You are on page 1of 7

Nama : Sartika Lumban Gaol

NIM : 8106131037

Mata Kuliah : FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

KODE MK : AP 5111

DOSEN : Prof.DR.B.MANULLANG

TUGAS : ARTI FILSAFAT, ONTOPOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOKOGI SERTA

KAJIAN EFISTIMOLOGI

I. Pengertian

Filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu


pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat
adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu
pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka
dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut
Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia

Louis O. Katsoff dalam bukunya ”Elements of Philosophy” menyatakan bahwa kegiatan


filsafat merupakan perenungan, yaitu suatu jenis pemikiran yang meliputi kegiatan meragukan
segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan
gagasan yang lainnya, menanyakan ”mengapa”’ mencari jawaban yang lebih baik ketimbang
jawaban pada pandangan mata. Filsafat sebagai perenungan mengusahakan kejelasan,
keutuhan, dan keadaan memadainya pengetahuan agar dapat diperoleh pemahaman. Tujuan
filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik
dan menilai pengetahuan . Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.

Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan
pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran
dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun
dari bahan yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah
tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis &
logis.
Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat
fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan
dengan sifat interaksi sosial. Menurut Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis,
ontologis, dan oksiologis Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya
pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki
keluasan eksistensi kemanusiaan.

1
Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau
agama. Litle John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang
membahas value (nilai-nilai) Litle John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar
teori ini adalah dengan nama metatori.

A. Pengertian Ontologi

Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat
fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan
dengan sifat interaksi sosial. Menurut Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis,
ontologis, dan oksiologis Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya
pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki
keluasan eksistensi kemanusiaan.

Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek
pemikiran. Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat,
kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem ini
biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi.
Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu
dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang
memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).

Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan
epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau
kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan
aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari
ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru
ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya
keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit untuk
menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi
sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Hal ini akan lebih jelas lagi, jika
kita renungkan bahwa meskipun terdapat objek pemikiran, tetapi jika tidak didapatkan cara-
cara berpikir, maka objek pemikiran itu akan “diam”, sehingga tidak diperoleh pengetahuan
apapun. Begitu juga, seandainya objek pemikran sudah ada, cara-cara juga adam tetapi tidak
diektahui manfaat apa yang bisa dihasilkan dari sesuatu yang dipikirkan itu, maka hanya akan
sia-sia. Jadi, ketiganya adalah interrelasi dan interdependensi (saling berkaitan dan saling
bergantung).

Namun demikian, ketika kita membicarakan epistemologi disini, berarti kita sedang
menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan
pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas

2
berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan
kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami
seluk beluk diseputar epistemologi, mulai dari pengertian, ruang lingkup, objek, tujuan,
landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi
B. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk
membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat,
epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah
dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka
memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan
pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi
persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep,
meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan
konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis,
guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini
berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya,
seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika
dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar
tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip
belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi,
pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi
pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu
biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian
pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang
terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan
para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah
epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau

3
sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi,
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam
epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana
pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori
(pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna
pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah
hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang
mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965,
dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik
untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-
pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup
membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat
pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat
pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli
dari pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan,
sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini
akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.

Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut,
diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan.

4
Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”.
Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini
sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah
menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami

C. Pengertian Aksiologi

Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia


menggunakan ilmunya[1]. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios
yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[2] Menurut John Sinclair,
dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan
oleh setiap insan.

Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik
pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu
dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.

II. Kajian

1. Kajian Aspek Ontologis


Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada
keberadaan berita infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita
infotainment bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah
berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya dengan
mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, hal-hal, yang
menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James
Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat,
Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta
dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst
dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme kuning.”

Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita


hebohnya perselingkuhan Presiden Amerika ”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu
seakan telah menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di
Indonesia, fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak zaman Harmoko
(Menteri Penerangan pada saat itu) banyak surat kabar–surat kabar kuning
muncul & diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo
Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin membuat semarak ”Jurnalisme kuning

5
di Indonesia”. Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin
banyak media baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang
mengabaikan kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-
lain. Ketika tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya
juga ikut-ikut menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment
marak di TV kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak bisa
terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak disukai oleh
masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)

2. Kajian Aspek Epistemologis:

Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam
setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap
kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan. Tiap
pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tak
berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley
(1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang
memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat,
seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian. Hal-hal
ini merupakan tolok ukur dari ”The Quality of News” dan menjadi pedoman yang
mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita & membantu
upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis cara-
cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita
infotainment yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang,
mapan, sistematis & logis.

3. Kajian pada aspek aksiologis

Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan.


Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang
enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak
pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang
lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan”
antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda,
infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena
terbangun atas bentuk bukan substansi.

Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi


mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu
mengabaikan kepentingan masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita
infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah

6
diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari
pemasang iklan.

DAFTAR PUSTAKA
Louis O,Katsoff , ”Elements of Philosophy”
Little John., Stephen W., 1996, Theories of Human Communication, Ohio: Charles E. Merril
Company
Suriasumantri, Jujun S, 1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Sinar Harapan,
Jakarta
Suriasumantri, Jujun S, 1988, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Sinar Harapan,
Jakarta
J.F. Ferrier,
Menurut John Sinclair,

You might also like