You are on page 1of 37

BAB IV

PRODUK FERMENTASI IKAN – GARAM

1. IKAN PEDA

Peda adalah produk ikan fermentasi yang sangat populer di Pulau Jawa,
khususnya Jawa Barat. Menurut Van Veen (1953), ikan yang kemudian menjadi peda
pada awalnya merupakan ikan yang digarami dan dikemas dari Thailand (sebelumnya
dikenal dengan Siam) dan dikapalkan ke Malaysia dan Indonesia. Karena ikan tersebut
belum kering benar, akibat lamanya waktu pengapalan menyebabkan ketika produk
sampai di Indonesia telah berubah baunya menjadi bau khas ikan peda seperti yang kita
kenal saat ini. Oleh karena itu di Indonesia tipe produk ini juga dikenal sebagai peda
Siam.

Peda atau peda Siam memiliki popularitas tersendiri di pasaran. Flavor dan
tekstur yang terbentuk selama periode waktu tertentu setelah pengolahan berbeda bila
dibandingkan dengan produk-produk ikan fermentasi lainnya. Tidak seperti halnya pada
ikan asin, yaitu proses dehidrasi (pengeringan) dilakukan sebagai kelanjutan dari
penggaraman, tetapi pada pengolahan peda proses dehidrasi dilakukan secara perlahan –
lahan pada tingkat kecepatan yang sangat rendah. Pada kondisi tersebut, perubahan-
perubahan biokimia yang berlangsung mengarah terhadap terbentuknya flavor dan tekstur
yang diinginkan. Kadang kadang proses seperti ini juga ditemukan pada produk ikan
asin setelah terjadi rehidrasi akibat kelembaban yang tinggi selama penyimpanan atau
pemasaran.

Peda yang baik mempunyai daging berwarna merah cerah, tekstur spesifik dan
nilai pH pada selang 6,0 – 6,4. Karakteristik penting lain untuk ikan peda yang baik
adalah bahwa peda memiliki flavor yang unik sebagai hasil dari proses fermentasi. Pada
umumnya konsumen lebih tertarik terhadap peda yang mempunyai daging warna merah.
Hal ini dikarenakan bahwa peda tersebut mempunyai kandungan lemak tinggi yang
berpengaruh terhadap flavor dari produk.

1.1. Bahan Mentah

Peda umumnya diproses dari ikan yang berlemak. Ikan berlemak akan
menghasilkan peda yang lebih baik dibandingkan dengan ikan yang kandungan lemaknya
rendah. Selama proses fermentasi, lemak mengalami perubahan-perubahan kimia yang
menghasilkan flavor yang unik. Oleh karena itu ikan berlemak akan menghasilkan peda
dengan flavor yang keras sebagai hasil reaksi kimia yang melibatkan lemak. Permukaan
peda yang dibuat dari ikan berkadar lemak tinggi berwarna coklat dan peda yang diolah
dari ikan berkadar lemak rendah memiliki warna coklat yang kurang nyata.

Ikan yang paling umum digunakan untuk pengolahan peda adalah ikan
kembung. Jenis ikan laut yang dapat dan pernah diteliti untuk pengolahan ikan peda

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 16
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
adalah ikan kembung (Rastreliger brachysoma dan Rastreliger kanagurta) (Van Veen,
1965; Mackie et al., 1971; Sjachri dan Nur, 1979; Tedja dan Nur, 1979), lemuru
(Sardinella sp.), layang (Decapterus sp.), ikan bentong (Caranx sp.) (Rahayu et al.,
1992) dan ikan mullet (Aldrichetta forsteri) (Irianto, 1992). Disamping ukurannya
hampir sama dengan ikan kembung, ikan mullet sangat sesuai digunakan sebagai bahan
mentah pada pengolahan peda karena memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi,
yaitu 4,47% (Irianto, 1992), sedangkan kadar lemak ikan kembung adalah 2,68%
(Menajang, 1988). Ikan air tawar yang pernah dicoba untuk digunakan sebagai bahan
mentah pada pengolahan ikan peda adalah ikan mujair (Tilapia mossambica), ikan mas
(Cyprinus carpio) dan ikan gurameh (Puntius javanicus), tetapi mutu peda yang
dihasilkan tidak seperti peda yang diolah dari ikan laut (Sukarsa, 1979).

Bahan mentah yang digunakan pada pengolahan ikan peda pada umumnya tidak
disiangi. Kenyataan ini membawa ke dugaan bahwa isi perut ikan memberikan peran
spesifik pada pembentukan flavor unik dari peda. Isi perut ikan merupakan sumber
bakteri dan enzim proteolitik yang memiliki kontribusi penting di dalam proses
fermentasi, khususnya di dalam pembentukan flavor tersebut.

1.2. Teknologi Pengolahan

Sampai saat ini belum ada metoda standar pengolahan peda, tetapi beberapa
metoda telah diuraikan oleh Van Veen (1953; 1965); Winarno et al. (1973); Sjachri dan
Nur (1979); Rahayu et al. (1992). Beberapa usaha untuk peningkatan mutu peda dengan
memodifikasi metoda pengolahan tradisional yang biasa diterapkan oleh pengolah telah
dilakukan oleh Sjachri dan Nur (1979), Nur dan Sjachri (1979), Tedja dan Nur (1979),
Hanafiah (1987), Menajang (1988) dan Irianto (1990).

Metoda dasar pengolahan ikan peda adalah proses penggaraman dua tahap
seperti yang bisa dilihat pada Gambar 1. Penggaraman pertama biasanya dilakukan
beberapa hari dan dikenal sebagai fermentasi pertama. Sebaliknya, penggaraman kedua
memakan waktu beberapa minggu untuk memberi kesempatan berkembangnya flavor
dan tekstur ikan peda dan tahap ini disebut sebagai fermentasi kedua atau fase
pematangan.

Secara tradisional peda dibuat dari ikan yang tidak disiangi, tetapi peda dengan
mutu lebih baik dapat diperoleh dengan mengolahnya menggunakan ikan yang disiangi.
Pada proses pengolahannya, pertama-tama ikan disiangi dengan membuang isi perut dan
insang. Ikan tersebut kemudian dicuci dan ditiriskan. Selanjutnya ikan digarami selama
beberapa hari. Jumlah garam yang digunakan adalah 25 persen dari berat ikan dan
Mackie et al. (1971) menyarankan perbandingan garam dan ikan adalah 1:3. Tetapi
biasanya sejumlah garam ditambahkan pada lapisan atas dari ikan. Tahap ini dikenal
sebagai fermentasi pertama yang dapat dilakukan hanya selama satu hari, walaupun
kadang-kadang memakan waktu beberapa hari. Setelah fermentasi pertama, ikan dicuci
dengan air bersih dan ditiriskan. Ikan yang telah ditiriskan diletakan pada keranjang
bambu yang telah dilapisi dengan daun pisang kering. Dalam hal ini ikan disusun lapis

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 17
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
demi lapis. Antar lapisan ikan ditaburi garam dan jumlah garam total yang digunakan
mencapai 30 persen dari berat ikan. Keranjang kemudian ditutup dengan menggunakan
daun pisang kering dan ikan dibiarkan untuk proses fermentasi selama seminggu atau
lebih, sampai aroma spesifik peda diperoleh. Tahap ini dikenal sebagai fermentasi kedua
atau proses pematangan. Pengolah-pengolah biasanya tidak memberikan ketentuan
tentang lama proses fermentasi kedua, karena proses pematangan produk akan terus
berlanjut pada saat pemasaran. Walaupun demikian dipercaya bahwa semakin lama
tahap fermentasi ke dua (proses pematangan) dilakukan, flavor dari peda yang diperoleh
semakin disukai.

Ikan

Penyiangan dan Pencucian

Penirisan

Ditambah
Fermentasi I Selama 3 hari
Garam 25%
dari Berat Ikan
Pencucian

Penirisan

Ditambah Fermentasi II Selama Seminggu


Garam Sekitar
30% Berat Ikan
Pembuangan Garam

Diangin-anginkan

PEDA

Gambar 1. Alur Proses Pengolahan Peda

Oksidasi lemak yang terjadi selama fermentasi menghasilkan flavor tengik.


Sedikit flavor tengik kadang-kadang masih dapat diterima, tetapi jika terlalu keras
mungkin akan mengganggu rasa. Tahap akhir dari proses pengolahan adalah membuang
http://www.bbrp2b.dkp.go.id 18
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
garam dari ikan dengan menggunakan tangan atau sikat, dan selanjutnya ikan diangin-
anginkan sampai kadar air yang diinginkan dicapai. Garam yang diperoleh dari proses
pembuangan garam tersebut biasanya bercampur dengan minyak berwarna coklat yang
keluar dari daging ikan selama proses fermentasi.

1.2.1. Fermentasi Pertama

Pada dasarnya fermentasi pertama merupakan proses penggaraman.


Penggaraman adalah salah satu metoda pengawetan pangan yang paling tua. Proses
penggaraman pada fermentasi pertama peda digolongkan sebagai penggaraman kering.
Metoda penggaraman kering memberikan penetrasi garam ke ikan yang lebih cepat dan
dapat secara lebih cepat menghambat proses pembusukan. Selain itu dalam proses
penggaraman kering, larutan garam yang diperoleh selama proses penggaraman dalam
keadaan jenuh.

Fenomena utama proses penggaraman adalah penarikan air dari daging ikan dan
digantikan secara parsial oleh garam. Pada saat air keluar dari jaringan, garam masuk ke
dalamnya, dan proses semacam itu akan terjadi terus sampai keseimbangan telah dicapai.
Akibat adanya garam yang masuk ke dalam jaringan sel, cairan sel yang terusir keluar
menjadi larutan garam pekat. Air melarutkan kristal garam dan pada akhir fermentasi
akan membentuk larutan garam yang menyelimuti ikan. Peningkatan kadar garam yang
dibarengi dengan penurunan kadar air ikan mengakibatkan terjadinya penurunan nilai
aktivitas air dalam ikan.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat perubahan-perubahan yang


terjadi pada tahap fermentasi pertama. Tedja dan Nur (1979) menemukan bahwa kadar
air ikan menurun secara tajam pada dua hari pertama proses fermentasi, yaitu dari 70%
menjadi sekitar 50%. Proses fermentasi lebih lanjut menghasilkan penurunan kadar air
ikan yang lambat. Kadar air akhir dari ikan yang difermentasi dengan menggunakan 10-
25% garam dengan lama fermentasi 5 hari adalah 53,96 – 61,34%. Kadar garam ikan
pada kondisi tersebut adalah 4,54 – 13,74%, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perubahan Kimiawi Ikan Kembung Selama Fermentasi Pertama Peda


Bahan Produk dari Fermentasi Pertama
Analisis Mentah 10% 15% 20% 25%
garam garam garam garam
Kadar Protein (% b.b.) 23,26 23,00 21,50 20,58 18,35
Kadar Air (% b.b.) 71,50 61,34 59,21 56,38 53,96
Kadar Garam (% b.b) - 4,54 9,02 10,50 13,74
TVB (mgN%) 24,5 81,71 65,01 43,95 57,30
PH 5,90 6,29 6,11 6,20 6,06
Total Asam (% asam laktat) 0,44 0,71 0,70 0,65 0,75
Sumber: Tedja dan Nur (1979)

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 19
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Penggunaan 10% garam pada peda yang dibuat dari ikan kembung (Rastreliger
brachysoma) gagal menghasilkan peda dengan mutu yang diinginkan, karena ikannya
menjadi busuk (Menajang, 1988). Winarno et al. (1973) menyarankan penggunaan
garam pada fermentasi pertama sebanyak 25 persen dari berat ikan. Sukarsa (1979),
Hanafiah (1987) dan Irianto (1990) menggunakan garam sebanyak 30% dari berat ikan.

Untuk menentukan waktu optimum yang diperlukan selama fermentasi pertama


pada pengolahan peda dengan menggunakan ikan mullet sebagai bahan mentah dilakukan
dengan membandingkan lama fermentasi 3 dan 7 hari (Irianto, 1990). Produk yang
difermentasi selama 3 hari lebih dapat diterima secara organoleptis dibandingkan yang
difermentasi selama 7 hari. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan pelepasan minyak
yang terjadi selama fermentasi pertama, karena pada akhir proses fermentasi pertama
didapatkan adanya lapisan tipis minyak pada bagian atas larutan garam. Diduga semakin
lama proses fermentasi pertama, semakin banyak minyak yang dilepaskan dari ikan.
Produk yang dihasilkan dengan lama fermentasi pertama 7 hari memiliki warna coklat
yang lebih lemah dibandingkan dengan yang difermentasi 3 hari. Kandungan garam
yang tinggi dan kadar air yang rendah pada produk yang difermentasi selama 7 hari
mengakibatkan terjadinya pengeriputan pada ikan dan keadaan ini menjadikan produk
tersebut kurang dapat diterima secara organoleptis.

Bakteri lipolitik, bakteri proteolitik dan bakteri asam laktat pada daging mencapai
puncak pertumbuhannya selama proses fermentasi pertama. Total jumlah bakteri juga
mencapai nilai tertinggi selama tahap ini. Setelah mencapai puncak pertumbuhannya,
jumlah bakteri cenderung menurun, kemungkinan diakibatkan oleh
meningkatnya kadar garam yang diikuti oleh menurunnya nilai aktivitas air ikan. Selama
fermentasi kedua, pertumbuhan bakteri tidak tergantung pada lama waktu fermentasi
pertama.

Enzim lipolitik dan proteolitik juga menunjukkan aktivitas tertingginya selama


fermentasi pertama, karena pada tahap pengolahan selanjutnya cenderung menurun. Hal
ini menunjukkan bahwa tahap-tahap awal perubahan kimia pada ikan merangsang
aktivitas enzimatis tersebut, kecuali aktivitas enzim lipolitik dari isi perut ikan.
Penurunan aktivitas enzim lipolitik tersebut diduga berhubungan dengan adanya
perpindahan enzim dari isi perut ke daging (Irianto, 1990).

1.2.2. Fermentasi Kedua

Fermentasi kedua dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, yaitu dengan
menaburkan garam pada permukaan ikan selama tahap fermentasi kedua berlangsung
(Van Veen, 1953 dan 1965; Winarno et al., 1973; Sjachri dan Nur, 1979;, Sukarsa, 1979).
Sedangkan cara kedua dengan tanpa menaburkan garam pada permukaan ikan (Hanafiah,
1987; Menajang, 1988).

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 20
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Selama fermentasi kedua terjadi proses pematangan produk (Van Veen, 1953
dan 1965; Voskresensky, 1965; Hanafiah, 1987; Menajang, 1988), yaitu merupakan
gabungan proses-proses biokimia yang menyebabkan perubahan-perubahan karakteristik
kimia dan fisikokimia jaringan yang menjadi cirri khas dari produk peda. Perubahan-
perubahan ini dapat terjadi akibat aktivitas enzim yang menguraikan protein dan lemak.
Laju pematangan (ripening rate) dari ikan peda tergantung pada: (a) komposisi kimia
awal dari ikan yang digunakan sebagai bahan mentah, (b) kandungan – kandungan pada
garam yang digunakan, (c) suhu, (d) komposisi larutan garam, dan (e) kandungan garam
di dalam jaringan ikan (Voskresensky, 1965).

Beberapa penelitian telah dilaksanakan dengan melakukan modifikasi metoda


fermentasi kedua untuk mendapatkan produk yang lebih baik penerimaan
organoleptiknya. Nur dan Sjachri (1979) mempelajari pengaruh pembuangan isi perut,
penggunaan bubuk bibit yang dibuat dari peda dan penerapan kondisi anaerobik selama
fermentasi kedua. Berdasarkan penerimaan organoleptis, khususnya warna, flavor dan
tekstur, peda yang dibuat dari ikan kembung yang dibuang isi perutnya mempunyai mutu
yang lebih baik dibandingkan dengan peda yang diolah dari ikan yang isi perutnya tidak
dibuang. Penggunaan bibit, dapat memperbaiki mutu produk, khususnya dalam
pembentukan warna coklat kemerahan yang menandakan peda bermutu baik. Bibit dapat
dibuat dari daging peda berwarna coklat kemerahan dengan cara mengeringkan pada
suhu 40oC dan dihancurkan sampai berbentuk bubuk.

Hasil studi menunjukkan bahwa fermentasi anaerobik menyebabkan produksi


senyawa amin yang lebih tinggi sehingga menghasilkan produk yang mempunyai
kemampuan menahan air (water holding capacity) lebih tinggi dan tekstur yang lebih
baik. Senyawa amin mempunyai kemampuan untuk menahan molekul air. Adanya isi
perut memberikan pengaruh nyata terhadap kemampuan produk untuk menahan air,
merangsang pembentukan senyawa-senyawa karbonil yang memberikan bau dan flavor
spesifik peda serta peningkatan pH dan populasi mikroba dari peda. Fermentasi
anaerobik tampaknya mempercepat terbentuknya warna coklat kemerahan dari daging,
menghambat terjadinya ketengikan oksidatif, memfasilitasi degradasi protein menjadi
senyawa-senyawa karbonil dan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air, pH
dan populasi mikroba dari produk.

Tedja dan Nur (1979) melakukan studi terhadap pembuatan peda dari ikan
kembung Rastreliger brachysoma dengan melihat pengaruh berbagai konsentrasi garam
dan glukosa pada fermentasi pertama, yaitu masing-masing 10 – 25% dan 0 – 15%.
Perlakuan tersebut sangat berpengaruh terhadap perubahan-perubahan kimia selama
proses fermentasi kedua. Penurunan nilai pH selama fermentasi kedua berjalan lebih
cepat pada konsentrasi garam yang lebih rendah dan yang paling cepat adalah pada
penggunaan garam 10%, yaitu pH 4,6 – 4,8 dapat dicapai dalam waktu inkubasi 20 hari.
Kandungan basa - basa mudah menguap (total volatile bases/TVB) peda meningkat
selama fermentasi, laju peningkatan terbesar terjadi pada peda yang dibuat dengan
menggunakan jumlah garam yang lebih rendah pada fermentasi pertama. Pengaruh
konsentrasi glukosa yang ditambahkan selama 20 hari fermentasi kedua tidak terlihat
dengan jelas.

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 21
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Perbaikan proses pengolahan dengan menambahkan kultur mikroba telah
dilakukan oleh Kamil et al. (1975) dan Irawadi (1979). Kamil et al. (1975)
menggunakan starter berupa formulasi dari daging ikan peda dan tepung kacang hijau.
Jumlah daging ikan peda yang ditambahkan adalah 10% dari formula. Irawadi (1979)
membuat pedah dengan menambahkan glukosa sebagai sumber karbohidrat dan
Lactobacillus spp sebagai starter mikroba. Kultur Lactobacillus diperoleh dari asinan
kubis.

Selama fermentasi kedua kadar air, nilai aktivitas air dan pH peda menurun,
sedangkan kadar garamnya meningkat. Pola ini mirip dengan yang terjadi selama proses
fermentasi pertama, tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah. Pola perubahan-
perubahan kimia yang terjadi di daging dan isi perut hampir sama (Irianto, 1990).

Penelitian yang dilakukan oleh Hanafiah (1987) dalam rangka memperbaiki dan
merasionalkan prosedur pengolahan tradisional dilakukan dengan melihat pengaruh dari
penyiangan, penggunaan bahan antioksidan, pengemasan vakum dan lama fermentasi
terhadap perubahan-perubahan kimia dan jumlah mikroba. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa produk peda yang dibuat dari ikan yang tidak disiangi mempunyai
kandungan nitrogen bukan protein (non-protein nitrogen/NPN), basa mudah menguap
dan asam lemak bebas (free fatty acids/FFA) lebih tinggi dibandingkan produk yang
dibuat dari ikan yang disiangi, sebaliknya kandungan thiobarbituric acid reactive
substances (TBARS) lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa isi perut ikan dapat
membantu dalam pemecahan protein dan lemak. Sebaliknya pembuangan isi perut akan
memberikan permukaan yang lebih luas bagi proses oksidasi yang akhirnya dapat
menimbulkan bau tengik.

Peda yang diberi antioksidan sodium eritrobate sebanyak 1 persen mempunyai


kandungan NPN, TVB dan FFA serta kadar air yang lebih tinggi. Tetapi, perubahan nilai
TBARS yang tidak nyata menunjukkan bahwa antioksidan tidak berpenetrasi atau
terserap secara efektif oleh produk untuk mencegah terjadinya oksidasi. Sebaliknya
pengemasan vakum dapat menghambat proses terbentuknya NPN dan TVB. Pemecahan
protein terjadi pada laju yang lebih tinggi pada minggu pertama fermentasi. Dengan
memperhatikan bahwa konsumen kurang menyukai flavor yang sangat keras, mutu peda
terbaik dapat diperoleh dengan menggunakan pengemasan vakum dan bahan mentah
yang disiangi, walaupun memerlukan waktu fermentasi atau pematangan yang lebih
lama. Proses penggaraman ternyata dapat mengurangi jumlah asam lemak tak jenuh
dengan ikatan rangkap jamak (polyunsaturated fatty acids/PUFA), terutama asam lemak
C22:6 dan C22:5, sedangkan C20:5 tampaknya stabil. Asam lemak tak jenuh tunggal
(monounsaturated fatty acids/MUFA) dan asam lemak jenuh (saturated fatty
acids/SAFA) menurun, kecuali untuk C18:1 dan C22:1 (Tabel 2).

Menajang (1988) di dalam penelitiannya menemukan bahwa penyiangan dengan


membuang isi perut dapat mengurangi jumlah total bakteri (TPC), jumlah bakteri
halofilik dan jumlah bakteri mikroaerofilik pada peda, tetapi merangsang pertumbuhan
bakteri lipolitik. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa semua parameter

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 22
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
mikrobiologi yang diamati menurun selama empat hari pertama fermentasi, dan pada
empat hari berikutnya terjadi peningkatan jumlah total bakteri mikroarofilik dan bakteri
lipolitik. Pada peda yang dibuat dari ikan yang tidak disiangi, jumlah bakteri (TPC) dan
total bakteri mikroaerofilik menurun selama fermentasi. Jumlah total bakteri lipolitik,
bakteri penghasil asam dan bakteri halofilik pada peda yang disiangi menurun sejak hari
kedelapan sampai hari keempat belas. Perpanjangan waktu fermentasi sampai 28 hari
menyebabkan penurunan jumlah bakteri sesuai dengan parameter pengamatan, kecuali
untuk bakteri lipolitik pada peda yang tidak disiangi.

Tabel 2. Profil Asam Lemak Ikan Kembung dan Peda (% asam lemak)
Asam Lemak Ikan Kembung Peda
(Bahan Mentah)
14:0 3.38 4.33
TI (C:15?) 0.28 0.35
16:0 18.51 19.50
16:1 4.23 6.23
TI (C:17?) 0.13 1.19
18:0 0.79 0.30
18:1 9.58 11.71
18:2 5.33 5.18
18:3 1.18 1.15
TI - 0.12
20:1 0.13 0.45
TI - 0.10
22:0 0.61 0.45
20:3 - 0.14
22:1 6.27 6.78
20:4 0.39 0.20
20:5 9.20 10.51
TI - -
24:1 3.78 0.28
22:4 5.47 5.43
22:5 3.37 0.84
22:6 28.21 24.82
Sumber: Hanafiah (1987)
Catatan: TI = tak teridentifikasi

Irianto (1990) melaporkan bahwa pertumbuhan bakteri lipolitik, bakteri


proteolitik dan bakteri asam laktat cenderung menurun selama proses fermentasi kedua
pada peda yang dibuat dari ikan mullet, selanjutnya bakteri proteolitik dan bakteri asam
laktat akhirnya menjadi tidak terdeteksi pertumbuhannya pada hari ke-enam. Perubahan-
perubahan kimia yang terjadi selama fermentasi kedua memperlihatkan pengaruh yang
lebih destruktif terhadap bakteri sehingga memungkinkan terjadinya proses seleksi bagi
pertumbuhan bakteri. Bakteri lipolitik tampaknya merupakan bakteri yang berperan
paling utama di dalam di dalam pembuatan peda, khususnya di dalam pembentukan

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 23
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
flavor khas peda, karena hanya bakteri lipolitik yang mampu bertahan hidup sampai akhir
proses fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri memberikan kontribusi yang
berarti terutama pada awal proses fermentasi.

Aktivitas enzim lipolitik dan proteolitik cenderung menurun selama fermentasi


kedua, tetapi penurunan aktivitas enzim pada daging terjadi lebih lambat dibandingkan
pada isi perut. Enzim yang terlibat di dalam proses fermentasi daging peda diduga
merupakan gabungan enzim dari daging sendiri, enzim yang diproduksi oleh bakteri dan
enzim hasil perpindahan dari isi perut, sehingga aktivitas enzim pada daging terlihat lebih
konstan dibandingkan pada isi perut.

Penambahan garam pada fermentasi kedua menyebabkan kadar air dan nilai
aktivitas air menurun, tetapi kandungan garam pada peda yang dibuat dari ikan mullet
meningkat. Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan garam pada fermentasi kedua
sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan, karena produk yang diperoleh tanpa
penambahan garam pada fermentasi kedua secara organoleptik sulit dibedakan dengan
produk yang ditambah garam. Selain itu panambahan garam dapat menyebabkan
permukaan peda menjadi kurang menarik, karena garam yang tersisa pada permukaan
produk peda tidak dapat benar-benar dihilangkan.

Penggunaan bahan pengemas berupa kantung plastik polietilen, keranjang bambu


yang dilapisi dengan daun jati dan kuali dari tanah liat tidak menunjukkan pengaruh yang
berbeda terhadap mutu peda. Penggunaan bahan kimia anti jamur asam sorbat dan
antioksidan (butylated hydroxi anisole/BHA) dapat memperbaiki mutu peda, terutama
bila dilihat dari peroksida dan basa mudah menguap yang terbentuk selama fermentasi
(Sjachri dan Nur, 1979).

1.3. Mikrobiologi Ikan Peda

Bakteri yang diisolasi dari peda yang dibeli dari Bogor memperlihatkan
kemampuan untuk memproduksi pigmen merah/oranye. Sebagian besar pigmen yang
dihasilkan oleh bakteri adalah karotenoid, antosianin, tripirilmeten dan fenazin. Bakteri
tersebut adalah gram positif koki, non-motil, aerobik atau fakultatif aerobik, katalase
positif, tidak memproduksi indol dan oksidase negatif. Mereka dapat menggunakan sitrat
sebagai satu-satunya sumber karbon, memfermentasi glukosa dan menunjukkan aktivitas
proteolitik dan beberapa di antaranya mampu mereduksi nitrat. Bakteri ini dapat
digolongkan sebagai mesofil dan memerlukan pH medium sekitar 6-8. Mereka
menunjukkan toleransi terhadap garam yang bervariasi dan dapat dikelompokkan
berdasarkan toleransinya terhadap garam atas lemah, moderat dan halotoleran (Suwandi,
1988; Rahayu et al., 1992).

Idawati (1996) memperoleh 7 isolat bakteri asam laktat dari peda yang dibuat di
laboratorium. Identifikasi menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut adalah 2 isolat
heterofermentatif Lactobacillus sp, 1 isolat homofermentatif Lactobacillus sp, 3 isolat

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 24
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Leuconostocs sp dan 1 isolat Streptococci dari grup enterococci. Bakteri-bakteri tersebut
diuji aktivitas antibakterialnya terhadap P. fluorescens, Alkaligenes sp., Staphylococcus
aureus, Listeria monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus, Escherichia coli dan
Salmonella typhii. Lactobacillus heterofermentatif dan homofermentatif mampu
menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut di atas. Lactobacillus
heterofermentatif menunjukkan aktivitas penghambatan yang lebih besar terhadap
pertumbuhan P. fluorescens, sedangkan Lactobacillus homofermentatif mempunyai daya
hambat yang lebih besar terhadap pertumbuhan Alcaligenes. H2O2 diduga sebagai
komponen antimikrobial utama yang dihasilkan oleh Lactobacillus untuk menghambat
pertumbuhan P. fluorescens dan Alcaligenes.

Yeni (2005) berhasil mengidentifikasi bakteri pembentuk histamine pada peda


dari ikan kembung perempuan, yaitu 19 jenis bakteri yang terdiri dari 8 jenis bakteri
berbentuk batang gram positif (Bacillus spp., Brevibacterium mcbrellneri,
Brevibacterium otitidis, Clostridium spp., Carnobacterium alterfunditum,
Corynebacterium spp. Microbacterium testaceum), 7 jenis bakteri berbentuk batang gram
negatif (Aeromonas spp., Brevundimonas vesicularis, Enterobacter spp., Routella
terrigena, Serratia rubidae, Vibrio alginoluticus, Vibrio aestuarium) dan 4 jenis bakteri
berbentuk kokus gram positif (Micrococcus diversus, Staphylococcus spp.,
Staphylococcus lentus, dan Streptococcus spp.). Jenis bakteri pembentuk histamin pada
bagian daging lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat pada isi perut, yaitu
masing – masing 15 jenis dan 11 jenis.

1.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi

Peda bermutu bagus yang ditunjukkan dengan warna daging merah basah
mengandung air 44 – 47 persen, lemak 7 – 14 persen, protein 21 – 22 persen dan garam
15 – 17 persen. Peda yang bermutu lebih rendah dengan warna daging putih kering
mempunyai kandungan air hampir sama dengan peda mutu bagus, lemak 2 – 7 persen,
protein 26 – 37 persen dan garam 12 – 18 persen (Van Veen, 1965).

Data komposisi kimia peda yang lain dapat dilihat pada Tabel 3. Komposisi
kimia peda tampaknya dipengaruhi oleh spesies ikan yang digunakan, komposisi kimia
bahan mentah dan lama proses fermentasi. Pada umumnya peda digambarkan sebagai
ikan asin setengah kering yang berlemak dengan warna coklat kemerahan, dan lembab
sedikit membubur dengan tekstur lunak dan flavor spesifik, yaitu rasa keju, lezat, asin
dan sering bercampur dengan sedikit flavor tengik.

Asam lemak volatil tidak berkontribusi banyak terhadap flavor unik pada peda.
Tiga senyawa, yaitu metil keton, butil aldehid dalam bentuk 2,4-dinitrofenilhidrazon, dan
aldehid tidak jenuh, bertanggungjawab terhadap flavor peda, sedangkan senyawa-
senyawa nitrogen sedikit berperan terhadap flavor tersebut (Van Veen, 1965).

Sarnianto et al. (1984) mendapatkan bahwa peda yang diolah dari ikan kembung
memiliki kandungan histamin yang tinggi, yaitu 107,32 – 133,43 mg%, lebih tinggi dari

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 25
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
batas yang diperbolehkan (50 mg%). Tingginya kandungan histamin tersebut akibat
ikan kembung yang termasuk dalam famili scromboid memiliki kandungan histidin bebas
yang tinggi.

Tabel 3. Komposisi Gizi Peda


Parameter Peda A*) Peda B**) Peda C***) Peda D****)
Kadar air (% b.b.) 46 50,35 42,39 – 52,12 50,58
Kadar protein (% b.b.) 28 26,67 41,16 – 61,68 27,28
Kadar lemak (% b.b.) 4 6,36 3,45 – 8,56 6,45
Kadar karbohidrat (% b.b.) 0 2,9 - -
Kadar abu (% b.b.) - 18,89 14,02 – 18,41 -
Kadar garam (% b.b.) - 13,72 9,13 – 34,80 5,16
Energi (kalori) 156 183 - -
Ca (mg) 174 - - -
P (mg) 316 - - -
Fe (mg) 3,1 - - -
Vitamin A (SI) 110 - - -
Sumber : *) Soedarmo dan Sediaoetama (1977)
**) Poernomo et al. (1984)
***) Sjachri dan Nur (1977)
****) Murdinah et al. (1983)

2. JAMBAL ROTI

Jambal roti sangat populer di Pulau Jawa. Pusat produksi jambal roti adalah
Pekalongan, Cilacap, Cirebon dan Pangandaran. Jambal roti adalah nama yang diberikan
terhadap ikan asin yang diolah dengan menggunakan manyung (Arius spp.) sebagai
bahan mentah. Menurut pedagang ikan di Pekalongan, Cirebon dan Cilacap, terminologi
jambal roti ditujukan ke produk ini akibat karakteristik sensorinya berubah setelah
digoreng, terutama teksturnya. Proses penggorengan akan merubah tekstur menjadi
rapuh seperti roti. Fenomena ini dianalogikan secara langsung terhadap produk tersebut
yang dikenal sebagai jambal roti (Burhanuddin et al., 1987). Popularitas jambal roti
terutama dari flavor dan bau spesifik serta tekstur khas seperti pasir.

Permasalahan yang dijumpai selama pengolahan dan penyimpanan jambal roti


adalah serangan serangga. Serangga yang menyerang jambal roti adalah Chrysomya
megacephala, Musca domestica, Phyophila dan kumbang dermestid (Anggawati et al.,
1986). Tetapi penurunan mutu dari produk jambal roti juga disebabkan oleh
mikroorganisma (Erwan, 1992).

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 26
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
2.1. Bahan Mentah

Manyung (Arius spp.) secara tradisional digunakan sebagai bahan mentah pada
pengolahan jambal roti. Di perairan Indonesia terdapat 11 spesies ikan manyung, yaitu
Arius crossocheilus, A. argyropleuron, A. leiotetocephalus, A. sagor, A. truncates, A.
maculates, A. utik, A. microcephalus, A. thalassinus, A. caelatus dan A. venosus.
Menurut Burhanuddin et al. (1987) peda bermutu baik hanya dapat diproduksi dari A.
thalassinus. Ikan manyung dapat ditemukan pada semua perairan Indonesia, khususnya
Selat Sunda, perairan Utara Jawa, perairan Sumatera, perairan Kalimantan, perairan
Sulawesi dan laut Arafura.

2.2. Teknologi Pengolahan

Pada umumnya jambal roti diproduksi melalui tahap-tahap pengolahan berikut:


pencucian, sortasi, pembuangan kepala dan isi perut, pembengkakan, penggaraman,
pembelahan dalam bentuk kupu-kupu, pengeringan, penyayatan bagian yang tebal dan
pengeringan akhir seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 (Putro, 1993).

Jambal roti dapat diproses melalui dua metoda, yaitu jambal roti tawar dan
jambal roti asin. Kedua metoda tersebut akan menghasilkan produk dengan karakteristik
yang berbeda (Burhanuddin et al., 1984).

2.2.1. Jambal Roti Tawar

Ikan manyung dipotong kepala dan dibuang isi perutnya. Garam dimasukkan ke
dalam rongga perut ikan melalui lubang dari arah kepala, dan selanjutnya ikan-ikan
tersebut disusun dalam bak-bak yang telah ditaburi garam. Jumlah garam yang
digunakan kurang lebih 30 persen dari berat ikan. Setelah semalam garam
dikeluarkan dari perut ikan, lalu garam digunakan untuk menggarami bagian luar
tubuh ikan. Penggaraman dilanjutkan selama dua malam lagi. Kemudian ikan dicuci
bersih untuk menghilangkan sisa garam dan kotoran lainnya dengan bantuan sikat,
lalu badan ikan dibelah dari arah punggung ke arah perut dan bagian sisi badan yang
berdaging tebal ditoreh lagi untuk mempercepat pengawetannya. Ikan lalu dijemur
di atas para-para selama 3 – 4 hari. Pada saat penjemuran, ikan diolesi dengan larutan
gula. Setelah ikan dibalik dan dianggap sudah kering, ikan diangkat.

2.2.2. Jambal Roti Asin

Jambal roti asin biasanya dibuat dari ikan manyung dengan ukuran yang lebih
kecil. Secara umum cara pengolahan jambal roti asin adalah pertama-tama ikan
manyung dipotong kepala dan dibuang isi perutnya. Ikan dibelah dan langsung
digarami semalam. Jumlah garam yang digunakan kira-kira 30% dari berat ikan.
Keesokan harinya tumpukan ikan dibongkar.lalu dicuci dan disikat untuk

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 27
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
menghilangkan sisa-sisa garam maupun kotoran lainnya. Ikan yang sudah
terawetkan itu, lalu dijemur selama 2-3 hari atau sampai cukup kering.

. Ikan Manyung

Dipotong Kepala dan


Dibuang Isi Perut

Direndam Dalam Air


Tawar Selama 24 Jam

Masukkan Garam
Ke Rongga Perut

Peram Ikan Dalam Bak Penggaraman Selama 24 Jam,


Taburkan Garam Pada Permukaan Ikan

Angkat Ikan Dari Bak Penggaraman, Belah Dari Punggung ke Ekor


Tanpa Memotong Bagian Perut Dan Tempatkan Kembali ke Bak
Penggaraman untuk Direndam Dalam Larutan Garam Selama 2 Jam

Angkat Ikan dan Cuci Dengan Air Tawar

Pengeringan Selama 3 – 4 hari, Pada Hari ke-2 atau ke-3


Bagian Sisi Lain Ikan Dibelah dari Arah Perut ke Punggung

JAMBAL ROTI

Gambar 2. Alur Proses Pengolahan Jambal Roti

Biasanya masing-masing daerah memiliki cara khas di dalam pengolahan jambal


roti. Sebagai contoh cara pengolahan jambal roti yang dilakukan oleh nelayan
pengolah di daerah Cirebon adalah sebagai berikut: ikan manyung dipotong
http://www.bbrp2b.dkp.go.id 28
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
kepalanya dan disiangi, ikan dicuci dan direndam dalam air tawar selama 24 jam.
Setelah ditiriskan, ikan-ikan tersebut disusun di dalam bak. Setiap lapis ikan ditaburi
garam dan rongga tubuhnya diisi garam sampai penuh. Jumlah garam yang
digunakan lebih kurang 30-35% dari berat ikan. Penggaraman berlangsung selama
24 jam. Setelah itu ikan diangkat, garam dalam rongga tubuhnya dikeluarkan dan
ikan dicuci bersih. Ikan direndam lagi dalam air tawar selama 15 – 20 menit. Ikan
diangkat dan dibelah dari bagian punggung ke arah ekor tanpa memotong bagian
perut, kemudian ikan dijemur di atas para-para. Daging yang terbelah dihadapkan ke
matahari. Penjemuran tahap pertama berlangsung selama sehari. Keesokan harinya
pembelahan ikan dilakukan pada bagian yang bertulang dengan arah berlawanan,
mulai dari bagian perut ke arah punggung. Ikan dijemur kembali selama 3-5 hari.

Ikan yang telah di-es biasanya bila diolah akan menghasilkan produk jambal roti
yang mutunya lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang tidak di-es. Usaha untuk
meningkatkan mutu jambal roti yang diolah dari ikan yang telah di-es dilakukan
dengan mengembalikan suhu ikan sebelum proses otolisis ke kondisi normal dengan
merendamnya di dalam air bersuhu 30-40oC atau dengan mendiamkannya pada suhu
kamar (Nuraniekmah, 1996). Sudah tentu dengan semakin tinggi suhu perendaman
akan memerlukan waktu perendaman yang semakin pendek untuk mecapai suhu
normal. Waktu penyesuaian suhu bagi ikan yang direndam dalam air 30-40 oC adalah
60 – 150 menit, dan yang dibiarkan pada suhu kamar adalah 24 jam 30 menit.
Sedangkan waktu yang diperlukan untuk proses otolisis bagi ikan yang dibiarkan
pada suhu kamar adalah 8 jam 30 menit, jauh lebih pendek dibandingkan dengan
yang direndam dalam air hangat, yaitu 23 – 25 jam. Otolisis dilakukan terhadap ikan
yang telah disiangi. Waktu otolisis yang pendek bagi ikan yang didiamkan pada
suhu kamar diduga akibat bahwa bakteri yang mendiami perut ikan dan insang
berada lebih lama di ikan yang memerlukan waktu lebih lama untuk mengembalikan
suhu ke normal dibandingkan dengan ikan yang direndam dalam air hangat. Bakteri
tersebut memproduksi enzim yang dapat melakukan penguraian senyawa – senyawa
pada daging ikan sehingga dapat membantu mempercepat proses otolisis. Otolisis
mungkin telah mulai terjadi pada saat ikan didiamkan pada suhu kamar. Bakteri
tinggal dalam waktu yang singkat pada ikan yang direndam dalam air hangat, karena
setelah perendaman ikan terus disiangi. Sehingga hanya sejumlah kecil bakteri
melalui enzim yang dihasilkan terlibat pada proses otolisis. Aktivitas enzim
proteolitik selama otolisis pada ikan yang penyesuaian suhunya dengan didiamkan
pada suhu kamar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang terdapat pada ikan
yang direndam pada air 30-40oC. Kenyataan tersebut memperkuat dugaan bahwa
enzim yang dihasilkan oleh bakteri isi perut membantu proses otolisis, disamping
dugaan bahwa proses otolisis kemungkinan juga mulai terjadi selama penyesuaian
suhu pada suhu kamar. Selama proses otolisis, jumlah total bakteri dari ikan yang
dibiarkan pada suhu kamar meningkat lebih cepat dibandingkan yang terdapat pada
ikan yang direndam dalam air hangat. Demikian juga dengan total jumlah bakteri
asam laktat pada ikan yang dibiarkan pada suhu kamar jauh lebih besar dibandingkan
dengan yang ditemukan pada ikan yang direndam dalam air hangat. Perkembangan
jumlah total bakteri pada ikan yang direndam dalam air hangat mengikuti kurva
pertumbuhan bakteri.

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 29
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Perlakuan perendaman dalam air hangat untuk mengembalikan ke suhu normal
berpengaruh nyata terhadap mutu organoleptik jambal roti, khususnya pada
penampakan dan warna. Jambal roti yang mendapat perlakukan perendaman dalam
air hangat memiliki penampakan dan warna yang lebih menarik dibandingkan
dengan yang pemyesuaian suhunya dengan membiarkannya pada suhu kamar.
Berdasarkan kenyataan ini dapat disarankan bahwa perendaman ikan yang telah di-es
setelah ditangkap dalam air bersuhu 35oC selama 70 menit, karena memiliki
beberapa keuntungan, diantaranya hemat waktu pengolahan dan ekonomis.

Penggunaan larutan gula merah untuk merendam ikan manyung sebelum proses
penggaraman dalam rangka memberi substrat bagi bakteri asam laktat telah
dilakukan oleh Erwan (1992). Dengan penggunaan larutan tersebut diharapkan
pertumbuhan bakteri asam laktat dapat dirangsang, sehingga penurunan pH ikan
dapat dicapai lebih cepat. Semakin tinggi konsentrasi gula yang digunakan akan
semakin rendah pH dari produk jambal roti. Dengan demikian kondisi asam akan
membatasi pertumbuhan bakteri pembusuk yang sering menimbulkan masalah pada
produksi jambal roti. Jumlah total bakteri yang terdapat pada jambal roti yang
diolah dari ikan yang sebelum proses autolisis direndam dalam larutan gula lebih
rendah dibandingkan dengan yang tanpa perendaman dalam larutan gula. Kondisi
pH yang lebih rendah sebagai konsekuensi pembentukan asam oleh bakteri asam
laktat diduga telah menghambat pertumbuhan bakteri. Perlakuan perendaman dalam
larutan gula menghasilkan ikan jambal roti dengan sifat-sifat organoleptik yang lebih
baik, khususnya untuk penampakan, bau, rasa dan tekstur. Kadar air yang tinggi
pada jambal roti yang diolah dengan perendaman dalam larutan gula tampaknya
berperan penting dalam perbaikan tekstur produk yang lebih lembut. Jambal roti
dengan bau dan rasa yang sedikit masam rupanya lebih disukai oleh konsumen. Bau
dan rasa masam tersebut akibat adanya asam sebagai hasil dari proses fermentasi
gula oleh bakteri asam laktat.

Jumlah garam yang digunakan pada proses penggaraman mempengaruhi kadar


air, kadar abu, kadar garam dan nilai pH dari jambal roti. Jambal roti yang dibuat
dengan menggunakan garam sebanyak 30% dari berat ikan mempunyai kadar air dan
nilai pH yang lebih rendah serta kadar abu dan kadar garam yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jambal roti yang diolah dengan menggunakan garam sebanyak
20% dari berat ikan. Jumlah garam yang lebih tinggi yang digunakan pada prosdes
penggaraman dapat menekan pertumbuhan bakteri pada jambal roti. Jumlah total
bakteri pada jambal roti yang diolah dengan garam sebanyak 30% selama proses
penggaraman jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diolah dengan
menggunakan garam sebanyak 20%. Berdasarkan sifat organoleptiknya, jambal roti
yang diproses dengan menggunakan garam sebanyak 20% selama proses
penggaraman lebih disukai dibandingkan dengan yang diolah menggunakan garam
sebanyak 30%.

Masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian pada pengolahan jambal roti
adalah adanya serangan serangga, khususnya lalat. Salah satu cara yang telah

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 30
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
dicobakan untuk menanggulangi masalah serangan serangga adalah melakukan
pengolahan dengan meminimalkan kontak antara ikan dengan serangga. Ikan
digarami dalam wadah tertutup dan kemudian dikeringkan dengan menutupi ikan
menggunakan kasa (screen). Cara ini dipandang cukup efektif untuk mencegah
jambal roti dari serangan serangga, khususnya lalat. Tetapi, pengolah tampaknya
kurang tertarik untuk mengadopsi metoda tersebut, karena tidak praktis. Metoda
penggunaan kasa juga merupakan cara yang cukup efektif di dalam pengurangan
jumlah bakteri pada ikan sampai 40 kali (Anggawati et al., 1986).

Penggunaan ekstrak tanaman, seperti ketumbar, asam asetat, bawang putih dan
belimbing wuluh mampu menunjukkan sebagai bahan untuk mencegah serangan
serangga (Assastyasih dan Madden, 1986). Untuk aplikasinya secara komersial perlu
dipertimbangkan efektivitas dan aspek ekonominya.

Selain itu juga telah diteliti kemungkinan penggunaan insektisida yang relatif
aman bagi konsumen untuk mengurangi serangan insek selama pengolahan jambal
roti. Jenis insektisida tersebut anatara lain adalah pyrimiphos-methyl (Actellic 50%)
dan alphacypermethrin (Fastac 1,5%). Perendaman ikan manyung dalam larutan
pyrimiphos-methyl 0,045 persen atau 0,03 persen selama 15 detik dan kemudian
ditiriskan sebelum dilakukan pengeringan mampu mencegah serangan larva lalat
selama pengeringan, dengan demikian dapat melindungi jambal roti dari kerusakan
selama pengolahan. Hal yang sama dijumpai pada pengolahan jambal roti dengan
merendam ikan manyung dalam larutan alphacypermethrin pada konsentrasi 0,006
persen atau 0,003 persen.

Perendaman ikan manyung dalam larutan pyrimiphos-methyl 0,06 persen atau


0,03 persen dan larutan alphacypermethrin 0,006 persen atau 0,003 persen akan
menghasilkan produk jambal roti yang terbebas dari kerusakan akibat serangan oleh
Dermestes selama 10 minggu penyimpanan. Residu rata – rata pyrimiphos-methyl
setelah pengolahan pada penggunaan 0,06 persen dan 0,03 persen masing-masing
adalah 9,8 mg/kg dan 4,6 mg/kg.

2.3. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi

Komposisi proksimat, kadar garam dan profil asam amino jambal roti dapat
dilihat pada Tabel 4. Kadar garam jambal roti relatif tinggi. Kadar garam yang tinggi
tersebut menjadi pembatas dalam mengkonsumsi jambal roti dan biasanya produk
tersebut dikonsumsi dalam jumlah sedikit karena rasanya yang asin. Dari profil asam
amino jambal roti dapat diperoleh informasi bahwa asam glutamat memiliki peran yang
penting di dalam pembentuk flavor dari produk jambal roti, disamping asam aspartat,
alanin, valin dan glisin.

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 31
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Tabel 4. Komposisi Proksimat, Kadar Garam dan Profil Asam Amino Jambal Roti
Jenis Analisis
Kadar air (% b.b.) *) 49,27 – 49,68
*)
Kadar protein (% b.b.) 54,17 – 61,86
Kadar lemak (% b.b.) *) 0,69 – 1,19
*)
Kadar abu (% b.b.) 34,93 – 38,80
Kadar garam (% b.b.) *) 7,38 – 8,53
**)
Asam amino (% b.b.)
- Asam aspartat 1,94
- Treonin 1,20
- Serin 0,79
- Asam glutamat 5,08
- Glisin 1,60
2,15
- Alanin
1,76
- Valin 1,16
- Metionin 1,56
- Isoleusin 1,72
- Leusin 0,69
- Tirosin 1,05
- Fenilalanin 0,81
- Histidin 1,74
- Lisin 0,83
- Arginin
Sumber : *) Nuraniekmah (1996)
**) Murtini (1995)

3. TERASI

Terasi adalah produk berupa pasta udang atau ikan fermentasi yang secara
tradisional doproduksi oleh pengolah di daerah sekitar pantai. Daerah penghasil terasi
terkenal di Indonesia adalah Bagan Siapi-api, Cirebon, Jember, Rembang dan Sidoarjo.
Produk mirip terasi dikonsumsi di beberapa negara Asia Tenggara yang umumnya
digunakan sebagai penyedap rasa bagi masakan yang menggunakan nasi. Produk-produk
semacam terasi tersebut adalah bagoong (Filipina), balachan (Malaysia), mam (Vietnam),
prahoc (Kamboja) dan ngapi (Myanmar) (Rahayu et al., 1992). Di Indonesia, terasi
merupakan produk ikan fermentasi yang sangat popular dan dikenal seantero wilayah
Indonesia dibandingkan dengan produk-produk ikan fermentasi lainnya. Dengan
demikian sebenarnya terasi memegang posisi penting di Indonesia, khususnya untuk
produk-produk ikan yang diolah secara tradisional.

Banyak orang menyukai terasi karena rasa dan baunya yang unik, terutama
untuk meningkatkan selera makan. Terasi biasanya mempunyai bau yang kuat dan dapat
disimpan untuk waktu yang lama, semakin lama disimpan semakin enak rasanya.
Biasanya terasi bersama – sama dengan cabai dan garam dipakai untuk pembuatan
http://www.bbrp2b.dkp.go.id 32
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
sambal yang dikonsumsi bersama-sama nasi dan ikan asin. Terasi yang bermutu baik
dipengaruhi oleh kesegaran bahan mentah yang digunakan, komposisi kimia dan nutrisi
bahan mentah, metoda pengolahan, mutu garam, ketersediaan mikroorganisma pada
bahan mentah, aktivitas enzim pada bahan mentah, penambahan karbohidrat,
ketersediaan oksigen, suhu, pH, lama fermentasi dan penanganan produk akhir (Rahayu
et al., 1992; Yunizal, 1998).

3.1. Bahan Mentah

Terasi biasanya diolah dari udang kecil (Stelophorus atau Engraulis sp.) atau
rebon (Schizopodes dan Mytis sp.). Terasi yang dibuat dari udang disebut terasi
udang dan yang dibuat dari ikan disebut terasi ikan. Untuk di Indonesia volume
produksi terasi udang lebih jauh tinggi dibandingkan dengan terasi ikan. Ikan yang
diolah menjadi terasi biasanya adalah ikan bermutu rendah yang tidak layak untuk
dijual segar atau ikan yang tidak cocok untuk menjadi ikan asin (Susilowati, 1989).
Walaupun terasi diolah dari ikan atau udang yang secara kualitas tidak layak untuk
konsumsi manusia, tetapi seharusnya bahan mentah yang digunakan harus diseleksi
terlebih dahulu berdasarkan mutu, karena mutu produk akhir sangat dipengaruhi oleh
mutu bahan mentah yang digunakan. Bahan mentah yang digunakan harus segar dan
bersih (Afrianto dan Linawati, 1989; Rahayu et al., 1992).

Terasi bermutu baik biasanya diolah dari rebon dan ikan teri tanpa adanya
penggunaan bahan tambahan sebagai pengisi (filler). Terasi bermutu rendah
biasanya diolah dari limbah ikan, ikan umpan, ikan rusak/busuk dan menggunakan
filler seperti tepung tapioka dan tepung beras (Rahayu et al., 1992). Di pulau Jawa
terdapat terasi yang disebut dengan terasi hitam yang dibuat dari ikan kembung laki
(Rastelliger kanagurta), terutama pada saat ikan tidak cukup segar untuk diasin atau
dibuat kecap ikan (Putro, 1993).

3.2. Teknologi Pengolahan

Metoda pengolahan yang diterapkan di Indonesia berbeda dengan yang


digunakan di Filipina dan Malaysia. Di Indonesia, pasta terasi tidak ditempatkan
pada suatu wadah, tetapi diekspos atau dipaparkan ke sinar mata hari dengan
meletakkannya pada alas anyaman bambu.

Van Veen (1965), Rahayu et al. (1992), Putro (1993) dan Winarno (1973)
memberikan gambaran prosedur pengolahan terasi seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 3. Bagi pembuatan terasi udang, udang segar hasil tangkapan pada saat di
atas kapal segera dicampur dengan garam sebanyak 10 persen. Ketika kapal
mendarat di tempat pendaratan ikan, garam sebanyak 5 persen ditambahkan lagi.
Setelah itu, udang dihamparkan di atas alas anyaman bambu atau lantai penjemuran
dan kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 1-3 hari, tergantung
keadaan cuaca. Selama pengeringan, kadar air udang akan menurun dari 80 menjadi
50 persen. Udang setengah kering yang diperoleh ditumbuk selama 15 – 20 menit,
http://www.bbrp2b.dkp.go.id 33
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari dan ditumbuk lagi menjadi pasta.
Pada tahap pengolahan ini pewarna sintetis seperti carthamine DD atau rhodamine B
sering ditambahkan sebagai pewarna. Pasta dicetak secara manual menjadi bentuk
silinder dan kadang-kadang dibungkus dengan daun pisang kering. Selanjutnya pasta
dibiarkan untuk proses fermentasi sampai bau spesifik terasi yang diinginkan
terbentuk. Proses fermentasi biasanya memakan waktu 1-4 minggu dengan suhu
optimum 20-30oC. Menurut Clucas dan Ward (1996), secara rata-rata rendemen
produk akhir terasi adalah 40 – 50% dari berat bahan mentah udang.

Udang Kecil/Rebon

Pencucian

Pengeringan Matahari (1-2 hari)

Penumbukan dan
Penambahan Garam

Pencetakan/Penggumpalan

Pengeringan dan Penumbukan

Pencetakan/Penggumpalan

Pembungkusan dengan daun pisang

Fermentasi (1-4 minggu)

TERASI

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 34
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Gambar 3. Proses Pengolahan Terasi

Terasi ikan diolah dari ikan berukuran kecil dengan metoda yang mirip
dengan pengolahan terasi udang. Pencampuran ikan dengan garam dilakukan di atas
kapal sesegera setelah ditangkap. Pada saat kedatangan di tempat pendaratan, ikan
dikeringkan sesegera mungkin dan ditambahkan garam kembali. Campuran ikan dan
garam terrsebut ditumbuk kembali sampai diperoleh pasta. Untuk menghasilkan
produk yang lebih menarik, pasta ditambahkan bahan pewarna sintetik.

Di pulau Jawa sering ditemukan bahwa terasi diolah dari udang yang telah
mendapat perlakuan pemasakan (pre-cooked). Udang segar atau yang telah dimasak
terlebih dahulu dicampur dengan garam sebanyak 15 persen kemudian dikeringkan
setengah kering selama 1 hari. Udang selanjutnya dilumatkan, dicampur dan
ditumbuk sampai merata, sehingga diperoleh pasta yang disebut dengan brabon.
Brabon dikeringkan dengan sinar matahari dan kemudian ditumbuk lagi sampai
diperoleh pasta halus yang homogen. Pada saat bersamaan tingkat rasa asin produk
diuji dan kadang-kadang garam harus ditambahkan untuk mendapatkan rasa yang
diinginkan dan kemudian dicampur sampai merata. Pasta yang diperoleh dicetak
dalam bentuk silinder dan selanjutnya dibiarkan untuk proses fermentasi sampai
aroma yang diinginkan diperoleh (Putro, 1993). Molejanto (1992) mendapatkan
bahwa beberapa pengolah menambahkan air selama penumbukan agar ketika tahap
pencetakan dalam bentuk silinder menjadi lebih mudah.

Moeljohardjo (1972) menyatakan bahwa pada umumnya terasi di pulau Jawa


dibuat dengan menggunakan bibit terasi yang diperoleh dari Bagan Siapi-api. Dalam
hal ini rebon kering atau ikan kering digiling bersama-sama dengan bibit terasi,
kemudian dibentuk menjadi bentuk silinder, dikeringkan dan dibungkus dengan daun
pisang. Perbandingan antara bibit terasi dan bahan lainnya tergantung pada mutu
terasi yang diinginkan untuk diproduksi. Semakin banyak bibit terasi yang
digunakan, semakin baik mutu terasi yang dihasilkan. Selama penggilingan, bumbu
ditambahkan untuk memperbaiki aroma terasi (Rahayu et al., 1992).

Yunizal (1998) mengemukakan tentang metoda pengolahan terasi dengan


menggunakan bahan pembantu tidak hanya garam, tetapi juga ditambahkan bahan
lainnya. Pada prinsipnya metoda pengolannya sama dengan pengolahan terasi yang
hanya menggunakan garam. Larutan garam yang ditambahkan pada penumbukan
kedua dicampur dengan gula merah dan asam jawa. Untuk 10 kg rebon segar, asam
jawa dan gula merah yang digunakan masing-masing 200g dan 250g.

Nilai pH awal dari campuran rebon, garam dan bahan lainnya adalah 6 dan
kemudian meningkat menjadi 6,5 selama fermentasi. Nilai pH akhir pasta adalah
4,5. Fermentasi lebih lanjut akan meningkatkan nilai pH akibat pembentukan
ammonia. Jika garam yang ditambahkan kurang dari 10 persen, proses fermentasi
pasta tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya, sehingga produk yang

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 35
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
dihasilkan tidak aman untuk dikonsumsi akibat ammonia yang terbentuk terlalu
banyak.

Pada proses fermentasi terasi, protein dihidrolisa menjadi derivatnya, seperti


asam-asam amino, pepida dan pepton. Fermentasi terjadi diakibatkan oleh aktivitas
mikroorganisma dan enzim (Winarno, 1973).

Terasi dapat pula dipasarkan dalam bentuk bubuk, sehingga lebih praktis di
dalam pemasarannya, khususnya jika diekspor. Terasi bubuk lebih mudah ditangani,
dikemas dan disimpan serta mempunyai daya simpan yang lebih baik. Pada dasarnya
metoda pengolahan terasi bubuk adalah sama dengan terasi biasa, tetapi setelah
fermentasi selesai terasi dijemur selama 1-2 hari tergantung cuaca. Terasi kering
kemudian digiling sampai lembut dan dikemas dalam botol atau kantung plastik
(Suparno dan Murtini, 1992).

Selain itu teknologi pembuatan terasi instan telah dikembangkan. Di dalam


pembuatannya, tahap pengolahan yang dilakukan adalah pengecilan ukuran terasi,
pra-pengeringan, pengeringan yang sekaligus sebagai pemasakan, penepungan,
pengayakan dan pengemasan. Pengecilan ukuran terasi dengan diiris tipis setebal
kurang lebih 3 mm dimaksudkan untuk mempercepat pengeringan dan mendapatkan
hasil pengeringann yang sempurna. Pra-pengeringan dilakukan dengan pengovenan
pada suhu 40 – 50oC selama 12 jam atau dijemur selama sehari. Tahap pengeringan
dan pemasakan disarankan dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 150oC
selama 30 menit. Pengeringan dan pemasakan juga dapat dilakukan dengan
menggorengnya menggunakan minyak sawit atau dioven pada suhu 100oC selama
1,5 jam. Produk hasil pengeringan dan pemasakan selanjutnya ditepungkan dan
diayak dengan ukuran 60 mesh. Bila diinginkan, selama penepungan dapat dicampur
dengan maltodekstrin yang dapat bertindak sebagai body dari tepung. Produk yang
dihasilkan dikemas menggunakan aluminium foil atau botol (Subagio, 2006).

3.3. Mikrobiologi Terasi

Bakteri halofilik anaerobik memiliki peranan yang penting selama


fermentasi (Moeljohardjo, 1972). Praptiningsih et al. (1988) berpendapat behwa
mikroorganisma yang diisolasi dari terasi adalah Micrococcus, Neisseria,
Aerococcus dan beberapa jenis kapang. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap terasi
yang dibeli di Bogor, Susilowati (1989) dan Rahayu et al. (1989) mendapatkan
bahwa bakteri yang diisolasi adalah Micrococcus, Corynebacterium,
Flavobacterium, Cytophaga, Bacillus, Halobacterium dan Acinobacter.

Budhyatni et al. (1982) menemukan bahwa selama tujuh hari fermentasi,


jumlah bakteri total dari terasi cenderung menurun, tetapi jumlah bakeri asam laktat
tetap konstan. Identifikasi bakteri terhadap terasi Binjai diperoleh Staphylococcus,
Bacillus dan Proteus serta kapang.

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 36
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
3.4. Komposisi Kimia dan Nutrisi Terasi

Komposisi kimia terasi udang bervariasi seperti dapat dilihat pada Tabel 5,
yaitu kadar air 30 – 50%, kadar protein 20 – 40%, kadar abu 10 – 40% dan kadar
garam 20,21 – 23%. Terasi yang diperoleh dari pengecer di Jakarta memiliki kadar
air dan kadar garam masing-masing sekitar 8,85 – 17,24% dan 33,04 – 44,08%
(Sarnianto et al., 1984).

Terasi bermutu baik harus mempunyai kadar air 30 – 40% dan kadar air
yang lebih rendah menyebabkan terasi memiliki lapisan kristal garam pada
permukaannya dan tekstur yang keras (Anonimous, 1979). Menurut Van Ven (1965)
terasi ikan mengandung 35-50% air, 20 – 45% protein dan produk-produk hasil
degradasi protein, 10 – 25% mineral (NaCl dan garam kalsium), dan sejumlah kecil
senyawa – senyawa lemak. Terasi juga memiliki kandungan vitamin B12 yang
tinggi.

Tabel 5. Komposisi Kimia Terasi Udang


Komposisi Terasi I*) Terasi II**) Terasi III***)
Kadar air (%) 40,0 34,76 30,0-50,0
Kadar protein (%) 30,0 23,37 20,0-40,0
Kadar lemak (%) 3,5 3,72 2,0-4,0
Kadar karbohidrat (%) 3,5 - 3,5-5,0
Kadar serat kasar (%) - 9,02 -
Kadar abu (%) - 14,08 10,0-40,0
Kadar Ca (mg/100g) 100 - -
Kadar P (mg/100g) 250 - -
Kadar Fe (mg/100g) 3,1 - -
Kadar garam (%) - 20,21 23,0
Sumber: *) Soedarmo dan Sediaoetama (1977)
**) Anonimous (1979)
***) Moeljohardjo (1972)

Asam amino non-esensial yang terdapat dalam jumlah yang tinggi pada terasi
adalah asam glutamat dan dari kelompok asam amino esensial adalah leusin (Tabel
6).

Soedarmo (1972) menyatakan bahwa terdapat 138 komponen volatile pada


terasi masak yang terdiri dari 16 hidrokarbon, 7 alkohol, 46 karbonil, 7 asam lemak,
3 ester, 34 senyawa nitrogen, 15 senyawa sulfur dan 10 senyawa lainnya. Asam
lemak volatil memberikan bau keasaman, sedangkan amonia dan senyawa amin
menghasilkan bau amoniak. Senyawa-senyawa sulfur seperti H2S, merkaptan, sulfit

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 37
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
dan bisulfit memberikan karakteristik bau terasi yang menusuk. Senyawa-senyawa
pirazin menghasilkan bau coklat yang enak. Senyawa-senyawa karbonil
berkontribusi terhadap bau khas ikan yang diawetkan melalui penggaraman atau
pengeringan yang diikuti dengan fermentasi mikrobiologi.

Kandungan histamin terasi yang diperoleh dari pengecer di sekitar Jakarta


adalah 1,20 – 24,22 mg% dan masih lebih rendah dari batas yang diperbolehkan
terdapat pada produk perikanan (Sarnianto et al., 1984).

Tabel 6. Profil asam amino terasi


Asam amino Kandungan (mg/16gN)
Asam amino esensial:
Isoleusin 4100
Leusin 6700
Lisin 6500
Sustein 1050
Fenilalanin 3500
Tirosin 3600
Threonin 3600
Triptofan 810
Valin 4500
Methionin 2400

Asam amino semiesensial:


Arginin 2600
Histidin 1200

Asam amino non-esensial:


Alanin 5700
Asam aspartat 8800
Asam glutamat 14400
Prolin 3400
Serin 2600
Ornitin 1350
Taurin 1500
Lisin terlarut 2070
Sumber: Moeljohardjo (1972)

4. KECAP IKAN

Kecap ikan adalah cairan yang diperoleh dari fermentasi ikan dengan garam
Kecap ikan dikenal dengan nama nam pla di Thailand, patis di Filipina, shottsuru di
Jepang dan nuớc mắm di Vietnam (Wikipedia Indonesia, 2008). Disamping itu kecap
ikan disebut dengan budu di Malaysia, ngapi di Burma, colombo-cure di Pakistan dan

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 38
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
India, yeesu di China dan aekjeot di Korea (Lopetcharat et al., 2001). Kecap ikan memiliki
ciri khas berupa cairan berwarna coklat jernih, aroma dan rasa spisifik serta mengandung
garam dan senyawa nitrogen terlarut yang tinggi (Basmal, 1992). Pada awalnya, kecap
ikan berkembang di daerah yang curah hujannya tinggi, sehingga tidak memungkinkan
untuk mengeringkan ikan dan tidak tersedia bahan bakar yang cukup untuk melakukan
pengeringan secara mekanis. Kecap ikan tidak diperuntukan sebagai sumber gizi, karena
kandungan garamnya tinggi yang sekaligus merupakan penghambat untuk
pengkonsumsian dalam jumlah besar. Produk kecap ikan mengandung protein yang telah
terhidrolisa dan mineral yang tinggi (Van Veen, 1965). Kecap ikan tidak begitu populer
di Indonesia kecuali di Kalimantan Barat (Mulyokusumo, 1974).

Tingkat produksi kecap ikan Indonesia tergolong sangat rendah. Nelayan


tidak begitu tertarik untuk memproduksi kecap ikan karena prosesnya sangat panjang,
bahkan dapat mencapai satu tahun. Selain itu kecap ikan harus diproses dalam skala
produksi yang besar yang dapat menjadikan sebagai faktor pembatas bagi pengolah yang
memiliki dukungan dana terbatas. Skala produksi yang besar diperlukahn agar usaha
pengolahan kecap ikan layak secara ekonomi sebagai kompensasi lamanya proses
produksi. Kecap kedele merupakan pesaing kuat bagi kecap ikan karena harganya yang
murah. Faktor-faktor tersebut mungkin menjadi kendala bagi pengembangan industri
kecap ikan di Indonesia.

4.1. Bahan Mentah

Kecap ikan dapat diolah dari ikan laut dan ikan air tawar. Biasanya kecap
ikan diolah dari teri (Stolephorus sp), terubuk (Clupea sp.), peperek (Leiagnatus sp.),
dan lampan (Puntius sp) (Rahayu et al., 1992). Jenis ikan lain yang juga telah
digunakan untuk pembuatan kecap ikan adalah ikan kembung (Rasteliger sp)
(Suparno dan Silowati, 1982), lemuru (Sardinella longiceps) (Putro, 1993), isi perut
ikan kakap merah (Lutjanus sp) (Murdinah, 1992) dan hasil samping tangkapan
udang (Subroto et al., 1985). Kecap telah pula diolah dari limbah air garam yang
digunakan untuk proses penggaraman pada pembuatan peda (Idawati, 1996). Kecap
ikan yang baik dapat diolah dari ikan teri (Moelyanto, 1992).

Ikan yang digunakan sebagai bahan mentah pengolahan kecap ikan dapat
dalam bentuk ikan utuh atau yang telah disiangi. Pengalaman memperlihatkan
bahwa mutu kecap ikan yang diolah dari ikan yang telah disiangi lebih baik
dibandingkan dengan yang diolah dari ikan utuh (Rahayu et al., 1992).

4.2. Teknologi Pengolahan

Kecap ikan secara tradisional diolah melalui proses fermentasi yang


memakan waktu 3 sampai 12 bulan. Alur proses pengolahan kecap ikan dapat dilihat
pada Gambar 4. Proses fermentasi dapat dipercepat dengan penggunaan enzim dan

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 39
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
asam anorganik untuk pembuatan hidrolisat ikan serta penggunaan bakteri proteolitik
tertentu yang telah diketahui aktivitasnya.

Ikan

Pencucian

Pelumatan

Penambahan garam sebanyak 25-


30% berat ikan dan dibiarkan untuk
proses fermentasi

Penyaringan

Pemasakan

Pembotolan

Kecap Ikan

Gambar 4. Alur Proses Pengolahan Kecap Ikan

Secara tradisional, fermentasi dilakukan dalam bak kayu, bak dari semen atau
wadah terbuat dari keramik yang pada bagian bawahnya mempunyai lubang berpenyaring
yang diberi tutup. Lubang digunakan untuk mengeluarkan kecap ikan setelah proses
fermentasi dianggap cukup. Di dalam pengolahan kecap ikan, pertama-tama ikan
dicampur dengan garam, dimana ikan dan garam disusun berlapis. Jumlah garam yang
digunakan dari lapisan bawah ke atas bertambah besar jumlahnya. Jumlah garam yang
ditaruh pada bagian bawah dan atas masing-masing sekitar 20 dan 30 persen dari berat
ikan. Garam ditaburkan pada permukaan bagian atas dari ikan dengan ketebalan sekitar
1-2 cm dan kemudian pada bagian atasnya diletakkan anyaman bambu dengan pemberat.
Setelah 4 – 6 bulan, pada wadah fermentasi diperoleh air garam yang mengandung

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 40
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
ekstrak ikan dan cairan tersebut sebenarnya merupakan kecap ikan. Kecap ikan diambil
melalui lubang pada bagian bawah dari bak/wadah fermentasi. Kecap ikan yang
dihasilkan berwarna coklat jernih dan diklasifikasikan sebagai mutu satu (Moelyanto,
1992).

Ikan yang belum hancur secara sempurna ditempatkan dalam wadah fermentasi
dan ditambah dengan garam. Campuran tersebut dibiarkan selama beberapa bulan untuk
proses fermentasi dan akan dihasilkan kecap mutu dua. Bagian sisa ikan yang belum
hancur ditambah lagi dengan garam dan kemudian difermentasi selama beberapa bulan.
Proses ini akan menghasilkan kecap ikan mutu tiga. Kecap ikan disimpan dalam wadah
keramik dan dijual dengan mengemasnya dalam botol. Limbah pengolahan kecap ikan
berupa sisik dan tulang dapat digunakan untuk pupuk dan pakan ternak.

Kecap ikan yang kental dapat diperoleh dengan menjemur kecap ikan setelah
proses fermentasi. Semakin lama penjemuran akan dihasilkan kecap ikan yang semakin
kental. Kecap ikan kental dapat disimpan selama bertahun-tahun tanpa menyebabkan
perubahan-perubahan terhadap mutu (Afrianto dan Liviawaty, 1989).

Idiyanti dan Arbianto (1986) mengamati perubahan penampakan kecap ikan


selama proses fermentasi dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7. Proses fermentasi
kecap ikan sebenarnya merupakan proses degradasi dan pelarutan daging ikan, dimana
rantai protein yang komplek terdekomposisi menjadi rantai protein yang lebih sederhana.
Flavor kecap ikan timbul sebagai hasil dari interaksi antara lemak, protein dan
karbohidrat pembentuk ester dan flavor.

Percepatan proses pengolahan kecap ikan telah dilakukan dengan menambahkan


enzim, seperti bromelin dan papain. Subroto et al. (1985) menggunakan jus buah nanas
sebagai sumber bromelin untuk pengolahan kecap ikan yang menggunakan ikan rucah
sebagai bahan mentah. Dengan proses ini, lama proses fermentasi dapat dikurangi hingga
cukup 3 hari saja. Tetapi, mutu kecap ikan yang dihasilkan lebih jelek dibandingkan
dengan mutu kecap ikan yang diolah melalui proses tradisional. Anonimous (1985a)
menggunakan ekstrak nanas muda (belum matang) untuk pengolahan kecap ikan dari
Sardinella sp. Jumlah ekstrak nanas yang digunakan adalah 6, 8 dan 10% (v/b) dengan
lama proses fermentasi 8, 10 dan 12 jam. Ternyata penambahan ekstrak bromelin sampai
12% tidak berpengaruh terhadap jumlah N terlarut. Semakin lama masa inkubasi,
semakin tinggi jumlah N terlarut, telapi kandungan N-amino semakin rendah. Dengan
membiarkan hidrolisat ikan pada suhu kamar akan mengakibatkan pertumbuhan
organisma yang tidak dikehendaki yang mungkin akan merusak senyawa peptida. Kecap
yang paling baik berdasarkan hasil penelitian ini dapat diproduksi dengan menggunakan
ekstrak nanas sebanyak 8% (V/b) dengan lama inkubasi 10 jam. Peneliti lain mengolah
kecap ikan dari Sardinella sp dengan menggunakan papain (crude) (Anonimous, 1983).
Tingkat penambahan papain adalah 0; 0,75; dan 1,5% dengan jumlah garam yang
ditambahkan 12,5 dan 25%. Ternyata dengan semakin banyak garam ditambahkan
menyebabkan penurunan tingkat degradasi protein. Meningkatnya jumlah papain yang
ditambahkan mengakibatkan nilai konversi nitrogen dan tingkat dekomposisi protein
larut air dalam cairan semakin tinggi. Tampaknya penambahan garam yang tinggi

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 41
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
menghambat aktivitas enzim. Sebaliknya pengurangan jumlah garam yang ditambahkan
mendorong pertumbuhan mikroorganisma dan menyebabkan terbentuknya bau tidak
dikehendaki pada produk. Peningkatan jumlah papain yang ditambahkan mendorong
terbentuknya senyawa-senyawa nitrogren, tetapi menghasilkan suatu bahan kental
sebagai akibat dari degradasi jaringan pengikat. Kecap bermutu baik dapat diperoleh
melalui proses dengan menggunakan garam 12,5% dan papain 1,5%.

Tabel 7. Penampakan kecap ikan selama fermentasi

Lama fermentasi (bulan) Penampakan kecap ikan


1–3 Cairan dengan serpihan kecil daging ikan, berwarna abu-abu

4-6 Cairan tanpa serpihan daging ikan, berwarna abu-abu


kecoklatan

7–9 Ada endapan, berwarna agak kecoklatan, keruh

lebih dari 9 bulan Setelah penyaringan diperoleh cairan berwarna kecoklart-


coklatan
Sumber: Idiyanti dan Arbianto (1986)

Menurut pengalaman Kumalaningsih (1986), pepsin dapat digunakan di dalam


pengolahan kecap ikan asalkan pH ikan dapat diturunkan sampai mencapai kondisi
optimal untuk aktivitas enzim, yaitu pH = 2. Jumlah garam sebanyak 15% dipandang
telah cukup untuk menciptakan kondisi optimum untuk mencegah pertumbuhan bakteri
pembusuk. Berdasarkan kandungan nitrogen – amino, penggunaan Micrrococcus sp. dan
Brevibacterium linens strain C pada pengolahan kecap ikan ternyata sangat menjanjikan.

Suparno dan Susilowati (1982) membuat kecap ikan dengan menerapkan


hidrolisis asam menggunakan HCl. Pada pembuatan kecap tersebut diketahui bahwa
dengan semakin banyak ikan yang digunakan pada campuran ikan dan asam akan
semakin baik kualitas kecap ikan yang dihasilkan. Selain itu semakin tinggi suhu
hidrolisis akan semakin baik kualitas kecap ikan yang dihasilkan. Karakteristik
organoleptik kecap ikan akan semakin baik dengan penambahan karamel 5%. Mutu
kecap ikan secara keseluruhan yang dibuat dengan hidrolisis asam sebanding dengan
kecap ikan yang diolah dengan metoda tradisional. Akan tetapi, daya simpan kecap ikan
tersebut sangat jelek, oleh karena itu diperlukan perbaikan-perbaikan terhadap metoda
pengolahan dan pengawetan.

4.3. Mikrobiologi Kecap Ikan

Jumlah bakteri total kecap ikan menurun selama proses fermentasi. Aktivitas
bakteri mungkin telah mengakibatkan penurunan nilai pH kecap ikan yang akhirnya

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 42
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
mempengaruhi pertumbuhan bakteri (Idiyanti dan Arbianto, 1986). Bakteri tersebut
terdiri dari berbagai tipe bakteri halofilik (Saisithi et al., 1966). Bakteri yang diisolasi
dari kecap ikan adalah gram positif, non-motil koki, anaerobik fakultatif dan
memfermentasi glukosa (Lopetcharat et al., 2001).

Idawati (1996) mengisolasi bakteri asam laktat dari kecap ikan yang dibuat
melalui proses fermentasi menggunakan larutan garam dari proses fermentasi ikan peda.
Bakteri yang berhasil diidentifikasi adalah Lactobacillus sp. homofermentatif,
Pediococcus sp. dan Streptococcus sp dari kelompok enterococci. Pediococcus sp
merupakan bakteri yang dominan pada awal proses fermentasi. Idiyanti dan Arbianto
(1986) mendapatkan bakteri halofilik Bacillus sp dan Flavobacterium sp pada fermentasi
kecap ikan dan Bacillus sp lebih dominan dibandingkan bakteri lainnya pada fermentasi
lanjut.

Dari isolasi pada kecap ikan lemuru (Sardinella sp) selama proses fermentasi pada
suhu 30oC diperoleh lima bakteri proteolitik yang sangat kuat, yaitu Micrococcus sp
strain A, Brevibacterium linens strain B, Brevibacterium linens strain C, Micrococcus
varians dan Arthrobacter sp. Pengamatan terhadap aktivitas endopeptidase menunjukkan
bahwa aktivitas tertinggi terjadi pada media yang ditambah garam 15%. Micrococcus sp,
Brevibacterium linens strain C dan M. varians menunjukkan tingkat aktivitas
endopeptidase yang sama dan aktivitas paling rendah ditunjukkan oleh B. linens strain B.
Aktivitas aminopeptidase bateri tersebut juga tercapai pada media dengan kadar garam
15%. Aktivitas aminopeptidase tertinggi dan terrendah masing-masing ditunjukkan oleh
Brevibacterium linens strain C dan Brevibacterium linens strain B. Sedangkan
berdasarkan N-amino yang dihasilkan, Micrococcus dan Brevibacterium linens strain C
dipandang sebagai bakteri yang menunjukkan peran penting dalam pengolahan kecap
ikan (Anonimous 1985a, 1985b).

Pada produk kecap ikan Thailand nam pla total koloni bakteri menurun selama
proses fermentasi. Bacillus, Coryneform, Streptococcus, Micrococcus dan
Staphylococcus diisolasi dari nam pla yang difermentasi selama 9 bulan. Bacillus
memproduksi asam volatile dan Staphylococcus strain 109 memproduksi asam tersebut
sebanyak dua kalinya. Bakteri yang sangat halofilik, yaitu Archaeobacterium strain ORE
juga diisolasi dari nam pla. Dengan menggunakan polar liquid analysis dan teknik
hibridisasi DNA berhasil diidentifikasi Halobacterium salinarium dari nam pla
(Lopetcharat et al., 2001). Menurut Saisithi et al. (1966), Pediococcus halophilus merupakan
bakteri yang berperan penting terhadap terbentuknya flavor spesifik dari nam pla.

Mikroflora yang diisolasi dari tahap akhir fermentasi kecap ikan Korea aekjeot
dengan bahan mentah ikan teri adalah Bacillus cereus var. I dan II, B. meganterium var.
II, B. punilis, Clostridium setiens, Pseudomonas halophilus dan Serratia marcescens.
Pada penelitian lain diisolasi 11 mikroorganisma berbeda dari aekjeot, dan mereka
merupakan halofilik aerobik dan anaerobik. Mikroorganisma tersebut tumbuh cepat
sampai mencapai tingkat maksimumnya, tetapi kemudian menurun dengan cepat dan
hilang. Pseudomonas dan Halobacterium berkembang baik pada tahap awal. TPC (total

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 43
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
plate count), Pediococcus dan Sarcina adalah dominan selama 40 – 50 hari fermentasi
dan kemudian menurun (Lopetcharat et al., 2001).

4.4. Komposisi Kimia dan Nutrisi Kecap Ikan

Komposisi kimia kecap ikan komersial bervariasi seperti dapat dilihat pada Tabel
8. Dua sampel kecap ikan yang dibeli dari pasar memiliki kandungan garam yang sangat
berbeda, yaitu masing-masing 21,16% dan 11,60%. Komposisi proksimat kecap ikan
adalah kadar air 66,67 – 76,89%, kadar protein 10,17 – 10,51%, kadar lemak 0,50 – 0,70,
kadar karbohidrat 0,30 – 1,50% dan kadar abu 21,95 – 23,50%.

Tabel 8. Komposisi Kimia Kecap Ikan


Parameter Kecap Ikan A Kecap Ikan B
Kadar air (%) 66,67 76,89
Kadar abu (%) 23,5 21,95
Kadar garam (%) 21,16 11,60
Kadar protein (%) 10,17 10,51
Kadar lemak (%) 0,50 0,70
Kadar karbohidrat (%) 1,50 0,30
Sumber: Poernomo et al. (1984)

Murdinah (1993) membuat kecap ikan dengan memanfaatkan limbah pengolahan


filet kakap merah. Asam glutamat, alanin, histidin dan asam aspartat tampaknya
merupakan asam amino yang berperan penting di dalam pembentukan flavor kecap ikan
yang dibuat dari isi perut kakap merah yang di dalam pengolahannya dipercepat dengan
menggunakan papain (Tabel 9).

Tabel 9. Profil asam amino kecap ikan dari isi perut kakap merah
Asam amino Kadar (%)
Isoleusin 0,1
Lisin 0,1
Fenilalanin 0,2
Treonin 0,1
Valin 0,2
Metionin 0,1
Arginin 0,1
Histidin 0,6
Alanin 0,9
Asam aspartat 0,5
Asam glutamat 1,0
Serin 0,1
Glisin 0,2

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 44
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Sumber Murdinah (1993)

Upaya – upaya untuk mengidentifikasi senyawa – senyawa flavor pada produk


kecap ikan telah dilakukan. Senyawa – senyawa flavor yang diidentifikasi dari kecap
ikan Thailand nam pla adalah asam glutamat, histidin, alanin, leusin, fenilalanin, prolin,
glukosamin, histamin, glutamin dan trimetilamin (Saisithi et al., 1966). McIver et al.
(1982) mengidentifikasi 8 jenis asam, 10 alkohol, 6 amins, 7 senyawa mengandung
nitrogen lainnya, 4 lakton, 3 karbonil dan 5 senyawa mengandung sulfur pada flavor yang
diisolasi dari kecap ikan Nam-pla. Senyawa – senyawa yang diidentifikasi pada kecap
ikan Korea aekjeot adalah asam glutamat, lisin, leusin, isoleusin dan alanin (Lee, 1968).
Beddows et al. (1979) mengidentifikasi adanya amonia dan trimetilamin pada 28 hari
pertama pengolahan budu dan juga mengidentifikasi adanya asam – asam lemak volatil,
yaitu asam etanoat, asam propanoat dan asam butanoat.

Di dalam review-nya, Lopetcharat et al. (2001) menyatakan bahwa senyawa


yang berkontribusi terhadap rasa kecap ikan asam amino (asam glutamat dan asam
aspartat), peptida, nukleotida dan asam organik (asam suksinat). Terdapat tiga faktor
utama yang berkontribusi terhadap aroma kecap ikan yaitu senyawa – senyawa yang
memberikan bau amonia (ammonical note), keju (cheesy note) dan daging (meaty note).
Senyawa-senyawa yang memberi kesan bau amonia adalah amonia, amin dan
trimethilamin yang tidak tergantung pada aktivitas mikroba. Senyawa – senyawa yang
memberi kesan bau keju adalah asam lemak volatile berberat molekul rendah yang
dihasilkan oleh mikroorganisma yang menggunakan asam amino sebagai substrat, seperti
asam asetat, ethanolat, propionat, n-butirat dan asam-asam isoelektrik.. Sedangkan
senyawa – senyawa yang memberi kesan bau daging dihasilkan oleh proses oksidasi.

Kandungan histamin kecap ikan komersial dari analisis yang pernah dilakukan
adalah 14,41 – 22,62 mg% dan nilai tersebut jauh lebih rendah dari batas yang diijinkan,
yaitu 50 mg% (Sarnianto et al., 1984).

5. IKAN TUKAI

Ikan tukai adalah produk fermentasi ikan berasal dari Painan, Sumatera Barat.
Metoda pengolahan ikan tukai mirip dengan ikan peda, tetapi cara fermentasi yang
diterapkan berbeda. Ikan tukai difermentasi dengan cara memendamnya di dalam tanah,
tetapi ikan peda dengan cara menempatkannya pada suatu wadah. Ikan tukai biasanya
dikonsumsi oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Ikan tukai juga
dikenal dengan nama lauak tukai atau ikan sambal lado.

Ikan tukai dikonsumsi dengan memanggangnya cukup matang sampai rasa dan
aroma spesifik ikan tukai diperoleh. Ikan tukai yang telah dipanggang dicampur dengan
cabai dan dimakan dengan nasi.

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 45
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
5.1. Bahan Mentah

Ikan tukai biasanya diolah dari beberapa jenis ikan pelagis sebagai bahan mentah,
terutama ikan alu-alu (Sphyraena barracuda).

5.2. Teknologi Pengolahan

Metoda pengolahan ikan tukai seperti yang diuraikan oleh Putri (1989) dapat
dilihat pada Gambar 6.

Ikan Segar

Pencucian

Perendaman Dalam Larutan Garam 20% Selama 2 jam

Dijemur 10 jam

Diperam Dalam Tanah Selama 48 – 72 jam

Dijemur Sampai Kering

Ikan Tukai

Gambar 6. Proses Pengolahan Ikan Tukai

Pertama-tama ikan dicuci dan direndam dalam larutan garam 20% selama dua
jam. Setelah itu ikan ditiriskan dan dijemur selama 10 jam. Ikan setengah kering disusun
dalam lubang di bawah tanah dan ditutup dengan tanah untuk proses fermentasi. Ukuran
lubang adalah 60x60x60 Cm3 untuk setiap kilogram ikan. Lubang dilapisi dengan
lembaran plastik berwarna hitam. Setelah proses pemeraman selama 2-3 hari, ikan
dijemur sampai kering. Effendi (1992) menginformasikan bahwa biasanya bagian bawah

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 46
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
dialasi dengan daun talas dan antara lapisan ikan diberi pembatas dengan daun
kedondong. Suhu fermentasi pada lubang di bawah tanah adalah sekitar 27 – 30oC.

Pada pembuatan ikan tukai di laboratorium yang dilakukan oleh Effendi (1995),
ikan pertama-tama dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50oC selama 10 jam.
Setelah pengeringan, ikan setengah kering dibungkus daun talas. Untuk proses
fermentasi, ikan yang telah dibungkus daun talas ditempatkan pada oven vakum dengan
suhu 30oC dan tekanan vakum 76 cmHg selama 40 jam. Pengeringan kedua dilakukan
dalam oven pada suhu 35oC selama 20 jam.

Kandungan nitrogen amino pada ikan meningkat selama proses fertmentasi, yaitu
dari 17,12 g% menjadi 23,35% setelah 40 jam fermentasi yang menunjukkan semakin
banyak asam amino bebas terbentuk akibat hidrolisis protein selama fermentasi.
Kandungan total senyawa volatil ikan meningkat selama proses fermentasi tersebut
(Effendi, 1995).

5.3. Mikrobiologi Ikan Tukai

Jumlah total bakteri ikan tukai dapat dilihat pada Tabel 10. Jumlah total bakteri
paling tinggi ditunjukkan pada penggunaan nutrien agar yang ditambah dengan garam
sebanyak 5%. Dengan demikian bakteri pada ikan tukai dapat hidup dengan baik pada
media yang ditambah dengan garam sebanyak 5% dan dapat dikelompokkan sebagai
bakteri halofilik ringan. Jumlah bakteri Staphylococcus yang ditemukan jauh lebih
rendah dari jumlah yang disyaratkan untuk mampu memproduksi enterotoksin sampai
jumlah yang dapat terdeteksi. Keberadaan bakteri penghasil histamin pada tingkat
jumlah yang harus diperhitungkan menunjukkan bahwa ikan tukai memiliki potensial
dapat menyebabkan keracunan histamin (Effendi, 1995).

Tabel 10. Bakteri pada ikan tukai


Media Jumlah Total
(koloni)
Jumlah total bakteri (Angka Lempeng Nutrient Agar 5,6 x 103
Total) Nutrient Agar+garam 5% 4,1 x 104
Nutrient Agar+garam 15% 0,22 x 102
Jumlah total coliform VRBGA 0,23 x 102
Jumlah total Staphylococcus Baird-Parker Agar 3,9 x 102
Jumlah total bakteri penghasil histamin Niven’s Agar 2,4 x 102
Jumlah total bakteri asam laktat MRS Agar 3,3 x 102
Sumber: Effendi (1995)

Effendi (1992, 1995) mengidentifikasi bahwa dari 105 isolat yang diperoleh dari
ikan tukai terdapat 11 kelompok bakteri (Tabel 11). Bakteri yang dominan adalah
Pediococcus sp (19,0%), Lactobacillus sp (15,2%), Micrococcus sp. (14,3%),

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 47
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Pseudomonas sp (12,8%), dan Stretococcus sp (11,4%). Kelompok bakteri tersebut
mampu tumbuh dengan baik pada media yang ditambah dengan garam 5%. Bakteri-
bakteri tersebut diduga berperan penting dalam proses fermentasi ikan tukai.

Tabel 11. Bakteri yang diisolasi dari ikan tukai


Bakteri Persentase
Micrococcus sp 14,3
Staphylococcus sp 6,7
Streptococcus sp 11,4
Pediococcus sp 19,0
Bacillus sp 2,8
Lactobacillus sp 15,2
Corynebacterium sp 4,8
Vibrio sp 3,8
Pseudomonas sp 12,8
Clostridium sp 3,8
Escherichia coli 5,8
Sumber: Effendi (1992, 1995)

5.4. Komposisi Kimia dan Nutrisi Ikan Tukai

Karakteristik kimia ikan tukai dapat dilihat pada Tabel 12. Rata – rata kadar air
ikan tukai adalah 51,01%, sedangkan kadar garamnya adalah 5,05%. Kadar air yang
tinggi dan kadar garam yang relatif rendah merupakan kondisi yang baik untuk hidup
bakteri halofilik ringan. Nilai rata – rata pH ikan tukai mendekati netral, yaitu 6,93.

Tabel 12. Karakteristik kimia ikan tukai


Paramter Contoh produk Rata - rata
I II III
Kadar air (%) 50,79 49,21 53,02 51,01
Kadar garam (%) 4,92 6,13 4,09 5,04
PH 6,77 6,97 7,06 6,93
TVN (mg/100g) 114,88 112,39 112,38 113,22
VRS (meq/g) 62,83 31,95 28,13 40,97
Sumber: Effendi (1992, 1995)

6. BEKASANG

Bekasang adalah produk yang diolah dari isi perut ikan cakalang dan berbentuk
semi-padat. Produk ini dapat ditemukan di Indonesia bagian timur, khususnya Sulawesi
Utara dan kepulauan Maluku. Bekasang digunakan untuk penyedap masakan seperti

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 48
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
halnya kecap ikan dan terasi. Bekasang memiliki rasa dan aroma spesifik yang dapat
langsung dikonsumsi tanpa memasaknya terlebih dahulu (Sumanti, 1988).

Bekasang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pemanfaatan limbah,


khususnya isi perut sebagai hasil kegiatan industri perikanan. Metoda pengolahan
bekasang mudah dan biaya produksinya rendah sehingga dapat diadopsi oleh nelayan
untuk kegiatan industri skala kecil atau skala rumah tangga. Pengolahan bekasang
menghasilkan produk tanpa limbah organik (Setiabudi et al., 1985).

6.1. Bahan Mentah

Isi perut cakalang adalah bahan mentah utama yang digunakan untuk produksi
bekasang. Limbah isi perut dapat diperoleh dari pengolahan cakalang asap (cakalang
asar/cakalang fufu) dan ikan kayu. Proporsi isi perut ikan adalah 5,73% dari ikan
(Subroto et al., 1985). Komposisi kimia isi perut cakalang adalah 36-57% protein, 5 –
37% lemak, 24 – 60% air dan 0,05 – 2,4% serat kasar. Isi perut ikan adalah sumber dari
protease, terutama pada bagian pyloric caeca dan usus halus (Sukarsa, 1978).

6.2. Metoda Pengolahan

Di dalam pengolahan bekasang, pertama-tama isi perut cakalang dicuci bersih


untuk menghilangkan kotoran dan darah. Setelah ditiriskan, isi perut dicampur dengan
garam sebanyak 10% dari beratnya. Campuran tersebut diperam selama 10 hari untuk
memberi kesempatan berlangsungnya proses fermentasi. Pada akhir proses fermentasi,
isi perut cakalang telah hancur dan berbentuk cairan yang kental. Produk cair yang
kental tersebut selanjutnya direbus selama 15 menit (Subroto, 1985). Pengolah
tradisional menggunakan garam sebanyak 12,5% dari berat isi perut ikan pada tahap
pencampuran garam dan isi perut.

Perbaikan proses pengolahan bekasang telah dilakukan dengan homogenisasi


campuran isi perut cakalang dan garam dengan waring blender sebelum proses
fermentasi. Secara organoleptik, bekasang yang diperoleh lebih disukai dibandingkan
dengan yang diolah secara tradisional. Nilai pH dan kadar TVB bekasang dengan
perlakuan homogenisasi lebih rendah dibandingkan bekasang yang tanpa homogenisasi.
Sebaliknya kandungan NPN (non-protein nitrogen) yang diolah melalui homogenisasi
lebih tinggi dibandingkan dengan bekasang tanpa perlakuan homogenisasi (Subroto,
1985).

Pada riset optimasi jumlah garam yang digunakan pada pengolahan bekasang,
Setiabudhi et al. (1985) memperoleh bahwa bekasang mutu terbaik diolah dengan
menggunakan garam sebanyak 20%. Secara organoleptik terdapat kecenderungan bahwa
dengan semakin banyak garam yang digunakan semakin baik mutu bekasang yang
dihasilkan. Jumlah garam yang digunakan mempengaruhi nilai pH, kandungan TVB,
kandungan NPN dan jumlah total bakteri bekasang. Semakin tinggi garam yang

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 49
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
digunakan menghasilkan bekasang dengan nilai pH, kandungan TVB dan kandungan
NPN yang lebih rendah.

Isi Perut Cakalang

Pencucian

Penirisan

Penambahan Garam dan Pengadukan


Sampai Merata

Fermentasi (Suhu Kamar Selama 10 hari

Perebusan Selama 15 Menit

Penyaringan

BEKASANG

Gambar 6. Proses Pengolahan Bekasang

Pada pengamatan perubahan selama proses fermentasi 30 hari untuk produk


bekasang yang dibeli dari pengolah tradisional diperoleh bahwa pada fermentasi hari ke
30 kandungan TMA bekasang masih di bawah 15 mgN%. Kandungan TVB meningkat
dari 67,68 mgN% pada hari pertama fermentasi menjadi 224,29 mgN% pada akhir
fermentasi. Perubahan karakteristik sensori ditemukan secara nyata pada hari keenam
fermentasi, rasa sedap mulai terdeteksi bersamaan dengan pelepasan cairan isi perut ikan.
Ukuran isi perut ikan mengerut dan cairan yang dihasilkan menjadi lebih encer. Warna
produk adalah merah kecoklatan yang merupakan warna asli dari bahan mentah. Bau
bekasang menjadi lebih dapat diterima pada fermentasi hari ke 30. Bau yang dominan
pada fermentasi hari ke 30 adalah sedap dan manis. Pada fermentasi lebih dari 30 hari,

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 50
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
bau produk menjadi kurang dapat diterima. Tampaknya lama fermentasi 30 hari
merupakan waktu yang optimum bagi bekasang.

6.3. Mikrobiologi Bekasang

Jumlah total bakteri bekasang meningkat selama 10 hari proses fermentasi, yaitu
dari 4,6 x 103 cfu/g menjadi 1,1 x 108 cfu/g (Subroto et al., 1985). Tetapi pada
pengamatan lain menunjukkan adanya penurunan dari 4,90 x 106 cfu/g menjadi 1,77 x 105
(pada pengamatan anaerobik) dan 1,25 x 105 cfu/g (pada pengamatan aerobik) (Chasanah
et al., 1994). Jumlah garam yang digunakan berpengaruh terhadap jumlah total bakteri,
yaitu dengan semakin banyak garam yang digunakan semakin rendah jumlah total bakteri
bekasang (Setiabudi et al., 1985).

Bakteri yang ditemukan pada bekasang terutama adalah berbentuk bulat, gram
positif, non-motil, aerobik atau anaerobik fakultatif, katalase positif, penghidrolisis
protein dan bukan penghasil H2S. Bakteri tersebut mereduksi nitrat menjadi nitrit dan
memfermentasi glukosa dan sukrosa menjadi asam. Menurut karakteristik tersebut,
bakteri yang terdapat pada bekasang dapat dikelompokkan sebagai bakteri mesofilik
dengan rentang pH pertumbuhan dari netral sampai alkali. Bakteri memiliki respon yang
beragam terhadap garam, tetapi sebagian besar merupakan bakteri halotoleran moderat.
Menurut hasil pengamatan morfologi dan fisiologi, bakteri yang diisolasi dari bekasang
adalah Staphylococcus sp., Micrococcus sp., Bacillus sp. dan Corynebacterium sp.
(Sumanti, 1988).

6.4. Kimia dan Nutrisi Bekasang

Komposisi kimia dan nutrisi bekasang sangat bervariasi. Kandungan protein dan
garam bekasang yang diolah secara tradisional menurut hasil penelitian Chasanah et al.
(1994) masing-masing adalah 12,80% dan 6,69% (Tabel 13). Sedangkan hasil analisis
Subroto et al. (1985) menunjukkan bahwa kandungan protein bekasang yang dibeli di
pasaran dan bekasang hasil penelitian masing-masing adalah 22,37% dan 36,52-37,95%.

Tabel 13. Komposisi proksimat dan kadar garam bekasang dan bahan mentahnya
Parameter Bahan Mentah Bekasang
Kadar air (%) 78,00 73,14
Kadar protein (%) 14,20 12,80
Kadar lemak (%) 4,92 2,60
Kadar abu (%) 1,02 8.80
Kadar garam (%) 6,69
Sumber: Chasanah et al. (1994)

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 51
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan
Walaupun bekasang diolah dari limbah, khususnya isi perut ikan cakalang, tetapi
produk ini mengandung hampir semua asam amino esensial, seperti arginin, histidin,
isoleusin dan lisin (Tabel 14).

Tabel 14. Profil asam amino bekasang


Asam Amino Kandar (%)
Alanin 0,05
Arginin 0,23
Asam aspartat 0,14
Sistein -
Asam glutamat -
Glisin 0,005
Histidin 0,12
Isoleusin 0,10
Lisin 0,18
Metionin 0,06
Fenilalanin 0,09
Prolin -
Serin 0,07
Treonin 0,004
Tirosin 0,005
Triptofan -
Valin 0,09
Glutamin 0,04
Sumber: dimodifikasi dari Chasanah et al. (1994)

http://www.bbrp2b.dkp.go.id 52
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

You might also like