You are on page 1of 8

Filsafat Moral Hegel

A Khudori Soleh

Konsep Moral.

Sebelumnya harus dibedakan antara etika dan moral.


Menurut Berten,1 etika adalah tata susila atau tindakan yang
mengandung nilai-nilai moral, sedang moral itu sendiri adalah
nilai-nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk yang menjadi
pedoman dari tindakan etik. Tegasnya, etika lebih merupakan
refleksi filosofis dari moral. Jadi etika lebih merupakan wacana
normatif yang relatif, sedang moral moral merupakan wacana
noramatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka baik-
buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak dan transenden. Moral
menjawab apa yang harus saya lakukan, etika menjawa
bagaimana hidup yang baik.2

Menurut David Hume3 moralitas merupakan sistem tata


nilai yang berdasarkan pada fakta-fakta dan pengamatan-
pengamatan empiris. Pengalaman sehari-hari, pengalaman
indera dan pengalaman perasaan itulah yang membentuk
pengetahuan dan kecenderungan pada kita, yang pada giliranya
memberikan pertimbangan-pertimbangan moral saat kita meski
berbuat. Tidak ada nilai-nilai mutlak diluar yang empiris tersebut.

Sebaliknya, menurut Kant,4 persoalan moral sama sekali


lepas --dan memang harus lepas-- dari pengaruh lingkungan,
kebiasaan, pengalaman dan segala yang empiris, tetapi semata
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan moral yang mutlak.
Bagi Kant, penilaian dan tindakan moral bukan urusan pribadi
(moral sentiment) atau keputusan sewenang-sewenang
(decionism) dan juga bukan masalah asal usul sosial-kultural,
1
Bertens, Etika, (Jakarta, Gramedia, 1997), 6-7
2
Haryatmoko, Diktat Kuliah Filsafat Moral, Pascasarjana IAIN Yogyakarta.
3
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Rtika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19,
(Yogyakarta, Kanisis, 1997), 126.
4
Ibid, 137-158. Lihat juga Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogya,
Kanisius, 1997), 151-173.
sopan santun, atau adat istiadat (relativisme kultural), tetapi
berada dibawah keterikata moral yang mutlak dan dapat dituntut
pertanggungjawabannya oleh orang lain. Artinya, tindakan
seseorang yang bisa diterima sebagai bernilai moral adalah
tindakan yang didasarkan atas nilai-nilai yang mutlak, yang lepas
dari pengaruh-pengaruh kebiasaan, adat-adat dan
kecenderungan.

Selanjutnya, menurut Sartre,5hampir sama dengan konsep


Immanuel Kant, moralitas tidak dipengaruhi oleh lingkungan,
budaya, kebiasaan atau adat-adat yang ada, tetapi tidak juga
didasarkan atas nilai-nilai mutlak sebagaimana dalam Kant.
Menurut Sartre, tindakan moral seseorang ditentukan oleh nilai-
nilai yang ciptakan sendiri oleh yang bersangkutan, lepas dari
pengaruh lingkungan sekitarnya (empiris) maupun nilai-nilai
mutlak (Idea). Sebab, dengan konsepnya tentang
eksistensialisme, tindakan manusia yang dipengaruhi oleh fihak
luar diluar dirinya; nilai-nilai empiris dari masyarakat maupun
nilai mutlak dari Tuhan, tidak lagi dikatakan sebagai tindakan
yang mendiri, merdeka, yang berarti tidak bisa dianggap berniali
moral. Apa yang dimaksud dengan tindakan bermoral adalah
tindakan yang dilakukan secara mandiri, merdeka dan bebas dari
keterpengaruhan dari aspek-aspek luar tersebut,6 sehingga bisa
dipertanggungjawabkan.

Bagaimana tindakan etis Hegel? Menurut Hegel, moralitas


tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai mutlak yang ada dalam Idea,
tetapi tidak juga lepas dari apa yang ada dalam dunia empiris,
yang ada dalam masyarakat. Bahkan, ia adalah sintesa dari
keduanya.7 Walhasil, jika moralitas Sartre berasal dari manusia
sendiri, moralitas Hume dari nilai-nilai empiris masyarakat,
moralitas Kant dari alam Ide, moralitas Hegel adalah sintesa dari
konsep Hume dan Kant; sintesa antara yang empiris dengan
yang ada dalam Idea.

5
Frederiks Alafson, “Jean-Paul Sartre”, dalam Edwards, Encyclopedia of Philosopfy,
(New York, Macmillan Puclishing, 1967), Vol 7-8, 287-8.
6
Schneewind, “Modern Moral Philasophy”, dalam Peter Singer (ed), A. Companion to
Ethics, (Massachusetts, Blackwell Publishers Inc, 1997), 537.
7
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta, Gramedia, 1992), 40.
Lihat pula, Ross Poole, Moralitas & Modernitas, (Yogyakarta, Kanisius, 1993), 191.
Dialektika; Sintesa Tesa Antitesa.

Semua pemikiran Hegel berangkat dari sistem


pemikirannya yang mencoba mencari jalan keluar, atau bahkan
mempertentangan dua persoalan yang berbeda dan
berseberangan, yang dikenal dengan sistem pemikiran
Dialektika.8

Dialektika Hegel merupakan proses dimana sebuah


pemikiran atau sesuatu hal yang eksis dengan pasti menggiring
atau berhadapan dengan lawannya (atau kontradiktorinya),
sehingga tiba pada sebuah sintesis (kesatuan) baru, atau proses
perubahan dalam pemikiran dan alam dimana sebuah tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi (kebenaran) dan eksistensi
(kesatuan) dicapai dengan menghadapi lawan-lawan yang pasti
yang ada dibawahnya9 Jelasnya, sebuah eksistensi dicapai
dengan adanya sintesa dan interaksi antara eksistensi-eksistensi
yang lain yang ada tingkat bawahnya.

Proses perubahan itu melibatkan tiga elemen yang terdiri


dari: (a) sesuatu, realitas atau pemikiran yang eksis (thesis), (b)
lawan atau kebalikannya (antithesis), dan (c) kesatuan
(synthesis) yang dihasilkan dari interaksinya dan yang kemudian
menjadi basis (thesis) dari gerak dialektik berikutnya. Kesatuan
tiga unsur pembentuk inilah yang disebut triadic dialektic.

Dialektika Hegel memiliki karakter membangun dan


evolusioner, yang tujuan akhirnya adalah penyempurnaan
seutuhnya. Menurut filsafat Hegel, seluruh proses dunia adalah
suatu perkembangan roh, jiwa atau pemikiran. Sesuai dengan
hukum dialektika, pemikiran meningkatkan diri, tahap demi
tahap, menuju kepada yang mutlak. Sesuai dengan
perkembangan pemikiran ini, filsafat Hegel tersusun dalam tiga
tahap, Pertama, tahap ketika roh atau pemikiran berada dalam
keadaan “ada dalam dirinya sendiri”. Ilmu filsafat yang
membicarakan pemikiran dalam keadaan ini disebut logika.
8
Dialektika, pada asal katanya berarti dialok, diskusi atau debat, dimana tujuan utamanya
adalah untuk membentah argumen-argumen lawan, atau mengarahkan lawan pada kontradiksi,
dilema atau paradoks-paradoks. Lebih jelas dalam persoalan ini, lihat Jalaluddin Rahmat, Kamus
Filsafat, Rosda Karya, Bandung, 1995), 78.
9
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat-2, (Yogyakarta, Kanisius, 11988), 100.
Kedua, tahap dimana pemikiran berada dalam keadaan “berbeda
dengan dirinya sendiri”, dan berbeda dengan “yang lain”.
Pemikiran disini keluar dari dirinya sendiri, menjadikan dirinya “
diluar” dirinya dalam bentuk alam, benda, atau yang lain yang
terikat pada ruang dan waktu. Ilmu filsafat yang membicarakan
tahap ini disebut filsafat alam. Ketiga, tahap ketika pemikiran
kembali kepada dirinya sendiri, kembali dari berada diluar
dirinya, sehingga roh atau pemikiran berada dalam keadaan
”dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri”. Tahap ini menjadi
sasaran filsafat roh.10

Menurut Hegel, dialektika bersifat ontologis,11 bahwa proses


gerak pemikiran adalah sama dengan proses gerak kenyataan.
Oleh karena itu pengertian-pengertian, kategori-kategori,
sebenarnya bukanlah hukum-hukum pemikiran belaka, tetapi
kenyataan-kenyataan atau realita. Pengertian-pengertian dan
kategori atau yang lain bukan hanya sesuatu yang menyusun
pemikiran kita, tetapi semua adalah kerangka dunia; yang
menggambarkan realitas dunia dalam pikiran atau roh.

Sebagai contoh tentang kerja dialektika, misalnya, bisa


dilihat dari persoalan “yang ada”. Pengertian “yang ada” harus
dirumuskan lepas dari segala isi kongkrit sehingga tesa
melahirkan anti tesa. Sepanjang “yang ada” belum menerima
penentuan lebih lanjut, belum dapat dikatakan, “yang ada” yang
berarti sama dengan “yang tidak ada”. Karena itu, tidak mungkin
merumuskan bagaimana “yang ada” itu sekaligus “yang tidak
ada”, atau “ketiadaan”, yaitu segi negatif dari “yang ada”. Maka
“yang ada” dan “yang tidak ada” mewujudkan dua ungkapan
yang saling melengkapi bagi hal yang satu, yaitu “awal yang
tidak dapat ditentukan bagaimana”. Ini berarti, didalam “awal
yang tidak dapat ditentukan bagaimana” itu ada gerak, gerak
yang memindahkan yang satu kepada yanga lain, yang
memindahkan “yang tidak ada” menjadi “yang ada”. Gerak dari
“yang tidak ada” menuju kepada “yang ada” ini disebut
“menjadi” (sintesa).12

10
Ibid, 101.
11
Ibid,
12
Ibid, 102
Sintesa Hukum dan Moral.

Memperhatikan konsep dialektika Hegel sebagai ontologis


diatas, dimana yang ideal bukan ideal belaka tetapi juga realitas
itu sendiri; ada kesatuan antara idea dan realitas, sedang dalam
dunia idea terjadi pergulatan saling mensistesa antara satu
dengan lainnya, berarti tidak asa satupaun peristiwa maupun
konsep di dunia ini yang tidak terkait satu sama lainnya, secara
vertikal maupun herisontal. Vertikal maksudnya hubungan antara
yang empiris dengan yang ideal, herisontal adalah hubungan
antara yang empiris dengan yang empiris lainnya, yang berarti
pula hubungan antara yang ideal dengan yang ideal lainnya.

Menurut Hegel, perkembangan yang ideal atau roh yang


merupakan kerangka dunia empiris terdiri atas tiga tingkatan;
subjektif, objektif dan mutlak. Dalam roh subyektif, yang
merupakan tahapan paling rendah, seorang individu berusaha
melepaskan diri dari alam. Disini roh mulai berpindah dari situasi
“berada diluar dirinya” kedalam situasi “berada-bagi-dirinya”.
Perpindahan ini disebabkan, dalam diri perorangan roh tersebut
belum benar-benar dan belum seluruh “bagi-dirinya”. Meski
manusia bagi dirinya sendiri dan mempunya pribadi yang tidak
bisa ditukar dengan yang lain, tapi manusia masih mewujudkan
sebagian jenisnya, sehingga masih termasuk alam.

Interaksi dan sintesa antara roh subjektif diatas melahirkan


roh objektif yang merupakan tahapan kedua. Disini kehendak-
kehendak rasionak dikjektifkan menjadi bentuk-bentuk hidup dan
umum, dan idea tentang yang baik direalisir dalam lembaga-
lembaga yang konkrit. Bentuk dan nafsu-nafsu alamiah diperluas
sebagai hak-hak dan kewajiban dalam bentuk dasar kesusilaan.
Misalnya, nafsu membalas direalisasikan sebagai hukuman yang
menurut hukum, nafsu seksual diperhalus dalam perkawinan dan
keluarga, dn lain-lainnya. Karena itulah, dalam roh obyektif ini
dibicarakan persoalan-persoalan hukum dalam dunia empirisnya,
dan nilai-nilai moral dalam alam idealnya. Moralitas adalah
sintesa antara hukum-hukum yang ada dalam dunia empirik
dengan nilai-nilai moral yang ada dalam alam ideal.
Mengapa persoalan --nilai-- moral baru muncul pada roh
objektif, bukan pada roh subjektif? Menurut Hegel,13moralitas
berhubungan dengan kesadaran diri. Kesadaran diri individu
hanya dan baru bisa diperoleh dan didukung melalui interaksi
dengan dan pengakuan oleh kesadaran-diri lainnya. Kita tidak
akan memperoleh kesadaran diri dengan mengakui atau diakui
oleh orang lain, tetapi melalui kesadaran akan adanya kesadaran
lain yang sama sekali berbeda dengan kita. Artinya, kita tidak
bisa mengenal diri sendiri kecuali dengan mengakui bahwa ada
maksud, pikiran, dan keinginan orang lain yang bukan
merupakan keinginan dan pikiran kita. Hanya melalui
pengalaman intersubjektifitas inilah kita akan memiliki kesadaran
yang memadai mengenai diri kita sendiri sebagai suatu
kesadaran diri yang independen, yang oleh Hegel dianalogkan
dengan dialektika tuan-budak. Menurut Hegel, kehidupan tuan
adalah bentuk yang tidak sempurna dari kesadaran diri persis,
karena tidak diakui dalam kesadaran orang lain yang
independen, melainkan hanya diakui oleh budak yang tidak
independen atau mandiri.

Dalam dunia empirik, roh objektif yang merupakan hasil


interaksi-interaksi antara roh subjektif ini terjelma dalam bentuk
keluarga, masyarakat dan negara. Disinilah muncul persoalan
hukum yang mengatur kehidupan keluarga, masyarakat dan
negara, yang dalam alam roh atau idea dikenal dengan istilah
“nilai moral”. Sedemikian, sehingga benar bahwa moralitas
dalam pandangan Hegel adalah sistesa antara hukum
yang bersifat empirik dengan nilai-nilai moral yang
bersifat batin atau ideal. Sedemikian pula, sehingga dalam
pandangan Hegel, negara, keluarga dan masyarakat dianggap
sebagai idea moral yang telah terealisir, tempat idealitas atau
nilai-nilai dan realitas atau hukum-hukum bertemu. Institusi-
institusi tersebut merupakan substansi moral yang telah sadar
akan dirinya, dimana keputusan-keputusan individu yang
merupakan keputusan roh subjektif telah tertiadakan.14

13
Ross Poole, Moralitas dan Modernitas, 101. Dalam tulisan Hegel sendiri, lihat Hegel,
System of Ethical Life and First Philosophy of Spirit, dalam Harris and Knox (edit & transl),
(Albani, State Universiti of New Yirk Press, 1979), 20.
14
Ross Poole, Ibid.
Selanjutnya, interaksi antar keluarga, masyarakat dan
negera yang merupakan refleksi dari roh objektif ini melahirkan
tahap ketiga, tahap puncak dari perkembangan roh; sejarah
dunia. Maka, sejarah dunia adalah perkembangan Idea mutlak.15
Disini, Idea Mutlak meralisir diri dengan menggunakan waktu
sebagai alatnya. Sejarah dunia adalah proses dimana roh
mengolah pengetahuan tentang apa yang ada pada dirinya,
untuk sampai pada dirinya sendiri, yang dari sana ia menemukan
kebebasan dan hakekatnya sendiri.16

Tanggapan.

Konsep moralitas Hegel yang memperhatikan dunia empiris


masyarakat berarti mengangkat kembali apa yang disampaikan
Aristoteles17tentang aktivitas potensi manusia, dimana bahwa
aktualisasi potensi tidak akan mencapai kebahagiaan kecuali
diaktualisasikan dan dihayati dari norma-norma yang ada dalam
dalam masyarakat. Dan dengan konsepnya tentang Idea, ia
berarti juga telah memperkokoh konsep Kant tentang imperatif
kategoris. Akan tetapi, dengan adanya sistesa antara keduanya,
Hegel memberikan makna tersendiri bagi moralitas, yang dengan
itu berarti mengisi kekurangan yang ada pada Aristoteles; soal
transendensi, dan kekurangan yang ada pada Kant, soal realitas
norma yang ada dalam masyarakat.

Persoalan yang ada pada Hegel adalah, terutama dalam


konsep dialektikanya, bahwa persoalan dunia tidak mesti,
minimal belum tentu merupakan sistesa-sintesa. Dalam alam
idea mungkin bisa dijelaskan secara logika, tetapi dalam dunia
nyata, hal itu sulit dijelaskan. Banyak hal yang terasa terlalu
dipaksakan untuk menjadi sebuah sintesa.

15
Pernyataan tenteng keabsolitan roh atau spirit ini, lihat Betrand Russell, History of
Westrn Philosophy, (Unwin, University Books, 1948), 702.
16
Ross Poole, OpCit, 104.
17
Bandingkan persoalan dengan, Walsh, Hegelian Ethics, (London, Macmillan, 1969), 59.
-------16121998-------

You might also like