You are on page 1of 42

DEPARTEMEN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM


BALAI TAMAN NASIONAL BALI BARAT
Cekik – Gilimanuk, Bali Telepon 0365-61060, BALI 82253 E-mail : tnbb@telkom.net

Review Faktor Pembatas Ekologi dalam Upaya


Pengembalian Populasi Liar
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)
Taman Nasional Bali Barat

Oleh
Teguh Rianto, S. Hut
NIP. 710035719
Calon PEH pada Balai Taman Nasional Gunung Rinjani

PROGRAM MAGANG CPNS DEPARTEMEN KEHUTANAN FORMASI TAHUN 2004


DI BALAI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

Cekik, Februari 2006


HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis sebagai Tugas Akhir


Program Magang CPNS Dephut Formasi tahun 2004 dengan judul :
“Review Faktor Pembatas Ekologi dalam Upaya Pengembalian Populasi Liar
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)
Taman Nasional Bali Barat”

Telah disetujui dan disahkan pada :

Hari :
Tanggal : 14 Februari 2006
Tempat : Cekik

Menyetujui, Penyusun,
Pembimbing

(Wawan Suryawan, BSc.F.) (Teguh Rianto, S.Hut.)


NIP. 710016336 NIP. 710035719

Mengesahkan,
Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat
Ub. Kepala Bag. Tata Usaha

( Ir. Kuswaya, BSc.F. )


NIP. 080041127
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-
Nya, sehingga laporan kegiatan “Review Faktor Pembatas Ekologi dalam
Upaya Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di
Taman Nasional Bali Barat” dapat selesai. Laporan ini dimaksudkan sebagai
perrtanggungjawaban atas Program Magang CPNS Departemen Kehutanan yang
dilaksanakan selama 3 bulan (24 Nopember 2005 – 18 Februari 2006)
Bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak juga telah memberikan
pengaruh tersendiri sehingga sangat membantu terselesaikannya laporan ini. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Ir. Soedirun Dartosoewarno, selaku Kepala Balai Taman Nasional Bali
Barat,
2. Ir. Kuswaya, selaku Kepala Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Bali
Barat,
3. Ketut Catur Murbawa, S. Hut, selaku pembimbing kegiatan magang,
4. Wawan Suryawan, BSc. F, selaku pembimbing dalam penulisan laporan,
5. drh. Agus Krisna dan staffnya di Seksi Konservasi Wilayah III; Pak
Engkol, Mas Juni, Mas Reza, Pak Lah, terima kasih pengalaman-
pengalamannya di Menjangan, The Unforgettable!,
6. Drs. Abdullah Abbas, MM, dan staff di Seksi Konservasi Wilayah I; Pak
Jarman, Pak Nunus, Pak Made, Mas Ipung, Norman, terima kasih
pinjaman komputernya,
7. M. Noor Sooetawijaya, BSc. F dan staff Seksi Konsevasi Wilayah II; Pak
Nana, Pak Maman, Mas Karsun, Mas Sugi, Pak Sukadi, Pak Kasidi,
8. Teman-teman senasib seperjuangan di “seksi IV”, Kukuh as keple senior,
Mbak Eri, Mas Susi, Jenz, Asep Sawala Princess, Yani Suseksi dan Pipink
(makasih pinjaman motornya), Big Budi, Aris, Yuli, Leny, Opie (makasih
kameranya, jadi pengen lho?) dan Septi. Terima kasih for the all goodness
of you, jika tidak bisa membalas di sini, di dunia ini, semoga Yang Kuasa
bisa membalas di akhirat kelak. Amin.
9. Pak Putu, tetangga sebelah kami, maaf jika kami terlalu ramai dan
merepotkan, ........mematahkan jemuran?
10. Seluruh staff di Balai TNBB, terutama bagian konservasi yang telah rela
membagi tempat duduk dalam keseharian kami

Penulis menyadari bahwa tulisan dalam laporan ini masih sederhana,


walaupun tidaklah sesederhana dalam proses pembuatannya. Penulis sangat
menghargai saran dan kritik yang ditujukan untuk memperbaiki laporan ini.
Semoga laporan ini bermanfaat bagi dunia pengetahuan maupun pihak-pihak yang
berkepentingan. Amin.

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul ………………………………………………….................. i
Halaman Pengesahan .................................................................................... ii
Kata Pengantar ............................................................................................. iii
Daftar Isi ………………………………………………………………....... v
Daftar Tabel ……………………………………………………………...... vi
Daftar Gambar …………………………………………………………...... vii
Daftar Lampiran …………………………………………………………... viii
Intisari .......................................................................................................... ix

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Tujuan ........................................................................................ 2
1.3. Ruang Lingkup ....................................................................... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Ekologi Jalak Bali
a. Klasifikasi dan Morfologi ................................................. 4
b. Habitat ............................................................................. 5
c. Musim Biak ...................................................................... 7
d. Daerah Jelajah, Sebaran Alami dan Populasi Liar ........... 7
2. 2. Pemulihan Populasi Liar Jalak Bali ......................................... 9

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1. Lokasi Penelitian ....................................................................... 11
3.2. Waktu Penelitian ....................................................................... 13
3.3. Bahan dan Alat........................................................................... 14
3.4. Metode Pengumpulan dan Analisis Data ................................... 14

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4. 1. Melepasliarkan Satwa Seperti Melempar Koin ........................ 15
4. 2. Pengembalian populasi liar jalak Bali
4. 2. 1. Tahapan Pelepasliaran .......................................................... 15
a. Persiapan ........................................................................... 16
b. Pelepasan .......................................................................... 21
c. Monitoring ....................................................................... 22
4. 3. Habitat
4. 3. 1. Tipe habitat .......................................................................... 23
4. 3. 2. Produktivitas pakan .............................................................. 24
4. 3. 3. Iklim kering dan kebakaran hutan ........................................ 25
4. 3. 4. Pesaing dan predator ........................................................... 26

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ................................................................................ 28
5.2. Saran .......................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 29

LAMPIRAN ................................................................................................. 31

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Data Populasi Jalak Bali Menurut


Lokasi Penyebaran Dari Tahun 1974-2003 ...................................... 9
2. Jenis-jenis Fauna yang Dilindungi yang Terdapat di TNBB ……. 12
3. Jenis-jenis Flora yang Dilindungi yang Terdapat di TNBB …….. 13
4. Jadwal Kegiatan Penelitian ………………………………………... 14
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stress.) ....................................... 4
2. Kubah/ sangkar pelatihan pra lepas liar ........................................... 17
3. Kondisi dalam sangkar pelatihan pra lepas liar ................................ 18
4. Sangkar buatan …………………………………………………….. 18
5. Grafik Keadaan Populasi Jalak Bali ………………………………. 21
6. Habitat Jalak Bali di Teluk Brumbun ............................................... 24
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Tabel Asal Usul Induk Transfer
Jalak Bali dalam Kegiatan Penangkaran TNBB .............................. 31
2. Vegetasi Penting untuk Jalak Bali ................................................... 32
Review Faktor Pembatas Ekologi dalam Upaya Pengembalian Populasi Liar
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) Taman Nasional Bali Barat

Oleh :
Teguh Rianto, S. Hut*

Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dengan luas 19.002,89 Ha ditetapkan


dengan fungsi untuk mendukung kehidupan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi).
Populasi liar di habitat alamnya adalah kritis, survey tahun 2001 menyebutkan
hanya tersisa sejumlah 6 ekor. Penyebab pengurangan adalah pengurangan daerah
jelajah (terutama konversi lahan untuk pertanian atau pemukiman) dan
penangkapan liar (perdagangan, burung peliharaan).
Upaya pelestarian melalui penangkaran in situ dengan tujuan pelepasliaran
telah dilakukan pada tahun 1987-1995 oleh ICBP/ BirdLife melalui Proyek Bali
Starling. Kemudian setelah proyek berakhir ditangani secara intern TNBB sejak
1995 sampai sekarang. Satu hal menyedihkan bahwa produksi penangkaran
adalah sukses (populasi sejumlah 100 ekor lebih sampai tahun 2005) namun tidak
pada pertambahan populasi liarnya.
Kelestarian jalak Bali dapat ditinjau dari aspek keamanan hukum
(peraturan perundangan dan kebijakan), keamanan sosial (pengamanan dari
manusia) dan keamanan secara ekologi (faktor habitat dan perilaku alam). Tulisan
ini membahas aspek ekologi jalak Bali dengan fokus pada teknis pelepasliaran
yang dianggap bertanggung jawab terhadap pembentukan perilaku jalak Bali
ketika akan dilepas serta keadaan habitatnya.
Bahwa teknik pelepasliaran yang telah dilakukan dalam upaya
pengembalian jalak Bali ke habitatnya belum cukup untuk bisa dikatakan bisa
menjamin jalak Bali hasil pelepasan dapat survive dan hidup mandiri karena
kegiatan pelatihan adalah pasif. Poses pembentukan perilaku lebih condong ke
arah trial and error bukan pada suatu betuk pengenalan.
Habitat jalak Bali di sekitar Teluk Brumbun telah mengalami pergeseran
tipe vegetasi dari savana menjadi hutan sekunder oleh invasi jenis eksotik intaran
(Azadirachta indica).

*
Magang CPNS Dephut Formasi Th. 2004 di Balai Taman Nasional Bali Barat
Calon PEH pada Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, NTB

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dengan luas 19.002,89 Ha ditetapkan


dengan fungsi untuk mendukung kehidupan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)
(Anonim., 2005). Burung endemik Bali ini, secara hidupan liar dahulu dapat
dijumpai di sepertiga bagian pulau. Penyempitan areal penyebaran Jalak Bali
terjadi karena eksploitasi/penebangan, konversi untuk lahan pertanian, perkebunan
dan pemukiman maupun kebakaran hutan. Dan sekarang jenis ini hanya mendiami
daerah di ujung barat pulau di daerah hutan musim dan di padang rumput akasia
(Shannaz dkk., 1995).
Pengurangan daerah jelajah tersebut dan ditambah lagi penangkapan
burung secara ilegal untuk perdagangan ataupun burung peliharaan telah
menurunkan jumlah populasi liarnya di alam sampai batas kritis terendah. Pada
tahun 1990 jumlah liarnya di alam diperkirakan tinggal 13 ekor (van Balen dan
Gepak, 1994 dalam Shannaz dkk., 1995), walau jumlahnya di penangkaran masih
+ 700 ekor (van Helvoort, 1990 dalam Shannaz dkk., 1995). Sedangkan menurut
data sensus tahun 2001 hanya tersisa sejumlah 6 ekor, sehingga kemungkinan
berkembang pada tingkat aman masih sangat diragukan. Bas van balen (pemerhati
jalak Bali) pernah mengisyaratkan bahwa populasi aman bagi kelangsungan
kelestarian jalak Bali di habitat adalah + 500 ekor (Dartosoewarno, 2001).
Upaya untuk melestarikan spesies ini telah mendapatkan perhatian cukup
serius dari berbagai pihak di tingkat nasional maupun internasional. Secara hukum
Pemerintah Indonesia menetapkan sebagai satwa yang dilindungi berdasarkan SK
Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970, kemudian Peraturan Pemerintah No.
7 Tahun 1999. Jalak Bali tercatat dalam Red Data Book IUCN sejak 1966 dan
dikategorikan sebagai satwa yang paling terancam punah (critically endangered)
(tahun 2002). Disamping itu sejak tahun 1970, jalak Bali telah dimasukkan dalam
Appendix I CITES yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Keppres No. 43 Tahun 1978 (Dartosoewarno, 2004). Hal ini berarti bahwa semua
bentuk perdagangan internasional untuk Jalak Bali dilarang.
Proyek bali Straling sebagai proyek penyelamatan jalak Bali yang ada
sejak 1987 oleh ICBP (International Council for Bird Preservation) atau sekarang
BirdLife, bekerjasama dengan Pemerinrtah Indonesia dan kebun-kebun binatang
di Amerika dan Inggris telah membantu memperbaiki penjagaan di taman
nasional dan mendukung populasi liar di alam dengan melepaskan sejumlah kecil
burung hasil penangkaran dan mengembalikan jumlah liar di alam sampai
sejumlah 35 dan 55 ekor (dalam Shannaz, 1995). Proyek tersebut berakhir di
tahun 1995, dan upaya penyelamatan Jalak bali ditangani secara intern melalui
Program Pemulihan Populasi Liar Jalak Bali. Bagaimananpun hasil berbiak di
penangkaran ketika ditangani ICBP/BirdLife ataupun intern TNBB bisa dikatakan
sukses. Sejumlah 36 ekor burung sapihan diliarkan pada periode 1992/1993 dan
36-40 ekor pada tahun 1994 (Shannaz, 1995). Kemudian sejumlah 59 ekor
diliarkan sampai dengan tahun 2003 (Dartosoewarno, 2004). Hanya saja populasi
liar di habitat alamnya tidak pernah tercatat mengalami pertumbuhan bahkan
cenderung berkurang (pertumbuhan nol). Berdasarkan hasil survey pendahuluan,
ada dugaan awal bahwa faktor ekologi ini juga menjadi ancaman potensial
terhadap kelangsungan hidup jalak Bali paska pelepasan. Ada dugaan bahwa tidak
adanya pertumbuhan populasi liar disebabkan karena satwa tidak/kurang dapat
survive, jadi lebih ke faktor ketidaksiapan jalak Bali untuk beradaptasi dengan
lingkungan barunya. Tidak adanya pertumbuhan liar ini berlawanan dengan
produktivitas jalak Bali di penangkaran. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini
mencoba membahas mengenai permasalahan dalam pemulihan populasi liar Jalak
Bali di habitat alam, terutama berkaitan dengan upaya pelepasliaran dan keadaan
habitatnya, kemudian memberikan solusi alternatif.

1. 2. Tujuan
Untuk mengetahui permasalahan di dalam upaya pelestarian populasi liar
jalak Bali dan difokuskan berkaitan dengan upaya pelepasliaran dan habitatnya.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
1. 3. Ruang Lingkup
Untuk bisa survive jalak Bali harus diamankan secara hukum (peraturan
perundangan dan kebijakan), sosial (aman dari pencurian) dan, ekologi (kesiapan
terhadap lingkungan baru, keadaan habitat). Penelitian ini membahas satu faktor
yang menjadi ancaman keamanan terhadap kelangsungan upaya pelestarian yaitu
faktor pembatas ekologi sebagai satu lingkup bahasan tersendiri. Bukan berarti
memisahkan ketiga faktor seolah-olah sebagai suatu faktor yang saling tidak
berhubungan, akan tetapi lebih kepada tujuan penyederhanaan bahasan. Faktor
ekologi dalam bahasan tulisan ini adalah upaya pelepasliaran (pra-paska) dan
keadaaan habitat yang dianggap bertanggung jawab terhadap kelangsungan
hidupan liar jalak Bali.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Ekologi Jalak Bali


2. 1. a. Klasifikasi dan Morfologi
Klasifikasi jalak Bali sebagai berikut (Pujiati, 1987) :
Phyllum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passerformis
Sub Ordo : Ocines
Famili : Sturnidae
Spesies : Leucopsar rothschildi Stressemann, 1912 (jalak Bali, curik putih,
jalak putih Bali )

© TNBB

Gambar 1. Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stress.)

Jalak Bali memiliki tubuh berukuran sedang (+25 cm), berwarna putih.
Bulu seluruhnya putih bersih, kecuali ujung sayap dan ujung ekor hitam
Mempunyai jambul (kuncir) yang indah dengan panjang 9-12 cm, baik dari jenis
kelamin jantan maupun pada betina. Jalak Bali jantan mempunyai jambul lebih
panjang daripada yang betina. Matanya berwarna coklat tua, daerah sekitar
kelopak mata tanpa bulu seolah-olah membentuk bayangan mata (eye shadow)
berwarna biru muda. Paruh runcing dengan panjang 2-3 cm, berbentuk khas yaitu
dibagian atasnya terdapat peninggian yang memipih tegak. Warna paruh abu-abu

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
kehitaman dengan ujung berwarna kuning kecoklat-coklatan. Kaki jalak Bali
berwarna abu-abu pucat (Pujiati, 1987).

2. 1. b. Habitat
Untuk mendukung kehidupan satwa liar diperlukan satu kesatuan kawasan
yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih,
garam mineral, tempat berlidung berkembang biak dan tempat untuk bermain
serta mangasuh anak. Kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik
maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat
hidup serta berkembang biak satwa liar disebut habitat (Anonim., 2002).
Satwa menempati habitat sesuai dengan kebutuhannya saat itu. Setiap
aktivitas satwa membutuhkan kondisi habitat yang berbeda. Habitat yang
dimanfaatkan satwa pada suatu saat sesuai dengan fungsinya disebut sebagai
habitat aktual. Sedangkan kawasan luas yang terdiri dari berbagai tipe habitat
disebut sebagai habitat potensial. Secara umum, habitat mempunyai fungsi dalam
penyediaan makanan, air, ruang dan berlindung (Anonim., 2002).
Tempat-tempat yang dipergunakan untuk tidur, bersarang, mencari makan
dan minum dapat merupakan daerah dengan tipe habitat yang berbeda (Alikora,
1978 dalam Pujiati, 1987). Jalak Bali mencari makan di pohon-pohon atau semak-
semak yang tumbuh di bawah pohon. Kadang-kadang turun ke padang rumput
yang terdapat di antara semak-semak. Makanan alami jalak Bali terdiri dari
macam-macam serangga (ulat, belalang, semut, dan rayap) dan buah-buahan
(buah kepuh, bidara dan murbei). Makanan utama jalak Bali pada musim hujan
adalah buah kerasi (Lantana camara) dan bunga kemloko (Phylanthus emblica)
(dalam Pujiati, 1987). Menurut Suprapto dan Suryawan (Anonim., 1994) Jalak
Bali juga memakan jenis-jenis makanan seperti buah walikukun (Schoutenia
ovata), bunga laban (Vitex pubescens), bunga dadap (Erythrina orientalis).
Kemudian juga talok (Grewia koordersiana), buni (Antidesma bunius ), bekul
(Zyzyphus mauritiana), trenggulun, kalak, ciplukan, kelayu (Suryawan, 1994).
Pohon-pohon yang dipergunakan sebagai tempat bersarang antara lain
pilang (Acacia leucophloea), lontar (Borassus flabellifer), talok (Grewia

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
koordersiana), laban (Vitex pubescens), kesambi (Schleichera oleasa) (dalam
Pujiati, 1987), klumprit (Terminalia microcarpa), dan walikukun (Schoutenia
ovata) (Anonim., 1994). Lubang-lubang aktif yang dipergunakan untuk bersarang,
dapat dijumpai pada kondisi topografi yang berbeda. Di lereng bukit yang curam,
lembah maupun pada permukaan topografi yang datar. Lubang aktif tersebut
umumnya berada di antra tajuk pohon sehingga tersembunyi sedemikian rupa dan
terlindung dari incaran satwa pemangsa. Umumnya tidak jauh dari sekitar sarang
merupakan lingkungan dengan kondisi makanan melimpah (Anonim., 1994).
Tinggi lubang sarang antara 2,5-7 m dengan diameter lubang + 10 cm. Sarang
tersebut biasanya merupakan bekas lubang yang dibuat oleh burung pelatuk
(Dryocopus pileatus) atau lubang-lubang alami di pohon (dalam Pujiati, 1987).
Sarang disusun dari ranting-ranting, daun-daun dan rumput-rumput kering .
Menurut Suprapto dan Suryawan (Anonim., 1994) jalak Bali biasanya
tidur di antara semak belukar yang hijau sepanjang tahun, berduri dan memanjat
seperti landepan (Barleria prionitis) dan kaliage, atau diantara tajuk pohon yang
selalu hijau seperti malaman (Cleistanthus myrianthus), suli (Bridelia monaica),
kesambi (Schleichera oleasa) di sekitar daerah lereng lembah. Kondisi tempat
tidur tersebut tampak akan kontras pada saat musim kemarau karena kondisi
sekitarnya yang kering meranggas. Dan Jalak Bali belum pernah dijumpai tidur
bertengger di atas pohon. Menurut Alikodra (dalam Pujiati, 1987) tempat yang
dipergunakan untuk mencari minum adalah tempat berair, misalnya rawa-rawa di
bawah hutan buta-buta (Excoecaria agallocha), mata air atau embun yang melekat
pada daun.
Habitat terakhir ditemukannya jalak Bali di TNBB hanya disekitar bagian
utara semenanjung Prapat Agung, yaitu di daerah Teluk Brumbun dan Teluk
Kelor (Dartosoewarno, 2001) merupakan daerah bertipe iklim kering dengan
musim kemarau yang lebih panjang, tanpa mata air ataupun air permukaan. Satu-
satunya sumber air adalah air payau pada kubangan-kubangan lantai hutan
mangrove (Suryawan, 2004).
Habitat jalak Bali terdiri atas tiga macam tipe vegetasi yaitu hutan musim,
savana dan mangrove (Anonim., 1994). Hutan musim tersusun oleh jenis-jenis

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
seperti talok (Grewia koordersiana), walikukun (Schoutenia ovata), kapasan
(Croton argyrathus), putian ( Symplocos javanica), kesambi (Schleichera oleasa),
kemloko (Phylanthus emblica), suli (Bridelia monaica), dan laban (Vitex
pubescens). Di lantai hutan musim disusun oleh jenis-jenis kerasi (Lantana
camara), kirinyuh (Eupatorium inufolium), dan nyawon (Vernonia cinerea).
Vegetasi savana terdiri dari padang rumput (kerasi, kirinyuh, dan nyawon) yang
diselang-seling oleh beberapa jenis pohon seperti pilang (Acacia leucophloea) dan
kemloko (Phylanthus emblica). Sedangkan jenis-jenis penyusun mangrove seperti
Ceriops tagal, sentigi (Pemphis acidula), Excoecaria agallocha, Rhizophora
apiculata, Rhizophora stylosa, api-api (Avicenia marina), dan prapat (Sonneratia
alba) (Suryawan, 2004).

2. 1. c. Musim Biak
Musim berbiak Jalak Bali mulai periode Nopember, aktif berpasangan
sampai memasuki periode awal muasim penghujan pada bulan Januari pasangan
induk diantaranya sudah ada yang mulai bertelur. Periode berbiak ini berlangsung
hingga bulan Mei dimana bulan basah mulai berakhir. Setaip pasangan biasanya
hanya menghasilkan satu sampai dua anak setiap musim berbiaknya. Lama waktu
aktivitas biak mulai dari bertelur hingga anak keluar dari sarang yaitu selama
kurang lebih 40 hari dengan rincian 15 hari mengeram, dan 25 hari membesarkan
anak dalam sarang biak (Suryawan, 2004).

2. 1. d. Daerah Jelajah, Sebaran Alami dan Populasi Liar


Burung liar membutuhkan lingkungan yang tepat untuk menyelasaikan
seluruh proses berkembang biak. Jika tidak mampu memperoleh makanan yang
memadai, tempat bersarang atau daerah jelajah yang baik, maka prosesnya akan
mengalami gangguan bahkan sampai tidak jadi (Cahyadin, 1993). Daerah jelajah
Jalak Bali untuk pasangan berbiak di Teluk Kelor antara 2,4-3,5 ha (Cahyadin,
1993), situasi ini mungkin umum. Ada indikasi bahwa pasangan berbiak
mempertahankan teritorinya sepanjang tahun.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Daerah jelajah jalak Bali di Semenanjung Prapat Agung terkonsentrasi di
Teluk Brumbun-Teluk Kelor, meliputi kawasan Teluk Brumbun, Hulu, dan
Lembah Lestari Timur, Lembah Lestari Barat, Lembah Gonbang, Bukit Gondang,
Bukit Utama dan Teluk Kelor (Imansyah, 2001). Menurut Cahyadin (1993)
daerah jelajah jalak Bali di alam bervariasi tergantung dari keadaan iklim. Di
Taman Nasional Barat pada iklim normal dengan curah hujan cukup, cenderung
untuk menetap di daerah Batu Licin sampai Batu Gondang, sedangkan pada
musim kering akan menetap di lembah-lembah yang sempit di daerah Teluk Kelor
sampai Teluk Brumbun dan sekitar pemukiman di Tegal Bunder (Cahyadin,
1993).
Menurut sejarah sebarannya, jalak Bali pernah ditemukan di daerah
Bubunan, Singaraja ( kurang lebih 50 Km sebelah Timur kawasan TNBB). Hal
ini memberi gambaran bahwa sebaran Jalak Bali pada masa lampau meliputi areal
lebih luas (Anonim., 1994). Berikut data lokasi penyebaran dan populasi yang
tercatat dari tahun 1974- 2003 :

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Tabel 1. Data Populasi Jalak Bali Menurut Lokasi Penyebaran Dari Tahun 1974-2003.
Lokasi Jumlah
No Tahun a b c d e f g h (ekor)
1. 1974 13 6 42 0 2 13 36 0 109
2. 1975 15 7 20 0 18 0 23 24 107
3. 1976 35 0 35 0 0 0 21 0 91
4. 1978 25 0 37 3 0 0 22 0 87
5. 1979 7 0 4 2 25 35 11 0 84
6. 1980 35 0 24 0 28 7 7 0 105
7. 1991 0 0 0 0 23 2 7 4 36
8. 1992 0 0 0 0 0 4 28 16 48
9. 1993 0 0 0 0 0 4 16 17 37
10. 1994 0 0 0 0 0 2 16 17 29
11. 1995 0 0 0 0 0 1 9 18 28
12. 1996 0 0 0 0 0 0 8 8 28
13. 1997 0 0 0 0 0 0 10 11 14
14. 1998 0 0 0 0 0 0 0 26 26
15. 1999 0 0 0 0 0 0 11 16 37
16. 2000 0 0 0 0 0 0 2 13 15
17. 2001 0 0 0 0 0 0 3 3 6
18. 2002 0 0 0 0 0 0 0 9 9
19. 2003 0 0 0 0 0 0 0 29 29
20. 2004 0 0 0 0 0 0 0 24 24
21. 2005 0 0 0 0 0 0 0 12 12
Sumber : TNBB, 2005
Keterangan Lokasi :
a. Banyu Wedang c. Tegal Bunder e. Prapat Agung g. Teluk Kelor
b. Teluk Terima d. Cekik f. Lampu Merah h.TelukBrumbun

2. 2. Pemulihan Populasi Liar Jalak Bali


Pemulihan populasi Liar Jalak Bali merupakan upaya untuk meliarkan sub
populasi buatan ke habitatnya. Cikal bakal sub populasi buatan yang akan
diliarkan secara keseluruhan diperoleh dari hasil penangkaran Jalak Bali yang
dikelola secara intern oleh TNBB. Harapan dengn bertambahnya jumlah individu

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
populasi liar akan bangkit kembali untuk berkembang biak secara mandiri secara
alamiah di habitatnya (Dartosoewarno, 2004).
Program Pemulihan populasi Liar jalak Bali oleh TNBB dapat
dikelompokkan dalam empat lingkup kegiatan, meliputi penangkaran,
pelepasliaran, pembinaan habitat dan pengamanan. Lingkup kegiatan penangkaran
meliputi pengkayaan individu melalui program pembiakan di penangkaran,
peningkatan produktivitas biak melalui perbanyakan pasangan induk,
pemeliharaan kualitas induk, pembesaran dan perawatan piyik, penyapihan anak,
sampai dengan aktivitas pengelompokan individu untuk populasi bentukan.
Sedangkan kegiatan pelepasliaran meliputi pelatihan pralepas liar, peliaran ke
habitat, dan monitoring paska pelepasan (Dartosoewarno, 2004).

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian di lakukan di Taman Nasonal Bali Barat. Taman Nasional Bali


Barat (TNBB) secara administrasi pemerintahan, terletak dalam 2 kabupaten yaitu
Kabupaten Buleleng dan Jembrana, Propinsi Bali. Secara geografis terletak antara
8o 05' 20" sampai dengan 8 o 15' 25" LS dan 114 o 25' 00" sampai dengan 114o 56'
30" BT. Topografi kawasan terdiri dari dataran landai (sebagian besar datar), agak
curam, dengan ketinggian tempat antara 0 s.d 1.414 mdpl. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 493 / Kpts - II / 1995 tanggal 15 September
1995 TNBB mempunyai luas 19.002,89 Ha yang terdiri dari kawasan daratan
seluas 15.587,89 Ha dan kawasan perairan 3.415 Ha. Kemudian berdasarkan Surat
Keputusan Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam No. 186 / Kpts / DJ - V /
1999 Tanggal 13 Desember 1999 tentang penunjukan zona pada TNBB, terdiri
dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif dan zona pemanfaatan
budaya.

Berdasarkan Schmidt-Ferguson, kawasan TNBB termasuk dalam tipe


iklim C, D dan E dengan curah hujan rata-rata C : 1.559 mm/tahun, D : 1.064
mm/tahun, E : 972mm/tahun. Taman Nsional Bali Barat yang terletak di daerah
Trofis yang dipengaruhi angin Munson mendapat penyinaran sepanjang tahun,
dengan kelembaban udara antara 55 % sampai 85 %, kelembaban udara di
dalam hutan sekitar 86 %. Temperatur udara rata-rata 33o C pada beberapa lokasi,
Sungai-sungai yang ada dalam kawasan TNBB meliputi S. Labuan Lalang, S.
Teluk Terima, S. Trenggulun, S. Bajra / Klatakan, S. Melaya, dan S. Sangiang
Gede. Kecepatan angin berkisar 5 – 10 km/jam. Kondisi topografi Taman
Nasional Bali Barat mempengaruhi curah hujan setempat. Hal ini dapat dilihat
pada keadaan musim kemarau, yaitu lereng bagian Selatan pegunungan lebih
hijau dibandingkan dengan bagian Utara pegunungan.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
TNBB seringkali identik sebagai taman nasional yang dibentuk untuk
memberikan perlindungan bagi kelangsungan / keberadaan Jalak Bali (Leucopsar
rothchildi). Namun secara umum dapat dikatakan kawasan TNBB kaya akan
potensi fauna. Berdasarkan jenisnya, fauna yang terdapat di TNBB antara lain
terdiri dari 7 jenis mamalia, 2 jenis reftilia, 105 jenis aves, 120 jenis ikan, dan
lain-lain.

Tabel 2. Jenis-jenis Fauna yang Dilindungi yang Terdapat di TNBB

No NAMA NAMA ILMIAH STATUS


1 Jalak Bali Leucopsar langka; dilindungi
rothschildi
2 Trenggiling, Kesih (Bali) Manis javanicus Langka; dilindungi katagori II
(CITES)
3 Jelarang, Kapan-kapan Ratufa bicolor Langka; dilindungi katagori II
(Bali) (CITES)
4 Landak Hystric branchyura Langka
5 Kueuk Felis marmorata langka; dilindungi populasi
menurun
6 Menjangan Cervus timorensis Dilindungi; katagori II (CITES)
7 Banteng Bos javanicus langka; menuju kepunahan
katagori III vulnerable
8 Pelanduk, Kancil (Bali) Trangulus javanicus langka; dilindungi populasi
menurun
9 Biawak Varanus salvator langka;
10 Penyu rider Lepidochelys langka; dilindungi
olivceae

Berdasarkan ketinggian tempat maka kawasan TNBB dibagi dalam 2


ekosistem yakni Tipe Ekosistem Darat yang meliputi : Ekosistem Hutan
Mangrove, Ekosistem Hutan Pantai, Ekosistem Hutan Pantai, Ekosistem Hutan
Musim, Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah, Ekosistem Evergreen,
Ekosistem Savana, dan Ekosistem River Rain Forest. Sedangkan Tipe Ekosistem
Laut meliputi Ekosistem Coral Reef, Ekosistem Padang Lamun, Ekosistem Pantai
Berpasir, Ekosistem Perairan Laut Dangkal, Dan Ekosistem Perairan Laut Dalam.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Tabel 3. Jenis-jenis Flora yang Dilindungi yang Terdapat di TNBB

No NAMA NAMA ILMIAH STATUS


1 2 3 4
1 Bayur Pterospermum Tanaman langka (IUCN;
diversifolium dilindungi SK Mentan No.
54/Kpts/Um/2/1972
2 Buni Antidesma bunius Tanaman langka
3 Bungur Langerstroemia Tanaman langka (IUCN;
speciosa dilindungi SK Mentan No.
54/Kpts/Um/2/1972
4 Burahol Steleochocarpus Langka;
burahol
5 Cendana Santalum album Tanaman langka (IUCN;
dilindungi SK Mentan No.
54/Kpts/Um/2/1972
6 Kemiri Aleuritas moluccana Tanaman langka (IUCN;
dilindungi SK Mentan No.
54/Kpts/Um/2/1972
7 Kepah, Kepuh (Bali) Sterculia foetida Tamanam langka IUCN
8 Kesambi Schleichera oleosa Tamanam langka IUCN
9 Kruing bunga Diptercocaus Tanaman langka BTNBB
Hasseltii
10 Mundu Garcinia dulcis Tamanam langka IUCN
11 Pulai Alstonia scolaris Tamanam langka IUCN
12 Sawo kecik Manilkara kauki Tamanam langka (IUCN;
dilindungi SK Mentan No.
54/Kpts/Um/2/1972)
13 Sono keling Dalbergia latifolia Tanaman Langka (IUCN;
dilindungi SK Mentan No.
54/Kpts/Um/2/1972)
14 Trengguli Cassia fistula Tanaman Langka

3.2. Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan selama berlangsungnya Kegiatan Magang CPNS
Dephut, yakni 3 bulan, mulai tanggal 24 Nopember 2005-18 Februari 2006.
Tahapan-tahapan di dalam penelitian ini disusun dalam tabel sebagai berikut :

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Tabel 4. Jadwal Kegiatan Penelitian
No Kegiatan Bulan I Bulan II Bulan III
M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4
1. Survey
pendahuluan
2. Rancangan
penelitian
3. Pengambilan
data
4. Penulisan
laporan
5. Seminar hasil
6. Revisi
Keterangan : M = Minggu ke-...

3.3. Bahan dan Alat


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah alat tulis dan
kamera.

3.4. Metode Pengumpulan dan Analisis Data


Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, wawancara dengan
petugas lapangan, dan observasi lapangan. Hasil pengamatan dianalisis secara
deskriptif kualitatif.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Melepasliarkan Satwa Seperti Melempar Koin


Setiap makhluk hidup di dunia ini layak untuk hidup bebas di alam. Bukan
dalam kandang yang hanya beralas pada pola kepuasan manusia. Setiap satwa
mempunyai fungsi ekologis masing-masing. Bukan tanpa sebab satu invidu
diciptakan dan bukan tanpa akibat pula jika satu individu hilang dari alam.
Keberadaan suatu satwa lebih penting menyangkut kelangsungan kehidupan di
alam ini. Dengan dasar konsep tersebut pelepasliaran adalah penting. Namun,
permasalahan tidak begitu saja selesai setelah pelepasan berjalan, sebab masih ada
tanggung jawab moral yang dibebankan. Dalam kehidupan sebelumnya (di
penangkaran) satwa hanya hidup dalam suatu ruangan ukuran tertentu,
diperhatikan kebutuhannya, diberi pakan kesukaannya, kemudian tiba-tiba harus
hidup dengan usaha mereka sendiri (dilepas ke alam). Sebab ketidaktahuan satwa
akan habitatnya yang lebih luas, yang bukan sekedar ukuran kuadrat tertentu,
memunculkan pertanyaan bagaimana hidup mereka nanti di lingkungan barunya.
Seperti melempar koin, apabila mendapat salah satu sisinya sebagai suatu
kemenangan, bukan berarti sisi satunya tidak bakal muncul juga. Karena proses
sebenarnya baru dimulai, apakah keberadaan satwa lepasan tersebut dapat
dikatakan terjamin kehidupan setelahnya?

4. 2. Faktor Teknis Pelepasliaran


Pelepasliaran kembali satwa hasil penangkaran ke habitat alaminya
ditujukan untuk meningkatkan populasi sesuai dengan daya dukung habitatnya.
Harapan ke depannya adalah bertambahnya individu melalui proses perbiakan
alami kemudian populasi liar meningkat, terjadi perkawinan silang dengan
populasi liar yang telah ada sehingga terjadi perbaikan kualitas genetis.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
a. Persiapan
Prosedur seluruh rangkaian kegiatan persiapan pelepasliaran jalak Bali di
TNBB meliputi seleksi keturunan, seleksi kelamin, pembentukan sub populasi, tes
medis, dan pelatihan pra pelepasan.
Proses seleksi keturunan dilakukan untuk memastikan calon peserta
pelatihan tidak berasal dari satu pasang induk, untuk menghindari terjadinya
inbreeding. Seleksi kelamin bertujuan untuk memilih pasangan dengan komposisi
sex ratio sama, satu pasangan adalah satu jantan dan satu betina. Harapannya
setelah diliarkan dapat melakukan pertambahan individu melalui perbiakan
alamiah. Kemudian individu-individu hasil seleksi dipersatukan dalam sangkar
pra pelatihan dalam rangka pembentukan sub populasi buatan. Pembentukan sub
populasi buatan dilakukan sejak usia individu 50-60 hari dengan pertimbangan
pada usia tersebut individu telah mandiri dalam mengkonsumsi kebutuhan
pakannya. Pengelompokkan dini dimaksudkan agar individu-individu saling
mengenal sebagai suatu koloni membangun soliditas kelompok. Jalak bali dalam
hidupan liarnya hidup secara berkelompok dan akan menolak terhadap individu
lain yang mencoba memasuki kelompoknya.
Pelatihan pra lepas liar merupakan suatu bentuk pelatihan terhadap sub
populasi buatan sebelum diliarkan ke habitatnya untuk program penggemukan
populasi liar. Sarana pelatihan yaitu berupa sangkar berukuran tinggi 17 m,
diameter 30 m, terbuat dari bahan terali kawat dengan ukuran lubang 1x1 cm,
berkerangka besi siku yang terpancang di atas pondasi setinggi 1 m (Gambar 2).
Lokasi sangkar pelatihan terletak di habitat alam Jalak bali di kawasan Teluk
Brumbun, Semenanjung Prapat Agung, TNBB.
Inti pelepasliaran adalah satwa lepas mampu bertahan hidup dalam habitat
barunya, sehingga tujuan penting pelatihan pra lepas liar adalah membuat satwa
calon lepasan dapat menyesuaikan diri dengan habitat barunya (Abey, 1999).
Tujuan pelatihan pra lepas liar di TNBB didefinisikan sebagai :
- Pelatihan kemampuan individu untuk bisa beradaptasi terhadap
lingkungan baru, seperti terhadap keadaan panas, angin, hujan (keadaan
cuaca) serta komponen-komponen penyusun lingkungan seperti vegetasi,

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
burung-burung jenis lain, mamalia, reptil, primata, dan satwa predator,
pelatihan interaksi dengan populasi liar jalak Bali yang telah ada.
- Juga pelatihan optimalisasi kemampuan individu untuk berlindung dari
predator, berburu pakan alam.
- Pelatihan pemanfaatan habitat seperti pemanfaatan vegetasi untuk
bertengger, areal berburu pakan, vegetasi sebagai tempat berlindung,
bermain, berbiak, dan sebagainya.

Gambar 2. Kubah/ sangkar pelatihan pra lepas liar

Penilaian terhadap kegiatan persiapan pelepasliaran di TNBB sebagai


berikut:
Kondisi sangkar pelatihan
Kondisi sangkar pelatihan dideskripsikan sebagai berikut : pohon
pilang-sejumlah tujuh pohon, enam pohon intaran; lantai hutan bersemak
belukar, kolam persediaan air model tembok yang dibuat lebih tinggi dari
permukaan tanah, serta sarang buatan yang ditempel di pohon pilang untuk
pelatihan berbiak (Gambar 3-4).
Dengan kondisi seperti disebutkan, memang ada kemiripan dengan
kondisi habitat liarnya. Namun untuk dapat memenuhi tujuan pelatihan,
ada komponen yang masih kurang. Keadaan yang ada mungkin hanya
mensimulasi bagaimana jalak Bali mengenal pohon untuk bertengger,
bermain, mengenal genangan air buatan (kolam), ataupun mengenal
burung jenis lain meskipun dibatasi pagar. Tetapi tidak untuk berburu
pakan alam seperti buah, menurut catatan jalak Bali tidak memakan buah

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
intaran. Bagaimana juga dengan simulasi mengenal predator, jika predator
adalah ancaman potensial terhadap populasi liar (meskipun belum ada
konfirmasi ilmiah mengenai predator yang memangsa jalak Bali).

Gambar 3. Kondisi dalam sangkar


pelatihan pra lepas liar
Gambar 4. Sangkar buatan

Perlakuan pemberian pakan dan jenis pakan


Pakan diberikan harian. Jenis pakan yang diberikan terdiri dari
pakan buatan (semacam pelet - biasa diberikan pada burung-burung
budidaya), pakan alami seperti kroto, jangkrik, belalang, ulat hongkong
dan buah-buahan (pepaya dan pisang). Model perlakuan pemberian pakan
dan jenis pakannya ini masih sama ketika burung masih menjalani proses
sebelumnya (penangkaran sampai dengan seleksi pra pelatihan). Tidak ada
pengenalan kepada pakan alami sebenarnya yang ada di habitat liarnya.
Bukankah penempatan burung disini untuk dilatih untuk bisa mandiri
nantinya? Mengapa masih disamakan dengan perlakuan sebelumnya?
Kroto, jangkrik ataupun belalang mungkin masih bisa ditemukan di habitat
lepasannya nanti, tidak untuk pelet, pisang ataupun pepaya. Pengkayaan
habitat dengan penanaman pepaya atau pisang pun tidak mungkin
dilakukan (pelanggaran UU no. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 33 (1) : kegiatan merubah zona inti
kawasan dengan introduksi spesies asing) .
Seharusnya ada saat dimana jalak bali diberi pakan alam yang ada
di habitatnya sekarang, karena yang akan mendukung hidupnya nanti

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
hanyalah buah/pakan lain yang tersedia di alam. Dukungan atau bantuan
manusia nantinya setelah pelepasliaran memang masih diberikan tapi
sifatnya tidak permanen dan dikurangi serta dihilangkangkan secara
bertahap hingga saat satwa yang dilepaskan dapat hidup mandiri di hutan
(Anonim., 2004). Jika tidak, otomatis optimalisasi kemampuan individu
untuk berburu pakan di habitatnya nanti kurang, karena dalam memori
burung tidak ada pengetahuan tentang jenis pakan yang ada di alam.
Kalaupun ada merupakan hasil dari proses trial and error (mencoba
sesuatu untuk kemudian tahu dan disimpan dalam memori bahwa sesuatu
itu baik atau tidak baik untuknya) ketika dilepas nanti. Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana bisa insting liar terbentuk disini, mengingat
bahwa jalak Bali yang dilepaskan ini tidak mempunyai gen liar, dilihat
dari asal usul induk (Lampiran 1), gen yang ada pada jalak Bali lepasan
merupakan keturunan kesekian dari gen asli. Menurut Prasetyo (2005)
syarat satwa yang dilepaskan selain harus mempunyai kondisi fisik yang
layak juga harus sudah memiliki insting liar seperti insting mencari
mangsa bila harus mencari makan.
Pelatihan kemampuan individu
Kesiapan jalak Bali terhadap kondisi lingkungan di kawasan
TNBB merupakan faktor penting yang harus diantisipasi ketika akan
melakukan pelepasan. Pelatihan kemampuan individu ini pada dasarnya
adalah pembentukan insting liar. Selama masih dalam tahap pelatihan,
seharusnya dukungan manusia (pihak pengelola) adalah aktif. Jika melihat
pada tujuan pelatihan, ada banyak tujuan yang tidak terpenuhi. Penilaian
ini didasarkan pada kondisi penangkaran dan waktu pelatihan. Pelatihan
yang ada mungkin hanya memenuhi tujuan pengenalan pemanfaatan
habitat untuk bertengger atau bermain, maupun pelatihan kemampuan
individu untuk bertahan pada cuaca panas. Tetapi tidak tujuan pelatihan
untuk berburu pakan alam (tidak ada pohon buah sebagai pakan yang
disukai jalak Bali), tidak untuk berlindung dari predator (tidak ada
simulasi mengenal predator), tidak untuk pelatihan kemampuan bertahan

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
dalam cuaca basah, serta tidak untuk pelatihan berbiak (waktu pelatihan
yang terbatas, 2-3 bulan sebelum musim hujan)
Adanya anggapan bahwa waktu yang akan menjawab proses
adaptif. Bagaimana jika waktu tidak berpihak? Proses adaptif yang ada
adalah terbentuk dengan sendirinya, dan pengetahuan burung tersebut
nantinya masih sangat terbatas. Untuk hal-hal lain lagi-lagi proses trial
and error yang berbicara. Seandainya yang dicoba adalah sesuatu yang
benar, maka hal itu tidak menjadi masalah, tetapi jika sesuatu yang dicoba
adalah sesuatu salah, akan fatal akibatnya, mungkin berakhir dengan
kematian.
Waktu pelatihan
Lama waktu pelatihan dapat didasarkan pada siap dalam kategori
fisik dan perilaku, seperti kesehatan satwa selama waktu pelatihan,
perilaku umum seperti agresifitas dalam mencari pakan secara mandiri,
menunjukkan perilaku liar, cukup sensitif dengan kehadiran manusia
(Prasetyo, 2005).
Menurut hasil pengamatan, lama waktu pelatihan setidaknya
berlangsung selama kurang lebih dua sampai tiga bulan sebelum musim
penghujan tiba, yaitu pada awal bulan Oktober atau Nopember. Hasil
pelaporan monitoring dan evaluasi sebelumnya menyebutkan bahwa lama
waktu enam bulan pelatihan menyebabkan terciptanya perilaku individu
yang semakin jinak. Dapat saja terjadi hal seperti itu, sebab perlakuan
burung saat pelatihan sama dengan ketika masih dipenangkaran. Yang
membedakan hanyalah ukuran sangkarnya saja. Satwa dikurung, dalam
waktu lama, rutin diberi pakan. Dalam keadaan ini satwa menjadi terlalu
biasa dengan manusia. Bukankah sama dengan burung-burung peliharaan
pada umumnya?
Dengan alasan yang bersifat politis, bahkan untuk periode tahun
2005 ini jalak Bali menjalani masa pelatihan di sangkar pelatihan hanya
berlangsung selama satu bulan. Hal ini menjadi bukti bahwa upaya
konservasi masih bisa dibatasi oleh suatu muatan kepentingan tertentu

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
yang sifatnya ego semata. Upaya konservasi seharusnya tidak boleh ada
pembatasan, tidak boleh ada free riders yang mengambil untung tanpa
memperhatikan kepentingan yang lebih besar sebagai tujuan utama. Perlu
disegarkan kembali tentang amanah utama yang diemban institusi ini :
kelestarian jalak Bali.

b. Pelepasan
Pelepasan jalak Bali dilakukan dengan tujuan pemulihan populasi liar di
alam yang saat ini dalam kondisi kritis. Kegiatan pelepasan ini dilakukan secara
bertahap setiap tahunnya. Berikut grafik keadaan populasi jalak Bali :

120
rencana dilepas periode 2001-2005
jumlah populasi dilepas
populasi liar diharapkan 2001-2005 106
100 populasi liar hasil survey paska pelepasan
produktivitas penangkaran sampai 2004
populasi penangkaran s.d. 2004 setelah kematian, peliaran, dll
88

80

73
Jumlah individu

64
60 61
60
57 58
59

42 45 44
40 38 41
41
37
36 34
28 30 29

26 28 23 28 24
27
20 24
20 21
15 17 12
11 12 10
9 10 10
3 6
0 0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun

Gambar 5. Grafik Keadaan Populasi Jalak Bali

Jumlah individu yang dilepas kurang dari jumlah seharusnya seperti dalam
perencanaan (Program Pemulihan Populasi Lima Tahunan Jalak Bali) dikarenakan
produktivitas penangkaran dibatasi oleh anggaran. Anggaran jatah makanan pada
tahun berjalan faktor keterbatasan jatah makanan dimana jatah anggaran
mengikuti jumlah yang telah diajukan sebelumnya sedangkan populasi pada tahun
berjalan terus bertambah. Disamping hal tersebut, pengelola masih harus

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
menyisihkan anakan (dengan kualitas yang sama dengan jalak Bali yang dilepas)
yang diperuntukkan sebagai calon induk.

c. Monitoring
Monitoring merupakan kegiatan lanjutan paska pelepasan yang
dilaksanakan oleh tenaga fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), dimulai
sejak peliaran hingga periode peliaran tahun berikutnya. Monitoring dilaksanakan
setiap dua hari sekali, sekaligus pemberian pakan di lokasi pelepasan. Dalam
kegiatan ini dilakukan pendataan mengenai :
kemampuan adaptasi jalak Bali dalam pemanfaatan habitat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya seperti pakan dan air, vegetasi untuk
berlindung dari keadaan cuaca dan predator, vegetasi sebagai tempat untuk
beristirahat dan tidur, vegetasi sebagai tempat untuk berkembang biak,
kemampuan untuk melakukan aktivitas biaknya secara alamiah dengan
memanfaatkan media biak alam maupun buatan,
pendataan mengenai faktor-faktor tertentu yang berpengaruh sebagai
faktor pembatas kelangsungan hidup jalak Bali, seperti predator,
komponen habitat, termasuk juga adanya indikasi perburuan liar.
Menurut hasil pengamatan kegiatan yang ada lebih disebut sebagai
kegiatan pemberian pakan daripada kegiatan monitoring. Jika perilaku harian
jalak Bali didefinisikan sebagai perilaku 12 jam maka ada informasi yang kurang.
Monitoring yang dilakukan selama ini berlangsung beberapa jam saja. Sisa jam
pengamatan selanjutnya dibawah tenaga fungsional Polisi kehutanan (Polhut),
akan tetapi sifat observasinya adalah keamanan semata, nilai informasi yang
bersifat ekologis tentunya akan lebih bermakna ketika observasi dilakukan oleh
tenaga yang sesuai peruntukkannya. Menurut penilaian kami, seperti ada perasaan
jenuh, atau telah terbiasa karena kegiatan ini telah berlangsung sejak 1998
sehingga data-data tentang perilaku harian seperti sudah bisa ditebak, sudah
terekam seperti keadaan pelepasliaran tahun-tahun sebelumnya.
Pelepasliaran adalah permanen, akan tetapi bantuan atau dukungan
manusia masih diberikan dan dikurangi serta dihilangkan secara bertahap.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Bantuan dan dukungan dalam hal ini seperti pakan, air, maupun keamanan
habitat. Perlakuan pemberian pakan dan air paska pelepasan dilakukan bersamaan
dengan kegiatan monitoring. Hanya saja jenis pakan yang diberikan masih sama
dengan ketika menjalani prsoses sebelumnya (penangkaran sampai pelatihan),
masih tetap pelat atau kroto kristal, ulat hongkong, pisang dan pepaya. Pertanyaan
masih sama, bukankah pakan-pakan tersebut tidak pernah bisa ditemukan di
habitat alamnya yang sekarang?

4. 3. Habitat
4. 3. 1. Tipe habitat
Menurut catatan, tipe vegetasi sebagai habitat jalak Bali dibedakan
menjadi tiga yaitu hutan mangrove, hutan musim dan savana. Hanya hutan musim
dan savana yang mendukung kebutuhan pakan sedangkan hutan mangrove
mendukung kebutuhan air karena pada daerah ini terdapat cekungan-cekungan
yang dapat menyimpan air.
Menurut catatan, tipe vegetasi tahun 1920, digambarkan dengan savana
kering, hutan semak, sampai hutan tinggi lebat sebagai habitat jalak Bali. Selama
musim berkembang biak, populasi liar yang tersisa menempati semak belukar
yang mudah terbakar dan hutan savana, dapat diketemukan pada ketinggian 150-
175 m di sebelah Timur Semenanjung prapat Agung. Habitat ini didominasi oleh
pilang (Acacia leucophloea), kerasi (Lantana camara), kirinyuh (Eupatorium
inufolium), serta alang-alang (Imperata cylindrica). Habitat ini terpotong-potong
dengan adanya lembah basah dan berdaun lebat yang didominasi oleh talok
(Grewia koordersiana), laban (Vitex pubescens), lontar (Borassus flabellifer), dan
walikukun (Schoutenia ovata).
Berdasarkan observasi visual tipe habitat hutan savana yang sekarang lebih
tepat disebut sebagai hutan sekunder (peralihan dari tipe savana ke hutan musim).
Hutan savana yang ada sekarang dideskripsikan sebagai hutan tiang dengan
sedikit spot-spot padang rumput (Gambar 6), bukan savana pilang lagi seperti
yang sudah dikenal. Ada beberapa spesies dominan penyusun hutan musim dan
savana yaitu intaran (Azadirachta indica) dan kemloko (Phylanthus emblica),

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
serta kerasi (Lantana camara) yang patut mendapat perhatian pengelola.
Terutama jenis intaran, segera, mengapa?
- Karena merupakan spesies eksotik yang sifatnya invasif. Sifat invasif jenis
ini dapat dilihat dari dominasi jenis tersebut yang menurut hasil penelitian
Maharani (2003) berdasarkan skor INP (Indek Nilai Penting), intaran dan
kemloko menduduki peringkat atas dari vegetasi berhabitus pohon yang
ditemukan. Dari pengalaman-pengalaman pengelolaan konservasi
memberikan fakta bahwa spesies invasi selalu mengalahkan vegetasi asli.
Contoh kasus seperti penutupan savana oleh Acacia nilotica di Taman
Nasional Baluran.
- Menurut catatan pula, tidak pernah ada laporan pohon intaran bermanfaat
untuk mendukung keperluan hidup Jalak Bali (manfaat dalam arti
penyedia pakan atau pemanfaatan pohon untuk berbiak).

Gambar 6. Habitat Jalak Bali di Teluk Brumbun

4. 3. 2. Produktivitas pakan
Teluk brumbun dipilih sebagai tempat pelatihan sekaligus lokasi pelepasan
berdasarkan catatan bahwa Teluk brumbun merupakan lokasi terakhir
ditemukannya populasi liar Jalak Bali.
Menurut Masy’ud , (2002) syarat pakan yang baik yang perlu diperhatikan
oleh setiap pengelola satwa, baik untuk satwa yang hidup bebas dialam (in-situ)
maupun di luar habitat atau dalam suatu penangkaran (ex-situ), yakni :

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Ragam makanan, artinya makanan yang disediakan sedapat mungkin
adalah makanan yang beragam sehingga satwa memiliki relung yang
lebih luas.
Cukup, artinya makanan tersebut harus sesuai jumlahnya dengan
kebutuhan satwa.
Sempurna, artinya makanan tersebut harus sesuai unsur-unsur gizi yang
diperlukan satwa baik protein, lemak, mineral, vitamin, dan energi.
Disukai ( palatable ), artinya makanan yang dikelola adalah makanan
yang banyak dikonsumsi satwa.
Sesuai dengan kebiasaan satwa ( food habit ).
Kontinuitas ketersediaan, artinya makanan tersebut harus selalu tersedia
secara terus-menerus.
Menurut hasil penelitian tentang potensi pakan jalak Bali di Teluk
Brumbun (Maharani, 2003) bahwa ketersediaan vegetasi pakan Jalak Bali
berdasarkan kebutuhan pakan harian (pakan buah) dengan total biomassa yang
ada melebihi kebutuhan pakan jalak Bali. Tetapi jenis vegetasi pakan yang ada
keanekaragamannya relatif rendah. Hanya potensi yang tinggi tersebut termasuk
juga nilai biomassa dari intaran dan kemloko, padahal seperti yang telah
disinggung pada bahasan sebelumnya menurut catatan jalak Bali (dalam populasi
liarnya) tidak pernah memakan buah intaran dan buah kemloko . Sehingga perlu
ada konfirmasi ilmiah mengenai pakan jalak Bali di alam sebenarnya, sesuai
dengan syarat pakan disebut diatas. Jikalau harus dilakukan pengkayaan habitat
pun, jenis-jenis yang harus ditanam sebagai pakan disesuaikan dengan hasil
penelitian dimaksud.

4. 3. 3. Iklim kering dan kebakaran hutan


Habitat terakhir jalak bali di Semenanjung Prapat Agung sebelah Timur
Laut merupakan daerah beriklim monsoon kering, dengan curah hujan rendah
(rata-rata 40 mm per bulan); musim penghujan mulai Desember sampai April dan
musim kemarau mulai Juni sampai Oktober (dalam Anonim., 1995). Keadaan
iklim ini berpengaruh terhadap terjadinya penurunan daya dukung habitat untuk

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
dapat menyangga kelangsungan hidup setiap organisme didalamnya. Setuju,
habitat dilanda bencana rawan pakan dan air. Akan tetapi keadaan ini belum
diketahui apakah menambah jumlah kematian dari populasi liar jalak Bali. Sebab
keadaan ini merupakan rutinitas iklim monsoon, terjadi berulang dari tahun ke
tahun. Populasi-populasi liar akan selalu cenderung untuk teradaptasi dengan baik
terhadap keadaan habitatnya ini, kecuali keadaan iklim adalah ekstrim. Menurut
catatan, populasi liar pada musim kemarau masih bisa memanfaatkan kubangan
air di lantai hutan bakau. Musim berbiak pun mengikuti irama musim, musim
berbiak jalak Bali (dalam kehidupan liarnya) bertepatan dengan musim
penghujan. Permulaan hujan memicu pertumbuhan tunas muda dan daun-daunan
makanan ulat bulu, yang merupakan makanan utama anak burung di tahap-tahap
awal setelah ditetaskan.
Satu hal lagi sebagai ciri khas habitat yang beriklim monsoon kering yaitu
terjadinya kebakaran. Kebakaran yang terjadi secara berulang-ulang akhirnya
menghasilkan vegetasi klimaks berupa padang rumput (savana). Kehadiran api ini
sebenarnya penting sebagai bagian dari terbentuknya lingkungan savana. Savana
adalah klimaks karena api. Api menjaga lingkungan savana dari perubahan ke
arah hutan sekunder. Padang savana merupakan tempat mencari makan yang baik
bagi banyak satwa (Alikodra, 1990).
Menurut teorinya, kebakaran merupakan faktor yang dapat mematikan
atau mengurangi populasi satwa liar secara langsung. Akan tetapi menurut
catatan, sejarah kebakaran di TNBB bagaimanapun telah memberi dampak positif
bagi jalak Bali. Beberapa tanaman yang berguna bagi biologis jalak Bali (krasi
dan pilang) mendapat manfaat dari kebakaran tersebut. Terlebih lagi hasil dari
pembukaan ladang alang-alang menarik mamalia besar untuk merumput, dimana
jalak Bali sering terlihat menunggang rusa (hubungan mutualisme) (Dirgayusa
dalam Anonim., 1995)

4. 3. 4. Pesaing dan predator


Beberapa burung yang menjadi pesaing dalam penggunaan pakan/air,
pemanfaatan ruang dan sarang biak diantaranya yaitu jalak putih (Sturnus

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
melanopterus), jalak hitam (Acridocteres javanica), bultok (Megaleima
armiliaris), terocok (Picnototus gouavier), kacer dan punai. Kompetisi langsung
pesaing dalam pemanfaatan habitat yang sama ini sifatnya masih dugaan, belum
ada observasi sebagai konfirmasi ilmiah untuk melihat hal tersebut apakah
berpengaruh terhadap penurunan populasi liar jalak Bali karena kalah bersaing
dalam memanfaatkan habitat yang sama? (Anonim., 1994).
Beberapa predator penyebab langsung penurunan populasi liar jalak Bali
seperti tikus (Rattus sp.), gagak (Corvus macrorhyncus), elang (Spizaetus
malayanus), alap-alap (Elanus caeruleus) (Pujiati, 1987). Predator potensial yang
mengancam populasi liar jalak Bali antara lain biawak (Varanus salvator), ular,
dan serta tokek yang mengganggu sarang biak ( Anonim., 1994). Predator-
predator ini sama sifatnya dengan pesaing, masih bersifat dugaan, karena
kehadiran mereka nyata ada sehingga dianggap potensial. Namun belum ada
observasi sebagai konfirmasi ilmiah untuk melihat hal tersebut apakah
berpengaruh terhadap penurunan populasi liar jalak Bali.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan

Setuju, bahwa teknlogi penangkaran telah berhasil dikuasai ditunjukkan


dengan produktivitas dipenangkaran yang cukup menggembirakan, dilihat dari
jumlah individu di penangkaran yang mencapai 100 ekor lebih (tahun 2005).
Tetapi tidak setuju, untuk teknik pelepasliaran. Teknik pelepasliaran yang telah
dilakukan dalam upaya pengembalian jalak Bali ke habitatnya belum cukup untuk
bisa dikatakan menjamin jalak Bali hasil pelepasan dapat survive dan hidup
mandiri. Tidak cukup memberi bekal keahlian untuk bisa hidup tanpa dukungan
manusia.
Habitat jalak Bali di sekitar Teluk Brumbun telah mengalami pergeseran
tipe vegetasi dari savana menjadi hutan sekunder.
Di luar masalah keamanan, faktor pembatas populasi liar adalah
ketidaksiapan jalak Bali beradaptasi dengan lingkungan barunya dan
ketidaksiapan habitat untuk mendukung kehidupan jalak Bali.

5. 2. Saran
- Perlu pengembangan skill teknik pelepasliaran, sharing masalah kepada
ahlinya seperti organisasi penyelamatan satwa (jaringan PPS indonesia)
- Pemusnahan spesies eksotik yang bersifat invasif seperti intaran
(Azadirachta indica) untuk melindungi tipe vegetasi asli terutama savana,
yang meruapakan habitat bagi jalak Bali dan satwa liar lain.
- Penambahan anggaran untuk peningkatan produktivitas di penangkaran
sehingga jumlah yang dilepasliarkan akan lebih banyak.
- Kegiatan konsevasi sebaiknya tidak berorientasi pada proyek, demi tujuan
mulia konservasi itu sendiri.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
DAFTAR PUSTAKA

Abey, Ridwan, 1999. Kembali ke Alam. BICONS-PPSC.


www. jaringanpps.org/jar_pps_news_view.php?newsid=4.

Anonimous, 1976. Kehidupan Satwa Burung Jalak Putih Bali (Curik Putih)
Leucopsar rothschildi. Seksi Perlindungan dan Pengawetan Alam Bali,
Singaraja-Bali.

_________, 1994. Laporan Inventarisasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di


Taman Nasional Bali Barat. Balai Taman Nasional Bali Barat, Cekik-Bali.

_________, 1995. Laporan Workshop Jalak Bali. Proyek Pengambangan Taman


Nasional Bali Barat T.A. 1995/1996. Balai Taman Nasional Bali Barat,
Cekik-Bali.

_________, 1999. Penangkaran In Situ untuk Pelestarian Jalak Bali (Leucopsar


rothschildi). Taman Nasional Bali Barat, Cekik-Bali.

_________, 2001. Monitoring Pelepasan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi


Stressmann 1912) di Balai Taman Nasional Bali Barat. Proyek
Pemantapan Pengelolaan Balai Taman Nasional Bali Barat. Cekik-Bali.

_________, 2002. Teknik Pengelolaan Margasatwa. Laboratorium Suaka Alam.


Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta (Tidak dipublikasikan).

_________, 2004. Proyek-proyek BOS. Yayasan Penyelamatan Orangutan


Borneo/BOSFoundation.
http://elisa.ugm.ac.id/files/cahyonoagus/tLOdEisC/Study%20guidelines%
20BI%20revisi%20062004.doc.

Dartosoewarno, Soedirun, 2001. Pelestarian Jalak Bali di Taman Nasional Bali


Barat Kendala, Tantangan, dan Strategi. Disajikan dalam Rangka
Rencana Pelepasan dan Peliaran ke Habitat Alami Burung Jalak Bali
(Leucopsar rothschildi) Hasil Penangkaran. Taman Nasional Bali Barat,
Cekik-Bali.

___________, 2004. Taman Nasional Bali Barat : Strategi Meminimalisir Aksi


Ilegal di dalam Kawasan. Balai Taman Nasional Bali Barat, Cekik-
Bali.

Laine, Elisabeth, 2004. Mari Kita Belajar Tentang Taman Nasional Bali Barat.
Satelit Multi Computer. Negara- Bali.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Maharani, Desi Sagita, 2003. Studi Potensi Vegetasi Pakan Jalak Bali
(Leucopsar rothschildi Stressmann 1912) di Teluk Brumbun Taman
Nasional Bali Barat. Program Diploma III Konservasi Sumberdaya
Hutan. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB,
Bogor (Tidak Dipublikasikan).

Pujiati, 1987. Studi Populasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stressmann


1912) di Taman Nasional Bali Barat. Skripsi Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor (Tidak
Dipublikasikan).

Prasetyo, Sulung, 2005. Melepasliarkan Satwa, seperti Melempar Koin. Harian


Sore Sinar Harapan, 25 Desember 2005 No. 4690.

Pribadi, Agus, 2001. Studi Komposisi Pakan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi )
di Penangkaran Taman Nasional Bali Barat. Laporan Kerja Lapangan.
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPM, Malang
(Tidak Dipublikasikan).

Suryawan, Wawan, 1994. Inventarisasi Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di


Taman Nasional Bali Barat. Balai Taman Nasional Bali Barat, Cekik-Bali.

Suryawan, Wawan, 2004. Penangkaran Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di


Penangkaran Taman Nasional Bali Barat. Taman Nasional Bali Barat.
Cekik-Bali.

Shannaz, Jepson dan Rudyanto, 1995. Burung-burung Terancam Punah di


Indonesia. PHPA/ BirdLife International-Indonesia Programme. Bogor.

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Lampiran 1. Tabel Asal Usul Induk Transfer Jalak Bali dalam Kegiatan
Penangkaran TNBB

No. Transfer Jumlah Asal


Keterangan :
Tahun Jumlah
1. 1995 3 3 KBS KBS : Kebun Binatang Surabaya
2. 1996 6 8 KBS/DPS TMII : Taman Mini Indonesia Indah
TSI : Taman Safari Indonesia
3. 1997 12 20 TMII/BDG DKI : BKSDA DKI
4. 1998 10 30 TMII DPS : penangkar di Denpasar
5. 1999 7 31 KBS/MDN/TSI BDG : penangkar di Bandung
MDN : penangkar di Madiun
6. 2000 - 17 - JEPANG : pemerintah Jepang
7. 2001 - 5 -
8. 2002 4 9 DKI/BDG
9. 2003 9 14 DKI
10. 2004 22 30 DKI/JEPANG
73
Sumber : Dartosoewarno, 2004

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB
Lampiran 2. Vegetasi Penting untuk Jalak Bali (Laine, 2004)

Jenis Manfaat Status


Pohon Makanan Sarang
walikukun ada, ulat daun ada, lubang alami asli daerah, langka
talok ada, buah dan ulat daun ada, lubang alami asli daerah, langka
kesambi ada, buah da ulat buah ada, lubang alami asli daerah, langka
laban ada, ulat bunga ada, lubang alami asli daerah, langka
kepuh ada, daging biji asli daerah, langka
dadap ada, madu bunga, ulat asli daerah
pilang ada, ulat bunga dan daun ada, lubang alami asli daerah, langka
kemloko ada, daging buah busuk aksotik, langka
buta-buta ada, ulat daun asli daerah
bekul* ada, buah dan ulat buah eksotik
sawo kecik ada, buah eksotik, langka
krasi* ada, buah eksotik
* semak

Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB

You might also like