You are on page 1of 6

Peter Kasenda

Soekarno, Marhaen dan PNI

Kemerosotan peran yang dimiliki oleh Sarekat Islam disertai dengan kegagalan
pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia telah menimbulkan sejumlah
akibat bagi gerakan nasionalis Indonesia. Tetapi yang penting adalah timbulnya suatu
kekosongan dalam gerakan nasionalis, di mana gerakan nasionalis ini memerlukan pengarahan
dan pimpinan baik dari sisa-sisa organisasi politik yang ada maupun pembentukan partai-partai
baru.

Melihat kekosongan itu, Moh Hatta, Iskaq, Budyharto dan Sujadi berusaha merealisir
pembentukan suatu partai baru yang sesuai dengan rencana-rencana Perhimpunan Indonesia
sesegara mungkin. Akhirnya diumumkan kepada publik kalau mereka bermaksud mendirikan
sebuah partai baru yang dinamakan Sarekat Rakyat Nasional Indonesia (SRNI) dan direncanakan
pada bulan Juli 1927 diadakan kongres untuk meresmikan partai tersebut. Persiapan-persiapan
yang telah dilakukan memperlihatkan kalau partai yang mau dibentuk itu tidak didasarkan pada
Islam maupun Komunisme. Tetapi pada akhirnya inisiatif itu kurang cukup memadai untuk
direalisir, sebab partai baru yang mau dibentuk itu dianggap kurang mampu menampung aspirasi
para pendukungnya, yang menganggap mereka yang di negeri Belanda kurang paham terhadap
situasi yang ada di tanah air.

Sebaliknya di tanah jajahan Hindia Belanda, pimpinan Kelompok Studi Umum yang
merasa lebih paham tentang situasi di tanah air daripada pengurus Perhimpunan Indonesia di
negeri Belanda mulai mengambil inisiatif untuk membentuk partai baru, yang berlandaskan
paham kebangsaan. Tidak memakan waktu cukup lama, akhirnya Soekarno, Tjipto
Mangunkusumo dan beberapa anggota bekas Perhimpunan Indonesia seperti Iskaq, Sujadi,
Sunario dan Budhyarto berhasil membentuk partai baru, yang dinamakan Perserikatan Nasional
Indonesia, pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Sejak itulah secara perlahan-lahan tetapi pasti
gerakan nasionalis di Indonesia yang dulunya dipegang oleh bekas gurunya Soekarno, HOS
Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam-nya beralih kepada anak asuhnya HOS Tjokroaminto,
Soekarno dengan Perserikatan Nasional Indonesia berubah nama menjadi Partai Nasional
Indonesia beberapa bulan setelah terbentuk.

Nama Soekarno semakin menjulang ke atas langit pada saat ia bersama dengan Maskun,
Gatot Mangkupradja dan Supriadinata ditangkap dan ditahan atas tuduhan pemerintah kolonial
Hindia Belanda, kalau mereka dianggap telah menganggu ketertiban dan ketentraman umum
selama beberapa tahun. Tentu saja, kejadian ini menyentak gerakan nasionalis. Bahkan pers
nasionalis menyatakan rasa kaget dan kecewa terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Walaupun
demikian mereka menghimpun agar para pembaca diminta dengan sangat agar tetap tenang dan
yakin bahwa partai itu bersih dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya.

Dalam acara persidangan di pengadilan basar Bandung ketika Soekarno diberi


kesempatan untuk mengadakan pembelaan, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan, lewat
penampilan yang lebih banyak ditujukan kepada reporter-reporter surat kabar yang hadir
daripada kepada pengadilan itu sendiri, ia melancarkan kritik penuh gaya terhadap masyarakat
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Indonesia kaum nasionalis dalam pleidoi yang berjudul “Indonesia Menggugat“, yang dianggap
sebagai dokumen yang amat bersejarah itu. Soekarno menyebut-nyebut golongan terbesar dalam
masyarakat Indonesia.

“ Sebab susunan pergaulan hidup Indonesia sekarang adalah pergaulan merk Kromo,
pergaulan hidup Marhaen, pergaulan hidup yang sebagian besar sedakli adalah terdiri dari kaum
tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, pendek kata: ….kaum
kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil!”

Untuk lebih memahami istilah kata “Marhaen” itu, ada baiknya menengok kembali cerita
yang dikisahkan oleh Soekarno dalam autobiografinya. Sebagai mahasiswa Technise Hogere
School, Soekarno biasanya mendayung sepedanya ke kampus. Tetapi pada saat itu ia tidak
melakukan kebiasaan itu. Ia pergi tanpa tujuan, hingga akhirnya membawa dirinya ke Bandung
Selatan, suatu daerah pertanian yang padat penduduknya dan setiap petani memiliki tanah
garapan kurang daripada sepertiga hektar. Di daerah persawahan itulah Soekarno berbincang-
bincang dengan petani yang berada di situ.

Melalui pertanyaan yang diajukan kepada petani yang diajak bincang-bincang itu.
Soekarno mendapat jawaban bahwa petani itu adalah pemilik tanah, cangkul dan bajak dengan
bekerja keras petani itu berusaha untuk memenuhi rumah tangga. Hasilnya sekedar untuk
keperluan keluarganya, ada kelebihan untuk dijual. Ketika ditanya siapa namanya, petani tanpa
majikan ia menjawab : Marhaen. Akhirnya Soekarno memutuskan untuk menggunakan istilah itu
sebagai lambang kaum yang lemah, sengsara dan tertindas akibat daripada kekejaman
imperialisme selama berabad-abad itu.

Berkaitan dengan istilah Marhaen, John D Legge yang ahli tentang Soekarno itu
mengatakan bahwa istilah tersebut sudah biasa digunakan sejak tahun 1927 dan sesungguhnya
tidak lebih dari kata yang sama dalam bahasa Sunda untuk kata Jawa “Kromo”. Pendapat yang
hampir serupa juga diungkapkan oleh John Ingelson yang menyebutkan bahwa kata Marhaen
adalah sebuah kata bahasa Sunda yang digunakan Sarekat Islam pada akhir tahun 1910-an dan
awal 1920-an yang berarti, petani kecil. Pendapat yang bertolak belakang dari pendapat yang
dikemukakan kedua ilmuwan diatas itu dinyatakan oleh Bernhard Dahm, yang menulis disertasi
mengenai biografi intelektual Soekarno masa kolonial. Menurut pendapatnya, istilah Marhaen
belum terdengar. Kata Marhaen itu mulai tersebar luas ketika Soekarno mempergunakannya di
dalam pidatonya yang berjudul “Indonesia Menggugat “. Selanjutnya Bernhard Dahm
menjelaskan bahwa sampai akhir tahun 1930, ungkapan yang biasanya dipakai itu menyebut
rakyat kecil adalah istilah kaum “Kromo” yang kerapkali digunakan oleh Partai Komunis
Indonesia. Tetapi untuk maksud yang PKI sering menggunakan kata Proletariat. Dimata
Soekarno istilah proletariat kurang sesuai dengan situasi yang ada di Indonesia. Maka ia harus
senang menggunakan istilah itu untuk menolak tuduhan bahwa PNI adalah identik dengan PKI.

Sebenarnya pemikiran tentang rakyat kecil merupakan suatu sumbangan yang khas dalam
pemikiran politik Soekarno, walaupun hal itu tidak merupakan sesuatu yang amat penting. Dapat
dikatakan bahwa konsep yang diajukan itu merupakan suatu penilaian yang jujur terhadap sifat
masyarakat Indonesia. Marxisme telah memberikan kepada Soekarno, alat yang amat penting
guna melakukan analisa sosial dan dalam pengkajiannya tentang sifat kekuasaan kolonial.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Dalam Indonesia Menggugat, Soekarno secara tajam membedakan konsep Marhaen itu
dengan konsep Proletar, maka menurut pandangan Soekarno struktur masyarakat Indonesia
belum industrialis seperti di negera Barat. Bedanya adalah massa Marhaen bukan terdiri dari satu
golongan saja, tetapi dari berbagai ragam golongan kecil seperti, petani kecil, pengusaha kecil,
buruh kecil, nelayan kecil dan sebagainya yang semuanya kecil, sama-sama menanggung beban
akibat kekejaman imperialisme dan kapitalisme. Semua rakyat kecil itu dinamainya kaum
Marhaen.

Soekarno secara cerdik menggunakan analisa sosial Karl Marx kepada kondisi
masyarakat Indonesia. Ia melihat tiada perlunya konsep proletar serta menganggap penting arti
massa rakyat. Ini sesuai dengan pandangannya tentang perlawanan terhadap imperialisme. Ia
melihat bahwa bentuk perlawanan itu seharusnya tidak terhadap sesuatu yang mengandung
unsur-unsur ketegangan kelas seperti yang diyakini PKI, tetapi menitik beratkan kepada
perjungan antar dua kutub ekstrim yaitu masyarakat Indonesia sebagai suatu keseluruhan
melawan kekuasaan kolonial Hindia Belanda.

Konsep Marhaen itu dibuat Soekarno telah memecahkan suatu masalah yang selama
bertahun-tahun merisaukannya. Didepan kongres Jong Java di Bandung pada tahun 1921,
Soekarno mengemukakan bahwa tentang tidak terelakannya suatu perjuangan kelas dalam
masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, ia tidak pernah puas dengan pandangan itu.
Akhirnya ia menemukan konsep Marhaen yang memungkinkan ia lebih menempatkan
perjuangan itu ke dalam pengertian nasional daripada ke dalam pengertian kelas.

Ternyata pembelaan yang diajukan oleh Soekarno dan kawan-kawan maupun


pengacaranya tidak membebaskan mereka dari hukuman yang berat
Kerasnya hukuman yang dijatuhkan pada pundak Soekarno justru mengejutkan baik para
pemimpin yang dianggap bersalah itu maupun kelompok yang lebih luas dari kaum nasionalis
itu. Bahkan professor JMJ Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Batavia, mengutuk dasar
hukum yang dijatuhkan kepada pimpinan Partai Nasional Indonesia itu. Walaupun muncul
protes-protes, Dewan Hakim tidak ambil peduli dengan suara-suara itu. Keputusan yang diambil
Dewan Hakim itu membawa Soekarno dan kawan-kawan untuk meringkuk lembali di ballik
penjara Sukamiskin.

Ketika Soekarno di balik penjara itu, ia dengan kecewa mengetahui kalau Partai Nasional
Indonesia yang ia didirikan itu membubarkan diri dengan alasan sulit untuk mempertahankan
eksistensi partai itu akibat ditahannya beberapa pimpinan PNI. Sartono sebagai penggerak utama
pembubaran partai itu, memutuskan untuk mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia
(Partindo). Tindakan Sartono ini menimbulkan kritik maupun kecaman dari sebagian besar
anggota PNI. Akhirnya pendukung PNI terpecah-pecah dan mereka yang kurang menyetujui
pembubaran itu, akhirnya memutuskan untuk membentuk partai baru, yang diberi nama
Pendidikan Nasional Indonesia Baru, yang digerakkan oleh Moh Hatta dan Sutan Sjahrir.
Melihat gerakan nasionalis semakin terkoyak-koyak hanya membuat hati Soekarno semakin
sedih saja, tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa, sebab keadaan yang tidak memungkinkan ia
berbuat sebagaimana yang dia inginkan.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Setelah dua tahun mendekam di dalam penjara, Gubernur Jendral D Graeff


mengumumkan pengampunan sebagian hukuman para pemimpin PNI almarhum. Soekarno
dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931 sesudah menjalani hukuman dua tahun dari
seharusnya empat tahun. Pembebasan Soekarno disambut dengan gembira di kota-kota
Indonesia. Hal itu jelas kelihatan ketika ia berkunjung ke Surabaya untuk menghadiri Kongres
Indonesia Raya yang diadakan oleh PPKI. Di stasiun Surabaya dia disambut sekitar 5000 orang,
pekikan gembira “hidup Soekarno” diteriakan oleh massa, bahkan dinyanyikan lagu “Mars
Soekarno”. John Ingelson yang menulis disertasi mengenai gerakan nasionalis 1927 - 1934,
memberi komentar terhadap kehadiran di kota Surabaya itu sebagai bukti betapa mendalamnya
perasaan yang telah dibangkitkannya baik secara pribadi maupun kedudukannya sebagai simbol
perjuangan Indonesia.

Tetapi semuanya itu tidak membuat Soekarno berhasil menyatukan dua kekuatan gerakan
nasionalis, antara Partai Indonesia (Partindo) dengan Pendidikan Nasional Indonesia Baru,
walaupun ia telah berusaha semaksimal mungkin. Akhirnya Soekarno memutuskan untul masuk
kedalam kubu Partindo yang dianggap sesuai dengan selera maupun ideologinya.. Di sana
memberi kesempatan Soekarno untuk melakukan agitasi massa, yang kemudian menimbulkan
massa aksi.

Walaupun Partindo mempunyai jumlah anggota yang banyak, tetapi jumlah cabang yang
dimiliki tidak sebesar yang dipunyai Pendidikan Nasional Indonesia Baru. Kenyataan itu,
menyebabkan Soekarno mengusulkan kepada Badan Pengurus Partindo pada bulan Maret 1933
agar partai itu mengubah namanya menjadi Partai Nasional Indonesia. Usulan yang diajukan
Soekarno itu berdasarkan nostalgia dan kekuatiran terhadap desas-desus yang menyebutkan
kalau PNI Baru juga bermaksud menggunakan nama tersebut. Soekarno menegaskan kalau ada
partai yang berhak menggunakan nama Partai Nasional Indonesia, hanyalah Partai Indonesia
(Partindo). Dan Soekarno menganggap bahwa pengunaan nama itu justru menolong mengurangi
pengaruh PNI Baru, dan Soekarno mencoba meyakinkan bahwa pemakaian nama itu tidak
mengundang tindakan pemerintah untuk menentangnya. Tetapi usaha Soekarno untuk merealisir
gagasan itu tidak mendapat dukungan.

Meskipun Soekarno gagal di satu pihak, tetapi dilain pihak ia berhasil menggolkan
konsep Marhaenisme agar diterima oleh partai sebagai dasar-dasar politik Partindo dalam
kongres bulan Juli 1933. Kesembilan tesis yang penting dari Marhaenisme itu, di kutip kata demi
kata secara keseluruhan di bawah ini.

1. Marhaenisme , yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.


2. Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat
Indonesia yang lain-lain.
3. Partindo memakai perkataan Marhaen dan tidak proletar oleh karena perkataan proletar itu
sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen.
4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia
yang lain-lain itu harus menjadi elemen-elemen (bagian-bagian), maka Partindo memakai
perkataan Marhaen itu
5 Di dalam perjuangan Marhaen itu, Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar
mengambil bagian yang besar sekali.
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

6 Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri
yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
7 Marhaenisme adalah pula cara-cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat
dan susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya, harus suatu cara perjuangan
revolusioner.
8 Jadi Marhaenisme adalah: Cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya
tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme

Melihat butir kelima, menunjukkan bahwa Soekarno percaya kepada ramalan Karl Marx
pada suatu saat kaum proletar akan menang melawan kejayaan kaum kapitalis. Di samping itu
Soekarno melihat bahwa kaum proletar yang terkena langsung dengan adanya sistim kapitalisme,
menyebabkan mereka lebih mempunyai daya juang yang lebih besar dibandingkan dengan
golongan-golongan lainnya.

Marhaen adalah seorang petani yang sederhana yang pernah dijumpai Soekarno di
Bandung Selatan ketika ia, waktu menjadi mahasiswa, sedang berjalan-jalan naik sepeda di sana.
Marhaen menjadi lambang dari berjuta-juta petani, pedagang dan pengrajin kecil Indonesia yang
berwiraswasta, yang tidak mempunyai pegawai dan yang ingin hidup damai dengan harta
miliknya yang kecil itu. Soekarno menganggap para Marhaen ini sebagai orang-orang yang bakal
bisa dijadikan penganutnya. Perjuangan antar kelas model Karl Marx atau “diktaktur kaum
proletar” tidak cocok dengan paham Marhaenisme. Begitu kata Lambert J Giebels yang menulis
biografi politik Soekarno.

Berkaitan dengan tesis Marhaenisme, John Ingelson memberi komentar, bahwa konsep-
konsep yang diajukan oleh Soekarno itu tidaklah menunjukkan perubahan penting dalam
pemikiran politik Soekarno, hanyalah sekedar penghalusan ide-idenya tentang politik, ekonomi
dan sosial yang dikemukakan sejak tahun 1927 sejalan dengan arus itama gerakan nasionalis
sekuler. Dan tesis yang ditawarkan Soekarno itu sekaligus merupakan jawaban atas tantangan
ideologis yang diajukan oleh PNI Baru yang mulai memperkenalkan konsep kedaulatan rakyat
dan kolektivisme.

Melihat gerakan nasionalis sayap non-kooperasi yang makin lama makin membahayakan
kedudukan kekuasaan kolonial di tanah tanah jajahan Hindia Belanda. Gubernur Jendral De
Jonge pada pertengahan tahun 1933, memerintah penahanan atas diri Soekarno kembali. Kini
Soekarno bukan ditahan saja di tahan di balik tembok penjara, melainkan Soekarno dibuang atau
diasingkan dari kerumumnan publik yang mengaguminya ke daerah terpencil Endeh, Flores. Hal
itu juga berlaku atas Moh Hatta dan Sutan Sjahrir ke Boven Digul. Sejak itulah gerakan
nasionalis tidak mempunyai pilihan untuk melakukan perlawanan terbuka dengan pemerintah
Hindia Belanda.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com
Peter Kasenda

Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com, peterkasenda@rocketmail.com

You might also like