You are on page 1of 4

Hukum Gaji Isteri untuk Suami

Selasa, 02/12/2008 10:30 WIB | email | print | share

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz Sigit yang dirahmati Allah...

Ustadz, saya mau tanya mengenai status pendapatan istri. Istri bekerja dan gajinya
digunakan untuk menutupi kekurangan gaji suami. Tapi, pendapatan lain suami di luar gaji
ia pegang sendiri, dan istri tidak berhak. Sementara, gaji suami masih kurang untuk
menutupi kebutuhan istri, apa hukumnya bagi suami.

Bolehkah istri menyimpan pendapatanya untuk kepentingan keluarga istri. Dan siapakah 
yang berkewajiban menafkahi anak istri/anak tiri suami?

Wassalamu'alaikum wr. wb.

akhwat

Jawaban

Waalikumussalam Wr Wb

Kewajiban memberikan nafkah keluarga

Islam mewajibkan seorang suami untuk memberikan nafkah kepada keluarganya sesuai
dengan batas kemampuannya, berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan ijma para
ulama :

1. Firman Allah swt,”..Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”
(QS. Al Baqoroh : 233)

2. Firman Allah swt,”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka.” (QS. Ath Thalaq : 6)
3. Sabda Rasulullah saw,”Berilah dia (istrimu) makan tatkala kamu makan, berilah dia
pakaian tatkala kamu berpakaian..” (HR. Abu Daud)

4. Adapun ijma; dikarenakan umat telah bersepakat dalam hal ini.

Nafkah di sini adalah memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal,
pembantu rumah tangga, perabotan, dan pengobatan istri ketika sakit.

Pemberian nafkah ini adalah menjadi hak yang harus diterima seorang istri yang telah diikat
dengan ikatan perkawinan yang sah dan telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada
suaminya. Maka ketika haknya tidak dipenuhi oleh suaminya sementara ia mempunyai
kemampuan dan kesanggupan sungguh ia telah berlaku zhalim terhadapnya.

Adapun besaran dari nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada keluarganya
sangatlah tergantung kepada kemampuan si suami. Semakin tinggi kelas ekonominya maka
ia harus semakin memberikan kelayakan hidup bagi keluarganya dan sebaliknya ketika
suami memiliki tingkat ekonomi yang rendah maka si istri juga harus bisa memahaminya
tanpa harus menuntutnya dengan sesuatu yang diluar batas kemampuan dan
kesanggupannya.

Sedekah Istri kepada Suami

Pada dasarnya tugas seorang wanita (ibu) adalah di rumahnya memberikan pelayanan
terbaik buat suaminya, mendidik anak-anaknya dan mempersiapkan mereka untuk menjadi
generasi terbaik umat ini. Tugas yang tidak bisa dilakukan kecuali melalui tangan seorang
ibu. Pekerjaan ini tidaklah kalah beratnya dengan suaminya yang keluar mencari nafkah.
Pekerjaan yang membutuhkan keseriusan, ketelatenan, kecerdasan dan keistiqomahan
serta tidak ada batas waktu kerja melainkan full 24 jam berbeda dengan pekerjaan seorang
suami di luar rumah.

Untuk itu wajar ketika dikatakan bahwa ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya, ibulah yang
mencetak karakter dan sifat seorang anak, menanamkan pola fakir dan akhlaknya serta
memberikan dasar-dasar ketahanan didalam dirinya untuk mengarungi masa depannya.
Namun demikian bukan berarti seorang wanita dilarang (diharamkan) menurut syariat
bekerja di luar rumah karena pada dasarnya asal segala sesuatu itu mubah (dibolehkan)
ketika tidak ada keterangan dari syara’ yang melarangnya.

Terkadang wanita dituntut bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, seperti jika dia seorang
janda yang mempunyai anak-anak yang masih kecil, atau ia hidup sebatang kara,
penghasilan suami yang tidak mencukupi kebutuhan harian keluarganya meskipun dia
sudah menghabiskan waktunya untuk itu, atau membantu orang tuannya yang sudah tua
dan lainnya.

Atau terkadang lapangan pekerjaan di masyarakat yang membutuhkan para wanita, seperti
guru wanita untuk anak-anak wanita, perawat, bidan, dokter kandungan dan lainnya. Setiap
wanita yang bekerja di luar rumah juga dituntut untuk tetap bisa menjaga diri dan
kehormatannya serta menghindarkan hal-hal yang bisa menjatuhkan dirinya ke dalam
fitnah.

Adapun penghasilan yang didapat seorang istri dalam pekerjaannya adalah hak dia
sepenuhnya dan dia berhak membelanjakannya sesuai dengan keinginannya. Tidak
dibolehkan bagi seorang suami untuk terlalu intervensi didalamnya akan tetapi
diperbolehkan baginya memberikan pertimbangan dan menasehatinya manakala ada
kesalahan dalam membelanjakannya.

Seorang suami tidak berhak melarangnya untuk berinfak dan bersedekah kepada siapapun
yang dikehendakinya atau membelanjakannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun
demikian si istri tetap dituntut untuk bijak didalam membelanjakan dan mensedekahkan
harta tersebut. Ia juga harus bisa menentukan skala prioritas didalam membelanjakannya
janganlah dia mendahulukan sesuatu yang komplemen dari pada yang sekunder atau yang
sekunder daripada yang primer.

Sebagaimana ditunjukan didalam sebuah hadits saat datang Zaenab istri Ibnu Mas’ud ke
rumah Rasulullah saw dan meminta izin dari beliau saw. Dikatakan kepada Rasulullah saw,
”Wahai Rasulullah saw ini Zaenab.” Beliau saw bertanya, ’Zaenab yang mana?’ Dijawab,
’istrinya Ibnu Masud.’ Beliau saw berkata, ’Ya silahkan.’ maka diizinkanlah dia untuk masuk.
Dia bertanya, ’Wahai Nabi Allah, pada hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah.
Aku mempunyai perhiasan dan aku ingin sedekahkan sedang aku melihat bahwa Ibnu
Masud dan anaknya lebih berhak untuk menerima sedekahku.’ Kemudian Nabi saw
bersabda, ’Ibnu Mas’ud suamimu dan anak lelakimu lebih berhak untuk menerima
sedekah.” (HR. Bukhori)

Wallahu A’lam

http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/kewajiban-suami-yang-di-limpahkan-ke-istri.htm

You might also like