You are on page 1of 13

Hak-Hak

Minoritas

Sebuah Deklarasi
Prinsip-Prinsip Demokrasi Liberal
Mengenai
Minoritas Etnokultur dan Nasional
serta Suku Asli
MUKADIMAH

MENGINGAT bahwa desakan globalisasi dan berakhirnya perang dingin telah menimbulkan
keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan mempertahankan identitas unik masyarakat
etnokultur, minoritas nasional dan suku asli

DAN
Mengingat bahwa pengakuan, perlindungan dan peningkatan hak-hak minoritas semacam itu
berdasar pada hak-hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara internasional serta dibentuknya
berbagai institusi pemerintahan demokratis liberal untuk menerapkan hak-hak semacam itu

DAN
Mengingat bahwa negara-ngara yang mendasarkan kerangka kerja konstitusional, hukum dan
pemerintahan pada ditekannya hak-hak minoritas dan pada dominasi etnis telah menjadi sumber
penyalahgunaan hak-hak asasi manusia, mengalirnya pelarian, ketidakamanan regional dan global,

KAMI, anggota suku asli ___________, minoritas nasioanl dan etnokultur dari _______
negara,
• berkumpul di ___________, Jerman, pada bulan September tahun 2000
• menimbang situasi yang dialami dan masalah yang dihadapi minoritas di seluruh penjuru
dunia
• menyadari adanya berbagai pendekatan untuk menyelesaikan berbagai masalah ini, dan
bersikap terbuka terhadap perdebatan di kalangan pendukung berbagai penyelesaian yang
berbeda
• namun berkeyakinan bahwa toleransi dan rasa hormat terhadap hak-hak dasar dan
kemerdekaan semua manusia sangat diperlukan sebagai penyelesaian yang manapun juga
telah mengadopsi Deklarasi berikut ini. Berbagai usul yang diajukan di dalamnya merupakan
hasil dari sudut pandang liberal, dengan kebebasan individual sebagai titik awal dan sebagai
sumber segala hak yang didalilkan di dalam Deklarasi ini. Kami mengundang semua orang
yang mempunyai komitmen terhadap pembenaran atas hak-hak minoritas untuk bergabung
dengan kami untuk mendiskusikan prinsip-prinsip ini dan, terutama, dalam
mentransformasikannya menjadi kenyataan.

I. DEMOKRASI LIBERAL DAN HAK-HAK MINORITAS

KEBEBASAN BERARTI KEANEKARAGAMAN. Keseragaman dalam masyarakat manusia


tidak pernah tercapai tanpa kekerasan, dan tidak akan mungkin tercapai tanpa kekerasan.

Kenyataan yang sederhana ini tidak pernah lebih jelas, dan lebih relevan, daripada dengan
rakyat dan negara-negara yang terdapat dalam masyarakat dunia saat ini. Tidak ada di antara
mereka yang homogen dilihat dari etnis, kultur maupun agamanya. Mereka semua terdiri dari
minoritas berbagai jenis, dan hubungan antara mayoritas dan minoritas menjadi ukuran dengan
apa kadar kemerdekaan dapat dan harus diukur di masing-masing mereka itu.

Dengan alasan ini, hak-hak minoritas merupakan hal terpenting bagi mereka yang menghargai
kebebasan manusia. Tidak ada masyarakat dan tidak ada negara yang dapat disebut demokrasi
liberal apabila tidak mengakui, menerapkan dan menghargai hak-hak minoritas.

Dalam menentukan apa saja hak-hak ini, Deklarasi ini bertitik tolak dari kenyataan yang kita
temukan menjelang milenium ketiga. Masyarakat dunia terorganisir dalam negara-negara, yang
mayoritasnya merupakan negara kebangsaan yang membentuk unit-unit dasar serta para

2
pemeran utama dalam sistem internasional. Mereka, dengan alasan kepraktisan, merupakan
satu-satunya sumber hukum dan peraturan yang mengatur hubungan antara mayoritas dan
minoritas di dalam batas mereka, dan satu-satunya sumber berbagai kovenan internasional yang
telah, dan yang diharapkan akan disetujui untuk penerapan hak-hak minoritas di seluruh dunia.

Ada kecenderungan umum pada negara-negara modern untuk menetapkan suatu identitas
“nasional”, kultur “nasional” dan sebagainya, dan dengan demikian juga merasakan adanya
“kebutuhan” akan institusi serta solusi “nasional”. Seringkali kecenderungan ini mengakibatkan
ketidakpedulian terhadap, atau sikap memandang rendah terhadap keragaman etnis, budaya atau
agama yang ada di dalam batas-batas suatu negara kebangsaan. Dengan demikian, negara
kebangsaan cenderung untuk menjadi “nationalising” states (negara yang “menasionalisasi”),
dengan mengasumsikan keseragaman yang tidak sebetulnya tidak pernah ada, dan seringkali
menyalahgunakan kemampuan alat-alat negara untuk melakukan kekerasan dalam memaksakan
keseragaman semacam itu.

Demokrasi liberal, sebaliknya, menekankan hak-hak dan kemerdekaan warganegara individual.


Hal ini disebabkan kenyataan bahwa hak-hak dan kemerdekaan ini meliputi hak untuk secara
bebas berkumpul dengan yang lain, sehingga hak-hak dan kebebasan ini juga memiliki suatu
dimensi yang terkait dengan kelompok. Menjadi bagian dari suatu komunitas berdasarkan
budaya, linguistik atau agama yang serupa merupakan faktor identitas yang penting bagi
kebanyakan orang, dan di mana mereka secara bebas dan sukarela berkumpul dengan basis ini,
tidak ada perundang-undangan pemerintah dan negara – dan tidak ada mayoritas, sebesar apapun
– boleh meniadakan hak kelompok-kelompok semacam ini untuk berbeda dalam batas-batas hak-
hak asasi manusia yang diterima dunia internasional.

Jelaslah bahwa kebutuhan untuk melindungi hak-hak semacam itu secara langsung berhubungan
dengan tingkat campur tangan pemerintah dalam masyarakat sipil. Semakin rendah tingkat
campur tangan, semakin rendah kadar mengaturnya – singkatnya: semakin terbatas ruang gerak
pemerintah dalam kasus tersebut, semakin leluasa minoritas mengurus kepentingannya sendiri.
Prinsip subsidiarity (pelimpahan wewenang) yang menstipulir bahwa berbagai keputusan harus
selalu dibuat paling tinggi pada tingkat lokal yang paling mungkin, dan lebih disukai pada tingkat
masyarakat sipil, akan selalu memberi petunjuk yang dapat diandalkan untuk melindungi
kepentingan minoritas yang sah dan juga kepentingan mayoritas yang sah. Konsep liberal klasik
dari pemerintahan yang terbatas dan sangat subsidiary dapat dilihat sebagai elemen yang tidak
sepele dalam perlindungan minoritas. Sementara dapat diperdebatkan bahwa dalam masyarakat
yang liberal secara ideal, ditandai dengan rendahnya intervensi pemerintah, memberlakukan hak-
hak asasi manusia dan pemerintahan berdasarkan hukum merupakan hal yang nyaris dapat
menjamin dilindunginya minoritas, namun harus disadari bahwa nyaris di mana-mana, kenyataan
yang ada saat ini sangat jauh berbeda dari yang ideal ini: negara-negara modern sangat aktif
melakukan intervensi, dengan setumpuk peraturan, dan dengan demikian cenderung berpihak ke
keseragaman. Selama situasi ini bertahan, tindakan-tindakan khusus untuk mengamankan hak-hak
minoritas sangat diperlukan.

Ketika tindakan-tindakan semacam itu dibahas, perlu dipahami bahwa fungsi tindakan-tindakan itu
akan selalu bersifat tambahan terhadap dasar-dasar setiap masyarakat yang merdeka: pemerintahan
berdasarkan hukum dan hak-hak asasi manusia yang klasik dan individual. Apabila hal ini tidak
ditegakkan dengan tegas dan terpercaya, maka setiap usaha mengamankan hak-hak minoritas akan
sia-sia saja.

Ketetapan yang diperlukan sebagai tambahan terhadap persyaratan dasar hak-hak asasi manusia
yang klasik serta pemerintahan berdasarkan hukum merupakan subyek Deklarasi saat ini. Dalam

3
menentukan apa saja ketetapan-ketetapan ini, kita mulai dari dua set dasar pemikiran:

Dalam dunia nilai , kami meletakkan kebebasan individual pada tempat tertinggi. Hak-hak
minoritas harus selalu memberi kontribusi dalam melindungi kebebasan individual bagi para
anggota minoritas dan mayoritas. Sejauh ini memerlukan hak-hak dan ketetapan sehubungan
dengan kelompok, bukannya individual, harus selalu dipahami bahwa hak-hak kelompok semacam
itu harus berfungsi mendukung, meningkatkan, dan mengamankan kebebasan individual dan
bukannya melanggarnya. Dengan demikian, hak-hak kelompok minoritas jangan sampai berfungsi
melayani kepentingan kelompok, apapun tradisi suatu kelompok komunitas.

Dalam dunia fakta, kami memahami bahwa situasi dan kondisi yang berbeda di mana
golongan minoritas berada, memerukan solusi yang berbeda. Karena itu, Deklarasi ini
menangani hak-hak minoritas di bawah tiga judul yang berbeda, yang tidak kesemuanya
secara tradisional tercakup dalam ide minoritas:

Pertama, minoritas etnokultur. Ini terutama terdiri dari imigran dan pelarian serta keturunannya
yang berdiam, dengan basis lebih dari sekedar transisi, di suatu negeri lain selain negeri asal
mereka. Dalam kebanyakan diskusi masa kini mengenai masalah minoritas, kelompok-kelompok
ini tidak diliput, dalam arti mereka tidak lazin diterima sebagai minoritas dalam arti klasik.
Sementara Deklarasi ini tidak bermaksud memasukkan perdebatan mengenai berbagai definisi
hukum maupun politis, kami menaruh perhatian terhadap kenyataan bahwa kita hidup dalam
jaman di mana terjadi migrasi besar-besaran, dan bahwa berbagai masalah yang muncul dari fakta
ini memerlukan jalan keluar. Sementara kaum imigran dan pelarian tentunya tidak dapat menuntut
semua hak seperti yang dimiliki minoritas atau suku asli yang “klasik”, mereka pun memiliki hak
juga, dan salah satu tujuan Deklarasi ini adalah merinci apa saja seharusnya hak-hak ini. – Juga
termasuk dalam kategori ini, tetapi tidak begitu kontroversial, adalah berbagai kelompok yang
berbeda dari mayoritas dalam karakteristik tertentu seperti ras atau agama, yang seringkali berakar
pada migrasi di masa lampau.

Kedua, minoritas nasional, yaitu yang secara historis merupakan komunitas yang menetap, dengan
bahasa yang berbeda dan/atau kultur sendiri. Seringkali, mereka menjadi minoritas akibat
penarikan kembali kembali batas-batas internasional dan ada pergantian negara yang berdaulat
atas tempat tinggal mereka; atau mereka adalah kelompok etnis yang, dengan berbagai alasan,
tidak sampai membentuk negara, dan sebagai gantinya menjadi bagian dari suatu atau beberapa
negara yang lebih besar. Jelas bahwa ini merupakan situasi minoritas “klasik” yang kebanyakan
ditangani oleh berbagai instrumen nasional dan internasional yang menangani perlindungan
minoritas.

Ketiga, suku asli. Bagi mereka, semua karakteristik minoritas berlaku, tetapi karakteristik
tambahan dan yang membedakan mereka adalah kenyataan bahwa mereka telah menetap di
area bersangkutan lebih dulu dari mayoritas, dan telah menjadi minoritas dengan cara
penaklukan dan/atau kolonisasi. Mengingat bahwa mereka merupakan “bangsa-bangsa
pertama” di negeri mereka dan memiliki klaim yang lebih awal atas tanah bersangkutan
daripada mereka yang menggantikan dan biasanya menaklukkan, mereka berhak memiliki
hak-hak khusus dengan pertimbangan berbagai fakta ini.

Sementara kami menganggap bahwa ada gunanya untuk menstrukturisasi Deklarasi ini
menurut kategori minoritas ini, kami menyadari bahwa kenyatannnya lebih bervariasi dan
rumit daripada yang dapat direfleksikan oleh pengkotakan macam apapun juga. Karena itu,
perlu diingat, bahwa situasi minoritas yang aktual tidak akan selalu masuk secara pas dalam
salah satu kategori ini, dan bahwa setiap kasus harus dinilai dan diselesaikan dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi yang spesifik. Namun, tanpa memperdulikan segala

4
pembedaan, ada hak, kewajiban dan aturan yang berlaku bagi semua atau sebagian jenis situasi
minoritas; kami terutama menangani yang ini.

II. HAK, KEWAJIBAN DAN ATURAN YANG BERLAKU BAGI SEMUA SITUASI
GOLONGAN MINORITAS

Di mana pun kelompok minoritas berada, kenyataan bahwa mereka berbeda harus dihormati
oleh mayoritas sebagai bagian tak terpisahkan dari hak untuk bebas yang dibawa sejak lahir
dan tidak dapat direnggut. Semua langkah untuk melindungi hak-hak ini yang diusulkan dalam
deklarasi ini – yang meliputi hak untuk menerima bantuan serta berbagai bentuk bantuan
perdamaian dari luar negeri serta kewajiban pemerintah untuk tidak melakukan usaha asimilasi
paksa dan kewajiban pemerintah untuk melindungi minoritas dari berbagai bentuk asimilasi
paksa lainnya – dirancang untuk meningkatkan keselarasan antara berbagai komunitas di
dalam suatu negara dengan cara memastikan bahwa tidak seorangpun diutamakan atau
mendapat perlakuan diskriminasi karena ia merupakan bagian dari suatu komunitas tertentu
(baik minoritas maupun mayoirtas).

Ini berarti bahwa semua hak yang spesifik bagi suatu kelompok yang didalilkan dalam
Deklarasi ini dirancang untuk mencegah diskriminasi, dan tidak pernah untuk menciptakan
hak-hak istimewa. Bahkan seandainya diskriminasi positif dirasa perlu (seperti pembebasan
dari klausul jumlah suara minimum dalam pemilu), atau bantuan di atas rata-rata bagi sekolah-
sekolah minoritas, tujuannya tidak pernah untuk menciptakan hak istimewa, melainkan
semata-mata untuk menciptakan kesetaraan yang kokoh.

Demikian pula hak-hak minoritas bukanlah untuk diinterpretasikan sebagai pembebasan


anggota minoritas dari kewajiban normal warganegara.

Dalam kasus-kasus tertentu, masalah siapakah yang termasuk dalam suatu golongan minoritas
bisa menjadi perdebatan politis. Adalah bukan peran pemerintah untuk menentukan
keanggotaan kelompok minoritas. Ini merupakan hal yang seharusnya diputuskan di antara
individu dan golongan minoritas sebagai suatu kelompok, dengan definisi individu sendiri
sebagai pedoman utama, sesuai dengan standar HAM yang diakui secara internasional.

Sementara komunitas internasional perlu didorong untuk menetapkan standar perlindungan


minoritas dengan lebih bersemangat dan teliti daripada yang sekarang, transformasi berbagai
standar ini ke dalam praktek dan hukum nasional adalah sama pentingnya, dan ini dapat
dilaksanakan hanya dengan konsultasi serta kerjasama antara mayoritas dan minoritas.

I. HAK-HAK MINORITAS ETNOKULTUR

Seperti yang diindikasikan oleh istilahnya, sekurang-kurangnya ada dua tipe minoritas
berbeda (meskipun berpotensi untuk bertumpangtindih) yang diliput di bawah judul
“etnokultur”:
• Mereka yang secara etnis berbeda dari mayoritas tanpa menjadi minoritas nasional,
yaitu terutama imigran (termasuk pelarian) dan keturunannya
• Mereka yang sejak lama mempunyai tradisi cara hidup yang berbeda dari golongan
mayoritas, misalnya dalam hal agama atau bahasa, atau praktek-praktek budaya, tanpa
menjadi minoritas.

5
Imigran dan pelarian biasanya tinggal di negara yang didatanginya dengan pemahaman bahwa
mereka suatu kali akan kembali ke negeri asalnya, atau mereka akan berintegrasi secara
penuh ke dalam masyarakat negeri yang didatanginya dan menjadi warganegara yang setara.

Tugas fundamental terhadap semua jenis minoritas etnokultur adalah non-diskriminasi. Sejauh
anggota minoritas tersebut merupakan warganegara di negara tempat mereka tinggal, mereka
harus menikmati hak-hak penuh tanpa batas sejalan dengan kewarganegaraan; apabila mereka
bukan (atau belum menjadi) warganegara, sekurang-kurangnya mereka berhak mendapatkan
perlindungan oleh, dan memanfaatkan, semua hak-hak sipil dan sosial yang pada hakekatnya
tidak terkait dengan kewarganegaraan. Ini khususnya meliputi:
• Hak menggunakan bahasanya sendiri dalam konteks tidak resmi
• Kebebasan berpendapat dan pengungkapannya, termasuk hak untuk menerbitkan tanpa
sensor dalam bahasa apa saja
• Kebebasan memeluk agamanya sejauh tidak melanggar hak-hak orang lain.

Di atas segala-galanya, prinsip non-diskriminasi dapat diterapkan dalam pendidikan. Semua


kesempatan pendidikan harus dapat diperoleh dengan basis kesetaraan. Sejauh menyangkut
berbagai aktifitas budaya lain, seperti memperkuat tradisi atau warisan tertentu dari suatu
komunitas, tidak ada hak umum atau dasar bahwa seseorang dibantu secara finansial maupun
dengan cara lain dalam aktifitas semacam itu; tetapi lagi-lagi di sini diperlukan perlakuan yang
setara: apabila golongan mayoritas mendapat dukungan semacam itu, maka kelompok
minoritas pun harus memperolehnya.

Pada umumnya, negara yang didatangi harus menerima kewajiban membuka jalan bagi
diterimanya mereka dalam golongan minoritas etnokulutr, di antaranya bantuan bagi
akomodasi budaya (misalnya pelatihan bahasa), tetapi juga dengan menjamin hak untuk
mendapatkan kewarganegaraan setelah tinggal di negara bersangkutan secara permanen dalam
jangka waktu yang wajar. Fleksibilitas dalam menangani masalah kewarganegaraan ganda
dianjurkan bagi semua negara.

II. HAK-HAK MINORITAS NASIONAL

Kebalikan dari minoritas etnokultur, minoritas nasional secara historis merupakan komunitas
yang menetap; selain itu, dimasukkannya mereka dalam suatu negara dengan mayoritas
penduduk yang berbeda dari mereka biasanya diakibatkan pembangunan di luar kontrol
mereka. Sementara orang yang berimigrasi ke suatu negara dapat secara wajar diharapkan
untuk menyesuaikan diri, hal seperti ini tidak dapat diharapkan dari orang-orang yang hidup di
tempat di mana nenek moyangnya dulu hidup. Hak mereka untuk mempertahankan apa yang
membuat mereka berbeda dari mayoritas tidak dapat dipertanyakan, dan karena itu setiap
usaha dari pihak mayoritas untuk memaksakan keseragaman, atau setiap tekanan untuk
asimilasi, adalah tidak sah.

Bagaimana cara hak-hak minoritas nasional dapat diorganisir dan dijalankan sangat tergantung
pada bentuk pemukiman mereka: dalam kasus berkenaan dengan area pemukiman yang
dipadatkan, dengan hanya sedikit atau tidak ada anggota minoritas tinggal di sana, jawaban
yang jelas adalah otonomi wilayah (territorial autonomy); dalam kasus di mana minoritas
hidup tersebar di tengah-tengah mayoritas, tidak membentuk mayoritas di suatu area yang
besar, maka diperlukan bentuk lain untuk melembagakan hak-hak ini, yang dapat meliputi
non-teritorial, suatu varian otonomi yang fungsional.

6
Mengingat pentingnya peran bentuk pemukiman dalam diberlakukannya hak-hak minoritas,
maka harus ada pengamanan terhadap manipulasi sehubungan dengan ini. Sementara hak
untuk bebas berpindah dan bertempat tinggal di dalam suatu negara adalah penting bagi
semua warga negara sehingga tidak boleh dibatasi, kecuali bagi suku asli di tanah warisan
nenek moyang mereka, penyalahgunaannya dengan kebijakan pemukiman kembali secara
sengaja dengan tujuan melumpuhkan posisi golongan minoritas di area mereka sendiri adalah
tidak dapat dibenarkan, begitu pula manipulasi batas administratif dengan tujuan yang serupa.

Seringkali minoritas nasional – khususnya apabila posisi minoritas mereka di suatu negara
disebabkan oleh penarikan kembali batas-batas internasional – dihubungkan oleh ikatan etnis,
lingusitik dan/atau kultur dengan penduduk di suatu negara tetangga. Pemerintah yang
manapun tidak berhak campur tangan dengan cara apapun dalam kontak dan pergaulan tapal
batas, yang wajar terjadi dalam situasi tersebut (seperti, tentunya, tidak ada pemerintah yang
berhak campur tangan dalam kontak internasional yang normal oleh warganegaranya).

Ada dua kategori hak yang merupakan minimal absolut penanganan minoritas nasional:
penentuan nasib sendiri sehubungan dengan budaya, dan partisipasi penuh dalam
pengambilan keputusan di tingkat pusat/nasional. Apabila kondisi memungkinkan, yaitu di
mana minoritas menetap di area-area yang secara geografis berdampingan, kekuasaan yang
lebih jauh lagi harus diserahkan kepada mereka: misalnya mengelola administrasi, polisi,
institusi sosial mereka sendiri dan lain-lain.

1. Penentuan nasib sendiri berkenaan dengan budaya

Setiap minoritas nasional mempunyai hak untuk berdaulat mengelola faktor yang paling
sentral dari identitasnya: budaya. Ini meliputi hak-hak seperti bahasa, pendidikan, tradisi
budaya, dan agama.

Pertama-tama, penentuan nasib sendiri berkenaan dengan budaya berarti bahwa setiap orang
mempunyai hak tak terbatas atas bahasa mereka sendiri. Ini meliputi, secara mutlak
• Hak mempelajari bahasa ibu
• Hak menggunakan bahasanya sendiri di tempat umum
• Hak menggunakan nama diri dalam versi bahasa minoritas dan menggunakan versi ini
di semua konteks resmi
• Tidak adanya pembatasan sama sekali dalam menerbitkan atau menyiarkan media cetak
atau elektronik dalam bahasa minoritas
• Akses tak terbatas ke media dan publikasi semacam itu;

Apabila dibenarkan oleh jumlah yang cukup, baik di seluruh negeri atau dalam daerah
tertentu, ini selanjutnya meliputi:
• Hak untuk mendapat pengajaran bahasa ibu dan penggunaan bahasa ibu sebagai
pengantar pengajaran yang lazim di sekolah. Hak ini tidak boleh merugikan pengajaran
bahasa resmi
• Penggunaan bahasa-bahasa minoritas dalam otoritas administratif dan pelayanan umum,
pengadilan hukum dan parlemen
• Tersedianya naskah-naskah hukum dan naskah undang-undang dan naskah-naskah
hukum lainnya dalam bahasa minoritas.
• Apabila ada media yang dimiliki oleh umum, ruang yang memadai untuk pengajaran
dan sebagainya dalam bahasa minoritas, atau, apabila dapat diterapkan, stasiun
pemancar daerah melakukan siaran secara eksklusif dalam bahasa minoritas.

7
• Papan petunjuk untuk umum, nama-nama tempat dan jalan dan sebagainya yang
menggunakan bahasa minoritas, sekurang-kurangnya sebagai tambahan dari bahasa
resmi.

Persyaratan angka untuk menjamin hak-hak ini harus ditetapkan dengan undang-undang.
Berbagai persyaratan tersebut harus didefinisikan dalam persentase dan dalam angka-angka
absolut, dan apabila salah satunya terpenuhi, itu sudah cukup.

Bidang yang nomor dua penting dalam penentuan nasib sendiri adalah pendidikan. Para
anggota minoritas nasional berhak mendapat pendidikan dengan budayanya sendiri. Ini
meliputi:
• Pendidikan dasar (termasuk pendidikan pra-sekolah apabila diwajibkan) dalam bahasa-
ibu harus tersedia bagi semua anak.
• Minoritas Nasional berhak mengelola sekolah dasar dan sekolah lanjutan mereka
sendiri, yang berhak mendapat subsidi umum sekurang-kurangnya sama (per murid)
dengan sekolah mayoritas, sejauh memenuhi standar minimum yang sesuai.
• Apabila jumlahnya mereka cukup besar, hal yang sama berlaku bagi institusi-institusi
pendidikan tersier (universitas); apabila tidak, maka harus disediakan perlengkapan
yang memadai untuk pengajaran dan riset dalam kultur minoritas, sekurang-kurangnya
pada satu universitas yang ada.
• Apabila jumlah pemukiman minoritas nasional kecil dan/atau berpencar sehingga
sekolah dengan asrama merupakan satu-satunya bentuk sekolah untuk minoritas, maka
perlu adanya subsidi untuk membantu menutupi biaya tambahan. Hal yang sama
berlaku bagi sekolah biasa di daerah minoritas yang dapat berjalan tetapi biaya per
murid lebih tinggi karena ukuran sekolahnya terpaksa kecil.

Dua area lainnya yang sangat penting bagi penentuan nasib sendiri berkenaan dengan kultur,
yaitu tradisi budaya dan agama, biasanya hanya memerlukan non-intervensi dari pihak
pemerintah (pusat). Namun, sejauh institusi dan aktifitas budaya dan agama mayoritas
didukung secara aktif, maka perlu non-diskriminasi sebagai persyaratan tambahan.

2. Partisipasi dalam pengambilan-keputusan pada tingkat pusat

Dengan menjadi warganegara penuh di negaranya, para anggota minoritas nasional


mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam politik, berkenaan dengan politik-negara mereka
yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka seperti halnya terhadap kehidupan mayoritas.
Apabila mereka mau, mereka pun berhak berpartisipasi sebagai minoritas, yaitu sebagai suatu
kelompok dengan kepentingan yang sama di hadapan mayoritas, dengan, misalnya,
memelihara dan memberi suara untuk partai minoritas khusus. Faktor-faktor yang merupakan
situasi spesifik minoritas, seperti misalnya jumlah yang sedikit atau pemukiman yang
berpencar, tetapi juga berbagai faktor seperti batas-batas regional dan konstituen atau sistem
pemilihan yang tidak menguntungkan, seringkali cenderung berpengaruh negatif pada
kesempatan mereka untuk berpartisipasi secara setara dengan mayoritas. Karena itu, adalah
kewajiban lembaga politik dan kelembagaan pada tingkat nasional untuk menyingkirkan atau
mengurangi efek penghalang semacam itu.

Tindakan dan ketetapan yang diperlukan untuk memungkinkan adanya partisipasi efektif dari
minoritas nasional meliputi:
• Cara termudah untuk mengamankan perwakilan minoritas pada tingkat pemerintahan pusat
adalah sistem pemiliha Perwakilan Proporsional (Proportional Representation atau PR).
Apabila sistem semacam itu dikombinasikan dengan persyaratan jumlah suara minimum
(‘threshold clauses’), minoritas harus dibebaskan dari klausa-klausa semacam itu. Apabila

8
sistem-sistem pemiliha lain selain Perwakilan Proporsional yang diterapkan, maka
perwakilan minoritas harus diamankan dengan cara, yang beberapa diantaranya akan
disebutkan nanti.
• Penetapan batas konstituten harus menghindari dimasukkannya sejumlah besar populasi
mayoritas dalam constituencies di dalam area minoritas (“Gerry-mandering”).
• Apabila populasi minoritas begitu terpencar di seluruh negeri sehingga mereka tidak dapat
diharapkan untuk memenangkan constituency anggota-tunggal yang ditetapkan secara
geografis, maka sebagai alternatif dari perwakilan proporsional adalah penyediaan
constituency non-teritorial khusus dalam jumlah yang cukup untuk pemilik. Dalam kasus
ini perlu adanya ketetapan yang memadai agar pemilik suara yang tidak ingin memilih
dengan jalur etnis bisa terpenuhi keinginannya.
• Apabila otonomi daerah beroperasi di daerah pemukiman yang berdampingan, terutama
apabila ini merupakan bagian dari suatu sistem umum devolution yang juga meliputi area
mayoritas (misalnya federalisme), perwakilan institusi politik daerah di tingkat
pusat/federal harus diorganisir sedemikian rupa agar menyingkirkan diskriminasi terhadap
daerah minoritas
• Kesempatan kerja di negara-negara administrasi pusat yang meliputi minoritas nasional
harus dapat diakses oleh anggota-anggota minoritas tanpa diskriminasi, khususnya dalam
kualifikasi penerimaan tenaga kerja.

3. Hak-hak otonomi selanjutnya di area-area pemukiman yang berdampingan

Banyak dari hak-hak minoritas yang disebutkan dalam bagian-bagian terdahulu Deklarasi ini,
terutama hak-hak dalam bidang budaya, menunjukkan adanya otonomi terbatas yang tidak
harus didefinisikan sehubungan dengan wilayah tertentu, namum beroperasi untuk sekelompok
pria dan wanita tertentu di mana pun letak pemukiman mereka di suatu negara. Sementara ada
hak-hak otonomi yang tidak bergantung pada pola pemukiman tertentu, di mana minoritas
bermukim di area-area yang berdampingan, maka otonomi teritorial skala-penuh merupakan
solusi standar.

Agar dapat menjadi instrumen perlindungan hak-hak minoritas yang efektif, dispensasi
otonomi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
• Bersamaan dengan kriteria historis, topografis dan ekonomi, etnisitas harus diterima
sebagai kriteria yang sah ketika perbatasan ditentukan, sehingga populasi minoritas
dapat menjadi mayoritas di area pemukiman mereka.
• Apabila anggota-anggota populasi mayoritas (nasional) hidup di area otonomi minoritas,
“minoritas” dalam “minoritas” ini mempunyai hak yang serupa dengan “minoritas di
urutan pertama” di dalam negara sebagai keseluruhan.
• Area tanggungjawab yang setelah masalah-masalah budaya khususnya terbuka untuk
dikelola oleh lembaga-lembaga otonomi adalah kepolisian, penyelenggaraan
administratif, infrastruktur, dan sebagian besar perlengkapan keamanan sosial.
• Tidak ada otonomi daerah yang lengkap tanpa otonomi finansial dalam kadar yang
tinggi. Dengan demikian, wewenang perpajakan harus menjadi bagian tak terpisahkan
dan sangat penting pada dispensasi otonomi maupun yang sesuai dengan namanya.
• Dalam kasus apapun, pemerintah pusat tidak berhak menghapus atau mengusik secara
substantial suatu status otonomi minoritas nasional.

****

Mereka yang berargumentasi bahwa otonomi dengan basis etnis merupakan “suatu bentuk
baru dari apartheid”, atau langkah awal menuju penarikan diri, atau keduanya, adalah
keliru. Sepanjang pihak-pihak “non-etnis” di seluruh negeri dapat bersaing dengan basis
9
kesetaraaan di area-area minoritas (yang semestinya merupakan sesuatu yang sudah
seharusnya), dan sepanjang hak-hak minoritas di lingkungan minoritas terjamin, maka
otonomi dalam area minoritas merupakan pilihan dalam melakukan penentuan nasib sendiri
dengan basis asosiasi sukarela, yang merupakan kebalikan dari apartheid (yang berdasarkan
asosiasi wajib).

Demikian pula, dengan memiliki suara lebih dominan dalam masalah mereka sendiri, berarti
akan mempermudah mengakomodir minoritas di negara di mana mereka menjadi bagian
darinya, dan dengan demikian, meskipun belum tentu menghalangi penarikan diri, tetapi akan
mengurangi kemungkinannya. Jelaslah bahwa tidak seorangpun perlu setia kepada negara
yang menolak memberikan hak-hak yang paling fundamental, dan komunitas yang anggota-
anggotanya tidak mempunyai hak-hak ini di dalam lingkungan suatu negara tertentu,t idak
dapat dipersalahkan apabila mencarinya di luar negara tersebut. Dengan demikian,
sementara kami berharap dan percaya bahwa apabila hak-hak minoritas yang dirinci dalam
Deklarasi ini dihormati, maka ancaman penarikan diri akan menyusut, kami menganggap
penting bahwa komunitas internasional memformulasikan aturan-aturan yang jelas berkenaan
dengan masalah ini.

V. HAK SUKU ASLI

Masyarakat di seluruh dunia yang kita sebut “suku asli”, pada suatu tahap dalam sejarah
mereka, direnggut dari hak mengontrol nasib mereka sendiri dengan cara penaklukan,
kolonisasi dan penundukan. Mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kontrol ini
sepenuh mungkin, yaitu (a) layak pada prakteknya (b) kompatibel dengan hak-hak sah orang-
orang yang sama-sama bermukin di negara mereka.
Ini meliputi, yang utama, hak yang tidak dapat direnggut dan dilanggar, atas identitas budaya
dan sejarah mereka. Biasanya, identitas ini tidak dapat dipisahkan dan terikat dengan tanah
nenek moyang. Tanah, dan hak untuk menentukan hubungan mereka dengan tanah, merupakan
isu yang dominan sehubungan dengan penentuan hak-hak suku asli. Dengan cara
mengembalikan sekurang-kurangnya sebagian dari tanah ini kepada mereka dan dengan
menetapkan hak-hak eksklusif dalam wilayah semacam itu berarti menebus ketidakadilan di
masa lampau dengan kondisi saat ini. Apabila pola pemukiman memungkinkan, maka formula
standar bagi suku asli adalah: wilayah yang disediakan dengan kadar otonomi yang sangat
tinggi (hanya minus kedaulatan penuh).

Suku asli harus memiliki hak untuk berpartisipasi dalam formulasi (perumusan) status hukum
dan kelembagaan. Pakta seringkali merupakan sarana yang sesuai untuk ini. Apabila pakta
telah ditandatangani di masa lampau (atau akan ditandatangani di masa mendatang) antara
pemerintah-pemerintah mayoritas yang dominan dan suku asli, pakta tersebut harus diakui,
dijalankan dan diberlakukan seutuh mungkin.
Hak suku asli meliputi, seperti selayaknya, semua hak yang distipulir dalam Deklarasi untuk
minoritas nasional dan etnokultur ini. Hak-hak yang dapat mereka tuntut dari dan selain dari
hak-hak tersebut, merupakan subyek bab ini. Yang disebut lebih dahulu, hak-hak yang lebih
umum berlaku ketika anggota-anggota suku asli bermukin di suatu negara tertentu, sedangkan
yang disebutkan berikutnya, hak-hak yang lebih spesifik terutama dapat diterapkan dalam
wilayah yang tersedia itu. Kami menangani ini semua di bawah empat judul:

(1) Identitas budaya dan warisan budaya


(2) Tanah dan hak-hak yang bertalian dengan tanah
(3) Institusi pemerintahan-sendiri
(4) Ekonomi, pembangunan dan lingkungan

10
1. Identitas Budaya dan Warisan Budaya

Suku asli mempunyai hak untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya spesifik
mereka sendiri, sprititual dan berbagai tradisi lainnya, sejarah dan filsafat. Ini meliputi,
khususnya
• Penggunaan bahasa asli sebagai bahasa standar umum di dalam lingkungan wilayah
tersendiri ini
• Penggunaan sistem dan simbol penulisan asli tradisional
• Membentuk dan menjalankan sistem pendidikan yang independen untuk mengajarkan,
memperkuat dan meriset bahasa-bahasa tradisional serta tradisi-tradisi spiritual dan
religius, dan berbagai manifestasi budaya asli lainnya
• Menjamin adanya akses ke, dan – apabila dulu direnggut tanpa persetujuan sukarela
masyarakat bersangkutan dan apbila prakteknya memungkinkan – restitusi (ganti rugi)
atas lokasi-lokasi budaya dan tempat-tempat suci, juga kekayaan budaya, intelektual,
religius serta spiritual suku asli.

2. Tanah dan Hak-hak yang terkait dengannya

Dengan alasan-alasan yang diberikan di atas, penting sekali bahwa suku asli memiliki tanah
yang cukup, di mana mereka dapat menjalankan penentuan nasib sendiri. Ini meliputi
• Hak-hak sehubungan dengan tanah yang muncul dari pakta, hak aborigin, dan berbagai
instrumen hukum lainnya harus dianggap sebagai hak paling mendasar dari identitas
mereka.
• Larangan merenggut suku asli, tanpa persetujuan mereka dan konsultasi yang efektif serta
transparan, dari wilayah yang ditempati oleh mereka, dan larangan pemindahan secara
paksa dari wilayah semacam itu.
• Restitusi (ganti rugi) sepenuh mungkin, atas tanah, wilayah dan lokasi-lokasi yang disita,
diduduki, digunakan atau dirusak tanpa persetujuan sukarela dari pemilik yang syah.
• Hak untuk menetapkan dan mempertahankan di dalam wilayah mereka sendiri tatanan
politik, budaya, ekonomi dan sosial serta institusi seperti yang ditetapkan oleh masyarakat
bersangkutan itu sendiri – sesuai dengan hak-hak asasi manusia dan pemerintahan
berdasarkan hukum – dan menjalankan hak-hak yang dijelaskan dalam bagian lain dari bab
ini, termasuk hak untuk menetapkan sejauh mana dan perturan dan kondisi di bawah mana
non-anggota boleh menetap dan melakukan aktifitas di tanah tersendiri ini.

3. Institusi Pemerintahan-Sendiri

Di dalam wilayah tersendiri ini, suku asli berhak atas pemerintahan-sendiri sepenuh mungkin.
Elemen-elemen tertentu dari ini telah disebutkan atau digambarkan dalam Deklarasi ini. Poin-
poin utamanya adalah:
• Suku asli mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Ini berarti bahwa dalam
batas-batas yang telah berulangkali disebutkan (hak-hak asasi manusia, pemerintahan
berdasarkan hukum, hak-hak yang sah milik orang lain di dalam negara yang sama)
mereka dapat menetapkan dan mempertahankan institusi politik, ekonomi dan sosial
yang mereka pilih.
• Institusi dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh suku asli untuk mereka sendiri,
harus diakui secara penuh dan perwakilan yang memadai di semua institusi pemerintah
yang relevan.

11
• Hak untuk mempertahankan tatanan mereka sendiri meliputi hak untuk melindungi dan
mempertahankan tatanan ini secara internal dengan membentuk polisi mereka sendiri
atau membentuk badan-badan lain semacam ini.
• Baik hak otonomi dan hak atas sumberdaya mereka sendiri (dibahas dalam seksi
berikutnya) meliputi perpajakan di dalam wilayah tersendiri ini.
• Dalam menjalankan hak-hak otonomi ini, suku asli tentunya boleh mengadopsi bagian
yang manapun dari perundang-undangan nasional, atau menghubungkan institusi
mereka dengan institusi ‘nasional” sesuai dengan pilihan mereka.
• Para anggota suku asli biasanya tidak boleh ditarik untuk bergabung dengan angkatan
bersenjata tanpa persetujuan mereka, khususnya apabila ini menyangkut kemungkinan
harus bertempur dengan suku asli lainnya; pekerjaan wajib jenis apapun dengan tujuan
militer tidak boleh dibebankan kepada mereka.

4. Ekonomi, Pembangunan dan Lingkungan

Hak suku asli atas tanahnya sendiri meliputi hak untuk memanfaatkan secara penuh tanah
mereka dan sumberdayanya dan untuk melakukan semua jenis aktifitas ekonomi, tradisional
atau sebaliknya, di dalam wilayah mereka. Ini khususnya meliputi:
• Suku asli mempunyai hak membentuk dan mempertahankan tatanan ekonomi dan sosial
mereka sendiri di dalam wilayah mereka.
• Mereka berhak mengontrol, menggunakan, membangun dan mengeksploitasi tanah
mereka, wilayah, perairan dan sumberdaya lainnya, menetapkan peraturan mengenai
bagaimana hak-hak ini akan dijalankan, dan menolak campurtangan, khususnya eksploitasi
sumberdaya dari pihak luar. Hanya apabila berbagai aktifitas secara substantial mencemari
atau merusak wilayah, udara, perairan dan sebagainya, atau membahayakan rakyat di luar
wilayah tersendiri ini, maka perundang-undangan lingkungan yang dibuat pada tingkat
pusat untuk seluruh negeri juga dapat diterapkan pada suku asli.
• Apabila suku asli telah direnggut dari tanah yang tidak mungkin untuk dikembalikan
kepada mereka, atau dari penghidupan (nafkah) atau pengembangan, mereka berhak
mendapat ganti rugi yang setara, apabila mungkin ganti rugi yang setimpal.

III. KESIMPULAN

Sampai saat ini, hak minoritas belum dikodifikasi dalam konteks standar HAM. Hak-hak
minoritas masih bersifat suplemen terhadap HAM tradisional, dirancang untuk menjamin
bahwa pria dan wanita yang hidup dalam situasi minoritas spesifik dapat menikmati hak-hak
asasi manusia mereka dengan aman dan utuh. Untuk kebanyakan kaum minoritas, tanpa
perlindungan tambahan dan penguatan dengan hak-hak minoritas, HAM hanya merupakan
selembar kertas – dan kadang-kadang bahkan kurang dari itu.

Dengan alasan tersebut, kodifikasi dalam menyetujui hukum internasional dan penerapan hak-
hak minoritas sama pentingnya dengan HAM klasik. Karena itu, semua pemerintah diimbau
untuk menerima, dengan perundang-undangan domestik dan dengan kovenan yang disahkan
secara internasional, prinsip-prinsip yang dirinci dalam Deklarasi ini. Persis seperti dalam
kasus HAM klasik, kedaulatan nasional tidak dapat diterima sebagai alasan untuk mengingkari
prinsip-prinsip ini, bahkan bila seandainya tidak ada instrumen internasional yang
mengikatnya.

Meskipun norma-norma hukum harus ada, sikap yang diadopsi oleh pemerintah dan mayoritas
penduduk sekurang-kurangnya sama pentingnya. Mereka diimbau untuk memandang

12
eksistensi minoritas bukan sebagai gangguan atau abnormalitas, melainkan sebagai ekspresi
yang normal dari keragaman alam yang membentuk karakter dunia kita.

Pemerintah harus memahami bahwa loyalitas tidak dapat muncul dengan cara mengontrol
minoritas seketat mungkin, melainkan semata-mata dengan memberi mereka kesempatan
untuk nenetukan nasibnya sendiri sebisa-bisanya. Menaruh kepercayaan terhadap rakyat, yang
berada di pusat demokrasi liberal, jangan berhenti di mana rakyat berdeda dengan kita dalam
satu aspek dan lainnya. Hanya apabila keragaman ini dianggap sebagai pengayaan, dan
bukannya sebagai ancaman, maka orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbeda dapat
hidup dengan tenteram dan harmonis dalam suatu negara.

13

You might also like