You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rasulullah SAW bersabda “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua
hal. Barangsiapa berpegang teguh kepada keduanya niscaya tidak akan
tersesat untuk selamanya, dua hal tersebut adalah Kitab Allah dan
Sunnahku”.1 Dengan demikian setelah Al-Qur'an, umat muslim mengenal
hadits sebagai sumber hukum kedua. Peranan hadits menjadi amat signifikan
karena pada kenyataannya, hadits merupakan penjelas Al-Qur'an dalam
bentuk segala perilaku dan ucapan Nabi, sehingga Al-Qur'an tidak dapat
terlepas dari Hadits.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata tidak semua apa yang
dihadapi oleh umat Islam dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur'an,
sehingga para sahabat maupun tabi’in mencoba berusaha mengingat
bagaimana Nabi pernah bersabda atau bersikap apabila menghadapi suatu
permasalahan.
Hadist biasa dijadikan dasar pijakan untuk memutuskan sebuah
permasalahan karena hadits sebagai penjelas dari Al-Qur'an. Oleh karenanya
perlu untuk mengklasifikasikan hadits, karena tidak semua hadits dapat
dijadikan hujjah atau pedoman dalam menyelesaikan suatu persoalan.
Dalam makalah ini mencoba menelaah pengklasifikasian hadits
berdasar kualitas sanad dan matan hadits, supaya jelas hadits-hadits mana
yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan sanad ?
2. Bagaimana pembagian hadits berdasarkan kualitas sanad ?
3. Apakah yang dimaksud dengan matan ?
4. Bagaimana pembagian hadits berdasar matan ?

1
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), p. 9

1
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan sanad
2. Mengetahui pembagian hadits berdasar kualitas sanad
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan matan
4. Mengetahui pembagian hadits berdasar kualitas matan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sanad
1. Pengertian Sanad
Menurut bahasa, sanad adalah sandaran atau sesuatu yang
dijadikan sandaran.2 Sedangkan menurut istilah terdapat banyak pendapat
diantaranya adalah menurut Al-Badru bin Jama’ah yang diungkapkan
dalam Muzer Suparta bahwa sanad adalah:
‫الءخــبار عن طريق المتن‬
“Berita tentang jalannya matan”3
Yang lain menyebutkan:
‫سلسلــة الّرجال الموصلة للمتن‬
“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits) yang
menyampaikannya pada matan hadits4”
Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad yaitu :
‫طريقة الموصل إلى المتن‬
ّ ‫ال‬
“Jalan yang menyampaikan pada matan hadits”5
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sanad adalah silsilah
orang-orang yang menyampaikan hadits (perawi) dari sumbernya yang
pertama.
2. Kesahihan Sanad Hadits
Yang dimaksud dengan kesahihan sanad hadits menurut Subhi
Shalih dalam Noor Kholis yaitu segala syarat atau criteria yang harus
dipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas shahih.6 Adapun criteria
kesahihan sanad hadits yaitu:
a. Ittishal as sanad (sanad bersambung). Yaitu tiap perawi dalam sanad
hadits dari perawi pertama sampai terakhir menerima riwayat hadits
dari perawi sebelumnya, yaitu sahabat.
2
Muhammad Ahmad dan Muzhakir. Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), p. 51
3
Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 45
4
Ibid., p. 45
5
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul…, p. 51
6
Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008). p/ 252

3
b. Perawi bersifat ‘adil. Yaitu memenuhi kriteria mukallaf, beragama
Islam, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muru’ah.7
c. Perawi bersifat dhabit. Yaitu kuat hafalan atau hafal dengan
sempurna.
d. Terhindar syudzudz (kejanggalan).
e. Terhindar dari ‘illah (cacat).
3. Pembagian Hadits Berdasar Kualitas Sanad
Ulama’ berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari
sanad (kuantitas/jumlah perawi), sebagian ulama membaginya menjadi 3
bagian yaitu hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Hal ini sesuai dengan
ulama’ ushul yaitu Abu Bakar Al Jasis yang menjadikan hadits masyhur
berdiri sendiri.8
Sedangkan sebagian ulama’ yang lain menyatakan bahwa hadits
masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakan
bagian dari hadits ahad. Maka ulama’ membagi hadits berdasar sanadnya
menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad.
a. Hadits Mutawatir
Secara bahasa, mutawatir ialah mutatabi’ yang berarti
beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain tanpa
jarak.9 Sedangkan menurut istilah:
‫الحدديث المتواتر مارواه جمع تحل العادة تواطئهم على الكذب عن مثلهــم مــن‬
. ‫سند‬
ّ ‫ي طبعة من طبعات ال‬
ّ ‫سند الى منتهاه على ان يحتل هذا الجمع فى ا‬
ّ ‫اّول ال‬
“Hadits mutawatir ialah suatu hadits yang diriwayatkan sejumlah
rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta,
hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak
terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan”.10
Sementara Nur ad-Din ‘Atar mendefinisikan:
‫الذي يرواه جمع كثيٌر‬

7
Syuhudi Ismail, Kaedah-Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: PT. Bulan BIntang, 1995), p.
129
8
Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 59
9
Nur Kholis, Pengantar Studi…, p. 268
10
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul…, p. 65

4
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar
dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai
dengan akhir sanad dengan didasarkan panca indera”.11
Ulama lain menyatakan hadits mutawatir yaitu:
‫هو خير عن‬
“Suatu hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk berdusta”.12
Dari uraian pendapat di atas dapat dikatakan bahwa hadits
mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang
memenuhi syarat tertentu yang beriringan antara satu dengan yang lain
dan mustahil untuk bersepakat dan berdusta.
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
1) Diriwayatkan oleh sejumlah perawi
Dalam hal ini bilangan perawi mencapai jumlah tertentu
yang menurut adat mustahil bersepakat untuk berdusta, mengenai
batasan jumlah perawi terdapat perbedaan diantara ulama’ yaitu:
a) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, hal ini
berdasarkan pengqiyasan dengan jumlah saksi yang diperlukan
oleh hakim.
b) Al-Qodhi Al-Baqillani sekurang-kurangnya 5 orang, hal ini
diqiyaskan dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar ulul
azmi.
c) Al-Isthakhary menetapkan minimal 10 orang, sebab jumlah 10
itu merupakan awal bilangan banyak.
d) Ulama’ lain menentukan minimal 12 orang berdasarkan pada
firman Allah (QS. Al-Maidah: 12).
(12 : ‫وبعثنا منهم اثنى عشر نقيبا )المائدة‬
“…dan telah Kami angkat di antara mereka 120 orang
pemimpin”.

11
Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 97
12
Muhammad Ahmad dan Mudzakir…, p. 64

5
e) Ulama’ yang lain menentukan minimal 20 orang berdasarkan
firman Allah (QS. Al-Anfal : 65).
(65 : ‫إن يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا مائتين )النفال‬
“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu,
niscaya mereka dapat mengalahkan duaratus orang musuh”.
f) Ulama’ lainya menentukan minimal 40 orang berdasarkan
(QS. Al-Anfal : 64). Hal ini berkaitan dengan peristiwa
historic ketika ayat diturunkan jumlah umat Islam baru
mencapai 40 orang.
g) Ulama’ lain menentukan sebanyak 70 orang, sesuai dengan
firman Allah SWT (QS. Al-A’raf: 155).
(155 : ‫ل لميقاتنا )العراف‬
ً ‫واختار موسى قومه سبعين رج‬
“Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya
untuk (memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan”. (QS. Al-Anfal (7) : 155).
Penentuan jumlah perawi seperti dikemukakan di atas,
sebetulnya bukan hal yang prinsip pokok yang dijadikan ukuran
sekalipun jumlah perawinya tidak banyak asalkan telah
memberikan keyakinan bahwa berita yang disampaikan diyakini
benar, sudah dapat dikategorikan sebagai hadits mutawatir.13
2) Seimbang jumlah perawi
Dalam hal ini adanya keseimbangan jumlah perawi sejak
pada thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun berikutnya.
Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa keseimbangan
jumlah perawi pada tiap thabaqat tidaklah terlalu penting, sebab
yang diinginkan dengan banyak perawi adalah terhindarnya dari
berbohong.14
3) Berdasarkan tanggapan panca indera
Hadits yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan
tanggapan panca indera artinya harus benar-benar dari hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil renungan,
13
M. Noor Sulaiman PI. Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), p. 87
14
Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 100

6
pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil
instimbath dari dalil lain.
Macam-macam Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir terbagi atas:
1) Hadits Mutawatir lafdzi
Mutawatir lafdzi yaitu : ‫ما تواترات روايته على لفظ واحٍد‬
“Hadits yang mutawatir periwayatannya dalam suatu lafdzi”.15
Muhadditsin memberi pengertian hadits mutawatir lafdzi
yaitu:
‫ما اتفقن الفاظ الّرواة فيه ولو حكما‬
“Suatu (hadits) yang sama mufakat bunyi lafadz menurut para
rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya”.
Pengertian lainnya yaitu:
‫هو تواتر لفظه مارواه بلفظه جمع عن جمٍع‬
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafadznya oleh sejumlah
rawi dari sejumlah rawi”.16
Dengan demikian hadits mutawatir lafdzi yaitu periwayatan
hadits oleh banyak rawi dalam satu lafal yang sama. Berat dan
ketatnya kriteria hadits mutawatir lafdzi seperti di atas,
menjadikan jumlah ini sangat sedikit. Hal ini menurut Ibnu Al
Shalah dan Al-Nawawi. Sedangkan menurut Ibnu Hibban dan Al-
Aazimi hadits mutawatir lafdzi tidak ada.17
Contoh hadits mutawatir lafdzi:
‫ي فليتبّوأ مقعده من النار‬
ّ ‫قال رسول ال صلى ال عليه وسلم من كذب عل‬
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang sengaja berdusta
atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat
duduk di neraka”.
Menurut Al-Bazzar, hadits di atas diriwayatkan oleh 40
orang sahabat. Sedangkan menurut Al-Nawawi hadits tersebut
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.

15
Ibid., p. 101
16
Nur Kholis, Pengantar Studi …, p. 272-273
17
Munzier Suparta, Ilmu…, p. 101

7
2) Hadits Mutawatir ma’nawi
Yaitu :
ّ ‫مااختلفوا فى لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كل‬
‫ي‬
“Hadits yang berlainan bunyi lafadz dan maknanya, tetapi dapat
diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum”.
Atau:
. ‫ما اتفقت فتكتبه على معناه من غير مطابقة فى اللفط‬
“Hadits yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa
menghiraukan perbedaan pada lafadz”.
Dengan demikian, hadits mutawatir ma’nawi yaitu hadits
yang berasal dari berbagai periwayatan dengan lafadz yang
berbeda-beda, tetapi mempunyai makna umum yang sama.
Contoh:
‫كان النبي صلى ال عليه وسلم ل يرفع يديه فــى شــيئ مــن دعــائه إل فــى‬
.(‫الستسقاء وانه يرفع حتى يرى بياض ابطيه )متفق عليه‬
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam
doa’-do’anya selain dalam do’a salat istisqo’ dan beliau
mengangkat tangannya hingga nampak putih-putih kedua
ketiaknya”.
Hadits yang semakna dengan hadits di atas tidak kurang dari
30 redaksi yang berbeda. Antara lain hadits yang ditakhrij oleh
Imam Ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi:
‫قال فرفع يديه وما نرى فى السماء ســحابة فمــد يــديه حــتى رأيــت بيــاض‬
‫إبطيه بستسقي ال عّز وجّل‬
.‫قال فرفع يديه حتى رأيت بياض ابطيه فاستسق ولقد رفع يديه فاستسقى‬
3) Hadits Mutawatir Amali
Yaitu :
‫ن النــبي صــلى الـ‬
ّ ‫ما علم من الــذين بالضـرورة وتــواتر بيــن المســلمين ا‬
. ‫عليه وسلم فعله او امر به او غير ذلك‬
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal tersebut berasal
dari agama dan telah mutawatir diantara kaum muslimin bahwa

8
Nabi SAW melakukannya atau memrintahkannya untuk
melakukannya atau serupa dengan itu”.
Jadi hadits mutawatir amali disebut juga ta’rif ijma’ yaitu
urusan agama yang telah mutawatir antara umat Islam bahwa Nabi
SAW mengerjakannya; menyuruhnya atau selain dari itu.18
Contoh hadits mutawatir amali banyak jumlahnya seperti
hadits yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat
janazah, shalad i’ed, haji, kadar zakat dan lain-lain.
Hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari
Rasulullah SAW dan dapat dipastikan keshahihan pada matannya
karena persyaratan pada hadits mutawatir begitu ketat dan
mustahil perawinya berdusta. Dan sebagian ulama’ sepakat
menjadikan hadits mutawatir sebagai hujjah.
b. Hadits Ahad
Kata ahad bentuk jamak dari wahid, yang berarti satuan.
Sedang menurut istilah yaitu hadits yang diriwayatkan perorangan,
dua orang atau lebih tetapi belum mencapai syarat untuk dimasukkan
ke dalam hadits mutawatir.19 Sedang menurut istilah hadits ahad yaitu:
‫مال يجتمع فيه شروط التواتر‬
“Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat
mutawatir”.
‫مالم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلــغ الخــبر المتــواتر ســواء كــان المخــبر واحــدا أو‬
‫اثنين أو ثلثا او أربعًة أو خمسة أو إلى غير ذلك من العداد التى ل تشعر بلن‬
‫الخبر دخل بها فى خبر المتواتر‬
“Suatu hadits yang jumlah pemberitanya tidak mencapai jumlah
pemberita hadits mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang,
tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah
tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke
dalam hadits mutawatir”.
Macam-macam Hadits Ahad

18
Ibid., p. 106
19
Noor Sulaiman. PL. Antologi.., p. 90

9
Dilihat dari jumlah rawi, hadits ahad terbagi dalam 3 bagian
yaitu hadits masyhur (hadits mustafid), hadits aziz, dan hadits gharib.
Ulama’ ahli hadits membanginya menjadi dua yaitu hadits masyhur
dan ghairu masyhur. Dimana hadits ghairu masyhur terbagi atas
hadits aziz dan ghairu aziz.20
1) Hadits masyhur (hadits mustafid)
Menurut bahasa masyhur berarti sesuatu yang sudah
tersebar atau populer, sedangkanmenurut istilah antara lain:
‫صــحابة ومــن‬
ّ ‫مارواه من الصحابة عدد ليبلغ حتى التواتر ثّم تواتر بعــد ال‬
.‫بعده‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak
sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir
setelah sahabat dan orang setelah mereka”.21
Pendapat lain mengatakan:
‫الحديث المشــهور اوالحــديث المســتفيض هــو الحــديث الــذى رواه الثلثــة‬
. ‫فاكثر ولم يصل درجة التواتر‬
“Hadits masyhur (hadits mustafid) adalah hadits yang
diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih dan belum mencapai
derajat mutawatir”.22
Hadits masyhur dapat digolongkan menjadi:
a) Masyhur di kalangan ahli hadits:
Contoh yaitu hadits yang menerangkan Rasulullah SAW
membaca do’a qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh
berdo’a atas golongan RII dan Dzakwan yang diriwayatkan
oleh Bukhari Muslim.
b) Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama’ lain, misalnya:
‫المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده‬
“Orang Islam adalah orang yang menyelamatkan orang Islam
lainnya dari lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari Muslim).

20
Ibid., p. 90
21
M. Noor Sulaiman PL. Antologi…, p. 91
22
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul…, p. 94

10
c) Masyhur di kalangan fuqoha’ seperti :
‫ابغض الحلل الى ال الطلق‬
“Sesuatu yang halal dan dibenci Allah adalah thalaq”.
‫نهى رسول ال صلى ال عليه وسلم عن بيع الغرر‬
“Rasulullah SAW melarang jual beli yang di dalamnya
terdapat tipu daya”.
d) Masyhur di kalangan ushul fiqh seperti :
‫إذا حكم الحاكم ثم اجتهد فأصاب فله جزان وإذا حكم فاجتهد ث ـّم أخطــأ‬
. ‫فله اجٌر‬
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara,
kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia
memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala
kebenaran) dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia
memperoleh satu pahala (pahala ijtihad)”.
e) Masyhur di kalangan ahli sufi, seperti:
‫كنت كنزا مخفيًا فأجنبت أن أعرف فخلقت الخلق فى بى عرفونى‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi,
kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan
melalui aku mereka pun mengenalku”.
f) Masyhur di kalangan umum, seperti:
‫العجل من الشيطان‬
“tergesa-gesa adalah perbuatan syetan”
g) Masyhur di kalangan ulama Arab seperti ungkapan “Kami
orang Arab yang paling fasih mengucapkan dad ( ‫) ض‬, sebab
kami dari golongan orang-orang Quraish”.
Dan masih banyak lagi hadits yang kemasyhurannya hanya
di kalangan tertentu sesuai dengan disiplin ilmu dengan bidangnya
masing-masing. Namun demikian tidak semua hadits masyhur
shahih, karena keshahihan tidak dilihat dari masyhurnya tetapi dari
kualitas sanad dan matan.

11
a) Hadits masyhur sahih seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar:
‫اذا جاءكم الجمعة فليغتسل‬
“Barangsiapa yang hendak pergi melaksanakan shalat
Jum’at, hendaklah ia mandi”.
b) Hadits masyhur yang berstatus hasan:
‫ل ضرر ول ضرار‬
“Tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya
yang setimpal.23
c) Hadits masyhur yang berstatus dhaif:
‫طلب العلم فريضة على كّل مسلٍم ومسلمٍة‬
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan
perempuan”.
Hadits ini didhaifkan oleh Ahmad Al-Baihaqi dan lain-lain.24
2) Hadits ghairu masyhur
Hadits ghairu masyhur oleh ulama’ hadits digolongkan
menjadi hadits ‘aziz dan hadits gharib.
Hadits Aziz
Aziz menurut bahasa berasal dari kata ‘azza-ya’izzu yang
berarti layakadu yujadu atau qalla wa nadir (sedikit atau jarang
adanya). Sedangkan menurut istilah, antara lain didefinisikan
sebagai berikut:
‫ماجاء فى طبقة من طبقات رواته أو أكثر من طبقة اثنان‬
“Hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam
semua tabaqat sanad”.
‫الحديث العزيز هو الحديث الذى رواه اثنان ولو كان فــى طبقــة واحــدٍة ث ـّم‬
. ‫روه بعد ذلك جماعٌة‬

23
Nurkholis, Pengantar Studi…, p. 91
24
Hasbi, Ash-Shiddieqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
p. 71

12
“Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang
rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah
itu diriwayatkan oleh banyak rawi”.25
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu hadits
dapat dikatakan hadits ‘aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua
orang pada setiap tingkatnya tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi maka tetap dapat dikategorikan
sebagai hadits aziz.
Contoh hadits aziz:
‫ليؤمن أحدكم حتى أكون أحبى اليه من ولده وولده والناس أجمعين‬
“Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih
dicintainya daripada dirinya, orang tuanya, dan semua manusia”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits Gharib
Hadits gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid”
menyendiri. Dalam tradiri hadits, hadits gharib adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu namanya maupun
selainnya.26 Sedangkan menurut Ibn Hajar yang dimaksud dengan
hadits gharib yaitu:
. ‫ي موضع وقع التفّرد به السند‬
ّ ‫ما تفّرد بروايته شخض واحد فى ا‬
“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri
dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad
itu terjadi”.
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi terbagi atas gharib
mutlak dan gharib nisbi.
a) Gharib mutlak yaitu apabila penyendirian itu mengenai
personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat
dalam satu thabaqat.
Contoh hadits gharib mutlak yaitu:

25
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul…, p. 95
26
M. Noor Sulaiman PL. Ulumul…, p. 95

13
‫الولء لحمة كلحمة النسبى ليباع ول يودهب‬
“Kekerabatan dengan jalan kemerdekaan, sama dengan
kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh
dihibahkan”.
b) Gharib nisbi adalah apabila penyendiriannya itu mengenai
sifat atau keadaan tertentu dari sang perawi.
Contoh hadits gharib nisbi:
‫كان يقرأ بــه رســول الـ صـلى الـ عليــه وســلم فـى الضــحى والفطربــق‬
.(‫ق القمر )رواه مسلم‬
ّ ‫والقران المجيد واقتربت الساعة وانش‬
“Konon Rasulullah pada hari raya qurban dan hari raya
fitrah membaca surat qof dan surat Al-Qomar”. (HR. Muslim)
Kedudukan Hadits Ahad
Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad
yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu
Hanifah, Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad memakai hadits ahad bila
syarat-syarat periwayatannya shahih terpenuhi, hanya saja Abu
Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya serta
amaliahnya tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
Karena hadits ahad diduga (zanni) berasal dari Rasulullah
SAW, maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam,
berada di bawah kedudukan hadits mutawatir.

Perbedaan hadits mutawatir dengan hadits ahad:

Hadits Mutawatir Hadits Ahad


Jumlah rawi Diriwayatkan oleh banyak para Diriwayatkan oleh para rawi dalam
perawi yang mustahil sepakat jumlah yang menurut adat kebiasaan
untuk berdusta. masih mungkin sepakat untuk
berdusta
Pengetahuan Menghasilkan ilmu qath’i Menghasilkan ilmu bersifat dzanni
(pasti) dan ilmu daruri (bersifat dugaan) bahwa hadits
(mendesak untuk diyakini) berasal dari Rasulullah sehingga
bahwa benar-benar berasal dari kebenarannya masih berupa dugaan
Rasulullah dan diyakini pula.
kebenarannya.
Kedudukan Lebih tinggi dari hadits ahad Lebih rendah dari hadits mutawatir
dalam kedudukan sebagai

14
sumber ajaran Islam
Kebenaran Pada hadits mutawatir dapat Tidak mustahil bertentangan dengan
ditegaskan bahwa keterangan Al-Qur'an karena ada kemungkinan
matan hadits mutawatir mustahil hadits tersebut tidak berasal dari
bertentangan dengan keterangan Rasulullah.
ayat dalam Al-Qur'an

B. Matan
1. Pengertian Matan Hadits
Matan menurut bahasa berarti ma irtafa’a min al-ardhi artinya
tanah yang meninggi.27 Yang lain mengartikan sebagai membelah,
mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli hadits, matan
yaitu:
. ‫سند من الكلم فهو نفس الحديث الذي ذكر السناد له‬
ّ ‫ما انتهى إليه ل‬
“Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang
disebut sesudah hadits disebut sanadnya”.28
‫ما ينتهى إليه السند من الكلم‬
“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”.
. ‫الفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه‬
“Lafadz-lafadz hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna
tertentu”.
Dengan demikian yang dimaksud dengan matan ialah materi atau
lafadz hadits itu sendiri.
Contoh:
‫ لـو ل‬: ‫عن محمد عن ابى سلمة عن ابى هريرة ان النبي صلى ال عليه وسلم قال‬
(‫ )رواه البخارى والترمذى‬. ‫ق على أمتي لمرتهم بالسواك عند كّل صلٍة‬
ّ ‫ان اش‬
Maka yang disebut dengan matan adalah yang bergaris bawah.
2. Kesahihan Matan Hadits
Dalam Noor Kholis disebutkan bahwa unsur yang harus dipenuhi
oleh suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam yakni terhindar
dari syudzuz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Sedangkan menurut Al-

27
Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 46
28
Muhammad Ahmad dan Mudzakir…, p. 52

15
Khatib Al Baghdadiy, suatu matan barulah dinyatakan sebagai shahih
yaitu:
a. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
b. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang telah muhkam
(ketentuan hukum yang tetap).
c. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir.
d. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan
ulama masa lalu (salaf).
e. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.
f. Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya
lebih kuat.29
3. Pembagian Hadits Dilihat dari Kualitas Matan
a. Hadits Shahih
Beberapa pengertian tentang hadits shahih ini adalah sebagai
berikut:
Pengertian hadits shahih menurut Ibnu As-Shalah yang dikutip
oleh Munzier adalah:
‫الحديث الصحيح هو الحديث المسند الـذى يّتصـل اســناده بنقــل العــدل الضـابط‬
. ‫عن العدل الضابط إلى منتهاه ول يكون شاذا ول معـّلل‬
“Hadits shahih yaitu hadits musnad yang bersambung sanadnya
dengan periwayatan ileh orang yang adil dhabith dari orang yang
adil lagi dhabith juga hingga akhir sanad, serta tidak ada
kejanggalan dan cacat”.30
Hal senada juga diungkapkan oleh Muhadditsiin sebagai berikut:
. ‫ما نقله عدٌل تام الضبط متصل السند غير معـّلل ول شاٍذ‬
“Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawy yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak
janggal”.31
Al-Suyuthi juga mendefinisikannya secara ringkas sebagaimana
dikutip oleh Munzier berikut:
29
Nurkholis, Pengantar Studi…, p. 263
30
Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 129
31
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1985), p. 95

16
. ‫ضابطين من غير شذوذ ول عّلة‬
ّ ‫ما اّتصل سنده بالعدول ال‬
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang
adil lagi dhabith, tidak syaz dan tidak ber’illat”.32
Jadi, secra umum yang dimaksud dengan hadits shahih adalah
hadits yang sanadnya muttasil, diriwayatkan oleh perawi yang adil,
kuat ingatannya, tidak ada kejanggalan yang menyimpang dari ayat,
serta tidak cacat.
Syarat-syarat Hadits Sahih
Sebuah hadits bisa dikatakan shahih jika memenuhi syarat-
syarat tertentu. Syarat-syarat hadits shahih adalah sebagai berikut:
1) Sanadnya Bersambung
Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Suhudi Ismail
dari Muhammad Al-Shabbagh disebutkan bahwa “yang dimaksud
dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad
hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat
sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir
sanad dari hadits itu”.33
Jadi sanad dalam hadits shahih itu harus berkesinambungan
sejak awal sampai akhir, dalam artian bahwa rangkaian para
perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi
pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi
Muhammad SAW bersambung dalam periwayatannya.
2) Periwayatannya yang Adil
Keadilan perawi di sini berarti :
a) Selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjauhi
perbuatan maksiat.
b) Menjauhi dosa kecil yang dapat merendahkan martabat
dirinya.
c) Tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan penyesalan.34

32
Ibid., p. 129
33
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), p. 127
34
Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), p
103

17
Faktor-faktor keadilan yang lain adalah sebagai berikut:
1) Beragama Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah :
‫مّمن ترضون من الشهداء‬
…dari saksi-saksi yang Engkauridhoi. (QS. Al-Baqarah: 282).
Sementara orang yang tidak beragama Islam pasti tidak
mendapatkan keridhaan seperti itu.
2) Baligh. Hal ini merupakan suatu paradigma akan kesanggupan
memikul tanggung jawab mengemban kewajiban dan
meninggalkan hal-hal yang dilarang.
3) Berakal sehat. Sifat ini harus dimiliki oleh seorang periwayat
agar dapat berlaku jujur dan berbicara tepat.
4) Takwa, yaitu menjauhi dosa-dosa besar dan tidak
membiasakan perbuatan-perbuatan dosa kecil.35
Jadi orang yang bukan Islam, masih kecil, gila maupun orang
fasik tidak dapat diterima riwayatnya. Karena keempat hal tersebut
merusak sifat ‘adil seorang periwayat hadits.
Sifat-sifat adil perawi dapat diketahui melalui:
1) Popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama’ ahli hadits,
perawinya yang terkenal dengan keutamaan pribadinya.
2) Penilaian dari para kritikus perawi hadits tentang kelebihan
dan kekurangan yang ada pada diri perawinya yang dimaksud.
3) Penerapan kaidah Al-Jarh wa al-ta’dil, bila tidak ada
kesepakatan di antara para kritikus perawi hadits mengenai
kualitas pribadi para perawi tertentu.36
3) Periwayatannya yang Dhabith
Sebagaimana yang dikutip oleh Munzier Suparta, menurut
Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Perawi yang dhabith adalah mereka
yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya.
Kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja
diperlukan”.37
35
Nuruddin, Ulumul Hadits I (Terjemahan dari Manhaj An-Naqd Fi ‘Ulumul Al Hadits),
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), p. 64-65
36
Suparta, Ilmu…, p. 131
37
Suparta, Ilmu…, p. 132

18
Menurut Muhammad Abu Zahra dalam kutipan Muhammad
Suhudi Islmail, “orang dhabit ialah orang yang mendengarkan
pembicaraan sebagaimana seharusnya dia memahami arti
pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan
sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna
sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang
lain dengan baik”.38
Jadi secara umum perawi yang dhabit itu memiliki
kemampuan untuk:
a) Mengingat dengan baik
b) Mendengarkan riwayat yang didengarnya
c) Memahami riwayat yang didengarnya
d) Menghafal riwayat yang telah diterimanya
e) Menyampaikan riwayat yang diterimanya dengan baik.
Namun demikian ada sebagian ulama’ yang menganggap
bahwa orang yang memiliki kemampuan menghafal dengan baik,
tetapi tidak memiliki kecerdasan dalam memahami riwayat yang ia
dengar termasuk orang yang dhabith. Dan tentunya tingkatan
periwayat seperti ini berada setelah ( di bawah) periwayat yang
memiliki kemampuan untuk mendengar, memahami, mengingat,
menghafal dan menyampaikan riwayatnya dengan baik.
Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi, menurut para ulama’
dapat diketahui melalui:39
1) Kesaksian para ulama
2) Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang
lain yang telah dikenal kedhabithannya.
Kedhabitan seorang perawi tidak berarti ia terhindar sama
sekali dari kekeliruan. Mungkin saja kekeliruan atau keslahan itu
sesekali terjadi pada seorang perawi. Yang demikian itu tidak
dianggap sebagai orang yang kurang ingatannya.40

38
Ismail, Kaedah…,p135
39
Suparta, Ilmu…, p. 132-133
40
Ibid.,

19
4) Tidak Adanya ‘Illat Hadits
‘Illat bisa kita artikan cela, cacat atau penyakit. ‘Illat hadits
ialah suatu penyakit yang samara-samar, yang dapat menodai
kesahihan suatu hadits. Misalnya meriwayatkan hadits secara
muttasil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur seorang
sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits yang
munqathi’ (yang gugur salah sorang rawinya) dan sebaliknya.
Demikian juga dapat dianggap suatu illat hadits, yaitu suatu sisian
yang terdapat pada matan hadits.41
‘Illat hadits itu bisa terjadi pada sanad maupun matannya,
atau bahkan pada keduanya secara bersama-sama. Namun
kebanyakan yang terjadi adalah ‘illat pada sanadnya. Jadi, suatu
hadits dikatakan shahih jika terbebas dari cacat baik cacat dalam
sanad maupun matannya.
Menurut Al-Hakim Al-Naysabury sebagaimana yang dikutip
oleh Muhammad Syuhudi Ismail, ia berpendapat bahwa, “acuan
utama penelitian ‘illat hadits ialah hafalan, pemahaman dan
pengetahuan yang luas tentang hadits”.
Penelitian tentang ‘illat suatu hadits sangat memerlukan
kejelian dan ketelitian. Sehingga orang yang meneliti ‘illat suatu
hadits pun harus benar-benar orang-orang yang memiliki
kemampuan yang lebih.
5) Tidak ada Kejanggalan/Kerancuan (Syadz)
Kerancuan (syadz) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi
berbeda denganrawi lain yang lebih kuat posisinya.42 Lebih kuat di
sini dilihat dari segi kekuatan ingatannya, jumlah yang lebih
banyak, dan lain sebagainya.
Menurut As-Syafi’i sebagaimana yang diungkapkan oleh
Munzier, yang dimaksud dengan syadz atau syuduz (jamak dari
syadz) di sini adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain
yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.
41
Rachman, Ikhtisar… p 100
42
Ahmad dan Mudzakir,

20
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hadits yang tidak
syadz adalah hadits yang matannya tidak bertentangan dengan
hadits lain yang lebih kuat.
Klasifikasi Hadits Shahih
Hadits shahih itu dibagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Shahih Lidzatihi
Menurut Ibnu As-Shalah yang diungkapkan oleh Munzier
menyebutkan bahwa shahih lidzatihi yaitu hadits yang memenuhi
syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu
syarat-syarat yang lima.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari:
‫حدثنا عبد ال بن يوسف اخبرنا مالك عن نافٍع عن عبد ال أن رسول الــ‬
‫ اذا كــانوا ثلثــة فل يتنــاجى اثنــان دون الثــالث‬: ‫صلى ال عليه وسلم قــال‬
(‫)رواه البخارى‬
Artinya:
“Bukhari berkata: Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada
kami bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila mereka bertiga,
janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga”.
b. Shahih Lighairihi
Hasbi Ash Shiddieqy menunjukkan pengertian hadits shahih
lighairihi sebagai berikut:
‫هو ما كان رواته متـأخرا عـن درجـة الحـافظ الضـابط مـع كـونه مشـهورا‬
‫بالصدق حّتى يكون حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقــة‬
. ‫او ارجع ما يخبر ذلك القصور الواقع فيه‬
“Hadits yang keadaan rawy-rawynya kurang hafidz dan dhabith,
tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya
berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang
serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan
yang menimpanya itu”.43

43
Rachman, Ikhtisar…, p. 101

21
Jadi, hadits shahih lighairihi ini adalah hadits yang tidak
memenuhi sifat-sifat hadits maqbul/shahih secara sempurna, yang
pada awalnya bukan hadits shahih, namun akhirnya naik
derajatnya menjadi hadits shahih karena ada faktor pendukung
yang dapat menutupi kekurangan yang ada padanya.
Contohnya adalah hadits shahih lighairihi yang diriwayatkan
oleh Bukhari yang dicontohkan oleh Abu Muhammad
sebagaimana yang ditulis oleh Munzeir berikut ini:
. ‫ق على أمتي او على الناسى لمرتهم بالسواك مع كّل صــلٍة‬
ّ ‫لو ل ان اش‬
(‫)رواه البخارى‬
Artinya:
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan
kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan
shalat”. (HR. Bukhari).44
Berhujjah dengan Hadits Shahih
Mengenai penggunaan hadits shahih sebagai hujjah ini para
ulama memiliki pendapat yang berbeda. Sebagian ulama’ sepakat
menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib diamalkan dalam
masalah halal-haramnya sesuatu, tapi tidak dalam hal aqidah. Namun
ada sebagian pendapat yang menjadikan hadits shahih sebagai hujjah
dalam persoalan aqidah.45
b. Hadits Hasan
1. Pengertian Hadits Hasan
Mengenai arti hadits hasan ini ada beberapa pendapat yang
mengungkapkannya. Pendapat para ulama mengenai pengertian
hadits hasan adalah:
.‫سند غير معلل ول شاذ‬
ّ ‫مانقله عدل قليل الضبط مّتصل ال‬
“Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokok
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat
‘illat serta kejanggalan pada matannya”.46
44
Suparta, Ilmu…, p. 135
45
Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul.. p. 108
46
M. Noor Saliman, PI. Antologi…, p. 103

22
Sementara itu Ibnu Hajar mendefinisikan hadits hasan
sebagai berikut:
‫وخبره الحد بنقل عدل تام الضــبط متصــل الســند غيــر معلــل ول شــاد هــو‬
. ‫الصحيح لذاته فإن قّل الضبط فالحسن لذاته‬
“Khabar ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil,
sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa
ber’illah dan syadz; namun bila kekuatan ingatannya kurang
kokoh (sempurna) disebut hasan”.47
Jadi yang dimaksud dengan hadits hasan adalah suatu hadits
yang sanadnya bersambung, tidak ada cacat dan kejanggalan,
perawinya adil dan dhabith, namun tingkat ke-dhabithannya masih
kurang sempurna. Sehingga, hadits hasan ini hampir saja mirip
dengan hadits shahih. Yang membedakan adalah kalau hadits
shahih itu tingkat kedhabitan perawinya itu sempurna, sedangkan
dalam hadits hasan, tingkat kedhabitannya masih kurang
sempurna.

2. Syarat-syarat Hadits Hasan


Secara rinci, syarat-syarat hadits hasan sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabith, tetapi kualitas ke-dhabitannya di bawah
ke-dhabitan perawi hadits shahih.
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syudz, dan
e. Tidak ber’illat.48
Sebenarnya syarat-syarat tersebut sama dengan syarat-syarat
hadits hasan, hanya saja tingkat ke-dhabitan perawinya kurang
sempurna. Jadi, yang membedakan syarat-syarat hadits hasan
dengan hadits shahih adalah tingkat kecerdasan dan kekuatan

47
Munzeir Suparta, Ilmu Hadits..,p. 144
48
Suparta, Ilmu…, p. 145

23
hafalannya saja. Sedangkan pada hadits shahih tingkat kecerdasan
para perawinya sempurna.
Istilah hadits hasan ini dimunculkan dan dipopulerkan oleh
Imam Turmudzi. Penyebab dimunculkannya istilah hadits hasan
ini adalah karena hadits seperti itu seakan-akan dha’if, tapi tidak
pas jika digolongkan ke dalam hadits dha’if karena hampir semua
persyaratan shahih hampir terpenuhi. Tapi juga seakan-akan mirip
shahih, tapi persyaratan shahihnya kurang terpenuhi sehingga
tidak pas jika digolongkan ke dalam hadits shahih. Akhirnya
digolongkan hadits itu ke ruang lingkup antara shahih dan dha’if
yaitu yang dinamai dengan hadits hasan.
3. Klasifikasi Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan juga dibagi menjadi
dua bagian:
a. Hasan Li-Dzatihi
Hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang terwujud
karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para perawinya
memenuhi syarat-syarat hadits shahih, kecuali keadaan rawi
(rawinya kurang dhabith).49
Contoh hadits hasan lidzatihi :
‫عن محمدبن عمرو عن أبى سلمة عن أبى هريرة ان رسول ال صلى‬
‫ لول ان اشق على امتى لمرتهم بالسواك مع كل‬: ‫ال عليه وسلم قال‬
. ‫صلة‬
“Dari Muhammad Ibn ‘Amar dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW berkata, “Sekiranya tidak
merepotkan kepada umatku. Niscaya aku perintah mereka
bersiwak (gosok gigi) untuk setiap kali hendak shalat”.50
b. Hasan Lighairihi
Hadits hasan lighairihi adalah :

49
Ahmad dan Mudzakir, p. 115
50
Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 146

24
‫مال يخلو إسناده مستور لم تتحقق اهليته وليــس مغّفل كــثير الخطــاء‬
‫ول ظهر منه سبب مفسق ويكون متن الحديث معروفا برواية مثله أو‬
. ‫نحوه من وجه اخر‬
“Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur tidak
nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak
nampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan
haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal
dan semakna dari sesuatu segi yang lain”.51
Maksud pengertian tersebut adalah bahwa hadits hasan
lighairihi merupakan hadits dho’if yang dikarenakan rawinya
mastur (tidak diketahui keahliannya), namun dia bukan
seorang pelupa yang banyak melakukan kesalahan dalam
periwayatannya dan juga bukan orang yang dituduh berbuat
dusta dan fasik yang kemudian hadits tersebut naik derajatnya
(ke tingkat hasan) karena dibantu oleh hadits-hadits lain yang
semisal dan semakna (muttabi’ dan syahid).
Hadits gha’if yang bisa naik ke hadits hasan ini hanyalah
hadits yang tidak terlalu lemah dan diperkluat riwayat-riwayat
lain yang dapat mengangkatnya. Jika hadits-hadits tersebut
sangat lemah, maka tidak bisa naik ke derajat hasan.
Contoh:
. ‫ارضيت من نفسك وما لك بنعلين ؟ قالت نعم فأجاز‬
“Apakah engkau rela menyerahkan dirimu dan hartamu
dengan hanya sepasang sepatu? Perempuan tersebut
menjawab: Ya, maka Nabi SAW pun memperbolehkannya”.
4. Penggunaan Hadits Hasan Sebagai Hujjah
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa kehujjahan hadits hasan
(hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi) seperti hadits shahih
meskipun derajatnya tidak sama. Namun ada juga sebagian ulama’
yang mengatakan bahwa hadits hasan yang bisa dijadikan hujjah
adalah hadits hasan lidzatihi. Sedangkan untuk hadits hasan
51
Rachman, Ikhtisar…, p. 111

25
lighairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat ditutupi oleh
banyaknya riwayat lain, maka ia bisa dijadikan hujjah.
c. Hadits Dhaif
1. Pengertian Hadits Dhaif
Dhaif artinya adalah lemah, lawan dari kuat. Jadi hadits
dhaif adalah hadits yang lemah. Adapun secara istilah, para ulama’
banyak yang mendefinisikannya dengan berbagai macam
pengertian tetapi maknanya/kandungannya sama.
‫الحديث الضعيف هو ما فقد شرطا او اكثر من شروط القبول‬
“Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menemui satu syarat atau
lebih dari syarat-syarat diterimanya suatu hadits”.52
Definisi Al-Nawawi yang dikutip oleh Munzeir
menyebutkan bahwa hadits dha’if adalah:
‫مالم يوجد فيه شروط الصححة ول شروط الحسن‬
“Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits
shahih dan syarat-syarat hadits hasan”.
Atau :
. ‫الحديث الصحيح مالم يجتمع فيه صفات الصحيح ول صفات الحسن‬
“Hadits shahih yang di dalamnya tidak ada sifat shahih dan sifat
hasan”53
Senada dengan pengertian itu disebutkan bahwa hadits dhaif:
. ‫ما فقد شرطا او اكثر من شروط الصحيح او الحسن‬
“Ialah hadits yang kehilangan salah satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan”.
Jadi secara umum, pengertian hadits dhaif adalah hadits
yang tidak memenuhi persyaratan diterimanya suatu hadits sebagai
hadits shahih atau hasan”.
2. Sebab-sebab Hadits Dha’if Tertolak
Kalau dalam membahas hadits maqbul (shahih dan hasan)
yang kita ungkapkan di antaranya adalah persyaratan suatu hadits

52
M. Noor Sulaiman PI, Antologi…, p. 105
53
Munzier Suparta, Ilmu…, p. 151-152

26
dikatakab shahih dan hasan, sedangkan ketika kita membahas
hadits mardud (dhaif) maka bahasa yang tepat bukanlah
“persyaratan” tetapi “sebab-sebab ditolaknya suatu hadits”.
Para ahli hadits mengemukakan sebab-sebab tertolaknya
hadits ini bisa dilihat dari dua jurusan, yaitu:54
a. Sanad Hadits
Dari sisi sanad hadits ini diperinci ke dalam dua bagian:
1) Ada kecacatan pada para perawinya baik meliputi
keadilannya maupun kedhabithannya yang diuraikan
dalam 10 macam:
a) Dusta. Hadits yang rawinya dusta disebut maudhu’
b) Tertuduh dusta. Hadits yang rawinya tertuduh dusta
disebut matruk.
c) Fasiq
d) Banyak salah
e) Lengah dalam menghafal, maka haditsnya menjadi
disebut hadits munkar.
f) Banyak wahamnya, haditsnya disebut hadits mu’allal.
g) Menyalahi riwayat yang lebih siqoh atau dipercaya.
Haditsnya disebut mudraj bila ada penambahan
sisipan, bila diputar balikan disebut maqlub disebut
mudhtharib bila perawinya tertukar-tukar dan disebut
muharraf bila yang tertukar adalah huruf syakal dan
disebut mushahhaf bila perubahan itu meliputi titik
kata.
h) Tidak diketahui identitasnya disebut mubham.
i) Penganut bid’ah
j) Tidak baik hafalannya, disebut syadz dan muktalith
2) Sanadnya tidak bersambung
a) Gugur pada sanad pertama disebut mu’allaq.
b) Gugur pada sanad terakhir (sahabat) disebut mursal.

54
Munzeir Suparta, Ilmu…, p. 151-152

27
c) Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan
haditsnya disebut mu’dszal.
d) Gugur rawi tidak berturut-turut disebut munqathi’.
b. Matan Hadits
1) Hadits mauquf yaitu perkataan sahabat, perbuatan atau
taqririnya tetapi sandarannya terhenti pada thabaqat
sahabat.
2) Hadits maqthu’ yaitu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in
dan disandarkan kepadanya baik perkataan maupun
perbuatan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Sanad hadits yaitu silsilah orang-orang yang menyampaikan hadits (perawi)
dari sumbernya yang pertama.
2. Dari kualitas sanad hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad.
3. Hadits mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang
memenuhi syarat tertentu yang beriringan antara satu dengan yang lain dan
mustahil untuk bersepakat dan berdusta. Hadits ahad yaitu hadits yang jumlah
pemberitaannya tidak mencapai syarat mutawatir.
4. Matan hadits yaitu materi atau lafadz hadits.
5. Dari kualitas matan hadits terbagi atas hadits shahih, hasan dan dha’if.
6. Hadits shahih yaitu hadits yang sanadnya muttasil, diriwayatkan oleh perawi
yang adil, kuat ingtannya, tidak ada kejanggalan yang menyimpang dari ayat,
serta tidak cacat.

28
7. Hadits hasan yaitu suatu hadits yang sanadnya bersambung, tidak cacat dan
kejanggalan, perawinya adil dan dhabith namun tingkat kedhabitannya masih
kurang.
8. Hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi persyaratan diterimanya suatu
hadits sebagai hadis shahih ataupun hasan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan Mudzakir. 2004. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka


Setia.

Ashssiddieqi, Hasbi. 1987. Pokok-pokok Dirayat Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.

Azami, Muhammad Mustafa. 1996. Bandung: Pustaka Hidayah.

Azami. 2000. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka


Firdaus.

Ismail, Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.

Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits. Yogyakarta: Teras

Rahman, Fathchur. 1985. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT. Al-Ma’arif

Suparta, Munzeir. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

29
30

You might also like