You are on page 1of 8

PROSENTASE ZAKAT PROFESI

===========================
Oleh A. Khudori Soleh

Pada akhir tahun 80-an, bermula dari gugatan beberapa orang,


seperti Amien Rais1 dan Jalaluddin Rahmad,2 persoalan zakat profesi
menjadi muncul ke permukaan. Organisasi NU dan Muhammadiyah juga
ikut membahas. Akan tetapi, semua pembahasan dan diskusi tidak
berlanjut sampai final. Masalah zakat profesi dimauqufkan, padahal
dengan begitu persoalannya tidak berarti selesai atau hilang, karena
masyarakat tetap akan menantikan jawabannya, apalagi dalam era
industri seperti saat ini dimana banyak masyarakat yang penghasilannya
tidak dari usaha-usaha konvensional seperti dulu.

Tulisan ini mendiskusikan usaha-usaha modern dalam kaitannya


dengan kewajiban zakat, nisab dan prosentase zakat yang harus
dikeluarkan serta bagaimana dana zakat mesti didistribusikan.

Semua Ada Zakatnya.

Kalau memperhatikan kitab “Madzahib al-Arba`ah”, maka harta


yang wajib dizakati hanya meliputi lima kelompok; binatang ternak, emas
perak, perdagangan, barang tambang dan rikaz, dan pertanian. Di luar
itu, seperti pegawai negeri, bankir, dokter, konsultan, penulis dan lain-
lain dari profesi-profesi zaman modern tidak ada zakatnya, tidak terkena
zakat. “Tidak ada zakat perkara di luar yang lima kelompok ini”, kata al-Jazairi.3

Benarkah demikian? Al-Jazairi sesungguhnya tidak benar-benar


menafikan zakat dari kekayaan yang ada diluar lima golongan tersebut.
Itu hanya dikarenakan adanya perbedaan ijma, ijma tam dan ijma ghairu
tam. Ijma tam (ijma sempurna) adalah masalah-masalah yang telah
disepakati hukumnya oleh seluruh ulama --imam madzhab. Ini
1
Amin Rais, Cakrawala Islam, (Bandung, Mizan, 1989), tentang zakat profesi.
2
Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, (Bandung, Mizan, 1991), soal prosentase zakat
profesi.
3
al-Jazairi, Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba`ah, I, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 596.
2

Khudori/Zakat Profesi/2008-08-18
mempunyai ikatan hukum yang kuat, misalnya tentang kewajiban
mengerjakan salat lima waktu, kewajiban melakukan puasa Ramadlan,
kewajiban melakukan ibadah haji bagi yang mampu dan lain-lain. Siapa
yang mengikari berarti kufur. Sedang ijma ghairu tam adalah masalah-
masalah yang hukumnya hanya disepakati oleh sebagian ulama --imam
madzhab-- saja, tidak oleh seluruhnya, sehingga ikatan hukumnya juga
tidak sekuat yang pertama.4

Meski demikian, apa yang telah diijmai secara tam tidak mesti
langgeng, tidak mesti terus berlaku dan terus ada. Bisa berubah atau
hilang. Tentu tidak semua. Untuk ibadah-ibadah mahdlah atau ibadah-
ibadah tertentu seperti salat dan puasa jelas tidak akan berubah, sebab hal
itu didasarkan dan telah diatur oleh nas yang jelas. Sedang untuk ibadah-
ibadah yang berhubungan dengan muamalah (sosial) dimana setiap
daerah mempunyai aturan tersendiri dan di setiap masa mengalami
pergeseran, maka ini banyak mengalami perubahan, atau bahkan
berganti. Ketentan zakat mempunyai hubungan yang erat dengan
masalah yang kedua, maka ia juga mengalami perubahan.

Contoh paling mudah bisa dilihat dalam soal barang tambang dan
rikaz. Telah menjadi ketentuan bersama bahwa barang tambang termasuk
dalam sesuatu yang harus dikeluarkan zakatnya. Akan tetapi, di
Indonesia, ketentuan tersebut tidak bisa diberlakukan, karena barang
tambang dan semua yang memenuhi hajat hidup orang banyak dikuasai
negara, bukan oleh perorangan. Begitu pula tentang rikaz. Tidak selalu
orang yang menemukan rikaz harus mengeluarkan zakat. Barang antik
dan temuan yang sangat berharga harus diserahkan negara, tidak boleh
dikuasai sendiri.

Dengan demikian, sesuatu yang telah ditentukan dalam kitab-kitab


kuning tidak mesti selalu berlaku. Begitu pula yang belum, bukan berarti
lantas tidak ada hukumnya, atau tidak perlu dibahas. Semua serba
kondisional dan situasional. Tentang penyataan Al-Jazairi, “La zakata fi ma
'ada hadzihi al-Anwai al-khamsah” (tidak ada zakat diluar golongan lima ini)
adalah karena memang saat itu baru lima golongan kekayaan tersebut
yang telah ada dan --sempat-- diijmai. Yang lain belum ada atau belum
ditemukan. Andaikata para imam madzhab hidup saat ini, mungkin akan
4
Abd Rahman al-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, I, (Beirut, Dar
al-Fikr, tt), 3.
3

Khudori/Zakat Profesi/2008-08-18
berbeda pernyataannya. Disinilah tugas para ulama, para pakar dan kam
cendekia untuk menyelesaikannya.

Alqur'an menyatakan, apapun hasil usaha yang baik harus


dikeluarkan zakatnya (QS. al-Baqarah, 267). Kata “ma” disana termasuk
kata yang mengandung pengertian umum. Jadi kata “mimma kasabtum”
berarti “dari hasil (apa saja) yang kamu usahakan” harus dikeluarkan
zakatnya. Tidak ada batasan lima golongan, empat atau tiga. Semua hasil
usaha yang baik, bisa dari membuat tanaman bonsai, pelihara anggrek,
konsultan, surat kabar, rumah kontrakan, dan lainnya ada zakatnya.
Tidak hanya itu, bahkan --jika melihat hadits-- semua anggota badan juga
ada zakatnya. Zakat mulut adalah berdzikir dan berkata benar, zakat mata
adalah melihat sesuatu yang baik, zakat tangan dengan memberi dan
menulis sesuatu yang benar, kaki untuk berjalan kearah keadilan dan lain-
lain.

Selain itu, zakat berfungsi untuk membersihkan harta, disamping


bahwa hal itu adalah hak kaum fakir dan miskin. Jika dibatasi hanya lima
golongan yang lebih bersifat angrokultur seperti itu misalnya, maka
bagaimana harus membersihkan hasil usaha lain diluar lima golongan
tersebut? Memang ada aturan sedekah dan infaq, tapi itu hanya
menduduki tingkatan sunnah, sehingga sering diremehkan. Walhasil,
semua usaha manusia yang baik harus dikeluarkan zakatnya untuk
mensucikan.

2,5% sampai 20%.

Berapa nisab dan prosentase zakat profesi? Inilah yang masih


menjadi masalah. NU dan Muhamadiyah memauqufkan. Sebagian ada
yang menyatakan bahwa nisab zakat profesi adalah 93,6 gram emas
dengan zakat sebesar 2,5%, diqiyaskan pada nisab dan prosentase zakat
emas. Sebagian lain menyatakan 20% setelah diambil kebutuhan pokok
sehari-hari. Masalahnya, mengapa nisab dan prosenstse zakat profesi
mesti diqiyaskan dengan emas yang 2,5% dan 93,6 gram, mengapa tidak
diqiyaskan dengan nishob rikaz yang 20%? Kalau bisa diqiyaskan pada
emas berarti juga bisa diqiyaskan pada rikaz atau pertanian yang 5% dan
10%. Tidak ada ketentuan bahwa kita harus mengqiyaskan zakat profesi
pada salah satu lima golongan diatas. Begitu pula tentang pernyataan
4

Khudori/Zakat Profesi/2008-08-18
bahwa zakat profesi adalah 20% dari hasil bersih, setelah diambil muknah
(kebutuhan pokok). Mengapa harus setelah diambil muknah? Padahal
dalam soal pertanian, ketentuan 5% dan 10%, hanya didasarkan atas biaya
perawatan pertanian. Bukan termasuk biaya hidup petani.

Ketentuan Rasul tentang prosentese zakat, 2,5 %, 5%, 10% dan


seterusnya, sesungguhnya, bukan merupakan ketentuan pokok dan pasti.
Semua lebih merupakan pertimbangan berdasar tingkat kemakmuran,
kebutuhan dan batas garis kemiskinan masyarakat yang bersangkutan.
Juga berdasar atas tingkat kesulitan usaha yang dilakukan, sehingga
dalam soal zakat fitrah yang hanya 2,6 kg mestinya juga perlu perenungan
kembali. Dengan tingkat kemakmuran dan garis kemiskinan seperti saat
ini, apakah masih layak dan logis seseorang mengeluarkan zakat fitrah
hanya 2,6 Kg? Apakah tidak ikut naik menjadi 5 atau bahkan 10 Kg.

Dalam zakat pertanian, misalnya, al-Kahlany tidak memastikan


hanya 5% dan 10%, tetapi bisa juga 7,5%, berdasarkan atas perbedaan
ta’ab (tingkat kesulitan).5 Yaitu, pertanian yang irigasi, obat dan pupuk
tanpa biaya, zakatnya adalah 10%, sementara pertanian yang
perawatanya, pupuk, obat dan irigasi dengan biaya, zakatnya 5%.
Pertanian yang tingkat perawatannya ada diantara keduanya, zakatnya
7,5%.

Dengan demikian, sama sebagaimana ketentuan Al-Kahlany,


prosentase zakat profesi tidak harus 20% atau hanya 2,5%. Kadar 2,5%
dan 20% hanya batas minimal dan maksimal yang diberikan Rasul. Zakat
profesi bergeser diantara keduanya; 20%, 17,5%, 15%, 12,5%, 10 dan
seterusnya sampai turun mencapai 2,5%. Disini tugas para ekonom untuk
menentukan usaha-usaha masyarakat modern, mana yang termasuk
usaha mudah sehingga terkena zakat 20%, mana yang sedang-sedang
sehingga terkena zakat 10%, dan mana yang paling berat sehingga hanya
kena zakat 2,5% .

Penyaluran Zakat.

Kemana dana zakat harus disalurkan? Persoalan ini muncul karena


sampai sejauh ini, zakat hanya difahami dan dilaksanakan secara
konvensional, sehingga dana zakat tidak bisa diharapkan untuk
5
Ismael al-Kahlani, Subul al-Salam, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 131.
5

Khudori/Zakat Profesi/2008-08-18
mengatasi persoalan yang lebih luas. Tidak bisa diharapkan untuk
mampu mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dan --pengentasan--
kemiskinan padahal ini adalah sesuatu yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup masyarakat dan umat Islam. Bahkan, secara
kronologis, al-Qur'an menempatkan soal --pengentasan-- kemiskinan
diatas soal ibadah, rukun Islam. “Apa yang dinamakan kebaikan adalah iman
kepada Allah....(menepati rukun iman), memberikan harta kepada kerabat, anak
yatim, fakir miskin (mengentas kemiskinan), mendirikan salat (melaksanakan
rukun Islam).....” (QS. al-Baqarah, 177). Dalam sebuah riwayat juga
dikatakan, “Kemiskinan nyaris menyeret seseorang kepada kekufuran” (HR.
Abu Na`im). Artinya, kemiskinan mempunyai dampak yang besar bagi
kelangsungan hidup dan akidah seseorang.

Kenyataannya, betapa banyak anak-anak putus sekolah karena


tidak ada biaya. Begitu pula betapa banyak lembaga-lembaga pendidikan
Islam tidak bisa hidup dan berkembang juga karena tidak ada dana. Tidak
bolehkah dana zakat diberikan kepada mereka, untuk bia siswa atau
pembangunan lembaga pendidikan, meski kelompok ini tidak tercantum
dalam 8 golongan yang disebut dalam al-Qur’an. Disini perlu dilihat
secara lebih kontekstual dan atas dasar kemaslahatan sebagaimana ketika
Khalifah Umar ibn Khathab menghapus pembagian ghanimah untuk para
pejuang --meski itu ada nas dalam al-Qur'an-- karena saat itu tentara
sudah digaji.

Untuk itu, pertama, perlu penafsiran ulang terhadap makna asnab


atau golongan yang disebutkan dalam al-Qur’an. Misalnya, tentang kata
“sabilillah” tidak hanya dimaknakan sebagai “al-ghazah”, orang yang
berperang atau berjuang di jalan Tuhan, seperti mubaligh, kyai atau
lainya, tetapi dimaknakan lebih dari itu. Imam al-Nawawi,6dengan
mengutip pendapat al-Qaffal yang juga mengutip dari pendapat sebagian
ulama pernah menyatakan bahwa kata “Sabilillah” tidak hanya bermakna
orang yang berperang, tetapi juga bermakna “Sabilul Khair” (jalan menuju
kebaikan). "Imam al-Qaffal menukil dari pendapat sebagian ulama, bahwa
boleh memberikan dana zakat untuk jalur-jalur kebaikan, seperti biaya
pengkafanan mayat, pembangunan benteng pertahanan, pendidikan dan
masjid. Sebab, firman Allah “Sabilillah” bermakna umum, meliputi segala
bentuk kebaikan (untuk menegakkan agama)”.

6
al-Nawawi, Tafsir al-Munir, I, (Bairut, Dar al-Fikr, tt), 344.
6

Khudori/Zakat Profesi/2008-08-18
Dengan dasar ini, maka dana zakat tidak hanya digunakan dan
disalurkan kepada fakir miskin dan orang yang berjuang dijalan Tuhan
melainkan juga bisa digunakan sebagai bia-siswa, untuk bentuk-bentuk
kegiatan, pembangunan dan pendanaan lembaga pendidikan dan lainnya.
Yang penting, semua mengarah kepada peningkatan kualitas dan
aktivitas masyarakat dan kaum muslimin, menuju kearah dan pada jalan
Tuhan. Sabilillah.

Kedua, zakat tidak disalurkan secara konsumtif tetapi lebih pada


hal-hal yang bersifat produktif. Menurut para ulama, salah satu dari
“maqasid as-Syar’i” zakat adalah untuk mengentas kemiskinan sehingga
fakir miskin yang mempunyai usaha atau keahlian hendaknya diberi dana
zakat yang cukup untuk membeli alat-alat atau modal usahanya, sehingga
mereka bisa melepaskan diri dan keluarganya dari problem kemiskinan.7

Apa yang terjadi pada masa permulaan Islam juga demikian. Pada
masa Khalifah Umar ibn Khathab misalnya, beliau memberi bantuan
keuangan pada fakir miskin dari dana zakat tidak sekedar untuk
mencukupi kebutuhan perut dengan sedikit uang tetapi dengan sejumlah
modal, binatang ternak dan lain-lain untuk keperluan hidup mereka dan
keluarganya. Pesan Umar yang amat terkenal, “Bila kalian memberi zakat
(kepada fakir miskin) maka cukupilah”.8

Konsep pemberian zakat secara produktif tersebut diterapkan oleh


KH. Qosim Bukhari, di desa Putukrejo, Gondanglegi, Malang. Zakat
bahkan tidak diberikan secara cuma-cuma sebagai modal tetapi
dipinjamkan sehingga mereka harus mengembalikan dengan memberi
tambahan uang jasa sebesar 2,5%. Hasilnya, dalam jangka 10 tahun, dana
zakat telah berlipat-lipat, sehingga bisa digunakan untuk berbagai
pembangunan dan kepentingan. Antara lain, pengerasan jalan sepanjang
12 Km, pembangunan 7 pos hansip, pembelian 25 sepeda untuk hansip,
membeli 25 mesin jahit untuk PKK, membeli 127 ekor sapi dan 200 ekor
kambing, membangun 72 perumahan fakir miskin, gudang zakat dan
balai desa. Selain itu, juga untuk memberi modal pada 100 orang anggota
7
Lihat Muhammad ibn Abbas, Nihayah al-Muhtaj, IV, (Bairut, Dar al-Fikr, tt), 161-
162; Muhammad Satha al-Dimyati, Hasyiyah I`anah al-Thalibin, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt),
214; Zakariya al-Ansari, Fath al-Wahhab, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 28; Muhammad Sarbini
al-Khatib, Iqna, (Bairut, Dar al-Fikr, tt), 231.
8
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta, Masagung, 1994), 246.
7

Khudori/Zakat Profesi/2008-08-18
KCK, pembangunan pendidikan taman kanak-kanak, yatim piatu dan
lain-lain, sehingga tanpa dana IDT-pun, dengan pelaksanaan zakat
produktif ini, masyarakat telah mampu mengatasi persoalan
kemiskinannya.

Adapun fakir miskin yang tidak mampu dan tidak mempunyai


keahlian usaha, mereka diberikan dana zakat secara konsumtif. Artinya,
mereka diberi dana zakat untuk kebutuhan makan sehari-harinya.
Namun, dalam hal ini perlu seleksi dan kehati-hatian, sebab saat ini,
kemiskinan bukan lagi merupakan kesengsaraan, tetapi telah menjadi
komoditi bisnis. Tidak jarang terlihat dan ditemukan orang yang sehat
dan kuat tetapi mengemis dan mengekploitir kemiskinan demi
mendapatkan kekayaan secara mudah tanpa usaha. Untuk orang-orang
seperti ini tidak perlu diberi zakat tetapi cukup sedekah ala kadarnya [.]

DAFTAR PUSTAKA

Abu Naim, Ahmad ibn `Abd Allah al-Asfihan, Hilyah al-Auliya’ wa Tabaqat
al-Asfiyah, Beirut, Dar al-Kutub, tt.

Ansari, Zakariya, Fath al-Wahhab, II, Beirut, Dar al-Fikr, tt

Dimasyqi, Abd Rahman, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, I, Beirut,


Dar al-Fikr, tt

Dimyati, Muhammad Satha, Hasyiyah I`anah al-Thalibin, II, Beirut, Dar al-
Fikr, tt

Ibn Abbas, Muhammad, Nihayah al-Muhtaj, IV, Bairut, Dar al-Fikr, tt

Jazairi, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh Ala Madzahib al-Arba`ah, I, Beirut, Dar
al-Fikr, tt.

Kahlani, Ismael, Subul al-Salam, II, Beirut, Dar al-Fikr, tt.


8

Khudori/Zakat Profesi/2008-08-18
Khatib, Muhammad Sarbini, Iqna, Bairut, Dar al-Fikr, tt

Nawawi, Muhamamd, Tafsir al-Munir, I, Bairut, Dar al-Fikr, tt

Rahmat, Jalaluddin, Islam Aktual, Bandung, Mizan, 1991.

Rais, Amin, Cakrawala Islam, Bandung, Mizan, 1989.

You might also like