Professional Documents
Culture Documents
Dosen Pembimbing
Nopi Stiyati P, S.Si, MT.
Oleh
Pradistina Marsya
H1E108003
ABSTRACT
This paper discusses problems related to water resources. Based on the study of
literatures, some problems are identified. These are among others: water crisis in some
provinces; conflict due to increasing competition in the use of water amongst various
users; water resources degradation; declining of irrigated agricultural land due to
conversion for non agricultural uses; unclear water use rights; weak coordination
among departments in managing water resources; and weaknesses in water resource
policy.
To overcome such problems, appropriate water resources policy is deemed
necessary. In order to sustain the availability of water resources that supports the
sustainability of agricultural sector the following steps need to be taken: increasing and
continuing efforts for preservation and protection of water resources; planning and
implementation of programs for thrift and efficient use of water; the issuance of clear
regulations on water use rights; strict control on irrigated land conversion; the
establishment of institution at national level responsible for coordinating and integrating
water resources policy and implementation; and water resources policy adjustments.
Key Words: Water resources problems, sustainable agriculture, water resources policy.
Kata Kunci: Water/Air sumber daya permasalahan, pertanian yang yang dapat,
kebijakan sumber daya air.
3
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan. Jika
air tidak tersedia maka produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa sumberdaya air
menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan pertanian khususnya pertanian beririgasi.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) secara sederhana diartikan disini
sebagai upaya memelihara, memperpanjang, meningkatkan dan meneruskan kemampuan
produktif dari sumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Guna
mewujudkan pertanian berkelanjutan, sumberdaya pertanian seperti air dan tanah yang
tersedia perlu dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna. Kebutuhan akan
sumberdaya air dan tanah cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk
dan perubahan gaya hidup, sehingga kompetisi dalam pemanfaatannya juga semakin
tajam baik antara sektor pertanian dengan sektor non-pertanian maupun antar pengguna
dalam sektor pertanian itu sendiri.
Tujuan
Batasan Masalah
Metode Penulisan
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Air atau Definisi Air adalah zat atau materi atau unsur yang penting
bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di
planet lain. Air menutupi hampir 71% permukaan bumi. Terdapat 1,4 triliun kubik (330
juta mil³) tersedia di bumi.
Secara umum pengertian dari pertanian adalah suatu kegiatan manusia yang
termasuk di dalamnya yaitu bercocok tanam, peternakan, perikanan dan juga kehutanan.
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Negeri Indonesia adalah sebagai petani,
sehingga sektor pertanian sangat penting untuk dikembangkan di negara kita.Bentuk-
Bentuk Pertanian Di Indonesia :
4
1. Sawah
Sawah adalah suatu bentuk pertanian yang dilakukan di lahan basah dan memerlukan
banyak air baik sawah irigasi, sawah lebak, sawah tadah hujan maupun sawah pasang
surut.
2. Tegalan
Tegalan adalah suatu daerah dengan lahan kering yang bergantung pada pengairan air
hujan, ditanami tanaman musiman atau tahunan dan terpisah dari lingkungan dalam
sekitar rumah. Lahan tegalan tanahnya sulit untuk dibuat pengairan irigasi karena
permukaan yang tidak rata. Pada saat musim kemarau lahan tegalan akan kering dan sulit
untuk ditubuhi tanaman pertanian.
3. Pekarangan
Perkarangan adalah suatu lahan yang berada di lingkungan dalam rumah (biasanya
dipagari dan masuk ke wilayah rumah) yang dimanfaatkan / digunakan untuk ditanami
tanaman pertanian.
4. Ladang Berpindah
Ladang berpindah adalah suatu kegiatan pertanian yang dilakukan di banyak lahan hasil
pembukaan hutan atau semak di mana setelah beberapa kali panen / ditanami, maka tanah
sudah tidak subur sehingga perlu pindah ke lahan lain yang subur atau lahan yang sudah
lama tidak digarap.
METODE PENELITIAN
Dengan menganalisis masalah sumber daya air untuk lahan pertanian di
lingkungan sekitar. Masalah – masalahnya seperti adanya gejala krisis air, degradasi
sumberdaya air, konflik akibat persaingan yang semakin tajam antar pengguna air,
menyusutnya lahan pertanian beririgasi akibat alih fungsi, kurang jelasnya ketentuan hak
penguasaan air, lemahnya koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air,
kelemahan dalam kebijaksanaan sumberdaya air.
Gejala krisis air rupanya sudah mulai nampak dewasa ini. Krisis air dapat diukur dari
Indeks Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara penggunaan dan ketersediaan air.
Semakin tinggi angka IPA semakin memprihatinkan ketersediaan air di suatu wilayah.
5
Apabila angka IPA berkisar antara 0,75–1,0 maka dikatakan keadaan “kritis”.Jika lebih
dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan “sangat kritis” atau defisit air, sedangkan jika IPA
-nya berkisar antara 0,30 – 0,60 tergolong “normal” dari segi ketersediaan air . Pada
tahun 2000 diperkirakan Jawa, Madura dan Bali sudah termasuk kategori “sangat kritis”
karena untuk Jawa dan Madura diduga mempunyai IPA sebesar 1,89 dan Bali 1,13. Nusa
Tenggara Barat tergolong dalam keadaan “kritis” dengan IPA 0,92. Di daerah-daerah lain
kecuali Nusa Tenggara Timur ( dengan IPA sekitar 0,73) kondisinya relatif masih baik
karena mempunyai IPA di bawah 0,50 ( Osmet, 1996; dan Sugandhy, 1997).
Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan prilaku masyarakat yang cenderung
boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property)
dianggap tidak terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau
gratis. Padahal, air sebagai sumberdaya alam, adalah terbatas jumlahnya karena memiliki
siklus tata air yang relatif tetap. Ketersediaan air tidak merata penyebarannya dan tidak
pernah bertambah. Selain itu tingkat efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan irigasi
yang masih rendah kiranya dapat menjadi kendala dalam upaya menurunkan IPA.
Diperoleh informasi bahwa dari penelitian di berbagai negara Asia kurang lebih 20% air
irigasi hilang di perjalanan mulai dari dam sampai ke jaringan primer; 15 % hilang dalam
perjalanannya dari jaringan primer ke jaringan sekunder dan tersier; dan hanya 20% yang
digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal. Diperkirakan tingkat efisiensi
jaringan irigasi hanya sekitar 40% (Yakup dan Nusyirwan, 1997).
Sebagai akibat dari persaingan dalam pemanfaatan air akan semakin tajam pada masa-
masa
Keluhan-keluhan disertai protes oleh masyarakat tentang adanya pencemaran air telah
bermunculan di beberapa tempat sebagai akibat adanya limbah industri termasuk limbah
dari industri pariwisata seperti hotel dan restoran. Kecenderungan menurunnya kualitas
air akan meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri yang
mengeluarkan limbah, pertumbuhan perumahan secara eksponensial dan pertambahan
penggunaan bahan-bahan organik sintetis. Di Bali misalnya pemerhati lingkungan telah
mendesak pihak hotel untuk melakukan program penanggulangan limbah karena
akumulasi limbah hotel dan rumah tangga di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar
diyakini sudah tergolong memprihatinkan yaitu telah mencapai 24%, sedangkan
pencemaran air sungai di seluruh Bali secara umum mencapai 7% (Bali Post, Kamis 12
April 2001).
Intrusi air laut juga telah terjadi di beberapa tempat karena eksploitasi yang berlebihan
terhadap
Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak
terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan jumlah penduduk yang
menunutut pertambahan pemukiman , transportasi, pembangunan industri dan berbagai
6
prasarana fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya itu
niscaya membutuhkan tanah. Misalnya selama kurun waktu 1984-1990 di Jawa Barat
telah terjadi alih fungsi lahan sawah untuk non-pertanian seluas 27.768 ha atau rata-rata
5.554 ha per tahun. Selanjutnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981- 1986 luas lahan
sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata37.364 ha / tahun.
Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih dipergunakan sebagai lahan pertanian
sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih -fungsikan ke non-pertanian (Nasoetion dan
Winoto, 1996 ). Hasil penelitian JICA seperti dikutip oleh Kurnia, dkk (1996)
menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun 2020 diperkirakan konversi lahan
beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai 807.500 ha ( untuk Jawa sekitar 680.000
ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000 ha ). Khusus untuk Bali,
dalam beberapa tahun belakangan ini areal persawahan yang telah beralih fungsi
diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat,
lebih-lebih di sekitar kota karena dipicu oleh harga tanah yang meroket, sehingga pemilik
sawah tergoda untuk menjual sawahnya. Alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non-
pertanian merupakan proses yang bersifat irreversible atau tidak dapat balik.Alih fungsi
lahan cenderung diiringi dengan perubahan-perubahan orientasi ekonomi,sosial,budaya
,dan politik masyarakat yang umumnya juga bersifat irreversible (Nasoetion dan Winoto.
1996).
Khusus untuk kasus di Bali, jika penyusutan areal sawah beririgasi terus
berlanjut ,dikhawatirkan organisasi subak yang merupakan warisan leluhur dan sudah
terkenal sampai ke manca negara akan terancam punah. Kalau subak hilang, apakah
kebudayaan Bali tidak akan mengalami degradasi karena diyakini bahwa subak bersama
lembaga tradisional lainnya seperti banjar dan desa adat merupakan tulang punggung
kebudayaan Bali. Selain dari pada itu yang tidak kalah memprihatinkannya adalah jika
sawah beririgasi sudah tidak ada lagi maka lenyap pula fungsi sawah sebagai pengendali
banjir dan pelestarian lingkungan ( flood control and environment preservation). Banjir
yang terjadi di beberapa kota besar di Jepang seperti Ichikawa di Propinsi Chiba, Soka di
Propinsi Saitama dan Ueno di Propinsi Mie menurut Nagata (1991) disebabkan karena
menciutnya areal persawahan di sekitar kota-kota tersebut. Pemerintah setempat telah
berusaha keras menanggulangi masalah banjir itu melalui berbagai program, diantaranya
program drainase, dan program pemberian subsidi untuk memperlambat proses alih
fungsi sawah beririgasi. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air, apabila
alih fungsi sawah terjadi di bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka pemilik
sawah di bagian hilir akan terkena dampaknya yakni berupa pengurangan air secara
langsung karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau bisa sama sekali tidak lagi
memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak saluran dan bangunan irigasi
yang ada (Kurnia, dkk. 1996).
Pelestarian dan perlindungan sumberdaya air untuk menjamin keberlanjutan tata air
dan pada akhirnya juga keberlanjutan pertanian perlu lebih ditingkatkan. Beberapa cara
dapat ditempuh seperti misalnya:
(1) Pelaksanaan analisa dampak lingkungan bagi proyek-proyek pembangunan atau
investasi. Proyek yang secara potensial dapat mengganggu kelestarian sumberdaya air
agar secara tegas dilarang atau dihentikan.
(2) Penerapan aturan siapa yang melakukan pencemaran dialah yang harus menanggung
beban biaya penanggulangan pencemaran tersebut (polluters pay principle ) dan kepada
pelakunya juga harus dikenai sanksi sesuai aturan yang berlaku.
(3) Pengendalian pencemaran atas mutu sumberdaya air dengan cara antara lain: (a)
pengolahan air tercemar pada badan-badan air seperti sungai dan danau; (b) pengolahan
air limbah pada sumber-sumber tercemar seperti pabrik dan pemukiman; dan (c)
pengembangan teknologi pengendalian pencemaran
(4) Penerapan teknologi irigasi air limbah. Irigasi air limbah adalah suatu metode
pengolahan air limbah yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Teknologi ini
telah berkembang pesat di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman,
Israel dan bahkan India (Asmanto, 1993).
(5) Rehabilitasi kerusakan daerah hulu sungai (daerah tangkapan). Kerusakan daerah hulu
sangat fatal karena dapat mengakibatkan banjir. Adanya erosi karena penggundulan hutan
di daerah hulu berakibat pengendapan lumpur pada waduk dan bangunan irigasi.
Gerakan Hemat Air yang telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tanggal 16
Oktober 1994 perlu ditindak lanjuti dengan perencanaan dan pelaksanaan program hemat
air sehingga menjadi lebih operasional guna mencegah terjadinya krisis air di masa
depan. Program-program yang relevan antara lain kampanye secara nasional tentang arti
pentingnya penghematan air; penyusunan peraturan dan kebijakan yang secara eksplisit
mengatur hemat air; penerapan teknologi yang lebih efisien dalam pemanfaatan air; dan
penerapan tehnik budidaya tanaman yang dapat menghemat air.
Guna menghindari berbagai kerugian dan dampak negatif dari alih fungsi lahan maka
daerahdaerah yang telah memiliki Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) perlu
memberlakukan RUTR itu secara ketat dan konsisten. Bagi daerah-daerah yang belum
memilikinya, agar menyusun RUTR dengan memasukkan potensi dan kebutuhan air pada
wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya RUTR yang telah disepakati agar
disosialisasikan kepada masyarakat dan para perancang dan pelaku program
pembangunan.
Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan
selain penyusunan dan pemberlakuan RUTR secara tegas adalah:
(1) Penetapan mekanisme ganti rugi aset negara dan masyarakat yang terkena alih fungsi
misalnya fasilitas irigasi yang tidak dapat berfungsi lagi; dan ganti rugi bagi petani
karena air irgasinya terputus.
8
(2) Berbagai peraturan dan perundangan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam upaya
pengendalian alih fungsi lahan agar benar-benar ditegakkan secara konsekuen dengan
sanksi yang tegas tanpa pandang bulu terhadap siapa saja yang melanggar.
(3) Jika diizinkan akan ada alih fungsi maka organisasi P3A beserta PU Pengairan perlu
dilibatkan dalam pengambilan keputusan guna menghindari timbulnya konflik di
belakang hari.
KESIMPULAN
Beberapa masalah sumberdaya air telah diidentifikasi dan dibahas secara singkat.
Permasalahan tersebut antara lain:
(1) adanya gejala krisis air;
(2) meningkatnya konflik akibat persaingan pemanfaatan air yang semakin tajam; (3)
menurunnya kualitas sumberdaya air;
(4) menyusutnya lahan pertanian beririgasi akibat alih fungsi;
(5) tidak jelasnya ketentuan hak atas air;
(6) lemahnya koordinasi antar departemen dalam menangani sumberdaya air; dan
(7) adanya beberapa kelemahan dalam kebijaksanaan sumberdaya air.
Guna mengatasi permasalahan tersebut di atas, diperlukan langkah-langkah
kebijaksanaan yang kiranya perlu ditempuh oleh para pengambil keputusan yaitu antara
lain sebagai berikut:
(1) peningkatan upaya-upaya pelestarian dan perlindungan sumberdaya air; (2)
(2) perencanaan dan pelaksanaan program hemat air;
(3) pembuatan peraturan dan ketentuan hak guna air;
(4) pengendalian alih fungsi lahan pertanian beririgasi;
(5) pembentukan suatu lembaga tingkat nasional untuk mengatur dan menguru
sumberdaya air; dan
(6) penyesuaian kebijaksanaan sumberdaya air.
DAFTAR PUSTAKA
Atmanto, Sudar Dwi., 1993. “ Pertanian dan Irigasi Air Limbah.”, dalam Irigasi Petani
No.11/V/1993.hlm. 1-3, Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Irigasi (PSPI), LP3ES.
Helmi., 1997. “ Kearah Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan: Tantangan dan
Agendauntuk Penyesuaian Kebijaksanaan dan Birokrasi di Masa Depan”. Dalam VISI
IrigasiIndonesia Nomor 13 (7) 1997.hlm. 3-12, Jakarta: Pusat Studi Irigasi Universitas
Andalas.