Professional Documents
Culture Documents
Aisyiyah
adalah sebuah gerakan perempuan Muhammadiyah yang lahir
hampir bersamaan dengan lahirnya organisasi Islam terbesar di
Indonesia ini. Dalam kiprahnya hampir satu abad di Indonesia,
saat ini ‘Aisyiyah telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah “Aisyiyah
(setingkat Propinsi), 370 Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (setingkat
kabupaten), 2332 Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (setingkat
Kecamatan) dan 6924 Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (setingkat Kelurahan).
Selain itu, ‘Aisyiyah juga memiliki amal usaha yang bergerak diberbagai bidang
yaitu : pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi dan pemberdayaan
masyarakat. Amal Usaha dibidang pendidikan saat ini berjumlah 4560 yang terdiri dari
Kelompok Bermain, Pendidikan Anak Usia Dini, Taman
Kanak-Kanak, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, dan lain-lain.
hingga pada Konggres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 diputuskan
berdirinya Muhammadiyah Bagian Pemuda, yang merupakan bagian dari organisasi
dalam Muhammadiyah yang secara khusus mengasuh dan mendidik para pemuda
keluarga Muhammadiyah. Keputusan Muhammadiyah tersebut mendapat sambutan luar
biasa dari kalangan pemuda keluarga Muhammadiyah, sehingga dalam waktu relatif
singkat Muhammadiyah Bagian Pemuda telah terbentuk di hampir semua ranting dan
cabang Muhammadiyah. Dengan demikian pembinaan Pemuda Muhammadiyah menjadi
tanggung jawab pimpinan Muhammadiyah di masing-masing level. Misalnya, di tingkat
Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggung jawab mengasuh, mendidik dan membimbing
Pemuda Muhammadiyah diserahkan kepada Majelis Pemuda, yaitu lembaga yang
menjadi kepanjangan tangan dan pembantu Pimpinan Pusat yang memimpin gerakan
pemuda.
Dinamika Gerakan
Kendati secara resmi baru berdiri pada 2 Mei 1932, Pemuda Muhammadiyah tidak bisa
dipisahkan dari pertumbuhan awal Muhammadiyah. Di daerah-daerah di Jawa Timur,
berdirinya Muhammadiyah sering didahului oleh kegiatan-kegiatan yang dipelopori oleh
kalangan pemuda. Pada awal pertumbuhan Muhammadiyah di berbagai daerah, cabang
dan ranting mengadakan kegiatan-kegiatan di bidang kepemudaan dan kepanduan.
Cabang-cabang dan ranting mengadakan HW yang menjadi wadah pembinaan anak-anak
muda Muhammadiyah. Usaha-usaha pendirian HW dilakukan oleh cabang dan ranting
sejak awal pertumbuhan Muhammadiyah.
Latar belakang berdirinya IPM tidak terlepas kaitannya dengan latar belakang
berdirinya Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma'ruf nahi mungkar
yang ingin melakukan pemurnian terhadap pengamalan ajaran Islam, sekaligus sebagai
salah satu konsekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha
Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader. Oleh karena itulah dirasakan
perlu hadirnya Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi para pelajar yang
terpanggil kepada misi Muhammadiyah dan ingin tampil sebagai pelopor, pelangsung
penyempurna perjuangan Muhammadiyah.
Jika dilacak jauh ke belakang, sebenarnya upaya para pelajar Muhammadiyah untuk
mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah sudah dimulai jauh sebelum Ikatan
Pelajar Muhammadiyah berdiri pada tahun 1961. Pada tahun 1919 didirikan Siswo
Projo yang merupakan organisasi persatuan pelajar Muham-madiyah di Madrasah
Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Pada tahun 1926, di Malang dan Surakarta
berdiri GKPM (Gabungan Keluarga Pelajar Muham-madiyah). Selanjutnya pada tahun
1933 berdiri Hizbul Wathan yang di dalamnya berkumpul pelajar-pelajar
Muhammadiyah.
Dengan kegigihan dan kemantapan para aktifis pelajar Muhammadiyah pada waktu itu
untuk membentuk organisasi kader Muhammadiyah di kalangan pelajar akhirnya mulai
mendapat titik-titik terang dan mulai menunjukan keberhasilanya, yaitu ketika pada
tahun 1958 Konferensi Pemuda Muhammadiyah Daerah di Garut berusaha melindungi
aktifitas para pelajar Muhammadiyah di bawah pengawasan Pemuda Muham-madiyah.
Mulai saat itulah upaya pendirian organisasi pelajar Muhammdiyah dilakukan dengan
serius, intensif, dan sistematis. Pembicaraan-pembicaraan mengenai perlunya berdiri
organisai pelajar Muhammadiyah banyak dilakukan oleh Pimpinan Pusat Pemuda
Muham-madiyah dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
ja Muhammadiyah. Perubahan ini bisa jadi merupakan sebuah peristiwa yang tragis
dalam sejarah organisasi, karena perubahannya mengandung unsur-unsur kooptasi dari
pemerintah. Bahkan ada yang mengang-gap bahwa IPM tidak memiliki jiwa heroisme
sebagai-mana yang dimiliki oleh PII yang tetap tidak mau menga-kui Pancasila sebagai
satu-satunya asas organisasinya.
Keputusan pergantian nama ini tertuang dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat IPM
Nomor VI/PP.IPM/1992, yang selanjutnya disahkan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1992 melalui Surat Keputusan Pimpinan
Pusat Muham-madiyah Nomor 53/SK-PP/IV.B/1.b/1992 tentang pergantian nama
Ikatan Pelajar Muhammadiyah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah. Dengan
demikian, secara resmi perubahan IPM menjadi IRM adalah sejak tanggal 18
Nopember 1992.
3. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Kelahiran IMM tidak lepas kaitannya dengan sejarah perjalanan
Muhammadiyah, dan juga bisa dianggap sejalan dengan faktor kelahiran
Muhammadiyah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa setiap hal yang dilakukan
Muhammadiyah merupakan perwujudan dari keinginan Muhammadiyah
untuk memenuhi cita-cita sesuai dengan kehendak Muhammadiyah
dilahirkan.
1. Situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil, pemerintahan yang otoriter dan serba
tunggal, serta adanya ancaman komunisme di Indonesia
2. Terpecah-belahnya umat Islam dalam bentuk saling curiga dan fitnah, serta
kehidupan politik ummat Islam yang semakin buruk
3. Terbingkai-bingkainya kehidupan kampus (mahasiswa) yang berorientasi pada
kepentingan politik praktis
4. Melemahnya kehidupan beragama dalam bentuk merosotnya akhlak, dan semakin
tumbuhnya materialisme-individualisme
5. Sedikitnya pembinaan dan pendidikan agama dalam kampus, serta masih kuatnya
suasana kehidupan kampus yang sekuler
6. Masih membekasnya ketertindasan imperialisme penjajahan dalam bentuk
keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan
7. Masih banyaknya praktek-praktek kehidupan yang serba bid'ah, khurafat, bahkan
ke-syirik-an, serta semakin meningkatnya misionaris-Kristenisasi
8. Kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang semakin memburuk
Di samping itu, resistensi terhadap ide kelahiran IMM pada awalnya juga disebabkan
adanya hubungan dekat yang tidak kentara antara Muhammadiyah dengan Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Hubungan dekat itu dapat dilihat ketika Lafrane Pane mau
menjajagi pendirian HMI. Dia bertukar pikiran dengan Prof. Abdul Kahar Mudzakir
(tokoh Muhammadiyah), dan beliau setuju. Pendiri HMI yang lain ialah Maisarah
Hilal (cucu KHA. Dahlan) yang juga seorang aktifis di Nasyi'atul Aisyiyah.
Bila asumsi itu benar adanya, maka hubungan dekat itu selanjutnya sangat
mempengaruhi perjalanan IMM, karena dengan demikian Muhammadiyah saat itu
beranggapan bahwa pembinaan dan pengkaderan mahasiswa Muhammadiyah bisa
dititipkan melalui HMI (Farid Fathoni, 1990: 94). Pengaruh hubungan dekat tersebut
sangat besar bagi kelahiran IMM. Hal ini bisa dilihat dari perdebatan tentang
kelahiran IMM. Pimpinan Muhammadiyah di tingkat lokal seringkali menganggap
bahwa kelahiran IMM saat itu tidak diperlukan, karena sudah terwadahi dalam
Pemuda Muhammadiyah dan Nasyi'atul Aisyiyah, serta HMI yang sudah cukup eksis
(dan mempunyai pandangan ideologis yang sama). Pimpinan Muhammadiyah pada
saat itu lebih menganakemaskan HMI daripada IMM. Hal ini terlihat jelas dengan
banyaknya pimpinan Muhammadiyah, baik secara pribadi maupun kelembagaan,
yang memberikan dukungan pada aktivitas HMI. Di kalangan Pemuda
Muhammadiyah juga terjadi perdebatan yang cukup sengit seputar kelahiran IMM.
Perdebatan seputar kelahiran IMM tersebut cukup beralasan, karena sebagian
pimpinan (baik di Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyi'atul Aisyiyah,
serta amal-amal usaha Muhammadiyah) adalah kader-kader yang dibesarkan di HMI.
Setelah mengalami polemik yang cukup serius tentang gagasan untuk mendirikan
IMM, maka pada tahun 1956 polemik tersebut mulai mengalami pengendapan. Tahun
1956 bisa disebut sebagai tahap awal bagi embrio operasional pendirian IMM dalam
bentuk pemenuhan gagasan penghimpun wadah mahasiswa di lingkungan
Muhammadiyah (Farid Fathoni, 1990: 98). Pertama, pada tahun itu (1956) Muham-
madiyah secara formal membentuk kader terlembaga (yaitu BPK). Kedua,
Muhammadiyah pada tahun itu telah bertekad untuk kembali pada identitasnya
sebagai gerakan Islam dakwah amar ma'ruf nahi munkar (tiga tahun sesudahnya,
1959, dikukuhkan dengan melepas-kan diri dari komitmen politik dengan Masyumi,
yang berarti bahwa Muhammadiyah tidak harus mengakui bahwa satu-satunya
organisasi mahasiswa Islam di Indonesia adalah HMI). Ketiga, perguruan tinggi
Muham-madiyah telah banyak didirikan. Keempat, keputusan Muktamar
Muhammadiyah bersamaan Pemuda Muhammadiyah tahun 1956 di Palembang
tentang "..... menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah agar kelak
menjadi pemuda Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah yang mampu
mengembangkan amanah."
Dengan berdirinya IMM Lokal Yogyakarta, maka berdiri pulalah IMM lokal di
beberapa kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Jember, Surakarta, Jakarta, Medan,
Padang, Tuban, Sukabumi, Banjarmasin, dan lain-lain. Dengan demikian, mengingat
semakin besarnya arus perkembangan IMM di hampir seluruh kota-kota universitas,
maka dipandang perlu untuk meningkatkan IMM dari organisasi di tingkat lokal
menjadi organisasi yang berskala nasional dan mempunyai struktur vertikal.
Gagasan Somodirdjo ini digulirkan dalam bentuk menambah pelajaran praktek kepada
para muridnya, dan diwadahi dalam kegiatan bersama. Dengan bantuan Hadjid,
seorang kepala guru agama di Standart School Muhammadiyah, maka pada tahun 1919
Somodirdjo berhasil mendirikan perkumpulan yang anggotanya terdiri dari para
remaja putra-putri siswa Standart School Muhammadiyah. Perkumpulan tersebut
diberi nama Siswa Praja (SP). Tujuan dibentuknya Siswa Praja adalah menanamkan
rasa persatuan, memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama.
Pada tahun 1929, Konggres Muhammadiyah yang ke-18 memutuskan bahwa semua
cabang Muhammadiyah diharuskan mendirikan SP Wanita dengan sebutan Aisyiyah
Urusan Siswa Praja. Pada tahun 1931 dalam Konggres Muhammadiyah ke-20 di
Yogyakarta diputuskan semua nama gerakan dalam Muhammadiyah harus memakai
bahasa Arab atau bahasa Indonesia, karena cabang-cabang Muham-madiyah di luar
Jawa sudah banyak yang didirikan (saat itu Muhammadiyah telah mempunyai cabang
kurang lebih 400 buah). Dengan adanya keputusan itu, maka nama Siswa Praja Wanita
diganti menjadi Nasyi'atul Aisyiyah (NA) yang masih di bawah koordinasi Aisyiyah.
Tahun 1935 NA melaksanakan kegiatan yang semakin agresif menurut ukuran saat itu.
Mereka menga-dakan shalat Jum'at bersama-sama, mengadakan tabligh ke berbagai
daerah, dan kursus administrasi. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aktifitas yang
tidak wajar dilaksanakan oleh wanita pada saat itu.
Pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1963 diputuskan untuk memberi status
otonom kepada NA. Di bawah kepemimpinan Majelis Bimbingan Pemuda, NA yang
saat itu diketuai oleh Siti Karimah mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk
mengadakan musyawarahnya yang pertama di Bandung. Dengan didahului
mengadakan konferensi di Solo, maka berhasillah NA dengan munasnya pada tahun
1965 bersama-sama dengan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Bandung.
Dalam Munas yang pertama kali, tampaklah wajah-wajah baru dari 33 daerah dan 166
cabang dengan penuh semangat, akhirnya dengan secara organisatoris NA berhasil
mendapatkan status yang baru sebagai organisasi otonom Muhammadiyah.
5. Tradisi pencak silat sudah berurat-berakar di kalangan masyarakat
Indonesia sejak lama. Sebagaimana seni beladiri di negara-negara lain,
pencak silat yang merupakan seni beladiri khas Indonesia memiliki ciri
khas tersendiri yang dikembangkan untuk mewujudkan identitas.
Demikian pula bahwa seni beladiri pencak silat di Indonesia juga beragam dan memiliki
ciri khas masing-masing.
Tapak Suci sebagai salah satu varian seni beladiri pencak silat juga memiliki ciri khas
yang bisa menunjukkan identitas yang kuat. Ciri khas tersebut dikembangkan melalui
proses panjang dalam akar sejarah yang dilaluinya.
Berawal dari aliran pencak silat Banjaran di Pesantren Binorong Banjarnegara pada tahun
1872, aliran ini kemudian berkembang menjadi perguruan seni bela diri di Kauman
Yogyakarta karena perpindahan guru (pendekarnya), yaitu KH. Busyro Syuhada, akibat
gerakan perlawanan bersenjata yang dilakukannya sehingga ia menjadi sasaran
penangkapan yang dilakukan rezim kolonial Belanda. Di Kauman inilah pendekar KH.
Busyro Syuhada mendapatkan murid-murid yang tangguh dan sanggup mewarisi
keahliannya dalam seni pencak silat. Perguruan seni pencak silat ini didirikan pada tahun
1925 dan diberi nama Perguruan cik auman yang dipimpin langsung oleh Pendekar M.A
Wahib dan Pendekar A. Dimyati, yaitu dua orang murid yang tangguh dari KH. Busyro
Syuhada. Perguruan ini memiliki landasan agama dan kebangsaan yang kuat. Perguruan
ini menegaskan seluruh pengikutnya untuk bebas dari syirik (menyekutukan Tuhan) dan
mengab-dikan perguruan untuk perjuangan agama dan bangsa.
HW berasaskan Islam. HW didirikan untuk menyiapkan dan membina anak, remaja, dan
pemuda yang memiliki aqidah, mental dan fisik, berilmu dan berteknologi serta
berakhlak karimah dengan tujuan terwujudnya pribadi muslim yang sebenar-benarnya
dan siap menjadi kader persyarikatan, umat, dan bangsa.
Sifat HW
HW adalah sistem pendidikan untuk anak, remaja, dan pemuda di luar lingkungan
keluarga dan sekolah :
Identitas HW
Ciri khas HW adalah Prinsip Dasar Kepanduan dan Metode Kepanduan, yang harus
diterapkan dalam setiap kegiatan. Pelaksanaannya disesuaikan kepentingan, kebutuhan,
situasi, kondisi masyarakat, serta kepentingan Persyarikatan Muhammadiyah.
2. Metode Kepanduan