Professional Documents
Culture Documents
HUBUNGAN SOSIAL
Oleh: Danang Insita Putra
ABSTRAK
Perubahan iklim global adalah isu yang saat ini menjadi perhatian bagi
banyak kalangan. Berbagai pihak menyatakan bahwa pengaruh manusia
(anthropogenik) terhadap perubahan iklim adalah sesuatu yang tidak
terhindarkan. Sementara perubahan iklim global tersebut telah menyebabkan
kerusakan yang bersifat katastropik (termasuk dampak terhadap kesehatan
manusia, ekosistem, aspek sosial ekonomi, dsb). Indonesia tidak terlepas dari
masalah perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya. Makalah ini
merupakan kajian atas berbagai hasil penelitian tentang perubahan iklim
global dan dampak sosial yang ditimbulkannya.
Kata kunci: Perubahan Iklim, sosial, dampak dan perubahan.
LATAR BELAKANG
Perubahan iklim global merupakan isu yang saat ini menjadi perhatian bagi
banyak kalangan, terutama setelah diselenggarakannya Konferensi Tingkat
Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Namun demikian
fenomena ini belum dipahami secara tepat karena prosesnya yang sangat
rumit. Perubahan iklim seringkali disalah-artikan sebagai variasi iklim yang
kadang-kadang terjadi dengan gejala yang agak ekstrem dan membawa
dampak seketika yang cukup signifikan. Perubahan iklim adalah fenomena
global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan
penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih guna lahan.
Sebagian beranggapan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan
penderitaan yang tak tertanggungkan bagi masyarakat yang rentan. Sebagian
menitikberatkan perhatian pada bagaimana menangani suatu ekosistem
tertentu. Sebagian lagi mengkhawatirkan bahwa perubahan iklim akan
meningkatkan kemungkinan ketidakstabilan iklim yang jauh lebih luas. Tetapi
sebagian lagi menyatakan bahwa pengurangan emisi sangatlah mahal (dan
karenanya tidak mungkin dilakukan). Satu hal yang tidak dapat dipungkiri
adalah bahwa pada abad 20, temperatur rata-rata bumi naik 0,4-0,8oC.
Kenaikan ini diduga akan terus berlangsung, dan pada tahun 2100 temperatur
rata-rata global akan menjadi 1,4-5,8oC lebih hangat1. Salah satu antisipasi
terhadap efek pemanasan global tersebut adalah pada naiknya kemungkinan
frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem, seperti badai, banjir, dan
kekeringan.
SEBAB-SEBAB PERUBAHAN IKLIM DILIHAT DARI
PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Penelitian mengenai hubungan antara perubahan iklim selalu dikaitkan
dengan perilaku manusia dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber
daya alam. Pada dekade 70an, penelitian mengenai kerusakan lingkungan
lebih ditekankan kepada tindakan manusia yang mengeksploitasi serta
mencemari lingkungan sehingga mengubah perilaku alam itu sendiri. Namun
pada dekade 80an, penelitian bergeser lebih kepada kebijakan-kebijakan
yang bersifat politis, ekonomis, dan budaya suatu negara dalam
hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan
bahwa kerusakan lingkungan adalah bersifat global, artinya bagaimana
Pemerintah mengeluarkan rangkaian kebijakan dalam mengatur pengelolaan
lingkungan, terutama sektor industrinya.
Sosiologi lingkungan merupakan kajian komunitas dalam arti yang sangat
luas (Bell 1998). Orang, binatang, lahan dan tanaman yang tumbuh di
atasnya, air, udara – semuanya memiliki hubungan kait mengait yang sangat
erat. Bersama-sama mereka membentuk semacam solidaritas, yang
kemudian kita sebut dengan ekologi. Seperti dalam banyak komunitas,
mereka juga mengalami konflik ditengah-tengah hubungan tersebut. Sosiolog
lingkungan mengkaji komunitas terluas tersebut dengan maksud untuk
memahami asal usul, dan solusi yang diusulkan dari seluruh konflik sosial dan
biofisik yang sangat nyata.1
Masalah lingkungan tidak hanya berupa masalah teknologi dan industri,
ekologi dan biologi, pengendalian polusi dan pencegahan polusi. Masalah
lingkungan juga berupa masalah sosial. Masalah lingkungan adalah masalah
bagi masyarakat – merupakan masalah yang mengancam pola-pola
organisasi sosial yang ada dalam masyarakat 2. Adalah manusia yang
menciptakan masalah lingkungan, dan manusia juga yang harus mencari
jalan keluarnya. Berangkat dari hal inilah dibutuhkan kehadiran teori sosiologi
lingkungan. Ekologi sering digambarkan sebagai kajian tentang komunitas
alam. Sementara sosiologi digambarkan sebagai kajian tentang komunitas
manusia. Sosiologi lingkungan merupakan kajian keduanya secara bersama-
sama, dimana bumi yang satu harus kita tinggali bersama-sama, kadang-
kadang dengan rasa enggan (tidak suka), dengan manusia lain, bentuk
kehidupan lain, dan batu, air, tanah dan udara yang mendukung seluruh
kehidupan.
Perilaku global terutama yang berkaitan dengan kebijakan politis dan ekonomi
merupakan penyumbang utama perubahan ekologi yang dianggap
berkontribusi besar dalam perubahan iklim. Penelitian terbaru tentang
perubahan iklim menggaris bawahi bahwa ada korelasi yang erat antara
kegiatan ekonomi, kebijkan politik, peningkatan jumlah penduduk dan
peningkatan emisi gas karbondiaoksida. Hal yang menarik adalah perbedaan
yang signifikan mengenai jumlah emisi yang dihasilkan bila dihubungkan
dengan perilaku serta aktivitas masyarakat. Dimana masyarakat dengan
1
Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 2007: Synthesis Report,
Summary for Policymakers (Cambridge University Press, 2007
2
John Bellamy Foster, “Marx’s Theory of Metabolic Rift: Classical Foundations for
Environmental Sociology.” American Journal of Sociology 105
mayoritas bermata pencaharian agraris akan mengkomsumsi energi lebih
sedikit dibandingkan dengan sektor industri. Namun pergeseran kebijakan
negara pada saat ini lebih bergeser untuk meningkatkan sektor industri
karena dianggap lebih berperan secara ekonomis dalam pasar global,
walaupun secara ekologis lebih merugikan.
Berikut ini adalah gambaran tentang bagaimana kerugian itu terjadi, antara
lain:
1. Karena Banjir dan Badai Tahunan. Penduduk Banglades termasuk salah
satu masyarakat yang paling menderita karena juitaan jiwa dihantam
banjir dan badai tahunan.
2. Karena Kekeringan Massal. Para petani di Uganda salah satu kelompok
3
http://wahyuancol.wordpress.com/2009/06/02 diakses pada tanggal 8 Desember 2010
yang dihantam kekeringan massal.
3. Karena Kenaikan Muka Laut. Penduduk di pulau-pulau kecil, seperti di
Karibia dan Pasifik terancam kehilangan wilayah karena kanaikan muka
laut.
Dalam laporan itu juga menyebutkan, bila tidak ada penanganan berarti,
maka pada 2030 kematian global akibat perubahan iklim akan mendekati
setengah juta jiwa per tahun. Kerugian finansial mencapai 300 miliar dollar
AS. 4Beberapa dampak yang diramalkan akan timbul antara lain :
Kekeringan yang lebih parah dan berlangsung lebih lama telah terlihat di
semakin banyak wilayah sejak tahun 1970-an, terutama di kawasan tropis
dan sub-tropis. Suhu yang lebih tinggi dan berkurangnya curah hujan telah
meningkatkan prevalensi kondisi-kondisi lebih kering serta berkontribusi pada
perubahan-perubahan dalam penyebaran kekeringan. Perubahan-perubahan
pada suhu permukaan laut, pola angin, dan berkurangnya salju yang turun
serta luas wilayah yang tertutup salju juga berkaitan dengan perubahan
kekeringan. Perubahan-perubahan meluas dalam suhu ekstrim telah teramati
di banyak wilayah di dunia dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini; yang
paling jelas adalah peningkatan frekuensi dari suhu udara siang dan malam
yang lebih tinggi dan peningkatan frekuensi dari panas.
Suatu penelitian memperkirakan bahwa paduan kenaikan muka air laut
setinggi 0,5 meter dan turunnya tanah yang terus berlanjut dapat
menyebabkan enam lokasi terendam secara permanen dengan total populasi
sekitar 270,000 jiwa, yakni: tiga di Jakarta – Kosambi, Penjaringan dan
Cilincing; dan tiga di Bekasi – Muaragembong, Babelan dan
Tarumajaya.Banyak wilayah lain di negeri ini juga akhir-akhir ini baru dilanda
bencana banjir. Banjir besar di Aceh, misalnya, di penghujung tahun 2006
menewaskan 96 orang dan membuat mengungsi 110,000 orang yang
kehilangan sumber penghidupan dan harta benda mereka. Pada tahun 2007
di Sinjai, Sulawesi Selatan banjir yang berlangsung berhari-hari telah
merusak jalan dan memutus jembatan, serta mengucilkan 200.000 penduduk.
Selanjutnya masih pada tahun itu,banjir dan longsor yang melanda Morowali,
Sulawesi Utara memaksa 3.000 orang mengungsi ke tenda-tenda dan barak-
barak darurat.6
Dalam skala kecil, mitigasi bisa berupa gerakan cinta lingkungan seperti
pengelolaan sampah, bike to work, mengurangi penggunaan plastik,
menggunakan AC yang non CFC, hemat energi dan lain sebagainya.
Sedangkan beradaptasi dapat dilakukan dengan melakukan penataan
lansekap lingkungan, penghijauan, menjaga daerah resapan, re-use,
recycling dan lain-lain. Strategi mitigasi dan adaptasi dalam skala yang lebih
luas bisa banyak sekali. Misalnya pencarian energi alternatif, teknologi dam
untuk negara yang berpesisir atau kepulauan seperti maladewa yang cuma
beberapa meter di atas permukaan laut, desain rumah hemat energi,
kendaraan listrik bahkan penjelajahan kemungkinan planet-planet yang bisa
didiami manusia.
Semua upaya ini juga harus dipadukan ke dalam berbagai upaya di tingkat
masyarakat dan rumah tangga. Bagaimanapun, masyarakat sudah
berpengalaman lama dalam beradaptasi – dengan berbagai tindakan yang
sudah dipraktikkan selama berabad-abad. Orang-orang yang tinggal di
wilayah yang rentan banjir sejak dulu membangun rumah panggung dan
banyak masyarakat masa kini masih meneruskan praktik ini, meski bahan-
bahan yang digunakan sudah modern seperti tiang beton atau genteng besi.
Di wilayah rawan longsor, orang-orang membangun tanggul penahan longsor
yang kukuh. Para petani yang terpapar kemarau panjang sudah belajar untuk
mendiversifikasikan sumber pendapatan mereka, menanam tanaman pangan
yang tahan kekeringan dan mengoptimalkan penggunaan air yang terbatas,
bahkan bermigrasi sementara untuk mencari pekerjaan di tempat lain.
Apakah itu melalui prakarsa di tingkat publik atau individual, adaptasi
globalplatform/first-session/docs/media_docs/Info_Note_1_HL_dialogue_Climate_Change.pdf.
hendaknya mencakup penguatan sumber-sumber penghidupan dan
mengurangi kerentanannya.Hal ini akan mempersyaratkan suatu perubahan
dalam arah pembangunan.
KESIMPULAN
Keterkaitan antara ilmu sosiologi dengan perubahan iklim secara langsung
berhubungan dengan perilaku manusia secara global dalam menghargai
ekosistem tempat manusia tinggal. Ilmu sosiologi tidak hanya bertujuan untuk
mempelajarai bagaimana sebenarnya dampak fenomena perubahan iklim
terhadap perilaku global namun juga memberikan analisa mengenai
kebijakan-kebijakan yang perlu diambil untuk proses mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim. Isu kerentanan terhadap ancaman-ancaman alam
dan risiko bencana harus tetap menjadi isu utama dalam diskusi-diskusi, dan
kemajuan harus dicapai untuk dapat dengan efektif dan memadai menangani
risiko yang terus meningkat. Kita perlu segera menciptakan kapasitas
beradaptasi, untuk meningkatkan ketangguhan terhadap ancaman-ancaman
yang akan datang, serta untuk mengurangi tingkat risiko bencana yang ada
saat ini yang terus berkembang.
8
http://www.bintari.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59%3Aadaptasi-dan-
mitigasi-perubahan-iklim-melalui-wanatani-yang-berkelanjutan diakses pada 7 Desember 2010