepercayaan asli Suku Batak


Negara Indonesia yang merupakan Negara

kepulauan, memiliki masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis dan beragam budaya yang tampak pada

kebiasaan-kebiasaan, benda dan kebudayaan kelompok masyarakat tersebut, seperti yang diungkapkan

oleh Koentjaraningrat bahwa kebudayaan memiliki 3 wujud yaitu: wujud Ide, sistem sosial atau tindakan

masyarakat, dan fisik atau benda, artefak (Koentjaraningrat 2000;186-187). Kebiasaan-kebiasaan yang

dimaksud sangat terkait dengan lingkungan tempat kelompok masyarakat tersebut berdiam. Sehingga

dari kebudayaan yang ada pada masyarakat dapatlah dilihat hubungannya terhadap pembentukan

kepribadian seseorang dari tiap kelompok masyarakat yang tampak pada kelakuan-kelakuan atau

kebiasaan individu yang mengandung nilai dan diturunkan secara turun-temurun ke generasi berikutnya.

Diangkat dari uraian di atas, dapat kita lihat bahwa banyak kebudayaan-kebudayaan yang harus kita jaga

dan kita lestarikan dan bagi pemegang kebudayaan tersebut haruslah tetap menjaga dan menurunkan

kebudayaan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan memiliki 7 unsur dan salah

satunya yaitu Agama yang juga dianggap Religi atau kepercayaan.

Tylor ( dalam Adimihardja 1976; 86-87) yang mengatakan bahwa agama yang paling awal adalah

animisme yakni kepercayaan bahwa segala sesuatu baik yang dalam dunia yang bernyawa ataupun

benda mati dihuni roh dimana roh tersebut dapat meninggalkan manusia baik untuk sementara seperti

pada saat manusia sedang tidur dan untuk selamanya seperti manusia mati dan segala bentuk

kepercayaan dan praktek keagamaan mulai dari yang primitif hingga yang paling tinggi tingkatannya
berkembang dari Animisme. Sehingga Perkembangan Animisme secara keseluruhan termasuk percaya

kepada roh-roh dan keadaan dimasa depan dalam upaya mengendalikan dewa-dewa dan roh yang lebih

rendahan dan ajaran-ajarannya menghasilkan beberapa macam penyembahan yang tetap berlangsung,

seperti halnya agama Parmalim yang merupakan kepercayaan tua dan kepercayaan asli pada suku Batak

Toba dimana kepercayaan ini dahulunya hanya sebagai kepercayaan masyarakat Batak Toba pada masa

penjajahan belanda dan dibawa oleh Raja Sisingamangaraja.

Parmalim berasal dari kata malim yang memiliki 2 arti yaitu: malim sebagai sifat dasar yang

dituju yang berawal dari haiason dan parsolamon, dimana haiason diartikan dengan kebersihan fisik dan

parsolamon diartikan dengan membatasi diri dari menikmati dan bertindak, kedua adalah malim sebagai

sosok pribadi. Parmalim sendiri dapat diartikan dengan orang yang mengikuti ajaran malim, dimana

pengikutnya harus memiliki sifat yang bersih atau suci baik fisik maupun rohani, serta dapat membatasi

diri dari menikmati dan bertindak dari hal-hal duniawi.

Bentuk penghayatan dari kepercayaan Parmalim dahulunya hanya berbentuk upacara biasa saja

dan belum disebut sebagai kepercayaan Parmalim tetapi disebut sebagai Ugamo Malim pada

masyarakat Batak dan inti ajarannya berpegang pada adat istiadat Batak, lama-kelamaan kepercayaan

ini mulai berkembang seiring dengan bertambahnya pengikut kepercayaan ini. Tetapi dengan masuknya

agama modern yang dibawa oleh Dr. Il Nomensen maka pengikut ajaran kepercayaan tua ini pun

berkurang, sehingga muncul istilah dari suku Batak Toba sendiri istilah Parmalim yang artinya orang yang

mengikuti ajaran ugamo. Di dalam doa-doa dan pujian pengikut Parmalim selalu menyampaikan doa

kepada Debata Mulajadi Nabolon dan Raja Sisingamangaraja yang dipandang sebagai malim tertinggi

yaitu malim pilihan Tuhan atau Malim Ni Debata Tuhan dalam ajaran Parmalim di sebut dengan

Mulajadi Nabolon. Hubungan penganut dengan Mulajadi Nabolon disebut dengan Ugamo dan inti ajaran

dalam menjalankan hubungan itu disebut dengan Hamalimon atau kebersihan atau kesucian. Hari
khusus bagi penganut Ugamo Malim yaitu hari Sabtu, dimana mereka melakukan perkumpulan atau

parpunguan tersebut pada satu tempat yang merupakan tempat berkumpul mereka dalam

melaksanakan ibadahnya yang disebut dengan Balai Partonggoan atau Bale Pasogit untuk di pusat, yang

terletak di desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, kecamatan. Laguboti, kabupaten. Toba Samosir. Desa

Pardomuan Nauli merupakan desa tempat tinggal dari Raja Mulia Naipospos yang merupakan salah satu

panglima dari Raja Sisingamangaraja yang menerima perintah dari Raja Sisingamangaraja untuk

memimpin dan meneruskan ajaran Parmalim, sehingga Desa Pardomuan Nauli yang lebih dikenal

masyarakat sebagai Desa Hutatinggi dijadikan sebagai pusat dari kepercayaan Parmalim dan tidak dapat

dipindahkan ke daerah lain.

Pengikut kepercayaan Parmalim saat ini sudah mulai berkembang dan sudah mulai menyebar ke

beberapa daerah di Nusantara bahkan hingga keluar Negeri. Untuk di Indonesia sendiri pengikutnya

telah ada di daerah Pekanbaru, Batam, Irian Jaya, Jakarta, Semarang dan di daerah Sumatera Utara yaitu

Medan dan di tanah Batak. Peribadatan atau biasa disebut parpunguan bagi pengikut Parmalim

biasannya dilakukan di Bale partonggoan untuk di pusat dan rumah parsantian untuk di setiap cabang

Dalam melakukan parpunguan, mereka hanya memanjatkan doa kepada Debata Mulajadi Nabolon dan

nasihat-nasihat di dalam melaksanakan kehidupan sehari-sehari dan mereka tidak mengumpulkan

persembahan tetap mingguan atau bulanan.Adapun peraturan-peraturan yang ada di dalam Parmalim

yaitu para pengikutnya dilarang berdusta, berjinah dan mencemari agama mereka, dalam setiap

pelanggarannya akan ada sanksi-sanksi tertentu bagi orang yang melanggar peraturan agama tersebut,

salah satu hukumannya yaitu pemberian peringatan kepada si pelaku dan membuat suatu upacara

tersendiri untuk menebus kesalahannya, upacara ini haruslah berupa persembahan seekor ayam dan

diiringi oleh gondang sabangunan. Ciri khas dari pengikut Parmalim yaitu adanya bane-bane yang diikat

bersama jeruk kecil dan bonang manalu atau bonang Batak dan diletakkan di atas pintu atau di suatu

tempat yang dapat terlihat oleh orang lain.


1.Sejarah Parmalim

Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada

mulanya belum mengenal nama dan istilah “dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno)

adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda

mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat

dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).

Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau

malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan

mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa

inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan

aktifitas manusia.

Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah “Debata”, sombaon

yang paling besar orang Batak (kuno) disebut “Ompu Na Bolon” (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu

Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu

dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga

menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama

Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek

yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa “Ompu Nabolon” ini sebagai

kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi

“Mula Jadi Nabolon” atau “Tuan Mula Jadi Nabolon”. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang

dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh

orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi
Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi

Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (jamak) sehingga menjadi “Debata Mula Jadi Nabolon”.

Parmalim sebenarnya adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut Ugamo

Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas pribadi itu lebih populer dari “Ugamo

Malim” sebagai identitas lembaganya Berjuang bagi Parmalim bukan hal baru, karena leluhur

pendahulunya dari awal dan akhir hidupnya selalu dalam perjuangan. Perjuangan dimulai sejak Raja

Sisingamangaraja menyatakan “tolak” kolonialisme Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan

masyarakat adat dan budaya

Raja Monang Naipospos adalah Pengurus Pusat Ugamo Malim, sebuah agama kepercayaan yang

lahir dari kebudayaan Batak. Agama ini merupakan peninggalan Raja Batak Sisingamangaraja. Kini pusat

agama Parmalim terbesar berada di Desa Hutatinggi, 4 kilometer dari kecamatan Laguboti Kabupaten

Toba Samosir Sumatera Utara. Orang lebih mengenalnya sebagai Parmalim Hutatinggi. Di desa ini ada

rumah ibadah orang Parmalim yang disebut Bale Pasogit.

2.Parmalim di anggap sesat

Menurut beberapa pandangan ilmuwan sosial, sebenarnya Ugamo Malim layak menjadi sebuah

agama resmi. Alasannya ialah dalam ajaran aliran ini juga terdapat nilai-nilai religius yang bertujuan

menata pola kehidupan manusia menuju keharmonisan, baik sesama maupun kepada Pencipta. Dan

secara ilmu sosial tujuan ini mengandung nilai luhur.

Hanya saja, peraturan pemerintah membantah advokasi tersebut dengan alasan masih adanya

berbagai kejanggalan. Misalnya, ketidakadaan dokumen sejarah yang jelas mengenai kapan Parmalim

pertama kali diyakini sebagai sebuah kepercayaan di Tanah Batak. Alasan lain, yang tentu saja mengacu

pada persepsi umum adalah ketidakadaan kitab suci dan nabi yang jelas berdasarkan kitab suci, yang
apabila ada. Di samping itu masih saja ada persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa ajaran

Parmalim adalah ajaran sesat.

“Kami bukan penganut ajaran sesat,” kata Naipospos kepada Global ketika dijumpai di

kediamannya, Selasa (2/1/07). “Bahkan, ajaran Parmalim menuntut manusia agar hidup dalam

kesucian,” jelasnya kemudian menerangkan secara detail asal-muasal kata Parmalim yang berasal dari

kata “malim”. Malim berarti suci dan hidup untuk mengayomi sesama dan meluhurkan Oppu Mulajadi

Nabolon atau Debata (Tuhan pencipta langit dan bumi). “Maka, Parmalim dengan demikian merupakan

orang-orang mengutamakan kesucian dalam hidupnya,” jelas Marnangkok.

Lantas, apa pasal sehingga aliran ini tidak layak dijadikan sebagai agama resmi? Bahkan, aliran

ini dianggap sesat dengan tuduhan sebagai pengikut “sipele begu” (penyembah roh jahat atau setan).

“Alasannya jelas,” kata Marnangkok. “Mereka (masyarakat awam dan pemerintah) tidak mengerti siapa

sebenarnya yang kami sembah dan luhurkan. Yang kami puja tak lain adalah Oppu Mula Jadi Na Bolon

bukan”begu” (roh jahat),” katanya. “Dan inilah yang menjadi bias negatif dari masyarakat terhadap

Parmalim.”

Marnangkok kemudian menjelaskan, Oppu Mula Jadi Nabolon adalah Tuhan pencipta alam

semesta yang tak berwujud, sehingga Ia mengutus sewujud manusia sebagai perantaraannya

(parhiteon), yakni Raja Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan Raja Nasiak Bagi. Raja Nasiak Bagi

merupakan julukan terhadap kesucian (hamalimon) serta jasa-jasanya yang hingga akhir hidupnya tetap

setia mengayomi Bangsa Batak. Nasiak Bagi sendiri berarti ditakdirkan untuk hidup menderita. Ia bukan

raja yang kaya raya tetapi hidup sama miskin seperti rakyatnya.

Dengan demikian, Parmalim meyakini bahwa Raja Sisingamangaraja dan utusan-utusannya

mampu mengantarkan mereka (Bangsa Batak) kepada Debata.


Hanya saja, hingga kini persepsi umum mengatakan bahwa Parmalim memuja Raja-raja Batak

terdahulu dan utusan-utusannya. Tentu saja ini dipandang dari tata cara pelaksanaan setiap ritualnya

sangat berbeda dengan ritual agama-agama samawi dan agama lainnya. Mereka menggunakan dupa

dan air suci (pagurason) di samping daun sirih untuk ritual khusus.

Namun, dalam menyoal status Parmalim muncul lagi sebuah pertanyaan mengenai sampai

kapan keterkungkungan mereka itu akan lepas? Kenyataan menjelaskan bahwa Parmalim selalu

diperlakukan secara diskriminatif dalam banyak perolehan akses hidup sebagai warga negara.

Contohnya, dalam memperoleh pekerjaan di dinas pemerintahan, izin-izin resmi serta bias sosial yang

negatif. Di samping itu tak jarang pula media mengadvokasi eksistensi mereka demi hak-hak dan

kebebasan mereka, namun hasilnya tetap nihil.

3.Adat kebiasaan kepercayaan Parmalim

Mereka beribadah setiap hari sabtu dan memiliki dua hari peringatan besar setiap tahunnya

yaitu Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada ini dilakukan saat masuk tahun baru Batak yang dimulai

setiap bulan Maret. Dan Sipaha Lima yang dilakukan saat bulan Purnama yang dilakukan antara bulan

juni-juli.

Dalam upacara, laki-laki yang telah menikah biasanya mengunakan sorban seperti layaknya

orang muslim, sarung dan Ulos (selendang batak). Sementara yang wanitanya bersarung dan mengonde

rambut mereka. Semua acara Parmalin dipimpin langsung oleh Raja Marnokkok Naipospos. Kakek Raja

Marnokkok adalah Raja Mulia Naipospos yang menjadi pembantu utama Sisingamangaraja XI. Kini

penganut Parmalin ini mencapai 7000 orang termasuk yang bukan orang batak. Mereka tersebar di 39

tempat di Indonesia termasuk di Singkil Nanggroe Aceh Darussalam.


1.Marari Sabtu Di mana seluruh pengikut Parmalim di manapun mereka berada haruslah

melaksanakan perkumpulan setiap hari Sabtunya dan dilaksanakan di setiap cabang atau rumah

parsantian, dalam perkumpulan ini para pengikut parmalim akan diberi poda atau bimbingan untuk

lebih tekun dalam menghayati ajaran kepercayaan Parmalim.

            2.Martutuaek Upacara yang dilakukan di rumah umat karena mendapat karunia kelahiran

seorang anak ataupun pemberian nama pada anak. Dimana seorang anak yang baru lahir haruslah

terlebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air yaitu umbul mata air disertai dengan bara api

tempat membakar dupa.

            3. Mardebata Upacara yang dilakukan secara individual untuk meminta ampunan atas

penyimpangan yang dilakukan dari aturan ajaran kepercayaannya.

4. Pasahat Tondi Upacara yang dilakukan pada umat yang mengalami duka atau meninggal

dunia. Dimana setelah satu bulan pemakaman maka dilakukanlah upacara pasahat tondi atau

menghantar roh, dalam upacara ini biasanya dilakukan doa saja, bisa dilakukan dengan sederhana atau

besar tergantung pada kemampuan keluarga yang mengalami kemalangan.

5. Mangan Napaet Upacara berpuasa untuk menebus dosa dan dilaksanakan selama 24 jam

penuh pada setiap penghujung tahun kalender batak yaitu pada ari hurung bulan hurung, upacara ini

juga dilaksanakan di Bale Partonggoan dan dihadiri oleh seluruh umat Parmalim. Setelah berpuasa

selama 24 jam maka tepat tengah hari pukul 12.00 sebelum berbuka dilaksanakanlah mangan napaet,

lalu dilakukan perkumpulan di dalam Bale Partonggoan dan dipimpin oleh Ihutan.

Bahwa agama Parmalim adalah Kepercayaan yang tertua di daerah Sumatera utara yang sampai

saat ini belum jelas keberadaannya karena Agama kepercayaan ini belum di anggap sebagai agama
resmi Republik Indonesia. Meskipun Parmalim belum di akui keberadaannya, tetapi Parmalim tetap

menjalankan kepercayaannya dan masih menjalin hubungan social dengan Penganut Agama lain.

            Setiap kepercayaan yang di anut seseorang hendaknya kita saling menghargai. Karena setiap

manusia berhak memilih agamanya masing-masing sesuai kepercayaan yang mereka anggap benar. Dan

kepada setiap agama kepercayaan agar saling menjaga perasaan agama kepercayaan yang lain agar

tidak terjadi perpecahan dang perperangan.

You might also like