Professional Documents
Culture Documents
32
LINGKUNGAN HIDUP
Oleh :
Agung Yuriandi
Medan
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ada satu lagi azas
yang dinamakan dengan azas subsidiaritas. Tidak terlepas dengan azas lainnya, yaitu :
atas, gunanya adalah agar lebih menjamin kepastian hukum, kemanfaatan ekonomi,
1
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059.
1
Azas-azas yang tersebut di atas adalah salah satu dari sekian banyak kemauan
bangsa asing melalui globalisasi dan perdagangan bebas dunia. Suka tidak suka hal-
dengan ratifikasi.2
Pengertian azas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah dasar,
landasan, fundamen, prinsip, dan jiwa atau cita-cita. Azas adalah suatu dalil umum
yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara
menggunakan azas-azas yang disebutkan pertama tadi. Awal mula berfikir sehingga
keberlangsungan dari alam itu sendiri yang sudah tidak didukung oleh daya tampung
2
Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4012.
Dalam penjelasan bagian I alinea keempat menerangkan bahwa : ”Dalam praktiknya, bentuk
pengesahan terbagi dalam empat kategori, yaitu : (a). ratifikasi (ratification) apabila negara yang
mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian; (b). aksesi
(accesion) apabila negara yang mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani
naskah perjanjian; (c). penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan
menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan
perjanjian-perjanjian internasional berlaku setelah penandatanganan”.
3
Satyagraha, Azas Hukum, http://komunitasmahasiswa.info/2008/12/azas-hukum/., dilihat
pada 17 Mei 2009, sebagaimana dikutip Agung Yuriandi, ”Azas Subsidiaritas Dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Makalah : Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 1.
2
industri yang membuang limbahnya kemana-mana juga akibat dari Analisis
AMDAL tersebut dibuat oleh Konsultan Lingkungan Hidup dan disahkan oleh
Pejabat Daerah.
Rumusan Permasalahan
lingkungan hidup tersebut. Maka dalam penulisan ini, dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut :
Konsep Teori
3
kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat
dalam ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta
Oriented Law, sedang hukum lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada
mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari
kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat
selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.5
norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi
sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna
mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-
singkatnya. Hukum lingkungan klasik bersifat sektoral, serta kaku (rigid) dan sukar
berubah.
4
Ibrahim, “Hukum Lingkungan”, http://magisterhukum.unila.ac.id/wp-
content/uploads/2010/02/lingkungan-dan-hukum-lingkungan-yang-baru.pdf., hal. 4, diakses pada 09
Februari 2011.
5
Mohammad Askin, “Tugas Hukum Lingkungan”,
http://www.scribd.com/doc/24793711/Tugas-Hukum-Lingkungn., hal 2, diakses pada 09 Februari
2011.
4
Menurut Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa sistem pendekatan
terpadu atau utuh harus diterapkan oleh hukum agar mampu mengatur lingkungan
hidup manusia secara tepat dan baik, sistem pendekatan ini telah melandasi
suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata
usaha negara atau hukum pemerintahan. Untuk itu dalam pelaksanaannya aparat
(AAUPB) atau disebut juga dengan (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur/
hidup.7
6
Ibid.
7
Riana Kesuma Ayu, “Hukum Lingkungan Dalam Bidang Ilmu Hukum”,
http://riana.tblog.com/post/1970028689., diakses pada 09 Februari 2011.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Penerapan Azas Pencemar Membayar, Azas Subsidiaritas, Azas Tanggung
Hidup di Indonesia
Menurut Otto Soemarwoto, masalah lingkungan sudah ada sejak pertama kali
bumi ini diciptakan. Ahli ekologi ini menghubungkannya dengan kejadian yang
dikisahkand alam kitab suci Injil dan Qur’an, dimana peristiwa air bah pada zaman
Mesopotamia telah dinilai sebagai sebab dari masalah lingkungan, yaitu adanya
proses salinasi yang tinggi dari air sungai Tigris dan Euphrat, yang menyebabkan
rusaknya lahan-lahan pertanian.8 Akan tetapi karena waktu itu tingkat frekuensi atau
intensitas masalah tersebut belum begitu banyak dan populer, maka masyarakat
menganggap hal itu sebagai yang kurang berarti dan kutukan dari Tuhan.9
maka dengan kata lain lingkungan itu akan marah dan dapat memusnahkan apa saja
yang ada di atasnya. Cara pemusnahan dapat berupa banjir ataupun tidak
Azas ini ditujukan kepada salah satu pangkal tolak berfikir kebijaksanaan
lingkungan yang juga tercermin dari ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu siapa yang membayar
8
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Djambatan, 1983),
sebagaimana dikutip N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua,
(Jakarta : Erlangga, 2004), hal. 41.
9
Ibid.
7
pencemaran. Pada prinsipnya pencemar membayar mengandung makna bahwa
sebab itu kebijakan prinsip lingkungan ini ditujukan untuk pencegahan pencemaran,
dan sarana yang digunakan pemeirntah adalah sarana peraturan/ pengaturan berupa
izin dan sarana ekonomi yang terdiri dari pungutan (charges) dan uang jaminan yang
tujuan dari pungutan dan uang jaminan adalah membiayai upaya pencegahan dan
Tingkah laku manusia telah membawa dampak besar terhadap ketahanan atau
daya dukung lingkungan (environment carrying capacity). Aksi dan tingkah laku
berupa pemenuhan kebutuhan dasar dan rupa-rupa kebutuhan lain sampai pada
keinginan-keinginan yang variatif, tidak terlepas pula dari loncatan modernisasi. Jika
sederhana, maka corak tingkah laku seperti itu tidaklah seberapa berpengaruh pada
keseimbangan lingkungan, karena masih dapat pulih melalui sistem mata rantai
ekosistem lain. Tetapi kini, praktek-praktek hidup manusia bukan lagi sekedar
menutupi kebutuhan, melainkan telah berpusat pada keinginan yang serba tidak
terbatas.11
menghasilkan ikan dari laut semaksimal mungkin pada gilirannya bertujuan untuk
10
Krishna Adi Pujangga, “Laporan Pengantar Hukum Indonesia Hukum Lingkungan”,
http://www.scribd.com/doc/44528154/Laporan-Pengantar-Hukum-Indonesia-Hukum-Lingkungan.,
diakses pada 09 Februari 2011.
11
N.H.T. Siahaan, Loc.cit., hal. 55.
8
mencapai kesejahteraan manusia di bidang pangan dan gizi. Memang seperti di
Indonesia, berita-berita kekurangan gizi dan malnutrisi, merupakan berita harian yang
sepertinya tidak lagi peka di telinga, karena terlalu sering berita itu disuguhkan para
pembuat berita.12
pada janjinya bahwa IPTEK adalah sarana yang digunakan untuk memecahkan
teknologinya beroperasi dan berhasil menjaring sejumlah besar ikan laut, maka yang
semakin miskin, dan ikan-ikan dari laut pun hampir tidak bisa disentuh hanya sebagai
sumber makanan dan gizi bagi masyarakat dan keluarganya, karena populasi ikan
sudah habis dijaring oleh trawl milik kapal besar perusahaan-perusahaan raksasa.13
Dengan adanya pencemaran atau sulitnya nelayan untuk menangkapi ikan dengan
pengolahan ikan kaleng harus bertanggung jawab penuh untuk menghidupi para
nelayan pinggir pantai. Cara yang ditempuh adalah dengan menampung pekerja dari
nelayan-nelayan itu sendiri, ataupun dengan cara memberikan ikan-ikan kecil kepada
nelayan dengan harga yang terjangkau dan wajar. Cara-cara tersebut dapat ditempuh
12
Ibid.
13
Ibid.
9
Perusahaan-perusahaan pengalengan ikan tersebut harus memiliki hati nurani
untuk menjalankan peraturan yang berlaku. Bukan saja dengan menghubungi pihak
pejabat daerah, meminta izin, lalu langsung beroperasi. Hal itu sudah pasti hanya
menguntungkan pihak pejabat yang tidak tahu menahu masalah kemana uang bayaran
untuk dikeluarkan izin tersebut disalurkan. Lebih baik langsung perusahaan tadi
para nelayan untuk menjual. Masyarakat dengan sendirinya akan senang dan
Azas Subsidiaritas
kuat berasal dari limbah 50 (lima puluh) perusahaan industri besar yang beroperasi di
sepanjang sungai tersebut. Hasil temuan dari kajian Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Di hilir terdapat pencemaran cuprum dan amoniak, sementara di tengah Sungai Deli
ditemukan limbah-limbah organik dari limbah domestik dan hotel, sementara di hulu
Seperti yang disebutkan pada alinea sebelumnya bahwa terjadi banyak polusi
lingkungan baik itu pencemaran tanah, air, dan udara. Namun, begitulah potret dari
keadaan lingkungan sekitar kita. Hal tersebut merupakan akibat dari ketidakbecusan
10
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA). Kewenangan
Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memakai
a. Jalur Administrasi;
c. Jalur Perdata.
pidana lingkungan hidup dan banyaknya industri atau kegiatan usaha yang mendapat
hidup. Sanksi yang diberikan lebih ditekankan kepada penjatuhan pidana denda
apabila sanksi perdata tidak cukup untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh
15
Suhaidi, “Modul Perkuliahan : Hukum Tata Lingkungan”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, 2009).
16
Azamul Fadhly Noor, “Azas Subsidiaritas dalam UU Pokok Lingkungan Hidup (PLH)”,
http://azamul.wordpress.com/2007/07/04/asas-subsidiaritas-dalam-uu-pokok-lingkungan-hidup-plh/.,
diakses pada 25 Mei 2009, sebagaimana dikutip Agung Yuriandi, Op.cit., hal. 6.
11
Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terjadi karena adanya sengketa
a. Luar Pengadilan;
optional atau pilihan dan sukarela atau voluntary. Para pihak dapat memilih jalur ini
dalam menyelesaikan sengketa tetapi harus bersifat sukarela. Jika, satu pihak saja
yang setuju menggunakan jalur ini maka tidak bisa dilakukan. Harus kedua belah
pihak menyatakan penyelesaian sengketa dengan cara luar pengadilan atau dalam
pengadilan karena azas musyawarah mufakat dan menggunakan sistem win win
kata lain, sama-sama menang dengan tidak merugikan salah satu pihak.19
No. 54 tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
17
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059. Pada Pasal 84 ayat (1) menyebutkan bahwa : “penyelesaian sengketa
lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan”.
18
Agung Yuriandi, Op.cit., hal. 6.
19
Ibid.
12
Lingkungan Hidup. Lembaga ini dapat dibentuk melalui masyarakat dan pemerintah
Jalur luar pengadilan adalah jalur sukarela, dan kedua belah pihak harus
setuju. Pihak ketiga juga dapat menyelesaikan sengketa juga dengan persetujuan
kedua belah pihak.21 Di Medan sudah ada Biro Lingkungan Hidup oleh
BAPEDALDA. Biasanya dalam perjanjian, salah satu pihak tidak setuju dengan isi di
sengketa menggunakan jalur luar pengadilan.22 Jika sudah dipilih jalur ini maka
2. Dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak
b. Jalur Pengadilan.
perdata ataupun pidana, yang lebih diutamakan adalah hukum perdata berkaitan
efektif lagi. Hal ini untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan yang merupakan
20
Ibid.
21
Ibid.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Penerapan prinsip subsidiaritas dilakukan apabila hukum sanksi administrasi dan sanksi
pidana tidak efektif.
13
tujuan dari hukum itu sendiri. Jadi, apabila seseorang penanggung jawab pada
perusahaan yaitu direktur sebagai pengurus yang bertanggung jawab. Maka, jika
pencemarannya melebihi apa yang telah ditentukan standarnya maka harus dihukum
lainnya.
6. Gugatan administratif.
azas ini, hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap
25
Ferli Hidayat, “Penerapan UU No. 32 tahun 2009 Dalam Penyelesaian Sengketa Hukum”,
http://ferli1982.wordpress.com/2010/12/21/113/., diakses pada 09 Februari 2011.
26
Ibid.
14
Azas Tanggung Jawab (strict liability)
pertanggung jawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang
berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam
kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang
menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict
liability jika penggunaan tersebut bersifat non-natural atau di luar kelaziman, atau
tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat
kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena doktrin ini tidak mampu
menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian
Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda,
Thailand.29
27
Mas Achmad Santosa, et.al., Penerapan Azas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di
Bidang Lingkungan Hidup, http://www.icel.or.id/penerapan-asas-tanggung-jawab-mutlak-strict-
liability-di-bidang-lingkungan-hidup/., diakses pada 09 Februari 2011.
28
Ibid.
29
Ibid.
15
Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dimana
besarnya ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak
lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.30
Azas ini dimaksudkan adalah untuk mempertahankan daya dukung dan daya
tampung dari alam itu sendiri. Apabila ada yang melakukan pencemaran lingkungan
baik itu perorangan atau pun subjek hukum lainnya dapat dikenakan sanksi untuk
30
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059. Pada Pasal 88 menyebutkan bahwa : “Setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
16
mendukungnya. Dengan demikian pengertian pembangunan berkelanjutan adalah
mereka. Konsep ini mengandung dua unsur : (a). Kebutuhan, khususnya kebutuhan
dasar bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan.31
berkelanjutan32 :
kapital buatan manusia (man-made capital) tanpa batas. Dengan kata lain,
31
“Keberlanjutan Pembangunan”, http://okto-sumberdayaalam-
okto.blogspot.com/2009/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html., diakses pada 09 Februari
2011.
32
Idris Kartawijaya, “Pembangunan Berkelanjutan”,
http://tbidris.wordpress.com/2008/03/31/pembangunan-berkelanjutan/., diakses pada 09 Februari 2011.
17
deplesi sumberdaya alam tidak diperhitungkan dalam penilaian kegiatan
ekonomi.
sumberdaya air dan keragaman spesies merupakan hal yang penting bagi
tidak ada substitusi bagi modal alami (natural capital), karena natural
18
Azas Keadilan
Pada azas ini secara tersirat mengatakan bahwa pemerintah harus dapat
berlaku adil terhadap masyarakat dan pelaku usaha. Sebagai contoh : apabila ada
berupa emas. Maka, pemerintah dengan sigap langsung mengambil alih hak atas
tanah dari masyarakat tersebut. Pengambil alihan hak atas tanah itu didukung juga
karena pembagian hasil keuntungan tidak layak. Jika hak atas tanah tersebut sudah
beralih pengelolaannya kepada perusahaan tadi, maka masyarakat sekitar tidak dapat
lagi mengusahakan emas pada daerah tersebut. Contohnya dapat dilihat pada Gunung
19
bahwa dari 23 kasus yang diajukan ke pengadilan, hanya 13% yang dimenangkan
penggugat.33
mediasi, sebanyak 82% dari 17 kasus yang diteliti mencapai kesepakatan, dan hanya
64% tuntutan kompensasi telah dipenuhi dan dibayar oleh perusahaan. Adapun waktu
yang ditempuh untuk mencapai kesepakatan pun cukup lama yaitu antara satu hingga
kompensasi cukup tinggi namun keberlanjutan pencemaran dan sengketa juga masih
undang itu dibuat jika pengawas dan penegak hukumnya itu lemah, maka tujuan
hukum tidak berjalan yaitu keadilan dan kepastian hukum. Terkait dengan budaya
hukum yang berlaku pada suatu masyarakat, apabila budayanya baik, maka hukum
yang diterapkan juga baik dan berjalan. Namun, apabila budayanya tidak baik, hukum
33
“Bappenas : Akses Keadilan Lingkungan Perlu Ditingkatkan”,
http://www.antaranews.com/berita/244680/bappenas-akses-keadilan-lingkungan-perlu-ditingkatkan.,
diakses pada 09 Februari 2011.
34
Ibid.
20
Situasi dan Kondisi di Indonesia Apabila Penerapan Azas-Azas Hukum
Indonesia
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa
2. Azas Subsidiaritas;
5. Azas Keadilan.
azas-azas yang tersebut di atas tidak berjalan dengan semestinya. Seperti dapat dilihat
dapat dilihat pada pencemaran air di Sungai Deli. Artinya, kebijaksanaan pemerintah
dalam penanganan permasalahan lingkungan saat ini masih dipandang tidak berjalan
dengan baik dan tidak didasari dengan penelitian yang baik pula. Masalah terbesar
35
Ferdian Rikudo, “Ekologi dan Lingkungan Hidup”,
http://ferdianrikudo.wordpress.com/2010/09/26/ekologi-dan-lingkungan-hidup/., diakses pada 10
Februari 2011.
21
semakin maju suatu masyarakat maka akan berkurang daya dukung dan daya
mendukung alam dan lingkungan. Apalagi dengan kultur budaya yang sudah berubah,
tidak seperti dulu lagi yang mengedepankan kebersamaan dan tolong menolong.
Sekarang masyarakat sudah tidak peduli satu sama lain. Kebutuhan masyarakat
meningkat bukan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga untuk
menumpuk harta kekayaan. Hal inilah yang menjadikan alam dan lingkungan
krisis energi yang dihadapi, buruknya pengelolaan Rencana Umum Tata Ruang Kota
(RUTRK) yang carut marut, terjadinya bencana alam dimana-mana, rusaknya hutan
Indonesia serta sekelumit masalah pencemaran lingkungan lainnya yang tidak pernah
terselesaikan.36 Belum lagi masalah keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk
mengatakan bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu untuk
mengejar pelaku agar membayar ganti rugi terhadap pencemaran lingkungan yang
sungai. Hal itu tidak perlu dibuktikan lagi apabila sudah dilihat hanya ada 1 (satu)
perusahaan yang beroperasi di daerah sungai tersebut. Maka, pihak penegak hukum
dalam hal ini Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) untuk
36
Ibid.
22
melakukan penegakan hukum. Bentuk sanksi dapat berupa sanksi pidana,
dibawahi oleh Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara. Menurut Pasal 10 ayat (3)
huruf b, mengatakan bahwa “RPPLH diatur dengan peraturan daerah provinsi untuk
RPPLH provinsi”.37
BAB III
PENUTUP
37
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059.
23
Kesimpulan
yang Terdapat Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
tanggung jawab, dan azas keadilan merupakan hal yang penting untuk
ditegakkan dengan baik dan benar. Didukung dengan pengawas yang baik
Hukum”, bahwa apabila hukum itu ingin bergerak bagus dan mencapai
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Jika, pengawasannya sudah baik,
dalam hal ini adalah pemerintah dan organisasi lingkungan maka substansi
hukum sudah jalan dan otomatis strukturnya berjalan dengan dilandasi budaya
maka yang terjadi adalah berkurangnya daya dukung dan daya tampung alam
dan lingkungan.
Saran
24
1. Sebaiknya diberikan pengetahuan kepada perusahaan-perusahaan skala kecil
agar anak cucu dan generasi penerus dapat terus hidup baik dan dapat
DAFTAR PUSTAKA
25
Buku
Artikel Internet
26
Hidayat, Ferli., “Penerapan UU No. 32 tahun 2009 Dalam Penyelesaian Sengketa
Hukum”, http://ferli1982.wordpress.com/2010/12/21/113/., diakses pada 09
Februari 2011.
Santosa, Mas Achmad., et.al., Penerapan Azas Tanggung Jawab Mutlak (Strict
Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, http://www.icel.or.id/penerapan-asas-
tanggung-jawab-mutlak-strict-liability-di-bidang-lingkungan-hidup/., diakses
pada 09 Februari 2011.
Peraturan Perundang-Undangan
27