Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
REYZANDI
H1E108043
2. PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup.
Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi
yang disebut ekosistem. Manusia, baik sebagai subjek maupun objek
pembangunan merupakan bagian ekosistem.
Pembangunan bertujuan untuk menaikkan tingkat hidup dan
kesejahteraan rakyat. Dapat pula dikatakan pembangunan bertujuan untuk
menaikkan mutu hidup rakyat. Karena mutu hdup dapat diartikan sebagai derajat
dipenuhinya kebutuhan dasar, pembangunan dapat diartikan sebagai usaha untuk
memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik.
Dalam usaha memperbaiki mutu hidup, harus dijaga agar kemampuan
lingkungan untuk mendukung kehidupan pada tingkat yang ,ebih tinggi tidak
menjadi rusak. Apabila kerusakan terjadi, bukannya perbaikan mutut hidup yang
akan dicapai melainkan justru kemerosotan. Bahkan bila kerusakan terlalu parah,
dapatlah terjadi kepunahan kehidupan kita sendiri. Atau paling sedikit ekosistem
tempat kita hidup dapat megalami keambrukan yang akan mengakibatkan banyak
kesulitan. Pembangunan demikian bersifat tidak berkelanjutan (Soemarwoto,
2001).
Perkembangan pembangunan, berkaitan erat dengan perkembangan di
sektor industri. Salah satu industri yang terus berkembang adalah industry pulp
dan kertas. Meningkatnya pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia
telah membawa dampak terhadap meningkatnya permasalahan lingkungan yang
disebabkan oleh pencemaran limbah. Oleh karenanya dalam upaya terpeliharanya
kualitas lingkungan industri harus meningkatkan pengelolaan limbahnya melalui
pengolahan yang lebih efektif dan kemungkinan pemanfaatannya.
Industri pulp dan kertas pada saat ini dihadapkan pada masalah
penanganan limbah padat yang jumlahnya cukup besar. Konstribusi yang besar
salah satunya berasal dari abu sisa kulit kayu pada unit power boiler. Di lokasi
pabrik, limbah padat tersebut hanya ditumpuk dan belum dimanfaatkan sehingga
selain menimbulkan gangguan terhadap estetika juga menyebabkan pencemaran
tanah, air tanah, dan menimbulkan bau bagi masyarakat sekitar.
Pada industri pulp dan kertas, pemanfaatan abu boilernya dapat
digunakan sebagai regenerator dan aktivator untuk menciptakan ekosistem tanah
yang lebih sehat. Kandungan unsur-unsur mineralnya dapat dimanfaatkan untuk
mencukupi kebutuhan hara tanaman, sehingga dengan ini dapat mengurangi
bahkan meniadakan pemakaian pupuk kimia.
- Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengaruh
penggunaan abu boiler industri pulp dan kertas terhadap kualitas tanah gambut
serta pada tanaman yang dilakukan di media tanam tanah gambut.
- Batasan Masalah
Batasan masalah pada penulisan makah ini adalah :
1. Pemanfaatan abu sisa pembakaran kulit kayu pada industri pulp dan
kertas.
2. Pengaruh abu sisa pembakaran kulit kayu terhadap tanaman Acacia
crasicarpa di areal tanah gambut Hutan Tanaman Industri (HTI).
- Metode Penulisan
Makalah ini bersifat diskriptif yang akan mengkaji mengenai potensi
penggunaan abu boiler industri pulp dan kertas sebagai bahan pengkondisi tanah
gambut pada areal hutan tanaman industri. Penyusunan makalah dilakukan
dengan studi pustaka, melalui tahapan pengumpulan pustaka dan data-data
pendukung dalam pembuatan makalah.
3. TINJAUAN PUSTAKA
- Perkembangan Industri Pulp dan Kertas di Indonesia
Proses produksi industri pulp dan kertas menghasilkan limbah padat yang
jumlahnya melimpah, salah satunya adalah limbah abu boiler yang berasal dari
power boiler yang menggunakan bahan bakar batubara atau kulit kayu. Abu
boiler tersebut diketahui mengandung kalsium serta unsur hara yang berfungsi
untuk kontinuitas pengadaan bahan baku proses pembuatan pulp sehingga
dibuang secara landfill di area Hutan Tanaman Industri. Namun di sisi lain,
kandungan kadmium sebagai logam berat non-esensial yang dominan,
dikhawatirkan dapat merembes ke dalam air tanah yang berfungsi sebagai air
baku untuk konsumsi minum bagi masyarakat sekitar dan mengganggu
kehidupan makhluk hidup lainnya
Pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia sungguh menakjubkan.
Kapasitas produksi industri kertas pada tahun 1987 sebesar 980.000 ton,
kemudian tahun 1997 meningkat tajam menjadi 7.232.800 ton. Bila
memperhitungkan rencana perluasan dan investasi baru pada tahun 1998-2005
maka kapasitas produksi industri kertas sampai dengan akhir tahun 2005 dapat
bertambah menjadi 13.696.170 ton (APKI Direktori, 1997).
Demikian juga halnya dengan industri pulp. Pada tahun 1987 kapasitas
produksi industri pulp baru mencapai 515.000 ton, kemudian tahun 1997
meningkat menjadi 3.905.600 ton. Sementara itu, pada tahun 1998-1999 telah
direncanakan penambahan kapasitas produksi sebesar 1.390.000 ton. Dengan
demikian, pada akhir tahun 1999 total kapasitas produksi industri pulp dapat
mencapai 5.295.600 ton. Penambahan kapasitas produksi oleh industri pulp yang
sudah ada dan adanya rencana investasi baru pada tahun 2000 - 2005 akan
menambah kapasitas produksi industri pulp pada akhir tahun 2005 menjadi total
12.745.600 ton.
Seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi, ekspor pulp dan kertas
Indonesia terus meningkat. Bila sebelumnya Indonesia selalu menjadi net
importir pulp maka sejak tahun 1995 berbalik menjadi net eksportir pulp. Angka
pertumbuhan ekspor pulp tidak kurang dari 96 % antara tahun 1994-1996.
Sebagai net eksportir kertas Indonesia sudah tidak asing lagi. Data APKI
(Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia) menunjukkan bahwa antara tahun 1987-
1996 jumlah ekspor kertas Indonesia selalu lebih besar dari jumlah impornya,
dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 26,11 %.
Meningkatnya kapasitas produksi industri pulp dan kertas juga diikuti
oleh kenaikan jumlah konsumsi kertas per kapita. Konsumsi kertas per kapita di
Indonesia pada tahun 1992 baru mencapai 10 kg, kemudian meningkat menjadi
15,5 kg pada tahun 1996. Kenaikan konsumsi kertas per kapita di Indonesia
utamanya dipicu oleh bertambahnya industri pers dan percetakan, meningkatnya
kebutuhan kertas industri, kemajuan teknologi informasi yang membutuhkan
media keluaran berupa kertas dan diversifikasi penggunaan kertas yang semakin
melebar.
Konsumsi kertas per kapita di Indonesia dipastikan akan terus meningkat.
Kendati konsumsi kertas sebesar 15,5 kg per kapita pada tahun 1996 lebih besar
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ternyata masih jauh lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Pada tahun 1996, Konsumsi kertas
per kapita di Malaysia telah mencapai 87,4 kg per tahun, Singapura 161,2 kg dan
Amerika Serikat sebesar 334,6 kg.
Harga pulp yang tinggi di pasar internasional (saat ini harganya US$ 680
- 700 per ton) dan konsumsi kertas yang terus meningkat merupakan dua faktor
utama yang merangsang pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia.
Meskipun harga pulp dan kertas di pasar internasional berfluktuasi dari waktu ke
waktu, produsen pulp dan kertas di Indonesia sulit untuk rugi. Biaya produksi
pulp di Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi hanya US$ 217 per ton (saat ini
US$ 250-300), jauh lebih rendah dibandingkan biaya pembuatan pulp di kawasan
Asia/Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang, yaitu
masing-masing US$ 250, 260, 300, 420, dan 590. Brazil dan Chile merupakan
saingan kuat Indonesia, dengan biaya produksi pulp per ton masing-masing US$
231 dan 241.
Mega sukses industri pulp dan kertas dapat dianggap sebagai dewa
penyelamat terutama bila dikaitkan dengan krisis harga kertas yang sering terjadi.
Industri pulp dan kertas juga dapat diandalkan untuk meraup Dollar. Karena
itulah pemerintah telah mencanangkannya sebagai salah satu dari 10 komoditi
andalan ekspor.
Namun bila mengetahui dari mana asal-usul bahan baku pembuat kertas,
maka "wajah angker" industri pulp dan kertas akan terlihat jelas. Sampai
sekarang tercacat beberapa bahan baku pembuat kertas, antara lain merang,
bagas, bambu, kertas bekas dan kayu bulat. Industri pulp skala besar, yang
kebanyakan didirikan di luar pulau Jawa, bahan baku utamanya adalah kayu
bulat yang berasal dari hutan alam (aktivis LSM lingkungan hidup menyebutnya
‘pulping the rain forest"). Industri pulp yang telah lama didirikan di Pulau Jawa
belakangan ini juga menggunakan kayu sebagai bahan baku utamanya. Sampai
saat ini, masih lebih dari 90% bahan baku kayu untuk "memberi makan" industri
pulp di Indonesia berasal dari hutan alam, utamanya adalah kayu IPK (Ijin
Pemanfaatan Kayu), yaitu kayu berbagai jenis yang dihasilkan dari kegiatan land
clearing pada areal hutan alam yang akan dikonversi untuk berbagai keperluan,
misalnya untuk areal pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dan
perkebunan kelapa sawit.
Dengan diambilnya bahan baku kayu untuk industri pulp dari hutan alam
maka tekanan terhadap hutan alam semakin besar. Sebelumnnya, sejak adanya
kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 1980, di Indonesia telah terjadi
booming pembangunan industri kayu lapis, industri kayu gergajian dan kemudian
industri pengolahan kayu hilir. Perkembangan industri perkayuan yang sangat
pesat menyebabkan kapasitas total industri perkayuan Indonesia melampaui
kemampuan hutan produksi untuk menyediakan bahan baku secara lestari.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan (1997), total kapasitas produksi
industri perkayuan Indonesia setara dengan 68 juta m3 kayu bulat. Kapasitas
produksi tersebut lebih 3 kali lipat dibandingkan dengan kemampuan hutan
produksi Indonesia untuk menghasilkan kayu bulat secara lestari. Menurut
Mantan Menteri Kehutanan Djamaludin Surjohadikusumo, pada awal tahun 1998
hutan alam produksi Indonesia hanya mampu menghasilkan 18 juta m3 kayu
bulat. Jika ditambah dengan kayu dari hutan rakyat, HTI dan hutan konversi
(kayu IPK) sebesar 12 juta m3 maka jumlahnya baru mencapai 30 juta m3.
Ketimpangan antara kapasitas industri perkayuan dengan kemampuan hutan
untuk menyediakan bahan baku secara lestari telah menyebabkan pengurasan
(pengrusakan) sumberdaya hutan. Hal ini bertambah buruk dengan aktifitas
penjarahan hutan (pencurian kayu, illegal logging) yang semakin marak.
Akibatnya, kualitas dan kuantitas hutan Indonesia dari tahun ke tahun semakin
menurun. Laju deforestasi hutan Indonesia pada periode tahun 1985-1998 tidak
kurang dari 1,6 juta hektar per tahun (Dephutbun, 2000).
Bila untuk menghasilkan 1 ton pulp diperlukan 4,5 m3 kayu bulat, maka
industri pulp di Indonesia pada tahun 1999 memerlukan 24 juta m3 kayu bulat.
Dengan asumsi potensi kayu bulat pada areal hutan konversi rata-rata 80 m3 per
hektar, maka untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp harus
ditebang sekitar 300.000 ha hutan alam. Areal hutan alam yang dirusak dengan
tebang habis akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya kapasistas
industri pulp dan kertas, sementara realisasi tanaman HTI-pulp masih sekitar
20%.
- Lahan Gambut di Indonesia
Keterbatasan lahan produktif menyebabkan ekstensifikasi pertanian
mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan
marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang
penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil.
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu
sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua
(BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi,
baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua
lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan
gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk
pertanian.
Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi
habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan
gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai
daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi
areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi
ekosistem lahan gambut tersebut.
Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat
(sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di
atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm
gambut per tahun (Parish et al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t
CO2 ha-1 tahun-1 (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase,
maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah
satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami
penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu
diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan
mengkonversi hutan gambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang
mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan
gambut dikonversi.
Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa
propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83
juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau.
Laju konversi lahan gambut cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan
untuk lahan non gambut peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008).
Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan
hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya.
Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang
sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah.
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik
yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses
pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena
kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organic
yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut
merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk
menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan
sifat kimia gambut. Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang
beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak
mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut
membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa
komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation
polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham
et al., 1997; Saragih,1996).
Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya
ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media perakaran
tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat
diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah
(Subiksa et al, 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999).
Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai
pH 5 saja karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan
pH sampai tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut.
Pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan
menambahkan bahan-bahan amelioran yang banyak mengandung kation
polivalen seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak,
1999; Sabiham et al, 1997). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002; Salampak,
1999; Suastika,2004; Subiksa et al., 1997).
4. PEMBAHASAN
- BAHAN DAN METODA
a. Karakterisasi Bahan
Sebagai bahan penelitian adalah abu sisa pembakaran (fly ash) kulit kayu
dari unit boiler industry pulp dan kertas. Kulit kayu sebagai bahan bakar boiler
tersebut berasal dari proses pengulitan kayu ntuk bahan baku pembatan pulp.
Karakterisasi abu boiler meliputi tahapan sebaga berikut :
- Identifikasi limbah, yang dimaksudkan untuk menentukan tingkat
terindikasinya sebagai limbah B3 menurut PP No.18 Jo No. 85 Tahun
1999.
- Pengambilan contoh limbah dilakukan secara komposit mewakili
seluruh alur produksi dan kondisi operasi.
- Pengujian terhadap limbah meliputi parameter logam berat total (On-
Waste) dan TCLP.
Analisa potensi limbah yang dimaksudkan untuk menentukan tingkat
manfaat sebagai bahan pengkondisi tanah. Pengujian meliputi parameter pH,
kadar air, unsure hara makro (C, N, P, K, S, Ca, Mg) dan unsure hara mikro (Fe,
Mn, Cu, Zn, Mo, B).
c. KESIMPULAN
d. DAFTAR PUSTAKA