You are on page 1of 7

Psikologi Perkembangan Manusia

Berbagai Ritual
Kematian
Masyarakat di
Indonesia
Oleh Juwita Agustin Ratnadewi/ 0906510956

UNIVERSITAS INDONESIA
Pendahuluan

Upacara kematian merupakan suatu hal yang penting dalam berbagai adat di
masyarakat Indonesia. Hal tersebut menandakan penghormatan kepada keluarga yang sudah
meninggal dan mendoakan agar diterima disisi Tuhan setelah meninggal. Ada berbagai
macam suku, adat, dan budaya Indonesia yang berarti Indonesia memiliki berbagai jenis
upacara ritual kematian, baik itu dikubur, dihanyutkan ke laut, atau dibakar. Essay ini akan
membahas mengenai beberapa jenis upacara ritual kematian yang terkenal di Indonesia dari
berbagai suku dan daerah.

Upacara Kematian di Indonesia, Tujuan, dan Manfaatnya

1. Upacara Kematian Tana Toraja


Kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna,
sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang
dipahat menyerupai hewan (Erong), namun mereka pun mempersiapkan tempat
"peristirahatan terakhir" dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata
sosial yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun kemampuan ekonomi individu,
umumnya tempat menyimpan jenazah adalah gua/tebing gunung atau dibuatkan sebuah
rumah (Pa'tane). Budaya ini telah diwarisi secara turun temurun oleh leluhur mereka.
Adat masyarakat Toraja menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, merupakan
kekayaan budaya yang begitu menarik untuk disimak lebih dalam lagi. Londa, yang
merupakan pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan
erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu
menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia. Lemo adalah salah satu kuburan
leluhur Toraja, hasil kombinasi antara ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa dengan kreasi tangan
terampil Toraja pada abad XVI (dipahat) atau liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah
dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status,
peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model
liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
Upacara Rambu Solo.
Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun ini,
mewajibkan keluarga yang ditinggal membuat sebuah pesta sebagai tanda hormat terakhir
pada mendiang yang telah pergi. Namun dalam Pelaksanaannya, upacara Rambu Solo terbagi
dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
- Dipasang Bongi: Upacara yang hanya diiaksanakan dalam satu malam.
- Dipatallung Bongi: Upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan
dirumah dan ada pemotongan hewan.
- Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan
dilaksanakan disekitar rumah serta pemotongan hewan
- Dipapitung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang
setiap harinya ada pemotongan hewan.
Biasanya pada upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentan waktu sekurang
kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya
bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni
upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah "lapangan Khusus" karena upacara yang
menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus
dijalani, seperti : Ma'tundan, Mebalun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan
ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Popengkalo Alang (menurunkan
jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung
jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
2. Upacara Ngaben di Bali
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun
dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui
pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal,
kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin
sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut
Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.
Jenis ngaben:
- Mendhem Sawa
Mendhem sawa berarti penguburan mayat. Di muka dijelaskan bahwa ngaben di Bali
masih diberikan kesempatan untuk ditunda sementara, dengan alasan berbagai hal seperti
yang telah diuraikan. Namun diluar itu masih ada alasan yang bersifat filosofis lagi, yang
didalam naskah lontar belum diketemukan. Mungkin saja alasan ini dikarang yang dikaitkan
dengan landasan atau latar belakang filosofis adanya kehidupan ini. Alasannya adalah agar
ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu.
Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu
diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang
masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem
(dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).
- Ngaben Mitra Yajna
Berasal dari kata Pitra dan Yajna. Pitra artinya leluhur, yajna berarti korban suci.
Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang diajarkan pada Lontar Yama
Purwana Tattwa, karena tidak disebutkan namanya yang pasti. Ngaben itu menurut ucap
lontar Yama Purwana Tattwa merupakan Sabda Bhatara Yama. Dalam warah-warah itu tidak
disebutkan nama jenis ngaben ini. Untuk membedakan dengan jenis ngaben sedehana
lainnya, maka ngaben ini diberi nama Mitra Yajna. Pelaksanaan Atiwa-atiwa / pembakaran
mayat ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa, terutama mengenai
upakara dan dilaksanakan di dalam tujuh hari dengan tidak memilih dewasa (hari baik).
- Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan
huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum
pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura
Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya
dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku
ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama
dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.
- Pranawa Bhuanakosa.
Pranawa Bhuanakosa merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu. Dimana
Ngaben Sawa Bhuanakosa bagi orang yang baru meninggal walaupun pernah ditanam,
disetra. Kalau mau mengupakarai sebagai jalan dengan Bhuanakosa Prana Wa.
- Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang. Adalah nama jenis ngaben yang sawanya
(mayatnya) tidak ada (tan kneng hinulatan), tidak dapat dilihat, meninggal didaerah kejauhan,
lama di setra, dan lain-lainnya, semuanya dapat dilakukan dengan ngaben jenis swasta.
Walaupun orang hina, biasa, dan uttama sebagai badan (sarira) orang yang mati disimbolkan
dengan Dyun (tempayan) sebagai kulit, benang 12 iler sebagai otot, air sebagai daging,
balung cendana 18 potong. Pranawa sebagai suara, ambengan (jerami) sebagai pikiran,
Recafana sebagai urat, ongkara sebagai lingga hidup. Tiga hari sebelum pengabenan
diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana
tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di
pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura
Dalem.
- Ngaben Sarat
Ngaben Sarat adalah Ngaben yang diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat
dengan perlengkapan upacara upakaranya. Upacara ngaben sarat ini memerlukan dukungan
dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ngaben sarat dilakukan
baik terhadap sawa yang baru meninggal maupun terhadap sawa yang telah dipendem.
Ngaben sarat terhadap sawa yang baru meninggal disebut Sawa Prateka. Sedangkan ngaben
sarat terhadap sawa yang pernah dipendem disebut Sawa Wedhana. Baik sawa prateka
maupun sawa wedhana memerlukan perlengkapan upacara bebanten dan sarana penunjang
lainnya yang sangat besar atau banyak. Semua itu dipersiapkan dalam kurun waktu yang
panjang serta memerlukan tenaga penggarap yang besar. Karena itulah terhadap kedua jenis
ngaben ini disebut Ngaben Sarat.

3. Upacara Kematian Adat Jawa


- Kematian Mendhak
Tradisi Mendhak adalah salah satu ritual dalam adat istiadat kematian budaya Jawa.
Upacara tradisional Mendhak dilaksanakan secara individu atau berkelompok untuk
memperingati kematian seseorang. Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk
upacara tradisional Mendhak adalah sebagai berikut: tumpeng, sega uduk, side dishes, kolak,
ketan, dan apem. Kadang-kadang, sebelum atau sesudah upacara Mendhak dilaksanakan,
sanak keluarga dapat mengunjungi makam saudara mereka.
Upacara tradisional ini dilaksanakan tiga kali dalam seribu hari setelah hari kematian:
pertama disebut Mendhak Pisan, upacara untuk memperingati satu tahun kematian (365 hari);
kedua disebut Mendhak Pindho sebagai upacara peringatan dua tahun kematian; ketiga
disebut sebagai Mendhak Telu atau Pungkasan atau Nyewu Dina, yang dilaksanakan pada
hari ke seribu setelah kematian.
- Kematian surtanah
Tradisi kematian dalam adat Jawa salah sataunya adalah Upacara Surtanah yang
bertujuan agar arwah atau roh orang mati mendapat tempat yang layak di sisi Sang Maujud
Agung.
Perlengkapan upacara: – Golongan bangsawan: tumpeng asahan lengkap dengan lauk,
sayur adem (tidak pedas), pecel dengan sayatan daging ayam goreng/panggang, sambal
docang dengan kedelai yang dikupas, jangan menir, krupuk, rempeyek, tumpeng ukur-
ukuran, nasi gurih, nasi golong, dan pisang raja. – Golongan rakyat biasa: tumpeng dengan
lauknya, nasi golong, ingkung dan panggang ayam, nasi asahan, tumpeng pungkur, tumpeng
langgeng, pisang sajen, kembang setaman, kinang, bako enak dan uang bedah bumi. Upacara
ini diadakan setelah mengubur jenazah yang dihadiri oleh keluarga, tetangga dekat, dan
pemuka agama.
- Upacara nyewu dina
Inti dari upacara ini memohon pengampunan kepada Tuhan. Perlengkapan upacara: –
Golongan bangsawan: takir pentang yang berisi lauk, nasi asahan, ketan kolak, apem, bunga
telon ditempatkan distoples dan diberi air, memotong kambing, dara/merpati, bebek/itik, dan
pelepasan burung merpati. – Golongan rakyat biasa: nasi ambengan, nasi gurih, ketan kolak,
apem, ingkung ayam, nasi golong dan bunga yang dimasukan dalam lodong serta kemenyan.
Upacara tersebut diadakan setelah maghrib dan diikuti oleh keluarga, ulama, tetangga
dan relasi.
- Upacara Brobosan

Salah satu upacara tradisional dalam adat istiadat kematian jawa adalah upacara
Brobosan. Upacara Brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak
keluarga kepada orang tua dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Upacara
Brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal, sebelum dimakamkan,
dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua.

Tradisi Brobosan dilangsungkan secara berurutan sebagai berikut: 1) peti mati dibawa
keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa kematian
selesai, 2) anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan
berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan searah
jarum jam, 3) urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di
urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang. Upacara
tradisional ini menyimbolkan penghormatan sanak keluarga yang masih hidup kepada orang
tua dan leluhur mereka.

4. Upacara Kematian Suku Sunda


Pada garis besarnya rangkaian upacara adat kematian dapat digambarkan sebagai
berikut: memandikan mayat, mengkafani mayat, menyolatkan mayat, menguburkan mayat,
menyusur tanah dan tahlilan, yaitu pembacaan do’a dan zikir kepada Allah swt. agar arwah
orang yang baru meninggal dunia itu diampuni segala dosanya dan diterima amal ibadahnya,
juga mendo’kan agar keluarga yang ditinggalkannya tetap tabah dan beriman dalam
menghadapi cobaan. Tahlilan dilaksanakan di rumahnya, biasanya sore/malam hari pada hari
pertama wafatnya (poena), tiluna (tiga harinya), tujuhna (tujuh harinya), matangpuluh (empat
puluh harinya), natus (seratus hari), mendak taun (satu tahunnya), dan newu (seribu harinya).

Kesimpulan
1. Upacara Kematian di Tana Toraja merupakan upacara unik dengan cara menyimpan
jenazah pada tebing/liang gua.
2. Upacara kematian Ngaben di Bali merupakan tradisi masyarakat Bali untuk
memberikan bekal bagi jenazah di alam sana. Ngaben ada banyak jenisnya,
diantaranya Mendhem Sawa, Ngaben Mitra Yajna, Pranawa, Pranawa Bhuanakosa,
Swasta, dan Ngaben Sarat.
3. Upacara kematian adat Jawa banyak jenisnya, diantaranya Kematian Mendhak,
Kematian surtanah, Upacara nyewu dina, dan Upacara Brobosan.
4. Upacara kematian adat Sunda digambarkan sebagai berikut: memandikan mayat,
mengkafani mayat, menyolatkan mayat, menguburkan mayat, menyusur tanah dan
tahlilan, yaitu pembacaan do’a dan zikir kepada Allah swt. agar arwah orang yang
baru meninggal dunia itu diampuni segala dosanya dan diterima amal ibadahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Arka, D. “Upacara Adat Ngaben Umat Hindu di Bali”.


http://dewaarka.wordpress.com/2009/06/15/upacara-adat-ngaben-umat-hindu-bali/ (15
Desember 2010).

Elqorni, A. “Adat Kematian Jawa” http://indoculture.wordpress.com/2008/11/10/adat-


kematian-jawa/ (15 Desember 2010).

Gaduh, N. Upacara Adat Sunda”. http://nanpunya.wordpress.com/2009/02/25/upacara-adat-


sunda/ (15 Desember 2010).

Toraja Indonesia Online News. “Rambu Solo – Upacara Kematian Tana Toraja”.
http://www.torajaindonesia.com/2009/09/rambu-solo-upacara-kematian-suku-toraja.html
(15 Desember 2010).

You might also like