You are on page 1of 6

Mencemaskan sekali melihat kasus perdagangan manusia yang dilakukan dalam skala luas terhadap perempuan dan

anak Indonesia. Untuk memberantas praktik perbudakan modern ini, DPR mengambil prakarsa pengembangan
sebuah Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RUU PTPPO). Untuk
pembahasan, penulis mendapat kepercayaan sebagai ketua panitia khusus (pansus). RUU ini dijadwalkan bisa
disahkan dalam tahun 2006 ini.

Data statistik komprehensif perdagangan perempuan dan anak kita memang tidak tersedia. Biarpun demikian,
diperkirakan ratusan ribu orang telah mengalaminya (Rosenberg, 2003;30). Ada laporan puluhan perempuan Medan
diperdagangkan sebagai budak seks ke Malaysia. Juga, anak perempuan Manado ke Papua dan anak Indramayu ke
tempat hiburan di Jakarta.

Perdagangan manusia tidak terjadi hanya untuk eksploitasi seks. Pada kunjungan kerja ke Kalimantan Barat, penulis
bertemu anak perempuan yang dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Dia dijanjikan bekerja di pabrik di
Malaysia, tetapi nyatanya dipaksa bekerja sebagai PRT. Kendati telah bekerja enam bulan, ia tak menerima gaji apa
pun, bahkan majikan kerap menyiksanya. Selain itu, praktik perdagangan juga dilakukan untuk tujuan pekerja kapal
asing, penari kebudayaan, dan perkawinan pesanan.

Pada kunjungan ke Kuala Lumpur, Malaysia, penulis menyaksikan ratusan anak perempuan kita korban
perdagangan sedang berlindung di KBRI. Penulis berbincang dengan enam korban. Mereka mengatakan, mulanya
mereka hendak bekerja setelah tidak mampu lagi melanjutkan sekolah. Sebagian dari mereka hanya sampai tamat
SD atau SMP. Pelaku perdagangan manusia menawarkan untuk bekerja ke Malaysia. Ternyata, pekerjaan yang
dijanjikan tidak pernah ada, malah mereka dijual kepada komplotan perdagangan manusia di Malaysia.

Kesaksian korban ini memberikan penjelasan kepada kita, perempuan dan anak putus sekolah cenderung mencari
kerja. Keputusan itu nyatanya tidak diimbangi dengan informasi memadai tentang jenis pekerjaan yang tersedia dan
bagaimana proses yang benar mendapatkannya.

Tampak sekali aparat kelurahan maupun dinas tenaga kerja setempat hampir tidak pernah membantu perempuan dan
anak mendapatkan informasi tersebut. Situasi ini dimanfaatkan komplotan perdagangan manusia untuk
memerangkap mereka.

Dengan demikian, faktor putus sekolah, aspirasi bekerja, dan macetnya informasi ketenagakerjaan merupakan aspek
penting terjadinya perdagangan manusia. Sedihnya, faktor ini kelihatannya dialami sebagian besar wilayah
Indonesia.

Urgensi RUU

Program ekonomi, penyebarluasan informasi, dan akses pendidikan di wilayah rentan perlu dilancarkan untuk
pencegahan perdagangan manusia. Program ini juga lebih berorientasi pada korban dan masyarakat agar lebih kebal
dari jebakan perdagangan. Di samping pemberdayaan korban, pelaku perdagangan manusia harus pula diberantas.
Untuk tujuan ini, kita memerlukan instrumen hukum yang memadai. Ternyata, materi hukum yang kita punya
sekarang tidak cukup untuk menanggapi kompleksitas kejahatan perdagangan manusia. Beberapa aspek penting
yang tidak memadai dalam perundang-undangan kita meliputi definisi, sistem pembuktian kejahatan, dan
perlindungan korban.

a. Problem definisi

Ada dua UU yang paling relevan dalam kejahatan ini, yaitu UU KUHP Pasal 297 dan UU Perlindungan Anak tahun
2002 Pasal 83. Hanya saja kedua UU ini tidak memberi definisi perdagangan manusia. Ketiadaan definisi ini
membawa masalah serius dalam penerapan kedua UU itu dalam kasus yang seharusnya dikategorikan sebagai
perdagangan manusia.

Problem ini ditemukan, misalnya, dalam kasus sindikat perdagangan perempuan di bawah umur asal Nusa Tenggara
Timur dan Jawa Timur di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. (www.liputan6.com, 12/05). Dalam kasus ini ternyata
pelaku hanya dituntut dengan tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur, menipu data tenaga kerja, atau
menganiaya calon TKW. Ancaman hukumannya 2,8 tahun penjara. Hukuman ini terlampau ringan dibandingkan
bila menggunakan Pasal 297 KUHP yang memiliki ancaman hingga 6 tahun penjara.

Hal yang sama juga dialami untuk kasus penari telanjang ke Jepang atas nama jasa impresariat yang terjadi baru-
baru ini. Pihak kejaksaan menolak menggunakan Pasal 297 KUHP atas dasar korban sudah dewasa.

b. Kejahatan terorganisir

Pemidanaan praktik serupa perdagangan manusia dalam UU yang ada lebih fokus pada kejahatan perorangan.
Padahal nyata sekali praktik perdagangan manusia dilakukan secara terorganisir. Secara teknis hukum, penyelidikan
dan penyidikan kejahatan perorangan dan teorganisir seharusnya berbeda. Demikian juga definisi hukum tentang
kejahatan terorganisir harus diuraikan jelas sebab kejahatan ini bisa berbasis pada hubungan perkomplotan yang
“kuat” ataupun “longgar”. Umumnya organisasi kejahatan perdagangan manusia dilakukan sindikat dengan
organisasi tanpa struktur, tetapi melibatkan beberapa orang, termasuk bekerja sama dengan aparat yang
menyalahgunakan wewenangnya.
3. Perlindungan korban

Korban perdagangan manusia menderita secara jasmani dan batin. Ternyata, UU yang ada tidak menyediakan
bantuan yang memadai bagi korban.

Seharusnya ada bantuan untuk korban yang wajib diberikan menurut UU. Bantuan bisa meliputi penanganan luka
jasmani dan trauma, klaim atas hak sebagai pekerja, dan kemudahan berurusan dengan proses hukum sebagai korban
tindak pidana. Yang terakhir ini adalah kunci keberhasilan penuntutan hukum perdagangan manusia

Ketiga aspek penting ini merupakan argumentasi dasar mengapa kita memerlukan UU baru tentang pemberantasan
perdagangan manusia. Untuk itu, DPR dan pemerintah perlu bekerja keras agar Indonesia memiliki UU
antiperdagangan manusia yang komprehensif dan memadai diterapkan.

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK

(Studi Kasus Putusan No 177/Pid.B/2007/PN.MDN)

A. Latar Belakang

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan

kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga dengan kata lain seseorang berhak dan

wajib diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain.

Hak hidup setiap manusia tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun termasuk hak

untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, tidak diperjualbelikan dan tidak dipaksa untuk melakukan yang tidak disukai

ataupun diperlakukan dengan tidak sesuai harkat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat

dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus

cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin

kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Bahwa agar setiap anak kelak mampu

memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh

dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, sehingga perlu

dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan

terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut dengan UU No. 23

Th 2002) merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai masalah anak. Tujuan dari perlindungan anak

sendiri disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 23 Th 2002 : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya

hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak

Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

Disebutkan juga dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang hak dari anak yang menyebutkan

bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.”

Pengingkaran terhadap kemuliaan hak asasi seorang anak akan terjadi apabila ada seseorang yang

tidak lagi memandang seorang anak sebagai sebuah subyek yang sama dengan dirinya, akan tetapi lebih

pada sebagai sebuah obyek yang bisa diperjualbelikan demi keuntungan pribadi.

Bisnis perdagangan orang saat ini banyak menjerat anak. Bisnis seperti ini merupakan tindakan

yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia.

Perdagangan anak sendiri sebenarnya telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang

terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi

ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi

penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Lebih ironis lagi bahwa praktik perdagangan orang initernyata banyak terjadi di Negara ini. Orang sebagai

“obyek dagang” dalam transaksi ini yang mayoritas adalah anak perempuan, sebenarnya bukan fenomena baru di

negara ini. Untuk menghitung jumlah pastinya seperti halnya sebuah fenomena puncak gunung es, dimana yang

kelihatan hanyalah sebagian kecil saja, akan tetapi jumlah yang lebih besar banyak yang luput dari sorotan media

maupun masyarakat pada khususnya. Berbagai survei, penelitian, dan pengamatan menunjukkan kasus perdagangan

orang cenderung meningkat dan kian memprihatinkan.

Sejarah perdagangan orang khususnya anak, pertama kali tercatat dalam Alquran Surat Yusuf ayat 20 :

“Dan mereka menjual yusuf dengan murah...”. Perdagangan orang di Indonesia sudah terjadi pada masa penjajahan.

Saat pendudukan Jepang, nenek-nenek moyang kita yang pada saat itu mungkin masih di bawah umur, telah

mengalami hal yang serupa, yakni ditipu dan dijanjikan untuk berkarier di Jepang, namun yang sebenarnya terjadi

adalah mereka disekap dan dijadikan budak-budak seks para tentara Jepang. Hingga kini, akibat tidak banyaknya

pihak yang peduli serta kurangnya informasi, membuat kasus perdagangan anak terus berlarut-larut.

Data dari Kepolisian RI menyebutkan bahwa sejak tahun 2001 jumlah kasus perdagangan anak khususnya

perempuanada178 kasus, 2002 ada 155 kasus, 2003 ada 134 kasus, tahun2004 ada 43 kasus, dan tahun 2005 terdapat

30 kasus. Sementara di luar Indonesia data yang dihimpun International Catholic Migration Commission (ICMC)

2005 menyebutkan kasus perdagangan anak yang berhasil dilaporkan berjumlah 130 kasus, dengan jumlah pelaku

198 dan jumlah korbannya ada 715 orang. Angka iniakan terus mengalami peningkatan pesat jika dibandingkan

tahun 2003 yang hanya ada 84 kasus.Sedangkan laporan dari Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak yang

tereksploitasi seksual atau dilacurkan/dijadikan pelacur menjadi 40.000 sampai dengan 70.000 anak diseluruh

Indonesia,dan dari jumlah tersebut sebesar 30 % dari mereka adalah anak perempuan usia kurang dari 18 tahun.

Data lain menyebutkan 60 % jumlah perkosaan terjadi pada anak dansetiap tahunnya tidak kurang dari 1500 hingga

2000 kasus perkosaan di Indonesia yang terjadi di hampir semua propinsi di Indonesia korbannya adalah anak

perempuan.
Contoh nyata dari kasus perdagangan anak terjadi di Medan, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut :

“Tony (52), terdakwa kasus perdagangan orang (trafficking), pada hari kamis tanggal 22 Feb 2007 akhirnya divonis

3 tahun 7 bulan potong masa tahanan oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan. Tony dinyatakan bersalah

melanggar Pasal 83 UU No 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak. Menjawab pertanyaan majelis hakim pimpinan

Ahmad Sharif, SH, Tony mengaku baru terlibat dalam masalah ini ketika kurang lebih dua tahun lalu dikarenakan

terlilit hutang. Dalam melakukan aksinya, Tony bekerja sama dengan Sum, germo dari Batam yang hingga kini Sum

masih buron Selama tiga bulan, Tony sempat menjadi buron dan pada akhirnya ditangkap oleh Polda Sumatera

Utara. Seperti yang telah dilansir sebelumnya, Kasus Tony, tersebut menjadi perhatian para pemerhati perlindungan

anak. Sejak kasus itu digelar, pusat perhatian LSM yang concern terhadap perlindungan anak dan perempuan, para

praktisi hukum, dan kalangan kampus, tertuju ke persidangan itu. Tony ditangkap dan kemudian diadili berdasarkan

laporan Linda (15) yang dijanjikan oleh Tony lapangan pekerjaan sebagai baby sitter. Akan tetapi kenyataannya ia

malah dipekerjakan sebagai purel diskotek di kawasan Jl. A Yani Medan. Majelis hakim membantah bahwa

jatuhnya putusan tersebut karena tekanan masyarakat. Tapi, kuatnya desakan dan gerakan sejumlah LSM dan

pemerhati anak-anak menjadi catatan tersendiri, baik bagi jaksa maupun majelis. "Kami sangat menghormati

aspirasi yang berkembang di masyarakat. Tapi, kami independen dan tidak bisa diintervensi,"ujar Ahmad Syarif,

SH, salah seorang majelis hakim kepada koran ini kemarin. Jumlah kasus trafficking dari tahun ke tahun terus

meningkat di Sumatera Utara (Sumut). Praktik trafficking yang berkembang antara lain perdagangan perempuan

untuk kepentingan prostitusi dan penculikan/penjualan bayi. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut mencatat pada

2004 jumlah kasus trafficking di Sumut sebanyak 81 kasus. Pada 2005 sebanyak 125 kasus. Setiap tahun jumlah

kasus trafing meningkat hingga 2006 menjadi sebanyak 153 kasus.”

Menyimak kasus di atas, persoalan perdagangan anak banyak sekali terjadi di daerah-daerah. Kendatipun

demikian, pada prakteknya belum banyak pihak yang berinisiatif untuk mengatasi masalah ini, padahal masyarakat

sebenarnya sudah sadar betul dan mengetahui tentang adanya ‘proyek’ perdagangan orang yang terorganisir. Dari

contoh kasus diatas persoalan ini memang menimbulkan permasalahan yang penanganannya memerlukan perhatian

yang sangat serius.

Dalam kasus perdagangan anak perempuan, pelaku terbagi pada pelaku perekrutan (mengajak, menampung

atau membawa korban), pengiriman (mengangkut, melabuhkan atau memberangkatkan korban), pelaku

penyerahterimaan (menerima, mengalihkan atau memindahtangankan korban). Selain itu, dalam lingkup hubungan

antara Majikan dan pekerja, dapat juga dikategorikan sebagai sebagai pelaku ketika seorang Majikan menempatkan

pekerjanya dalam kondisi eksploitatif. Kondisi yang sering terjadi adalah tidak membayar gaji, menyekap pekerja,

melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.

Sungguh ironis mengetahui bahwa keberadaan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

khususnya anak masih belum mampu secara maksimal menjadi payung hukum dan untuk kemudian menjerat para

pelaku perdagangan anak perempuan yang semakin hari semakin terorganisir dan profesional.
Indonesia Miliki Kebijakan Komprehensif Berantas Tindak Pidana Perdagangan Orang

Bogor, 13 Agustus 2009

Bogor, gugus tugas trafficking.org – Indonesia telah memiliki kebijakan yang komprehensif dalam Pemberatasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Untuk ke depan adalah bagaimana implementasi semua kebijakan, terutama
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di lapangan.

Hal ini ditegaskan oleh Emmy Rahmawati, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Negara Pemberandayaan
Perempuan pada acara ”Pertemuan Nasional Perencanaan Strategis: Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan
Tindak Pidana Perdangangan Orang di Hotel Mirah Bogor (13/8).

Pada bagian lain menurut Dra. Maswita Djaya, MSc., Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Perempuan dan
Kesejahteraan Anak, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, bahwa ”Kejahatan perdagangan orang
(trafficking) di Indonesia telah menjadi perhatian serius bagi berbagai pihak.” Tingginya tingkat kejahatan trafficking
dan semakin besarnya faktor yang mempengaruhi trafficking di Indonesia mendorong berbagai pihak terutama
pemerintah Indonesia untuk segera menangani dan mencegah kejahatan trafficking.

Melalui Keputusan Presiden No. 88 tahun 2002, diterbitkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan
Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, periode 2002 – 2007 yang menjadi dasar bagi pemerintah nasional
dan daerah menangani dan mencegah praktek trafficking. Sejak saat itulah berbagai upaya pencegahan dan
penanganan trafficking dilakukan lebih terfokus.

Pada tahun 2004, pemerintah mengesahkan Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang memiliki kedekatan substansi dan implementasinya dengan upaya penanganan
trafficking, tegas, Maswita.

Pertemuan Nasional yang berlangsung dari tanggal 13-14 Agustus 2009 ini bertujuan untuk: Memaparkan upaya-
upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang yang sudah dilakukan selama periode 2007-2009 meliputi
pencegahan, pengembangan kebijakan, koordinasi dan kerja sama, layanan bagi korban serta penegakkan hukum
baik di tingkat nasional maupun daerah. Mengkaji pembelajaran dan pengalaman terbaik terkait upaya pencegahan
dan penanganan tindak pidana perdagangan orang yang telah dilakukan di tingkat nasional dan daerah. Mengkaji
hambatan, tantangan, potensi dan peluang pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang di tingkat
nasional dan daerah. Mengkaji dan mengembangkan mekanisme kerjasama antar pemerintah daerah dalam
penanganan koran tindak pidana perdagangan orang. Selain itu untuk merumuskan strategi dan rencana tindak lanjut
di tingkat nasional dan daerah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang.

Pertemuan yang dihadiri oleh semua anggota Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang baik di tingkat Nasional dan Daerah. Sedangkan untuk memperkaya pemahaman peserta mengenai
Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang menghadirkan narasumber yang berkompeten di
bidangnya.

Saat ini dengan telah disahkannya Undang – Undang No.21 tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO), berbagai upaya penanganan dan pencegahan trafficking baik di tingkat nasional
maupun daerah telah memiliki kekuatan dan kepastian hukum.

Undang-undang tersebut juga telah mengamanatkan berbagai upaya yang harus dilakukan untuk memberantas
trafficking oleh pemerintah dan masyarakat. Untuk mempercepat implementasi UUPTPPO, pemerintah telah
mengeluarkan berbagai peraturan antara lain, Peraturan Pemerintah No. 9/2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme
Pelayanan Terpadu bagi Saksi/ atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Peraturan Presiden No. 69/2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan
dan Anak (UNIT PPA) di lingkungan Kepolisian RI. Peraturan Kepaka Kepolisian RI No. 3/2008 tentang
Mekanisme dan Tata cara Pemeriksaan Saksi dan/ atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI No. 1/2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan
Terpadu Bagi Saksi dan/ atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kabupaten/ Kota. Rencana Aksi
Nasional pemerintah Indonesia untuk Pemberantasan Perdagangan Orang periode2009 – 2013.

Sejalan dengan Undang-undang PPTPO, telah disahkan juga UU No.39 Tahun 2006 tentang Perlindungan dan
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) dan UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Di tingkat implementasinya, pemerintah Indonesia telah melakukan kerja sama dengan berbagai
pihak untuk mengefektifkan kebijakan-kebijakan di atas. Berbagai lembaga baik internasional, nasional maupun
daerah turut serta dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Salah
satunya adalah kerjasama Pemerintah Indonesia dengan International Catholic Migration Commission (ICMC) dan
American Center for International Labor Solidarity (ACILS) untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan
tindak pidana perdagangan orang baik di tingkat nasional maupun dengan mengembangkan pilot proyek di beberapa
daerah. Kerja sama ini telah dilakukan sejak tahun 2001 dan memasuki fase terahir pada program periode 2007-2009.

Upaya pencegahan dan penanganan tersebut telah menghasilkan beberapa capaian progresif. Di tingkat nasional,
dengan melibatkan berbagai organisasi internasional dan nasional, pemerintah telah membuat berbagai kebijakan
dan melakukan berbagai fasilitasi dan koordinasi. Di tingkat daerah telah dikembangkan berbagai program
pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang di wilayah pilot proyek dan banyak capaian yang telah
dihasilkan. Pembelajaran dan pengalaman terbaik tersebut dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana
perdagangan orang perlu diluaskan efeknya terutama di wilayah-wilayah yang rentan terjadi tindak pidana
perdagangan orang.

Pertemuan Nasional Perencanaan Strategis ini ditujukan untuk menjadi media belajar dan sharing lintas stakeholder
baik nasional maupun daerah, merefleksikan upaya yang telah dilakukan sekaligus merencanakan strategi yang harus
dilakukan. Akhir dari kegiatan ini diharapkan Adanya dokumen tentang pembelajaran dan pengalaman terbaik terkait
upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia periode 2007 – 2009 baik di
tingkat nasional maupun daerah. Teridentifikasikannya hambatan, tantangan, potensi dan peluang pencegahan dan
penanganan tindak pidana perdagangan orang di tingkat nasional dan daerah. Adanya point-point kesepakatan antar
pemerintah daerah mekanisme koordinasi dan kerjasama Antar pemerintah daerah. Adanya strategi dan rencana
tindak lanjut (5 tahunan) untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang di tingkat nasional dan
daerah.

You might also like