You are on page 1of 59

PENGETAHUAN MANUSIA SECARA UMUM*

Oleh: Eko Marhaendy

A. Pendahuluan
Aristoteles memulai metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari
kodratnya ingin tahu”.[1] Pernyataan ini tampak berbenturan dengan generasi
sebelumnya, Sokrates, yang menganggap “ia tahu bahwa ia tidak tahu”, sehingga Delphi
menginterpretasikan tidak ada manusia yang lebih bijaksana dari pada Sokrates dengan
pernyataan: “tidak ada manusia yang mempunyai pengetahuan, tetapi sementara orang
lain mengira bahwa mereka mempunyai pengetahuan, Sokrates sendiri yang mengetahui
bahwa ia tidak tahu”.[2]
Pandangan Aristoteles tentang keingintahuan manusia dan pandangan Sokrates
yang menganggap bahwa ketidaktahuan merupakan kenyataan kodrati manusia,
sesungguhnya bukan merupakan pandangan yang secara essensial harus dipertentangkan
satu sama lain. Akan tetapi pada prinsipnya dapat ditemukan relasi dari keduanya.
Langkah pertama menuju pengetahuan yang dibayangkan Aristoteles sejatinya
merupakan kesadaran Socratik bahwa manusia tahu bahwa ia tidak tahu, sehingga ada
keinginan untuk tahu dan keinginan tersebut dapat diwujudkan. Titik temu yang dapat
ditarik dari keduanya adalah eksistensi pengetahuan sebagai bagian penting yang pasti
ada pada diri manusia.
Pengetahuan bukanlah persoalan sederhana yang dengan mudah dapat
didefenisikan. Kenneth T. Gallagher, sebagaimana disadur P Hardono Hadi,
menyebutkan pengetahuan sebagai “sui genis”, artinya sesuatu yang berhubungan
dengan apa yang paling sederhana dan paling mendasar.[3] Sementara itu, upaya
mendefinisikan sesuatu berarti meletakkan sesuatu itu pada istilah-istilah yang paling
sederhana dan mudah dimengerti, dengan demikian tidak ada pertanyaan mengenai
“pengetahuan”.[4] Namun demikian, untuk mendapatkan hasil kajian yang lebih
sistematis dan terarah, sesederhana apapun istilah pengetahuan itu harus tetap diberikan
batasan.
Pengetahuan yang dimaksud pada tulisan ini adalah pengetahuan yang
dibicarakan dalam ranah filsafat, mengingat bahasan mengenai pengetahuan manusia
secara umum yang menjadi konsentrasi kajian pada tulisan ini bertujuan untuk
memahami fondasi dan metodologi penedekatan dalam studi Islam. Oleh karenanya,
kajian yang dipaparkan pada tulisan ini secara umum akan menggambarkan
pengetahuan dalam pendekatan filsafat pengetahuan (epistemologi) sebagai bagian
yang banyak dibicarakan pada kajian filsafat ilmu.
Seringkali pengetahuan dijadikan sebagai sesuatu untuk membedakan manusia
dengan binatang. Padahal secara essensial pengetahuan tidak dapat dijadikan sebagai
sesuatu yang membedakan keduanya, karena dalam faktanya pengetahuan merupakan
sesuatu yang juga dimiliki oleh binatang. Kambing misalnya, tentu akan menolak
disuguhkan daging karena dia tahu bahwa daging bukan makanannya, sebaliknya
harimau dapat dipastikan akan mengincar daging meski tanpa disuguhkan sebelumnya
daripada harus menikmati rerumputan yang tumbuh subur di sekitarnya. Analogi ini jelas
menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan bagian yang selalu melekat pada
keduanya (manusia dan binatang).
Perbedaan manusia dan binatang dalam soal pengetahuan terletak pada taraf
perkembangannya. Penegasan ini akan lebih mudah dipahami dengan analogi yang
dikutip Jujun S. Suryasumantri dari ceramah seorang ilmuan bernama Andi Hakim
Nasution: “sekiranya binatang mempunyai kemampuan menalar, maka bukan harimau
Jawa yang sekarang ini akan dilestarikan supaya jangan punah, melainkan manusia
Jawa,…”. Jujun selanjutnya menegaskan bahwa kemampuan menalar yang dimiliki
manusia menyebabkan manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan
rahasia kekuasaan-kekuasaannya.[5] Binatang memang memiliki pengetahuan, namun
pengetahuan tersebut terbatas pada usaha untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya.
Jujun S. Suryasumantri lebih jauh menyebutkan penalaran merupakan proses
berpikir dalam menarik kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran ini akan
menghasilkan pengetahuan yang ditempuh melalui proses berpikir sebagai upaya untuk
menemukan pengetahuan yang benar.[6] Proses penalaran ini pula yang selanjutnya
dapat membedakan antara pengetahuan biasa dengan pengetahuan ilmiah.
Sebagaimana disebutkan C.A Van Peursen, pengetahuan dalam kajian filsafat memiliki
keluasan makna tidak hanya meliputi pengetahuan ilmiah, melainkan juga pengetahuan
biasa berupa pengalaman pribadi, melihat dan mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan
dan suasana jiwa.[7] Proses perkembangan pengetahuan manusia dari pengetahuan
biasa ke arah pengetahuan ilmiah yang melibatkan metode dan sistem-sistem tertentu,
termasuk di dalamnya pengetahuan yang dihasilkan dengan jalan filsafat, sebagai
sebuah gambaran umum akan dipaparkan lebih jauh pada makalah ini.

B. Cara Memperoleh Pengetahuan


C.A Van Peursen memberikan pengertian yang sangat sederhana tentang
pengetahuan, bahwa manusia sadar akan barang-barang disekitarnya. Dalam
pandangannya, ada dua macam pengetahuan yang menjadi pusat perhatian, yaitu
pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera dan pengetahuan yang diperoleh
melalui akal budi. Seringkali ahli pikir Yunani mempertentangkan antara keduanya:
pengetahuan yang diperoleh berdasarkan panca indera digambarkan sebagai
pengetahuan yang tidak menentu dan menyesatkan, sedangkan pengetahuan yang
diperoleh berdasarkan akal budi dihormati sebagai pengetahuan sejati. Padahal– dalam
pandangan Van Peursen – pengetahuan lewat akal budi sesungguhnya berkembang dari
pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera.[8]
Penegasan di atas menunjukkan bahwa, baik pengetahuan biasa maupun
pengetahuan ilmiah, sejatinya berawal dari cara yang sama. Hanya saja pada level
pengetahuan ilmiah, pengetahuan manusia telah mengalami perkembangan-
perkembangan tertentu yang dianggap sebagai kesimpulan yang benar. Lebih jauh Van
Peursen menjelaskan, panca indera menyajikan pengalaman dan observasi seperti melihat
sebatang pohon, mencium sate kambing dan sebagainya. Panca indera akan melihat
sebatang pohon sebagai pohon, dalam hal ini akal budi berperan untuk memproses
pengetahuan tersebut, memberikan nama pada pohon tersebut; memaklumi sifatnya
yang keras, sukar ditembus, dan lain sebagainya; atau mengambil jarak pada pohon
tersebut karena memaklumi sifatnya. Akal budi ditafsirkan sebagai bakat pengetahuan
aktif daripada panca indera yang lebih bersifat pasif.[9]
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pengetahuan, termasuk di
dalamnya pengetahuan ilmiah, pada hakikatnya berawal dari pengalaman yang diperoleh
berdasarkan proses ‘pencernaan’ panca indera. Proses pencernaan panca indera terhadap
objek tertentu akan melahirkan pengalaman-pengalaman seperti: rasa gula yang manis,
warna daun yang hijau, atau suara petasan yang membisingkan. Pengalaman-pengalaman
sederhana tersebut mengalami perkembangan ketika manusia memunculkan pertanyaan:
mengapa gula mempengaruhi rasa air yang melarutkannya?; bagaimana daun berwarna
hijau yang menempel di ranting pohon dapat berubah menjadi kuning ketika daun
tersebut jatuh ke tanah?; apa yang dapat dilakukan agar suara petasan tidak terdengar
bising di telinga?. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan memberikan
manusia pengetahuan yang baru, sebab pengetahuan – sebagaimana disebutkan Jujun
– merupakan serangkaian jawaban dari berbagai persoalan hidup manusia.
Sidi Gazalba menyebutkan, dalam sejarah filsafat pengetahuan lazimnya
diperoleh melalui salah satu dari empat cara, yaitu: pengetahuan yang dibawa sejak
lahir; pengetahuan yang diperoleh berdasarkan budi; pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan indera-indera khusus seperti pendengaran, ciuman, dan rabaan; dan atau
pengetahuan yang diperoleh dari penghayatan langsung atau ilham.[10] Sementara itu,
Jujun S. Suryasumantri[11] memandang pengetahuan berkembang dari upaya manusia
untuk menafsirkan dan memahami gejala alam. Pada awalnya, gejala alam dipersepsi
sebagai pencerminan dari kepribadian dan kelakuan makhluk luar biasa yang melahirkan
mitos seperti dewa yang pemarah, dewa hujan, atau dewa cinta.
Pada tahap selanjutnya, pengetahuan manusia berkembang ditandai dengan
usaha manusia untuk menafsirkan dunia terlepas dari belenggu mitos. Manusia
mengembangkan pengetahuannya dengan mempelajari alam berdasarkan akal sehat
(common sense) sembari mengembangkan metode mencoba-coba (trial and error).
Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut “seni terapan”
(applied arts) yang memiliki kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari dan
bertujuan untuk memperkaya spiritual.[12] Jujun lebih jauh menekankan, akal sehat dan
cara mencoba-coba ini memiliki peranan penting dalam usaha manusia untuk
menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.[13]
Akal sehat (common sense) merupakan cara yang paling mendasar bagi manusia
untuk memperoleh pengetahuan. Filsafat dan ilmu bahkan harus diawali dengan akal
sehat (common sense) sebab keduanya tidak memiliki landasan awal yang lain untuk
berpijak. Sebagaimana dikutip Jujun berdasarkan Randall dan Buchler pada buku
Philosophy: A Introduction,[14] akal sehat dimaknai sebagai pengetahuan yang
diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja, bersifat sporadis dan kebetulan, dengan
karakteristik: pertama, berakar pada adat dan tradisi sehingga cenderung bersifat
kebiasaan dan pengulangan; kedua, landasannya berakar kurang kuat sehingga
kesimpulan yang ditarik sering berdasarkan asumsi; dan ke tiga, karena kesimpulan yang
ditariknya sering berdasarkan asumsi dan tidak dikaji lebih lanjut sehingga akal sehat
menjadi pengetahuan yang tidak teruji.
Perkembangan pengetahuan manusia pada tahap selanjutnya ditandai dengan
tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang
bersifat mitos. Jujun menegaskan, rasionalisme sering menghasilkan kesimpulan yang
benar jika ditinjau dari alur-alur logika yang digunakannya, namun sangat bertentangan
dengan kenyataan sebenarnya. Kelemahan rasionalisme ini kemudian menyebabkan
lahirnya empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari
kenyataan pengalaman.[15]
Ada semacam benturan serius ketika rasionalisme dan empirisme dihadapkan.
Metode eksperimen kemudian lahir untuk menjembatani keduanya, di mana penjelasan
teoritis yang hidup di alam rasional mengambil pembuktian yang dilakukan secara
empiris. Metode eksperimen yang belakangan berkembang menjadi paradigma ilmiah
pada mulanya dikembangkan oleh para sarjana muslim dan diperkenalkan di dunia Barat
oleh Roger Bacon (1214-1294), kemudian mendapatkan penyempurnaan sebagai
paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon (1561-1626). Pengembangan metode ini
selanjutnya diterima sebagai paradigma (metode) ilmiah sehingga sejarah manusia dapat
menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat.[16]
Pengetahuan manusia pada umumnya dikelompokkan ke dalam empat jenis
pengetahuan, yaitu: pertama, pengetahuan umum (common sense) sebagai pengetahuan
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa mengetahui seluk
beluk yang luas dan mendalam; kedua, pengetahuan ilmiah (sains), yaitu pengetahuan
yang masih berkisar di seputar pengalaman dan diperoleh melalui metodologi dan cara-
cara tertentu; ketiga, pengetahuan filsafat, merupakan pengetahuan tanpa batas dengan
menggunakan pengkajian secara mendalam dan hakiki menembus batas pengalaman
biasa; dan keempat, pengetahuan agama sebagai pengetahuan yang dapat diperoleh
melalui Tuhan lewat perantaraan utusan-Nya, biasanya bersifat mutlak dan wajib diikuti.
[17]
Jika pada pemaparan sebelumnya diketahui beberapa cara manusia memperoleh
pengetahuan antara lain: pengalaman; akal sehat (common sense); trial and eror (metode
mencoba-coba); dan metode eksperimen sebagai paradigma ilmiah, maka berdasarkan
pengelompokkan jenis pengetahuan manusia ini diketahui pula cara lain manusia
memperoleh pengetahuan, yaitu: filsafat dan agama. Kedua cara ini pada dasarnya
merupakan cara yang saling bertentangan satu sama lain. Filsafat misalnya, menjadi
metode pencarian kebenaran yang masih dipersoalkan oleh kelompok agamais dengan
pertanyaan: mungkinkah kebenaran/pengetahuan dapat diperoleh melalui jalan filsafat?.
Sebagaimana disinggung Nur Ahmad Fadhil Lubis dalam bukunya Pengantar Filsafat
Umum, filsafat tidak menawarkan jawaban yang pasti dan jalan keluar yang aman, justru
mempersoalkan permasalahan sehari-hari yang sama sekali tidak dipersoalkan.[18]
Sebaliknya, agama kerap dipersepsi sebagai rumusan yang telah selesai dan tidak perlu
dipertanyakan lagi kebenarannya.
Selain filsafat dan agama sebagai cara yang lain untuk memperoleh pengetahuan,
beberapa tokoh filsafat juga menyebutkan “intuisi” sebagai salah satu cara untuk
memperoleh pengetahuan. Intuisi adalah pengetahuan yang diperoleh secara tiba-tiba
tanpa melalui proses penalaran tertentu. Henry Bergson mengaggap intuisi merupakan
hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.[19] Ibn Arabi
merupakan salah satu tokoh dari literatur Islam yang menganggap penting intuisi sebagai
sumber untuk memperoleh pengetahuan. Bahkan, intuisi boleh dikatakan sebagai intisari
dari filsafat mistis Ibn Ar-Rabi.[20]
Dari sejumlah penjelasan di atas, dapat ditemukan beberapa cara manusia
memperoleh serta mengembangkan pengetahuan. Cara-cara tersebut adalah: pengalaman,
common sense (akal sehat), trial and eror (metode mencoba-coba), metode eksperimen
yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai pengetahuan ilmiah, filsafat, agama,
dan intuisi. Perkembangan pengetahuan manusia dari pengetahun biasa kepada
pengetahuan ilmiah dapat dijelaskan sebagaimana gejala tahu yang dirumuskan para
pemikir filsafat, yaitu: pertama, tidak dari permulaan adanya manusia itu tahu sehingga ia
ingin mengetahui sesuatu tentang dirinya; kedua, lahir keinginan manusia untuk
mengajukan pertanyaan guna menemukan jawaban yang memuaskan, dan pengetahuan
yang memuaskan adalah pengetahuan yang benar; ketiga, sasaran atau objek yang ingin
diketahui adalah sesuatu yang ada atau yang mungkin ada yang mampu merangsang
keingintahuan manusia; dan keempat, hasil dari gejala mengetahui adalah manusia secara
sadar tahu bahwa ia tahu.[21]

C. Pengetahuan, Ilmu (Sains), dan Filsafat


Istilah pengetahuan, ilmu (sains), dan filsafat pada pembahasan sebelumnya
banyak disinggung sebagai bagian dari ruang lingkup pengetahuan itu sendiri. Namun
demikian, meskipun ketiganya memiliki persamaan sebagai pengetahuan tetap ditemukan
perbedaan-perbedaan mendasar, baik dari segi pengertian, fungsi maupun cara-cara untuk
memperolehnya. Untuk melihat perbedaan-perbedaan tersebut lebih jauh, sangat penting
terlebih dahulu dipaparkan pengertian dari ketiganya.
Dalam Encyclopedia of Philosophy – sebagaimana dikutip Selamat Ibrahim S.
DEA, pengetahuan didefenisikan sebagai kepercayaan yang benar (knowledge is justified
true belief). Berdasarkan pengertian ini ia menyimpulkan bahwa pengetahuan merupakan
sesuatu yang harus benar, sebab jika tidak benar maka sesuatu itu bukan merupakan
pengetahuan melainkan kekeliruan atau kontradiksi.[22] Pertanyaan yang kemudian
muncul adalah: apakah setiap pengetahuan harus memiliki kesimpulan yang benar?.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia,
baik pengetahuan tersebut merupakan kesimpulan yang benar maupun pengetahuan
dengan kesimpulan yang salah (keliru). Pada bagian terdahulu misalnya, telah dipaparkan
perkembangan pengetahuan manusia dari taraf yang paling rendah – bahkan keliru dalam
pandangan pengetahuan masyarakat modern – hingga pengetahuan ilmiah yang sangat
mendukung kelangsungan hidup umat manusia. Oleh karenanya pengetahuan bisa saja
salah, akan tetapi pengetahuan yang hakiki sejatinya merupakan pengetahuan yang benar.
Dalam kajian filsafat, umumnya ada empat kelompok manusia terkait dengan
pengetahuan, yaitu: pertama, manusia tahu bahwa ia tahu; kedua, manusia tahu bahwa ia
tidak tahu; ketiga, manusia tidak tahu bahwa ia tahu; dan keempat, manusia tidak tahu
bahwa ia tidak tahu.[23] Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh manusia benar-
benar ada ketika ia mengetahui objek yang ingin diketahui.[24] Pengetahuan biasa
umumnya tidak mempersoalkan hal ini, apakah manusia tahu bahwa ia tahu, atau justru
tidak tahu bahwa ia tidak tahu.
Pengetahuan sebagai pengetahuan yang benar dibicarakan dalam ranah
pengetahuan ilmiah (ilmu/sains). Ilmu (sains) adalah pengetahuan yang bertujuan untuk
mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu yan diperoleh melalui pendekatan,
metode dan sistem tertentu.[25] Jika proses cerapan rasa tahu manusia merupakan
pengetahuan secara umum yang tidak mempersoalkan seluk beluk pengetahuan tersebut,
ilmu – dengan cara khusus dan sistematis – dalam hal ini mencoba untuk menguji
kebenaran pengetahuan tersebut secara lebih luas dan mendalam. Ilmu tidak hanya
berbicara tentang hakikat (ontologis) pengetahuan itu sendiri, melainkan juga
mempersoalkan tentang bagaimana (epistemologis) pengetahuan tersebut dapat diproses
menjadi sebuah pengetahuan yang benar-benar memiliki nilai guna (aksiologis) untuk
kehidupan manusia. Oleh karenanya, perkembangan ilmu pengetahuan itu pada dasarnya
bersifat dinamis sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut ini:

Tesis
Antitesis
Pengetahuan
(Tesis)
Antitesis
Pengetahuan
(Tesis)

Perkembangan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis seperti ditunjukkan pada


gambar di atas dapat dijelaskan sebagaimana yang dituliskan Irwandar pada buku
Dekonstruksi Pemikiran Islam, Idealitas Nilai dan Realitas Empiris. Ilmu pengetahuan
pada prinsipnya merupakan sebuah tesis yang diuji dengan antitesis sehingga
menghasilkan pengetahuan yang baru (sintesis). Hail pengetahuan baru tersebut (sintesis)
akan menjadi sebuah tesis yang baru pula sehingga akan diuji kembali dengan antitesis
yang baru dan akan melahirkan pengetahuan yang baru (sintesis).[26] Demikian
seterusnya, ilmu pengetahuan akan terus berjalan secara dinamis bagaikan “anak tangga”
mengikuti pola 1, 2, 3,…dst.
Selain pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah (sains) yang telah dipaparkan
di atas, filsafat juga merupakan bagian penting yang turut dibicarakan dalam ranah
pengetahuan, sebab filsafat merupakan bagian dari pengetahuan itu sendiri. Filsafat
memiliki pengertian yang cukup beragam, antara lain:
1. All learning exclusive of technical precepts and practical arts;
2. a discipline comprising as it core logic, aesthetic, ethics, metaphysic, and
epistemology;
3. a search for a general understanding of values and reality by chiefly speculative
rather than observational means;
4. an analysis of the ground of and concepts expressing fundamental beliefs;
5. a theory underlying or regarding a sphere of activity of thought;
6. the most general beliefs, concepts and attitudes of and individual or group;
7. calmness of temper and judgment.[27]
Pengertian filsafat yang demikian luas dan beragam tersebut sesungguhnya
menunjukkan ciri utama yang harus ada dalam filsafat, yaitu: universal, radikal dan
sistematis. Selain itu, Nur Ahmad Fadhil Lubis juga menyebutkan ciri-ciri lain yang
ditambahkan beberapa penulis, antara lain: deskriptif, kritis, analisis, evaluatif dan
spekulatif.[28] Jika ilmu pengetahuan berjalan dinamis mengikuti pola 1, 2, 3,…dst,
maka ciri berpikir filsafat dapat dijelaskan seagaimana ditunjukkan pada gambar berikut
ini:
1
2
3
Pemaparan di atas secara umum telah memberikan gambaran pengertian
pengetahuan, ilmu (sains), dan filsafat sebagai bagian dari pengetahuan manusia.
Berdasarkan gambaran tersebut tentunya dapat dilihat sejumlah perbedaan di antara
ketiganya (pengetahuan, sains, dan filsafat). Perbedaan-perbedaan tersebut akan lebih
mudah dilihat dengan membuat tabulasi tentang fungsi dan cara memperoleh
pengetahuan berdasarkan tiga jenis pengetahuan tersebut (pengetahuan, sains, dan
filsafat) sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut:

Jenis Pengetahuan Fungsi Cara Memperolehnya


Untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari tanpa mempersoalkan Melalui pencernaan indra dan
Pengetahuan Biasa
seluk beluk pengetahuan secara pengalaman secara umum
mendalam
Untuk menguji kebenaran dari
pengetahuan manusia secara umum Melalui penalaran dengan metode
Ilmu (Sains) yang berkisar pada pengalaman dan cara-cara tertentu secara
sehari-hari guna memenuhi objektif dan sistematis
kebutuhan hidup manusia
Untuk mencari jawaban dari Melalui penalaran yang luas dan
Filsafat pertanyaan-pertanyaan akhir guna mendasar dengan pola berpikir
menemukan kebenaran yang hakiki sistematis

Penjelasan di atas menunjukkan perbedaan signifikan pada fungsi dan cara


memperoleh pengetahuan dari ketiga jenis pengetahuan yang sedang dibahas. Meskipun
pengetahuan secara umum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia – karena
pengetahuan tidak lain merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul
berhubungan denagan persoalan-persoalan hidup, fungsi spesifik dari ketiga jenis
pengetahuan di atas tetap mengandung beberapa perbedadan disamping perbedaan cara
memperolehnya. Perbedaan yang lain, khususnya yang dapat ditemukan di antara ilmu
dan filsafat, adalah bahwa filsafat berupaya mencari hakikat dari segala sesuatu, bukan
hanya sekedar relasi kausal atau penjelasan deskriptif saja, sementara ilmu pengetahuan
merupakan fragmentaris yang menjadikan suatu bagian tertentu sebagai bidang
kajiannya.[29]

D. Metode Ilmiah dan Struktur Pengetahuan Ilmiah


Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan prosedur yang disebut
sebagai metode ilmiah. Sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan terdahulu,
kelahiran metode ilmiah diawali dari keberhasilan Francis Bacon meyakinkan masyarakat
ilmuan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah. Dengan demikan,
sangat tepat apa yang pernah diungkapkan Jujun, bahwa: secara konseptual metode
eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan
oleh Francis Bacon, meskipun secara jujur Francis Bacon tidak pernah menyebutkan para
pendahulunya.[30]
Jujun S. Suryasumantri pada bukunya yang lain menyebutkan: metode ilmiah
yang menghasilkan pengetahuan yang bersifat logis dan teruji dengan jembatan berupa
pengajuan hipotesis disebut juga sebagai metode logiko-hipotetiko-verivikatif, yang
menuntun cara berpikir untuk mendapatkan hasil pengetahuan ilmiah.[31] Metode ilmiah
ini dicerminkan melalui penelitian ilmiah yang merupakan gabungan dari cara berpikir
rasional dan empiris. Kerangka berpikir ilmiah yang bertolak pada logiko-hipotetiko-
verivikatif, dijelaskan Jujun pada bukunya Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer,
sebagai berikut:[32]
1) Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang
jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait di
dalamnya;
2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, merupakan argumentasi
yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang
saling mengkait dan membentuk kontelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini
disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji
kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan
permasalahan;
3) Perumusan hipotesis, merupakan jawaban sementara antara dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan;
4) Pengajuan hipotesis, merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan denangan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak;
5) Penarikan kesimpulan, sebagai penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan
itu ditolak atau diterima.
Pola penggunaan metode ilmiah ini secara sederhana ditunjukkan pada gambar
berikut:[33]
MASALAH
Khazanah Pengetahuan Ilmiah
Penyusunan Kerangka Berpikir
Perumusan Hipotesis
Pengajuan Hipotesis
DITOLAK
DITERIMA
Induksi
Korespondensi
Deduksi
Koherensi
Praghmatisme

Metode ilimiah yang digambarkan melalui pola di atas memperlihatkan


bagaimana pengetahuan diproses melalui serangkaian langkah-langkah tertentu yang
dilakukan dengan penuh kedisiplinan. Sangat wajar jika kemudian – ungkap Jujun –
karakteristik kedisiplinanini menjadikan ilmu dikonotasikan sebagai disiplin.[34] Sebuah
hipotesis yang telah teruji secara formal akan diakui sebagai pengetahuan ilmiah yang
baru, yang tentunya akan memperkaya khazanah keilmuan yang telah ada.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan
berbagai gejala alam, meramalkan dan mengontrol apakah ramalan tersebut akan terjadi.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan secara garis besar memiliki tiga fungsi:
menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol.[35] Fungsi-fungsi ilmu pengetahuan ini pula
yang selanjutnya menghendaki sebuah pengkajian ilmiah melahirkan teori sebagai
pengetahuan yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah
disiplin keilmuan. Karena memang pada dasarnya tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan
itu adalah mengembangkan teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten.[36]
Jujun lebih jauh menyebutkan, sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum
untuk menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam satu kaitan sebab
akibat. Hukum yang diperoleh dari sebuah teori memungkinkan manusia meramalkan apa
yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab.[37] Contoh paling mudah yang dapat
dikemukakan dari hukum yang dilahirkan oleh teori antara lain: hukum permintaan dan
penawaran yang ditelurkan dari disiplin ilmu ekonomi. Dengan demikian, dapat
dimengerti bahwa merupakan pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang
“mengapa” suatu gejala terjadi, dan hukum akan memberikan kemampuan untuk
meramlakan tentang “apa” yang mungkin terjadi.
Jika dilakukan pembacaan ulang secara cermat sebuah pengkajian ilmiah yang
melewati serangkaian metode ilmiah untuk kemudian menghasilkan teori-teori tertentu
dengan seperangkat hukum-hukum di dalamnya, tampak jelas bagaimana sebuah
keilmuan tersusun secara rapih, sistematis dan penuh dengan kedisiplinan. inilah yang
selanjutnya dapat disebut sebagai struktur pengetahuan ilmiah, mengingat pengertian
“struktur” membicarakan bagaimana sesuatu disusun dengan baik.[38]

E. Trend Penelitian Ilmiah


Pada pemaparan-pemaparan terdahulu telah dibicarakan perkembangan
pengetahuan manusia yang begitu pesat. Jika pada masa awal manusia tidak
mempersoalkan secara mendalam kebenaran kesimpulan pengetahuan yang mereka
miliki, saat ini pengetahuan tersebut diuji untuk menemukan kesimpulan yang benar dan
kesimpulan tersebut menjadi pengetahuan yang baru. Tidak hanya sampai pada batas itu,
kesimpulan yang semula dianggap benar, kembali diuji untuk dicarikan kesimpulan yang
lebih benar sehingga kesimpulan tersebut akan menghasilkan kesimpulan yang baru pula.
Demikian seterusnya, manusia mampu melahirkan sejumlah pengetahuan baru dengan
keanekaragaman pendekatan penelitian masing-masing.
Problem yang kemudian muncul adalah eksistensi pengkajian agama (dalam hal
ini Islam) sebagai studi ilmiah yang masih cukup minim. Johan Meuleman –
sebagaimana dikutip U. Maman, dkk – menyebutkan kondisi ini disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain: pertama, keteraturan logosentrime sangat menonjol di
kalangan umat Islam; kedua, faktor pertama ini kemudian mengakibatkan penelitian
terpusat pada teks-teks dengan mengabaikan unsur yang tidak tertulis dari agama dan
kebudayaan Islam; ketiga, intrepretasi yang tertutup dan terbatas sebagai suatu teks yang
membicarakan fakta dan peraturan; keempat, anggapan teks-teks klasik mewakili agama
dan bahkan anggapan sebagai agama itu sendiri; kelima, sikap apologetis terhadap aliran
lain; dan keenam, sikap tradisional.[39]
Kesadaran akan kondisi stgnan pengkajian agama yang terbatas pada bidang-
bidang yang disebutkan di atas selanjutnya melahirkan berbagai pendekatan dalam studi
Islam. Secara umum, pendekatan-pendekatan tersebut dapat disebutkan, antara lain:
pendeketan spesialisasi keilmuan, pendekatan interdisiplin ilmu, pendekatan multi-
disiplin keilmuan, dan pendekatan studi kawasan.
Penelitian spesialisasi dapat dipahami sebagai sebuah penelitian yang mengambil
konsentrasi pada bidang-bidang tertentu. Seperti: Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits,
Dakwah, dan lain sebagainya. Berdasarkan perkembangan ajaran Islam, Harun Nasution
melakukan klasifikasi ilmu-ilmu Islam, sebagai berikut:[40]
1) Kelompok dasar, yang terdiri dari tafsir, hadis, akidah/ilmu kalam (teologi),
filsafat Islam, tasawuf, tarekat, perbandingan agama, serta perkembangan modern
dalam ilmu-ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, dan filsafat.
2) Kelompok cabang, teridiri dari:
- Ajaran yang mengatur masyarakat: ushul fikih, fikih muamalah, fikih ibadah,
peradilan dan perkembangan modern;
- Peradaban Islam: sejarah Islam, sejarah pemikiran Islam, sains Islam, buday
Islam, dan studi kewilayahan Islam;
3) Bahasa dan sastra Islam
4) Pelajaran Islam kepada anak didik, mencakup: ilmu pendidiikan Islam, falsafah
pendidikan Islam, sejarah pendidikan Islam, lembaga pendidikan Islam, dan
perkembangan modern dalam pendidikan Islam.
5) Penyiaran Islam, mencakup: sejarah dakwah, metode dakwah, dan sebagainya.
Penelitian interdisiplin ilmu merupakan penelitian yang dikaji dalam wilayah
cabang-cabang ilmu sebagaimana dijelaskan di atas. Sementara penelitian multi-disiplin
ilmu merupakan penelitian yang dilakukan dengan berbagai macam pendekatan
keilmuan. Cik Hasan Bisri menyebutkan: model penelitian multi-disiplin ilmu mencakup
konsep dari berbagai disiplin ilmu. Setiap konsep masing-masing didefinisikan secara
operasional sehingga dapat ditempatkan sebagai variabel penelitiann.[41]
Sementara itu, studi kawasan merupakan salah satu model penelitian yang
dikembangkan dalam cabang sejarah. Salah satu model penelitian ini dikembangkan oleh
Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Abuddin Nata menyebutkan bahwa
penelitian yang dikembangkan Azyumardi Azra ini merupakan salah satu model studi
kawasan yang cukup proporsional terutama dalam pengembangan khazanah intelektual
Islam.[42]

F.
Penutup
Makalah ini secara sederhana telah memaparkan sejarah perkembangan
pengetahuan manusia sebagai sebuah gambaran umum, sejak manusia mengenal
pengetahuan pada taraf yang paling rendah hingga pengetahuan tersebut dapat diproses
menjadi sebuah disiplin ilmu dalam waktu yang cukup panjang. Berdasarkan pemaparan-
pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
mengembanngkan penalarannya guna menciptakan berbagai pengetahuan-pengetahuan
baru dengan melakukan berbagai penelitian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang
telah ada.
Ilmu pengetahuan yang berhasil dilahirkan manusia sampai hari ini tentunya
bukan merupakan kesimpulan akhir dari adanya pengetahuan itu sendiri. Namun
demikian, pengetahuan tersebut dapat berkembang lebih jauh di masa-masa yang akan
datang mengikuti pola perkembangan pengetahuan tersebut. Kemampuan penalaran
manusia tentunya menjadi sebuah kekuatan untuk melakukan berbagai pengkajian tidak
saja pada persoalan-persoalan umum, melainkan juga persoalan-persoalan keagamaan
yang semakin problematis di dunia modern.
DAFTAR BACAAN

A. E. Affifi. 1995. Filsafat Mistis Ibn Arabi. (Cetakan II). Jakarta: Gaya Media Pratama

Abuddin Nata. 2001. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press

Cik Hasan Bisiri. 1998. "Pengembangan Ilmu Agama Islam Melalui Penelitian
Antardisiplin dan Multidisiplin", dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan. Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. Bandung:
Pusjarlit dan Nuansa

C.A. Van Peursen. 1983. Orientasi di Alam Filsafat. (Penerjemah: Dick Hartoko)
Cetakan ketiga. Jakarta: Gramedia

Irwandar. 2003. Dekonstruksi Pemikiran Islam, Idealitas Nilai dan Realitas Empiris.
Yogyakarta: Ar-Ruz Media

Harun Nasution. 1998. Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: Sebuah Perpektif,
dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam,
Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. Bandung: Pusjarlit dan Nuansa

Jujun S. Suryasumantri.1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (cetakan ke 2).


Jakarta: Sinar Harapan.

Mulyadhi Kartanegara. 2005. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Jakarta:


Arasy Mizan

Nur Ahmad Fadhil Lubis. 2001. Pengantar Filsafat Umum. Medan: IAIN Press

P. Hardono Hadi. 1994. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kansius

Philips Babcock Gove, et.al. (editor). 1966. Webster Third New International Dictionary.
Massachussets, USA: G & C Merriam Company Publisher

Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka

Selamet Ibrahim. S. DEA. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan (online) http://download.


fa.itb.ac.id/ incl/libfile.filsafat_ilmu_pengetahuan.pdf.

Sidi Gazalba. 1981. Sistematika Filsafat. (catakan ke 3). Jakarta: Bulan Bintang

Soetriono dan SRDm Hanafie. 2007. Epistemologi dan Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Penerbit Andi

U. Maman, Kh, et.al (editor). 2006. Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik.
Jakarta: Rajawali Press
Mengapa Manusia Perlu
Pengetahuan?
Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Sunday, 11 April 2010 03:37
Kendati disadari pengetahuan itu penting masih sering juga muncul pertanyaan untuk apa
manusia memerlukannya? Bukankah tanpa pengetahuan manusia juga bisa hidup. Bagi
manusia, kegiatan mengetahui merupakan kegiatan yang secara hakiki melekat pada cara
beradanya sebagai manusia. Istilahnya dalam filsafat ilmu “knowing is a mode of being”.
Secara kodrati manusia memiliki hasrat untuk mengetahui. Ada yang hasratnya besar,
sehingga upaya pencarian pengetahuan sangat tinggi dan tidak kenal menyerah. Tetapi
ada pula yang hasratnya rendah atau biasa-biasa saja, sehingga tidak bermotivasi mencari
pengetahuan. Tetapi dapat dikatakan bahwa semua manusia punya keinginan untuk tahu.
Dalam arti sempit pengetahuan hanya dimiliki makhluk yang bernama manusia. Memang
ada yang berpendapat berdasarkan instingnya, binatang memiliki ‘pengetahuan’.
Misalnya, setiap binatang tahu akan ada bahaya yang mengancam dirinya, atau ada
makanan yang bisa disantap. Seekor harimau tahu persis apa ada binatang di sekitarnya
yang bisa dimangsa. Seekor tikus juga tahu bahwa di sekitarnya ada kucing yang siap
menerkan dirinya, sehingga berdasarkan instingnya dia segera mencari tempat yang aman.
Manusia tidak dapat hidup berdasarkan instingnya saja, walau kadang-kadang juga ada
manusia yang memiliki insting yang kuat. Manusia memiliki pengetahuan yang
didasarkan atas insting sangat terbatas. Tetapi karena manusia merupakan satu-satunya
makhluk ciptaan Allah yang diberi akal (kata “aql” tidak kurang dari lima puluh kali
disebut dalam kitab suci al Qur’an), maka ia dapat memperoleh pengetahuan tentang
segala hal. Hebatnya lagi, manusia tidak saja mampu memperoleh pengetahuan yang
diperlukan dalam hidupnya, tetapi juga mengembangkannya menjadi beraneka ragam
pengetahuan.
Berkat pengetahuannya, manusia dapat mengenali dan menguasai dan mengolah berbagai
daya isi dunia untuk kehidupannya. Jika binatang hidupnya akan sangat tergantung pada
keadaan habitatnya, maka sebaliknya manusia justru dapat mengubah kondisi dan keadaan
alam lingkungannya untuk disesuaikan dengan yang dikehendaki. Berkat pengetahuannya,
manusia bisa mengubah lingkungan alam (natural environment) menjadi lingkungan
budaya (cultural environment). Misalnya, manusia dapat mengubah bambu yang semula
tidak berharga menjadi kursi mewah dengan harga tinggi yang bisa dipajang di rumah-
rumah mewah. Barang-barang bekas pun juga bisa didaur ulang menjadi barang yang
bernilai tinggi.
Demikian pula, karena pengetahuannya, manusia juga bisa menyulap bukit terjal menjadi
kompleks perumahan mewah dengan tetap melestarikan struktur dan kontur tanah yang
ada. Karena itu, ketika manusia bisa mengubah alam dan lingkungannya menjadi sesuatu
yang lebih bernilai, maka pada saat itu pula dia melakukan proses memanusiawikan
dirinya. “Human beings are humanizing themselves”.
Saya yakin saking pentingnya peran akal bagi kehidupan manusia yang bisa melahirkan
pengetahuan, Allah mengabadikannya dalam kitab suci al Qur’an dengan menyebut kata
“al-aqlu” tidak kurang dari lima puluh kali di berbagai ayat. Dalam studi Content
Analysis, penyebutan kata atau istilah dengan berulang kali tidak mungkin tidak bermakna
apa-apa. Pengulangan berarti penegasan betapa pentingya arti kata itu. Semakin sering
diulang, maka semakin penting maknanya. Demikian salah satu cara Allah mengingatkan
manusia terhadap hal-hal tertentu yang dianggap penting. Memang pendekatan Content
Analysis belakangan memperoleh tandingan, yakni Discourse Analysis. Berbeda dengan
Content Analysis yang menekankan makna kata ditentukan oleh seberapa banyak kata itu
diulang, maka Discourse Analysis berpandangan makna kata ditentukan oleh konteks di
mana kata itu dipakai dan penafsiran terhadap kata atau kalimat dilakukan dengan cara
dialektik. .
Begitu juga ketika Allah mengulang ayat Fabiayyi Alairabbikuma Tukadziban (maka
nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan) dalam surat Ar-Rahman tidak
kurang dari tiga puluh kali. Ayat itu juga menegaskan betapa manusia merupakan
makhluk yang berpotensi kufur atas nikmat dan karunia Allah. Karena itu, malaikat
sempat mengajukan keberatan atas segala kelebihan yang diberikan Allah kepada
manusia. Tengara Allah itu kini terbukti. Walau punya akal, tetapi bisa kita saksikan
dalam kehidupan ini betapa banyak manusia ingkar dan tidak mau bersyukur atas nikmat
dan karunia Allah yang demikian melimpah. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi setiap
hari sepanjang hidupnya bertaburan nikmat dan karunia Allah. Bahkan tidur itu sendiri
merupakan nikmat Allah. Bayangkan andai saja kita tidak bisa tidur! Betapa susahnya
hidup ini. Ada seorang kawan yang harus pergi ke Cina untuk dioperasi (baca: hanya
dibetulkan) salah satu bagian syarafnya yang tidak pas dengan beaya ratusan juta rupiah.
Karena itu, mengapa ketika sedang sehat dan bisa beraktivitas apa saja, manusia tidak
mau bersyukur.
Menutup tulisan ini, marilah kita sadari betapa melimpah karunia dan nikmat yang
diberikan Allah kepada kita untuk kita syukuri dengan tiada henti. Salah satu nikmat itu
ialah akal, dan lewat akal kita memperoleh dan menciptakan pengetahuan. Dan, karena
berpengetahuan itu, kita menjadi makhluk yang manusiawi. Betapa pentingya
pengetahuan bagi kita sebagai manusia. Karena itu, agar sifat manusiawi kita tetap
melekat pada kita, maka jangan pernah berhenti mencari pengetahuan kapan pun, di mana
pun, dan dari siapa pun.

Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan dan


Implikasinya Pada Pembelajaran Matematika
20 03 2010
BAB I
PENDAHULUAN
Psikologi Kognitif merupakan salah satu cabang dari psikologi umum yang mencakup
studi ilmiah tentang gejala-gejala kehidupan mental/psikis yang berkaitan dengan cara
manusia berfikir, seperti dalam memperoleh pengetahuan, mengolah kesan yang masuk
melalui penginderaan, menghadapi masalah/problem untuk mencari suatu penyelesaian,
serta menggali dari ingatan pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam
menghadapi tunututan hidup sehari-hari.
Cabang ilmu psikologi ini khusus mempelajari gejala-gejala mental yang bersifat kognitif
dan terkait dengan proses belajar mengajar di sekolah, yang memiliki hubungan erat
dengan psikologi belajar, psikologi pendidikan dan psikologi pengajaran. Pengetahuan
dan pemahaman tentang proses belajar tidak hanya menerangkan mengapa siswa berhasil
dalam proses balajar, tetapi juga membantu untuk mencegah terjadinya penyimpangan
dalam prose situ dan sekali terjadi kesalahan selama periode belajar, untuk
mengoreksinya.
Kehidupan mental/psikis mencakup gejala-gejala kognitif, efektif, konatif sampai pada
taraf psikomotis, baik dalam berhadapan dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Gejala-gejala mental /psikis ini dapat dibedakan dengan yang lain dan dijadikan objek
studi ilmiah sendiri-sendiri, tetapi tidak pernah dapat dipisahkan secara total yang satu
dari yang lainnya. Oleh karena itu, psikologi kognitif tidak hanya menggali dasar-dasar
dari gejala yang khas kornitif, tetapi juga meninjau aspek kognitif dalam gejala mental
yang lain, seperti apa penafsiran dan pertimbangan yang menyertai reaksi perasaan
(afektif) dan keputusan kehendak (konatif). Siswa disekolah berperasaan sambil belajar
dan berkehendak serta bermotivasi sambil belajar, dapat diselidiki dengan cara
bagaimana berfikir dalam berbagai wujudnya ikut megnambil bagian dalam berperasaan
dan berkehendak. Namun, dalam bagian ini tekanan diberikan pada analisis tentang cara
berfikir itu sendiri karena perilaku internal inilah yang paling mendasar dalam belajar
disekolah.
Seiring dengan berkembangnya psikologi kognitif, maka berkembang pula cara-cara
mengevaluasi pencapaian hasil belajar, terutama untuk domain kognitif. Salah satu
perkembangan yang menarik ádalah revisi “Taksonomi Bloom“ tentang dimensi kognitif.
Anderson & Krathwohl (dalam wowo 1999) merevisi taksonomi Bloom tentang aspek
kognitif menjadi dua dimensi, yaitu: proses kognitif dan pengetahuan. Dimensi
pengetahuan berisi empat kategori, yaitu Faktual, Konseptual, Prosedural, dan
Metakognitif, Dimensi proses kognitif terdiri dari Mengingat, Pemahaman, Penerapan,
Analisis, Evaluasi dan Membuat. Kesinambungan yang mendasari dimensi proses
kognitif diasumsikan sebagai kompleksitas dalam kognitif, yaitu pemahaman dipercaya
lebih kompleks lagi daripada mengingat, penerapan dipercaya lebih kompleks lagi
daripada pemahaman, dan seterusnya.
Pengetahuan (Knowledge) / C1
Pengetahuan (C1) menekankan pada poses mental dalam mengingat dan mengungkapkan
kembali informasi-informasi yang telah siswa peroleh secara tepat sesuai dengan apa
yang telah mereka peroleh sebelumnya. Informasi-informasi yang dimaksud di sini
berkaitan dengan simbol-simbol matematika, terminologi dan peristilahan, fakta-fakta,
keterampilan dan prinsip-prinsip.
Pemahaman (Comprehension)/C2
Pemahaman (C2) adalah tingkatan yang paling rendah dalam aspek kognisi yang
berhubungan dengan penguasaan atau mengerti tentang sesuatu. Dalam tingkatan ini,
siswa diharapakn mampu memahami ide-ide matematika bila mereka dapat
menggunakan beberapa kaidah yang relevan tanpa perlu menghubungkannya denga ide-
ide lain degan gejala implikasinya.
Penerapan (Aplication)/C3
Penerapan (C3) adalah kemampuan kognisi yang mengharapkan siswa mampu
mendemonstrasiaknpemahaman mereka berkenaan denga sebuah abstraksi matemaika
melalui pengunaannya secara tepat ketika mereka diminta untuk menunjukkan
kemampuan tersebut, seorang siswa harus dapat memilih dan menggunakan apa yang
mereka telah miliki secara tepat sesuai dengan situasi yang ada dihadapannya.
Analisis (Analysis)/C4
Analisis (C4) adalah kemapuan untuk memilah sebuah struktur informasi ke dalam
komponen-komponen sedemikian hingga hierarki dan keterkaitan antar ide dalam
informasi tersebut menjadi tampak dan jelas. Bloom mengidentifikasikan 3 jenis analisis,
yaitu: (i) analisis elemen/bagian; (ii) analisis hubungan; dan (iii) analisis prinsip-prinsip
pengorganisasian. Bila pemahaman(C2) menekankan pada penguasaan atau pengertian
akan arti materi matematika, sementara penerapan (C3) lebih menekankan pada
penguasaan dan pemamfaatan infomasi-informasi yang sesuai, berkaitan dan bermamfaat.
Analisis(C4) berkaitan dengan pelmilahan materi ke dalam bagian-bagian, menemukan
hubungan antarbagian, fan mengamati pengorganisasian bagian-bagian.
Sistesis (Syntesis)/C5
Sistesis (C5) adalah kemampuan untuk mengkombinasikan elemen-elemen untuk
membentuk sebuah struktur yang unik atau sistem. Dalam matematika, sistesis
melibatkan pengkombinasian dan pengorganisasian konsep-konsep dan prinsip-prinsip
matematika untuk mengkreasikannya menjadi struktur amtematika yang lain dan berbeda
dari ayng sebelumnya. Salah satu contohnya adalah memformulasikan teorema-teorema
matematika dan mengembangkan struktur matematika.
Evaluasi( Evaluation)/C6
Evaluasi (C6) adalah kegiatan mambuat penialaian (judgement) berkenaan dengan nilai
sebuah ide, kreasi, cara atau metode. Evaluasi adalah tipe yang tertinggi diantara ranah-
ranah kognitif yang lain karena melibatkan ranah yang lainnya, mulai dari pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis hingga sintesis. Evaluasi dapat memandu seseorang
uintuk mendapat pengetahuan baru, pemahaman yang lebih baik, penerapan baru, dan
cara baru yang unik dalam analisis atau sintesis, misalnya bloom menjadi kegiatan
evalusi ke dalam 2 tipe yaitu: (i) penilaian pada bukti atau struktur internal, seperti
akurasi, logika dan konsistensi, dan (ii) Penilaian pada bukti atau struktur eksternal,
seperti teorema-teorema matematika dan sistemnya.
Bruner sebagai ahli teori belajar psikologi kognitif memandang proses belajar itu sebagai
tiga proses yang berlangsung secara serampak, yaitu (1) proses perolehan informasi baru,
(2) proses transformasi pengetahuan, dan (3) proses pengecekan ketepatan dan
memadainya pengetahuan tersebut. Informasi dapat merupakan penyempurnaan
pengetahuan terdahulu atau semacam kekuatan yang berpengaruh kepada pengetahuan
terdahulu seseorang.
Dalam transformasi pengetahuan, orang menggunakan pengetahuan untuk menyesuaikan
dengan masalah yang dihadapi. Jadi transformasi memungkinkan menggunakan
informasi diluar jangkauan informasi itu dengan cara eksplorasi (membuat estimasi
berdasarkan informasi tersebut) atau dengan interpolasi (untuk menggunakan informasi)
atau mengubah informasi ke dalam bentuk lain (Hadis, 2006).
Semakin bertambah dewasa kemampuan kognitif seseorang, maka semakin bebas
seseorang memberikan respon terhadap stimulasi yang dihadapi. Perkembangan itu ke
dalam sistem penyimpanan yang sesuai dengan aspek-aspek lingkungan sebagai
makanan.
Teori belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat
mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal.
Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang
perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena
kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana fungsi kognitif
peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses
pendidikan.
Peranan guru menurut teori belajar psikologi kognitif ialah bagaimana dapat
mengembangkan potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif
yang ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses
pendidikan di sekolah, maka peserta akan mengetahui dan memahami serta menguasai
materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas.
Oleh karena itu, peran ahli teori belajar psikologi kognitif berkesimpulan bahwa salah
satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas ialah
faktor kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Faktor kognitif merupakan jendela bagi
masuknya berbagai pengetahuan yang diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar
mandiri maupun kegiatan belajar secara kelompok.
Pengetahuan tentang kognitif peserta didik perllu dikaji secara mendalam oleh para calon
guru dan para guru demi untuk menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa
pengetahuan tentang kognitif peserta didik guru akan mengalami kesulitan dalam
membelajarkan peserta didik di kelas yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya
kualitas proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di kelas melalui proses belajar
mengajar antara guru dengan peserta didik.
BAB II
PEMBAHASAN
Objek-objek Pembelajaran Matematika
Menurut Gagne, secara garis besar ada 2 macam objek yang dipelajari siswa dalam
matematika, yaitu objek-objek langsung (direct objects) dan objek-objek tak langsung
(indirect objects).
Objek-objek langsung
a Fakta (abstrak) berupa konvensi-konvensi(kesepakatan) dalam matematika unutk
memperlancar pembicaraan-pembicaraan dalam matematika, seperti lambang-lambang.
Di dalam matematika, fakta merupakan sesuatu yang harus diterima, tanpa pembuktian
karena merupakan kesepakatan. Sebagai contoh Simbol bilangan “3” sudah dipahami
sebagai bilangan “tiga”. Jika disajikan angka “3” orang sudah dengan sendirinya
menangkap maksudnya yaitu “tiga”. Sebaliknya kalau seseorang mengucapakan kata
“tiga” dengan sendirinya dapat disimbolkan dengan “3”.
b Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau
mengklasifikasikan sekumpulan objek, apakah objek tertentu merupakan contoh konsep
atau bukan. Suatu konsep yang berada dalam lingkup matematika disebut sebagai onsep
matematika. “segitiga” adalah nama suatu konsep abstrak. Dengan konsep itu
sekumpulan objek dapat digolongkan sebagai contoh atau bukan contoh. Konsep
berhubungan erat dengan definisi. Definisi adalah ungkapan yang membatasi suatu
konsep. Dengan adanya definisi ini orang dapat membuat ilustrasi atau gambar atau
lambang dari konsep yang didefinisikan. Sehingga menjadi semakin jelas apa yang
dimaksud dengan konsep tertentu. Konsep trapesium misalnya bila dikemukakan dalam
definisi “trapesium adalah segiempat yang tepat sepasang sisinya sejajar” akan menjadi
jelas maksudnya. Konsep trapesium dapat juga dikemukakan dengan definisi lain,
misalnya “segiempat yang terjadi jika sebuah segitiga dipotong oleh sebuah garis yang
sejajar salah satu sisinya adalah trapesium. Kedua definisi trapesium memiliki isi kata
atau makna kata yang berbeda, tetapi mempunyai jangkauan yang sama.
c Operasi/keterampilan matematika adalah operasi-operasi dan prosedur-prosedur
dalam matematika yang merupakan suatu proses untuk mfencari suatu hasil tertentu.
Sebagai contoh misalnya “penjumlahan”, “perkalian”, “gabungan”, “irisan dan
sebagainya.
d Prinsip (abstrak) adalah objek matematika yang komplek. Prinsip adalah suatu
pernyataan bernilai benar, yang memuat dua konsep atau lebih dan menyatakan hubungan
antara konsep-konsep tersebut. Sebagai contoh hasil kali dua bilangan p dan q sama
dengan nol jika dan hanya jika p=0 dan q=0. ( p.q = 0 Û p = 0 atau q = 0).
Objek-objek tak langsung dari pembelajaran matematika meliputi kemampuan berfikir
logis, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan berfikir analitis, sikap positif
terhadap matematika, ketelitian, ketekunan, kedisiplinan dan hal –hal lain yang secara
implisit akan dipelajari jika siswa mempelajari matematika.
Pengetahuan dalam kajian filsafat
Menurut Burhanuddin Salam (Amsal, 2007), mengemukakan bahwa pengetahuan yang
dimiliki manusia ada empat, yaitu:
1. Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan istilah
common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang
memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik. Semua orang menyebutnya
sesuatu itu merah karaena memang itu merah, benda itu panas karena memang
dirasakan panas dan sebagainya. Dengan common sense, semua orang sampai
pada kenyakinan secara umum tentang sesuatu, di mana mereka akan berpendapat
sama semuanya.
2. Pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian
yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang
sifatnya kuantitatif dan obyektif. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistemasikan common sense, atau suatu pengetahuan
yang berasal dari pengalamandan pengamatan dari kehidupan sehari-hari. Namun,
dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan
berbagai metode. Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif
(objekctive thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna
terhadap dunia factual. Pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya
melalui observasi, eksprimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu objektif dan
menyampingkan unsure pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral, dalam arti
tidak dipegaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian (subyektif), karena dimulai
dari fakta. Ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif. Ilmu merupakan
lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang
dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati
panca indera manusia.
3. Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang
bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu
bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas
dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan
kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar
kembali.
4. Pengetahuan Agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat
para utusan-Nya. Pengetahuan Agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh
para pemeluk Agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu
ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan
hubungan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering
juga disebut dengan hubungan horizontal. Pengetahuan Agama yang lebih penting
di samping informasi tentang Tuhan, juga informasi tentang Hari Akhir. Iman
pada Hari Akhir merupakan ajaran pokok Agama sekaligus merupakan ajaran
yang membuat manusia optimis akan masa depannya.
Dimensi Pengetahuan
Pemahaman pembelajaran saat ini memfokuskan pada proses aktif, kognitif dan
konstruktif yang tergabung dalam pembelajaran yang berarti. Siswa dalam hal ini
berperan sebagai individu yang aktif dalam setiap Pembelajarannya; mereka dapat
memilih informasi yang dibangun oleh pengertian mereka sendiri dari informasi yang
dipilih tersebut. Siswa bukan penerima yang pasif, merekam informasi yang didapat dari
orang tuanya, guru, buku teks ataupun media saja. Hal ini merupakan perubahan dari
pandangan pasif dalam belajar kognitif dan perspektif konstruktif yang menekankan
pada bagaimana siswa mengetahui (pengetahuan) dan bagaimana mereka berpikir
(proses kognitif) mengenai apa yang mereka ketahui selama siswa melakukan
pembelajaran yang berarti.
Mengingat banyaknya tipe-tipe pengetahuan, khususnya dalam pengembangan psikologi
kognitif, maka secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe pengetahuan
umum, yaitu Faktual, Konseptual, Prosedural, dan Metakognitif.
Pengetahuan Faktual
Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang digunakan oleh para ahli dalam
mengkomunikasikan disiplin akademik, pemahaman, dan penyusunan dimensi
pengetahuan secara sistematis. Elemen-elemen ini biasanya digunakan oleh orang-orang
yang bekerja pada disiplin ilmu tertentu yang membutuhkan perubahan dari satu aplikasi
ke aplikasi lain.
Pengetahuan faktual berisi elemen-elemen dasar yang harus siswa ketahui ketika mereka
harus mencapai atau menyelesaikan suatu masalah. Elemen-elemen ini biasanya dalam
bentuk simbol-simbol yang digabungkan dalam beberapa referensi nyata atau ‘rangkaian
simbol’ yang membawa informasi penting. Pengetahuan faktual (factual knowledge)
yang meliputi aspek-aspek
Pengetahuan Istilah
Pengetahuan istilah meliputi pengetahuan khusus label-label atau simbol-simbol verbal
dan non verbal (contohnya kata-kata, bilangan-bilangan, tanda-tanda, gambar-gambar).
Setiap materi berisi sejumlah label-label atau simbol-simbol verbal dan non verbal yang
memiliki referensi khusus.
Contohnya :
• Pengetahuan tentang alfabet.
• Pengetahuan tentang syarat-syarat keilmuan.
• Pengetahuan tentang kosakata melukis.
• Pengetahuan tentang akunting.
• Pengetahuan tentang simbol-simbol dalam peta dan bagan.
• Pengetahuan tentang simbol-simbol yang digunakan untuk mengindikasikan
pengucapan kata-kata yang tepat.
Pengetahuan Khusus dan Elemen-Elemennya
Pengetahuan khusus dan elemen-elemennya berkenaan dengan pengetahuan tentang
peristiwa, lokasi, orang, tanggal, sumber informasi, dan sebagainya. Pengetahuan khusus
ini juga meliputi informasi yang spesifik dan tepat, contohnya saja tanggal yang benar
dari suatu kejadian atau fenomena dan perkiraan informasi, seperti periode waktu suatu
peristiwa atau fenomena yang terjadi.
Contohnya:
• Pengetahuan tentang fakta-fakta mengenai kebudayaan dan sosial.
• Pengetahuan tentang fakta-fakta yang penting dalam bidang kesehatan,
kewarganegaraan, kebutuhan manusia dan ketertarikannya.
• Pengetahuan nama-nama penting, tempat, dan peristiwa dalam berita.
• Pengetahuan reputasi penulis dalam mempersembahkan bukti-bukti terhadap
masalah pemerintah.
Pengetahuan Konseptual
Pengetahuan konseptual meliputi pengetahuan kategori dan klasifikasi serta hubungannya
dengan dan diantara mereke-lebih rumit, dalam bentuk pengetahuan yang tersusun.
Seperti, skema, model mental, atau teori implisit atau eksplisit dalam model psikologi
kognitif yang berbeda. Semua itu dipersembahkan dalam pengetahuan individual
mengenai bagaimana materi khusus di susun dan distrukturisasikan, bagaimana bagian-
bagian yang berbeda atau informasi yang sedikit itu saling berhubungan dalam arti yang
lebih sistematik, dan bagaimana bagian-bagian ini saling berfungsi. Contohnya, rotasi
bumi, matahari, rotasi bumi mengelilingi matahari.
Pengetahuan Klasifikasi dan Kategori
Pengetahuan klsifikasi dan kategori meliputi kategori-kategori, divisi-divisi dan
penyusunan yang digunakan dalam materi yang berbeda. Pengetahuan ini secara umum
merefleksikan bagaimana para ahli berpikir dan menyelesaikan masalah mereka, dimana
pengetahuan khusus menjadi penting dari masalah yang telah diselesaikan. Pengetahuan
adalah sebuah aspek penting dalam mengembangkan sebuah disiplin akademik.
Contohnya :
• Pengetahuan macam-macam tipe literatur.
• Pengetahuan macam-macam bentuk kepemilikan usaha.
• Pengetahuan bagian-bagian kalimat (kata benda, kata kerja, kata sifat)
• Pengetahuan macam-macam masalah psikologi yang berbeda.
• Pengetahuan periode waktu yang berbeda.
Pengetahuan Dasar dan Umum
Pengetahuan dasar dan umum meliputi abstraksi nyata yang menyimpulkan fenomena
penelitian. Abstraksi ini memiliki nilai yang sangat besar dalam menggambarkan,
memprediksikan, menjelaskan atau menentukan tindakan yang paling tepat dan relevan
atau arah yang harus diambil.
Contohnya :
• Pengetahuan generalisasi utama tentang kebudayaan khusus.
• Pengetahuan hukum-hukum fisika dasar.
• Pengetahuan dasar-dasar kimia yang relevan dalam proses kebudayaan dan
kesehatan.
• Pengetahuan prinsip-prinsip utama dalam pembelajaran.
Pengetahuan Teori, Model dan Struktur
Pengetahuan teori, model dan struktur meliputi pengetahuan dasar dan generalisasi
dengan hubungan timbal balik yang jelas, pandangan yang sistematis dalam sebuah
fenomena yang rumit, masalah, atau materi. Pengetahuan ini merupakan formula yang
abstrak.
Contohnya:
• Pengetahuan hubungan timbal balik antara prinsip kimia sebagai dasar untuk teori
kimia.
• Pengetahuan struktur kongres secara keseluruhan (organisasi, fungsi)
• Pengetahuan evolusi.
• Pengetahuan teori tektonik.
• Pengetahuan model genetika (DNA).
Pengetahuan Prosedural
Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu. Seperti
pengetahuan keterampilan, algoritma, teknik-teknik, dan metoda-metoda yang secara
keseluruhan dikenal sebagai prosedur. Ataupun dapat digambarkan sebagai rangkaian
langkah-langkah.
Pengetahuan Keterampilan Umum-Khusus dan Algoritma
Pengetahuan algoritma digunakan dengan latihan matematika. Prosedur perkalian dalam
aritmetika, ketika diterapkan, hasil umumnya adalah jawaban yang sulit karena adanya
kesalahan dalam penghitungan. Walaupun hal ini dikerjakan dalam pengetahuan
prosedural, hasil dari pengetahuan prosedural ini seringkali menjadi pengetahuan faktual
atau konseptual.
Algoritma untuk penjumlahan seluruh bilangan yang sering kita gunakan untuk
menambahkan 2 dan 2 adalah pengetahuan prosedural, jawabannya 4 semudah
pengetahuan faktual. Sekali lagi, penekanan disini adalah berdasarkan pada pemahaman
siswa dalam memahami dan menyelesaikannya sendiri. Contohnya :
• Pengetahuan keterampilan dalam melukis menggunakan cat air.
• Pengetahuan ketrampilan yang digunakan dalam mengartikan kata yang
didasarkan pada analisa struktur
• Pengetahuan keterampilan macam-macam algoritma untuk menyelesaikan
persamaan kuadrat
Pengetahuan Metode dan Teknik Khusus
Pengetahuan metoda dan teknik khusus meliputi pengetahuan yang sangat luas dari hasil
konsensus, persetujuan, atau norma-norma disiplin daripada pengetahuan yang secara
langsung lebih menjadi sebuah hasil observasi, eksperimen, atau penemuan.
Contohnya :
• Pengetahuan metoda penelitian yang relevan untuk ilmu sosial.
• Pengetahuan teknik-teknik yang digunakan oleh ilmuwan dalam mencari
penyelesaian masalah.
• Pengetahuan metoda-metoda untuk mengevaluasi konsep kesehatan.
• Pengetahuan macam-macam metoda literatur.
Pengetahuan Kriteria Untuk Menentukan Penggunaan Prosedur yang Tepat
• Pengetahuan kriteria untuk menentukan beberapa tipe essay untuk ditulis
(ekspositori, persuasif).
• Pengetahuan kriteria untuk menentukan metoda yang digunakan dalam
menyelesaikan persamaan aljabar.
• Pengetahuan kriteria untuk menentukan prosedur statistik untuk menggunakan
data yang terkumpul dalam eksperimen.
• Pengetahuan kriteri untuk menentukan teknik-teknik dalam menerapkan dan
membuat pengaruh dalam melukis menggunakan cat air.
Pengetahuan Metakognitif
Metakognitif ialah kesedaran tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui.
Strategi Metakognitif merujuk kepada cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai
proses berfikir dan pembelajaran yang berlaku. Apabila kesedaran ini wujud, seseorang
dapat mengawal fikirannya dengan merancang, memantau dan menilai apa yang
dipelajari. Jadi Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan mengenai pengertian
umum maupun pengetahuan mengenai salah satu pengertian itu sendiri
Pengetahuan Strategi
Pengetahuan strategi adalah pengetahuan strategi umum untuk mempelajari, memikirkan
dan menyelesaikan masalah. Contohnya:
• Pengetahuan informasi ulangan untuk menyimpan informasi.
• Pengetahuan perluasan strategi seperti menguraikan dengan kata-kata sendiri dan
kesimpulan.
• Pengetahuan macam-macam strategi organisasi dan perencanaan.
Pengetahuan Mengenai Tugas-tugas Kognitif, termasuk Pengetahuan Kontekstual
dan Kondisional
Pengetahuan ini meliputi pengetahuan yang membedakan tugas-tugas kognitif yang
tingkat kesulitannya sedikit ataupun banyak, bisa saja membuat sistem kognitif ataupun
strategi kognitif.
Contohnya :
• Pengetahuan mengingat kembali tugas-tugas (contoh, jawaban singkat) yang
dibuat secara umum dalam sistem memori individu yang dibandingkan dengan
pengenalan tugas-tugas (contoh, pilihan berganda).
• Pengetahuan buku sumber yang sulit untuk dipahami dibandingkan dengan buku
biasa atau buku teks umum.
• Pengetahuan tugas memori sederhana (contoh, mengingat nomor telepon).
Pengetahuan Itu Sendiri
Pengetahuan ini meliputi kekuatan dan kelemahan dalam hubungannya dengan
pengertian dan pembelajaran. Contohnya, siswa yang mengetahui tes itu lebih mudah
yang bentuknya pilihan berganda dibandingkan dengan bentuk essey, karena memiliki
pengetahuan sendiri dalam memilih keterampilan penilaian.
Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan Dan Implikasinya Pada Pembelajaran
Matematika
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil
interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna.
Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu
untuk mendapatkan perubahan tingkah laku. Kedua,
perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar. Dengan demikian, seseorang
dikatakan belajar apabila setelah melakukan kegiatan belajar ia menyadari bahwa dalam
dirinya telah terjadi suatu perubahan. Misalnya, ia menyadari bahwa pengetahuannya
bertambah, keterampilannya meningkat, sikapnya semakin positif, dan sebagainya.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan tingkah laku tanpa usaha dan tanpa
disadari bukanlah belajar.
Bagaimanakah terjadinya proses belajar sehingga seseorang memperoleh pengetahuan?
Terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya
sulit untuk diamati karena ia berlangsung di dalam mental. Namun demikian, kita dapat
mengidentifikasi dari kegiatan yang dilakukannya selama belajar. Sehubungan dengan
hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk mengguna-kan pola tingkah laku manusia
sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar.
Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Psikologi Behavioristik
Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam Orton, 1991:39;
Resnick, 1981:12), menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R)
yang diberikan atas stimulus tersebut. Selanjutnya, Thorndike mengemukakan bahwa
terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1)
Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering
terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah
semakin sering suatu pengetahuan –yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara
stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2)
Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan
respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti
(idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus
adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan
diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada
dengan hukum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam
belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang
terbentuk melalui ikatan stimulus—respon akan semakin kuat bila diberi penguatan.
Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan
negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu
tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku
itu. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena
cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
Menurut Gagne (dalam Hudojo, 1990:32), bahwa setiap jenis belajar tersebut terjadi
dalam empat tahap secara berurutan. Tahap pertama pemahaman, setelah seseorang yang
belajar diberi stimulus, maka ia berusaha untuk memahami karakteristiknya (merespon)
kemudian diberi kode (secara mental). Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menguasai
stimulus yang diberikan yaitu pada tahap kedua (tahap penguasaan). Pengetahuan yang
diperoleh dari tahap dua selanjutnya disimpan atau diingat, yaitu pada tahap ketiga (tahap
pengingatan). Terakhir adalah tahap keempat, yaitu pengungkapan kembali pengetahuan
yang telah disimpan pada tahap ketiga.
Berdasarkan pandangan psikologi behavior di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan seseorang itu diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal
antara stimulus dan respon.
Pemerolehan Pengetahuan Menurut Pandangan Psikologi Gestaltik
Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi
gestalt sebagai sesuatu yang penting. Menurut Kohler (dalam Orton, 1991:89) berpikir
bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu yaitu
sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut
prinsip tertentu. Katona, seorang ahli psikologi gestalt yang lain, juga tidak sependapat
dengan belajar dengan pengkaitan stimulus dan respon. Berdasarkan hasil penelitiannya
ia membuktikan bahwa belajar bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur, melainkan
juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih
sederhana (Resnick & Ford, 1981:143-144).
Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk
menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai
keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai
kumpulan unit data yang terpisah-pisah (Orton, 1990:89). Jadi, menurut pandangan
psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui
sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian
menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah
dipahami.
Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Konstruktivistik
Menurut Piaget pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata
(jamak) yang sering disebut dengan struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata itu
seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata
yang baru, yaitu melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya, Piaget (dalam
Bell, 1981: Stiff dkk., 1993) berpendapat bahwa skemata yang terbentuk melalui proses
asimilasi dan akomodasi itulah yang disebut pengetahuan. Asimilasi merupakan proses
kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan informasi (persepsi, konsep, dsb)
atau pengalaman baru ke dalam struktur kognitif (skemata) yang sudah dimiliki
seseorang. Akomodasi adalah proses restrukturisasi skemata yang sudah ada sebagai
akibat adanya informasi dan pengalaman baru yang tidak dapat secara langsung
diasimilasikan pada skemata tersebut.
Pengikut aliran konstruktivisme personal yang lain adalah Bruner. Meskipun Bruner
mengklaim bahwa ia bukan pengikut Piaget tetapi teori-teori belajarnya sangat relevan
dengan tahap-tahap perkembangan berpikir seperti yang dikemukakan Piaget. Salah satu
teori belajar Bruner yang mendukung paham konstruktivisme adalah teori konstruksi.
Teori ini menyatakan bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep
dan prinsip dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi sendiri konsep dan prinsip
yang dipelajari itu. Hal ini perlu dibiasakan sejak anak-anak masih kecil (Bell, 1981:143).
Implementasi Pandangan Gestaltik terhadap Pemerolehan Pengetahuan dalam
Pembelajaran Matematika
Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai
kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran manusia
menginterpretasikan semua sensasi/informasi. Sensasi/informasi yang masuk dalam
pikiran seseorang selalu dipandang memiliki prinsip pengorganisasian/struktur tertentu.
Artinya, pengenalan terhadap suatu sensasi tidak secara langsung menghasilkan suatu
pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan pemahaman terhadap struktur sensasi
tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau masalah itu akan memunculkan
pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks yang baru dan lebih
sederhana sehingga lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian, akan terbentuk
suatu pengetahuan baru.
Implementasi Pandangan Konstruktivistik terhadap Pemerolehan Pengetahuan
dalam Pendekatan Matematika
Berdasarkan pandangan konsruktivistik tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau
dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pebelajar untuk membangun
pengetahuannya. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi
juga keaktifan secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa
secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang
dipelajari dengan pengetahuan (skemata) yang telah dimiliki pebelajar dan ini
berlangsung secara mental. Dengan demikian, hakikat dari pembelajaran matematika
adalah membangun pengetahuan matematika.
Sebagai implikasi dari hakikat belajar matematika itu maka proses pembelajaran
matematika merupakan pembentukan lingkungan belajar yang dapat membantu siswa
untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika berdasarkan
kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi (Nickson dalam Grows, 1992:106).
Menurut Hudojo (1998:7-8) ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan konstrukstivisme
adalah sebagai berikut.
(1) Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan
pengetahuan.
(2) Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas
yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
(3) Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan
melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep matematika
melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
(4) Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial
yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan
lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
(5) Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga
pembelajaran menjadi lebih efektif.
(6) Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga matematika menjadi menarik
dan siswa mau belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson dkk, 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. A Revision of
Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Longman.
Bakhtiar, Amsal, 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta, Raja Grafindo Persada
Hadis Abdul, 2006. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Afabeta
Muhkal, Mappaita, 2006. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Universitas Negeri
Makassar.
Suherman dkk, 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung, JICA.
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
Grasindo.
Wowo SK, Taksonomi Bloom hasil Revisi 1999. Diakses pada hari Rabu, tanggal 8
oktober 2008 pukul 14.15 Wita.
***
(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika,
2008)

Sesuatu dapat dikatakan ilmiah jika hal tersebut merupakan suatu hasil observasi yang
obyektif dan dapat diverifikasi secara empiris.

Ilmiah diartikan sebagai sesuatu yang memiliki unsur kebenaran, atau secara empiris
dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga dalam prakteknya sebuah karya dapat
dikatakan ilmiah seandainya karya tersebut merujuk kepada sumber-sumber atau kejadian
yang valid.

Di dalam prosesnya kadangkala sesuatu yg bersifat ilmiah dapat menjadi sebuah ilmu.

Contohnya, fakta ilmiah bahwa bumi ini bulat. Ketika seseorang mengelilingi bumi
dengan berjalan ke arah timur atau ke arah barat, pada akhirnya ia akan kembali ke titik
awal. Fakta ini bukan berdasarkan sudut pandang pribadi, atau pendirian dari kelompok
tertentu saja. Karena riset telah membuktikan dan memang telah terbukti 100%
(diverifikasi) bahwa bumi ini bulat. Fakta inipun menjadi sebuah teori yg ilmiah di dalam
ilmu pengetahuan.

pengetahuan ilmiah dan kajian filsafat


<
DI SUSUN OLEH :
AGUNG SANTOSO
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu pengetahuan atau Pengetahuan ilmiah dalam tata bahasa dapat diartikan sebagai dua
kata yang berangkai, dan memiliki makna ilmu, yakni suatu bidang pengetahuan yang
tersusun secara bersistem, menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu pengetahuan bersangkutan . Sedangkan pengetahuan dapat
juga diartikan sebagai segala sesuatu yang diketahui atau dapat diartikan kepandaian
yang dimiliki. Pemahaman sebagai dua kata yang tidak terpisahkan , Ilmu pengetahuan
dapat diartikan sebagai gabungan berbagai pengetahuan yang tersusun secara logis dan
bersistem, dengan mempertimbangkan sebab akibatnya, pemahaman ini sering diikuti
oleh istilah lain yakni ilmiah, istilah ini untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan
mengandung makna ilmiah yang artinya prosedur yang harus diikuti, yakni logis,
bersistem dan mempertimbangkan sebab akibat, dengan suatu metode yang melibatkan
cara berfikir empiris dan rasional.
Pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah suatu sistem yang dikembangkan manusia untuk
mengetahui keadaanya dan lingkungannnya, atau menyesuaikan lingkungannnya dengan
dirinya dalam rangka strategi hidupnya.
Di masa pra ilmiah pengetahuan diperoleh secara empiris turun temurun, kemudian
diteruskan dengan eksperimen dan logika . ilmu – ilmu yang dasar dan tidak dipengaruhi
oleh waktu dan ruang lebih bersifat universal daripada yang tergantung pada lingkungan
dan zaman.
Di dalam masyarakat ilmiah segala persoalan pertama – tama diusahakan dipecah secara
ilmiah, termasuk persoalan masa lampau dan masa depan. Berbeda dengan cara – cara
lain, misanya cara mitologis, tradisional, folk science, supra natural, mistik ataupun cara
– cara alogis yang lain, ilmu pengetahuan memajukan pertanyaan – pertanyaan kecil dan
dengan memperoleh jawaban, maju selangkah demi selangkah. Dengan demikian ilmu
pengetahuan harus dinamis, kebenaran ilmiah berevolusi sesuai dengan kemajuan teori
ilmu pengetahuan . memang dengan teori pengetahuan ilmiah belum semua persoalan
hidup dan dunia ini dapat dipecahkan, karena kemampuan otak dan akal manusia yang
terbatas, sehingga dunia obyektif yang diamati tidak pernah lengkap , model – model
yang dibuat adalah realitas yang disederhanakan.
Dari uraian tersebut diatas dapat menimbulkan permasalahan – permasalahan yaitu :
1. Bagaimana Pengertian / batasan teori pengetahuan ilmiah .
2. Apa perbedaan pengetahuan ilmiah dan pengetahuan tidak / non ilmiah
3. Bagaimana cara Pemahaman tentang teori – teori pengetahuan ilmiah
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian / batasan pengetahuan ilmiah.
2. Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan ilmiah dan pengetahuan tidak ilmiah.
3. Agar dapat memahami tentang teori – teori pengetahuan ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN / BATASAN PENGETAHUAN ILMIAH
Ilmu atau science diartikan sebagai studi yang dapat di uji, dites, dan diverifikasikan.
Kata science diambil dari bahasa yunani scire yang berarti memahami – to know. Sejak
awal dimulainya wawasan ilmu ini telah sangat luas dikembangkan dan sangat
mempengaruhi kehidupan manusia . Dewasa ini semua cabang ilmu dapat diamati di
investigasi, dan mungkin mengembangkan cabang ilmu lain yang dapat diamati atau
dideteksi, sehingga perkembangan ilmu merupakan bentuk kegiatan untuk pemahaman
dunia, planet dan bahkan alam semesta.
Pengetahuan ilmiah dikembangkan berdasarkan analisis obyektif, lebih jauh hanya
sekedar melalui keyakinan seseorang. Pengetahuan berkembang menjadi ilmu melalui
akumulasi waktu , yang memiliki waktu berkembang sejajar dengan perkembangan
kemajuan manusia. Beberapa kelompok pengetahuan dapat ditelusuri sampai dengan
awal peradaban manusia . akan tetapi terdapat juga ilmu – ilmu yang baru berusia kurang
dari 50 tahun. Tapi kapan ilmu itu tumbuh apakah sudah lama atau baru , tetap ia melalui
pendekatan suatu system , yang kini dikenal sebagai metode keilmuan. Untuk mencoba
mengetahui keberadaanya lebih mendalam disinilah etika ilmu merupakan salah satu
karakteristiknya. Sebab seringkali ilmu yang diteliti , diamati bukan ilmu baru akan tetapi
para peneliti melakukanya untuk mengetahui lebih dalam , bahkan mungkin mencari
sesuatu yang kan muncul teori atau pandangan yang baru. Perhatikan dalam bidang –
bidang ilmu yang dikenal sekarang, sejarah, ilmu fisika, kedokteran, keperawatan,
matematika, tehnologi dan sebagainya. Kadang terjadi pula penelitian dilakukan terhadap
penemuan yang dianggap baru, akan tetapi ternyata ilmu tersebut telah pernah ada pada
masa sebelumnya, atau ilmu terjadi kesalahan dalam beberapa tingkatanya. banyak para
ahli melakukan hal ini. Bukan hal yang mengherankan jika pada suatu kurun masa
penemuan seseorang ahli menjadi paradigma berbagai perkembangan ilmu, akan tetapi
dalam perkembangan tersebut mengalami perubahan, sebab ditemukan fenomena lain
yang dapat merubah teori sebelumnya. Tapi apakah ilmu itu salah sama sekali ? Tidak, ia
diakui pada masanya, akan tetapi dengan cara , teknik – teknik baru ditemukan data baru,
akan tetapi ilmu terdahulu tidak pernah, atau jarang disingkirkan begitu saja , sebab
diantara yang berubah masih terdapat hal – hal yang dipertahankan , tetap diakui
kebesaranya , dan tetap diakui sebagai pandangan pengetahuan yang besar.
Ilmu tidak pernah terputus dari pertumbuhan awalnya, seperti hanya tehnologi, filsafat,
peradaban, kesemuanya mempunyai benang merah yang tidak pernah putus, ia
merupakan time – line yang selalu dapat diketahui awalnya, akan tetapi belum dapat
diketahui kapan ia berakhir. Keruntuhan suatu periode pemerintahan, Negara , tidak
pernah menguburnya bersama bangsa dan peradaban yang pernah ada. Keruntuhan
kerajaan firaun tidak sekaligus meruntuhkan keberadaan bangsa mesir dan peradabanya.
Sejarah telah membuktikanya , peradaban mesir tetap merupakan suatu contoh
kehandalan , kemegahan sejarah peradaban, yang sampai kini masih diteliti untuk
melengkapinya, sedangkan bangsa mesir tetap exis dan tumbuh sebagai bangsa besar ,
dengan segala atribut modernisasinya.
PERBEDAAN PENGETAHUAN ILMIAH DAN PENGETAHUAN TIDAK ILMIAH
Untuk membedakan pengetahuan ilmiah dan pengetahuan yang tidak ilmiah secara
sederhana pada saat ini dapat dilihat / ditelaah melalui cara penulisannya .
Pada penulisan ilmu pengetahuan yang tidak ilmiah dapat dijumpai pada majalah umum (
bukan jurnal ), surat kabar, brosur dan sebagainya, misal
1. Pengetahuan yang ditulis untuk menyajikan informasi dan bersifat iklan (emotif
advertising) .
2. Pengetahuan yang hanya memberikan suatu fakta yang tidak terjabarkan ; pernyataan
ditulis berdasarkan apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan (personal subyektif
writing)
3. Pengetahuan yang ditulis dalam bentuk kritik eronik, ataupun satir (slanted criticism)
4. Pengetahuan yang ditulis berdasarkan informasi yang cukup lengkap, fakta yang ada
dan persuatif (informative advertising)
Sedangkan ilmu pengetahuan ilmiah dapat berbentuk :
1. Nontechnical concrete explanation.
2. Semitechnical generalized explanation.
3. Generalized technical writing.
4. Generalized abstract explanation.
PEMAHAMAN TEORI PENGETAHUAN ILMIAH
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu factor
tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Tujuan akhir dari setiap disiplin keilmuan adalah
mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum – hukum, teori adalah pengetahuan ilmiah yang
memberikan penjelasan tentang “ mengapa” suatu gejala – gejala terjadi, sedangkan
hukum memberikan kepada kita untuk meramalkan “apa” yang mungkin terjadi.
Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan “alat” yang dapat kita
pergunakan untuk mengontrol gejala alam.
Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini harus mempunyai tingkat
keumuman yang tinggi, atau secara idealnya harus bersifat universal. Dalam usaha
mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini maka dalam sejarah
perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh dimana teori – teori yang mempunyai
tingkat keumuman yang lebih rendah disatukan dengan teori umum yang mampu
mengikat keseluruhan teori – teori tersebut.
Sejarah perkembangan fisika misalnya mengenal teori tentang “jatuh bebas” yang di
demonstrasikan Galileo dengan menjatuhkan dua benda yang berbeda beratnya dari
menara pisa . Sampai waktu itu orang masih percaya kepada teori Aristoteles yang
menyatakan bahwa benda yang lebih berat akan jatuh ketanah dengan lebih cepat. Galileo
dengan demonstrasinya yang bersifat testrik sekali pukul menjatuhkan teori Aristoteles
yang tidak benar itu. Benda – benda tanpa melihat beratnya akan jatuh ketahan dalam
waktu yang sama.
Copernikus (1473 – 1543) mengembangkan teori baru bahwa bukan matahari yang
berputar mengelilingi bumi melainkan bumi yang mengelilingi matahari. Teori ini
merupakan perombakan terhadap teori lama yang dikemukakan oleh Ptolomeus ( 150 SM
) dari Alexandria yang mengemukakan bahwa bumi adalah pusat dari jagat raya dengan
planet – planetnya yang berputar mengelilinginya dalam orbit – orbit yang berbentuk
lingkaran. Teori kopernikus ini kemudian disempurnakan oleh Johanes Kopler yang
mendasarkan diri dari data yang dikumpulkan . Tycho Branhe menyatakan pada tahun
1609 bahwa rbit planet – planet dalam mengelilingi matahari tidaklah berbentuk
lingkaran seperti apa yang dipercayai oleh Ptolomeus maupun Kopernikus merupakan
berbentuk ellips.
Newton pada tahun 1686 menerbitkan phiksophiae Naturalis Principia Mathematica yang
merupakan teori yang mempersatukan teori Gallileo, Copernicus dan Kapler. Teori
Newton menyatakan bahwa semua gerak baik yang terjadi dilangit maupun dibumi,
tunduk kepada hokum – hokum yang sama. Dengan teori ini maka Newton
mengembangkan hokum – hukumnya sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Bahwa
Newton berhasil menemukan teorinya yang bersifat universal didasarkan pada teori –
teori sebelumnya yang bersifat sektoral.
Banyak orang bisa melihat langsung mengapa buah – buahan bisa jatuh ( Kebawah ) dari
pohonnya, banyak yang menanyakan mengapa buah bisa jatuh, banyak juga yang
memberikan penjelasan mengapa buah itu bisa jatuh, namun baru Newton yang bisa
memformulasikan sebuah teori tentang gravitasi yang menjelaskan peristiwa tersebut
dengan penjelasan yang bukan saja berlaku bagi buah – buahan tetapi juga untuk seluruh
benda baik yang ada di bumi maupun yang ada dilangit.
Berdasar teori ini maka dapat disusun penjelasan yang konsisten mengenai berbagai hal
yang bersifat universal yang secara keseluruhan membentuk suatu sistim teori keilmuan.
Ilmu teoritis terdiri dari sebuah system penyataan , system yang terdiri dari pernyataan –
pernyataan agar terpadu secara utuh dan konsisten jelas memerlukan konsep yang
mempersatukan dan konsep yang mempersatukan tersebut disebut teori.
Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep maka makin teoritis konsep tersebut,
pengertian teoritis disini dikaitkan dengan gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang
dimaksud , artinya makin teoritis sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang
dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata. Diibaratkan sebuah
pohon dengan akarnya , maka makin tinggi pohon tersebut , maka makin dalam pula kita
hurus menjangkau akarnya. Konsep teori seperti gravitasi merupakan penjelasan yang
bersifat mendasar yang mampu mengikat berbagai gejala fisik secara universal.
Konsep – konsep yang bersifat teoritis karena sifatnya yang mendasar sering tidak
langsung kelihatan kegunaan praktisnya. Secara logis maka hal ini tidak sukar untuk
dimengerti, sebab makin teoritis sebuah konsep maka makin jauh pula kaitanya langsung
konsep tersebut dengan gejala fisik yang nyata. Padahal dalam kehidupan sehari – hari
adalah berhubungan dengan gejala yang bersifat konkret tersebut. Kegunaan praktis dari
konsep yang bersifat teoritis baru dapat dikembangkan sekiranya konsep yang yang
bersifat mendasar tersebut diterapkan pada masalah - masalah yang bersifat praktis. Dan
dari pengertian inilah kita mengenal konsep dasar dan konsep terapan yang juga
diwujudkan dalam bentuk ilmu dasar dan ilmu terapan.
Ilmu dasar (Pure Science) merupakan kerja para ilmuan , terutama dalam institusi
akademik melakukan penelitian yang semata – mata untuk menemukan
perkembangannya, dan kepuasan pengetahuan. Sedangkan ilmu terapan atau ilmu
aplikasi (applied science) adalah perilaku para ilmuan terutama pada korporasi industrial
melakukan penelitian untuk meningkatkan atau untuk menghasilkan sesuatu yang baru
dalam upaya meningkatkan produktifitasnya. Keduanya mempunyai implikasi yang sama
yaitu mengembangkan semua bidang ilmu. Keduanya sangat mempengaruhi etika
keilmuan, yang seringkali terjadi ilmu yang satu tidak dapat berdiri sendiri , tatanan ilmu
ya ng ada selalu saling mempengaruhi , dan bahkan tidak jarang menemukan suatu
pendekatan system yang dapat diterapkan dalam sebagian ilmu. Psikologi sangat
mempengaruhi ilmu pendidikan dan ilmu mengajar , ilmu perilaku, Ilmu social sangat
mempengaruhi ilmu hokum, ilmu politik, ilmu ekonomi, Matematika sangat
mempengaruhi ilmu statistika, penelitian, fisika, komunikasi dan transpormasi. Ilmu
sejarah sangat mempengaruhi lmu budaya, peradaban, antropologi , selalu digunakan
untuk menelusuri setiap pertumbuhan awal ilmu – ilmu yang ada tumbuh dan
berkembang.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Setelah pembahasan dari masalah – masalah tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Ilmu / pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan manusia yang bercirikan obyektif,
sistimatis, mempunyai metodologi kerja yang khas, logis, dan terbuka dari kritik.
2. Pengetahuan yang tidak ilmiah bercirikan subyektif, bersumber dari keyakinan,
diperoleh secara turun – temurun, kontradiktif dan sifatnya tertutup.
3. Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu
factor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan yang biasanya terdiri dari hukum – hukum.
4. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dean hukum ini harus mempunyai tingkat
keuniversalan atau keumuman yang tinggi .
5. Makin tinggi keumuman suatu konsep maka makin teoritis konsep tersebut.
6. Aplied Science sangat diperlukan untuk meningkatkan atau menghasilkan
sesuatu yang baru dalam upaya meningkatkan produktifitas , memecahkan persoalan
kehidupan manusia.
B. SARAN
1. Hendaknya para akademisi terus – menerus untuk mengggali ilmu – ilmu yang baru
atau mengembangkan konsep yang telah ada agar mencapai tingkat keuniversalan yang
optimal .
2. Kepada para praktisi untuk terus mengembangkan applied science untuk menjawab
permasalahan kehidupan manusia.
3. Hendaknya semua teori / pengetahuan ilmiah ataupun hukum – hukum yang
ditimbulkanya sesuai dengan value, etika serta moral dan bermanfaat untuk
perikehidupan umat manusia.
KEPUSTAKAAN
Hartono Kasmadi, Prof. ( ), Pandangan tentang Ilmu pengetahuan , Filsafat ilmu
dari awal sampai dengan ibnu khaldun, Materi kuliah, tidak diterbitkan.
Hartono Kasmadi, Prof. ( ), Wawasan Keilmuan, Etika ilmu, Materi matrikulasi
program magister ilmu hukum UNTAG, tidak diterbitkan.
Jujun S, Suria Sumantri, ( 2000 ), Filsafat ilmu, sebuah pengantar popular, Pustaka sinar
harapan , Jakarta.

Matematika Sebagai Bahasa Universal [2]


Sains & Pengetahuan Umum
Sebagai bahasa, matematika melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang
ingin kita sampaikan. Di manakah letak semua konsep-konsep matematika, misalnya
letak bilangan 1? Banyak para pakar matematika, misalnya para pakar Teori Model yang
juga mendalami filosofi di balik konsep-konsep matematika bersepakat bahwa semua
konsep-konsep matematika secara universal terdapat di dalam pikiran setiap manusia.
Jadi yang dipelajari dalam matematika adalah berbagai simbol dan ekspresi untuk
mengkomunikasikannya. Misalnya orang Jawa secara lisan memberi simbol bilangan 3
dengan mengatakan “Telu”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, bilangan tersebut
disimbolkan melalui ucapan “Tiga”. Inilah sebabnya, banyak pakar mengkelompokkan
matematika dalam kelompok bahasa, atau lebih umum lagi dalam kelompok (alat)
komunikasi, bukan sains. Karena sifat-sifatnya itu dapat dikatakan bahwa matematika
merupakan bahasa yang universal.
Dalam pandangan formalis, matematika adalah penelaahan struktur abstrak yang
didefinisikan secara aksioma dengan menggunakan logika simbolik dan notasi
matematika; ada pula pandangan lain, misalnya yang dibahas dalam filosofi matematika.
Struktur spesifik yang diselidiki oleh matematikawan sering kali berasal dari ilmu
pengetahuan alam, dan sangat umum di fisika, tetapi matematikawan juga mendefinisikan
dan menyelidiki struktur internal dalam matematika itu sendiri, misalnya, untuk
menggeneralisasikan teori bagi beberapa sub-bidang, atau alat membantu untuk
perhitungan biasa. Akhirnya, banyak matematikawan belajar bidang yang dilakukan
mereka untuk sebab estetis saja, melihat ilmu pasti sebagai bentuk seni daripada sebagai
ilmu praktis atau terapan.
Matematika tingkat lanjut digunakan sebagai alat untuk mempelajari berbagai fenomena
fisik yg kompleks, khususnya berbagai fenomena alam yang teramati, agar pola struktur,
perubahan, ruang dan sifat-sifat fenomena bisa didekati atau dinyatakan dalam sebuah
bentuk perumusan yg sistematis dan penuh dengan berbagai konvensi, simbol dan notasi.
Hasil perumusan yang menggambarkan prilaku atau proses fenomena fisik tersebut biasa
disebut model matematika dari fenomena.
Kembali ke uraian sebelumnya bahwa matematika sebagai sarana berpikir ilmiah yang
menggunakan pola penalaran deduktif. Sarana berpikir ilmiah ini dalam proses
pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya kita mempelajari sarana
berpikir ilmiah ini seperti mempelajari berbagai cabang ilmu. Dalam hal nini kita harus
memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian
bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan
metode ilmiah. Seperti diketahui bahwa salah satu karakterisitk dari ilmu umpamanya
adalah penggunaan berpikir deduktif dan induktif dalam mendapatkan pengetahuan.
Sarana berpikir ilmiah tidak mempergunakan cara ini dalam mendapatkan
pengetahuannya. Secara lebih tuntas dapat dikatakan bahwa sarana berpikir ilmiah
mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuannya yang berbeda dengan
metode ilmiah.
Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan
penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mepelajari ilmu dimaksudkan untuk
mendapatkan pengetahuan yang yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan
masalah sehari-hari. Dalam hal ini sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-
cabang pengetahuan dalam mengembangkan materi pengetahuannya berdsaarkan metode
ilmiah. Atau sederhananya, sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah
dalam melakukan fungsinya secara baik. Jelaslah mengapa sarana berpikir ilmiah
mempunyai metode yang tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam
mendapatkan pengetahuannya, sebab fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses
metode ilmiah, dan bukan merupakan ilmu itu tersendiri.
Referensi
Anonim, Matematika (http://id.wikipedia.org/wiki/Matematika)
Sruiasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta: 2001.
Turchin, Valentin F,. The Phenomenon of Science a Cybernetic Approach to Human
Evolution. Columbia University Press. USA: 1997.

makalah filsafat ilmu (etika dalam ilmu)


BAB I
PENDAHULUAN
Etika sangat penting bagi pengembangan ilmu, apapun disiplinnya. Tanpa
mempertimbangkan tujuan untuk kehidupan kemanusiaan dan keberlangsungan
lingkungan hidup baik hayati maupun non hayati adalah pembunuhan diri eksistensi
manusia. Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal
dengan aksiologi. Aksiologi itu sendiri ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat
nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat
banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang
khusus seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistimologi.
Diberbagai media massa banyak membicarakan tentang teroris yang melakukan
serangkaian pemboman di berbagai tempat di Indonesia. Di balik bom teroris tersebut
ternyata menyisakan suatu masalah bahwa pemahaman keagamaan yang tidak
didialogkan dengan permasalahan-permasalahan yang sudah ada sebelumya dan tidak
dikomunikasikan dengan ilmuwan agama lainnya ternyata bisa menimbulkan korban
manusia-manusia tak bersalah. Contoh diatas merupakan salah satu problem etika dalam
ilmu. Dalam makalah ini saya akan sedikit menjelaskan tentang
Ø Apakah problem etika dalam ilmu?
Ø Apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Etika ilmu: Problem Nilai dalam Ilmu


Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal dengan
aksiologi. Etika mencakup persoalan-persoalan tentang hakikat kewajiban moral, prinsip-
prinsip moral dasar, apa yang harus manusia ikuti dan apa yang baik bagi manusia. Etika
adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar
(right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori
tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di
bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu,
dengan argument bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan
bencana atau atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah
seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksanaanya tidak
ditunjuk.
Penerapan dari ilmu membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-
kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan ilmu. Tanggung jawab etis,
merupakan hal yang paling menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu. Dalam hal
ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu harus memperhatikan kodrat dan
martabat manusia, manjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada
kepentingan umum, dan generasi yang akan datang, serta bersifat universal, karena
hakikat ilmu adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan
untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu secara
tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang seharusnya di
kerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia,
baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dengan lingkungannya maupun sebagai
makhluk yang bertanggung jawab terhadap khaliknya.
Jadi tugas terpenting ilmu adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat sungguh-
sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu bukan saja sarana untuk
mengembangkan diri manusia, tetapi juga mrupakan hasil perkembangan dan kreatifitas
manusia itu sendiri.
Dalam diskusi tentang ilmu dan etika muncul perdebatan yang panjang antara pandangan
yang memegangi bahwa ilmu adalah bebas nilali dan pandangan yang mengatakan bahwa
ilmu itu tidak bebas nilai. Berikut ini di jelaskan maksud kedua pandangan tersebut.
2. Ilmu: Bebas nilai atau Tidak Bebas Nilai
a. Bebas Nilai
Aliran ini memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi
dan aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan pengetahuan
selanjutnya terserah kepada orang lain untuk mempergunakan untuk tujuan baik atau
buruk. Kelompok pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralannya secara total seperti
pada waktu Galileo. Menurut aliran ilmu bebas nilai atau value free pembatasan-
pembatasan etis hanya kan membatasi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai
sebagaimana Situmorang menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap
kegiatan ilmiah agar di dasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Menurutnya
ada tiga factor sebagai indikator bahwa pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut:
Ø Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti
factor politis, idiologis, agama, budaya, dan unsure kemasyarakatan lainnya
Ø Perlunya kebebasan ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu
menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri
Ø Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering di tuding
menghambat kemajuan ilmu, karean nilai etis itu sendiri bersifat universal
Dalam pandangan ilmu bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi di benarkan
untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga ekspresi seni yang menonjolkan
pornoaksi dan pornografi adalah sesuatu yang wajar karena ekspresi tersebut semata-mata
untuk seni.
b. Tidak Bebas Nilai
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai memandang bahwa
ilmu itu selalu terkait denagn nilai dan harus di kembangkan dengan pertimbangan aspek
nilai. Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingan-
kepentingan, baik politis, ekonomis, sosial, religious, dsb.
Jurgen habermas berpendapat bahwa ilmu bahkan ilmu alam sekalipun tidaklah mungkin
bebas nilai karena pengembangan setiap ilmu selalu ada kepentingan-kepentingan. Dia
membedakan tiga ilmu dengan kepentingan masing-masing
Ø Ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris dan analitis, ilmu ini menyelidiki gejala-
gejala alam yang bekerja secar aempiris dan menyajikan hasil penyelidikan itu untuk
kepentingan-kepentingan manusia.
Ø Pengetahuan yang mempunyai pola yang sangant berlainan sebab tidak menyelidiki
sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai
sesamanya, memperlancar hubungan sosial.
Ø Teori kritis yang membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada
otonomi dirinya sendiri.
Jelas sekali dalam pandangan habermas bahwa ilmu itu sendiri di kontruksi untuk
kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia denagn alam,
manusia denagn manusia, dan nilai penghormatan terhadap manusia.
Problem ilmu bebas nilai atau tidak bebas nilai sebenarnya menunjukkan suatu hubungan
antara ilmu dan etika. Dapat pendapat yang mengatakan bahwa ada tiga pandangan
tentang hubungan ilmu dan etika.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa ilmu merupakan suatu system yang saling
berhubungan dan konsisten dari ungkapan-ungkapan yang sifat bermakna atau tidak
maknanya dapat ditentukan. Ilmu dipandang semata-mata sebagai aktivitas ilmiah, logis,
dan berbicara tentang fakta semata.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa etika dapat berperan dalam tingkah laku ilmuwan,
seperti pada bidang penyelidikan, putusan-putusan mengenai baik tidaknya penyingkapan
hasil-hasil dan petunjuk mengenai penerapan ilmu, tetapi tidak dapat berpengaruh pada
ilmu itu sendiri. Dengan kata lian memang ada tanggung jawab dalam diri ilmuwan,
namun dalam struktur logis ilmu itu sendiri tidak ada petunjuk etis yang dipertanggung
jawabkan.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan begitu saja
dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama iolmu adalah untuk kemaslahatan
umat manusia.
Berlainan dengan etika ilmu lebih menekankan pentingnya obyektivitas kebenaran, bukan
nilai. Yang terpenting dalam ilmu bukanlah nilai melainkan kebenaran. Namuan
demikian dalam aspek penggunaan atau penerapan ilmu untuk kepentingan kehidupan
manusia dan ekologi, etika memiliki peran yang sangant menentukan tidak hanya bagi
pengembangan ilmu selanjutnya tetapi juga bagi keberlangsungan eksistensi manusia.
Etika dengan demikian lebih merupakan suatu dimensi pertanggung jawabab moral dari
ilmu. Apabila diperhatikan dengan seksama. Sebenarnya berpihaknya ilmu pada etika
bukan berarti menghambat laju pengembangan ilmu. Karena pertanggungjawaban etis
dari ilmu lebih bermakna pada keberlangsungan eksistensi manusia. Jika hal ini terjadi
ancaman eksistensi manusia dan kerusakan ekologi bisa mudah terjadi dan oleh
karenanya pengembangan ilmu juga akan terganggu.
3. Problematika Etika dan Tanggungjawab Ilmu Pengetahuan

Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang
letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat
bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya bahwa
kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan
mutlak. Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana kebebasan ini.
Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk
memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya
terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar.
Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom,
tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan.
Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada
kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal .
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan
“menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik
bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh
eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah
perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih
lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia
sekarang hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu
pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi
kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga
seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya

BAB III
PENUTUP
Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila, mempelajari
kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Penilaian
moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, timbul pula perbedaan penafsiran.
Dari makalah yang telah saya jelaskan tadi kita dapat mengetahui bahwa etika itu sangat
penting bagi pengembangan ilmu.
Karena ilmu itu diciptakan kemaslahatan umat manusia, ketika pengembangan ilmu tidak
dibarengi dengan etika maka bayangkanlah risiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi
perkakas yang berbahaya, yang bergiat demi penghambaannya kepada jenderal-jenderal
yang gila perang dan gembong-gembong kekaisaran industri yang rakus. Etika
merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan baik buruk.
Dengan belajar etika diharapkan kita dapat mengetahui dan memahami tingkah laku apa
yang baik menurut suatu teori-teori tertentu, dan sikap yang baik sesuatu dengan kaidah
etika.

DAFTAR PUSTAKA

Ø Surajiyo.2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara


Ø Bahri Ghazali, Usman, dan Alim. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN SUKA
Ø
Ø Muntasyir, Rizal, dan Misnal Munir. 2000.Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Jul 10, '08 8:43 PM


Kaitan antara Etika dan Ilmu Pengetahuan
for everyone
Category:Other
Kaitan Antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

Pendahuluan

Sejauh ini hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh
pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu
digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah
kehidupan. Akan tetapi, sebelum sampai pada pembicaraan ilmu pengetahuan,
seharusnya yang harus dibicarakan terlebih dahulu ialah mengenai bagaimana proses
berpikir manusia (thinking process) sehingga dapat menghasilkan pengetahuan pada
manusia. Pengetahuan pada manusia secara garis besar terbagi kedalam dua bagian.
Pertama, konsepsi (tassawur) yaitu pengetahuan sederhana dan kedua, pembenaran
(thasdiq) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian . Artinya, proses berpikir
yang manusia lakukan melalui dua tahapan yang saling melengkapi yaitu; pengetahuan
yang pertama kali muncul berupa konsepsi (tassawur) atau pengetahuan sederhana dan
seterusnya manusia melalui pikirannya melakukan pembenaran (thasdhiq) atau dari
pengetahuan sederhana (tassawur) sampai kepada ilmu pengetahuan, pengetahuan
sederhana itu diberi pembenaran sesuai dengan keyakinan manusia yang diyakininya.
Selanjutnya, untuk memahami pengetahuan sebagai sesuatu yang natural (alamiah) dari
sudut pandang manusia diperlukan uraian psikologi, yaitu penjelasan atau uraian tentang
proses mental yang bersifat subjektif yang dikaitkan dengan hal-hal empirik yang bersifat
objektif, dari hal itu diharapkan dapat berpengaruh pada penguasaan manusia terhadap
data konkrit sehingga dapat mendukung pada pembenaran pengetahuan .
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu
pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses
sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses
pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang
dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan. Dalam pembangungan ilmu
pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar ilmu pengetahuan dapat
menjadi sebuah paham yang mengandung makna universalitas. Beberapa tiang
penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian yang
terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi . Perlunya penilaian dalam pembangunan
ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu
pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini,
didunia akademik panutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses
berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-
cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar
dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu pengetahuan harus mengikuti
cara filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut
filsafat ilmu.

Teori Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge atau ilmu) adalah bagian yang esensial- aksiden manusia,
karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah
sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu
hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan "barangkali" keunggulannya dari spesies-
spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena
pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ?
Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar
memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang
mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan
ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita.
Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak
menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah
menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit
(complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu,
maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya
menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada
gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang
memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas-
perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi
satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak,
tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan
epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga
abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang
ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan
filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari
dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad
Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al
Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-
buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar
terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca:
Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan
hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual.
Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan
Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan
dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja
yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama,
mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka
dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang
kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua,
yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum
rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris
adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya,
Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam
agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat
beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena
interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu
saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti :
Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang
lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan
ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata
"philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali
menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. Dia menggunakan kata ini karena dua
alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas
pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia
memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka
orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka
anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan.
Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya
mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum
tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini,
Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu
ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan
mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia
memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai. Kemudian
perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles.
Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan
logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia.
Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis.
Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu
pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang
ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2)
urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik.

Peran Filsafat Ilmu Dalam Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar,
melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan
cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang
kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya
(kesahihan). Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada
sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek
metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan
pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada
sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh
pemikiran manusia. Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran
yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu
yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran
rasionalitas) dan John Locke (aliran empirikal) yang telah meletakkan dasar rasionalitas
dan empirisme pada proses berpikir.
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris
sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan. Akumulasi penelaahan empiris
dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat
menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi,
salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran
cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang
dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan
pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya
merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini
menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara
keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau
sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya
intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada
kecenderungan berpikir secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir
rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah
hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah.
Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan
pemerhatian atau eksperimen, bukan teori , atau sesuatu yang berdasarkan pengalaman
(terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan) .
Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang
benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan
dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati, melainkan
penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta
disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan
semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan
berubahnya pengamatan. Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan
taakulan, menurut pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras atau sesuatu yang
dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok
dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut). Dengan demikian rasionalitas
mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua,
sifat alami (fitrah) . Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk
pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak
hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya
merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional mengandung
makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-
pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan
berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu
mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak
dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat
dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional,
empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan
demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu
pengetahuan.
Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya
dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus
diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Paradigma
ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh
pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam ilmu
pengetahuan, kerangka berpikir . Dari terminologi di atas dogma dan paradigma
sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari
paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom
yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau
benar dengan sendirinya. Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam
membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya
rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang dibangun
dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka
kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan.
Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus
berpegang pada paradigma yang membentuknya.
Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar
ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup
dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh
karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya
sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya
memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan
kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini
sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan
multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek
kehidupan. Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat
dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan
paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup
serius.

Tingkatan Aksiologi Pengetahuan

Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap manipulasi.
Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan
pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga untuk
memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan
mengarahkan proses-proses alam yang terjadi. Konsep ilmiah tentang gejala alam
sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa teknologi, misalnya.
Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk
memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam perjalan dan pencapaian-pencapaiannya,
justru menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan misalnya
dehumanisasi, degradasi eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan lingkungan hidup.
Sejarah kehidupan manusia memang telah mencatatkan bahwa Perang Dunia I dan II
merupakan ajang pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penggunaannya secara destruktif ini menimbulkan kontroversi. Pada satu sisi hal itu
menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan alam, sementara pada sisi lainnya
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian banyak dimanfaatkan
dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian dari rangkain perjalan ilmu untuk
mengunkap hakikat gejala alam dan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sering melupakan faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti
menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi baru. Akhirnya, eksistensi manusia
terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
(science and technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat disebutkan
tentang kehancuran ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah kaca,
kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-limba
toksik, penipisan laporan ozon pada atmosfir bumi, kerusakan ekosistem lingkungan
hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang. Perang Dunia I
dan II yang meluluhlantakkan Eropa dan sejumlah kawasan di Asia dan Pasifik
menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban manusia berguguran akibat bom atom
yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan Asia Tengah, yaitu
Afganistan yang menjadi ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi perang buatan
Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).
Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan netral dari
segala nilai atau justru batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu pengetahuan
tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan ideologi. Ilmu
pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri, sementara
teknologi atau ilmu pengetahuan terapan lain terus bergulir mengikuti logika dan
perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang diizinkan memberikan
kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
terjadi ketika ilmu kedokteran berhasil menyelesaikan proyek eksperimennya
mengembangkan janin dengan metode yang disebut “bayi tabung”.
Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung” itu, yakni
suksesnya para ilmuan merampungkan eksperimen kloningnya. Yang terakhir ini
mengubah hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh
manusia mampu menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diproyeksi
untuk membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru
berkembang dimana ilmu pengetahuan dan atau teknologi itu sendiri mengkreasikan
tujuan-tujuan hidup itu sendiri.

Pertentangan Aksiologis: Ilmuwan dan Humanis

Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang penting. Antara
lain pertanyaan itu adalah: untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimanakah
batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan ini tidak urgen bagi ilmuan dan
tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Penelaahan tujuan ilmu pengetahuan itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini,
cukup penting. Karena ide dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya,
ekspektasi besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat membantu dan
memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Namun yang terjadi kemudian
adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru membiaskan kehancuran
dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu telah disebutkan pada pragraf
sebelumnya).
Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari
otoritas-otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau
ideologi)? Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini
dipagari, berarti kita telah melangkah mundur hingga pada jamannya Galileo atau
Socrates. Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan untuk berkembang terkebiri,
sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak bersumber pada pencapaian ilmu
pengetahuan dan teknologi itu.
Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis terbentuknya
pengetahuan perlu diungkit kembali untuk mempetakan persoalan yang ditimbulkan oleh
pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini, suatu
pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam dan
manusia sebagai suatu obyek empiris (tahap ontologis). Ketika realitas yang berbentuk
obyek itu berusaha dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap
epistemologis. Intervensi kepentingan manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama
tidak ditemukan dalam tahap ini dan memang tidak relevan ditempatkan dalam proses itu.
Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan manusia, berarti
yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu. Dalam tahap ini,
persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal menurut kecenderungan
alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan manipulatif. Dalam
artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke dalam penerapan
pengetahuan itu.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu pengetahuan
yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya
kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian
alam untuk kepentingannya. Kepentingan manusia sangat ditentukan oleh motif dan
kesadaran yang pada manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada
tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang
manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana
sebaiknya ilmu pengatahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran
aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali bahwa pertentangan antara kalangan
humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda
pada zamam Copernicus atau Galileo, di mana ilmuan bertentangan dan saling
mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja pada tataran ontologis. Oleh karena
itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi ilmu pengetahuan dan teknologi ini
mendapat permakluman secara luas.

Aspek Etika (Moral) Ilmu Pengetahuan

Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam
mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru
Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian
kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama)
dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos
(destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar.
“Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani. Dalam agama,
ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja
hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan
mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam pertarungan antara id
dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—
atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan
dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh
manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan
lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang
mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang
mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan
manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias
negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan
potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan
menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat
moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to),
benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good
dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani.
Bernaung di bawah filsafat moral . Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan
kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan
mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada
dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang
pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek
berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi
ini.
Peran Etika (Moral) Dan Dilema Yang Muncul
Peranan moral akan sangat kentara ketika perkembangan ilmu terjadi pada saat tahap
peralihan dari kontemplasi ke tahap manipulasi. Pada tahap kontemplasi, masalah moral
berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi masalah moral
berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan kata lain
ketika ilmu dihadapkan pada kenyataan, maka yang dibicarakan adakah tentang aksiologi
keilmuan.
Sebelum menentukan sejauhmana peran moral dalam penggunaan ilmu atau teknologi,
ada dua kelompok yang memandang hubungan antara ilmu dan moral. Kelompok
pertama, memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi
dan aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan pengetahuan
selanjutnya terserah kepada orang lain untuk mempergunakan untuk tujuan baik atau
buruk. Kelompok pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralannya secara total seperti
pada waktu Galileo. Kelompok kedua, berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan
pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Hal
ini ditegaskan oleh Charles Darwin bahwa kesadaran kita akan moral dalam penggunakan
ilmu kita sejogyanya menggunakan pikiran kita .
Analisa perkembangan selanjutnya dengan apa yang sudah terjadi, kelompok yang
mengedepankan nilai moral mengkhawatrirkan terjadinya de-humanisasi, di mana
martabat manusia menjadi lebih rendah, manusia akan dijadikan obyek aplikasi teknologi
kelimuan. Hal ini berkaitan peristiwa yang terjadi selama ini, yaitu : (1) Secara faktual
telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya Perang
Dunia II. (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan sangat esoterik (hanya diketahui
oleh orang-orang tertentu saja) sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses
yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. (3) Ilmu telah berkembang sedemikian
rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaannya yang paling hakiki seperti pada revolusi genetika dan teknik perubahan
sosial.
Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah konflik yang
menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang mana yang tidak dan mana
yang selayaknya. Disinilah, etika memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa
yang seharusnya” atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan
serta apa yang salah dan apa yang benar. Menurut J.Osdar, oleh filsuf Yunani kuno,
Aristoteles, kata etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata moral punya arti
sama dengan kosakata etika. Kata moral berasal dari bahasa Latin, yakni mos (jamaknya
mores). Artinya kebiasaan, adat. Di sini kata moral dan etika punya arti sama.
Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu dalam
realisasi pengembangannya. Untuk mengatasi konflik batin dikemukakan teori-teori etika
yang bermaksud untuk menyediakan konsistensi dan koheren dalam mengambil
keputusan–keputusan moral. Teori–teori etika tersebut adalah :
1. Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan
memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa yang harus dianggap
etis adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang menguntungkan,
melebihi segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan kebaikan terbesar bagi jumlah
orang terbesar. Manfaat paling besar daru teori ini adalah bahwa teori ini sangat
memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu dan memperhatikan bagaimana
orang terpengaruh. Kelemahan dari teori ini bahwa lingkungan tidak menyediakan
standar untuk mengukur hasilnya.
2. Deontologi, berasal dari kata Yunani deon yang berarti “kewajiban”. Teori ini
menganut bahwa kewajiban dalam menentukan apakah tindakannya bersifat etis atau
tidak, dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral. Suatu perbuatan bersifat etis, bila
memenuhi kewajiban atau berpegang pada tanggungjawab, Jadi yang paling penting
adalah kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan, karena hanya dengan memperhatikan
segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan menyalahkan moral. Manfaat paling besar
yang dibawakan oleh etika deontologis adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar
adalah bahwa deontologi tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan.
Dengan hanya berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak melihat beberapa aspek
penting sebuah problem.
3. Etika Hak. Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan moral yang ada
didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini dipecahkan dengan hirarkhi hak. Yang
penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan
sungguh-sungguh. Teori hak ini pantas dihargai terutama karena terkanannya pada nilai
moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu situasi konflik etis. Selain itu
teori ini juga menjelaskan bagiaman konflik hak antar individu. Teori ini menempatkan
hak individu dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana memecahklan konflik
hak yang bisa timbul.
4. Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis dengan berpijak pada
intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk mengetahui secara langsung
apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis mengetahui apa
yang baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya, bukan berdasarkan situasi,
kewajiban atau hak. Dengan intuisi kita dapat meramalkan kemungkinan-kemunginan
yang terjadi tetapi kita tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena
kita tidak dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan.
Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan atas
manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant, penghormatan kepada
martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah satu-satunya makhluk
yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk tujuan lain.

Problematika Etika dan Tanggungjawab Ilmu Pengetahuan

Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang
letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat
bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya bahwa
kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan
mutlak. Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana kebebasan ini.
Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk
memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya
terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar.
Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom,
tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan.
Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada
kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal .
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan
“menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik
bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh
eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah
perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih
lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia
sekarang hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu
pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi
kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga
seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya.
Kita yakin adanya kenyataan bahwa antara ilmu pengetahuan theoria dengan penerapan
praksisnya sukar sekali dipisahkan. Tetapi jelas karena sudah menyangkut relasi antar
manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik “awang-awang”
harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang – yang
berupa tekhnologi – apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai
pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat
manusia justru direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan social yang
mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat
kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan sebagainya.
Terjadi pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran
dan fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial-
politik, karena menguasai ilmu pengetahuan (tekhnologi) dapat memperkuat posisi politik
atau sebaliknya orang yang berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan
tekhnologi. Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan
antar ilmu pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara
industriawan selaku produsen dengan konsumen. Dalam bahasa Jacob lebih lanjut
dikatakan bahwa ilu pengetahuan jangan sampai merugikan manusia dan lingkungan
serta tidak boleh menimbulkan konflik internal maupun politik.
Tanggungjawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap hal-hal
yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu, sekarang, maupun apa
akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia dalam
kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat
mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut
tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan
tersebut akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ; baik bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri maupun bagi perkembangan
eksisitensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen : Tanggungjawab dalam ilmu
pengetahuan menyangkut problem etis karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara
realitas yang ada dan realitas yang seharusnya ada.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia
rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa
kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu
pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari
keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara
mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya
mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu
pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit
ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk
merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat.
Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang
diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat”
olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang
seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya
mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada
rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan
tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering
dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan
apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas
permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai
“kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan
kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai
dengan daerah yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada
pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik
atau jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari
etika. Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang
memperbincangkan bagaimana tekhnik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan
demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari
perorangan, mengenai yang halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu
etika makro yang mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia
dapat belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya
sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut
peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan
pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil tekhnologi
moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan
kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar
memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam
peristiwa aktual dan factual manusia, sehingga terjadi hubungan timbale balik dengan apa
yang sebenarnya terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi” antara keadaan etika
sendiri dengan masalah-masalah yang mem-“bumi”.

Penutup

Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila, mempelajari
kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Penilaian
moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, timbul pula perbedaan penafsiran.
Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu
(pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta
merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski
demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak
melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan
Selain itu, pengembangan ilmu harus memperhitungkan perasaan moral dan bukannya
berdasarkan situasi, kewajiban dan hak. Pengembangan ilmu harus berpijak pada
proyeksi tentang kemungkinan yang secara etis dapat diterima oleh masyarakat atau
individu-individu manusia selaku pengguna atau penerima hasil pengembangan ilmu
(teknologi). Apa yang baik dan buruk dari hasil pengembangan ilmu harus dapat
dipertanggungjawabkan pihak yang mengembangkan ilmu (ilmuwan ataupun penemu).
Sebagaimana namanya, “intiusionisme” memang tidak bisa menjelaskan proses
pengambilan keputusan, karena berpijak pada intuisi. Ini dapat dimaknai, ilmuwan secara
pribadi, menjadi penentu pertimbangan moral dari pengembangan ilmu tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Charis Zubeir, Ahmad. 2002. Kajian Filsafat Ilmu; Dimensi Etik dan Asketik Ilmu
Pengetahuan Manusia. Lembaga Studi Filsafat Islam; Yogyakarta
Van Melsen, A. G. M.1992. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita Terj. Dr. K.
Bertens, PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Ed. ke 2. Jakarta: Balai Pustaka
As-Shadr, Muhammad Baqir.1995. Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali. Bandung:
Penerbit Mizan.
Kamus Dewan. 1994. Ed. ke 3. Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa.
Rosenthal, Franz. 1997. Keagungan Ilmu Terj. Syed Muhamad Dawilah Syed Abdullah.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Jujun S, Suriasumantri.,2003, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer. Pustaka Sinar
Harapan: Jakarta

Soewardi, Herman, 1999, “Roda Berputar Dunia Bergulir” Kognisi Baru Tentang
Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bakti Mandiri, Bandung.

You might also like