You are on page 1of 49

MAKALAH SEJARAH

Proses Peralihan Kekuasaan Politik setelah Peristiwa


G30S/PKI

*
***
***
***
***
***
***
*
Di susun oleh :

Aminah Cendrakasih

Kelas :

XII IPA 1

Guru Pembimbing :

D.Ra.Ronny Setyawati

SMA N 1 BATANGHARI

TAHUN AJARAN 2010/2011

Jum’at, 4 Februari 2011

PEMERINTAH INDONESIA SEJAK PROKLAMASI

HINGGA DEMOKRASI TERPIMPIN

A. Upaya Mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia

1. Persiapan Kemerdekaan Indonesia

1 Maret 1945, Jenderal Kumakichi Harada mengumumkan


dibentuknya suatu badan khusus yang bertugas menyelidiki
usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yang bernama
Dokuritsu Junbi Chosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI).

Badan ini bertujuan untuk mempelajari dan mempersiapkan hal-hal penting mengenai masalah tata
pemerintahan Indonesia Merdeka. Anggota dari badan penyelidik ini terdiri atas 60 orang tokoh bangsa
Indonesia dan 7 orang bangsa Jepang. Sebagai ketua ditunjuk KRT Radjiman Widyodiningrat dan wakil
ketua, yaitu R. Surono, dan seorang lagi dari orang Jepang.

Badan penyelidik ini diresmikan pada 29 Mei 1945, yang dihadiri oleh seluruh anggota dan dua
orang pembesar militer Jepang, yaitu Jenderal Izagaki dan Jenderal Yuichiro Nagano. Sidang ini
membicarakan dasar filsafat Negara Indonesia Merdeka yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Tokoh-
tokoh yang mengusulkan Dasar Negara itu diantaranya Mr. Muh. Yamin, Prof. Dr. Supomo, dan Ir.
Soekarno.

1. Pada sidang tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muh. Yamin mengajukan lima rancangan dasar Negara Indonesia
Merdeka, diantaranya:

a) Peri Kebangsaan

b) Peri Kemanusiaan

c) Peri Ketuhanan

d) Peri Kerakyatan

e) Kesejahteraan Rakyat

2. Pada sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Supomo mengajukan lima rancangan dasar Negara Indonesia
Merdeka, yaitu:

a) Persatuan

b) Kekeluargaan

c) Mufakat dan Demokrasi

d) Musyawarah

e) Keadilan Sosial

3. Pada sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengajukan lima rancangan dasar Negara Indonesia
Merdeka, yang diberi nama Pancasila (nama yang diajukan oleh seorang ahli bahasa yang duduk
disampingnya). Kelima rancangan yag diajukan itu diantaranya:

a) Kebangsaan Indonesia
b) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan

c) Mufakat dan Demokrasi

d) Kesejahteraan Sosial

e) Ketuhanan Yang Maha Esa

Setelah persidangan pertama itu selesai, BPUPKI menunda


persidangan hingga bulan Juli 1945. Namun pada tanggal 22
Juni 1945, Sembilan orang anggota yaitu Ir. Soekarno, Drs.
Moh. Hatta, Mr. Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr.
A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wachid Hasyim, H.
Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso membentuk Panitia
Sembilan atau Panitia Kecil. Panitia Sembilan ini
menghasilkan dokumen yang berisi asas dan tujuan Negara
Indonesia Merdeka. Dokumen ini dikenal dengan Piagam Djakarta, yang isinya:

1. Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi para pemeluknya.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan

5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia

Piagam Djakarta kemudian menjadi Mukadimah Undang-undang Dasar 1945. Piagam Djakarta
kemudian dirubah pada sila pertama, yaitu dari “Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat-
syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai menggantikan BPUPKI. Pada tanggal 9 Agustus
1945, tiga orang tokoh bangsa Indonesia yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Dr. Radjiman
Widyodiningrat berangkat ke Saigon/ Dalat (Vietnam Selatan) untuk memenuhi panggilan Panglima
Mandala Asia Tenggara, Marsekal Terauchi guna menerima informasi tentang kemerdekaan Indonesia.
Untuk pelaksanaannya dibentuk PPKI dan wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas jajahan Belanda.

Anggota PPKI terdiri atas 21 orang dengan ketuanya Ir. Soekarno dan Wakil Ketua Drs. Moh. Hatta.
Namun, tanpa seizin Jepang, PPKI diambil alih oleh pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia dengan
menambah keanggotaannya menjadi 27 orang.
2. Landasan Dasar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Landasan Dasar Nasional

Landasan dasar nasional kemerdekaan Indonesia tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Pokok-
pokok isi pembukaan UUD 1945 adalah :

a. Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadialan.

b. Dan perjuangan kemerdekaan itu telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, berdaulat,
adil dan makmur.

c. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

d. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia di dalam
suatu undang-undang dasar negara yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu

5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia

Landasan Dasar Internasional

Landasan dasar Internasional kemerdekaan Indonesia sebagai bukti tentang hak-hak dari segala
bangsa yang ada di muka bumi dapat kita lihat dalam deklarasi-deklarasi atau piagam-piagam bersejarah
seperti :

1. Piagam Atlantik (Atlantic Charter), 14 Agustus 1941 yang ditandatangani oleh Franklin Delano Roosevelt
(Presiden Amerika Serikat) dengan Winston Churchill (Perdana Menteri Inggris). Isi pokok dari piagam itu
adalah:
a) tidak boleh ada perluasan daerah tanpa persetujuan dari penduduk asli.

b) setiap bangsa berhak menentukan dan menetapkan nasib sendiri.

c) setiap bangsa berhak mendapat kesempatan untuk bebas dari rasa takut dan
bebas dari kemiskinan.

2. Piagam San Francisco, merupakam piagam PBB yang ditandatangani oleh 50 negara yang pertama
menjadi anggota PBB. Dalam piagam ini disebutkan :

“ … kami akan menegak keyakinan akan dasar-dasar hak manusia sebagai manusia sesuai dengan
harkat dan derajat manusia berdasarkan atas hak-hak yang sama … serta berusaha memajukan rakyat dan
tingkat kehidupan yang lebih baik dalam suasana kemerdekaan yang lebih luas”.

B. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

1. Peristiwa Rengasdengklok

Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik semakin jelas dengan dijatuhkannya bom atom oleh Sekutu
di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Kepastian berita
kekalahan Jepang terjawab ketika tanggal 15 Agustus 1945 dini hari, Sekutu mengumumkan bahwa Jepang
sudah menyerah tanpa syarat dan perang telah berakhir.

Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Jepang masih tetap berkuasa atas
Indonesia meskipun telah menyerah. Adanya kekosongan kekuasaan menyebabkan munculnya konflik antara
golongan muda dan golongan tua mengenai masalah
kemerdekaan Indonesia. Golongan muda menginginkan agar
proklamasi kemerdekaan segera dikumandangkan. Mereka itu
antara lain Sukarni, B.M Diah, Yusuf Kunto, Wikana, Sayuti
Melik, Adam Malik, dan Chaerul Saleh. Sedangkan golongan
tua menginginkan proklamasi kemerdekaan harus dirapatkan
dulu dengan anggota PPKI. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs.
Moh. Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Moh. Yamin, Dr.
Buntaran, Dr. Syamsi dan Mr. Iwa Kusumasumantri.
Golongan muda kemudian mengadakan rapat di salah satu
ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1945 pukul 20.00
WIB. Rapat tersebut dipimpin oleh Chaerul Saleh yang menghasilkan keputusan tuntutan-tuntutan golongan
muda yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hal dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak
dapat digantungkan kepada bangsa lain. Segala ikatan, hubungan dan janji kemerdekaan harus diputus, dan
sebaliknya perlu mengadakan perundingan dengan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta agar kelompok
pemuda diikutsertakan dalam menyatakan proklamasi.

Malam itu juga sekitar jam 22.00 WIB Wikana dan Darwis
mendesak Soekarno agar bersedia melaksanakan proklamasi
kemerdekaan Indonesia secepatnya. Ternyata usaha tersebut
gagal. Soekarno tetap tidak mau memproklamasikan
kemerdekaan. Kuatnya pendirian Ir. Soekarno untuk tidak
memproklamasikan kemerdekaan sebelum rapat PPKI
menyebabkan golongan muda berpikir bahwa golongan tua
mendapat pengaruh dari Jepang.

Selanjutnya golongan muda mengadakan rapat di Jalan Cikini 71 Jakarta pada pukul 24.00 WIB
menjelang. Mereka membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Rapat tersebut menghasilkan
keputusan bahwa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta harus diamankan dari pengaruh Jepang, agar kedua tokoh
tidak terpengaruh Jepang dan mendesak keduanya supaya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Hatta telah dibawa oleh Sukarni, Yusuf Kunto,
dan Syudanco Singgih, pada malam harinya ke garnisun PETA (Pembela Tanah Air) di Rengasdengklok,
sebelah Utara Karawang. Secara geografis, Rengasdengklok letaknya terpencil, sehingga dapat dilakukan
deteksi dengan mudah setiap gerakan tentara Jepang yang menuju Rengasdengklok, baik dari arah Jakarta,
Bandung, atau Jawa Tengah.

Akhirnya Ahmad Subardjo, Sudiro, dan Yusuf Kunto


segera menuju Rengasdengklok. Rombongan tersebut tiba di
Rengasdengklok pukul 17.30 WIB. Peranan Ahmad Subardjo
sangat penting dalam peristiwa kembalinya Soekarno Hatta
ke Jakarta, sebab mampu meyakinkan para pemuda bahwa
proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan keesokan harinya
paling lambat pukul 12.00 WIB, nyawanya sebagai jaminan.
Akhirnya Subeno sebagai komandan kompi Peta setempat
bersedia melepaskan Soekarno Hatta ke Jakarta.
2. Perumusan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Sekitar pukul 21.00 WIB Soekarno Hatta sudah sampai di Jakarta dan langsung menuju ke rumah
Laksamana Muda Maeda, Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta untuk menyusun teks proklamasi. Dalam kondisi
demikian, peran Laksamana Maeda cukup penting. Berikut ini tokoh-tokoh yang berperan dalam
Penyusunan Teks Proklamasi.

3. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Soekarno mengusulkan agar semua yang hadir


dalam rapat tersebut menandatangani naskah proklamasi
sebagai ”Wakil-wakil Bangsa Indonesia”. Usulan
Soekarno tidak disetujui para pemuda sebab sebagian
besar yang hadir adalah anggota PPKI, dan PPKI
dianggap sebagai badan bentukan Jepang. Kemudian
Sukarni menyarankan agar Soekarno Hatta yang
menandatangani teks proklamasi atas nama bangsa
Indonesia. Saran dan usulan Sukarni diterima.

Selanjutnya, Soekarno minta kepada Sayuti Melik untuk mengetik konsep teks proklamasi dengan
beberapa perubahan, kemudian ditandatangani oleh Soekarno Hatta. Perubahan-perubahan tersebut meliputi:
a. kata “ tempoh” diubah menjadi tempo,
b. wakil-wakil bangsa Indonesia diubah menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”, dan
c. tulisan “Djakarta, 17-8-’05“ diubah menjadi Djakarta, hari 17 boelan 8 tahun ‘05.

Naskah hasil ketikan Sayuti Melik merupakan naskah proklamasi yang autentik. Malam itu juga
diputuskan bahwa naskah proklamasi akan dibacakan pukul 10.00 pagi. Pagi hari tanggal 17 Agustus 1945
kurang lebih pukul 09.55 WIB, Drs. Mohammad Hatta telah datang dan langsung menemui Ir. Soekarno.
Pukul 10.00 WIB Soekarno menyampaikan pidatonya, yang berbunyi:
C. Penyebarluasan Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
1. Penyebarluasan Berita Proklamasi
Penyebaran proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di
daerah Jakarta dapat dilakukan secara cepat dan segera
menyebar secara luas. Pada hari itu juga, teks proklamasi
telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor
Domei, Waidan B. Palenewen. Ia menerima teks proklamasi
dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin.
Kemudian ia memerintahkan F. Wuz supaya berita
proklamasi disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F.
Wuz melaksanakan tugas, masuklah orang Jepang ke ruangan
sambil marah-marah.

Meskipun orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, tetapi Waidan
Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi kemerdekaan diulangi setiap
setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara
Jepang di Jawa memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada tanggal 20
Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang. Namun para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro
ternyata membuat pemancar baru. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan
DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.

Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita proklamasi.
Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster,
maupun coretan pada dinding tembok dan gerbong kereta api. Di samping melalui media massa, berita
proklamasi juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI.
2. Dukungan Rakyat Terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
a. Rapat Raksasa di Lapangan Ikada

Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945


menimbulkan masalah baru karena Belanda tidak setuju
dengan kemerdekaan Indonesia. Hal itu mendorong para
pemuda Jakarta yang tergabung dalam komite Van Aksi
Menteng 31 untuk mengerahkan masa ke Lapangan Ikada.
Pada 19 September 1945 Masa berbondong-bondong
membanjiri Lapangan Ikada untuk menggelar rapat Kaksasa.
Dalam rapat itu presiden meminta kepercayaan dan dukungan
rakyat.
Sekitar 200.000 orang hadir dalam pertemuan tersebut. Rapat Ikada dihadiri oleh Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta sejumlah menteri. Setelah mendengar pidato Bung Karno, rakyat
berangsur-angsur pulang dengan tertib.

b. Pernyataan Sri Sultan Hamengku buwono IX

Di masa penjajahan Hindia-Belanda kesultanan Yogyakarta merupakan salah satu pecahan


kesultanan Mataram berdasarkan perjanjian Gianti 1757 dan perjanjian Salatiga.
Sri Sultan Hamengkubuono IX dengan spontan menyatakan bergabung dengan RI. Atas dukungan dari
Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku buwono IX memberikan pernyataan sebagai
berikut.
Kami Sri Sultan Hamengku buwono IX, Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat menyatakan:
1. Bahwa negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara
Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta
Hadiningrat dan oleh karena itu, berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan
pemerintahan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan
kekuasaan-kekuasaan lain kami pegang seluruhnya.
3. Bahwa hubungan antara negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah pusat Negara Republik
Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden
Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat
mengindahkan amanat kami ini.

Ngayogyakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe, 1876 (1 September 1945).


Hamengku buwono IX

3. Tindakan-tindakan Heroik di Berbagai Kota


Di Surabaya
Di Surabaya selama Bulan September terjadi perebutan
senjata, markas-markas Jepang, dan pabrik-pabrik di seluruh
kota. Pada 25 Oktober 1945, 2 perwira utusan Brigjen
Mallaby menemui Gubernur Surjo dan memaksa Gubernur
menghadap kekapal Sekutu yang bersandar di Pelabuhan
Tanjung Perak. Keadaan inilah yang membakar pecahnya
perang 10 November 1945 di Surabaya, yang sekarang ini
diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Di Yogyakarta

Di Yogyakarta perebutan kekuasaan dimulai pada 26 September 1945. Mereka memaksa Jepang
untuk menyerahkan semua kantor kepada pihak Indonesia. Pada 26 September 1945 KNI Yogyakarta
mengumumkan berdirinya pemerintah RI di Indonesia. Pada 1 Oktober malam, BKR dan kepolisia menyerbu
Tongsi Otsuka Butai yang berada di kota baru. Malam itu juga Otsuka Butai menyerah.

Di Semarang
Di Semarang antara 15-20 Oktober 1945 pecah pertempuran Lima Hari. Insiden ini, bermula dari
gugurnya Dr. Karyadi yang sedang memeriksa keadaan air minum di Candi yang sedang diisu telah
meracuni Jepang.

Di Sulawesi Selatan
Para pemuda mendukung Gubernur Sulawesi Dr. Sam Ratulangi dengan merebut gedung-gedung
Vital dari tangi polisi. Di Gorontalo para pemuda berhasil merebut senjata dari markas-markas Jepang pada
13 Sepember 1945. Di Sumbawa pada Desember 1945 berusaha merebut markas-markas Jepang. Pada 13
Desember 1945 secara serentak para pemuda melakukan penyerangan terhadap Jepang.

Di Kalimantan
Di Kalimantan dukungan Proklamasi Kemerdekaan dilakukan dengan berdemokrasi, pengibaran
Bendera Merah-Putih dan mengadakan rapat-rapat. Pada 14 November 1945 dengan beraninya sekitar 8000
orang berkumpul di komplek NICA dengan mengarak Bendera Merah-Putih.

Di Sumbawa
Pada bulan Desember 1945, para pemuda Indonesia di Sumbawa melakukan aksi. Mereka
melakukan perebutan terhadap pos-pos militer Jepang, yaitu terjadi di Gempe, Sape, dan Raba.

Di Bali
Para pemuda Bali membentuk beberapa organisasi dalam rangka mempertahankan dan menegakkan
kedaulatan Indonesia. Organisasi pemuda itu, antara lain AMI (Angkatan Muda Indonesia) dan PRI (Pemuda
Republik Indonesia). Organisasi pemuda itu berusaha menegakkan kedaulatan RI melalui perundingan, tetapi
mandapat hambatan dari pihak Jepang. Pada tanggal 13 Desember 1945, mereka secara serentak melakukan
gerakan untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.

Di Biak
Pada tanggal 14 Maret 1948 terjadi pemberontakan di Biak (Papua) dengan sasaran Kamp NICA dan
tangsi Sorido. Pemberontakan itu gagal dan dua orang pemimpinnya dihukum mati, sedangkan yang lainnya
dihukum seumur hidup.

Di Aceh
Di Aceh pada 6 Oktober 1945 para pemuda dan took masyarakat membentuk Angkatan Pemuda
Indonesia (API) 6 Hri kemudian Jepang melarang berdirinya organisasi tersebut. Pimpinan pemuda menolah
dan timbullah pertempuran. Para pemuda mengambil alih kanto-kantor pemerintsh Jepang, melucuti
senjatanya dan mengibarkan Bendera Merah-Putih.

Di Sumatera Selatan
Di Palembang pada 8 Oktober 1945 Dr.A.K.Gani memimpin rakyat mengadakan upacar pengibarab
Bendera Merah-Putih. Perekutan kekuasaan di Plembnag dilakukan tanpa Insiden. Pihak Jepang berusaha
menghindari pertempuran.

D. Pembentukan Pemerintahan dan Kelengkapan Negara Indonesia


1. Proses Terbentuknya Negara dan Pemerintahan Republik Indonesia
Negara RI yang dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 pada kenyataannya belum sempurna
sebagai suatu negara. Oleh karena itu langkah yang diambil oleh para pemimpin negara melalui PPKI adalah
menyusun konstitusi negara dan membentuk alat kelengkapan negara. Untuk itu PPKI mengadakan sidang
sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, 19 Agustus 1945, dan 22 Agustus 1945.
Sebelum rapat dimulai, muncul permasalahan yang disampaikan oleh wakil dari luar Jawa, yang
menyampaikan keresahan penduduk non-Islam mengenai kalimat dalam Piagam Jakarta yang nantinya akan
dijadikan rancangan pembukaan dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Kalimat yang
dimaksud adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi para pemeluknya”, serta
“syarat seorang kepala negara haruslah seorang muslim”. Untuk mengatasi masalah tersebut Drs.
Mohammad Hatta beserta Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasyim, Mr. Kasman Singadimedjo, dan Mr.
Teuku Mohammad Hassan membicarakannya secara khusus. Akhirnya dengan mempertimbangkan
kepentingan yang lebih luas, rumusan kalimat dihapus sehingga menjadi berbunyi “ Ketuhanan Yang Maha
Esa” dan syarat seorang kepala negara adalah orang Indonesia asli.
2. Pembentukan Komite Nasional dan Daerah

Dalam rapat PPKI tanggal 22 Agustus 1945 di Gedung


Kebaktian Rakyat Jawa dibahas tiga masalah utama yang
pernah dibicarakan dalam sidang sebelumnya. Pertemuan itu
dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Hasil yang dapat dicapai
adalah sebagai berikut.
1. KNI (Komite Nasional Indonesia merupakan badan atau lembaga yang berfungsi sebagai Lembaga
Perwakilan Rakyat sebelum dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu). KNI ini disusun dari tingkat
pusat hingga ke tingkat daerah.
2. PNI (Partai Nasional Indonesia) dirancang menjadi partai tunggal Negara Republik Indonesia, tetapi
dibatalkan.
3. BKR (Badan Keamanan Rakyat) berfungsi sebagai penjaga keamanan umum pada tiap-tiap daerah.

Kemudian dalam rapat KNIP tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden Republik Indonesia
mengeluarkan keputusan nomor X yang isinya memberikan kekuasaan dan wewenang legislative kepada
KNIP untuk ikut serta dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebelum MPR terbentuk
dalam pemilu. Kemudian atas desakan Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP)
Sutan Syahrir, pada tanggal 3 Nopember 1945 pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik yang
ditandatangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia. Isi dari Maklumat Politik itu adalah sebagai berikut.

1. Pemerintah menghendaki adanya partai-partai politik, karena partai politik itu dapat membuka jalan bagi
semua aliran atau paham yang ada dalam masyarakat.

2. Pemerintah menghendaki adanya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum dilaksanakannya
pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bula Januari 1946.

3. Pembentukan Alat Kelengkapan Keamanan Negara

Setelah mendengar laporan panitia kecil yang dipimpin


oleh Ahmad Subardjo, rapat dilanjutkan dengan membahas
masalah pertahanan dan keamanan Negara. Panitia kecil
yang membahas masalah pertahanan dan keamanan Negara
itu dipimpin oleh Otto Iskandardinata. Panitia kecil itu
mengusulkan sebagai berikut.

1. Rencana pembelaan negara dari BPUPKI yang


mengandung unsure politik perang, tidak dapat diterima.

2.Tentang PETA di Jawa dan Bali serta Laskar Rakyat di


Sumatera dibubarkan, karena merupakan organisasi buatan Jepang yang kedudukannya di dalam dunia
Internasional tidak memiliki ketentuan dan kekuatan hokum. Indonesia membutuhkan alat pertahanan
Negara yang sebaik-baiknya.
Pada tanggal 5 Oktober, dikeluarkan Maklumat Presiden
yang menyatakan berdirinya TKR (Tentara Keamanan
Rakyat). Pemimpin TKR yang ditunjuk Presiden adalah
Supriyadi, yaitu tokoh pemberontakan PETA terdahap
Jepang di Blitar. Dan pemilihan Soedirman menjadi
Panglima Tertinggi merupakan titik tolak perkembangan
organisasi kekuatan pertahanan dan keamanan.TKR berubah
namanya menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada
tahun 1946 dan pada bulan Juni 1947 dibentuk TNI (Tentara
Nasional Indonesia).

4. Pembentukan Lembaga Pemerintahan di Daerah

Untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan, dibentuklah perangkat-perangkat atau lembaga-


lembaga daerah dengan tugas dan wewenang yang telah diatur perundang-undangannya. Lembaga-lembaga
pemerintahan yang terdapat di daerah-daerah seperti.

• Lembaga Pemerintahan Daerah; dipimpin oleh seorang kepala daerah dengan tugas dan wewenangnya
adalah menjalankan pemerintahan atas daerah yang dikuasainya.
• Lembaga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNI-D); Lembaga ini sebagai tindak lanjut dari
pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNI-P). Lembaga ini diduduki oleh perwakilan dari
partai-partai politik yang ada pada daerah-daerah bersangkutan. Tugasnya adalah membantu gubernur
dalam menjalankan tugas dan kepengawasan dalam tugas-tugas gubernur sebelum terbentuknya DPRD
melalui pemilu.
• Lembaga Teknis Daerah; merupakan institusi yang membantu pelaksanaan pemerintahan dari seorang
kepala daerah. Lembaga teknis ini juga disebut Dinas, dan terdiri atas Badan Peneliti dan Pengembangan,
Badan Perencanaan, Lembaga Pengawasan, Badan Pendidikan, Badan Pelatihan, dan sebagainya.
• Dinas Daerah; merupakan unsure pelaksana dari pemerintah daerah yang menyelenggarakan urusan-
urusan rumah tangga daerah itu sendiri. Dinas-dinas ini diantaranya Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan,
dan sebagainya.
• Wakil Kepala Daerah; adalah pembantu kepala daerah yang menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-
hari.
• Sekretariat Daerah; merupakan unsure staf yang tugasnya membantu Kepala Daerah di dalam
menyelenggarakan pemerintahan atas daerah yang diperintahnya.
E. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan di Berbagai Daerah

1. Pertempuran Surabaya (10 Nopember 1945)

Kekuatan asing yang harus dihadapi Republik Indonesia


setelah kemerdekaan Indonesia adalah Komando Asia
Tenggara, dipimpin oleh laksamana Lord Louis Mountbatten.
Kemudian, Mountbatten membentuk suatu komando yang
diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI)
di bawah pimpinan Letnan Jendral Sir Philip Christison.

Pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan AFNEI dari


brigade 49 mendarat di Tanjung Perak, Surabaya yang
dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby. Kedatangan pasukan AFNEI di Surabaya menumbuhkan kecurigaan
bagi pemerintah RI bahwa kedatangan AFNEI diboncengi oleh NICA. Kecurigaan itu bisa diatasi setelah
adanya kesepakatan antara Mallaby dan wakil pemerintah RI bahwa AFNEI menjamin tidak ada pasukan
Belanda (NICA) yang membonceng mereka dan tugas AFNEI di Indonesia hanya melucuti tentara Jepang.
Namun kesepakatan diingkari oleh pihak AFNEI. Provokasi yang dilakukan AFNEI adalah sebagai berikut.

a. Pasukan AFNEI menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan kolonel angkatan laut Belanda
yang ditawan pemerintah RI. Penyerbuan ini dilakukan pada tanggal 26 Oktober 1945.
b. Pada tanggal 27 Oktober 1945 AFNEI menduduki tempat-tempat penting, seperti pangkalan udara
Tanjung Priok, kantor pos besar, dan tempat-tempat penting lainnya.
c. Pada tanggal 27 Oktober 1945 pesawat terbang AFNEI menyebarkan pamflet yang isinya
memerintahkan kepada rakyat Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari
Jepang.

Provokasi yang dilakukan AFNEI membuat kepercayaan pemerintah RI di Surabaya menjadi pudar.
Kemudian, pemerintah mulai memerintahkan pemuda dan TKR untuk bersiaga. Pada tanggal 27 Oktober
1945 mulailah pertempuran antara pasukan Indonesia melawan AFNEI.

Di tengah situasi yang mencekam, Jenderal D.C. Hawthorn menghubungi Soekarno untuk berunding
guna membantu meredakan serangan pasukan Indonesia. Soekarno-Hatta dan Amir Syarifuddin tiba di
Surabaya tanggal 29 Oktober 1945. Perundingan antara pemerintah RI dan AFNEI mencapai kesepakatan
untuk membentuk panitia penghubung yang bertugas menjernihkan kesalahpahaman dan menyerukan
gencatan senjata.
Insiden yang terjadi di Gedung Internasional yang mengakibatkan tewasnya Brigjen Mallaby,
menyulut kemarahan pasukan AFNEI. Mereka menambah pasukan di bawah pimpinan Mayjen R.C.
Mansergh. Pada tanggal 9 November 1945 AFNEI mengeluarkan ultimatum sebagai berikut.

a. AFNEI menuntut balas atas kematian Brigjen Mallaby.


b. AFNEI menginstruksikan kepada pemerintah, pemuda, keamanan, dan masyarakat untuk melapor,
menyerahkan senjata, meletakkan tangan diatas kepala, dan menandatangani penyerahan tanpa syarat.

Batas ultimatum itu ditentukan sampai tanggal 1 November 1945 pukul 06.00 WIB. Apabila tidak
dijalankan, maka Surabaya akan digempur melalui darat, laut, dan udara. Dalam suasana yang makin tegang,
Menlu Achmad Soebardjo menyerahkan keputusan kepada rakyat Surabaya. Memalui siaran radio, Gubernur
Jawa Timur, Surya, mengumumkan penolakan secara tegas atas ultimatum AFNEI.

Pada tanggal 10 November 1945, pasukan AFNEI menggempur kota Surabaya melalui darat, laut,
dan udara. Rakyat Surabaya dengan gigih mempertahankan kota Surabaya, walaupun telah menelan banyak
korban. Kota Surabaya dapat dipertahankan hampir 3 minggu. Pertempuran yang terakhir terjadi pada
tanggal 28 November 1945 di Gunung Sari.

2. Pertempuran Ambarawa-Magelang

Pertempuran ini diawali dengan kedatangan tentara Inggris


di bawah pimpinan Brigjen Bethel di Semarang pada tanggal
20 Oktober 1945 untuk membebaskan tentara Sekutu. Setelah
itu menuju Magelang, karena Sekutu diboncengi oleh NICA
dan membebaskan para tawanan Belanda secara sepihak maka
terjadilah perlawanan dari TKR dan para pemuda. Pasukan
Inggris akhirnya terdesak mundur ke Ambarawa. Dalam
peristiwa tersebut Letkol Isdiman gugur sebagai kusuma bangsa. Kemudian Kolonel Sudirman terjun
langsung dalam pertempuran tersebut dan pada tanggal 15 Desember 1945 tentara Indonesia berhasil
memukul mundur Sekutu sampai Semarang. Karena jasanya maka pada tanggal 18 Desember 1945 Kolonel
Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar TKR dan berpangkat Jendral. Sampai sekarang setiap tanggal 15
Desember diperingati sebagai hari Infantri.

3. Pertempuran Medan Area

Proklamasi kemerdekaan baru diumumkan secara resmi di


Medan pada tanggal 27 Agustus 1945 oleh Mr. Teuku
Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatra. Pada tanggal 9
Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen
T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan pasukan
AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan
untuk mengambil alih pemerintahan.

Kedatangan pasukan AFNEI disambut baik oleh pemerintah RI karena pemerintah RI menghormati
tugas AFNEI di Indonesia. Namun, sehari setelah AFNEI mendarat di Belawan, pasukan AFNEI mendatangi
kamp-kamp tawanan untuk membebaskan tawanan perang yang kebanyakan orang Belanda. Tawanan yang
dibebaskan itu, kemudian dipersenjatai dan dibentuk menjadi Batalyon KNIL di Medan.

Hal tersebut memancing kemarahan para pemuda sehingga meletuslah pertempuran di Medan pada
tanggal 13 Oktober 1945. Pertempuran tidak hanya terjadi di Medan, melainkan menyebar ke kota
Pematangsiantar dan Brastagi. Dalam menghadapi kedatangan Sekutu dan NICA, para pemuda membentuk
kekuatan militer, yaitu TKR Sumatra Timur yang dikomandani oleh Achmad Tahir. Juga, para pemuda
membentuk Laskar Perjuangan Pemuda Republik Indonesia Sumatra Timur.

Pada tanggal 18 Oktober 1945 AFNEI mengeluarkan ultimatum yang memerintahkan TKR dan
Laskar Perjuangan supaya menyerahkan senjata. Tanggal 1 Desember 1945 AFNEI membatasi daerah
Medan dengan memasang papan pembatas yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi
Medan Area) di sudut-sudut pinggiran kota Medan.

Dalam bulan April 1946, kota Medan dikuasai oleh pasukan AFNEI. Gubernur, TKR, dan Wali Kota
Medan memindahkan pusat pemerintahan ke Pematangsiantar. Karena tidak adanya komando yang jelas,
mengakibatkan serangan para pejuang Indonesia terhadap AFNEI tidak berarti dan tidak membuahkan hasil
yang baik. Untuk mengefektifkan serangan terhadap pasukan AFNEI, para komandan yang berjuang di
Medan mengadakan pertemuan di Tebing Tinggi dan membentuk satuan komando yang bernama Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Pertemuan ini berlangsung pada tanggal 19 Agustus 1946. Dengan
terbentuknya Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area, serangan terhadap pasukan AFNEI menjadi
lebih efektif.
4. Bandung Lautan Api

Pada bulan Oktober 1945, Tentara Republik Indonesia


(TRI) dan pemuda serta rakyat sedang berjuang melawan
tentara Jepang untuk merebut senjata dari tangan Jepang.
Pasukan AFNEI menuntut pasukan Indonesia untuk
menyerahkan senjata. Disamping itu, TRI harus
mengosongkan kota Bandung bagian utara paling lambat
tanggal 29 Oktober 1945.

Tuntutan dari AFNEI tersebut tidak diindahkan oleh TRI maupun rakyat Bandung. Dipimpin oleh
Arudji Kartawinata, TRI dan pemuda Bandung melakukan serangan terhadap kedudukan AFNEI.
Pertempuran itu berlanjut hingga memasuki tahun 1946. Pada tanggal 23 maret 1946, AFNEI kembali
mengeluarkan ultimatum supaya TRI meninggalkan kota Bandung. Ultimatum itu diperkuat dengan adanya
perintah dari pemerintah pusat Jakarta supaya TRI meninggalkan Bandung.

Perintah dari pusat tersebut memang bertentangan dengan instruksi dari markas TRI di Yogyakarta.
Sebelum meninggalkan Bandung, TRI mengadakan perlawanan dengan cara membumihanguskan kota
Bandung bagian selatan. Tindakan itu membawa akibat fatal bagi pasukan AFNEI, karena mengalami
kesulitan akomodasi dan logistik di kota Bandung. Tindakan membumihanguskan kota dikenal dengan
Bandung Lautan Api.

5. Peristiwa Merah Putih di Manado

Sejak pasukan AFNEI mendarat di Menado yang diboncengi oleh pasukan NICA, upaya penegakan
kedaulatan Indonesia makin sulit. Kedatangan pasukan AFNEI adalah untuk membebaskan anggota KNIL
bekas tawanan Jepang yang kemudian dipersenjatai dan dikenal dengan nama Tangsi Putih. Sejak akhir
tahun 1945 pasukan AFNEI meninggalkan sulawesi utara dan kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada
NICA. Sejak saat itu, pasukan NICA bertindak semena-mena dan melakukan penangkapan pada sejumlah
tokoh RI. Tindakan yang dilakukan NICA ini mengundang reaksi dari para pendukung RI, terutama para
pemuda dan mantan anggota KNIL dari Indonesia. Mantan anggota KNIL ini dikenal sebagai Tangsi Hitam
yang kemudian membentuk Pasukan Pemuda Indonesia (PPI).

Pada pertengahan Januari 1946 PPI mengadakan rapat rahasia untuk menggalang aksi perlawanan.
Namun kegiatan tersebut diketahui oleh NICA yang berakibat beberapa pimpinan PPI ditangkap. Pada
tanggal 14 Februari 1946 tanpa dilengkapi senjata, PPI menyerbu kedudukan NICA di Teling. Pada hari itu
juga, sebagian pejuang Indonesia mengambil bendera Belanda yang berada di pos penjagaan da merobek
warna birunya sehingga yang masih ada hanya warna merah dan putih. Bendera itu dikibarkan di Tangsi
Teling. Peristiwa ini menandai peristiwa merah putih di Menado.

Serangan PPI masih dilanjutkan dan berhasil menguasai markas NICA di Tomohon dan Tondano.
Setelah kedudukan NICA dapat diambil alih oleh para pejuang Indonesia, pada tanggal 16 Februari 1946
dibentuklah pemerintahan sipil, dan sebagai residennya adalah B.W. Lapian. PPI juga membentuk TKR yang
dipimpin oleh C.H. Taulu, Wuisan, dan J. Kaseger. Akhirnya, kompi KNIL Tangsi Hitam dijadikan Tentara
Republik Indonesia.

6. Pertempuran Margarana (20 November 1946)

Dalam rentang waktu 1945-1950, suasana Indonesia tidak kondusif. Banyak sekali pertempuran-
pertempuran yang terjadi. Salah satu pertempuran di daerah terjadi di Bali, disebut Pertempuran Margarana
—yang terjadi tanggal 18 November 1946. Pertempuran ini diawali dengan terbentuknya Negara Indonesia
Timur. Ketika NIT telah terbentuk, Belanda mencoba mengajak beberapa tokoh Indonesia untuk ikut
bergabung.

Seorang Bali yang diajak bergabung adalah I Gusti Ngurah Rai bersama anak buahnya. Tapi, dengan
tegas, pemuda Ngurah Rai menolak. I Gusti Ngurah Rai lahir di Desa Carangsari, Badung, Bali, pada 30
Januari 1917. Ia merupakan Komandan Resimen Sunda Ketjil ketika Indonesia sudah merdeka. Dan
merupakan pemimpin kesatuannya dalam Pertempuran Margarana, Bali.

Penolakan ini berbuntut panjang. I Gusti Ngurah Rai juga mendapat komando bahwa dirinya dan
anak buahnya harus merebut senjata dari NICA yang ada di Tabanan. Tanggal 18 November 1946, rencana
tersebut dilaksanakan dengan baik dan mereka kembali ke desa Marga. Tapi, dua hari kemudian—tepatnya
tanggal 20 November 1946, Belanda mengepung desa Marga.

Kemudian, terjadi baku tembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran
yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Belanda langsung mendatangkan
bala bantuan pesawat pengebom dari Makassar. Dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan
Ngurah Rai bertekad takkan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai
mengadakan "Puputan" sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah
Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang
peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
Dan nama I Gusti Ngurah Rai diabadikan menjadi nama bandara udara Ngurah Rai.
7. Perjanjian Linggarjati
Usaha merintis perundingan itu dilaksanakan oleh Letnan Jenderal Sir Phillip Christison, panglima
AFNEI, dengan jalan mempertemukan Presiden Soekarno dengan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Dr. H.J. Van Mook. Pada bulan Oktober 1945, usaha Christison mengalami kegagalan. Perundingan
diadakan kembali pada 10 November 1946. Pemerintah Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr sebagai
duta istimewa ke Indonesia. Dalam perundingan itu pemerintah Belanda menginginkan Indonesia menjadi
Negara persemakmuran (commonwealth) melalui masa peralihan 10 tahun. Namun Indonesia menginginkan
Negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas jajahan Hindia Belanda.

Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Dalam
perundingan itu, Belanda menolak usul yang diajukan Clark Kerr tentang pengakuan kedaulatan secara de
facto wilayah Indonesia yang terdiri atas Sumatera dan Jawa. Pemerintah Belanda hanya bersedia mengakui
de facto terhadap daerah Jawa dan Madura saja.

Untuk menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda, maka pada tanggal 10 November 1946 diadakan
perundingan di Linggarjati. Pihak Indonesia dipimpin oleh dr. Sudarsono, Jenderal Soedirman, dan Jenderal
Oerip Soemohardjo. Inggris mengirim Lord Killearn sebagai penengah setelah komisi gencatan senjata
terbentuk. Isi persetujuan Linggarjati antara lain:

a) Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda bersama-sama membentuk Negara federasi bernama
Negara Indonesia Serikat.

b) Negara Indonesia Serikat tetap terikat dalam ikatan kerja sama dengan kerajaan Belanda, dengan
wadah Uni Indonesia Belanda yang diketahui oleh Ratu Belanda.

8. Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian Renville

Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14
hari, yang berisi:

1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;


2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang
memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor

Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa
peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-
parpol di Republik. Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan
ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947)
mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.

Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana Belanda menguasai semua pelabuhan
perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak
dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak
mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan
terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri.

Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir
Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana
Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan
kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan
kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak
kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".

S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi.
Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat
menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang
diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung
di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas
terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.

Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville,
ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih.

Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa
peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai. Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya
Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya
yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani,
disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari
1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang
beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke
arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana
seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.

Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir
segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak
memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada
tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan
susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku
jabatan sebagai Wakil Presiden.

Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak
menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade
dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat
mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang
berulang-ulang.

9. Agresi Militer Belanda II

Melihat situasi Republik Indonesia yang kacau akibatnya


meletus pemberontakan PKI di Madiun maka pada tanggal 18
Desember 1948, Belanda secara sepihak membatalkan
persetujuan gencatan senjata esok harinya (19 Desember 1948
dini hari) tentara Belanda langsung menyerbu Lapangan
Udara Maguwo, Yogyakarta. Serangan Belanda yang tiba-tiba
berhasil dengan gemilang sehingga pada jam 16.00 WIB
seluruh Yogyajarta sudah jatuh di tangan Belanda. Presiden
dan Wakil Presiden memutuskan untuk tetap tinggal di Ibukota, meskipun mereka akan ditawan oleh musuh.
Alasanya, supatya mereka mudah ditemui oleh KTN dari kegiatan diplomasi dapat berjalan terus. Sesuai
dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di
Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Selain itu, untuk menjaga
kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat
untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan
Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi. Tentara Belanda berhasil memasuki istana
keprisidenanan dan para pejabat tinggi negara ditawan, semuanya ada 150 orang. Pagi harinya tanggal 22
Desember 1948, Presiden Soekarno, Haji agus salim dan Sutan Syahrir diasingkan ke Berastagi, kemudian
dipindahkan ke Prapat di tepi danau Toba, Sumatera Utara. Moh.hatta, Moh Roem, Mr. A.G Pringgodigdo,
Mr.Assaat dan Komandor S. Suyadayrman diasingkan ke Montok di Pulau Bangka. Pada Bulan Januari
akhir, Presiden Sukarno dan Haji Agus Salim dipindahkan ke Muntok sehingga berkumpul dengan Moh.
Hatta dan kawan-kawan.

Untuk menghindari serangan Belanda dan agar selalu tetap bersama-sama dengan TNI, Panglima
Besar Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya dengan berpindah- pindah tempat. TNI melakukan
serangan umum terhadap kota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
suharto, Komado Brigade 10 Daerah Wehrkereise III yang membawahi daerah Yogyakarta. Serangan umum
pada tanggal 1 Maret dilakukan serentak dari berbagai jurusan kota sehingga tentara Belanda sangat terkejut
dan tidak mampu menguasi keadaan. Mulai pukul 06.00 WIB hingga 12.00 WIB, TNI berhasil menguasai
Yogyakarta. TNI walaupun hanya enam jam menduduki kota Yogyakarta, seranganya mempunyai arti yang
sangat penting yaitu:

• Meningkatkan moral rakyat dan TNI yang sedang berjuang

• Mematahkan moral pasukan Belanda

• Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan untuk menyerang dan
menunjukan bahwa Indonesia masih ada atas eksis.

Dunia mengutuk agresi Belanda dan mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Negara Indonesia
Timur dan Negara Pasundan sebagai negar boneka bentukan Belanda juga mengecam berlangsungnya
Angresi Militer Belanda II. Atas prakarsa Burma (Myanmar) dan India maka terselenggaralah Konferensi
Asia di New Delhi, India pada tanggal 20-23 Januari 1949. konferensi dihadiri oleh beberapa negara Asia,
Afrika dan Ausralia menghasilkan resolusi mengenai masalah Indonesia yang kemudian disampaikan kepada
Dewan Keamanan PBB. Agresi Militer Belanda II juga mengundang reaksi dari PBB karena Belanda secara
terang-terangan melanggar Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada tanggal 4 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resulusi
agar Republik Indonesia dan Belanda menghentikan permusuhan. Kegagalan Belanda dalam berbagai
pertempuran dan tekanan dari dunia Internasional, terutama Amerika Serikat memaksa Belanda kembali ke
meja perundingan.

Dikarenakan kondisi negara masih labil karena beberapa faktor seperti, konflik dan pemerintahan
yang kacau. Belanda mampu memanfaatkan masa – masa tersebut dengan baik, mereka berencana
melakukan agresi kedua terhadap Indonesia. Para pemimpin Indonesia merasa terkejut akan sikap Belanda
yang tidak mematuhi perjanjian yang telah disetujui. Akhirnya, pemerintah melakukan keadaan darurat di
ibukota, Yogyakarta. Pemerintah lebih memilih tinggal di ibukota karena untuk mempermudah hubungan
kenegaraan dengan negara lain, selain itu juga mereka juga bertahan diri dari adu tembak tersebut. Selain itu
juga, pemerintah juga membentuk PDRI di Bukittinggi untuk menggantikan sementara pemerintahan yang
ada di Yogyakarta.

Karena para pemimpin negara ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa, maka para panglima perang
berencana melakukan perang gerilya untuk menyudahi Agresi Belanda tersebut. Panglima besar jenderal
sudirman memimpin perang gerilya itu yang dilakukan secara berpindah – pindah tempat. Di pusat ibukota
sendiri, para gerilyawan berhasil menguasai wilayah tersebut walau hanya 6 jam saja, namun memiliki arti
tersendiri bagi gerilyawan sendiri dan bagi bangsa ini.

Dunia internasional sangat mengutuk Agresi Belanda II ini. Bentuk kepedulian mereka adalah
membuat Konferensi Asia di New Delhi, India yang membentuk sebuah kesepakatan tentang kecaman akan
Agresi Belanda, yang disampaikan pada PBB. Akhirnya Belanda
terkalahkan dengan berbagai tekanan dan pertempuran dari dunia
internasional.

10. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

Rumah ketua PDRI Sjafroedin Prawiranegara di Bidar Alam yang dipergunakan juga untuk kantor
pemerintahan

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) adalah penyelenggara pemerintahan Republik


Indonesia periode 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949, dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang disebut
juga dengan Kabinet Darurat. Sesaat sebelum pemimpin Indonesia saat itu, Sukarno dan Hatta ditangkap
Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, mereka sempat mengadakan rapat dan memberikan mandat kepada
Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan sementara.

Tidak lama setelah ibukota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda II,
mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para pemimpinnya, seperti Soekarno,
Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan. Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki
ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19
Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium
Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya,
untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban,
perkebunan teh 15 Km di selatan kota Payakumbuh.

Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatera


Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember
1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh
Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan
Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir.
Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto,
Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif.
Walaupun secara resmi kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan
konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI).

Mr. T.M Hasan yang menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI, merangkap Menteri Dalam Negeri,
Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, menuturkannya bahwa romobongan mereka kerap tidur di hutan
belukar, di pinggir sungai Batanghari, dan sangat kekurangan bahan makanan. Mereka pun harus
menggotong radio dan berbagai perlengkapan lain. Kondisi PDRI yang selalu bergerilya keluar masuk hutan
itu diejek radio Belanda sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.

Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI
dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme
kepemimpinan di Sumatera dan Jawa.

Setelah berbicara jarak jauh dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948
Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia.

Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa yang dikoordinasikan oleh Mr.
Susanto Tirtoprojo.
Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri
PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia
di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia
internasional sejak Belanda melakukan Agresi Militer Belanda II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr.
Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.
Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa,
Sumatera serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun perlawanan di Sumatera. Tanggal 1 Januari 1949,
PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatera, diataranya di Aceh, Tapanuli, Riau,
Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.

Sesungguhnya, sebelum Soekarno dan Hatta menyerah, mereka sempat mengetik dua buah kawat.
Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr.Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk
pemerintahan darurat di Sumatra.Kedua, jika ikhtiar Sjafruddin gagal, maka mandat diberikan kepada Mr.
A.A.Maramis untuk mendirikan pemerintah dalam pengasingan di New Delhi, India. Tetapi Sjafruddin
sendiri tidak pernah menerima kawat itu. Berbulan-bulan kemudian barulah ia mengetahui tentang adanya
mandat tersebut.

Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional mengecam agresi
militer Belanda. Sedang di Indonesia,pasukannya tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Ini memaksa
Belanda menghadapi RI di meja perundingan.

Belanda memilih berunding dengan utusan Soekarno-Hatta yang ketika itu statusnya tawanan.
Perundingan itu menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Hal ini membuat para tokoh PDRI tidak senang,
Jendral Sudirman mengirimkan kawat kepada Sjafruddin, mempertanyakan kelayakan para tahanan maju ke
meja perundingan. Tetapi Sjafruddin berpikiran untuk mendukung dilaksanakannya perjanjian Roem-Royen.

Setelah Perjanjian Roem-Royen, M. Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang ke Jakarta,


menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara
resmi tidak dibubarkan. Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan
sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet.
Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil
Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan
Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.

Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana
perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan,
sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda.
Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang
diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma
mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang
dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.

Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya,
sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri.
Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI
menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal
25 Juli 1949.

F. Perjuangan Mewujudkan Kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia

1. Negara-negara Boneka Bentukan Belanda

Negara boneka adalah negara yang secara resmi merdeka dan diakui kedaulatannya namun secara
de-facto berada di bawah kontrol negara lainnya.Untuk menanamkan kembali kekuasaan di Indonesia, salah
Belanda membentuk negara-negara boneka. Tujuannya adalah untuk mempersempit wilayah kekuasaan
Republik Indonesia. Melalui negara-negara boneka yang dibentuknya, Belanda membentuk Pemerintahan
Federal dengan Van Mook sebagai kepala pemerintahannya. Dalam Konferensi Federal di Bandung pada
tanggal 27 Mei 1948 lahirlah Badan Permusyawaratan Federal (BFO). Di dalam BFO terhimpun negara-
negara boneka ciptaan Belanda. Berikut adalah negara-negara boneka ciptaan Belanda.

1. Negara Indonesia Timur

Negara Indonesia Timur berdiri pada bulan Desember 1946. Wilayah kekuasaannya meliputi sebelah
timur Selat makassar dan Selat Bali. Negara Indonesia Timur dikepalai oleh Cokorda Gde Raka
Sukawati.

2. Negara Sumatera Timur

Negara Sumatera Timur didirikan pada tanggal 25 Desember 1945 dan diresmikan pada 16 Februari
1947. Wilayahnya meliputi Medan dan sekitarnya. Negara Sumatera Timur dikepalai oleh Dr. Mansur

3. Negara Sumatera Selatan

Negara Sumatera Selatan didirikan pada 30 agustus 1948. Wilayahnya meliputi Palembang dan
sekitarnya. Negara Sumatera Selatan dikepalai oleh Abdul malik.

4. Negara Jawa Timur

Negara Jawa Timur berdiri pada tanggal 26 Nopember 1948. Wilayahnya meliputi Surabaya,
malang, dan daerah-daerah sebelah timur hingga ke Banyuwangi. Negara Jawa Timur dikepalai oleh R.T.
Kusumonegoro.

5. Negara Pasundan

Negara Pasundan berdiri pada tanggal 26 Februari 1948. Wilayahnya meliputi daerah Priangan, Jawa
Barat dan sekitarnya. Negara Pasundan dikepalai oleh R.A.A. Wiranatakusumah.

6. Negara Madura
Negara madura berdiri pada tanggal 16 Januari 1948. Wilayahnya meliputi Pulau Madura dan
sekitarnya. Negara Madura dikepalai oleh Cakraningrat.

Selain negara-negara boneka yang diciptakan oleh Belanda, terdapat juga daerah-daerah yang
meiliki otonomi seperti kalimantan barat, dayak Besar, Banjar, kalimantan Tenggara, jawa Tengah, Bangka,
Belitung, dan Riau. Daerah-daerah tersebut dikepalai oleh Sultan Hamid II.

2. Perjanjian Roem-Royen

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan


Agresi Militer Belanda dengan menyerang kota Yogyakarta
dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta pejabat
lainnya. Namun sebelum itu Presiden mengirimkan radiogram
kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan
begitu Indonesia menunjukkan kegigihan mempertahankan
wilayahnya dari segala agresi Belanda.

Perjanjian Roem Royen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian dibacakan kesanggupan kedua belah pihak untuk
melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB tertanggal 28 januari 1949 dan persetujuannya tanggal 23
Maret 1949. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan J. H. van Roijen.
Pernyataan Republik Indonesia yang dibacakan oleh Mr. Roem :

1. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya

2. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar

3. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta


4. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan
perang

Pernyataan delegasi Belanda dibacakan oleh Dr. H.J. Van Royen :

1. Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melakukan
kewajiban dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.

2. Pemerintah Belanda membebaskan secara tak bersyarat pemimpin-pemimpin republic Indonesia dan
tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.

3. Pemerintah Belanda setuju bahwa Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia
Serikat. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah pemerintah
Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.

Pada tanggal 22 Juni 1949 diselenggarakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, BFO
dan Belanda. Perundingan itu diawasi PBB yang dipimpin oleh Chritchley, menghasilkan keputusan:
1. Kedaulatan diserahkan pada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
2. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
3. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

Dengan tercapainya kesepakatan dalam perundingan, Pemerintah Darurat Republik Indonesia


memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan Yogyakarta. Pada
tanggal 1 juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta disusul dengan
kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya. Pada tanggal 13 Juli 1949
diselenggarakan sidang kabinet Republik Indonesia yang pertama, dan Mr. Syafruddin Prawiranegara
mengembalikan mandatnya kepada Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX diangkat menjadi
Menteri Pertahanan merangkap ketua koordinator keamanan.

4. KMB (Konferensi Meja Bundar) dan Pengakuan Kedaulatan

Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini
secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan
Konferensi Meja Bundar. Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:

1. Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai Negara merdeka dan berdaulat

2. Status Karesidenan Irian Barat diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan

3. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerjasama sukarela dan sederajat.

4. RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan-
perusahaan Belanda
5. RIS harus membayar semua hutang Belanda yang ada sejak tahun 1942

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno Presidennya, Hatta
sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat terdiri dari 16
negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

5. Peran PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa)

Selama Indonesia dan Belanda bertikai, PBB turut membantu dalam setiap usaha penyelesaian
pertikaian antara tahun 1945-1950. Pada tanggal 24 januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
resolusi yang disetujui oleh semua negara anggota, yaitu:

1. Membebaskan Presiden dan Wakil Presiden serta pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang
ditangkap pada tanggal 19 Desember 1948.

2. Memerintahkan KTN agar memberikan laporan lengkap mengenai situasi di Indonesia sejak 19 Desember
1948.

Hasil-hasil keputusan PBB lainnya adalah :

1. Piagam Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949.

2. Pembentukkan RIS.

3. Pembentukkan Uni Indonesia-Belanda.

4. Pembubaran tentara KNIL dan KL yang diintegrasikan


kedalam APRIS.

5. Piagam tentang kewarganegaraan.

6. Persetujuan tentang ekonomi keuangan.

7. Masalah Irian Barat akan dibicarakan kembali setahun kemudian.

Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pada tanggal 28 September 1950 Indonesia kembali diterima menjadi anggota PBB yang ke-60.
Dengan ini berarti Indonesia telah mendapat pengakuan dari dunia internasional sebagai negara merdeka.
6. Kembali ke NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Sebagian besar negara bagian yang tergabung dalam RIS mendukung untuk terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hanya dua orang saja yang mendukung sistem federal yaitu Sultan
Hamid II dan Anak Agung Gede Agung.

Pada tanggal 19 Mei 1950, diadakan persetujuan antara RIS dengan RI untuk mempersiapkan
prosedur pembentukkan negara kesatuan. Pihak RIS diwakili oleh Mohammad hatta dan pihak RI diwakili
oleh dr. Abdul Halim. Pertemuan sepakat untuk mendirikan NKRI. UUD NKRI dirancang oleh panitia yang
dipimpin oleh Prof. Dr. Soepomo. UUD NKRI mengandung unsur UUD 1945 dan UUD RIS. Pada tanggal
14 Agustus 1950, rancangan UUD NKRI disetujui oleh parlemen RIS serta KNIP.

Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani Rancangan Undang-Undang


dasar NKRI menjadi UUD 1950. Pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS resmi dibubarkan dan dibentuk NKRI
dengan UUDS 1950 sebagai konstitusinya.

G. Perjuangan Menghadapi Pergolakan Dalam Negeri

1. Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948

Jatuhnya kabinet Amir disebabkan oleh kegagalannya


dalam Perundingan Renville yang sangat merugikan
Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya,pada
tanggal 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membentuk Front
Demokrasi Rakyat (FDR) Untuk memperkuat basis massa,
FDR membentuk organisasi kaum petani dan buruh. Pada
tanggal 11 Agustus 1948, Musso tiba dari Moskow. Amir dan
FDR segera bergabung dengan Musso. Untuk memperkuat
organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI. Doktrin itu
bernama Jalan Baru. PKI banyak melakukan kekacauan, terutama di Surakarta.

Oleh PKI daerah Surakarta dijadikan daerah kacau


(wildwest). Sementara Madiun dijadikan basis gerilya. Pada
tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan
berdirinya pemerintahan Soviet di Indonesia. Untuk meruntuhkan Republik Indonesia, Pancasila, dan
menggantinya dengan negara komunis

Pada waktu yang bersamaan, gerakan PKI dapat merebut


tempat-tempat penting di Madiun. Untuk menumpas
pemberontakan PKI, pemerintah melancarkan operasi militer.
Dalam hal ini peran Divisi Siliwangi cukup besar. Di samping
itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan
Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel
Sungkono di Jawa Timur untuk mengerahkan pasukannya.
Dengan dukungan rakyat di berbagai tempat, pada tanggal 30
September 1948, kota Madiun berhasil direbut kembali oleh
tentara Republik. Sementara itu, tanggal 31 Oktober 1948
Musso tewas ditembak. Sekitar 300 orang ditangkap oleh
pasukan Siliwangi pada tanggal 1 Desember 1948 di daerah
Purwodadi, Jawa Tengah.

Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun, maka selamatlah bangsa Indonesia dari
rongrongan dan ancaman kaum komunis. Penumpasan pemberontakan PKI dilakukan oleh bangsa Indonesia
sendiri. Dalam kondisi bangsa yang begitu sulit itu, ternyata RI sanggup menumpas pemberontakan yang
relatif besar oleh golongan komunis dalam waktu singkat.

2. Gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII)


Berdasarkan Perundingan Renville, kekuatan militer
Republik Indonesia harus meninggalkan wilayah Jawa Barat
yang dikuasai Belanda. TNI harus mengungsi ke daerah Jawa
Tengah yang dikuasai Republik Indonesia. Tidak semua
komponen bangsa menaati isi Perjanjian Renville yang
dirasakan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya
adalah S.M. Kartosuwiryo beserta para pendukungnya. Pada
tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tentara dan
pendukungnya disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan
Darul Islam yang didirikan oleh Kartosuwiryo mempunyai
pengaruh yang cukup luas. Pengaruhnya sampai ke Aceh yang dipimpin Daud Beureueh, Jawa Tengah
(Brebes, Tegal) yang dipimpin Amir Fatah dan Kyai Somolangu (Kebumen), Kalimantan Selatan dipimpin
Ibnu Hajar, dan Sulawesi Selatan dengan tokohnya Kahar Muzakar.
3. Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
APRA dipimpin oleh Kapten Westerling. Gerakan ini didasari adanya kepercayaan rakyat akan
datangnya seorang Ratu Adil yang akan membawa mereka ke suasana yang aman dan tentram serta
memerintah dengan adil dan bijaksana, seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya.

Tujuan gerakan APRA yang sebenarnya adalah untuk mempertahankan bentuk Negara federal di
Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada Negara-negara bagian RIS. Pada tanggal 23 Januari 1950,
pasukan APRA menyerang kota Bandung. Pasukan APRA melakukan pembantaian atau pembunuhan
terhadap setiap anggota TNI yang ditemuinya. Markas Divisi Siliwangi berhasil didudukinya. Pasukan
APRA membunuh setiap regu jaga termasuk Letkol Lembong.

Melihat keadaan seperti ini, Pemerintah RIS segera mengirimkan pasukannya ke kota Bandung.
Sementara itu Moh. Hatta segera mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta.
Westerling didesak untuk meninggalkan kota Bandung dan Pasukan APRA meninggalkan kota Bandung
pada sore harinya. Pasukan APRA semakin terdesak dan terus dikejar oleh pasukan APRIS bersama dengan
rakyat. Akhirnya gerakan APRA berhasil dilumpuhkan.

Kemudian diketahui, bahwa dalam gerakan APRA adalah Sultan Hamid II, seorang Menteri Negara
pada Kabinet RIS. Rencana sebenarnya dari gerakan itu adalah menculik Menteri Pertahanan Keamanan, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX; Sekjen Pertahanan Mr. Ali Budiardjo, dan pejabat Kepala Staf Angkatan
Perang, Kolonel T.B. Simatupang. Dengan keberhasilan pasukan APRIS menumpas gerakan APRA, maka
keamanan di wilayah Jawa Barat berhasil dipulihkan kembali.

4. Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)

RMS dipelopori oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven


Soumokil. Soumokil tidak setuju atas dibentuknya NKRI.
Bahkan ia sendiri tidak menyetujui penggabungan daerah-
daerah Negara Indonesia Timur menjadi wilayah kesatuan
RI. Ia berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dan NIT
yang menjadi bagian dari RIS. Manusama menghasut
Rajapati (kepala desa) untuk setuju mendirikan RMS, melalui
rapat umum di Kota Ambon tanggal 18 April 1950.

Kemudian, pada tanggal 24 April 1950, Soumokil


memproklamasikan berdirinya RMS. Berita berdirinya RMS itu tentu merupakan suatu ancaman bagi
keutuhan Negara Republik Indonesia Serikat. Untuk mengatasi gerakan itu, pemerintah RIS menempuh cara
damai dengan mengirim Dr. J. Leimena. Namun, misi itu ditolak oleh Soumokil.
Ketika jalan damai tidak menghasilkan apa-apa, pemerintah RIS memutuskan untuk melakukan
ekspedisi militer. Pimpinan ekspedisi adalah Kolonel A.E. Kawilarang (Panglima Tentara dan Teritorium
Indonesia Timur). Melalui ekspedisi militer itu secara perlahan wilayah-wilayah gerakan RMS berhasil
dikuasai kembali oleh pasukan APRIS. Gerakan RMS berhasil diatasi, sehingga keamanan di wilayah
Maluku Tengah pulih kembali.

5. Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta


(PRRI/Permesta)

Munculnya pemberontakan PRRI diawali dari


ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan
pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang
dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan.
Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan
dewan-dewan daerah seperti berikut.

a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh


Letkol Ahmad Husein.

b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.

c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.

d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.

Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam
waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Setelah menerima ultimatum, maka
pemerintah bertindak tegas dengan memecat secara tidak hormat Ahmad Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis,
dan Dahlan Djambek yang memimpin gerakan sparatis. Langkah berikutnya tanggal 12 Februari 1958
KSAD A.H. Nasution membekukan Kodam Sumatra Tengah dan selanjutnya menempatkan langsung di
bawah KSAD.
Pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sebagai perdana menterinya adalah Mr. Syafruddin
Prawiranegara. Agar semakin tidak membahayakan negara, pemerintah melancarkan operasi militer untuk
menumpas PRRI. Berikut ini operasi militer tersebut.

a. Operasi 17 Agustus dipimpin Kolonel

Ahmad Yani untuk wilayah Sumatra Tengah. Selain untuk menghancurkan kaum sparatis, operasi ini
juga dimaksudkan untuk mencegah agar gerakan tidak meluas, serta mencegah turut campurnya kekuatan
asing.

b. Operasi Tegas dipimpin Letkol Kaharudin Nasution. Tugasnya mengamankan Riau, dengan pertimbangan
mengamankan instalasi minyak asing di daerah tersebut dan mencegah campur tangan asing dengan dalih
menyelamatkan negara dan miliknya.

c. Operasi Saptamarga untuk mengamankan daerah Sumatra Utara yang dipimpin Brigjen Djatikusumo.
d. Operasi Sadar dipimpin Letkol Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatra Selatan.

Akhirnya pimpinan PRRI menyerah satu per satu. Proklamasi PRRI ternyata mendapat dukungan
dari Indonesia bagian Timur. Tanggal 17 Februari 1958 Somba memutuskan hubungan dengan pemerintah
pusat dan mendukung PRRI. Gerakannya dikenal dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Gerakan
ini jelas melawan pemerintah pusat dan menentang tentara sehingga harus ditumpas. Untuk menumpas
gerakan Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer beberapa kali. Berikut ini operasi-operasi militer
tersebut.

a. Komando operasi Merdeka yang dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.

b. Operasi Saptamarga I dipimpin Letkol Sumarsono, menumpas Permesta di Sulawesi Utara bagian Tengah.

c. Operasi Saptamarga II dipimpin Letkol Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan.

d. Operasi Saptamarga III dipimpin Letkol Magenda dengan sasaran kepulauan sebelah Utara Manado.

e. Operasi Saptamarga IV dipimpin Letkol Rukminto Hendraningrat, menumpas Permesta di Sulawesi Utara.

f. Operasi Mena I dipimpin Letkol Pieters dengan sasaran Jailolo.

g. Operasi Mena II dipimpin Letkol Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai.

Ternyata Gerakan Permesta mendapat dukungan asing, terbukti dengan ditembak jatuhnya pesawat
yang dikemudikan oleh Alan Pope warga negara Amerika Serikat tanggal 18 Mei 1958 di atas Ambon.
Meskipun demikian, pemberontakan Permesta dapat dilumpuhkan sekitar bulan Agustus 1958, walaupun
sisa-sisanya masih ada sampai tahun 1961.

H. Perkembangan Politik Dalam Upaya Mengisi Kemerdekaan Indonesia

1. Masa Demokrasi Liberal

Sejak pengakuan kedaulatan terhadap RIS, secara resmi tanggal 27 Desember 1949 oleh Belanda.
Belanda masih sering ikut campur urusan dalam negeri Indonesia sehingga menyulitkan pemerintah dalam
menata kehidupan politik dan ekonomi, antara lain terhadap pemberontakan APRA, Andi Aziz dan RMS.
Itulah sebabnya RIS hanya bertahan selama 8 bulan ( 27 desember 1949 – 17 agustus 1950) akibat desakan
untuk kembali dari bentuk Negara Negara bagian kebentuk Negara kesatuan. Untuk kembali kenegara
kesatuan , pada tahun 1950 dibentuk UUDS.

Dalam UUDS tahun 1950, system pemerintahan yang dianut adalah system Demokrasi Liberal
dengan cabinet Parlementer. Pada masa cabinet parlementer malah bertambah buruk karena terjadi
pergulatan diantara partai-partai politik. Setiap partai politik berupaya untuk merebut kedudukan tertinggin
dengan menjatuhkan lawan politiknya, sehingga cabinet dapat bertahan lama dan selanjutnya jatuh sebelum
dapat melaksanakan program partainya. Pada masa ini terjadi beberapa kali pergantian kabinet diantaranya :

Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)

Kabinet pertama NKRI tahun 1950 adalah cabinet Natsir dengan perdana Menterinya Mohammad
Natsir (Masyumi), Kabinet mulai goyah sejak kegagalan dalam perundingan dengan Belanda mengenai Irian
Barat. Kabinet Jatuh setelah PNI mengajukan mosi tidak percaya menyangkut pencabutan Peraturan
Pemerintah No. 39/1950 tentang DPRD dan DPRDS. Program polkok dari Kabinet Natsir adalah:

• Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.


• Konsolidasi dan menyempurnakan pemerintahan.
• Menyempurnakan organisasi angkatan perang.
• Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan.
• Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Kabinet ini dipimpin oleh Sukiman Wiryosanjoyo, sebagai perdana menteri. Kabinet merupakan
koalisi PNI dan Masyumi. Kabinet mulai goyah akibat ditandatanganinya perjanjian kesepakatan antara
Menlu Subandrio dan duta besar AS Merle Cohran tentang bantuan ekonomi dan militer. Kabinet dicecar
tuduhan melencengkan Indonesia baik dari politik luar negeri bebas aktif. Setelah PNI dan Masyumi menarik
dukungannya, cabinet inipun jatuh.

Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo, semasa cabinet ini, Indonesia dilanda krisis ekonomi berupa
jatuhnya harga barang-barang ekspor dan krisis politik berupa aksi ketidakpuasan dan demonstrasi
diberbagai daerah. Ketidakmampuan menyelesaikan soal tanah yang terkenal dengan peristiwa Tanjung
Morawa di Sumatera Utara (bentrokan antara aparat kepolisian dan para petuni liar) dan peristiwa 17 oktober
1952 (gerakan sejumlah perwira AD menekan Presiden Soekarno agar membubarkan cabinet. Pada saat yang
sama, berlangsung demonstrasi didepan istana Negara mengajukan tuntutan yang sama. membuat cabinet
Wilopo mengembalikan mandat kepada Presiden.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo, sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan koalisi PNI dan
NU. Kabinet menghadapi ujian berat berupa kemelut dalam tubuh angkatan darat. Namun cabinet ini sempat
menunjukkan prestasi berupa penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Memuncaknya krisis
ekonomi dan perseteruan antara PNI dan NU membuat NU menarik dukungannya terhadap cabinet sehingga
cabinet inipun akhirnya jatuh. Kabinet ini mempunyai 4 pasal. Yaitu:

• Program dalam negeri antara lain meningkatkan keamanan dan kemakmuran dan segera diselenggarakan
pemilihan umum.
• Pembebasan Irian Barat secepatnya.
• Program luar negeri antara lain pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan
KMB.
• Penyelesaian pertikaian politik.

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Kabinet ini dipimpin Burhanuddin Harahap sebagai perdana menteri. Prestasi yang menonjol dari
kabinet ini adalah penyelenggaraan Pemilu I yang amat demokratis. Selain itu, kabinet menunjukkan
keunggulan Indonesia dalam diplomasi perjuangan Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Namun Pemilu I tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap cabinet ini sehingga jatuh.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957)

Kabinet ini dipimpin oleh Ali Sostroamijoyo sebagai perdana menteri. Kabinet koalisi PNI,
Masyumi dan NU merupakan cabinet yang pertama sesudah Pemilu. Kabinet menghadapi pergolakan
didaerah yang semakin menguat, berupa pembentukan dewan militer di Sumatera dan Sulawesi. Mundurnya
sejumlah menteri asal Masyumi membuat cabinet jatuh. Program pokok dari cabinet ini adalah:

• Pembatalan KMB.
• Perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia.
• Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan ekonomi, keuangan, industry, perhubungan,
pendidikan, dan pertanian.
• Melaksanakan keputusan Konferensi Asia-Afrika.

Kabinet Karya (9 April 1957 – 10 Juli 1959)

Kabinet dipimpin oleh Juanda sebagai perdana menteri. Kabinet terdiri atas para pakar dibidangnya
sehingga disebut zaken cabinet. Kabinet memiliki program bernama Panca Karya sehingga memperoleh
sebutan cabinet Karya. Kabinet menjadi demisioner saat presiden mencanangkan dekrit pada bulan juli 1959.
Program-program dari cabinet ini adalah:

• Membentuk Dewan Nasional.


• Normalisasi keadaan republic.
• Melancarkan pelaksanaan pembatalan persetujuan KMB.
• Memperjuangkan Irian Barat.
• Mempercepat proses pembangunan.

2. Pemilihan Umum Tahun 1955

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga
perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD
1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR,
disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu.
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung,
Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih
diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Kemudian di era reformasi
berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti
bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Asas adil adalah perlakuan yang sama
terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau
pemilih tertentu.

Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga legislatif yaitu
pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.

Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan


bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu
1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo
mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala
pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap.

Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap,


yaitu:

• Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal
29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
• Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada
tanggal 15 Desember 1955.

Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis
Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pemilu 1971

Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini
adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 10 partai politik. Pada tahun 1975, melalui
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan)
partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai
Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-
Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut
dengan "Pemilu Orde Baru".

Pemilu 1999

Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999
dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ
Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.

Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara
sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati
Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid. Hal ini dimungkinkan
untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara
pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.

Pemilu 2004

Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota,
rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili
kepentingan daerah. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung
presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono.
Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan
suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara
Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan
pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

3. Masa Demokrasi Terpimpin

Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Undang-
undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-
undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai
dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden
RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan
untuk menyelamatkan negara.Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
1. Pembubaran konstituante
2. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:
• Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah
goyah selama masa Liberal.
• Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
• KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.
• DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD
1945.
Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
• Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
• Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
• Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa
DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
• Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya
menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi
slogan-slogan kosong belaka.
• Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat
pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
• Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama
Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru
dan tetap terasa sampai sekarang.

You might also like