Professional Documents
Culture Documents
BAB II PEMBAHASAN
Istilah “transnasional crime” pertama kali digunakan pada konferensi PBB
tentang kejahatan dan hukum kriminal (United Nation Crime and Criminal Justice
Branch) pada tahun 1974 sebagai bahan kajian diskusi di dalam salah satu forumnya.
Kemudian pada tahun 1995, PBB memberikan satu konsep tentang kejahatan
transnasional sebagai “offenses whose inception, prevention and or direct effect of direct
effect involved more one country” (United Nations, 1995).
Kejahatan transnasional atau transnasional crime harus dibedakan dengan
kejahatan internasional. PBB memberikan ruang lingkup pada kejahatan transnasional
dengan memberikan batasan-batasan pada tindak criminal internasional yang dapat
dikategorikan sebagai kejahatan transnasional yaitu kejahatan (dalam hal ini tidak
melibatkan suatu pemerintah atau Negara) tersebut harus terjadi melintasi batas dari
territorial yurisdiksi hukum suatu Negara.
PBB mengidentifikaskan kejahatan transnasional dalam 18 bagian, yaitu: money
loundring, terrorist activities, theft of art and cultural objects, theft of intellectual
property, illicit traffic in arms, sea piracy, hijacking on land, insurance fraud, computer
crime, environmentalcrime, trafficking in persons, trade human body parts, illicit drug
trafficking, fraudulent bankkrupty, infiltration of legal bussines, corruption, bribery of
public officials, of offences commited by organized criminal grups (United Nations,
1995).
Dari pemaparan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan
transnasional merupakan suatu permasalahan yang menyangkut masalah yurisdiksi
hukum yang penyelesaiannya sangat kompleks disebabkan oleh adanya perbedaan yang
signifikan pada yurisdiksi hukum setiap negara yang terlibat, jika dibandingkan dengan
kejahatan internasional yang dapat diidentifikasi dengan jelas dan penyelesaiannya dapat
dilakukan dengan menggunakan hukum internasional.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Arif, B Nawawi, Prof. Dr., 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
2. Casey, Eoghan, 2001, Digital Evidence and Computer Crime, A. Harcourt Science
and Technonogy Company, London.
4. Hamzah, H., 1988, Delik Penyelundupan Disesuaikan Dengan Inpres No. 4 Tahun
1985, Edisi Pertama: Jakarta: Akademik Pressindo.
5. Lapian, L.M.Gandhi dan Hetty A. Geru, 2006, Trafficking Perempuan dan Anak,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
6. P.N. Grabosky and Russel G. Smith, 1998, Crime In The Digital Age: Controlling
Telecommunications And Cyberspace Illegalitas, Transaction Publisher: New
Brunswick, NJ.
KODUL II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah pencurian ikan (illegal fishing) nampaknya tidak mendapat porsi yang cukup
memadai. Padahal, menurut data kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh
dunia mencapai 9 miliar dollar per tahun. Sedangkan, Indonesia sendiri mengalami
kerugian yang diperkiraan mencapai 2 miliar dolar atau sekitar 19 triliun rupiah per
tahun. Dengan kata lain, diperkiraan 22 % produksi illegal fishing di seluruh dunia
berasal dari Indonesia. Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian
Indonesia jauh lebih besar, bisa mencapai 30-40 triliun rupiah setiap tahunnya akibat dari
illegal fishing tersebut.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.500 pulau, dimana
hampir 70 % (5,8 juta km persegi) wilayahnya diliputi perairan dengan potensi
kekayaan laut yang sangat potensial. Menurut data, sumber perikanan laut Indonesia
diperkirakan mencapai 6. 167.940 ton per tahunnya. Namun, akibat letak posisi silang
Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudra
(Pasifik dan Hindia), menyebabkan wilayah Indonesia menjadi rawan terjadinya illegal
fishing. Adapun, daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut
Natuna, Sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat
Sumatra (Samudra Hindia).
Penebangan liar atau lebih di kenal dengan istilah Illegal logging adalah aktivitas
yang terjadi pada saat penebangan kayu dilakukan secara tidak sah dengan melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang -undangan, berupa pencurian kayu didalam
kawasan hutan negara atau hutan hak (milik), dan atau pemegang izin melakukan
penebangan lebih jauh dari jatah yang telah ditetapkan sesuai perizinan. Beberapa
sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan
penebangan liar di dunia terjadi di wilayah – wilayah daerah aliran sungai Amazon,
Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa Negara – Negara Balkan.
Illegal logging merupakan aktivitas yang menghancurkan sumber daya hutan,
perekonomian nasional dan sekaligus tatanan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar
hutan. Kerugian negara sangat besar akibat pendapatan hasil penjualan kayu tidak masuk
ke kas negara. Di samping merugikan negara secara finansial, aktivitas ini juga
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Pengelolaan hutan yang tidak bertanggung
jawab hanya akan memberikan kekayaan sesaat pada individu pelakunya, namun
menyisakan penyesalan yang berkepanjangan akibat terdegradasinya hutan sebagai
bagian dari ekosistem kehidupan.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul kedua, yang menjadi sub pokok bahasan illegal fishing dan
illegal loging pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
5. Menjelaskan pengertian illegal fishing dan illegal loging
6. Menjelaskan bentuk dan pola illegal fishing dan illegal loging
7. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus illegal
fishing dan illegal loging
8. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi illegal fishing dan
illegal loging
9. Mampu menganaisis kasus illegal fishing dan illegal loging dengan memberikan
solusinya.
10.
11. dalMenjelaskan
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
7. Keaktifan di kelas
8. tata kerama/ sopan santun
9. Kerjasam team
10. keaktifan berdiskusi
11. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
12. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
13. Mampu menganalisis kausus
BAB II PEMBAHASAN
A. Illegal Fishing
Mengapa illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang, begitu marak
terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecendrungan terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula? Hal
ini disebabkan: Pertama, terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga
memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini
bisa dilihat pada Undang-Undang Perikanan Nomor:31 Tahun 2004. Dimana, dalam UU
tersebut dimungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk
mengekspoloitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone Ekonomi Eklusif
(ZEE).
Pada pasal 29 ayat (1) - misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan
hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara
Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional.
Kedua, kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa
dilihat pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan,
padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang perikanan
dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenai ancaman hukuman
penjara maksimal 5 tahun. Disamping itu, adanya indikasi para aparat kurang serius
dalam penanganan pelaku illegal fishing-misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus
tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya, hanya
77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan kurang
profesionalnya para aparat dalam penangaannya.
Ketiga, pemerintah tidak pernah mengagendakan secara serius untuk mengatasi
illegal fishing secara konprehensip. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi
yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional. Hal ini bisa dilihat pada kasus
pelangaran berupa operasi perizinan kapal-misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik
perushaan Indonesia (7000 kapal), namun ternyata sekitar 70 % atau 5000 lebih dimiliki
oleh pihaak asing terutama berasal dari Taiwan, Philipina, Thailand, RRC. Sedangkan, di
wilayah Timur Indonesia dari 5. 088 kapal yang beroperasi banyak tidak memiliki izin
Keempat, banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi
backing para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak-
misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya. Menurut Menteri Kelautan
dan Perikanan Freddy Numberi, masih adanya oknum di departemennya yang
melakukan pelanggaran dengan modus memberi izin para pelaku dengan cara
membelotkan aturan yang ada misalnya penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak
melalui pelabuhan, padahal menurut UUNo.31/2004 tentang perikanan, setiap kapal
harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.
Kelima, kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media
massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal
fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance).
Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius
menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember
2007, Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing
pelaku illegal Fishing, dimana kerugian negara mencapai 13 triliun rupiah. Ironisnya,
media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.
Keenam, kurangnya koordinasi antar departemen yang terkait dalam mengatasi
masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tumpang
tindihnya dalam penanganan antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen
Perhubungan, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Kejaksaan Agung,
Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah. Disamping itu, Indonesia tidak memaksimalkan
kerjasama antar negara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam
penangani pelaku illegal fishing dari Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC. Sehingga
bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab.
Ketujuh, kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penangganan
illegal fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas berjumlah
16 buah dengan luas wilayah laut yang begitu besar seharusnya Indonesia membutuhkan
paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia, khsusnya wilayah laut.
Sehingga, dapat meminimalkan kasus illegal fishing yang tidak terkendali .
Tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsonal oleh pemerintah
menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut. Kondisi ini
pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain, sebagai gambaran bisa kita
lihat-misalnya, Philipina sebagai negara mengekspor tuna terbesar di dunia, ironisnya 70
% tuna tersebut berasal dari Indonesia. Demikian pula, dengan Thailand sebagai negara
mengekaspor ikan kaleng, namun banyak nara sumber meyakini bahwa ikannya juga
berasal dari perairan Indonesia yang ditanggap secara illegal. Disamping itu, para pelaku
illegal fishing menggunakan BBM bersubsisdi, dimana kerugian negara akibat
menggunakan BBM bersubsidi mencapai 500 miliar rupiah.
Untuk meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat UU anti
illegal Fishing karena UU Nomor 31 tahun 2004 pasal 29 dan 30 tentang perikanan
kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan
sumberdaya laut. Bahkan UU terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak
asing, mengrksploitasi sumber daya ikan di perarian Indonesia, khususnya ZEEI (Zone
Ekonomi Eklusif Indonesia). Demikian pula, pelaksanaan Permen no 17, tentang
penangkapan ikan berbasis industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk
melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradsional, menciptkan lapangan kerja, dan
meningkatkan pendapaan negara dari devisa dan pajak. Mempercepat terbentuknya
pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak
pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih pelakunya
Dari gambaran di atas, kita bisa melihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak
dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing.
Ironisnya, pemerintah masih menutup mata terhadap dampak yang ditimbulkan. Hal ini
bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari
hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah, tetapi juga dapat merusak ekositem
laut.termasuk terumbu karang. Menurut Ministry of State of Environment, luas trumbu
karang Indonseia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 % dan 15 %
dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam
penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada
lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.
B. Illegal Logging
Isu illegal logging bukanlah sebuah hal yang baru. Namun, sejumlah persoalan
timbul ketika penggunaan terminologi "ilegal" dan "legal" dalam setiap kasus yang
bernuansa legalistis. Kadar dan standar formal begitu kental dalam mengidentifikasi
kasus penebangan liar ini. Semua pihak paham ketika pengaplikasian kata yang berbau
legalistik diterapkan, pilar hukum yang dibakukan dengan sendirinya akan menafikan
realitas yang ada, yang tidak dikategorikan dalam bingkai hukum formal.
Modus yang biasa digunakan dalam tindak illegal logging terdiri dari; operasi
pembalakan diluar petak tebangan, perusahaan penebangan kayu yang tidak mempunyai
izin tetapi tetap melakukan pembalakan kayu, menggunakan izin IPK (izin pemanfaatan
kayu) untuk melakukan tebang habis dengan dalih untuk membuka perkebunan, kayu
bulat dan kayu gergajian yang tidak dilaporkan dengan menggunakan dokumen
pengapalan yang berbeda, pembalakan dan usaha perkayuan lain yang beroperasi tetapi
menghindari pajak dan pungutan-pungutan sah, dan terakhir operasi skala kecil yang
tidak memiliki izin pembalakan. Aktivitas illegal ini diperkirakan sama tuanya dengan
praktik pengusahaan hutan itu sendiri.Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
illegal logging, yaitu:
2. Masalah kebijakan dalam pengaturan pemanfaatan hutan (dalam hal ini kayu)
Masalah ini secara langsung ataupun tidak langsung berdampak pada perihal
keterbatasan lapangan kerja sehingga menyebabkan masyarakat terjepit dengan
melakukan kegiatan illegal logging dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain
masalah yang telah disebutkan sebelumnya, perihal kebijakan pelarangan ekspor kayu
bulat sangat baik dalam merangsang industri pengolahan, namun efek jangka panjangnya
tidak dipikirkan secara matang. Akhirnya memicu banyak terjadinya illegal logging.
Penetapan banyak kawasan konservasi (Taman Nasional, cagar alam, dsb) sangat baik
untuk menjawab isu global tentang konservasi hutan. Akan tetapi, penetapan kawasan
konservasi yang tidak dibarengi dengan sarana dan prasarana yang memadai akan
mengakibatkan pengawasan dan pelaksanaan manajemen kawasan konservasi tidak dapat
berjalan dengan semestinya. Keadaan ini membuat kawasan konservasi menjadi areal
yang sangat potensial illegal logging.
Masalah yang paling mendasar di Indonesia adalah pengawasan. Tentu kita sudah
sangat mengerti tentang masalah KKN yang sudah mendarah daging di Indonesia. Kalau
kita bahas tentang permasalahan ini tentu akan sulit dicari titik temunya.
Adanya illegal logging ini juga terkait dengan sindikat regional dan internasional
yang ikut bermain dalam penyelundupan kayu khususnya dari Indonesia. Pengawasan
pemerintah yang semakin berkurang membuat persentasi penyelundupan kayu tropis
Indonesia ke luar negeri semakin meningkat. Keterbatasan dana dalam bidang keamanan
baik, darat, laut dan udara juga bisa dikatakan sebagai salah satu penyebab. Tidak aneh
apabila sekarang ini banyak diberitakan tentang kayu selundupan dari Indonesia yang
diputihkan di Malaysia, Singapura, bahkan Cina
Illegal logging adalah persoalan global karena terjadinya pada area lintas negara dan
pengaruh kebutuhan pasar kayu global menjadikan negara yang memiliki kawasan hutan
yang besar termasuk Indonesia, Amerika Latin, dan Afrika harus kehilangan hak
miliknya tersebut akibat praktek illegal yang dipengaruhi oleh kebutuhan pasar kayu
internasional. Maraknya praktik penebangan liar mendorong berbagai badan nasional
(LSM) dan internasional (antara lain CGI) mengkritisi upaya penanganan kasus ini. Data
yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia
telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta
hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan
kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri,
konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar
kawasan tebangan.
Laporan dan video EIA-TELAPAK dan video, “The Final Cut,” menyarankan
kampanye internasional menentang penebangan liar di Indonesia dan telah membuahkan
beberapa hasil yang penting, termasuk pemerintah Indonesia mengkaji ulang larangan
ekspor kayu pada 2002 dan pendaftaran jenis kayu tropik yang dilindungi dalam
Konvensi Perdagangan Internasional tentang Tumbuhan dan Hewan yang Dilindungi,
Bab III (2001). Dampak sosial dan ekonomi meliputi tingginya tingkat hutang yang
dimiliki oleh industri perkayuan, kemungkinan kerugiannya setara dengan satu tahun
fiskal bantuan luar negeri (sekitar 6,0 milyar USD), dan cenderung meningkatkan
pengangguran (langsung dan tidak langsung mempengaruhi 20 juta orang) jika
pemerintah mengurangi kegiatan penebangan liar, akan mengakibatkan kerusuhan sosial.
Timber for analysist UNDP 2006, memperlihatkan bahwa terjadi kesenjangan (shortfall)
sebesar 135.249 meter kubik per tahunnya antara permintaan (demand) dan ketersediaan
(supply) kayu untuk kebutuhan proses rekonstruksi sebesar 215.249 meter kubik per
tahun-nya, atau dengan kata lain ketersediaan kayu yang ada hanya sekitar 80.000 meter
kubik per tahunnya. Kebutuhan kayu selama proses rekonstruksi diperkirakan mencapai
860.996 meter kubik, Sementara pemenuhan kayu import hanya menyumbang sekitar
48.136 meter kubik, dan kayu yang berasal dari SKSHH (surat keterangan sahnya hasil
hutan) hanya menyumbang sekitar 19.686 meter kubik pada tahun 2006 (Timber for
Aceh, 2006).
Penyelundupan kayu dari Indonesia sebagian besar masuk ke negara-negara di
Asia dan Eropa. Uni Eropa merupakan salah satu penerima utama kayu liar, namun telah
gagal menerapkan kebijakan untuk menghentikannya. Tahun 1999, Uni Eropa
mengimpor 10 juta meter kubik kayu dimana nyaris setengahnya berasal dari tiga negara
– Indonesia, Brazil, dan Kamerun. Tingginya tingkat penebangan liar di tiga negara
tersebut, disinyalir setengah dari kayu yang diimpor ke Uni Eropa merupakan kayu liar,
senilai US$ 1,5 miliar per tahun. Dari negara anggota Uni Eropa, Inggris merupakan
pengimpor kayu liar terbesar, tahun 1999 Inggris mengimpor 1,6 juta meter kubik kayu,
dimana 92 %nya berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Brazil. Sebesar 60 % kayu yang
diimpor ke Inggris merupakan kayu liar senilai US$ 200 juta. Negara Inggris sendiri
bertanggung jawab atas seperlima kayu tropis liar yang memasuki Uni Eropa.
Di Brazil, 80% dari penebangan di Amazon melanggar ketentuan pemerintah.
Korupsi menjadi pusat dari seluruh kegiatan penebangan illegal tersebut. Produk kayu di
Brazil sering diistilahkan dengan “emas hijau” dikarenakan harganya yang mahal (kayu
mahogany berharga 1.600 dollar AS per meter kubiknya). Mahogani illegal membuka
jalan bagi penebangan liar untuk spesies yang lain dan untuk eksploitasi yang lebih luas
di Amazon. Negara berikutnya yang terlibat impor kayu illegal adalah Perancis, dimana
setengah dari 900 ribu meter kubik impor tahunannya merupakan kayu liar, disusul
Belgia, Jerman, dan Belanda. Perilaku konsumsi kayu Uni Eropa yang tidak
mengindahkan asal-usul kayunya membuat mereka secara langsung bertanggung jawab
atas kerusakan hutan di negara-negara tropis, terutama Indonesia. Konsumsi kayu tropis
mereka setara dengan penebangan hutan seluas 700 ribu hektar setiap tahunnya.
Masuknya peredaran kayu illegal di Uni Eropa ini dapat dilihat dari laporan
pemerintah Indonesia mengenai ekspor produk kayu yang dilakukan secara resmi,
dimana terjadi ketidaksesuaian atau selisih antara kayu yang di kirim oleh Pemerintah
Indonesia dengan kayu yang diterima oleh negara-negara Uni Eropa, proses ini dilakukan
dengan cara mencuci kayu (timber laundry) disejumlah negara transit. Pasokan kayu
tersebut tercatat pada daftar impor negara-negara konsumsi kayu namun tidak terlaporkan
dalam data ekspor kayu di Indonesia.
Dalam laporan CIFOR (2003) untuk Menteri Luar Negeri Jepang dapat
ditunjukkan bahwa illegal logging besar-besaran bukan hanya terjadi di Indonesia.
Besaran volume penebangan liar di Brasil (daerah Amazon) diperkirakan 80% dari
volume resmi panennya, Bolivia sebesar 80%-90% dari total konversi hutan, dan
Kolombia mencapai 42% dari tebangan resmi pemerintah. Sementara itu, untuk negara-
negara Afrika, misalnya Kamerun, sebesar 50% dari jumlah panennya, Ghana sebesar 2,6
juta m³, lebih dari 2 kali panen resmi, sedangkan Mozambik sekitar 50% dari tebangan
resmi.
Di negara-negara Asia Tenggara, misalnya Kamboja, sebesar 4,3 juta m³, hampir
10 kali tebangan resmi; Malaysia sepertiga dari jumlah tebangan tahunan, dan Myanmar
80% dari tebangan resmi. Demikian pula di Rusia, sebesar 20% kegiatan loggingnya
diduga melanggar peraturan. Di daerah Primorsky-Khabarovsk sebesar 50% dari jumlah
resmi pemanenannya, dan di Siberia sebesar 20% dari tebangan resmi. Kondisi yang
dialami negara-negara itu terjadi di berbagai periode yang berbeda-beda antara tahun
1994 - 2001.Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998
mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan tergolong liar,
dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS.
Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi
domestik ditambah dengan ekspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan
penebangan adalah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit
utama dari produk kayu illegal dari Indonesia. Cukong-cukong kayu Malaysia membeli
kayu dan membiayai pencuri kayu dari Kalimantan dan Papua. Sehingga maraklah illegal
logging yang didukung dengan dana dari para pengusaha kayu Malaysia. Disinyalir
Pemerintah Malaysia menutup mata terhadap kasus mafia illegal logging yang merugikan
Indonesia. Hal ini terbukti dengan pemberian label legal oleh Kuala Lumpur atas kayu-
kayu curian asal Indonesia yang selanjutnya dijual ke Eropa dan Jepang, baik dalam
bentuk log, setengah jadi, maupun produk furnitur.
Di Malaysia pun tumbuh industri kayu lapis dengan cepat. Bahan - bahan dari
kayu curian tadi. Tetapi pemerintah Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap mafia
illegal logging yang berada di Malaysia. Tragisnya lagi, banyak warga Indonesia yang
bekerja di perusahaan-perusahaan kayu lapis dan furnitur di Malaysia. Hingga dalam
berbagai catatan di media cetak menyebutnya “Ibarat sang pemilik bekerja pada
pencuri!” Dan lebih tragis lagi, pemerintah Malaysia selalu melindungi mafia kayu curian
tersebut. Pemerintah Indonesia sudah menuntut penahanan mafia kayu itu. Tapi Kuala
Lumpur tak mau menghukum warganya. Hasilnya, pemerintah Indonesia tak bisa berbuat
apa-apa terhadap cukong-cukong kayu Malaysia itu. Indonesia terlalu lemah untuk
menangkap para cukong kayu asal Malaysia tadi. Di Indonesia cukong-cukong itu
bagaikan raja. Mereka mampu mengendalikan aparat keamanan, pemda, dan birokrasi
terkait yang berhubungan dengan perkayuan. Di Malaysia cukong-cukong itu seperti
pahlawan.
Hutan yang berada di Indonesia, 72% sudah rusak akibat illegal logging. Dan ini
sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, termasuk hutan yang berada di Papua.
Illegal logging yang terjadi di tanah air ini (tak terkecuali di Papua), akibat lemahnya
aparat terkait. Sehingga oleh pengusaha kayu khususnya mereka yang menjadi cukong
kayu illegal logging, menganggap di Indonesia ini sudah tidak ada hukum lagi. Bagi
mereka (cukong), aparat di Indonesia (Polri, TNI, polisi kehutanan, jaksa dan instansi
lainnya), tunduk dengan cukong akibat uang. Pemerintah pernah mengklaim, sampai
dengan 2005, memiliki kawasan hutan 126,8 juta hektare dengan berbagai pembagian
fungsi. Yaitu, fungsi konservasi (23,2 juta hektare), kawasan lindung (32,4 juta hektare),
hutan produksi terbatas (21,6 juta hektare), hutan produksi (35,6 juta hektare), dan hutan
produksi konversi (14,0 juta hektare). Namun, beberapa waktu lalu, organisasi
lingkungan dunia Green Peace menyebutkan, 72 % hutan Indonesia musnah. Kemudian,
setengah wilayah hutan yang masih ada dalam kondisi terancam karena penebangan
komersial, kebakaran hutan, dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Karena
tingkat kerusakan yang begitu tinggi, Green Peace pernah mengusulkan penghargaan
rekor dunia sebagai negara penghancur hutan tercepat.
Sementara itu, Departemen Kehutanan memperkirakan jumlah lahan hutan di
seluruh Indonesia yang rusak akibat penjarahan mencapai 2,8 juta hektare per tahun.
Hingga kini sudah mencapai 60 juta hektare. Kerugian yang diderita negara pun tidak
sedikit, mencapai Rp 40 triliun-50 triliun per tahun.Perang terhadap praktik-praktik
pembalakan liar sebenarnya telah digaungkan pemerintah. Pendukungnya adalah
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di
Kawasan Hutan dan Pemberdayaannya di Seluruh Wilayah RI. Namun, praktik-praktik
ilegal tersebut ternyata masih terjadi.
Modus yang digunakan kian beragam. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian
Center for Environmental Law (ICEL) , modus pembalakan liar senantiasa berkembang,
praktiknya selalu menyesuaikan diri, bahkan cenderung makin sistematis.Saat ini,
setidaknya terdapat tiga modus yang tengah berkembang. Pertama, menggunakan surat
izin yang tidak sesuai dengan isi yang tertera dalam surat izin. Misalnya, izin HTI (Hutan
Tanaman Industri) yang seharusnya hanya untuk semak belukar, namun digunakan di
hutan lindung..Kedua adalah sistem lelang. Dengan cara tersebut, oknum-oknum
pembalak liar berusaha melegalkan kayu-kayu yang sebenarnya ilegal. Sedangkan ketiga,
memanfaatkan masyarakat untuk melakukan pembakaran hutan.
Sedangkan di Aceh, ada empat faktor yang menyuburkan praktek illegal
loggingnya, yakni faktor ekonomi masyarakat, proses rekonstruksi, permintaan dari pasar
kayu internasional, dan kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan bahan baku bagi
industri kehutanan nasional. Faktor terakhir ini jika dikaitkan dalam konteks mikro Aceh
tidaklah terlalu berpengaruh besar, hal ini dimungkinkan dengan pemberlakuan kebijakan
jeda tebang (moratorium logging) dan kebutuhan industri hilir kehutanan yang relatif
kecil, tetapi jika kemudian ditarik dalam konteks makro secara lebih besar diluar
kebutuhan industri hilir kehutanan Aceh, sangat dimungkinkan bahwa hutan Aceh
dibabat untuk memenuhi industri hilir kehutanan diluar Aceh secara illegal.
Laporan NRM, MFP, Bappenas, dan FFWG pada tahun 2004 menunjukkan bahwa untuk
pemenuhan 53 juta meter kubik kayu untuk kebutuhan industri kehutanan di Indonesia,
68% - nya berasal dari tebangan liar atau sekitar 36 juta meter kubik.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh - Nias, boleh saja berdalih
bahwa kebutuhan kayu rekonstruksi bisa diatasi dengan pemenuhan kayu import dan
kayu yang berasal dari kebun, atau dengan dalih mengontrol setiap pembangunan
rehabilitasi dan rekonstruksi sebisa mungkin tidak menggunakan kayu illegal. Terlepas
dari kebenaran dalih tersebut, kasus illegal logging di Aceh tetap merupakan faktor
utama untuk memenuhi kebutuhan kayu rekonstruksi, asumsi pertama, dengan banyaknya
pelaku rekonstruksi di Aceh, sangat tidak mungkin BRR Aceh - Nias mampu mengontrol
setiap penggunaan kayu yang digunakan, kedua, pada masa rekonstruksi tidak ada
pemegang konsesi pengusahaan hutan (HPH dan IPK) yang beroperasi dan, ketiga, pada
pertengahan tahun 2007 Aceh telah memberlakukan kebijakan jeda tebang diseluruh
hutan Aceh.
Indonesia adalah pemilik 126,8 juta hektar hutan. Hutan seluas ini merupakan
tempat tinggal dan pendukung kehidupan 46 juta penduduk lingkar hutan. Namun, saat
ini, hutan di Indonesia berada dalam kondisi kritis. Laju perusakan hutan di Indonesia
mencapai 2 juta hektar per tahun. Artinya, tiap tahun Indonesia kehilangan areal hutan
kurang lebih seluas Pulau Bali. Kerusakan hutan dipicu oleh tingginya permintaan pasar
dunia terhadap kayu, meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit, korupsi dan
tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat dalam pengelolaan hutan.
Mengejutkan memang ketika melihat angka – angka pencatatan ekspor kayu
Indonesia, terjadi perbedaan data 100 persen antara laporan volume ekspor dengan yang
tercatat pada negara tujuan. Sebagai contoh, pada laporan ekspor kayu log Departemen
Kehutanan, Indonesia mengekspor 4.500 meter kubik kayu log ke Australia, tetapi yang
tercatat kenegara tujuan mencapai 32.000 meter kubik, artinya terjadi perbedaan hampir
86 persen, yang lebih mengejutkan justru terjadi pada Malaysia, Indonesia mencatatkan
nol meter kubik ekspor kayu log ke negara ini, tetapi yang tercatat di Malaysia justru
sejumlah 623 ribu meter kubik, kasus serupa hampir serupa terjadi pada ekspor kayu log
Indonesia ke negara – negara Uni Eropa.
Pengkoordinasian antara semua pihak – pihak yang terkait mulai dari tingkat
menteri, dinas kehutanan, petugas AMDAL, polisi, masyarakat, dan semua unsur – unsur
yang terkait dapat bekerja sama dalam menangani permasalahan – permasalahan tersebut,
karena realitas yang ada di lapangan cenderung pihak – pihak yang seharusnya bertugas
mengatasi permasalahan tersebut justru membantu para pelaku pembalakan liar. Bahkan
tidak sedikit yang menjadi pelaku illegal logging itu sendiri. Pengkoordiansian antara
semua pihak – pihak yang dimaksud yaitu adanya kesatuan suara dari semua pihak
tersebut untuk menghindari kesalahpahaman dalam menangani kasus illegal logging,
seperti misalnya dalam penanganan beberapa kasus illegal logging di mana polisi telah
menangkap para pelaku
DAFTAR PUSTAKA
JUDUL : KORUPSI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gencarnya pemberitaan di media massa seputar meninggalnya Soeharto mampu
menutupi pemberitaan pelaksanaan Konferensi Kedua Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi Dunia (The Second Session of the Conference of the states parties to the United
Nations Convention Against Corruption-CSP-2 UNCAC) yang berlangsung di Bali.
Ironisnya lagi, Konferensi tersebut gagal dijadikan momentum penting bagi Pemerintah
Indonesia dalam memerangi korupsi, terutama dalam mengembalikan asset negara yang
telah dilarikan para koruptor kita ke luar negeri, termasuk kasus Soeharto.
Menurut PBB dan Bank Dunia, besarnya asset yang dilarikan ke luar negeri oleh
pemimpin yang korup mencapai 40 miliar dollar AS (Rp 376 triliun) setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil survei Transparency International 2007, Indonesia merupakan negara
terkorup, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, seperti
Singapura dan Malaysia. Dimana, indeks persepsi korupsi (Corruption Perception
Index/CPI) Indonesia pada kisaran 2,3. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan tahun 2006
(2,4). Disamping itu, Indonesia ditetapkan sebagai negara kelima terkorup di dunia dari
146 negara yang telah di survei.
Sebagai gambaran, kita bisa bercermin dari hasil survei yang dibuat Meil Lynch
Singapura akhir tahun 2005. Dimana, total asset orang kaya yang ada di Bank Singapura
mencapai 260 miliar dollar AS dari 55.000 orang. Namun, sepertiganya atau sekitar
18.000 orang berasal dari Indonesia dengan total kekayaan diperkirakan sekitar 87 miliar
dollar AS (Rp 800 triliun). Pada tanggal 2 April 2007, Kejaksaan Agung membuat daftar
nama 20 buronan yang berstatus tersangka maupun terpidana pada kasus korupsi yang
melarikan diri ke Singapura. Misalnya, Sentoso Hendra Raharja tersangka kasus korupsi
Bank Harapan, diduga memiliki rekening yang diperkirakan sekitar 6-7 triliun rupiah di
Bank Singapura.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini meliputi pengertian korupsi sebagai salah satu dari bentuk kejahatan
transnasional. Kasusi korupsi terus meningkat dengan modus operandi yang makin
beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi juga melibatkan
negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional baik melalui
kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam mengatasi
kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam dengan
orangisasi internasional yang terkait,
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan korupsi pada
mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
12. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola korupsi
13. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus korupsi
14. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi korupsi
15. Mampu menganaisis kasus illegal fishing dan illegal loging dengan memberikan
solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
14. Keaktifan di kelas
15. tata kerama/ sopan santun
16. Kerjasam team
17. keaktifan berdiskusi
18. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
19. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
20. Mampu menganalisis kasus korupsi di Negara berkembang, khususnya di
Indonesa
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
MODUL IV
JUDUL : DRUGS TRAFFICKING
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan pengertian Drug Trafficking Act tahun 1994 United Kingdom dapat
dikemukakan meliputi segala kegiatan produksi suplai controlled drug baik mengimpor
maupun mengekspornya melalui pasar gelap. Seperti halnya terorisme, negara biasanya
menjadi aktor Drug Trafficking, selain itu dilakukan oleh aktor kamuflase adalah agen-
agen resmi yang terlibat dalam penyelundupan yang dilakukan di pasar gelap.
Perdagangan obat terlarang terus meningkat setiap tahunnya yang tidak hanya melibatkan
individu, organisasi (sindikat) tetapi negara.
Kolombia sebagai negara pemasok utama, banyak kartel terdapat di negara ini.
Kausu tahun 2006 pemasok dari Kolombia melintasi daerah perbatasan jalur darat,
melalui Meksiko masuk ke Amerika. Konsumen utama mereka adalah warga negara
Amerika. Namun, perdagangan umat yang melewati batas negara yang dilakukan oleh
sindikat jauh lebih besar dan terorganisir dengan baik. Indonesia merupakan surga bagi
pelaku perdagangan obat akibat dari lemahnya hukum yang menjerat pelaku, sistem
pengamanan dan para aparat yang korup.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini meliputi pengertian korupsi sebagai salah satu dari bentuk kejahatan
transnasional. Kasusi korupsi terus meningkat dengan modus operandi yang makin
beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi juga melibatkan
negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional baik melalui
kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam mengatasi
kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam dengan
orangisasi internasional yang terkait,
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan drug trafificking
pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
16. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola drug trafificking
17. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus drug
trafificking i
18. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi drug trafificking
19. Mampu menganaisis kasus illegal fishing dan illegal loging dengan memberikan
solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
21. Keaktifan di kelas
22. tata kerama/ sopan santun
23. Kerjasam team
24. keaktifan berdiskusi
25. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
26. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
27. Mampu menganalisis kasus korupsi di Negara berkembang, khususnya di
Indonesa
BAB II PEMBAHASAN
IDrugs trafficking atau Illegal drug trade atau perdagangan gelap narkoba adalah istilah
untuk sebuah pasar gelap global yang meliputi penanaman, pengolahan, distribusi, dan
penjualan narkoba secara ilegal. Sedangkan narkoba (narkotika dan obat berbahaya)1
sendiri adalah istilah yang merujuk kepada narkotika dan obat-obat terlarang, yakni
sejenis obat tapi tidak dipergunakan sebagai obat dalam dunia kedokteran, seperti opium,
ekstasi, morfin, mariyuana, heroin, dsb. Pada awalnya narkotika merupakan alat yang
bersifat meditatif untuk mengobati rasa sakit yang dikenal dengan sebutan “candu”.
Namun, seiring dengan perkembangannya, narkotika telah mengalami pergeseran fungsi
dan manfaat, Ketika pada zaman modern ini narkotika mulai menjadi bagian dari gaya
1
www. Kapanlagi.com. sejarah narkoba
hidup konsumerisme dilihat dari dosis yang dikonsumsi dan tujuan
mengonsumsinya.Narkotika mulai diperdagangkan oleh pedagang bangsa Arab di negara
China. Sekitar abad XVIII, China mulai mengimpor narkotika dari India melalui
pedagang Portugis. Abad XIX, perdagangan Inggris menggeser perdagangan Portugis
dalam monopoli suplai opium melalui East Indian Company.
Akibat pengaruh buruknya terhadap masyarakat, tahun 1796 Kaisar China
memberlakukan pelarangan penggunaan opium, dilanjutkan dengan menyita candu milik
Inggris pada tahun 1839, tindakan yang memicu Perang Candu pada tahun 1840-1842.
Perang inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa Hongkong harus diserahkan
pada Inggris hingga tahun 1997, sebagai kompensasi kekalahan China dalam perang ini.
Namun demikian, sejarah kelam terbukti tak menjadi penghambat bagi perkembangan
narkoba untuk menjadi komoditi kelas dunia. Bahkan China sendiri yang jelas-jelas
pernah menjadi korban barang jahat tersebut tak mampu melepaskan diri dari jerat
perdagangan narkoba yang makin merusak. Bahkan termasuk salah satu negara dengan
kasus terbanyak di kawasan Asia bersama Indonesia, Pakistan, Thailand, Indonesia,
Afganistan, Laos, dan Myanmar.
Nominal transaksi perdagangan narkoba dunia saat ini mencapai US$ 400 miliar
atau hampir setara dengan 4.000 triliun, yang juga berarti bahwa transaksi narkoba per
harinya mencapai lebih dari satu triliun, dan terus bertambah setiap saatnya Laporan
UNODC (United Nation on Drug and Crime) tahun 2003 menyebutkan, sekitar 200 juta
orang atau sekitar 5% penduduk di seluruh dunia adalah pengguna narkoba, dengan usia
15-64 tahun, dengan perkiraan 140 juta penguna ganja, 8 juta pengguna heroin, 13 juta
menggunakan kokain, dan 30 juta pengguna obat terlarang lainya seperti ekstasi, shabu,
dan pil psikotropika. Terbongkarnya jaringan mafia pengedar narkotika dan obat obatan
di sejumlah wilayah di Indonesia Desember 2007 lalu, disusul dengan penangkapan
sejumlah artis dan penyanyi Indonesia yang terlibat dengan benda mematikan itu,
menunjukkan pasar narkoba di Indonesia kian menakjubkan.
Jalur distribusi narkoba ke dan dari Indonesia memperlihatkan jaringan gelap narkoba
yang makin luas. Melihat jalur distribusinya Indonesia bukan lagi merupakan daerah
transit tetapi sudah menjadi daerah tujuan dan produksi. Penemuan pabrik narkoba
terbesar di Tangerang maupun Batu, Jawa Timur menjadi contoh nyata. Baukan hanya
itu, bahkan di empat kota lain juga ditemukan pabrik yang beroperasi di bidang yang
sama, di Batam, Riau dan 1 di Pluit, Jakarta Utara, dan ternyata ada 4 lokasi lain. Namun
tidak disebutkan lokasinya.
Dewasa ini memang sangat sulit untuk menyatakan bahwa ada negara yang
tidak terlibat dalam praktik perdagangan gelap narkotika dunia. Sebab mata rantai
sindikat illegal drugs trafficking oleh mafia-mafia kriminal sudah begitu kompleksnya,
tak terkecuali Indonesia. Data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN),
akhir 2007 lalu bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi pasar terbesar bagi
perdagangan narkoba internasional. Hal ini tidak mengherankan mengingat sejak tahun
2005 Indonesia sudah masuk dalam tiga besar peredaran narkoba dunia (terutama untuk
jenis sabu), dan berada diurutan ketiga setelah Cina dan Amerika Badan Narkotika
Nasinal (BNN) Nasional RI mengungkapkan, jalur peredaran narkotika secara ilegal ke
Indonesia itu paling banyak berasal dari wilayah segitiga emas (Thailand, Myanmar, dan
Laos). Pemasok lainnya berasal dari Iran, Pakistan, dan Afganishtan, yang produksinya
sudah hampir mencapai 4.000 ton per tahun
Lebih lanjut, juga dikatakan bahwa pengedar hingga produsen narkotika dan
psikotropika yang masuk ke Indonesia didominasi oleh warga Afrika, sedangkan bahan-
bahan pembuat obat-obatan psikotropika yang dikerjakan oleh orang Indonesia
kebanyakan didatangkan dari Malaysia dan Hongkong. Selain itu, BNN juga
menambahkan bahwa peringkat teratas peredaran narkoba di Indonesia berada di Jawa
Timur.
Data terbaru yang dikeluarkan akhir Januari 2008 mengungkap bahwa saat ini, di
Indonesia terdapat sekitar 557.000 orang pecandu heroin, dan sekitar 2,9 hingga 3,2 juta
orang menyalahgunakan narkoba. Rata-rata penggunaan heroin per pecandu per hari
mencapai 0,1 gram. Dengan demikian, konsumsi narkoba bagi pecandu di Indonesia
mencapai 1,6 ton perbulan. Kondisi ini menyebabkan angka kematian akibat narkoba di
Indonesia mencapai 15.000 orang pertahun. Bahkan secara terpisah, UNODC (United
Nations On Drugs and Crime), menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
penyuplai ganja terbesar di Asia Tenggara. Belum cukup, dalam satu studi yang
dilakukan di Australia oleh Dewan Nasional Australia untuk Obat-obat Terlarang,
ditemukan bahwa terjadi peningkatan kasus perdagangan narkoba di Indonesia dan
China.
Secara umum, masalah peredaran drugs merupakan masalah serius yang dihadapi
dunia saat ini. Indonesia bukanlah satu-satunya negara diwilayah Asia Tenggara yang
terkait dengan jaringan perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang di Asia
Tenggara. Namun, beberapa tahun terakhir perkembangan upaya preventif terhadap
penyebaran narkoba di wilayah Asia Tenggara cukup menunjukkan perubahan berarti ke
arah yang lebih baik. Hal ini didukung oleh adanya keinginan bekerjasama dari
pemerintah negara sekawasan untuk memulihkan kondisi perekonomian di negaranya,
dimana bidang ekonomi tersebut merupakan ekses langsung yang paling dapat dirasakan
sebagai efek negatif dari tindakan sindikat perdagangan narkotika ilegal yang pada
umumnya didapatkan melalui pencucian uang hasil peredaran.
Banyak pihak yang mengakui bahwa sangat sulit memutuskan mata rantai
sindikat perdagangan gelap narkoba karena pasar dunia telah terlanjur keranjingan
narkoba dengan segala “keuntungan haram” yang sangat menjanjikan dibaliknya. Selain
itu, banyak negara yang justru menjadikan narkoba sebagai pendapatan petani dan
penduduknya, seperti kokain di Amerika Selatan, opium di Afganishtan, dan wilayah
pegunungan di Asia Tengah, serta negara-negara di segitiga emas. Masalah semakin
rumit karena dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak diantara pedagang narkoba yang
tidak membayar pemasok mereka dengan uang, melainkan dengan produk narkoba,
sehingga terjadi pola hubungan sirkulatif dalam perdagangan narkotika dengan bahan
candu yang variatif meski dengan aktor yang tetap.
Masalah lain dalam penegakan hukum antipencucian uang adalah pembuktian.
Apalagi, kejahatan pencucian uang bukan merupakan kejahatan tunggal, tetapi ganda.
Tuntutan akan suatu perbuatan pencucian uang mengharuskan pembuktian dua bentuk
kejahatan sekaligus, yakni pembuktian perbuatan pencucian uang (follow up crime) itu
sendiri dan pembuktian bahwa uang tersebut adalah ilegal. Peran PPATK, penyedia jasa
keuangan, dan masyarakat akan menentukan sukses tidaknya pemberantasan pencucian
uang di Indonesia.Hal lain yang turut memegang andil dalam mempersulit penegak
hukum untuk melakukan tindakan represif adalah berkembangnya jenis narkotika yang
lebih mudah dikontrol tanpa menghilangkan euphoria, meskipun di Indonesia sendiri
peraturan mengenai produksi dan konsumsi jenis narkotika yang legal telah ditetapkan
dalam UU no.22 tahun 1997 Bab V pasal 32. Di samping itu, banyak diantara obat-
obatan itu kini diproduksi secara legal di pabrik farmasi. Belum lagi adanya kenyataan
bahwa di kalangan penegak hukum sendiri kurang terjalin koordinasi yang cukup baik,
pihak internasional dan domestik. Adanya organisasi-organisasi pelindung (biasa dikenal
dengan istilah gembong narkoba) yang sangat berkuasa, turut menyulut instabilitas dan
ketidakamanan serta mempersulit pemerintah untuk menegakkan kaidah hukum. Sering
didapati sejumlah pejabat di suatu negara harus tewas di tangan mafia karena berusaha
memerangi eksistensi mafia narkotika di negaranya.
Meleburnya batas negara atas nama globalisasi semakin mempersulit upaya
pemberantasan perdagangan gelap narkoba. Globalisasi menghilangkan pengecekan antar
negara, mempermudah peredaran uang antar negara sehingga memudahkan pencucian
uang. Parahnya lagi, saat ini diduga ada beberapa negara yang secara terselubung ikut
andil dalam mensponsori perdagangan narkoba ini. Seperti baru-baru ini, Amerika
Serikat mengungkapkan besarnya kemungkinan keterlibatan Korea Utara dalam
perdagangan narkotika yang disponsori negara. Tudingan ini mengutip bukti penahanan
sebuah kapal yang dicurigai mengangkut 125 kg heroin, yang diperkuat kesaksian pekerja
partai Korut. Perdagangan narkotika oleh negara adalah suatu konspirasi antara para
pejabat tingkat tinggi dari partai atau pemerintah yang berkuasa dan bawahan mereka
untuk menanam, membuat, dan atau memperdagangkan narkotika dengan pengampunan
hukuman melalui pemanfaatan -tetapi tidak terbatas pada aset-aset yang dimiliki negara.
BAB III PENUTUP
Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan
bentuk korupsi sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya,
DAFTAR PUSTAKA
Can, Edi. 2005. Setiap tahun 15 ribu tewas akibat narkoba. TEMPO Interaktif.
Sri Hartati Samhadi. Kompas, 24 November 2007., Defending Human Rights for Drugs
Users,
copy right 2007
Harian suara merdeka. Korut Diduga Terlibat Perdagangan Narkoba. Edisi :Eabu, 3
Maret 2004
MODUL V
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Money Loundering diterjemahkan dengan pemutihan uang atau pencucian uang
adalah kejahatan yang bertujuan untuk melindungi atau menutupi suatu aktivitas
crimimal yang menjadi sumber dari dana atau uang yang akan dibersihkan. Mantan
Managing Director INF, Michael Camdessus yang membuat statement bahwa kasus
Money Loundering di seluruh dunia berkisar antara 2-5% dari Gross Domestic Product
(GDP) dunia. Kasus money loundring terus meningkat setiap tahunnya dengan modus
yang main beragam. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan perlu penanganan antar
negara untuk meminimalkan kerugian yang lebih luas.
Tahun 2003-2006, ada 433 kasus dengan nilai total setara Rp 100 trilliun dicurigai
terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Dugaan tindak kriminal yang terkait dengan
Money Loundering itu adalah korupsi/penggelapan sebanyak 178 kasus, penipuan 157
kasus, kejahatan perbankan 27, pemalsuan dokumen 19, teroris 5, penggelapan pajak 4,
perjudian 3, penyuapan 7, narkotika 3, pornografi anak 1, pemalsuan uang 4, pencucian
1, pembalakan liar 4, tidak teridentikasi 20. Dari sisi penyedia Jasa Keuangan (PJK)
pelapornya terdiri dari bank sebanyak 421 dan non bank 12. Non bank terdiri dari
pedagang valuta asing 7 dan perusahaan pembiayaan 5. Selain adanya laporan
pembawaan uang melewati daerah kepabeaan sebanyak 2.432 laporan dari 5 pelabuhan
dan pos. PPATK juga menerima laporan transaksi cash dengan nilai di atas Rp.500 juta
melalui PJK sebanyak 1.968.180 laporan.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini meliputi pengertian money laundering sebagai salah satu dari bentuk
kejahatan transnasional. Kasusi money laundering terus meningkat dengan modus
operandi yang makin beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi
juga melibatkan negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional
baik melalui kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam
mengatasi kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam
dengan orangisasi internasional yang terkait,
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan money laundering
pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
20. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola money laundering
21. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus money
laundering
22. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi money laundering
23. Mampu menganaisis kasus money laundering dengan memberikan solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
28. Keaktifan di kelas
29. tata kerama/ sopan santun
30. Kerjasam team
31. keaktifan berdiskusi
32. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
33. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
34. Mampu menganalisis kasus money laundering Negara berkembang, khususnya di
Indonesa
BAB II PEMBAHASAN
Kejahatan peredaran gelap narkoba telah lama diyakini memiliki kaitan erat
dengan proses pencucian uang dan tegolong sebagai organized crime, dimana metode
pencucian uang ini digunakan adalah untuk menyembunyikan, menyamarkan, atau
mengaburkan hasil bisnis ilegal tersebut agar tampak seolah-olah berasal dari bisnis yang
sah.Gerard Wyrsch (1990) mengungkapkan, pencucian uang yang berasal dari bisnis
narkotika di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 100-300 milyar dolar per tahunnya.
Di Eropa diperkirakan mencapai 300-500 dolar per tahun. FATF (Financial Action Task
Force on Money Laundering) dalam annual report tahun 1995-1996 memperkirakan
sekitar 600 milyar hingga 1 triliun dolar dicuci per tahunnya. Perkiraan jumlah tersebut
terus meningkat tiap tahun sehingga dikenallah istilah narco dollar.
Saat ini, total nilai pencucian uang haram dunia telah mencapai 2-5 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) dunia atau mencapai satu trilyun dolar AS tiap tahunnya.
Nilai ini merupakan urutan ketiga dari industri terbesar yang beroperasi di dunia.
Sedangkan kontribusi terbesar dari money laundring adalah drug trafficking (pedagangan
obat-obat terlarang) yang mencapai 400 milyar dolar AS. Sedangkan narcotics
trafficking, arms trafficking, bank fraud, securities fraud, counterfeiting, dan kejahatan
sejenis mencapai 600 milyar dolar AS. Bisa dipahami jika negara yang melindungi
praktik money laundering dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dunia.
Dari sini dapat terlihat dengan jelas bahwa keberhasilan penanganan peredaran gelap
narkoba bergantung banyak pada efektivitas rezim anti pencucian uang. Karenanya,
mengungkap perdagangan gelap narkoba bisa dilakukan dengan membongkar praktek
pencucian uang di Indonesia.
Ada tiga proses umum metode pencucian uang yang biasa dilakukan. Pertama,
placement, yaitu proses pemecahan uang tunai dalam jumlah yang sangat besar kedalam
jumlah yang lebih kecil lalu didepositokan ke dalam rekening di suatu bank. Bisa juga
dengan pembelian sejumlah instrument moneter. Contohnya, apabila seorang pengedar
mendapatkan hasil lima juta dollar. Dia ingin memasukkan hasil tersebut ke dalam
sistem perbankan. Dengan dana yang sebesar itu, akan sangat mencolok apabila
disesuaikan dengan prosedur biasa, sehingga dipakailah surat berharga atau juga
rekening-rekening acoount dari bank. Kedua, layering, yaitu tahap penyamaran dan
pemisahan hasil pencucian ke dalam banyak rekening, dari bank ke bank, dari negara ke
negara. Ketiga, integration yaitu tahap sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih
untuk kembali melakukan kegiatan operasi dari penjahat yang mengendalikan.
Praktik pencucian uang haram (money laundering) yang terjadi dalam sistem
perekonomian Indonesia masih terbilang sangat tinggi. Indonesia, berdasarkan data
Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat, ternyata dimasukkan dalam daftar utama tempat pencucian uang.
Jumlah transaksi yang dihasilkan dari peredaran gelap narkoba di Indonesia mencapai
300 triliun pertahun. Fakta ini jelas menuntut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) untuk bekerja lebih keras dalam pemberantasan money laundering.
Mengenai jaringan sindikat perdagangan narkoba tersebut, kepala Pusat Represif
Badan Narkotika Nasional (BNN), Brigjen Alex Bambang Riatmojo, mengemukakan
bahwa para pelaku berasal dari berbagai negara, terutama dari Afrika yang memiliki
sistem mobilitas tinggi dan sistem security atau kerahasiaan yang begitu rumit (sistem
cut) seperti Ghana, Nigeria, dan Liberia. Beliau juga mengungkapkan, salah satu kendala
dalam upaya pemberantasan tindak pidana jenis ini adalah kenyataan bahwa sering sekali
aksi ini melibatkan jaringan internasional, sehingga seringkali mereka harus melacak
sampai ke luar negeri. Meskipun demikian, mau tak mau, masalah ini harus segera diatas
jika Indonesia serius dengan misi internasionalnya, dengan segala keinginannya untuk
membuat Indonesia menjadi seperti negara-negara maju lain.
kinerja ekspor Indonesia selama ini masih jauh dari memuaskan, meski selama
tahun 2004 telah naik 11,49 persen di posisi 69,71 milyar dolar AS. Nilai itu belum
memadai untuk menyokong pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada 6,6 persen per
tahun. Tak cuma ekspor, investasi juga bakal terganggu. Saat ini saja realisasi dari
persetujuan dari Penanaman Modal Asing (PMA) menurun dari 5,4 milyar dolar AS
menjadi hanya 4,6 milyar dolar AS di tahun 2004. Tahun investasi yang dicanangkan
selama 2003 dan 2004 belum memberikan hasil jelas.
iduga penyebab utamanya adalah masalah kepastian hukum dan sulitnya
perizinan di Indonesia, termasuk konsen investor terhadap maraknya korupsi di Indonesia
dan tingginya praktik money laundering. Tidak cuma investor, kancah pergaulan
internasional Indonesia juga akan terganggu. Maka, tak heran kalau Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono cepat-cepat mengirim surat pada FATF melalui Menteri Sekretaris
Negara untuk segera mengeluarkan Indonesia dari dafar hitam negara pencuci uang.Yang
menjadi sasaran memang sistem keuangan. Artinya, jika terus dirongrong tanpa
penindakan jelas dari para penegak hukum, harapan untuk meningkatkan investasi bisa
saja nihil. Ini masuk akal karena money laundring secara nyata bisa mengganggu
keberadaan perusahaan yang sah. Melalui pencampur adukan uang halal-haram maka
perusahaan pencucian uang akan mudah menjual barang/jasa di bawah harga pasar,
akibatnya perusahaan sah akan sulit bersaing.
BUMN juga bakal berimbas. Karena uang dari kejahatan amat besar jumlahnya,
maka melalui dana itu pulalah tak tertutup kemungkinan masuknya uang haram melalui
program privatisasi pemerintah. Bahayanya, bisnis tidak akan dijalankan untuk mengejar
keuntungan melainkan semata mencuci uang. Lebih mengkhawatirkan, jika pencucian
uang dianggap dilakukan negara, maka bisa merusak kepercayaan internasional dan
secara otomatis kehilangan kesempatan untuk berinvestasi pada tataran global. Dalam hal
pengendalian moneter, pemerintah juga bakal disulitkan. Sebab, baik pemerintah atau BI
akan kesulitan mengendalikan mata uang dan juga suku bunga akibat penanaman modal
dari para pencuci uang umumnya bukan pada negara yang memberikan rate of return
yang tinggi melainkan yang sulit dideteksi.
al ini pulalah yang menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap instabilitas
moneter akibat terjadinya misalokasi sumber daya karena distorsi aset dan harga-harga
komoditas yang direkayasa. Meningkatnya permintan uang bisa mempengaruhi volatilias
terhadap modal internasional, suku bunga dan nilai mata uang sehingga sulit mencapai
kebijakan makroekonomi yang sehat dan stabilitas makro.Tindakan ini, seperti diakui
oleh Amerika Serikat dan Kanada, sangat berdampak buruk terhadap negara, sebab,
selain merongrong integritas pasar-pasar keuangan dan pihak swasta yang sah, money
laundry juga mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kegiatan
ekonominya. Selain itu, tindakan ini juga menyebabkan hilangnya pendapatan negara dari
sumber pembayaran pajak akibat pencucian uang, serta sangat membahayakan upaya
privatisasi perusahaan negara yang dilakukan oleh negara.
Alasan lain yang turut mendorong maraknya kejahatan ini, khususnya di
Indonesia, adalah adanya rezim devisa bebas yang memungkinkan siapa saja yang
memiliki devisa, dapat menggunakannya untuk kegiatan apapun; kemajuan teknologi di
bidang informasi terutama penggunaan internet memungkinkan kejahatan terorganisir;
ketentuan rahasia bank yang meskipun Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang
telah menghapuskan ketentuan tersebut, tetap saja masih diberlakukan secara ketat;
ketentuan hukum mengenai kerahasiaan hubungan antara pengacara dan klien serta antara
akuntan dan klien yang makin mempersulit penyelidikan; lemahnya penegakan hukum
dan kurangnya profesionalitas aparat penegak hukum; dan masih banyak lagi.
Ditinjau dari posisi geografis Indonesia memang suatu wilayah sentral bagi lalu
lintas perdagangan narkoba antara Asia dan Australia. Semakin meningkatnya kasus-
kasus yang melibatkan warga negara asing menunjukkan bahwa Indonesia sudah sejak
lama menjadi target utama sindikat Internasional perdagangan obat terlarang.Sebagai
bentuk kejahatan yang relatif baru di Indonesia, penanganan money laundering memang
tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada dua masalah besar dalam pelaksanaan
penegakan hukum antipencucian uang ini, yakni kerahasiaan bank dan pembuktian.
Penerapan prinsip mengenal nasabah merupakan salah satu langkah konkret identifikasi
nasabah. Selama ini, lembaga penyedia jasa keuangan terbiasa menyimpan rapat-rapat
data mengenai nasabahnya.
UU Money Laundering jelas dianggap melanggar aturan perbankan. UU ini
memang sudah direvisi. Walaupun begitu, beberapa kalangan mengakui bahwa UU ini
jauh dari kesempurnaan. Kelemahan yang dulu sempat tampak pada UU No. 15/2002
adalah terbatasnya jenis tindak pidana yang dapat dijerat dengan UU tersebut. Dalam
amendemen UU baru ini, ditambahkan sembilan jenis tindak pidana, sehingga jumlah
totalnya menjadi 24 tindak pidana asal. Salah satu tindak pidana baru yang dimasukkan
adalah perjudian. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengakui, salah
satu kelemahan UU ini adalah tetap tidak bisa menjerat hasil perjudian yang dilakukan di
luar Indonesia.
Sebenarnya, di satu sisi, dimasukkannya perjudian ke dalam UU ini bernilai
positif. Tetapi, sayang, hal itu hanya menyelesaikan sebagian masalah terkait dengan
pengharaman uang perjudian dalam UU Antipencucian Uang. UU ini belum sepenuhnya
mampu mencegah uang haram hasil perjudian masuk ke dalam sistem keuangan di
Indonesia. Intinya, hal itu hanya sebatas mengriminalisasi, dan tidak dapat menjangkau,
seperti yang dilakukan di luar negeri. Dengan asas double criminality yang dianut
Indonesia, kejahatan bukan hanya harus diakui di Indonesia, tapi juga harus diakui di
negara lain. Sehingga, Pemerintah Indonesia tidak bisa menjerat orang yang menransfer
uang hasil perjudian dari negara yang melegalkan perjudian ke Indonesia. Australia,
misalnya. Indonesia tidak bisa melakukan kerja sama dengan Australia, karena negara
tersebut melegalkan perjudian.
Hingga saat ini telah terbentuk beberapa undang-undang yang diharapkan mampu
mengatasi masalah perdagangan gelap narkotika ini. Diantaranya: International Opium
Convention Convention of 1931 Suppression of Smoking, Convention for the Suppress of
the Illicit Traffic in Dangerous Drugs of 1946, dan Single Convention Narcotics Drugs
1961 yang dianggap paling universal dalam pengawasan obat bius, dimana konvensi ini
meliputi perjanjian multilateral dengan sejumlah besar negara-negara anggota PBB.
Selain itu juga dikeluarkan Convention on Psychotropics and Substances of 1971, yang
merupakan sistem kontrol terhadap obat-obat kimia dan farmasi.
United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances (tahun 1988) merupakan titik puncak peraturan untuk
pemberantasan pencucian uang dari kejahatan peredaran gelap narkotika dan
psikotropika. Konvensi ini mengharuskan tiap negara anggota memberlakukan
kriminalisasi pencucian uang yang berkaitan dengan peredaran gelap obat-obat bius,
mengatur ketentuan mengenai daftar pelanggaran yang berkaitan dengan industri,
distribusi atau penjualan gelap dari obat bius dan organisasi serta pengelolaannya,
konvensi ini pulalah yang mengokohkan terbentuknya International Anti Money
Laundering Legal Regime yang merupakan salah satu upaya internasional untuk
menetapkan rezim hukum internasional dalam badan internasional. Indonesia meratifikasi
konvensi ini melalui UU No. 17 tahun 1997.
Selain itu, United Nation Congress on the Prevention on Crimes and Treatments
of Offenders pada tahun 1995, berisi 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai, dengan
pencucian uang menempati urutan pertama. pada April tahun 2002, Indonesia
mengeluarkan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai bentuk ratifikasi
terhadap konvensi tersebut. Sejak tahun 1993 Indonesia telah memberlakukan hukuman
mati terhadap para pelanggar tindak pidana di bidang narkoba. Peraturan-peraturan
perundang-undangan RI yang didalamnya mengatur penjelasan tentang sanksi hukuman
mati kepada pelaku sindikat peredaran gelap narkoba diatur dalam UU RI No. 22 Tahun
1997 khusunya pasal 81, pasal 82, dan pasal 83. Meskipun sempat terjadi perdebatan
untuk permohonan uji materi mengenai efisien tidaknya pemberlakuan hukuman mati ini,
tapi hingga saat ini Undang-undang tersebut belum diubah. Masih banyak pihak yang
masih menganggap bahwa hukuman mati akan dapat membuat efek jera, salah satunya
Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal Polisi I
Made Mangku Pastika. Meski demikian, hukuman sebenarnya hanyalah sebagai salah
satu metode, pada kenyataannya MK mengeluarkan statement bahwa pidana mati, tidak
bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Indonesia tidak
menganut asas kemutlakan hak asasi manusia. Hak asasi manusia dalam Undang-
Undang 1945 dibatasi oleh pasal kunci yaitu pasal 28J, yaitu hak asasi seseorang
digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi
berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
` Disisi lain, dengan semakin maraknya perdagangan gelap narkoba, Ditjen Bea dan
Cukai Departemen Keuangan terus meningkatkan pengamanan di berbagai pelabuhan
besar di Indonesia untuk mencegah penyelundupan narkoba. Upaya pemberantasan
drugs trafficking ini juga diikuti dengan peningkatan koordinasi dengan aparat dan
instansi terkait, seperti kepolisian. Meskipun demikian, menghentikan peredaran narkoba
tidak cukup hanya diatasi dengan penegakan hukum sebagai bagian dari reduksi suplai.
Dalam hal ini, penegakan hukum memang sangat diperlukan, tetapi pengurangan
permintaan dan pengurangan dampak buruk juga diperlukan.
Sekadar perbandingan, Mae Fah Luang Foundation, sebuah yayasan di Thailand,
telah berhasil memberantas penanaman opium melalui pengentasan kemiskinan di
jantung wilayah segitiga emas Chiang Rai, Thailand bagian utara. Kini, yayasan ini
mencoba membantu beberapa negara berkembang yang memiliki masalah yang sama
dengan Aceh. Upaya lain yang coba ditempuh oleh pemerintah adalah upaya preventif
dengan menyebarkan informasi tentang bahaya penyalahgunaan narkotika dan sanksi
hukumnya. Jauh sebelum itu terbentuk, ada empat pilar yang harus diperkuat. Yakni,
perundang-undangan dan hubungan masyarakat; sumber daya manusia dan teknologi
informasi; analisis dan kepatuhan, serta kerja sama domestik dan internasional.
Kesemuanya bermuara pada sejauhmana berbagai pihak bisa mendukung tujuan
dimaksud. Yang jelas meski telah dinyatakan lulus dari daftar hitam pencuci uang ada
enam catatan yang harus diperhatikan. Pertama, meningkatkan pelaporan dari bank-bank
kecil. Kedua, meningkatkan capacity building dari penegak hukum. Ketiga,
menyelesaikan perkara penanganan tindak pidana pencucian uang dalam waktu cepat.
Keempat, audit terhadap penyedia jasa keuangan. Kelima, menyelesaikan draft RUU
hukum timbal balik dan keenam, memperkuat efektivitas profesional PPATK.
DAFTAR PUSTAKA
Can, Edi. 2005. Setiap tahun 15 ribu tewas akibat narkoba. TEMPO Interaktif.
Husein, Yunus. Hubungan antara kejahatan peredaran gelap narkoba dan tindak pidana
pencucian uang.
Sri Hartati Samhadi. Kompas, 24 November 2007., Defending Human Rights for Drugs
Users,
copy right 2007
_______, www.Kapanlagi.com, Drug trafficking. Acces date : 06 Feb. 2008
Harian suara merdeka. Korut Diduga Terlibat Perdagangan Narkoba. Edisi :Eabu, 3
Maret 2004
MODUL VI
BAB II PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transfer senjata umumnya dimengerti sebagai serangkaian kegiatan negara dan aktor non
negara terlibat untuk memperoleh dan menjual senjata yang meliputi kegiatan-kegiatan
berupa penjualan, perdagangan, pembelian, pengadaan, penyaluran maupun donasi
senjata. Perdagangan senjata illegal didefinisikan oleh komisi pelucutan senjata PBB
sebagai trade which is contrary to the laws of states and/or internasional law. Definisi ini
memunculkan kemungkinan dua jenis pasa senjata illegal: grey market and black market.
Gray market merujuk pada situasi, dimana perdagangan terjadi dengan sepengetahuan
pemerintah nasional, walaupun mungkin melanggar aturan internasional. Sementara
black market merujuk pada perdagangan yang terjadi sepenuhnya di luar control
pemerintahan nasional.
Senjata-senjata yang diperdagangkan biasanya merupakan senjata-senjata kecil.
Dibandingkan dengan senjata pemusnah missal, seperti chemical dan biological
weapons misalnya, senjata api organic jenis yang dikategorikan sebagai small arms and
light weapons – SALW tidak terlalu banyak menarik perhatian. Padahal, small arms
survey 2001, SALW diestimasi sebagai kematian 500 ribu orang di seluruh dunia setiap
tahun. 300 ribu diantaranya berkaitan dengan konflik bersenjata, sementara 200 ribu
lainnya berkaitan dengan kriminalisasi atau insiden lain. SALW-lah sebetulnya weapons
of mass destruction.
B. Ruang Lingkup Isi
Modul ini meliputi pengertian gun traffickingi sebagai salah satu dari bentuk
kejahatan transnasional. Kasus gun traffickingi terus meningkat dengan modus operandi
yang makin beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi juga
melibatkan negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional baik
melalui kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam
mengatasi kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam
dengan orangisasi internasional yang terkait,
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan gun traffickingi
pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
24. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola gun traffickingi
25. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus gun
traffickingi
26. Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi gun traffickingi
27. Mampu menganaisis kasus gun traffickingi dengan memberikan solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
35. Keaktifan di kelas
36. tata kerama/ sopan santun
37. Kerjasam team
38. keaktifan berdiskusi
39. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
40. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
41. Mampu menganalisis kasus gun traffickingi di Negara berkembang, khususnya
di Indonesa
Segala perbuatan, baik atau buruk, pastilah ada faktor penyebabnya masing-
masing, begitu pula halnya dengan perdagangan senjata ilegal. Tindakan ini terjadi
karena memiliki faktor-faktor tertentu, antara lain :
Akses senjata api yang tidak hanya dimiliki oleh aktor negara, tapi juga
dimiliki oleh kalangan luas yang dianggap memenuhi persyaratan yang
ditetapkan, sehingga subyek kepemilikan semakin meluas.
Kurangnya kontrol Pemerintah Nasional, ataupun pihak yang seharusnya
bertanggung jawab atas hal ini.
Tidak adanya transparansi publik mengenai jumlah amunisi ataupun kondisi
persenjataan negara.
Kurangnya pendataan kepemilikan senjata, sehingga bahkan tidak lagi menjadi
jelas yang mana senjata legal dan mana yang ilegal.
Khusus di Indonesia, kurangnya kontrol TNI. Sebagai badan keamanan yang
dipercaya oleh negara, TNI seharusnya memiliki kontrol dan akses lebih
terhadap bidang ini, serta diberi tanggung jawab yang lebih besar terhadap
peredaran senjata dalam negeri.
Motif Pertahanan dan Keamanan (khususnya bagi kelompok separatis yang
dalam upaya mempertahankan dan memperjuangkan idealismenya, sudah
barang tentu sangat membutuhkan pasokan modal sekelas senjata), juga
termasuk individu yang memiliki senjata dengan alasan keamanan.
Motif ekonomi. Senjata, tak pelak merupakan mainan mahal yang dalam
pengelolaannya melibatkan uang dalam jumlah besar. Kondisi ini jelas
memancing banyak orang bermodal untuk terlibat menggeluti bisnis ini.
Semakin banyak orang terlibat, semakin terbuka luas pula kesempatan untuk
melakukan penggelapan atau bisnis yang menyimpang dari legalitas hukum.
Embargo (militer) suatu negara terhadap negara lain. Ketika suatu negara
diembargo, maka dapat dipastikan negara tersebut akan mencari pelarian lain
untuk memenuhi kebutuhan militernya, entah dia berusaha mendapatkannya di
negara lain ataupun terlibat dalam pasar gelap perdagangan senjata.
a. Mancanegara
Negara-negara maju yang selalu menuding negara-negara berkembang sebagai negara
pelanggar hukum internasional (khususnya hukum mengenai gun trafficking ini), jika
diteliti dengan cermat berdasarkan data yang ada, ternyata justru merupakan pelaku
utama dalam bisnis ini. Sebut saja dua negara super power, Rusia dan Amerika.
Keduanya merupakan eksportir terbesar senjata-senjata di dunia saat ini, yang secara
otomatis juga tentu merupakan negara yang memicu semakin meluasnnya
perdagangan gelap senjata. Bahkan, lima negara anggota tetap Dewan Keamanan
PBB merupakan pedagang terbesar senjata dunia. Amerika Serikat, Inggris, Prancis,
Rusia dan Cina, merupakan negara-negara eksportir senjata yang menguasai 88%
penjualan sanjata. Laporan Kongres AS menyebutkan, AS menguasai hampir 42%
pasar persenjataan dunia, yang nilainya mencapai 16,9 milyar dollar pada tahun 2006.
Tempat kedua diduduki Rusia,yang menguasai 21,6% pasar dunia. Dengan besarnya
produksi, ditambah dengan kualitas produk yang memang tak diragukan lagi, tak
heran jika kemudian banyak terjadi kasus penyelunduan senjata dari negara-negara
tersebut.
Jumlahnya :
6 buah
2. Ditemukan 70 peluru 50 peluru Arie Sigit Jl.
tajam.di rumah Ari tajam caliber Rasamala
Sigit. Peluru tersebut 9 mm dan 20 ,
diberikan kepada Ari jenis Menteng
Sigit dari Eyangnya magnum. .
yaitu Jendral Pun
Suharto
3. Kepemilikan senjata Senjata serbu Haryogi Maulani Halaman
api illegal oleh Haryogi laras panjang ( anak ZA Hotel
Maulani anak dari ZA AK-47 dan Maulani, mantan Mercure,
Maulani Pistol Walter Kabakin ) 16
Colt 7,65, Februari
magasen 2000
berisi tujuh
butir peluru.
.4. Dua Prajurit TNI AD Senjata mesin Sersan satu Jakarta
terlibat dalam kasus sedang AA 52 Supartonoi dan
pencurian dan dan ribuan Prajurit Dua
penjualan senjata amunisi Acoaardi Andi
apidan ribuan amunisi Munasir dari
ke pada GAM Brigade Infantri I
Pengamanan
Ibukota/Jaya
Sakti
Sumber: 3
E. Gun Trafficking dalam Studi Hubungan Internasional
Perdagangan senjata ilegal, tak urung sering dikaitkan dengan tindakan terorisme
ataupun tindakan separatisme yang memicu timbulnya banyak korban di berbagai
belahan dunia, terutama dalam konflik bersenjata. Negara-negara konflik merupakan
pasar yang sangat menguntungkan bagi pedagang senjata ilegal, dimana transaksi
dapat dilangsungkan tanpa melalui birokrasi yang berbelit-belit, serta konsumen dalam
jumlah yang terbilang besar.
Perdagangan senjata yang melintasi batas negara dan melibatkan oknum-oknum
tertentu, ditambah lagi dengan ketidak jelasan status senjata tersebut, jelas merupakan
masalah besar yang patut mendapat perhatian penuh. Karena suplai yang teraturlah
mengapa konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini tak dapat
diberhentikan begitu saja.
Begitu pula dalam hal lain, dengan mudahnya senjata diperoleh, semakin merajalela
pula tindakan terorisme dan separatisme. Keperluan akan alat pendukung gerakan-
gerakan tersebut terpenuhi, maka dari itu tindak kejahatan tersebut seakan susah
dibendung.
Yang lebih merugikan, utamanya bagi negara, adalah tindakan pencucian uang (money
laundry). Penjualan senjata ilegal dapat mendorong tindak pidana pencucian uang
yang ujung-ujungnya dapat membuat pemerintahan suatu negara kewalahan untuk
melacak pelaku-pelaku money laundry.
F. Cara Penangggulangan
Kejahatan transnasional gun trafficking ini pada dasarnya terjadi karena adanya
peluang untuk melakukannya. Oleh karena itu, peluang yang ada tidak bisa dibiarkan
3
http://bagyoesx.blogspot.com/2007/08/skandal-perdagangan-senjata(Litbang Kontras, 2006.html
terbuka begitu saja, atau paling tidak peluang tersebut harus diminimalisir, dan lebih
lanjut harus ada usaha penanggulangannya. Adapun usaha-usaha yang kami tawarkan
antara lain:
Ketegasan hukum, seperti penerapkan sanksi nyata pada pelaku kejahatan tanpa
memandang siapa yang melakukan. Hingga saat ini perjanjian mengenai
perdagangan senjata belum memiliki hukum sendiri yang khusus mengatur
tentang perdagangan gelap senjata ini.
Diberlakukan transparansi data mengenai kondisi persenjataan suatu negara,
bahkan jika perlu termasuk aktivitas perdagangan senjatanya.
Kepemilikan senjata sebaiknya dibatasi, dilanjutkan dengan kontrol yang
semakin diperketat. Jika memungkinkan, akan lebih baik jika kepemilikan
senjata ini dibatasi pada oknum berkepentingan seperti aparat keamanan.
Izin memperdagangkan senjata untuk swasta diperketat. Perdagangan senjata,
terutama di negara-negara tertentu, memang tak memungkinkan untuk
ditangani secara penuh oleh pihak negara, sehingga keterkaitan pihak swasta
tak dapat dihindari. Tapi, hal ini dapat ditaktisi dengan kontrol yang lebih ketat
terhadap sektor ini.
Melihat bahwa banyak kasus-kasus dalam negeri yang justru dilakukan oleh
aparat negara itu sendiri, dalam hal ini banyak dilakukan oleh TNI, maka harus
ada badan independen yang berwenang untuk mengontrol TNI dalam masalah
perdagangan senjata ini.
Mempertimbangkan bahwa ada segelintir orang sipil yang memiliki senjata
demi alasan keamanan, maka sudah barang tentu peningkatan mutu keamanan
menjadi hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi, pemerintah harus bisa
memjamin keamanan masyarakatnya serta orang-orang dalam wilayah teritori
negara itu.
Komitmen dan keseriusan intelijen dan kepolisian dalam hal penanganan kasus
perdagangan gelap ini harus diperjelas.
DAFTAR PUSTAKA
http://wwwlfip.org/english/pdf/bali/seminar/Masalah-Keamanan-Internasional/bantarto-
bandoro.pdf/4662.html,diakses tanggal 23-02-08,pukul 08.37
MODUL
JUDUL : CYBER CRIME
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Cybercrime merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan terknologi
informasi. Berbagai definisi dikemukakan oleh para ahli, namun belum terdapat
keseragaman terhadap defenisi tersebut. Secara teknis tindak pidana tersebut dapat
dibedakan menjadi offinecrime. Dimana, cybercrime tindak pidana yang dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi komputer yang dibagi menjadi dua, yaitu blue collar
dan white collar. Menurut survei AC Nielsen 2001, Indonesia ternyata menempati posisi
keenam terbesar dunia atau keempat di Asia dalam tindak kejahatan internet, meski tidak
secara rinci disebutkan kejahatan macam apa saja yang terjadi maupun warga negara
Indonesia yang terlibat dalam kejahatan ini.
Amerika merupakan negara teratas dalam Cybercrime. Dari seluruh laporan yang
diterima oleh sebuah badan berwenang mengurus kejahatan internet Amerika, 42,8
persen dari 16.775 pengaduan, jumlah kerugian tiap korbannya rata-rata sekitar 395
dollar AS. Sedangkan, jumlah kerugian terbesar dialami akibat penipuan adalah 5,575
dollar AS. Namun, menurut laporan tersebut hanya 0,6 persen dari 9,864 orang yang
melapor menderita kerugian financial akibat penipuan, pencurian identitas juga
menimbulkan kerugian yang cukup besar. Dari 2,349 orang yang melapor, rata-rata
kehilangan 3,000 dollar AS per orangnya. Secara total, laporan tersebut menyatakan
bahwa 17,8 juta dollar AS dilaporkan raib pada pertengahan 2001, dan masing-masing
merugi sekitar 435 dollar AS.
C. Kaitan Modul
Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan cyber crime pada
mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional.
D. Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
28. Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola cyber crime
29. 3. Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus cyber
crime Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi cyber crime
Mampu menganaisis kasus cyber crime dengan memberikan solusinya.
E. Indikator Penilaian
Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek:
42. Keaktifan di kelas
43. tata kerama/ sopan santun
44. Kerjasam team
45. keaktifan berdiskusi
46. Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks
book mutahir sebagai acuan
47. Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
48. Mampu menganalisis kasus cyber crime di Negara berkembang, khususnya di
Indonesa
Inggris
Aksi kejahatan di dunia maya atau Cyber Crime marak terjadi di Inggris.
Bahkan kemunculan kejahatan virtual ini tercatat setiap 10 detik. Tindakan
kriminal yang dilakukan bisa bermacam-macam, bisa hanya sebatas pelecehan
seksual secara online hingga tindakan yang dapat merugikan secara finanasial.
Dari laoran yang dikeluarkan Unit Cyber Crime Inggris, setiap dikutip
detikINET dari AFP, lebih dari 3 juta aksi kejahatan inline telah tercatat di
negeri Ratu Elizabeth ini pada tahun 2007,. Sementara itu, perusahaan analis
sekuriti Garlik menambahakan bahwa pihak yang sering dijadikan sasaran
penyerangan Cyber Crime bukanklah para organisasi atau perusahaan m
elainkan lebih mengarah keada individu, denga tingkat enyerangan lebih dari
60%. Sedangkan bentuk kejahatan yang paling sering dilakukan penjahata dunia
maya adalah terkait dengan penyalahgunaan email dan tindakan pencemaran
nama baik yang dilakukan via situs atau chatroom. Selain itu, kejahatan seksual
juga menjadi aksi yang paling sering dilakukan dengan 850.000 kasusus yang
terectata tahun lalu. Dimana sebagian pelakunya merupakan penguntit online
(Cyberstalked) yang mencari korban di dunia maya. Sementara untuk kejahatan
lain yang tercatata oleh Garlik adalah kejahatan finansial 207.000 kasus,
pencurian identitas 92.000 kasus, serta penyusupan komputer alias hacking
144.500 kasus.
Amerika Serikat
Dalam perkembangannya ternyata enggunaan internet memebawa sisi negatif,
dalam membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial dan perilaku
kejahatan sebagai aplikasi dari perkembangan internet. Dalam dokumen
A/CONF. 187/1013, Cyber Crime dalam arti sempit disebut Computer Crime
dan dalam arti luas disebut Computer Related Crime (CRC). Walaupun jenis
kejahatan ini belum terlalu banyak diketahui secara umum, namun FBI dalam
laporannya mengatakan bahwa tindak kejahatan yang dapat dikategorikan
Cyber Crime telah meningkat 4 kali lipat, dimana pada tahun 1998 saja telah
tercatat lebih dari 480 kasus Cyber Crime di Amerika Serikat. Hal ini telah
menimbulkan kecemasan lebih dari 2/3 warga AS. Selain itu, hasil penelititian
US of Computer Security Institute (USCSI) menunjukkan bahwa sekitar 90%
perusahaan berskala besar mengaku telah mendeteksi adanya pelanggaran
keamanan terhadap sistem komputerisasi yang mereka gunakan dalam kegiatan
industry, sebanyak 273 perusahaan disana telah mengalami financial losses
yang cukup signifikan untuk tambahan modal bagi perkembangan perusahaan
tersebut. Nilai kerugian mencapai 265 juta USD dan sebagian besar dari
transaksi illegal
Jepang
Menurut data National Police Agency (NPA) Jepang pada Februari 2006,
jumlah seseorang yang ditahan karena melakukan penipuan serta kejahatan lain
melalui internet, melonjak hampir 52 persen pada 2005. Sehingga pada tahun
2006 jumlah tahanan cybercrime di negeri sakura tersebut mencapai 3.161
tahanan. Angka ini berhasil memecahkan rekor lama pada tahun sebelumnya,
yaitu sebanyak 2.081 orang tahanan. Sejak 1999 lNPA telah melakukan
perhitungan statistik tentang cybercrime dinegaranya.
Selandia Baru
Data pada tanggal 14 desember men New Zealand Press Association. (PEP)
menyebutkan informasi mengenai kedok kejahatan cybercrime di Selandia
Baru. Polisi Selandia Baru menangkap seorang remaja yang diduga sebagai
pemimpin jaringan cyber crime (kejahatan melalui internet) yang telah
menginfiltrasi komputer di seluruh dunia dan melumpuhkan sistem komputer di
salah satu perguruan tinggi di Amerika Serikat. Para aparat penyelidik di
Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Belanda yakin bahwa remaja berusia 18
tahun yang tidak disebutkan namanya itu telah menciptakan software untuk
menyerang jutaan komputer yang mengakibatkan kerugian sekitar 25 juta dollar
Selandia Baru, atau sekitar 19 juta dollar AS.
Australia
Berdasarkan hasil survey ari queensland university of technology tahun 2006,
42% remaja wanita di Australia pernah mengalami pelecehan melalui internet.
Ironisnya banyak diantara kejadian tersebut mengalami peleehan hingga tiga
ratus buah dihalaman myspacenya. Semua kasus-kasus tersebut ditunjang oleh
fakta bahwa 22% emaja Australia menggunakan internat untuk lari dari masalah
atau ketika perasaannya lagi kacau.
Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan bentuk
cyber crime sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
P.N.Grabosky and Russell G. Smith .1998. Crime in the Digital Age: Controlling
Telecommunications and Cyberspace Ilegalities, Transaction Publishers:
New Brunswick, NJ
Casey Eoghan, 2001, Digital evidence and computer Crime, A Harourt Science and
technology company: london
Anthony G. McGrew and Paul G. Lewis,1993, Global politics, Polity Press: Cambridge
Richard Falk, 1976, study of The future Word, Free Press: Now York.
Harian Kompas, Indonesia masuk dalam sepuluh Besar Cybercrime Dunia, Edisi: 12
April 2002
Cyberlaw : Teritori dalam Cyberspace, realitas dan pirtualitas
http://budi. Insan. Co.id/articles/it-within-cyberlaw.doc.
Kriminalitas di Internet
http://www.solusihukum.com/artikel482/cybercrime06.php,(akses 05/04/2006)
MODUL
Pola tak langsung dalam kasus perdagangan perempuan (women trafficking) yang
melibatkan pihak perantara yang biasa disebut dengan calo, perekrut, mucikari,
traffickers, pencari, pemilik rumah bordil dan pegawai lainnya, pelanggan atau sindikat
kriminal inilah yang lantas menjadikan kasus ini menjadi kasus yang terorganisir dengan
rapi. Mengingat bahwa persoalan ini merupakan persoalan yang rumit. Apalagi jika
melibatkan aktor-aktor dari dua negara atau lebih, maka kegiatan ini bisa dikategorikan
sebagai kejahatan transnasional (transnational crime).
Sebagai salah satu bentuk kejahatan yang terorganisir, pada umumnya aktornya
merupakan suatu kelompok yang terdiri atas beberapa orang atau bahkan beberapa
organisasi kejahatan. Dalam kelompok itu telah ditetapkan dengan jelas mengenai
4
Ibid, 5, hal. 23.
pembagian tugas setiap orang. Untuk melakukan mobilisasi manusia, khususnya
perempuan, tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi dalam setiap modus
operandinya, tentu memiliki cara atau metode serta perlakuan yang berbeda. Misalnya
modus penawaran pekerjaan dengan imbalan yang tinggi tentu berbeda dengan modus
perkawinan.
Selain itu, tindakan kejahatan ini juga tergolong sangat rumit karena seringkali
dalam kegiatannya itu, pelaku kejahatan harus berurusan dengan pejabat pemerintah
ataupun aparat kepolisian. Karena itu, untuk melewati pihak-pihak ini jelas tidak mudah.
Namun, pada faktanya banyak pelaku kejahatan perdagangan perempuan (women
trafficking) ini yang didukung oleh pihak-pihak tersebut. Ini merupakan salah satu
indikator bahwa pelaku kejahatan merupakan orang-orang yang lihai dalam menjalankan
kegiatannya.
Bentuk keseriusan pemerintah dalam menanggulangi masalah perdagangan
perempuan ini tampak pada serangkaian undang-undang, pasal ataupun Keputusan
Presiden (Kepres). Jika, terdapat laporan tentang terjadinya kasus ini, aparat penegak
hukum bisa memprosesnya sesuai dengan Undang-undang tentang trafiking no.21 tahun
2007 dengan ancaman penjara seberat-beratnya 15 tahun penjara dan denda sebesar-
besarnya 600 juta rupiah bagi para pelakunya baik yang bertindak sebagai comblang atau
calo serta cangkau (bagian pemalsu dokumen) Adapun pasal-pasal dalam Kitab Undang-
undang hukum Pidana (KUHP) yang relevan dengan kasus tersebut yaitu:
a. Pasal 297 KUHP
Perdagangan perempuan dan perdagangan laki-laki yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
b. Pasal 298 KUHP
1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan pasal 297, pencabutan hak
berdasarkan pasal 35 butir 1-5 dapat dinyatakan
2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan berdasarkan pasal 297
melakukannya sebagai mata pencahariannya, maka hak untuk melakukan
mata pencaharian itu dapat dicabut.
Sementara itu, keseriusan itu juga tampak pada Keputusan Presiden (Kepres) No.
88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN), yakni Penghapusan Perdagangan
(trafiking) Perempuan dan Anak. Pemerintah Indonesia juga melakukan ratifikasi
terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/
CEDAW) yang tertuang dalam Undang-undang No.7 tahun 1984. Meskipun, telah
banyak peraturan atau ketentuan yang dikeluarkan pemerintah terkait kasus di atas,
namun kejahatan perdagangan perempuan tetap saja terjadi. Bahkan ada kecenderungan
semakin meningkat setiap tahun. Ini tentu sangat memprihatinkan.
Pada Juli tahun 2001, beradasarkan Trafficking in Person Report oleh Departemen
Luar Negeri amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik (Economy
social Commision on Asia pacific/ESCAP), diperoleh keterangan bahwa Indonesia
ditempatkan pada peringkat ketiga (tier III) atau terendah dalam upaya penanggulangan
trafiking perempuan dan anak. Hal ini tidak lepas dari kenyataan yang berupa jumlah
korban yang besar, pemerintah dinilai belum menetapkan standar-standar minimum serta
tidak atau belum melakukan upaya-upaya yang berarti dalam memenuhi standar
pencegahan dan penanggulangan trafiking. Standar minimum menurut The Trafficking
Victims Protection Act of 2000 terdiri atas:
a. Pemerintah harus melarang perdagangan manusia dan menghukum
kegiatan tersebut;
b. Pemerintah harus menetapkan hukuman yang setaraf dengan hukuman
untuk tindak pidana berat yang menyangkut kematian (grave crimes,
seperti penyerangan seksual dengan kekerasan/secara paksa, atau tindakan
perdagangan manusia dalam bentuknya yang paling tercela yakni untuk
tujuan seksual melibatkan perkosaan atau penculikan atau menyebabkan
kematian);
6
Ibid, 23, hal. 79
eksploitasi yang keji dan menjadikan korban layaknya komoditi yang bisa
diperjualbelikan dengan sesuka hati.
Ironisnya, Indonesia, menurut laporan The Trafficking Victims Protections Act of
2000, dikategorikan sebagai negara tier-3, bersama dengan 18 negara lainnya. Dimana,
Indonesia dianggap tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan standar dan tidak melakukan
usaha-usaha yang berarti terhadap kasus trafficking in women di Indonesia.
Masalah ini tumbuh subur, akibat dari lemahnya hukum yang dimiliki Indonesia
sekarang ini. Sehingga, praktek tersebut terus meningkat setiap tahunnya, karena
dianggap jauh menguntungkan dan berisiko rendah dari pada bentuk kriminal lainnya.
Menurut data dari Coalition Against Trafficking in Women, bahwa di Asia termasuk
Indonesia, setiap tahunnya terdapat lebih dari satu juta anak perempuan yang memasuki
pasar seks global. Salah satu modus operandi dari kasus tersebut adalah melalui
perkawinan antar negara (transnasional marriage).
Perkawinan Transnasional
Dalam melihat perkawinan sebagai salah satu bentuk dari trafficking in women,
ada dua metode yang dapat dikembangkan. Pertama, bila perkawinan tersebut merupakan
merupakan salah satu cara penipuan, terutama untuk kemudian disalurkan dalam industri
seks. Kedua, bila perkawinan tersebut dikomersialisasikan yang biasanya dilakukan
dengan proses perjodohan atau yang lebih dikenal dengan istilah mail bride order.
Memahami wacana persoalan maraknya trafficking in women, dalam bentuk
perkawinan transnasional, ditemukan titik rawan atau kelemahan dalam perundang
undangan, karena dapat dijadikan ajang bisnis dengan menjual perempuan-perempuan
Indonesia layaknya barang dagangan sebagai komoditi ekspor. Dalam banyak kasus yang
ditemukan, ternyata para perempuan Indonesia dijadikan objek penderita, dan banyak
dari mereka mengalami kekerasan seperti yang terjadi di Kalimantan Barat.
Menurut, laporan Biro Statistik Kalimantan Barat; setiap tahunnya terjadi
peningkatan perkawinan transnasional. Pada tahun 1998, tercatat 416 pasangan; tahun
1999, 604 pasangan; dan tahun 2000, tercatat 694 pasangan yang menikah. Perkawinan
tersebut pada awalnya dilakukan dengan tujuan murni yaitu untuk membentuk keluarga
yang bahagia. Namun, dengan adanya peningkatan kebutuhan dari pihak laki-laki asing
dan keterdesakan ekonomi yang dialami oleh perempuan dimanfaatkan oleh sejumlah
pihak sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Peluang tersebut pada akhirnya memicu
terjadinya trafficking in women dalam bentuk perkawinan transnasional. Namun, masalah
tesebut seringkali luput dari perhatian, karena perkawinan pada umumnya, dianggap
sebagai masalah pribadi atas dasar suka sama suka.
Perkawainan transnasional sekarang ini di Kalimantan Barat telah berkembang
menjadi sebuah bisnis yang besar dengan nilai puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah
untuk setiap perkawinan. Bagi. laki-laki Taiwan-misalnya; untuk bisa ikut dalam bursa
pengantin perempuan internasional harus menyediakan dana sebesar; NT$ 300.000- NT$
350.000 atau setara dengan nilai rupiah sekitar Rp 90. 000 000- Rp 150. 000 000, untuk
biaya perkawinan tersebut.
Kasus yang menimpa Lay Shanti yang kawin dengan lelaki Taiwan, Chi Kin-
misalnya; ternyata suaminya seorang abusive, pemabuk, penjudi dan gampang naik
darah. Akibatnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga, Shanty harus menerima
perlakuan buruk dari suaminya. Selain itu. ternyata ia tingal di sebuah desa yang kumuh
dan sunyi, bahkan kota asalnya Singkawang jauh lebih nyaman untuk ditempati, akhirnya
Ia memutuskan kembali ke Indonesia. Namun, percerainnya dengan suaminya sulit untuk
diproses dan kedua anaknya pun masih disandera di Taiwan. Kisah tragis ini, hanyalah
salah satu dari kisah lainnya perempuan Indonesia. Kedudukan perempuan yang sudah
lemah di negeri sendiri, menjadi memakin lemah di negeri asing.
Faktor Pendorong
Yang menjadi faktor pendorong terjadinya peningkatan trafficking in women di
Indonesia. Pertama, faktor ekonomi (kemiskinan). Berangkat ke luar negeri, merupakan
salah satu cara yang digunakan untuk keluar dari kemiskinan yang dihadapi mereka
(survival strategy). Keputusan tersebut baik secara sadar ataupun tidak, telah
menyebabkan perempuan-perempuan tersebut memasuki apa yang dalam konsep Danaiya
Usher disebut sebagai Global skin trade. Dimana, perempuan teresebut, tanpa modal
keterampilan apapun, kecuali tubuhnya sendiri, mengadu nasib untuk mencari kehidupan
yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya.
Kedua, faktor budaya. Dalam budaya tradisional, anak perempuan yang lahir
tidak pernah disambut dengan gembira. Garis keturunan keluarga adalah melalui garis
keturunan anak laki-laki. Sedangkan, dalam masyarakat patriarkis, anak perempunan
hanya menepati posisi subordinate, dimana perempuan tidak memilki kekuatam dan
posisi tawar menawar (bargaining position), untuk menolak keinginan dari orang tuanya .
Ditambah lagi, adanya streotipe dalam masyarakat kita, yang menganggap bahwa pihak
laki-laki lebih tinngi kedudukannya dibandingkan dengan perempuan.
Ketiga, faktor pendidikan. Faktor ini terkait dengan faktor ekonomi dan budaya.
Akibat dari kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan (miskin), maka yang menjadi
korban biasanya anak perempuan. Karena dalam budaya masyarakat anak laki-laki
dianggap sebagai penerus ketutunan, untuk itu para orang tua memberikan prioritas
kepada anak laki-laki sebagai prioritas utama. Akibatnya, bayak anak-anak perempuanan
tidak dapat mendapatkan pendidikan yang layak.
Keempat, faktor perangkat hukum. Pemerintah Indonesia dalam hal ini tidak
mempunyai kebijakan yang menyeluruh dan tegas dalam menanggani trafficking in
women. Bahkan, usaha preventif dalam bentuk hukum pun sangat tidak memadai. Satu-
satunya peraturan yang menyebutkan tentang perempuan pasal 297 KUHP, yang
menyebutkan: “Barang siapa yang yang memperdaganngkan perempuan dikenai
hukuman tujuh tahun penjara”. Yang menjadi masalah, para penegak hukum
menginterprestasikan perdagangan itu, hanya sebatas untuk eksploitasi seksual. Padahal,
perdagangan perempuan tidak hanya terbatas pada kegiatan tersebut, namun juga dalam
bentuk yang lainnya termasuk modus perkawinan transnasional.
Kelima, faktor mental aparat pemerintah (birokrasi). Banyak kasus yang
ditemukan, untuk mmperlancar perdagangan perempuan, perantara memalsukan
dokumen seperti dalam masalah umur. Untuk itu, perantara membayar sejumlah uang
kepada oknum aparat yang menangganinya. Hal ini dapat dilihat kasus yang ditemukan di
Kalimantan Barat dari perkawinan trasnasional, terungkap 180 kasus dari perkawinan
tersebut perempuannya masih berada di bawah umur.
Pemerintah Indonesia belum menaruh perhatian yang cukup memuaskan. Dimana,
masalah trafficking in women tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang serius dan
tidak mendapat perhatian secara proporsional oleh pemerintah. Perangkat hukum yang
diharapakan memberikan perlindungan terhadap perempuan pun masih sangat lemah.
BAB III PENUTUP
Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan bentuk
human trafficking sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Huntington, Samuel. 2007. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia.
Triagra Utama: Jakarta.
Lapian, Ghandi, dkk. 2006. Trafiking Perempuan dan Anak. Yayasan Obor Indonesia:
Jakarta.
Berbicara masalah teorisme sebagai suatu bentuk dari tindakan kekerasan politik,
akan menjadi persoalan sensitif karena akan menimbulkan prasangka dari pelaku
tindakan teror tersebut. Pada ulang tahun ketiga tragedi WTC Presiden Amerika, George
Walker Bush, mengatakan: “Bisakah kita menang? Menurut saya, anda tidak akan
memenangkannya. Tetapi kita bisa menciptakan kondisi, sehingga siapapun yang
menggunakan terror sebagai sebuah cara, tidak akan mendapatkan tempat di dunia ini”.
Pernyataan ini menunjukan bahwa aksi terorisme amat sangat sulit untuk dideteksi.
Amerika dan Inggris sebagai negara maju di bidang intelijen dan pertahanan kemanan
tidak mampu membendung aksi terorisme.
Peristiwa peledakan bom yang terjadi tanggal 1 oktober 2005 di RAJA’s Bar and
Restaurant, Kuta Square, dan di Nyoman Café’ dekat Hotel Four Season, Jimbaran Bali,
telah menewasakan 25 jiwa dan mencederai lebih dari 102 jiwa lainnya. Menggigatkan
kita pada peristiwa tiga tahun lalu, tepatnya tanggal 12 Oktober 2002. Kita dikejutkan
oleh peristiwa ledakan bom yang berkuatan besar, di diskotek Sari Club, Jl. Legian,
Kabupaten Badung, Kuta Bali. Ledakan tersebut telah menewaskan 187 orang,
mencederai 282 orang, dikenal dengan istilah “Sabtu Hitam di Legian.” Peristiwa
tersebut menandai terorisme menjadi isu strategis di Indonesia.
Ironisnya, pasca Bom Bali I, pemerintah nampaknya tidak mempunyai arah
kebijakan yang jelas dalam penanggani masalah terorisme di Indonesia. Sehingga,
Indonesia menjadi sasaran yang empuk dalam masalah terorisme. Bom Bali II ini
menambah daftar deretan aksi kekerasan terorisme di Indonesia, peledakan Bom J.
Meriot di Jakarta 2003, Bom di depan Kedutaan Besar Australia 9 September 2004,
peledakan bom Restoran Mc Donald Mall Ratu Indah Makassar, 5 Desember 2002 dan di
Kafe Sampodo Indah Palopo Januari 2004, serta ledakan bom di daerah lainnya di
Indonesia, menjadi catatan hitam aksi terror bagi Bangsa Indonesia.
Dampak Bom Bali
Bom Bali II akan berdampak politik dan ekonomi bagi Indonesia. Indonesia yang
penduduknya mayoritas beragama Islam dengan 202 juta dari 230 juta jiwa penduduk
Indomesia. Secara politis memperkuat dugaan masyarakat internasional yang
menganggap bahwa selama ini Indonesia tidak pernah serius dalam penangganan masalah
terorisme. Sebagaimana yang dikatakan oleh Howard yang menganggap bahwa
Pemerintah Indonesia pasca trgagedi WTC, 11 September 2001 tidak pernah serius
terlibat dalam perang global terhadap terorisme yang dicanangkan oleh Amerika
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor: 1373 tanggal 28 September 2001.
Di samping itu, peristiwa ini menjadi legitiminasi bagi masyarakat internasional
bahwa Indonesia merupakan sarang terorisme internasional untuk wilayah Asia
Tenggara. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Menteri Senior Singapura, Lee kwan
Yew, secara terbuka menunding Indonesia sebagai sarang terorisme internasional. Lebih
jauh Lee mengatakan” Indonesia is the hidden place for Al Qaeda after Afghanistan
attack and have connection with terrorist activities because of the relation with
Indonesian militant Islamic group with Al Qaeda networks”.
Secara ekonomis, akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia
khususnya di bidang industri prawisata, akibat tidak adanya jaminan keamanan bagi turis
yang berkunjung ke Bali. Hal ini merusak citra prawista Indonesia di masyarakat
Internasional. Serta akan berdampak bagi dunia usaha lainnya seperti keengganan para
investor untuk menanamkan investasinya ke Indonesia. Seperti; perusahan sepatu nike
yang menghentikan investasinya dari Indonesia pasca tragedi bom Bali I.
Di perkirakan pasca bom Bali II banyak negara akan mengeluarkan travel band
bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Kebijakan tersebut akan
memukul perekonomian Indonesia terutama di sektor prawisata. Akibatnya, diperkirakan
akan terjadi penurunan jumlah kujungan wisatawan ke Bali sebesar 20 % dari jumlah
total wisatawan yang berkunjung sebesar 2 juta wisatawan per tahunnya, dan terjadi
penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% serta terjadi peningkatan kemiskinan
diperkirakan akan mencapai 1 uta jiwa.
Antisipas Pemerintah
Aksi terorisme di Indonesia disebabkan ketidak pekaan pemerintah terhadap
eksisnya ancaman terorisme internasional dan konflik kepntingan yang berkembang
dalam pemerintahan dan masyarakat. Peristiwa ini, nampaknya akan dijadikan komuditas
politik dari kelompok-kelompok kepentingan baik yang berasal dari luar maupun dari
dalam negeri melalui media massa. dengan menciptakan opini publik bahwa Indonesia
tidak aman. Hal ini merugikan citra Indonesia di fora internsaional yang pada akhirnya
akan berdampak buruk terhadap ekonomi dan politik Indonesia.
Namun, Pemerintah Indonesia hendaknya tidak terjebak lagi dalam perang global
yang dicanangkan oleh barat terhadap teroris seperti yang terjadi pada pasca bom Bali I
yang memaksa pemerintah mengeluarkan mengeluarkan PERPU No 1/2002 dan PERPU
NO 2/ 2002, mengakui Jemaah Islamiyah sebagai kelompok teroris. Diikuti dengan
penangkapan terhadap Abubakar Ba’asyir sebagai pimpinnya serta pengikut-
pengkikutnya yang dituduh bertanggung jawab terhadap peledakan tersebut. Hal ini
menjadikan kita bukan sebagai ”boneka” dari kemauan negara-negara Barat khususnya
Amerika yang sering memandang persoalan terorisme secara sempit dan amat subjektif,
tetapi tidak mencari akar pemasalahan dari terorisme itu sendiri.
Di samping itu, para politisi hendaknya tidak menjadikan peristiwa bom Bali II
sebagai komoditas politik dan mengakhiri sikap partisan untuk tidak larut terlibat dalam
kelompok kepentingan dalam perang melawan terorisme. Jika tidak, Indonesia tidak akan
kondusif dalam pemulihan perekonomiannya. Pemerintah hendaknya meluruskan tentang
Islam di Indonesia. Pandangan yang menominasikan bahwa musuh Barat pada Pasca
Perang Dingin adalah Islam sebagai penganti komunis pada Perang Dingin (Berdasarkan
tesis the clash of civilization dari Hungtington), adalah tidak benar dan tidak bisa di
pertanggung jawabkan..
Pemerintah sebenarnya bisa saja mengantisipasi tragedi tersebut seandainya
pihak Badan intilijen Negara (BIN) lebih sigap dalam menyimak apa yang dikatakan oleh
presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan bahwa “pemerintah sebenarnya
pernah mendapat ancaman terror, namun ketatnya keamanan di Jakarta, maka bom
tersebut terjadi di Bali” Andai kata, benar pernyatan tersebut, berarti pemrintah SBY
tidak pernah belajar dari pengalaman, bahwa Bali tentunya menjadi sasaran yang
berpotensi mengigat Bali lebih dikenal oleh masyarakat internasional dibandingakan
dengan Jakarta.
Belajar dari bom Bali II, hendaknya kita menyadari bahwa perang terhadap
terorime belumlah berakhir. Namun, pemerintah pun harus dicari akar permasalahannya
dengan tidak menjadikan aksi teror sebagai komuditas politik untuk kepentingan
kelompok tertentu dan mendiskreditkan kelompok lainnya. Prioritas Bangsa Indonesia
sekarang ini adalah perbaikan di bidang ekonomi, terutama pasca kenaikan BBM tanggal
1 Oktober yang dirasakan cukup memberatklan kehidupan masyarakat.
Namun, bagaimanan pun tindakan teror yang telah menghilangkan nyawa
seseorang dan merusak fasilitas umum tidak dapat dibenarkan. Tentunya yang menjadi
korban adalah rakyat yang tidak berdosa. Pelaku teror adalah oknum yang bisa berasal
dari kalangan mana saja dan kapan saja yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, beberapa
aksi teror yang terjadi di Indonesia yang mengatasnamakan kelompok tertentu, mendapat
kutukan dari masyarakat Islam Indonesia. Tindakan terror yang menghilangkan
masyarakat yang tidak berdosa dan merusak fasilitas umum untuk kepentingan pribadi
dan kelompok merupakan tindakan pengecut. Kondisi ini bisa merusak citra masyarakat
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Semoga, traggedi bom Bali II
merupakan tragedi terakhir bagi bangsa Indonesia
BAB III PENUTUP
Demikianlah uraian meteri dalam modul ini untuk memahami pengertian dan bentuk
cyber crime sebagi salah satu dari bentuk kejahatan transnasional yang berkembang
dalam masyarakat internasional. Guna meunjang pembelajaran dapat dimanfaatkan pila
CD belajar interaktif yang memuat pokok bahasan dalam modul ini yang disajikan
bersama dengan pokok bahasan pada modul dua dan tiga. Apabila modul satu ini dapat
dipahami dengan baik, maka secara sitematis peserta matakuliah ini dengan mudah bias
melangkah untuk mengkaji modul selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA