You are on page 1of 6

Konflik Papua Barat

Peta Papua Barat pada tahun 1960-an


Tanggal 19 Desember 1961 - 15 Agustus 1962
Lokasi Papua Barat
Hasil Papua Barat digabungkan kepada Indonesia.
Casus belli Indonesia dan Belanda memperebutkan daerah Papua Barat

Pihak yang terlibat


Indonesia Belanda
Komandan
Soekarno
Soeharto
Kekuatan
Tidak diketahui Tidak diketahui
Jumlah korban
Tidak diketahui Tidak diketahui

Yang dimaksud dengan Papua Barat di sini adalah wilayah yang disebut sebagai West New Guinea pada masa
kolonialisme Belanda.

Konflik Papua Barat adalah konflik dua tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah West New
Guinea. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-
alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai
panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk
menggabungkan Papua Barat dengan Indonesia.

Latar belakang
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah
Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih
menjadi salah satu salah satu provinsi Kerajaan Belanda,[1] sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda
kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun
pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda.
Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi
Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun
setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun.[2]

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e
Piagam PBB.[3] Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke
Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali
menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan.
Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai
kelanjutan, pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau
Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah.[4]

Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut
Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur
untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.[rujukan?]

Bendera Papua Barat, sekarang digunakan sebagai bendera Organisasi Papua MerdekaKarena usaha pendidikan
Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki perawat, dokter gigi, arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik,
polisi, pegawai kehutanan, dan pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950 sampai
1961.[rujukan?] Selain itu juga didakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam
pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23
orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai
menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda,
dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak.

Dewan Papua bertemu pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan,
bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan ("Hai Tanahkoe Papua"), dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober
1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Platteel.
Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini
mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961.

Pada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapi pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di
Yogyakarta, yang isinya adalah:

Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.


Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangsa.[4][5]

Persiapan

Militer
Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda.
Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960, Jendral
A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan
pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Setelah
pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan.[6]

Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua Barat ke Indonesia karena Bureau of European Affairs di
Washington, DC menganggap hal ini akan "menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit
coklat". Tapi pada bulan April 1961, Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB
memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu, presiden John F. Kennedy
akhirnya mendukung hal ini karena iklim Perang Dingin saat itu dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta
pertolongan pihak komunis Soviet bila tidak mendapat dukungan AS.

Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter
MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19 dan 20
pesawat pemburu supersonik MiG-21. Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan
Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TL-16 yang dilengkapi dengan persenjataan
peluru kendali (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut
ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis AN12B Antonov buatan Uni Soviet dan 10 pesawat
angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.[6]

[sunting] Diplomasi
Indonesia mendekati negara-negara seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya, Jerman,
dan Perancis agar mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia dan Belanda.[4]
Dalam Sidang Umum PBB tahun 1961, Sekjen PBB U Thant meminta Ellsworth Bunker, diplomat dari Amerika Serikat,
untuk mengajukan usul tentang penyelesaian masalah status Papua Barat. Bunker mengusulkan agar Belanda
menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu dua tahun.

Konflik bersenjata

Soekarno, Presiden Indonesia yang mencetuskan TrikoraSoekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen
Soeharto sebagai Panglima Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan
menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua Barat dengan Indonesia. Belanda mengirimkan kapal
induk Hr. Ms. Karel Doorman ke Papua Barat. Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung
pertahanan di perairan Papua Barat, dan sampai tahun 1950, unsur-unsur pertahanan Papua Barat terdiri dari:

Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda)


Korps Mariniers
Marine Luchtvaartdienst[5]
Keadaan ini berubah sejak tahun 1958, di mana kekuatan militer Belanda terus bertambah dengan kesatuan dari
Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda) dan Marine Luchtvaartdienst. Selain itu, batalyon infantri 6 Angkatan
Darat merupakan bagian dari Resimen Infantri Oranje Gelderland yang terdiri dari 3 Batalyon yang ditempatkan di
Sorong, Fakfak, dan Merauke.[5]

Operasi-operasi Indonesia
Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan sukarelawan ke Papua Barat. Walaupun Trikora telah
dikeluarkan, namun misi itu dilaksanakan sendiri-sendiri dalam misi tertentu dan bukan dalam operasi bangunan.

Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap, bahkan semua kekuatan udara
masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun begitu, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat lebih dulu melakukan
penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai
Papua Barat, dan juga meminta bantuan TNI Angkatan Udara Republik Indonesia untuk mengirim 2 pesawat Hercules
untuk mengangkut pasukan menuju target yang ditentukan oleh TNI Angkatan Laut.

Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa petinggi di markas besar TNI Angkatan Udara yang mengetahui
tentang misi ini. Walaupun misi ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI Angkatan Udara hanya bertugas untuk mengangkut
pasukan dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak menjadi tanggung jawab TNI AU.

Kepolisian Republik Indonesia juga menyiapkan pasukan Brigade Mobil yang tersusun dalam beberapa resimen tim
pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di kepulauan Ambon sebagai persiapan menyerbu ke Papua Barat.
Sementara itu Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang dipimpin Inspektur Tingkat I Anton Soedjarwo
disiagakan di Pulau Gorom. Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Papua Barat melalui laut dengan
mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh ke pedalaman Papua Barat melakukan sabotase dan penghancuran
objek-objek vital milik Belanda.

Pada tanggal 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Pesawat Hercules kembali ke pangkalan. Namun,
pada tanggal 18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain melapor ke Soekarno bahwa karena tidak ada perlindungan dari
TNI Angkatan Udara, sebuah operasi menjadi gagal.[7]

Pertempuran laut Aru


Artikel utama: Pertempuran Laut Aru

Komodor Yos Sudarso yang tenggelam di Laut Aru pada saat terjadinya Pertempuran Laut Aru.Pertempuran Laut Aru
pecah pada tanggal 15 Januari 1962, ketika 3 kapal milik Indonesia yaitu KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul yang
membawa Komodor Yos Sudarso, dan KRI Harimau yang dinaiki Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten
Tondomulyo, berpatroli pada posisi 04-49° S dan 135-02° T. Menjelang pukul 21.00, Kolonel Mursyid melihat tanda di
radar bahwa di depan lintasan 3 kapal itu, terdapat 2 kapal di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda itu tidak bergerak,
dimana berarti kapal itu sedang berhenti. 3 KRI melanjutkan laju mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang
sedang mendekat terdengar dan menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang tergantung pada parasut.[7]

Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau. Kolonel Sudomo memerintahkan
untuk memberikan tembakan balasan, namun tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk
mundur, namun kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan.[7] Kapal Belanda
mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul.
Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, "Kobarkan
semangat pertempuran".

Operasi penerjunan penerbang Indonesia


Pasukan Indonesia dibawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi infiltrasi udara dengan menerjunkan
penerbang menembus radar Belanda. Mereka diterjunkan di daerah pedalaman Papua Barat. Penerjunan tersebut
menggunakan pesawat angkut Indonesia, namun, operasi ini hanya mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi
ini dilakukan pada malam hari. Penerjunan itu pada awalnya dilaksanakan dengan menggunakan pesawat angkut ringan
C-47 Dakota yang kapasitas 18 penerjun, namun karena keterbatasan kemampuannya, penerjunan itu dapat dicegat oleh
pesawat pemburu Neptune Belanda.[6]

Pada tanggal 19 Mei 1962, sekitar 81 penerjun payung terbang dari Bandar Udara Pattimura, Ambon, dengan menaiki
pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota Teminabuan untuk melakukan penerjunan. Saat persiapan keberangkatan,
komandan pasukan menyampaikan bahwa mereka akan diterjunkan di sebuah perkebunan teh, selain itu juga
disampaikan sandi-sandi panggilan, kode pengenal teman, dan lokasi titik kumpul, lalu mengadakan pemeriksaan
kelengkapan perlengkapan anggotanya sebelum masuk ke pesawat Hercules. Pada pukul 03.30 WIT, pesawat Hercules
yang dikemudikan Mayor Udara T.Z. Abidin terbang menuju daerah Teminabuan.

Dalam waktu tidak lebih dari 1 menit, proses pendaratan 81 penerjun payung selesai dan pesawat Hercules segera
meninggalkan daerah Teminabuan. Keempat mesin Allison T56A-15 C-130B Hercules terbang menanjak untuk
mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh pesawat Neptune milik Belanda.[6]

TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam
sejarah operasi militer Indonesia.[8] Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.

Akhir dari konflik


Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konfik ini,[4] Amerika Serikat
mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal
15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua juga mengubah pendiriannya dan
mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.[9][10]

Persetujuan New York


Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New
York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan
C.W.A. Schurmann. Isi dari Persetujuan New York adalah:

Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada
Indonesia.
Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-
masing pemerintah.
UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah
Sekjen PBB dalam masa peralihan.
Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua Barat untuk mengambil keputusan
secara bebas melalui
musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua Barat
penetapan tanggal penentuan pendapat
perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak penduduk Papua untuk
tetap bergabung dengan Indonesia; atau
memisahkan diri dari Indonesia
hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan
sesuai dengan standard internasional
Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.
Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia
dinamai Kota Baru dan pada 5 September 1963, Papua Barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah
Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini
ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka atau OPM pada 1965. Untuk meredam
gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan,
penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam
kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.
Penentuan Pendapat Rakyat
Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang diatur oleh Jenderal Sarwo Edhi
Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu sebelum PEPERA angkatan bersenjata Indonesia
menangkap para pemimpin rakyat Papua dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk
memilih penggabungan dengan Indonesia.[11][12]

PEPERA ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200 suara (dari 1054) untuk
integrasi.[13] Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi
Papua Merdeka dan berbagai pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak ingin
Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Papua Barat menjadi provinsi ke-26
Indonesia, dengan nama Irian Jaya.

Setelah penggabungan
Setelah Papua Barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya, Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:

Papua Barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih dipegang oleh Belanda
Belanda berjanji menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar
penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
penggabungan Papua Barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.
Hal ini diajarkan di sekolah dan ditulis dalam buku teks sejarah nasional.[4][5][6]

Setelah Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan asing pertama yang diberi ijin
tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun 1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun
1972), dan kontrak ini diperpanjang pada tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan tambang Grasberg pada
tahun 1988, tambang ini menjadi tambang emas terbesar di dunia. Penduduk setempat dengan bantuan Organisasi Papua
Merdeka memprotes berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan
beberapa pegawai Freeport dari Eropa dan Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini dua tawanan dibunuh dan
sisanya dibebaskan.

Pada tahun 1980-an, Indonesia memulai gerakan transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari pulau Jawa dan
Sumatera dipindahkan ke provinsi Irian Jaya dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini mencurigai usaha
Indonesia untuk mendominasi provinsi Irian Jaya dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat.[14][15][16]
Pada tahun 2000, presiden Abdurrahman Wahid memberi otonomi khusus kepada provinsi Papua untuk meredam usaha
separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi provinsi Papua dan Irian Jaya Barat melalui instruksi Presiden
Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001.

[sunting] Catatan kaki


^ Neles Tebay. Human Rights in Papua: An overview.
^ Kedutaan Besar Indonesia, Oslo. The Indonesian Question in the United Nations.
^ Perserikatan Bangsa-Bangsa. United Nations General Assembly Resolution 448(V).
^ a b c d e Suhadi, Machdi, Sutarjo Adisusilo, dan A. Kardiyat Wiharyanto. 2006. Ilmu Pengetahuan Sosial SEJARAH
untuk SMP dan MTs Kelas IX. Penerbit: Esis.
^ a b c d Pembebasan Papua Barat dan Pasukan Belanda di Papua Barat. Pusjarah TNI.
^ a b c d e Sibero, Tarigan, "Kisah Heroik Merebut Papua Barat (1)", TNI, 3 Mei 2006.
^ a b c Intisari. Mengenang Tragedi di Laut Aru
^ "Batalyon Armed–9/Pasopati", Patriot, 09-03-2007.
^ United States Department of State. 95/03/06 Foreign Relations, 1961-63, Vol XXIII, Southeast Asia.
^ John F. Kennedy. Surat John F. Kennedy.
^ The National Security Archive. Indonesia's 1969 Takeover of West Papua Not by "Free Choice".
^ Saltford, John Francis. UNTEA and UNRWI: United Nations Involvement in West New Guinea During the 1960’s.
Kutipan: Indonesia's final preparation for the assembly meetings have been described by several people, including
assembly members. They allege that members were isolated beforehand in camps for several weeks. Forbidden to
contact friends and relatives and often under armed guard, they were then subjected to a series of threats and bribes by
the authorities to do exactly as they were told.
^ The Indonesia Human Rights Campaign. Act of Free Choice: The Papuans of Western New Guinea and the limitations
of the right to self determination.
^ Andrew Kilvert. Golden Promises: Indonesian migrants find themselves pawns in a war for control of West Papua.
^ M.Adriana Sri Adhiati & Armin Bobsien (ed.). Indonesia's Transmigration Programme - An Update.
^ The World Bank. Transmigration in Indonesia.

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papua_Barat

You might also like