You are on page 1of 111

MODUL I

Judul : Pengertian Kejahatan Transnasional


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena kejahatan transnasional terorganisir (Transnational Organized Crime) /
TOC) terus mengemuka dan membutuhkan perhatian serius dari setiap negara. Bentuk-
bentuk TOC - seperti; penyelundupan manusia (Human Trafficing), aksi-aksi
pembajakan, kejahatan internet (Cyber Crime), terorisme, peredaran narkoba (Drug
Trafficking), pencucian uang (Money Loundering), penyelundupan senjata, dan aneka
kejahatan ekonomi internasional – semakin berkembang pesat dan telah teridentifikasi
sebagai ancaman keamanan baru. Dalam konsep lama, keamanan merupakan persoalan
yang terkait dengan negara (State Survival), sementara TOC melengkapinya dengan
menaruh perhatian keamanan sampai pada tingkat individu (Human Security). Dengan
demikian, TOC merupakan fokus yang merekatkan negara dan masyarakat. TOC
mengancam negara dalam keseluruhan dimensinya dan pada saat yang sama ancaman
TOC terkait erat dengan keamanan individu warga negara. Demikian pula fenomena yang
terjadi di Indonesia, kejahatan transnasional membutuhkan pehatian bagi pemerintah dan
masyarakat untuk mengatasinya. Sehingga, kejahatan trasnasional dapat dicegah.

B. Ruang Lingkup Isi


Modul ini meliputi pengertian,. bentuk-bentuk, pola, jaringan kejahatan
transnasional, seperti: terorisme, illegal logging, illegal fishing, cyber crime, icking
(human traff trafficking in child, trafficking in women), illicit in army (gun trafficking),
drug traffic king, korupsi, , dan money laundering
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul pertama yang menjadi sub pokok bahasan pengertian,
bentuk dan pola. dalam mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan pengertiang dari kejahatan transnasional berdasarkan konferensi
PBB tentang kejahatan dan hukum kriminal (United Nation Crime And Criminal
Justice Branch) pada tahun 1974.
2. Menjelaskan bentuk- bentuk dari kejahatan transnasional
3. Menjelaskan hubungan antar Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional
4. Menjelaskan
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
1. Keaktifan di kelas
2. Tata kerama/ sopan santun
3. Kerjasam team
4. keaktifan berdiskusi
5. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
6. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber

BAB II PEMBAHASAN
Istilah “transnasional crime” pertama kali digunakan pada konferensi PBB
tentang kejahatan dan hukum kriminal (United Nation Crime and Criminal Justice
Branch) pada tahun 1974 sebagai bahan kajian diskusi di dalam salah satu forumnya.
Kemudian pada tahun 1995, PBB memberikan satu konsep tentang kejahatan
transnasional sebagai “offenses whose inception, prevention and or direct effect of direct
effect involved more one country” (United Nations, 1995).
Kejahatan transnasional atau transnasional crime harus dibedakan dengan
kejahatan internasional. PBB memberikan ruang lingkup pada kejahatan transnasional
dengan memberikan batasan-batasan pada tindak criminal internasional yang dapat
dikategorikan sebagai kejahatan transnasional yaitu kejahatan (dalam hal ini tidak
melibatkan suatu pemerintah atau Negara) tersebut harus terjadi melintasi batas dari
territorial yurisdiksi hukum suatu Negara.
PBB mengidentifikaskan kejahatan transnasional dalam 18 bagian, yaitu: money
loundring, terrorist activities, theft of art and cultural objects, theft of intellectual
property, illicit traffic in arms, sea piracy, hijacking on land, insurance fraud, computer
crime, environmentalcrime, trafficking in persons, trade human body parts, illicit drug
trafficking, fraudulent bankkrupty, infiltration of legal bussines, corruption, bribery of
public officials, of offences commited by organized criminal grups (United Nations,
1995).
Dari pemaparan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan
transnasional merupakan suatu permasalahan yang menyangkut masalah yurisdiksi
hukum yang penyelesaiannya sangat kompleks disebabkan oleh adanya perbedaan yang
signifikan pada yurisdiksi hukum setiap negara yang terlibat, jika dibandingkan dengan
kejahatan internasional yang dapat diidentifikasi dengan jelas dan penyelesaiannya dapat
dilakukan dengan menggunakan hukum internasional.

BAB III PENUTUP


Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan
bentuk dari kejahatan transnasional yang berkembang dalam masyarakat internasional.
Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila CD belajar interaktif yang
memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan bersama dengan pokok bahasan
pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat dipahami dengan baik, maka
secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias melangkah untuk mengkaji
modul selanjutnya,

DAFTAR PUSTAKA :
1. Arif, B Nawawi, Prof. Dr., 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

2. Casey, Eoghan, 2001, Digital Evidence and Computer Crime, A. Harcourt Science
and Technonogy Company, London.

3. Coplin, D. William, 1992, Pengantar Politik Internasional, Suatu Telaah Teoritis,


Sinar Baru, Bandung.

4. Hamzah, H., 1988, Delik Penyelundupan Disesuaikan Dengan Inpres No. 4 Tahun
1985, Edisi Pertama: Jakarta: Akademik Pressindo.

5. Lapian, L.M.Gandhi dan Hetty A. Geru, 2006, Trafficking Perempuan dan Anak,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

6. P.N. Grabosky and Russel G. Smith, 1998, Crime In The Digital Age: Controlling
Telecommunications And Cyberspace Illegalitas, Transaction Publisher: New
Brunswick, NJ.
KODUL II

JUDUL : I legal Fishing dan Ilegal Loging

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah pencurian ikan (illegal fishing) nampaknya tidak mendapat porsi yang cukup
memadai. Padahal, menurut data kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh
dunia mencapai 9 miliar dollar per tahun. Sedangkan, Indonesia sendiri mengalami
kerugian yang diperkiraan mencapai 2 miliar dolar atau sekitar 19 triliun rupiah per
tahun. Dengan kata lain, diperkiraan 22 % produksi illegal fishing di seluruh dunia
berasal dari Indonesia. Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian
Indonesia jauh lebih besar, bisa mencapai 30-40 triliun rupiah setiap tahunnya akibat dari
illegal fishing tersebut.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.500 pulau, dimana
hampir 70 % (5,8 juta km persegi) wilayahnya diliputi perairan dengan potensi
kekayaan laut yang sangat potensial. Menurut data, sumber perikanan laut Indonesia
diperkirakan mencapai 6. 167.940 ton per tahunnya. Namun, akibat letak posisi silang
Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudra
(Pasifik dan Hindia), menyebabkan wilayah Indonesia menjadi rawan terjadinya illegal
fishing. Adapun, daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut
Natuna, Sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat
Sumatra (Samudra Hindia).
Penebangan liar atau lebih di kenal dengan istilah Illegal logging adalah aktivitas
yang terjadi pada saat penebangan kayu dilakukan secara tidak sah dengan melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang -undangan, berupa pencurian kayu didalam
kawasan hutan negara atau hutan hak (milik), dan atau pemegang izin melakukan
penebangan lebih jauh dari jatah yang telah ditetapkan sesuai perizinan.  Beberapa
sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan
penebangan liar di dunia terjadi di wilayah – wilayah daerah aliran sungai Amazon,
Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa Negara – Negara Balkan.
Illegal logging merupakan aktivitas yang menghancurkan sumber daya hutan,
perekonomian nasional dan sekaligus tatanan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar
hutan. Kerugian negara sangat besar akibat pendapatan hasil penjualan kayu tidak masuk
ke kas negara. Di samping merugikan negara secara finansial, aktivitas ini juga
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Pengelolaan hutan yang tidak bertanggung
jawab hanya akan memberikan kekayaan sesaat pada individu pelakunya, namun
menyisakan penyesalan yang berkepanjangan akibat terdegradasinya hutan sebagai
bagian dari ekosistem kehidupan.

B. Ruang Lingkup Isi


Modul ini meliputi pengertian illegal fishing dan illegal loging sebagai salah satu
dari bentuk kejahatan transnasional. Kasusi llegal fishing dan illegal loging terus
meningkat dengan modus operandi yang makin beragam yang tidak hanya melibatkan
individu dan organisasi tapi juga melibatkan negara . Keterlibatan Negara dalam
mengatasi kejahatan transnasional baik melalui kerjasama bilateral, regional maupun
internasional. Disamping itu, dalam mengatasi kejahatan transnasional yang terus
meningkat juga menggunakan kerjasam dengan orangisasi internasional yang terkait,

C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul kedua, yang menjadi sub pokok bahasan illegal fishing dan
illegal loging pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
5. Menjelaskan pengertian illegal fishing dan illegal loging
6. Menjelaskan bentuk dan pola illegal fishing dan illegal loging
7. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus illegal
fishing dan illegal loging
8. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi illegal fishing dan
illegal loging
9. Mampu menganaisis kasus illegal fishing dan illegal loging dengan memberikan
solusinya.
10.
11. dalMenjelaskan
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
7. Keaktifan di kelas
8. tata kerama/ sopan santun
9. Kerjasam team
10. keaktifan berdiskusi
11. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
12. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
13. Mampu menganalisis kausus

BAB II PEMBAHASAN
A. Illegal Fishing
Mengapa illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang, begitu marak
terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecendrungan terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula? Hal
ini disebabkan: Pertama, terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga
memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini
bisa dilihat pada Undang-Undang Perikanan Nomor:31 Tahun 2004. Dimana, dalam UU
tersebut dimungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk
mengekspoloitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone Ekonomi Eklusif
(ZEE).
Pada pasal 29 ayat (1) - misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan
hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara
Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional.
Kedua, kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa
dilihat pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan,
padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang perikanan
dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenai ancaman hukuman
penjara maksimal 5 tahun. Disamping itu, adanya indikasi para aparat kurang serius
dalam penanganan pelaku illegal fishing-misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus
tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya
77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan kurang
profesionalnya para aparat dalam penangaannya.
Ketiga, pemerintah tidak pernah mengagendakan secara serius untuk mengatasi
illegal fishing secara konprehensip. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi
yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional. Hal ini bisa dilihat pada kasus
pelangaran berupa operasi perizinan kapal-misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik
perushaan Indonesia (7000 kapal), namun ternyata sekitar 70 % atau 5000 lebih dimiliki
oleh pihaak asing terutama berasal dari Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Sedangkan, di
wilayah Timur Indonesia dari 5. 088 kapal yang beroperasi banyak tidak memiliki izin
Keempat, banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi
backing para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak-
misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya. Menurut Menteri Kelautan
dan Perikanan Freddy Numberi, masih adanya oknum di departemennya yang
melakukan pelanggaran dengan modus memberi izin para pelaku dengan cara
membelotkan aturan yang ada misalnya penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak
melalui pelabuhan, padahal menurut UUNo.31/2004 tentang perikanan, setiap kapal
harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.
Kelima, kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media
massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal
fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance).
Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius
menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember
2007, Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing
pelaku illegal Fishing, dimana kerugian negara mencapai 13 triliun rupiah. Ironisnya,
media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.
Keenam, kurangnya koordinasi antar departemen yang terkait dalam mengatasi
masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tumpang
tindihnya dalam penanganan antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen
Perhubungan, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Kejaksaan Agung,
Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah. Disamping itu, Indonesia tidak memaksimalkan
kerjasama antar negara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam
penangani pelaku illegal fishing dari Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC. Sehingga
bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab.
Ketujuh, kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penangganan
illegal fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas berjumlah
16 buah dengan luas wilayah laut yang begitu besar seharusnya Indonesia membutuhkan
paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia, khsusnya wilayah laut.
Sehingga, dapat meminimalkan kasus illegal fishing yang tidak terkendali .
Tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsonal oleh pemerintah
menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut. Kondisi ini
pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain, sebagai gambaran bisa kita
lihat-misalnya, Philipina sebagai negara mengekspor tuna terbesar di dunia, ironisnya 70
% tuna tersebut berasal dari Indonesia. Demikian pula, dengan Thailand sebagai negara
mengekaspor ikan kaleng, namun banyak nara sumber meyakini bahwa ikannya juga
berasal dari perairan Indonesia yang ditanggap secara illegal. Disamping itu, para pelaku
illegal fishing menggunakan BBM bersubsisdi, dimana kerugian negara akibat
menggunakan BBM bersubsidi mencapai 500 miliar rupiah.
Untuk meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat UU anti
illegal Fishing karena UU Nomor 31 tahun 2004 pasal 29 dan 30 tentang perikanan
kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan
sumberdaya laut. Bahkan UU terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak
asing, mengrksploitasi sumber daya ikan di perarian Indonesia, khususnya ZEEI (Zone
Ekonomi Eklusif Indonesia). Demikian pula, pelaksanaan Permen no 17, tentang
penangkapan ikan berbasis industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk
melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradsional, menciptkan lapangan kerja, dan
meningkatkan pendapaan negara dari devisa dan pajak. Mempercepat terbentuknya
pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak
pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih pelakunya
Dari gambaran di atas, kita bisa melihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak
dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing.
Ironisnya, pemerintah masih menutup mata terhadap dampak yang ditimbulkan. Hal ini
bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari
hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah, tetapi juga dapat merusak ekositem
laut.termasuk terumbu karang. Menurut Ministry of State of Environment, luas trumbu
karang Indonseia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 % dan 15 %
dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam
penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada
lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.

B. Illegal Logging
Isu illegal logging bukanlah sebuah hal yang baru. Namun, sejumlah persoalan
timbul ketika penggunaan terminologi "ilegal" dan "legal" dalam setiap kasus yang
bernuansa legalistis. Kadar dan standar formal begitu kental dalam mengidentifikasi
kasus penebangan liar ini. Semua pihak paham ketika pengaplikasian kata yang berbau
legalistik diterapkan, pilar hukum yang dibakukan dengan sendirinya akan menafikan
realitas yang ada, yang tidak dikategorikan dalam bingkai hukum formal.

Modus yang biasa digunakan dalam tindak illegal logging terdiri dari; operasi
pembalakan diluar petak tebangan, perusahaan penebangan kayu yang tidak mempunyai
izin tetapi tetap melakukan pembalakan kayu, menggunakan izin IPK (izin pemanfaatan
kayu) untuk melakukan tebang habis dengan dalih untuk membuka perkebunan, kayu
bulat dan kayu gergajian yang tidak dilaporkan dengan menggunakan dokumen
pengapalan yang berbeda, pembalakan dan usaha perkayuan lain yang beroperasi tetapi
menghindari pajak dan pungutan-pungutan sah, dan terakhir operasi skala kecil yang
tidak memiliki izin pembalakan. Aktivitas illegal ini diperkirakan sama tuanya dengan
praktik pengusahaan hutan itu sendiri.Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
illegal logging, yaitu:

1. Faktor ekonomi (supply dan demand kayu).


Supply kayu dari legal logging tidak dapat menutupi demand akan kayu baik dari
industri pengolahan kayu (kayu lapis, gergajian, pulp, dll). Sebagai contoh adalah
berkurangnya jatah tebang untuk hutan alam tahun 2004 dan tahun 2005. Berkurangnya
jatah tebang tentu saja tidak akan membuat industri pengolahan mengurangi kapasitas
produksi, karena kapasitas terpasang mereka sudah terbiasa dengan supply kayu pada
masa lalu sehingga mereka butuh pasokan lain selain dari hasil Hak Pengusahaan Hutan
(HPH). Untuk menutupinya mereka akhirnya mencari sumber kayu lain yang
kemungkinan besar berasal dari Illegal logging.

2. Masalah kebijakan dalam pengaturan pemanfaatan hutan (dalam hal ini kayu)

Kebijakan pemerintah dalam menerapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia


(TPTI) dalam pemanfaatan hasil hutan oleh HPH dianggap merupakan sistem yang
paling baik dalam pengaturan kelestarian hutan alam produksi. Akan tetapi pemberian
jangka waktu konsesi hutan (25 tahun) tidak sesuai dengan pengaturan rotasi tebang
hutan alam produksi yang idealnya adalah 35 tahun. Jadi dengan kata lain, HPH tidak
sempurna dalam melaksanakan TPTI karena lama konsesinya tidak ada melewati satu
kali rotasi tebang, hal ini tentu lebih mendorong lepas tangannya HPH dalam pengaturan
kelestarian hutan. Pemberian konsesi hutan untuk HPH itu tidak cukup 25 tahun, paling
tidak harus satu kali rotasi (35 tahun atau 70 tahun).

Masalah ini secara langsung ataupun tidak langsung berdampak pada perihal
keterbatasan lapangan kerja sehingga menyebabkan masyarakat terjepit dengan
melakukan kegiatan illegal logging dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain
masalah yang telah disebutkan sebelumnya, perihal kebijakan pelarangan ekspor kayu
bulat sangat baik dalam merangsang industri pengolahan, namun efek jangka panjangnya
tidak dipikirkan secara matang. Akhirnya memicu banyak terjadinya illegal logging.
Penetapan banyak kawasan konservasi (Taman Nasional, cagar alam, dsb) sangat baik
untuk menjawab isu global tentang konservasi hutan. Akan tetapi, penetapan kawasan
konservasi yang tidak dibarengi dengan sarana dan prasarana yang memadai akan
mengakibatkan pengawasan dan pelaksanaan manajemen kawasan konservasi tidak dapat
berjalan dengan semestinya. Keadaan ini membuat kawasan konservasi menjadi areal
yang sangat potensial illegal logging.

3. Masalah pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan.

Masalah yang paling mendasar di Indonesia adalah pengawasan. Tentu kita sudah
sangat mengerti tentang masalah KKN yang sudah mendarah daging di Indonesia. Kalau
kita bahas tentang permasalahan ini tentu akan sulit dicari titik temunya.

4. Sindikat regional dan internasional.

Adanya illegal logging ini juga terkait dengan sindikat regional dan internasional
yang ikut bermain dalam penyelundupan kayu khususnya dari Indonesia. Pengawasan
pemerintah yang semakin berkurang membuat persentasi penyelundupan kayu tropis
Indonesia ke luar negeri semakin meningkat. Keterbatasan dana dalam bidang keamanan
baik, darat, laut dan udara juga bisa dikatakan sebagai salah satu penyebab. Tidak aneh
apabila sekarang ini banyak diberitakan tentang kayu selundupan dari Indonesia yang
diputihkan di Malaysia, Singapura, bahkan Cina

Fakta Illegal Logging secara Global

Illegal logging adalah persoalan global karena terjadinya pada area lintas negara dan
pengaruh kebutuhan pasar kayu global menjadikan negara yang memiliki kawasan hutan
yang besar termasuk Indonesia, Amerika Latin, dan Afrika harus kehilangan hak
miliknya tersebut akibat praktek illegal yang dipengaruhi oleh kebutuhan pasar kayu
internasional.    Maraknya praktik penebangan liar mendorong berbagai badan nasional
(LSM) dan internasional (antara lain CGI) mengkritisi upaya penanganan kasus ini. Data
yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia
telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta
hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan
kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri,
konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar
kawasan tebangan.
Laporan dan video EIA-TELAPAK dan video, “The Final Cut,” menyarankan
kampanye internasional menentang penebangan liar di Indonesia dan telah membuahkan
beberapa hasil yang penting, termasuk pemerintah Indonesia mengkaji ulang larangan
ekspor kayu pada 2002 dan pendaftaran jenis kayu tropik yang dilindungi dalam
Konvensi Perdagangan Internasional tentang Tumbuhan dan Hewan yang Dilindungi,
Bab III (2001). Dampak sosial dan ekonomi meliputi tingginya tingkat hutang yang
dimiliki oleh industri perkayuan, kemungkinan kerugiannya setara dengan satu tahun
fiskal bantuan luar negeri (sekitar 6,0 milyar USD), dan cenderung meningkatkan
pengangguran (langsung dan tidak langsung mempengaruhi 20 juta orang) jika
pemerintah mengurangi kegiatan penebangan liar, akan mengakibatkan kerusuhan sosial.
Timber for analysist UNDP 2006, memperlihatkan bahwa terjadi kesenjangan (shortfall)
sebesar 135.249 meter kubik per tahunnya antara permintaan (demand) dan ketersediaan
(supply) kayu untuk kebutuhan proses rekonstruksi sebesar 215.249 meter kubik per
tahun-nya, atau dengan kata lain ketersediaan kayu yang ada hanya sekitar 80.000 meter
kubik per tahunnya. Kebutuhan kayu selama proses rekonstruksi diperkirakan mencapai
860.996 meter kubik, Sementara pemenuhan kayu import hanya menyumbang sekitar
48.136 meter kubik, dan kayu yang berasal dari SKSHH (surat keterangan sahnya hasil
hutan) hanya menyumbang sekitar 19.686 meter kubik pada tahun 2006 (Timber for
Aceh, 2006).
Penyelundupan kayu dari Indonesia sebagian besar masuk ke negara-negara di
Asia dan Eropa. Uni Eropa merupakan salah satu penerima utama kayu liar, namun telah
gagal menerapkan kebijakan untuk menghentikannya. Tahun 1999, Uni Eropa
mengimpor 10 juta meter kubik kayu dimana nyaris setengahnya berasal dari tiga negara
– Indonesia, Brazil, dan Kamerun. Tingginya tingkat penebangan liar di tiga negara
tersebut, disinyalir setengah dari kayu yang diimpor ke Uni Eropa merupakan kayu liar,
senilai US$ 1,5 miliar per tahun. Dari negara anggota Uni Eropa, Inggris merupakan
pengimpor kayu liar terbesar, tahun 1999 Inggris mengimpor 1,6 juta meter kubik kayu,
dimana 92 %nya berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Brazil. Sebesar 60 % kayu yang
diimpor ke Inggris merupakan kayu liar senilai US$ 200 juta. Negara Inggris sendiri
bertanggung jawab atas seperlima kayu tropis liar yang memasuki Uni Eropa.
Di Brazil, 80% dari penebangan di Amazon melanggar ketentuan pemerintah.
Korupsi menjadi pusat dari seluruh kegiatan penebangan illegal tersebut. Produk kayu di
Brazil sering diistilahkan dengan “emas hijau” dikarenakan harganya yang mahal (kayu
mahogany berharga 1.600 dollar AS per meter kubiknya). Mahogani illegal membuka
jalan bagi penebangan liar untuk spesies yang lain dan untuk eksploitasi yang lebih luas
di Amazon. Negara berikutnya yang terlibat impor kayu illegal adalah Perancis, dimana
setengah dari 900 ribu meter kubik impor tahunannya merupakan kayu liar, disusul
Belgia, Jerman, dan Belanda. Perilaku konsumsi kayu Uni Eropa yang tidak
mengindahkan asal-usul kayunya membuat mereka secara langsung bertanggung jawab
atas kerusakan hutan di negara-negara tropis, terutama Indonesia. Konsumsi kayu tropis
mereka setara dengan penebangan hutan seluas 700 ribu hektar setiap tahunnya.
Masuknya peredaran kayu illegal di Uni Eropa ini dapat dilihat dari laporan
pemerintah Indonesia mengenai ekspor produk kayu yang dilakukan secara resmi,
dimana terjadi ketidaksesuaian atau selisih antara kayu yang di kirim oleh Pemerintah
Indonesia dengan kayu yang diterima oleh negara-negara Uni Eropa, proses ini dilakukan
dengan cara mencuci kayu (timber laundry) disejumlah negara transit. Pasokan kayu
tersebut tercatat pada daftar impor negara-negara konsumsi kayu namun tidak terlaporkan
dalam data ekspor kayu di Indonesia.
Dalam laporan CIFOR (2003) untuk Menteri Luar Negeri Jepang dapat
ditunjukkan bahwa illegal logging besar-besaran bukan hanya terjadi di Indonesia.
Besaran volume penebangan liar di Brasil (daerah Amazon) diperkirakan 80% dari
volume resmi panennya, Bolivia sebesar 80%-90% dari total konversi hutan, dan
Kolombia mencapai 42% dari tebangan resmi pemerintah. Sementara itu, untuk negara-
negara Afrika, misalnya Kamerun, sebesar 50% dari jumlah panennya, Ghana sebesar 2,6
juta m³, lebih dari 2 kali panen resmi, sedangkan Mozambik sekitar 50% dari tebangan
resmi.
Di negara-negara Asia Tenggara, misalnya Kamboja, sebesar 4,3 juta m³, hampir
10 kali tebangan resmi; Malaysia sepertiga dari jumlah tebangan tahunan, dan Myanmar
80% dari tebangan resmi. Demikian pula di Rusia, sebesar 20% kegiatan loggingnya
diduga melanggar peraturan. Di daerah Primorsky-Khabarovsk sebesar 50% dari jumlah
resmi pemanenannya, dan di Siberia sebesar 20% dari tebangan resmi. Kondisi yang
dialami negara-negara itu terjadi di berbagai periode yang berbeda-beda antara tahun
1994 - 2001.Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998
mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan tergolong liar,
dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS.
Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi
domestik ditambah dengan ekspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan
penebangan adalah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit
utama dari produk kayu illegal dari Indonesia. Cukong-cukong kayu Malaysia membeli
kayu dan membiayai pencuri kayu dari Kalimantan dan Papua. Sehingga maraklah illegal
logging yang didukung dengan dana dari para pengusaha kayu Malaysia. Disinyalir
Pemerintah Malaysia menutup mata terhadap kasus mafia illegal logging yang merugikan
Indonesia. Hal ini terbukti dengan pemberian label legal oleh Kuala Lumpur atas kayu-
kayu curian asal Indonesia yang selanjutnya dijual ke Eropa dan Jepang, baik dalam
bentuk log, setengah jadi, maupun produk furnitur.
Di Malaysia pun tumbuh industri kayu lapis dengan cepat. Bahan - bahan dari
kayu curian tadi. Tetapi pemerintah Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap mafia
illegal logging yang berada di Malaysia. Tragisnya lagi, banyak warga Indonesia yang
bekerja di perusahaan-perusahaan kayu lapis dan furnitur di Malaysia. Hingga dalam
berbagai catatan di media cetak menyebutnya “Ibarat sang pemilik bekerja pada
pencuri!” Dan lebih tragis lagi, pemerintah Malaysia selalu melindungi mafia kayu curian
tersebut. Pemerintah Indonesia sudah menuntut penahanan mafia kayu itu. Tapi Kuala
Lumpur tak mau menghukum warganya. Hasilnya, pemerintah Indonesia tak bisa berbuat
apa-apa terhadap cukong-cukong kayu Malaysia itu. Indonesia terlalu lemah untuk
menangkap para cukong kayu asal Malaysia tadi. Di Indonesia cukong-cukong itu
bagaikan raja. Mereka mampu mengendalikan aparat keamanan, pemda, dan birokrasi
terkait yang berhubungan dengan perkayuan. Di Malaysia cukong-cukong itu seperti
pahlawan.

2. Kasus Illegal logging di Indonesia

Karakteristik persoalan illegal logging di berbagai negara di atas dapat dikatakan


serupa dengan di Indonesia, hanya dengan derajat yang berbeda. Masalah pokoknya ada
pada struktur dan kinerja pemerintahan. Sudah menjadi informasi umum bahwa hutan
Indonesia saat ini telah memasuki stadium sangat mengkhawatirkan keadaannya.
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan cukup luas. Hampir 90 % hutan di
dunia dimiliki secara kolektif oleh Indonesia dan 44 negara lain. Bahkan, negeri ini juga
disebut sebagai paru-paru dunia. Sayang, aset negara tersebut dirusak oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab melalui aksi pembalakan liar.
Kerusakan 2 juta hektar hutan rata-rata dari tahun 1996, puluhan bencana alam
akibat kerusakan hutan pada tahun 2004 menjadi fakta yang tidak bisa diiindahkan.
Sehubungan dengan itu komunitas internasional telah merumuskan kebijakan bersama
dan dideklarasikan di Bali tahun 2001, yang berlabel Forest Law Enforcement and
Governance (FLEG). Sebelumnya telah pula berkembang wacana pelaksanaan
penundaan (moratorium) penebangan hutan, yang oleh mantan Presiden Megawati
Soekarnoputri diartikan sebagai "hutan perlu bernapas".    Praktik penebangan liar
dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana pihak penegak hukum hanya
berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Untuk para
cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit
untuk menjerat mereka dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.Selama tahun
1999-2000, beberapa laporan penting menyatakan parahnya penebangan liar di Indonesia
dan menyoroti besarnya pengaruhnya terhadap lingkungan hidup, pengelolaan
sumberdaya hayati, masyarakat, dan ekonomi.

Beberapa laporan yang lain mencoba mengkuantifikasi masalah, meskipun


berdasarkan data perkiraan. Scotland dkk. 1999 menduga volume kayu yang diperoleh
dari penebangan liar adalah 57 juta meter kubik pada tahun 1998, meningkat 16 juta
meter kubik dari tahun sebelumnya. Walton 2000 memperkirakan angka laju penebangan
hutan (sebanyak 2,7 juta ha/tahun) dan menduga kehilangan hutan dataran rendah di
Sulawesi, Sumatra, dan Kalimantan selama 10 tahun.Hutan di Indonesia, termasuk di
Papua sebagai salah satu paru-paru dunia memberikan peranan yang penting bagi
kehidupan manusia di Indonesia maupun di dunia. Hutan juga memberikan manfaat serba
guna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara
optimal, serta dijaga kelestariannya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.

Hutan yang berada di Indonesia, 72% sudah rusak akibat illegal logging. Dan ini
sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, termasuk hutan yang berada di Papua.
Illegal logging yang terjadi di tanah air ini (tak terkecuali di Papua), akibat lemahnya
aparat terkait. Sehingga oleh pengusaha kayu khususnya mereka yang menjadi cukong
kayu illegal logging, menganggap di Indonesia ini sudah tidak ada hukum lagi. Bagi
mereka (cukong), aparat di Indonesia (Polri, TNI, polisi kehutanan, jaksa dan instansi
lainnya), tunduk dengan cukong akibat uang. Pemerintah pernah mengklaim, sampai
dengan 2005, memiliki kawasan hutan 126,8 juta hektare dengan berbagai pembagian
fungsi. Yaitu, fungsi konservasi (23,2 juta hektare), kawasan lindung (32,4 juta hektare),
hutan produksi terbatas (21,6 juta hektare), hutan produksi (35,6 juta hektare), dan hutan
produksi konversi (14,0 juta hektare). Namun, beberapa waktu lalu, organisasi
lingkungan dunia Green Peace menyebutkan, 72 % hutan Indonesia musnah. Kemudian,
setengah wilayah hutan yang masih ada dalam kondisi terancam karena penebangan
komersial, kebakaran hutan, dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Karena
tingkat kerusakan yang begitu tinggi, Green Peace pernah mengusulkan penghargaan
rekor dunia sebagai negara penghancur hutan tercepat.
Sementara itu, Departemen Kehutanan memperkirakan jumlah lahan hutan di
seluruh Indonesia yang rusak akibat penjarahan mencapai 2,8 juta hektare per tahun.
Hingga kini sudah mencapai 60 juta hektare. Kerugian yang diderita negara pun tidak
sedikit, mencapai Rp 40 triliun-50 triliun per tahun.Perang terhadap praktik-praktik
pembalakan liar sebenarnya telah digaungkan pemerintah. Pendukungnya adalah
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di
Kawasan Hutan dan Pemberdayaannya di Seluruh Wilayah RI. Namun, praktik-praktik
ilegal tersebut ternyata masih terjadi.
Modus yang digunakan kian beragam. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian
Center for Environmental Law (ICEL) , modus pembalakan liar senantiasa berkembang,
praktiknya selalu menyesuaikan diri, bahkan cenderung makin sistematis.Saat ini,
setidaknya terdapat tiga modus yang tengah berkembang. Pertama, menggunakan surat
izin yang tidak sesuai dengan isi yang tertera dalam surat izin. Misalnya, izin HTI (Hutan
Tanaman Industri) yang seharusnya hanya untuk semak belukar, namun digunakan di
hutan lindung..Kedua adalah sistem lelang. Dengan cara tersebut, oknum-oknum
pembalak liar berusaha melegalkan kayu-kayu yang sebenarnya ilegal. Sedangkan ketiga,
memanfaatkan masyarakat untuk melakukan pembakaran hutan.
Sedangkan di Aceh, ada empat faktor yang menyuburkan praktek illegal
loggingnya, yakni faktor ekonomi masyarakat, proses rekonstruksi, permintaan dari pasar
kayu internasional, dan kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan bahan baku bagi
industri kehutanan nasional. Faktor terakhir ini jika dikaitkan dalam konteks mikro Aceh
tidaklah terlalu berpengaruh besar, hal ini dimungkinkan dengan pemberlakuan kebijakan
jeda tebang (moratorium logging) dan kebutuhan industri hilir kehutanan yang relatif
kecil, tetapi jika kemudian ditarik dalam konteks makro secara lebih besar diluar
kebutuhan industri hilir kehutanan Aceh, sangat dimungkinkan bahwa hutan Aceh
dibabat untuk memenuhi industri hilir kehutanan diluar Aceh secara illegal.
Laporan NRM, MFP, Bappenas, dan FFWG pada tahun 2004 menunjukkan bahwa untuk
pemenuhan 53 juta meter kubik kayu untuk kebutuhan industri kehutanan di Indonesia,
68% - nya berasal dari tebangan liar atau sekitar 36 juta meter kubik.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh - Nias, boleh saja berdalih
bahwa kebutuhan kayu rekonstruksi bisa diatasi dengan pemenuhan kayu import dan
kayu yang berasal dari kebun, atau dengan dalih mengontrol setiap pembangunan
rehabilitasi dan rekonstruksi sebisa mungkin tidak menggunakan kayu illegal. Terlepas
dari kebenaran dalih tersebut, kasus illegal logging di Aceh tetap merupakan faktor
utama untuk memenuhi kebutuhan kayu rekonstruksi, asumsi pertama, dengan banyaknya
pelaku rekonstruksi di Aceh, sangat tidak mungkin BRR Aceh - Nias mampu mengontrol
setiap penggunaan kayu yang digunakan, kedua, pada masa rekonstruksi tidak ada
pemegang konsesi pengusahaan hutan (HPH dan IPK) yang beroperasi dan, ketiga, pada
pertengahan tahun 2007 Aceh telah memberlakukan kebijakan jeda tebang diseluruh
hutan Aceh.
Indonesia adalah pemilik 126,8 juta hektar hutan. Hutan seluas ini merupakan
tempat tinggal dan pendukung kehidupan 46 juta penduduk lingkar hutan. Namun, saat
ini, hutan di Indonesia berada dalam kondisi kritis. Laju perusakan hutan di Indonesia
mencapai 2 juta hektar per tahun. Artinya, tiap tahun Indonesia kehilangan areal hutan
kurang lebih seluas Pulau Bali. Kerusakan hutan dipicu oleh tingginya permintaan pasar
dunia terhadap kayu, meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit, korupsi dan
tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat dalam pengelolaan hutan.
Mengejutkan memang ketika melihat angka – angka pencatatan ekspor kayu
Indonesia, terjadi perbedaan data 100 persen antara laporan volume ekspor dengan yang
tercatat pada negara tujuan. Sebagai contoh, pada laporan ekspor kayu log Departemen
Kehutanan, Indonesia mengekspor 4.500 meter kubik kayu log ke Australia, tetapi yang
tercatat kenegara tujuan mencapai 32.000 meter kubik, artinya terjadi perbedaan hampir
86 persen, yang lebih mengejutkan justru terjadi pada Malaysia, Indonesia mencatatkan
nol meter kubik ekspor kayu log ke negara ini, tetapi yang tercatat di Malaysia justru
sejumlah 623 ribu meter kubik, kasus serupa hampir serupa terjadi pada ekspor kayu log
Indonesia ke negara – negara Uni Eropa.

Sejak Inpres No 4 tahun 2005 tentang Penanggulangan dan Pemberantasan illegal


logging dikeluarkan, 80 % keberhasilan pemberantasan illegal logging telah tercapai
pada penyitaan barang bukti. Sedangkan 20 % lainnya soal pelaku dan cukong yang
berada di balik aksi perambahan hutan di berbagai Provinsi Indonesia. Dalam menangani
kasus illegal logging baik di secara global maupun di Indonesia pada khususnya, hal yang
paling penting untuk dilaksanankan adalah penegakan hukum secara tegas dan konsisten,
dalam artian semua peraturan dan hukum – hukum yang ada bukan hanya berupa “ pasal
– pasal dalam tumpukan kertas “ tetapi yang paling penting adalah pelaksanaan hukum –
hukum tersebut sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku maupun oknum yang
terlibat dalam kasus illegal logging.

Pengkoordinasian antara semua pihak – pihak yang terkait mulai dari tingkat
menteri, dinas kehutanan, petugas AMDAL, polisi, masyarakat, dan semua unsur – unsur
yang terkait dapat bekerja sama dalam menangani permasalahan – permasalahan tersebut,
karena realitas yang ada di lapangan cenderung pihak – pihak yang seharusnya bertugas
mengatasi permasalahan tersebut justru membantu para pelaku pembalakan liar. Bahkan
tidak sedikit yang menjadi pelaku illegal logging itu sendiri. Pengkoordiansian antara
semua pihak – pihak yang dimaksud yaitu adanya kesatuan suara dari semua pihak
tersebut untuk menghindari kesalahpahaman dalam menangani kasus illegal logging,
seperti misalnya dalam penanganan beberapa kasus illegal logging di mana polisi telah
menangkap para pelaku

BAB III PENUTUP


Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan
bentuk illegal fishing dan illegal loging sebai salah satu dari bentuk kejahatan
transnasional yang berkembang dalam masyarakat internasional. Guna meunjang
pembelajaran dapat dimanfaatkan pila CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan
dalam modul ini yang disajikan bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga.
Apabila modul satu ini dapat dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta
matakuliah ini dengan mudah bias melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya,

DAFTAR PUSTAKA

---,Menhut:Berantas Illegal logging hingga Tuntas


http://www.warsi.or.id/News/2006/News_200603_menhut.htm Rabu, 20
Februari 2008.

---,"Illegal logging", Penyebab dan Dampaknya, http://64.203.71.11/kompas-


cetak/0309/16/opini/563606.htm Rabu, 20 Februari 2008.

---,TKI, Illegal logging, dan Kasus Ambalat http://www.icmi.or.id/ind/content/view/121/


Rabu, 20 Februari 2008.

---,Green Piece: Di Papua tak Perlu Ada HPH http://www.infopapua.com/modules.php?


op=modload&name=News&file=article&sid=3879&mode=thread&order=0&t
hold=0 Rabu, 20 Februari 2008.

---,Mencermati Penanganan Pembalakan Liar (Illegal logging)


http://www.balioutbound.com/mencermati-penanganan-pembalakan-liar-
illegal-logging/ Rabu, 20 Februari 2008.

---,Tersangka illegal logging ditahan


http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2006/09/060911_illegallogger.sht
ml Rabu, 20 Februari 2008.
---,Illegal logging, Persoalan Global
http://dewagumay.wordpress.com/2007/11/29/illegal-logging-persoalan-global/
Rabu, 20 Februari 2008.

---,"Illegal logging" dalam Tinjauan "Economics of Crime" http://64.203.71.11/kompas-


cetak/0503/05/Fokus/1596464.htm Rabu, 20 Februari 2008.
MODUL III

JUDUL : KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gencarnya pemberitaan di media massa seputar meninggalnya Soeharto mampu
menutupi pemberitaan pelaksanaan Konferensi Kedua Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi Dunia (The Second Session of the Conference of the states parties to the United
Nations Convention Against Corruption-CSP-2 UNCAC) yang berlangsung di Bali.
Ironisnya lagi, Konferensi tersebut gagal dijadikan momentum penting bagi Pemerintah
Indonesia dalam memerangi korupsi, terutama dalam mengembalikan asset negara yang
telah dilarikan para koruptor kita ke luar negeri, termasuk kasus Soeharto.
Menurut PBB dan Bank Dunia, besarnya asset yang dilarikan ke luar negeri oleh
pemimpin yang korup mencapai 40 miliar dollar AS (Rp 376 triliun) setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil survei Transparency International 2007, Indonesia merupakan negara
terkorup, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, seperti
Singapura dan Malaysia. Dimana, indeks persepsi korupsi (Corruption Perception
Index/CPI) Indonesia pada kisaran 2,3. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan tahun 2006
(2,4). Disamping itu, Indonesia ditetapkan sebagai negara kelima terkorup di dunia dari
146 negara yang telah di survei.
Sebagai gambaran, kita bisa bercermin dari hasil survei yang dibuat Meil Lynch
Singapura akhir tahun 2005. Dimana, total asset orang kaya yang ada di Bank Singapura
mencapai 260 miliar dollar AS dari 55.000 orang. Namun, sepertiganya atau sekitar
18.000 orang berasal dari Indonesia dengan total kekayaan diperkirakan sekitar 87 miliar
dollar AS (Rp 800 triliun). Pada tanggal 2 April 2007, Kejaksaan Agung membuat daftar
nama 20 buronan yang berstatus tersangka maupun terpidana pada kasus korupsi yang
melarikan diri ke Singapura. Misalnya, Sentoso Hendra Raharja tersangka kasus korupsi
Bank Harapan, diduga memiliki rekening yang diperkirakan sekitar 6-7 triliun rupiah di
Bank Singapura.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini meliputi pengertian korupsi sebagai salah satu dari bentuk kejahatan
transnasional. Kasusi korupsi terus meningkat dengan modus operandi yang makin
beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi juga melibatkan
negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional baik melalui
kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam mengatasi
kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam dengan
orangisasi internasional yang terkait,

C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan korupsi pada
mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
12. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola korupsi
13. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus korupsi
14. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi korupsi
15. Mampu menganaisis kasus illegal fishing dan illegal loging dengan memberikan
solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
14. Keaktifan di kelas
15. tata kerama/ sopan santun
16. Kerjasam team
17. keaktifan berdiskusi
18. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
19. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
20. Mampu menganalisis kasus korupsi di Negara berkembang, khususnya di
Indonesa

BAB II PEMBAHASAN

Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berarti kebusukan, keburukan,


kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah, berasal dari kata latin corruptio
yang berasal pula dari kata latin yang lebih tua, corrumpere. Namun, apapun artinya,
tetaplah berkonotasi buruk. Di lain sisi, korupsi secara yuridis dilukiskan dengan
bervariasi di berbagai negara meski masih terdapat titik persamaan secara umum.Di
Indonesia, ketika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya
perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan suap.
Pada tahun 2006, Transparancy International kembali mengeluarkan indeks
persepsi korupsi (corruption perception index/CPI). Dalam hasil survei itu, peringkat
korupsi Indonesia semakin baik dengan nilai indeks 2,4, meningkat dari tahun
sebelumnya, 2,2. Nilai indeks ini juga ikut mendongkrak urutan Indonesia satu peringkat
dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005 menjadi ketujuh (dari 163
negara) pada tahun ini. Tahun 2007, peringkat Indonesia berubah menjadi negara kelima
terkorup di dunia dari 146 negara. Dengan indeks persepsi 2,3, kondisi ini jelas lebih
buruk dibandingkan tahun lalu. Transparancy International mengambil fokus korupsi
pada sektor publik yang dikaitkan dengan penyalahgunaan wewenang di sektor publik
untuk kepentingan pribadi. Ini termasuk pembagian keuntungan (kickback) dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah serta penggelapan dana publik yang menyangkut
dua kategori korupsi sekaligus, yaitu korupsi birokrasi dan korupsi politik.
Tingkat korupsi di Indonesia semakin buruk kendati upaya pemberantasan
korupsi terus dilakukan. Menurut indeks persepsi korupsi versi Transparansi
Internasional Indonesia, Dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Singapura dan
Malaysia, Indonesia terlihat jelas jauh lebih korup. Namun Indonesia tidak termasuk
negara yang dinilai paling korup se-dunia, yang ditempati Somalia. Sementara negara
terbersih masih dipegang oleh beberapa negara Eropa seperti Denmark, Finlandia,
Belanda dan Norwegia.November 2007 lalu, dengan Singapura, Indonesia telah
menyepakati perjanjian ekstradisi dalam hal pengembalian koruptor-koruptor Indonesia
yang selama ini bersembunyi di Sinngpura. 27 April sebelumnya, Kejaksaan Agung telah
membuat daftar nama-nama buronan 20 orang yang lari ke Singapura, yang berstatus
tersangka maupun terpidana dalam kasus korupsi.
Hasil survei yang dibuat Merril Lynch Singapura akhir tahun 2005, total aset
orang kaya di Singapura sebesar 260 miliar dolar AS. Yang mengejutkan, sepertiga dari
55.000 orang kaya di Singapura atau sekitar 18.000 orang yang memiliki kekayaan
minimal di atas 1 juta dolar AS adalah orang Indonesia. Mereka rata-rata berstatus
sebagai penghuni tetap (permanent resident). Jumlah kekayaan orang Indonesia di
Singapura diperkirakan sekitar 87 miliar dolar atau setara dengan Rp 800 triliun.
Selain itu, masih banyak kasus-kasus korupsi internal Indonesia yang lain, termasuk yang
masih menunggu untuk diselesaikan.
Kasus mantan Presiden Soeharto contohnya. Pak Harto diduga melakukan tindak
korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana
Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) yang jika diakumulasikan jumlahnya
mencapai kisaran Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia
tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto
dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh. Fakta bahwa beliau telah
meninggal 27 Januari 2008 ini, tentu semakin memperumit pengusutan kasus ini.
Kasus korupsi di Pertamina. Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract
(TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi
4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu.
Jumlah kerugian negara adalah US$ 24.8 juta. Tersangkanya 2 Mantan Menteri
Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana,
Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
Kasus lain yang tak kalah merugikan negeri tercinta kita adalah Kasus Proyek
Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka
seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus
mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I
tersebut.Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa
(Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, Bos
Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$
31,4 juta.Tak ketinggalan korupsi di BAPINDO pada tahun 1993, pembobolan yang
terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) yang dilakukan oleh Eddy Tanzil,
hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya. Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.
Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000
tentang penggunaan dana reboisasi juga mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan
kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang
terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat
Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto. Dalam proyek pemetaan hutan, Bob
Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi
proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu
juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta.
Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah. Prajogo Pangestu diseret
sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT
Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan,
Prajogo, yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto, membantah keras tuduhan
korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus BLBI pertama kali
mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus
2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4
triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya
penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab
dalam pengucuran dana BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat
pengucuran dana BLBI, Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo, telah
dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara. Meskipun
demikian masih ada pihak-pihak tertentu yang menganggap bahwa hukuman tersebut
terlalu ringan. Ketiganya kini sedang naik banding. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-
komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara
hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank
Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan
Samadikun Hartono (Bank Modern). Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI,
baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan
ke pengadilan hanya enam kasus.
Di ujung lain Indonesia, kasus korupsi tak luput melanda. Abdullah Puteh,
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi
APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30
miliar. Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi
Pemberantasan Korupsi. Yang terbaru di tahun 2008 ini, adalah kasus dugaan korupsi
aliran dana ke DPR senilai 31,5 Milyar. Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin
Abdullah dinyatakan sebagai tersangka kasus dugaan aliran dana ilegal Rp 100 miliar
yang diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Penetapan
tersangka itu bisa jadi merupakan bukti janji KPK yang akan menentukan nasib kasus BI
setelah 21 Januari 2008
Melihat begitu banyaknya kasus-kasus yang harus diselesaikan ini, tak heran jika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah bertekad dalam program kerja seratus harinya
akan mengutamakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi: Tim
Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kepolisian,
Kejaksaan, BPKP, dan ada juga lembaga non-pemerintah, media massa atau organisasi
massa seperti ICW. Dalam pemberantasan korupsi ini, bahkan sektor swasta pun akan
menjadi sasaran..Selain itu, di tingkat internasional, telah ditandatangani United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC-Konvensi PBB tentang Anti Korupsi) untuk
pertama kalinya di Merida, Meksiko, pada 9 Desember 2003 lalu oleh 133 negara.
Konvensi ini bertujuan meningkatkan tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi,
meningkatkan kerjasama internasional (pengembalian aset), serta meningkatkan integritas
dan akuntabilitas dan manajemen publik dalam kelola kekayaan negara.
Indonesia sendiri, lewat rapat paripurna DPR, 20 Maret 2006 mengesahkan
Undang-Undang No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003. Meski telah
ditandatangani sejak 2003 dan diratifikasi pada awal 2006, banyak kalangan yang belum
mengetahui apa isi dari UNCAC. Utamanya terkait dengan UU Pemberantasan Tipikor
yang saat ini dipunyai Indonesia. Sampai saat ini Indonesia telah mengundangkan tiga
UU tentang Pemberantasan Tipikor yaitu UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999
dan UU No. 20 Tahun 2001.
UNCAC menunjukkan kuatnya komitmen Pemerintah Indonesia untuk
memerangi korupsi terutama dalam usaha mengembalikan aset dari luar negeri yang
berasal dari hasil korupsi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan umum UU
No. 7 Tahun 2006.
Ada beberapa hal penting dalam UNCAC yang perlu mendapat perhatian. Paling tidak
ada tiga hal yang menarik untuk dikaji, yaitu kriminalisasi, asset recovery dan kerjasama
internasional. Terkait dengan rencana revisi UU Korupsi yang saat ini sedang berjalan,
menurut Prof. Andi Hamzah, Ketua Tim Revisi UU Korupsi, sebisa mungkin muatan
dalam UNCAC akan dimasukkan.
UNCAC juga telah memperluas pengertian tindak pidana suap dalam ranah
korupsi. Bentuk penyuapan yang dikriminalisasi tidak hanya tindak pidana penyuapan
terhadap pejabat publik domestik, tetapi juga terhadap pejabat publik asing dan pejabat
organisasi internasional. Disamping itu, penyuapan di sektor swasta pun dikategorikan
sebagai tipikor. Meski demikian, korupsi di sektor swasta ini masih terbatas dalam hal
penyuapan.
Beberapa perkara korupsi di Indonesia menunjukkan kalangan swasta tidak luput
dari jerat korupsi. Contoh paling gampang adalah dijeratnya beberapa rekanan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dalam perkara korupsi KPU. Namun yang perlu dicermati,
rekanan KPU tersebut dijerat korupsi karena terbukti merugikan keuangan negara.
Sedangkan di UNCAC tidak harus ada kerugian keuangan negara. Ada tiga hal dalam
pasal 21 UNCAC terkait dengan penyuapan di sektor swasta. Pertama, subyek hukumnya
adalah seseorang yang memimpin atau bekerja, dalam kapasitas, untuk suatu badan
sektor swasta. Kedua, aktivitasnya terbatas pada sektor swasta yang bergerak di bidang
atau dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan. Ketiga, batasan
sektor swasta. Sektor swasta adalah yang tidak termasuk dalam penjelasan keuangan atau
perekonomian negara seperti yang disebutkan UU No. 31 Tahun 1999.
Berikutnya asset recovery. Asset recovery adalah strategi baru pemberantasan
korupsi yang melengkapi strategi yang bersifat pencegahan, kriminalisasi dan kerjasama
internasional. Asset recovery ini mengatur soal tindakan pengembalian aset negara yang
dikorupsi di luar negeri hingga mekanisme pengembalian aset. Hanya saja, sebagai hal
yang baru ini akan menjadi tantangan bagi Indonesia. Sebab, asset recovery ini tidak ada
padanannya dalam hukum Indonesia. Selain sesuatu yang baru, asset recovery ini juga
akan mendapatkan tantangan lain. Misalnya soal kerjasama internasional dan sistem
hukum di tiap negara yang jelas berbeda. Tidak bisa tidak, dalam memerangi kejahatan
korupsi yang semakin canggih, terorganisir, dan bersifat transnasional, kerjasama antar
negara menjadi pilihan utama. Ada tiga prinsip kerjasama yang harus diperhatikan, yakni
adanya kepentingan politik yang sama, saling menguntungkan dan non intervensi.
Ada lima bentuk kerjasama yang bisa dilakukan terkait dengan UNCAC.
Ekstradisi (UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi), Mutual Legal Assistance (Bantuan
Hukum Timbal Balik di Bidang Pidana - UU No. 1 Tahun 2006), Perjanjian Pemindahan
Orang Yang sudah Dihukum (Transfer of Sentenced Persons), Perjanjian Pemindahan
Pemeriksaan Kriminal (Transfer of Criminal Proceding) dan investigasi bersama.
Sayang, sistem ekstadisi di Indonesia sebagai bagian dari bentuk kerjasama masih
bersifat administratif dan cenderung politis karena ditentukan oleh Presiden.Selain
ekstradisi, beberapa kalangan juga mempersoalkan MLA. Misalnya saja Yunus Husein.
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan itu berpendapat, dalam hal
MLA Indonesia kurang progresif. Hal ini dapat dilihat dari keterlambatan Indonesia
meratifikasi perjanjian MLA yang sudah ditandatangani dengan negara lain. Padahal,
MLA cukup berperan dalam hal pengembalian aset.
Dari tiga perjanjian yang dimiliki Indonesia, ada satu perjanjian yang walaupun
sudah ditandatangani beberapa tahun lalu sampai saat ini belum diratifikasi. Yakni
perjanjian MLA dengan Korea. Perjanjian MLA dengan Republik Rakyat China yang
ditandatangani tahun 2000 baru saja diratifikasi DPR pada 2006. Sedangkan perjanjian
MLA Multilateral dengan hampir seluruh negara anggota ASEAN sudah ditandatangani
Nopember 2004, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi.
Indonesia tengah melakukan proses perundingan MLA bilateral dengan
Hongkong dan perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Dua negara yang ditengarai
menjadi tempat favorit bagi para koruptor mengamankan uang mereka. Di Hongkong,
misalnya, Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin Basrief pernah menemukan adanya
rekening atas nama tersangka korupsi Bank Harapan Sentosa Hendra Rahardja.
Sementara di Singapura, diperkirakan ada sekitar Rp 6-7 triliun dana tersangka korupsi
yang diparkirkan di sana.Soal kerjasama internasional, perlu disoroti kelemahan
diplomasi dan negosiasi perwakilan Indonesia. Kelemahan diplomasi ini semakin
diperparah dengan lemahnya penegak hukum di tingkat nasional. Seringkali pihak luar
mau membantu, tapi aparat Indonesia lambat responnya.
Kesimpulannya, UNCAC akan memberikan dampak yang sangat signifikan
dalam strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang telah terdapat dalam UU
31/1999, UU 20/2001 dan UU 30/2002 tentang KPK. Oleh karena, perlu diperhatikan
kaitan antara UNCAC dengan sistem hukum di Indonesia. Hal yang pasti dilakukan
menurut adalah harmonisasi antara UNCAC dengan peraturan perundang-undangan yang
ada. Memang substansi UNCAC menyinggung banyak UU. Misalnya saja,UU Korupsi,
UU Pencucian Uang, UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), hingga UU
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (saat ini masih RUU KMIP). Selain UNCAC,
awal tahun ini juga berlangsung Konferensi Masyarakat Sipil Antikorupsi
diselenggarakan 24-26 Januari 2008, bersamaan dengan penyelenggaraan Second session
of the Conference of the States Parties to the United Nations Convention against
Corruption di Nusa Dua, Bali 28 Januari hingga 1 Februari 2008. Konferensi Masyarakat
Sipil Antikorupsi dihadiri aktivis antikorupsi dari seluruh negara yang menandatangani
Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption).
Tak dapat disangkal, agenda pemberantasan korupsi telah menjadi agenda besar
pemerintah Yudoyono-Kalla. Pengarusutamaan pemberantasan korupsi tidak hanya
terdapat di dalam janji-janji kampanye pemilu, tapi juga telah diterapkan dalam berbagai
bentuk paket kebijakan, pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan pengalokasian anggaran yang memadai untuk Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Meskipun telah muncul dampak lewat berjalannya proses hukum
beberapa kasus korupsi dan munculnya dampak keterpantauan (deterrence effect), upaya
hukum masih tebang pilih dan penciptaan sebuah tata pemerintahan yang baik masih
sangat jauh dari harapan banyak pihak. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan
reformasi birokrasi lewat pembenahan sistem pengadaan, peningkatan profesionalitas,
dan penerapan sanksi yang keras dan tegas. Transparancy International juga
menyarankan adanya peningkatan transparansi dalam proses penganggaran agar dapat
meminimalkan terjadinya transaksi korupsi.
Korupsi di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa
(Extra Ordinary Crime), untuk itu dalam penyelesaiannya pun harus dituntut dengan cara
yang luar biasa pula. Berdasarkan hasil survei Transparency Indonesia 2007,
menempatkan kepolisian sebagai urutan pertama, parlemen (DPR) menempati urutan
kedua dan kejaksaan menempati urutan ketiga sebagai departemen terkorup. Ironisnya,
ketiga departemen ini terkait dalam pemberantasan korupsi.
Rumitnya masalah korupsi di Indonesia tercermin dari empat lingkaran yang
saling mengkait, yaitu: Cendana, Istana, Pengusaha Naga, Militer (ABRI) , dan Multi
National Cooperation (MNC). Pertama, Korupsi dilingkungan Cendana yang
melibatkan Soeharto beserta keluarganya. Faktanya,misalnya- pada tanggal 17 September
2007, PBB melalui organisasi United Nations Office on Drug and Crime (UNODC) telah
meluncurkan kerjasama StAR (Stolen Asset Recovery), telah mengumumkan bahwa
mantan Presiden Soeharto adalah pemimpin paling korup di dunia dan diduga telah
menjarah uang rakyat Indonesia sebesar 15 - 35 miliar dollar AS (1967-1998).
Kedua, keterlibatan orang-orang di sekitar istana dalam kasus korupsi. Kasus di
Pertamina-misalnya, dugaan korupsi pada Technical Assistance Contract (TAC) antara
PT. Pertamina dengan PT. Ustalindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4
kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu.
Dalam kasus tersebut tersangka dua mantan Menteri Pertambangan dan Energi pada era
Pemerintahan Orde Baru, Ginanjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana. Kerugian negara
diperkirakan sebesar 24.8 juta dollar AS. Kasus penjualan dua tengker raksasa (Very
Large Crude Carrier-VLCC) yang melibatkan mantan Menteri BUMN, Laksamana
Sukardi, dimana negara dirugikan US $ 50 juta.
Ketiga, akibat dari kolusi antara para penguasa dengan pengusaha melahirkan
korupsi yang merugikan negara triliun rupiah setiap tahunnya. Contoh kasus BAPINDO
yang melibatkan Eddy Tanzil yang melarikan diri ke luar negeri setelah berhasil
membobol Bank Pembangunan Indonesia, dimana negara dirugikan sebesar Rp 1,3
triliun. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), hasil audit Badan Pemeriksaan
Keuangan Agustus 2000, menyebutkan adanya penyimpangan dalam penyaluran dana
BLBI sebesar Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun..
Keempat, Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan militer-misalnya: kasus
korupsi Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (ASABRI). Dimana, Dirut Asabri Majet
(purn) Subanda Midjaja 1995-1997, melakukan penyimpangan penggunaan dana dopisito
milik Asabri sebesar Rp 410 miliar untuk dijadikan jaminan kredit di BNI 46 atas Henry
Leo.
Kelima, kuatnya tekanan negara asal dari MNC telah mempengaruhi Kebijakan
Pemerintah Indonesia. Kasus EXXON mobil yang melakukan eksploitasi minyak di Laut
Natuna-misalnya, Indonesia mendapat pembagian 0 % dan hanya menerima pajak
pendapatan dari eksploitasi tersebut. Demikian pula dalam kontrak eksploitasi minyak di
Cepu yang dimenangkan oleh EXXON tidak lepas dari campur tangan Pemerintah AS.
Indonesia telah memiliki UU anti korupsi yang lengkap, serta Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipandang sebagai lembaga ideal untuk
memberantas korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan.
Indonesia boleh dikatakan belum berhasil menarik uang negara yang dilarikan ke luar
negeri. Berdasarkan data Departemen Hukum dan HAM, Indonesia sejak tahun 2003-
sekarang baru berhasil menarik dana 3 juta dollar AS dari Australia.
Cerita sukses pengembalian asset hasil korupsi yang dilarikan ke luar negeri, kita
bisa belajar dari kesuksesan Pemerintah Nigeria dalam memberantas korupsi, khususnya
dalam hal menarik dana korupsi hingga 2 milar dollar AS yang dikorup oleh mantan
Presiden Sani Abacha (1993-1998). Kesuksesan tersebut merupakan kebijakan politik
yang kuat dari Pemerintah Nigeria untuk mengembalikan asset negara yang
diselewengkan dibarengi dengan penegakkan supremasi hukum.
Belajar dari Nigeria, tampaknya Pemerintah belum memiliki kehendak politik
yang kuat untuk mematuhi hukum dalam pemberantasan korupsi. Upaya Indonesia dalam
tataran intenasional, seperti di UNTAC hanyalah kamuflase belaka. Hal ini disebabkan
adanya kekuatiran Pemerintahan Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) dalam penanganan
masalah korupsi karena hampir semua pemilik kekuatan ekonomi dan orang-orang dalam
pemerintahan sekarang ini masih memiliki kaitan dengan penguasa dan pengusaha masa
lalu yang korup.
Sudah saatnya Pemerintahan SBY mengkaji ulang berbagai program, kebijakan,
dan strategi anti korupsi dengan membenahi sistem pada perangkat penegakan hukum.
Dimana, politik penegakan hukum harus diprioritaskan pada upaya pembersihan aparat
hukum, parlemen, dan pejabat negara. SBY bisa bercermin pada mantan Perdana Menteri
China Zhu Rongji yang bersikap keras dan tidak pandang bulu terhadap para koruptor,
yang terkenal dengan pernyataannya: ”… sediakan 1000 peti mati untuk koruptor kelas
kakap, pakai 999 untuk mereka dan sisakan 1 untuk saya, lalu masukan saya ke peti itu,
jika kelak saya terbukti korup”.

BAB III PENUTUP


Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan
bentuk korupsi sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya,

DAFTAR PUSTAKA
MODUL IV
JUDUL : DRUGS TRAFFICKING

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan pengertian Drug Trafficking Act tahun 1994 United Kingdom dapat
dikemukakan meliputi segala kegiatan produksi suplai controlled drug baik mengimpor
maupun mengekspornya melalui pasar gelap. Seperti halnya terorisme, negara biasanya
menjadi aktor Drug Trafficking, selain itu dilakukan oleh aktor kamuflase adalah agen-
agen resmi yang terlibat dalam penyelundupan yang dilakukan di pasar gelap.
Perdagangan obat terlarang terus meningkat setiap tahunnya yang tidak hanya melibatkan
individu, organisasi (sindikat) tetapi negara.
Kolombia sebagai negara pemasok utama, banyak kartel terdapat di negara ini.
Kausu tahun 2006 pemasok dari Kolombia melintasi daerah perbatasan jalur darat,
melalui Meksiko masuk ke Amerika. Konsumen utama mereka adalah warga negara
Amerika. Namun, perdagangan umat yang melewati batas negara yang dilakukan oleh
sindikat jauh lebih besar dan terorganisir dengan baik. Indonesia merupakan surga bagi
pelaku perdagangan obat akibat dari lemahnya hukum yang menjerat pelaku, sistem
pengamanan dan para aparat yang korup.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini meliputi pengertian korupsi sebagai salah satu dari bentuk kejahatan
transnasional. Kasusi korupsi terus meningkat dengan modus operandi yang makin
beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi juga melibatkan
negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional baik melalui
kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam mengatasi
kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam dengan
orangisasi internasional yang terkait,

C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan drug trafificking
pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
16. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola drug trafificking
17. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus drug
trafificking i
18. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi drug trafificking
19. Mampu menganaisis kasus illegal fishing dan illegal loging dengan memberikan
solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
21. Keaktifan di kelas
22. tata kerama/ sopan santun
23. Kerjasam team
24. keaktifan berdiskusi
25. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
26. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
27. Mampu menganalisis kasus korupsi di Negara berkembang, khususnya di
Indonesa

BAB II PEMBAHASAN
IDrugs trafficking atau Illegal drug trade atau perdagangan gelap narkoba adalah istilah
untuk sebuah pasar gelap global yang meliputi penanaman, pengolahan, distribusi, dan
penjualan narkoba secara ilegal. Sedangkan narkoba (narkotika dan obat berbahaya)1
sendiri adalah istilah yang merujuk kepada narkotika dan obat-obat terlarang, yakni
sejenis obat tapi tidak dipergunakan sebagai obat dalam dunia kedokteran, seperti opium,
ekstasi, morfin, mariyuana, heroin, dsb. Pada awalnya narkotika merupakan alat yang
bersifat meditatif untuk mengobati rasa sakit yang dikenal dengan sebutan “candu”.
Namun, seiring dengan perkembangannya, narkotika telah mengalami pergeseran fungsi
dan manfaat, Ketika pada zaman modern ini narkotika mulai menjadi bagian dari gaya
1
www. Kapanlagi.com. sejarah narkoba
hidup konsumerisme dilihat dari dosis yang dikonsumsi dan tujuan
mengonsumsinya.Narkotika mulai diperdagangkan oleh pedagang bangsa Arab di negara
China. Sekitar abad XVIII, China mulai mengimpor narkotika dari India melalui
pedagang Portugis. Abad XIX, perdagangan Inggris menggeser perdagangan Portugis
dalam monopoli suplai opium melalui East Indian Company.
Akibat pengaruh buruknya terhadap masyarakat, tahun 1796 Kaisar China
memberlakukan pelarangan penggunaan opium, dilanjutkan dengan menyita candu milik
Inggris pada tahun 1839, tindakan yang memicu Perang Candu pada tahun 1840-1842.
Perang inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa Hongkong harus diserahkan
pada Inggris hingga tahun 1997, sebagai kompensasi kekalahan China dalam perang ini.
Namun demikian, sejarah kelam terbukti tak menjadi penghambat bagi perkembangan
narkoba untuk menjadi komoditi kelas dunia. Bahkan China sendiri yang jelas-jelas
pernah menjadi korban barang jahat tersebut tak mampu melepaskan diri dari jerat
perdagangan narkoba yang makin merusak. Bahkan termasuk salah satu negara dengan
kasus terbanyak di kawasan Asia bersama Indonesia, Pakistan, Thailand, Indonesia,
Afganistan, Laos, dan Myanmar.
Nominal transaksi perdagangan narkoba dunia saat ini mencapai US$ 400 miliar
atau hampir setara dengan 4.000 triliun, yang juga berarti bahwa transaksi narkoba per
harinya mencapai lebih dari satu triliun, dan terus bertambah setiap saatnya Laporan
UNODC (United Nation on Drug and Crime) tahun 2003 menyebutkan, sekitar 200 juta
orang atau sekitar 5% penduduk di seluruh dunia adalah pengguna narkoba, dengan usia
15-64 tahun, dengan perkiraan 140 juta penguna ganja, 8 juta pengguna heroin, 13 juta
menggunakan kokain, dan 30 juta pengguna obat terlarang lainya seperti ekstasi, shabu,
dan pil psikotropika. Terbongkarnya jaringan mafia pengedar narkotika dan obat obatan
di sejumlah wilayah di Indonesia Desember 2007 lalu, disusul dengan penangkapan
sejumlah artis dan penyanyi Indonesia yang terlibat dengan benda mematikan itu,
menunjukkan pasar narkoba di Indonesia kian menakjubkan.

Jalur distribusi narkoba ke dan dari Indonesia memperlihatkan jaringan gelap narkoba
yang makin luas. Melihat jalur distribusinya Indonesia bukan lagi merupakan daerah
transit tetapi sudah menjadi daerah tujuan dan produksi. Penemuan pabrik narkoba
terbesar di Tangerang maupun Batu, Jawa Timur menjadi contoh nyata. Baukan hanya
itu, bahkan di empat kota lain juga ditemukan pabrik yang beroperasi di bidang yang
sama, di Batam, Riau dan 1 di Pluit, Jakarta Utara, dan ternyata ada 4 lokasi lain. Namun
tidak disebutkan lokasinya.
Dewasa ini memang sangat sulit untuk menyatakan bahwa ada negara yang
tidak terlibat dalam praktik perdagangan gelap narkotika dunia. Sebab mata rantai
sindikat illegal drugs trafficking oleh mafia-mafia kriminal sudah begitu kompleksnya,
tak terkecuali Indonesia. Data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN),
akhir 2007 lalu bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi pasar terbesar bagi
perdagangan narkoba internasional. Hal ini tidak mengherankan mengingat sejak tahun
2005 Indonesia sudah masuk dalam tiga besar peredaran narkoba dunia (terutama untuk
jenis sabu), dan berada diurutan ketiga setelah Cina dan Amerika Badan Narkotika
Nasinal (BNN) Nasional RI mengungkapkan, jalur peredaran narkotika secara ilegal ke
Indonesia itu paling banyak berasal dari wilayah segitiga emas (Thailand, Myanmar, dan
Laos). Pemasok lainnya berasal dari Iran, Pakistan, dan Afganishtan, yang produksinya
sudah hampir mencapai 4.000 ton per tahun
Lebih lanjut, juga dikatakan bahwa pengedar hingga produsen narkotika dan
psikotropika yang masuk ke Indonesia didominasi oleh warga Afrika, sedangkan bahan-
bahan pembuat obat-obatan psikotropika yang dikerjakan oleh orang Indonesia
kebanyakan didatangkan dari Malaysia dan Hongkong. Selain itu, BNN juga
menambahkan bahwa peringkat teratas peredaran narkoba di Indonesia berada di Jawa
Timur.

Data terbaru yang dikeluarkan akhir Januari 2008 mengungkap bahwa saat ini, di
Indonesia terdapat sekitar 557.000 orang pecandu heroin, dan sekitar 2,9 hingga 3,2 juta
orang menyalahgunakan narkoba. Rata-rata penggunaan heroin per pecandu per hari
mencapai 0,1 gram. Dengan demikian, konsumsi narkoba bagi pecandu di Indonesia
mencapai 1,6 ton perbulan. Kondisi ini menyebabkan angka kematian akibat narkoba di
Indonesia mencapai 15.000 orang pertahun. Bahkan secara terpisah, UNODC (United
Nations On Drugs and Crime), menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
penyuplai ganja terbesar di Asia Tenggara. Belum cukup, dalam satu studi yang
dilakukan di Australia oleh Dewan Nasional Australia untuk Obat-obat Terlarang,
ditemukan bahwa terjadi peningkatan kasus perdagangan narkoba di Indonesia dan
China.
Secara umum, masalah peredaran drugs merupakan masalah serius yang dihadapi
dunia saat ini. Indonesia bukanlah satu-satunya negara diwilayah Asia Tenggara yang
terkait dengan jaringan perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang di Asia
Tenggara. Namun, beberapa tahun terakhir perkembangan upaya preventif terhadap
penyebaran narkoba di wilayah Asia Tenggara cukup menunjukkan perubahan berarti ke
arah yang lebih baik. Hal ini didukung oleh adanya keinginan bekerjasama dari
pemerintah negara sekawasan untuk memulihkan kondisi perekonomian di negaranya,
dimana bidang ekonomi tersebut merupakan ekses langsung yang paling dapat dirasakan
sebagai efek negatif dari tindakan sindikat perdagangan narkotika ilegal yang pada
umumnya didapatkan melalui pencucian uang hasil peredaran.
Banyak pihak yang mengakui bahwa sangat sulit memutuskan mata rantai
sindikat perdagangan gelap narkoba karena pasar dunia telah terlanjur keranjingan
narkoba dengan segala “keuntungan haram” yang sangat menjanjikan dibaliknya. Selain
itu, banyak negara yang justru menjadikan narkoba sebagai pendapatan petani dan
penduduknya, seperti kokain di Amerika Selatan, opium di Afganishtan, dan wilayah
pegunungan di Asia Tengah, serta negara-negara di segitiga emas. Masalah semakin
rumit karena dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak diantara pedagang narkoba yang
tidak membayar pemasok mereka dengan uang, melainkan dengan produk narkoba,
sehingga terjadi pola hubungan sirkulatif dalam perdagangan narkotika dengan bahan
candu yang variatif meski dengan aktor yang tetap.
Masalah lain dalam penegakan hukum antipencucian uang adalah pembuktian.
Apalagi, kejahatan pencucian uang bukan merupakan kejahatan tunggal, tetapi ganda.
Tuntutan akan suatu perbuatan pencucian uang mengharuskan pembuktian dua bentuk
kejahatan sekaligus, yakni pembuktian perbuatan pencucian uang (follow up crime) itu
sendiri dan pembuktian bahwa uang tersebut adalah ilegal. Peran PPATK, penyedia jasa
keuangan, dan masyarakat akan menentukan sukses tidaknya pemberantasan pencucian
uang di Indonesia.Hal lain yang turut memegang andil dalam mempersulit penegak
hukum untuk melakukan tindakan represif adalah berkembangnya jenis narkotika yang
lebih mudah dikontrol tanpa menghilangkan euphoria, meskipun di Indonesia sendiri
peraturan mengenai produksi dan konsumsi jenis narkotika yang legal telah ditetapkan
dalam UU no.22 tahun 1997 Bab V pasal 32. Di samping itu, banyak diantara obat-
obatan itu kini diproduksi secara legal di pabrik farmasi. Belum lagi adanya kenyataan
bahwa di kalangan penegak hukum sendiri kurang terjalin koordinasi yang cukup baik,
pihak internasional dan domestik. Adanya organisasi-organisasi pelindung (biasa dikenal
dengan istilah gembong narkoba) yang sangat berkuasa, turut menyulut instabilitas dan
ketidakamanan serta mempersulit pemerintah untuk menegakkan kaidah hukum. Sering
didapati sejumlah pejabat di suatu negara harus tewas di tangan mafia karena berusaha
memerangi eksistensi mafia narkotika di negaranya.
Meleburnya batas negara atas nama globalisasi semakin mempersulit upaya
pemberantasan perdagangan gelap narkoba. Globalisasi menghilangkan pengecekan antar
negara, mempermudah peredaran uang antar negara sehingga memudahkan pencucian
uang. Parahnya lagi, saat ini diduga ada beberapa negara yang secara terselubung ikut
andil dalam mensponsori perdagangan narkoba ini. Seperti baru-baru ini, Amerika
Serikat mengungkapkan besarnya kemungkinan keterlibatan Korea Utara dalam
perdagangan narkotika yang disponsori negara. Tudingan ini mengutip bukti penahanan
sebuah kapal yang dicurigai mengangkut 125 kg heroin, yang diperkuat kesaksian pekerja
partai Korut. Perdagangan narkotika oleh negara adalah suatu konspirasi antara para
pejabat tingkat tinggi dari partai atau pemerintah yang berkuasa dan bawahan mereka
untuk menanam, membuat, dan atau memperdagangkan narkotika dengan pengampunan
hukuman melalui pemanfaatan -tetapi tidak terbatas pada aset-aset yang dimiliki negara.
BAB III PENUTUP
Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan
bentuk korupsi sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya,
DAFTAR PUSTAKA
Can, Edi. 2005. Setiap tahun 15 ribu tewas akibat narkoba. TEMPO Interaktif.

Garnasih, Yenti. Revisi UU Tindak Pidana Pencucian Uang: Mengambil Hikmah Di

Indonesia jadi pasar narkoba internasional. 2002. Sinar Harapan

www. Kapanlagi.com. sejarah narkoba

Moninca, Jesse. Harian sinar harapan, 11 Februari 2005

Harian komentar.htm, 1 November 2007. Indonesia penyuplai ganja terbesar di Asia


Tenggara

Sri Hartati Samhadi. Kompas, 24 November 2007., Defending Human Rights for Drugs
Users,
copy right 2007

_______, www.Kapanlagi.com, Drug trafficking. Acces date : 06 Feb. 2008

Harian suara merdeka. Korut Diduga Terlibat Perdagangan Narkoba. Edisi :Eabu, 3
Maret 2004
MODUL V

JUDUL : Money Laundering

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Money Loundering diterjemahkan dengan pemutihan uang atau pencucian uang
adalah kejahatan yang bertujuan untuk melindungi atau menutupi suatu aktivitas
crimimal yang menjadi sumber dari dana atau uang yang akan dibersihkan. Mantan
Managing Director INF, Michael Camdessus yang membuat statement bahwa kasus
Money Loundering di seluruh dunia berkisar antara 2-5% dari Gross Domestic Product
(GDP) dunia. Kasus money loundring terus meningkat setiap tahunnya dengan modus
yang main beragam. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan perlu penanganan antar
negara untuk meminimalkan kerugian yang lebih luas.
Tahun 2003-2006, ada 433 kasus dengan nilai total setara Rp 100 trilliun dicurigai
terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Dugaan tindak kriminal yang terkait dengan
Money Loundering itu adalah korupsi/penggelapan sebanyak 178 kasus, penipuan 157
kasus, kejahatan perbankan 27, pemalsuan dokumen 19, teroris 5, penggelapan pajak 4,
perjudian 3, penyuapan 7, narkotika 3, pornografi anak 1, pemalsuan uang 4, pencucian
1, pembalakan liar 4, tidak teridentikasi 20. Dari sisi penyedia Jasa Keuangan (PJK)
pelapornya terdiri dari bank sebanyak 421 dan non bank 12. Non bank terdiri dari
pedagang valuta asing 7 dan perusahaan pembiayaan 5. Selain adanya laporan
pembawaan uang melewati daerah kepabeaan sebanyak 2.432 laporan dari 5 pelabuhan
dan pos. PPATK juga menerima laporan transaksi cash dengan nilai di atas Rp.500 juta
melalui PJK sebanyak 1.968.180 laporan.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini meliputi pengertian money laundering sebagai salah satu dari bentuk
kejahatan transnasional. Kasusi money laundering terus meningkat dengan modus
operandi yang makin beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi
juga melibatkan negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional
baik melalui kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam
mengatasi kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam
dengan orangisasi internasional yang terkait,

C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan money laundering
pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
20. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola money laundering
21. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus money
laundering
22. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi money laundering
23. Mampu menganaisis kasus money laundering dengan memberikan solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
28. Keaktifan di kelas
29. tata kerama/ sopan santun
30. Kerjasam team
31. keaktifan berdiskusi
32. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
33. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
34. Mampu menganalisis kasus money laundering Negara berkembang, khususnya di
Indonesa
BAB II PEMBAHASAN
Kejahatan peredaran gelap narkoba telah lama diyakini memiliki kaitan erat
dengan proses pencucian uang dan tegolong sebagai organized crime, dimana metode
pencucian uang ini digunakan adalah untuk menyembunyikan, menyamarkan, atau
mengaburkan hasil bisnis ilegal tersebut agar tampak seolah-olah berasal dari bisnis yang
sah.Gerard Wyrsch (1990) mengungkapkan, pencucian uang yang berasal dari bisnis
narkotika di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 100-300 milyar dolar per tahunnya.
Di Eropa diperkirakan mencapai 300-500 dolar per tahun. FATF (Financial Action Task
Force on Money Laundering) dalam annual report tahun 1995-1996 memperkirakan
sekitar 600 milyar hingga 1 triliun dolar dicuci per tahunnya. Perkiraan jumlah tersebut
terus meningkat tiap tahun sehingga dikenallah istilah narco dollar.

Saat ini, total nilai pencucian uang haram dunia telah mencapai 2-5 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) dunia atau mencapai satu trilyun dolar AS tiap tahunnya.
Nilai ini merupakan urutan ketiga dari industri terbesar yang beroperasi di dunia.
Sedangkan kontribusi terbesar dari money laundring adalah drug trafficking (pedagangan
obat-obat terlarang) yang mencapai 400 milyar dolar AS. Sedangkan narcotics
trafficking, arms trafficking, bank fraud, securities fraud, counterfeiting, dan kejahatan
sejenis mencapai 600 milyar dolar AS. Bisa dipahami jika negara yang melindungi
praktik money laundering dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dunia.
Dari sini dapat terlihat dengan jelas bahwa keberhasilan penanganan peredaran gelap
narkoba bergantung banyak pada efektivitas rezim anti pencucian uang. Karenanya,
mengungkap perdagangan gelap narkoba bisa dilakukan dengan membongkar praktek
pencucian uang di Indonesia.
Ada tiga proses umum metode pencucian uang yang biasa dilakukan. Pertama,
placement, yaitu proses pemecahan uang tunai dalam jumlah yang sangat besar kedalam
jumlah yang lebih kecil lalu didepositokan ke dalam rekening di suatu bank. Bisa juga
dengan pembelian sejumlah instrument moneter. Contohnya, apabila seorang pengedar
mendapatkan hasil lima juta dollar. Dia ingin memasukkan hasil tersebut ke dalam
sistem perbankan. Dengan dana yang sebesar itu, akan sangat mencolok apabila
disesuaikan dengan prosedur biasa, sehingga dipakailah surat berharga atau juga
rekening-rekening acoount dari bank. Kedua, layering, yaitu tahap penyamaran dan
pemisahan hasil pencucian ke dalam banyak rekening, dari bank ke bank, dari negara ke
negara. Ketiga, integration yaitu tahap sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih
untuk kembali melakukan kegiatan operasi dari penjahat yang mengendalikan.
Praktik pencucian uang haram (money laundering) yang terjadi dalam sistem
perekonomian Indonesia masih terbilang sangat tinggi. Indonesia, berdasarkan data
Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat, ternyata dimasukkan dalam daftar utama tempat pencucian uang.
Jumlah transaksi yang dihasilkan dari peredaran gelap narkoba di Indonesia mencapai
300 triliun pertahun. Fakta ini jelas menuntut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) untuk bekerja lebih keras dalam pemberantasan money laundering.
Mengenai jaringan sindikat perdagangan narkoba tersebut, kepala Pusat Represif
Badan Narkotika Nasional (BNN), Brigjen Alex Bambang Riatmojo, mengemukakan
bahwa para pelaku berasal dari berbagai negara, terutama dari Afrika yang memiliki
sistem mobilitas tinggi dan sistem security atau kerahasiaan yang begitu rumit (sistem
cut) seperti Ghana, Nigeria, dan Liberia. Beliau juga mengungkapkan, salah satu kendala
dalam upaya pemberantasan tindak pidana jenis ini adalah kenyataan bahwa sering sekali
aksi ini melibatkan jaringan internasional, sehingga seringkali mereka harus melacak
sampai ke luar negeri. Meskipun demikian, mau tak mau, masalah ini harus segera diatas
jika Indonesia serius dengan misi internasionalnya, dengan segala keinginannya untuk
membuat Indonesia menjadi seperti negara-negara maju lain.
kinerja ekspor Indonesia selama ini masih jauh dari memuaskan, meski selama
tahun 2004 telah naik 11,49 persen di posisi 69,71 milyar dolar AS. Nilai itu belum
memadai untuk menyokong pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada 6,6 persen per
tahun. Tak cuma ekspor, investasi juga bakal terganggu. Saat ini saja realisasi dari
persetujuan dari Penanaman Modal Asing (PMA) menurun dari 5,4 milyar dolar AS
menjadi hanya 4,6 milyar dolar AS di tahun 2004. Tahun investasi yang dicanangkan
selama 2003 dan 2004 belum memberikan hasil jelas.
iduga penyebab utamanya adalah masalah kepastian hukum dan sulitnya
perizinan di Indonesia, termasuk konsen investor terhadap maraknya korupsi di Indonesia
dan tingginya praktik money laundering. Tidak cuma investor, kancah pergaulan
internasional Indonesia juga akan terganggu. Maka, tak heran kalau Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono cepat-cepat mengirim surat pada FATF melalui Menteri Sekretaris
Negara untuk segera mengeluarkan Indonesia dari dafar hitam negara pencuci uang.Yang
menjadi sasaran memang sistem keuangan. Artinya, jika terus dirongrong tanpa
penindakan jelas dari para penegak hukum, harapan untuk meningkatkan investasi bisa
saja nihil. Ini masuk akal karena money laundring secara nyata bisa mengganggu
keberadaan perusahaan yang sah. Melalui pencampur adukan uang halal-haram maka
perusahaan pencucian uang akan mudah menjual barang/jasa di bawah harga pasar,
akibatnya perusahaan sah akan sulit bersaing.
BUMN juga bakal berimbas. Karena uang dari kejahatan amat besar jumlahnya,
maka melalui dana itu pulalah tak tertutup kemungkinan masuknya uang haram melalui
program privatisasi pemerintah. Bahayanya, bisnis tidak akan dijalankan untuk mengejar
keuntungan melainkan semata mencuci uang. Lebih mengkhawatirkan, jika pencucian
uang dianggap dilakukan negara, maka bisa merusak kepercayaan internasional dan
secara otomatis kehilangan kesempatan untuk berinvestasi pada tataran global. Dalam hal
pengendalian moneter, pemerintah juga bakal disulitkan. Sebab, baik pemerintah atau BI
akan kesulitan mengendalikan mata uang dan juga suku bunga akibat penanaman modal
dari para pencuci uang umumnya bukan pada negara yang memberikan rate of return
yang tinggi melainkan yang sulit dideteksi.
al ini pulalah yang menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap instabilitas
moneter akibat terjadinya misalokasi sumber daya karena distorsi aset dan harga-harga
komoditas yang direkayasa. Meningkatnya permintan uang bisa mempengaruhi volatilias
terhadap modal internasional, suku bunga dan nilai mata uang sehingga sulit mencapai
kebijakan makroekonomi yang sehat dan stabilitas makro.Tindakan ini, seperti diakui
oleh Amerika Serikat dan Kanada, sangat berdampak buruk terhadap negara, sebab,
selain merongrong integritas pasar-pasar keuangan dan pihak swasta yang sah, money
laundry juga mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kegiatan
ekonominya. Selain itu, tindakan ini juga menyebabkan hilangnya pendapatan negara dari
sumber pembayaran pajak akibat pencucian uang, serta sangat membahayakan upaya
privatisasi perusahaan negara yang dilakukan oleh negara.
Alasan lain yang turut mendorong maraknya kejahatan ini, khususnya di
Indonesia, adalah adanya rezim devisa bebas yang memungkinkan siapa saja yang
memiliki devisa, dapat menggunakannya untuk kegiatan apapun; kemajuan teknologi di
bidang informasi terutama penggunaan internet memungkinkan kejahatan terorganisir;
ketentuan rahasia bank yang meskipun Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang
telah menghapuskan ketentuan tersebut, tetap saja masih diberlakukan secara ketat;
ketentuan hukum mengenai kerahasiaan hubungan antara pengacara dan klien serta antara
akuntan dan klien yang makin mempersulit penyelidikan; lemahnya penegakan hukum
dan kurangnya profesionalitas aparat penegak hukum; dan masih banyak lagi.
Ditinjau dari posisi geografis Indonesia memang suatu wilayah sentral bagi lalu
lintas perdagangan narkoba antara Asia dan Australia. Semakin meningkatnya kasus-
kasus yang melibatkan warga negara asing menunjukkan bahwa Indonesia sudah sejak
lama menjadi target utama sindikat Internasional perdagangan obat terlarang.Sebagai
bentuk kejahatan yang relatif baru di Indonesia, penanganan money laundering memang
tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada dua masalah besar dalam pelaksanaan
penegakan hukum antipencucian uang ini, yakni kerahasiaan bank dan pembuktian.
Penerapan prinsip mengenal nasabah merupakan salah satu langkah konkret identifikasi
nasabah. Selama ini, lembaga penyedia jasa keuangan terbiasa menyimpan rapat-rapat
data mengenai nasabahnya.
UU Money Laundering jelas dianggap melanggar aturan perbankan. UU ini
memang sudah direvisi. Walaupun begitu, beberapa kalangan mengakui bahwa UU ini
jauh dari kesempurnaan. Kelemahan yang dulu sempat tampak pada UU No. 15/2002
adalah terbatasnya jenis tindak pidana yang dapat dijerat dengan UU tersebut. Dalam
amendemen UU baru ini, ditambahkan sembilan jenis tindak pidana, sehingga jumlah
totalnya menjadi 24 tindak pidana asal. Salah satu tindak pidana baru yang dimasukkan
adalah perjudian. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengakui, salah
satu kelemahan UU ini adalah tetap tidak bisa menjerat hasil perjudian yang dilakukan di
luar Indonesia.
Sebenarnya, di satu sisi, dimasukkannya perjudian ke dalam UU ini bernilai
positif. Tetapi, sayang, hal itu hanya menyelesaikan sebagian masalah terkait dengan
pengharaman uang perjudian dalam UU Antipencucian Uang. UU ini belum sepenuhnya
mampu mencegah uang haram hasil perjudian masuk ke dalam sistem keuangan di
Indonesia. Intinya, hal itu hanya sebatas mengriminalisasi, dan tidak dapat menjangkau,
seperti yang dilakukan di luar negeri. Dengan asas double criminality yang dianut
Indonesia, kejahatan bukan hanya harus diakui di Indonesia, tapi juga harus diakui di
negara lain. Sehingga, Pemerintah Indonesia tidak bisa menjerat orang yang menransfer
uang hasil perjudian dari negara yang melegalkan perjudian ke Indonesia. Australia,
misalnya. Indonesia tidak bisa melakukan kerja sama dengan Australia, karena negara
tersebut melegalkan perjudian.
Hingga saat ini telah terbentuk beberapa undang-undang yang diharapkan mampu
mengatasi masalah perdagangan gelap narkotika ini. Diantaranya: International Opium
Convention Convention of 1931 Suppression of Smoking, Convention for the Suppress of
the Illicit Traffic in Dangerous Drugs of 1946, dan Single Convention Narcotics Drugs
1961 yang dianggap paling universal dalam pengawasan obat bius, dimana konvensi ini
meliputi perjanjian multilateral dengan sejumlah besar negara-negara anggota PBB.
Selain itu juga dikeluarkan Convention on Psychotropics and Substances of 1971, yang
merupakan sistem kontrol terhadap obat-obat kimia dan farmasi.
United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances (tahun 1988) merupakan titik puncak peraturan untuk
pemberantasan pencucian uang dari kejahatan peredaran gelap narkotika dan
psikotropika. Konvensi ini mengharuskan tiap negara anggota memberlakukan
kriminalisasi pencucian uang yang berkaitan dengan peredaran gelap obat-obat bius,
mengatur ketentuan mengenai daftar pelanggaran yang berkaitan dengan industri,
distribusi atau penjualan gelap dari obat bius dan organisasi serta pengelolaannya,
konvensi ini pulalah yang mengokohkan terbentuknya International Anti Money
Laundering Legal Regime yang merupakan salah satu upaya internasional untuk
menetapkan rezim hukum internasional dalam badan internasional. Indonesia meratifikasi
konvensi ini melalui UU No. 17 tahun 1997.
Selain itu, United Nation Congress on the Prevention on Crimes and Treatments
of Offenders pada tahun 1995, berisi 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai, dengan
pencucian uang menempati urutan pertama. pada April tahun 2002, Indonesia
mengeluarkan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai bentuk ratifikasi
terhadap konvensi tersebut. Sejak tahun 1993 Indonesia telah memberlakukan hukuman
mati terhadap para pelanggar tindak pidana di bidang narkoba. Peraturan-peraturan
perundang-undangan RI yang didalamnya mengatur penjelasan tentang sanksi hukuman
mati kepada pelaku sindikat peredaran gelap narkoba diatur dalam UU RI No. 22 Tahun
1997 khusunya pasal 81, pasal 82, dan pasal 83. Meskipun sempat terjadi perdebatan
untuk permohonan uji materi mengenai efisien tidaknya pemberlakuan hukuman mati ini,
tapi hingga saat ini Undang-undang tersebut belum diubah. Masih banyak pihak yang
masih menganggap bahwa hukuman mati akan dapat membuat efek jera, salah satunya
Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal Polisi I
Made Mangku Pastika. Meski demikian, hukuman sebenarnya hanyalah sebagai salah
satu metode, pada kenyataannya MK mengeluarkan statement bahwa pidana mati, tidak
bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Indonesia tidak
menganut asas kemutlakan hak asasi manusia. Hak asasi manusia dalam Undang-
Undang 1945 dibatasi oleh pasal kunci yaitu pasal 28J, yaitu hak asasi seseorang
digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi
berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
` Disisi lain, dengan semakin maraknya perdagangan gelap narkoba, Ditjen Bea dan
Cukai Departemen Keuangan terus meningkatkan pengamanan di berbagai pelabuhan
besar di Indonesia untuk mencegah penyelundupan narkoba. Upaya pemberantasan
drugs trafficking ini juga diikuti dengan peningkatan koordinasi dengan aparat dan
instansi terkait, seperti kepolisian. Meskipun demikian, menghentikan peredaran narkoba
tidak cukup hanya diatasi dengan penegakan hukum sebagai bagian dari reduksi suplai.
Dalam hal ini, penegakan hukum memang sangat diperlukan, tetapi pengurangan
permintaan dan pengurangan dampak buruk juga diperlukan.
Sekadar perbandingan, Mae Fah Luang Foundation, sebuah yayasan di Thailand,
telah berhasil memberantas penanaman opium melalui pengentasan kemiskinan di
jantung wilayah segitiga emas Chiang Rai, Thailand bagian utara. Kini, yayasan ini
mencoba membantu beberapa negara berkembang yang memiliki masalah yang sama
dengan Aceh. Upaya lain yang coba ditempuh oleh pemerintah adalah upaya preventif
dengan menyebarkan informasi tentang bahaya penyalahgunaan narkotika dan sanksi
hukumnya. Jauh sebelum itu terbentuk, ada empat pilar yang harus diperkuat. Yakni,
perundang-undangan dan hubungan masyarakat; sumber daya manusia dan teknologi
informasi; analisis dan kepatuhan, serta kerja sama domestik dan internasional.
Kesemuanya bermuara pada sejauhmana berbagai pihak bisa mendukung tujuan
dimaksud. Yang jelas meski telah dinyatakan lulus dari daftar hitam pencuci uang ada
enam catatan yang harus diperhatikan. Pertama, meningkatkan pelaporan dari bank-bank
kecil. Kedua, meningkatkan capacity building dari penegak hukum. Ketiga,
menyelesaikan perkara penanganan tindak pidana pencucian uang dalam waktu cepat.
Keempat, audit terhadap penyedia jasa keuangan. Kelima, menyelesaikan draft RUU
hukum timbal balik dan keenam, memperkuat efektivitas profesional PPATK.

BAB III PENUTUP


Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan bentuk
money laundering sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

Can, Edi. 2005. Setiap tahun 15 ribu tewas akibat narkoba. TEMPO Interaktif.

Garnasih, Yenti. Revisi UU Tindak Pidana Pencucian Uang: Mengambil Hikmah Di


Balik Desakan Internasional. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/17/opini/5677

Husein, Yunus. Hubungan antara kejahatan peredaran gelap narkoba dan tindak pidana
pencucian uang.

Sjahdeini, Sutan Remy.2002. Memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan kebenaran


dan perdamaian berdasarkan kasih. Sinar Harapan.

Indonesia jadi pasar narkoba internasional. 2002. Sinar Harapan

www. Kapanlagi.com. sejarah narkoba

Moninca, Jesse. Harian sinar harapan, 11 Februari 2005

Harian komentar.htm, 1 November 2007. Indonesia penyuplai ganja terbesar di Asia


Tenggara

Sri Hartati Samhadi. Kompas, 24 November 2007., Defending Human Rights for Drugs
Users,
copy right 2007
_______, www.Kapanlagi.com, Drug trafficking. Acces date : 06 Feb. 2008

Harian suara merdeka. Korut Diduga Terlibat Perdagangan Narkoba. Edisi :Eabu, 3
Maret 2004

MODUL VI

JUDUL : Perdagangan Senjata Ilegal (Gun Trafficking)

BAB II PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transfer senjata umumnya dimengerti sebagai serangkaian kegiatan negara dan aktor non
negara terlibat untuk memperoleh dan menjual senjata yang meliputi kegiatan-kegiatan
berupa penjualan, perdagangan, pembelian, pengadaan, penyaluran maupun donasi
senjata. Perdagangan senjata illegal didefinisikan oleh komisi pelucutan senjata PBB
sebagai trade which is contrary to the laws of states and/or internasional law. Definisi ini
memunculkan kemungkinan dua jenis pasa senjata illegal: grey market and black market.
Gray market merujuk pada situasi, dimana perdagangan terjadi dengan sepengetahuan
pemerintah nasional, walaupun mungkin melanggar aturan internasional. Sementara
black market merujuk pada perdagangan yang terjadi sepenuhnya di luar control
pemerintahan nasional.
Senjata-senjata yang diperdagangkan biasanya merupakan senjata-senjata kecil.
Dibandingkan dengan senjata pemusnah missal, seperti chemical dan biological
weapons misalnya, senjata api organic jenis yang dikategorikan sebagai small arms and
light weapons – SALW tidak terlalu banyak menarik perhatian. Padahal, small arms
survey 2001, SALW diestimasi sebagai kematian 500 ribu orang di seluruh dunia setiap
tahun. 300 ribu diantaranya berkaitan dengan konflik bersenjata, sementara 200 ribu
lainnya berkaitan dengan kriminalisasi atau insiden lain. SALW-lah sebetulnya weapons
of mass destruction.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini meliputi pengertian gun traffickingi sebagai salah satu dari bentuk
kejahatan transnasional. Kasus gun traffickingi terus meningkat dengan modus operandi
yang makin beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi juga
melibatkan negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional baik
melalui kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam
mengatasi kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam
dengan orangisasi internasional yang terkait,

C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan gun traffickingi
pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
24. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola gun traffickingi
25. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus gun
traffickingi
26. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi gun traffickingi
27. Mampu menganaisis kasus gun traffickingi dengan memberikan solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
35. Keaktifan di kelas
36. tata kerama/ sopan santun
37. Kerjasam team
38. keaktifan berdiskusi
39. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
40. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
41. Mampu menganalisis kasus gun traffickingi di Negara berkembang, khususnya
di Indonesa

BAB III PEMBAHASAN

Transfer senjata umumnya dimengerti sebagai serangkaian kegiatan negara dan


aktor non negara terlibat untuk memperoleh dan menjual senjata yang meliputi kegiatan-
kegiatan berupa penjualan, perdagangan, pembelian, pengadaan, penyaluran maupun
donasi senjata. Perdagangan senjata illegal didefinisikan oleh komisi pelucutan senjata
PBB sebagai trade which is contrary to the laws of states and/or internasional law.
Definisi ini memunculkan kemungkinan dua jenis pasa senjata illegal: grey market and
black market. Gray market merujuk pada situasi, dimana perdagangan terjadi dengan
sepengetahuan pemerintah nasional, walaupun mungkin melanggar aturan internasional.
Sementara black market merujuk pada perdagangan yang terjadi sepenuhnya di luar
control pemerintahan nasional.
Senjata-senjata yang diperdagangkan biasanya merupakan senjata-senjata kecil.
Dibandingkan dengan senjata pemusnah missal, seperti chemical dan biological
weapons misalnya, senjata api organic jenis yang dikategorikan sebagai small arms and
light weapons – SALW tidak terlalu banyak menarik perhatian. Padahal, small arms
survey 2001, SALW diestimasi sebagai kematian 500 ribu orang di seluruh dunia setiap
tahun. 300 ribu diantaranya berkaitan dengan konflik bersenjata, sementara 200 ribu
lainnya berkaitan dengan kriminalisasi atau insiden lain. SALW-lah sebetulnya weapons
of mass destruction.
tika mendengar atau menyaksikan konflik–konflik bersenjata yang tak jarang melibatkan
orang-orang sipil, sering menjadi pertanyaan, darimana sebenarnya mereka memperolah
senjata yang digunakan itu? Apakah memang senjata diperdagangkan secara bebas legal?
Konflik-konflik bersenjata yang menimpa hampir seluruh negara di dunia, tak pelak
menelan ribuan bahkan jutaan nyawa setiap saatnya. Senjata api memang mengerikan,
senjata api jenis ringan saja, dituding sebagai penyebab tewasnya seribu penduduk dunia
setiap harinya, dan dianggap bertanggung jawab atas 90% korban mati di kawasan
konflik.Orang yang menemukan senjata untuk pertama kalinya pasti tak pernah menduga
bahwa temuannya akan menimbulkan dampak sejauh ini. Wajar memang, sebab pada
hakikatnya senjata memang diciptakan untuk kepentingan keamanan nasional, namun
menjadi masalah ketika kemudian senjata ini disalahpergunakan, mulai dari penembakan
salah sasaran, suplai persenjataan ke wilayah konflik, hingga perdagangan illegal.

Pedagangan senjata illegal, didefinisikan oleh Komisi Pelucutan Senjata PBB


sebagai perdagangan yang melanggar hukum nasional ataupun hukum internasional.
Definisi ini memunculkan kemungkinan dua jenis pasar senjata ilegal, yakni “Grey
Market dan Black Market”. Grey Market merujuk pada situasi dimana perdagangan
terjadi dengan sepengetahuan pemerintahan nasional, walaupun mungkin melanggar
aturan internasional, sementara Black Market merujuk pada perdagangan yang
sepenuhnya terjadi diluar kontrol pemerintahan nasional.

Segala perbuatan, baik atau buruk, pastilah ada faktor penyebabnya masing-
masing, begitu pula halnya dengan perdagangan senjata ilegal. Tindakan ini terjadi
karena memiliki faktor-faktor tertentu, antara lain :
 Akses senjata api yang tidak hanya dimiliki oleh aktor negara, tapi juga
dimiliki oleh kalangan luas yang dianggap memenuhi persyaratan yang
ditetapkan, sehingga subyek kepemilikan semakin meluas.
 Kurangnya kontrol Pemerintah Nasional, ataupun pihak yang seharusnya
bertanggung jawab atas hal ini.
 Tidak adanya transparansi publik mengenai jumlah amunisi ataupun kondisi
persenjataan negara.
 Kurangnya pendataan kepemilikan senjata, sehingga bahkan tidak lagi menjadi
jelas yang mana senjata legal dan mana yang ilegal.
 Khusus di Indonesia, kurangnya kontrol TNI. Sebagai badan keamanan yang
dipercaya oleh negara, TNI seharusnya memiliki kontrol dan akses lebih
terhadap bidang ini, serta diberi tanggung jawab yang lebih besar terhadap
peredaran senjata dalam negeri.
 Motif Pertahanan dan Keamanan (khususnya bagi kelompok separatis yang
dalam upaya mempertahankan dan memperjuangkan idealismenya, sudah
barang tentu sangat membutuhkan pasokan modal sekelas senjata), juga
termasuk individu yang memiliki senjata dengan alasan keamanan.
 Motif ekonomi. Senjata, tak pelak merupakan mainan mahal yang dalam
pengelolaannya melibatkan uang dalam jumlah besar. Kondisi ini jelas
memancing banyak orang bermodal untuk terlibat menggeluti bisnis ini.
Semakin banyak orang terlibat, semakin terbuka luas pula kesempatan untuk
melakukan penggelapan atau bisnis yang menyimpang dari legalitas hukum.
 Embargo (militer) suatu negara terhadap negara lain. Ketika suatu negara
diembargo, maka dapat dipastikan negara tersebut akan mencari pelarian lain
untuk memenuhi kebutuhan militernya, entah dia berusaha mendapatkannya di
negara lain ataupun terlibat dalam pasar gelap perdagangan senjata.

a. Mancanegara
Negara-negara maju yang selalu menuding negara-negara berkembang sebagai negara
pelanggar hukum internasional (khususnya hukum mengenai gun trafficking ini), jika
diteliti dengan cermat berdasarkan data yang ada, ternyata justru merupakan pelaku
utama dalam bisnis ini. Sebut saja dua negara super power, Rusia dan Amerika.
Keduanya merupakan eksportir terbesar senjata-senjata di dunia saat ini, yang secara
otomatis juga tentu merupakan negara yang memicu semakin meluasnnya
perdagangan gelap senjata. Bahkan, lima negara anggota tetap Dewan Keamanan
PBB merupakan pedagang terbesar senjata dunia. Amerika Serikat, Inggris, Prancis,
Rusia dan Cina, merupakan negara-negara eksportir senjata yang menguasai 88%
penjualan sanjata. Laporan Kongres AS menyebutkan, AS menguasai hampir 42%
pasar persenjataan dunia, yang nilainya mencapai 16,9 milyar dollar pada tahun 2006.
Tempat kedua diduduki Rusia,yang menguasai 21,6% pasar dunia. Dengan besarnya
produksi, ditambah dengan kualitas produk yang memang tak diragukan lagi, tak
heran jika kemudian banyak terjadi kasus penyelunduan senjata dari negara-negara
tersebut.

Kasus gun trafficking memang sudah semakin merambah dunia internasional.


Pada bulan Mei 2007 kemarin, muncul laporan dari Amnesty yang menyebutkan China
dan Rusia selama ini memasok persenjataan ke Sudan. Melalui serangkaian jalur,
senjata-senjata 'impor gelap' itu akhirnya jatuh ke tangan kelompok milisi Janjaweed
yang ada di daerah konflik di Darfur. Jika hal itu benar, berarti telah terjadi
pelanggaran atas ketentuan Dewan Keamanan PBB mengenai embargo persenjataan
terhadap negara ini. Laporan dari Amnesty itu menyebutkan, Sudan telah mengimpor
persenjataan lengkap dengan amunisi senilai 24 juta dollar AS, suku cadang beserta
perlengkapan untuk penerbangan senilai 57 juta dollar AS, dan berbagai suku cadang
helikopter dan pesawat jet senilai dua juta dollar AS. Semua data persenjataan yang
dibeli dari China itu diketahui dari data perdagangan Sudan tahun 20052.
Tahun 2006 lalu, di New York, dua warga negara Indonesia ditangkap di pulau
Hawai, dimana dalam persidangannya ia mengaku bersalah dalam usaha pembelian
senjata ilegal dari negara itu. Tak hanya itu, pada tahun yang sama, empat orang WNI
dengan pimpinan Hj. Subandi tertangkap di Maryland,AS, terkait masalah pembelian
sejata ilegal.
b. Nasional
Indonesia, yang notabene bukanlah negara produsen senjata, ternyata juga tak luput
dari kasus itu. Masalah-masalah ini juga tentunya tak lepas dari campur tangan aktor
internasional yang mendominasi kekuatan persejataan, khususnya AS.
Dua tahun lalu, merebak kasus yang sempat menggemparkan Indonesia 2006 lalu,
menyusul ditemukannya senjata dan amunisi dalam jumlah besar di rumah Brigjen
(purnawirawan) Koesmayadi, sejumlah senjata yang sering dihubung-hubungkan
dengan Hj.Subadi. Selain itu, TNI sendiri sebagai aparat negara justru terbukti turut
mencari-cari kesempatan mengelola bisnis perdagangan senjata ilegal.
Berikut kami tampilkan data hinga 2006 mengenai TNI yang terlibat “gun
trafficking”:
2
http://www.amnesty.org/2007/08/skandal-perdagangan-senjata. /43075.html
No Kasus Jenis Senjata Yang Terlibat Waktu /
& Jumlah Tempat
1. Jual Beli senjata api Senapan Anggota TNI yg 1
illegal yang dilakukan Laras Panjang menyuplai Februari
oleh Handoko (mantan jenis Mauser, onderdil senjata 2005
anggota perbakin) senjata rakitan kepada tersangka
bersama 3 warga di mirip M-16, Handoko (mantan
daerah Banyuurip dan Senjata Laras anggota
Kertosari Tumanggung. PanjangJenis Perbakin),
Musan, SP Yusron, Wasno,
Kaliber V Anwar (sipil)
30,6, Mauser
caliber 30,8, 1
pistol FN
Kaliber 22

Jumlahnya :
6 buah
2. Ditemukan 70 peluru 50 peluru Arie Sigit Jl.
tajam.di rumah Ari tajam caliber Rasamala
Sigit. Peluru tersebut 9 mm dan 20 ,
diberikan kepada Ari jenis Menteng
Sigit dari Eyangnya magnum. .
yaitu Jendral Pun
Suharto
3. Kepemilikan senjata Senjata serbu Haryogi Maulani Halaman
api illegal oleh Haryogi laras panjang ( anak ZA Hotel
Maulani anak dari ZA AK-47 dan Maulani, mantan Mercure,
Maulani Pistol Walter Kabakin ) 16
Colt 7,65, Februari
magasen 2000
berisi tujuh
butir peluru.
.4. Dua Prajurit TNI AD Senjata mesin Sersan satu Jakarta
terlibat dalam kasus sedang AA 52 Supartonoi dan
pencurian dan dan ribuan Prajurit Dua
penjualan senjata amunisi Acoaardi Andi
apidan ribuan amunisi Munasir dari
ke pada GAM Brigade Infantri I
Pengamanan
Ibukota/Jaya
Sakti

5. Seorang anggota Senjata Api Anggota Paskhas Maret


Paskhas rakitan FN 45 HB (22) anggota 2002
memperjualbelikan Komando
senjata secara Ilegal Pemeliharaan
dan 3 anggota Material, dan 3
Komando Pemeliharaan orang yg bertugas
Material serta 3 di lanud Husein
anggota TNI AU Sastranegara
yaitu Yt (46), SM
(31), NC (29)
6. 2 orang Oknum TNI Sersan Dua Kampung
terlibat jual beli senjata Infantri Daeng Baru
illegal yg berakibat Saifudin (35) dan Selatan,
pertikaian Prajurit Satu Desa
Infantri TAW, Pakulona
anggota TNI AD n,
Batalyon Artileri Serpong,
Pertahanan Udara Tangeran
Ringan. g Tgl 19
Agustus
2004
7. Antonius Wamang SS1 dan M16 Antonius PT.
tersangka penembakan Wamang Freeport,
karyawan PT Freeport Timika.
31 Agustus 2002 31
memiliki senjata SS1 Agustus
dan M16 yang 2002
dibeli dari anggota TNI
bernama Sersan Jefry di
Jl. Jaksa Jakarta pada
Juni 2001
8. Sumito (alm), anggota 308 peluru Sumito (alm) Desa
TNI menyimpan 308 dan 1 granat Jatibaran
butir peluru dan sebuah g,
granat. Brebes.
24 Maret
2006
9. Brigadir Jendral 96 bedil laras Jendral Jl.
Koesmayadi (alm) panjang Koesmayadi Panganda
menyimpan 96 bedil beralur, 7 (alm) ran V
laras panjang beralur, 7 pucuk laras nomer 15
pucuk laras panjang panjang tidak Puri
tidak beralur, 42 senjata beralur, 42 Marina
laras pendek, 28.985 senjata laras Ancol,
butir peluru, 9 granat pendek. Jakarta
Tangan dan 9 teropong. Jumlah Utara
Yang kesemuanya senjata yg
berjumlah 180 senjata. sudah
ditemukan
adalah 180
pucuk senjata.
Jenisnya SS-
1, MP-5, M-
16, AK serta
28.985 butir
peluru, 9
granat Tangan
dan 9
teropong.
10. Penyelundupan senjata 50 pucuk laras Perwira TNI 2003
yang sebagian besar panjang jenis
senjata laras pendek AK 47 dan
yang melibatkan 1 Uzzi serta 57
orang perwira tinggi pucuk pistol
TNI
11. Perdagangan senjata 4 laras senjata
Kapten Maryoto 25
milik TNI kepada M16, Mauser, dari Staf di Pusat Agustus
GAM Peluncur Latihan TNI dan 2002
Granat, Letnan Satu
perlengkapanFaisal, Kepala
M16 Urusan Senjata di
bagian
perlengkapan
Kodam III
Siliwangi.
12. Militer yg disersi M16, SS-1, TNI yang 2002
maupun yg masih aktif AK-47 melakukan disersi
terlibat mafia dan yang masih
perdagangan senjata di aktif
daerah Maluku.
13. Seorang anggota TNI SS-1 dan TNI berpangkat Mei 2000
berpangkat Sersan peluru kaliber Sersan
menjual senjata kepada 5,56
seseorang bekas
Kombatan di Ternate
14. Seseorang bekas tentara FN-45 Seseorang bekas Jakarta,
menjual pistol FN-45 tentara (N.N) Septembe
kepada seorang r 2004
karyawan swasta.

Sumber: 3
E. Gun Trafficking dalam Studi Hubungan Internasional
Perdagangan senjata ilegal, tak urung sering dikaitkan dengan tindakan terorisme
ataupun tindakan separatisme yang memicu timbulnya banyak korban di berbagai
belahan dunia, terutama dalam konflik bersenjata. Negara-negara konflik merupakan
pasar yang sangat menguntungkan bagi pedagang senjata ilegal, dimana transaksi
dapat dilangsungkan tanpa melalui birokrasi yang berbelit-belit, serta konsumen dalam
jumlah yang terbilang besar.
Perdagangan senjata yang melintasi batas negara dan melibatkan oknum-oknum
tertentu, ditambah lagi dengan ketidak jelasan status senjata tersebut, jelas merupakan
masalah besar yang patut mendapat perhatian penuh. Karena suplai yang teraturlah
mengapa konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini tak dapat
diberhentikan begitu saja.
Begitu pula dalam hal lain, dengan mudahnya senjata diperoleh, semakin merajalela
pula tindakan terorisme dan separatisme. Keperluan akan alat pendukung gerakan-
gerakan tersebut terpenuhi, maka dari itu tindak kejahatan tersebut seakan susah
dibendung.
Yang lebih merugikan, utamanya bagi negara, adalah tindakan pencucian uang (money
laundry). Penjualan senjata ilegal dapat mendorong tindak pidana pencucian uang
yang ujung-ujungnya dapat membuat pemerintahan suatu negara kewalahan untuk
melacak pelaku-pelaku money laundry.
F. Cara Penangggulangan
Kejahatan transnasional gun trafficking ini pada dasarnya terjadi karena adanya
peluang untuk melakukannya. Oleh karena itu, peluang yang ada tidak bisa dibiarkan

3
http://bagyoesx.blogspot.com/2007/08/skandal-perdagangan-senjata(Litbang Kontras, 2006.html
terbuka begitu saja, atau paling tidak peluang tersebut harus diminimalisir, dan lebih
lanjut harus ada usaha penanggulangannya. Adapun usaha-usaha yang kami tawarkan
antara lain:
 Ketegasan hukum, seperti penerapkan sanksi nyata pada pelaku kejahatan tanpa
memandang siapa yang melakukan. Hingga saat ini perjanjian mengenai
perdagangan senjata belum memiliki hukum sendiri yang khusus mengatur
tentang perdagangan gelap senjata ini.
 Diberlakukan transparansi data mengenai kondisi persenjataan suatu negara,
bahkan jika perlu termasuk aktivitas perdagangan senjatanya.
 Kepemilikan senjata sebaiknya dibatasi, dilanjutkan dengan kontrol yang
semakin diperketat. Jika memungkinkan, akan lebih baik jika kepemilikan
senjata ini dibatasi pada oknum berkepentingan seperti aparat keamanan.
 Izin memperdagangkan senjata untuk swasta diperketat. Perdagangan senjata,
terutama di negara-negara tertentu, memang tak memungkinkan untuk
ditangani secara penuh oleh pihak negara, sehingga keterkaitan pihak swasta
tak dapat dihindari. Tapi, hal ini dapat ditaktisi dengan kontrol yang lebih ketat
terhadap sektor ini.
 Melihat bahwa banyak kasus-kasus dalam negeri yang justru dilakukan oleh
aparat negara itu sendiri, dalam hal ini banyak dilakukan oleh TNI, maka harus
ada badan independen yang berwenang untuk mengontrol TNI dalam masalah
perdagangan senjata ini.
 Mempertimbangkan bahwa ada segelintir orang sipil yang memiliki senjata
demi alasan keamanan, maka sudah barang tentu peningkatan mutu keamanan
menjadi hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi, pemerintah harus bisa
memjamin keamanan masyarakatnya serta orang-orang dalam wilayah teritori
negara itu.
 Komitmen dan keseriusan intelijen dan kepolisian dalam hal penanganan kasus
perdagangan gelap ini harus diperjelas.

BAB III PENUTUP


Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan bentuk gun
trafficking sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang dalam
masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila CD
belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan bersama
dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat dipahami
dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias melangkah
untuk mengkaji modul selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

http://www.amnesty.org/2007/08/skandal-perdagangan-senjata. /43075.html, diakses


tanggal21-0208,pukul 15.45

http://bagyoesx.blogspot.com/2007/08/skandal-perdagangan- senjata/43074.html, diakses


tanggal 23-02-08,pukul 10.37

http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php/t-573991.html, diakses tanggal 23-02-


08,pukul 11.10

http://www.kaskus.us/archive/index.php/t-530741.html, diakses tanggal 23-02-08,pukul


09.43

http://wwwlfip.org/english/pdf/bali/seminar/Masalah-Keamanan-Internasional/bantarto-
bandoro.pdf/4662.html,diakses tanggal 23-02-08,pukul 08.37
MODUL
JUDUL : CYBER CRIME

BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Cybercrime merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan terknologi
informasi. Berbagai definisi dikemukakan oleh para ahli, namun belum terdapat
keseragaman terhadap defenisi tersebut. Secara teknis tindak pidana tersebut dapat
dibedakan menjadi offinecrime. Dimana, cybercrime tindak pidana yang dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi komputer yang dibagi menjadi dua, yaitu blue collar
dan white collar. Menurut survei AC Nielsen 2001, Indonesia ternyata menempati posisi
keenam terbesar dunia atau keempat di Asia dalam tindak kejahatan internet, meski tidak
secara rinci disebutkan kejahatan macam apa saja yang terjadi maupun warga negara
Indonesia yang terlibat dalam kejahatan ini.
Amerika merupakan negara teratas dalam Cybercrime. Dari seluruh laporan yang
diterima oleh sebuah badan berwenang mengurus kejahatan internet Amerika, 42,8
persen dari 16.775 pengaduan, jumlah kerugian tiap korbannya rata-rata sekitar 395
dollar AS. Sedangkan, jumlah kerugian terbesar dialami akibat penipuan adalah 5,575
dollar AS. Namun, menurut laporan tersebut hanya 0,6 persen dari 9,864 orang yang
melapor menderita kerugian financial akibat penipuan, pencurian identitas juga
menimbulkan kerugian yang cukup besar. Dari 2,349 orang yang melapor, rata-rata
kehilangan 3,000 dollar AS per orangnya. Secara total, laporan tersebut menyatakan
bahwa 17,8 juta dollar AS dilaporkan raib pada pertengahan 2001, dan masing-masing
merugi sekitar 435 dollar AS.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan cyber crime pada
mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
28. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola cyber crime
29. 3. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus cyber
crime Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi cyber crime
Mampu menganaisis kasus cyber crime dengan memberikan solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
42. Keaktifan di kelas
43. tata kerama/ sopan santun
44. Kerjasam team
45. keaktifan berdiskusi
46. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
47. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
48. Mampu menganalisis kasus cyber crime di Negara berkembang, khususnya di
Indonesa

BAB III PEMBAHASAN


Perkembangan zaman membawa konsekuensi yang mengharuskan perubahan dan
peningkatan di segala bidang. Nyaris semua lini kehidupan bergerak ke arah perbaikan.
Revolusi ini pada gilirannya menghadirkan berbagai inovasi tak terkecuali di bidang
teknologi komunikasi. Seperti misalnya internet yang didukung oleh sistem
komputerisasi kelas wahid berbasis jaringan yang memberikan akses bebas kepada
siapapun. Boleh dikata, kini teknologi informasi bukan lagi suatu kemewahan tapi beralih
pada konteks kebutuhan. Akibatnya, semua termotivasi untuk memiliki pengetahuan
yang mumpuni dibidang ini sehingga tidak dapat dipungkiri ada pihak dengan kapabilitas
yang lebih dari yang lainnya. Fenomena ini membuka peluang bagi pihak-pihak yang
kurang bertanggung jawab untuk melakukan apa yang kemudian dikenal dengan Cyber
Crime. Selain itu, kesempatan yang terbuka begitu luas untuk memanfaatkan dunia maya
tersebut dilengkapi oleh motivasi tertentu yang pada dasarnya berasal dari sifat dasar
manusia yang cenderung suka kemudahan dan dominasi.
Selain kronologi di atas, ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa faktor
penyebab Cyber Crime adalah sebagai berikut :
a. Segi teknis
Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi (teknologi informasi)
berdampak negative bagi perkembangan masyarakat. Berhaslnya teknologi
tersebut menghilangkan batas wilayah Negara menjadikan dunia ini menjadi
begitu sempit. Keterhubungan antara jaringan yang satu dengan yang lain
memudahkan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan aksinya. Kemudian
tidak meratanya penyebaran teknologi menjadikan yang satu lebih kuat dari
yang lain.
b. Segi Sosio Ekonomi
Cyber Crime merupakan produk ekonomi karena banyak negara yang
membutuhkan keamanan jaringan yang tentunya digulirkan bersama internet.
1. Pengertian Cyber Crime
Pada KonggresPBBke-10 tahun 2000, defenisi Cyber Crime dibagi 2 yaitu :
1. Pengertian Sempit
Cyber Crime adalah perbuatan yang bertentangan dengan hokum yang
langsung berkaitan dengan sarana elektronik dengan sasaran pada
proses data dan sistem keamanan komputer.
2. Pengertian Luas
Cyber Crime adalah perbuatan yang melawan hukum dengan
menggunakan sarana atau berkaitan dengan sistem atau jaringan
komputer termasuk kejahatan memiliki secara illegal, menawarkan atau
mendistribusikan informasi melalui sistem atau jaringan komputer
2. Jenis- Jenis Cyber Crime
Berdasarkan catatan dari National Criminal Intelligence (NCIS) di Inggris
terdapat 13 macam bentuk-bentuk Cyber Crime :
a. Recreational Hackers
Kegiatan ini dilakukan oleh netter tingkat pemula untuk iseng-iseng mencoba
kekurangandalan dari system sekuritas atau keamanan data dari suatu perusahaan.
Tujuan iseng-iseng ini oleh pelaku dimaksudkan sekedar hiburan akan tetapi
mempunyai dampak pada kejahatan mayantara secara langsung maupun tidak
langsung merugikan pihak lain.
b. Crackers atau criminal minded hackers
Biasanya pelakunya termotivasi oleh keuntungan finansial, sabotase dan
penghancuran data korban. Sebagai contoh pada tahun 1994 Citibank A.S di
Inggris mengalami kebobolan senilai USD 400 ribu oleh Crackers dari Rusia.
Pelaku akhirnya dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun
serta harus mengembalikan sejumlah uang yang dijarah. Tipe kejahatan ini
umumnya terjadi dengan bantuan orang dalam seperti karyawan yang sakit hati
atau dating dari competitor dalam kegiatan bisnis sejenis.
c. Political Hackers
Aktivis politik atau hactivist melakukan kerusakan terhadap ratusan situs web
untuk mengkampanyekan program-program tertentu bahkan tidak jarang
digunakan untuk menempelkan pesan untuk mendiskreditkan lawan politiknya.
Misalnya kampanye anti Indonesia pada masalah Timor-timur yang dipelopori
oleh Ramos Horta dan kawan-kawan.sehingga situs Deplu Indonesia sempat
mendapat serangan yang diduga keras dari kelompok anti integrasi sebelum dan
setelah jajak pendapat tentang referendum Timor Timur 1999 lalu.
d. Denial of service take
Bentuk Cyber Crime ini bertujuan untuk memacetkan sistem dengan
mengganggu akses dari pengguna jasa internet yang sah, dengan cara membanjiri
atau mengirim situs web dengan data sampah yang tidak penting. Akibatnya,
pemilik situs akan menderita kerugian karena untuk mengendalikan atau
mengontrol kembali situs web tersebut diperlukan waktu dan energi yang banyak.
e. Insiders (internal)hackers
Sama halnya dengan bentuk kedua yang disebabkan oleh orang ‘’dalam’’ yang
kecewa atau bermasalah dengan pimpinan korporasi dengan merusak data atau
akses data dalam transaksi bisnis. Misalnya pada 1998 Departemen Perdagangan
dan Perindustrian Inggris pernah mengumumkan bahwa perusahaan di Inggris
menderita kerugian senilai 1,5 milliar pounsterling.
f. Viruses
Program pengganggu (malicious) perangkat lunak dengan melakukan penyebaran
virus yang dapat menular aplikasi internet ketika akan diakses pemakai. Awalnya
virus tersebut menular melalui floppy disk namun seiring berkembangnya internet
menjalar melalui file dan downloaded bahkan melalui kiriman email. Seperti
halnya ‘’dunia kedokteran’’ pada ‘’dunia komputer’’ setiap virus yang disebar
telah disiapkan anti virusnya.
g. Piracy
Pembajakan perangkat lunak computer merupakan ternd akhir-akhir ini karena
dianggap lebih mudah dan murah serta keuntungan yang didapat berlipat ganda.
Akibatnya produsen mengalami kerugian yang tidak tanggung-tanggung karena
piranti induk yang dproduksinya di download dan di copy begitu saja ke dalam
CD-ROM bahkan disebarkan secara illegal.
h. Fraud
Sejenis manipulasi informasi keuangan dengan tujuan mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya. Sebagai contoh lelang fiktif yang menjarah uang peserta lelang
tanpa mengirim identitas pengirim.
i. Gambling
Salah satu dari jenis kejahatan dalam dunia maya antara lain perjudian dunia
maya yang saat ini semakin mengglobal. Untuk tindak kejahatan ini, sulit untuk
diungkap pelakunya sebab pelaku bisa memindahkan tempat permainan judi
dengan sangat cepat. Hasil dari kegiatan gambling ini biasanya pelaku akan
memutar uang hasil perjudiannya ke Negara tax haven yang merupakan surga
bagi para pelaku money laundering. Untuk mengantisipasi masalah tersebut,
diterbitkan peraturan internasional, UU no. 15 tahun 2002 tentang pencucian
uang.
j. Pornography atau paedophilia
Salah satu efek internet ini terwujud melalui news group dan chatroom dimana
peluang untuk mengeksplorasi berbagai bentuk pornografi bahkan
mengeksploitasi anank-anak dibawah umur secara seksual. Fenomena ini tentu
saja sangat meresahkan berbagai pihak.
k. Cyber stalking
Segala bentuk kiriman e-mail yang tidak dikehendaki oleh user atau junk e-mail
yang sering memakai folder. Tindak kejahatan ini tidak seberapa merugikan bagi
korbannya. E-mail ‘’sampah’’ yang terkirim dengan terpaksa ini akan merepotkan
korban untuk membersihkan layar komputernya. Korban akan sangat dirugikan
dalam segi tenaga dan membuang-buang waktu.
l. Hate sites
Dalam situs ini, para hackers sering menggunakannya untuk saling melontarkan
komentar-komentar yang tidak sopan, vulgar dengan niat menyerang pihak-pihak
yang tidak disenanginya. Penyerangan ini terkadang berkembang dari ‘’perang’’
individu menjadi ‘’perang’’ kelompok yang dalam perlawanannya mengangkat
isu-isu rasial, promosi kebijakan hingga ideology,pandangan (isme).
m. Criminal communication
Internet juga dijadikan sebagai alat yang andal dan modern untuk melakukan
kegiatan komunikasi antar gangster, anggota sindikat obat bius dan bahkan
komunikasi antar ‘’hooligon’’ dalam dunia sepakbola Inggris. Internet merupakan
sarana yang paling manjur untuk melakukan kejahatan terorganisir.

3. Data Statistik Cyber Crime


Persentasi Pelaku Cyber Crime berdasarkan Negara
Negara %
Amerika Serikat 87,6
Nigeria 2,7
Kanada 2,5
Rumania 0,9
Inggris 0,9
Afrika Selatan 0,5
Australia 0,4
Indonesia 0,3
Togo 0,3
Rusia 0,2

Media Pelaku Cyber Crime


Email 68.4 %
Web Page 13,4 %
Phone 9,6 %
Physical Mail 4,2 %
Printed Materials 1,9 %
In Person 1%
Chat Room 0,8 %
Fax 0,8 %

 Inggris
Aksi kejahatan di dunia maya atau Cyber Crime marak terjadi di Inggris.
Bahkan kemunculan kejahatan virtual ini tercatat setiap 10 detik. Tindakan
kriminal yang dilakukan bisa bermacam-macam, bisa hanya sebatas pelecehan
seksual secara online hingga tindakan yang dapat merugikan secara finanasial.
Dari laoran yang dikeluarkan Unit Cyber Crime Inggris, setiap dikutip
detikINET dari AFP, lebih dari 3 juta aksi kejahatan inline telah tercatat di
negeri Ratu Elizabeth ini pada tahun 2007,. Sementara itu, perusahaan analis
sekuriti Garlik menambahakan bahwa pihak yang sering dijadikan sasaran
penyerangan Cyber Crime bukanklah para organisasi atau perusahaan m
elainkan lebih mengarah keada individu, denga tingkat enyerangan lebih dari
60%. Sedangkan bentuk kejahatan yang paling sering dilakukan penjahata dunia
maya adalah terkait dengan penyalahgunaan email dan tindakan pencemaran
nama baik yang dilakukan via situs atau chatroom. Selain itu, kejahatan seksual
juga menjadi aksi yang paling sering dilakukan dengan 850.000 kasusus yang
terectata tahun lalu. Dimana sebagian pelakunya merupakan penguntit online
(Cyberstalked) yang mencari korban di dunia maya. Sementara untuk kejahatan
lain yang tercatata oleh Garlik adalah kejahatan finansial 207.000 kasus,
pencurian identitas 92.000 kasus, serta penyusupan komputer alias hacking
144.500 kasus.
 Amerika Serikat
Dalam perkembangannya ternyata enggunaan internet memebawa sisi negatif,
dalam membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial dan perilaku
kejahatan sebagai aplikasi dari perkembangan internet. Dalam dokumen
A/CONF. 187/1013, Cyber Crime dalam arti sempit disebut Computer Crime
dan dalam arti luas disebut Computer Related Crime (CRC). Walaupun jenis
kejahatan ini belum terlalu banyak diketahui secara umum, namun FBI dalam
laporannya mengatakan bahwa tindak kejahatan yang dapat dikategorikan
Cyber Crime telah meningkat 4 kali lipat, dimana pada tahun 1998 saja telah
tercatat lebih dari 480 kasus Cyber Crime di Amerika Serikat. Hal ini telah
menimbulkan kecemasan lebih dari 2/3 warga AS. Selain itu, hasil penelititian
US of Computer Security Institute (USCSI) menunjukkan bahwa sekitar 90%
perusahaan berskala besar mengaku telah mendeteksi adanya pelanggaran
keamanan terhadap sistem komputerisasi yang mereka gunakan dalam kegiatan
industry, sebanyak 273 perusahaan disana telah mengalami financial losses
yang cukup signifikan untuk tambahan modal bagi perkembangan perusahaan
tersebut. Nilai kerugian mencapai 265 juta USD dan sebagian besar dari
transaksi illegal
 Jepang
Menurut data National Police Agency (NPA) Jepang pada Februari 2006,
jumlah seseorang yang ditahan karena melakukan penipuan serta kejahatan lain
melalui internet, melonjak hampir 52 persen pada 2005. Sehingga pada tahun
2006 jumlah tahanan cybercrime di negeri sakura tersebut mencapai 3.161
tahanan. Angka ini berhasil memecahkan rekor lama pada tahun sebelumnya,
yaitu sebanyak 2.081 orang tahanan. Sejak 1999 lNPA telah melakukan
perhitungan statistik tentang cybercrime dinegaranya.
 Selandia Baru
Data pada tanggal 14 desember men New Zealand Press Association. (PEP)
menyebutkan informasi mengenai kedok kejahatan cybercrime di Selandia
Baru. Polisi Selandia Baru menangkap seorang remaja yang diduga sebagai
pemimpin jaringan cyber crime (kejahatan melalui internet) yang telah
menginfiltrasi komputer di seluruh dunia dan melumpuhkan sistem komputer di
salah satu perguruan tinggi di Amerika Serikat. Para aparat penyelidik di
Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Belanda yakin bahwa remaja berusia 18
tahun yang tidak disebutkan namanya itu telah menciptakan software untuk
menyerang jutaan komputer yang mengakibatkan kerugian sekitar 25 juta dollar
Selandia Baru, atau sekitar 19 juta dollar AS.
 Australia
Berdasarkan hasil survey ari queensland university of technology tahun 2006,
42% remaja wanita di Australia pernah mengalami pelecehan melalui internet.
Ironisnya banyak diantara kejadian tersebut mengalami peleehan hingga tiga
ratus buah dihalaman myspacenya. Semua kasus-kasus tersebut ditunjang oleh
fakta bahwa 22% emaja Australia menggunakan internat untuk lari dari masalah
atau ketika perasaannya lagi kacau.

4. Contoh Kasus Cyber Crime


 Yahoo VS Perancis
 Google VS China
5. Dampak dan Upaya Penanggulangan Cyber Crime
Masalah kejahatan maya dewasa ini sepatutnya mendapatkan perhatian semua
pihak secara saksama karena kejahatan ini termasuk salah satu extraordinary crime
bahkan dirasakan pula sebagai serious crime dan transnational crime yang selalu
mengancam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, Tindak pidana ini adalah sisi
paling buruk dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi yang
tercermin melalui meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme
digital, perang informasi sampah, bias informasi, hackers, cracker dan sebagainya.
Situs Microsoft, NASA dan Pentagon bahkan tidak luput dari pengacauan informasi
dan data negara adidaya AS oleh para hackers. Contoh lain, ketegangan antara China
dan AS sempat pula mengarah pada perang hacker karena mengubah situs FBI
menjadi wajah pilot China yang tewas di Laut China Selatan dengan pesawat
pengintai AS yang berada di wilayah China.
Semua peristiwa di atas adalah beberapa contoh disalahgunakannya teknologi
informasi untuk tujuan buruk yang sangat merugikan berbagai pihak dalam tatanan
dunia yang semakin maju dengan globalisasi ekonomi sebagai cirinya. Inilah
sebenarnya salah satu efek negatif yang tidak dapat terhindarkan dan disembunyikan.
Sebagaimana yang pernah diramalkan oleh John Naisbitt dan Paul Patrusia Aburdene
yang bahwa menjadi perkambungan global (global Village) dengan pola satu sistem
perekonomian atau Single Economy System, yaitu sistem ekonomi kapitalis membuat
orang-orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dan cyber crime
adalah pilihan yang sangat menjanjikan.
Ditinjau pada aspek hukum internasional J. G. Starke menyatakan bahwa ada
kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga atau organisasi
internasional, hubungan satu sama lain dan hubungan negara dengan individu serta
kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu dan badan-badan non negara
sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan atau badan non negara tersebut penting
bagi masyarakat internasional. Kejahatan maya sudah jelas dapat menjangkau
kepentingan masyarakat internasional. Ini menandakan perlunya suatu regulasi yang
sistematis yang harus mampu melindungi kepentingan semua pihak. Bentuk-bentuk
kejahatan tersebut dapat berupa spionase informasi, pencurian data, pemalsuan kartu
kredit, ponografi, penyebaran email bermasalah hingga kampanye anti SARA
tertentu, terorisme dan ekstrimisme di internet. Semua bentukkejahatan maya tersebut
amat merugikan bagi kepentingan individu, kelompok masayarakat, bangsa dan
negara bahkan internasional yang selalu mendambakan terwujudnya perdamaian
abadi dalam tatanan masyarakat ekonomi global.
Masalah ini segera menjadi pusat perhatian masyarakat dunia melalui
International Information Industry Congress (IIC) 2000 Millenium yang
dilangsungkan tanggal 19 September di Quebec, Kanada yang merumuskan perlunya
kewaspadaan terhadap perkembangan Cyber Crime yang dapat merusak sistem dan
data vital teknologi perusahaan dalam masyarakat teknologi industri. Panitia kerja
perlindungan data Dewan Eropa menyatakan pula bahwa Cyber Crime merupakan
sisi kelam dari teknologi informasi yang harus segera ditanggulangi dalam waktu
singkat. Konferensi Cyber Crime International di London menyatakan dengan tegas
bahwa Cyber Crime adalah salah satu dari aktivitas criminal yang paling cepat
tumbuh di planet ini, Kerugian yang ditimbulkan mencapai 40 miliar USD per tahun.
Kehendak politik yang kuat kemudian menjadi kunci dalam menindaklanjuti
kesepakatan yang dihadiri 30 negara ini
1. .Pendekatan hukum untuk keamanan dunia cyber
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace,
pertama adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga
pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi sifatnya
mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi,
dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.Dalam ruang cyber pelaku
pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukumdan pengadilan Indonesia tidak
memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan
hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi
akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional,
dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the
jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction toenforce),
dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).Dalam kaitannya dengan
penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
pertama, subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum
ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya
dilakukan di negara lain.
Kedua, objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku
adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang
sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan. Ketiga, nationality yang menentukan
bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan
kewarganegaraan pelaku. Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi
berdasarkan kewarganegaraan korban. Kelima, protective principle yang menyatakan
berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan
negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan
apabila korban adalah negara atau pemerintah, dan keenam, asas Universality. Asas
Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum
kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universalinterest jurisdiction”. Pada
mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak
untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas
sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity),
misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa
mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkanuntuk internet piracy,
seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses,namun perlu dipertimbangkan
bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius
berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
`Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang
menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-
batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi
oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan
antara legally significant (online) phenomena and physical location. Berdasarkan
karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana pengaturan dan penegakan
hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan
bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri,
dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada
abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang cyber ini yang
tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum disebut sebagai Lex
Informatica.Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata
Internasional,antara lain menyangkut masalah Kompetensi forum yang berperan dalam
menentukan
kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata
internasional (HPI). Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI : pertama, the principle
of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan untuk mengadili
ditentukan oleh tempat tinggal tergugat. Kedua, principle of effectiveness yang
menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh di mana harta-benda tergugat
berada. Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan
putusan pengadilan asing (foreign judgementenforcement).
Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak dalam
transaksi e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada jaminan
pelaksanaan putusan asing, misalnya melalui konvensi internasional.. Berdasarkan
karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapatdikemukakan beberapa
teori sebagai berikut : Pertama The Theory of the Uploader and the Downloadr
Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalamwilayahnya, kegiatan uploading
dan downloading yang diperkirakan dapatbertentangan dengan kepentingannya.
Misalnya, suatu negara dapat melarang setiaporang untuk uploading kegiatan perjudian
atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam
wilayahnya untuk downloading
kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama
yang menggunakan jurisdiksi ini.
Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server
dimana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data
elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford
University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila
uploader berada dalam jurisdiksi asing. Ketiga The Theory of International Spaces.
Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak
terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless
quality.
Instrumen Internasional di Bidang Kejahatan Cyber
Instrumen Hukum Internasional di bidang kejahatan cyber (Cyber Crime)
merupakan sebuah fenomena baru dalam tatanan Hukum Internasional modern
mengingat kejahatan cyber sebelumnya tidak mendapat perhatian negara-negara sebagai
subjek Hukum Internasional. Munculnya bentuk kejahatan baru yang tidak saja bersifat
lintas batas (transnasional) tetapi juga berwujud dalam tindakan-tindakan virtual telah
menyadarkan masyarakat internasional tentang perlunya perangkat Hukum Internasional
baru yang dapat digunakan sebagai kaidah hukum internasional dalam mengatasi kasus-
kasus Cybercrime.
Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejatan cyber yang
saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan cyber (Convention
on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada
awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya
dimungkinkan untuk diratifikasi dan diakses oleh negara manapun di dunia yang
memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Cyber. Negara-negara yang
tergabung dalam Uni Eropa (Council of Europe) pada tanggal 23 November 2001 di kota
Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati
Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty
Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi
oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3
(tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup
luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama
internasional.Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin
meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari
teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan
tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain
sebagai berikut :
Pertama, bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar
Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk
melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi
informasi. Kedua, Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem,
jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang
diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada
tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional
yang dapat dipercaya dan cepat.Ketiga, saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan
untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi
manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia
dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang
memberikan
perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup
kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.Konvensi ini
telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses
oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan
instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi
kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan
kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
6. Upaya penanggulangan Cyber Crime
Masalah kejahatan mayantara dewasa ini sepatutnya mendapatkan perhatian semua
pihak secara saksama karena kejahatan termasuk salah satu extraordinary crime bahkan
dirasakan pula sebagai serious crime dan transnational crime yang selalu mengancam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, Tindak pidana ini adalah sisi paling buruk dari
masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa
kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, perang informasi sampah, bias
informasi, hackers, cracker dan sebagainya. Kejahatan maya yang pernah menimpa situs
mabes TNI, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Mabes POLRI dan Deplu
merupakan contoh nyata pemanfaatan yang tidak bertanggung jawab akan teknologi
internet. Situs Microsoft, NASA dan Pentagon juga tidak luput dari pengacauan
informasi dan data negara adidaya AS oleh para hackers. Ketegangan antara China dan
AS sempat pula mengarah pada perang hacker karena mengubah situs FBI menjadi wajah
pilot China yang tewas di Laut China Selatan dengan pesawat pengintai AS yang berada
di wilayah China.
Semua peristiwa di atas adalah beberapa contoh disalahgunakannya teknologi
informasi untuk tujuan buruk yang sangat merugikan berbagai pihak dalam tatanan dunia
yang semakin maju dengan globalisasi ekonomi sebagai cirinya. Inilah sebenarnya salah
satu efek negatif yang tidak dapat terhindarkan dan disembunyikan. Sebagaimana yang
pernah diramalkan oleh John Naisbitt dan Paul Patrusia Aburdene yang mengatakan
bahwa menjadi perkambungan global (global Viilage) dengan pola satu sistem
perekonomian atau Single Economy System, yaitu sistem ekonomi kapitalis yang
membuat orang-orang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Kejahatan ini beraspek pada hukum internasional mengingat pendapat J. G. Starke
bahwa ada kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga atau
organisasi internasional, hubungan satu sama lain dan hubungan negara dengan individu
serta kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu dan badan-badan non negara
sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan atau badan non negara tersebutpenting bagi
masyarakat internasional. Kejahatan maya sudah jelas dapat menjangkau kepentingan
masyarakat internasional. Ini cukup berarti karena adanya standar hokum pidana yang
berkembang di dalam masyarakat tersebut yang harus mampu melindungi kepentingan
semua pihak. Segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan criminal dan
ataukrimal tingkat ttinggi adalah menyalahgunakan teknologi digital untuk kepentingan
tertentu yang sangatmerrugika pihak tertentu, Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dapat
berupa spionase informasi, pencurian data, pemalsuan kartu kredit, ponografi,
penyebaran email bermasalah hingga kampanye anti SARA tertentu, terorisme dan
ekstrimisme di internet. Semua bentukkejahatan maya tersebut amat merugikan bagi
kepentingan individu, kelompok masayarakat, bangsa dan negara bahkan internasional
yang selalu mendambakan terwujudnya perdamaian abadi dalam tatanan masyarakat
ekonomi global.
Masalah ini segera menjadi pusat perhatian masyarakat dunia melalui
International Information Industry Congress (IIC) 2000 Millenium yang dilangsungkan
tanggal 19 September diQuebec, Kanada yang merumuskan perlunya kewaspadaan
terhadap perkembangan Cyber Crime yang dapat merusak sistem dan data vital
teknologi perusahaan dalam masyarakat teknologi industri. Panitia kerja perlindungan
data Dewan Eropameynyatakan pula bahwa Cyber Crime merupakan sisi kelam dari
teknologi informasi yang harus segera ditanggulangi dalam waktu singkat. Konferensi
Cyber Crime International di London menyatakan dengan tegas bahwa Cyber Crime
adalah salah satu dari aktivitas criminal yang paling cepat tumbuh di planet ini, Kerugian
yang ditimbulkan mencapai 40 miliar USD per tahun.

7. Cyber Crime dan Hubungan Internasional


Perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah
merupakan ciri global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara. Negara yang
sudah mempunyai infrastruktur jaringan informasi yang lebih memadai tentu telah
menikmati hasil pengembangan teknologi informasinya, Negara berkembang akan
merasakan kecenderungan timbulnya neokolonialisme. Hal tersebut menunjukkan adanya
pergeseran paradigma dimana jaringan informasi merupakan infrastruktur perkembangan
suatu negara. Setiap negara harus menghadapi kenyataan bahwa informasi dunia saat ini
dibangun berdasarkan suatu jaringan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi. Salah
satu cara berpikir yang produktif adalah mendirikan usaha untuk menyediakan suatu
infrastruktur informasi yang baik di dalam negeri, yang kemudian dihubungkan dengan
jaringan informasi global.
Kecenderungan mengglobalnya karakteristik informasi yang semakin ”User
Friendly” akhirnya menjadikan Indonesia harus mengikuti pola tersebut. Teknologi
informasi khususnya dalam dimensi cyber tidak akan mengkotak-kotak dan membentuk
signifikansi karakter. Namun selalu ada gejala negative dari setiap fenomena teknologi.
Kecenderungan mengglobalnya karakteristik informasi yang semakin”User Friendly”
akhirnya menjadikan Indonesia harus mengikuti pola tersebut. Teknologi informasi
khususnya dalam dimensi cyber tidak akan mengkotak-kotak dan membentuk
signifikansi karakter. Namun selalu ada gejala negative dari setiap fenomena teknologi.

BAB III PENUTUP

Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan bentuk
cyber crime sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

P.N.Grabosky and Russell G. Smith .1998. Crime in the Digital Age: Controlling
Telecommunications and Cyberspace Ilegalities, Transaction Publishers:
New Brunswick, NJ
Casey Eoghan, 2001, Digital evidence and computer Crime, A Harourt Science and
technology company: london

Anthony G. McGrew and Paul G. Lewis,1993, Global politics, Polity Press: Cambridge

Richard Falk, 1976, study of The future Word, Free Press: Now York.

Resenaus James N.,1993, Turbulence in world Pacific, Princeton University Press:


Princeton.

Harian Kompas, Indonesia masuk dalam sepuluh Besar Cybercrime Dunia, Edisi: 12
April 2002
Cyberlaw : Teritori dalam Cyberspace, realitas dan pirtualitas
http://budi. Insan. Co.id/articles/it-within-cyberlaw.doc.

Kriminalitas di Internet
http://www.solusihukum.com/artikel482/cybercrime06.php,(akses 05/04/2006)

Cybercrime Sebuah penomena –di-dunia:


http://arijuliano.blokspot.com./2005/10/cybercrime-sebuah-fenomena-di-
dunia.html ( akses: 05/04/2006)

MODUL

JUDUL : PERDAGANGAN MANUSIA (HUMAN TRAFICKING)


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Women Trafficking merupakan sektor perdagangan yang kini berkembang pesat,
dikendalikan jaringan global yang tersusun serta bersindikat, dengan menggunakan
kelengkapan teknologi yang canggih serta dilindungi oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab. Isu perdagangan wanita pertama mulai berkembang menjadi isu
global yang melibatkan banyak pihak. Masalah ini berkembang dengan baik dikarenakan
masih banyaknya negara yang memiliki hukum yang lemah dan bahkan tidak ada sama
sekali peraturan yang berkaitan dengan perdagangan wanita.
Perdagangan wanita juga dijadikan sebagai daya tarik pelancong luar negeri.
Menurut suatu kajian, perdaganan wanita mampu meraih keuntungan tinggi mencapai
miliayan dollar. Malaysia misalnya, ada sekitar 300.000 wanita melibatkan diri dalam
pelacuran. Adapun, karakteristik women trafficking umumnya bersifat khas dengan
memanfaatkan wanita dengan menggunakan cara, berupa: ancaman, penculikan, dan
penipuan. Tujuan dari women trafficking untuk palacuran, pengantin pesanan, pembantu
rumah tangga, industri pornografi, dan memindahan organ tubuh serta bentuk eksploitasi
lainnya yang merugikan dan mengabaikan hak perempuan.
Child Trafficking telah menjadi isu global yang telah meresahkan masyarakat
internasional secara luas. Child Trafficking merupakan salah satu bentuk dari human
trafficking. Child Trafficking didefinisikan sebagai segala kegiatan yang dapat
diidentikkan berupa pencarian, penampungan, pembelian, penjualan, pengiriman, dimana
anak-anak menjadi objeknya dengan menggunakan berbagai macam cara, baik itu dengan
rayuan, tipu daya, pemaksaan, penculikan, ancaman dengan tujuan untuk dieksploitasi
dalam bentuk perbudakan, buruh, dan eksploitasi seks. Menurut laporan dari Bureau of
Public Affair US Departemen of State pada bulan Juni 2003 memaparkan bahwa tiap
tahun 800.000 – 900.000 manusia termasuk anak-anak di dalamnya telah diselundupkan
denga mengabaikan batas-batas internasional.
Di Afrika, traffiker mendatangi sebuah keluarga dengan alasan ingin mengadopsi
anak-anak tersebut dijanjikan akan diberikan kehidupan dan pendidikan yang layak serta
diajarkan untuk berdagang. Namun, ketika anak itu sudah diadopsi ternyata akan-anak
tersebut diperdagangkan secara domestik maupun dikirim ke luar negeri untuk bekerja
paksa atau eksploitasi seks untuk kepentingan pribadi atau sindikat. Sindikat anak terus
menerus memanfaatkan kondisi terutama kemiskinan.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan human trafficking
pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
30. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola human trafficking
31. 3. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus human
trafficking
32. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi human trafficking
33. Mampu menganaisis kasus human trafficking dengan memberikan solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
49. Keaktifan di kelas
50. tata kerama/ sopan santun
51. Kerjasam team
52. keaktifan berdiskusi
53. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
54. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
55. Mampu menganalisis kasus human trafficking di Negara berkembang,
khususnya di Indonesa
BAB II PEMBAHASAN
Dewasa ini, perdagangan perempuan menjadi jauh lebih kompleks. Dengan
kemajuan teknologi, informasi, dan transportasi, semakin berkembang pula modus
kejahatannya. Perdagangan perempuan dilakukan oleh jaringan-jaringan kriminal
internasional dan menghasilkan keuntungan berjuta-juta dolar setiap tahunnya. Menurut
data Europol, terdapat lebih dari 3000 organisasi perdagangan manusia dan sedikitnya
30.000 orang yang melaksanakan aktifitas perdagangan manusia secara pribadi.
Di Indonesia, angka perdagangan manusia khususnya perempuan juga sangat
tinggi. Menurut catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Perepuan (Komnas
Perempuan), tahun 2002 tercatat 320 kasus dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 800
kasus. Sementara itu, Organisasi Migrasi Internasioal (IOM) Jakarta, mendata sekitar
1.022 korban perdagangan manusia yang ditangani di Indonesia antara Maret 2005
sampai April 2006 dan 88% adalah perempuan.
Pada tahun 1994, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi tentang
perdagangan (Trafficking) perempuan dan anak-anak. Dalam resolusi itu disebutkan
bahwa trafficking adalah:
Pergerakan dan penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintasi batas-
batas negara dan internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan
negara-negara yang ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan untuk
memaksa perempuan dan anak-anak masuk ke dalam situasi yang secara seksual
maupun ekonomi teropresi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut,
penyelundup dan sindikat kriminal, seperti halnya aktivitas ilegal lainnya yang
terkait dengan perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa,
perkawinan palsu, pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.
Sementara itu, pada tanggal 15 November 2000, Majelis Umum PBB juga mengadopsi
Konvensi tentang Kejahatan Terorganisir beserta protokolnya yakni Protokol Menentang
Penyelundupan Migran Melalui Jalur Darat, Laut dan Udara dan Protokol untuk
mencegah dan menghukum pelaku trafiking terhadap manusia, khususnya perempuan dan
anak. Berdasarkan pasal 3 ayat (a):
Istilah trafiking diartikan sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan,
penyembunyian atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau
tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan,
kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, atau memberi atau
menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan
persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk
kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi
atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan, atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan,
penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.
Sementara itu, dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995,
perdagangan perempuan (women trafficking) dirumuskan sebagai salah satu bentuk
eksploitasi seksual global yang melecehkan hak asasi dari jutaan perempuan dan anak
perempuan di seluruh dunia.
Berdasarkan devinisi-devinisi di atas, maka kita sampai pada penarikan benang merah
mengenai karakteristik perdagangan perempuan (women trafficking), yaitu sebagai
berikut:
a. Korban, berdasarkan adanya pelekatan posisi sunordinat dalam diri perempuan,
maka semua perempuan dari ras manapun dan dimanapun memiliki peluang untuk
menjadi korban, khususnya di negara-negara dunia III;
b. Pola dan Aktor. Pola terbagi atas 2 (dua), yaitu langsung dan tak langsung
(melibatkan perantara). Sedangkan aktor pada umumnya berupa kelompok yang
terorganisir, menutupi kegiatannya dengan pekerjaan lain, menggunakan cara-
cara seperti yang digunakan oleh organisasi kriminal misalnya dengan
bekerjasama dengan pejabat pemerintah yang korup;
c. Tujuan: prostitusi dengan paksaan, pembantu rumah tangga, buruh ilegal, buruh
kontrak, perkawinan yang tidak seimbang, adopsi ilegal, periwisata dan hiburan
seks, pornografi, pengemis dan untuk digunakan dalam berbagai aktivitas
kriminal lainnya;
d. Motif, kebutuhan mempertahankan hidup;
e. Modus operandi: pemindahan dari tempat yang dikenal ke tempat yang tidak
dikenal, penyelewengan kekuasaan, penipuan dengan tawaran pekerjaan dengan
imbalan yang menggiurkan, paksaan dengan korban memiliki hutang, paksaan
dengan ancaman kekerasan atau penculikan dan perkawinan.4

Pola tak langsung dalam kasus perdagangan perempuan (women trafficking) yang
melibatkan pihak perantara yang biasa disebut dengan calo, perekrut, mucikari,
traffickers, pencari, pemilik rumah bordil dan pegawai lainnya, pelanggan atau sindikat
kriminal inilah yang lantas menjadikan kasus ini menjadi kasus yang terorganisir dengan
rapi. Mengingat bahwa persoalan ini merupakan persoalan yang rumit. Apalagi jika
melibatkan aktor-aktor dari dua negara atau lebih, maka kegiatan ini bisa dikategorikan
sebagai kejahatan transnasional (transnational crime).
Sebagai salah satu bentuk kejahatan yang terorganisir, pada umumnya aktornya
merupakan suatu kelompok yang terdiri atas beberapa orang atau bahkan beberapa
organisasi kejahatan. Dalam kelompok itu telah ditetapkan dengan jelas mengenai
4
Ibid, 5, hal. 23.
pembagian tugas setiap orang. Untuk melakukan mobilisasi manusia, khususnya
perempuan, tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi dalam setiap modus
operandinya, tentu memiliki cara atau metode serta perlakuan yang berbeda. Misalnya
modus penawaran pekerjaan dengan imbalan yang tinggi tentu berbeda dengan modus
perkawinan.
Selain itu, tindakan kejahatan ini juga tergolong sangat rumit karena seringkali
dalam kegiatannya itu, pelaku kejahatan harus berurusan dengan pejabat pemerintah
ataupun aparat kepolisian. Karena itu, untuk melewati pihak-pihak ini jelas tidak mudah.
Namun, pada faktanya banyak pelaku kejahatan perdagangan perempuan (women
trafficking) ini yang didukung oleh pihak-pihak tersebut. Ini merupakan salah satu
indikator bahwa pelaku kejahatan merupakan orang-orang yang lihai dalam menjalankan
kegiatannya.
Bentuk keseriusan pemerintah dalam menanggulangi masalah perdagangan
perempuan ini tampak pada serangkaian undang-undang, pasal ataupun Keputusan
Presiden (Kepres). Jika, terdapat laporan tentang terjadinya kasus ini, aparat penegak
hukum bisa memprosesnya sesuai dengan Undang-undang tentang trafiking no.21 tahun
2007 dengan ancaman penjara seberat-beratnya 15 tahun penjara dan denda sebesar-
besarnya 600 juta rupiah bagi para pelakunya baik yang bertindak sebagai comblang atau
calo serta cangkau (bagian pemalsu dokumen) Adapun pasal-pasal dalam Kitab Undang-
undang hukum Pidana (KUHP) yang relevan dengan kasus tersebut yaitu:
a. Pasal 297 KUHP
Perdagangan perempuan dan perdagangan laki-laki yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
b. Pasal 298 KUHP
1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan pasal 297, pencabutan hak
berdasarkan pasal 35 butir 1-5 dapat dinyatakan
2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan berdasarkan pasal 297
melakukannya sebagai mata pencahariannya, maka hak untuk melakukan
mata pencaharian itu dapat dicabut.

c. Pasal 35 KUHP butir 1-5


Hak-hak terpidana yang dengan keputusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal
yang ditentukan dalam KUHP atau dalam aturan umum lainnya ialah:
1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
2) Hak memasuki Angkatan Bersenjata.
3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum.
4) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,
hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas
atas orang yang bukan anak sendiri.
5) Hak menjalankan kekuasaan ayah, menjalankan perwalian, atau
pengampuan atas anak sendiri.

Sementara itu, keseriusan itu juga tampak pada Keputusan Presiden (Kepres) No.
88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN), yakni Penghapusan Perdagangan
(trafiking) Perempuan dan Anak. Pemerintah Indonesia juga melakukan ratifikasi
terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/
CEDAW) yang tertuang dalam Undang-undang No.7 tahun 1984. Meskipun, telah
banyak peraturan atau ketentuan yang dikeluarkan pemerintah terkait kasus di atas,
namun kejahatan perdagangan perempuan tetap saja terjadi. Bahkan ada kecenderungan
semakin meningkat setiap tahun. Ini tentu sangat memprihatinkan.
Pada Juli tahun 2001, beradasarkan Trafficking in Person Report oleh Departemen
Luar Negeri amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik (Economy
social Commision on Asia pacific/ESCAP), diperoleh keterangan bahwa Indonesia
ditempatkan pada peringkat ketiga (tier III) atau terendah dalam upaya penanggulangan
trafiking perempuan dan anak. Hal ini tidak lepas dari kenyataan yang berupa jumlah
korban yang besar, pemerintah dinilai belum menetapkan standar-standar minimum serta
tidak atau belum melakukan upaya-upaya yang berarti dalam memenuhi standar
pencegahan dan penanggulangan trafiking. Standar minimum menurut The Trafficking
Victims Protection Act of 2000 terdiri atas:
a. Pemerintah harus melarang perdagangan manusia dan menghukum
kegiatan tersebut;
b. Pemerintah harus menetapkan hukuman yang setaraf dengan hukuman
untuk tindak pidana berat yang menyangkut kematian (grave crimes,
seperti penyerangan seksual dengan kekerasan/secara paksa, atau tindakan
perdagangan manusia dalam bentuknya yang paling tercela yakni untuk
tujuan seksual melibatkan perkosaan atau penculikan atau menyebabkan
kematian);

c. Pemerintah harus menjatuhkan hukuman yang cukup keras sebagai


refleksi sifat keji dari kejahatan tersebut, sehingga mampu menghalangi
kegiatan perdagangan manusia;

d. Pemerintah harus melakukan upaya yang serius dan berkelanjutan untuk


memberantas perdagangan manusia.

Upaya penanggulangan dan pencegahan meluasnya perdagangan perempuan yang


berkedok perkawinan ini juga dilakukan oleh berbagai organisasi nonpemerintah. Sebagai
contoh, pada tahun 1997, Forum Keturunan Etnis Tionghoa (FOKET) yang terkait
dengan pelaksanaan pernikahan, memberlakukan syarat tambahan yang berupa harus ada
lampiran surat izin dari orang tua/wali kedua belah pihak untuk mengetahui pernikahan.
Jika hal itu dipenuhi, maka pernikahan dapat dilaksanakan.
Demikian juga dengan Organisasi Perempuan Aisyiah wilayah Kalimantan Barat.
Mereka melakukan penanganan trafiking ini dengan cara pemulihan psikis dan psikologi
akibat trauma mendalam yang dialami oleh korban. Mereka menerapkan Standart
Operating Procedure (SOP) berupa rehabilitasi dan reintegrasi. 5Singkawang dikenal
sebagai “Chinnese Town”. Hal ini dikarenakan sekitar 70 persen penduduknya adalah
keturunan cina, khususnya sub suku Hakka. Keberadaan orang-orang Cina inilah yang
lantas menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan asing, salah satunya adalah yang
berasal dari Taiwan.
Pada awal kemunculan fenomena perkawinan perempuan Singkawang dengan
pria Taiwan, sebenarnya tidak ada tujuan untuk melakukan tindak kejahatan perdagangan
perempuan. Sekitar tahun 1980-an, banyak wisatawan dari Taiwan yang datang ke
Singkawang dengan tujuan berwisata. Kebanyakan mereka adalah pensiunan Angkatan
5
Ibid, 3.
Bersenjaa yang berusia sekitar 45 tahunan dan status mereka belum menikah. Lantas
mereka tertarik pada wanita-wanita Tionghoa Singkawang yang memiliki paras dan
penampilan mirip wanita di negaranya. Lantas banyak di antara wanita itu yang
kemudian dijadikan isteri. Selain ciri fisik itu, wanita-wanita itu juga tidak terlalu
mengalami banyak kesulitan dalam melakukan proses adaptasi dan lebih mudah dalam
mempelajari budaya masyarakat Taiwan karena pada dasarnya mereka memang memiliki
kesamaan budaya, seperti pemujaan terhadap leluhur, konfusianisme dan buddisme.
Selain alasan kesamaan budaya, mereka juga melihat satu kenyataan dalam proses
perkawinan di Taiwan yang membutuhkan biaya yang mahal. Dengan latar belakang
mereka yang berasal dari kelompok menengah ke bawah dan pensiunan, maka ini jelas
menjadi satu hambatan bagi mereka untuk mendapatkan isteri wanita dari dalam
negerinya. Karena itulah, mereka lebih memilih untuk mencari isteri dari luar Taiwan
(dalam hal ini Singkawang) karena biayanya yang murah.Ketika serorang pria Taiwan
ingin memperisteri seorang wanita Singkawang, maka keinginannya itu ia sampaikan
pada guide yang mendampingi mereka ketika berwisata ke daerah ini. Para guide inilah
yang menjadi perantara. Pada perkembangannya, perantara dalam masalah ini sekarang
bisa berasal dari berbagai profesi, misalnya ibu rumah tangga ataupun pengusaha.
Dewasa ini, perkawinan dalam hal ini telah mengalami pergeseran bahkan
kehilangan makna sakralnya. Hal ini tampak pada adanya komersialisasi perkawinan.
Komersialisasi perkawinan ini kemudian menjadi lahan bisnis yang sangat
menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu, khususnya para agen atau calo tersebut dengan
menggunakan perempuan Singkawang sebagai korbannya. Sementara itu, para
perempuan itu tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi objek perdagangan. Mereka
hanya terdorong oleh satu tekad yakni memperbaiki kondisi ekonomi keluarga dan diri
mereka. Hal ini bisa dipahami karena perempuan yang bersedia dinikahkan dengan pria
Taiwan ini berasal dari keluarga miskin. Inilah yang menjadi faktor utama dari terjadinya
kasus tersebut. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Kalimantan Barat merupakan
provinsi termiskin keempat di Indonesia. Kemiskinan itu cenderung merata di perkotaan
dan pedesaan.
Perkawinan lantas digunakan sebagai suatu cara untuk keluar dari kemiskinan
yang mereka hadapi. Keputusan itu lantas menyebabkan perempuan-perempuan tersebut
memasuki arena global skin trade. Tanpa modal dan keterampilan apapun, kecuali
tubuhnya sendiri, perempuan-perempuan itu mengadu nasib untuk mencari penghidupan
yang lebih layak bagi dirinya dan keluarganya melalui perkawinan tersebut. Hal ini
berangkat dari satu keyakinan bahwa pria-pria Taiwan ini memang benar-benar akan bisa
mengangkat taraf hidup mereka. Mereka bercermin dari pertumbuhan ekonomi Taiwan.
Tahun 1992, tingkat investasi Taiwan di Cina mencapai 9.3% dan ekspor Taiwan ke Cina
meningkat dari 0% tahun 1986 menjadi 8% tahun 1992 dan selama tahun itu mengalami
kenaikan rata-rata sebesar 35%.
Faktor berikutnya adalah tingkat pendidikan yang rendah dari perempuan
keturunan Tionghoa di Singkawang. Hal ini berakar dari masalah kemiskinan seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya. Mereka sulit mendapatkan akses pendidikan.
Akibatnya pendidikan ditempatkan pada posisi yang tidak terlalu penting. Bagi mereka,
yang terpenting adalah bagaimana untuk tetap bisa bertahan hidup.Pendidikan yang
rendah inilah yang pada akhirnya menyebabkan perempuan mudah sekali dipengaruhi,
dibohongi dan sangat rentan terhadap bentuk eksploitasi dan perdagangan. Mereka juga
kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan yang rendah itu akan
menimbulkan masalah lagi yang berupa tingkat pengangguran yang tinggi, khususnya
bagi kaum perempuan. Karena itu, satu-satunya jalan untuk mendapatkan penghidupan
yang lebih baik adalah dengan menikah dengan pria asing, khususnya Taiwan.
Selain itu, dalam kehidupan social-budaya masyarakat Tionghoa di Singkawang,
ada nilai-nilai yang tertanam kuat dalam diri mereka, yaitu anak perempuan dianggap
menumpang dalam keluarga mereka. Karenanya mereka tergantung pada tiga bentuk
kepatuhan. Pertama, jika masih tinggal bersama orang tua, mereka harus patuh pada
ayahnya. Kedua, jika telah menikah mereka harus patuh pada suaminya. Ketiga, jika
mereka janda, mereka harus patuh pada anak laki-lakinya. Di samping itu, juga terdapat
persepsi di kalangan masyarakat itu bahwa perkawinan anak perempuan mereka dengan
pria Taiwan merupakan salah satu bentuk upaya untuk mengikat kembali tali
persaudaraan. Mereka memiliki kesamaan ras, darah dan kebudayaan.
Faktor lain yang juga mempengaruhi besarnya angka perkawinan ini adalah
peraturan pemerintah yang longgar. Hal ini tampak pada pemberlakuan Undang-undang
nomor 7 tentang perkawinan yang masih longgar. Sebagaimana dinyatakan dalam
undang-undang itu bahwa “perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun”. Meskipun dalam pasal yan sama dinyatakan “bila terjadi penyimpangan
terhadap ayat (1) tersebut, maka dapat meminta dispensasi kepada peradilan atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita”. Selanjutnya dalam
pasal 6 (2) juga dinyatakan bahwa “untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang
belum mencapai usia 21 tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua”, atau ayat (3)
yang berbunyi “salah satu dari orang tua masih hidup” atau ayat (4) “izin dari wali jika
kedua orang tua sudah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya”. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata terdapat banyak sekali
kelonggaran. Ini tampak pada kurun tahun 1996-1999, terdapat 180 kasus dimana
perempuan yang menikah itu belum mencapai usia 16 tahun. 6 Sehingga terdapat
perbedaan yang sangat jauh dengan pria yang menikahinya yang umumnya berusia
minimal 40 tahun. Kelonggaran inilah yang pada akhirnya dijadikan celah oleh para calo
itu untuk melakukan bisnis perkawinan tersebut.
Kasus di Indonesia
Menurut Raymond: global skin trade, merupakan perdagangan perempuan
secara global (trafficking in women), baik untuk tujuan seks, mail bride order atau
perdagangan perempuan lokal untuk menjadi istri pria asing. Dimana, pengrekrutan
tersebut dilakukan dari tingkat keluarga sampai ke lingkungan masyarakat dengan cara
memberi atau menerima pembayaran untuk mendapatkan persetujuan seseorang.
Sehingga, Global Skin Trade, sebagai sebuah sektor industri yang mengandung proses
produksi dan distribusi “nilai-nilai negatif’, merupakan bagian dari perekonomian global
yang memberikan keuntungan tercepat dan terbanyak
Trafficking mengandung unsur paksaan, penipuan, ancaman kekerasan serta
penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan ekploitasi. Dari hasil riset yang dilakukan
oleh London Anti-Slavery Spciety, menemukan bahwa perdagangan perempuan ternyata
sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Setidaknya ada tiga unsur penting dibalik
fenomena tersebut. Pertama, adanya praktek penipuan dan pemaksaan terhadap korban.
Kedua, memanfaatkan ketidakberdayaan korban dan keluarga korban. Ketiga adanya

6
Ibid, 23, hal. 79
eksploitasi yang keji dan menjadikan korban layaknya komoditi yang bisa
diperjualbelikan dengan sesuka hati.
Ironisnya, Indonesia, menurut laporan The Trafficking Victims Protections Act of
2000, dikategorikan sebagai negara tier-3, bersama dengan 18 negara lainnya. Dimana,
Indonesia dianggap tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan standar dan tidak melakukan
usaha-usaha yang berarti terhadap kasus trafficking in women di Indonesia.
Masalah ini tumbuh subur, akibat dari lemahnya hukum yang dimiliki Indonesia
sekarang ini. Sehingga, praktek tersebut terus meningkat setiap tahunnya, karena
dianggap jauh menguntungkan dan berisiko rendah dari pada bentuk kriminal lainnya.
Menurut data dari Coalition Against Trafficking in Women, bahwa di Asia termasuk
Indonesia, setiap tahunnya terdapat lebih dari satu juta anak perempuan yang memasuki
pasar seks global. Salah satu modus operandi dari kasus tersebut adalah melalui
perkawinan antar negara (transnasional marriage).
Perkawinan Transnasional
Dalam melihat perkawinan sebagai salah satu bentuk dari trafficking in women,
ada dua metode yang dapat dikembangkan. Pertama, bila perkawinan tersebut merupakan
merupakan salah satu cara penipuan, terutama untuk kemudian disalurkan dalam industri
seks. Kedua, bila perkawinan tersebut dikomersialisasikan yang biasanya dilakukan
dengan proses perjodohan atau yang lebih dikenal dengan istilah mail bride order.
Memahami wacana persoalan maraknya trafficking in women, dalam bentuk
perkawinan transnasional, ditemukan titik rawan atau kelemahan dalam perundang
undangan, karena dapat dijadikan ajang bisnis dengan menjual perempuan-perempuan
Indonesia layaknya barang dagangan sebagai komoditi ekspor. Dalam banyak kasus yang
ditemukan, ternyata para perempuan Indonesia dijadikan objek penderita, dan banyak
dari mereka mengalami kekerasan seperti yang terjadi di Kalimantan Barat.
Menurut, laporan Biro Statistik Kalimantan Barat; setiap tahunnya terjadi
peningkatan perkawinan transnasional. Pada tahun 1998, tercatat 416 pasangan; tahun
1999, 604 pasangan; dan tahun 2000, tercatat 694 pasangan yang menikah. Perkawinan
tersebut pada awalnya dilakukan dengan tujuan murni yaitu untuk membentuk keluarga
yang bahagia. Namun, dengan adanya peningkatan kebutuhan dari pihak laki-laki asing
dan keterdesakan ekonomi yang dialami oleh perempuan dimanfaatkan oleh sejumlah
pihak sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Peluang tersebut pada akhirnya memicu
terjadinya trafficking in women dalam bentuk perkawinan transnasional. Namun, masalah
tesebut seringkali luput dari perhatian, karena perkawinan pada umumnya, dianggap
sebagai masalah pribadi atas dasar suka sama suka.
Perkawainan transnasional sekarang ini di Kalimantan Barat telah berkembang
menjadi sebuah bisnis yang besar dengan nilai puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah
untuk setiap perkawinan. Bagi. laki-laki Taiwan-misalnya; untuk bisa ikut dalam bursa
pengantin perempuan internasional harus menyediakan dana sebesar; NT$ 300.000- NT$
350.000 atau setara dengan nilai rupiah sekitar Rp 90. 000 000- Rp 150. 000 000, untuk
biaya perkawinan tersebut.
Kasus yang menimpa Lay Shanti yang kawin dengan lelaki Taiwan, Chi Kin-
misalnya; ternyata suaminya seorang abusive, pemabuk, penjudi dan gampang naik
darah. Akibatnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga, Shanty harus menerima
perlakuan buruk dari suaminya. Selain itu. ternyata ia tingal di sebuah desa yang kumuh
dan sunyi, bahkan kota asalnya Singkawang jauh lebih nyaman untuk ditempati, akhirnya
Ia memutuskan kembali ke Indonesia. Namun, percerainnya dengan suaminya sulit untuk
diproses dan kedua anaknya pun masih disandera di Taiwan. Kisah tragis ini, hanyalah
salah satu dari kisah lainnya perempuan Indonesia. Kedudukan perempuan yang sudah
lemah di negeri sendiri, menjadi memakin lemah di negeri asing.
Faktor Pendorong
Yang menjadi faktor pendorong terjadinya peningkatan trafficking in women di
Indonesia. Pertama, faktor ekonomi (kemiskinan). Berangkat ke luar negeri, merupakan
salah satu cara yang digunakan untuk keluar dari kemiskinan yang dihadapi mereka
(survival strategy). Keputusan tersebut baik secara sadar ataupun tidak, telah
menyebabkan perempuan-perempuan tersebut memasuki apa yang dalam konsep Danaiya
Usher disebut sebagai Global skin trade. Dimana, perempuan teresebut, tanpa modal
keterampilan apapun, kecuali tubuhnya sendiri, mengadu nasib untuk mencari kehidupan
yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya.
Kedua, faktor budaya. Dalam budaya tradisional, anak perempuan yang lahir
tidak pernah disambut dengan gembira. Garis keturunan keluarga adalah melalui garis
keturunan anak laki-laki. Sedangkan, dalam masyarakat patriarkis, anak perempunan
hanya menepati posisi subordinate, dimana perempuan tidak memilki kekuatam dan
posisi tawar menawar (bargaining position), untuk menolak keinginan dari orang tuanya .
Ditambah lagi, adanya streotipe dalam masyarakat kita, yang menganggap bahwa pihak
laki-laki lebih tinngi kedudukannya dibandingkan dengan perempuan.
Ketiga, faktor pendidikan. Faktor ini terkait dengan faktor ekonomi dan budaya.
Akibat dari kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan (miskin), maka yang menjadi
korban biasanya anak perempuan. Karena dalam budaya masyarakat anak laki-laki
dianggap sebagai penerus ketutunan, untuk itu para orang tua memberikan prioritas
kepada anak laki-laki sebagai prioritas utama. Akibatnya, bayak anak-anak perempuanan
tidak dapat mendapatkan pendidikan yang layak.
Keempat, faktor perangkat hukum. Pemerintah Indonesia dalam hal ini tidak
mempunyai kebijakan yang menyeluruh dan tegas dalam menanggani trafficking in
women. Bahkan, usaha preventif dalam bentuk hukum pun sangat tidak memadai. Satu-
satunya peraturan yang menyebutkan tentang perempuan pasal 297 KUHP, yang
menyebutkan: “Barang siapa yang yang memperdaganngkan perempuan dikenai
hukuman tujuh tahun penjara”. Yang menjadi masalah, para penegak hukum
menginterprestasikan perdagangan itu, hanya sebatas untuk eksploitasi seksual. Padahal,
perdagangan perempuan tidak hanya terbatas pada kegiatan tersebut, namun juga dalam
bentuk yang lainnya termasuk modus perkawinan transnasional.
Kelima, faktor mental aparat pemerintah (birokrasi). Banyak kasus yang
ditemukan, untuk mmperlancar perdagangan perempuan, perantara memalsukan
dokumen seperti dalam masalah umur. Untuk itu, perantara membayar sejumlah uang
kepada oknum aparat yang menangganinya. Hal ini dapat dilihat kasus yang ditemukan di
Kalimantan Barat dari perkawinan trasnasional, terungkap 180 kasus dari perkawinan
tersebut perempuannya masih berada di bawah umur.
Pemerintah Indonesia belum menaruh perhatian yang cukup memuaskan. Dimana,
masalah trafficking in women tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang serius dan
tidak mendapat perhatian secara proporsional oleh pemerintah. Perangkat hukum yang
diharapakan memberikan perlindungan terhadap perempuan pun masih sangat lemah.
BAB III PENUTUP
Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan bentuk
human trafficking sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA
Huntington, Samuel. 2007. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia.
Triagra Utama: Jakarta.

Lapian, Ghandi, dkk. 2006. Trafiking Perempuan dan Anak. Yayasan Obor Indonesia:
Jakarta.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Pustaka Pelajar: Jogjakarta.

Sintani, Dewi Silvia. 2005. Perkawinan Transnasional Indonesia-Taiwan Sebagai Salah


Satu Bentuk Trafficking in Women di Kalimantan Barat. Makassar.

Yentriyani, Andy. 2004. Politik Perdagangan Perempuan. Galang Press: Jogjakarta.

Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Orang. www.depdagri.go.id/konten.php?
nama=ProdukHukum&op=detail_hukum&id=605. Diakses pada tanggal 31 Maret
2008.
Menghapuskan Perbudakan. www.institutperempuan.or.id/?p=25, Diakses pada tanggal
23 Maret 2008.
Berkorban Demi Orangtua, Berpisah dengan Kekasih Tercinta
Menyusuri Pengantin Pesanan Amoy Singkawang dengan Pria Taiwan.
www.mail-archive.com/singkawang@yahoogroups.com/msg03197.html.
Diakses pada tanggal 25 Maret 2008.
Impian Pengantin Pesanan. www.muhlissuhaeri.blogspot.com/2007/05/impian-
pengantin-pesanan_26.html. Diakses pada tanggal 25 Maret 2008
Ketika Harapan Sejahtera Dari Pengantin Pesanan Gagal Diraih. www.nurul-
cori.blogspot.com/2007/09/ketika-harapan-sejahtera-dari-pengantin.html. Diakses
pada tanggal 25 Maret 2008.
Perempuan dalam Hukum Nasional dan Konvensi Internasional.
www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-August/000027.html. Diakses
pada tanggal 23 Maret 2008.
Perdagangan Manusia, Sebuah Kejahatan Universal. www.rahima.or.id/SR/22-
07/Fokus.htm. Diakses pada tanggal 23 Maret 2008.
Statistika Kekerasan terhadap Perempuan Januari – Juni 2007.
www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sulawesi/2003/11/13/brk,20031 13-05,id.html.
diakses pada tanggal 23 Maret 2008.
MODUL IV
JUDUL : Teorisme
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terorisme internasional adalah bentuk kekerasan politik yang melibatkan warga
atau wilayah dari suatu Negara. Terorisme juga dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan diluar ketentuan diplomasi internasional dan perang. Tindakan
terror tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk mempengaruhi dan mendapatkan
perhatian masyarakat dunia terhadap aspirasi yang diperjuangkan.
Terorisme internasional pada umumnya dikutuk oleh dunia internasional, namun
usaha mengatasinya tidak efektif. Ia merupakan masalah tersendiri yang begitu rumit,
karena tidak ada kesamaan pandangan mengenai penanganan factor-faktor penyebab
yang sesungguhnya. Terorisme internasional hanya merupakan gejala berakar jauh lebih
dalam. Dalam hubungan ini misalnya, perjuangan rakyat Palestina dalam memperoleh
hak menentukan harga dirinya sendiri dengan mendirikan Negara Palestina yang tidak
mendapat dukungan dari Israel dan negara-negara Barat lain pada umumnya, tetapi
mendapat dukungan dari sebagian besar negara berkembang.
Jangkauan gerakan terorisme terus meluas, melampaui batas-batas wilayah
negara, mobilitas kaum teroris meningkat tajam akibat kemajuan transportasi dalam
komunikasi. Kerjasama di antara gerakan terorisme membentuk jaringan terorisme
nasional dan internasional. Hampir setiap kawasan memiliki organisasi terorisme.
Organisasi terorisme yang pernah terkenal di Amerika Latin misalnya, FARC (Fuerzas
Armadas Revolucinarias de Colombia) di Colombia, CAL (Commandos Armadas de
Liberacian) di Puerto Riko. Sendero Luminaso (Jalan Terang) di Peru. Di Kanada pernah
terkenal FLO (Frint de Liberebec).
Secara kualitatif, kiprah kaum teroris sudah banyak berubah dibandingkan dengan
di masa lalu, terutama karena kemajuan teknologi. Perkembangan dramatis mulai terjadi
pada abad ke-20, lebih-lebih pada tahun 1960-an dan 1970-an, ketika kaum teroris
meningkatkan pembajakan pesawat sebagai salah satu bentuk aktifitasnya. Imbasnta
kemudian terasa di Indonesia pada tahun 1981 ketika pesawat DC-9 Woyla Garuda
Indonesia dibajak dan dipaksa mendarat di Penang (Malaysia) dan kemudian Dumuang
Bangkok (Thailand).
Di kawasan timur jauh, paling terkenal adalah Sekigun (Tentara Merah Jepang),
gerakan terorisme di Timur Tengah adalah Black September, Lohame Herut Israel, Irgun
Zyai Leumi dan As-Sa ga. Sedangkan di Eropa antara lain Baader-Mainth Brigade Merah
Roote Armee Fraction di Jerman. Di Italia berkiprah Brigade Rosse (Tentara Merah)
Aksi teror juga dilakukan tentara Irlandia Utara (IRA) di Irlandia Utara, ETA (Euzkadi ta
As Katasuna) di Basque, Spanyol, Puncak aksi terorisme 11 September 2001 serangan
Trade World Centre (WTC) di kota New York menewaskan 5000 orang, dikenal
peristiwa black September.

B. Ruang Lingkup Isi


Modul ini meliputi pengertian teerorism sebagai salah satu dari bentuk kejahatan
transnasional. Kasusi teerorism terus meningkat dengan modus operandi yang makin
beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi juga melibatkan
negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional baik melalui
kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam mengatasi
kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam dengan
orangisasi internasional yang terkait,
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok teerorism pada mata
kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
34. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola teerorism
35. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus teerorism
36. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi teerorism
37. Mampu menganaisis kasus teerorism dengan memberikan solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
56. Keaktifan di kelas
57. tata kerama/ sopan santun
58. Kerjasam team
59. keaktifan berdiskusi
60. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
61. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
62. Mampu menganalisis kasus teerorism , khususnya di Indonesa
BAB II PEMBAHASAN
Saat ini kita sangat sulit mendapatkan defenisi yang tepat untuk menggambarkan arti
terorisme. Pendefenisian-pendefenisian yang banyak di lakukan sangat tergantung dari
sudut pandanng masing-masing yang meberikan defenisi. Bias jadi sebuah defenisi yang
di ungkapkan oleh seseorang menjadi kontra duktif yang di sampaikan oleh orang lain.
Ini adalah isu yang sangat sensitive untuk saat ini. Karena pendefenisian pada akhirnya
akan menunggu pada orang atau kelompok tertentu sebagai pelakunya. Sementara bole
jadi kelompok tersebut adalah pahlawan bagi kaumnya salah satu contoh adalah
HAMAS. Hamas bagi Israel dan amerika adalah kelompok teroris, namun bagi warga
palestina dan sebagian besar umat islam yang merindukan kemerdekaan palestina
menganggap HAmas sebagai organisasi pahlawan yang setia membelah hak-hak warga
palestina. Ini adalah bukti betapa sulitnya pendefenisian terorisme. Oleh sebab itu, dalam
menjawab pertanyaan tentang defenisi terorisme, saya hanya mengutip beberapa defenisi
terorisme yang di ungkapkan oleh beberapa tokoh. Defenisi-defenisi terorisme yang
akan saya tulis murni merupakan defenisi yang di ungkapkan oleh Tokoh-tokoh, oleh
karena itu saya akan senantiasa menyertakannya dengan catatan kaki, agar mudah di cari
kebenarannya. Defenisi-defenisi tersebut adalah sebagai berikut:
Pendekatan ini menjelaskan bahwa terorisme merupakan tindakan yang di lakukan
guna mengepresikan strategi politik. Ia merupakan sebuah pilihan yang di anggap paling
tepat yang di tempat. buat suatu organisasi karena alas an-alasan politik dan strategis,
bukan merupakan akibat yang tidak diharapkan dari paktor-paktor psikologis atau social.
Dari defenisi tersebut, kita bias mendapatkan setikit gambaran bahwa tindakan terorisme
di lakukan atas kesadaran kolektif oleh suatu oraganisasi. Tindakan terorisme murni
sebagai strategi mencapaian tujuan politis. Tentu pasti tindakan terorime merupakan
tindakan yang terencana rapi. Dan hanya organisasi politik radikallah yang di pandang
sebagai pemeran utama dari terorisme.
Pendekatan pilihan strategis ini mampu memudahkan kita dalam mengidetipikasi
sejauh mana aksi terorisme yang akan di lakukan. Juga mampu kita perhitungakan
sebeberapa besar kerugian yang akan di timbulkan. Karena ia adalah strategis politis,
maka cendrung aksi-aksi terorisme di lakukan pada saat momentum politik saja. Tidak
dilakukan seriap waktu dan setiap
Pendekatan ini berpendapat bahwa teroris politik terdorong untuk melakukan
tindakan kekerasan sebagai akibat dari dorongan psikologis dan psiko-logika khusus
mereka di bagun untuk merasionalisikan tindakan-tindakan yang secara psikologis
terpaksa mereaka lawan. Dengan demikian, individu memasuki jalur terorisme guna
melaksanakan aksi kekerasan dan logika khusunya yang di dasarkan pada psikologi
mereka serta tercermin dalam retorika mereka adalah merupakan justipikasi atau
pembenaran atas aksi kekerasan mereka-mereka.
Dalam hal ini, kelompok teroris menimbang keberagaman penyebab sampai teroris
menemukan satu tujuan yang di sepakati bersama, retorika mereka menjadi seragam,
yang melawan. Di antara porisasi dan kemutlakan terdapat retorika “ kita melawan
mereka” . apabila” mereka” merupakan bibit permasalahan kami, maka dalam psikologi
kata teroris, “Mereka” Harus di hancurkan. Ini merupakan hal yang adil dan bumeral
yang harus di lakulkan. Sekali asumsi dasar di terima, maka penalaran logis menjadi
sempurna. Sehinnga bias di katakana bahwa yang dilakukan oleh teroris adalah produk
dari suatu pilihan strategis yang di capai secara rasional.
Berbicara masalah teorisme sebagai suatu bentuk dari tindakan kekerasan politik,
akan menjadi persoalan sensitif karena akan menimbulkan prasangka (stereotype) dari
pelaku tindakan teror tersebut. Dalam kajian ilmu hubungan internasional, masalah
terorisme bukanlah isu baru, melainkan sebuah kajian yang telah ada sejak beberapa
dasawarsa. Namun, peristiwa peledakan gedung Word Trade Centre (WTC) di New
York, 11 September 2001, telah menjadikan terorisme dari isu lunak (solf issues) menjadi
isu strategis (strategic issues). Peristiwa tersebut benar-benar dijadikan alat legitiminasi
dan justifikasi bagi Amerika untuk menekan dan menghancurkan gerakan terorisme. Hal
ini membawa kemenangan diplomatik bagi Amerika.
Dewan Keamanan PBB tanggal 28 September 2001, mengeluarkan Resolusi
no.1373, yang mendasari perang global melawan terorisme sebagai bentuk kejahatan
transnasional (transnational crime). Resolusi tersebut paling ekspansif dalam sejarah
PBB, dimana semua anggota PBB diwajibkan menelusuri dan melaporkan keberadaan
aset-aset terorisme dengan melampirkan daftar nama kelompok yang dicurigai sebagai
jaringan teorisme. Kondisi ini, membuat Bush lebih agresif dan unilateral dalam
memerangi terorisme berdasarkan kepentingan ekonomi dan politik Amerika semata.
Atas rekomendasi Washington, membuat banyak negara melakukan perubahan
kebijakanan nasionalnya, melalui pembentukan hukum baru mapun perundang-undangan
anti terorisme. Ironisnya, banyak pula penguasa (elit politik) memanfaatkan isu tersebut
sebagai alat pembenaran untuk menghabisi lawan politiknya dengan dalih terorisme.
Sehingga, pendefinisian tentang terorisme itu sendiri menjadi kabur berdasarkan
kepentingan dari sikap yang mereka ambil dalam merespon konstalasi isu internasional.
Seiring dengan perjalaan waktu, sikap go it alone actions dan a la carte
diplomacy dalam mengamankan kepentingannya, mendorong Amerika melakukan review
and adjustment dalam kebijakan dibidang pertahanan keamanan, hal ini melemahkan
sistem multilarelisme dan menumbuhkan sikap unilateralisme Bush, sebagaimana yang
terlihat dari dokrin Amerika tentang pre-emptive war. Sehingga, kebijakan tersebut
mendapat kririkan tajam dan membuat negara lainnya tidak sepaham lagi dengan
tindakan yang diambil oleh Amerika dalam memerangi terorisme. Chomsky dalam
bukunya: Pirates and Emperors: Internasional Terorism in the Real World,
mengambarkan, bahwa Amerika telah menggunakan isu terorisme sebagai instrumen
kebijakan politik luar negerinya. Dan menjadi alat pembenaran bagi Amerika untuk
menekan dan memerangi negara atau kelompok yang tidak sejalan dengan kebijakan
yang ditempuh oleh Washington.
Namun, peristiwa teror di bulan Juli 2005, yaitu: bom London yang menewaskan
56 orang dan mencederai 300 orang. Bom Sharm el-Sheik Mesir, menewaskan 88 orang
serta mencederai ratusan orang lainnya, telah membangunkan dan mengingatkan kembali
pada masyarakat dunia bahwa ancaman terorisme belum berakhir. Seperti yang dikatakan
oleh Bush, pasca peledakan bom London, bahwa “Perang terhadap terorisme terus
berlanjut. Kami tidak akan menyerah kepada terorisme. Kami mencari mereka dan
mengadilinya”. Peristiwa ini, menjadi babak baru perang terhadap terorisme.Peristiwa ini
menjadi babak baru perang global terhadap terorisme yang sudah ditinggalkan negara
lain.
Media massa dunia mempunyai andil besar dalam mempopulerkan isu terorisme,
yang terilhami pada teori komunikasi: “siapa yang menguasai informasi dialah yang akan
menguasai dunia”. Berdasarkan konsep tersebut, media mempunyai posisi yang sangat
penting karena mampu memberikan informasi kepada masyarakat yang
membutuhkannya. Sehingga, media dijadikan alat propaganda yang efektif, mengingat
dampak yang ditimbulkannya memiliki jangkauan yang luas dan dapat membentuk opini
publik. Akibatnya, tidak jarang kita melihat munculnya semacam fenomena “jurnalism
stereotype”. Dimana, media sudah lebih dulu punya asumsi dan abstraksi dalam
membingkai (flaming) isu terorisme yang dipenuhi dengan prasangka negatif. Sehingga,
informasi tersebut cendrung bias, bahkan tak jarang keliru dalam memahami akar
permasalahan dari terorisme itu sendiri.
Prinsip: “the new source of power is information in the hand of many” (bahwa
sumber kekuatan baru adalah informasi yang ada di tangan banyak orang), disadari benar
oleh pelaku media. Dimana, seseorang yang mengkonsumensi sebanyak-banyaknya
informasi apa pun bukan karena kebutuhan, tapi karena memang itulah yang terus
menerus disuguhkan oleh media kepada mereka. Sehingga, akan mudah bagi media untuk
membentuk opini masyarakat terhadap bahaya terorisme yang sedang mengancam dunia.
Amerika adalah iperium media yang menguasai infrastruktur link global media,
mencakup kantor berita (news agency) seperti Reuter, surat kabar seperti, The Time dan
jaringan televise seperti, CNN. Jadi, tidak heran kalau media digunanakan oleh Amerika
untuk menopang kepentinganan politiknya, dengan menciptakan distorsi makna dari
sebuah kata terorisme. Sehingga, terjadi disinformasi dalam benak masyarakat tentang
suatu kelompok tertentu. Media juga sangat kreatif melakukan dramatisasi dengan
memadukan informasi plus entertainment untuk menarik khalayak tentang bahaya
terorisme. Sehingga, apa yang dikatakan oleh Chomsky dalam bukunya; “Manufacturing
Consent: The Political Economy of the Mass Media”, bahwa media dijadikan sebagai
“mesin propaganda” bagi tatanan sosial politik yang berlaku, sangatlah tepat.
Akibat dari propaganda yang dilakukan media, maka terjadi demonologi, yaitu
politik perekayasaan yang sistematis untuk menempatkan kelompok tertentu sebagai
ancaman yang sangat menakutkan. Tujuannya untuk memberikan kesan negatif, dengan
cara membentuk opini masyarakat (public opinion) terhadap bahaya yang ditimbulkan
dari kelompok bersangkutan, dengam mempopulerkan istilah: “fundamentalis” dan
“radikalisme”, melalui media pada masyarakat dunia. Kasus yang menonjol akibat dari
propaganda tersebut, yaitu terjadinya pengadilan yang dilakukan oleh media (trial by the
press). Hal ini disebabkan adanya kepentingan ideologis-politik kelompok tertentu untuk
membunuh karakter seseorang (character assassinations) yang tidak disukai. Dimana,
asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) terhadap pelaku yang dicurigai
menjadi tidak diperhatikan lagi dalam kasus seperti ini. Penguasa akan menghalalkan
segala cara (The end justifies the means), membungkam lawan politiknya yang dianggap
berseberangan dan membahayakan kepentingan mereka. Sehingga, yang bersangkutan
menjadi korban dari rekayasa, konspirasi, disinformasi dan mispersepsi dengan dalih
terorisme.
Kasus peledakan bom WTC, tanpa melalui keputusan pengadilan Amerika
menuduh Osama bin Laden dengan Al Qaeda-nya yang bertanggung jawab terhadap
peristiwa tersebut. Media pun melakukan propaganda tak henti-hentinya dengan
menciptakan masyarakat Muslim yang termarjinalisasi dan teralienasi secara politis.
Media melakukan reportase jurnalistik tentang eksistensi dan aktivitas gerakan Islam
secara gencar, dimana kesan yang dimunculkan adalah militansi dan ekstremitas dari
aktivitas tersebut. Akibatnya, muncul “Islam Phobia” di tengah masyarakat dunia. Media
secara tidak sadar telah melakukan Balkanisasi (politik memecah belah) terhadap
masyarakat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan masyarakat merasa alergi bahkan
takut, ketika berinteraksi dengan wacana Islam ideologi. Hal ini melahirkan sikap apriori
di tengah masyarakat dunia terhadap konsepsi Islam politik, akibatnya masyarakat Islam
berupaya untuk tidak mengidentikkan diri sebagai seorang Muslim.
Kasus pemberitan terorisme di atas menunjukan bias. Dimana, bias yang
tersembunyi dan disengaja (hidden and intended bias) oleh media sulit dihindarkan,
karena media membawa misi dari kelompok kepentingan tertentu yang beroperasi di
balik media bersangkutan, baik yang dilakukan oleh para elit politik, elit bisnis atau
bahkan dari elit media itu sendiri. Dalam beberapa kasus teror, media telah mimbingkai
fakta terlebih dahulu sebelum melakukan investigasi. Bom London dan Mesir, tanpa
sikap kritis, media pun megulas berita tentang keterkaitan peristiwa tersebut dengan
jaringan Al-Qaeda. Dimana, reportase tersebut didasari atas pengakuan kelompok yang
mengatas namakan Al-Qaeda, sebagai pihak yang mengaku bertanggung jawab.
Dengan membanjirnya informasi lewat media, maka semakin sulit bagi
masyarakat membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang
menyesatkan. Masyarakat hendaknya tidak terbius efek dari narkotika media yang
memberikan informasi keliru dengan memandang terorisme secara sempit dan subjektif.
Untuk mencegah konspirasi proganda, masyarakat hendaknya menyimak melalui
pendidikan melek media, sebagai alternatif untuk melakukan perlawanan terhadap hidden
agenda. Cara ini merupakan jalan menuju kearah pembebasan masyarakat dari
propaganda media agar masyarakat senantiasa bersifat kritis terhadap informasi apapun
yang diperoleh melalui media, khususnya media yang tidak berpihak terhadap kelompok
tertentu dengan memperhatikan prisnsip 5W+1H, terhadap informasi tersebut.
Bagimanapun, kekerasan politik dengan cara menghilangkan nyawa seseorang
dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Demikian pula dengan tindakan teror yang
mengatas namakan agama tertentu, karena pelaku teror adalah seorang oknum yang tidak
bertanggung jawab terhadap ketakutan publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu. Tragedi 9/11, merupakan tragedi bagi umat Islam. Dimana, aksi teror pasca
WTC selalu dikaitkan dengan Al-Qaeda dan jaringnya yang diidentikan dengan Islam
politik, seperti; bom Bali, bom Madried, bom London, dan bom di Sharm el-Sheik Mesir.
Sehingga, menjadi alat pembenaran bagi Amerika untuk mendiskreditkan Islam. Hal ini
tentunya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam agar tidak mudah dipecah belah
dengan dalih terorisme.
Berbicara masalah teorisme sebagai suatu bentuk dari tindakan kekerasan politik,
akan menjadi persoalan sensitif karena akan menimbulkan prasangka (stereotype) dari
pelaku tindakan teror tersebut. Dalam kajian ilmu hubungan internasional, masalah
terorisme bukanlah isu baru, melainkan sebuah kajian yang telah ada sejak beberapa
dasawarsa. Namun, peristiwa peledakan gedung Word Trade Centre (WTC) di New
York, 11 September 2001, telah menjadikan terorisme dari isu lunak (solf issues) menjadi
isu strategis (strategic issues). Peristiwa tersebut benar-benar dijadikan alat legitiminasi
dan justifikasi bagi Amerika untuk menekan dan menghancurkan gerakan terorisme. Hal
ini membawa kemenangan diplomatik bagi Amerika.
Dewan Keamanan PBB tanggal 28 September 2001, mengeluarkan Resolusi
no.1373, yang mendasari perang global melawan terorisme sebagai bentuk kejahatan
transnasional (transnational crime). Resolusi tersebut paling ekspansif dalam sejarah
PBB, dimana semua anggota PBB diwajibkan menelusuri dan melaporkan keberadaan
aset-aset terorisme dengan melampirkan daftar nama kelompok yang dicurigai sebagai
jaringan teorisme. Kondisi ini, membuat Bush lebih agresif dan unilateral dalam
memerangi terorisme berdasarkan kepentingan ekonomi dan politik Amerika semata.
Atas rekomendasi Washington, membuat banyak negara melakukan perubahan
kebijakanan nasionalnya, melalui pembentukan hukum baru mapun perundang-undangan
anti terorisme. Ironisnya, banyak pula penguasa (elit politik) memanfaatkan isu tersebut
sebagai alat pembenaran untuk menghabisi lawan politiknya dengan dalih terorisme.
Sehingga, pendefinisian tentang terorisme itu sendiri menjadi kabur berdasarkan
kepentingan dari sikap yang mereka ambil dalam merespon konstalasi isu internasional.
Seiring dengan perjalaan waktu, sikap go it alone actions dan a la carte
diplomacy dalam mengamankan kepentingannya, mendorong Amerika melakukan review
and adjustment dalam kebijakan dibidang pertahanan keamanan, hal ini melemahkan
sistem multilarelisme dan menumbuhkan sikap unilateralisme Bush, sebagaimana yang
terlihat dari dokrin Amerika tentang pre-emptive war. Sehingga, kebijakan tersebut
mendapat kririkan tajam dan membuat negara lainnya tidak sepaham lagi dengan
tindakan yang diambil oleh Amerika dalam memerangi terorisme. Chomsky dalam
bukunya: Pirates and Emperors: Internasional Terorism in the Real World,
mengambarkan, bahwa Amerika telah menggunakan isu terorisme sebagai instrumen
kebijakan politik luar negerinya. Dan menjadi alat pembenaran bagi Amerika untuk
menekan dan memerangi negara atau kelompok yang tidak sejalan dengan kebijakan
yang ditempuh oleh Washington.
Namun, peristiwa teror di bulan Juli 2005, yaitu: bom London yang menewaskan
56 orang dan mencederai 300 orang. Bom Sharm el-Sheik Mesir, menewaskan 88 orang
serta mencederai ratusan orang lainnya, telah membangunkan dan mengingatkan kembali
pada masyarakat dunia bahwa ancaman terorisme belum berakhir. Seperti yang dikatakan
oleh Bush, pasca peledakan bom London, bahwa “Perang terhadap terorisme terus
berlanjut. Kami tidak akan menyerah kepada terorisme. Kami mencari mereka dan
mengadilinya”. Peristiwa ini, menjadi babak baru perang terhadap terorisme.Peristiwa ini
menjadi babak baru perang global terhadap terorisme yang sudah ditinggalkan negara
lain.
Media massa dunia mempunyai andil besar dalam mempopulerkan isu terorisme,
yang terilhami pada teori komunikasi: “siapa yang menguasai informasi dialah yang akan
menguasai dunia”. Berdasarkan konsep tersebut, media mempunyai posisi yang sangat
penting karena mampu memberikan informasi kepada masyarakat yang
membutuhkannya. Sehingga, media dijadikan alat propaganda yang efektif, mengingat
dampak yang ditimbulkannya memiliki jangkauan yang luas dan dapat membentuk opini
publik. Akibatnya, tidak jarang kita melihat munculnya semacam fenomena “jurnalism
stereotype”. Dimana, media sudah lebih dulu punya asumsi dan abstraksi dalam
membingkai (flaming) isu terorisme yang dipenuhi dengan prasangka negatif. Sehingga,
informasi tersebut cendrung bias, bahkan tak jarang keliru dalam memahami akar
permasalahan dari terorisme itu sendiri.
Prinsip: “the new source of power is information in the hand of many” (bahwa
sumber kekuatan baru adalah informasi yang ada di tangan banyak orang), disadari benar
oleh pelaku media. Dimana, seseorang yang mengkonsumensi sebanyak-banyaknya
informasi apa pun bukan karena kebutuhan, tapi karena memang itulah yang terus
menerus disuguhkan oleh media kepada mereka. Sehingga, akan mudah bagi media untuk
membentuk opini masyarakat terhadap bahaya terorisme yang sedang mengancam dunia.
Amerika adalah iperium media yang menguasai infrastruktur link global media,
mencakup kantor berita (news agency) seperti Reuter, surat kabar seperti, The Time dan
jaringan televise seperti, CNN. Jadi, tidak heran kalau media digunanakan oleh Amerika
untuk menopang kepentinganan politiknya, dengan menciptakan distorsi makna dari
sebuah kata terorisme. Sehingga, terjadi disinformasi dalam benak masyarakat tentang
suatu kelompok tertentu. Media juga sangat kreatif melakukan dramatisasi dengan
memadukan informasi plus entertainment untuk menarik khalayak tentang bahaya
terorisme. Sehingga, apa yang dikatakan oleh Chomsky dalam bukunya; “Manufacturing
Consent: The Political Economy of the Mass Media”, bahwa media dijadikan sebagai
“mesin propaganda” bagi tatanan sosial politik yang berlaku, sangatlah tepat.
Akibat dari propaganda yang dilakukan media, maka terjadi demonologi, yaitu
politik perekayasaan yang sistematis untuk menempatkan kelompok tertentu sebagai
ancaman yang sangat menakutkan. Tujuannya untuk memberikan kesan negatif, dengan
cara membentuk opini masyarakat (public opinion) terhadap bahaya yang ditimbulkan
dari kelompok bersangkutan, dengam mempopulerkan istilah: “fundamentalis” dan
“radikalisme”, melalui media pada masyarakat dunia. Kasus yang menonjol akibat dari
propaganda tersebut, yaitu terjadinya pengadilan yang dilakukan oleh media (trial by the
press). Hal ini disebabkan adanya kepentingan ideologis-politik kelompok tertentu untuk
membunuh karakter seseorang (character assassinations) yang tidak disukai. Dimana,
asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) terhadap pelaku yang dicurigai
menjadi tidak diperhatikan lagi dalam kasus seperti ini. Penguasa akan menghalalkan
segala cara (The end justifies the means), membungkam lawan politiknya yang dianggap
berseberangan dan membahayakan kepentingan mereka. Sehingga, yang bersangkutan
menjadi korban dari rekayasa, konspirasi, disinformasi dan mispersepsi dengan dalih
terorisme.
Kasus peledakan bom WTC, tanpa melalui keputusan pengadilan Amerika
menuduh Osama bin Laden dengan Al Qaeda-nya yang bertanggung jawab terhadap
peristiwa tersebut. Media pun melakukan propaganda tak henti-hentinya dengan
menciptakan masyarakat Muslim yang termarjinalisasi dan teralienasi secara politis.
Media melakukan reportase jurnalistik tentang eksistensi dan aktivitas gerakan Islam
secara gencar, dimana kesan yang dimunculkan adalah militansi dan ekstremitas dari
aktivitas tersebut. Akibatnya, muncul “Islam Phobia” di tengah masyarakat dunia. Media
secara tidak sadar telah melakukan Balkanisasi (politik memecah belah) terhadap
masyarakat. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan masyarakat merasa alergi bahkan
takut, ketika berinteraksi dengan wacana Islam ideologi. Hal ini melahirkan sikap apriori
di tengah masyarakat dunia terhadap konsepsi Islam politik, akibatnya masyarakat Islam
berupaya untuk tidak mengidentikkan diri sebagai seorang Muslim.
Kasus pemberitan terorisme di atas menunjukan bias. Dimana, bias yang
tersembunyi dan disengaja (hidden and intended bias) oleh media sulit dihindarkan,
karena media membawa misi dari kelompok kepentingan tertentu yang beroperasi di
balik media bersangkutan, baik yang dilakukan oleh para elit politik, elit bisnis atau
bahkan dari elit media itu sendiri. Dalam beberapa kasus teror, media telah mimbingkai
fakta terlebih dahulu sebelum melakukan investigasi. Bom London dan Mesir, tanpa
sikap kritis, media pun megulas berita tentang keterkaitan peristiwa tersebut dengan
jaringan Al-Qaeda. Dimana, reportase tersebut didasari atas pengakuan kelompok yang
mengatas namakan Al-Qaeda, sebagai pihak yang mengaku bertanggung jawab.
Dengan membanjirnya informasi lewat media, maka semakin sulit bagi
masyarakat membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang
menyesatkan. Masyarakat hendaknya tidak terbius efek dari narkotika media yang
memberikan informasi keliru dengan memandang terorisme secara sempit dan subjektif.
Untuk mencegah konspirasi proganda, masyarakat hendaknya menyimak melalui
pendidikan melek media, sebagai alternatif untuk melakukan perlawanan terhadap hidden
agenda. Cara ini merupakan jalan menuju kearah pembebasan masyarakat dari
propaganda media agar masyarakat senantiasa bersifat kritis terhadap informasi apapun
yang diperoleh melalui media, khususnya media yang tidak berpihak terhadap kelompok
tertentu dengan memperhatikan prisnsip 5W+1H, terhadap informasi tersebut.
Bagimanapun, kekerasan politik dengan cara menghilangkan nyawa seseorang
dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Demikian pula dengan tindakan teror yang
mengatas namakan agama tertentu, karena pelaku teror adalah seorang oknum yang tidak
bertanggung jawab terhadap ketakutan publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu. Tragedi 9/11, merupakan tragedi bagi umat Islam. Dimana, aksi teror pasca
WTC selalu dikaitkan dengan Al-Qaeda dan jaringnya yang diidentikan dengan Islam
politik, seperti; bom Bali, bom Madried, bom London, dan bom di Sharm el-Sheik Mesir.
Sehingga, menjadi alat pembenaran bagi Amerika untuk mendiskreditkan Islam. Hal ini
tentunya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam agar tidak mudah dipecah belah
dengan dalih terorisme.

Berbicara masalah teorisme sebagai suatu bentuk dari tindakan kekerasan politik,
akan menjadi persoalan sensitif karena akan menimbulkan prasangka dari pelaku
tindakan teror tersebut. Pada ulang tahun ketiga tragedi WTC Presiden Amerika, George
Walker Bush, mengatakan: “Bisakah kita menang? Menurut saya, anda tidak akan
memenangkannya. Tetapi kita bisa menciptakan kondisi, sehingga siapapun yang
menggunakan terror sebagai sebuah cara, tidak akan mendapatkan tempat di dunia ini”.
Pernyataan ini menunjukan bahwa aksi terorisme amat sangat sulit untuk dideteksi.
Amerika dan Inggris sebagai negara maju di bidang intelijen dan pertahanan kemanan
tidak mampu membendung aksi terorisme.
Peristiwa peledakan bom yang terjadi tanggal 1 oktober 2005 di RAJA’s Bar and
Restaurant, Kuta Square, dan di Nyoman Café’ dekat Hotel Four Season, Jimbaran Bali,
telah menewasakan 25 jiwa dan mencederai lebih dari 102 jiwa lainnya. Menggigatkan
kita pada peristiwa tiga tahun lalu, tepatnya tanggal 12 Oktober 2002. Kita dikejutkan
oleh peristiwa ledakan bom yang berkuatan besar, di diskotek Sari Club, Jl. Legian,
Kabupaten Badung, Kuta Bali. Ledakan tersebut telah menewaskan 187 orang,
mencederai 282 orang, dikenal dengan istilah “Sabtu Hitam di Legian.” Peristiwa
tersebut menandai terorisme menjadi isu strategis di Indonesia.
Ironisnya, pasca Bom Bali I, pemerintah nampaknya tidak mempunyai arah
kebijakan yang jelas dalam penanggani masalah terorisme di Indonesia. Sehingga,
Indonesia menjadi sasaran yang empuk dalam masalah terorisme. Bom Bali II ini
menambah daftar deretan aksi kekerasan terorisme di Indonesia, peledakan Bom J.
Meriot di Jakarta 2003, Bom di depan Kedutaan Besar Australia 9 September 2004,
peledakan bom Restoran Mc Donald Mall Ratu Indah Makassar, 5 Desember 2002 dan di
Kafe Sampodo Indah Palopo Januari 2004, serta ledakan bom di daerah lainnya di
Indonesia, menjadi catatan hitam aksi terror bagi Bangsa Indonesia.
Dampak Bom Bali
Bom Bali II akan berdampak politik dan ekonomi bagi Indonesia. Indonesia yang
penduduknya mayoritas beragama Islam dengan 202 juta dari 230 juta jiwa penduduk
Indomesia. Secara politis memperkuat dugaan masyarakat internasional yang
menganggap bahwa selama ini Indonesia tidak pernah serius dalam penangganan masalah
terorisme. Sebagaimana yang dikatakan oleh Howard yang menganggap bahwa
Pemerintah Indonesia pasca trgagedi WTC, 11 September 2001 tidak pernah serius
terlibat dalam perang global terhadap terorisme yang dicanangkan oleh Amerika
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor: 1373 tanggal 28 September 2001.
Di samping itu, peristiwa ini menjadi legitiminasi bagi masyarakat internasional
bahwa Indonesia merupakan sarang terorisme internasional untuk wilayah Asia
Tenggara. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Menteri Senior Singapura, Lee kwan
Yew, secara terbuka menunding Indonesia sebagai sarang terorisme internasional. Lebih
jauh Lee mengatakan” Indonesia is the hidden place for Al Qaeda after Afghanistan
attack and have connection with terrorist activities because of the relation with
Indonesian militant Islamic group with Al Qaeda networks”.
Secara ekonomis, akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia
khususnya di bidang industri prawisata, akibat tidak adanya jaminan keamanan bagi turis
yang berkunjung ke Bali. Hal ini merusak citra prawista Indonesia di masyarakat
Internasional. Serta akan berdampak bagi dunia usaha lainnya seperti keengganan para
investor untuk menanamkan investasinya ke Indonesia. Seperti; perusahan sepatu nike
yang menghentikan investasinya dari Indonesia pasca tragedi bom Bali I.
Di perkirakan pasca bom Bali II banyak negara akan mengeluarkan travel band
bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Kebijakan tersebut akan
memukul perekonomian Indonesia terutama di sektor prawisata. Akibatnya, diperkirakan
akan terjadi penurunan jumlah kujungan wisatawan ke Bali sebesar 20 % dari jumlah
total wisatawan yang berkunjung sebesar 2 juta wisatawan per tahunnya, dan terjadi
penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% serta terjadi peningkatan kemiskinan
diperkirakan akan mencapai 1 uta jiwa.
Antisipas Pemerintah
Aksi terorisme di Indonesia disebabkan ketidak pekaan pemerintah terhadap
eksisnya ancaman terorisme internasional dan konflik kepntingan yang berkembang
dalam pemerintahan dan masyarakat. Peristiwa ini, nampaknya akan dijadikan komuditas
politik dari kelompok-kelompok kepentingan baik yang berasal dari luar maupun dari
dalam negeri melalui media massa. dengan menciptakan opini publik bahwa Indonesia
tidak aman. Hal ini merugikan citra Indonesia di fora internsaional yang pada akhirnya
akan berdampak buruk terhadap ekonomi dan politik Indonesia.
Namun, Pemerintah Indonesia hendaknya tidak terjebak lagi dalam perang global
yang dicanangkan oleh barat terhadap teroris seperti yang terjadi pada pasca bom Bali I
yang memaksa pemerintah mengeluarkan mengeluarkan PERPU No 1/2002 dan PERPU
NO 2/ 2002, mengakui Jemaah Islamiyah sebagai kelompok teroris. Diikuti dengan
penangkapan terhadap Abubakar Ba’asyir sebagai pimpinnya serta pengikut-
pengkikutnya yang dituduh bertanggung jawab terhadap peledakan tersebut. Hal ini
menjadikan kita bukan sebagai ”boneka” dari kemauan negara-negara Barat khususnya
Amerika yang sering memandang persoalan terorisme secara sempit dan amat subjektif,
tetapi tidak mencari akar pemasalahan dari terorisme itu sendiri.
Di samping itu, para politisi hendaknya tidak menjadikan peristiwa bom Bali II
sebagai komoditas politik dan mengakhiri sikap partisan untuk tidak larut terlibat dalam
kelompok kepentingan dalam perang melawan terorisme. Jika tidak, Indonesia tidak akan
kondusif dalam pemulihan perekonomiannya. Pemerintah hendaknya meluruskan tentang
Islam di Indonesia. Pandangan yang menominasikan bahwa musuh Barat pada Pasca
Perang Dingin adalah Islam sebagai penganti komunis pada Perang Dingin (Berdasarkan
tesis the clash of civilization dari Hungtington), adalah tidak benar dan tidak bisa di
pertanggung jawabkan..
Pemerintah sebenarnya bisa saja mengantisipasi tragedi tersebut seandainya
pihak Badan intilijen Negara (BIN) lebih sigap dalam menyimak apa yang dikatakan oleh
presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan bahwa “pemerintah sebenarnya
pernah mendapat ancaman terror, namun ketatnya keamanan di Jakarta, maka bom
tersebut terjadi di Bali” Andai kata, benar pernyatan tersebut, berarti pemrintah SBY
tidak pernah belajar dari pengalaman, bahwa Bali tentunya menjadi sasaran yang
berpotensi mengigat Bali lebih dikenal oleh masyarakat internasional dibandingakan
dengan Jakarta.
Belajar dari bom Bali II, hendaknya kita menyadari bahwa perang terhadap
terorime belumlah berakhir. Namun, pemerintah pun harus dicari akar permasalahannya
dengan tidak menjadikan aksi teror sebagai komuditas politik untuk kepentingan
kelompok tertentu dan mendiskreditkan kelompok lainnya. Prioritas Bangsa Indonesia
sekarang ini adalah perbaikan di bidang ekonomi, terutama pasca kenaikan BBM tanggal
1 Oktober yang dirasakan cukup memberatklan kehidupan masyarakat.
Namun, bagaimanan pun tindakan teror yang telah menghilangkan nyawa
seseorang dan merusak fasilitas umum tidak dapat dibenarkan. Tentunya yang menjadi
korban adalah rakyat yang tidak berdosa. Pelaku teror adalah oknum yang bisa berasal
dari kalangan mana saja dan kapan saja yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, beberapa
aksi teror yang terjadi di Indonesia yang mengatasnamakan kelompok tertentu, mendapat
kutukan dari masyarakat Islam Indonesia. Tindakan terror yang menghilangkan
masyarakat yang tidak berdosa dan merusak fasilitas umum untuk kepentingan pribadi
dan kelompok merupakan tindakan pengecut. Kondisi ini bisa merusak citra masyarakat
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Semoga, traggedi bom Bali II
merupakan tragedi terakhir bagi bangsa Indonesia
BAB III PENUTUP

Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan bentuk
cyber crime sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA

Crensaw, Martha. 2003. Origin of Terorrisem, Tinjauan Psikologi, ideologi, Teololgi


dan sikap mental. Murni kencana: Jakarta.

M.post, Jerrold.2003. Origin of terrorism,Tinjauan psikologi, Ideologi, Teologi dan


sikap mental. Murni kencana.

http://cmm.or.id//cmm-ind _more .php?id = 1096_0_3_0_M15. html.Diakses pada


tanggal 31 Mei 2006.

Htt:// lukman-nh.logspot.com /2005/11/pengaruh –media-terhadap-kongnisi-anak.html.


Diakses pada tanggal 31 Mei 2006

You might also like