Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
Oleh:
Fitriani
0901080119
Depok
Juli 2006
BAB I
PENDAHULUAN
Ketika Medusa diperkosa oleh Poseidon, Athena justru mengutuk dewi itu menjadi
makhluk buruk rupa dengan kepalanya ditumbuhi ular-ular, mulut menyeringai cakar
binatang liar dan tatap matanya menjadikan orang batu, sementara Dewa Laut Poseidon
dibiarkan bebas begitu saja. Konon Athena menyalahkan perkosaan pada Medusa yang
dianggap menggoda. Berita Medusa menjadi iblis perempuan mendatangkan Perseus
untuk memenggal lehernya. Yang kemudian, oleh bapak para penyair Homer, Perseus
diabadikan sebagai pahlawan.
-Mitologi Yunani Kuno-
I. 1. Latar Belakang
1
John F. Burns, “A Serbian Fighter’s Trail of Brutality” dalam New York Times, 27 November
1992.
2
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, School for Rape: Perkosaan Sistematis di Burma,
(Jakarta: YLBHI, 1999), hlm. 1.
1
Shah yang jumlahnya mencapai 36.800 orang di antara 1,5 juta
penduduk etnik minoritas di Myanmar. 3
sama untuk menjadi pelaku maupun korban, perempuan dan laki-laki mengalami
kekerasan dalam konflik dengan cara yang berbeda. Laki-laki umumnya dipaksa
untuk pergi berperang dan terbunuh di dalam aksi senjata, sementara perempuan
3
Ibid., hlm. 35.
4
Hasil wawancara dengan Armandina dan Gilman yang dilakukan oleh George Aditjondro dalam
George Aditjondro, “Kekerasan Negara Terhadap Perempuan di Timor Timur” dalam Nur Iman
Subono (ed.), Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2000, hlm. 164-165.
5
“Nanking Massacre” diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Nanking_Massacre pada tanggal
12 April 2006 pukul 23.05 WIB.
2
mengalami kekerasan seksual, pemaksaan kehamilan, penculikan, perkosaan,
didalamnya secara umum tertulis pihak yang menang dan yang kalah; berapa
jumlah tentara dan sipil yang tewas; serta berapa banyak kerugian yang diderita.
Jarang sekali terdapat penelitian yang mengangkat tentang berapa banyak jumlah
perempuan yang menjadi korban perkosaan, dilakukan oleh siapa, apa motifnya
dan apa yang terjadi setelah tindakan tersebut dilakukan. Perkosaan dipandang
sebelah mata dalam konflik, sebagai byproduct dari perang, tanpa melihat dampak
dihasilkannya.
Dalam satu abad yang lalu, terjadi sedikitnya 6 kasus perkosaan massal
pada konflik antar suku di Yugoslavia dan pada konflik serupa di Rwanda di awal
1990an. Kasus-kasus ini dapat naik ke permukaan karena jumlah korbannya yang
6
Introduction dalam “Women War Peace” diakses dari
http://www.unifem.org/filesconfirmed/149/212_introduction.pdf pada tanggal 20 November 2005
pukul 12.10 WIB.
7
Shana Swiss dan Joan A. Giller, “Rape as a Crime of War – A Medical Perspective” dalam
Journal of the American Medical Association, 4 Agustus 1993, Vol. 270, No. 5, hlm. 612-615.
3
80.000 jiwa. 8 Sementara dalam kasus Bosnia menurut catatan Mentri Dalam
(PBB) yang dikeluarkan tahun 1994 menyatakan 4.500 kasus perkosaan yang
tercatat, sementara dalam laporan Komisi Uni Eropa pada Februari 1993
signifikasinya tidak bisa dinilai. Angka dalam statistik tidak bisa digunakan untuk
menarik kepentingan. Hal ini terjadi sebab dalam perang tidak ada badan
sedangkan logisnya tidak ada negara yang secara terbuka menyatakan pihaknya
minimal korban sehingga isu perkosaan di wilayah konflik dapat diangkat sebagai
Vietnam berusia antara 11 dan 40 tahun yang mengungsi diculik dan diperkosa di
8
“Nanking Massacre”, Log. Cit.
9
Cherif Bassiouni dan Marcia McCormick, Sexual Violence: An Invinsible Weapon of War in
Yugoslavia, (Geneva: International Human Rights Law Institute, 1996), hlm. 10 dan 44.
10
Susan Brownmiller, Against Our Will: Men, Women and Rape, (New York: Pinguin Books,
1975), hlm. 14.
4
laut pada tahun 1985. 11 Di Uganda dilaporkan oleh dinas kesehatan setempat
bahwa 70% perempuan di kawasan Luwer telah diperkosa oleh tentara di awal
Dalam laporan Human Rights Watch Report tahun 2002 diberitakan sedikitnya
menyatakan bahwa setelah perang usai, kejahatan seksual yang terjadi di masa
konflik sering digunakan untuk daya tawar politik dalam negosiasi internasional
antara pihak “yang menang” dan “yang kalah” 15 . Misalnya seperti dalam kasus
jumlah tersebut layaknya permukaan gunung es yang hanya terlihat sebagian kecil
11
United Nations High Commissioner for Refugees, Services for Vietnamese Refugees Who Have
Suffered from Violence at Sea: An Evaluation of the Project in Thailand and Malaysia. (Genewa:
UNHCR, 1986), hlm. 8.
12
Jane E. Giller, et all., Uganda: War, Women and Rape, (London: Lancet, 1991), hlm. 337 dan
604.
13
Tiare Rath, “In War-Riddled Congo, Militias Rape with Impunity” diakses dari
http://www.feminist.com/news/news192.html pada tanggal 12 April 2005 pukul 11.11 WIB.
14
Yayori Matsui, “Women and Arm Conflict: Foreign Military Bases as a Source of Violence
against Women” diakses dari http://www.aworc.org/bpfa/gov/escap/vaww.html pada 25 Desember
2005 pukul 10.05 WIB.
15
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 14.
5
majority) perempuan korban perkosaan yang tidak menceritakan tindak perkosaan
atas mereka karena beberapa sebab, antara lain trauma pribadi untuk mengingat
dilakukan, dan keadaan masyarakat di mana mereka hidup yang belum tentu bisa
perempuan di wilayah konflik tidak dianggap sebagai isu yang signifikan dan
dan Ganymede oleh Zeus yang tidak terhukum. Di abad pertengahan, terdapat
membayar ganti rugi kepada suami atau ayah dari perempuan tersebut. Peraturan
yang melarang perkosaan dilakukan di wilayah konflik baru diciptakan oleh Raja
Richard II tahun 1385 dan dilanjutkan oleh Hendry V tahun 1419. Hukum inilah
masa konflik sudah ada sejak tahun 1949 dalam Protokol Konvensi Genewa
16
“Rape” diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Rape pada tanggal 12 April 2006 pukul 09.15
WIB.
17
“Geneva Convention” diakses dari http://www.globaliissuesgroup.com/geneva/texts.html pada
tanggal 20 November 2005 pukul 10.15 WIB.
6
secara spesifik sehingga protokol ini tidak mampu menghukum tindak perkosaan
dalam Perang Dunia II pada Pengadilan Nurenberg dan Pengadilan Tokyo. 18 Pada
tahun 1977 terdapat Tambahan Protokol Konvensi Genewa tahun 1977 yang
merendahkan. 19 Hal yang mana masih tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan
dengan mengajukan bukti bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari usaha
menyerang populasi sipil dengan latar belakang nasional, politikal, etnis dan
agama. ICTY berhasil menghukum lebih dari 61 orang, termasuk mantan Presiden
18
David J. Scheffer, “Rape as a War Crime” diakses dari
http://www.converge.org.nz/pma/arape.htm pada tanggal 20 November 2005 pukul 10.05 WIB.
19
Baca Protokol Kovensi Genewa dan Protokol Tambahan tahun 1977 di “Geneva Convention”,
Op. Cit.
20
Statuta ICTY Artikel 5 diakses dari http://www.un.org/icty/basic/statut/stat2000_con.htm pada
tanggal 2 Januari 2006 pukul 17.10 WIB.
21
“International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia” diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Tribunal_for_the_Former_Yugoslavia pada
tanggal 18 Januari 2006 pukul 13.25 WIB.
7
Keberhasilan dalam memberikan sanksi hukum pada perkosaan sebagai
pertama kali kasus perkosaan dimasukkan sebagai salah satu bagian dari genosida.
I. 2. Permasalahan
feminis radikal. Slogan ini pertama kali disuarakan oleh Carol Hanisch dalam
buku Notes from the Second Year (1970) yang mengangkat isu bahwa pembedaan
antara lingkup publik dan privat adalah keliru. 23 Slogan ini menggambarkan
sebuah sistem yang stabil menyokong negara maupun dunia secara keseluruhan.
8
namun kajian hubungan internasional jarang sekali mengangkat fenomena
tersebut sebagai salah satu isu penting. 24 Perkosaan adalah senjata mendasar laki-
laki melawan perempuan, ujian untuk superioritasnya dan digunakan secara sadar
sering digunakan sebagai senjata perang melawan negara lain dan perempuan
secara keseluruhan. 25
Pendapat Beauvoir yang dikeluarkan lebih dari setengah abad lalu masih
menduduki 15,4% dari konstitusi di dunia. Jumlah tersebut barulah setengah dari
target 30% representasi perempuan dalam badan legislatif dari Deklarasi Beijing
bahwa selama ini kebijakan luar negeri dibentuk oleh laki-laki, termasuk dalam
24
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 35 dan 14-15.
25
Catharine MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State, (Cambrige: Harvard University
Press, 1989), hlm. 172.
26
Simone de Beauvoir, The Second Sex, (New York: Knopf Publishing, 1952), hlm. 161
27
United Nations, Women & Elections: Guide to Promoting the Participation of Women in
Elections, (New York: United Nations Department of Public Information, 2005), hlm. 6.
9
dari konflik bersenjata adalah perempuan dan anak-anak, yang menyusun sekitar
tersebut akan berfokus pada laki-laki dan maskulinitas. Terlihat dari kajian
konsepnya political man; dan buku Kenneth Waltz Man, the State and War.
Sehingga jarang timbul kesadaran bahwa di dalam kajian ilmu itu sendiri tindakan
fenomena hubungan internasional yang cenderung hanya melihat pihak yang jahat
28
Robert L. Sivard, World Military and Social Expenditures 1991, 14th edition, (Washington D.C.:
World Priorities Inc., 1991), hlm. 3.
29
Cynthia Enloe, Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International Relations,
(London: Pandora Press, 1989), hlm. 133 yang ditanya ulang oleh Enloe dalam The Morning
After: Sexual Politics at the End of the Cold War, (Berkeley: University of California Press, 1993),
hlm. 20.
10
tingkah laku negara di dalam sistem internasional. 30 Begitu juga saat Machiavelli
keputusan dan tak dapat ditebak. Sesuai ujaran Machiavelli, “Fortuna adalah
fokusnya adalah power dan negara. Perempuan tidak tampak dalam pemikiran
menjadi kajian.
fenomena yang kerap terjadi dan memiliki lingkup mendunia maka sepantasnya
masalah ini diangkat menjadi salah satu isu dalam kajian hubungan internasional.
peran domestik perempuan yang jauh dari isu high politics. 32 Menurut penulis
di wilayah konflik?
internasional?
30
Thomas Hobbes, “Leviathan”, bagian 1 bab 13, dikutip dari John Vasquez (ed.), Classics of
International Relations, 2nd Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), hlm. 213-215.
31
Niccolo Machiavelli, The Prince and the Discourses, (New York: Random House, 1940), hlm.
94.
32
Ani Soetjipto, “Perempuan dan Politik Internasional”, artikel yang akan diterbitkan.
11
Kasus-kasus perkosaan perempuan di wilayah konflik telah terjadi sejak
pertama kali perang antar manusia berlangsung sehingga penelitian ini tidak
internasional.
kajian internasional.
12
I. 4. Tinjauan Pustaka
internet.
etnis Tionghoa di Pontianak dengan laki-laki Taiwan melalui jasa perantra sebagai
salah satu bentuk trafficking in women. Melalui kajian sistem kapitalis dunia dari
disebabkan sistem kapitalis ini hidup miskin, tapi juga laki-laki Taiwan yang
patriarkis, anak perempuan menempati posisi subordinat dan tidak memiliki posisi
tawar yang cukup kuat untuk menolak keinginan orang tuanya agar dia menikah
33
Andy Yentriyani, Politik Perdagangan Perempuan, (Yogyakarta: Galang Press, 2004)
13
dengan laki-laki asing, apalagi dengan adanya stereotipe jender dalam masyarakat
kapitalis dunia.
Skripsi kedua adalah milik Septi Silawati yang berjudul Penolakan Iran
dalam teori politis yang menyatakan what personal is political dan what personal
yang berkuasa dengan latar belakang sosial budaya masyarakatnya yang patriarkis
oleh CEDAW.
14
Indonesia dan membawanya ke tataran internasional dengan pemasalahan
standar internasional tenaga kerja dan penghilangan diskriminasi bagi tenaga kerja
perempuan baik dalam hal gaji maupun kesempatan kerja. Kesimpulan dalam
penelitian ini adalah bahwa masalah sistem kapitalisme dan patriarkis yang akut
telah membuat posisi tenaga kerja perempuan Indonesia menjadi lebih lemah.
Kerangka pemikiran yang digunakan adalah definisi teori dari Juwono Sudarsono
preskripsi dari apa yang ditangkap pengamat, serta evolusi ilmu pengetahuan dari
Thomas Kuhn. Dalam skripsi ini dibahas bahwa power realis lebih merupakan
15
dominasi suatu aktor atas aktor lainnya. Konsepsi tersebut merugikan perempuan
Kuhn mengenai the Structure of Scientific Revolutions. Skripsi ini melihat sejarah
pengetahuan yang bila dikritisi akan menghasilkan krisis yang pada akhirnya
universitas dunia. Dalam skripsinya tergambar jelas bahwa negara dan individu
awalnya teruji.
Skripsi ketiga yang menulis tentang kajian pemikiran adalah milik Nurul
Etnis Pasca Perang Dingin (1991-2005). Pertanyaan yang diajukan dalam skripsi
ini adalah “bagaimana perkembangan ontologi kajian resolusi konflik etnis pasca
16
perang dingin periode 1991-2005?” Kerangka teori yang digunakan adalah sejarah
perkembangan ontologi kajian resolusi konflik etnis pasca perang dingin melalui 2
fase yaitu (1) kemunculan dan perkembangan, serta (2) perdebatan terus menerus
yang telah ada sebelumnya dan tidak selalu merupakan falsifikasi. Sehingga setiap
terjadi di dunia. Artikel pertama adalah milik Sian Powell yang berjudul East
pendudukan Indonesia 1975 hingga 1999. Dari perkosaan ini lahirlah anak-anak
Brownmiller yaitu Against Our Will: Men, Women and Rape. 35 Buku ini
34
Sian Powell, “East Timor’s Children of Enemy”, dalam jurnal, The Weekend Australian, Edisi 1,
1 Maret 2001, hlm. 1-8. Dapat diakses dari www.canb.auug.org.au/~wildwood/01marchildren.htm
pada tanggal 24 Mei 2006 pukul 20.05
35
Susan Brownmiller, Against Our Will: Men, Women and Rape, (New York: Pinguin Books,
1975).
17
perkosaan, baik korban dan pelakunya. Buku ini membahas latar belakang sejarah
politik, sosiologi perkosaan, posisi tak sejajar antara perempuan dan laki-laki yang
berakar secara turun temurun dan dilegalkan melalui hukum. Melalui bahasanya
sebagai suatu tindak kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan yang patut
diberi sanksi tegas. Buku ini menjadi salah satu rujukan teori dari penelitian yang
berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini.
Andy Yentriyani, Septi Silawati dan Nita Aswita Sugiri sama menulis skripsi
adalah tentang kajian konflik. Skripsi Pande K. Trimayuni merupakan kajian teori
bentuk penulisan yang mengkaji paradigma dan pemikiran, walaupun tema yang
18
perempuan melalui latar belakang historis, sosiologis dan hukum. Tulisan
keduanya berbeda dengan skripsi yang akan dibuat karena lebih melihat fenomena
mengkajinya sebagai suatu isu yang signifikan. Buku Susan Brownmiller akan
I. 5. Kerangka Pemikiran
terlebih dahulu alat analisis utama yang menjadi alasan mengapa perkosaan
perempuan dalam perang merupakan isu penting untuk dibahas dalam penelitian
ini. Alat analisis utama tersebut adalah perspektif feminis. Menurut Jill Steans
dan Llyod termin perspektif digunakan untuk menjelaskan cara untuk melihat
dunia dengan memprioritaskan suatu keadaan, isu dan proses tertentu. Dapat
menganalisa suatu fenomena 36 dan merupakan alat yang penting untuk mengkaji
36
Jill Steans dan Lloyd Pettiford, International Relations: Perspectives and Themes, (England:
Longman, 2001), hlm. 5 dan 152.
19
perjuangan perbaikan standar hidup perempuan dan partnership dalam
pembangunan. 37
yaitu (1) menggunakan jender sebagai kategori analisis yang utama, (2) melihat
jender sebagai power relations yang khusus, (3) mengkaji sektor publik dan privat
fungsi institusi internasional, (5) memberi asumsi bahwa jender telah menjadi
bagian yang tak tersadari namun turut mempengaruhi international order, dan (6)
I. 5. 2. Konsep-Konsep
relations yang tidak imbang secara historis antara perempuan dan laki-
37
Lebih lengkap mengenai perspektif-perspektif dalam hubungan internasional baca Steans dan
Pettiford, Op. Cit., hlm. 20-100.
38
Ibid., hlm. 155.
20
laki, sehingga membuat adanya dominasi dan diskriminasi perempuan
39
Poin 118 Deklarasi Beijing, United Nations, Beijing Declaration and Platform for Action with
the Beijing+5 Political Declaration and Outcome Document, (New York: Department of Public
Information United Nations, 2001), hlm. 75.
40
Ibid., hlm. 73.
41
Ibid., hlm. 74.
21
• Konflik Internasional
bergabung untuk melakukan oposisi secara sadar terhadap satu atau lebih
kelompok lain mengejar apa yang dianggap oleh kelompok oposisi sebagai
42
James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International
Relations: A Comprehensive Survey, 4th Edition, (New York: Longman, 1996), hlm. 179.
43
Lewis A. Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1956), hlm. 3.
44
Herbert C. Kelman, “Social Psychological Approaches to the Study of International Relations”
dalam Herbert C. Kelman (ed.), International Behavior: A Social-Psychological Analysis, (New
York: Holt, Reinhart and Winston, 1965), hlm. 5-6.
22
dilaksanakan oleh angkatan bersenjata masing-masing negara. 45 Demikian
ketidaksetujuan atas suatu isu, sikap yang bertentangan, dan diikuti salah
penelitian ini. Definisi yang digunakan penulis adalah suatu konflik dapat
45
“International War” dalam Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Frameworks
for Understanding, 5th Edition, (Boston: Allyn and Bacon, 1997), hlm. 508.
46
K.J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th Edition, (New Jersey:
Prentice-Hall, 1992), hlm. 348-349.
23
menimbulkan kesakitan akan selalu menjadi alat yang berguna untuk
dalam konflik.
masuknya penis, jari, atau benda tumpul ke lubang vagina korban yang
laki lebih agresif serta aktif secara seksual dari pada perempuan yang lebih
pasif serta reseptif secara seksual. Hal ini sering menjadi alasan
pelaku secara berat karena dipandang sebagai kejahatan sebelah mata dan
alamiah. 49
47
H. L. Nieburg, Political Violence, (New York: St. Martin Press, 1969), hlm. 9.
48
Arimbi Heroepoetri dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminis VS Neoliberalisme,
(Jakarta: Debtwatch Indonesia, 2004), hlm. 65.
49
V. Spike Peterson dan Anne Sisson Runyan, Global Jender Issues, (Colorado: Westview Press,
2000), hlm. 42.
24
Bennet dan Rashmi Goswani dalam menganalisa posisi perempuan di
kekerasan. 51
yang pasti terjadi dan tak terpisahkan dari konflik. Sepandangan dengan
sosial yang patriarkis mengenai seksualitas laki-laki yang aktif, dan seks
maskulinitasnya. 52
50
Anuradha M. Chenoy, “Women, War and Peace: Indian Versions”, dalam Mohamed Jahwar
Hassan, Stephen Leong dan Vincent Lim (eds.), Asia Pacific Security Challenges and
Opportunities in the 21st Century, (Malaysia: ISIS, 2002), hlm. 478.
51
Humm, Op. Cit., hlm. 388-389.
52
Brownmiller, Op. Cit., hlm 31-113
25
I. 5. 3. Dasar Pemikiran & Teori
realis, liberalis dan globalis. Di sisi lain terdapat perspektif feminis yang juga
mengkaji fenomena tersebut. Dua pemikiran feminis utama yang akan diangkat
Pemikiran dasar realis lahir lebih dari 2500 tahun yang lalu dalam tulisan
keadaan dunia adalah anarki di mana tidak ada yang bisa membantu suatu negara
kecuali negara itu sendiri. Perspektif ini tumbuh subur di dalam situasi
dan E.H. Carr. 54 Menurut Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, perspektif ini
memiliki memiliki asumsi dasar (1) negara adalah aktor utama dalam hubungan
internasional, (2) negara dilihat sebagai aktor yang uniter, (3) negara bertindak
secara rasional, dan (4) isu yang diutamakan adalah keamanan nasional. 55
Perspektif kedua adalah liberalis atau sering disebut juga sebagai pluralis.
Liberalis percaya bahwa kerjasama internasional dibawah hukum adalah hal yang
53
“The Peloponnesian War” dalam Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts: An
Introduction to Theory and History, 2nd Edition, (New York: Longman, 1997), hlm. 9-12.
54
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 20-40.
55
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism,
Globalism, 2nd Edition, (New York: Macmillan, 1993), hlm. 5-7.
26
dapat terjadi sehingga mampu menciptakan perdamaian. Karena itu salah satu
pemikir liberalis yang cukup dikenal adalah Immanuel Kant dengan pendapatnya
akan perpetual peace. 56 Pemikir beraliran liberalis antara lain Adam Smith,
Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan John Marnard Keynes. Walaupun banyak
perspektif ini menurut Viotti dan Kauppi adalah (1) aktor non negara juga sama
penting (dengan aktor negara) dalam hubungan internasional, (2) negara bukanlah
aktor yang uniter, (3) negara tidak selalu bertindak secara rasional karena terdapat
kompromi di dalam negara itu sendiri, dan (4) terdapat banyak isu dalam
Friedrich Engels pada tahun 1850an, pemikiran mereka berfokus lebih kepada
perspektif ini antara lain Lenin, Hobson, John Galtung dan Immanuel Wallerstein.
Fokus asumsi-asumsi perspektif ini menurut Viotti dan Kauppi adalah (1) analisis
utamanya adalah konteks global dimana terdapat negara dengan aktor lainnya
berinteraksi dan interaksi tersebut terstruktur mengikuti suatu pola tertentu, (2)
56
Baca Hans Reiss (ed.), Immanuel Kant: Political Writings, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1991).
57
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ hlm. 7-8.
58
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 74-90.
27
Marx, (3) globalis mengakui ada banyak aktor dalam hubungan internasional
yang dominan dan pihak yang dependen, serta (4) faktor yang paling penting
suatu kasus internasional. Di sisi lain, perspektif feminis juga akan digunakan
perempuan di wilayah konflik. Kedua feminis itu adalah Cynthia Enloe dan Susan
ini.
pemikiran penelitian ini dalam bukunya Bananas, Beaches and Bases. Frase “the
radikal. Menurut Enloe, frase itu juga bisa dibaca secara terbalik, bahwa sesuatu
59
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ 8-10.
60
Cynthia Enloe, Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International Politics,
(Berkeley: University of California Press, 1989), hlm. 195.
28
Lebih jauh lagi, Enloe menggambarkan bahwa hubungan jender juga
bahwa perempuan, terutama yang berada dalam kondisi tidak berdaya seperti
power-relations yang terjadi di dunia. Karena itu maka feminis harus mengubah
membahasnya dalam buku The Morning After: Sexual Politics at the End of the
bagian dari tindakan penekanan karena alasan dan dampaknya yang sangat
berbeda. Perkosaan di waktu perang banyak dilakukan oleh tentara menurut Enloe
adalah hasil dari sistem patriakal yang ditanamkan melalui militerisasi. 62 Sistem
ini tidak akan mampu berjalan jika laki-laki tidak menerima norma maskulinitas
dan perempuan tidak menerima norma feminimitas, hanya saja keadaan ini tidak
61
Ibid., hlm 18.
62
Cynthia Enloe, The Morning After: Sexual Politics at the End of the Cold War, (Berkeley:
University of California Press, 1993), hlm. 120-121.
63
Ibid., hlm. 168.
29
bahwa dalam perang Irak-Kuwait tahun 1991, perempuan kaya Kuwait memiliki
datang dari Asia. Karena pembantu tersebut lebih riskan untuk diperkosa oleh
majikannya sendiri, pasukan negara tempat dia tinggal (pasukan Kuwait) dan
Perempuan dalam konflik sering kali tidak turun langsung dalam peperangan dan
budaya dan genetik suku/agama/ras tertentu yang berbeda dari pihak musuhnya.
Perbedaan ini menjadi sangat kuat karena musuh melihat kemampuan reproduksi
genetik dari perempuan. Yang mana menjadikan perkosaan maupun segala bentuk
kekerasan lainnya terhadap alat reproduksi perempuan sebagai salah satu bentuk
penakhlukan, peperangan yang setipe dengan menyerang harta benda pihak lawan
64
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 14.
65
Ibid., hlm. 35.
30
Susan Brownmiller mengklasifikasikan 2 pendekatan dalam tindak
teror kekerasan terhadap pihak lawan dan sebagai suatu bentuk aksi keunggulan
power dari pihak lawan, dan (2) perkosaan terhadap perempuan untuk melakukan
aksi genosida yang bertujuan menghabiskan suatu suku etnik dengan memotong
garis keturunan. 66
perempuan
penunjukkan power
66
Ibid., hlm. 15-16.
31
8. Karena kemampuan reproduksi perempuan, perkosaan di wilayah konflik
dalam penelitian ini adalah bahwa alasan dari ketiga perspektif utama studi
kajiannya.
dan memberi kontribusi terhadap kajian HI secara lebih luas. Hipotesis kerja ini
Metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang melihat data
32
Perempuan FISIP UI, Central Srategic for International Studies, LSM-LSM
menurut periode waktunya, penelitian ini merupakan case study yang tidak
konflik terjadi di banyak wilayah di dunia dengan periode waktu berbeda. Karena
fokus kajiannya adalah pada fenomena kasus yang diaplikasikan pada kajian
(lima) bab.
Bab I
Bab II
33
maupun testimonial. Penulis mengambil contoh kasus perkosaan perempuan yang
mengenai kasus-kasus perkosaan yang terjadi di wilayah ini. Dari deskripsi di atas
Bab III
liberalis dan perspektif globalis. Setelah itu akan dikaji kelemahan perspektif-
BAB IV
34
bagaimana perspektif ini dapat berkontribusi bagi kajian HI secara luas. Hal ini
BAB V
Pada bab lima akan dijabarkan kembali secara singkat permasalahan dan
jawaban atas permasalahan tersebut. Dalam bab ini pula ditarik kesimpulan dari
35
BAB II
FENOMENA INTERNASIONAL
PERKOSAAN PEREMPUAN DI WILAYAH KONFLIK
Men should be trained as warriors and women as recreation for the warriors; anything
else is foolishness.
-Joseph Goebbels- 67
This is ethnic rape as an official policy of war … Rape under orders; not out of control,
under control. It is rape unto death, rape as massacre, rape to kill or to make victims wish
they were dead.
-Catherine MacKinnon- 68
merupakan salah satu komponen yang pasti ada di setiap perang. Kekerasan ini,
perempuan. 69 Di masa krisis yang terjadi saat konflik, penduduk sipil terutama
dalam keluarga karena mereka pergi berperang. Atau mereka terpaksa mengungsi
dari tempat tinggalnya tanpa ditemani anggota keluarga yang laki-laki. Hal ini
perlindungan tradisional.
kondisi saat konflik berlangsung lebih mendukung hal tersebut terjadi. Walau
67
Dalam Ruth Seifert, War and Rape: A Preliminary Analysis, (Prague: Women’s International
League for Peace and Freedom, 1992), hlm. 64.
68
Dalam Stephen Shute dan Susan Hurley, On Human Right: The Oxford Amnesty Lectures,
(Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 89-90.
69
Judy Benjamin dan Lynn Murchison, Gender Based Violence: Care & Protection of Children in
Emergencies, A Field Guide, (Liberia: Save the Children, 2002), hlm. 5.
36
tidak selalu ditujukan kepada individu tertentu, namun perempuan mengalami
pelanggaran hak asasi mereka karena di masa krisis, norma dan aturan sosial tidak
dipatuhi. Selain itu perkosaan, penyiksaan dan bebagai bentuk kekerasan lainnya
pada masa-masa ini norma masyarakat dan aturan hukum tidak dipatuhi.
Perkosaan di wilayah konflik juga terjadi karena adanya anggapan bias jender
bahwa dorongan seksual pada laki-laki adalah hal yang alami sementara
wilayah konflik idealnya tidak hanya dipandang sebagai tindakan seksual, namun
konflik melihat bahwa tindakan tersebut terjadi berkaitan dengan adanya konsep
bias jender atas “kehormatan” yang dianut secara luas di dunia. 71 Terdapatnya
laki-laki menjaga istri dan anak perempuan mereka. Sehingga di saat konflik
perempuan musuh.
konflik dapat dianggap sebagai fenomena yang didasari oleh latar belakang
70
Rhonda Copelon, “Gendered War Crimes: Reconceptualizing Rape in Time of War” dalam Julie
Peters dan Andrea Wollper (eds.), Women’s Rights, Human Rights, (New York: Routledge, 1995),
hlm. 197-213.
71
Astrid Aafjes, Gender Based Violence: The Hidden War Crime, (Washington DC: Women, Law
& International, 1998), hlm. 6-8.
37
tertentu dan terjadi luas di setiap konflik di dunia (widespread). Sayangnya,
perempuan yang menjadi korban tidak kekerasan ini juga tidak mungkin terhitung
konflik terjadi
72
Ruth Seifert, “War and Rape: A Preliminary Analysis” dalam Alexandra Stiglmayer (ed.), Mass
Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina, (London: University of Nebraska Press,
1994), hlm. 54-72.
38
6. Perempuan yang menjadi korban di pihak yang kalah kemungkinan
telah berganti dan hukum belum tentu berjalan seperti saat damai
Sejauh ini sejarah dimiliki oleh para pemenang perang dan mereka masih
menutupi tindakan perkosaan perempuan yang dilakukan oleh tentara mereka saat
mengangkat masalah perkosaan sebagai suatu kasus yang signifikan, terlihat dari
perang, yaitu di Yugoslavia dan Rwanda. Kediaman dunia internasional ini secara
perkosaan di wilayah konflik sehingga tidak menjadi kasus yang perlu dibenahi
dalam perang. 73 Kehilangan suara ini pada akhirnya akan membuat perempuan
korban semakin sulit untuk mendapatkan advokasi dan penanganan. Sementara itu
konflik di dunia dan tidak semua berhenti setelah perang usai. Di bawah ini adalah
peta yang menggambarkan di mana kekerasan berbasis jender terjadi baik di masa
73
Roy Porter, “Rape: Does It Have a Historical Meaning?” dalam Sylvana Tomaselli dan Roy
Porter, Rape, (London: Zed Books, 1986), hlm. 9.
39
Gambar I. Peta Kekerasan Berbasis Jender di Dunia
Kekerasan Berbasis Jender (Gender-Based Violence, GVB) di masa konflik, pasca konflik dan
wilayah pengungsian, data tahun 2004. 74 Peta ini tidak lengkap karena beberapa konflik di
kawasan Timur-Tengah dan Amerika Latin tidak dicantumkan, walau begitu tidak
ditemukan peta yang lebih komperhensif.
jarang sekali perkosaan perempuan mendapat tempat sebagai salah satu kajiannya.
Untuk itu maka dalam tulisan berikut ini akan digambarkan wilayah-wilayah
dunia. Sepuluh wilayah ini diambil secara acak dari kawasan-kawasan di dunia
Eropa, Afrika, Amerika Latin dan Asia. Tolak ukur utamanya adalah bukan
menjadi bagian yang mengakar dari konflik itu sendiri. Wilayah-wilayah konflik
74
Diakses dari “Systematic and Widespread Rape in Conflict” diakses dari
http://womenwarpeace.org diakses pada tanggal 15 Februari 2006 pukul 17.35 WIB.
40
yang dibahas dalam skripsi ini adalah Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Rwanda,
• Bosnia-Herzegovina
dan komunitas tempat ia berada Keadaan ini terlihat dalam konflik Bosnia-
dalam konflik.
75
Vesna Kesic, “The Status of Rape as War Crime in International Law: Changes Introduced After
War in Yugoslavia and Rwanda” diakses dari http://www.seeline-project.net/status_rape.htm pada
tanggal 2 Januari 2006 pukul 18.10 WIB.
41
Hingga konflik berakhir tahun 1992, laporan PBB menyebut
Melalui Resolusi no. 808 dan 872 tahun 1993, Dewan Keamanan
dimasukkan sebagai salah satu kejahatan perang dan baik pelaku maupun
• Kosovo
76
Report on the Situation of Human Rights in the Territory of the Former Yugoslavia. Geneva,
Switzerland: United Nations; 1993. United Nations document E/CN.4/1993/50.
77
Christine Chinkin, “Rape and Sexual Abuse of Women in International Law” dalam Journal of
International Law, Vol. 5, No. 2, Tahun 1994, hlm. 11.
42
Etnis Albania merupakan mayoritas penduduk di Kosovo dengan
mengusir tentara Serbia namun konflik belum usai karena etnis Albania
78
Lepa Mladjenovic dan Donna M. Hughes, “Feminist Resistance to War and Violence in Serbia”
dalam Frontline Feminisms, (London: Garland Press, 1999), hlm. 3.
79
“Kosovo” diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Kosovo pada tanggal 1 Mei 2006 pukul
21.05 WIB.
80
United Nations General Assembly, Review of Reports, Studies and Other Documentation for the
Preparatory Committee and the World Conference, (New York: Department of Public Information
United Nations, 2001), hlm. 30.
43
belum usai. 81 Perkosaan perempuan terjadi dengan laki-laki Albania
dua kekerasan dalam hidupnya. Pertama kali adalah saat tindak perkosaan
Kode Leke Dukajini yang merupakan hukum adat semenjak abad ke-15
keluarga dan dianggap lebih baik untuk meninggal atau bunuh diri
• Rwanda
perempuan dari satu suku tertentu diperkosa oleh laki-laki dari suku lain
jika ia hamil, maka anak dari perempuan itu tidak termasuk dalam suku
81
“Kosovo”, Log. Cit.
82
Gordana Igric, “Kosovo Rape Victims Suffer Twice” diakses dari
http://www.motherjones.com/news/special_reports/total_coverage/kosovo/victims.html pada
tanggal 1 Mei 2006 pukul 21.15 WIB.
83
Ibid.
84
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 31
44
Pada bulan April hingga Juli 1994 kelompok ekstrimis Hutu yang
(mencuci, memasak, dsb); dan mutilasi seksual. Walau begitu, tak sedikit
1998 tercatat bahwa terdapat juga perempuan Tutsi yang diperkosa dan
85
Selengkapnya baca Human Rights Watch, Leave No One to Tell Story: Genoside in Rwanda,
(New York: Human Rights Watch, 1999).
86
Human Rights Watch, Struggling to Survive: Barriers to Justice for Rape Victims in Rwanda,
New York: Human Rights Watch, 2004), hlm. 7.
45
nyawa mereka. 87 Pada tahun 1994 dibentuk International Criminal
Tribunal for Rwanda (ICTR) oleh Dewan Keamanan PBB yang pertama
• Kongo
dari dalam negara, seperti milisi lokal pemberontak Mayi Mayi. Ada juga
yang datang dari luar seperti pasukan bersenjata Rwanda FAR dan milisi
Tentara dan milisi dari negara tetangga ini sejak tahun 2002
menguasai ibu kota dari Kivu Selatan yaitu Bukavu. Mereka menyisir
87
Clotilde Twagiramariya dan Meredeth Turshen, “Favours’ to Give and ‘Consenting’ Victims:
The Sexual Politics of Survival in Rwanda” dalam Clotilde Twagiramariya dan Meredeth Turshen
(eds.), What Women Do in Wartime: Jender and Conflict in Africa, (New York: Zed Books, 1998),
hlm. 104-109.
88
Jan Goodwin, “Silence=Rape” diakses dari http://www.thenation.com/doc/20040308/goodwin
pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 01.05 WIB.
46
meneteskan lelehan karet ke atas payudara, memperkosa perempuan di
secara periodik).
• Sierra Leone
47
ibukota Sierra Leone, Freetown. RUF menangkap tentara dan polisi
Leonean Army dan membuat kudeta tahun 1997, sering disebut juga
sebagai West Side Boys), selain itu aparat sipil Kamajors dan tentara
kesepakatan itu pada Mei 2000, Human Rights Watch mencatat 225 kasus
ini telah mengalami tindak perkosaan dan terdapat 200 jumlah kehamilan
91
“Sierra Leone: Getting Away with Murder, Mutilation, Rape, New Testimony from Sierra
Leone” diakses dari http://www.hrw.org/reports/1999/sierra/ pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 22.15
WIB.
92
“Sexual Violence within the Sierra Leone Conflict” diakses dari
http://www.hrw.org/backgrounder/africa/sl-bck0226.htm pada tanggal 27 Desember 2005 pukul
15.55 WIB.
93
Ruf Rebbels, “Human Rights Abuses Committed in Sierra Leone” diakses dari
http://www.hrw.org/reports/1999/sierra/SIERLE99-03.htm#P787_134882 pada tanggal 1 Mei
2006 pukul 21.30 WIB
94
Ibid.
48
kurangnya kepercayaan atas sistem pengadilan kejahatan perang dan
• Guatemala
perang.
Salah satu peristiwa besar yang terjadi adalah pada tahun 1982 saat
provinsi Baja Verapaz, diculik dari rumah dan digiring ke gunung. Di sana
terjadi sebanyak 600 kali dan memakan korban setidaknya 200.000 jiwa,
walau begitu tidak terdapat data konkrit jumlah perempuan Maya yang
95
Michael McClintock, The American Connection, (London: Zed Books, 1985), hlm. 245.
96
Jennifer Herbury, “War Crimes: Women Begin to Speak, The Rape of Indigenous Women in the
1970s-1980s Guatemala Civil War” diakses dari
http://www.libertadlatina.org/LatAm_Guatemala_Indigenous_Rape_In_Civil_War.htm pada
tanggal 1 Mei 2006 pukul 22.55 WIB
49
menjadi korban perkosaan. 97 Tindakan perkosaan dibangun juga dengan
pola perekrutan paksa laki-laki muda yang kemudian ditekan untuk turut
tersebut dibenci oleh masyarakat sipil dan tak memiliki rumah untuk
pulang kecuali militer itu sendiri. Perkosaan perempuan dalam kasus ini,
taktik intimidasi.
jarang dianggap sebagai bagian berarti dari konflik di Guatemala. Hal ini
kekerasan dan perkosaan dilakukan secara brutal agar suku Indian tidak
suku Indian yang masih tersisa memiliki budaya yang menutupi tindakan
korban. 99
• Kuwait
97
Victoria Stanford, Buried Secret: Truth and Human Rights in Guatemala, (New York: Palgrave
Macmillan, 2003), hlm. 8.
98
Catherine Nolin Hanlon dan Finola Shankar, “Jendered Spaces of Terror and Assault: The
Testimonio of Remhi and the Commission for Historical Clarification in Guatemala” dalam
Jender, Place and Culture: A Journal of Feminist Geography, Vol. 7, No. 3, Tahun 2000, hlm.
265.
99
Julie A. Hastings, “Silencing State-Sponsored Rape: In and Beyond a Transnational Guatemala
Community” dalam Violence Against Women, Vol. 8, No. 10, Tahun 2002, hlm. 1153.
50
Perang Teluk I berkecamuk mulai pertengahan tahun 1990 saat
perempuan menjadi korban perkosaan dalam konflik saat itu. Buku ini
tersebut.
tangga di negara itu. Posisi mereka lebih rentan karena jauh dari keluarga
100
Raymond Bonner, “Report from Kuwait: A Women’s Place” dalam The New Yorker, 16
November 1992, hlm. 55-56.
101
Jean P. Sasson, The Rape of Kuwait: The True Story of Iraqi Atrocities Against a Civilian
Population, (London: Knightsbridge Pub. Co, 1991).
51
dan tidak mendapat perlindungan resmi dari pemerintah Kuwait. 102 Selain
itu, kasus perkosaan yang juga mendapat sorotan terjadi pada Mayor
Kuwait yang diculik oleh tentara Irak. Saat ia kembali awalnya Cornum
• Uganda
Uganda serta etnis Acholi. 104 Pihak ini berseteru dengan National
102
Chris Hedges, “Foreign Maids in Kuwait Fleeing by the Hundreds” dalam New York Times, 24
Februari 1993.
103
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 188-190.
104
Denise Lifton, “Northen Uganda Brutal War: Murder, Rape, Abductions and Mutilations in the
Name of Ten Commandments”diakses dari http://www.worldhunger.org/articles/africa/lifton.htm
pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 22.45 WIB.
52
Kekerasan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari di Uganda
korban perkosaan dari kedua kubu namun tidak dianggap sebagai suatu
relasi laki-laki dari korban. Karena jenis perang yang dilakukan adalah
gerilya maka pihak yang tidak bersembunyi di hutan, yaitu istri maupun
berkuasa sejak tahun 1986. Terdapat belasan perkosaan setiap harinya saat
• Darfur, Sudan
105
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 283.
106
“Uganda Conflict Worse than Iraq” diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3256929.stm
pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 22.30 WIB.
53
Perkosaan digunakan sebagai senjata dari perang genosida seperti
yang terjadi di Darfur, bagian barat Sudan. Konflik ini didasari oleh
pertentangan etnis dimana terdapat populasi orang hitam non Arab dari
suku Fur, Masalit dan Zaghawa melawan suku Arab Baggara mulai dari
abad ke-13 dan sudah mengalami 2 kali perang sebelum ini. Perang
hitam non Arab. Kemudian lahirlah milisi dari orang-orang non Arab yaitu
(SLM). 107
dilakukan oleh tentara dan milisi, bahkan menolak bahwa hal tersebut
107
“Darfur Conflict” diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Darfur_conflict pada tanggal 1 Mei
2006 pukul 22.25 WIB.
108
Joanne Mariner, “The War Crime of Rape in Darfur: The Least Condemned War Crime”
diakses dari http://www.cnn.com/2004/LAW/10/27/rape.darfur/ pada tanggal 18 Januari 2006
pukul 13.15 WIB.
109
United Nations High Commissioner for Human Rights, Access to Justice for Victims of Sexual
Violence, (New York: Department of Public Information United Nations, 2005), hlm. 28-29.
54
polisi datang bersama ambulans dan 3 dokter dari Departemen Kesehatan
Hingga tahun 2006 konflik Darfur belum usai. Dewan Keamanan PBB
2006. 111
• Myanmar
State Kaw and Order Restoration Council (SLORC) tahun 1962 dan
55
membuat organisasi. 112 Anggota-anggota SLORC atau di masyarakat
etnis minoritas seperti suku Karen, Karenni dan Shah namun perempuan
lokal lainnya juga menjadi korban perkosaan sebab mereka tidak berdaya
dan sifat konflik yang tertutup dimana tindak perkosaan sulit sampai ke
terjadi pada diri mereka. 115 Hal ini sering terjadi bila pelaku dianggap
112
“Myanmar Backgrounder: Ethnic Minority Politics” dalam Asia Report, No. 52, Mei 2003,
hlm. 2.
113
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Log. Cit., hlm. 28-29.
114
Ibid., hlm. 31.
115
“Myanmar: Imprisonment of Two Rape Victims” diakses dari
http://www.omct.org/base.cfm?cfid=1433037&cftoken=910393&page=article&consol=close&ro
ws=3&num=4813&kwrd=EQL pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 23.05 WIB.
56
Sepuluh wilayah di atas, yaitu Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Rwanda,
Kongo, Sierra Leone, Guatemala, Kuwait, Uganda, Darfur dan Myanmar ini
yang terjadi di wilayah-wilayah ini juga terjadi di setiap wilayah konflik di dunia
walaupun dapat saja didasari dengan motif yang berbeda. Tapi yang pasti,
fungsinya tersendiri.
menyatakan bahwa perang adalah aktivitas yang terjenderisasi. 116 Menurut Moser
laki-laki dan perempuan, beserta power relations, identitas, stereotipe dan akses
yang berbeda dalam perang. Karena sifat konstruksi ideologi yang massal dan
ini terjadi karena suatu sebab, dan seperti layaknya kekerasan yang berbasis atas
116
Caroline Moser, “The Gendered Continuum of Violence and Conflict: An Operational
Framework” dalam Caroline Moser dan Fiona Clark (eds.), Victims, Perpetrators or Actors?
Gender, Armed Conflict and Political Violence, (London: Zed Books, 2001), hlm. 30-51.
57
Menurut pengkaji perang dan jender di India, Anuradha M. Chenoy, dalam
konflik bersenjata perempuan berada dalam 6 posisi yaitu sebagai (1) korban dan
pengungsi, (2) relasi kombatan, (3) pendukung pergerakan, (4) kombatan yang
dipersenjatai, (5) pendukung kehidupan, dan (6) pembuat perdamaian. 117 Lima
dari enam posisi ini menunjukkan perempuan yang bukan kombatan, justru rentan
terjadi karena sebab tertentu. Perkosaan di wilayah konflik terus terjadi karena
melakukan perkosaan tidak hanya sebagai aksi seksual tapi juga untuk
konflik. Salah satunya terjadi pada perang saudara di Liberia. Pada tahun
117
Chenoy, Op. Cit., hlm. 478.
118
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 31-33.
119
Seifert (1994), Op. Cit., hlm. 54-72.
58
2003 pemberontak Liberian United for Reconciliation and Democracy
Voinjama:
120
“Liberia: War Leaves No Respect for Age in Voinjama, Northren Liberia” diakses dari
http://www.irinnews.org pada tanggal 15 Februari 2006 pukul 18.05 WIB.
121
Amnesty International, Human Rights are Women’s Rights, (London: AI, 1995), hlm. 23.
59
b) Perkosaan untuk menghancurkan moral individu, keluarga dan
dianggap sebagai sesuatu yang harus dijaga baik oleh individu perempuan,
Perasaan malu dan tertekan ini dapat dihadapi bersama ataupun juga
dianggap memberi aib. Salah satu kasus terjadi di Kongo yang diserang
milisi Congolese Rally for Democracy (CRD). Di bawah ini adalah salah
122
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 4.
60
Adalah lebih baik jika saya mati bersama bayi dalam
123
kandungan saya.”
tersebut terlalu lemah untuk membela. Hal tersebut terlihat dari testimoni
Seifert dan Sideris, menyebut keadaan ini sebagai politik tubuh 125 yang
tindakan yang ingin atau tidak ingin dilakukannya, termasuk memilih ayah
123
“Women’s Lives and Bodies – Unrecognized Casualties of War” diakses dari
http://news.amnesty.org/index/ENGACT770952004 pada tanggal 27 Desember 2005 pukul 10. 15
WIB.
124
Amnesty International, “Sudan, Darfur”, Op. Cit., hlm. 10.
125
Seifert, Op. Cit., hlm. 58.
61
perempuan ini tidak dihargai karena perempuan tidak memiliki
Fungsi perkosaan ini terjadi secara luas di konflik etnis, antara lain
Zagreb, Kosovo dan Rwanda. Di bawah ini adalah cerita dari perempuan
medan perang yang simbolik. 127 Tubuh perempuan bagi pihak lawan
126
Mladjenovic dan Hughes, Op. Cit., hlm. 5.
127
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 31.
62
menghentikan reproduksi budaya sekaligus menghancukan kebudayaan di
Afrika. Di bawah ini adalah kisah seorang warga Sudan saat desanya
yang suci dan harus dijaga maka pihak lawan semakin memiliki dorongan
128
Ibid., hlm. 2-31.
129
Wawancara dilakukan oleh Amnesty Internasional di penampungan pengungsi Goz Amer di
Chad. Dalam laporan Amnesty International tanggal 19 Juli 2004, “Rape as a Weapon of War in
Darfur” diakses dari http://web.amnesty.org/ pada tanggal 15 Februari 2006 pukul 15.15 WIB.
63
keluarga dengan darahnya, barulah nama baik keluarga
130
kembali.”
tersebut. Hal ini dapat terjadi dengan 2 jalan, pertama melalui tindakan
asalnya.
tahun kakak perempuannya diculik dari rumah oleh para milisi dan baru
130
Jillian M. Weise, “Rape as a Strategy of War: The Sexual Assault of Kosovar Albanian Women
in 1999” diakses dari http://garnet.acns.fsu.edu/~whmoore/JillianWeise.pdf pada tanggal 1 Mei
2006 pukul 23.10 WIB.
131
T. Sideris, “Rape in War and Peace: Social Context, Jender, Power and Identity” dalam S.
Meintjes, A. Pillay dan M. Turshen, The Aftermath: Women in Post-Conflict Transformation,
(London: Zed Books, 2001), hlm. 142-157.
64
memperkosanya berkali-kali, tapi saya belum tahu apa itu
perkosaan. Setelah itu paman mencukur habis kepala saya
dan menyuruh saya menggunakan celana panjang. Ketika
saya berjalan ke sekitar kamp saya melihat beberapa
perempuan di bawah 12 tahun tergeletak di tanah dengan
darah keluar di antara kakinya. Mereka begitu sampai ada
132
keluarga mereka yang mengambil.”
kekerasan lainnya. Hal ini juga dirasakan oleh Clementine (bukan nama
132
“Eyewitness: Sierra Leone’s Rape Ordeal” diakses dari
http://newswww.bbc.net.uk/1/hi/world/africa/2665103.stm pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 23.45
WIB.
133
Amnesty International, Rwanda: Marked for Death, Rape Survivors Living with HIV/AIDS in
Rwanda, (London: AI, 2004), hlm. 7.
65
Fungsi ini dilakukan di hampir seluruh konflik. Salah satunya
134
Rebecca Winters, Buibere: The Voice of East Timorese Women, (Darwin: East Timor
International Support Center, 1999), hlm. 6.
135
Jackie Martens, “Congo Rape Victims Seek Solace” diakses dari
http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/3426273.stm pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 23.30 WIB.
66
g) Perkosaan untuk menghentikan perempuan berkontribusi dalam
konflik
tidak bisa menjalani kehidupannya seperti biasa. Selain itu perkosaan juga
mana pun di dunia. Berikut ini adalah kesaksian dari konflik yang
136
Meredith Turshen, “The Political Economy of Rape: An Analysis of Systematic Rape and
Sexual Abuse of Women During Armed Conflict in Africa” dalam Caroline Moser dan Fiona
Clark (eds.), Victims, Perpetrators or Actors? Jender, Armed Conflict and Political Violence,
(London: Zed Books, 2001), hlm.55-68.
137
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Op. Cit., hlm. 33.
67
Selain itu perkosaan juga dilakukan terhadap perempuan karena
mereka memiliki peran sosial dalam masyarakat. Hal ini dilontarkan oleh
Jenis Semua Semua jenis Konflik Konflik Semua Semua jenis Semua jenis
Konflik jenis konflik etnis dan etnis dan jenis konflik konflik
konflik agama agama konflik
138
Jennifer Harbury, “War Crimes: Women Begin to Speak, The Rape of Indigenous Women in
the 1970’s-1980’s Guatemalan Civil War” dalam Cerigua Weekly Briefs, No. 48, 11 Desember
1997 diakses dari
http://www.libertadlatina.org/LatAm_Guatemala_Indigenous_Rape_In_Civil_War.htm pada
tanggal 1 Mei 2006 pukul 12.05.
68
Perkosaan perempuan terus terjadi di dalam perang karena fenomena
fenomena tersebut turut dikaji menggunakan latar belakang teoritis. Tidak banyak
ahli konflik mengkaji perkosaan sebagai suatu kasus yang serius dan tersebar luas
(widespread) karena posisinya yang dianggap tidak memainkan peran yang besar
maupun taktik perang. Padahal seperti yang tertera dalam tabel, perkosaan
menjalankan fungsi-fungsi yang tak hanya berlaku pada saat konflik terjadi
lebih dari altileri perang konvensional karena dampaknya tidak hanya dirasakan
oleh perempuan yang menjadi korban tapi juga keluarga dan komunitasnya.
Selain itu, trauma yang ditimbulkan dari suatu perkosaan juga masih dapat
mengangkatnya ke tataran kajian dan pembahasan maka dapat dicari solusi untuk
69
BAB III
KAJIAN PERSPEKTIF-PERSPEKTIF UTAMA HUBUNGAN
INTERNASIONAL TERHADAP FENOMENA PERKOSAAN
PEREMPUAN
DI WILAYAH KONFLIK
Noticed that the word woman scarcely ever crossed the lips of political science lecturers
-Cynthia Enloe- 139
Women are excluded from war talk; men, from baby talk
-Jean Bethke Elshtain- 140
konflik di dunia, sehingga pada bab ini penulis berusaha untuk memasukkan
perspektif teori hubungan internasional yang dianggap sesuai dengan kasus yang
suatu keadaan, isu dan proses tertentu. Dapat dikatakan bahwa perspektif adalah
sudut pandang yang digunakan dalam menganalisa suatu fenomena 141 dan
139
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 228.
140
Jean Bethke Elshtain, Women and War, (New York: Basic Books, 1987), hlm. 225.
141
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 5.
70
menjelaskan kenyataan yang terjadi, namun membentuk fenomena itu sendiri.” 142
Kuhn menyatakan hal ini karena ia melihat bahwa perspektif akan mempengaruhi
para pemikir untuk melihat suatu isu dari sudut yang spesifik, yang mana pada
paradigma akan menghasilkan interpretasi dan rasionalisasi dari suatu isu. 143
yang disebut sebagai “perdebatan ketiga” (the third debate) mengenai perspektif
berpikir yang ada. Bergantinya satu perspektif dengan yang lain dijelaskan oleh
Berangkat dari ilmu pengetahuan bisa salah (fallible), manusia hanya bisa maju
dengan belajar dari kesalahan dalam pemecahan masalah sehingga terjadi uji
teori, dimana teori yang gugur akan tergantikan teori baru. 145
Persepsi ilmu pengetahuan bisa salah dari Popper disetujui oleh Thomas
142
Garis miring disadur dari tulisan asli. Thomas Kuhn, Structure of Scientific Revolutions,
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), hlm. 140.
143
Ibid., hlm. 44.
144
Christine Sylvester, Feminist International Relations: An Unfinished Journey, (Cambridge:
Cambridge Studies in International Relations, 2002), hlm. 5-6.
145
Popper percaya akan adanya kebenaran objektif dan manusia berdebat menggunakan nalarnya
untuk mencapai kebenaran. Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R.
Popper, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 31. Namun secara lebih lengkapnya mengenai
observasi manusia dan sifat kritis dari logika, baca Karl R. Popper, The Open Society and Its
Enemies I, II¸ (London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1961) serta Karl R. Popper, The Logic of
Scientific Discovery, (New York: Harper & Row, 1968).
71
simultan dengan penerimaan paradigma lain. 146 Perbedaannya terletak pada Kuhn
lebih percaya pada terjadinya revolusi dari satu pemikiran tergantikan dengan
yang lain untuk dapat mengakomodasi isu sesuai dengan berkembangnya keadaan
merupakan suatu proses koreksi atas suatu teori oleh teori lainnya menghadapi isu
yang tak ada habisnya. Pendapat Popper maupun Kuhn sama-sama dapat
dari sisi pengkaji ilmu. Dalam skripsi ini penulis menggunakan pemahaman
Thomas Kuhn yang lebih menyoroti sisi politik dari penerimaan mainstream
apa yang sepatutnya diangkat menjadi isu utama kajiannya. Pemikir terdahulu
percaya bahwa ilmu ini dimaksudkan untuk memahami sebab perang dan mencari
cara ideal interaksi antar negara agar dapat mempertahankan perdamaian jangka
panjang. Pemikiran ini disebut sebagai idealisme atau utopianisme yang tumbuh
pada akhir Perang Dunia I tahun 1930an. 147 Pemikiran ini ditentang oleh
pemikiran realis yang mempercayai keadaan dunia sebagai anarkis dimana setiap
pertama (the first debate) dalam kajian hubungan internasional. Terjadinya Perang
72
internasional. 148 Tujuan ilmu hubungan internasional kemudian dianggap sebagai
pokok bahasan sosial lainnya yang lebih luas guna untuk memahami pola
kajian pada perlunya pendekatan ilmu pengetahuan yang dapat dikuantifisir dalam
Pada era 1970an realis dihadapkan dengan perspektif liberalis yang telah
berkembang luas dengan pokok kajian perluasan power. Hal ini timbul dari
perspektif globalis yang berakar dari pemikiran Marxist juga naik ke permukaan
148
Tanda kutip disadur dari tulisan asli. Jill Steans, Gender and International Relations: An
Introduction, Cambridge: Polity Press, 1998), hlm. 33.
149
Terry Terriff et. all., Op. Cit., hlm. 13-14.
150
Jill Steans, Op. Cit., hlm. 34.
73
yang berbeda pada tahun 1980an inilah yang kemudian menjadi “perdebatan
ketiga” (the third debate). 151 Perspektif realis, liberalis dan globalis merupakan
sudut pandang utama dan mendominasi dalam kajian hubungan internasional yang
ada hingga sekarang. Ketiga perspektif inilah yang akan mencoba mengangkat
internasional. Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi menelaah perspektif ini dan
berikut: (1) negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional, (2) negara
dilihat sebagai aktor yang uniter, (3) negara bertindak secara rasional, dan (4) isu
yang diutamakan adalah keamanan nasional. 152 Pemikiran realis lahir dan tumbuh
pada masa perang sehingga melihat dunia berada dalam kondisi anarki serta
polis-polis di jaman Yunani, yaitu Athena dan Sparta, yang menunjukkan logika
151
Terdapat beberapa pendapat mengenai the third debate. Yang pertama menyatakan bahwa
perdebatan ini merupakan neorealis dengan neoliberal yang diajukan oleh Kenneth Waltz dalam
bukunya Theory of International Politics, (Reading, MA: Addison-Wesley, 1979). Yang kedua
adalah perdebatan antara positivis dengan post-positivis yang diajukanYosef Lapid, “The Third
Debate: On the Prospects of International Theory in Post-Positivist Era” dalam International
Studies Quarterly, Vol. 33, No. 3, Tahun 1989, hlm. 235-254. Yang ketiga dan yang paling luas
diterima adalah perdebatan antara realis, liberalis dan globalis yang diajukan oleh Michael Banks,
“The Inter-Paradigm Debate” dalam Margot Light dan John Groom (eds.), International
Relations: A Handbook of Current Theory, (London: Pinter Publishing, 1985), hlm. 7-26. Yang
digunakan oleh penulis adalah pemikiran the third debate ketiga karena paling luas diterima dalam
kajian hubungan internasional.
152
Viotti dan Kauppi, Op. Cit., hlm. 5-7.
74
kekuatan politik, yaitu mengejar power dan kepentingan nasionalnya. 153
dengan tulisannya The Prince. 154 Ia menulis The Prince sebagai manual praktis
menyerang satu sama lain sehingga tak sedikit yang menganggap tulisannya
kejam:
Leviathan. 156 Di dalam buku itu ia menulis tentang keadaan natural dunia adalah
dalam bahasa Hobbes) menjalankan kesepakatan, dengan teror dan hukuman yang
lebih besar dari keuntungan yang mereka dapatkan jika melanggar kesepakatan.157
Oleh karena itu diperlukannya adanya Leviathan yakni penguasa, seperti yang
dilakukan negara terhadap rakyatnya. Namun secara internasional hal ini tidak
153
“The Peloponnesian War” dalam Nye, Jr., Op. Cit., hlm. 9-12. Karya lengkapnya dapat dibaca
dalam Thucydides (terj. Rex Warner), History of the Peloponnesian War, (New York: Penguin
Books, 1982).
154
Niccolo Machiavelli, The Prince and The Discourses, (New York: Modern Library, 1950).
155
Ibid., hlm. 2.
156
Thomas Hobbes, Leviathan, (New York: Collier Macmillan, 1974).
157
Ibid., hlm. 113.
75
bisa terjadi karena situasi anarki, yaitu ketiadaan kekuasaan hegemoni yang
mengikat seluruh negara di dunia. Grotius menulis pemikirannya dalam buku Law
of War and Peace (1625) yang mengusulkan bahwa dasar dari hukum adalah
“hukum natural” yang general sehingga memiliki dasar mengikat. Dengan idenya,
Grotius menunjukkan bahwa baik dalam perang dan damai, dibutuhkan power dan
values. 158
Pemikiran realis secara umum berfokus pada perang, begitu juga yang
dilakukan oleh pemikir Carl von Clausewitz (1780-1831) yang juga mendukung
politik dengan cara yang lain.”159 Ia juga menambahkan bahwa militer, bersamaan
dengan dukukan sosial ekonomi, merupakan bagian dari kapabilitas suatu negara.
Buku The Twenty Years’ Crisis 1919-1939 karya Edward Hallett Carr
pendapat liberalis dan idealis yang dianggapnya terlalu naif karena menutupi
158
Viotti dan Kauppi, Op. Cit., hlm. 41-42.
159
Carl von Clausewitz (terj. Michael Howard dan Peter Paret), On War, (New Jersey: Princeton
University Press, 1976), hlm. 87.
76
mendapatkannya. 160 Carr juga mengkaji bahwa negara yang sudah memiliki
Hubungan power antar negara dielaborasi lebih jauh lagi oleh Hans
tentang balance of power yang melihat bahwa hubungan antar negara memiliki 4
kriteria di bawah ini yaitu (1) terdapat kebijakan yang ditujukan dalam bidang-
bidang tertentu interaksi negara, (2) adanya tujuan dari interaksi antar negara, (3)
dalam interaksi tercipta distribusi power yang bila dimiliki secara seimbang maka
akan membangun balance of power seperti pada posisi Amerika Serikat dan Uni
Soviet saat Perang Dingin, dan (4) distribusi power manapun akan menghentikan
penggunaan power dan menahannya ketika terdapat kedua power yang seimbang.
internasional. Mereka antara lain adalah Kenneth Waltz, Hedley Bull, K.J.
Holsti, Barry Buzan dan Robert Gilpin. Dari pemikiran-pemikiran ahli di atas,
Jill Steans dan Lloyd Pettiford menyatakan bahwa ciri-ciri utama dari perspektif
160
Edward Hallett Carr, The Twenty Years Crisis, 1919-1939, (London: Macmillan and Co.,
1962), hlm. 93.
161
Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle of Power and Peace, 4th ed., (New
York: Alfred A. Knopf, 1966).
162
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 25.
77
4. Agresivitas negara, digabungkan dengan tak adanya pemerintahan dunia
mengakibatkan konflik sebagai realitas yang selalu ada di dunia internasional
5. Suatu keteraturan dan keamanan dapat dijaga dengan pembentukan aliansi antar
negara sehingga mencegah satu negara menjadi sangat kuat dan mengancam
keberadaan negara lain
6. Institusi dan hukum internasional menjalankan peran dalam hubungan
internasional
Lebih lanjut Steans dan Pettiford melihat bahwa dalam mengkaji suatu
163
Ibid., hlm. 28-29.
78
(3) Yang menjadi masalah adalah ketidakadaannya kekuasaan
sentral di tataran hubungan internasional sehingga
menimbulkan anarki dan ketidakamanan
dilihat fokus perspektif ini terletak pada negara, negara mengatur manusia yang
berada dalam wilayahnya, terdapat hubungan power antar negara, negara akan
kekuasaan yang mengatur kedaulatan negara, oleh karena itu konflik merupakan
keadaan natural yang ada di dunia sehingga patut dikaji. Konflik yang diamati
realis berada dalam tataran antar negara yang berada dalam sistem internasional
yang anarkis. Oleh karena itu maka negara dalam perspektif realis akan selalu
power relations yang tidak imbang secara historis antara perempuan dan laki-laki,
perempuan di wilayah konflik maka akan terlihat perempuan berada dalam posisi
yang tidak aman terhadap laki-laki. Posisi ini dibentuk secara sosial melalui
164
Definisi perkosaan dapat dilihat pada bab 1 hlm. 20 atau dalam buku Arimbi Heroepoetri dan
R. Valentina, Percakapan Tentang Feminis VS Neoliberalisme, (Jakarta: Debtwatch Indonesia,
2004), hlm. 65.
165
Poin 118 Deklarasi Beijing, United Nations, Beijing Declaration and Platform for Action with
the Beijing+5 Political Declaration and Outcome Document, (New York: Department of Public
Information United Nations, 2001), hlm. 75.
79
hubungan power yang tidak imbang dan berdampak ke keadaan pragmatis di
mana saat damai perempuan lebih banyak di wilayah domestik dan laki-laki di
wilayah publik termasuk militer, sementara saat perang laki-laki lebih banyak
dialami secara kolektif, melihat bahwa terdapat hubungan power yang tidak
imbang antara perempuan dan laki-laki, perempuan berada dalam posisi yang
166
Fungsi perkosaan perempuan di wilayah konflik telah dijabarkan pada bab 2 hlm. 19-30.
80
Fokus pada
negara - - - - - - -
Negara
mengatur - - - - - - -
manusia
Terdapat
hubungan - - - - - - -
power antar
negara
Negara
memaksimalkan
tindakannya
untuk meraih
- - - - - - -
kepentingan
nasional
Tidak ada
kekuasaan yang - - - - - - -
mengatur
kedaulatan
negara
Konflik
merupakan - - - - v - -
keadaan natural
di dunia
sehingga patut
dikaji
Negara berada
dalam posisi - - - - - - -
tidak aman
terhadap
ancaman negara
lain
laki-laki dan perempuan yang tidak imbang sebagai dasar terjadinya kekerasan
dan posisi perempuan yang tidak aman, perlunya menangani masalah ini secara
serius baik dari segi hukum internasional maupun kajian hubungan internasional
81
karakteristik yang dapat dipenuhi oleh perspektif ini. Sehingga perspektif realis
berbagai aktor dalam dunia internasional dan menganggap mereka sama penting,
berbeda dengan realis yang menganggap negara adalah aktor utama, Asumsi-
asumsi dasar dari perspektif ini menurut Viotti dan Kauppi adalah (1) aktor non
negara juga sama penting (dengan aktor negara) dalam hubungan internasional,
(2) negara bukanlah aktor yang uniter, (3) negara tidak selalu bertindak secara
rasional karena terdapat kompromi di dalam negara itu sendiri, dan (4) terdapat
banyak isu dalam hubungan internasional, yaitu keamanan, ekonomi, sosial dan
lingkungan. 167 Perspektif liberalis lahir pada masa-masa damai ataupun saat
negara berada dalam posisi yang mengungkung rakyatnya sehingga lebih percaya
perekonomian dijalankan oleh individu dan tidak dihambat oleh negara. Karena
167
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ hlm. 7-8.
168
Ibid.¸ hlm. 231.
82
setiap individu akan menjalankan ekonomi dan menciptakan keharmonisan
perdagangan.
kolektif semua manusia ini pada akhirnya mampu menciptakan apa yang terbaik
bagi mereka tanpa campur tangan pemerintah. Terlihat bahwa kapitalisme yaitu
sistem ekonomi sosial yang mementingkan individu dan pasar merupakan bagian
Amerika Serikat dan Inggris pada masa Perang Dingin dan menyebar ke seluruh
negara kekuasaan tidak terpusat pada sekelompok kecil politisi dan elit militer.
Dalam sistem ini penguasa harus memberi perhatian terhadap pendapat publik
169
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Cause of Wealth of Nations, (London: JM. Dent,
1910).
170
David Ricardo, The Principles of Political Economy and Taxation, (Harmondsworth: Penguin
Books, 1971).
171
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 49-50.
172
“A Reader’s Guide to ‘Isms’” dalam David N. Balaam dan Michael Veseth, Introduction to
International Political Economy, (New Jersey: Prentice Hall, 1996), hlm. 18.
83
domestik yang mampu bertindak sebagai penghambat negara untuk maju
berperang. Ahli yang melahirkan pemikiran ini adalah John Locke dengan
mempercayai pentingnya peran serta individu dalam politik dan peran negara
yang dibatasi hanya sebagai pengatur kestabilan politik, sosial dan ekonomi.
Dengan pemikiran ini maka individu dapat berinteraksi dengan bebas dan
(1) negara sebagai penguasa yang netral, (2) adanya potensi keharmonisan
kepentingan yang tercipta secara natural, dan (3) partisipasi dan perhatian publik
sehingga pengambilan keputusan tidak semata berada di tangan elit politik. 174
173
John Locke, “An Essay Concerning the True, Original Extent and End of Civil Government:
Second Treatise on Government” dalam John Locke, et. all, Social Contract, (London: Oxfor
University Press, 1962).
174
Theodore J. Lowi, The End of Liberalism: Ideology, Policy, and the Crisis of Public Authority,
(New York: Norton, 1969), hlm. 48 dan 71.
175
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ hlm. 231.
176
Immanuel Kant, Perpetual Peace, (Indianapolis: Boobs-Merrill, 1957).
84
menyerang satu sama lain. 177 Hal ini diargumentasikan oleh Doyle karena dasar
negara demokrasi lebih damai dan bertindak atas dasar hukum internasional.
menyebarluaskan paham demokrasi. Hal ini sesuai dengan fokus dari liberal
demokrat.
Bidang terakhir yang menjadi fokus adalah kelelahan akan perang. 178
Liberalis secara umum percaya bahwa kebudayaan Barat telah cukup menderita
dari perang-perang yang terjadi sehingga pemimpin dan rakyat mengetahui resiko
mana dalam kondisi negara demokratis tidak ada satu individu yang dapat
negara. Pemikiran ini dikembangkan lagi oleh David Mitrany yang melihat
177
Michael Doyle, “Liberalism and World Politics” dalam American Political Science Review,
Vol. 80, No. 4, Tahun 1986, hlm. 1151-1169.
178
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ hlm. 231.
179
Graham T. Allison, “Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis” dalam American
Political Science Review, Vol. 63, September 1969, hlm. 689-718.
180
David Mitrany, A Working Peace System, (Chicago: Quadrangle Books, 1966)
181
David Mitrany, “The Functional Approach to World Organization” dalam International Affairs,
Vol. 24, No. 3, Juli 1948, hlm. 333-368.
85
Masih banyak pemikir liberalis lain yang memberi kontribusi terhadap
yang disebutkan di atas, Jill Steans dan Lloyd Pettiford menyatakan bahwa ciri-
Lebih lanjut Steans dan Pettiford melihat bahwa dalam mengkaji suatu
182
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 48.
183
Ibid., hlm. 53-54.
86
d) Liberalis menekankan pada kemungkinan organisasi dan perkumpulan
terlihat bahwa fokus perspektif ini terletak pada setiap aktor (baik individu;
wilayahnya, individu berada dalam posisi tidak aman terhadap adanya dominasi
dialami secara kolektif, melihat bahwa terdapat hubungan power yang tidak
imbang antara perempuan dan laki-laki, perempuan berada dalam posisi yang
87
perkosaan mempunyai fungsi dalam konflik. Sehingga untuk melihat apakah
88
Dari matriks di atas terlihat bahwa perspektif liberalis mampu mengkaji 3
perempuan dan perlunya menangani masalah ini secara serius baik dari segi
liberalis kurang mampu melihat hubungan power yang tidak imbang antara laki-
laki dan perempuan yang mengakibatkan posisi perempuan yang tidak aman
terhadap laki-laki saat terjadinya konflik, menganalisa kondisi konflik dan fungsi
agar terus berjalan. Fokus asumsi-asumsi perspektif ini menurut Viotti dan
Kauppi adalah (1) analisis utamanya adalah konteks global dimana terdapat
internasional dari sudut pandang sejarah yang mana terbentuk dari pemikiran
89
mekanisme dominasi dan menciptakan pihak yang dominan dan pihak yang
dependen, serta (4) faktor yang paling penting dalam interaksi hubungan
pemahaman ini adalah Karl Marx (1818-1883). Marx hadir dengan tulisannya
yang ekstensif semenjak ia muda. Namun fokus utama dalam perspektif ini adalah
konflik kelas yang diciptakan oleh ekonomi modern kapitalisme dalam buku
terbitan tahun 1857 ke atas saat ia berkolaborasi dengan Friedrich Engels. 185
Marx mempengaruhi globalis setidaknya dengan 3 cara yaitu (1) kesadaran bahwa
kapitalis ekploitasi banyak orang oleh banyak orang melalui teori nilai buruh 186 ,
(2) kapitalisme membuat dunia berjalan dengan ‘mode of production’ atau pola
dalam kegiatan politik, sosial dan hukum. Solusi yang ditawarkan Marx adalah
kekurangan konsumsi para pekerja dan kelebihan kapital para pengusaha. 187
184
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ 8-10.
185
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, (New York: Washington Square
Press, 1965).
186
Marx berargumen bahwa kapitalis membayar pekerjanya lebih kecil daripada nilai yang
sebenarnya dihasilkan.
187
John A. Hobson, Imperialism: A Study, (Michigan: University of Michigan Press, 1965).
90
Sehingga upaya yang dilakukan adalah berinvestasi di negara dunia ketiga.
dari kapitalisme.
Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. 188 V.I Lenin (1870-1924)
keuntungan lebih banyak lagi dicari peluang investasi ke luar negeri. Pemikiran
sulit untuk menjadi jenuh. Namun imperialisme pada akhirnya akan membuat
kolonisasi.
theory) dan teori dependensi. Teori sistem dunia dikembangkan oleh Immanuel
negara pusat (core), negara pinggiran (periphery) dan negara semi pinggiran
(semi-periphery). 189 Negara pusat adalah negara yang paling dominan secara
ekonomi, politik dan militer sementara negara pinggiran adalah yang paling lemah
188
V.I. Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism, (New York: International Publishers,
1967).
189
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of
the European World Economy in the Sixteenth Century, (New York: Academic Press, 1974) dan
The Modern World-System II:Merchantilism and the Consolidation of the European World-
Economy: 1600-1750, (New York: Academic Press, 1980).
91
serta tidak mampu mengatur sendiri tindakan mereka tanpa campur tangan negara
pusat.
fenomena Amerika Latin yang menjadi lahan investasi Amerika Utara. Membagi
negara ke dalam 2 jenis yaitu “negara Utara” yang maju dan “negara Selatan”
sementara negara lainnya (yang kurang maju) hanya terkena imbasnya. 190
tidak turut serta dalam politik ekonomi global agar tidak menjadi tergantung.
antara lain Eduard Bernstein, Rosa Luxemburg dan Karl Kautsky. Dari
190
Theotonio Dos Santos, “The Structure of Dependence” dalam American Economic Review,
Vol. 60, Tahun 1970, hlm. 231-236.
191
Andre Gunder Frank, Capitalism and Underdevelopment in Latin America: Historical Studies
of Chile and Brazil, (New York: Monthly Review Press, 1967).
192
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm.73.
92
3. Aktor utama adalah negara, perusahaan transnasional dan multinasional, serta
kelas-kelas sosial transnasional
4. Negara mencerminkan kepentingan dari kelas-kelas sosial yang dominan dan
bukan murni ‘kepentingan nasional’
5. Kapitalisme secara mendasar adalah keteraturan sosial dan ekonomi yang tidak
adil, yang pada akhirnya akan menghasilkan konflik dan ketidakharmonisan
6. Kapitalisme dikarakteristikkan dengan kontradiksi internal dan merupakan subjek
dari krisis yang terjadi secara periodik
Lebih lanjut Steans dan Pettiford melihat bahwa dalam mengkaji suatu
a) Keberadaan manusia tidak tetap dan penting. Subjek dari manusia adalah
sosial dan historikal. Bagaimanapun keberadaan manusia dikondisikan
dengan keberadaan saat ini dari organisasi sosial, ekonomi dan politik.
Manusia adalah produk dari masyarakatnya
b) Subjek dapat dikelompokkan dalam kelompok yang teridentifikasi, yang
pada akhirnya dikatakan memiliki kepentingan yang konkrit
c) Tidak adanya pembedaan yang jelas antara nasional (di dalam negara)
dan internasional (di luar negara). Dari perspektif ini, sistem negara
dibentuk oleh sistem kapitalis internasional, atau keduanya bergabung
dan secara bersamaan saling mempengaruhi
dilihat fokus perspektif ini terletak pada kajian ekonomi yang mempengaruhi
miskin oleh pihak kaya (baik di tingkat sosial masyarakat dalam negara maupun
193
Ibid., hlm. 83.
93
di tingkat internasional), struktur ini pada akhirnya membuat pihak miskin berada
pada posisi tidak aman terhadap eksploitasi pihak yang lebih kaya, kapitalisme
hukum.
dialami secara kolektif, melihat bahwa terdapat hubungan power yang tidak
imbang antara perempuan dan laki-laki, perempuan berada dalam posisi yang
94
Aktor utama
adalah pemilik - - - - - - -
kapital
Setiap interaksi
di dunia v - v - - - -
memiliki
struktur
Terdapat
mekanisme - - - - - - -
dominasi pihak
miskin oleh
pihak kaya
Pihak miskin
berada dalam - - - - - - -
posisi tidak
aman terhadap
eksploitasi
pihak kaya
Kapitalisme
akan mencapai - - - - - - -
titik jenuh
sehingga untuk
mencegahnya
dilakukan
ekspansi kapital
Struktur kelas
dapat - - - - - - -
dihilangkan
melalui revolusi
sosial-ekonomi-
hukum
konflik. Perspektif ini mampu melihat hubungan power yang tidak imbang antara
laki-laki dan perempuan dengan acuan setiap interaksi di dunia memiliki struktur.
Oleh sebab itu maka dapat dikatakan bahwa perspektif globalis mampu mengkaji
jender walaupun tidak melihatnya secara utuh, hanya dari sisi ekonomi saja.
alasan posisi perempuan yang tidak aman saat konflik berlangsung, terutama
95
terhadap kasus kekerasan berbasis jender seperti antara lain perkosaan. Selain itu
tapi dari tingkatan ekonominya. Globalis juga tidak mengkaji kondisi konflik,
dalam
internasional, yaitu realis, liberalis dan globalis. Satu persatu dari perspektif ini
konflik. Ditemukan bahwa baik perspektif realis, liberalis maupun globalis tidak
karena itu maka akan dicoba menggabungkan ketiga perspektif utama kajian
wilayah konflik.
96
yang imbang tidak konflik ditangani dalam
dialami antara aman secara serius konflik
Perspektif secara laki-laki melalui
Hubungan kolektif dan hukum
Internasional perempuan internasional
Realis
Fokus pada
negara - - - - - - -
Negara
mengatur - - - - - - -
manusia
Terdapat
hubungan - - - - - - -
power antar
negara
Negara
memaksimalkan
tindakannya
untuk meraih
- - - - - - -
kepentingan
nasional
Tidak ada
kekuasaan yang - - - - - - -
mengatur
kedaulatan
negara
Konflik
merupakan - - - - v - -
keadaan natural
di dunia
sehingga patut
dikaji
Negara berada
dalam posisi - - - - - - -
tidak aman
terhadap
ancaman negara
lain
Liberalis
Setiap aktor
sama penting - v - - - - -
dalam interaksi
internasional
Terdapat
banyak isu v - - - - - -
dalam kajian
hubungan
internasional
97
Ekonomi
diserahkan pada - - - - - - -
mekanisme
pasar
Negara
mengatur - - - - - - -
hukum di
wilayahnya
Pentingnya
partisipasi - - - - - - -
individu dalam
politik
Individu berada
dalam posisi - - - - - - -
yang tidak
aman terhadap
tekanan negara
Percaya bahwa
hukum - - - - - v -
internasional
dapat berlaku
Globalis
Ekonomi
mempengaruhi - - - - - - -
bidang sosial-
politik-hukum
secara
internasional
Aktor utama
adalah pemilik - - - - - - -
kapital
Setiap interaksi
di dunia v - v - - - -
memiliki
struktur
Terdapat
mekanisme - - - - - - -
dominasi pihak
miskin oleh
pihak kaya
Pihak miskin
berada dalam - - - - - - -
posisi tidak
aman terhadap
eksploitasi
pihak kaya
Kapitalisme
akan mencapai - - - - - - -
titik jenuh
sehingga untuk
98
mencegahnya
dilakukan
ekspansi kapital
Struktur kelas
dapat - - - - - - -
dihilangkan
melalui revolusi
sosial-ekonomi-
hukum
wilayah konflik, yaitu melihat adanya hubungan power tidak imbang antara laki-
laki dan perempuan serta mengakomodir kajian jender melalui fokusnya terhadap
internasional melalui fokusnya yang melihat banyak isu dalam kajian hubungan
internasional, di mana setiap aktor memiliki peran sama penting dan mempercayai
99
tersebut yang tidak dapat dijelaskan, yaitu perempuan secara umum berada pada
posisi yang tidak aman dan fungsi perkosaan perempuan di wilayah konflik.
perspektif liberalis lebih mampu melihat keteraturan yang diciptakan oleh hukum
internasional. Oleh karena itu juga setiap perspektif memiliki kekhasan bidang
kajian, yang mana belum tentu dalam mengkaji isu-isu yang tidak berada dalam
lingkup kajiannya. Jika dikaitkan dengan isu yang diangkat dalam tulisan ini maka
lebih lanjut penulis akan mencoba mencari jawaban dari pertanyaan permasalah
internasional.
dikarenakan fokus dari sudut pandang ini terletak pada negara. Perkosaan
fenomena ini seberapa pun besarnya akan tetap tidak dianggap tindakan yang
100
patut diangkat sebagai kajian hubungan internasional. Perspektif ini sesuai dengan
satunya fokus yang bisa ditelaah perspektif ini adalah kehidupan manusia yang
anarkis sehingga negara dibentuk untuk membuat keteraturan. Pemikir realis yang
mengajukan konsep kedaulatan negara atas rakyat dan wilayahnya adalah Thomas
negara yang begitu besar. Karena tidak ada kekuasan yang lebih besar (Leviathan)
di tingkat dunia maka realis percaya keadaan dunia adalah anarki. Hukum
negara-negara mayoritas diduduki oleh laki-laki. 195 Hal tersebut karena perspektif
realis menganggap negara adalah aktor yang uniter, sehingga tidak memiliki dua
jenis kelamin. Sehingga realis juga tidak bisa melihat adanya perbedaan peran
194
Baca Thomas Hobbes, Leviathan, (New York: Collier Macmillan, 1974), hlm. 113.
195
Data tahun 2004 dalam United Nations, Women & Elections: Guide to Promoting the
Participation of Women in Elections, (New York: United Nations Department of Public
Information, 2005), hlm. 6.
101
yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Karena tidak adanya kesadaran inilah maka posisi yang tidak
imbang antara perempuan dan laki-laki seakan-akan dibiarkan saja, bahkan justru
penegak hukum.
antar negara. Interaksi ini dipengaruhi oleh power yang dimiliki masing-masing
internasional sebagai pergulatan power yang terjadi terus menerus antar negara
di mana negara yang power-nya lebih kuat akan memaksa negara yang power-nya
lebih lemah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 196 Perkosaan juga
(korban). Pihak yang menjadi korban perkosaan mayoritas adalah perempuan baik
di saat damai maupun konflik. 197 Namun keadaan tersebut tidak mampu dikaji
oleh realis karena perspektif ini tidak melihat adanya hubungan power yang tidak
konflik yang dapat dikaji oleh perspektif realis adalah konflik. Realis melihat
196
Morgenthau, Op. Cit., hlm. 25-26.
197
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 5.
102
tidak adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari negara. 198 Perspektif realis melihat
terlibat di dalamnya walaupun pengalaman itu dialami secara kolektif. Selain itu
tapi realis tidak melihat perempuan sebagai korban yang mendapat ancaman
secara serius dan bukan hanya produk sampingan dari konflik. Karena itu jugalah
¾ Realis berfokus pada negara dan tidak melihat pengalaman individu dalam
negara
¾ Realis melihat bahwa perkosaan adalah isu antar individu bukan dalam
tataran kajian hubungan internasional
¾ Realis melihat adanya hubungan power antar negara namun tidak dapat
melihat adanya hubungan power antara laki-laki dan perempuan
¾ Konflik dipandang sebagai bentuk hubungan antar negara tanpa melihat
dampaknya pada individu yang terlibat sehingga perkosaan di wilayah
konflik dianggap bagian tak signifikan dan tidak memiliki fungsi dalam
konflik
198
Bagaimana negara memandang konflik dan resolusi konflik digambarkan dengan baik dalam
Bab 14 “The Interaction of State: Conflict and Conflict Resolution” buku K.J. Holsti, International
Politics: A Framework for Analysis, (New Jersey: Prentice Hall, 1992) hlm. 348-380.
103
¾ Dalam interaksi hubungan internasional di dunia, negaralah yang dianggap
berada dalam posisi tidak aman terhadap negara lain, tidak spesifik
membahas mengenai posisi perempuan dalam interaksi tersebut
¾ Karena tidak mempercayai bahwa hukum internasional dapat diberlaku
maka realis juga tidak melihat signifikansi kasus perkosaan untuk
ditangani oleh hukum tersebut
Perspektif liberalis di sisi lain, melihat bahwa setiap aktor sama penting
dan aspirasi individu, termasuk perempuan. Hal ini membuat liberalis mampu
terdapat banyak isu yang saling berkaitan. Walaupun hal ini memiliki sisi positif
fokus pada isu-isu ekonomi, politik dan hukum dibandingkan dengan kajian
wilayah konflik tidak cukup mampu dikaji oleh perspektif ini. Karena tidak dapat
menganalisa konflik, perspekti ini juga tidak dapat menemukan fungsi perkosaan
104
Perspektif liberalis tidak memiliki pemahaman tentang konsepsi power
sebagai dasar interaksi dan posisi aktor dalam interaksi hubungan internasional.
Smith, kebebasan individu akan membuat keteraturan sedemikian rupa tanpa perlu
himself to find out the most advantageous employment for what ever capital he
can command”). 199 Walaupun begitu negara tetap diperlukan untuk membentuk
bawah hukum. 200 Karena liberalis tidak melihat power sebagai pembentuk
hubungan internasional maka perspektif ini juga tidak bisa mengkaji power tak
imbang dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam fenomena perkosan
liberalis. Isu jender dalam liberalis memfokuskan kajiannya pada bagaimana cara
yang sama. 201 Kajian ini juga mendukung dibutuhkannya penanganan serius
ketidakadilan jender dari segi hukum dan pemerintahan, baik nasional maupun
internasional. Namun di sisi lain, kajian jender dalam perspektif liberalis tidak
melihat posisi perempuan yang tidak aman karena tubuhnya memiliki fungsi
199
Smith, Op. Cit., hlm. 400.
200
Ralf Dahrendorf, “Liberalism” dalam John Eatwell, Murray Milgate dan Peter Newman (eds.),
The New Palgrave: Invinsible Hand, (New York: W.W. Norton, 1989), hlm. 183.
201
Steans, Op. Cit., hlm. 16.
105
reproduksi dan memiliki daya tawar yang lebih rendah dibandingkan laki-laki
banyaknya tindak kekerasan berbasis jender yang mana tidak mampu dijelaskan
¾ Walau mengkaji banyak isu namun liberalis lebih fokus dalam membahas
isu-isu ekonomi, politik dan hukum sehingga kurang dapat mengkaji
fenomena konflik dan peristiwa yang terjadi di dalamnya
¾ Kurangnya kajian konflik membuat liberalis tidak mampu melihat fungsi
perkosaan perempuan di wilayah konflik
¾ Liberalis tidak melihat adanya pengaruh power dalam membentuk
hubungan internasional karena itu tidak dapat melihat adanya hubungan
power antara laki-laki dan perempuan
¾ Liberalis mampu mengakomodasi kajian jender namun tidak menyeluruh
karena fokusnya hanya pada kebutuhan persamaan hak, tidak
mengakomodasi posisi perempuan yang tidak aman secara inheren
konflik sebagai masalah yang patut ditelaah lebih lanjut. Berakar dari pemikiran
Karl Marx, globalis melihat adanya pengaruh ekonomi dalam berbagai sendi
106
left no other bond between man and man than naked self-interest”). 202 Landasan
kepentingan dalam kapitalisme inilah yang menjadi fokus utama dari kajian
tempat sedikit.
kepemilikan kapital, dan kapital merupakan power yang bisa digunakan oleh
power lebih sedikit. Jika dibawa dalam kajian jender, pemikiran globalis
Frederich Engels dalam The Origins of the Family, Private Property and the State
dengan perempuan yang bekerja dalam rumah tangga tanpa dibayar. 203 Dari
keluarga struktur itu dibangun ke tingkat perusahaan dan naik ke tingkat negara.
Namun lebih dari itu, globalis tidak memiliki kajian mengenai kekerasan terhadap
Perspektif ini tidak mengkaji konflik lebih dari alasan mengapa negara
perspektif ini sehingga globalis tidak mampu untuk mengkaji fenomena perkosaan
perempuan di wilayah konflik juga fungsi yang dijalankannya. Hal ini membuat
globalis tidak dapat memahami bagaimana perempuan berada dalam posisi yang
202
Karl Marx dan Friedrich Engels, Op. Cit., hlm. 12.
203
Friedich Engels, The Origins of Family, Private Property and the State, (London: Lawrence &
Wishart, 1972).
204
Baca Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism, (New York: International
Publishers, 1967).
107
Globalis tidak mengkaji pengalaman yang dirasakan individu. Perspektif
interaksinya telah diprediksi, yaitu pihak yang mengekploitasi dan pihak yang
dependensi Theotonio Dos Santos. 205 Kelompok yang menguasai ekonomi dan
hukum dibentuk, baik secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu maka
wilayah konflik.
¾ Globalis berfokus pada kajian ekonomi dan tidak mengkaji keadaan di saat
konflik sehingga tidak mampu melihat fungsi perkosaan dalam konflik
¾ Globalis tidak mengkaji pengalaman individu namun kelompok-kelompok
ekonomi yang perilakunya terpola
¾ Globalis tidak mengkaji jender secara spesifik (tidak hanya dari segi
ekonomi) sehingga tidak mampu memahami ketidakamanan yang dialami
perempuan
¾ Karena tidak mempercayai bahwa hukum dapat netral tanpa dipengaruhi
kepemilikan kapital maka globalis tidak hukum dapat menuntaskan kasus-
kasus yang ada di dunia, termasuk perkosaan perempuan di wilayah
konflik
205
Balaam dan Veseth, Op. Cit., hlm. 71-74.
108
Pemaparan di atas telah memberi jawaban atas pertanyaan permasalah
fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik. Walau begitu dari segi isu,
fenomena tersebut terjadi secara luas dan memiliki dampak yang serius terhadap
berada. Oleh karena itu maka sangatlah perlu untuk mengangkat fenomena
Sehingga dibutuhkan kontribusi perspektif lain yang peka jender dalam pemikiran
109
BAB IV
KONTRIBUSI FEMINIS DALAM KAJIAN HUBUNGAN
INTERNASIONAL:
FENOMENA PERKOSAAN PEREMPUAN
DI WILAYAH KONFLIK
Like so many others, my husband was killed during the war, and I was rape by two
assailants. Most of my family died.
-Jeanne Musabe (50), Kigali, Rwanda- 206
On [another] occasion, I was raped with a gun by one of the three men… in the room…
Others stood watching. Some spat on this. They were raping me, the mother and her
daughter ath the same time. Sometimes you had to accept ten men, sometimes three … I
felt I wanted to die… The Serbs said to us, “Why aren’t you pregnant?”… I think they
wanted to know who was pregnant in case anyone was hiding it. They wanted women to
have children to stigmatize us forever. The child is a reminder of what happened.
-Anonymous, Bosnia- 207
utama hubungan internasional, yaitu realis, liberalis dan globalis, tidak mampu
dapat memasukkannya sebagai bagian dari kajian ilmu HI. Oleh karena itu maka
penulis akan mengajukan perspektif yang peka jender untuk dapat mengangkat
dalam hal mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Pada bab ini akan dijawab
206
Amnesty International, Rwanda: Marked for Death, Rape Survivors Living with HIV/AIDS in
Rwanda, (London: AI, 2004), hlm. 6.
207
Dalam Barbara Bedont dan Katherine Hall Martinez, “Ending Impunity for Gender Crimes
under the International Criminal Court” dalam The Brown Journal of World Affairs, Vol. VI, Issue
65-85, Tahun 1999, hlm. 1
110
pertanyaan permasalah kedua yaitu bagaimana feminisme mengkaji fenomena
tersebut dan memasukkannya sebagai kajian HI. Pada bagian penutup bab ini akan
perempuan. 208 Feminis membedakan antara jender dan jenis kelamin. Jenis
biologis. Sementara jender merupakan peran ideologis dan material yang dibentuk
serta dilekatkan oleh masyarakat terhadap kedua jenis kelamin tersebut. 209
adil serta menjadi dasar ideologi untuk suatu bentuk ketidakadilan sosial. 210
rigid diberlakukan. Konstruksi sosial ini berlaku bagi kedua jenis kelamin namun
perempuan ditempatkan dalam posisi yang lebih dirugikan karena posisinya yang
tersubordinasi.
208
Humm, Op. Cit., hlm. 158.
209
Steans, Op. Cit., hlm. 10.
210
Ibid.., hlm. 11.
111
Perspektif feminis menaungi berbagai analisa mengenai penyebab dan
feminis ke dalam beberapa aliran utama yaitu feminis liberal, feminis radikal
(libertarian dan kultural), feminis Marxis dan sosialis, feminis psikoanalisis dan
menyatakan bahwa satu waktu pelabelan aliran feminis ini harus dihilangkan, ia
tetap menjelaskan bergunanya label-label ini untuk tetap dijabarkan. 212 Tujuan
utama dari pelabelan ini adalah memperlihatkan pada publik bahwa feminisme
bukanlah ideologi yang monolitik, bahwa tidak setiap feminis berpikiran sama
dan berakar dari latar belakang yang sama. Oleh karena itu maka akan dijabarkan
• Feminis Liberal
112
bersikap seperti laki-laki. 213 Sehingga gerakan yang dijunjung
nalar dan wacana seputar hal ini. Kritik paling keras terhadap
• Feminis Radikal
213
Pemikiran feminis liberal pada abad ke-18 antara lain adalah Mary Wollstonecraft, A
Vindication of the Rights of Woman, (New York: W.W. Norton, 1975).
214
Pemikiran feminis liberal pada abad ke-19 antara lain adalah John Stuart Mill dan Harriet
Taylor, Essays on Sex Equality, (Chicago: University of Chicago Press, 1970).
215
Pemikiran feminis liberal pada abad ke-20 antara lain adalah Angela Davis, Women, Race and
Class, (New York: Random House, 1981), serta Betty Friedan, The Feminine Mystique, (New
York: Dell, 1974) dan The Second Stage, (New York: Summit Books, 1981).
216
Lebih lengkap tentang feminis liberal baca Tong, Op. Cit., hlm. 15-66.
113
dihapuskan, dan merupakan model konseptual untuk memahami
bentuk opresi yang lain. 217 Tidak semua feminis radikal sepaham
karena itu secara garis besar, feminis radikal terbagi menjadi dua,
yakni: 218
217
Allison M. Jagger dan Paula S. Rothenberg (eds.), Feminist Frameworks. (New York:
McGraw-Hill, 1984), hlm. 186.
218
Lebih lengkap tentang feminis radikal baca Tong, Op. Cit., hlm. 67-138.
219
Pemikiran feminis radikal libertarian antara lain adalah Joleen J. yang dibahas dalam Anne
Koedt, Ellen Levine dan Anita Rapone (ed.), Radical Feminism, (New York: Quadrangle, 1973)
dan Kate Millet, Sexual Politics, (New York: Doubleday, 1970).
220
Tong, Op. Cit., hlm. 94-95.
114
o Feminis Radikal Kultural
• Feminis Marxis
221
Pemikiran feminis radikal kultural antara lain adalah Alice Echols, “The New Feminism of Yin
and Yang” dalam Ann Snow, Christine Stansell dan Sharon Thompson (eds.), Powers of Desire:
The Politics of Sexuality, (New York: Monthly Review Press, 1983) dan Mary Daly, Beyond God
the Father: Toward a Philosophy of Women’s Liberation, (Boston: Beacon Press, 1973) dan
Gyn/Ecology: The Metaethics of Radical Feminism, (Boston: Beacon, 1978).
222
Tong, Op. Cit., hlm. 96.
115
individu saja, namun produk dari struktur politik, sosial dan
• Feminis Sosialis
223
Lebih lengkap tentang feminis Marxis baca Tong, Op. Cit., hlm. 139-187.
224
Nancy Holstrom, “A Marxist Theory of Women’s Nature” dalam Etnics, Vol. 94, No. 1, April
1984, hlm. 464.
225
Pemikiran feminis Marxis antara lain adalah Margaret Benston, “The Political Economy of
Women’s Liberation”, dalam Monthly Review, Vol. 21, No. 4, September 1969 dan Barbara
Bergman, The Economic Emergence of Women, (New York: Basic Books, 1986).
226
Lebih lengkap tentang feminis sosialis baca Tong, Op. Cit., hlm. 139-187.
116
penindasan perempuan dibentuk dan dipertahankan oleh struktur
• Feminis Psikoanalis
227
Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature, (New Jersey: Rowman & Allanheld,
1983), hlm. 221.
228
Pemikiran feminis sosialis antara lain adalah Heidi Hartman, “The Unhappy Marriage of
Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union” dalam Lydia Sargent (ed.), Women
and Revolution: A Discussion of the Unhappy Marriage of Marxism and Feminism, (Boston:
South End Press, 1981) dan Juliet Mitchell, Woman’s Estate, (New York: Pantheon Books, 1971).
229
Tidak semua pemikiran Sigmund Freud diterima oleh feminis, yang secara umum ditolak
adalah konsep Freud mengenai penis envy yang dialami perempuan. Feminis yang mengkritik
Freud antara lain Betty Friedan, Shulamith Firestone dan Kate Millet. Feminis sadar akan
kontribusi pemikiran Freud terhadap opresi perempuan, meski demikian terdapat teks yang
dianggap dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan feminis melalui penolakan doktrin
determinisme biologis Freud. Tong, Op. Cit., hlm. 200.
117
Oedipus, feminis psikoanalis melihat bahwa ketidaksetaraan
• Feminis Gender
230
Lebih lengkap tentang feminis sosialis baca Tong, Op. Cit., hlm. 188-251.
231
Pemikiran feminis psikoanalis antara lain adalah Karen Horney, “The Flight from WomaMood”
dalam Karen Homey, Feminine Psychology, (New York: W.W. Norton, 1973) dan Clara
Thompson, “Problems of Womanhood” dalam M.P. Green (ed.), Interpersonal Psychology: The
Selected Papers of Clara Thompson, (New York: Basic Books, 1964).
118
Aliran feminis ini memfokuskan kajiannya pada aspek
psikomoral. 232
• Feminis Eksistensialis
yang berbeda, yang asing dan yang ia sebut dalam bukunya sebagai
terhadap diri, subjek yaitu laki-laki. Oleh karena itu maka laki-laki
232
Lebih lengkap tentang feminis sosialis baca Tong, Op. Cit., hlm. 188-251.
233
Pemikiran feminis eksistensialis antara lain adalah Carol Gilligan, In a Different Voice,
(Cambridge: Harvard University Press, 1982) dan Nel Noddings, Women and Evil, (Berkeley:
University of California Press, 1989).
234
Simone de Beauvoir, Terj. H.M. Parshley, The Second Sex, (New York: Vintage Books, 1974).
119
mensubordinasinya. Dalam pandangan Beauvoir, peran feminin
perempuan.
• Feminis Posmodern
235
Lebih lengkap tentang feminis sosialis baca Tong, Op. Cit., hlm. 253-282.
236
Dorothy Kaufmann McCall, “Simone de Beauvoir, The Second Sex, and Jean Paul Sartre”
dalam Signs: Journal of Women in Culture and Society, Vol. 5, No. 2, Tahun 1979, hlm. 210.
237
Lebih lengkap tentang feminis posmodern baca Tong, Op. Cit., hlm. 283-308.
120
terbebaskan, semuanya bergantung pada perempuan yang mengkaji
dengan buku The Second Sex milik Beauvoir. Pembaca buku itu
posmodern.
• Feminis Multikultural
238
Pemikiran feminis posmodern antara lain adalah Helene Cixous, “The Laugh of the Medusa”
dalam Elaine Marks dan Isabelle de Courtivon (eds.), New French Femnisms, (New York:
Schocken Books, 1981) dan Luce Irigaray, Terj. Catherine Potter, This Sex is Not One, (New
York: Cornell University Press, 1985).
121
dikonstruksikan secara setara. 239 Nilai dari perempuan di
non-fisiknya.
• Feminis Global
239
Lebih lengkap tentang feminis multikultural baca Tong, Op. Cit., hlm. 309-358.
240
Pemikiran feminis multikultural antara lain adalah Angela Y. Davis, “Gender, Class and
Multiculturalism: Rethinking ‘Race’ Politics” dalam Avery R. Cordon dan Christopher Newfield
(eds.), Mapping Multiculturalism, (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996) dan
Elizabeth V. Spelman, Inessential Woman: Problems of Exclusion in Feminist Thought, (Boston:
Beacon Press, 1988).
122
perempuan tersebut warga negara maju atau berkembang, negara
Dunia Pertama atau Dunia Ketiga, negara penjajah atau dijajah. 241
seksual dan reproduksi” dengan “isu ekonomi dan politik”. Hal ini
• Ekofeminis
241
Lebih lengkap tentang feminis global baca Tong, Op. Cit., hlm. 309-358.
242
Pemikiran feminis global antara lain adalah Charlotte Bunch, “Prospects for Global Feminism”
dalam Jaggar dan Rothenberg, Op. Cit., dan Ann Russo, “We Cannot Live Without Our Lives:
White Women, Anti-Racism and Feminism” dalam Chandra Talpads Mohanty, Ann Russo dan
Lourde Torres (eds.), Third World Women and the Politics of Feminism, (Bloomington: Indiana
University Press, 1991).
123
hubungan konseptual, simbolik dan linguistik antara feminis dan
perempuan. 244
masih banyak lagi aliran feminis lain yang berkembang di dunia. Aliran tersebut
antara lain feminis lesbian, feminis dunia ketiga, feminis Muslim, feminis Kristen
kajian dari perspektif ini. Pemikiran feminis terus berkembang karena setiap
243
Lebih lengkap tentang feminis global baca Tong, Op. Cit., hlm. 359-408.
244
Pemikiran ekofeminis antara lain adalah Karren J. Warren, “The Power and the Promise of
Ecological Feminism” dalam Karren J. Warren (ed.), Ecological Feminist Philosophies,
(Bloomington: Indiana University Press, 1996) dan Rosemary Radford Ruether, New Roman/New
Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation, (New York: Seabury Press, 1975).
245
Mengutip dari bahasa Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam kata pengantar buku Rosemarie
Putnam Tong, Terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Arus Utama Pemikir Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. xiv.
124
pemikiran lahir dari suatu keadaan dan konteks tertentu yang melihat penindasan
terjadi pada perempuan yang meliki ras, kelas, agama maupun latar belakang
opresi terhadap jenis kelaminnya dan percaya bahwa subordinasi tersebut perlu
Pemikiran feminis telah hadir sejak abad ke-18 dimulai pemikiran Mary
125
laki-laki dan perempuan. Ia juga percaya bahwa titik mula emansipasi politik dan
tahun 1920an yang tujuannya adalah mewujudkan hak suara dalam pemilihan
umum bagi perempuan. 247 Pada era ini timbul kesadaran bahwa untuk lebih
pemerintah dan pembuatan hukum negara, jika tidak akan terus diatur hidupnya
oleh hukum yang dibuat oleh pihak lain yang tidak mengikutsertakan kepentingan
perempuan. Feminis gelombang pertama ini melakukan protes secara radikal yang
membuat buku The Subjection of Women (1896). 248 Walaupun bukan perempuan,
Mill menyuarakan pemikiran perspektif feminis. 249 Mill menyatakan alasan dari
Friedrich Engels mengeluarkan buku Origin of the Family, Private Property and
247
Humm, Op. Cit., hlm. 166-167.
248
John Stuart Mill, The Subjection of Women, (Oxford: Oxford University Press, 1969).
249
Tidak semua feminis menyetujui laki-laki dapat menjadi feminis. Yang tidak setuju antara lain
Maggie Humm, Op. Cit., hlm. 160 dan Gert Krell, “Feminist, Human Rights and International
Relations” dalam Marianne Braig dan Sonja Wolte (eds.), Op. Cit., hlm. 206. Feminis yang
menyetujui bahwa laki-laki dan perempuan dapat menjadi feminis antara lain Arimbi Heroepoetri
dan R. Valentina, Op. Cit., hlm. 67. Terdapat juga feminis yang tidak mendefinisikan secara jelas
jenis kelamin dari pemikir perspektif tersebut, seperti antara lain Jill Steans, Op. Cit., hlm. 13 dan
Christine Sylvester, Feminist International Relations: An Unfinished Journey, (Cambride:
Cambridge University Press, 2002), hlm 14. Namun dalam tulisan ini penulis memasukkan
permikiran J. S. Mill dan F. Engels sebagai bagian dari perspektif feminis karena pemikiran
keduanya mengkaji subordinasi perempuan dalam masyarakat.
126
the State (1884). 250 Engels lebih melihat lemahnya posisi perempuan karena
ketiadaan akses terhadap kapital karena selalu berada dalam wilayah domestik.
angkatan kerja.
Beauvoir yakni The Second Sex (1949). 251 Pemikiran Beauvoir menggambarkan
budaya patriarkis dimana laki-laki berada dalam posisi inti yang membentuk
norma sementara perempuan ditempatkan sebagai yang lain (the Other). Identitas
(1963) karya Betty Friedan. 252 Dalam buku ini Friedan melakukan penelitian
perempuan yang berada dalam lingkup privat sebagai ibu rumah tangga dan istri
250
Friedich Engels, The Origins of Family, Private Property and the State, (London: Lawrence &
Wishart, 1972).
251
Simone de Beauvoir, The Second Sex, (Harmondsworth: Penguin Books, 1953).
252
Betty Friedan, The Feminine Mystique, (New York: W.W. Norton, 1963).
127
Pada era 1960an dan 1970an muncullah gerakan feminis gelombang kedua
yang bergerak lebih dari politik hak-hak sipil seperti yang dilakukan feminis
gelombang pertama. Pada era ini fokus yang perjuangkan adalah liberalisasi
yang tertindas dalam peran jender. 253 Terdapat juga kenaikan isu-isu perempuan
di negara dunia ketiga yang tidak hanya berfokus pada representasi dalam politik
namun ke dalam isu-isu lebih luas seperti kemiskinan, doktrin agama dan
kajian dan kehidupan sosial, metode yang diucapkan secara sinis oleh feminis
Sandra Harding sebagai masukkan perempuan dan aduk (“add women and
stir”). 254 Perspektif ini mulai melihat konsepsi power sebagai bagian penting dari
128
untuk melakukan pilihan dan memberdayakan lingkungannya (empowerment as
means and ends) 255 dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, sosial,
beberapa penulis perempuan. Salah satunya adalah Jean Bethke Elshtain yang
menulis Public Man, Private Woman: Women in Social and Political Thought
(1981) dan Women and War (1987). 256 Pemikiran Elshtain lahir dari perannya
yang merupakan seorang ibu dan juga pemikir bidang sosial. Ia melihat adanya
dengan ilmu HI adalah Women and War yang menceritakan tentang militer dan
menulis beberapa buku, antara lain Does Khaki Become You? The Militarization
of Women’s Lives (1983), Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense
of International Relations (1989) dan The Morning After: Sexual Politics at the
255
Carolyn Medel-Anonuevo, “Reclaiming the Empowerment Discourse: A Challenge to
Feminist” dalam Marianne Braig dan Sonja Wolte (eds.), Op. Cit., hlm. 80-86.
256
Jean Bethke Elhstain, Public Man, Private Woman: Women in Social and Political Thought,
(Princeton: Princeton University Press, 1981) dan Women and War, (New York: Basic Books,
1987).
129
End of the Cold War (1993). 257 Dalam bukunya Enloe mempertanyakan dimana
perempuan (“where are the women?”) dalam sejarah dunia dan ilmu hubungan
diperlukan untuk menjaga sistem politik internasional seperti ini, dipenuhi laki-
laki dan sedikit sekali perempuan. Hubungan antara dua negara tidak hanya
dipengaruhi oleh kapital tapi juga kontrol atas perempuan sebagai simbol,
seseorang belajar melihat dunia melalui kacamata feminis, ia akan belajar untuk
‘biologis’ terjadi secara dibentuk. 258 Enloe juga mengatakan bahwa tidak hanya
kajian melalui tulisan Maria Mies yang berjudul Patriarchy and Accumulation on
a World Scale (1986). 259 Dalam bukunya, Mies mengadaptasi kerangka teori
sistem dunia untuk menggambarkan bahwa sistem yang ada di dunia bukan hanya
satu namun dua, yaitu patriarki dan kapitalisme. Mies berargumen bahwa kapitalis
tidak dapat berfungsi tanpa adanya patriarki sehingga menciptakan 2 sistem dunia
dengan partriarki sebagai yang lebih duhulu hadir. Revolusi industri yang
kapitalis di abad ke-16 dipandang Mies juga merupakan revolusi patriarkis yang
257
Cynthia Enloe, Does Khaki Become You? The Militarization of Women Live’s, (London:
Pandora Press, 1983), Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International
Politics, (Berkeley: University of California Press, 1989) dan The Morning After: Sexual Politics
at the End of the Cold War, (Berkeley: University of California Press, 1993).
258
Cetak miring dan tanda kutip dari tulisan aslinya. Enloe (1989), Op. Cit., hlm. 3
259
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale, (London: Zed Books, 1986).
130
mengikutsertakan tindakan pembakaran penyihir perempuan sebagai kontrol laki-
Feminis J. Ann Tickner adalah salah satu pemikir dari perspektif ini yang
seperti negara dan perang, ekonomi global dan ekologi. Buku Tickner yang
Achieving Global Security (1992). 260 Tickner melakukan analisa alasan untuk
konsep HI seperti political man, konsep negara yang maskulin dan sistem negara
perang tapi juga saat damai dalam perannya di bidang ekonomi dan lingkungan.
Perempuan menempati posisi tidak aman namun tidak dihiraukan oleh masyarakat
dunia, termasuk dalam kajian ilmu. Sehingga yang disarankan oleh Enloe adalah
dan perlahan-lahan melemah menjadi salah satu pemikiran marjinal dalam disiplin
260
J. Ann Tickner, Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global
Security, (New York: Columbia University Press, 1992).
131
ilmu hubungan internasional. 261 Pada tahun 1990an ketika pemikiran kritikal,
studi HI, ketertarikan untuk menggunakan analisa feminis yang berfokus pada
dalam agenda tradisional HI hanya sebagai agenda sampingan. Awal era 2000an,
terlihat jelas bagaimana ide mengenai perspektif feminis dilihat sebagai tambahan
ini. Mereka antara lain adalah Sandra Whitworth, Marianne Marchand, Ann
Sisson Runyan dan Jill Steans. Dari pemikiran-pemikiran ahli di atas, Jill Steans
dan Lloyd Pettiford menyatakan bahwa ciri-ciri utama dari perspektif feminis
adalah: 263
261
Salah satunya disebutkan oleh Francis Fukuyama, seorang liberalis, menggambarkan kondisi
perempuan dalam kepemimpinan dunia yang jumlahnya sedikit dan kalaupun ada perempuan-
perempuan ini bersikap ‘seperti’ laki-laki. Fukuyama mencontohkan Margareth Tacher. Feminis
Ann Tickner membahasnya dan menunjukkan fenomena perempuan dalam kajian HI. J. Ann
Tickner, “Why Women Can’t Run the World: International Politics According to Francis
Fukuyama”, dalam International Studies Review, Vol. 1, No. 3, Tahun 1999, hlm. 3-11.
262
Marysia Zalewski, Op. Cit., hlm. 27.
263
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 155.
132
6. Mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dominan mengenai yang
signifikan dan kurang signifikan dalam kajian hubungan internasional.
Lebih lanjut Steans dan Pettiford melihat bahwa dalam mengkaji suatu
e) Feminis tidak melihat keadaan natural manusia sebagai suatu hal yang
rigid
f) Dari perspektif ini, tidak dapat dibedakan secara jelas antara ‘kenyataan’
dan ‘nilai’
g) Terdapat hubungan dekat antara ilmu pengetahuan dan power serta antara
teori yang ada dengan praktek yang dilakukan secara fisik dan sosial
h) Feminis memiliki komitmen terhadap ide perkembangan sosial dan
pembebasan atau emansipasi perempuan
sering terjadi di seluruh dunia. 265 Tindakan kekerasan ini bervariasi bentuknya
mulai dari kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga, trafficking perempuan dan
sosial dan kultural di mana kekerasan itu terjadi, kekerasan terhadap perempuan
264
Ibid., hlm. 161.
265
“Indepth: Gender-Based Violence” diakses dari
http://www.choike.org/nuevo_eng/informes/3982.html pada tanggal 10 Juli 2006 pukul 18.05
WIB.
133
pandang etnis, ras, usia, kelas maupun negara. 266 Namun sifatnya yang tidak
terhadap perempuan sulit untuk ditangani dan tidak dianggap sebagai persoalan
serius. Perspektif feminis, di sisi lain, mengangkat masalah ini sebagai isu yang
karakteristik spesifik yang seksis sehingga perlu untuk ditindak secara tegas.
sejauh ini sudah terdapat setidaknya 6 deklarasi besar dunia yaitu: 267
134
Declaration and Platform of Action) yang diadopsi oleh
Konferensi Perempuan Dunia yang dilangsungkan oleh PBB tahun
1995.
4. Statuta Roma mengenai Pengadilan Kriminal Internasional untuk
kejahatan perang (International Criminal Court – ICC) tahun 1998
yang memasukkan kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan
seksual, pemaksaan prostitusi dan pemaksaan kehamilan) ke dalam
definisi kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan perang dan
dapat dihukum.
5. Review 5 tahun Deklarasi Beijing (Beijing +5 Review) tahun 2000
yang menyatakan kriminalisasi dari tindak kekerasan terhadap
perempuan dan adopsi cara-cara untuk mengakhiri kekerasan
terhadap perempuan yang berbasis rasial. Pada review inilah
pertama kalinya kejahatan terhadap perempuan untuk membela
kehormatan masuk ke dalam klausul kriminal.
6. Deklarasi Millenium yang diprakarsai PBB pada tahun 2000 yang
salah satu tujuannya adalah untuk melawan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan mendukung deklarasi
sebelumnya.
struktur opresif yang menaunginya. Perhatian resmi telah diberikan pula terhadap
menghukumnya.
135
Khususnya dalam kasus perkosaan perempuan di wilayah konflik,
advokasi gerakan perempuan telah mengemuka sejak akhir Perang Dunia II.
Karena terdapat tuntutan dari perempuan korban jugun ianfu (budak seksual)
Perang tahun 1949. 268 Sayangnya perkosaan tidak dicantumkan secara spesifik
sebagai kejahatan perang yang krusial sehingga protokol ini tidak mampu
Dunia yang pertama tahun 1975 mengenai penanganan kekerasan seksual dalam
perang, pada tahun 1977 dibuatlah Tambahan Protokol Konvensi Genewa tahun
1977 yang menyatakan bahwa perkosaan, pemaksaan prostitusi dan tindakan tak
pantas lainnya (indecent assault) dianggap sebagai tindakan yang memalukan dan
merendahkan. 270 Namun para feminis masih kecewa terhadap pasal ini karena
dalam kejahatan perang yang mendapat sanksi hukum dari dunia internasional
pada kasus di Yugoslavia tahun 1994. Hal ini dilakukan melalui International
268
“Geneva Convention” diakses dari http://www.globaliissuesgroup.com/geneva/texts.html pada
tanggal 20 November 2005 pukul 10.15 WIB.
269
David J. Scheffer, “Rape as a War Crime” diakses dari
http://www.converge.org.nz/pma/arape.htm pada tanggal 20 November 2005 pukul 10.05 WIB.
270
Baca Protokol Kovensi Genewa dan Protokol Tambahan tahun 1977 di “Geneva Convention”,
Op. Cit.
136
humanitarian. 271 Berdasarkan dokumen tersebut, perkosaan dapat dituntut sebagai
bagian dari usaha menyerang populasi sipil dengan latar belakang nasional,
perang berlanjut pada tahun 1995 dengan konflik Rwanda. 273 Statuta dari
perkosaan diakui sebagai salah satu alat untuk menjalankan genosida. Hal ini
Selama lebih dari 25 tahun kampanye anti kekerasan telah dilangsungkan (dari
271
Statuta ICTY Artikel 5 diakses dari http://www.un.org/icty/basic/statut/stat2000_con.htm pada
tanggal 2 Januari 2006 pukul 17.10 WIB.
272
“International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia” diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Tribunal_for_the_Former_Yugoslavia pada
tanggal 18 Januari 2006 pukul 13.25 WIB.
273
Vesna Kesic, Log. Cit.
137
dalam mengadvokasi isu telah berhasil menaikkan signifikansi masalah namun
Konflik
wilayah konflik. Pemikir feminis yang secara spesifik mengkaji fenomena ini
perkosaan di wilayah konflik akan dibahas lebih lanjut dengan berdasarkan runut
waktu dipublikasikannya.
Women and Rape 274 pada tahun 1975 yang merupakan buku pertama yang
tindak perkosaan tidak terjadi begitu saja dan tidak hanya disebabkan oleh nafsu
perempuan dan laki-laki di dalam politik, sosial dan hukum. Bahkan Brownmiller
274
Susan Brownmiller, Against Our Will: Men, Women and Rape, (New York: Pinguin Books,
1975).
138
pemaksaan power laki-laki terhadap perempuan. 275 Perkosaan dalam
memiliki daya untuk memilih tindakan yang dilakukan serta tidak dilakukannya,
lebih memiliki power. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkosaan adalah senjata
mendasar laki-laki terhadap perempuan, tes mendasar dari kekuatan laki-laki agar
merupakan tradisi panjang militer. 277 Ahli sejarah melihat akibat yang harus
ditanggung dari perang secara umum adalah jumlah desa yang hancur, garis
wilayah kekuasaan yang bergeser, senjata pemusnah yang digunakan dan korban
yang meninggal dunia. Faktor-faktor ini dipandang sebagai bagian integral dari
konflik yang dicatat sebagai kerugian fisik yang diderita. Sementara itu jumlah
perkosaan perempuan di wilayah konflik dianggap tidak dapat diukur dan tidak
signifikan untuk dicantumkan dalam sejarah. 278 Hal tersebut sedikit banyak
yang penting dan perlu diingat dalam kajian mengenai masa lalu konflik.
275
Ibid., hln. 4-5.
276
Ibid., hlm. 14-15.
277
Ibid., hlm. 40.
278
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, School for Rape Op. Cit., hlm. 8-9.
139
Perkosaan diyakini oleh Brownmiller sebagai sesuatu yang pasti terjadi
dan merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari sebuah perang. Terdapat
semua konflik di dunia. Beberapa di antaranya adalah adanya persepsi yang salah
yang sama dengan laki-laki dengan alasan imbalan jasa bagi pelindung. 279
begitu saja karena terdapat asumsi luas tentang kodrat naluri laki-laki yang lebih
dianggap dimiliki oleh laki-laki dari pihak yang menang. Karena itulah
279
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 31-113.
140
pembelot dan pelacur. 280 Sehingga sangat penting untuk memasukkan cerita dari
bukan musuh yang mengancam kepentingan dan kehidupan pihak yang lain. Tapi
kekerasan terhadap pihak lawan dan sebagai suatu bentuk aksi keunggulan power
dari pihak lawan, yang mana hal ini terjadi di hampir setiap konflik. Dan (2)
menghabiskan suatu suku etnik dengan memotong garis keturunan. 282 Umumnya
pendekatan ini terjadi pada konflik etnis dan agama. Contoh kasus untuk kedua
Cynthia Enloe di sisi lain memang lebih aktif dalam menulis dan telah
mengeluarkan beberapa buku sejak tahun 1970 mengenai kajian politik dan
militer, namun perempuan di wilayah konflik baru menjadi kajian utamanya sejak
tahun 1983 melalui buku Does Khaki Become You? The Militarization of
280
Ibid., hlm. 33.
281
Kata-kata dalam kurung ditulis oleh penulis. Ibid., hlm. 31.
282
Ibid., hlm. 15-16.
141
Women’s Lives 283 . Perkosaan perempuan di wilayah konflik baru mengemuka
dalam dua bukunya yaitu Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of
International Relations 284 dan The Morning After: Sexual Politics at the End of
the Cold War. 285 Kedua buku inilah yang akan digunakan dalam mengkaji
Pernyataan yang dilontarkannya dalam buku itu adalah “jika personal adalah
politis maka yang politis adalah personal”. 286 Ia mengamati bahwa kebijakan
politik ada tidak hanya dalam lingkup nasional tapi juga internasional dan turut
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konflik. Sehingga apa yang “personal
dengan posisi perempuan yang dikontrol oleh politik identitas pihak yang
berkuasa secara politik maupun ekonomi baik di suatu wilayah ataupun negara.
283
Cynthia Enloe, Does Khaki Become You? The Militarization of Women’s Lives, (London:
Pandora Press, 1983).
284
Cynthia Enloe, Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International
Relations, (London: Pandora Press, 1989).
285
Cynthia Enloe, The Morning After: Sexual Politics at the End of the Cold War, (Berkeley:
University of California Press, 1993).
286
Enloe (1989), Op. Cit., hlm, 195.
142
menjalankan peran sebagai ibu dengan cara tertentu, jika tidak maka dia dianggap
Perempuan secara luas dan mayoritas berada pada posisi tidak berdaya karena
posisi perempuan yang kehilangan pelindung, yaitu hukum maupun laki-laki lain
(seperti suami, keluarga, saudara). 288 Karena posisi yang lemah maka perempuan
jarang bahkan sama sekali tidak terlihat dalam konflik. Sehingga perlu adanya
asumsi realis mengenai power yang hanya berkisar seputar negara tapi tidak
melihat hubungan power di tingkat lain. Interaksi di dunia tidak hanya bergantung
pada negara yang didukung kapital dan persenjataan, tapi juga melalui kontrol
terhadap perempuan sebagai simbol, konsumen, pekerja murah yang bahkan tidak
dinilai posisinya sebagai ibu rumah tangga, pekerja seks dan pembangun
banyak power yang diperlukan untuk menjaga sistem politik internasional seperti
ini. Ann Tickner mengolah lebih lanjut konsepsi power dari perspektif realis yang
143
internasional. Hierarki sosial yang diciptakan kekuatan patriarkis menurut
Tickner ada di setiap hubungan, baik secara mikro antara individu perempuan dan
akan mulai bertanya apakah segala sesuatu yang terjadi yang selama ini
Salah satu contoh yang digunakan Enloe adalah hubungan antara negara,
sebagai alat dari negara yang bertugas mempertahankan keamanan negara namun
mengenai militer dan perempuan berlanjut pada buku Enloe selanjutnya The
Morning After.
290
Tickner (1992), Op. Cit., hlm. 66.
291
Enloe (1989), Op. Cit., hlm 3.
292
Cara penulisan sama seperti teks asli. Ibid., hlm 44.
144
Perkosaan merupakan bagian kajian utama dalam buku Enloe, The
Morning After: Sexual Politics at the End of the Cold War. Enloe menekankan
Perkosaan terjadi karena sudah ada struktur yang sedemikian rupa membentuk
posisi perempuan dapat diperkosa oleh laki-laki pihak lawan dalam situasi
sebagian besar pasukannya laki-laki, dan dalam masyarakat laki-laki pulalah yang
paling mudah adalah menyerang yang paling lemah, yaitu perempuan. 293
dalam anggota militer tidak membawa perbaikan dari keadaan ini. Karena di saat
konflik, perempuan anggota militer tetap berada di posisi yang rentan sebagai
korban pelecehan seksual dan perkosaan. Hal ini timbul dengan alasan perempuan
tetap berada di posisi yang perlu dilindungi sehingga dianggap sudah selayaknya
wartawan hingga ahli sejarah, semua orang kecuali perempuan yang menyadari
keadaan ini adalah bias jender. 294 Keadaan inilah yang membuat pelecehan
seksual dan perkosaan di masa konflik tidak dipandang serius untuk ditangani.
293
Enloe (1993), Op. Cit., hlm 168 dan 239.
294
Barbara Tuchman, The Guns of August, (New York: Dell, 1972), hlm. 199 dan 255-257.
145
maka masalah yang menimpanya juga menjadi tidak penting karena tertutupi
masalah lain yang dianggap lebih penting, seperti misalnya keamanan negara.
berada dalam posisi yang sulit karena jika ia melapor maka militer akan
sedikit perempuan yang direkrut menjadi anggota militer. Negara juga sulit
masalah ini umumnya ditutupi. 295 Posisi perempuan sebagai target kekerasan
seksual pihak musuh di saat konflik turut dianalisa oleh Jill Steans ketika
membahas pahlawan perang di negara yang patriakal. Budaya ini menurut Steans
perempuan sebagai hadiah, yang mana diturunkan ke masa kini sebagai hak
Perkosaan dalam konflik menurut Jill Steans tidak bisa dianggap sebagai
tindakan yang soliter. Steans melihat adanya pola patriarkis yang dibentuk di
masa damai dan menguat saat konflik berlangsung. Pemerintah suatu negara
dan juga di wilayah konflik melalui konstruksi maskulinitas dari patriotisme dan
kekerasan. 297 Hal yang mana digambarkan oleh Enloe dengan mayoritas anggota
militer adalah laki-laki. Karena negara telah membuat pembagian peran secara
295
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 224.
296
Steans, Op. Cit., hlm. 101.
297
Ibid., hlm. 101-102.
146
sosial, politik maupun hukum dan dalam perang maka segregasi konstruksi
ideologi antara perempuan dan laki-laki semakin nyata. Hal ini haruslah dikaji
terjadi berbeda pada Perang Vietnam dan Perang Teluk Pertama di Kuwait. 298
sehingga seolah-olah dibiarkan saja. Dan setelah perang itu berakhir yang terlihat
Vietnam, pelacuran tampak sebagai bagian tak terpisahkan dari operasi Pentagon,
antara lain di Amerika Latin, Filipina, Korea Selatan, Jepang, Puerto Rico, Jerman
Sementara kasus pada Perang Teluk Pertama tahun 1990 berbeda. Basis
tentara Amerika Serikat terletak di Arab Saudi, dimana penguasanya Raja Fahd
perkosaan yang dilakukan oleh koleganya sendiri. Salah satu yang perempuan
anggota militer yang mengakui hal ini adalah Jacqueline Ortiz, ia juga
298
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 221-223.
299
Ibid., hlm. 84, 183 dan 220.
147
menceritakan setidaknya 24 tentara perempuan AS mengalami perkosaan saat
ditempatkan dalam operasi Perang Teluk Pertama. 300 Terlihat bahwa bila
perempuan di masa konflik tidak akan terselesaikan tapi hanya berpindah kepada
perempuan lain.
Sistem maskulinisasi laki-laki dan fenimisasi perempuan ini sangat luas dilakukan
and Rear: The Sexual Division of Labour in the Israeli Army”, Yuval-Davis
bersenjata, antara lain lebih lemah dan lebih menggunakan perasaan. 302 Pola
disarmed women) ini pada akhirnya berimbas pada semakin maraknya perkosaan
300
“The Military Has a Lot to Learn about Women” dalam New York Times, 1 Agustus 1992.
301
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 245.
302
Perempuan dalam militer juga dianggap mengacaukan konsentrasi barisan militer tersebut
karena tentara laki-laki lebih sibuk melindungi tentara perempuan dibandingkan menghadapi
musuh. N. Yuva-Davis, “Front and Rear: The Sexual Division of Labour in the Israeli Army”
dalam Feminist Studies, Vol. 11, No. 3, Tahun 1985, hlm. 649-675.
148
Dalam buku Against Our Will: Men, Women and Rape; Bananas, Beaches
and Bases: Making Feminist Sense of International Relations dan The Morning
After: Sexual Politics at the End of the Cold War, Brownmiller dan Enloe telah
tersebut adalah:
perempuan
tindak kejahatan biasa karena alasan dan dampaknya berbeda dan hal ini
penunjukkan power
149
Karakteristik-karakteristik ini merupakan bagian yang tak terpisahkan
perempuan terjadi di wilayah konflik di dunia dan adanya fungsi yang membuat
tindakan tersebut terus berlangsung maka fenomena ini sangatlah penting untuk
ditangani oleh perangkat hukum internasional dan tata sosial masyarakat secara
global. Perangkat hukum mengenai fenomena ini dapat disusun oleh organisasi
internasional dalam suatu kode etik perang. Sementara untuk mengubah tata sosial
dalam masyarakat, isu ini perlu diangkat ke dalam tataran kajian hubungan
kesadaran bagi masyarakat dunia untuk melihat bahwa fenomena ini berdampak
pemikiran dan perilaku dunia terhadap perempuan tidak hanya di masa perang
dapat dilihat fokus perspektif ini terletak pada kajian jender, berdasarkan
berada dalam posisi tidak aman terhadap penindasan di semua bidang, penindasan
ini terjadi di masa perang maupun damai namun lebih merugikan perempuan di
150
masa perang. Karena fungsinya di saat perang yang terlihat dalam pemikiran
Susan Brownmiller dan Cynthia Enloe, fenomena ini perlu ditangani secara serius
yang dialami secara kolektif, melihat bahwa terdapat hubungan power yang tidak
imbang antara perempuan dan laki-laki, perempuan berada dalam posisi yang
151
Perempuan
memiliki power - - v - - - -
yang lebih
sedikit daripada
laki-laki
Perempuan
berada dalam
posisi yang
tidak aman
- - - v - - -
terhadap
penindasan di
segala bidang
Penindasan
perempuan - - - - v - -
terjadi di masa
damai maupun
perang
Fenomena
perkosaan
perempuan
perlu ditangani
- - - - - v -
secara serius
melalui hukum
dan tata sosial
masyarakat
secara global
Fenomena
perkosaan - - - - - - v
perempuan di
wilayah konflik
menjalankan
fungsi tersendiri
dalam perang
antara laki-laki dan perempuan yang tidak imbang sebagai dasar terjadinya
kekerasan dan posisi perempuan yang tidak aman, perlunya menangani masalah
ini secara serius baik dari segi hukum internasional maupun kajian hubungan
152
internasional serta melihat fenomena perkosaan memiliki fungsi dalam konflik.
internasional. Perspektif feminis telah memberi sudut pandang yang peka jender
dalam berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa; sosiologi; teologi; kesehatan; hukum
Feminis berusaha untuk melawan dan mendekonstruksikan status quo yang ada
dari disiplin-disiplin ilmu tersebut. Cara yang diambil oleh feminis adalah dengan
menunjukkan dan menyadarkan adanya dimensi jender yang tak terlihat dalam
utama yang digunakan perspektif feminis yaitu jender sebagai faktor yang
153
mempengaruhi semua interaksi, di dalam maupun luar negara. Seperti yang telah
digambarkan dalam analisa perspektif di atas, kebijakan luar negeri dan militer
mayoritas dilakukan oleh laki-laki sehingga analisa dari aktivitas yang ada selama
peran jender dalam interaksi dilakukan agar posisi perempuan sebagai kelompok
yang berada dalam setiap hierarki dari hubungan yang terjadi di dunia terlihat.
laki-laki. Tanpa dilakukannya hal ini maka ilmu yang dikaji oleh studi hubungan
303
Sarah Brown, “Feminism, International Theory and International Relations of Jender
Inequality” dalam Millenium: Journal of International Studies, Vol. 17, No. 3, Tahun 1988, hlm.
469.
154
Salah satu fenomena yang tidak mendapatkan kajian yang signifikan
wilayah konflik dalam studi ilmu hubungan internasional berada dalam kajian
keamanan. Analisis feminis yang peka jender akan memberi kontribusi bagi
kajian keamanan dengan 2 cara yaitu (1) mengamati posisi perempuan dan
bagaimana keamanan atas mereka saat ini dilanggar, serta (2) dengan melihat
mereka. Namun ini adalah analisa naratif untuk memperlihatkan posisi politik
perempuan yang cenderung tersubordinasi. 305 Analisa ini sering disebut sebagai
Cara kedua dari konstribusi perspektif feminis yang peka jender adalah
155
perempuan dan kaitannya dalam studi keamanan. Perkosaan secara mendasar
secara sadar sebagai proses intimidasi. 307 Dalam studi keamanan, perkosaan
digunakan sebagai senjata dalam perang melawan negara lain dan melawan
dan tidak memanusiakan perempuan sebagai makhluk yang berdulat atas dirinya.
bidang kehidupan. Antara lain melalui pola perekonomian yang tidak adil.
156
division of labour) yang mengakibatkan perempuan menjadi korban dari
diterima dalam bidang pekerjaan tertentu baik karena alasan biologis maupun
jender, dan gaji perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Karena hanya sedikit perempuan yang berada dalam posisi utama pembuat
kebijakan ekonomi dan politik maka tidak ada pendekatan yang memfokuskan
tidak mengkaji peran perempuan dalam rumah tangga yang memiliki nilai
penyadaran bahwa antara lingkungan privat dan publik memiliki keterkaitan yang
saling menunjang. Sehingga timbul penghargaan yang sama penting bagi orang-
level kehidupan. Kebebasan mereka terbatasi secara politik dan budaya, dan
melalui argumen ini, semua tindakan yang tidak memanusiakan perempuan juga
maupun dunia ketiga bisa jadi memfokuskan kajian keamanan pada keamanan
157
kesehatan, pangan dan air bersih. Namun kesamaan dari keadaan-keadaan ini
adalah perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan terhadap ketidakamanan.
tradisional yang berfokus pada negara. Menurut feminis Cynthia Enloe, negara
konsepsi keamanan nasional yang melihat ancaman dari luar negara yang
pembantu rumah tangga, maupun pekerja seks komersial, maka studi keamanan
signifikan.
yang hadir di setiap interaksi. Kekerasan struktural ini terdapat dalam segala
Karena itu feminis Betty Reardon mengkonsepskan bahwa keamanan lahir dari
309
Enloe (1989), Op. Cit., hlm. 10.
158
keadilan sosial dan ekonomi yang menciptakan situasi yang lebih tahan terhadap
maka menurut feminis yang disuarakan oleh Ann Ticker, pola ketidakamanan
perempuan akan terus berlanjut. 311 Analisa ini juga menunjukkan bahwa usaha
budaya tidak dapat berhasil tanpa adanya penyadaran bahwa terdapat interaksi
hierarki dalam masyarakat, termasuk interaksi jender. Setelah masalah ini disadari
maka barulah pola interaksi bertingkat ini diubah melalui pemberdayaan. Dengan
Melihat bahwa keadaan dunia sekarang dalam keadaan tidak aman, karena
dan perempuan secara seimbang. Perspektif feminis melihat bahwa dikotomi antar
310
Betty Readon, “Feminist Concept of Peace and Security” dalam Paul Smoker, Ruth Davies dan
B. Munske (eds.), A Reader in Peace Studies, (Oxford: Pergamon Press, 1990), hlm. 138.
311
J. Ann Tickner, “Re-visioning Security” dalam Ken Booth dan Steve Smith (eds.),
International Relations Theory Today, (Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press,
1995), hlm. 175-195.
312
Tickner (1992), Op. Cit., hlm. 128.
159
berlangsung, tidak hanya di level negara tapi juga di dalam dan di luar negara.
jender dalam kajian ilmu. Walaupun tidak secara spesifik menjabarkan tentang
suatu bidang ilmu tertentu, pemikiran McIntosh dapat diaplikasikan untuk kajian
dipresepsikan tanpa perempuan dan analisanya terbatas pada pemilik power pada
bahwa perempuan tidak masuk dalam kajian ilmu. Beberapa perempuan kemudian
naik ke dalam kajian baik sebagai objek kajian maupun pengkaji. Namun keadaan
bahwa jika perempuan ingin masuk ke dalam kajian ilmu mereka harus bertindak
seperti pria di wilayah publik. Fase ketiga telah melihat absennya perempuan dan
menjadikan hal ini sebagai masalah karena kurikulum politik secara implisit
perempuan. Pada tahap ini perempuan lebih dilihat sebagai korban. Fase keempat
313
Peggy MacIntosh, Interactive Phases of Curricular Re-Vision: A Feminist Perspective,
(Massachusets: Wellesley College Center for Research on Women: 1983).
160
yang dilakukan mereka belum disadari sepenuhnya. Fase kelima merupakan
tingkatan akhir dari pemikiran McIntosh yang menunjukkan bahwa subjek yang
telah memasuki fase kedua dimana absennya perempuan dari kajian ilmu telah
disadari. Selain itu telah hadir pula perempuan-perempuan yang turut serta dalam
secara global dan belum timbul penghargaan terhadap peran domestik. Penelitian
ini merupakan upaya untuk menaikkan kajian ilmu hubungan internasional ke fase
Menurut Terry Terriff, Stuart Croft, Lucy James dan Patrick M. Morgan,
dan tujuan keamanan yang tidak diberikan hanya pada sebagian masyarakat saja,
dan melihat semua elemen yang kemudian dikaitkan dengan konsepsi dasar
314
Readon, Op. Cit., hlm. 144-150.
161
Dari dua prinsip utama feminis dalam mengkaji keamanan di atas, akan
apakah yang membuat keadaan tidak aman adalah laki-laki?” 315 Jawabannya
tidak berasal dari laki-laki secara kelompok. Ancaman berasal dari dinamika
power dan struktur yang didasarkan atas kekerasan dan ketidaksamaan yang
secara sosial tanpa paksaan dan disertai penghormatan satu sama lain. Hal-hal
inilah yang membuat perspektif feminis melihat keamanan secara berbeda dengan
internasional.
315
Terriff et. all., Op. Cit., hlm. 97-98.
162
BAB V
PENUTUP
Rape is not an accident of war, or an incidental adjunct to armed conflict. Its widespread
use in times of conflict reflects the unique terror it holds for women, the unique power it
gives the rapist over his victims, and the unique contempt it displays for it victims. The
use of rape in conflict reflects the inequalities women face in their everyday lives in
peacetime.
-Amnesty International- 316
We also wanted to know why it appeared so easy for the discipline (of International
Relations) to ignore women and issues and practices traditionally associated with
women.
-Marysia Zalewski- 317
V.1. Kesimpulan
kajiannya. Salah satu dari fenomena internasional yang terjadi secara luas
(widespread) dan merupakan bagian signifikan dari setiap perang yang ada di
dunia adalah perkosaan perempuan di wilayah konflik. Oleh karena itu dalam
skripsi ini penulis mengajukan tiga pertanyaan penelitian yang berusaha dicari
316
Amnesty International, “Rape In War” diakses dari
http://www.womenforwomen.org/rarrape.html pada tanggal 18 Januari 2006 pukul 10.05 WIB.
317
Marysia Zalewski, “Feminist in International Relations: What Impact on the Discipline?” dalam
Marianne Braig dan Sonja Wolte (eds.), Common Ground or Mutual Exclusion? Women
Movements and International Relations, (New York: Palgrave, 2002), hlm. 26.
163
perkosaan perempuan di wilayah konflik?” Dan pertanyaan ketiga yaitu
internasional?”
164
kajian studinya. Karena setiap perspektif memiliki cara pandang yang berbeda-
165
▬ Pihak miskin berada dalam posisi tidak aman terhadap eksploitasi
pihak kaya
▬ Kapitalisme akan mencapai titik jenuh sehingga untuk
mencegahnya diperlukan ekspansi kapital
▬ Struktur kelas dapat dihilangkan melalui revolusi di bidang sosial-
ekonomi-hukum
Dari analisa matriks yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa alasan
fenomena itu sebagai bagian dari kajiannya. Di bawah ini adalah alasan-alasan
wilayah konflik karena fokusnya hanya pada negara dan tidak melihat
pengalaman individu dalam negara. Realis melihat bahwa perkosaan adalah isu
antar individu bukan dalam tataran kajian hubungan internasional (isu privat dan
bukan publik). Perspektif ini juga hanya melihat adanya hubungan power antar
negara namun tidak dapat mengamati adanya hubungan power antara laki-laki dan
wilayah konflik dianggap bagian tak signifikan dan tidak memiliki fungsi dalam
166
negaralah yang dianggap berada dalam posisi tidak aman terhadap negara lain,
Perspektif ini juga tidak mempercayai bahwa hukum internasional dapat diberlaku
maka realis juga tidak melihat pentingnya kasus perkosaan untuk ditangani oleh
hukum tersebut.
isu-isu ekonomi, politik dan hukum sehingga kurang dapat mengkaji fenomena
konflik. Perspektif ini juga tidak melihat adanya pengaruh power yang
perempuan di wilayah konflik karena fokus utamanya pada kajian ekonomi dan
tidak mengkaji keadaan di saat konflik sehingga tidak mampu melihat fungsi
perempuan. Globalis tidak mengkaji jender secara spesifik karena hanya melihat
dari segi ekonomi sehingga tidak mampu memahami ketidakamanan yang dialami
167
perempuan lebih dari masalah ekonomi semata. Menurut globalis, hukum dapat
bagian dari studi HI adalah karena ketidakmampuan perspektif utama HI yang ada
konflik diperlukan alat analisis yang peka terhadap jender dan mampu
masalah jender yang turut membentuk tata interaksi seluruh hubungan di dunia.
terdapat hubungan hierarkis antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh
kepemilikan power yang tidak imbang. Dimana perempuan memiliki power yang
lebih sedikit melalui bentukan sosial, ekonomi, politik, budaya dan keamanan
sehingga mereka kurang berdaya dalam melakukan pilihan. Oleh karena itu maka
maupun damai.
168
Feminis yang secara spesifik mengkaji tentang perkosaan perempuan
karena menjalankan fungsi tertentu, antara lain sebagai alat teror dan pampasan
perang dari tubuh perempuan yang merupakan medan perang simbolik, maka
perkosaan di wilayah konflik tidak terjadi secara acak namun mengikuti suatu
itu maka diperlukan penanganan serius atas kasus perkosaan perempuan melalui
hukum nasional dan internasional serta tata sosial masyarakat secara global.
169
internasional dengan cara pandangnya terhadap isu. Hal ini menjawab pertanyaan
setiap interaksi namun tidak terlihat oleh kajian HI yang malestream sehingga
yang lebih lemah. Perempuan memiliki power lebih sedikit dibandingkan dengan
laki-laki dan dikondisikan terus-menerus seperti itu jika kekerasan struktural tidak
peka jender dalam mengkaji isu-isu internasional, yaitu perspektif feminis. Dan
terhadap kajian HI secara lebih luas. Maka dapat dikatakan bahwa hipotesa
170
V.2. Saran
dalam studi hubungan internasional tidak hanya dalam bidang keamanan, namun
juga politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karena itu penulis
empower).
171
sejati membutuhkan tidak hanya absennya perang, namun eliminasi hubungan
Konsepsi keamanan yang ada selama ini kurang tepat karena tidak
yang sebenarnya berlangsung, tidak hanya di level negara tapi juga di dalam dan
kehidupan maka kajian internasional yang peka jender akan mampu menganalisa
Sebagai penutup dari bab ini, penulis akan memberi saran-saran usaha
dilakukan adalah:
172
2. Memberikan penyadaran bahwa perkosaan perempuan merupakan
spesifik
173
harus dilakukan baik di masa damai maupun perang, dengan pemerintahan
tegas
perkosaan baik yang terjadi di masa damai maupun konflik agar dapat
(mainstreaming gender)
174
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aafjes, Astrid. 1998. Gender Based Violence: The Hidden War Crime.
(Washington DC: Women, Law & International).
Amnesty International. 1995. Human Rights are Women’s Rights. (London: AI).
Amnesty International. 2004. Rwanda: Marked for Death, Rape Survivors Living
with HIV/AIDS in Rwanda. (London: AI).
Beauvoir, Simone de. 1952. The Second Sex. (New York: Knopf Publishing).
Benjamin, Judy dan Lynn Murchison. 2002. Gender Based Violence: Care &
Protection of Children in Emergencies, A Field Guide. (Liberia: Save the
Children).
Booth, Ken dan Steve Smith (eds.). 1995. International Relations Theory Today.
(Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press).
Braig, Marianne dan Sonja Wolte (eds.). 2002. Common Ground or Mutual
Exclusion? Women Movements and International Relations. (New York:
Palgrave).
Brownmiller, Susan. 1975. Against Our Will: Men, Women and Rape. (New York:
Pinguin Books).
Carr, Edward Hallett. 1962. The Twenty Years Crisis, 1919-1939. (London:
Macmillan and Co.).
Clausewitz, Carl von. 1976. On War. (New Jersey: Princeton University Press).
Coser, Lewis A. 1956. The Function of Social Conflict, (New York: Free Press).
175
International Relations: A Comprehensive Survey, 4th Edition. (New York:
Longman).
Elhstain, Jean Bethke. 1981. Public Man, Private Woman: Women in Social and
Political Thought. (Princeton: Princeton University Press)
Elhstain, Jean Bethke. 1987. Women and War. (New York: Basic Books).
Enloe, Cynthia. 1989. Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of
International Relations. (London: Pandora Press)
Enloe, Cynthia. 1993. The Morning After: Sexual Politics at the End of the Cold
War. (Berkeley: University of California Press).
Engels, Friedich. 1972. The Origins of Family, Private Property and the State.
(London: Lawrence & Wishart).
Eatwell, John, Murray Milgate dan Peter Newman (eds.). 1989. The New
Palgrave: Invisible Hand. (New York: W.W. Norton).
Giller, Jane E., et all. 1991. Uganda: War, Women and Rape. (London: Lancet).
Hassan, Mohamed Jahwar, Stephen Leong dan Vincent Lim (eds.). 2002. Asia
Pacific Security Challenges and Opportunities in the 21st Century.
(Malaysia: ISIS).
Holsti , K.J. 1992. International Politics: A Framework for Analysis, 6th Edition.
(New Jersey: Prentice-Hall,).
Human Rights Watch. 1999. Leave No One to Tell Story: Genoside in Rwanda.
(New York: Human Rights Watch).
Human Rights Watch. 2004. Struggling to Survive: Barriers to Justice for Rape
Victims in Rwanda. (New York: Human Rights Watch).
176
Kuhn, Thomas. 1996. Structure of Scientific Revolutions. (Chicago: University of
Chicago Press).
Light, Margot dan John Groom (eds.). 1985. International Relations: A Handbook
of Current Theory, (London: Pinter).
Locke, John, et. all. 1962. Social Contract. (London: Oxford University Press).
Lowi, Theodore J. 1969. The End of Liberalism: Ideology, Policy, and the Crisis
of Public Authority. (New York: Norton).
Machiavelli, Niccolo. 1940. The Prince and the Discourses. (New York: Random
House).
Meintjes, S., A. Pillay dan M. Turshen. 2001. The Aftermath: Women in Post-
Conflict Transformation. (London: Zed Books).
Mies, Maria. 1986. Patriarchy and Accumulation on a World Scale. (London: Zed
Books).
Moser, Caroline dan Fiona Clark (eds.). 2001. Victims, Perpetrators or Actors?
Gender, Armed Conflict and Political Violence. (London: Zed Books).
Morgenthau, Hans. 1966. Politics Among Nations: The Struggle of Power and
Peace, 4th ed.. (New York: Alfred A. Knopf).
177
Peters, Julie dan Andrea Wollper (eds.). 1995. Women’s Rights, Human Rights.
(New York: Routledge).
Peterson, V. Spike dan Anne Sisson Runyan. 2000. Global Gender Issues.
(Colorado: Westview Press).
Sasson, Jean P. 1991. The Rape of Kuwait: The True Story of Iraqi Atrocities
Against Civilian Population. (London: Knightsbridge Pub. Co).
Seifert, Ruth. 1992. War and Rape: A Preliminary Analysis. (Prague: Women’s
International League for Peace and Freedom).
Shute, Stephen dan Susan Hurley. 1993. On Human Right: The Oxford Amnesty
Lectures. (Oxford: Oxford University Press).
Sivard, Robert L. 1991. World Military and Social Expenditures 1991, 14th
edition. (Washington D.C.: World Priorities Inc.).
Smith, Adam. 1910. An Inquiry into the Nature and Cause of Wealth of Nations.
(London: JM. Dent).
Smoker, Paul, Ruth Davies dan B. Munske (eds.). 1990. A Reader in Peace
Studies, (Oxford: Pergamon Press).
Stanford, Victoria. 2003. Buried Secret: Truth and Human Rights in Guatemala.
(New York: Palgrave Macmillan).
Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. 2001. International Relations: Perspectives and
Themes. (England: Longman).
Stiglmayer, Alexandra (ed.). 1994. Mass Rape: The War Against Women in
Bosnia-Herzegovina. (London: University of Nebraska Press).
Subono, Nur Iman (ed.). 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan.
(Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan).
178
Journey. (Cambridge: Cambridge Studies in International Relations).
Terriff, Terry, Stuart Croft, Lucy James dan Patrick M. Morgan. 1999. Security
Studies Today. (Cambridge: Polity Press).
Tomaselli, Sylvana dan Roy Porter. 1986. Rape. (London: Zed Books).
United Nations High Commissioner for Refugees. 1986. Services for Vietnamese
Refugees Who Have Suffered from Violence at Sea: An Evaluation of the
Project in Thailand and Malaysia. (Genewa: UNHCR).
United Nations. 2001. Beijing Declaration and Platform for Action with the
Beijing+5 Political Declaration and Outcome Document. (New York:
Department of Public Information United Nations).
United Nations. 2005. Women & Elections: Guide to Promoting the Participation
of Women in Elections. (New York: United Nations Department of Public
Information).
United Nations General Assembly. 2001. Review of Reports, Studies and Other
Documentation for the Preparatory Committee and the World Conference.
(New York: Department of Public Information United Nations).
United Nations High Commissioner for Human Rights. 2005. Access to Justice
for
Victims of Sexual Violence. (New York: Department of Public Information
United Nations).
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1999. School for Rape: Perkosaan
179
Sistematis di Burma. (Jakarta: YLBHI).
Yentriyani, Andy. 2004. Politik Perdagangan Perempuan, (Yogyakarta: Galang
Press).
Vasquez, John (ed.). 1990. Classics of International Relations, 2nd Edition. (New
Jersey: Prentice Hall).
Winters, Rebecca. 1999. Buibere: The Voice of East Timorese Women. (Darwin:
East Timor International Support Center).
“The Military Has a Lot to Learn about Women”. New York Times. 1 Agustus
1992.
Barbara Bedont dan Katherine Hall Martinez. “Ending Impunity for Gender
Crimes under the International Criminal Court”. The Brown Journal of
World Affairs. Vol. VI. Issue 65-85. Tahun 1999.
Catherine Nolin Hanlon dan Finola Shankar. “Gendered Spaces of Terror and
Assault: The Testimonio of Remhi and the Commission for Historical
Clarification in Guatemala”. Gender, Place and Culture: A Journal of
Feminist Geography. Vol. 7. No. 3. Tahun 2000.
Chris Hedges. “Foreign Maids in Kuwait Fleeing by the Hundreds”. New York
Times. 24 Februari 1993.
180
David Mitrany. “The Functional Approach to World Organization”. International
Affairs. Vol. 24. No. 3. Juli 1948.
Graham T. Allison. “Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis”. American
Political Science Review. Vol. 63. September 1969.
J. Ann Tickner. “Why Women Can’t Run the World: International Politics
According to Francis Fukuyama”. International Studies Review. Vol. 1.
No. 3. Tahun 1999.
Jennifer Harbury. “War Crimes: Women Begin to Speak, The Rape of Indigenous
Women in the 1970’s-1980’s Guatemalan Civil War”. Cerigua Weekly Briefs.
No. 48. 11 Desember 1997.
N. Yuva-Davis. “Front and Rear: The Sexual Division of Labour in the Israeli
Army”. Feminist Studies. Vol. 11. No. 3. Tahun 1985.
Raymond Bonner. “Report from Kuwait: A Women’s Place”. The New Yorker. 16
November 1992.
Sian Powell. “East Timor’s Children of the Enemy”. The Weekend Australian.
Edisi 1. 10 Maret 2001.
181
Yosef Lapid. “The Third Debate: On the Prospects of International Theory in
Post-Positivist Era”. International Studies Quarterly. Vol. 33. No. 3.
Tahun 1989.
Website
“Darfur Conflict”. http://en.wikipedia.org/wiki/Darfur_conflict. 1 Mei 2006.
22.25 WIB.
“Sierra Leone: Getting Away with Murder, Mutilation, Rape, New Testimony
from Sierra Leone”. http://www.hrw.org/reports/1999/sierra/. 1 Mei 2006.
22.15 WIB.
182
“Sexual Violence within the Sierra Leone Conflict”.
http://www.hrw.org/backgrounder/africa/sl-bck0226.htm. 27 Desember
2005. 15.55 WIB.
Denise Lifton. “Northen Uganda Brutal War: Murder, Rape, Abductions and
Mutilations in the Name of Ten Commandments”.
http://www.worldhunger.org/articles/africa/lifton.htm. 1 Mei 2006. 22.45
WIB.
183
http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/3426273.stm. 1 Mei 2006. 23.30
WIB.
Jennifer Herbury. “War Crimes: Women Begin to Speak, The Rape of Indigenous
Women in the 1970s-1980s Guatemala Civil War”.
http://www.libertadlatina.org/LatAm_Guatemala_Indigenous_Rape_In_Ci
vil_War.htm. 1 Mei 2006. 22.55 WIB.
Joanne Mariner. “The War Crime of Rape in Darfur: The Least Condemned War
Crime”. http://www.cnn.com/2004/LAW/10/27/rape.darfur/. 18 Januari
2006. 13.15 WIB.
Vesna Kesic. “The Status of Rape as War Crime in International Law: Changes
Introduced After War in Yugoslavia and Rwanda”. http://www.seeline-
project.net/status_rape.htm. 2 Januari 2006. 18.10 WIB.
Yayori Matsui. “Women and Arm Conflict: Foreign Military Bases as a Source of
Violence against Women”.
http://www.aworc.org/bpfa/gov/escap/vaww.html. 25 Desember 2005.
10.05 WIB.
184