You are on page 1of 76

HZ’s Cyber Library

Disusun Oleh:
HIZRED AL-CHEMY

$%$%$%$%
$%$%$%$%
i
#

$%
% &

FREEBOOK

! " !' ()*+


!'
cyber.library806@gmail.com

ii
MUKADIMAH

Dalam kehidupan kaum Muslimin yang mendekati akhir zaman ini, memang ada
yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank. Bahkan ada
pendapat yang terang-terangan menghalalkannya. Ini dikarenakan keterlibatan kaum
Muslimin dalam sistem kehidupan Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem
Sosialisme-Atheisme. Bagi yang masih berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah
menurut pemahaman Salafus Sholeh, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas
keadaan yang bersih dan halal.
Semakin berkembangnya zaman beriringan dengan berkurangnya ‘ilmu dan
pemahaman Umat Islam pada warisan Rasul yang mulia Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh
karenanya, terlahirlah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu membeda-bedakan
antara satu paham dengan paham lainnya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang
paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai paham dan pemikiran.
Dalam tulisan yang singkat ini, terdapat berbagai kumpulan fatwa ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah yang terpercaya ke’ilmuannya dan termahsyur kefaqihannya dalam
hal syari’at Islam. Mudah-mudahan tulisan yang diketengahkan tentang seputar masalah
“Fenomena Bunga Bank dalam Perspektif Islam” menjadi bacaan bermanfaat bagi kita
semua.

i
DAFTAR ISI

MUKADIMAH ................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Riba ................................................................................... 1
Hadits-hadits Tentang Riba ............................................................................................... 4
Hukum Menyimpan Uang di Bank.................................................................................... 12
Saham-saham Bank ........................................................................................................... 33
Hukum Bekerja di Bank .................................................................................................... 36
Pertumbuhan Bank Syari’ah .............................................................................................. 46
Karakteristik Bank Syari’ah .............................................................................................. 52
Mencari Solusi Bank Syari’ah ........................................................................................... 57
DAFTAR BACAAN ......................................................................................................... 72

ii
Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Riba

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya” [Al-Baqoroh: 275]

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa” [Al-Baqoroh: 276]

1
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” [Al-Baqoroh: 278]

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”
[Al-Baqoroh: 279]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” [Ali-
‘Imran: 130]

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” [Ar-Rum: 39]

2
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena
mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” [An-Nisa’: 160-161]

3
Hadits-hadits Tentang Riba

Dari Thaisalah bin Mayyas, dia berkata,

!" # $ %&'( ) #("

. )3 45 ' 6 #47 .* + 0 2 .#/"+ 01 .* + ,-

8 9" 2 :(;<, = +2 >?'@ A 2 :B ,4! 9" C+2 E


D F GDH

J% ON 2 I4C4J K 2 %&4, 1 L < 2 M7C7 * 9" 2

W .#/"+ 0:'(& 9S%5 T UV<52 '( P' A5 . ,- 1 * + P Q" R

Z[ \ #( XE
D .* + Y8 " K%(- .#/"+ 0F % 2 UY? .* + XE
D 2

# (C] :'(& ' /S%C Z R^ \C,R_ 2


"Aku bersama orang-orang keturunan Najdah bin Amir Al Khariji, yang
membuat aku banyak melakukan dosa-dosa besar. Kemudian aku melaporkannya
kepada Ibnu Umar, seraya bertanya, "Apa dosa-dosa itu?" Aku menjawab, "Ini dan
itu." Ibnu Umar berkata, "Itu tidak termasuk dosa-dosa besar. Dosa-dosa besar itu,
ada sembilan, yaitu menyekutukan Allah, membunuh orang, lari dari peperangan,
menuduh zina kepada wanita mukmin, memakan harta riba, mengambil harta anak
yatim, melenceng di masjid, orang yang suka menghina (mengejek), dan
(menyebabkan) orang tua menangis karena durhaka (kepada keduanya)." Ibnu Umar
berkata, kepadaku, "Apakah engkau takut dari neraka dan ingin masuk surga?" Saya
berkata, "Apa benar, demi Allah?," Ibnu Umar berkata, "Apakah orang tuamu masih
4
hidup?" Saya menjawab, "Ibu saya masih hidup." Ibnu Umar berkata, "Demi Allah!
sekiranya engkau berbicara lemah lembut kepadanya dan memberi makan
kepadanya, maka niscaya engkau benar-benar akan masuk surga selama dosa-dosa
besar itu dijauhi." [Shahih, dalam kitab Ash-Shahihah (2898)].

f`J% G2 f` 5 2 f`/ 2 f 8 9 d M/e2 `7/- E Y/$ `/ *" e R c .* + `(- E 1a b ] -

M3 /4 6 2 h Og e M .* +2

“Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam


melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya”.
Beliau bersabda: "Mereka itu sama." [H.R Muslim].

4J T R e2 :i j /j 8 c .* + M/e2 `7/- E Y/$ 81 '( - `(- E 1a LB R4 `/ % - -2

` ,C M < 2 fo ;CI `] 6 2 h M/4, 9]' m - 8 Y Tn2 f`' " 9" ]' k (J T 9" l

`<'<$2

“Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: " Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti
seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan
seorang muslim." [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan
lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih].

5
/o l TB q o!q2 V V c M/e2 `7/- E Y/$ `/ *" e * + .* + `(- E 1a p J 1 -2

M3 /4 6 2 h \ L @Ce 2 L q , f9b l, /o l TB q o!q2 :'rA :" 'rA 2 9b l,

“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa


Sallam bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas yang sama timbangannya
dan sama sebanding, dan perak dengan perak yang sama timbangannya dan sama
sebanding. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka itu riba." [H.R
Muslim]

Dari Auf bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati-hatilah
dengan dengan dosa-dosa yang tidak akan diampuni. Ghulul (baca:korupsi), barang siapa
yang mengambil harta melalui jalan khianat maka harta tersebut akan didatangkan pada
hari Kiamat nanti. Demikian pula pemakan harta riba. Barang siapa yang memakan harta
riba maka dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti dalam keadaan gila dan berjalan
sempoyongan” [HR Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir no 110 dan dinilai hasan li
ghairihi oleh al Albani dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib no. 1862].

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang
jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh ada sejumlah orang dari umatku yang
menghabiskan waktu malamnya dengan pesta pora dengan penuh kesombongan,

6
permainan yang melalaikan lalu pagi harinya mereka telah berubah menjadi kera dan
babi. Hal ini disebabkan mereka menghalalkan berbagai yang haram, mendengarkan para
penyanyi, meminum khamr, memakan riba dan memakai sutra” [HR Abdullah bin Imam
Ahmad dalam Zawaid al Musnad [Musnad Imam Ahmad no. 23483], dinilai hasan li
ghairihi oleh Al Albani dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib no. 1864].

“Ingatlah, segala perkara jahiliah itu terletak di bawah kedua telapak kakiku. Semua
kasus pembunuhan di masa jahiliah itu sudah dihapuskan. Kasus pembunuhan yang
pertama kali kuhapus adalah pembunuhan terhadap Ibnu Rabi’ah bin al Harits. Dulu dia
disusui oleh salah seorang Bani Saad lalu dibunuh oleh Hudzail. Riba jahiliah juga telah
dihapus. Riba yang pertama kali kuhapus adalah riba yang dilakukan oleh Abbas bin
Abdil Muthallib. Sungguh semuanya telah dihapus” [HR Muslim 3009 dari Jabir bin
Abdillah].

Dari Samurah bin Jundab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semalam aku
bermimpi ada dua orang yang datang lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah
yang suci. Kami berangkat sehingga kami sampai di sebuah sungai berisi darah. Di tepi
sungai tersebut terdapat seorang yang berdiri. Di hadapannya terdapat batu. Di tengah

7
sungai ada seorang yang sedang berenang. Orang yang berada di tepi sungai memandangi
orang yang berenang di sungai. Jika orang yang berenang tersebut ingin keluar maka
orang yang berada di tepi sungai melemparkan batu ke arah mulutnya. Akhirnya orang
tersebut kembali ke posisinya semula. Setiap kali orang tersebut ingin keluar dari sungai
maka orang yang di tepi sungai melemparkan batu ke arah mulutnya sehingga dia
kembali ke posisinya semula di tengah sungai. Kukatakan, “Siapakah orang tersebut?”.
Salah satu malaikat menjawab, “Yang kau lihat berada di tengah sungai adalah pemakan
riba” [HR Bukhari no. 1979]

“Dari Abu Umamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Barangsiapa memberi syafa'at (menjadi perantara untuk suatu kebaikan)
kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah dan diterimanya, maka ia telah mendatangi
sebuah pintu besar dari pintu-pintu riba." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam
sanadnya ada pembicaraan.

Rasulullah Sholallahu’alaihi wa sallam melaknat orang yang mengambil riba, yang


menjalani riba dan kedua orang saksi mereka. Beliau bersabda: "Mereka semua sama
(berdosanya)". [HR. Ahmad]

“Akan datang satu masa dimana tiada seorangpun yang tidak makan uang riba. Kalau
tidak ribanya maka ia akan terkena asapnya (atau debunya)”. [HR. Abu Dawud]

“Kalau kamu melakukan perdagangan dengan riba, hanya menjadi peternak-peternak dan
senang hanya dengan bertani saja dan meninggalkan jihad (perjuangan) maka Allah akan
menimpakan kehinaan atasmu. Kamu tidak dapat mencabut kehinaan itu sehingga kamu
kembali kepada Ad Dienmu” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]

8
Hadis riwayat Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu: Bahwa Rasulullah Sholallahu’alaihi
wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh hal yang merusak. Ada yang bertanya: Ya
Rasulullah, apa tujuh hal itu? Rasulullah Sholallahu’alaihi wa sallam. bersabda:
“Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
alasan yang benar, makan harta anak yatim, makan riba, lari dari medan pertempuran
dan menuduh berzina wanita-wanita yang terjaga (dari berzina) yang lalai dan beriman”.
[Shahih Muslim No.129]

Hadis riwayat Sahal bin Abu Hatsmah Radliyallaahu 'anhu: Bahwa Rasulullah
Sholallahu’alaihi wa sallam melarang penjualan kurma basah dengan kurma kering,
beliau bersabda: “Demikian itu adalah riba yang ada dalam muzabanah, hanya saja
beliau memberi keringanan dalam penjualan secara Ariah, yaitu satu atas dua buah pohon
kurma diambil oleh suatu keluarga dengan cara ditaksir dengan kurma kering lalu mereka
makan buahnya yang masih setengah matang” [Shahih Muslim No.2842]

Hadis riwayat Barra` bin Azib Radliyallaahu 'anhu: Dari Abul Minhal ia berkata:
“Seorang kawan berserikatku menjual perak dengan cara kredit sampai musim haji lalu ia
datang menemuiku dan memberitahukan hal itu”. Aku berkata: “Itu adalah perkara yang
tidak baik”. Ia berkata: “Tetapi aku telah menjualnya di pasar dan tidak ada seorang pun
yang mengingkarinya. Maka aku (Abul Minhal) mendatangi Barra` bin `Azib dan
menanyakan hal itu”. Ia berkata: “Nabi Sholallahu’alaihi wa sallam tiba di Madinah
sementara kami biasa melakukan jual beli seperti itu”, lalu beliau bersabda: “Selama
dengan serah-terima secara langsung, maka tidak apa-apa. Adapun yang dengan cara
kredit maka termasuk riba. Temuilah Zaid bin Arqam, karena ia memiliki barang
dagangan yang lebih banyak dariku. Aku lalu menemuinya dan menanyakan hal itu. Ia
menjawab seperti jawaban Barra`” [Shahih Muslim No.2975]

Hadis riwayat Abu Said Radliyallaahu 'anhu, ia berkata: “Bilal datang membawa kurma
Barni (sejenis kurma berkwalitas baik) lalu Rasulullah Sholallahu’alaihi wa sallam

9
bertanya: “Dari mana kamu memperoleh kurma ini ?” Bilal menjawab: “Kami
mempunyai kurma jelek lalu aku menjual sebanyak dua sha` dengan satu sha` (kurma
yang baik) untuk santapan Nabi Sholallahu’alaihi wa sallam. Mendengar itu Rasulullah
Sholallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Itulah riba, janganlah berbuat seperti itu! Tetapi
jika kamu ingin membeli kurma yang baik, jualah kurmamu dengan harga tertentu lalu
belilah kurma yang baik dengan harga itu”. [Shahih Muslim No.2985]

Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri Radliyallaahu 'anhu: Dari Abu Nadhrah ia berkata:
“Aku bertanya kepada Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu tentang tukar-menukar emas
dengan emas atau emas dengan perak atau perak dengan emas, maka ia balik bertanya:
Apakah dengan serah-terima secara langsung ?” Aku menjawab: “Ya”. Kemudian ia
berkata: “Tidak apa-apa”. Maka aku memberitahu Abu Said, aku berkata: “Aku pernah
bertanya kepada Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu tentang tukar menukar emas dengan
emas atau emas dengan perak atau perak dengan emas”, ia balik bertanya: “Apakah
dengan serah-terima secara langsung ?” Aku menjawab: “Ya”. Ia berkata: “Kalau begitu,
tidak apa-apa. Dia (Abu Said) berkata: “Benarkah ia berkata demikian? Aku akan
menulis surat kepadanya agar ia tidak lagi memberikan fatwa begitu kepadamu”. Ia
melanjutkan: “Demi Allah, beberapa orang pemuda pernah datang kepada Rasulullah
Sholallahu’alaihi wa sallam membawa sejenis kurma yang beliau tidak kenal lalu beliau
bersabda: “Sepertinya kurma ini bukan berasal dari tanah kita”. Pemuda tadi berkata:
“Dalam kurma hasil tanah kita atau kurma kita tahun ini terdapat sedikit kerusakan, lalu
aku menukarkan kurma yang baik ini dengan menambahkan takaran (kurma jelek)”.
Beliau bersabda: “Kamu telah melebihkan, berarti kamu telah melakukan riba. Jangan
sekali-kali kamu lakukan itu, apabila kurmamu tidak baik, maka juallah, kemudian
uangnya kamu belikan kurma yang lebih baik sesuai dengan seleramu”. [Shahih Muslim
No.2988]

Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri Radliyallaahu 'anhu, ia berkata: “Dinar ditukar
dengan dinar, dirham dengan dirham harus sama nilainya. Barang siapa menambah atau

10
meminta tambahan berarti ia telah melakukan riba”. Maka aku berkata kepadanya:
“Sesungguhnya Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu tidak mengatakan demikian”. Ia
berkata: “Aku telah menemui Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu lalu aku bertanya
kepadanya: “Apa pendapatmu mengenai apa yang kamu katakan, apakah itu sesuatu yang
kamu dengar dari Rasulullah Sholallahu’alaihi wa sallam atau kamu temukan dari Kitab
Allah?” Maka ia berkata: “Aku tidak mendengarnya dari Rasulullah dan tidak
mendapatkannya dari Kitab Allah, tetapi Usamah bin Zaid berkata kepadaku bahwa Nabi
Sholallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda: “Riba itu terdapat dalam penundaan
pembayaran”. [Shahih Muslim No.2990]

Hadis riwayat Usamah bin Zaid Radliyallaahu 'anhu: Bahwa Nabi Sholallahu’alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya riba itu hanya terdapat pada penundaan pembayaran”.
[Shahih Muslim No.2991]

“Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri maka mereka (penghuninya)
sudah menghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah”. [HR. Ath-Thabrani dan Al
Hakim]

11
Hukum Menyimpan Uang di Bank

Fatwa ‘Ulama Ahlu Sunnah Waljama’ah:


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Kami adalah para pegawai Turki yang bekerja di
kerajaan Saudi Arabia. Negara kami Turki, sebagaimana yang kita maklumi, adalah
negara yang menjadikan sekulerisme sebagai hukum dan undang-undang. Riba demikian
memasyrakat di negeri kami dalam aplikasi yang aneh sekali, hingga mencapai 50%
dalam satu tahunnya. Kami disini terpaksa mentransfer uang kepada keluarga kami di
Turki melalui jasa bank-bank tersebut, yang jelas merupakan sumber dan biangnya riba.

Kami juga terpaksa menyimpan uang kami di bank karena khawatir dicuri, hilang atau
bahaya-bahaya lain. Dengan dasar itu, kami mengajukan dua pertanyaan penting bagi
kami. Tolong berikan penjelasan dalam persoalan kami ini, semoga Allah memberi kan
pahala terbaik bagi anda.

Pertama: Bolehkah kami mengambil bunga dari bank-bank riba tersebut lalu kami
sedekahkan kepada fakir miskin atau membangun sarana umum, daripada dibiarkan
menjadi milik mereka ?

Kedua: Kalau memang tidak boleh, apakah boleh menyimpan uang di bank-bank
tersebut dengan alasan darurat untuk menjaga uang itu agar tidak tercuri atau hilang,
tanpa mengambil bunganya ? Harus dimaklumi, bahwa pihak bank akan memanfaatkan
uang tersebut selama masih ada didalammnya.

12
Jawaban:
Kalau memang terpaksa mentransfer uang melalui bank riba, tidak ada masalah, insya
Allah, berdasarkan firman Allah Ta’ala.

“Artinya : …. Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang


diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya..” [Al-An’aam :
119]

Tidak diragukan lagi, bahwa mentransfer uang melalui bank-bank itu termasuk bentuk
kedaruratan umum pada masa sekarang ini, demikian juga menyimpan uang didalamnya
tanpa harus mengambil bunganya. Kalau diberi bunga tanpa ada kesepakatan sebelumnya
atau tanpa persyaratan, boleh saja diambil untuk dioperasikan di berbagai kebutuhan
umum, seperti membantu fakir miskin, menolong orang-orang yang terlilit hutang dan
lain sebagainya.

Namun bukan untuk dimiliki dan digunakan sendiri. Keberadaannya bahkan berbahaya
bagi kaum muslimin bila ditinggalkan begitu saja, walaupun dari usaha yang tidak
diperbolehkan. Maka lebih baik digunakan untuk yang lebih bermanfaat bagi kaum
muslimin, daripada dibiarkan menjadi milik orang-orang kafir sehingga justru digunakan
untuk hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Namun bila mungkin mentransfer melalui bank-bank Islam atau melalui cara yang
diperbolehkan, maka tidak boleh mentransfer melalui bank-bank riba. Demikian juga
menyimpan uang, bila masih bisa dilakukan di bank-bank Islam atau di badan-badan
usaha Islam, tidak boleh menyimpannya di bank-bank kafir berbasis riba, karena
hilangnya unsur darurat. Hanya Allah yang bisa memberikan taufiqNya.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal edisi Indonesia Fatawa bin Baz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baaz, Penerbit At-Tibyan – Solo]

13
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang pemuda masih melanjutkan
studi di Amerika dan terpaksa menyimpan uangnya di bank ribawi. Oleh karena itu,
sebagai imbalannya, bank memberinya bunga ; apakah boleh dia mengambilnya, lalu
mengalokasikannya ke berbagai proyek amal (kebajikan) ? Sebab, bila dia tidak
mengambilnya, maka bank tersebut akan menggunakannya untuk kepentingannya.

Jawaban:
Pertama.
Saya tegaskan bahwa seseorang tidak boleh hukumnya menyimpan uangnya di bank-
bank seperti itu karena jika bank-bank tersebut menyimpan uangnya, ia akan
menggunakannya dan membisniskannya. Sebagaimana telah diketahui bahwa kita tidak
selayaknya memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir untuk menguasai harta-
harta kita, yang kemudian mereka pergunakan untuk mengais rizki di balik itu.

Jika memang terpaksa melakukan hal itu, seperti seseorang takut hartanya dicuri atau
dirampas, bahkan khawatir dirinya dibunuh karena hartanya mau dirampok ; maka tidak
apa-apa dia menyimpan hartanya di bank-bank seperti itu karena terpaksa (darurat). Akan
tetapi, ketika dia menyimpannya dalam kondisi terpaksa. Tidak boleh dia mengambil
sesuatu sebagai imbalan atas simapanan tersebut, bahkan haram hukumnya karena itu
adalah riba, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan dalam firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan

14
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tida (pula) dianiaya” [Al-Baqarah : 278-279]

Ayat tersebut sangat transparan dan jelas sekali melarang kita agar tidak mengambil
sesuatupun darinya.

Saat hari Arafah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpidato di hadapan kaum
muslimin seraya bersabda.

“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya riba jahiliyah sudah dilenyapkan”

Jadi, riba yang sebelum Islam pernah dijalankan telah dilenyapkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam

“Artinya : Dan, riba pertama dari riba (yang pernah ada dalam kehidupan) kami, yang
aku lenyapkan adalah riba (yang dilakukan) Abbas bin Abdul Muththalib. Sesungguhnya
riba itu semua telah dilenyapkan” [Hadits Riwayat Muslim, Kitabul Hajj 1218]

Jika anda mengatakan, sesungguhnya bila anda tidak mengambilnya, maka mereka itu
akan menguasai harta anda, mengambilnya dan menggunakannya untuk kepentingan
gereja-gereja dan perlengkapan-perlengkapan perang guna memerangi kaum muslimin.

Jawaban kami, sesungguhnya jika saya melaksanakan perintah Allah untuk meninggalkan
riba, maka apa yang dihasilkan dari hal itu bukanlah dari usaha saya. Saya diperintahkan
dan dituntut untuk melaksanakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Dan bila kemudian
implikasinya adalah timbulnya berbagai kerusakan, maka itu bukan buah dari yang saya
upayakan. Bagi saya, ada hal yang perlu didahulukan dari Allah, yaitu menjalankan
firmanNya.

15
“Artinya : Tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)” [Al-Baqarah : 278]

Kedua.
Kami akan mengatakan, apakah bunga yang diberikan kepada saya berasal dari harta saya
sendiri ?

Jawabannya. Sesungguhnya ia bukanlah berasalah dari harta saya sebab bisa jadi mereka
menginvestasikan harta saya, membisniskannya lantas merugi. Jadi, bunga yang
diberikan kepada saya jelas bukan buah dari pengembangan harta milik saya bahkan
mereka terkadang juga mendapatkan keuntungan atau mendapatkan keuntungan yang
lebih dari iru. Atau bisa jadi pula mereka sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari
harta milik saya tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan, ketika mereka menguasai
sesuatu dari harta milik saya, mereka akan menyalurkannya untuk kepentingan gereja-
gereja atau membeli sejata yang banyak untuk menghadapi kaum muslimin.

Ketiga.
Kami akan mengatakan bahwa mengambil harta riba tersebut, berarti telah terjerumus ke
dalam hal yang telah diakui orang sebaga riba sebab orang ini kelak di Hari Kiamat akan
mengakui di hadapan Allah bahwa ia adalah riba. Bila demikian halnya riba, apakah
mungkin seseorang beralasan lagi bahwa sesuatu memiliki maslahat padahal dia yakin
adalah riba ? Jawabannya, Tidak. Sebab, qiyas tidak berlaku bila bertentangan dengan
nash (teks) agama.

Keempat.
Apakah sudah dapat dipastikan bahwa mereka, seperti penuturan anda,
mengalikasikannya untuk kepentingan gereja-gereja atau pembuatan perlengkapan-
perlengkapan perang melawan kaum muslimin ? Jawabnya, hal itu tidak dapat dipastikan.
Jadi, bila kita mengambilnya, berarti kita telah jatuh ke dalam larangan yang riil hanya

16
demi manjaga timbulnya kerusakan yang masih ilusif (samara), sedangkan akal sulit
menerima hal itu. Artinya, akal sulit menerima bahwa seseorang melakukan sesuatu yang
menimbulkan kerusakan yang riil untuk mencegah kerusakan yang ilusif ; yang bisa
terjadi dan bisa pula tidak. Sebab, boleh jadi bank mengambil bunga tersebut hanya untuk
kepentingannya semata. Boleh jadi pula, para pegawai bank itu mengambilnya hanya
untuk kepentingan pribadi masing-masing, sebaliknya, tidak dapat dipastikan pula bahwa
bunga bank riba tersebut digunakan untuk kepentingan gereja-gereja atau perlengkapan-
perlengkapan perang melawan kaum muslimin.

Kelima.
Bahwa bila anda mengambil apa yang anda klaim sebagai bunga dengan niat akan
menyalurkannya dan mengeluarkannya dari kepemilikan anda sebagai upaya
menghindarkan diri darinya, maka ini samalah artinya anda telah melumuri diri anda
dengan keburukan untuk kemudian berusaha mensucikannya kembali. Ini bukan cara
berfikir yang logis. Oleh karena itu, kami tegaskan : “Jauhilah keburukan tersebut
terlebih dahulu sebelum anda melumuri diri dengannya, baru kemudian berusaha untuk
mensucikan diri darinya. Apakah dapat diterima, bahwa ada seseorang melempar
pakaiannya kea rah air kencing demi untuk mensucikannya bila terkena air kencing
tersebut ? Sama sekali ini tidak masuk akal. Jadi, selama anda meyakini bahwa ini adalah
haram dan riba, kemudian anda mengambilnya, menyedekahkannya dan menghindarkan
diri (berlepas diri) darinya. Kami katakana, seharusnya dari awal, jangan anda ambil dan
bersihkan diri anda darinya.

Keenam.
Kami katakana lagi, bila seseorang mengambilnya dengan niat seperti itu, apakah dia
yakin bisa mengalahkan (ketamakan) dirnya sehingga dapat menghindar darinya dengan
cara mengalokasikannya kepada hal yang berbentuk sedekah atau kemaslahatan umum ?
sama sekali tidak, sebab boleh jadi dia mengambilnya dengan niat seperti itu akan tetapi
kemudian bila hatinya menginformasikan kegunaannya dan jiwanya membisikkan agar

17
mempertimbangkannya kembali bila mendapatkan bung riba tersebut dalam jumlah
sekian ikat (lembar), seperti satu juta atau seratus ribu. Maka, memang dia pada mulanya
memiliki tekad, namun kemudian tekad tersebut berubah menjadi pertimbangan
terhadapnya. Setelah mempertimbangkan hal itu, dia berubah pikiran lagi untuk
memasukkannya saja ke dalam kotak. Seseorang tidak dapat menjamin dirinya ;
kadangkala dia mengambil dengan niat seperti itu, namun tekadnya batal ketika melihat
sekian banyak ikatan (lembaran) uang tersebut, lalu menjadi tamak dan tidak berdaya
untuk mengeluarkannya lagi.

Pernah diceritakan kepada saya kisah sebagian orang-orang bakhil yang pada suatu hari
naik keatas loteng rumah dan memasukkan dua jarinya ke dalam dua telinganya lantas
berteriak ke arah tetangganya, “Tolonglah saya, tolonglah saya!!” Merekapun
menghampirinya sembari berkata, “Ada apa gerangan, wahai fulan ?” Dia menjawab,
“Saya telah memisahkan zakat saya dari harta saya untuk mengeluarkannya, tetapi saya
mendapatkannya banyak sekali, lalu jiwa saya membisikkan, ‘Bila ia diambil oleh orang
lain, hartamu pasti akan berkurang’. Karena itu, tolonglah saya agar bisa lepas dari
cengkeramannya !”.

Ketujuh.
Sesungguhnya mengambil riba merupakan tindakan menyerupai orang-orang Yahudi
yang telah dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya.

“Artinya : Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi. Kami haramkan atas


mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih” [An-Nisa : 160-161]

18
Kedelapan.
Sesungguhnya mengambil riba berarti membahayakan dan menyakiti kaum muslimin,
sebab para tokoh agama Nashrani dan Yahudi mengetahui bahwa dienul Islam
mengharamkan riba ; Bila si muslim ini mengambilnya, mereka akan berkata, “Coba
lihat, kitab kaum muslimin itu mengharamkan riba atas mereka tetapi mereka tetap
mengambilnya dari kita” Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah titik kelemahan
kaum muslimin, sebab bila musuh-musuh sudah mengetahui bahwa kaum muslimin telah
menyimpang dari dien mereka, maka tahulah mereka secara yakin bahwa inilah titik
kelemahan mereka (kaum muslimin). Sebab, perbuatan maksiat tidak hanya berimplikasi
kepada pelaku maksiat di kalangan kaum muslimin saja, tetapi terhadap Islam secara
keseluruhan. Dalam hal ini, Allah berfirman.

“Artinya : Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-
orang yang zhalim saja di antara kamu” [Al-Anfal : 25]

Mari kita renungkan, para sahabat yang merupakan Hizbullah dan tentaraNya keluar pada
perang Uhud bersama manusia paling mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu melakukan satu kali maksiat saja, apa yang terjadi terhadap mereka setelah itu ?
Kekalahan, setelah sebelumnya mendapatkan kemenangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
“Artinya : Sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan
mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu
sukai” [Ali Imran : 152]

Yakni terjadilah apa yang tidak kalian sukai. Jadi, perbuatan-perbuatan maksiat memiliki
pengaruh yang besar terhadap keterbelakangan kaum muslimin dan penguasaan oleh
musuh-musuh Islam terhadap mereka serta kekerdilan diri mereka di hadapan mereka.

19
Manakalah setelah diraihnya kemenangan, ia bisa lepas akibat perbuatan maksiat ; maka
bagaimana tanggapan anda manakala kemenangan belum lagi diraih ?

Musuh-musuh kaum muslimin akan bergembira bilamana kaum muslimin mengambil


riba. Sekalipun dari sisi lain mereka tidak menyukai hal itu, akan tetapi mereka
bergembira lantaran kaum muslimin akan kalah bila terjerumus ke dalam perbuatan
maksiat.

Salah satu dari kedelapan aspek negatif yang dapat saya tuangkan tadi cukup sebagai
dalil pelarangan mengambil bunga-bunga bank tersebut. Menurut perkiraan saya, rasanya
seorang yang mencermati hal ini dan merenungkannya secara penuh hanya akan
mendapatkan bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini adalah ketidakbolehan
mengambilnya. Dan inilah pendapat yang saya pegang dan saya fatwakan. Bilamana ia
benar, maka hal itu semata berasal dari Allah, Dia-lah Yang menganugrahkannya dan
segala puji bagi Allah atas hal itu. Jika ia keliru, maka semata ia berasal dari diri saya
akan tetapi saya berharap ia adalah pendapat yang benar sesuai dengan hikmah-hikmah
dan dalil-dalil Sam’iy (nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang telah saya sebutkan.

[Majmu Durus Wa Fatawa Al-Haram Al-Makkiy, Juz III, hal.386, dari Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 31-37 Darul Haq]

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kami tinggal di negeri yang
penduduknya (kebanyakan) non muslim. Di negeri kami, Allah telah memberikan karunia

20
uang yang berlimpah sehingga perlu kami jaga dengan disimpan pada salah satu Bank
Amerika. Kami kaum muslimin, biasa menyimpan uang kami di bank seperti itu tanpa
mengambil bunganya. Tentu saja mereka merasa senang dengan hal itu, dan menuduh
kami bodoh, karena kami menginvestasikan uang kami kepada mereka, yang mana uang
tersebut mereka gunakan untuk menyebarluaskan ajaran Nashrani, yakni dengan harta
kaum muslimin !!

Pertanyaan saya: Kenapa kita tidak menggunakan saja uang-uang bunga tersebut dan
memanfaatkannya untuk menolong kaum muslimin yang kekurangan, atau untuk
membangun masjid dan sekolah-sekolah Islam ? Apakah seorang muslim berdosa bila
mengambil bunga-bunga tersebut dan menggunakannya di jalan Allah, sebagai
sumbangan bagi kaum mujahidin, atau seballiknya ?

Jawaban
Menginvestasikan uang di bank-bank riba tidak boleh, baik itu dikelola oleh sesama
muslim apalagi oleh non muslim. Karena itu sama saja dengan menolong mereka
melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran, meskipun tidak menghasilkan bunga. Akan
tetapi kalau seorang muslim terpaksa melakukan perbuatan itu dengan menjaga uangnya
saja tanpa mengambil bunganya, maka tidak menjadi masalah, insya Allah, berdasarkan
firman Allah.

“Artinya : … Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang


diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya..” [Al-An’am :
119]

Adapun bila dengan persyaratan harus menghasilkan bunga, dosanya lebih besar lagi.
Karena riba termasuk dosa terbesar. Allah telah mengharamkan riba dalam Kitab-Nya
yang mulia dan juga melalui lisan RasulNya Al-Amiin. Allah memberitahukan bahwa
harta riba itu akan musnah, dan bahwa orang yang kecanduan melakukan riba berarti

21
memerangi Allah dan RasulNya. Kalau seandainya mereka membelanjakan harta tersebut
demi kebajikan dan kebaikan atau untuk menolong kaum mujahidin, pasti Allah akan
memberikan pahala buat mereka dan menggantikan harta itu dengan yang lain,
sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara
tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati …” [Al-
Baqarah : 274]

Allah juga berfirman.


“Artinya : Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya
dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya …” [As-Saba : 39]

Menafkahkan harta dalam ayat itu termasuk membayar zakat atau yang lainnya.
Diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Harta itu tidak akan berkurang karena sedekah. Setiap kali seorang hamba memberi
maaf, pasti Allah akan menambah kemulianNya. Setiap kali seorang hamba bersikap
tawaddhu, pasti Allah akan mengangkat derajatnya”.

Diriwayatkan juga dengan shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
belaiu bersabda.

“Pada setiap pagi yang dialami oleh umat manusia, pasti turun dua malaikat, salah
satunya berkata : “Ya Allah, berikanlah ganti dari sedekah yang dikeluarkan oleh hamba-
Mu”. Sementara yang kedua berkata : “Ya Allah, berikanlah kehancuran bagi hamba-Mu
yang kikir dengan hartanya”.

22
Berbagai ayat dan hadits yang menjelaskan keutamaan sedekah di jalan kebajikan dan
sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan amatlah banyak sekali.

Akan tetapi kalau seorang investor mengambil bunga riba karena tidak mengetahuinya,
atau karena kurang hati-hati, namun kemudian Allah memberinya petunjuk sehingga bisa
bersikap benar, maka ia harus membelanjakan harta riba tersebut di jalan kebajikan atau
untuk usaha kebaikan, tidak membiarkan harta riba tersebut mendekam dalam harta
miliknya. Karena harta riba itu dapat merusak harta lain yang tercampur dengannya,
sebagaimana firman Allah.

“Artinya : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah …[Al-Baqarah : 276]

Semoga Allah memberikan taufiqNya.

[Al-Fatawa Juz Awwal, Edisi Indonesia Fatawa bin Baz, Penerbit At-Tibyan Solo]

Oleh:
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Fadhilatusy Syaikh, yang mulia,
ada seseorang yang menitipkan sejumlah uang di salah satu bank luar negeri sebagai
amanat dan sudah berjalan selama beberapa waktu, lalu ketika dia ingin menariknya dari
bank, dia mendapatkan jumlahnya telah bertambah (karena berbunga) lebih dari modal
semula ketika menitipkan. Apa hukumnya dan bagaimana tindakan yang sesuai dengan
syari’at terhadap jumlah uang yang lebih tersebut ? Apakah dia mengalokasikannya
kepada orang-orang yang memerlukannya, keluarga dekat yang miksin dan selain mereka
ataukah dia menanamkan sahamnya pada proyek-proyek kebajikan yang berbeda? Kami

23
mohon difatwakan mengenai hal itu, semoga Allah mengganjar pahala bagi anda dan
membalas kebaikan anda dari kami dengan sebaik-baik balasan.

Jawaban
Tidak dapat disangkal lagi bahwa harta adalah milik Allah yang dianugrahkanNya
kepada orang yang Dia kehendaki akan tetapi ia (harta tersebut) menjadi haram manakala
sudah dimiliki oleh seseorang, dengan begitu ia menjadi khabits (kotor) bagi orang yang
mendapatkannya dengan cara mencuri, ghashab (mengambil tanpa izin), menipu, riba,
risywah (suap), mengecoh, hasil dari khamr atau semisalnya.

Selain daripada itu, sesungguhnya pengharaman tersebut khusus pada tindakan


melakukan hal itu, yakni (haram terhadap) orang yang melakukan ghashab, orang yang
melakukan riba dan semisalnya.

Maka berdasarkan hal ini, kapan saja harta-harta tersebut dialokasikan (disalurkan)
kepada lahan-lahan alokasi yang disyari’atkan maka ia menjadi halal dan dibolehkan.
Oleh karena itu, kaum muslimin mengambil upeti (jizyah) dari hasil khamr dan
sebagainya. Dalam hal ini, Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Biarkan mereka mejualnya dan ambillah hasil penjualannya sebagai jizyah dan kharaj
sebab Allah telah membolehkan mengambil harta rampasan dari orang-orang kafir
sekalipun dari hasil-hasil khamr, babi dan pajak”.

Berdasarkan hal ini pula, bunga-bunga yang diambil oleh pemilik modal, tidak halal akan
tetapi dia tidak boleh membiarkannya diambil oleh orang-orang kafir yang
memanfaatkannya untuk membangun gereja-gereja dan memerangi kaum muslimin
bahkan dia harus mengalokasikannya untuk orang-orang miskin, masjid-masjid dan
berbagai bentuk amal yang kiranya bermanfaat bagi kaum muslimin. Karena ia kembali
kepada kaum muslimin, maka ia menjadi halal dan sifatnya sebagai khabits telah lenyap
sama seperti hasil penjualan babi dan hasil pelacuran bila si pelakunya bertaubat, harus

24
dialokasikan kepada kemaslahatan umum, kaum lemah, fakir dan sebagainya. Hal ini
juga telah difatwakan oleh Syaikh Abdullah bin Hamd rahimahullah dan ulama
selainnya, wallahu a’lam

[Fatwa yang diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin pada tanggal 14-12-
1419H]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seorang yang
mendapat bunga bank yang jumlahnya cukup besar –mudah-mudahan Allah mensucikan
kita dan melindungi kita serta kaum muslimin darinya- apakah dia boleh
mengalokasikannya di jalan kebaikan, misalnya membangun sekolah-sekolah syar’iyah
dan madrasah Tahfidzul Qur’an khususnya, dan sisanya diserahkan untuk kepentingan
lainnya? Dan apakah pembangunan masjid dengan menggunakan uang hasil bunga ini
diharamkan atau hanya sekedar makruh saja atau kebalikan dari yang pertama? Tolong
beritahu kami. Mudah-mudahan Allah membekali anda sekalian dengan ilmu dan
pemahaman.

Jawaban.
Uang bunga yang berbau riba termasuk harta haram. Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” [Al-Baqarah : 275]

Barangsiapa di tangannya masih terdapat sedikit dari uang seperti itu, maka hendaklah

25
dia segera melepaskan diri darinya, yaitu dengan menginfakannya untuk hal-hal yang
bermanfaat bagi kaum muslimin. Di antaranya adalah dengan membangun jalan,
madrasah atau memberikannya kepada kaum fakir miskin. Sedangkan masjid tidak boleh
dibangun dengan menggunakan uang yang berbau riba tersebut. Dan tidak diperbolehkan
bagi siapapun untuk mengambil bunga bank dan tidak terus menerus mengambilnya.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan


dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan
para sahabatnya.

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seseorang yang
memiliki sejumlah uang dan dia bermaksud untuk menabungnya di salah satu bank,
padahal dia tahu bank akan memberinya sejumlah bunga. Tetapi orang ini mengetahui
bawa bunga tabungan itu riba dan haram. Dimana jika dia menolaknya, maka bunga bank
itu akan diambil dan dimanfaatkan oleh pihak bank. Apakah dia boleh mengambil riba
tersebut dan memberikannya kepada keluarga miskin tanpa meminta balasan sama sekali.
Yang jelas, keluarga miskin itu hanya sekedar memanfaatkan uang tersebut, karena
mereka benar-benar membutuhkannya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk kepedulian
daripada uang tersebut dimanfaatkan oleh pihak bank ?

Jawaban.
Tidak diperbolehkan menabung uang di bank yang menjalankan praktek riba dengan
tujuan untuk mengambil bunga yang syarat dengan riba, untuk tujuan apapun. Sebab,
Allah telah mengharamkan riba dan memberi ancaman yang sangat keras terhadap hal
tersebut. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melaknat orang yang memakan
riba, yang memberi makan dengan riba, serta dua orang saksi dan juru tulisnya. Oleh
karena itu, tidak diperbolehkan mengambil bunga bank untuk kemudian
menyedekahkannya, karena ia merupakan menabung dengan niat untuk penghasilan yang

26
haram lagi kotor. Sedang Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan


dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan
para sahabatnya.

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya memiliki
sejumlah dana di salah satu bank negara ( di mana saya bermukim). Bank ini memberi
bunga bulanan kepada saya. Dan setelah mengikuti jawaban yang anda berikan terhadap
beberapa pertanyaan serupa, saya mendapatkan bahwa hal tersebut adalah riba. Lalu apa
yang harus saya lakukan terhadap bunga yang saya peroleh dari uang yang saya
tabungkan tersebut? Saya berharap anda mau menjelaskan kepada kami subtansi riba
tersebut. Mudah-mudahan Allah memberikan balasan kebaikan.

Jawaban.
Bunga yang anda telah ambil sebelum mengetahui pengharamannya, maka kami berharap
Allah memberikan ampunan kepada anda. Dan setelah mengetahui hukum haramnya,
maka anda wajib menyelamatkan diri darinya serta menginfakkannya di jalan kebaikan,
seperti misalnya menyedekahkannya kepada fakir miskin dan para mujahid di jalan
Allah, serta betaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari mu’amalah dengan riba
setelah mengetahuinya. Hal itu didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus behenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) ; dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Adapun orang-orang yang mengulangi (mengambil
riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni Neraka ; mereka kekal didalamnya” [Al-
Baqarah : 278]

27
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan
dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan
para sahabatnya.

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Tolong beritahu saya
–semoga Allah membalas kebaikan anda- tentang sejumlah dana yang saya pinjam dari
salah satu bank, yang nilainya 80.000 riyal. Dari dana tersebut dipotong oleh bank, yang
disebut sebagai komisi, fee, atau pengganti biaya kertas. Artinya, saya tidak menerima
uang tersebut secara penuh, tetapi saya harus mengembalikannya ke bank secara penuh.
Kemudian dari dana yang saya peroleh, saya pergunakan untuk berdagang. Tetapi setelah
itu saya benar-benar menyesali tindakan tersebut. Kemudian saya pun menangis, Allah
sebagai saksinya. Dan sesungguhnya saya memohon ampunan kepada Allah Yang
Mahaagung seraya bertaubat kepada-Nya dari segala macam dosa. Tolong beritahu kami
kaffarat perbuatan yang telah saya lakukan ini. Sungguh saya benar-benat takut akan
murka Allah kepada saya. Dan saya juga sangat takut bisnis saya yang telah kemasukan
sebagian dari dana tersebut akan berkembang melalui jalan yang haram.

Jawaban.
Apa yang anda alami tersebut adalah praktek riba. Dan itu termasuk salah satu dosa
besar. Kaffaratnya adalah istighfar (memohon ampunan) dan taubat nasuha, serta benar-
benar menyesali pebuatan yang telah berlalu itu, dan bertekad bulat untuk tidak
melakukannya lagi. Mudah-mudahan Allah akan memberikan ampunan atas apa yang
telah terjadi pada diri anda serta memaafkan anda.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan


dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan
para sahabatnya.

28
[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor 16576. Fatwa Nomor 19585, Pertanyaan
ke-2 dari Fatwa Nomor 15259. Fatwa Nomor 5998. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-
Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-
Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

Oleh:
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Banyak dari generasi
muda kaum muslimin yang menyimpan uang lebihnya di dalam beberapa rekening
tabungan di sejumlah bank. Dan pada akhir tahun, mereka mendapatkan bahwa bank
telah menambahkan sejumlah dana ke rekening mereka, yang tidak lain merupakan bunga
yang berhak mereka dapatkan dari penyimpanan uang selama waktu-waktu yang lalu.
Salah seorang diantara kami dengan tidak ragu-ragu menyatakan bahwa bunga tersebut
adalah haram dan tidak boleh tetap berada dengan harta kami yang halal.

Yang menjadi masalah kami adalah bahwa kami sering melihat kaum fakir miskin dari
kalangan kaum muslimin, baik itu yang berkebangsaan Amerika maupun mahasiswa
asing. Ada diantara mereka yang benar-benar membutuhkan pertolongan, sehingga
mereka tidak segan untuk meminta bantuan dan kebaikan. Apakah uang dari hasil bunga
di bank ini boleh diberikan kepada mereka daripada diberikan kepada bank? Mengenai
bank ini, minimal dapat dikatakan bahwa bank-bank itu adalah milik musuh kaum
mulismin. Dan itu semacam sedekah, sebagai ganti dari sedekah dengan harta yang halal,
bahkan semuanya itu saling berdampingan.

Jawaban
Dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda.
29
“Artinya : Emas dijual dengna emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai
dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal dengan semisal, dalam
jumlah yang sama dan tunai, tangan dengan tangan. Dan jika bagian-bagian ini berbeda,
maka juallah sekehendak hati kalian, jika dilakukan serta diserahkan seketika”.

Dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahih keduanya, dari
Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dimana dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama banyaknya,
janganlah pula melebihkan sebagiannya atas sebagian lainnya, dan jangan pula menjual
perak dengan perak kecuali sama banyaknya, serta janganlah kalian melebihkan sebagian
atas sebagian lainnya. Dan janganlah kalian menjualnya dengan cara sebagian tunai dan
sebagian lainnya ditangguhkan”.

Dalam lafazh lain disebutkan.


“Artinya : Emas dijual dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai
dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal dengan semisal, dalam
jumlah yang sama dan tunai, tangan dengan tangan. Barangsiapa menambah atau
meminta tambahan berarti dia telah melakukan praktek riba. Yang mengambil dan yang
memberi sama (kedudukannya)” [Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bukhari]

Dan tidak diragukan lagi bahwa nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan
pengharaman kedua macam riba, riba fadhl dan riba nasi’ah, tidak ada perbedaan, baik
yang terjadi antara orang muslim dengan muslim maupun orang muslim dengan orang
kafir yang menjadi musuh Allah. Islam dan kaum muslimin. Semua nash-nash tersebut
secara tegas mengharamkan seluruh akad yang berbau riba, meskipun para pelaku akan
tersebut mempunyai agama yang berbeda,

30
Mengenai banyaknya kaum muslimin yang miskin di Amerika dan tingginya kebutuhan
mereka akan bantuan dan belas kasihan tidak berarti membolehkan pengambilan riba dari
bank atau orang lain untuk membantu fakir miskin serta menghilangkan kesusahan dari
mereka, baik mereka itu berada di Amerika maupun negara lainnya. Yang demikian itu
bukan suatu hal darurat yang membolehkan mereka melakukan apa yang diharamkan
oleh Allah melalui nash-nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karena masih adanya
sarana lain untuk berbuat baik dan mengasihi mereka sebagai upaya menutupi kebutuhan
mereka dan menghilangkan kesusahan mereka.

Selain itu, apa yang disebutkan bahwa bank itu milik musuh-musuh Islam tidak bisa
dijadikan alasan membolehkan pengambilan riba dari bank selama mu’amalah damai
dalam bentuk dagang dan budaya masih berdiri antara kita dan mereka serta saling
menguntungkan kedua belah pihak.

Barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kebencian terhadap musuh-musuh Islam,


serta tidak ingin orang-orang kafir mencari rizki melalui perantaraan dirinya yang
menolong mereka dalam urusan dunia mereka, atau mungkin menolong mereka untuk
melakukan tipu daya terhadap kaum muslimin, maka hendaklah dia tidak menabung di
bank-bank mereka, dimana mereka hanya akan mengambil manfaat dan bersenang-
senang dalam kehidupannya. Dan hendaklah dia memberikan uangnya itu kepada orang
yang bisa mengelolanya, baik secara bersama-sama dengan bagi keuntungan, atau bisa
juga dikelola tanpa mitra.

Jika hal itu tidak mudah untuk dilakukan, maka hendaklah dia menitipkannya kepada
selain mereka, itupun kalau terpaksa menabung dan tanpa mengambil bunga kepadanya.
Sampai kaum muslimin sudah mulai mendirikan bank-bank Islami sehingga orang
muslim akan lebih mudah untuk menitipkan uangnya disana. Dengan demikian, dia akan
lebih aman menyimpan uangnya, insya Allah, sekaligus akan menjadi penopang bagi
mereka untuk melangkah maju dengan pelayanan secara Islami sehingga kita tidak lagi

31
membutuhkan bank-bank yang menjalankan praktek riba. Wallahul Muwaffiq.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan


dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan
para sahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor 1803. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah
Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun
Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

32
Saham-saham Bank

Fatwa ‘Ulama Ahlu Sunnah Waljama’ah:


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuhu, wa ba’du: Saya mohon kesediaan Fadhilatusy Syaikh untuk menjawab
beberapa pertanyaan berikut :

Beberapa hari ini ramai dipublikasikan di berbagai mass media acara ‘Tutup Buku’ yang
akan dilakukan oleh ‘Riyadh Bank’, apakah boleh hukumnya ikut menanamkan saham di
dalamnya ? Apa peran ulama, da’i dan penceramah terhadap hal ini ? Apa pendapat
Fadhilatusy Syaikh mengenai hukum bekerja di ‘Riyadh Bank’ dan bank-bank sejenisnya
yang bertransaksi dengan bunga bank ?

Jawaban.
Sebagaimana telah diketahui bahwa bank terbangun atas pondasi riba. Misalnya, dengan
cara memberi seribu lalu mengambil seribu dua ratus, atau mengambil seribu lalu
memberi seribu dua ratus ; dengan begitu berarti ia telah memakan riba dan memberi
makan dengannya, sekalipun terkadang bank tersebut memiliki transaksi-transaksi lain
tanpa riba akan tetapi pondasi asalnya adalah terbangun di atas riba tersebut. Inilah
realitas yang telah dikenal darinya. Berdasarkan hal ini, maka tidak halal hukumnya
menanamkan saham di dalamnya sesuai dengan firman Allah.

“Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan

33
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka bagiannya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) ; dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka ; mereka kekal didalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa” [Al-Baqarah : 275-276]

Dalam ayat yang mulia di atas terdapat pernyataan tegas bahwa riba adalah haram, yang
diharamkan oleh Allah Yang Mahamemiliki seluruh kerajaan, Yang hanya bagiNya
semata putusan hukum dan kepada syari’at-Nya tempat berhukum.

Dalam ayat yang lain setelah ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah
menjelaskan bahwa mengambil riba berarti memaklumatkan perang terhadap Allah dan
RasulNya, sebagaimana firmanNya.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tida (pula) dianiaya” [Al-Baqarah : 278-279]

Sedangkan di dalam kitab Shahih Muslim dari hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin
Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba,


pemberi makan dengannya, penulisannya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan,
“Mereka itu sama saja” [Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-Musaqah 1598]

34
Makna ‘Laknat’ adalah terusir dan jauh dari rahmat Allah, demikian ditafsirkan oleh para
ulama. Jadi, dalam kedua ayat yang mulia dan hadits di atas terdapat petunjuk yang amat
jelas dan tegas bahwa riba termasuk dosa besar. Di dalam hadits, khususnya, terdapat
petunjuk bahwa orang yang membantu melakukan riba, baik dengan cara mencatatkan
atau bersaksi tercakup dalam laknat tersebut, sama seperti laknat yang ditujukan kepada
pemakan dan pemberi makannya. Dengan demikian, jelaslah apa hukum bekerja di
bidang apapun yang dapat dinyatakan sebagai pengukuhuan terhadap riba, baik dengan
mencatatkan ataupun sebagai saksi.

Sedangkan peran para ulama dan para da’i terhadap semacam ini dan selainnya yang
tidak asing lagi bagi kaum muslimin dan amat mendesak hajat kepada pejelasan
tentangnya dan peringatan terhadapnya adalah merupakan kewajiban yang besar dan
tanggung jawab yang demikian berat karena Allah mengemban kan ilmu ke pundak
mereka agar menjelaskannya kepada manusia. Kita memohon kepada Allah agar
menolong kita dan saudara-saudara kita untuk melakukan hal yang bermaslahat bagi para
hambaNya, baik di dalam kehidupan dunia maupun di akhirat kelak.

[Ditulis oleh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, pada tanggal 9-7-1412H]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 28-31 Darul Haq]

35
Hukum Bekerja di Bank

Fatwa ‘Ulama Ahlu Sunnah Waljama’ah:

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum bekerja di bank-bank
ribawi dan transaksi yang ada di dalamnya ?

Jawaban.
Bekerja di sana diharamkan karena dua alasan.

Pertama.
Membantu melakukan riba. Bila demikian, maka ia termasuk ke dalam laknat yang telah
diarahkan kepada individunya langsung sebagaimana telah terdapat hadits yang shahih
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau :
“Artinya : melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua
saksinya.
Beliau mengatakan.
“Artinya : Mereka itu sama saja”.

Kedua.
Bila tidak membantu, berarti setuju dengan perbuatan itu dan mengakuinya.
Oleh karena itu, tidak boleh hukumnya bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan
riba. Sedangkan menyimpan uang disana karena suatu kebutuhan, maka tidak apa-apa
bila kita belum mendapatkan tempat yang aman selain bank-bank seperti itu. Hal itu tidak

36
apa-apa dengan satu syarat, yaitu seseorang tidak mengambil riba darinya sebab
mengambilnya adalah haram hukumnya.

[Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, Juz II]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 26-27 Darul Haq]

Oleh:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah gaji-gaji yang diterima oleh para pegawai
bank-bank secara umum, dan Arabic Bank secara khusus halal atau haram ?. Mengingat,
saya telah mendengar bahwa ia haram hukumnya karena semua bank tersebut
bertransaksi dengan riba pada sebagian operasionalnya. Saya mohon diberikan penjelasan
sebab saya ingin bekerja di salah satu bank-bank tersebut.

Jawaban.
Tidak boleh bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba karena hal itu berarti
membantu mereka di dalam melakukan dosa dan pelanggaran. Sementara Allah telah
berfirman.

“Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma’idah : 2]

Dan terdapat pula hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara shahih bahwasanya.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi


makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya.

37
Beliau mengatakan.
“Artinya : Mereka itu sama saja” [Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-Musaqah 1598]

[Kitabut Da’wah, Juz I, hal.142, dari fatwa Syaikh Ibn Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 25-26 Darul Haq]

Oleh:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Sepupu saya bekerja sebagai pegawai bank, apakah
boleh hukumnya dia bekerja di sana atau tidak ? Tolong berikan kami fatwa tentang hal
itu –semoga Allah membalas kebaikan anda- mengingat, kami telah mendengar dari
sebagian saudara-saudara kami bahwa bekerja di bank tidak boleh.

Jawaban.
Tidak boleh hukumnya bekerja di bank ribawi sebab bekerja di dalamnya masuk ke
dalam kategori bertolong-menolong di dalam berbuat dosa dan melakukan pelanggaran.
Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Sesungguhnya Allah amat
pedih siksaan-Nya” [Al-Ma’idah : 2]

Sebagaimana dimaklumi, bahwa riba termasuk dosa besar, sehingga karenanya tidak
boleh bertolong-menolong dengan pelakunya. Sebab, terdapat hadits yang shahih bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

38
“Artinya : melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua
saksinya.

Beliau mengatakan.

“Artinya : Mereka itu sama saja”

[Kitabut Da’wah, Juz I, hal.142-143, dari fatwa Syaikh Ibn Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 26-27 Darul Haq]

Oleh:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Di Mesir, saya bekerja di sebuah Bank
milik pemerintah. Keistimewaan Bank tersebut adalah mau memberikan pinjaman lunak
kepada para petani dan pengusaha kecil dengan syarat ringan, dengan tempo sekitar
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Bank tersebut memberikan pinjaman berupa uang
tunai dan berupa barang-barang kebutuhan (rumah tangga) dengan disertai bunga dan
denda pinjamannya kepada Bank tersebut.

Adapun besarnya bunga adalah bervariasi antara 3-7% atau kadang-kadang lebih dari itu.
Apabila jatuh tempo, maka pihak Bank berusaha menarik pinjaman pokok yang telah
diberikan kepada peminjam berikut bunga dan denda keterlambatan. Apabila si peminjam
terlambat mengembalikan hutangnya kepada pihak Bank, maka Bank menghitung dan
menentukan bunga dari keterlambatan membayar hutang dimana besarnya bunga
keterlambatan tersebut tergantung berapa hari si peminjam mengalami keterlambatan.

39
Semua ini harus dibayar oleh sipeminjam karena Bank tersebut mendapat hasil hanya dari
bunga pinjaman dan denda keterlambatan membayar hutang. Dari hasil inilah Bank
memberi gaji kepada para pegawainya. Selama 20 tahun lebih saya bekerja di Bank
tersebut. Gaji yang saya terima dari Bank tersebut saya pergunakan untuk kebutuhan
hidup saya dan untuk biaya pernikahan serta untuk menghidupi dan menyekolahkan
anak-anak saya, dan sebagian saya pergunakan untuk bershadaqah. Sementara saya tidak
mempunyai penghasilan lain. Bagaimana hukum syar'i mengenai diri saya tersebut ?

Jawaban
Bekerja di Bank tersebut yang mengambil bunga dari pinjaman pokok dan denda
keterlambatan membayar hutang seperti di atas, hukumnya tidak boleh (haram). Karena
bekerja di Bank tersebut berarti bertolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Sementara Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan tolong menolong kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan
jangan kalian tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya".[Al-Maa'idah : 2]

Dan didalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah Radhiyallahu
'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutuk orang yang


memakan riba dan orang yang memberi makan riba (kepada orang lain) dan orang yang
menulis (transaksi) riba dan dua orang yang menjadi saksi (terhadap transaksi) riba,
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa mereka adalah sama". [Hadits
Riwayat Muslim]

Adapun gaji yang telah anda terima (telah anda pergunakan) maka hal itu halal bagi anda
jika anda belum mengetahui hukumnya secara syar'i. Hal ini berdasarkan firman Allah.

40
"Artinya : Allah telah menghalalkan jaul-beli dan mengharamkan riba, maka barangsiapa
yang mendengar nasehat dari Rabb-nya lalu dia berhenti, maka baginya apa yang telah
berlalu dan urusannya diserahkan kepada Allah. Maka barangsiapa yang kembali
(memakan riba), mereka itulah penghuni neraka dan mereka kekal didalamnya. Allah
akan menghapus (usaha) riba dan Allah akan melipat gandakan shadaqah dan Allah tidak
suka kepada orang kafir dan orang yang berbuat dosa". [Al-Baqarah : 275-276]

Akan tetapi jika anda mengetahui bahwa pekerjaan anda tersebut hukumnya haram, maka
anda harus menginfaqkan sisa gaji anda dijalan kebaikan atau untuk membantu para faqir
miskin, dan anda harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab barangsiapa
yang bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha (taubat yang benar) maka Allah akan
menerima taubatnya dan akan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana
firman Allah.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, berbuatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahan
kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang dibawahnya mengalir sungai-
sungai". [At-Tahrim : 8]

Allah Subhanahu wa Ta'ala, juga berfirman.

"Artinya : Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman,
agar kalian beuntung". [An-Nuur : 31]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani edisi Indonesia Fatawa bin Baz, dengan judul terjemahan Bekerja Di Bank
Riba, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Umar Abdillah, Penerbit At-Tibyan -
Solo]

41
Oleh:
Syaikh Shalih Al Fauzan :

Pertanyaan.
“Saya bekerja pada sebuah bank dan ketika saya sudah keluar, barulah saya mengetahui
bahwa harta yang telah saya dapatkan darinya, semuanya adalah haram. Bila pernyataan
ini benar, apa yang mesti saya perbuat dengan uang tersebut; apakah saya sedekahkan
atau bagaimana?”

Jawaban.
“Barangsiapa yang mendapatkan harta yang haram dari hasil riba atau selainnya,
kemudian dia bertaubat darinya; maka hendaknya dia menyedekahkannya dan tidak
memakannya. Atau mengalokasikannya pada proyek kebajikan dengan tujuan untuk
melepaskan diri darinya, bukan untuk tujuan mendapatkan pahala sebab ia adalah harta
yang haram, sedangkan Allah Ta’ala adalah Maha Suci dan tidak menerima kecuali yang
suci (baik-baik). Akan tetapi, pemiliknya ini mengeluarkannya dari kepemilikannya dan
mengalokasikannya pada proyek kebajikan atau memberikannya kepada orang yang
membutuhkan karena ia (harta tersebut) ibarat harta yang tidak bertuan yang dialokasikan
untuk kemashlahatan. Ini semua dengan syarat, dia menghentikan pekerjaan yang haram
tesebut dan tidak terus menerus larut di dalamnya.”
(al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 137-138, No. 141)

Dalam kesempatan yang lain, seseorang bertanya kepada Beliau,


“Saya bekerja pada sebuah perusahaan yang mendapatkan fasilitas perbankan dari bank-
bank yang bertransaksi dengan riba sekitar 5% dari keuntungan perusahaan. Bagaimana
status hukum gaji saya dari perusahaan ini; apakah boleh saya bekerja di sana?,
mengingat mayoritas perusahaan-perusahan yang ada beroperasi dengan cara ini.”

Maka beliau menjawab:

42
“Bertransaksi dengan riba haram hukumnya terhadap perusahaan-perusahaan,bank-bank
dan individu-individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada tempat yang
bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim sekali sebab
pegawai/karyawan pada instansi-instansi dan tempat-tempat yang bertransaksi dengan
riba berarti telah bekerja sama dengan mereka diatas perbuatan dosa dan melampaui
batas. Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama tercakup dalam
laknat yang disabdakan oleh Rasulullah:
Artinya “Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil)
riba, pencatatnya serta kedua saksinya dan pencatatnya”.(HR.Muslim)

Jadi di sini, Allah Ta’ala melaknat orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, saksi
dan pencatat karena mereka bekerja sama dengan pemakan riba itu.
Karenanya wajib bagi anda, wahai saudara penanya, untuk mencari pekerjaan yang jauh
dari hal itu. Allah Ta’ala (artinya):
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan
keluar dan menganugerahinya rizki yang tidak dia sangka-sangka”.(Q,.s.ath-Thalaq: 2).

(Dan sabda Nabi) artinya: “Dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah
Ta’ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”. (HR.Musnad
Ahmad).
(al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 142-143, No. 148)

As Syaikh Al Allamah Al Faqih Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin ditanya:


Pertanyaan.
Apa hukum bekerja di bank-bank yg terdapat riba dan bekerjasama dengannya?

Jawaban.
Bekerja di bank-bank riba hukumnya haram karena termasuk membantu amalan riba.
Dan ini termasuk golongan yg mendapatkan laknat sebagaimana yg telah dikhabarkan

43
oleh Rasulullah Sholallahu‘alaihi wasallam yg artinya : Terlaknat orang-orang yg
memakan riba yang mewakilinya yg menyaksikannya dan pencatatnya. Mereka semua
sama.

Apabila tidak termasuk golongan yg membantu tetapi dia ridho dan menyetujui perbuatan
riba tersebut maka tidak boleh. Adapun menyimpan uang di bank karena kebutuhan
keamanan maka boleh hukumnya apabila tidak ada tempat yg aman kecuali bank tersebut
tetapi dgn syarat tidak mengambil bunganya. Apabila mengambil bunganya maka
hukumnya adalah haram.
Wallahu a’lam.

Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab Al Asilah Al Muhimmah”Sumber : Buletin Da’wah Al
Atsary Semarang Edisi IX/Th.I

Oleh:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah boleh hukumnya bekerja di
lembaga ribawi seperti menjadi supir atau satpam ?

Jawaban
Tidak boleh hukumnya bekerja di lembaga-lembaga ribawi sekalipun menjadi supir atau
satpam sebab ketika dia bekerja di lembaga-lembaga ribawi, maka konsekwensi logisnya
dia rela terhadapnya, karena orang yang mengingkari (menolak) sesuatu tidak mungkin
bekerja untuk kepentingannya. Bila dia bekerja untuk kepentingannya, maka ketika itu
dia sudah menjadi rela terhadapnya dan rela terhadap sesuatu yang diharamkan, berarti
mendapatkan jatah dosa darinya juga.

44
Sedangkan orang yang secara langsung mencatat, menulis, mengirim, menyimpan dan
semisalnya, maka tidak dapat disangkal lagi, telah turut secara langsung melakukan hal
yang haram, padahal telah terdapat hadits yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakai riba, pemberi
makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka itu sama
saja ..”[Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Musaqah 1598]

[Majmu Durus Fatawa Al-Haramul Makkiy, Juz III, hal.369 dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 6 Darul Haq]

45
Pertumbuhan Bank Syari’ah

Oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi

Semarak penggunaan kata syariat di kalangan muslimin dewasa ini pantas untuk
disyukuri karena secara tidak langsung, berarti menunjukkan keseriusan dan semangat
kaum muslimin untuk kembali merujuk kepada agamanya. Namun demikian, perlu untuk
diperhatikan dan disadari, jangan sampai semangat ini hanya sekedar mengusung nama
dan jorgan semata. Oleh karena itu, maka perlu adanya upaya meluruskan istilah dan
nama syariat, agar benar-benar sesuai dengan syariat Islam.

Salah satu di antara nama dan istilah ini, yaitu dalam masalah perbankan syariah atau
bank syariat, yang didefinisikan dengan insitusi atau lembaga yang melakukan aktivitas
langsung perbankan berdasarkan Islam dan kaidah-kaidah fikihnya[1]. Institusi ini mulai
merata dan menampakkan jati dirinya di tengah banyaknya bank konvensional.

Realita Pahit Praktek Ribawi:

Dalam syariat Islam bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan. Ironisnya, jaringan
ribawi ini telah menyebar dalam kehidupan kaum muslimin dan masyarakat secara umum
seperti pembuluh darah dalam tubuh manusia, sehingga merusak tatanan masyarakat dan
merusak keindahan Islam. Bahkan yang lebih ironis lagi, ada di antara kaum muslimin
yang berkeyakinan dan memandang praktek ribawi merupakan satu-satunya cara
menumbuhkan perekonomian negara dan masyarakatnya. Demikianlah pengaruh buruk
penjajahan yang telah menanamkan ke tubuh negara jajahannya muamalah ribawi ini,
sebab sistem ini masuk ke dalam negara-negara kaum muslimin melalui tangan dan jerih
payah mereka. Sehingga, kaum muslimin pun akhirnya mengambil sistem ini dari negara

46
kafir yang menjajahnya. Maka hendaklah kita menyadari, bahwa negara-negara kafir
tidak pernah peduli dengan pertumbuhan keagamaan, dan mereka memisah agama dari
kehidupan ekonomi. Mereka tidak memiliki timbangan akhlak. Bahkan yang kuat dan
memiliki kapital besarlah yang akan berkuasa walaupun mereka mendapatkannya dengan
bantuan orang-orang fakir dan miskin.

Ini berbeda dengan Islam yang menginginkan suatu sistem ekonomi yang adil, sehingga
yang kuat tidak menindas yang lemah, dan yang kaya menjajah yang miskin. Juga agar
harta tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Sehingga Islam
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" [al-Baqarah/2 : 275]

Syariat Islam memiliki sistem ekonomi bebas dari riba. Dalam meningkatkan
perekonomian, pemberdayaan masyarakat dan kemanusiaan tidak memiliki
ketergantungan kepadanya. Kita yakini dengan pasti sistem ekonomi Islam yang bebas
dari riba ini, baik dalam bidang perbankan maupun bidang lainnya. Karenanya, menjadi
kewajiban kaum muslimin untuk mempelajari tatanan sistem yang tidak bertentangan dan
menyimpang dari syariat Islam yang sempurna nan suci ini.

Banyak orang yang kemudian sadar dengan praktek ribawi yang pahit ini. Krisis dan
keguncangan ekonomi dunia tidak dapat dielakkan, sehingga masyarakat dunia kembali
berfikir mencari solusi tentang hal ini.

Beberapa penelitian membuktikan, bahwa seseorang yang berhutang dengan bunga riba,
ia akan sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk melunasi hutang dan bunganya
tersebut. Dan pada kenyataannya, banyak yang tidak mampu melunasinya secara baik.
Akhirnya memaksanya untuk melepas atau menjual harta miliknya yang menjadi agunan
(jaminan) peminjaman hutang tersebut. Ini dilakukan untuk menjaga kemaslahatan
(peningkatan) produksi. Disamping itu, pengaruh bunga hutang tersebut telah

47
meninggikan biaya produksi yang berlanjut pada kenaikan harga. Sebab, perusahaan yang
mengambil hutang ribawi akan memasukkan nilai bunga hutang itu yang telah membuat
naik biaya produksinya, sehingga secara otomatis juga akan menaikkan harga produknya
menjadi lebih tinggi.[2]

Terbukti, krisis-krisis yang menimpa perekonomian dunia umumnya muncul lantaran


hutang-hutang perusahaan-perusahaan yang menumpuk. Ini diketahui negara-negara
besar, sehingga mereka terpaksa mengambil langkah pembatasan prosentase ribanya.
Namun hal ini belum bisa mengurangi bahaya riba[3].

Kemunculan Perbankan Syari’at:

Krisis demi krisis melanda perekonomian dunia hingga banyak bank-bank konvensional
yang gulung tikar. Di negara Indonesia saja dalam tahun 2001 M –versi buku Bank
Syariat dari Teori ke Praktek- telah ada 63 bank yang sudah tutup, 14 bank telah di take
over, dan 9 bank lagi harus direkapitulasi dengan biaya ratusan trilyun rupiah. Ditambah
lagi dengan harapan kaum muslimin yang ingin kembali menerapkan ajaran Islam dalam
seluruh aspek kehidupannya khususnya dalam masalah ekonomi dan perbankan, dan
munculnya kebangkitan Islam di era tahun tujuh puluhan. Semua ini mendorong tekad
para peneliti untuk menerapkan sistem ekonomi Islam (Islamic Economic System) dengan
mengkonsep perbankan syariat sebagai alternatif pengganti perbankan konvensional.
Namun waktu itu keadaan dan situasi yang menyelimuti negara-negara Islam belum
mendukung harapan, pemikiran dan tekad tersebut.

Kemudian mulailah adanya usaha-usaha riil untuk menerapkannya dan mencari trik dan
cara yang beragam untuk mengeluarkan profit keuntungan dan sejenisnya dari lingkaran
riba. Kemudian setelah itu muncul di dunia Islam usaha-usaha yang lebih riil, yaitu
berupa penolakan terhadap pemikiran yang diimport dari barat saat penjajahan dulu.
Usaha-usaha ini mengarah kepada pengganti perbankan ribawi dengan perbankan syariat.
48
Usaha ini kian berkembang cepat dengan banyaknya kaum muslimin yang enggan
menyimpan hartanya di bank-bank konvensional dan enggan bermuamalah dengan riba.

Dr. Gharib al-Gamal menjelaskan seputar kemunculan perbankan syariat. Dia


mengatakan, banyak dari masyarakat Islam yang enggan bermuamalah dengan riba.
Mereka tidak bermuamalah dengan lembaga perbankan yang ada sekarang ini. Dengan
dasar ini, maka harta-harta milik masyarakat muslim di dunia Islam yang cukup besar ini
akan menganggur (tidak dapat dikembangkan). Oleh karenanya, termasuk faktor yang
mendorong untuk membangun lembaga perbankan syariat adalah merealisasikan solusi
bagi masyarakat ini. Semua itu sebagai usaha untuk memberikan faedah dari harta-harta
yang dimiliki masyarakat demi kemaslahatan dunia Islam seluruhnya. Ditambah lagi,
untuk pencerahan kepada para penguasa (pemerintah) masyarakat tersebut agar berlapang
dada membangun sistem yang menjamin terwujudnya pertumbuhan masyarakat di
negara-negara Islam dengan cara (uslub) syariat.[4]

Banyaknya kaum muslimin yang enggan bermuamalah riba dan menyimpan hartanya di
bank-bank konvensional -yang nota bene menerapkan sistem riba- akan menyebabkan
banyaknya harta kaum muslimin yang membutuhkan lembaga atau institusi yang
memudahkan untuk mengelolanya. Tidak dapat dipungkiri, harta yang sedemikian besar
nominalnya tersebut membutuhkan satu institusi yang dapat menyimpan dan
mengelolanya sesuai syariat. Hal ini mendorong pembentukan lembaga keuangan syariat
sebagai sebuah solusi permasalahan ini.

Dari usaha-usaha untuk meninggalkan praktek ribawi tersebut, sehingga berdirilah


berbagai lembaga keuangan (perbankan) yang mengklaim dirinya berasaskan syariat. Di
antara lembaga perbankan bebas riba yang menjadi pelopor pembentukan bank syari’at
ini adalah:

49
1. Mit Ghamr Bank, merupakan lembaga keuangan yang beroperasi sebagai rural-
sosial bank (Bunuk al-Id-dikhâr) di Mesir pada tahun 1963 M. Namun bank ini
masih berskala kecil.
2. Bank Nâshir al-Ijtima’i, berdiri di Mesir tahun 1971 M.
3. Al-Bank al-Islami lit-Tanmiyah, berdiri di Kerajaan Saudi Arabia tahun 1973 M.
4. Bank Dubai al-Islami (Dubai Islamic Bank), berdiri di Uni Emirat Arab tahun
1975 M.
5. Bank Faishal al-Islami (Faishal Islamic Bank), berdiri di Sudan tahun 1977 M.
6. Bait at-Tamwîl al-Kuwaiti (Kuwait Finance House), berdiri di Kuwait tahun 1977
M.
7. Bank Faishal al-Islami al-Mishri (Faisal Islamic Bank) di Mesir, tahun 1977 M.
8. Al-Bank al-Islami al-Urduni lit-Tamwîl wa al-Istitsmâr (Jordan Islamic Bank for
Finance and Investment), berdiri di Yordania tahun 1978 M

Setelah itu bermunculan banyak bank syariat, sehingga menurut analisa Prof.
Khursyid Ahmad dan laporan International Association of Islamic Bank, bahwa pada
akhir tahun 1999 M tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang
beroperasi di seluruh dunia. Fenomena ini patut mendapat perhatian, partisipasi dan
dukungan semua pihak, agar laju perkembangan dan arahnya tetap lurus sebagaimana
yang digariskan syariat Islam, dan dapat menjadi pengganti yang benar dan tepat dari
lembaga keuangan ribawi dan konvensional.

Dewasa ini, lembaga-lembaga keuangan syariat ini terus berkembang dan bertambah
banyak bertebaran di pelosok-pelosok daerah dengan produk-produknya yang klaim
sebagai lembaga keuangan syariat. Oleh sebab itu, kita perlu melihat kembali hal ini
secara kritis, dan semua lembaga keuangan itu kembali menilai produk-produk dan
usahanya dengan pandangan syariat yang mulia ini.

Wabillahit-Taufiq.

50
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

________
Footnote
[1]. Lihat definisi ini dalam kitab al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Thath-biq, Abdullah ath-
Thayâr, hlm. 88.
[2]. Lihat al-Mu’amalah al-Mashrafiyah al-Mu’asharah wa Ra’yu al-Islam fihâ, Dr. Muhammad 'Abdullah al-‘Arabi,
hlm 13. Dinukil dari ar-Ribâ wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, Dr. Umar 'Abdul-'Aziz al-Mutrik, hlm. 171.
[3]. Ar-Ribâ wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, hlm. 171.
[4]. Al-Masharif wa al-A’maal al-Mashrafiyah, Dr. Gharib al-Gamal, hlm. 391.
[5]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyat wa at-Thath-biq, hlm. 89.
[6]. Lihat buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek, Muhammad Antonio Syafi’i, hlm. 18.

51
Karakteristik Lembaga Keuangan (Bank) Syari'ah (Sebuah
Wacana)

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa berkembangnya bank konvensional ribawi di


negeri-negeri Islam seiring dengan kedatangan bangsa kolonial (penjajah). Kesamaan
masa pendudukan kolonial dengan berdirinya bank-bank ini di masyarakat Islam
membenarkan pendapat jika bank-bank tersebut dibangun dengan sengaja untuk
membantu penjajah dalam menguasai perekonomian. Sisi lainnya, juga menanamkan
pada masyarakat, adanya ketidaksesuaian antara yang mereka yakini tentang haramnya
riba dengan kenyataan aktifitas masyarakat yang tidak lepas dari riba. Demikian juga,
bank-bank ribawi dibangun untuk menancapkan benih-benih keraguan tentang syariat
Islam pada masa kini.

Namun Allah telah menjamin kebenaran syariat-Nya dan memudahkan manusia untuk
berfikir ulang tentang bahaya riba yang telah menimpa umat manusia dewasa ini. Hingga
akhirnya banyak orang yang berfikir untuk membangun bank-bank berdasarkan syariat
Islam. Tentu saja tantangan mewujudkan bank dengan sistem syariat ini cukup berat,
karena harus meyakinkan masyarakat bahwa bank yang sesuai syariat itu dapat menjadi
solusi pengganti bank-bank ribawi. Oleh karena itu, perbankan syariat harus mampu
menunaikan hal-hal berikut ini.

1. Bank syariat harus mampu menunaikan semua fungsi yang telah dilakukan bank-
bank ribawi, seperti: pembiayaan (Financing), memperlancar dan mempermudah
dalam urusan muamalat, menarik dana-dana tabungan masyarakat, kliring dan
transfer, masalah moneter dan sejenisnya dari praktek-praktek perbankan lainnya.

52
2. Bank syariat harus komitmen dengan hukum-hukum syariat disertai kemampuan
menjawab perkembangan perekonomian dalam semua aspeknya.

3. Bank syariat harus komitmen dengan asas dan prinsip dasar ekonomi yang benar
yang sesuai dengan ideologi dan kaidah syariat Islam, dan jangan hanya
menggunakan dasar-dasar teori ekonomi umum yang dibangun dengan dasar
mu'amalah ribawiyah.

Tiga perkara ini harus ditunaikan oleh bank syariat agar menerapkannya seiring
perkembangan perekonomian dengan semua fenomena dan problema kontemporernya.
Dengan demikian, bank syariat harus memiliki karakteristik yang membedakannya
dengan bank-bank ribawi.

Di antaranya sebagai berikut:


• Lembaga keuangan (perbankan) syariat harus bersih dari semua bentuk riba dan
bersih dari semua muamalah yang dilarang syariat. Inilah yang harus menjadi syiar
utamanya. Jika tidak demikian, maka suatu lembaga keuangan tidak boleh
dinamakan sebagai lembaga keuangan syariat.

DR. Gharib al-Gamal mengatakan, karekteristik bersih dari riba dalam muamalat
perbankan syariat, adalah karekteristik utamanya dan menjadikan keberadaannya
seiring dengan tatanan yang benar untuk masyarakat Islami. (Lembaga keuangan
syariat) harus mewarnai seluruh aktifitasnya dengan ruh yang kokoh, dan motivasi
akidah yang menjadikan para praktisinya selalu merasa bahwa aktifitas yang
mereka geluti tidak sekedar bertujuan mendapatkan keuntungan semata, namun
perlu ditambahkan bahwa itu merupakan salah satu cara berjihad dalam
mengemban beban risalah, dan persiapan menyelamatkan umat dari praktek-
praktek yang menyelisihi norma dasar-dasar Islam. Berlandaskan itu semua,

53
hendaklah para praktisi merasa jika aktifitasnya itu merupakan ibadah dan
ketakwaan yang akan mendapatkan pahala dari Allah bersama balasan materi
duniawi yang didapatkannya.[1]

• Mengarahkan seluruh kemampuan pada pertambahan (at-Tanmiyah) dengan jalan


its-titsmâr (pengembangan modal), dan tidak dengan jalan hutang (al-Qardh) yang
memberi keuntungan. Lembaga keuangan syariat harus dapat mengelola hartanya
dengan salah satu dari dua hal berikut, yang telah diakui syariat.

a). Investasi pengembangan modal langsung (al-Its-titsmar al-Mubâsyir), yakni


dalam pengertian pihak Bank melakukan sendiri pengelolaan harta perniagaan
dalam proyek-proyek riil yang menguntungkan.
b). Investasi modal dengan musyarakah, dalam pengertian pihak Bank menanam
saham dalam modal sektor riil yang menjadikan bank syariat tersebut sebagai
Syarîk (sekutu) dalam kepemilikan proyek tersebut, dan bank berperan dalam
administrasi, manajemen dan pengawasannya, serta menjadi syarîk juga terhadap
semua yang dihasilkan proyek tersebut, baik berupa keuntungan atau kerugian
dalam bentuk prosentase yang telah disepakati di antara para syarîk.

Karena bank syariat dibangun berlandaskan asas dan prinsip Islam, maka seluruh
aktifitasnya tunduk kepada standar halal dan haram yang telah ditentukan syariat
Islam. Hal ini menuntut agar lembaga keuangan berbuat beberapa hal berikut.

*). Mengarahkan pengembangan modalnya (investasi) dan memusatkannya pada


produk-produk barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan umum kaum
muslimin.
*). Menjaga agar produksi jangan sampai terjerumus dalam lingkaran haram.
*). Menjaga setiap tahapan-tahapan produknya tetap berada dalam lingkaran halal.

54
*). Menjaga setiap sebab produknya (sistem operasi dan sejenisnya) bersesuaian
dalam lingkaran halal.
*). Memutuskan dasar kebutuhan masyarakat dan maslahat umum sebelum
melihat kepada profit yang akan diperoleh individunya. [2]

• Mengikat pengembangan ekonomi dengan pertumbuhan sosial. Lembaga


keuangan syariat tidak hanya sekedar mengikat pengembanagn ekonomi dan
pertumbuhan sosial semata, namun harus menganggap pertumbuhan sosial
masyarakat sebagai asas, sehingga pengembangan ekonomi tidak memberikan
hasilnya tanpa memperhatikan hal ini. Dengan demikian bank syariat harus
menutupi dua sisi ini dan komitmen terhadap perbaikan masyarakat dan
keadilannya. Bank syariat juga tidak mengarah seperti halnya bank ribawi yang
mengarahkan kepada proyek-proyek yang memiliki prospek dan menjanjikan
keuntungan yang lebih banyak tanpa memperhatikan pertumbuhan sosial
kemasyarakatan. Kekurangan itu menimbulkan bahaya di tengah masyarakat.

• Mengumpulkan harta yang "menganggur" dan menyerahkannya kepada aktivitas


its-titsmâr dan pengelolaan dengan target pembiayaan (tamwîl) proyek-proyek
perdagangan, industri dan pertanian, karena kaum muslimin yang tidak ingin
menyimpan hartanya di bank-bank ribawi berharap adanya bank syariat untuk
menyimpan harta mereka disana.

• Memudahkan sarana pembayaran dan memperlancar gerakan pertukaran


perdagangan langsung (Harakah at-Tabâdul at-Tijâri al-Mubasyir) di seluruh dunia
Islam, dan bekerja sama dalam bidang tersebut dengan seluruh lembaga keuangan
syariat dunia agar dapat menunaikan tugasnya dengan sesempurna mungkin.

• Menghidupkan tatanan zakat dengan membuat lembaga zakat dalam bank


tersendiri yang mengumpulkan hasil zakat bank tersebut. Lalu membuat lembaga

55
keuangan sendiri yang mengelola lembaga zakat tersebut. Karena lembaga
keuangan syariat tunduk kepada pengelolaan harta untuk muamalat Islami dan
hak-hak wajib pada harta-harta tersebut.

• Membangun baitul mal kaum muslimin dan mendirikan lembaga untuk itu yang
dikelola langsung oleh lembaga keuangan tersebut.

• Menanamkan kaidah adil dan kesamaan dalam keberuntungan dan kerugian, dan
menjauhkan unsur ihtikâr (penimbunan barang agar menaikkan harga) dan
meratakan kemaslahatan pada sebanyak mungkin jumlah kaum muslimin, setelah
sebelumnya kemaslahatan tersebut hanya menjadi milik para pemilik harta yang
besar yang tidak peduli dari mana mendapatkannya

Demikianlah, beberapa karekteristik lembaga keuangan syariat, yang diharapkan menjadi


solusi pengganti bank-bank ribawi. Semoga harapan ini dapat diwujudkan dalam
kenyataan.

*) Tulisan ini diadaptasi dari kitab al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Thath-biq, karya Prof. Dr.
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayâr, Dar al-Wathan, Riyadh, KSA, cetakan kedua, 1414 H, halaman
91-95.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Al-Masharif wa Buyut at-Tamwîl al-Islamiyah, Dr. Gharib al-Jamal, hlm. 47.
[2]. Kitab Mi’at Su`al wa Mi’at Jawâb Haula al-Bunuk al-Islamiyah, hlm. 45-46.

56
Mencari Solusi Bank Syari’ah

Oleh:
Ustadz Muhammad Arifin Badri

Segala puji hanya milik Allah Ta'ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan
kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amin.

Syariat Islam –segala puji hanya milik Allah- bersifat universal, mencakup segala urusan,
baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun muamalah, sehingga syariat Islam
benar-benar seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku cukupkan
atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu".[al-Mâ`idah/5:3]

Al-hamdulillah, fakta ilahi ini mulai disadari kembali oleh umat Islam, sehingga kini, kita
mulai mendengar berbagai seruan untuk menerapkan syariat ilahi ini dalam segala aspek
kehidupan. Termasuk wujud dari kesadaran ini, yakni berdirinya berbagai badan
keuangan (perbankan) yang mengklaim dirinya berazaskan syariat. Fenomena ini patut
mendapatkan perhatian, partisipasi dan dukungan dari kita, agar laju perkembangan dan
langkahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam. Dan pada kesempatan
ini, saya ingin sedikit berpartisipasi, yaitu dengan menyebutkan beberapa hal, yang
menurut hemat saya perlu dikritisi.

Semoga yang saya lakukan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari saudara-
saudara kita yang berkepentingan dalam masalah ini.

57
1. Peranan Ganda Bank Syari’at
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas
bagi berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah pemilik
modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan
nasabah pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan suatu
kejanggalan, yaitu peran status ganda perbankan yang saling bertentangan.

Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah
sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, yaitu bank
berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku
usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.

Status ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang
sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan
bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai
pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus
dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud
dengan amanah dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata
yang akan mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga bank, tidak semestinya
menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain
dengan akad mudharabah. Sehingga, bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini
mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola
adalah milik nasabah.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi


pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak
ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin
pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status
menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu

58
dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya
sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu,
maka akad mudharabah kedua bathil"[1].

Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali


rahimahullah, ia berkata, "Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan
modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian
penegasan Imam Ahmad. . . . Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah,
asy-Syafi'i dan aku tidak mengetahui ada ulama' lain yang menyelisihinya".[2]

Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam


ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha
yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan
bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). Para
ulama' menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah: karena hasil/ keuntungan
dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha,
sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam
pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.[3]

2. Bank Tidak Memiliki Usaha Riil


Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah
seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-
badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta'ala
tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang
tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah
senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak berisiko.

Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum memiliki
usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan

59
yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan
demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai
penyalur dana nasabah.[4]

Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator
perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana
nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, dan
hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka
keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah
pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di
antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di atas.

3. Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian


Andai kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar
yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah,
ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah
yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami
kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil
langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan
dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan
nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang
berbunga alias riba.

Para ulama' dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak
dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh
atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari'ah,
yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan
utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil [5]. Dan dalam ilmu

60
fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya ada
adalah satu dari dua hal berikut:

a. Akad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga masing-masing pihak


terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya.

b. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.

Sebagai contoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal kepada


Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil
60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad
mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal
yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp. 20.000.000,-. Dalam keadaan semacam
ini, Bank Syariah Yogyakarta akan tetap meminta agar Pak Ahmad
mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp. 100.000.000,-.

Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha,
uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan
demikian perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita
katakan: Alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha: dalam dunia
usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian.
Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang
telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad
mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali, yaitu:
Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak
mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan
yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank.

Contoh lain dari produk perbankan syariat ialah bai' al-Murabahah. Bentuknya

61
kurang lebih demikian; bila ada seseorang yang ingin memiliki motor, ia dapat
mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah agar Bank tersebut
membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji kelayakan calon
nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank akan segera mengadakan
barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya kepada pemesan, dengan
ketentuan yang sebelumnya telah disepakati.[6]

Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati lebih seksama,
maka akan nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha untuk menutup
segala risiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan barang yang dimaksud,
bank telah membuat kesepakatan jual-beli dengan segala ketentuannya dengan
nasabah. Dengan demikian, bank telah menjual barang yang belum ia miliki, dan
itu adalah terlarang.

"Dari sahabat Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah


Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang membeli bahan
makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya"
Ibnu 'Abbas berkata: Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya
seperti bahan makanan" [Muttafaqun 'alaih].

Pemahaman Ibnu 'Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu
'anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut:

62
"Dari sahabat Ibnu 'Umar, ia mengisahkan: "Pada suatu saat saya membeli minyak
di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang
menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan
yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima
tawaran dari orang tersebut). Tiba-tiba, ada seseorang dari belakangku yang
memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin
Tsabit, kemudian ia berkata: 'Janganlah engkau menjual minyak itu di tempat
engkau membelinya, hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat
barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke
tempat mereka masing-masing'." [HR Abu Dawud dan al-Hakim] [7]

Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena
barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu
sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-
lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya
kepada pembeli kedua tersebut.

Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu
ketika muridnya, yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

"Saya bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Bagaimana kok demikian?" Ia menjawab:


"Itu, karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham,
sedangkan bahan makanannya ditunda".[8]

Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu 'Abbas di atas sebagaimana berikut: "Bila

63
seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah
membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan
makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga
120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan
makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah
menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan
penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja".[9]

4. Semua Nasabah Mendapatkan Bagi Hasil


Perbankan syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya.
Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari
nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir
bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.

Hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar
Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada
nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah.
Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk
mendapatkan bagian dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari
pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang
dananya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah
disalurkan.

Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu
keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu
menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa
perbankan syariat untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank
Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada periode

64
Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana dari
nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, akan tetapi, dana yang berhasil mereka
gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah.[10]

5. Metode Bagi Hasil yang Berbelit-belit


Bila kita datang ke salah satu kantor perbankan syariah yang terdekat dengan
rumah kita, niscaya kita akan mendapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang
metode pembagian hasil. Untuk dapat memahami metode pembagian hasil tersebut
bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya
rendah.

Berikut adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan
syariah di Indonesia:

Bagi hasil nasabah = dana/saldo nasabah x E x Rasio/nisbah nasabah


................................ 1000 ................................... 100

E = pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari dana nasabah.

Dapat dilihat dengan jelas,bahwa salah satu pengali dalam perhitungan hasil pada
skema di atas adalah total modal (dana) nasabah. Adapun dalam akad
mudharabah, maka yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, oleh
karenanya akad ini dinamakan bagi hasil.

Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, "Rukun mudharabah kelima adalah


keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan, di antaranya, keuntungan
hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama
memilikinya, dan hendaknya bagian masing-masing dari mereka ditentukan dalam
prosentase."[11]

65
Inilah yang menjadikan metode penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar
syar'i sangat simpel, dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian hasil dalam akad
mudharabah:

Bagi hasil nasabah = keuntungan bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari
total uang yang dikelola oleh bank.

Perbedaan antara dua metode di atas dapat dipahami dengan jelas melalui contoh berikut.

Pak Ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian 50 %


untuk pemodal dan 50 % untuk pelaku usaha (bank), dan total uang yang dikelola oleh
bank sejumlah 10.000.000.000,- (10 miliar). Dengan demikian, modal Pak Ahmad adalah
1 % dari keseluruhan dana yang dikelola oleh bank.

Pada akhir bulan, bank berhasil membukukan laba bersih sebesar 1.000.000.000 (1
miliar). Operator bank -setelah melalui perhitungan yang berbelit-belit pula- menentukan
bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp. 1.000,- adalah Rp 11,61.

Bila kita menggunakan metode perbankan syariat, maka hasilnya adalah sebagai berikut:

100.000.000 x 11,61 x 50 = Rp. 580.500,-


...... 1000 ................ 100

Dengan metode ini, Pak Ahmad hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 580.500,- saja.

Sedangkan bila kita menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya, maka hasilnya
sebagai berikut:

66
1.000.000.000 x 1 x 50 = 5.000.000,-
..................... 100 100

Dengan metode penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, Pak Ahmad berhak
mendapatkan bagi hasil sebesar Rp: 5.000.000,-. Metode pembagian yang diterapkan oleh
bank berbelit-belit dan merugikan nasabah.

Yang lebih rumit lagi adalah metode bank dalam menentukan pendapatan rata-rata
investasi dari setiap 1000 rupiah. Berikut salah satu contoh dari metode yang diterapkan
oleh salah satu perbankan syariat di Indonesia:

E = (total dana nasabah – Giro Wajib Minimum) x Total pendapatan x 1000


...................... Total Investasi .......................... Total dana nasabah

Metode perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit ini, membuktikan bahwa perbankan
syariat yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya. Dari sedikit
pemaparan di atas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariat yang ada hanyalah
sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah
upaya mempermainkan istilah-istilah syari'ah.

67
Solusi Perbankan
Untuk menyiasati beberapa kritik di atas, maka berikut beberapa usulan yang mungkin
dapat diterapkan oleh perbankan yang benar-benar ingin menerapkan sistem perbankan
yang Islami.

1. Pemilahan Nasabah Berdasarkan Tujuan Masing-Masing.


Secara global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan dananya di bank
menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, nasabah yang semata-mata bertujuan
untuk mengamankan hartanya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari
keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang ada.

Masing-masing kelompok nasabah ini memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda,
sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Berdasarkan pemilahan ini pula, pihak
operator perbankan dapat menentukan hak dan kewajibannya terhadap masing-masing
kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis pertama dapat
dimanfaatkan dalam membiayai berbagai usaha yang menguntungkan, dan sepenuhnya
keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah
jenis pertama ini, bank dapat membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup
kemungkinan, bahwa bank akan mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding dana
oprasionalnya.

Di antara keuntungan pemilahan ini, perbankan akan terhindar dari over likuidasi, karena
bank tidak akan pernah menerima dana investasi, melainkan setelah membuka peluang
usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. Sebagaimana pihak perbankan tidak
berkewajiban untuk memberikan keuntungan kepada nasabah, kecuali bila dananya
benar-benar telah disalurkan dan menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula, prinsip
mudharabah benar-benar akan dapat diterapkan, sehingga penghitungan hasil akan dapat
ditempuh dengan metode yang simpel dan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah
keuntungan yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing nasabah.

68
2. Perbankan Terjun Langsung ke Sektor Riil.
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa untuk menjalankan operasional, suatu bank
pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, agar bank terkait dapat
memenuhi kebutuhannya ini, ia harus memiliki berbagai unit usaha nyata yang dapat
menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya perbankan hanya mencukupkan diri
dengan menjadi pihak penyalur dana semata, tanpa terjun langsung dalam usaha nyata.
Dengan demikian, keuntungan yang didapatkan oleh bank benar-benar keuntungan yang
halal dan bukan hasil menghutangkan dana kepada pihak ketiga. Selama perbankan tidak
terjun langsung dalam dunia usaha nyata dan hanya mencukupkan dirinya sebagai
penyalur dana nasabah, maka riba tidak akan pernah dapat dihindarkan.

Dengan cara ini, keberadaan perbankan syariah akan benar-benar menghidupkan


perekonomian umat Islam. Karena dengan cara ini, perbankan pasti membuka lapangan
pekerjaan baru bagi masyarakat. Sebagaimana perbankan Islami akan menjadi produsen
sekaligus konsumen bagi produk-produk yang beredar di masyarakat.

Sebagai konsekuensi dari hal ini, tentu kedua belah pihak yaitu nasabah yang
menginvestasikan dananya ke proyek-proyek perbankan dan juga pihak operator bank
siap untuk menanggung segala risiko dunia usaha. Pemodal menanggung kerugian dalam
bentuk materi, dan pelaku usaha menanggung kerugian skiil.

3. Perbankan Menerapkan Mudharabah Sepihak


Pada saat sekarang ini, amanah dan kepercayaan susah untuk didapatkan, bahkan yang
sering terjadi di masyarakat kita ialah sebaliknya; pengkhianatan dan kedustaan. Oleh
karena itu, sangat sulit bagi kita, terlebih lagi bagi suatu badan usaha untuk menerapkan
sistem mudharabah dengan sepenuhnya. Untuk mensiasati keadaan yang memilukan ini,
saya mengusulkan agar perbankan syari'at yang ada menerapkan mudharabah sepihak.

69
Yang saya maksud dengan mudharabah sepihak ialah, perbankan menerima modal dari
masyarakat untuk menjalankan berbagai unit usaha yang ia kelola, akan tetapi perbankan
tidak menyalurkan modalnya ke masyarakat dengan skema mudharabah. Dengan cara ini,
dana nasabah yang disalurkan ke perbankan syari'ah dapat dipertanggungjawabkan
dengan jelas, dan perbankan terhindar dari berbagai kejahatan pihak-pihak yang tidak
memiliki amanah dan rasa takut kepada Allah Ta'ala.

Pada akhirnya, apa yang kami paparkan di atas adalah semata-mata sebatas ilmu yang
kami miliki. Sehingga bila didapatkan kebenaran, maka itu adalah murni berasal dari
taufik dan 'inayah Allah Ta'ala. Sebaliknya, bila terdapat kesalahan, maka itu bersumber
dari setan dan kebodohan saya.

Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga dapat
meninggalkan riba beserta seluruh piranti dan perangkapnya, dan dimudahkan untuk
mendapatkan rizki yang halal.
Wallahu a'lam bish-shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi (5/132). Silakan baca juga at-Tahzib, Imam al-Baghawi (4/392),
Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Sa'ad bin Gharir bin Mahdi
as-Silmu (hlm. 202).
[2]. Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156.
[3]. Lihat al-'Aziz, ar-Rafi'i (6/27-28), Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi (5/132), al-Mughni, Ibnu Qudamah
(7/158), Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil- Islâmi, Dr. Saad bin Gharir
as-Silmy (hlm. 202).
[4]. Metode ini membuat kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dengan
perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba mendirikan
perbankan syariah. Bahkan beberapa negara kafir tersebut –misalnya Singapura- telah memproklamirkan diri
sebagai pusat perekonomian syariah (perbankan syariah). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Majalah Modal

70
melansir pernyataan bapak Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR RI): "Tidak ada istilah ekonomi syariah dan
ekonomi non syari'ah, karena itu hanya soal penamaan saja". Lihat Majalah Modal, Edisi 18/II April 2004, hlm. 19.
[5]. Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah (7/145), al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (38/64).
[6]. Bank Syariah, dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, hlm. 171.
[7]. Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishak, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia
mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab at-Tahqîq. Lihat Nasbu ar-
Rayah (4/43) dan at-Tahqîq (2/181).
[8]. Riwayat Bukhari dan Muslim.
[9]. Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/348-349.
[10]. Majalah Modal, Edisi 19/II-MEI 2004, hlm. 25.
[11]. Nihayatu az-Zain, Muhammad Nawawi al-Jawi, hlm. 254.

71
DAFTAR BACAAN

• Almanhaj.or.id. 1430. Berjalan di atas Manhaj As-Salafush Sholeh. Freeware.


• Al-Qur’an Digital versi 2.1. 1425. Freeware.© Hak Cipta Milik Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
• Bulughul Maram versi 2.0. 1429. Freeware. © Pustaka Al-Hidayah. Tasikmalaya.
• Hadits Web Versi 3.0. 1428. Kumpulan dan Referensi Belajar Hadits. Freeware.

72

You might also like