You are on page 1of 9

Kamis, 26 Januari 2006

Perempuan Indonesia ‘bukan’ Perempuan Jawa

Oleh: Dewi Cadraningrum Soekirno1


"Tulisan ini membongkar gerakan feminisme gelombang pertama pada era penjajahan
Eropa dan gelombang feminisme kedua pada era setelah bangsa-bangsa terjajah
memperjuangkan kemerdekaannya. Kelahiran post-strukturalisme dan postmodernisme,
ditandai dengan kelahiran gerakan poskolonialisme yang melahirkan feminisme
gelombang ketiga. Gelombang ini menentang universalisme perempuan. Pada lingkar
terkini ini perempuan dunia ketiga menyuarakan suara mereka yang telah dijadikan
sebagai obyek oleh feminis-individualis-Barat. Gerakan ini dipelopori oleh feminis
poskolonial. Dengan kerangka feminisme dunia ketiga, tulisan ini lebih lanjut,
membongkar identifikasi perempuan Indonesia sebagai perempuan Jawa. Mengeksplorasi
kehadiran perempuan Indonesia sebagai Obyek (baca: Perempuan selain Jawa) bagi
perempuan Jawa. sebagai konklusi adalah proses rekonstruksi"

Feminismus: Kelahiran ‘Universalisme Perempuan’ yang Timpang


Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan
kelahiran era Pencerahan di Eropa2 yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu
dan Marquis de Condorcet3 . Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama
kali didirikan di Middelburg4 , sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian
dari para perempuan-putih di Eropa. Simone de Beauvoir dalam Le Deuxieme Sexe
(1949) memunculkan eksistensi perempuan sebagai kelas kedua. Perempuan di negara-
negara penjajah Eropa (baca: perempuan kulit putih) memperjuangkan apa yang mereka
sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis
sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837 (baca: lebih awal tahun 1808).
Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi
John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai
kelahiran feminisme Gelombang Pertama.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru
yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun
1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada
tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya
membongkar glass-ceiling5 logophalos dengan ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi
momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak
berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah
gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan
perempuan, dan phalogosentrisme 6 .
Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous
(Yahudi kelahiran Algeria kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (Bulgaria
kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.
Dalam “the Laugh of the Medusa” Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak
didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia
menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva
memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh
Foucault dan Derrida.

Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis-putih-barat7 , meskipun tidak semua,


banyak mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga.
Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah
terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial,
agama, ras dan budaya (baca: tidak semua feminis Barat menjadikan perempuan dunia
ketiga sebagai “objek” per se). Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang
identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme8. Mohanty
membongkar beberapa peniliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek9.
Dan bell hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-
white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female
dalam kelahirannya10 .

Dalam wacana ini, banyak kasus (baca: meskipun tidak semua kasus), menempatkan
perempuan dunia ketiga dalam konteks “all women”. Dengan apropiasi bahwa semua
perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih
yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya
representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang
feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh
bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih.

Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi
selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang
tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki nya saja.
Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari
kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu
kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia
ketiga masih dalam kelompok yang bisu.

Senyampang dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama


melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan
asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia
ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme,
dan relasi sosial. Dalam melihat peran perempuan dalam urusan domestik, para feminis
ini gagal melihat bahwa domestikasi perempuan kadangkala bukan bentuk penindasan.
Dalam berbagai diskursus, banyak perempuan kulit hitam mengajukan protes bahwa
tinggal di rumah dan tidak bekerja, bagi perempuan kulit hitam, adalah kemewahan.
Karena perempuan kulit hitam dari lapis kelas bawah harus bekerja di luar rumah untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi. Di sini terlihat bahwa posisi ekonomi yang tidak paralel
membuat universalisme penjajahan domestik menjadi tidak bisa diaplikasikan begitu saja
tanpa menimbang aspek-aspek lain. Di sini ada ambivalensi persoalan yang bertolak
belakang antara masalah perempuan kulit putih kelas menengah dan perempuan kulit
hitam. Dalam persoalan pertama, domestikasi dianggap sebagai bentuk opresi.
Perempuan dilarang bekerja di luar rumah, dan lain-lain yang non-domestik. Sedang
untuk persoalan kulit hitam, mereka kebanyakan harus berada di luar rumah, bekerja
keras, dan melingkupi pekerjaan kasar dan tidak terdidik. Domestikasi bagi perempuan
kulit hitam adalah kemewahan yang kadang tidak terbeli. Ada paradoks dalam istilah
domestikasi sebagai alat propaganda.

Disputasi konsep yang diajukan dalam gelombang kedua ini terutama dalam aktulisasi
universal sisterhood dalam objektifikasi. Dalam banyak kasus perempuan dunia ketiga
dianggap sebagai yang terbelakang dan perlu mendapatkan pendidikan a la Barat tanpa
ada prekonsepsi bahwa di dunia ketiga, para perempua, juga memiliki pujangga-pujangga
yang mengajarkan bagaimana bisa beradab. Misi peradaban berubah menjadi misi
developmentalis, dimana perempuan dunia ketiga menjadi obyek pemuasaan nafsu “ingin
tahu” a la ilmu ilmiah Barat. Dalam ranah antropologi, banyak studi di arahkan pada
dunia ketiga yang Obyek. Di sini ada pengaruh kuat untuk memenuhi tuntutan ilmu
tentang yang lain. “Yang lain” sebagai yang berbeda dengan pusat adalah sumber
penelitian yang digunakan untuk memuaskan rasa ingin tahu. Lagi-lagi, di sini,
perempuan dunia ketiga mengalami objektifikasi ganda dalam relasi ekonomi-sosial yang
tidak simetris. Penelitian-penelitian ini lebih jauh diaplikasikan oleh para elit-nasionalis
(baca: pemerintahan developmentalis dunia ketiga) dalam kebijakan-kebijakan
menangani perempuan. Walhasil perempuan melengkapi peran-nya sebagai sekelompok
kelas marjinal yang menjadi obyek pelaksanaan kebijakan tanpa adanya proses
prekonsepsi tentang Subyek. Dalam banyak kasus, perempuan dunia ketiga mengalami
efek dramatis dari penyebaran alat kontrasepsi. Perempuan dunia ketiga, sekali lagi,
diam, bisu, dan menerima begitu saja. Ini adalah proses konsepsi objektifikasi yang
membiarkan mereka sebagai manusia yang tidak perlu diberi ruang untuk berbicara.

Dalma konsep objektifikasi ini, perempuan diletakkan dalam sebuah ruang tanpa nama.
Dan mereka adalah padang tempat benih disemaikan. Mereka mengambil bentuk rahim
yang siap menampung orok. Di sini kuasa perempuan dimutilasi sedemikian rupa hanya
dalam tataran obyek. Pengetahuan obyek ini berangkat dari konsepsi bahwa mereka tidak
berpendidikan dan tidak beradab, maka perlu diberi pendidikan dan diperadabkan dengan
kontrasepsi dan lain-lain. Hampir seluruh kasus penelitian reproduksi, usaha semua
diupayakan untuk menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek, yang rela tidak rela harus
menjalani peran kontrasepsi. Dalam penelitian psikologi, seorang feminis Gilian dalam
penelitian menentang riset Kohlberg sebelumnya yang menganggap bahwa anak
perempuan hanya mencapai nilai rendah dibanding anak laki-laki dalam perkembangan
moral. Menurutnya hasil itu bias karena kebanyakan partisipannya adalah anak laki-laki.
Dan hasil penilaian sangat dipengaruhi oleh nilai maskulin. Lebih jauh dia mengkritik
persoalan etika hukum dan mengusulkan etika perhatian11 .

Feminismus: Menuju Kesadaran Subyek


Pada tahun 1978, Said menulis Orientalism. Tulisannya menandai kelahiran gerakan
poskolonialisme12 . Ide dasarnya adalah bahwa telah ada kesalahan interpretasi terhadap
timur oleh barat. Timur sebagai yang oriental, eksotik, perempuan, irrational, traditional,
yang Lain (baca: Other), Subaltern13 , tidak beradab. Dan barat sebagai yang occidental,
maskulin, rational, Center dan beradab. Meskipun sebelum usaha Said ini dilakukan,
telah banyak aktivis-theorist-praktisi poskolonial lain seperti Aime Cesaire, Kwame
Nkrumah, Frantz Fanon, Albert Memi, dan Homi Bhabha. Yang kemudian berkembang
lebih lanjut sampai sekarang berkat usaha-usaha Bill Ashcroft, Robert J.C. Young, Achille
Mbembe, Ranajit Guha, AijazAhmad, JanMuhammad, dll. Ini adalah proses dekonstruksi
terhadap bagaimana barat melihat timur. Dan adalah usaha untuk menentang white man’s
burden to civilize Others.

Gerakan ini mendapatkan re-dekonstruksi lebih lanjut dari para feminisnya, feminisme
poskolonial atau feminisme dunia ketiga, seperti Gayatri Spivak, Trinh T Minh-ha,
Chandra Talpade Mohanty, Uma Narayan, Anne McClintock, bell hooks, dll. Gerakan ini
mengalami quadruple hermeneutics karena harus melawan dari arus postcolonial-male-
contemporary dan white-feminist-contemporary. Melawan white-man-burden; colored-
man-burden; dan terakhir white-female-burden.

Dekonstruksi ini adalah perjuangan untuk menjadi subyek. Selama peralihan dari masa
terjajah dan merdeka, perempuan dari dunia ketiga telah lama menjadi obyek dari
penjajahan. Dalam era kolonialisasi, perempuan-perempuan ini banyak yang menjadi
budak dan konkubin. Pada awal abad 17, VOC telah berhasil menjadikan Batavia (baca:
Jakarta) sebagai pusat perdagangan. Dan sejak itu setidaknya 2000 orang, kebanyakan
perempuan dan anak-anak dari Bali diperjualbelikan di pasar budak setiap tahunnya14 .
Pada kasus Jawa, budak-budak Jawa diekspor untuk membangun Suriname. Pada tahun
1890 (baca: 115 tahun yang lalu) buruh kontrak Jawa (baca: budak) pertama tiba di
Suriname yang merupakan daerah kekuasaan Belanda. Sekarang terdapat sekitar 80 ribu
orang Jawa di Suriname di samping dari Hindustan, Cina, Kreol India dan Eropa.

Perempuan-perempuan Jawa pada waktu itu juga tidak luput dari praktik konkubinase
dari penjajah Belanda. Masih dalam penelitian Kraan disebutkan bahwa perempuan Bali
sangat diminati karena mereka bisa makan daging babi. Sedang perempuan Jawa yang
kebanyakan Muslim tidak bisa makan babi. Dan secara kuliner, perempuan Bali juga
dianggap lebih pintar memasak. Sejak tahun 1920, Bali diproyeksikan sebagai pusat
pariwisata sampai dengan sekarang. Dimana Bali berada dalam posisi sebagai obyek
dalam jaringan turisme dunia. Dan perempuan-perempuan dunia ketiga secara massal
bekerja sebagai penjaja seksual. Fenomena ini sama dengan dibentuknya Thailand,
khususnya pantai Pattaya, sebagai pusat prostitusi di Thailand (baca: proses ini dibentuk
oleh penjajah Inggris mulai awal abad 19 bersamaan dengan Bali). Proses ini menjerat
perempuan Asia dalam industri transnasional prostitusi. Hal ini tidak lepas dari
pembentukan image yang telah dibangun dua ratus tahun sebelumnya sebagai
konkubinasi bagi penjajah Eropa yang datang ke Asia Tenggara. Ini adalah proses
akumulasi politik yang asimetris dan tidak diskursif.
Di Indonesia, diperkirakan 100.000 anak diperjualbelikan setiap tahun-nya sebagai
pekerja seks. Dan sepertiga dari jumlah itu adalah remaja di bawah 18 tahun. Penyebab
trafiking itu adalah kemiskinan, status sosial rendah, buruh murah, seks komersial,
lemahnya penegakan hukum, diskriminasi, daerah bencana dan daerah konflik. Salah satu
NGO yang gigih bergerak melindungi anak-anak adalah KAKAK yang bekerjasama
dengan UNICEF dan berpusat di Surakarta.

Perjalanan dari dunia teori ke praxis ini adalah perjalanan panjang yang tidak hanya
melibatkan kesadaran politik global tetapi juga sejarah kolonialisme yang melanda dunia
ketiga. Fakta teori dalam poskolonial adalah fakta praxis atas diperjualbelikannya
perempuan-perempuan dunia ketiga dalam pasar seks transnational. Dengan perbedaan
geografis, budaya, ras, dan relasi sosial tersebut, universal sisterhood menjadi
problematis. Definisi perempuan sebagai “semua perempuan adalah sama, penderitaan
perempuan adalah sama, penindasan terhadap perempuan adalah sama, penjajahan
terhadap perempuan adalah sama”, sekali lagi perlu dipertanyakan kembali.
Universalisme ini di satu sisi telah melibas adanya partikularisasi dan difference yang
melekat pada tubuh. Persoalan auxiliary/adjective yang berbeda posisi-nya.

Subyek dalam banyak diskursus merujuk pada berbagai rasionalisasi dalam diskursus
pengetahuan yang beretika. Ketika suara peneliti hilang dalam obyektifitas ilmiah, hal ini
akan menggeret kepada situasi hilangnya tanggung jawab. Dalam wacana dekonstruksi
sangat diperlukan pengetahuan tentang dekonstruksi esensi. Esensi ini berkaitan erat
dengan jenis kelamin, ras, agama, budaya, kelas, relasi sosial, Negara dan bangsa.
Penemuan terhadap esensi, terkadang, membuat si pencari terpenjara dalam esensi
tersebut tanpa mampu merekonstruksi kembali dengan menggunakan perspektif yang
berkeadilan jender. Terperangkap dalam tubuh perempuan dan esensi-nya sebagai
mahkluk kedua tanpa bisa melihat konsepsi lebih inti dari maksud menemukan esensi.
Kehadiran esensi adalah kelahiran kesadaran. Kelahiran esensi bukanlah kelahiran
perbedaan. Perbedaan diakui sebagai sebuah perbedaan tanpa terjerembab dalam
perbedaan per se. Di sini penemuan terhadap esensi mengacu pada politik identitas. Dan
politik identitas membimbing seseorang untuk memiliki politik agensi.

Perempuan dunia pertama adalah perempuan terdidik a la barat dengan kesadaran akan
politik identitas dan politik agensi. Hal ini membuat mereka memilki kemampuan
menerobos akses hegemoni yang menindas. Tetapi perempuan dunia ketiga adalah
perempuan yang tidak terdidik a la barat dan kesadaran politik identitas-nya, dalam
konteks sekarang, telah dirampas dengan daya global, dengan sebutan globalisasi.
Banyak perempuan dunia ketiga menjadi terserap daya global ini dan tercerabut dari
akarnya. Banyak intelektual perempuan dunia ketiga adalah produk pencerabutan ini. Len
Ang (Feminis asal Indonesia yang menetap di Belanda kemudian di Australia)
menyebutnya sebagai “identity panics”15 . Jadi politik identitas mereka menjadi kabur
dan semu (baca: tidak semua intelektual perempuan dunia ketiga). Sebenarnya, saya
melihat, di sini memang terletak kelemahannya tapi juga kekuatannya, bahwa resistensi
yang dialami perempuan dunia ketiga adalah jenis resistensi yang jauh berbeda dengan
resistensi yang dialami perempuan dunia pertama. Perempuan dunia ketiga harus mencari
role model yang ditampilkan dalam banyak tabung kaca yang berpusat pada diskursus
barat. Perempuan dunia ketiga adalah perempuan yang mengalami krisis politik identitas
yang akhirnya membimbing mereka mengalami kesulitan dalam meng-aktual-kan daya
agensi-nya. Dengan asumsi ini, universalisme perempuan menjadi sangat problematis dan
harus dipertanyakan kembali. Perempuan harus dikaitkan dengan partikular yang melekat
dalam dirinya sebelum dia memasuki wacana diskursus.

Perempuan Indonesia: Perempuan Jawa


Dalam banyak kancah pertunjukkan feminisme a la Indonesia, kebanyakan aktivis adalah
perempan Jawa yang berdiam di Jawa, terutama di pusat-pusat peradaban seperti Jakarta,
Jogjakarta, Surabaya, Bandung, Semarang. Meski ada banyak usaha dari perempuan luar
jawa untuk dapat masuk ke dalam center, la parole / Jakarta, representasi mereka tidak
mampu mewakili luasnya aras persoalan yang masih membebani mereka. Dalam banyak
kasus, Jawa memang telah menjadi pusat bagi Indonesia. Jawa menjadi tempat kelahiran
dialektika feminisme. Usaha-usaha ini dipelopori oleh banyak perempuan Jawa dan
banyak dipimpin oleh perempuan Jawa. Jawa-sentrisme dalam gerakan feminisme
Indonesia.

Dalam konteks media, perempuan Jawa identik dengan image perempuan Indonesia.
Dalam berbagai tayangan media, perempuan Indonesia digambarkan sebagai perempuan
Jawa yang halus/lembut, submisif/tunduk, kelas kedua, ibu yang baik, saudara perempuan
yang mengalah pada saudara laki-lakinya, anak perempuan yang kelas kedua. Semua
dikontekskan dalam situasi ke-Jawa-an. Dalam banyak kasus urusan kosmetika, merujuk
ke budaya keraton Jawa atau Jogjakarta. Penayangan iklan-iklan juga hanya berbasis
pada budaya konsumerisme16 . Dan dalam pembentukan image dan stereotyping beauty
adalah stereotyping a la Barat yang ‘putih’. Ini adalah perpaduan Barat-Jawa. Bahwa
perempuan yang cantik adalah yang putih (baca: Barat) dan lembut (baca: Jawa).
Perempuan bukan-Jawa mengalami kolonialisasi ganda dengan harus menjadi Barat dan
menjadi Jawa.

Hal ini bisa dilihat dalam keseharian melalui kehadiran iklan dalam televisi. Tidak
dipungkiri, semua stasiun televisi di Indonesian berpusat di Jawa. terutama Jakarta. Pada
titik ini, persoalan desentralisasi pusat kekuasaan dalam ranah image-setting dan bidang
lain adalah proses langsung dikte Jawa ke luar Jawa. Meskipun usaha desentralisasi ini
telah dilakukan dengan hadirnya otonomi daerah, peran Jakarta sebagai la parole
Indonesia belum bergeser. La parole ini harus dipertanyakan dan dipersoalkan selama dia
masih bertendensi untuk memusatkan dan men-general-isasikan partikularisme melalui
politik identitas yang menuju politik agensi melalui resistensi.

Dalam politik identitas, perlu dilakukan penelanjangan esensi. Penelanjangan esensi


adalah proses pembukaan kembali arsip sejarah bangsa. Sejarah etnis. Sejarah ras.
Sejarah tubuh. Dan sejarah sastra budaya. Dalam khasanah pembentukan hegemoni
politik resistensi tumbuh karena adanya hegemoni. Hegemoni pusat (baca Jakarta) ke
pada particular-nya (luar Jawa). Ini membawa proses negoisasi menjadi tersumbat.
Persoalan ketersumbatan ini adalah persoalan mutilasi. Dalam berbagai sektor, jelas
terlihat, dalam upaya generalisasi dan developmentalisasi, telah terjadi mutilasi terhadap
para partikuler, baik itu bersifat tubuh/etnis dan bahasa/budaya. Sebagai lambang pakaian
kebangsaan Indonesian pada waktu itu juga hanya mempromosikan baju kebaya (baju
perempuan Jawa). Lebih jauh ada usaha akomodasi dari berbagai etnis untuk bisa
menjadi satu dalam satu tubuh. Tapi ini adalah sebenarya mutilasi dari aspek lain yang
lebih penting. Penampilan Indonesia telah direkayasa bagaimana bisa merepresetasikan
semuanya, tapi secara mutilatif. Aspek ini sebenarnya mewarisi kebijakan struktur sosial
dari penjajahan Belanda yang masih hidup terpelihara dengan bagus sampai sekarang.
Sebagai Indonesia adalah penting sebagai Jawa. Motto para penjajah pada waktu itu
sebagai “pecah dan jajah”. Apabila politik identitas setiap etnis telah berhasil dipecah,
maka mereka akan mudah dijajah. Seperti yang terjadi sekarang, bahwa representasi Jawa
masih dominan dalam berbagai aspek. Hal ini menggeser posisi Belanda oleh elit Jawa.
Dengan pengetahuan politik esensi melahirkan kembali kesadaran kritis. Kesadaran kritis
ini adalah sikap reflektif bagaimana rasanya menjadi: “perempuan Jawa kamu” dan
“perempuan bukan Jawa kamu”. Ini mengandung implikasi yang jauh berbeda. Menjadi
“Jawa kamu” sangat berbeda dengan “bukan Jawa kamu” dalam konteks ke-Indonesia-
an. Elit-elite strategis harus mampu melihat persoalan ini tidak sekadar persoalan
pemerataan. Tetapi bagaimana pengetahuan Subyek bisa membiarkan politik agensi
berperan dalam aktualisasi politik identitas.

Dalam politik dekonstruksi, dekonstruksi bukan menjadi akhir dari perjalanan. Menjadi
titik dan selesai. Tetapi perlu ada rekonstruksi yang memiliki kesadaran esensi, ras,
identitas, sejarah dan agensi. Dengan konstruksi, semangat dekonstruksi bukan semangat
nihilisme dan pesimisme. Semangat dekonstruksi adalah semangat optimisme. Yang
menjadi pusat perhatian adalah penolakan terhadap identifikasi monolitik terhadap
Perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia perlu melakukan penolakan terhadap politik
mutilasi dalam proses identifikasi ini. Dan tulisan ini, sangat terbatas, dan tidak terbebas
dari politik mutilasi dalam politik identifikasi. Rekonstruksi ini berangkat dari politik
tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap Subyek. Keberangkatan Subyek adalah
keberangkatan dari dalam diri sendiri. Permberdayaan diri lebih penting dari segala
proses identifikasi tersebut. Karena proses identifikasi sendiri tidak lepas dari politik
mutilasi.

Rujukan Terbatas:
Ang, Ien. 2000. “Identity Blues”, in Without Guarantee: In Honour of Stuart Hall, ed.
Paul Gilroy, Lawrence Grossberg, and Angela McRobbie. London: Verso.
Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, and Helen Tiffin. 1989. The Empire Writes Back. London
and New York: Routledge.
Beauvoir, Simone. 1949. The Second Sex (trans. From French by HM Parshley).
Penguin.
Bhabha, Homi. 1994, rpt.2003. The Location of Culture. London and New York:
Routledge.
Butler, Judith. 1990. Gender Trouble. London & New York: Routledge.
Cixous, Helene. 1976. “The Laugh of the Medusa”. Orig pub. Signs, Summer 1976.
anthologized in: New French Feminisms, ed. Elaine Marks and Isabelle de Courtivron.
and the “Signs” Reader: Women, Gender, and Scholarship, ed. Abel and Abel.
Fanon, Franz. 1967. Black Skin, White Masks. New York: Grove Press.
Freire, Paulo. 1970.1993. Pedagogy of the Oppressed (trans. Myra Bergman Ramos). NY:
Continuum.
Gilligan, Carol. 1982. In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s
Development. Harvard: Harvard UP.
hooks, bell. 1981. Ain’t a Women. London: Pluto Press.
_________. 1989. Talking Back. Boston: South End Press.
_________. 1994. Teaching to Transgress. London and New York: Routledge.
_________. 2003. Teaching Community: A Pedagogy of Hope. NY & London:
Routledge.
Kraan, A. van der. 1983. “Bali: Slavery and Slave Trade” in Reid, A. (ed.). Slavery,
Bondage, and Dependency in Southeast Asia. St Lucia: University of Queensland Press.
Minh-ha, Trinh T. 1991. When the Moon Waxes Red: Representation, Gender and
Cultural Politics. NY & London: Routledge.
_____________. 1992. Framer Framed. New York & London; Routledge.
_____________. “Not You/Like You: Post-colonial Women and the Interlocking
Questions of Identity and Difference” in
http://humwww.ucsc.edu/CulturalStudies/PUBS/Inscriptions/vol_34/minh-ha.html
Mohanty, Chandra Talpade. 2003. Feminism Without Borders: Decolonizing Theory,
Practicing Solidarity. Durham & London: Duke UP.
Mohanty, Chandra Talpade; Ann Russo & Lourdes Torres (eds.). 1991. Third World
Women and the Politics of Feminism. Bloomington & Indianapolis: Indiana UP.
Mohanty, Satya P. 1997. Literary Theory and the Claims of History: Postmodernism,
Objectivity, Multicultural Politics. NY: Cornell UP.
Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan, Antara Realitas, Representasi dan
Simulasi dengan pengantar Heru Nugroho. Yogyakarta: Center for Critical Social Studies
bekerja sama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Spivak, Gayatri Chakravorty Spivak. 1995. “Teaching for the Times” in Pieterse, Jan
Nederveen & Bhikhu Parekh. 1995. The Decolonization of Imagination: Culture,
Knowledge & Power. London & New Jersey: Zed Books.
___________________________. 2000. “Can the Subaltern Speak?” in Diana Brydon
(ed.) Postcolonialism: Critical Concept. NY and London: Routledge.
___________________________. 2000. “Discussion: An Afterword on the New
Subaltern” in Chatterjee, Partha & Pradeep Jeganathan (eds.). Subaltern Studies XI:
Community, Gender and Violence. London: Hurst & Co.
___________________________. 2000. “Three Women’s Texts and a Critique of
Imperialism” in Diana Brydon (ed.) Postcolonialism: Critical Cooncept. NY and London:
Routledge.

___________________________
1 Perempuan Jawa/Indonesia (baca: mendapatkan pendidikan dari Barat). Barat, baca:
mendapatkan beasiswa AUSAID untuk Master di Monash-Uni-Australia (2003) dan
DAAD untuk PhD di Muenster-Uni-Jerman (2005-2008). Aspek ke-Jawa-an saya sangat
mempengaruhi ‘suara’ saya. Saya akan berusaha dengan sangat hati-hati dalam
mengartikulasikan ke-Jawa-an saya. Di sini saya terpengaruh dan bias dalam aspek
Javaisme.
2 (Baca: bersamaan lahir pula ekspansi Kolonialisme Eropa ke berbagai belahan dunia;
baca: Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda ke Indonesia dalam kurun waktu lebih dari
tiga setengah abad; baca: abad 17/18/19).
3 Dalam emansipasi pendidikan perempuan.
4 Sebuah kota yang menjadi salah satu anggota chamber/kammers/kamar dagang VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didirikan pada 20 Maret 1602. Kerajaan
Belanda memberikan hak monopoli untuk melaksankan kolonialisasi di Asia (baca: East
Indies/Indonesia). VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia yang
mencetuskan ide stock. VOC terdiri dari enam kamar dagang, yaitu Amsterdam,
Middelburg, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi ini dikenal sebagai Heeren XVII (the
Lord Seventeen).
5 Glass-ceiling adalah proses segregrasi perempuan secara vertikal yang banyak terjadi
dalam perusahaan-perusahaan dimana banyak di antara jajaran para pemimpin adalah
laki-laki. Fenomena ini terjadi pula dalam pemerintahan dan organisasi agama.
6 Phallogocentrism bermula dari pemahaman bahwa bahasa dengan logos-nya adalah
bersifat maskulin/phallus (dapat dibaca lebih lanjut dalam Derrida’s Of Grammatology
terj. Gayatri Spivak).
7 Sebutan ini banyak dilontarkan oleh para feminis poskolonial/dunia ketiga. Diantaranya
Mohanty, Spivak, Minh-ha, dan hooks.
8 Baca essay Spivak (2000) “Three Women Texts and a Critique of Imperialism”.
9 Baca essay Mohanty (1991) “Under Western Eyes”.
10 Baca hooks hooks (1981). Ain’t I a Women.
11 Lihat Gilligan (1982).
12 Dalam berbagai diskursus Postkolonialisme, Said dianggap sebagai inisiator
pemikiran ini (lihat di Aschroft et al 1989).
13 Subaltern pertama kali dilontarkan oleh Gramsci dalam teori Hegemoni-nya dan
kemudian dipopulerkan oleh Gayatri Spivak (1988). Terma ini bukan merujuk pada
kelompok tertindas dan kelas paling bawah, tetapi kelompok yang tidak memiliki politik
agensi dalam status social. Terma ini sering disalahgunakan untuk ‘hanya’ merujuk
kelompok tertindas. Padahal lebih dalam merujuk kelompok yang ‘tidak bisa berbicara’.
Merujuk lebih jauh pada tulisan Freire (1970) sebagai the silenced-group.
14 Baca penelitian Kraan (1983).
15 Baca Len Ang, 2000, p.5.
16 Baca Noviani (2002).

You might also like