You are on page 1of 67

BUDAYA NUSANTARA

KEBUDAYAAN
BALI

Disusun oleh:

I Gede Yudi Paramartha (18)


I Made Adi Primanta (19)
I Wayan Primadyantara (20)
Nur Aini (30)

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA


PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN
AKUNTANSI PEMERINTAHAN

IDENTIFIKASI GEOGRAFIS
Bali dikenal sebagai Pulau Dewata (island God/island Paradise) merupakan
salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia bahkan dunia. Kuta, Sanur, Nusa Dua,
Bedugul, Ubud, Sukawati, Lovina, dan lain lain merupakan tempat wisata yang
terkenal di Bali.
Bali adalah sebuah pulau di Indonesia, sekaligus menjadi salah satu provinsi
Indonesia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya
ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali
adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata
dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan
Jepang dan Australia.
Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh
kesadaran akan kesatuan budayanya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh
adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian, tetapi
kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Selain itu,
kebudayaan Hindu yang sudah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali
dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan
kesatuan itu.
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan
selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara geografis Provinsi Bali
terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40"
Bujur Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.
Relief dan topografi Pulau Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang
memanjang dari barat ke timur.
Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas fisiknya adalah
sebagai berikut:
• Utara : Laut Bali
• Timur : Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat)
• Selatan : Samudera Indonesia
• Barat : Selat Bali (Propinsi Jawa Timur)
Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan
satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem,
Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga merupakan ibukota
provinsi. Selain Pulau Bali Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau kecil lainnya,
yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan di wilayah
Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan Pulau
Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40
ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.
• Tabel Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Provinsi Bali
Persentas
Kabupaten/Ko Luas
Ibukota e
ta (km²)
(%)

Jembrana Negara 841,80 14,94

Tabanan Tabanan 839,30 14,90

Badung Badung 420,09 7,43

Denpasar Denpasar 123,98 2,20

Gianyar Gianyar 368,00 6,53

Klungkung Semarapura 315,00 5,59

Bangli Bangli 520,81 9,25

Karangasem Amlapura 839,54 14,90

Buleleng Singaraja 1.365,88 24,25

Jumlah 5.634,40 100,00

 Sumber: Master Plan Penunjang Investasi Provinsi Bali Tahun 2006-2010


Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud
sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur,
Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan
pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan.
Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi
ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang
ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan
menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara,
bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.
Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang
pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan
tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung
serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung
Seraya.
Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis
terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran
rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah
yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%)
seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam
(15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha.
Pegunungan tersebut mempunyai arti penting dalam pandangan hidup dan
kepercayaan penduduk. Di pegunungan tersebut terletak puri-puri (pura) yang
dianggap suci oleh orang Bali seperti Pura Pulaki, Pura Batukau, dan terutama Pura
Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung. Arah membujur dari pegunungan
tersebut menyebabkan penunjukan arah yang berbeda untuk orang di Bali Utara
dan Bali Selatan. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di
daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.
Dalam bahasa Bali kaja berarti ke gunung dan kelod berarti ke laut. Berarti
untuk orang Bali Utara kaja berarti selatan dan kelod berarti utara. Hal ini berlaku
sebaliknya untuk orang di daerah selatan. Perbedaan ini tidak hanya tampak pada
penunjukan arah dalam bahasa Bali, tetapi juga dalam beberapa aspek kesenian
dan sedikit bahasa. Orang Bali menyebut daerah di bagian utara itu daerah Den
Bukit dan daerah-daerah di bagian selatan Bali Tengah (kabupaten Tabanan,
Badung, Gianyar, Klungkung). Besarnya arti dari konsep kaja-kelod dalam
masyarakat Bali tampak pula dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara agama,
letak susunan rumah kuil, dsb. Adapun mengenai arah timur (kangin) sifatnya
disamakan dengan arah kaja dan barat (kauh) disamakan dengan kelod. Kedua
arah tersebut sama baik di Bali Utara maupun Bali Selatan.
SEJARAH
Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh
kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh
adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian namun
kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Di samping
itu agama Hindu yang telah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali
dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan
kesatuan itu.
Penduduk Bali asli adalah sebagian besar suku Bali menganut agama Hindu
Dharma yang sangat terikat pada segi-segi kehidupan sosial, yaitu:
1. Pada kewajiban melakukan pemujaan terhadap pura tertentu
2. Pada satu tempat tinggal bersama atau komunitas
3. Pada pemilikan tanah pertanian dalam subak tertentu
4. Pada satu status sosial atas dasar warna
5. Pada ikatan kekerabatan menurut prinsip patrilineal
6. Pada keanggotaan terhadap sekehe tertentu
7. Pada satu kesatuan administrasi desa dinas tertentu
Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu di berbagai daerah di Bali
dalam zaman Majapahit dahulu menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat di
Bali, yaitu Masyarakat Bali-Aga dan Bali-Majapahit (wong Majapahit). Masyarakat
Bali-Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu dari
Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali-Aga umumnya mendiami
desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa,
Tigawasa di Kabupaten Buleleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten
Karangasem. Sekarang ini komunikasi modern, pendidikan, serta proses
modernisasi telah membawa banyak perubahan-perubahan juga dalam masyarakat
dan kebudayaan di desa-desa tersebut. Orang Bali-Majapahit yang pada umumnya
diam di daerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk
Bali. Kecuali di pulau Bali, ada juga orang Bali di bagian barat dari Pulau Lombok,
sedangkan usaha transmigrasi oleh pemerintah telah menyebarkan mereka ke
daerah-daerah lain seperti Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi dan Nusa
Tenggara.

Leluhur orang Bali masuk ke Bali dalam tiga periode: gelombang pertama
adalah suku proto-Melayu yang datang dari Jawa dan Kalimantan pada zaman
prasejarah; gelombang kedua adalah migrasi sedikit demi sedikit dari Jawa pada
zaman Hindu; gelombang ketiga dan terakhir juga datang dari Jawa sekitar abad ke-
15 dan 16, masa konversi Islam di Pulau Jawa, para aristrokrat Jawa terutama dari
Kerajaan Majapahit melarikan diri dari ke Bali untuk menghindari pengkonversion
Islam, merekalah yang akhirnya membentuk kultur Bali yang merupakan suatu
bentuk sinkretisasi dari kultur Jawa klasik dengan banyak tambahan elemen Bali.
Kenyataannya memang leluhur suku Bali kebanyakan berasal dari Pulau Jawa.
1. Masa Prasejarah
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang
ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan.
Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan
riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat
pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya. Zaman prasejarah
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah
ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan
kita.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali,
kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat
dibagi menjadi:
1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
3. Masa bercocok tanam
4. Masa perundagian
Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian
yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di desa Sambiran (Buleleng
Timur), dan di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang
digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu
yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di museum Gedung Arca di
Bedahulu Gianyar.
Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil
ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di
pegunungan gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih
besar yaitu goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang
kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian goa Selonding
ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat
dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu
sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan. Sisa-sisa
kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi
dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam
masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan
dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan
mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang
lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan
tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk
(Jembrana).
Manusia Bali keturunan Austronesia pada masa itu hidup berkelompok dan
dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umumnya disebut dengan Sahing 16, dan
kepala suku atau pimpinannya disebut dengan nama Jro Gede yang penunjukannya
dilakukan dengan sistem hulu apad yaitu sistem giliran menurut usia tertua
anggota persekutuan. Persekutuan kepemimpinan tersebut masih ada sekarang
dan tetap dipertahankan di desa-desa Bali Aga, terutama dalam hal adat.
Persekutuan hukum inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal desa-desa di Bali.
Manusia Austronesia inilah yang menjadi leluhur sebagian orang Bali Mula,
yang kemudian membaur pada masa berikutnya dengan orang-orang yang datang
dari luar Bali. Kebudayaan Bali Mula masih melanjutkan tradisi bangsa Austronesia,
walaupun kedatangan kebudayaan agama Hindu, tetapi mereka hanya menerima
upacara dan upakaranya saja, misalnya ngaben mereka terima tapi membakar
mayat tidak, lalu muncullah istilah beya tanem. Dan saat ngaben, mereka tidak
berani menghias wadahnya dengan kertas, parasbaan, kapas dan lain-lainnya,
mereka hanya menggunakan bahan-bahan lokal seperti ambu, padang-padang,
plawa dan sebagainya.
Mereka yang dikelompokkan sebagai warga Bali Mula, dengan ketua
kelompok yang kemudian disebut dengan Pasek Bali, diantaranya adalah Pasek
Taro.
1. Memasuki Masa Sejarah
1. Masuknya Agama Hindu
Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya
bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih
kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-
masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu
berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis
yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan
keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah
dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8
Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih
Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah
merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat
diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang
dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan
kata Walidwipa. Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti
prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.
Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang
juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah
Udayana, Jayapangus, Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan
pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti
tertua 882-914 Masehi badan ini disebut dengan istilah panglapuan. Sejak zaman
Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah pakiran-kiran i jro
makabaihan. Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa
dan Budha.
Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut
beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja
Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang
besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak
berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini
dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton
ini bukanlah monopoli raja-raja.
Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman
megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan
kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan
pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-
kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai
simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada
bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada
dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya
Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya
agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya
Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya
dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai
contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna.
Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah
agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada
dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama
Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan
adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.
2. Ekspedisi Gajah Mada
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh
kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa.
Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi
bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang Arya.
Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah
Mada dengan kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu
dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah terjadi kekosongan
pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk
memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan
memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga.
3. Zaman Gelgel
Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden
Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir,
pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel. Pada saat inilah dimulai zaman Gelgel
dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah
Dalem Watu Renggong (1460-1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana
dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga beliau dapat mengembangkan
kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan kerajaan Gelgel. Di bawah
pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah
Dalem Watu Renggong wafat beliau digantikan oleh Dalem Bekung (1550-1580),
sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605-1686).
4. Zaman Kerajaan Klungkung
Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel.
Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri periode Gelgel. Hal
itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I
Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe
sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di
Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas
tempat persembunyiannya di Semarapura.
Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama
zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja
Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini
wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil
ini selanjutnya menjadi Swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman
kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

FILOSOFI MASYARAKAT

Panca Sradha
Panca Sradha merupakan kepercayaan pokok masayarakat Hindu di Bali yang
terdiri atas lima bagian, yaitu :
1. Brahman, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Atma, percaya kepada roh atau jiwa pada setiap makhluk hidup yang
berasal dari percikan suci Tuhan
3. Karma Phala, percaya akan adanya hukum sebab akibat. Setiap
perbuatan(karma) pasti akan mendatangkan akibat (pahala)
4. Samsara atau reinkarnasi, percaya akan adanya kehidupan/lahir
kembali yang disebabkan karena adanya karma.
5. Moksa, tujuan akhir makhluk hidup yaitu bersatunya kembali atma
dengan brahman.
Berdasarkan kepercayaan pokok inilah lahir ajaran-ajaran/filosofi lain sebagai
implementasi dalam kehidupan, antara lain
1. Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha berarti tiga macam tingkah laku yang patut disucikan, yaitu:
a. Pikiran yang baik(Manachika Parisudha)
b. Perkataan yang baik (Wachika Parisudha)
c. Pebuatan yang baik (Kayika Parisudha)
1. Tri Hita Karana
Tri Hita Karana secara harfiah berarti tiga penyebab kebahagiaan. Orang Bali
percaya bahwa kebahagiaan dalam kehidupan ini bisa terwujud apabila tercipta
keselarasan dan keharmonisan antara manusia dengan tiga penyebab berikut ini
a. Parahyangan (Tuhan Yang Maha Esa)
b. Pawongan (sesama manusia0
c. Palemahan (alam lingkungan)
Selain itu ada juga filosofi-filosfi lain yang mendasari setiap aspek kehidupan
masarakat Bali, seperti konsep Skala-Niskala, Rwa Bhineda, Bhuana Agung-
Bhuana Alit, dan Tat twam asi.
Konsep skala-niskala menunjukkan bahwa orang Bali percaya akan adanya
alam nyata (skala) dan alam tak nyata/tak kasat mata (niskala). Jadi, setiap
perbuatan atau kegiatan yang dilaksanakan harus memperhatikan keselarasan
antara alam nyata dengan tidak nyata. Jangan sampai perbuatan yang dilakukan
manusia mengganggu atau merusak alam yang tidak nyata karena bila terjadi
dapat menyebabkan hal-hal yang tidak baik.
Konsep Rwa Bhineda mungkin mirip dengan konsep Yin dan Yang. Orang Bali
percaya bahwa positf dan negatif itu selalu berjalan berdampingan. Baik dan buruk,
hitam dan putih, suka dan duka adalah hal-hal yang selalu terjadi di dunia. Tinggal
bagaimana manusia menyikapi hal-hal tersebut.
Bhuana Agung berarti bumi atau alam semesta, sedangkan bhuana alit
adalah manusia. Orang Bali percaya bahwa manusia dan alam semesta ini tersusun
atas unsur-unsur yang sama. Oleh karena itu, sudah sepatutnya manusia dan alam
bekerja sama untuk saling menjaga kelangsungan kehidupan.
Keseluruhan konsep di atas diwujudkan melalui pelaksanaan Yadnya.
Yadnya berarti korban suci yang tulus ikhlas. Pengorbanan itu bisa berupa materi
maupun berupa hal-hal imaterial. Pembahasan mengenai yadnya akan ada pada
bab berikutnya yang berkaitan dengan sistem adat dan religi.
Mata Pencharian
Sebanyak kira-kira 70% orang Bali menggantungkan hidupnya pada dunia
pertanian. Sedangkan sisanya terdiri dari pedagang, buruh bangunan, pengrajin,
karyawan atau PNS, peternak, dan nelayan. Akan tetapi, memasuki zaman global ini
semakin banyak orang yang meninggalkan profes sebagai petani dan mulai beralih
kepada profesi lainnya.
Pertanian di Bali cukup bervariatif sesuai dengan keadaan geografis Bali yang
beragam. Kawasan Bali Utara merupakan daerah dataran tinggi dengan hawa yang
dingin sehingga merupakan tempat yang cocok untuk perkebunan sayur, buah,
bunga dan hasil hutan seperti cengkih. Kawasan Bali bagian selatan merupakan
dataran rendah yang cocok untuk sawah padi, kacang-kacangan, jagung, dan
sejenisnya. Bali terkenal dengan Subak sebagai organisasi untuk mengatur masalah
pertanian, seperti irigasi dan hal-hal lainnya.
Orang Bali juga terkenal akan keahliannya dalam bidang seni sehingga ada
banyak orang yang berprofesi sebagai pengrajian. Hasil dari kerajinan ini antara lain
patung, ukiran, lukisan, perhiasan, dan lain sebagainya. Profesi ini banyak digeluti
oleh masyakat yang terutama tinggal di daerah Gianyar dan Klungkung.
Selain itu, Bali terkenal dengan pariwisatanya. Daya tarik pariwisata
terutama berasal dari kebudayaan unik masyarakat sendiri yang ditunjang dengan
alam yang indah. Sehingga cukup banyak orang yang menggantungkan hidupnya
dalam dunia pariwisata, mulai dari perhotelan, restauran, guider, dan penjual
cendramata.
Kegiatan beternak umumnya merupakan kegiatan sampingan. Hasil ternak
yang banyak dijumpai adalah babi, ayam, bebek, sapi, dan kerbau. Hasil ternak ini
umumnya untuk memenuhi kebutuhan dalam melaksanakan upacara keagamaan.

SISTEM KEKERABATAN

Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan


orang Bali, karena dengan itu barulah ia dianggap sebagai warga penuh dari
masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban
seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.
Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen
(dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin
dilakukan di antara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang
dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat
endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang
masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki.
Keadaan ini memang agak menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen,
yang umumnya bersifat exogam.
Orang-orang se-klen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) di
Bali itu adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama,
dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam
batas klen-nya terjagalah kemungkinan-kemungkinan akan ketegangan-ketegangan
dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar-kasta yang
berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari
kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat
kastanya, karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu pada keluarga,
serta menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita tersebut. Dahulu apabila
terjadi perkawinan campuran yang demikian, maka wanita itu akan dinyatakan
keluar dari dadia-nya, dan secara fisik suami-isteri akan dihukum buang (maselong)
untuk beberapa lama, ke tempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun
1951, hukum semacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada waktu ini
perkawinan campuran antar-kasta sudah relatif lebih banyak dilaksanakan.
Lain bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar
antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki isteri (makedengan
ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap mendatangkan bencana
(panes). Perkawinan pantang yang dianggap melanggar norma kesusilaan sehingga
merupakan sumbang yang besar (agamiagemana) adalah perkawinan antara
seorang dengan anaknya, antara seorang dengan saudara sekandung atau tirinya,
dan antara seorang dengan anak dari saudara perempuan maupun laki-lakinya
(keponakannya).
Pada umumnya, seorang pemuda Bali itu dapat memperoleh seorang isteri
dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga
seorang gadis, atau dengan cara melarikan seorang gadis (mrangkat, ngrorod).
Kedua cara itu berdasarkan adat.
Adat perkawinan Bali meliputi suatu rangkaian peristiwa-peristiwa seperti
kunjungan resmi dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk meminang
si gadis atau memberitahukan kepada mereka bahwa si gadis telah dibawa lari
untuk dikawini; upacara perkawinan (masakapan); dan akhirnya lagi suatu
kunjungan resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua si gadis untuk minta
diri kepada ruh leluhurnya. Di beberapa daerah di Bali (tidak di semua daerah),
berlaku pula adat penyerahan mas kawin (patuku luh), tetapi rupa-rupanya adat ini
terutama di antara keluarga-keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.
Sesudah pernikahan, suami isteri baru biasanya menetap secara virilokal di
kompleks perumahan (uma) dari orang tua si suami, walaupun tidak sedikit juga
suami isteri baru yang menetap secara neolokal dan mencari atau membangun
rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan di mana suami isteri baru
itu menetap secara uxorilokal di kompleks perumahan lari si isteri (nyeburin).
Tempat di mana suami isteri itu menetap, menentukan perhitungan garis keturunan
dan hak waris dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya. Kalau suami isteri
tinggal secara virilokal, maka anak-anak mereka dan keturunan mereka selanjutnya
akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si
suami dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anak-anak dan
keturunan mereka yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara
matrilineal menjadi warga dadia si isteri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu.
Dalam hal ini kedudukan si isteri adalah sebagai sentana (pelanjut keturunan).

 Keluarga Batih, Keluarga Luas, dan Rumah Tangga


Akibat dari perkawinan adalah terbentuknya suatu keluarga batih, dan
bentuk keluarga batih ini tergantung pula dari macam perkawinan itu. Karena
poligini diijinkan, maka ada juga keluarga-keluarga batih yang sifatnya poligini.
Walaupun demikian, keluarga-keluarga yang bersifat poligini ini hanya terbatas
dalam lingkungan-lingkungan tertentu saja yang jumlahnya tidak banyak.
Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang
bersifat monogami, sering ditambah dengan anak-anak laki-laki yang sudah kawin
bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan lain-lain orang yang
menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun yang bukan kerabat
(pembantu rumah tangga dan lain-lain). Sesudah beberapa, kalau seorang anak
laki-laki sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mempu untuk berdiri
sendiri, ia memisahkan diri dari rumah tangga orang tua dan mendirikan rumah dan
rumah tangga sendiri yang baru (ngarangin). Salah satu dari anak laki-laki biasanya
tetap tinggal di kompleks perumahan orang tua (ngerobin) untuk nanti dapat
membantu orang tua kalau mereka sudah tidak berdaya lagi dan untuk
menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua. Dengan demikian,
sebenarnya suatu rumah tangga yang sudah tua terdiri dari suatu keluarga luas
virilokal yang terdiri dari suatu keluarga batih senior dengan beberapa keluarga
batih yunior yang hidup bersama dalam satu kompleks perumahan (uma) sebagai
kesatuan yang formil.
 Klen Kecil dan Klen Besar
Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas dalam sebuah desa di Bali
harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu
klen (tunggal dadia). Struktur dari tunggal dadia ini berbeda-beda dipelbagai
tempat di Bali. Di desa-desa di pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang
telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat
pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. Di desa-desa di tanah
datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan tempat
pemujaan di masing-masing kediamannya, yang disebut kemulan taksu. Di samping
itu, keluarga batih yang hidup neolokal seperti juga masih terikat oleh dan masih
mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap pura asal (dadia atau sanggah) di rumah
orang tua mereka. Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar
lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan demikian suatu pura serupa itu
mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritas anggota-anggota dari suatu
klen kecil.
Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi
beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja pura leluhur yang sama
disebut pura paibon atau panti. Kelompok kerabat yang demikian dapat disebut
klen besar.
Dalam praktek, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya
mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal
hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal usul
yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu
dari keluarga-keluarganya yang merasakan dirinya senior, yaitu keturunan
langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.

SISTEM KEMASYARAKATAN
 Sistem Pelapisan
Sistem pelapisan masyarakat di Bali didasarkan atas keturunan; karena itu
tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kelompok-kelompok kerabat
yang bersifat patrilineal. Ada pelbagai klen yang mempunyai sejarah keturunan
(babad, pamancangah, pretasti) sendiri-sendiri yang masing-masing kembali
sampai pada sejarah penaklukan oleh Majapahit dalam abad ke-14. Orang-orang
bangga apabila dapat menyusur keturunan mereka sampai pada raja-raja atau
bangsawan-bangsawan dari zaman Majapahit itu. Pelbagai keturunan inilah yang
memberikan susunan yang lebih kompleks kepada klen-klen patrileneal yang
terdapat di Bali daratan. Karena proses sejarah yang kembali ke zaman Majapahit,
maka klen-klen di Bali daerah dataran, tersusun dalam suatu susunan berlapis
tinggi rendah berdasarkan jarak hubungan kekerabatan dari leluhur-leluhur dari
klen-klen itu dengan seorang tokoh raja atau bangsawan dari Majapahit. Di Bali
daerah pegunungan, susunan klen berlapis tinggi rendah serupa itu tidak ada;
bahkan batas-batas antara klen-klen dalam kehidupan masyarakat tidak tampak
begitu nyata.
Susunan tinggi rendah dari klen-klen di daerah dataran tampak pada gelar-
gelar yang dipakai oleh warganya di depan nama mereka. Gelar-gelar itu dapat
digolongkan menjadi tiga golongan berdasarkan atas sistem pelapisan wangsa.
Sistem ini terpengaruhi oleh sistem kasta yang termaktub dalam kitab-kitab suci
Hindu Kuno, yaitu sistem keempat kasta: Brahmana, Ksatrya, Vaisya, dan Sudra. Di
Bali wangsa-wangsa dalam sistem pelapisan mempunyai sebutan yang sama, yaitu
Brahmana, Satria, Waisya, dan Sudra, sedangkan ketiga lapisan yang pertama
sebagai kesatuan disebut Triwangsa, dan lapisan yang keempat disebut Jaba.
Hanya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk anya
sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk Triwangsa, lagipula
warga klen-klen besar yang termasuk Triwangsa biasanya tersebar luas di seluruh
Bali. Sebaliknya, lebih dari 85% dari rakyat Bali termasuk warga Jaba, dan warga
klen-klen yang termasuk Jaba tinggalnya lebih terpusat pada daerah-daerah
terbatas.
Gelar-gelar bagi warga klen-klen Brahmana adalah Ida Bagus untuk laki-laki
dan Ida Ayu untuk wanita; gelar bagi warga klen-klen Satria adalah Cokorda, dan
bagi warga klen-klen Wesia adalah Gusti. Selain itu banyak gelar-gelar lain yang
diturunkan oleh klen-klen tertentu tetapi yang kurang terang mengenai
kedudukannya dalam wangsa. Pemegang gelar-gelar serupa itu tentu akan
mengakuinya sebagai gelar wangsa tinggi, lainnya berpendapat bahwa gelar-gelar
serupa itu termasuk wangsa-wangsa yang rendah dan demikian selalu memang ada
perselisihan mengenai kedudukan dari orang-orang yang mempunyai gelar-gelar
tadi dalam upacara adat dan dalam sopan santun pergaulan Bali.
Zaman modern dengan pendidikannya telah banya membawa perubahan
dalam sistem pelapisan wangsa ini. Misalnya undang-undang (awig-awig) yang
menghukum adanya perkawinan antara gadis yang lebih tinggi dengan laki-laki
yang wangsa-nya lebih rendah telah dihapuskan. Pendeta-pendeta tidak usah lagi
berasal dari wangsa Brahmana, dan akhir-akhir ini mereka malahan sudah dianggap
sederajat dengan pendeta-pendeta dari wangsa Brahmana.
 Lembaga Tradisional
Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar,
subak dan seka/sekaha. Bentuk lembaga tradisional atas dasar kesatuan wilayah
disebut desa. Konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa
dinas. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat
Hindu yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang memiliki
wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali adalah konsep Tri Hita Karana.
Desa dinas adalah satu kesatuan wilayah administratif di bawah kecamatan.
1. Desa
Desa di Bali didasarkan atas kesatuan tempat. Sebagian dari tanah
wilayahnya adalah milik para warga desa sebagai individu, tetapi sebagian lagi
adalah tanah yang ada di bawah hak pengawasan desa, atau secara konkret
dibawah pengawasan pimpinan desa. Pada umumnya tampak beberapa perbedaan
antara desa-desa adat di pegunungan dan desa-desa adat di daerah datar. Desa-
desa adat di pegunungan biasanya sifatnya lebih kecil dan keanggotaannya
terbatas pada orang asli yang lahir di desa itu juga. Sesudah kawin, orang itu
langsung menjadi warga desa adat (krama desa), mendapat tempat duduk yang
khas di balai desa yang disebut balai agung, dan berhak mengikuti rapat-rapat desa
yang diadakan secara teratur pada hari-hari yang tetap. Desa-desa di daerah datar
biasanya sifatnya besar dan meliputi daerah yang tersebar luas.
Pada komplek bangunan (bale) yang ditempati keluarga inti maupun
keluarga luas, dibangun diatas suatu pekarangan yang bisanya dikelilingi oleh
dinding dengan gapura sempit. Di antara komplek bangunan itu terdapat bangunan
untuk tidur, satu atau beberapa dapur, lumbung, tempat untuk menerima tamu,
dan pura untuk keluarga (sanggah). Seluruh komplek sebagai suatu kesatuan
disebut uma. Mengenai letak dari bale, sanggah, dan sebagainya pada umumnya
menuruti pola susunan tertentu. Pura keluarga yang dianggap suci terletak di
bagian kaja. Sedang tempat kediaman berada pada arah kelod. Bale (bangunan)
masing-masing mempunyai nama tersendiri menurut fungsinya dalam adat maupun
dalam kebutuhan sehari-hari.
Catatan: Dalam bahasa Bali, kaja berarti ke (arah) gunung dan kelod berarti
ke (arah) laut. Dengan demikian untuk orang Bali Utara, kaja berarti selatan,
sebaliknya untuk orang Bali Selatan, kaja berarti utara. Begitu juga kelod bagi orang
Bali Utara berarti utara dan untuk orang Bali Selatan berarti selatan. Perbedaan ini
tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tetapi juga dalam
beberapa aspek kesenian dan juga sedikit bahasa. Orang Bali menyebut daerah di
bagian utara itu sebagai Den Bukit (kabupaten Buleleng sekarang) dan daerah-
daerah di bagian selatan sebagai Bali Tengah (kabupaten Tabanan, Badung,
Gianyar, Klungkung). Adapun mengenai arah timur (kangin) sifatnya disamakan
dengan arah kaja dan barat (kauh) disamakan dengan kelod. Arah-arah ini sama
baik di Bali Utara maupun Selatan.

Di samping kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu


kesatuan keagamaan yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut
Kahyangan Tiga. Dimana Kahyangan Tiga ini adalah Pura Desa, Pura Puseh dan
Pura Dalem. Pura Desa merupakan tempat berstananya Dewa Brahma yang
dimanifestasikan sebagai pencipta. Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa
Wisnu yang dimanisfetasikan sebagai pemelihara dan Pura Dalem yang merupakan
berstananya Dewa Çiwa yang dimanifestasikan sebagai pelebur. Biasanya ketiga
Pura Kahyangan Tiga tersebut tempatnya dipisahkan satu sama lain. Ada kalanya
juga Pura Puseh dan Pura Desa dijadikan satu. Seperti telah diterangkan
sebelumnya, konsep mengenai arah adalah amat penting artinya dalam agama
orang Bali. Hal yang keramat diletakkan pada arah kaja, dan hal-hal biasa yang
tidak keramat diletakkan pada arah kelod. Klasifikasi dualistis ini tercermin pula
pada letak susunan rumah dan bangunan-bangunan pusat dari desa. Sedapat
mungkin bangunan-bangunan dari desa disesuaikan dengan konsep mengenai arah
tadi. Misalnya saja pada arah kaja diletakkan Pura Desa, dan pada arah kelod
diletakkan Pura Dalem (pura yang ada hubungannya dengan kuburan dan
kematian).
2. Banjar
Banjar merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan oleh
kesatuan wilayah. Kesatuan wilayah ini diperkuat oleh kesatuan adat dan budaya.
Anggota banjar tidak mutlak dari orang asli di daerah tersebut, tetapi juga orang
dari wilayah lain yang kebetulan menetap sementara/seterusnya di wilayah banjar
tersebut. Masyarakat tersebut dipersilahkan menjadi anggota banjar jika orang
tersebut menghendaki.

Banjar dipimpin oleh seorang kelian banjar dan dibantu oleh beberapa orang
sebagai wakil kelian, sinoman dan penyarikan. Adapun tugas dari kelian ini adalah
mengurus segala urusan sosial kemasyarakatan. Selain itu kelian juga mengurus
urusan agama, adat dan urusan yang bersifat administratif. Bahkan seringkali harus
juga memecahkan soal-soal yang menyangkut hukum adat tanah dan dianggap ahli
dalam adat banjar pada umumnya. Kelian banjar sebagai tetua banjar dipilih
langsung oleh para krama (warga) banjar dalam suatu sangkep (pertemuan). Untuk
lama masa jabatan tertentu sesuai dengan awig-awig (undang-undang) banjar
bersangkutan. Dalam hal ini tiap-tiap banjar memiliki awig-awig yang berbeda
sesuai dengan daerah masing-masing banjar.
Untuk mengakomodasikan kegiatannya maka dibangunlah sebuah bangunan
yang terbuka yang dikenal dengan nama bale banjar. Bale banjar ini merupakan
pusat dari banjar tersebut. Karena fungsinya sebagai pusat maka bale banjar ini
biasanya didirikan di tengah-tengah wilayah tersebut. Hal ini dimaksud untuk
memudahkan krama banjar. Bale banjar ini biasanya dilengkapi dengan Pura Banjar
dan Bale Kukul sebagai tempat untuk menaruh kukul (kentongan). Bale banjar ini
juga sebagai bangunan serbaguna untuk menunjang kegiatan umum masyarakat
banjar. Seperti olahraga, kesenian hingga agama. Di bale banjar inilah diadakan
pertemuan (sangkep) setiap bulan mengevaluasi kegiatan banjar selama sebulan.
3. Subak
Subak di Bali berdiri seolah-olah lepas dari banjar dan mempunyai seorang
kepala sendiri. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang menjadi warga suatu
subak itu tidak semuanya sama dengan orang-orang yang menjadi warga suatu
banjar. Warga subak adalah para pemilik atau penggarp sawah-sawah yang
menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak.
Sudah tentu tidak semua pemilik atau penggarap tadi hidup dalam satu banjar,
tetapi di dalam beberapa banjar. Sebaliknya, ada pula warga suatu banjar yang
mempunyai banyak sawah yang terpencar dan yang mendapat airnya dari
bendungan-bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga
banjar tadi itu akan menggabungkan diri dengan semua subak di mana ia
mempunyai sebidang sawah.
4. Seka/Sekaha
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali ada organisasi-organisasi
yang bergerak dalam lapangan hidup yang khusus, yaitu organisasi seka. Seka ini
bisa didirikan untuk waktu yang lama, bahkan untuk waktu yang meliputi angkatan-
angkatan yang turun temurun, tetapi ada pula yang bersifat sementara. Ada seka-
seka yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara yang
berkenaan dengan desa misalnya seka baris (perkumpulan tari baris), seka truna
(perkumpulan para pemuda), seka daha (perkumpulan gadis-gadis). Seka dalam arti
ini tentu sifatnya permanen, tetapi ada juga seka-seka yang bersifat sementara,
yaitu seka-seka yang didirikan berdasarkan suatu kebutuhan tertentu, seperti
misalnya seka mamula (perkumpulan menanam), seka manyi (perkumpulan
menuai), seka gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. Seka-seka seperti ini
biasanya juga merupakan perkumpulan-perkumpulan yang terlepas dari organisasi
desa dan banjar.
5. Gotong Royong
Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat desa di Bali, ada beberapa
macam cara dan sistem gotong royong; antara individu dan individu atau antara
keluarga dan keluarga. Gotong royong semacam itu disebut nguopin (membantu)
dan meliputi berbagai aktivitas di sawah (seperti menanam, menyiangi, panen, dan
sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah,
menggali sumur, dan sebagainya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara
yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian.
Di dalam hal itu ada seorang atau suatu keluarga minta bantuan dari tetangganya
atau keluarga lain, dengan suatu sopan santun yang telah digariskan oleh adat dan
dengan pengertian bahwa ia wajib untuk membalas bantuan tenaga yang
disumbangkan kepadanya itu dengan bantuan tenaga juga.
Nguopin dalam aktivitas sekitar rumah tangga di kota dan di banyak desa
sudah mulai hilang dan mulai diganti dengan sistem menyewa tenaga upahan
karena sistem menyewa sekarang dianggap lebih praktis dan seringkali lebih murah
(karena tidak perlu menyediakan jamuan dan sebagainya). Hanya dalam perayaan
dan upacara, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian cara gotong royong
nguopin masih banyak diterapkan.
Selain nguopin masih ada cara gotong royong antara seka dengan seka. Cara
semacam ini di sebut ngedeng (menarik). Dalam hal ini suatu seka tertentu,
misalnya suatu perkumpulan gamelan ‘ditarik’ untuk ikut serta dangan suatu seka
lain dalam hal menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan.
Terakhir ada suatu sistem gotong royong yang lebih menyerupai sifat kerja
bakti untuk keperluan masyarakat atau pemerintah. Hanya di dalam hal ini khusus
kerja bakti untuk keperluan agama, seperti misalnya ikut membantu membangun
pura atau memperbaiki sebuah pura yang sudah ada. Sistem kerja bakti semacam
ini disebut ngayah atau ngayang, bisa merupakan suatu aktivitas yang ramai dan
penuh kemeriahan.

SISTEM ADAT DAN RELIGI

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sistem kepercayaan yang dianut


oleh masyarakat Hindu di Bali merupakan sebuah sinergi antara unsur-unsur adat
dan budaya lokal yang telah dianut masyarakat dari zaman dulu dengan
kebudayaan Hindu yang masuk dari India. Sinergi itu dapat terjadi karena pada
dasarnya terdapat kesamaan di antara keduanya. Persamaan-persamaan tersebut
dapat kita lihat pada tabel berikut.

No Religi Prasejarah Religi Hindu


.

1 Sebutan untuk Tuhan adalah Sang Sebutan untuk Tuhan adalah Sang Hyang
Emabang/ Sang Hyang Tuduh Widhi Wasa

2 Dewa yang bersemayam di Puncak Dewa yang besemayam di puncak


Gunung Agung disebut To Langkir Gunung Agung disebut Bhatara Giripati
atau Mahadewa

3 Gunung, sungai, dan Laut Tempat yang dipandang suci adalah


merupakan tempat yang suci gunung, sungai, dan laut

4 Percaya terhadap kekuatan alam kekuatan alam disebut dengan nama


yang disebut Hyang Dewa

5 Percaya terhadap roh suci leluhur percaya terhadap roh suci leluhur yang
dengan perawatan jenazah dan disebut atma dan atma yang suci
roh suci dianggap brsemayam di bersemayam di pincak-puncak gunung
puncak gunung.

6 Membuat tiruan gunung berupa mambuat tiruan kahyangan dan gunung


punden berundak, menhir dan berupa pura, prasada, candi, dan meru
tahta batu

7 Tinggalan situs Gilimanuk tradisi panggur disebut upacara


ditemukan gigi manusia telah mepandes atau metatah
dipanggur

8 Tinggalan sikap jenazah pada kepercayaan terhadap kelahiran kembali


sakofagus dalam menyerupai bayi yang disebut samsara atau punarbhawa
dalam kandungan menunjukkan
adanya kepercayaan akan
kelahiran kembali

9 Adanya arah orientasi yang adanya orientasi yang dipandang suci,


dipandang suci, yakni timur dan yakni utarea dan timur yang disebut
utara Uttara dan Purva

10 Adanya persembahan dan bekal adanya persembahan dan bekal kubur


kubur berupa upaca yajna

Sumber: PHDI Pusat


Kegiatan religi yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali itu diwujudkan
dengan melakukan Yadnya yang sumber-sumbernya berasal dari kitab suci dan tata
cara pelaksanaannya disesuaikan dengan adat masyarakat setempat. Perlu diingat
bahwa setiap banjar ataupun desa bisa memiliki adat yang berbeda-beda. Yadnya
itu terbagi atas lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yaitu:
1. Dewa Yadnya
Dewa Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Ida Sang
Hyang Widhi Waça dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari Dewa Brahma
selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku
Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta
melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam
sehari) serta muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci).
Contoh Dewa Yadnya: menyelenggarakan upacara piodalan dimasing-masing
Desa Adat yang ada di Bali. Melaksanakan persembahyangan di pura dan
melaksanakan upacara melasti (pembersihan patung dewa-dewa ke pantai) yang
biasanya dilakukan sebelum perayaan hari raya Nyepi. Upacara keagamaan di Bali
disesuaikan dengan masing-masing Desa Adat (desa kala patra) masing-masing
daerah.
2. Pitra Yadnya
Pitra Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada roh-roh suci
dan leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan
menyelenggarakan upacara jenazah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai
tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian
dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah
leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan
mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati
serta merawat hidup di hari tuanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal
tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah
berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
– Berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
– Berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
– Berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
Contoh Pitra Yadnya adalah upacara ngaben.

 Ngaben
Kematian, bagi masyarakat Bali tak bisa lepas dari upacara adat ngaben.
Kematian bagi orang Bali adalah kembalinya manusia kepada asalnya yaitu Panca
Maha Bhuta: pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan
akasa (ruang hampa) sesuai dengan ajaran Hindu Bali. Kelima unsur ini menyatu
membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atman (roh). Ketika manusia
meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atman-nya tidak. Ngaben adalah
upacara penyucian atman (roh), fase pertama sebagai kewajiban suci umat Hindu
Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben
adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan
ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata
ngabu (menjadi abu), dll. Namun cenderung disetujui pendapat bahwa ngaben
berasal dari kata ngapen (ng + api + an = ngapian > ngapen > ngaben). Dalam
Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sebagai dewa pencipta juga adalah
dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana
api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan
adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra
pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada
atman/roh.
Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana
upakara berupa sajen dan kelengkapannya sebagai simbol-simbol seperti halnya
ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia
yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak
ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah tidak
diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau
seperti saat Peristiwa Bom Bali I dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali
karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan. Untuk prosesi ngaben
yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dengan mengambil
sekepal tanah di lokasi meninggalnya kemudian dibakar.
Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan
jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana
banten (sesajen) yang berbeda-beda.
Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk
menanyakan kapan ada hari baik (dewasa) untuk melaksanakan ngaben. Biasanya
akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya. Setelah
didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual
pertama yaitu nyiramin layon (memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan
oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya
mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan
pakaian adat Bali lengkap.
Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan
membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh.
Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan (setra) desa setempat.
Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yang akan
diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sebagai simbol rumah
Tuhan.
Sesampainya di kuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke
pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari batang pohon
pisang ditumpuk berbentuk lembu. Di sini kembali dilakukan upacara penyucian roh
berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya
dari klan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra
peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan
pembakaran dengan menggunakan api kongkrit. Zaman sekarang sudah tidak
menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang
menggunakan angin. Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh
menjadi abu memerlukan waktu 1 jam.
Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai
menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut (atau sungai), karena laut adalah
simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian
secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi
yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus
dikubur. Ngaben-nya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada
keluarganya meninggal.
Sebenarnya ada bermacam-macam cara melaksanakan upacara ngaben di
Bali. Masing-masing desa adat di Bali memiliki awig-awig (undang-undang)
tersendiri tentang tata cara melaksanakan upacara ngaben. Umumnya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Ngaben Niri
2. Ngaben Ngamasa
Ngaben Niri artinya melaksanakan upacara ngaben sendiri (Niri = diri =
sendiri). Dalam hal ini berarti bahwa keluarga duka dapat melaksanakan upacara
ngaben pada waktu tertentu, sesuai dengan keinginannya. Banjar adat tidak
mencampuri waktu pelaksanaannya, tetapi hanya memberi bantuan tenaga dan
materi (dikenal dengan sebutan patus banjar), sesuai ketentuan awig-awig yang
berlaku. Patus banjar, baik berupa tenaga maupun materi, jumlahnya tidak
seberapa, dibandingkan dengan jumlah tenaga dan materi yang harus dikeluarkan
untuk menyelesaikan rangkaian upacara ngaben. Bahkan ada kalanya sama sekali
tidak mendapatkan bantuan banjar. Oleh karena itu, ngaben niri juga dilaksanakan
oleh keluarga keturunan bangsawan. Terlepas dari ini, lahir sebagai seorang
bangsawan, terbilang relatif berat.
Ngaben Ngamasa berarti melaksanakan upacara ngaben secara terjadwal,
sesuai situasi dan kondisi yang dianggap baik bagi mereka yang akan
melaksanakan upacara ngaben. Istilah lain ngaben ngamasa adalah ngaben ngerit,
ngaben massal, atau ngaben bersama. Upacara ngaben ngamasa dilaksanakan
dengan maksud menghemat biaya dan waktu, tanpa mengurangi makna
pelaksanaan upacara ngaben. Cara pelaksanaan ngaben ngamasa ada dua.
Pertama, ngaben ngemasa dilaksanakan dengan cara yang persis sama
dengan ngaben niri. Cuma waktunya bersamaan. Keuntungannya, pelaksanaan
upacara ngaben dengan mudah dapat diketahui, jauh hari sebelum puncak acara,
sehingga segala aktivitas yang terkait dengan upacara tersebut dapat dijadwalkan.
Kelemahannya, warga banjar yang diharapkan memberi bantuan menjadi bingung
dan kacau. Mereka dituntut harus pintar membagi waktu agar dapat memberi
bantuan kepada sebanyak mungkin warga yang kebetulan melaksanakan upacara
ngaben. Untuk memudahkan, biasanya anggota banjar dibagi sesuai dengan jumlah
warga yang melaksanakan upacara ngaben. Konsekuensinya, kalau jumlah warga
yang melaksanakan upacara ngaben sedikit dan anggota anggota banjar lumayan
banyak, maka masing-masing warga yang ngaben mendapatkan bantuan banjar
yang lumayan banyak juga. Sebaliknya kalau warga yang ngaben banyak
sedangkan jumlah warga banjar sedikit, maka masing-masing akan mendapatkan
bantuan banjar dalam jumlah terbatas. Kesulitan lainnya, ada hubungan dengan
bantuan materi (patus) kepada warga yang melaksanakan upacara ngaben. Masing-
masing warga akan mengeluarkan patus sesuai dengan jumlah warga yang ngaben.
Kalau kewajiban patus senilai Rp 25.000, dan jumlah warga yang ngaben 30 orang,
maka masing-masing warga banjar akan mengeluarkan patus sekitar 750.000.
Jumlah ini tidak dapat dianggap enteng.
Kedua, ngaben ngamasa dilaksanakan dengan cara ‘satu untuk semua’.
Artinya, upacara ngaben dilaksanakan pada waktu, tempat, cara dan oleh panitia
yang sama. Sarana dan prasarana upacaranya dibuat sedemikian rupa sehingga
mencerminkan semangat satu untuk semua. Unsur tertentu dari upacara yang
sama sekali tidak mungkin untuk disatukan, barulah dibuat oleh masing-masing
anggota. Pelaksanaan upacara ngaben seperti ini dikenal dengan sebutan ngaben
bersama. Di Desa Pakraman Celuk, Sukawati, ngaben ngamasa dengan cara ‘satu
untuk semua’ ini dikenal dengan istilah ngaben kinembulan.
Ada yang berpendapat bahwa ngaben kinembulan ini akan menjadi pilihan
terbaik untuk pelaksanaan upacara ngaben masa depan. Sebabnya, antara lain:
1. Biaya yang disiapkan oleh warga yang akan melaksanakan upacara
ngaben relatif lebih kecil, karena sebagian besar sarana dan prasarana
ngaben dibuat satu untuk semua.
2. Biaya bagi warga masyarakat yang lainnya (patus) juga kecil, karena
kewajiban mengeluarkan (patus) juga dirancang hanya satu untuk
semua.
3. Dapat menghemat waktu dan tenaga, karena segala bantuan tenaga
diatur oleh panitia banjar dengan pola satu untuk semua.
4. Tidak menganggu warga yang bekerja di instansi pemerintah atau
swasta, karena lebih mudah mengatur waktu, termasuk memohon cuti.
5. Upacara ngaben memerlukan sarana tumbuh-tumbuhan (kelapa,
pisang, bambu, dan lainnya) yang lumayan banyak. Dengan ngaben
ngamasa atau kinembulan, lebih memungkinkan bagi tumbuh-
tumbuhan untuk hidup dan berkembang secara wajar dan sehat,
sebelum mereka harus turut ‘berkorban’ demi kepentingan upacara
ngaben.
Ngaben kinembulan mengandung beberapa kelemahan, antara lain: Pertama,
sulit dilaksanakan di desa adat yang termasuk desa pakraman nyatur (terdiri dari
empat kasta), dan belum ada persepsi yang sama mengenai perbedaan kasta,
sehingga satu golongan merasa sebagai golongan bangsawan yang berkedudukan
tinggi dan harus dihormati dan golongan lainnya dianggap sebagai rakyat biasa
(panjak), berkedudukan rendah dan harus menghormati golongan bangsawan. Oleh
karena itu maka kasta tertentu yang merasa berkedudukan lebih tinggi dari kasta
yang lainnya, tidak rela bergerak seiring dan sejalan, duduk sama rendah dan
berdiri sama tinggi atas dasar semangat ‘satu untuk semua’ pada waktu
melaksanakan upacara ngaben. Kedua, masih ada anggapan bahwa melaksanakan
upacara ngaben merupakan satu-satunya cara untuk melaksanakan Pitra Yadnya
dalam arti ‘membayar hutang’ kepada leluhur. Anggapan ini menyebabkan banyak
orang yang rela melaksanakan upacara ngaben secara besar-besaran, dengan cara
menjual harta warisan yang berupa tanah. Mereka yang masih yakin akan hal ini
menganggap melaksanakan upacara ngaben dengan cara kinembulan atau ‘satu
untuk semua’, sebagai sesuatu yang lebih rendah maknanya dibandingkan dengan
ngaben niri.
1. Manusa Yadnya
Manusa Yadnya adalah suatu persembahan suci yang tulus ikhlas demi
kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya
masalah desa kala patra (tempat-waktu-keadaan) sangat penting. Secara umum
upacara itu dilaksanakan pada saat anak mengalami masa peralihan. Sebab ada
anggapan bahwa pada saat-saat itulah anak dalam keadaan kritis, sehingga perlu
diupacarai atau diselamati. Dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan
spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi
kemajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh
kehidupan bermasyarakat.
Jenis-jenis Manusa Yadnya berdasarkan urutan pelaksanaannya:
1. Magedong-gedongan
2. Upacara kelahiran
3. Upacara kepus puser
4. Upacara nglepas hawon
5. Upacara kambuhan
6. Upacara nelu bulanin
7. Upacara otonan
8. Upacara ngempugin
9. Upacara makupak
10.Upacara rajaswala
11.Upacara mepandes
12.Upacara pawiwahan
 Magedong-gedongan
Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari, tidak harus
persis karena dapat disesuaikan dengan hari baik (dewasa). Upacara magedong-
gedongan dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat
permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan
sanggah (semacam pura kecil yang ada pada setiap rumah). Tata cara
pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. lstri yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda,
dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2. Sang istri menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing
daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bambu
runcing.
4. Sang suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang
dijinjing sang istri sampai air dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab.
 Upacara Kelahiran
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah
mendapat perawatan pertama. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan
atas kehadiran si bayi di dunia. Upacara kelahiran dilaksanakan di dalam dan di
depan pintu rumah dan dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga
yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya.
Dalam hal tidak ada keluarga tertua, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini.
Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari,
canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atman/roh
yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu
ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu
dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat
sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau
belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA dan pada
dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA.
3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di
dalamnya diberi bunga.
4. Proses selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah,
tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki,
dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.
 Upacara Kepus Puser
Upacara ini dilakukan pada saat puser bayi lepas, umumnya pada saat bayi
berumur tiga hari. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan
ke dalam ketupat kukur (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai
dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain,
digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.
2. Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh
sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan
banten kumara.
 Upacara Nglepas Hawon
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut upacara
ngelepas hawon. Si bayi biasanya baru diberi nama demikian pula sang catur sanak
(saudara keempat yang dipercaya ikut menemani kelahiran si bayi) setelah dilukat
berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan
Mrajapati. Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si bayi. Upacaranya
dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon
pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa.
 Upacara Kambuhan
Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk
pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si
bayi dari pengaruh-pengaruh negatif (mala). Tata cara pelaksanaannya adalah
sebagai berikut:
1. Untuk upacara yang lebih besar si bayi terlebih dahulu di-lukat di dapur, di
permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.
2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.
3. Si bayi beserta kedua orangtuanya natab di sanggah kamulan.
 Upacara Nelu Bulanin
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan
dalam hitungan pawukon (1 bulan = 35 hari). Bila keadaan tidak memungkinkan,
misalnya keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan
bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh,
upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara otonan (210 hari
kelahiran bayi). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Pendeta memohon tirta panglukatan.
2. Pendeta melakukan pemujaan, memerciki tirta (air suci) pada sajen dan
pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan
lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut di-parisudha dengan diperciki
tirta.
4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh orangtuanya.
5. Si bayi diberikan tirta pengening (tirta amertha) kemudian ngayab
jejanganan.
6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon
keselamatan.
 Upacara Otonan
Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan
pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan
keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang
mencapai kehidupan yang lebih sempurna. Selanjutnya dilaksanakan setiap 210
hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Semakin dewasa, semakin
sederhana pula sarana upacaranya. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai
berikut:
1. Pendeta sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon
persaksian terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala
manifestasinya.
2. Pemujaan terhadap Siwa Raditya dan penghormatan terhadap leluhur.
3. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan
pada otonan pertama kali, untuk otonan selanjutnya tidak dilakukan.
4. Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.
 Upacara Ngempugin
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama dan
sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Upacara ini bertujuan untuk
memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. Tata cara pelaksanaannya adalah
sebagai berikut:
1. Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan
mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.
2. Si bayi natab mohon keselamatan.
3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan
selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.
 Upacara Mekupak
Upacara ini dilakukan pada saat si anak untuk pertama kalinya mengalami
tanggal gigi. Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu
pengetahuan. Upacara ini dapat pula disatukan dengan otonan berikutnya.
 Upacara Rajaswala
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Peristiwa ini
akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri.
Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari
sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan
(menstruasi) pertama. Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa
(munggah daha) ini. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Sang Hyang
Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.
 Upacara Mepandes
Upacara mepandes atau potong gigi ini bertujuan untuk mengurangi
pengaruh Sad Ripu (enam musuh yang ada dalam diri manusia) yang ada pada diri
si anak. Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun
sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula
dilaksanakan setelah berumah tangga. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai
berikut:
1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya
memohon kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana
upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian
seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha
barulah diperciki tirta pesangihan.
4. Upacara dilanjutkan oieh sangging (yang bertugas memotong gigi)
dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai
diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras
kemudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
 Upacara Pawiwahan
Yang dimaksud upacara pawiwahan adalah upacara pernikahan. Perkawinan
pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada
leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Perkawinan
umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman
Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas,
melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan
seorang Resi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan
pengantin akan dapat dilihat dengan jelas.
Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan
rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua
mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak
lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan
mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan
kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya
nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.
Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua
barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya.
Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri.
Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan
mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh
pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial
ekonomi dan bukan derajat rohani.
Menurut UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah
sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara
agama yang disebut mekala-kalaan (natab banten), biasanya di-puput oleh seorang
pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah karena merupakan titik
sentral kekuatan Kala Bhucari sebagai penguasa wilayah madyaning mandala
perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata kala yang berarti energi. Kala
merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri
sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang
biasa disebut dalam sebel kandel.
Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia)
kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah
menjadi mutu kedewataan (daiwi sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari
Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang
Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Jadi makna upacara mekala-kalaan
sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian,
sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla
(spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.
Peralatan upacara mekala-kalaan:
Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah
digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa
(simbol) stana Ida Sang Hyang Widhi Waça, dalam hal ini merupakan stananya
Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Biyu
lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Ida Sang Hyang Widhi Waça dan Sang
Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa
kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria. Kulkul berisi berem
simbol kekuatan prakertinya Ida Sang Hyang Widhi Waça dan bermanifestasi
sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol
pengantin wanita.
Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan
serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara
(hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah
sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).
Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon
pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai
lambang kepurusan dari pengantin pria.
Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter,
terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang
masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12
berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh
Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin
yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.
Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang
pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari
Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
Tegen-tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil-alihan tanggung
jawab sekala dan niskala. Perangkat tegen-tegenan:
– Batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal
tebu ruas demi ruas, secara manis.
– Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja,
berkarma berdasarkan dharma.
– Periuk simbol windhu.
– Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).
– Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.
Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras
dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan
benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari
bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
Dagang-dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah
tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan
tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
Sapu Lidi (3 tangkai)
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu
sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat
dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang
baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi
cobaan dan kehidupan rumah tangga.
Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian
dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut
kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu
simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian. Telor bebek
merupakan simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung
sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin
wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara
cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan
penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut
kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon
penyupatan dari Sang Hyang Brahma. Setelah upacara mekala-kalaan selesai
dilanjutkan dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan angelus
wimoha yang berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad
menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang
Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa
lahir anak yang suputra. Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena akan
natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça.
Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi
Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara
pepamitan ke rumah mempelai wanita.
1. Resi Yadnya
Resi Yadnya adalah suatu upacara yadnya berupa karya suci keagamaan
yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang-orang suci, Resi, Pinandita, Guru
yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
1. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara
Diksa.
2. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
3. Menghaturkan/memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada
Sulinggih.
4. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para
Sulinggih.
5. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi
pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.
 Mawinten
Mawinten asal katanya dalam Bahasa Kawi, mawa artinya bersinar-sinar dan
inten artinya intan (permata). Jadi orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai
permata yang kemilau karena lahir bathinnya sudah disucikan. Pada dasarnya
semua orang terutama yang akan mengakhiri masa Grahasta (pensiun) perlu
mawinten dengan tujuan mensucikan diri menjelang pulang ke sunia-loka. Pada
akhirnya manusia Hindu setelah meninggal dunia dan di-aben, diwinten dengan
upacara Askara. Mereka yang wajib mawinten karena profesinya antara lain:
pemangku, dalang, undagi, tukang banten, sangging, dll.
Tingkat pawintenan ada tiga menurut besar/kecilnya upacara pawintenan
yaitu:
1. Pawintenan dengan ayaban saraswati termasuk yang paling sederhana.
2. Pawintenan dengan ayaban bebangkit untuk yang medium, dan
3. Pawintenan dengan ayaban catur yang paling utama.
Pawintenan dengan ayaban saraswati adalah pensucian diri dengan memuja
Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan;
pawintenan tingkat ini untuk para brahmacari misalnya yang belajar agama, yang
senang gegitaan, pegawai kantor agama, dll.
Pawintenan dengan ayaban bebangkit adalah pensucian diri dengan memuja
Dewi Saraswati dan Bathara Gana sebagai putra Siwa yang berfungsi sebagai
pelindung manusia; pawintenan tingkat ini untuk para undagi, sangging, tukang
banten, dll.
Pawintenan dengan ayaban catur adalah pensucian diri dengan memuja para
Dewa: Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang
Widhi Wasa; pawintenan tingkat ini untuk para pemangku, dalang, pinandita, dll.
Mereka yang sudah mawinten wajib menggelar brata, tapa, yoga, samadi.
Makin tinggi tingkat pawintenan-nya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga,
samadi-nya. Brata adalah pengekangan hawa nafsu panca indra; Tapa adalah
pengendalian diri agar selalu dalam jalur Dharma. Yoga adalah senantiasa memuja
kebesaran dan kemuliaan Ida Sanghyang Widhi Waça. Samadi adalah
mengosongkan pikiran dan penyerahan diri secara total pada kemahakuasaan Ida
Sanghyang Widhi Waça.
1. Bhuta Yadnya
Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk-
makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala),
hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang
merupakan ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Waça. Adapun pelaksanaan upacara
Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara yadnya (korban suci) yang ditujukan
kepada makhluk yang kelihatan/alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru
atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara
jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan
mikrokosmos. Contoh lain dari Bhuta Yadnya adalah segehan.
 Segehan
Tak hanya vertikal ke atas persembahan manusia Hindu ditujukan. Ke bawah
pun dilakukan dalam wujud segehan. Satu di antara sekian jenis segehan itu ada
diwujudkan seperti manusia. Manusia dalam upayanya mengucap syukur selalu
melakukan persembahan. Dalam persembahan tersebut, nasi menjadi satu
komponen penting. Ia hadir dalam berbagai bentuk dan nama pada bebantenan
Bali.
Selain berwujud tumpeng, nasi juga dipakai untuk membuat berbagai
segehan yang dihaturkan di pertiwi. Pada umumnya dihaturkan pada kala bucara-
bucari supaya tidak mengganggu. Persembahan itu dihaturkan di bawah yaitu di
natar Merajan, rumah serta lebuh. Yang di halaman (natar) rumah ditujukan kepada
Sang Kala Bucari. Selain itu, karena di natar rumah ditanam I Catur Sanak yaitu Ari-
ari, Lamas, Getih, Yeh Nyom, sebagai tanda manusia memberikan perhatian pada
saudara empat-nya karena telah memberikan perlindungan, baik secara sekala
maupun niskala.
Selanjutnya di natar sanggah pamerajan ditujukan kepada Sang Bhuta
Bucari. Lantas yang terakhir di depan pintu keluar (lebuh) ditujukan kepada Sang
Durgha Bucari. Karena tempat masegeh ada tiga, maka jenis segehan itu pun ada
tiga. Jenis segeh itu yaitu segehan pat (4) dihaturkan di natar rumah, segehan lima
(5) di natar merajan dan segehan sia (9) di lebuh. Ketiga jenis segehan tersebut
termasuk segehan umum yang dihaturkan oleh umat Hindu. Sedangkan segehan
wong-wongan (ada juga yang menyebut nasi wong-wongan) hanya dihaturkan
orang yang nyungsung ataupun memiliki sakit tertentu. Jenis segehan ini dibentuk
menyerupai wujud manusia, lengkap dengan kepala, leher, badan, tangan, dan
kaki. Tapi, ada juga hanya mengambil bentuk bagian tubuh manusia saja, seperti
dada dan rusuk (nasi tangkah-iga).
Hari Raya Terkenal di Bali
 Galungan dan Kuningan
Hari Raya Galungan jatuh pada hari Budha (Rabu) Kliwon Dungulan,
kemudian disusul oleh Hari Raya Kuningan setelah sepuluh hari.
Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari
pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Zaman Jenggala) pada abad ke-
11 di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam pararaton zaman akhir
kerajaan Majapahit pada abad ke-16, perayaan semacam ini juga sudah diadakan.
Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda
terdapat kata Galungan yang berarti berperang. Parisadha Hindu Dharma
menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau
Oton Gumi. Namun tidak berarti bahwa dunia ini lahir pada hari Budha Kliwon
Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali
menghaturkan rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan
menciptakan segala-galanya di dunia ini.
Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan Dharma
(kebenaran) melawan Adharma (kebatilan). Tuhan sebagai pencipta dipuji dan
dipuja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia
untuk sementara kembali berada di tengah-tengah anggota keluarga yang masih
hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada sebuah tugu di
merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung,
dihiasi janur dan bunga kemudian digantungkan pula hasil-hasil pertanian seperti:
padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik
kain) dan uang. Terakhir diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di
pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.
Disebutkan dalam pustaka-pustaka Hindu bahwa dalam rangkaian peringatan
Galungan, sejak hari Minggu (tiga hari sebelum Galungan) umat Hindu didatangi
oleh Kala-tiganing Galungan. Mereka adalah simbol angkara. Jadi dalam hal ini umat
Hindu berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi simbol
keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan
adharma.
Kemudian pada hari Saniscara (Sabtu) Keliwon Wuku Kuningan, adalah Hari
Raya Kuningan. Ini adalah hari raya khusus, dimana para leluhur yang setelah
beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesajen dalam
upacara perpisahan untuk kembali ke stananya masing-masing. Pada hari itu dibuat
nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda
terima kasih umat Hindu menerima anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa berupa
bahan-bahan sandang dan pangan. Sedangkan di pedesaan biasanya ada beberapa
Barong ngelawang diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan.
 Siwaratri
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Sang
Hyang Widhi Waça dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri
mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sang Hyang
Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang
mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang
Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri. Hal itu diwujudkan dengan
pelaksanaan brata berupa jagra (tidak tidur), upawasa (puasa makan/minum) dan
monabrata (tidak berbicara). Siwaratri juga disebut hari suci pajagran.
Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam
Siwaratri, Bhatara Siwa sebagai manifestasi Tuhan melakukan yoga. Saat yang
bersamaan, dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka kemalaman di hutan.
Agar tidak dimakan binatang buas, si Lubdaka naik ke pohon. Agar tetap terjaga,
sebagai pengusir kantuk, si Lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon
yang dipanjatnya dan kebetulan di bawah pohon tersebut ada sebuah lingga
Bhatara Siwa, jadi secara tidak langsung Lubdaka melakukan pemujaan kepada
Bhatara Siwa tepat di saat beliau beryoga.
Bhatara Siwa konon sangat senang karena Lubdaka terjaga dan ‘menemani’
Bhatara Siwa melakukan yoga. Maka ketika Lubdaka meninggal, saat Bhatara Yama
melakukan pengadilan, datanglah satu batalyon tentara surga yang dikirim oleh
Bhatara Siwa, dan membawa Lubdaka ke sorga. Padahal, Bhatara Yama hendak
mengirimnya ke neraka karena profesi Lubdaka sebagai pemburu adalah dosa,
membunuhi binatang-binatang tak berdosa demi kesenangan. Sementara, Bhatara
Siwa sudah terlanjur ’sayang’ dengan Lubdaka yang menemaninya satu malam
beryoga, melakukan intervensi pada keputusan Bhatara Yama.
 Nyepi
Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun
Baru Çaka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (bulan mati kesembilan)
yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat
samudera yang membawa intisari amerta (air kehidupan). Untuk itu umat Hindu
melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah
memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Buana Alit (diri
manusia) dan Buana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya
merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar. Berikut perinciannya:
Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti
Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di
perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah
satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Bhuta
Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan
Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian Bhuta
Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang
dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi lima warna berjumlah 9
paket beserta lauk pauknya, seperti ayam berbulu brumbun (berwarna-warni)
disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja,
Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu
manusia.
Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi
tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan
pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya
kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir
Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di
Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan
perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar.
Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.
Tahap terakhir adalah melasti, yaitu menghanyutkan segala leteh (kotoran)
ke laut, serta menyucikan pratima. Upacara ini dilakukan di laut, karena laut
dianggap sebagai sumber amerta. Selambat-lambatnya pada tilem sore, melasti
harus selesai.
Nyepi
Keesokan harinya, yaitu pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi
sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut Catur Brata
Penyepian dan terdiri dari:
– Amati Geni (tidak menggunakan dan/atau menghidupkan api)
– Amati Karya (tidak bekerja)
– Amati Lelungan (tidak bepergian/keluar rumah)
– Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang)
Brata ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu,
segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap.
Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak diwujudkan dengan
matekep guwungan (ditutup sangkar ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-
kanak ke dewasa, upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit). Demikianlah
untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan
suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru pun,
dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.
Ngembak Geni
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Çaka adalah hari Ngembak
Geni yang jatuh pada tanggal ping pisan (satu) sasih kedasa (kesepuluh). Pada hari
inilah Tahun Baru Çaka tersebut dimulai. Umat Hindu seling mengunjungi keluarga
besar dan tetangga, saling maaf memaafkan satu sama lain.
 Saraswati
Hari Raya Saraswati diperingati sebagai hari Pawedalan Sang Hyang Aji
Saraswati (ilmu pengetahuan). Hari raya ini diperingati setiap hari Saniscara (Sabtu)
Umanis Wuku Watugunung.
Dewi Saraswati merupakan sakti (istri) dari Dewa Brahma. Dewi Saraswati
adalah Dewi Ilmu Pengetahuan yang merupakan pelindung/pelimpah pengetahuan,
kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah Dewi Saraswati, manusia menjadi
beradab dan berkebudayaan. Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita
cantik bertangan empat, biasanya tangan-tangan tersebut memegang Genitri
(tasbih) dan Kropak (lontar). Tangan yang lain memegang Wina (alat musik sejenis
rebab) dan sekuntum bunga teratai. Di dekatnya biasanya terdapat burung merak
dan undan yaitu burung besar serupa angsa, tetapi dapat terbang tinggi.
Pada hari raya Saraswati, semua pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku
dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-
ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur
pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai.
Upacara ini biasanya dilakukan pada pagi hari dan tidak boleh melewati tengah
hari. Selain itu dilakukan juga persembahyangan pada hari raya Saraswati untuk
memuja Dewi Saraswati sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Waça (Tuhan
Yang Maha Esa).
Di Bali, persembahyangan Saraswati biasanya didominasi oleh para penuntut
ilmu yaitu siswa, mahasiswa dan instansi pendidikan serta instansi pemerintahan.
Khusus untuk daerah Denpasar, pura yang biasanya paling ramai adalah dijadikan
tempat bersembahyang adalah Pura Jagatnata yang terletak di pusat kota
Denpasar. Di pagi hari para generasi muda terutama siswa akan berbondong-
bondong menuju sekolah masing-masing untuk bersembahyang bersama kemudian
dilanjutkan Pura Jagatnata. Dari pagi hari sampai malam harinya tetap saja masih
ada yang datang ke Pura Jagatnata, bahkan di malam harinya biasanya sampai
terjadi antrian dan berdesak-desakan untuk masuk ke pura.
Perayaan Saraswati juga dilakukan dengan Mesambang Semadhi, yaitu
semadhi ditempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-
lontar semalam suntuk dengan tujuan menemukan pencerahan Ida Hyang
Saraswati. Banyak kelompok Dharma Gita atau Pesantian yang biasanya melakukan
semadhi, membaca pustaka-pustaka, atau melakukan Dharma Gita atau kekawin di
tempat-tempat suci, pura atau merajan. Untuk generasi muda, banyak yang
begadang di pantai, bersama teman-temannya. Mereka begadang sampai pagi.
Namun muncul kesan negatif dari hal ini yaitu generasi muda terutama para siswa
yang masih duduk di bangku sekolah menggunakan kesempatan ini untuk
berpacaran.
Keesokan harinya, dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni di pagi buta
membasuh muka dengan air kumkuman (air kembang). Setelah melakukan upacara
dan semadhi di malam hari, masyarakat akan beramai-ramai menuju pantai dan
melakukan Banyu Pinaruh serta mandi di pantai. Pantai yang paling ramai
dikunjungi biasanya pantai Sanur.

KARAKTERISTIK ORANG BALI SECARA UMUM


1. Percaya kepada hal-hal mistik
2. overtoleran
3. menganggap semua orang adalah keluarga yang distilahkan dengan
Nyama
4. apresiasi terhadap kesenian sangat tinggi
5. sangat menghormati pemimpin
6. senang berjudi atau taruhan
7. cenderung santai
8. hormat kepada leluhur dan orang yang lebih tua
9. ramah dan sopan
10.menyukai keindahan
11.menjunjung tinggi adat yang telah ditetapkan dan disepakati
(demokrasi)

PRODUK BUDAYA
SENI SUARA
a. Seni Tembang
Di Bali terdapat berbagai jenis tembang yang mempunyai struktur dan fungsi
yang berbeda-beda. Masyarakat Bali membedakan seni tembang ini menjadi
empat (4) kelompok:
1. Gegendingan
Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya
pada umumnya pendek, dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-
benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai
arti yang membentuk cerita atau pengertian, dan kadang-kadang kalimat
yang terbentuk dari kata-kata itu juga tidak mempunyai arti yang jelas.
2. Sekar alit
Berbeda dengan Sekar Rare (lagu anak-anak maupun lagu rakyat),
kelompok Sekar Alit, yang biasa disebut tembang macapat, gaguritan
atau pupuh, terikat oleh hukum Padalingsa yang terdiri dari guru wilang
dan guru dingdong. Guru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah
baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan
suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran atas guru wilang
ini maka kesalahan ini disebut elung. Selanjutnya guru dingdong adalah
uger-uger yang mengatur jatuhnya huruf vokal pada tiap-tiap akhir suku
kata. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang. Tentang
istilah macapat yang dipakai untuk menyebut jenis tembang ini adalah
sebuah istilah dari bahasa Jawa. Kelompok tembang ini disebut tembang
macapat karena pada umumnya dibaca dengan sistem membaca empat-
empat suku kata (ketukan).
3. Sekar Madya
Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya
dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama.
Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya
mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang
dipergunakan di dalam lontar/ cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat
oleh Guru Lagu maupun Padalingsa. Yang ada di dalamnya adalah
pembagian-pembagian seperti :
Pangawit Pembuka
Pamawak bagian yang pendek
Panama bagian yang panjang
Pangawak bagian utama dari tembang

4. Sekar Agung
Sekar Agung atau Tembang Gede meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang
diikat oleh hukum guru lagu, pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan
upacara, baik upacara adat maupun agama. Jenis tembang Bali yang termasuk
dalam kelompok Sekar Agung ini adalah Kakawin. Kakawin adalah puisi Bali
klasik yang berdasarkan puisi dari bahasa Jawa Kuna. Dilihat dari segi
penggunaan bahasanya, Kakawin banyak mengambil dasar dari puisi
Sanskerta yang kemudian diterjemahkan dan disesuaikan, sehingga
mempunyai kekhasan tersendiri.
Ada dugaan bahwa Kakawin ini diciptakan di Jawa pada abad IX sampai
XVI. Di dalam Kakawin terdapat bagian-bagian sebagai berikut:

Pengawit (penyemak) pembukaan


Panampi ( pangisep)
Pangumbang
dilakukan dengan diselingi
Pamalet Kakawin
terjemahannya.
Masyarakat Bali mengenal banyak jenis Kekawin seperti:
 Aswalalita
 Wasantatilaka
 Tanukerti
 Sardulawikradita
 Watapatia Wangeasta
 Wirat
 Çekarini
 Girisa
 Prtiwitala
 Puspitagra

b. SENI DRAMA DAN TARI


Drama dan tari tidak dapat dipisahkan. Keduanya seperti dua warna permukaan
daun sirih, sama-sama mengandung rasa dan aroma yang tidak berbeda.
Budaya Bali memiliki banyak sekali ragam kesenian Drama dan Tari. Ini
menunjukkan bahwa budaya kita sangat beradab. Drama dan tari penuh dengan
simbol-simbol. Baik simbol dari kehidupan nyata maupun simbol kehidupan alam
lain dan mimpi-mimpi. Hanya peradaban manusia yang mengerti arti simbol.
Simbolisme yang digambarkan oleh para seniman drama dan tari di Bali sangat
komunikatif. Tidak hanya menghibur hati, tetapi dapat memberikan pedoman
yang mudah dicerna tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk. Drama
dan tari tidak hanya menghubungkan nalar dan rasa antar manusia, tetapi juga
menghubungkan alam sekala dan niskala manusia secara harmonis dan estetis.
Mengalir terus dipenuhi dengan inovasi baru yang tak pernah terbendung.
Jenis dan macam-macam drama dan tari antara lain :
1. Abuang
Abuang atau Mabuang merupakan tari hiburan dalam upacara penyimpanan
Bhatara Bagus Selonding atau disebut upacara ngalemekin, yang ditampilkan
sehari setelah upacara tersebut dan tari ini terdapat di desa Tenganan
2. Arja
Nama Arja di duga berasal dari kata Reja (bahasa sansekerta) yang berarti
keindahan. Arja adalah semacam opera khas Bali, merupakan sebuah
dramatari yang dialognya ditembangkan secara macapat. Dramatari Arja ini
adalah salah satu kesenian yang sangat digemari di kalangan masyarakat.
Arja diperkirakan muncul pada tahun 1820an, pada masa pemerintahan raja
Klungkung I Dewa Agung Sakti. Tiga fase penting dalam perkembangan Arja
adalah:
• munculnya Arja Doyong (Arja tanpa iringan gamelan, dimainkan oleh
satu orang).
• Arja Gaguntangan (yang memakai gamelan Gaguntangan dengan
jumlah pelaku lebih dari satu orang).
• Arja Gede ( yang dibawakan oleh antara 10 sampai 15 pelaku dengan
struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada sekarang).
Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut Gaguntangan yang
bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang
yang dilantunkan oleh para penari.
Sumber lakon Arja yang utama adalah cerita Panji (Malat), kemudian lahirlah
sejumlah cerita seperti Bandasura, Pakang Raras, Linggar Petak, I Godogan,
Cipta Kelangen, Made Umbara, Cilinaya dan Dempu Awang yang dikenal
secara luas oleh masyarakat.
Arja juga menampilkan lakon-lakon dari cerita rakyat seperti Jayaprana,
Sampik Ingtai, Basur dan Cupak Grantang serta beberapa lakon yang
diangkat dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Lakon apapun yang
dibawakan Arja selalu menampilkan tokoh-tokoh utama yang meliputi Inya,
Galuh, Desak (Desak Rai), Limbur, Liku, Panasar, Mantri Manis, Mantri Buduh
dan dua pasang punakawan atau Panasar kakak beradik yang masing -
masing terdiri dari Punta dan
Kartala. Hampir semua daerah di
Bali masih memiliki grup-grup
Arja yang masih aktif.
Menjelang berakhirnya abad XX
lahir Arja Muani, pemainnya
semua pria, sebagian
memerankan wanita. Arja ini
disambut dengan sangat
antusias oleh masyarakat
karena, menghadirkan komedi
segar.
1. Barong dan Rangda
Barong dipercaya sebagai pelindung desa masyarakat Bali.
Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang paling banyak
terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki pebendaharaan
gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan
antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan
ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan
bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan),
ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak.
Untuk menarikannya Barong ini
diusung oleh dua orang penari
yang disebut Juru Saluk / Juru
Bapang, satu penari di bagian
kepala dan yang lainnya di bagian
pantat dan ekornya. Tari Barong
Keket ini melukiskan tentang
pertarungan kebajikan (dharma)
dan keburukan (adharma) yang
merupakan paduan yang selalu berlawanan (rwa bhineda). Tari Barong Ket
diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan.

4. Gong
Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif
muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama
modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali.
Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur
teater modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali). Nama Drama Gong
diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap
gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong
(Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung
Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar). Diakui oleh penciptanya
bahwa Drama Gong yang diciptakan dengan memadukan unsur-unsur drama
tari tradisional Bali seperti Sendratari, Arja, Prembon dan Sandiwara
dimaksudkan sebagai sebuah prembon (seni campuran) modern.
Para pemain mengenakan busana tradisional Bali, sesuai dengan tingkat
status sosial dari peran yang dibawakan dan setiap gerak pemain, begitu
pula perubahan suasana dramatik dalam lakon diiringi dengan perubahan
irama gamelan Gong Kebyar. Masyarakat Bali
mementaskan Drama Gong untuk keperluan
yang kaitannya dengan upacara adat dan
agama maupun kepentingan kegiatan sosial.
Walaupun demikian, Drama Gong termasuk
kesenian sekuler yang dapat dipentaskan di
mana dan kapan saja sesuai dengan
keperluan. Kesenian Drama Gong inilah yang
memulai tradisi pertunjukan "berkarcis" di
Bali karena sebelumnya pertunjukan kesenian
bagi masyarakat setempat tidak pernah
berbentuk komersial. Drama Gong mulai
berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan
puncak kejayaannya adalah tahun1970. Pada masa itu kesenian tradisional
Bali seperti Arja, Topeng dan lain-lainnya ditinggalkan oleh penontonnya
yang mulai kegandrungan Drama Gong. Panggung-panggung besar yang
tadinya menjadi langganan Arja tiba-tiba diambil alih oleh Drama Gong.
Namun semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun
2. Tari Baris
Sebagai tarian upacara, sesuai
dengan namanya "Baris" yang
berasal dari kata bebaris yang
dapat diartikan pasukan maka
tarian ini menggambarkan
ketangkasan pasukan prajurit.
Tari ini merupakan tarian
kelompok yang dibawakan oleh
pria, umumnya ditarikan oleh 8
sampai lebih dari 40 penari
dengan gerakan yang lincah
cukup kokoh, lugas dan dinamis, dengan diiringi Gong Kebyar dan Gong
Gede. Setiap jenis, kelompok penarinya membawa senjata, perlengkapan
upacara dan kostum dengan warna yang berbeda, yang kemudian menjadi
nama dari jenis- jenis tari Baris yang ada. Tari-tarian Baris yang masih ada di
Bali antara lain :

1. Baris Katekok Jago 2. Baris Tumbak


3. Baris Dadap 4. Baris Presi
5. Baris Pendet 6. Baris Bajra
7. Baris Tamiang 8. Baris Kupu-Kupu
9. Baris Bedil 10. Baris Cina
11. Baris Cendekan 12. Baris Panah
13. Baris Jangkang 14. Baris Gayung
15. Baris Demang 16. Baris Cerekuak
17. Baris Mamedi 18. Baris Ketujeng
19. Baris Gowak 20. Baris Omang
21. Baris Jojor 22. Baris Kuning
23. Baris Tengklong 24. Baris Kelemet

6. Kecak

Bila mendengar nama Bali, apa yang terlintas pertama kali di benak
kita? Selain Pantai Kuta tentunya. Ya! Tari Kecak, tarian yang sangat
terkenal di kalangan turis-turis mancanegara dan domestik. Tarian
kecak mengisahkan tentang dongeng Ramayana, yaitu cerita klasik
masyarakat Hindu dengan tokoh Rama, Sita dan Hanoman. Selain Tari
Kecak, juga ada Tari Barong dan Legong.

Tarian ini merupakan jenis tari Bali yang paling unik. Kenapa unik?
Karena tarian ini tidak diiringi alat musik atau gamelan seperti
layaknya sebuah seni tari. Tarian hanya diiringi paduan suara dari 100
orang pria.
Tari Kecak berasal dari jenis tari sakral “Sang Hyang”. Pada tari Sang
Hyang, seseorang yang sedang kerasukan roh berkomunikasi dengan
para dewa atau leluhur yang sudah disucikan. Dengan menggunakan
si penari sebagai media penghubung para dewa atau leluhur dapat
menyampaikan sabdanya. Pada tahun 1930-an mulailah disisipkan
cerita Ramayana ke dalam tari tersebut.
Pentas tarian sakral itu sendiri biasaya berlangsung di Pura Shandi
Swara “Kecak and Fire Dance” yang berada di daerah Ubud tepatnya
di Jl Hanoman, Padang Tegal Kelod, Ubud, Bali. Namun pagelaran tidak
setiap hari atau hanya berlangsung tiga kali seminggu. Yakni setiap
Selasa, Kamis dan Jumat pada pukul 19.00 Wita.
Untuk menikmati tarian sendiri, tiap pengunjung diwajibkan membeli
tiket seharga Rp50 ribu. Nantinya, selain tiket, pengunjung juga akan
mendapatkan selembar kertas panduan cerita dalam tarian. Namun,
untuk tempat duduk, pengunjung dibebaskan memilih.
Apabila sempat menikmati tarian ini secara langsung. Sesaat sebelum
kita memasuki pelataran pura, kita akan melihat serombongan laki-laki
yang mengenakan sarung kotak-kotak putih hitam berjalan memasuki
pelataran pura. Mereka adalah rombongan penari kecak.
Sekitar lima menit kemudian, acara pun dimulai dengan masuknya
serombongan penari ke halaman pura. Mereka masuk dengan
melantunkan irama yang digunakan sebagai iringan tarian.
Suara mereka sangat merdu, tidak terdengar sumbang sedikit pun.
Dan mereka melakukannya dengan penuh semangat, sambil
melemparkan pandangan ke arah penonton, tak jarang mereka
memberikan senyum kepada para penonton, yang kebanyakan turis
dari luar negeri.
Tarian itu menceritakan tentang Epos Ramayana, yang terbagi
menjadi lima babak. Di masing-masing babak menyuguhkan adegan
yang sangat ringan dan mudah dimengerti oleh siapa saja. Setelah
tarian tentang Epos Ramayana selesai, acara dilanjutkan lagi dengan
Tarian Sang Hyang Dedari, di mana tarian itu merupakan tarian untuk
mengusir roh-roh jahat.
Sanghyang Dedari adalah jenis tarian ritual dengan kepercayaan
bahwa ada saat-saat turut untuk menemui umatnya dan ia memasuki
tubuh si penari. Sang Hyang adalah sebutan “yang berarti suci” Dedari
artinya Malaekat. Tarian ini dipentaskan oleh dua gadis mungil di
bawah umur yang masih perawan. Kenapa harus perawan, karena
keperawanannya berarti kesucian.
Dan rangkaian tarian yang terakhir adalah Tari Sang Hyang Jaran.
Tarian dini dibawakan oleh seorang lelaki kesurupan yang berjingkrak-
jingkrak seperti tingkah laku seekor kuda . Ia menari di atas bara api
yang terbuat dari sabut kelapa. Jika kidung Sang Hyang menuntunnya
ke api, maka ia pun akan menari di atasnya.
Sebelum tarian Sang Hyang Jaran ini dimulai, kita akan melihat dua
orang mengeluarkan satu karung sabut kelapa dan menyiramnya
dengan minyak tanah, lalu membakarnya. Setelah itu barulah seorang
lelaki keluar dengan menunggang kuda-kudaan. Ia bertingkah dengan
sangat liar, dan beberapa kali ia menginjakkan kaki telanjangnya pada
bara api tersebut. Dan beberapa kali ia menendangnya, hampir saja
mengenai penonton yang duduk di bagian depan. Ini salah satu alasan
memilih bangku belakang, yaitu agar aman dari bara api yang
melayang akibat tendangan si penari.
Datang ke Bali tanpa menyaksikan Tari Kecak, rasanya kurang
lengkap. Anda akan terpesona dengan tarian yang paling diminati oleh
wisatasan asing maupun domestik ini.
7.Calonarang

Dramatari ritual magis yang melakonkan kisah-kisah yang berkaitan


dengan ilmu sihir, ilmu hitam
maupun ilmu putih, dikenal
dengan Pangiwa / Pangleyakan
dan Panengen. Lakon-lakon
yang ditampilkan pada
umumnya berakar dari cerita
Calonarang, sebuah cerita
semi sejarah dari zaman
pemerintahan raja Airlangga di
Kahuripan (Jawa timur) pada
abad ke IX. Cerita lain yang
juga sering ditampilkan dalam
drama tari ini adalah cerita
Basur, sebuah cerita rakyat
yang amat populer dikalangan
masyarakat Bali. Karena pada beberapa bagian dari pertunjukannya
menampilkan adegan adu kekuatan dan kekebalan (memperagakan
adegan kematian bangke-bangkean, menusuk rangda dengan senjata
tajam secara bebas) maka Calonarang sering dianggap sebagai
pertunjukan adu kekebalan (batin).
Dramatari ini pada intinya
merupakan perpaduan dari tiga
unsur penting, yakni Babarongan
diwakili oleh Barong Ket, Rangda
dan Celuluk, Unsur Pagambuhan
diwakili oleh Condong, Putri,
Patih Manis (Panji) dan Patih
Keras (Pandung) dan Palegongan
diwakili oleh Sisiya-sisiya (murid-
murid). Tokoh penting lainnya
dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres. Karena pagelaran
dramatari ini selalu melibatkan Barong Ket maka Calonarang sering
disamakan dengan Barong Ket. Pertunjukan Calonarang bisa diiringi
dengan Gamelan Semar Pagulingan, Bebarongan, maupun Gong
Kebyar. Dari segi tempat pementasan, pertunjukan Calonarang
biasanya dilakukan dekat kuburan (Pura Dalem) dan arena
pementasannya selalu dilengkapi dengan sebuah balai tinggi
(trajangan atau tingga) dan pohon papaya.

8. Jauk
Tarian bertopeng yang menggambarkan seorang raja raksasa yang
sedang berkelana. Penarinya adalah pria, mengenakan busana yang
terdiri dari awiran yang berlapis-lapis, ditambah dengan gelungan jauk
dan kaos tangan yang berkuku panjang. Tarian ini lebih bersifat
improvisasi dengan struktur koreografi yang fleksible.
Jenis tari Jauk ini antara lain
• Jauk Keras (Jauk Enggang),
• Jauk Manis (Jauk longgor).

9.9.Janger
Merupakan jenis tarian pergaulan,
terutama bagi muda mudi, yang sangat
populer di Bali yang dilakukan oleh
sekitar 10 pasang muda-mudi. Selama tarian berlangsung kelompok
penari wanita (Janger) dan kelompok penari pria (Kecak) menari dan
bernyanyi bersahut-sahutan. Pada umumnya lagu-lagunya bersifat
gembira sesuai dengan alam kehidupan mereka. Gamelan yang biasa
dipakai mengiringi tari Janger disebut Batel (Tetamburan) yang
dilengkapi dengan sepasang gender wayang. Munculnya Janger di Bali
diduga sekitar abad ke XX, merupakan perkembangan dari tari
sanghyang. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara
pria, sedangkan jangernya merupakan perkembangan dari paduan
suara wanita.
Lakon yang dibawakan dalam Janger antara lain: Arjuna Wiwaha,
Sunda Upasunda dan lain sebagainya. Tari Janger dapat dijumpai
hampir di seluruh daerah Bali, masing-masing daerah mempunyai
variasi tersendiri sesuai dengan selera masyarakat setempat.
• Di daerah Tabanan tari Janger biasa dilengkapi dengan
penampilan peran Dag (seorang berpakaian seperti jenderal
tentara Belanda dengan gerak-gerak improvisasi yang kadang-
kadang memberi komando kepada penari Janger maupun
Kecak).
• Di desa Metra (Bangli) terdapat tari Janger yang pada akhir
pertunjukannya para penarinya selalu kerauhan
• Di desa Sibang (Badung) terdapat tari Janger yang diiringi
dengan Gamelan Gong Kebyar yang oleh masyarakat setempat
menamakannya Janger Gong.

Sekaa Janger yang kini masih aktif antara lain Janger Kedaton
(Denpasar) dan Janger Singapadu (Gianyar).
10.Topeng
Topeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain dan
bahan lainnya dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang
berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang, setan dan lain-
lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari yang
semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber
pada cerita sejarah yang lebih dikenal
dengan Babad.
Dalam membawakan peran-peran
yang dimainkan, para penari
memakai topeng bungkulan (yang
menutup seluruh muka penari),
topeng sibakan (yang menutup
hanya sebagian muka dari dahi
hingga rahang atas termasuk yang
hanya menutup bagian dahi dan
hidung). Semua tokoh yang
mengenakan topeng bungkulan tidak
perlu berdialog langsung, sedangkan
semua tokoh yang memakai topeng
sibakan memakai dialog berbahasa
kawi dan Bali.
Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari
Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan - yang lebih
tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres
(rakyat). Jenis-jenis dramatari topeng yang ada di Bali adalah:
Topeng Pajegan yang ditarikan oleh seorang aktor dengan
memborong semua tugas-tugas yang terdapat didalam lakon yang
dibawakan. Di dalam topeng Pajegan ada topeng yang mutlak harus
ada, yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan
topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng ini pun
disebut Topeng Wali. Dramatari Topeng hingga kini masih ada hampir
diseluruh Bali.
Topeng Panca yang dimainkan oleh empat atau lima orang penari
yang memainkan peranan yang berbeda-beda sesuai tuntutan
lakon,
Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang
diambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari dramatari
Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih
relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh
lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.
11.Tari Kontemporer

Salah satu tarian kreasi baru yang mempunyai ungkapan artistik yang
bebas, muncul sejak makin maraknya pertumbuhan tari-tarian Bali
kreasi baru di awal tahun 1970. Di dalam tarian baru ini elemen-
elemen seni klasik/ tradisional Bali dipergunakan secara bebas dan
kreatif, sesuai rasa estetik individu penatanya.
Kreativitas seperti ini melahirkan garapan tari baru yang inovatif yang
menawarkan gagasan atau nafas-nafas baru yang dapat
dikelompokkan sebagai tari Bali modern.

Cak Rina Cak Subali - Sugriwa


Setan Bercanda Barong-Barongan
Ngelawang

c. Seni karawitan
Seni Karawitan adalah seni mengolah bunyi benda atau alat bunyi-
bunyian (instrumen) tradisional. Di Bali, kaprahnya, alat bunyi-bunyian
tradisional disebut gamelan atau gambelan. Dalam gamelan ada alat
musik tabuh, gesek, tiup, petik dan sebagainya.
Menurut jamannya, Gamelan Bali dibagi menjadi 3 bagian besar:
 Gamelan Wayah
 Gamelan Madya
 Gamelan Anyar

Gamelan wayah atau gamelan tua diperkirakan telah ada sebelum


abad XV. Umumnya didominir oleh alat-alat berbentuk bilahan dan
tidak mempergunakan kendang. Kalaupun ada kendang, dapat
dipastikan bahwa peranan instrumen ini tidak begitu menonjol.

Beberapa gamelan golongan tua antara lain :


 Angklung
 Balaganjur
 Bebonangan
 Caruk
 Gambang
 Gender Wayang
 Genggong
 Gong Beri
 Gong Luwang
 Selonding
Barungan madya, yang berasal dari sekitar abad XVI-XIX, merupakan
barungan gamelan yang sudah memakai kendang dan instrumen-
instrumen bermoncol (berpencon). Dalam barungan ini, kendang
sudah mulai memainkan peranan penting.
Beberapa barungan madya antara lain :
 Batel Barong
 Bebarongan
 Gamelan Joged Pingitan
 Gamelan Penggambuhan
 Gong Gede
 Pelegongan
 Semar Pagulingan

Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-


jenis barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Barungan
gamelan ini nampak pada ciri-ciri yang menonjolkan permainan
kendang.
Beberapa gamelan anyar antara lain :
 Adi Merdangga
 Bumbung Gebyog
 Gamelan Bumbang
 Gamelan Geguntangan
 Gamelan Genta Pinara Pitu
 Gamelan Gong Kebyar
 Gamelan Janger
 Gamelan Joged Bumbung
 Gamelan Manikasanti
 Gamelan Semaradana
 Gong Suling
 Jegog
 Kendang Mabarung
 Okokan / Grumbungan
 Tektekan
Instrumen-instrumen gamelan tersebut adalah:
12. Wayang
 Wayang Kulit

Wayang Kulit, seni pertunjukan yang sudah cukup tua umurnya,


adalah salah satu bagian dari seni pertunjukan Bali yang hingga kini
masih tetap digemari oleh masyarakat setempat. Di desa-desa
maupun di kota, masyarakat masih sering mempergelarkan
Wayang Kulit dalam kaitan dengan upacara agama Hindu, upacara
adat Bali, maupun sebagai hiburan semata.

Wayang Kulit Bali terdiri dari dua jenis, yaitu:

Wayang Lemah ( Wayan Gedog)


Wayang Peteng
Asal-usul Wayang Kulit di Indonesia hingga kini masih
diperdebatkan oleh para ahli dan masih belum ada kesepakatan
apakah Wayang Kulit memang asli Indonesia, dari India ataupun
dari negara lain. Di lingkungan budaya Bali, pertunjukan Wayang
Kulit diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke IX. Dalam
prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 ( 896 M), dari
zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah
istilah seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau
pertunjukan wayang (baca : Serba Neka Wayang Kulit Bali, 1975).
Sejak masa lampau pertunjukan Wayang Kulit menjadi salah satu
media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Betapa tidak,
pertunjukan Wayang Kulit yang memadukan berbagai unsur seni
rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja
menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya
sastra klasik terutama Mahabrata dan Ramayana, kesenian ini juga
menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan
sosial sehingga masyarakat yang buta huruf akan memperoleh
ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika dan lain-lain. Oleh masyarakat
penonton semuanya ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi
kehidupan mereka sehari-hari.
Sementara para dalang secara kreatif melakukan penyegaran
kesenian mereka, wayang-wayang kreasi baru sudah banyak
diciptakan sehingga menambah perbendaharaan seni perwayangan
di pulau ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya dalang-
dalang wanita berbakat yang siap bersaing dengan para dalang
pria.
Di Bali, pertunjukan Wayang Kulit melibatkan antara 3 orang
sampai 15 orang yang meliputi : dalang, pengiring dan jika
diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan). Komando tertinggi
dalam pertunjukan Wayang Kulit ada pada si dalang. Untuk
mementaskan wayang para dalang Bali memerlukan sekitar 125 -
130 lembar wayang yang disimpan dalam kotak wayang (kropak).
Kiranya belumlah lengkap jika pembahasan mengenai seni
pewayangan Bali tidak dilengkapi dengan adanya beberapa usaha
inovasi dan kreatif dari para seniman dalang di pulau ini, atau
memalui kerja patungan atau kolaborasi dengan seniman luar atau
asing. Dalam usahanya memberikan nafas baru dalam wayang
Parwa, dalang I Made Sidja atau Ida Bagus Ngurah (Buduk)
memasukan gamelan Suling atau Pegambuhan. Belakangan ini
dalang muda berbakat, Ida Bagus Sudiksa berkali-kali
mementaskan wayang kulit Parwa dengan iringan gamelan
Angklung lengkap, bahkan pernah dengan gamelan Balaganjur.
Sebagai sajian tugas akhir, baik untuk menyelesaikan program
Seniman (setingkat Sarjana) pada jurusan Seni Pedalangan di STSI
Denpasar, para mahasiswa juga telah melakukan berbagai
percobaan. Misalnya:
• Penggunaan layar lebar berganda.
• penggunaan tata-lampu modern, seperti lampu strobo, spot-
lights, dan sebagainya.
• pemakaian overhead-projector untuk menciptakan citra-citra
realistis sebagai latar belakang.
• pemakaian pemain wayang dalam jumlah yang banyak
dengan satu orang dalang sebagai narator.
• pemakaian wayang golek besar.
• dan lain sebagainya.
Kesemuanya merupakan wujud nyata dari usaha para seniman
dalang muda untuk terus menyegarkan kehidupan seni
Pewayangan di Bali.
Dalam hal iringan, gamelan Selonding dan Selukat juga telah dicoba
untuk mengiringi pertunjukan wayang Bali. Masih merupakan
bagian dari perkembangan wayang kulit Bali adalah wayang Listrik
yang merupakan hasil kerja patungan antara seniman (I Made Sidja,
I Nyoman Catra, Desak Suarthi Laksmi) dengan seniman dalang
Larry Reed dari San Francisco, Amerika Serikat, yang didukung oleh
Gamelan Sekar Jaya di bawah asuhan komposer muda, I Dewa
Bratha. Nama ini diberikan berdasarkan kenyataan bahwa dalam
pertunjukannya terdapat perpaduan dua unsur penting yaitu :
pemain wayang kulit Bali dengan permainan atau proyeksi cahaya
lampu listrik.
Pertunjukan pertama wayang listrik ini dilakukan di San Fransisco
dan pada tahun 1996 yang lalu juga dipentaskan di Bali dalam
rangka Festival Wayang Walter Spies.

 Wayang Orang
Wayang Wong pada dasarnya adalah seni pertunjukan topeng dan
perwayangan dengan pelaku-pelaku manusia atau orang (wong).
Dalam membawakan tokoh-tokoh yang dimainkan, semua penari
berdialog, semua tokoh utama memakai bahasa Kawi sedangkan para
punakawan memakai bahasa Bali. Pada beberapa bagian pertunjukan,
para penari juga menyanyi dengan menampilkan bait - bait penting
dari Kakawin.
Di Bali ada dua Jenis Wayang Wong, yaitu Wayang Wong
Ramayana, dan Wayang Wong Parwa. Wayang Wong Ramayana
kemudian disebut Wayang Wong saja, ialah dramatari
perwayangan yang hanya mengambil lakon dari wira carita
Ramayana. Hampir semua penari mengenakan topeng. Diiringi
dengan gamelan Batel Wayang yang berlaras Slendro.
Terdapat di desa-desa:
• Mas, Telepud, Den Tiyis (Gianyar),
• Marga, Apuan, Tunjuk, Klating (Tabanan),
• Sulahan (Bangli),
• Wates Tengah (Karangasem),
• Bualu (Badung),
• Prancak, Batuagung (Jembrana)
Wayang Wong Parwa yang biasa disebut Parwa yakni dramatari
wayang wong yang mengambil lakon wira carita Mahabrata (Asta
Dasa Parwa). Para penarinya umumnya tidak mengenakan topeng,
kecuali para punakawan, seperti Malen, Merdah, Sanggut, Delem.
Diiringi gamelan Batel Wayang yang berlaras Slendro. Parwa
terdapat di desa-desa:
• Sukawati, Teges, Pujung (Gianyar)
• Blahkiuh (Badung).
13. BAHASA DAN AKSARA
➢ Bahasa Bali
Dr. Rudolf Gorris menemukan bahwa bahasa Bali Kuna dominan
digunakan dalam prasasti-prasasti periode awal zaman Bali Kuna.
Sedikitnya ada 33 prasasti yang menggunakan bahasa Bali Kuna. Setelah
masa pemerintahan Raja Udayana Gunapriyadharmapatni (989-1011)
mulailah digunakan bahasa dan aksara Jawa Kuna. Tatkala masuk
pengaruh Majapahit, bahasa Kawi-Bali pun mulai digunakan, terutama di
naskah-naskah lontar.
Karena itulah, perkembangan bahasa Bali sendiri dibagi dalam tiga
babakan. Pertama, bahasa Bali Kuno yang sering juga disebut dengan
nama bahasa Bali Mula, kedua, bahasa Bali Tengahan atau sering disebut
Kawi-Bali dan ketiga, bahasa Bali Kapara atau bahasa Bali modern yang
diwarisi hingga saat ini.
Dilihat dari perbendaharaan kata dan strukturnya, bahasa Bali
tidak jauh berbeda dari bahasa-bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan-
peninggalan prasasti dari jaman Hindu-Bali menunjukkan adanya suatu
bahasa Bali kuno yang agak berbeda dengan bahasa Bali sekarang.
Bahasa Bali kuno itu, selain mengandung banyak kata-kata Sansekerta,
pada masa berikutnya terpengaruh juga oleh bahasa Jawa Kuno dari
jaman Majapahit, yaitu pada masa pengaruh Jawa besar sekali kepada
kebudayaan Bali. Bahasa Bali juga mengenal apa yang disebut
”perbendaharaan kata-kata hormat”, walaupun tidak sebanyak seperti
dalam bahasa Jawa. Bahasa hormat (basa alus) yang dipakai saat
berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi telah mengalami beberapa
perubahan karena pengaruh modernisasi dan demokrasi.
➢ Aksara Bali
Aksara Bali terbagi atas aksara biasa dan aksara suci. Aksara biasa
terdiri atas aksara wreastra -- aksara yang dipergunakan sehari-hari,
terdiri atas 18 aksara (lihat boks penjelasan aksara Bali), misalnya: a, na,
ca, ra, ka, dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada
kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o.
Aksara suci terbagi atas aksara wijaksara atau bijaksara
(aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan
modre atau aksara lukisan magis. Aksara amsa terdiri atas ardhacandra
(bulan sabit), windu (matahari, bulatan,) dan nadha (bintang, segi tiga).
Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti -- utpatti-sthiti-pralina atau
lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wisnu dengan
simbol air dan Dewa Siwa atau Iswara dengan lambang udara. Aksara
amsa adalah lambang Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.
Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pangangge
tengenan. Tengenan adalah aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati)
yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan.
Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan
(ditulis di bawah aksara) atau gempelan (digabungkan dengan aksara di
depannya). Contoh pangangge tengenan: cecek (ng), surang (r), bisah
(h), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati. Misalnya kata gamang, kasar,
asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan aksara mang, dapat ditulis ma
dengan cecek sebagai aksara biasa atau ma dengan amsa sebagai aksara
wijaksara/bijaksara.
Penelitian yang pernah dilakukan memberikan dugaan kuat aksara
Bali berkembang dari huruf Pallawa yang dikenal dengan nama huruf Bali
Kuno. Huruf ini berkembang pada sekitar abad ke-9 sampai abad ke-10
dan terus mengalir sampai kini. Sistem yang digunakan yakni sistem
silabik. Artinya, satu tanda mewakili satu suku kata yang diambil dari
huruf awal suku kata yang diambil dari huruf awal suku kata dimaksud.
Tiap suku kata dibentuk dari satu konsonan dan satu vokal.

14. KALENDER BALI


Kalender Saka Bali adalah sistem penanggalan yang digunakan
oleh orang Hindu Bali di pulau Bali dan Lombok. Kalender Bali bisa
dianggap istimewa sebab kalender Saka Bali adalah penanggalan
"konvensi". Tidak mutlak astronomis seperti kalender Hijriyah, namun
tidak pula seperti kalender Jawa, tetapi 'kira-kira' ada di antara keduanya.
Kalender Saka Bali tidak sama dengan Kalender Saka dari India,
namun kalender Saka yang sudah dimodifikasi dan diberi tambahan
elemen-elemen lokal.
Kalender Saka Bali bisa dikatakan merupakan penanggalan
syamsiah-kamariah (surya-candra) atau luni-solar. Jadi penanggalan ini
berdasarkan posisi matahari dan sekaligus bulan. Dikatakan konvensi
atau kompromistis, karena sepanjang perjalanan tarikhnya masih
dibicarakan bagaimana cara perhitungannya.
Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1 hari candra = 1 hari
surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang dari 1 hari
surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya yang
nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri.
Hal ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmatika. Derajat ketelitiannya
cukup bagus, hanya memerlukan 1 hari kabisat dalam seratusan tahun.
Panjang bulan
Dalam 1 bulan candra atau sasih, disepakati ada 30 hari terdiri dari
15 hari menjelang purnama disebut penanggal atau suklapaksa, diikuti
dengan 15 hari menjelang bulan baru (tilem) disebut panglong atau
kresnakapsa. Penanggal ditulis dari 1 pada bulan baru, sampai 15 yaitu
purnama, menggunakan warna merah pada kalender cetakan. Setelah
purnama, kembali siklus diulang dari angka 1 pada sehari setelah
purnama sampai 15 pada bulan mati (tilem) menggunakan warna hitam.
Dalam perhitungan matematis, untuk membedakan warna, sering dipakai
titi. Titi adalah angka urut dari 1 yaitu bulan baru, sampai 30 pada bulan
mati. Angka 1 sampai 15 mewakili angka merah atau penanggal, 16
sampai 30 mewakili angka 1 sampai 15 angka berwarna hitam atau
panglong.
Panjang bulan surya juga tidak sama dengan panjang sasih (bulan
candra). Sasih panjangnya berfluktuasi tergantung kepada jarak bulan
dengan bumi dalam orbit elipsnya. Sehingga kurun tahun surya kira-kira
11 hari lebih panjang dari tahun candra. Untuk menyelaraskan itu, setiap
kira-kira 3 tahun candra disisipkan satu bulan candra tambahan yang
merupakan bulan kabisat. Penambahan bulan ini masih agak rancu
peletakannya. Inilah tantangan bagi dunia aritmatika. Idealnya awal tahun
surya jatuh pada paruh-akhir sasih keenam (Kanem) atau paruh-awal
sasih ketujuh (Kapitu), sehingga tahun baru Saka Bali (hari raya Nyepi)
selalu jatuh di sekitar paruh-akhir bulan Maret sampai paruh-awal bulan
April.
Tahun Baru
Tahun baru bagi Kalender Saka Bali, diperingati sebagai hari raya
Nyepi, bukan jatuh pada sasih pertama (Kasa), tetapi pada sasih
kesepuluh (Kadasa). Idealnya pada penanggal 1, yaitu 1 hari setelah
bulan mati (tilem). Pada tahun 1993, Hari raya Nyepi jatuh pada
penanggal 2, diundur 1 hari, karena penanggal 1 bertepatan dengan
pangunalatri dengan panglong 15 sasih Kasanga. Sekali lagi kompromi
diperlukan dalam perhitungan ini.
Sejak hari raya Nyepi, angka tahun Saka bertambah 1 tahun.
Menjadi angka tahun surya Masehi dikurangi 78. Dengan demikian sasih-
sasih sebelum itu berangka tahun Masehi minus 79. Hal ini akan terasa
janggal bagi pengguna penanggalan Masehi, karena angka tahun sasih
Kasanga satu tahun dibelakang angka tahun sasih Kedasa, dan angka
tahun dari sasih terakhir, Desta (Jiyestha) sama dengan angka tahun
berikutnya untuk sasih pertama (Kasa).

15. MAKANAN KHAS BALI


Lawar

Lawar merupakan makanan khas Bali yang dibuat dari campuran daging,
nangka muda, pepaya muda dengan bumbu lengkap Bali. Lawar biasanya
dihidangkan sebagai lauk pauk teman makan nasi dan disantap sehabis
melaksanakan upacara adat dengan cara prasmanan.

Babi Guling
Nama babi guling untuk daerah bali lebih dikenal
dengan be guling. Sebetulnya be guling dapat
dibuat dari jenis daging lainnya seperti itik dan
ayam. Babi guling adalah sejenis lauk pauk yang di
buat dari anak babi betina atau jantan secara utuh
kecuali isi perutnya dikeluarkan seluruhnya diganti dengan bumbu dan
sayuran seperti daun ketela pohon, dipanggang diatas bara api sambil
diputar-putar ( diguling-gulingkan) sampai matang yang ditandai denga
warna kulitnya menjadi kecoklatan dan renyah. Babi guling pada
mulanya digunakan untuk sajian pada upacara baik upacara adat
maupun upacara keagamaan, namun saat ini babi guling telah dijual
sebagai hidangan baik di warung-warung, rumah makan bahkan hotel-
hotel tertentu di daerah bali. Babi guling yang paling terkenal berasal
dari kabupaten Gianyar.

Jukut Ares

Jukut Ares, dalm bahasa Indonesia Sayur Ares. Makanan ini dari batang
pohon pisang yang muda, orang Bali menyebutnya "gedebong". Bahan
yang dipakai batang pohon pisang batu atau batang pohon pisang yang
lain.
Cara memasaknya mudah. Batang pohon pisang dikuliti, dibuang bagian
luarnya, sampai ketemu bagian muda, terus diiris-iris. Kemudian irisan ini
harus diremas dengan garam agar getahnya hilang, kemudian dicuci
untuk menghilangkan rasa asin garam.
Kemudian dibuat rebusan kaldu ayam ato babi. Kemudian ditambah
bumbu "basa genep" atau bumbu lengkap yang terdiri dari: bawang
merah, bawang putih, kencur, jahe, laos, kunyit, cabe. terasi, dan merica
'kalo suka".
Kemudian irisan gedebog dimasukkan ke dalam kaldu. Tambahkan daun
salam agar wangi dan garam supaya tidak hambar, kemudian masak
hingga matang.

Entil Pupuan - Bali


Entil biasanya dimakan dingin, mirip lontong sayur. Satu porsi terdiri dari
entil 2 bungkus, sayur urap, serundeng ( parutan kelapanya besar-besar
dan kering, tidak manis seperti serundeng umumnya ) kemudian disiram
dengan "be jeruk" yang sedikit berkuah. "be jeruk" merupakan sebutan
makanan khas bali yang isinya daging ayam suir-suir dicampur sama
kelapa parut, dan berkuah warnanya kuning.

16. Arsitektur Tradisional

Bangunan Hunian
1. Pura Keluarga (Merajan) tempat 6. Jineng/lumbung, tempat
memuja leluhur dan Hyang Guru menyimpan gabah/padi
2. Tempat Tidur (Meten) 7. Paon (dapur)
3. Bale Dauh sebagai tempat 8. Aling-Aling
beraktivitas 9. Pamesu/Kori
4. Bale Dangin, tempat
melaksanakan aktivitas ritual
seperti menaruh dan membuat
sesajen
5. Sekenem, tempat menerima
tamu

Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana.
Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut
diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai
tempat pemujaan, pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut
barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah,
merupakan arah masuk ke hunian. Pamerajan atau sanggah, adalah
bangunan paling awal dibangun, sedang daerah publik dan bangunan
pendukung (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-
aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah
dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak
pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Ditengah-tengah hunian terdapat natah
(court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang
tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan
mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan
keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang
penting & berharga).
Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan
(rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah
bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas
pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unit-unit atau bagian-bagian
bangunan terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri sendiri.

17. PURA
Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur,
-puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau
kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di
Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan
istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.
Secara umum pura diklasifikasikan menjadi :

1. Pura Kahyangan Jagat


Pura Kahyangan jagat tergolong pura untuk umum, sebagai tempat
pemujaan Ida Sang Hyang Widi Wasa - Tuhan Yang Maha Esa dalam segala
prabhawa-Nya atau manifestasi-Nya. Di sini pula tempat memuja roh suci
para tokoh masyarakat Hindu. Sad Kahyangan yaitu enam Kahyangan besar
yang berada di enam lokasi seperti Pura Silayukti, Pura Lempuyang, Pura
Sakenan, Pura Luhur Batukaru, Pura Rambut Siwi, dan Pura Luhur Uluwatu.
Pura Dang Kahyangan adalah pura-pura
besar yang berkaitan dengan dharma-yatra
Dhang Guru terutama Dhang Hyang
Dwijendra termasuk dalam Kahyangan
jagat dan juga pura-pura kerajaan yang
pernah ada.
2. Pura Kahyangan Desa
Pura-pura yang disungsung oleh desa
adat berupa Kahyangan Tiga yaitu tiga
buah pura yang melingkupi desa ialah
Pura Desa atau Bale Agung sebagai
tempat pemujaan Tuhan dalam
prabhawa-Nya sebagai pencipta yaitu
Brahma, Pura Puseh sebagai tempat
pemujaan Tuhan dalan manifestasi-Nya
sebagai pemelihara yaitu Wisnu dan
Pura Dalem sebagai tempat pemujaan
Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai
pelebur yaitu Çiwa.
3. Pura Swagina
Pura pura ini dikelompokkan berdasarkan fungsinya sehingga sering
disebut pura fungsional. Pemuja dari pura-pura ini disatukan oleh
kesamaan di dalam kekaryaan atau di dalam mata pencaharian seperti;
untuk para pedagang adalah Pura Melanting, para petani dengan Pura
Subak, Pura Ulunsuwi, Pura Bedugul, dan Pura Uluncarik. Masih banyak
lagi seperti di hotel hotel, perkantoran pemerintah maupun swasta.
4. Pura Kawitan
Pura ini sudah bersifat spesifik di mana para pemujanya ditentukan oleh
asal usul keturunan atau wit dari orang tersebut. Termasuk ke dalam
kategori ini adalah; Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon, Panti, Dadia
atau Dalem Dadia, Penataran Dadia, Pedharman dan sejenisnya.
MASALAH PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI

Proses perubahan dalam masyarakat dan kebudayaan Bali itu


memang sudah dimulai sejak zaman kolonial, dengan adanya sistem
pendidikan sekolah-sekolah dan dengan kegiatan pariwisata yang sudah
dikembangkan secara luas waktu itu. Namun karena sistem pendidikan
hanya terbatas kepada tingkat SD, sedangkan jumlah dari sekolah-
sekolah itu amat terbatas pada beberapa buah yang ada di dua-tiga kota
saja, maka proses perubahan itu berjalan amat lambat. Kegiatan
pariwisata hanya menyebabkan perubahan-perubahan fisik saja dan tidak
sampai pada sendi-sendi masyarakat dan kebudayaan Bali. Pada awal
zaman kemerdekaaan, masyarakat dan kebudayaan Bali masih tampak
sama seperti berabad-abad lalu.
Segera setelah itu proses perubahan tumbuh dengan cepat. Hal ini
dikarenakan sistem pendidikan sekolah dikembangkan dengan intensif
dan ekstensif. Banyak pemuda Bali yang pergi ke luar Bali dan ke luar
negeri untuk belajar sampai akhirnya universitas-universitas didirikan di
Bali.
Sekarang ini telah tampak bahwa proses perubahan masyarakat
dan kebudayaan Bali yang cepat mendapat efek sampai ke sendi-
sendinya. Keketatan hukum adat mengenai sistem kasta dan klen sudah
mulai kendor. Kaum terpelajar dan cendekiawan Bali, karena
kesibukannya sehari-hari, tidak sempat lagi untuk mengikuti detail adat-
istiadat serta upacara-upacara keagamaan Hindu-Bali secara teliti
sehingga dalam waktusingkat akan terjadi penyederhanaan dalam sistem
upacara keagamaan. Selain itu, pembaharuan dalam kehidupan dan
pendidikan agama Hindu-Bali juga sengaja dibina oleh majelis agama
tertinggi bernama Parisada Hindu Darma.
Saat ini, Bali dijadikan daerah pariwisata yang utama, Sektor
kepariwisataan telah memberi lapangan kerja pada banyak orang Bali
serta telah menstimulasi sektor kerajinan, seni lukis, seni tari dan seni
suara, perhotelan, rekreasi dan transportasi untuk berkembang. Namun,
dibalik itu orang Bali juga mulai merasakan aspek-aspek negatif dari
perkembangan tersebut yang dapat mengancam nilai-nilai budaya yang
mereka junjung tinggi. Dilema ini sedang dan akan dialami oleh
masyarakat yang mengalami zaman transisi pembangunan dan proses
modernisasi. Walaupun demikian, risiko ini harus dipikul bersama karena
proses modernisasi tidak dapat dihindari lagi dan mutlak harus kita alami
semua.Oleh karena itu para penduduk daerah Bali harus tetap
menjunjung nilai budaya mereka dengan tetap melaksanakan serta
melestarikan kebudayaan Bali yang telah diwariskan nenek moyang
mereka.

PASCA BOM BALI


Pascabom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005, Bali seakan
terpuruk. Harapan pada denyut nadi pariwisata hancur lebur. Bali
menjadi seperti pulau yang hanya menunggu untuk karam saja tanpa
pariwisata. Wisatawan kabur karena takut bom susulan datang, Bandara
Ngurah Rai selalu penuh dengan antrean keberangkatan tanpa ada
antrean kedatangan. Hotel-hotel kelas melati perlahan-lahan tutup,
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) berlangsung silih berganti,
pengangguran semakin membludak dan tentu saja desa-desa adat di
Bali “gerah” dengan kondisi seperti ini. Sebagian warganya yang bekerja
di hotel-hotel mengeluh penghasilannya menurun drastis. Akhirnya,
kondisi ini menjadi semacam senasib sepenanggungan akibat Bom Bali.
Sontak setelah tertangkapnya pelaku bom Oktober 2002 dan 2005,
masyarakat Bali menyambutnya dengan gembira. Berbagai usaha
mempromosikan pariwisata Bali terus menerus dilakukan. Berbagai
program tayangan promosi Bali terus dilakukan. Beragam kegiatan
dibuat untuk mengembalikan citra pariwisata Bali yang terpuruk
karena Bom Bali dan berturut-turut Perang Amerika—Irak dan wabah
SARS. Kondisi inilah kemudian yang menjadi “tersalah” dalam terpuruk
dan ambruknya pariwisata Bali.
Saat itu—awal Januari 2003—mulai terdengar program-program
“Recovery Bali” dan dikuti dengan “Bali For The World”, pentas musik
sensasional “Voice Of Star” dan berbagai event hiburan dan
pertemuan-pertemuan nasional serta internasional yang dilangsung di
Bali. Ada sebuah usaha untuk menjadikan Bali sebagai pusat dari
pemulihan pariwisata. Ini karena Bali memiliki citra “Bali” hasil konstruksi
eksotika dan ketergantungan negara luar Bali sebagai kunjungan wisata.
Selain mengembalikan pariwisata Bali, lembaga-lembaga tradisi
seperti desa adat/pakraman (desa-desa di Bali), pecalangan (satuan
pengamanan tradisonal Bali) serta seluruh perangkat desa pakraman di
Bali juga semakin memproteksi dirinya. Ternyata dengan adanya Bom
Bali 2002 dan 2005, membuat masyarakat Bali semakin waspada dan
siaga setiap saat. Ternyata, jujur harus diakui, bahwa cap teroris ternyata
menggangu dan menjadi musuh bersama orang Bali. Dalam obrolan di
warung-warung desa di Bali, Bom Bali dan teroris adalah kala (mahluk
jahat) yang bisa menghancurkan Bali. “Tiang (saya) siap nindihin
(membela sampai mati) Bali melawan teroris,“ kata seorang warga
masyarakat di warung desa.
Nindihin bagi masyarakat Bali adalah sebuah pembelaan, sebuah
sikap wujud kecintaan pada tanah air Bali. Sebelumnya, saat zaman
kerajaan dan perang-perang kemerdekaan 1942-1945, Bali terkenal
dengan semangat puputan (perjuangan melawan penjajah sampai titik
darah penghabisan). Kini, semangat puputan ditunjukkan dengan sikap
nindihin Bali bukan melawan kolonial Belanda dan Jepang, tapi melawan
teroris dan orang-orang yang merusak kebudayaan Bali. Maka, mulailah
dilakukan program-program untuk nindihin Bali tersebut. Salah satu hal
yang dilakukan desa adat/pakraman dengan jajarannya adalah sweeping
dan pendataan penduduk pendatang. Ini dilakukan dengan serempak
mulai awal 2003 hingga kini dan menjadi perdebatan hangat di Bali dan
juga mendapat respon nasional pada Maret—Juni 2003 dan mulai
meredup dan menjadi keharusan pasca Bom Bali 2005.
Pascabom Bali dan ditengah keranjingan menjaga Bali tidak
terpukul dua kali, lahir jargon Ajeg Bali. Jargon yang sebenarnya dimulai
dari propaganda sebuah media terbesar di Bali yang kemudian diikuti
oleh promosi ke berbagai kabupaten di Bali. Belum lama berselang,
pertengahan Juli ini, dilakukan roadshow ke seluruh kabupaten di Bali
untuk penandatanganan prasasti Ajeg Bali oleh bupati se-Bali. Dalam
perspektif berpikir beberapa orang Bali, Ajeg Bali adalah pemurnian Bali
dalam hal pemurnian ras, idenitas, dan soroh. Ini sebenarnya
potensi konflik dan kekerasan secara horizontal. Karena, jika merunut
sejarah, Bali adalah hasil dari pertarungan, pembantaian dan
pembersihan soroh-soroh. Dan sampai saat ini kelompok-kelompok ini
memendam identitas dalam identitas ke-Bali-an, yang juga sebenarnya
menyimpan konflik dan kekerasan yang terpendam. Tentu saja
pemicunya adalah persaingan antar puri (tempat raja di Bali yang
sekarang masih ada) ataupun pendobrakan kelas-kelas sudra (pasek,
pande, dll.) terhadap kelas tri wangsa (brahamana, ksatria, dan waisya)
dalam teori kelas dan kasta di Bali. Di tengah kebingungan inilah,
muncul penyejuk dan pemersatu umat, juga sebagai jago kebudayaan
Ajeg Bali. Bali sangat merindukan seorang pendeta sebagai pencerah
kehidupan agama Hindu Bali. Maka munculnya Ida Pedanda Made
Gunung yang melayani semua pertanyaan, kecemasan, dan pencarian
identitas dan esensi ke-Bali-an. Dengan masalah-masalah upakara
(sesajen untuk upacara-upacara), pernyataan akan “kebenaran” tingkah
laku dan sikap beragama. Yang paling penting tentunya–dari kiprah
Ida Pedanda Made Gunung—adalah mengidentitaskan, menanamkan
dewa-dewa yang dipuja orang Hindu Bali. Inilah bentuk kerinduan-
kerinduan orang Hindu Bali yang kemudian bisa dipenuhi oleh Ida
Pedanda Made Gunung. Kerinduan untuk mencari asal-usul, jati diri,
hubungan darah, dan keturunan. Dalam istilah Balinya, kedewan-dewan
(hidupnya selalu memikirkan dewa, Tuhannya). Dalam titik inilah,
orang Bali seakan mendapat pencerahan, dan mulai mendapatkan
pembenaran secara alamiah—melalui sastra agama dan tentunya
keyakinan yang disampaikan Ida Pedanda Made Gunung. Kiprah pendeta
ini dicuatkan oleh media televisi lokal, grup media terbesar di Bali (baca:
Bali Post), lewat program Dharma Wacana (pencerahan keagamaan)
setiap sore hari.
Dampak atau pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan Bali oleh
para peneliti dikatakan sebagai negatif dan positif. Dampak negatif
adalah terjadinya komersialisasi, komodifikasi dan profanisasi yang
mengarah pada penggerusan; sedang dampak postif adalah terpacunya
kreativitas seni budaya penduduk lokal untuk memenuhi kepentingan
pariwisata (Lihat Ruastiti 2005; Ardika 2004). Dalam konteks seni
pertunjukan tradisional pengaruh positif dan negatif juga terjadi.
Munculnya kreativitas nyata sekali terlihat pada berkembang pesatnya
berbagai jenis seni pertunjukan di Bali termasuk meningkatnya jumlah
penggiat kesenian, namun pada saat yang sama beberapa tarian sakral
termasuk elemen prosesi ritual mengalami profanisasi karena mulai
dipertunjukkan kepada wisatawan.

You might also like