You are on page 1of 4

Peter Kasenda

Soekarno dan Hatta: Pahlawan Proklamator

Kalau lewat Jalan Pegangsaan Timur 56, tentunya kita melihat dua patung besar,
Soekarno dan Hatta. Langsung saja pikiran melayang ke masa lampau, 41 tahun yang lalu. Di
tempat itu, Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah Indonesia mencatat kejadian tersebut sebagai peristiwa yang terpenting dalam perjalanan
bangsa Indonesia.

Sejarah Indonesia menulis, bahwa merdeka berdua memainkan peranan menentukan


dalam mengantar bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Hari sabtu ini Presiden
Soeharto menganugerahi gelar Pahlawan Proklamator terhadap almarhum Soekarno dan
Mohammad Hatta, berkaitan dengan Hari Pahlawan 1986. Tentu saja anugerah ini disambut
dengan gembira khalayak ramai. Untuk itu, saya akan mencoba mengungkapkan sedikit
perjalanan Soekarno dan Hatta dalam sejarah Indonesia.

Proklamator

Soekarno berasal dari Pulau Jawa, sedangkan Hatta berasal dari Pulau Sumatera. Tempat
kedua tokoh berasal banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin pergerakan nasional. Hatta
meneruskan studinya diluar negeri, dan Soekarno menghabiskan masa mudanya ditanah air.
Perjalanan hidup yang berbeda tentunya mempengaruhi pemikiran kedua tokoh tersebut. Dalam
menghadapi penguasa kolonial Hindia Belanda, Soekarno dan Hatta terdapat banyak perbedaan
pandangan.

Kalau Hatta percaya bahwa untuk menuju Indonesia Merdeka, harus dipersiapkan kader-
kader yang tangguh dan perlunya analisa kelas sekaligus perjuangan kelas, Soekarno sibuk
dengan agitasi massa untuk membangkitkan aksi massa dan memandang analisa kelas dan
perjuangan kelas kurang begitu penting ; masalah utama adalah persatuan. Perdebatan di antara
mereka tak pernah berhenti. Kedua tokoh pergerakan nasional tak sepakat dengan pengertian
persatuan dan non-kooperasi. Akhirnya penguasa kolonial melihat adanya bahaya mengancam
dari dua kekuatan nasionalisme sekuler, yaitu Partai Indonesia (Partindo) dan PNI Baru.
Soekarno dan Hatta ditangkap, dipenjara dan dibuang ke tempat yang berlainan. Soekarno ke
Endeh (Flores) kemudian dpindahkan ke Bengkulu dan Hatta ke Boven Digul (Papua).kemudian
dpindahkan ke Banda Naira (Maluku).

John Ingelson, dalam bukunya Jalan Ke Pengasingan, mengatakan bahwa Soekarno dan
Hatta saling melengkapi dalam pergerakan nasional. Mereka berdua mampu membangkitkan
semangat dan kesadaran nasional. Sumbangan Hatta adalah merumuskan ideologi kaum
nasionalis sekuler, sedangkan Soekarno mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan rakyat
jelata.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Kendati gerakan nasionalis yang sekuler dan non-kooperatif ditindas oleh pihak
pemerintah Hindia Belanda, banyak yang telah dicapai pada masa tujuh tahun setelah 1927.
Suatu rasa bangga yang mendalam terhadap dimilikinya suatu identitas politik dan kebudayaan
Indonesia berkembang di kalangan berpuluh ribu rakyat yang menggabungkan diri dengan PNI,
Partindo dan PNI-Baru. Mereka juga bangga dengan hanya mengunjungi sebuah pertemuan
kaum nasionalis atau mendengar ide ”Indonesia Merdeka“ dari kawan-kawan atau tetangga.
Mulai saat itu tidaklah mungkin sesuatu kelompok politik yang mana pun di Indonesia dianggap
sebagai nasionalis jika tidak menyeruhkan kemerdekaan penuh dan penciptaan suatu bangsa
yang bersatu. Lambang-lambang nasionalisme – bendera merah-putih dan lagu Indonesia Raya
– sudah melembaga. Akhirnya, kaum nasionalis merasa terikat di tahun-tahun tersebut untuk
mengembangkan suatu bahasa nasional -bahasa Indonesia– sebagai suatu alat untuk
mempersatukan kelompok-kelompok di negeri itu yang berbeda suku dan dialek.

Walaupun mereka dibuang ke tempat yang jauh, tetapi kedua tokoh pergerakan nasional
tersebut masih saja menulis untuk pers Indonesia. Tentu saja tulisan-tulisan itu tidak diwarnai
masalah–masalah politik. Dengan cara begini, mereka berkomunikasi dengan masyarakat
Indonesia, melempar gagasan-gagasan mereka dan tak dilupakan bangsanya.

Pembuangan terhadap mereka hanya berlangsung selama delapan tahun Tahun 1942,
balatentara Jepang menaklukan pemerintah Hindia Belanda dan menduduki Hindia Belanda.
Perubahan besar terjadi, di mana Soekarno dan Hatta mengakhiri pengasingannya dan kembali
ke gelanggang politik Mereka tidak berada dalam posisi berseberangan dengan penguasa baru.
Kedua tokoh itu bersedia berkerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang, tetapi juga
sebagai pemimpin rakyat Indonesia. Tentu saja posisi tersebut mereka serba salah, tetapi itu
pilihan yang tepat pada waktu itu. Ada banyak anggota masyarakat menganggap mereka sebagai
kolaborator, karena mereka bersedia bekerjasama dengan Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang, kendati mereka disebut banyak orang sebagai
kolaborator, tetapi mereka tetap merupakan pimpinan utama yang selalu diperhitungkan. Hal itu
terlihat jelas, balatentara Jepang tidak mengabaikan Soekarno dan Hatta, bahkan membuka
kesempatan untuk tampil sebagai juru bicara bangsa Indonesia. Kepemimpinan Soekarno dan
Hatta memperoleh dukungan rakyat Indonesia .

Dengan dijatuhkan bom atom oleh Sekutu diatas kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang
menyatakan menyerah. Berakhirlah kekuasaan balatentara Jepang atas Hindia Belanda. Atas
nama bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta menyatakan proklamasi kemerdekaan.
Kemerdekaan Indonesia mengantar Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia yang pertama.

Dwi Tunggal

Dalam bukunya, Bung Hatta Menjawab, Mohammad Hatta mengatakan bahwa jiwa dan
praktek Dwi Tunggal merupakan kebulatan tekad bersama dalam memimpin negara dalam
revolusi, dimana kebijaksanaan maupun tindakan merupakan suatu keputusan bersama, Apabila
ada yang tidak hadir, tetap mendukung apa yang telah disetujui oleh satu pihak.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Sekali lagi, kata Mohammad Hatta, bahwa arti dan kedudukan Dwi Tunggal mulai
berubah, sejak Indonesia meninggalkan UUD 1945 berganti dengan UUD Sementara.
Sebenarnya keretakan hubungan antara Soekarno dan Hatta ini akibat permainan PKI, yang suka
mengadu domba kedua tokoh ini, sehingga menimbulkan salah pengertian. Keterpecahan ini
diinginkan oleh PKI, yang tidak menyukai figur Hatta sebagai orang nomor dua memungkinkan
ia melakukan kritik terhadap Soekarno. Tetapi kritik maupun nasehat yang disampaikan kepada
Soekarno tidak selalu ditanggapi dengan semestinya. Kejadian ini tentunya membuat ia frustasi
dan keluar dari lingkungan kekuasan politik, dan menjadi warga negara biasa. Sebagai sahabat
dan teman seperjuangan, Hatta menulis surat kepada Presiden Soekarno, apabila ia melihat hal-
hal yang tidak berkenan dihatinya. Walaupun mereka berada dalam posisi yang berbeda, tetapi
persahabatan tetap terjalin dengan baik. ( Baca : Hati Nurani Melawan Kexaliman : Surat-surat
Bung Hatta kepada Presden Soekarno 1957-1965 )

Dengan mengundurkan diri, sebenarnya Hatta ingin memberikan kesempatan kepada


Presiden Soekarno untuk membuktikan bahwa Soekarno mampu membawa bangsa Indonesia
menuju masyarakat adil dan makmur sesuai dengan cita-citanya dimasa penjajahan. Tentu saja
tanpa Moh Hatta Pengunduran diri menghancurkan adanya mitos Dwi Tunggal di tengah-tengah
keinginan rakyat Indonesia agar Dwi Tunggal tetap berlangsung. Dwi Tunggal berubah menjadi
Dwi Tanggal. Tetapi perselisihan kedua tokoh tersebut telah membuat Dwi Tunggal tak dapat
dipertahankan lagi. Pengunduran diri sebagai pilihan terakhir bagi Hatta.

Perbedaan kepemimpinan kedua tokoh tersebut dilukiskan oleh Herbert Feith, sarjana
politik Australia, didalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia,
melukiskan Soekarno sebagai pemimpin bertipe Solidarity Maker, yang lebih mementingkan
segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Kalau Hatta dikatakan sebagai pemimpin bertipe Administrator, yaitu seorang pemimpin yang
lebih mementingkan cara rasional dalam membangun bangsa.

Halida Nuriah Hatta, dalam skripsinya dengan judul : Dwi Tunggal : Analisa Pola
Kepemimpinan Nasional Periode 1945-1956, mengatakan bahwa Penerapan Azas Dwi Tunggal
berlangsung pada masa revolusi nasional, di mana pada masa Demokraai Parlementer mendapat
tantangan berat, yang terasa sulit diatasi. Halida Hatta menegaskan bahwa Soekarno dengan
Hatta mempunyai perbedaan mengenai Revolusi dan PKI di Indonesia.

Mohammad Hatta menganggap bahwa revolusi sudah selesai, sedangkan Soekarno masih
gandrung dengan revolusi. Berkaitan dengan PKI, Mohammad Hatta kurang percaya untuk
bekerja sama dengan pihak Komunis, melihat pengalaman masa lalu. Kalau Soekarno percaya
dengan “sifat lain“ dari kaum Komunis Indonesia yang membedakannya dengan kaum komunis
di negara lain.

Bagi PKI, sebagaimana dikatakan Taufik Abdullah, revolusi adalah jalan yang harus
ditempuh untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas, sebagaimana diajarkan marxisme-
leninisme. Maka, terlepas dari latar belakang Soekarno yang “borjuis”, PKI bisa melihat bahwa
gagasannya sejajar dengan paham yang telah mereka anut. Bukankah Soekarno berkali-kali
mengatakan ia adalah penganut Marxis, meskipun bukan dalam pengertian ideologi dan filsafat,

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

tetapi sebagai landasan teori sejarah dan sosial. Jika Manifesto Politik merumuskan makna
revolusi, menunjukkan lawan dan kawan revolusi, dan sebagainya, maka USDEK berarti UUD
1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Nasional.

Jadi, USDEK bisa juga dilihat PKI sebagai “nasionalisasi” dari keprihatinan ideologis
mereka. Apalagi Soekarno adalah juga seorang Presiden yang sewaktu-waktu bisa memberikan
perlindungan politik dan hukum bagi kehadiran dan aktivitas PKI. Maka bisa dipahami kalau
PKI melihat Soekarno sebagai “pelindung” dan menyebutnya sebagai “aspek pro rakyat “ dalam
pemerintahan. DN Aidit bahkan membuat hipotesa sejarah, jika seandainya Soekarno yang
berkuasa bukan Moh. Hatta di tahun 1948, maka “ peristiwa provokasi Madiun “ tidak akan
terjadi.

Dalam memoarnya, Bapakku Ibuku, Rachmawati Soekarnoputri menulis dengan kepiluan


hati tentang persahabatan Dwi Tunggal. Ia mengatakan bahwa Hatta adalah satu-satunya sahabat
Soekarno yang menjenguk ketika Soekarno masuk Rumah Sakit Angkatan Darat. Pertemuan
kedua sahabat ini amat mengharukan. Memang walaupun ada perselisihan di antara kedua belah
pihak, tetapi itulah arti sebuah persahabatan.

Sekarang kedua tokoh proklamator telah tiada, berbaring dengan tenang di perkuburan
biasa, bukan di Taman Makam Pahlawan, Tetapi yang penting, bangsa Indonesia mengenangnya
sebagai Pahlawan Proklamtor.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com

You might also like