You are on page 1of 185

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
PROGRAM SARJANA REGULER

SKRIPSI

KONTRIBUSI PERSPEKTIF FEMINIS DALAM STUDI


HUBUNGAN INTERNASIONAL:
SEBUAH TINJAUAN TERHADAP FENOMENA
PERKOSAAN PEREMPUAN DI WILAYAH KONFLIK

Oleh:
Fitriani
0901080119

Diselesaikan untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk


meraih gelar
Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
dalam Semester Genap Tahun Akademik 2005/2006

Depok
Juli 2006
BAB I
PENDAHULUAN

Ketika Medusa diperkosa oleh Poseidon, Athena justru mengutuk dewi itu menjadi
makhluk buruk rupa dengan kepalanya ditumbuhi ular-ular, mulut menyeringai cakar
binatang liar dan tatap matanya menjadikan orang batu, sementara Dewa Laut Poseidon
dibiarkan bebas begitu saja. Konon Athena menyalahkan perkosaan pada Medusa yang
dianggap menggoda. Berita Medusa menjadi iblis perempuan mendatangkan Perseus
untuk memenggal lehernya. Yang kemudian, oleh bapak para penyair Homer, Perseus
diabadikan sebagai pahlawan.
-Mitologi Yunani Kuno-

I. 1. Latar Belakang

Borislav Herak adalah seorang tentara Serbia yang sebelum perang


bermula di Sarjevo memiliki hubungan yang baik dengan saudara
iparnya yang Muslim. Pada awal tahun 1992 dia direkrut oleh
milisi nasional Serbia untuk turut berperang dan sejak itulah ia
mendapatkan akses yang belum pernah ia dapat: video, televisi dan
perempuan. Herak masih terlalu muda untuk mempertanyakan
perintah komandannya untuk memperkosa perempuan Muslim
yang disekap pasukan mereka di sebuah motel di luar kota
kekuasaan Bosnia, Vogosca. Dan ia mengasumsikan bahwa sang
komandan menyuruh ia dan orang-orang dalam pasukannya untuk
membunuh perempuan tersebut setelah diperkosa. Herak hanya
merasa menjalankan perintah. 1

Di Myanmar, 300.000 laki-laki di bawah umur 17 tahun yang


sebagian besar tak berpendidikan dipaksa mendaftarkan diri dalam
todongan senapan dan dijanjikan bayaran yang tak pernah mereka
terima sepenuhnya. Mereka diberi senjata, dilatih menembak dan
melakukan penyerangan mendadak. Diyakinkan bahwa musuh
mereka adalah etnik minoritas, mahasiswa, perempuan, siapapun
yang tak setuju terhadap pemerintah. Mereka diberi alkohol, dibuat
saling memukul dan tidak memberi hati pada yang lemah. Ini
adalah State Law and Order Restoration Council yang dikenal
sebagai tentara Tatmadaw Burma. 2 Jumlah tentara ini selalu
bertambah dari tahun ke tahun dengan pola perekrutan yang sama.
Mereka memperkosa perempuan suku Karenn, Karenni, Mon dan

1
John F. Burns, “A Serbian Fighter’s Trail of Brutality” dalam New York Times, 27 November
1992.
2
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, School for Rape: Perkosaan Sistematis di Burma,
(Jakarta: YLBHI, 1999), hlm. 1.

1
Shah yang jumlahnya mencapai 36.800 orang di antara 1,5 juta
penduduk etnik minoritas di Myanmar. 3

Armandina dos Santos adalah adik perempuan dari Xanana


Gusmao yang merupakan pemimpin pergerakan perlawanan
Timor-Timur. Pada 25 November 1992, Armandina dan suaminya
Gilman Exposto dos Santos ditangkap bersama sanak-saudara
Xanana lainnya. Selama penahanan, Armandina diinterogasi dan
dipaksa tidur terpisah dari suaminya. Selama sesi interogasi, ia
dilecehkan dan diperkosa oleh para anggota Komando Pasukan
Khusus Indonesia. Selain melampiaskan kekesalan pada Xanana
melalui adiknya, mereka juga marah karena Armandina ditunjuk
menjadi sekertaris pribadi Nyonya Carrascalao yang merupakan
istri Gubernur Timor-Timur saat itu. Mereka mencurigai
Armandina merupakan penghubung politik Xanana dan
Carrascalao. 4

Jepang menginvasi Cina mulai tahun 1931. Pada 13 Desember


1937 setelah memenangkan Perang Shanghai, tentara Jepang
berjalan maju menguasai ibukota Cina saat itu, Nanking.
Pemimpin Cina, Chiang Kai Sek telah melarikan diri terlebih
dahulu sehingga tidak ada pertahanan yang cukup untuk menjaga
Nanking. Di hari-hari itu perempuan berusia mulai 9 tahun hingga
orang tua mengalami tindak perkosaan yang brutal. Perkosaan
sistematis terjadi di siang hari ketika tentara Jepang menyisir
rumah-rumah dan dilakukan di depan keluarga. Ada yang disekap
dan diperkosa bersama-sama lalu dibunuh, tak jarang pembunuhan
dilakukan dengan cara mutilasi. Selama masa pendudukan Jepang,
perkosaan terus berlanjut melalui perbudakan seksual. 5

Dari kasus-kasus yang digambarkan di atas, terlihat bahwa perang adalah

aktivitas manusia yang terjenderisasi. Walaupun memiliki kemungkinan yang

sama untuk menjadi pelaku maupun korban, perempuan dan laki-laki mengalami

kekerasan dalam konflik dengan cara yang berbeda. Laki-laki umumnya dipaksa

untuk pergi berperang dan terbunuh di dalam aksi senjata, sementara perempuan

3
Ibid., hlm. 35.
4
Hasil wawancara dengan Armandina dan Gilman yang dilakukan oleh George Aditjondro dalam
George Aditjondro, “Kekerasan Negara Terhadap Perempuan di Timor Timur” dalam Nur Iman
Subono (ed.), Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2000, hlm. 164-165.
5
“Nanking Massacre” diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Nanking_Massacre pada tanggal
12 April 2006 pukul 23.05 WIB.

2
mengalami kekerasan seksual, pemaksaan kehamilan, penculikan, perkosaan,

perbudakan seksual dan pemaksaan prostisusi. 6 Membaca sejarah peperangan,

didalamnya secara umum tertulis pihak yang menang dan yang kalah; berapa

jumlah tentara dan sipil yang tewas; serta berapa banyak kerugian yang diderita.

Jarang sekali terdapat penelitian yang mengangkat tentang berapa banyak jumlah

perempuan yang menjadi korban perkosaan, dilakukan oleh siapa, apa motifnya

dan apa yang terjadi setelah tindakan tersebut dilakukan. Perkosaan dipandang

sebelah mata dalam konflik, sebagai byproduct dari perang, tanpa melihat dampak

trauma yang diderita perempuan ataupun keturunan ‘tak berumah’ yang

dihasilkannya.

Dalam satu abad yang lalu, terjadi sedikitnya 6 kasus perkosaan massal

yang terdokumentasikan, 7 yaitu Perkosaan Nanjing pada tahun 1937, “jugun

ianfu” (budak seksual) di kamp-kamp Jepang di masa penguasaannya di Asia,

perkosaan perempuan Jerman di akhir Perang Dunia II, perkosaan saat

Bangladesh berusaha memisahkan diri dari Pakistan di awal 1970an, perkosaan

pada konflik antar suku di Yugoslavia dan pada konflik serupa di Rwanda di awal

1990an. Kasus-kasus ini dapat naik ke permukaan karena jumlah korbannya yang

besar, walaupun kuantitas tersebut berbeda di setiap sumbernya.

Hal ini terlihat pada pemberitaan kasus perkosaan Nanking di mana

perkiraan jumlah perempuan yang diperkosa berbeda-beda antara 20.000 hingga

6
Introduction dalam “Women War Peace” diakses dari
http://www.unifem.org/filesconfirmed/149/212_introduction.pdf pada tanggal 20 November 2005
pukul 12.10 WIB.
7
Shana Swiss dan Joan A. Giller, “Rape as a Crime of War – A Medical Perspective” dalam
Journal of the American Medical Association, 4 Agustus 1993, Vol. 270, No. 5, hlm. 612-615.

3
80.000 jiwa. 8 Sementara dalam kasus Bosnia menurut catatan Mentri Dalam

Negeri-nya terdapat sejumlah 60.000 perempuan yang diperkosa oleh tentara

militer dan paramiliter Serbia, laporan komisi ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) yang dikeluarkan tahun 1994 menyatakan 4.500 kasus perkosaan yang

tercatat, sementara dalam laporan Komisi Uni Eropa pada Februari 1993

perkosaan di Bosnia berjumlah 20.000 kasus. 9

Data yang berbeda-beda membuat kaum kuantitatif akan sulit melihat

kasus perkosaan dalam wilayah konflik secara “objektif” karena skala

signifikasinya tidak bisa dinilai. Angka dalam statistik tidak bisa digunakan untuk

memahami fenomena kompleks perkosaan perempuan karena adanya tarik-

menarik kepentingan. Hal ini terjadi sebab dalam perang tidak ada badan

independen yang mencatat jumlah korban, hanya laporan dari pemerintah,

sedangkan logisnya tidak ada negara yang secara terbuka menyatakan pihaknya

melakukan tindak kejahatan, termasuk perkosaan perempuan.

Selain itu jika pendekatan kuantitatif digunakan, maka berapakah jumlah

minimal korban sehingga isu perkosaan di wilayah konflik dapat diangkat sebagai

suatu isu yang signifikan? Di Banglades, diperkirakan 250.000 hingga 400.000

perempuan menjadi korban perkosaan dalam perang kemerdekaan di tahun 1971

yang menimbulkan 25.000 kehamilan. 10 Di Asia Tenggara, United Nations High

Commissioner for Refugees melaporkan 39% dari perempuan perahu asal

Vietnam berusia antara 11 dan 40 tahun yang mengungsi diculik dan diperkosa di

8
“Nanking Massacre”, Log. Cit.
9
Cherif Bassiouni dan Marcia McCormick, Sexual Violence: An Invinsible Weapon of War in
Yugoslavia, (Geneva: International Human Rights Law Institute, 1996), hlm. 10 dan 44.
10
Susan Brownmiller, Against Our Will: Men, Women and Rape, (New York: Pinguin Books,
1975), hlm. 14.

4
laut pada tahun 1985. 11 Di Uganda dilaporkan oleh dinas kesehatan setempat

bahwa 70% perempuan di kawasan Luwer telah diperkosa oleh tentara di awal

1980an, perkosaan tersebut dilakukan oleh sekitar 10 tentara setiap kalinya.12

Dalam laporan Human Rights Watch Report tahun 2002 diberitakan sedikitnya

3.000 perempuan di Shabunda, Kongo bagian timur, merupakan korban perkosaan

yang terjadi akhir 1999 hingga pertengahan 2001. 13

Bagaimana menjelaskan dan menghitung perkosaan yang dilakukan oleh

gerombolan tentara dengan 30 personil kepada seorang perempuan? Atau

perkosaan terhadap sekelompok anak-anak perempuan semuda 9 tahun, 6 tahun

hingga bayi 9 bulan? 14 Susan Brownmiller, feminis yang menganalisa perkosaan,

menyatakan bahwa setelah perang usai, kejahatan seksual yang terjadi di masa

konflik sering digunakan untuk daya tawar politik dalam negosiasi internasional

antara pihak “yang menang” dan “yang kalah” 15 . Misalnya seperti dalam kasus

“jugun ianfu” masa pendudukan Jepang di Indonesia ataupun pengadilan

kejahatan Perang Dunia II di Nurenberg.

Jika pun kasus perkosaan perempuan di wilayah konflik bisa dihitung,

jumlah tersebut layaknya permukaan gunung es yang hanya terlihat sebagian kecil

dibandingkan jumlah sebenarnya. Karena terdapat mayoritas kediaman (silent

11
United Nations High Commissioner for Refugees, Services for Vietnamese Refugees Who Have
Suffered from Violence at Sea: An Evaluation of the Project in Thailand and Malaysia. (Genewa:
UNHCR, 1986), hlm. 8.
12
Jane E. Giller, et all., Uganda: War, Women and Rape, (London: Lancet, 1991), hlm. 337 dan
604.
13
Tiare Rath, “In War-Riddled Congo, Militias Rape with Impunity” diakses dari
http://www.feminist.com/news/news192.html pada tanggal 12 April 2005 pukul 11.11 WIB.
14
Yayori Matsui, “Women and Arm Conflict: Foreign Military Bases as a Source of Violence
against Women” diakses dari http://www.aworc.org/bpfa/gov/escap/vaww.html pada 25 Desember
2005 pukul 10.05 WIB.
15
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 14.

5
majority) perempuan korban perkosaan yang tidak menceritakan tindak perkosaan

atas mereka karena beberapa sebab, antara lain trauma pribadi untuk mengingat

ulang kejadian tersebut, menghadapi ketidaknyamanan suasana pelaporan yang

dilakukan, dan keadaan masyarakat di mana mereka hidup yang belum tentu bisa

menerima perempuan korban perkosaan. Hal-hal tersebut membuat kasus

perkosaan di wilayah konflik bermakna tidak hanya sekedar angka-angka statistik,

namun juga sebagai pengalaman traumatis perempuan korban kekerasan yang

sepatutnya diikutsertakan dalam kajian perang dan damai.

Sayangnya sepanjang sejarah, perkosaan dan kekerasan terhadap

perempuan di wilayah konflik tidak dianggap sebagai isu yang signifikan dan

mendapatkan penyelesaian hukum yang layak. Perkosaan perempuan sudah

terjadi semenjak jaman Yunani digambarkan melalui mitologi perkosaan Europa

dan Ganymede oleh Zeus yang tidak terhukum. Di abad pertengahan, terdapat

pengaturan bahwa pria yang memperkosa seorang perempuan diwajibkan untuk

membayar ganti rugi kepada suami atau ayah dari perempuan tersebut. Peraturan

yang melarang perkosaan dilakukan di wilayah konflik baru diciptakan oleh Raja

Richard II tahun 1385 dan dilanjutkan oleh Hendry V tahun 1419. Hukum inilah

yang mengadili para pemerkosa pada Perang Seratus Tahun (1337-1453). 16

Peraturan internasional mengenai hukuman terhadap tindak kekerasan di

masa konflik sudah ada sejak tahun 1949 dalam Protokol Konvensi Genewa

tentang Kejahatan Perang. 17 Walaupun begitu perkosaan tidak dicantumkan

16
“Rape” diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Rape pada tanggal 12 April 2006 pukul 09.15
WIB.
17
“Geneva Convention” diakses dari http://www.globaliissuesgroup.com/geneva/texts.html pada
tanggal 20 November 2005 pukul 10.15 WIB.

6
secara spesifik sehingga protokol ini tidak mampu menghukum tindak perkosaan

dalam Perang Dunia II pada Pengadilan Nurenberg dan Pengadilan Tokyo. 18 Pada

tahun 1977 terdapat Tambahan Protokol Konvensi Genewa tahun 1977 yang

menyatakan bahwa perkosaan, pemaksaan prostitusi dan tindakan tak pantas

lainnya (indecent assault) dianggap sebagai tindakan yang memalukan dan

merendahkan. 19 Hal yang mana masih tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan

yang fatal dilakukan terhadap manusia. Protokol ini membuat seolah-olah

perkosaaan merupakan tindak kejahatan yang lebih tak serius dibandingkan

kejahatan perang lain.

Pertama kalinya perkosaan perang mendapat sanksi hukum dari dunia

internasional adalah pada kasus di Yugoslavia tahun 1994 melalui International

Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY). Statuta ICTY merupakan dokumen

legal pertama yang menyatakan tindak perkosaan sebagai kejahatan

humanitarian. 20 Hal ini membuatnya dapat dituntut sebagai kejahatan perang

dengan mengajukan bukti bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari usaha

menyerang populasi sipil dengan latar belakang nasional, politikal, etnis dan

agama. ICTY berhasil menghukum lebih dari 61 orang, termasuk mantan Presiden

Srpska, Radovan Karadzic. 21

18
David J. Scheffer, “Rape as a War Crime” diakses dari
http://www.converge.org.nz/pma/arape.htm pada tanggal 20 November 2005 pukul 10.05 WIB.
19
Baca Protokol Kovensi Genewa dan Protokol Tambahan tahun 1977 di “Geneva Convention”,
Op. Cit.
20
Statuta ICTY Artikel 5 diakses dari http://www.un.org/icty/basic/statut/stat2000_con.htm pada
tanggal 2 Januari 2006 pukul 17.10 WIB.
21
“International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia” diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Tribunal_for_the_Former_Yugoslavia pada
tanggal 18 Januari 2006 pukul 13.25 WIB.

7
Keberhasilan dalam memberikan sanksi hukum pada perkosaan sebagai

kejahatan perang dilanjutkan dalam konflik Rwanda tahun 1995 dengan

International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). 22 Statuta ICTR adalah

pertama kali kasus perkosaan dimasukkan sebagai salah satu bagian dari genosida.

Hal ini dikarenakan perkosaan terhadap perempuan dalam konflik tersebut

digunakan sebagai strategi perang untuk menghancurkan etnis yang dianggap

musuh. Hingga kini, lebih dari 10 tahun sesudahnya, pencapaian internasional

dalam menghukum pelaku perkosaan perempuan di wilayah konflik belum

menyamai hasil seperti dalam tribunal internasional Yugoslavia dan Rwanda.

I. 2. Permasalahan

“Personal adalah politis” merupakan slogan yang paling dikenal dari

feminis radikal. Slogan ini pertama kali disuarakan oleh Carol Hanisch dalam

buku Notes from the Second Year (1970) yang mengangkat isu bahwa pembedaan

antara lingkup publik dan privat adalah keliru. 23 Slogan ini menggambarkan

bagaimana posisi perempuan (sebagai entitas personal) dibentuk secara politis

untuk menempati ruang-ruang privat, sementara laki-laki di ruang publik yang

membuat keputusan. Dikotomi ini dibuat sedemikian rupa untuk membentuk

sebuah sistem yang stabil menyokong negara maupun dunia secara keseluruhan.

Kasus-kasus perkosaan awalnya dipandang sebagai masalah privat yang

tidak dipandang serius sebagai masalah publik. Susan Brownmiller menyatakan

bahwa perkosaan selalu terjadi di setiap konflik bersenjata di manapun di dunia


22
Vesna Kesic, Log. Cit.
23
Maggie Humm, Ensiklopedia Feminis¸ Terj. Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2002), hln. 338.

8
namun kajian hubungan internasional jarang sekali mengangkat fenomena

tersebut sebagai salah satu isu penting. 24 Perkosaan adalah senjata mendasar laki-

laki melawan perempuan, ujian untuk superioritasnya dan digunakan secara sadar

sebagai suatu proses intimidasi. Melalui perkosaan perempuan ditransformasikan

menjadi objek. Jika dikaitkan dengan kajian keamanan tradisional, perkosaan

sering digunakan sebagai senjata perang melawan negara lain dan perempuan

secara keseluruhan. 25

Simone de Beauvoir, feminis yang menganalisa posisi perempuan di

masyarakat patriarkis, dalam bukunya The Second Sex menyebutkan:

“representasi dunia, sama seperti dunia itu sendiri, adalah buatan


laki-laki; mereka menggambarkannya dari sudut pandang mereka
sendiri, yang mereka tumpang-tindihkan dengan kebenaran
absolut” 26

Pendapat Beauvoir yang dikeluarkan lebih dari setengah abad lalu masih

belum dapat dipatahkan karena menurut data Inter-Parliamentary Union yang

dikutip Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2004 perempuan hanya

menduduki 15,4% dari konstitusi di dunia. Jumlah tersebut barulah setengah dari

target 30% representasi perempuan dalam badan legislatif dari Deklarasi Beijing

dan laporan United Nations Development Programme tahun 1995. 27 Terlihat

bahwa selama ini kebijakan luar negeri dibentuk oleh laki-laki, termasuk dalam

keputusan mendeklarasikan perang. Sementara yang menjadi mayoritas korban

24
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 35 dan 14-15.
25
Catharine MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State, (Cambrige: Harvard University
Press, 1989), hlm. 172.
26
Simone de Beauvoir, The Second Sex, (New York: Knopf Publishing, 1952), hlm. 161
27
United Nations, Women & Elections: Guide to Promoting the Participation of Women in
Elections, (New York: United Nations Department of Public Information, 2005), hlm. 6.

9
dari konflik bersenjata adalah perempuan dan anak-anak, yang menyusun sekitar

90% dari jumlah pengungsi. 28

Karena kebijakan luar negeri dan kebijakan militer sebagian besar

dikonstruksikan oleh laki-laki, disiplin yang menganalisa fenomena-fenomena

tersebut akan berfokus pada laki-laki dan maskulinitas. Terlihat dari kajian

hubungan internasional yang didominasi oleh pemikiran-pemikiran maskulin

seperti Niccolo Machiavelli dalam The Prince; Hans Morgenthau dengan

konsepnya political man; dan buku Kenneth Waltz Man, the State and War.

Sehingga jarang timbul kesadaran bahwa di dalam kajian ilmu itu sendiri tindakan

manusia telah diasosiasikan dengan maskulinitas. Berangkat dari keadaan ini

Cynthia Enloe dalam bukunya mengenai politik seksual menanyakan secara

terbuka “Where are the women?” Di manakah perempuan dalam terjadinya

fenomena hubungan internasional yang cenderung hanya melihat pihak yang jahat

dan jagoan? 29 Perempuan jarang sekali ada dalam podium-podium pembuat

keputusan, sedikit di antara mereka yang berada di dalam angkatan bersenjata

namun paling banyak di barisan korban.

Dimanakah pula perempuan dalam kajian hubungan internasional tentang

keamanan? Tampaknya Thomas Hobbes tidak memikirkan hal tersebut ketika ia

menyatakan perang adalah “everyman against everyman” yang disebutnya sebagai

28
Robert L. Sivard, World Military and Social Expenditures 1991, 14th edition, (Washington D.C.:
World Priorities Inc., 1991), hlm. 3.
29
Cynthia Enloe, Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International Relations,
(London: Pandora Press, 1989), hlm. 133 yang ditanya ulang oleh Enloe dalam The Morning
After: Sexual Politics at the End of the Cold War, (Berkeley: University of California Press, 1993),
hlm. 20.

10
tingkah laku negara di dalam sistem internasional. 30 Begitu juga saat Machiavelli

mengkonstruksikan Fortuna, dewi Roma yang digambarkan sulit mengambil

keputusan dan tak dapat ditebak. Sesuai ujaran Machiavelli, “Fortuna adalah

perempuan, dan adalah suatu kepastian jika ingin menguasainya, ia harus

ditakhlukkan menggunakan kekuatan.” 31 Kekuatan yang didefinisikan secara

maskulin merupakan titik utama dari kajian hubungan internasional yang

fokusnya adalah power dan negara. Perempuan tidak tampak dalam pemikiran

hubungan internasional padahal ilmu berperan untuk mengangkat suatu isu

menjadi kajian.

Oleh karena perkosaan perempuan di wilayah konflik merupakan suatu

fenomena yang kerap terjadi dan memiliki lingkup mendunia maka sepantasnya

masalah ini diangkat menjadi salah satu isu dalam kajian hubungan internasional.

Namun perempuan dalam kajian internasional dianggap kurang relevan mengingat

peran domestik perempuan yang jauh dari isu high politics. 32 Menurut penulis

masalah tersebut perlu ditelaah lebih lanjut :

Æ Mengapa perspektif utama hubungan internasional yang ada tidak

mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik?

Æ Bagaimana perspektif feminis mengkaji fenomena perkosaan perempuan

di wilayah konflik?

Æ Bagaimana kontribusi perspektif feminis dalam kajian ilmu hubungan

internasional?

30
Thomas Hobbes, “Leviathan”, bagian 1 bab 13, dikutip dari John Vasquez (ed.), Classics of
International Relations, 2nd Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), hlm. 213-215.
31
Niccolo Machiavelli, The Prince and the Discourses, (New York: Random House, 1940), hlm.
94.
32
Ani Soetjipto, “Perempuan dan Politik Internasional”, artikel yang akan diterbitkan.

11
Kasus-kasus perkosaan perempuan di wilayah konflik telah terjadi sejak

pertama kali perang antar manusia berlangsung sehingga penelitian ini tidak

menggunakan batasan waktu. Penelitian yang akan dilakukan juga tidak

memfokuskan pada satu daerah tertentu namun mencakup seluruh wilayah di

dunia di mana konflik berkecamuk.

I. 3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

• Menaikkan signifikansi isu kekerasan terhadap perempuan, khususnya

perkosaan di wilayah konflik bersenjata sebagai bagian dari kajian hubungan

internasional.

• Memperlihatkan bahwa pengalaman-pengalaman individu adalah bagian dari

kajian internasional.

• Memberi tawaran bagaimana perspektif feminis bisa mengisi kelemahan

mainstream kajian hubungan internasional yang ada.

• Memberi pemahaman tentang bagaimana isu perempuan turut membentuk tata

sistem internasional dan kajian ilmu yang mempelajarinya.

• Berusaha membuktikan hipotesis kerja.

Signifikansi dari penelitian ini bagi studi hubungan internasional berada

pada kajian multidimensional yang mencakup perang-damai dan isu-isu non

konvensional. Tulisan ini menunjukkan pentingnya kajian jender dan hubungan

internasional dalam menganalisa security melalui konsep keamanan internasional

yang lebih berdimensi kemanusiaan dan peka jender.

12
I. 4. Tinjauan Pustaka

Untuk membahas fenomena internasional perkosaan di wilayah konflik

penulis melakukan tinjauan pustaka dari skripsi mahasiswa terdahulu di Unit

Perpustakaan Departemen Hubungan Internasional, artikel serta bahan dari

internet.

Terdapat 3 skripsi yang dibuat jurusan Hubungan Internasional Universitas

Indonesia mengangkat fenomena kasus melalui kajian jender. Skripsi pertama

adalah milik Andy Yentriyani yang berjudul Perkawinan Transnasional

Sebagai Bagian dari Women Trafficking: Konsekuensi Logis Sistem

Kapitalisme Dunia (Studi Kasus Perkawinan Indonesia-Taiwan 1992-1999)

dan dibukukan dengan judul Politik Perdagangan Perempuan. 33 Isu yang

diangkat adalah mengenai perkawinan transnasional perempuan Indonesia dari

etnis Tionghoa di Pontianak dengan laki-laki Taiwan melalui jasa perantra sebagai

salah satu bentuk trafficking in women. Melalui kajian sistem kapitalis dunia dari

Wallerstein, terlihat bahwa bukan hanya perempuan dan keluarganya yang

disebabkan sistem kapitalis ini hidup miskin, tapi juga laki-laki Taiwan yang

termarjinalisasi dalam proses pembangunan di Taiwan itu sendiri. Keadaan

tersebut menyebabkan mereka mencari istri dengan biaya perolehan yang

terjangkau oleh mereka. Yentriyani menyatakan bahwa dalam masyarakat

patriarkis, anak perempuan menempati posisi subordinat dan tidak memiliki posisi

tawar yang cukup kuat untuk menolak keinginan orang tuanya agar dia menikah

33
Andy Yentriyani, Politik Perdagangan Perempuan, (Yogyakarta: Galang Press, 2004)

13
dengan laki-laki asing, apalagi dengan adanya stereotipe jender dalam masyarakat

Indonesia bahwa perkawinan adalah sebuah jenjang yang harus dilewati

perempuan. Penelitian ini menemukan bahwa pola perkawinan transnasional ini

termasuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan sistem

kapitalis dunia.

Skripsi kedua adalah milik Septi Silawati yang berjudul Penolakan Iran

Masa Khatami Menandatangani Konvensi Perempuan (Periode 1997-2003):

Sebuah Studi Jender Dalam Hubungan Internasional. Permasalahan yang

dibahas adalah alasan Iran tidak menendatangani Convention on the Elimination

of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Silawati

menggunakan pendekatan feminis dalam mempertanyakan metode positivis dalam

hubungan internasional. Teori yang digunakan adalah Judith Squires, jender

dalam teori politis yang menyatakan what personal is political dan what personal

is internasional dikaitkan atas bagaimana konvensi internasional CEDAW yang

ditolak ditandatangi oleh negara dapat berpengaruh pada setiap individu

perempuan Iran. Analisis Silawati menunjukkan bukti bahwa pemerintahan Iran

yang berkuasa dengan latar belakang sosial budaya masyarakatnya yang patriarkis

tidak menyepakati adanya persamaan nilai kesetaraan perempuan yang diusung

oleh CEDAW.

Skripsi terakhir adalah milik Nita Aswita Sugiri yang berjudul

Fenomena Perdagangan Perempuan Pekerja Rumah Tangga (TKW PRT

Indonesia: Perspektif Feminis Marxis). Sugiri mengambil sudut pandang

feminis Marxis dalam melihat fenomena tenaga kerja migran perempuan

14
Indonesia dan membawanya ke tataran internasional dengan pemasalahan

bagaimana fenomena perdagangan perempuan pekerja rumah tangga dalam kajian

perspektif Marxis. Pembahasan dilakukan dalam 4 level, yakni individu,

masyarakat, negara dan internasional. Di tataran internasional, Sugiri

memasukkan peran International Labor Organization (ILO) yang membuat

standar internasional tenaga kerja dan penghilangan diskriminasi bagi tenaga kerja

perempuan baik dalam hal gaji maupun kesempatan kerja. Kesimpulan dalam

penelitian ini adalah bahwa masalah sistem kapitalisme dan patriarkis yang akut

telah membuat posisi tenaga kerja perempuan Indonesia menjadi lebih lemah.

Sementara itu diambil 3 skripsi yang dibuat jurusan Hubungan

Internasional Universitas Indonesia dengan melakukan analisa teori dan

paradigma. Yang pertama adalah skripsi Pande K. Trimayuni yang berjudul

Tinjauan terhadap Konsepsi Power Realis dalam Kajian Hubungan

Internasional dari Sudut Pandang Feminisme. Trimayuni melihat bahwa kajian

hubungan internasional (HI), khusunya realis, buta jender sehingga diperlukan

dekonstruksi dan revisi terhadap kajian-kajian yang berkembang di dalam HI.

Skripsi ini menunjukkan bagaimana feminis memandang persoalan power dalam

HI, kemudian memperlihatkan bagaimana konsepsi power berdasarkan sudut

pandang feminisme lebih bisa menyelesaikan masalah-masalah internasional.

Kerangka pemikiran yang digunakan adalah definisi teori dari Juwono Sudarsono

yang menyatakan bahwa teori adalah seleksi, simplifikasi, konstruksi dan

preskripsi dari apa yang ditangkap pengamat, serta evolusi ilmu pengetahuan dari

Thomas Kuhn. Dalam skripsi ini dibahas bahwa power realis lebih merupakan

15
dominasi suatu aktor atas aktor lainnya. Konsepsi tersebut merugikan perempuan

yang mayoritas berada di posisi terdominasi karena pengalamannya tidak

diikutsertakan. Oleh karena itu kesimpulan yang ditarik adalah perlunya

memasukkan pengalaman perempuan dalam setiap diskursus yang ada

(pendekatan empiris) dan menghendaki teori khusus tentang perempuan

(pendekatan titik pandang).

Skripsi kedua adalah milik Christian yang berjudul Kemunculan

Paradigma Konstruktivis dalam Kajian Ekonomi Politik Internasional.

Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana paradigma konstruktivis muncul

dalam kajian ekonomi politik internasional. Christian menggunakan teori Thomas

Kuhn mengenai the Structure of Scientific Revolutions. Skripsi ini melihat sejarah

perkembangan ilmu alam yang menggambarkan paradigma melahirkan ilmu

pengetahuan yang bila dikritisi akan menghasilkan krisis yang pada akhirnya

membuat adanya anomali kasus. Dari keadaan tersebut terjadilah revolusi

pemikiran yang melahirkan paradigma lain. Christian mengambil contoh dari

pola-pola pengajaran kajian ekonomi politik internasional di universitas-

universitas dunia. Dalam skripsinya tergambar jelas bahwa negara dan individu

adalah rasional sehingga akan membuat perkembangan pemikiran bila pemikiran

awalnya teruji.

Skripsi ketiga yang menulis tentang kajian pemikiran adalah milik Nurul

Rochayati yang berjudul Perkembangan Ontologi Kajian Resolusi Konflik

Etnis Pasca Perang Dingin (1991-2005). Pertanyaan yang diajukan dalam skripsi

ini adalah “bagaimana perkembangan ontologi kajian resolusi konflik etnis pasca

16
perang dingin periode 1991-2005?” Kerangka teori yang digunakan adalah sejarah

perkembangan kajian teori hubungan internasional dari Torbjorn L. Knutsen dan

struktur revolusi ilmu pengetahuan dari Thomas S. Kuhn. Ditemukan bahwa

perkembangan ontologi kajian resolusi konflik etnis pasca perang dingin melalui 2

fase yaitu (1) kemunculan dan perkembangan, serta (2) perdebatan terus menerus

mengenai konsep baru. Perkembangan tersebut merupakan perbaikan dari kajian

yang telah ada sebelumnya dan tidak selalu merupakan falsifikasi. Sehingga setiap

konflik etnis yang berlangsung memiliki potensi untuk memunculkan ontologi

kajian resolusi konflik yang baru.

Penulis mengambil tinjauan pustaka yang meneliti kasus perkosaan yang

terjadi di dunia. Artikel pertama adalah milik Sian Powell yang berjudul East

Timor’s Children of the Enemy. 34 Powell menggambarkan kekejaman perkosaan

perempuan di wilayah konflik Timor-Timur yang dilakukan baik militer maupun

para milisi. Di dalamnya lebih merupakan gambaran komentar dan deskripsi

tindakan-tindakan kekerasan serta perkosaan perempuan yang terjadi di masa

pendudukan Indonesia 1975 hingga 1999. Dari perkosaan ini lahirlah anak-anak

yang bingung akan posisinya, apakah orang Indonesia atau Timor-Timur.

Tulisan mengenai kajian perkosaan dilihat dalam buku Susan

Brownmiller yaitu Against Our Will: Men, Women and Rape. 35 Buku ini

merupakan kajian perkosaan yang paling komperhensif yang pernah diterbitkan.

Brownmiller memperlihatkan bagaimana cara masyarakat bersikap terhadap

34
Sian Powell, “East Timor’s Children of Enemy”, dalam jurnal, The Weekend Australian, Edisi 1,
1 Maret 2001, hlm. 1-8. Dapat diakses dari www.canb.auug.org.au/~wildwood/01marchildren.htm
pada tanggal 24 Mei 2006 pukul 20.05
35
Susan Brownmiller, Against Our Will: Men, Women and Rape, (New York: Pinguin Books,
1975).

17
perkosaan, baik korban dan pelakunya. Buku ini membahas latar belakang sejarah

politik, sosiologi perkosaan, posisi tak sejajar antara perempuan dan laki-laki yang

berakar secara turun temurun dan dilegalkan melalui hukum. Melalui bahasanya

yang langsung kepada sasaran, Brownmiller dalam tulisan ini memperlihatkan

signifikansi perkosaan yang menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat

sebagai suatu tindak kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan yang patut

diberi sanksi tegas. Buku ini menjadi salah satu rujukan teori dari penelitian yang

akan dilakukan penulis.

Skripsi dan tulisan di atas memberi masukan dalam penulisan, namun

berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini.

Andy Yentriyani, Septi Silawati dan Nita Aswita Sugiri sama menulis skripsi

dengan menggunakan perspektif feminis namun kajian yang dilakukan mereka

berada di bidang ekonomi dan politik internasional, sementara skripsi penulis

adalah tentang kajian konflik. Skripsi Pande K. Trimayuni merupakan kajian teori

HI yang dianalisa menggunakan perspektif feminis, sementara penelitian yang

akan dilakukan penulis adalah mengkaji fenomena internasional menggunakan

perspektif HI dan feminis. Walaupun begitu, skripsi milik Pande K. Trimayuni

sangat membantu menganalisa perspektif HI dari sudut pandang feminis.

Skripsi Christian dan Nurul Rochayati membantu dalam merujuk bentuk-

bentuk penulisan yang mengkaji paradigma dan pemikiran, walaupun tema yang

diangkat berbeda. Artikel Sian Powell lebih memfokuskan pada peristiwa

perkosaan perempuan di satu wilayah konflik tertentu dan dampak yang

ditimbulkannya. Sementara Susan Brownmiller mengkaji fenomena perkosaan

18
perempuan melalui latar belakang historis, sosiologis dan hukum. Tulisan

keduanya berbeda dengan skripsi yang akan dibuat karena lebih melihat fenomena

perkosaan perempuan sebagai suatu fenomena internasional yang terjadi di

seluruh wilayah konflik dan mengapa ilmu hubungan internasional tidak

mengkajinya sebagai suatu isu yang signifikan. Buku Susan Brownmiller akan

digunakan sebagai salah satu landasan teori dari skripsi ini.

I. 5. Kerangka Pemikiran

I. 5.1. Alat Analisis

Sebelum masuk lebih lanjut ke dalam kerangka pemikiran, akan dijelaskan

terlebih dahulu alat analisis utama yang menjadi alasan mengapa perkosaan

perempuan dalam perang merupakan isu penting untuk dibahas dalam penelitian

ini. Alat analisis utama tersebut adalah perspektif feminis. Menurut Jill Steans

dan Llyod termin perspektif digunakan untuk menjelaskan cara untuk melihat

dunia dengan memprioritaskan suatu keadaan, isu dan proses tertentu. Dapat

dikatakan bahwa perspektif adalah sudut pandang yang digunakan dalam

menganalisa suatu fenomena 36 dan merupakan alat yang penting untuk mengkaji

suatu fenomena. Berbeda dengan perspektif realis yang mementingkan masalah

power negara, liberalis yang mendahulukan kerjasama dalam ekonomi, dan

kritikal-Marxis yang menyoroti class struggle, feminis lebih menekankan pada

36
Jill Steans dan Lloyd Pettiford, International Relations: Perspectives and Themes, (England:
Longman, 2001), hlm. 5 dan 152.

19
perjuangan perbaikan standar hidup perempuan dan partnership dalam

pembangunan. 37

Jill Steans dan Llyod Pettiford menjelaskan enam karakteristik perspektif

feminis yang digunakan untuk menganalisa fenomena hubungan internasional,

yaitu (1) menggunakan jender sebagai kategori analisis yang utama, (2) melihat

jender sebagai power relations yang khusus, (3) mengkaji sektor publik dan privat

yang penting hubungannya dalam memahami hubungan internasional, (4)

melacak bagaimana pemikiran jender memiliki posisi sentral dalam berjalannya

fungsi institusi internasional, (5) memberi asumsi bahwa jender telah menjadi

bagian yang tak tersadari namun turut mempengaruhi international order, dan (6)

mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dominan mengenai yang signifikan dan

kurang signifikan dalam kajian hubungan internasional. 38

I. 5. 2. Konsep-Konsep

Terdapat 3 konsep utama yang digunakan untuk membahas permasalahan

penelitian. Konsep-konsep tersebut adalah kekerasan terhadap perempuan,

konflik internasional dan perkosaan perempuan dalam wilayah konflik.

• Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi dari power

relations yang tidak imbang secara historis antara perempuan dan laki-

37
Lebih lengkap mengenai perspektif-perspektif dalam hubungan internasional baca Steans dan
Pettiford, Op. Cit., hlm. 20-100.
38
Ibid., hlm. 155.

20
laki, sehingga membuat adanya dominasi dan diskriminasi perempuan

oleh laki-laki untuk mencegahnya menjadi berdaya. 39

Menurut Deklarasi Beijing (Beijing Declaration and Platform of

Action) yang dihasilkan dalam Konferensi Perempuan Dunia keempat di

Beijing, Cina, kekerasan terhadap perempuan didefinisikan sebagai tindak

kekerasan yang dilakukan berdasarkan jender dengan berdampak pada

perlukaan ataupun penderitaan fisik, seksual ataupun psikologis yang

dialami perempuan, termasuk di dalamnya ancaman, tindak kekerasan

maupun pembatasan kebebasan, baik terjadi di wilayah publik maupun

privat. 40 Kekerasan terhadap perempuan termasuk, walaupun tidak

terbatas, pada hal-hal dibawah ini:

a) Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam


keluarga
b) Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam
komunitas
c) Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang direstui dan
dilakukan oleh negara di manapun hal itu terjadi
Tindakan lain termasuk pelanggaran hak asasi manusia yang dimiliki

perempuan (human rights of women) dalam situasi konflik bersenjata,

khususnya pembunuhan, perkosaan yang dilakukan secara sistematis,

perbudakan seksual dan pemaksaan kehamilan. 41

39
Poin 118 Deklarasi Beijing, United Nations, Beijing Declaration and Platform for Action with
the Beijing+5 Political Declaration and Outcome Document, (New York: Department of Public
Information United Nations, 2001), hlm. 75.
40
Ibid., hlm. 73.
41
Ibid., hlm. 74.

21
• Konflik Internasional

Terminologi konflik, menurut James Dougherty dan Robert

Pfaltzgraff, Jr. biasanya digunakan untuk mengacu pada suatu kondisi

dimana sekelompok manusia yang teridentifikasi (dapat menggunakan

dasar suku, bahasa, budaya, agama, ekonomi-sosial, politik dan lainnya)

bergabung untuk melakukan oposisi secara sadar terhadap satu atau lebih

kelompok manusia. 42 Kelompok ini mengoposisi kelompok lainnya karena

kelompok lain mengejar apa yang dianggap oleh kelompok oposisi sebagai

tujuan yang tidak sama/sesuai.

Tidak jauh berbeda, Lewis A. Coser mendefiniskan konflik sebagai

perjuangan untuk memperebutkan nilai dan kepemilikan atas status,

power, dan sumber daya yang terbatas. 43 Tujuan perjuangan tersebut,

menurut Coser, adalah untuk menetralisir, melukai atau menghapuskan

lawannya. Berbeda dengan kompetisi, konflik adalah ketika satu pihak

ingin menguatkan posisinya dengan mengurangi posisi pihak lain.

Berkembang dari hanya sebuah fenomena sosial, menurut pendapat

Herbert C. Kelman, konflik dapat terinternasionalisasi bila aktor negara

yang terlibat di dalamnya. 44 Sementara Daniel S. Papp menyatakan bahwa

perang internasional adalah konflik yang terjadi antar negara dan

42
James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International
Relations: A Comprehensive Survey, 4th Edition, (New York: Longman, 1996), hlm. 179.
43
Lewis A. Coser, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1956), hlm. 3.
44
Herbert C. Kelman, “Social Psychological Approaches to the Study of International Relations”
dalam Herbert C. Kelman (ed.), International Behavior: A Social-Psychological Analysis, (New
York: Holt, Reinhart and Winston, 1965), hlm. 5-6.

22
dilaksanakan oleh angkatan bersenjata masing-masing negara. 45 Demikian

juga pikiran K.J. Holsti yang menyatakan bahwa konflik internasional

umumnya dilakukan oleh pemerintahan negara berdasarkan pada

ketidaksetujuan atas suatu isu, sikap yang bertentangan, dan diikuti salah

satu bentuk diplomasi serta aksi militer. 46

Walaupun Kelman, Papp dan Holsti menyatakan bahwa konflik

internasional terjadi bila suatu negara menyatakan perang sebagai

kebijakan nasionalnya, namun melihat perkembangan konflik yang terjadi

di dunia penulis menyusun konsep tersendiri untuk digunakan dalam

penelitian ini. Definisi yang digunakan penulis adalah suatu konflik dapat

disebut sebagai konflik internasional bila terdapat satu kelompok (baik

negara maupun sekelompok manusia) yang melakukan tindakan oposisi

(baik terhadap negara lain; kelompok lain di dalam negara; maupun

sekelompok negara) dan negara (ataupun sekelompok negara) turut serta

untuk menanganinya. Contohnya adalah kasus pejuang Palestina dengan

Dewan Keamanan PBB.

• Perkosaan Perempuan dalam Wilayah Konflik

Tidak semua koflik menggunakan kekerasan, namun bila dikaitkan

dengan politik, H.L. Nieburg berpendapat bahwa kekerasan adalah salah

satu bentuk tingkah laku natural dari politik. “Ancaman yang

45
“International War” dalam Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Frameworks
for Understanding, 5th Edition, (Boston: Allyn and Bacon, 1997), hlm. 508.
46
K.J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th Edition, (New Jersey:
Prentice-Hall, 1992), hlm. 348-349.

23
menimbulkan kesakitan akan selalu menjadi alat yang berguna untuk

bargaining position di masyarakat negara dan internasional. 47 Perkosaan

terhadap perempuan adalah salah satu bentuk dijalankannya kekerasan

dalam konflik.

Perkosaan, menurut definisi Arimbi Heroepoetri dan R. Valentina,

adalah perwujudan kekuasaan laki-laki atas integritas perempuan dengan

mengintervensi tubuh perempuan, baik dengan sentuhan, ciuman, hingga

masuknya penis, jari, atau benda tumpul ke lubang vagina korban yang

menolak. 48 Spike Peterson dan Anne Sisson Runyan menganaliasa sebab

terjadi perkosaan perempuan adalah karena terdapat ideologi dominan

jender dalam masyarakat yang mempercayai bahwa secara alamiah laki-

laki lebih agresif serta aktif secara seksual dari pada perempuan yang lebih

pasif serta reseptif secara seksual. Hal ini sering menjadi alasan

dilakukannya perkosaan dan juga dalih sosial untuk tidak menghukum

pelaku secara berat karena dipandang sebagai kejahatan sebelah mata dan

alamiah. 49

Feminis meyakini perkosaan sebagai tindakan teror politik

terhadap kelompok tertindas. Anuradha M. Chenoy menggabungkan

kategorisasi penulis-penulis feminis antara lain Jennifer Turpin, Olivia

47
H. L. Nieburg, Political Violence, (New York: St. Martin Press, 1969), hlm. 9.
48
Arimbi Heroepoetri dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminis VS Neoliberalisme,
(Jakarta: Debtwatch Indonesia, 2004), hlm. 65.
49
V. Spike Peterson dan Anne Sisson Runyan, Global Jender Issues, (Colorado: Westview Press,
2000), hlm. 42.

24
Bennet dan Rashmi Goswani dalam menganalisa posisi perempuan di

wilayah konflik yaitu: 50

1. sebagai korban dan pengungsi


2. sebagai relasi (keluarga atau kerabat) kombatan
3. sebagai pendukung pergerakan (supporters)
4. sebagai kombatan yang dipersenjatai
5. sebagai pendukung kehidupan (melahirkan generasi
penerus, memasak, merawat korban, dst)
6. sebagai pembuat perdamaian (peace makers)
Dapat dilihat bahwa posisi perempuan mayoritas lemah dalam

konflik karena tidak turun langsung sebagai kombatan. Sehingga Maggie

Humm mendefinisikan perkosaan sebagai tindakan dan institusi sosial

yang melanggengkan dominasi patriarkis yang didasarkan pada

kekerasan. 51

Susan Brownmiller menyatakan bahwa perkosaan adalah kejahatan

yang pasti terjadi dan tak terpisahkan dari konflik. Sepandangan dengan

Peterson dan Runyan, Brownmiller melihat bahwa perkosaan dianggap

sebagai aktivitas seksual ketimbang aktivitas kekerasan didasari asumsi

sosial yang patriarkis mengenai seksualitas laki-laki yang aktif, dan seks

merupakan pelepasan dari ketegangan perang dan pembangunan

maskulinitasnya. 52

50
Anuradha M. Chenoy, “Women, War and Peace: Indian Versions”, dalam Mohamed Jahwar
Hassan, Stephen Leong dan Vincent Lim (eds.), Asia Pacific Security Challenges and
Opportunities in the 21st Century, (Malaysia: ISIS, 2002), hlm. 478.
51
Humm, Op. Cit., hlm. 388-389.
52
Brownmiller, Op. Cit., hlm 31-113

25
I. 5. 3. Dasar Pemikiran & Teori

Fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik akan dicoba dikaji

menggunakan perspektif-perspektif utama kajian hubungan internasional yaitu

realis, liberalis dan globalis. Di sisi lain terdapat perspektif feminis yang juga

mengkaji fenomena tersebut. Dua pemikiran feminis utama yang akan diangkat

adalah Cynthia Enloe mengenai personal adalah internasional dan pemikiran

Susan Brownmiller mengenai perkosaan perempuan di wilayah konflik.

Perspektif pertama dalam kajian hubungan internasional adalah realis.

Perspektif ini merupakan yang paling dominan dalam kajian hubungan

internasional sejak akhir Perang Dunia II dan masa-masa Perang Dingin.

Pemikiran dasar realis lahir lebih dari 2500 tahun yang lalu dalam tulisan

mengenai Perang Peloponnesia karya Thucydides. 53 Realis percaya bahwa

keadaan dunia adalah anarki di mana tidak ada yang bisa membantu suatu negara

kecuali negara itu sendiri. Perspektif ini tumbuh subur di dalam situasi

peperangan dengan pemikir-pemikir seperti Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes

dan E.H. Carr. 54 Menurut Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, perspektif ini

memiliki memiliki asumsi dasar (1) negara adalah aktor utama dalam hubungan

internasional, (2) negara dilihat sebagai aktor yang uniter, (3) negara bertindak

secara rasional, dan (4) isu yang diutamakan adalah keamanan nasional. 55

Perspektif kedua adalah liberalis atau sering disebut juga sebagai pluralis.

Liberalis percaya bahwa kerjasama internasional dibawah hukum adalah hal yang

53
“The Peloponnesian War” dalam Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts: An
Introduction to Theory and History, 2nd Edition, (New York: Longman, 1997), hlm. 9-12.
54
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 20-40.
55
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism,
Globalism, 2nd Edition, (New York: Macmillan, 1993), hlm. 5-7.

26
dapat terjadi sehingga mampu menciptakan perdamaian. Karena itu salah satu

pemikir liberalis yang cukup dikenal adalah Immanuel Kant dengan pendapatnya

akan perpetual peace. 56 Pemikir beraliran liberalis antara lain Adam Smith,

Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan John Marnard Keynes. Walaupun banyak

tulisan yang lebih menganalisa masalah ekonomi, kalangan liberalis juga

memiliki pendapat tersendiri mengenai politik dan keamanan. Asumsi-asumsi

perspektif ini menurut Viotti dan Kauppi adalah (1) aktor non negara juga sama

penting (dengan aktor negara) dalam hubungan internasional, (2) negara bukanlah

aktor yang uniter, (3) negara tidak selalu bertindak secara rasional karena terdapat

kompromi di dalam negara itu sendiri, dan (4) terdapat banyak isu dalam

hubungan internasional, yaitu keamanan, ekonomi, sosial dan lingkungan. 57

Perspektif ketiga adalah globalis atau umum disebut juga sebagai

strukturalis. Berakar dari pemikiran Karl Marx yang berkolaborasi dengan

Friedrich Engels pada tahun 1850an, pemikiran mereka berfokus lebih kepada

ekonomi dan faktor-faktor dalam mode of production. 58 Yang masuk dalam

perspektif ini antara lain Lenin, Hobson, John Galtung dan Immanuel Wallerstein.

Fokus asumsi-asumsi perspektif ini menurut Viotti dan Kauppi adalah (1) analisis

utamanya adalah konteks global dimana terdapat negara dengan aktor lainnya

berinteraksi dan interaksi tersebut terstruktur mengikuti suatu pola tertentu, (2)

penting untuk menganalisa hubungan internasional dari sudut pandang sejarah

yang mana terbentuk dari pemikiran historical materialism (sejarah kebendaan)

56
Baca Hans Reiss (ed.), Immanuel Kant: Political Writings, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1991).
57
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ hlm. 7-8.
58
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 74-90.

27
Marx, (3) globalis mengakui ada banyak aktor dalam hubungan internasional

yang saling berkaitan membentuk mekanisme dominasi dan menciptakan pihak

yang dominan dan pihak yang dependen, serta (4) faktor yang paling penting

dalam interaksi hubungan internasional adalah ekonomi. 59

Perspektif-perspektif utama kajian hubungan internasional di atas akan

berusaha mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik sebagai

suatu kasus internasional. Di sisi lain, perspektif feminis juga akan digunakan

dalam mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik. Terdapat dua

pemikir feminis yang mengeluarkan tulisan khusus mengenai fenomena

perempuan di wilayah konflik. Kedua feminis itu adalah Cynthia Enloe dan Susan

Brownmiller yang pemikiran mereka akan digambarkan secara ringkas di bawah

ini.

Cynthia Enloe mengeluarkan argumen yang digunakan sebagai dasar

pemikiran penelitian ini dalam bukunya Bananas, Beaches and Bases. Frase “the

personal is political” (personal adalah politis) merupakan slogan para feminis

radikal. Menurut Enloe, frase itu juga bisa dibaca secara terbalik, bahwa sesuatu

yang politis dapat mempengaruhi kehidupan personal. Cynthia Enloe

mengeluarkan ungkapannya dalam melihat fenomena global yaitu “the personal

is international” (personal adalah internasional).60 Terminologi ini

memperlihatkan bagaimana politik ada secara internasional dan membentuk

identitas personal, kehidupan pribadi serta hubungan antar manusia di dunia.

59
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ 8-10.
60
Cynthia Enloe, Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International Politics,
(Berkeley: University of California Press, 1989), hlm. 195.

28
Lebih jauh lagi, Enloe menggambarkan bahwa hubungan jender juga

merupakan bagian pembentuk hubungan internasional. Enloe berusaha

mengangkat kenyataan bahwa interaksi yang terjadi di tingkat dunia sebenarnya

dibangun oleh hubungan hierarkis yang terjadi sehari-hari. Ia mengungkapkan

bahwa perempuan, terutama yang berada dalam kondisi tidak berdaya seperti

pada masyarakat patriarkis maupun pada saat konflik, mempertahankan pola-pola

power-relations yang terjadi di dunia. Karena itu maka feminis harus mengubah

keadaan tersebut dengan mengadvokasi isu perempuan. 61

Khusus mengenai perkosaan di wilayah konflik, Cynthia Enloe

membahasnya dalam buku The Morning After: Sexual Politics at the End of the

Cold War. Perkosaan menurut Enloe seharusnya tidak dimasukkan ke dalam

bagian dari tindakan penekanan karena alasan dan dampaknya yang sangat

berbeda. Perkosaan di waktu perang banyak dilakukan oleh tentara menurut Enloe

adalah hasil dari sistem patriakal yang ditanamkan melalui militerisasi. 62 Sistem

ini tidak akan mampu berjalan jika laki-laki tidak menerima norma maskulinitas

dan perempuan tidak menerima norma feminimitas, hanya saja keadaan ini tidak

disadari dan ditelaah lebih lanjut.

Perkosaan dalam konflik bukanlah tindakan kekerasan yang acak. Enloe

menganggap bahwa perkosaan distrukturisasikan oleh tentara laki-laki dengan

kemudahan daya maskulinnya, oleh kekuatan tingkatan komandonya, dan oleh

ketimpangan kelas dan etnik di antara perempuan itu sendiri. 63 Dicontohkan

61
Ibid., hlm 18.
62
Cynthia Enloe, The Morning After: Sexual Politics at the End of the Cold War, (Berkeley:
University of California Press, 1993), hlm. 120-121.
63
Ibid., hlm. 168.

29
bahwa dalam perang Irak-Kuwait tahun 1991, perempuan kaya Kuwait memiliki

kemungkinan lebih rendah untuk diperkosa dibandingkan dengan pembantu yang

datang dari Asia. Karena pembantu tersebut lebih riskan untuk diperkosa oleh

majikannya sendiri, pasukan negara tempat dia tinggal (pasukan Kuwait) dan

pasukan yang datang menyerang (pasukan Irak).

Susan Brownmiller memberi landasan dalam menganalisa mengapa

tindak perkosaan perempuan di wilayah konflik terjadi menggunakan termin

symbolic battlefields atau medan perang simbolik atas tubuh perempuan. 64

Perempuan dalam konflik sering kali tidak turun langsung dalam peperangan dan

memanggul senjata namun identitas dari tubuhnya merepresentasikan suatu

budaya dan genetik suku/agama/ras tertentu yang berbeda dari pihak musuhnya.

Perbedaan ini menjadi sangat kuat karena musuh melihat kemampuan reproduksi

genetik dari perempuan. Yang mana menjadikan perkosaan maupun segala bentuk

kekerasan lainnya terhadap alat reproduksi perempuan sebagai salah satu bentuk

penakhlukan, peperangan yang setipe dengan menyerang harta benda pihak lawan

yang seharusnya dilindungi.

“Sangat lucu sikap laki-laki terhadap perkosaan dalam perang. Tidak


perlu dipertanyakan bahwa akan terjadi perkosaan di dalamnya… Dan
begitulah yang terjadi. Perkosaan telah menemani perang agama,
ksatria dan pengembara memberikan waktu untuk melakukan
pelecehan seksual ketika mereka bergerak ke arah Konstantinopel
dalam Perang Salib, sama seperti penunjukan kemenangan yang
dilampiaskan sejak jaman Helen of Troy, tapi harta perempuan sebagai
properti seiring waktu digantikan dengan sistem nilai yang lebih
tersembunyi. Seiring masa, kemenangan atas perempuan melalui
perkosaan merupakan salah satu cara untuk mengukur kemenangan,
bagian dari pembuktian maskulinitas dan kesuksesan, sebuah
penghargaan yang nyata atas perjuangan mereka. 65

64
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 14.
65
Ibid., hlm. 35.

30
Susan Brownmiller mengklasifikasikan 2 pendekatan dalam tindak

perkosaan perempuan yaitu (1) perkosaan terhadap perempuan untuk memberi

teror kekerasan terhadap pihak lawan dan sebagai suatu bentuk aksi keunggulan

power dari pihak lawan, dan (2) perkosaan terhadap perempuan untuk melakukan

aksi genosida yang bertujuan menghabiskan suatu suku etnik dengan memotong

garis keturunan. 66

Jika disederhanakan pandangan Enloe dan Brownmiller dalam

menganalisa fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik adalah:

1. Pengalaman-pengalaman personal perempuan korban perkosaan di

wilayah konflik menggambarkan keadaan internasional

2. Perkosaan perempuan di wilayah konflik dibentuk oleh hubungan jender

yang mempengaruhi interaksi manusia secara internasional

3. Perkosaan perempuan di wilayah konflik bukanlah peristiwa acak namun

dibangun melalui suatu pola maskulinisasi laki-laki dan feminisasi

perempuan

4. Perkosaan perempuan di wilayah konflik tidak bisa dimasukkan sebagai

tindak kejahatan biasa karena alasan dan dampaknya berbeda

5. Perempuan mengalami perkosaan di wilayah konflik karena tubuhnya

adalah medan perang yang simbolik

6. Anggapan bahwa perkosaan sebagai suatu jenis penakhlukan dan

pampasan perang adalah salah dan harus diubah

7. Perkosaan perempuan di wilayah konflik merupakan teror kekerasan dan

penunjukkan power

66
Ibid., hlm. 15-16.

31
8. Karena kemampuan reproduksi perempuan, perkosaan di wilayah konflik

mampu menjadi salah satu alat genosida

I.6. Hipotesis Kerja

Berdasarkan penjabaran di atas, maka hipotesis kerja yang digunakan

dalam penelitian ini adalah bahwa alasan dari ketiga perspektif utama studi

hubungan internasional, yaitu realis, liberalis dan globalis tidak mengkaji

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik adalah karena perspektif-

perspektif tersebut tidak mampu mengakomodasi fenomena tersebut ke dalam

kajiannya.

Perspektif-perspektif utama kajian HI cenderung malestream sehingga

dibutuhkan perspektif yang lebih peka jender dalam mengkaji isu-isu

internasional, yaitu perspektif feminis. Dalam penjabaran akan terlihat bagaimana

perspektif tersebut mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik

dan memberi kontribusi terhadap kajian HI secara lebih luas. Hipotesis kerja ini

akan berusaha dibuktikan dalam penelitian.

I.7. Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang melihat data

primer maupun sekunder untuk mendapatkan pemahaman mengenai fenomena

perkosaan perempuan di wilayah konflik dan posisinya dalam kajian hubungan

internasional. Data-data ini diperoleh dari Unit Perpustakaan Departemen

Hubungan Internasional FISIP UI, Perpustakaan FISIP UI, Pusat Kajian

32
Perempuan FISIP UI, Central Srategic for International Studies, LSM-LSM

perempuan dan juga internet.

Berdasarkan manfaatnya, penelitian ini bersifat murni karena tujuannya

untuk memberikan kontribusi pada studi hubungan internasional. Sedangkan

menurut periode waktunya, penelitian ini merupakan case study yang tidak

memiliki jangka waktu tertentu. Fenomena perkosaan perempuan di wilayah

konflik terjadi di banyak wilayah di dunia dengan periode waktu berbeda. Karena

fokus kajiannya adalah pada fenomena kasus yang diaplikasikan pada kajian

teoritis maka periodesasi ditiadakan.

I.8. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dilakukan melalui pembabakan yang terdiri dari 5

(lima) bab.

Bab I

Bab ini merupakan pendahuluan yang terbagi menjadi delapan bagian

yaitu latar belakang, permasalahan, tujuan dan signifikansi penelitian, tinjauan

pustaka, hipotesis kerja, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II

Pada bab ini akan dijabarkan fenomena internasional perkosaan

perempuan di wilayah konflik. Terdapat penggambaran pengalaman-pengalaman

perempuan korban perkosaan di berbagai wilayah konflik melalui deskripsi kasus

33
maupun testimonial. Penulis mengambil contoh kasus perkosaan perempuan yang

terjadi di 10 wilayah konflik di dunia. Pengambilan sampel wilayah ini dilakukan

berdasarkan konflik-konflik besar yang terjadi di dunia dan memiliki data

mengenai kasus-kasus perkosaan yang terjadi di wilayah ini. Dari deskripsi di atas

akan disarikan fungsi perkosaan di wilayah konflik.

Bab III

Bab ini akan menjabarkan analisa perspektif-perspektif utama hubungan

internasional yang dibagi dalam 3 subbab yaitu perspektif realis, perspektif

liberalis dan perspektif globalis. Setelah itu akan dikaji kelemahan perspektif-

perspektif utama tersebut dalam mengkaji fenomena internasional perkosaan

perempuan di wilayah konflik. Bagian ini akan menjawab pertanyaan

permasalahan pertama tentang mengapa perspektif utama hubungan internasional

yang ada tidak mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik.

BAB IV

Bab keempat akan mengajukan perspektif feminis sebagai alternatif dari

perspektif utama HI yang ada. Bab ini berusaha menjawab pertanyaan

permasalahan kedua mengenai bagaimana perspektif feminis mengkaji fenomena

perkosaan perempuan di wilayah konflik. Akan dijabarkan terlebih dahulu

mengenai perpektif feminis, pergerakan yang dilakukannya dalam hal mengatasi

kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana perspektif ini mengkaji fenomena

perkosaan perempuan di wilayah konflik. Kemudian secara makro akan melihat

34
bagaimana perspektif ini dapat berkontribusi bagi kajian HI secara luas. Hal ini

menjawab pertanyaan permasalahan ketiga yaitu bagaimana kontribusi perspektif

feminis dalam kajian ilmu hubungan internasional.

BAB V

Pada bab lima akan dijabarkan kembali secara singkat permasalahan dan

jawaban atas permasalahan tersebut. Dalam bab ini pula ditarik kesimpulan dari

jawaban pertanyaan permasalahan sehingga menghasilkan suatu kajian yang

signifikan bagi ilmu hubungan internasional melalui perspektif feminis.

35
BAB II
FENOMENA INTERNASIONAL
PERKOSAAN PEREMPUAN DI WILAYAH KONFLIK

Men should be trained as warriors and women as recreation for the warriors; anything
else is foolishness.
-Joseph Goebbels- 67

This is ethnic rape as an official policy of war … Rape under orders; not out of control,
under control. It is rape unto death, rape as massacre, rape to kill or to make victims wish
they were dead.
-Catherine MacKinnon- 68

II.1. Perkosaan Perempuan di Wilayah-Wilayah Konflik di Dunia

Sepanjang sejarah, kekerasan berbasis jender (gender-based violence)

merupakan salah satu komponen yang pasti ada di setiap perang. Kekerasan ini,

termasuk di antaranya perkosaan, mayoritas ditargetkan pada perempuan dan anak

perempuan. 69 Di masa krisis yang terjadi saat konflik, penduduk sipil terutama

perempuan dan anak-anak terpaksa tinggal di rumah tanpa perlindungan laki-laki

dalam keluarga karena mereka pergi berperang. Atau mereka terpaksa mengungsi

dari tempat tinggalnya tanpa ditemani anggota keluarga yang laki-laki. Hal ini

membuat posisi mereka lebih rentan terhadap kekerasan tanpa adanya

perlindungan tradisional.

Kekerasan berdasarkan jender terjadi di saat perang maupun damai, namun

kondisi saat konflik berlangsung lebih mendukung hal tersebut terjadi. Walau
67
Dalam Ruth Seifert, War and Rape: A Preliminary Analysis, (Prague: Women’s International
League for Peace and Freedom, 1992), hlm. 64.
68
Dalam Stephen Shute dan Susan Hurley, On Human Right: The Oxford Amnesty Lectures,
(Oxford: Oxford University Press, 1993), hlm. 89-90.
69
Judy Benjamin dan Lynn Murchison, Gender Based Violence: Care & Protection of Children in
Emergencies, A Field Guide, (Liberia: Save the Children, 2002), hlm. 5.

36
tidak selalu ditujukan kepada individu tertentu, namun perempuan mengalami

pelanggaran hak asasi mereka karena di masa krisis, norma dan aturan sosial tidak

dipatuhi. Selain itu perkosaan, penyiksaan dan bebagai bentuk kekerasan lainnya

banyak digunakan sebagai senjata dalam peperangan.

Perkosaan perempuan di wilayah konflik dipastikan selalu terjadi karena

pada masa-masa ini norma masyarakat dan aturan hukum tidak dipatuhi.

Perkosaan di wilayah konflik juga terjadi karena adanya anggapan bias jender

bahwa dorongan seksual pada laki-laki adalah hal yang alami sementara

perempuan lebih berperan pasif dalam aktivitas seksual. Namun perkosaan di

wilayah konflik idealnya tidak hanya dipandang sebagai tindakan seksual, namun

juga memiliki dampak politis dan psikologis. 70

Astrid Aafjes yang menulis tentang kekerasan terhadap perempuan di saat

konflik melihat bahwa tindakan tersebut terjadi berkaitan dengan adanya konsep

bias jender atas “kehormatan” yang dianut secara luas di dunia. 71 Terdapatnya

asumsi umum bahwa perempuan mengemban kehormatan keluarga dan laki-laki

sebagai pengemban kehormatan masyarakat menciptakan suatu pola pentingnya

laki-laki menjaga istri dan anak perempuan mereka. Sehingga di saat konflik

terjadi maka lahir dorongan untuk mencelakai/menghancurkan istri dan anak

perempuan musuh.

Melihat dari penjelasan di atas maka perkosaan perempuan di wilayah

konflik dapat dianggap sebagai fenomena yang didasari oleh latar belakang

70
Rhonda Copelon, “Gendered War Crimes: Reconceptualizing Rape in Time of War” dalam Julie
Peters dan Andrea Wollper (eds.), Women’s Rights, Human Rights, (New York: Routledge, 1995),
hlm. 197-213.
71
Astrid Aafjes, Gender Based Violence: The Hidden War Crime, (Washington DC: Women, Law
& International, 1998), hlm. 6-8.

37
tertentu dan terjadi luas di setiap konflik di dunia (widespread). Sayangnya,

perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik jarang sekali

terdokumentasikan, kecuali jika tindakan tersebut bersifat massal dan

menghasilkan jumlah korban yang besar. Sayangnya jumlah sebenarnya

perempuan yang menjadi korban tidak kekerasan ini juga tidak mungkin terhitung

secara akurat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah: 72

1. Bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan, tidak

selalu terlihat secara fisik, berbeda misalnya dengan jumlah

kematian maupun kerugian harta benda

2. Perempuan korban cenderung sulit untuk melaporkan peristiwa

kekerasan khususnya perkosaan karena sulitnya mengingat kembali

peristiwa traumatis yang pernah ia lalui

3. Baik perempuan korban maupun keluarganya yang melaporkan

berkemungkinan mendapat ancaman balas dendam dari pelaku

4. Terdapatnya budaya di masyarakat korban bahwa perempuan

korban kekerasan terutama perkosaan merupakan aib dan rentan

terhadap sigmatisasi sosial

5. Pelayanan pelaporan tidak selalu mampu membangun suasana

yang nyaman dan positif untuk korban perkosaan karena

kurangnya ahli baik di kepolisian maupun di sektor medis ketika

konflik terjadi

72
Ruth Seifert, “War and Rape: A Preliminary Analysis” dalam Alexandra Stiglmayer (ed.), Mass
Rape: The War Against Women in Bosnia-Herzegovina, (London: University of Nebraska Press,
1994), hlm. 54-72.

38
6. Perempuan yang menjadi korban di pihak yang kalah kemungkinan

besar tidak memiliki tempat untuk berlindung dan kemampuan

untuk menuntut keadilan karena penguasa dari wilayah konflik

telah berganti dan hukum belum tentu berjalan seperti saat damai

Sejauh ini sejarah dimiliki oleh para pemenang perang dan mereka masih

menutupi tindakan perkosaan perempuan yang dilakukan oleh tentara mereka saat

konflik berlangsung. Dunia internasional juga seakan sepakat untuk tidak

mengangkat masalah perkosaan sebagai suatu kasus yang signifikan, terlihat dari

hanya di 2 wilayah konflik di dunia di mana perkosaan menjadi bagian dari

peradilan internasional dan memasukkannya sebagai salah satu kriteria kejahatan

perang, yaitu di Yugoslavia dan Rwanda. Kediaman dunia internasional ini secara

tidak langsung menghilangkan pengalaman perempuan-perempuan korban

perkosaan di wilayah konflik sehingga tidak menjadi kasus yang perlu dibenahi

dalam perang. 73 Kehilangan suara ini pada akhirnya akan membuat perempuan

korban semakin sulit untuk mendapatkan advokasi dan penanganan. Sementara itu

kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan, terjadi di semua wilayah

konflik di dunia dan tidak semua berhenti setelah perang usai. Di bawah ini adalah

peta yang menggambarkan di mana kekerasan berbasis jender terjadi baik di masa

konflik, setelah konflik dan juga di kamp pengungsian.

73
Roy Porter, “Rape: Does It Have a Historical Meaning?” dalam Sylvana Tomaselli dan Roy
Porter, Rape, (London: Zed Books, 1986), hlm. 9.

39
Gambar I. Peta Kekerasan Berbasis Jender di Dunia

Kekerasan Berbasis Jender (Gender-Based Violence, GVB) di masa konflik, pasca konflik dan
wilayah pengungsian, data tahun 2004. 74 Peta ini tidak lengkap karena beberapa konflik di
kawasan Timur-Tengah dan Amerika Latin tidak dicantumkan, walau begitu tidak
ditemukan peta yang lebih komperhensif.

Terdapat ribuan konflik dan peperangan yang terjadi di dunia, namun

jarang sekali perkosaan perempuan mendapat tempat sebagai salah satu kajiannya.

Untuk itu maka dalam tulisan berikut ini akan digambarkan wilayah-wilayah

konflik dan fenomena perkosaan perempuan yang terjadi di dalamnya. Penulis

mengambil 10 wilayah dimana konflik pernah maupun masih berlangsung di

dunia. Sepuluh wilayah ini diambil secara acak dari kawasan-kawasan di dunia

untuk menggambarkan keadaan yang terjadi secara internasional, yaitu dari

Eropa, Afrika, Amerika Latin dan Asia. Tolak ukur utamanya adalah bukan

berdasarkan jumlah korban namun memperlihatkan bagaimana perkosaan dapat

menjadi bagian yang mengakar dari konflik itu sendiri. Wilayah-wilayah konflik

74
Diakses dari “Systematic and Widespread Rape in Conflict” diakses dari
http://womenwarpeace.org diakses pada tanggal 15 Februari 2006 pukul 17.35 WIB.

40
yang dibahas dalam skripsi ini adalah Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Rwanda,

Kongo, Sierra Leone, Guatemala, Kuwait, Uganda, Darfur dan Myanmar.

• Bosnia-Herzegovina

Untuk menghancurkan keadaan istri dan anak perempuan tindakan

yang paling keji tidak harus dilakukan dengan membunuh, namun

memperkosa. Perkosaan akan merusak mental korban, keluarga korban

dan komunitas tempat ia berada Keadaan ini terlihat dalam konflik Bosnia-

Herzegovina yang dimulai tahun 1990, di mana baik tentara Serbia,

Kroasia maupun Bosnia saling memperkosa perempuan dari kelompok

yang bersebrangan dengan mereka.

Sulit untuk membayangkan bagaimana perkosaan perempuan

terjadi di wilayah yang 30% dari penduduknya melakukan perkawinan

campuran 75 pada masa sebelum konflik berlangsung. Perkosaan terhadap

perempuan muslim Bosnia dilakukan sebab budaya Bosnia menghargai

perempuan sebagai makhluk yang patut dijaga karena kemampuannya

melahirkan keturunan dan meneruskan budaya, begitu juga dengan

perempuan Kroasia. Sementara perkosaan yang ditujukan kepada

perempuan suku Serbia didasari oleh pembalasan dendam terhadap

kelompok etnis tersebut, walaupun perempuan korban belum tentu terlibat

dalam konflik.

75
Vesna Kesic, “The Status of Rape as War Crime in International Law: Changes Introduced After
War in Yugoslavia and Rwanda” diakses dari http://www.seeline-project.net/status_rape.htm pada
tanggal 2 Januari 2006 pukul 18.10 WIB.

41
Hingga konflik berakhir tahun 1992, laporan PBB menyebut

jumlah perempuan Bosnia yang menjadi korban perkosaan yaitu 60.000

jiwa. 76 Namun jumlah tersebut dianggap dibesar-besarkan oleh kelompok

pro-Serbia dengan alasan merupakan bagian dari konspirasi internasional.

Sehingga yang seharusnya dilihat bukanlah jumlah, tapi bagaimana tubuh

perempuan digunakan sebagai bagian dari instrumen perang dan tujuan

nasional dalam konflik bersenjata. Sayangnya setelah konflik usai hampir

segera ribuan perkosaan tidak diakui pernah terjadi dan berusaha

dihapuskan dari mata internasional, menekan ingatan serta perasaan

perempuan korban di segala sisi.

Melalui Resolusi no. 808 dan 872 tahun 1993, Dewan Keamanan

PBB membentuk International Criminal Tribunal of former Yugoslavia

yang mengadili kejahatan perang di Bosnia-Herzegovina. Perkosaan juga

dimasukkan sebagai salah satu kejahatan perang dan baik pelaku maupun

rantar komando yang membiarkan terjadinya tindakan tersebut dapat

dijatuhi hukuman. Ini adalah pertama kali perkosaan masuk dalam

kategori kejahatan perang yang memiliki dasar hukum internasional dan

menjatuhkan hukuman terhadap para pelanggaranya. 77

• Kosovo

76
Report on the Situation of Human Rights in the Territory of the Former Yugoslavia. Geneva,
Switzerland: United Nations; 1993. United Nations document E/CN.4/1993/50.
77
Christine Chinkin, “Rape and Sexual Abuse of Women in International Law” dalam Journal of
International Law, Vol. 5, No. 2, Tahun 1994, hlm. 11.

42
Etnis Albania merupakan mayoritas penduduk di Kosovo dengan

jumlah mendekati 90% dari total populasi, etnis Serbia merupakan

minoritas namun menduduki posisi pemerintahan dan sudah mulai

menekan etnis Albania sejak tahun 1989 melalui politik apartheid. 78

Berakhirnya perang di Bosnia-Herzegovina tahun 1992 mendatangkan

pengungsi Serbia dalam jumlah besar dan pemerintah melakukan

pengusiran etnis Albania dari tempat tinggalnya untuk mengakomodasi

pengungsi. Pada Februari 1998, Tentara Serbia (yang merupakan

gabungan dari tentara Serbia dari konflik Bosnia-Herzegovina dan tentara

Serbia Kosovo) melakukan penyerangan terhadap etnis Albania. 79

Perkosaan merupakan instrumen perang yang dilakukan secara

sistematis untuk pembersihan etnis. Tindakan perkosaan dilakukan oleh

pasukan Serbia secara bersama-sama juga secara individual dan

dimaksudkan untuk membuat teror terhadap masyarakat sipil, bersamaan

dilakukan ketika menjarah harta-benda, maupun memaksa orang-orang

Albania pergi dari rumah mereka di Kosovo. 80 Kedatangan tentara North

Atlantic Treaty Organization (NATO) pada akhir tahun 1999 berhasil

mengusir tentara Serbia namun konflik belum usai karena etnis Albania

melakukan penyerangan balik terhadap etnis Serbia yang hingga kini

78
Lepa Mladjenovic dan Donna M. Hughes, “Feminist Resistance to War and Violence in Serbia”
dalam Frontline Feminisms, (London: Garland Press, 1999), hlm. 3.
79
“Kosovo” diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Kosovo pada tanggal 1 Mei 2006 pukul
21.05 WIB.
80
United Nations General Assembly, Review of Reports, Studies and Other Documentation for the
Preparatory Committee and the World Conference, (New York: Department of Public Information
United Nations, 2001), hlm. 30.

43
belum usai. 81 Perkosaan perempuan terjadi dengan laki-laki Albania

memperkosa perempuan Serbia.

Perempuan Albania yang menjadi korban perkosaan mengalami

dua kekerasan dalam hidupnya. Pertama kali adalah saat tindak perkosaan

berlangsung dan kemudian oleh masyarakat Albania yang memandang

rendah perempuan dan keluarganya. 82 Masyarakat Albania menganut

Kode Leke Dukajini yang merupakan hukum adat semenjak abad ke-15

yang mengharuskan laki-laki menjaga kehormatan perempuan dalam

keluarga sehingga perempuan korban perkosaan merupakan aib bagi

keluarga dan dianggap lebih baik untuk meninggal atau bunuh diri

daripada hidup dengan malu. 83

• Rwanda

Perkosaan perempuan juga merupakan salah satu alat perang yang

digunakan untuk melakukan genosida atau pembunuhan massal. Hal ini

dilakukan sebab perempuan memiliki kemampuan reproduksi, yaitu untuk

mengandung, melahirkan dan membesarkan anak. Sehingga ketika

perempuan dari satu suku tertentu diperkosa oleh laki-laki dari suku lain

jika ia hamil, maka anak dari perempuan itu tidak termasuk dalam suku

ibunya. 84 Pola seperti ini ditemukan di Rwanda.

81
“Kosovo”, Log. Cit.
82
Gordana Igric, “Kosovo Rape Victims Suffer Twice” diakses dari
http://www.motherjones.com/news/special_reports/total_coverage/kosovo/victims.html pada
tanggal 1 Mei 2006 pukul 21.15 WIB.
83
Ibid.
84
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 31

44
Pada bulan April hingga Juli 1994 kelompok ekstrimis Hutu yang

menduduki pemerintahan Rwanda melakukan genosida. Anggota milisi

Hutu yang tergabung dalam Interahamwe dan Angkatan Bersejata Rwanda

(Forces Armees Rwandaises, FAR) mentargetkan perempuan dan anak

perempuan Rwanda dalam kampanye kekerasan seksual massal.85 Laporan

yang dikeluarkan United Nations Special Rapporteur on Rwanda

memperkirakan sedikitnya 250.000 perempuan diperkosa selama masa

genosida. Bentuk kekerasan berbasis jender yang terjadi bervariasi antara

lain, perkosaan individu; perkosaan berama-ramai (gang-rape); perkosaan

menggunakan tongkat, senapan ataupun benda lain; perbudakan seksual

(ditempatkan disuatu lokasi tertentu dan diperkosa secara berkala);

pemaksaan pernikahan; perbudakan untuk mengerjakan tugas sehari-hari

(mencuci, memasak, dsb); dan mutilasi seksual. Walau begitu, tak sedikit

saksi yang menyebutkan bahwa terdapat banyak kejadian di mana korban

langsung dibunuh setelah diperkosa. 86

Perkosaan tidak hanya terjadi antara laki-laki Hutu terhadap

perempuan Tutsi. Rwandan Patriotic Front (RPF) dan tentaranya yang

terdiri dari suku Tutsi akhirnya memenangkan peperangan juga

memperkosa perempuan Hutu sebagai aksi balas dendam. Hingga tahun

1998 tercatat bahwa terdapat juga perempuan Tutsi yang diperkosa dan

dipaksa menikah dengan anggota RPF dengan alasan telah menyelamatkan

85
Selengkapnya baca Human Rights Watch, Leave No One to Tell Story: Genoside in Rwanda,
(New York: Human Rights Watch, 1999).
86
Human Rights Watch, Struggling to Survive: Barriers to Justice for Rape Victims in Rwanda,
New York: Human Rights Watch, 2004), hlm. 7.

45
nyawa mereka. 87 Pada tahun 1994 dibentuk International Criminal

Tribunal for Rwanda (ICTR) oleh Dewan Keamanan PBB yang pertama

kali memasukkan perkosaan sebagai salah satu kejahatan perang aksi

genosida di bawah hukum internasional.

• Kongo

Tidak habis-habis kelompok bersenjata di Kivu Selatan, yang

merupakan bagian timur dari Republik Demokratis Kongo. Sebagian lahir

dari dalam negara, seperti milisi lokal pemberontak Mayi Mayi. Ada juga

yang datang dari luar seperti pasukan bersenjata Rwanda FAR dan milisi

Interhamwe yang melarikan diri ke Kongo setelah rezim yang berkuasa

dan melakukan genosida tahun 1994 digulingkan. Tentara FAR yang

melarikan diri dari Rwanda dan menjadi milisi di Kongo jumlahnya

tercatat mencapai 30.000 orang dari keseluruhan milisi pemberontak yang

berjumlah 140.000 orang. 88

Tentara dan milisi dari negara tetangga ini sejak tahun 2002

menguasai ibu kota dari Kivu Selatan yaitu Bukavu. Mereka menyisir

perumahan warga dan memperkosa bayi semuda 1 tahun hingga nenek-

nenek berusia 80 tahun. Perkosaan yang dilakukan sangatlah brutal mulai

dari menembak alat vital, memasukkan senjata ke dalam vagina,

87
Clotilde Twagiramariya dan Meredeth Turshen, “Favours’ to Give and ‘Consenting’ Victims:
The Sexual Politics of Survival in Rwanda” dalam Clotilde Twagiramariya dan Meredeth Turshen
(eds.), What Women Do in Wartime: Jender and Conflict in Africa, (New York: Zed Books, 1998),
hlm. 104-109.
88
Jan Goodwin, “Silence=Rape” diakses dari http://www.thenation.com/doc/20040308/goodwin
pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 01.05 WIB.

46
meneteskan lelehan karet ke atas payudara, memperkosa perempuan di

depan suaminya yang sedang dibunuh, dan memaksa keluarga

menyaksikan perkosaan perempuan dan anak-anak. Hingga 20 Juli 2004,

kasus perkosaan yang terdokumentasikan sebanyak 130 kasus. 89 Banyak

korban dan keluarganya tidak melaporkan kasus perkosaan karena trauma,

ketakutan akan pembalasan dendam, ketakutan atas stigmatisasi dan

penolakan dari masyarakat terhadap korban perkosaan.

Tenaga medis yang diturunkan oleh Médecins Sans Frontières ke

wilayah ini mengakui telah menemukan banyak sekali kasus perkosaan

dengan tindakan kekerasan brutal yang menyertainya. Sehingga korban

meninggal beberapa saat setelah diperkosa karena infeksi dan kehabisan

darah. Di Kongo, perkosaan menjadi senjata yang lebih murah dan

berbahaya daripada peluru. Karena menurut catatan tenaga medis, 60%


90
dari semua pejuang di Kongo diestimasikan terjangkit HIV dan AIDS.

Jumlah ini akan meningkat dengan penularan melalui tindak perkosaan,

gang rape (perkosaan berkelompok) maupun budak seksual (perempuan

yang ditempatkan di satu lokasi untuk memasak, mencuci dan diperkosa

secara periodik).

• Sierra Leone

Tanggal 6 Januari 1999 merupakan puncak serangan dari separatis

Sierra Leone, Revolutionary United Front (RUF) yang dilakukan terhadap


89
“DRC: Fighter Commit Atrocities Against Women and Also Men” diakses dari
http://www.irinnews.org pada tanggal 15 Februari 2006 pukul 18.00 WIB.
90
Goodwin, Log. Cit.

47
ibukota Sierra Leone, Freetown. RUF menangkap tentara dan polisi

maupun tentara perdamaian yang dikirim Nigeria lalu menduduki ibukota

selama 3 minggu. 91 Selama 9 tahun konflik berlangsung di wilayah ini,

perkosaan merupakan salah satu kasus kekerasan terbanyak yang terjadi

pada perempuan berbagai usia. Perkosaan mayoritas dilakukan oleh RUF

dan Armed Forces Revolutionary Council (AFRC, pembelot dari Sierra

Leonean Army dan membuat kudeta tahun 1997, sering disebut juga

sebagai West Side Boys), selain itu aparat sipil Kamajors dan tentara

nasional juga turut melakukannya. 92

Pada Kesepakatan Damai Lomé tahun 1999 hingga dilanggarnya

kesepakatan itu pada Mei 2000, Human Rights Watch mencatat 225 kasus

perkosaan terjadi walaupun dicurigai jumlah yang terjadi jauh lebih

banyak . 93 Terdapat suatu penelitian pada tahun 1999 yang mengeluarkan

jumlah korban perkosaan sebanyak 1862 perempuan. Sementara Medecins

Sans Frontieres mengeluarkan laporan bahwa 55% perempuan di wilayah

ini telah mengalami tindak perkosaan dan terdapat 200 jumlah kehamilan

yang diakibatkannya. 94 Tidak ada statistik akurat mengenai jumlah

perkosaan karena terdapat banyak kasus yang tidak dilaporkan

dilatarbelakangi faktor budaya, ketakutan atas pembalasan dendam,

91
“Sierra Leone: Getting Away with Murder, Mutilation, Rape, New Testimony from Sierra
Leone” diakses dari http://www.hrw.org/reports/1999/sierra/ pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 22.15
WIB.
92
“Sexual Violence within the Sierra Leone Conflict” diakses dari
http://www.hrw.org/backgrounder/africa/sl-bck0226.htm pada tanggal 27 Desember 2005 pukul
15.55 WIB.
93
Ruf Rebbels, “Human Rights Abuses Committed in Sierra Leone” diakses dari
http://www.hrw.org/reports/1999/sierra/SIERLE99-03.htm#P787_134882 pada tanggal 1 Mei
2006 pukul 21.30 WIB
94
Ibid.

48
kurangnya kepercayaan atas sistem pengadilan kejahatan perang dan

kurangnya juga sumber daya yang mampu mengangani laporan perkosaan.

• Guatemala

Konflik di wilayah Amerika Latin ini merupakan perang saudara

yang terjadi tahun 1970an-1980an, dikenal dengan nama “La Violencia”.

Tentara Nasional Guatemala melakukan penyerangan terhadap kaum

Indian, khususnya suku Maya, yang membalasnya dengan cara gerilya.

Terdapat pernyatan dari salah seorang komandan tentara Guatemala yang

menyatakan bahwa melukai perempuan dan anak-anak Indian merupakan

bagian dari strategi melawan pemberontak karena fokus utama dari

organisasi gerilya adalah keluarga sehingga harus dihancurkan. 95 Hal

inilah yang mendasari perkosaan perempuan yang banyak terjadi di masa

perang.

Salah satu peristiwa besar yang terjadi adalah pada tahun 1982 saat

perempuan-perempuan dari semua rumah di Rio Negro, salah satu desa di

provinsi Baja Verapaz, diculik dari rumah dan digiring ke gunung. Di sana

mereka diperkosa, disiksa dan dibunuh. Jumlah total perempuan yang

meninggal pada hari itu sebanyak 177 jiwa. 96 Tindakan pembantaian

terjadi sebanyak 600 kali dan memakan korban setidaknya 200.000 jiwa,

walau begitu tidak terdapat data konkrit jumlah perempuan Maya yang

95
Michael McClintock, The American Connection, (London: Zed Books, 1985), hlm. 245.
96
Jennifer Herbury, “War Crimes: Women Begin to Speak, The Rape of Indigenous Women in the
1970s-1980s Guatemala Civil War” diakses dari
http://www.libertadlatina.org/LatAm_Guatemala_Indigenous_Rape_In_Civil_War.htm pada
tanggal 1 Mei 2006 pukul 22.55 WIB

49
menjadi korban perkosaan. 97 Tindakan perkosaan dibangun juga dengan

pola perekrutan paksa laki-laki muda yang kemudian ditekan untuk turut

berpartisipasi dalam perkosaan. Hal ini membuat tentara-tentara baru

tersebut dibenci oleh masyarakat sipil dan tak memiliki rumah untuk

pulang kecuali militer itu sendiri. Perkosaan perempuan dalam kasus ini,

selain digunakan sebagai alat untuk menyerang komunitas juga sebagai

taktik intimidasi.

Setelah perang usai, pengalaman perempuan korban perkosaan

jarang dianggap sebagai bagian berarti dari konflik di Guatemala. Hal ini

bukanlah sesuatu yang adil karena justru terhadap perempuanlah tindak

kekerasan dan perkosaan dilakukan secara brutal agar suku Indian tidak

mampu meneruskan keturunannya. 98 Selain itu terdapat data yang

menyebutkan bahwa tindak perkosaan perempuan saat konflik merupakan

kekerasan yang disponsori negara. Komunitas di mana etnis minoritas

suku Indian yang masih tersisa memiliki budaya yang menutupi tindakan

perkosaan sehingga kasus perkosaan didepolitisasi untuk membungkam

korban. 99

• Kuwait

97
Victoria Stanford, Buried Secret: Truth and Human Rights in Guatemala, (New York: Palgrave
Macmillan, 2003), hlm. 8.
98
Catherine Nolin Hanlon dan Finola Shankar, “Jendered Spaces of Terror and Assault: The
Testimonio of Remhi and the Commission for Historical Clarification in Guatemala” dalam
Jender, Place and Culture: A Journal of Feminist Geography, Vol. 7, No. 3, Tahun 2000, hlm.
265.
99
Julie A. Hastings, “Silencing State-Sponsored Rape: In and Beyond a Transnational Guatemala
Community” dalam Violence Against Women, Vol. 8, No. 10, Tahun 2002, hlm. 1153.

50
Perang Teluk I berkecamuk mulai pertengahan tahun 1990 saat

Irak menginvasi Kuwait. Diperkirakan jumlah korban perkosaan yang

terjadi antara Agustus 1990 hingga Februari 1991 berjumlah 3200

perempuan. Korban-korban ini tidak semuanya melapor namun hanya

menceritakannya pada psikiatris berbulan-bulan kemudian karena kultur

masyarakat Arab sangat menganggap penting kehormatan perempuan

secara seksual dan kemurniannya, sehingga bila ada perempuan yang

mengalami perkosaan, ia akan ditolak oleh suami dan keluarganya.100

Jean P. Sasson dalam bukunya, The Rape of Kuwait: The True

Story of Iraqi Atrocities Against a Civilian Population 101 , menceritakan

bagaimana perkosaan di Kuwait terjadi dan diperkirakan lebih dari 5000

perempuan menjadi korban perkosaan dalam konflik saat itu. Buku ini

lebih menggunakan pendekatan personal perempuan yang dituturkan

melalui testimonial-testimonial korban. Sasson secara garis besar

memperlihatkan bahwa walau konflik Kuwait mendapatkan perhatian

internasional secara luas namun pengalaman perempuan kurang

mendapatkan tempat dalam sejarah maupun pemberitaan tentang perang

tersebut.

Perkosaan tidak hanya dialami oleh perempuan Kuwait, namun

juga perempuan Asia yang banyak bekerja sebagai pembantu rumah

tangga di negara itu. Posisi mereka lebih rentan karena jauh dari keluarga

100
Raymond Bonner, “Report from Kuwait: A Women’s Place” dalam The New Yorker, 16
November 1992, hlm. 55-56.
101
Jean P. Sasson, The Rape of Kuwait: The True Story of Iraqi Atrocities Against a Civilian
Population, (London: Knightsbridge Pub. Co, 1991).

51
dan tidak mendapat perlindungan resmi dari pemerintah Kuwait. 102 Selain

itu, kasus perkosaan yang juga mendapat sorotan terjadi pada Mayor

Rhonda Cornum, seorang dokter militer Amerika Serikat yang bertugas di

Kuwait yang diculik oleh tentara Irak. Saat ia kembali awalnya Cornum

tidak menceritakan peristiwa yang dialaminya karena ia berpikir akan

melemahkan posisi tentara perempuan untuk dikirim ke dalam konflik.

Perkiraannya tepat karena setelah ia menceritakan hal tersebut kepada

massa, salah satu delegasi Partai Republikan AS menganggap bahwa

posisi perempuan dalam perang sangatlah tidak cocok. 103

• Uganda

Perang saudara di wilayah ini telah berlangsung hampir selama 20

tahun, khususnya di bagian utara Uganda. Di satu sisi terdapat milisi

Lord’s Resistance Army (LRA) yang menginginkan wilayah ini dijalankan

sesuai dengan Sepuluh Perintah Tuhan. Namun LRA juga melakukan

pembunuhan, penculikan dan pemerkosaan dengan sadis. LRA menentang

pemerintah dan melakukan tindakan kekerasan terhadap warga sipil

Uganda serta etnis Acholi. 104 Pihak ini berseteru dengan National

Resistance Movement (NRM) yang berkuasa dan memerintah dengan

mengandalkan tentaranya Uganda’s People Defense Force (UPDF).

102
Chris Hedges, “Foreign Maids in Kuwait Fleeing by the Hundreds” dalam New York Times, 24
Februari 1993.
103
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 188-190.
104
Denise Lifton, “Northen Uganda Brutal War: Murder, Rape, Abductions and Mutilations in the
Name of Ten Commandments”diakses dari http://www.worldhunger.org/articles/africa/lifton.htm
pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 22.45 WIB.

52
Kekerasan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari di Uganda

dengan masyarakat umum rentan berada dalam posisi korban.

Konflik yang terjadi di negara ini membuat perempuan menjadi

korban perkosaan dari kedua kubu namun tidak dianggap sebagai suatu

masalah serius, hanya dipandang sebagai bagian ‘natural’ dari peperangan.

Perkosaan perempuan di Uganda termasuk mengambil pola untuk

melakukan teror dan menyakiti saudara laki-laki, suami, ayah ataupun

relasi laki-laki dari korban. Karena jenis perang yang dilakukan adalah

gerilya maka pihak yang tidak bersembunyi di hutan, yaitu istri maupun

anak perempuan merupakan korban penyiksaan yang paling mudah diraih.

Perkosaan dilakukan oleh tentara dari rezim NRM yang mulai

berkuasa sejak tahun 1986. Terdapat belasan perkosaan setiap harinya saat

tentara NRM menyisir rumah-rumah penduduk pada tahun pertama. Pihak

lain yang melakukan perkosaan adalah United Christian Democratic Army

(UCDA) yang merupakan oposisi NRM. Kasus perkosaan yang mendapat

paling banyak sorotan adalah saat tentara UCDA menyerang sekolah

Sacred Heart Girls’ School di distrik Gulu dan memperkosa 43

muridnya. 105 Sejauh ini jumlah perempuan yang menjadi korban

perkosaan dan penculikan di Uganda diperkirakan sebesar 20.000 jiwa. 106

• Darfur, Sudan

105
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 283.
106
“Uganda Conflict Worse than Iraq” diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3256929.stm
pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 22.30 WIB.

53
Perkosaan digunakan sebagai senjata dari perang genosida seperti

yang terjadi di Darfur, bagian barat Sudan. Konflik ini didasari oleh

pertentangan etnis dimana terdapat populasi orang hitam non Arab dari

suku Fur, Masalit dan Zaghawa melawan suku Arab Baggara mulai dari

abad ke-13 dan sudah mengalami 2 kali perang sebelum ini. Perang

kembali berkecamuk di Darfur akhir tahun 2002 dengan pemerintah Sudan

beraliansi bersama milisi suku Arab bernama Janjaweed, melawan orang

hitam non Arab. Kemudian lahirlah milisi dari orang-orang non Arab yaitu

Justice and Equality Movement (JEM) dan Sudan Liberation Movement

(SLM). 107

Dalam konflik di Darfur, yang menjadi korban adalah perempuan

dari berbagai umur dan tidak memiliki tempat untuk berlindung.

Pemerintah Sudan tidak menindaklanjuti kasus-kasus perkosaan yang

dilakukan oleh tentara dan milisi, bahkan menolak bahwa hal tersebut

terjadi. 108 Laporan perkosaan tidak ditanggapi oleh polisi maupun

pemerintah sama sekali. Dalam laporan Komisi Khusus Kemanusiaan

PBB perempuan-perempuan korban perkosaan dipaksa polisi untuk

mengisi “Form 8” sebelum mendapat bantuan kesehatan. 109 Polisi

menunggui klinik yang didirikan LSM dan menghentikan perawatan bagi

perempuan korban perkosaan. Selesai mengisi formulir isian, satu pasukan

107
“Darfur Conflict” diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Darfur_conflict pada tanggal 1 Mei
2006 pukul 22.25 WIB.
108
Joanne Mariner, “The War Crime of Rape in Darfur: The Least Condemned War Crime”
diakses dari http://www.cnn.com/2004/LAW/10/27/rape.darfur/ pada tanggal 18 Januari 2006
pukul 13.15 WIB.
109
United Nations High Commissioner for Human Rights, Access to Justice for Victims of Sexual
Violence, (New York: Department of Public Information United Nations, 2005), hlm. 28-29.

54
polisi datang bersama ambulans dan 3 dokter dari Departemen Kesehatan

Sudan. Perempuan korban kemudian dibawa ke rumah sakit negara untuk

diperiksa dan dua hari kemudian ia dibawa ke kantor polisi untuk

diintimidasi agar tidak berbohong mengenai kasus perkosaan, dan diminta

menyatakan hal itu adalah tindakan atas kemauan.

Terjadi juga penculikan perempuan dan penempatan mereka di

kamp-kamp untuk menjalankan tugas sehari-hari dan mengalami

perkosaan berulang. Jumlah perempuan korban perkosaan yang berhasil

lolos dan mampu mencapai pengungsian di Chad berjumlah 250 orang

diperkirakan 250 perempuan lainnya masih tersekap di kamp milisi.110

Hingga tahun 2006 konflik Darfur belum usai. Dewan Keamanan PBB

berencana untuk mengirimkan pasukan perdamaian pada bulan Februari

2006. 111

• Myanmar

Konflik di wilayah ini dimulai pada tahun 1947, saat Jenderal

Aung San dibunuh oleh lawan politiknya. Suksesornya Perdana Mentri U

Nu kemudian dikudeta oleh Jenderal Ne Win yang memimpin tentara The

State Kaw and Order Restoration Council (SLORC) tahun 1962 dan

mengganti ideologi negara dengan sosialisme. Junta militer yang berkuasa

membuat kebijakan tiadanya partai-partai politik lain selain yang dibentuk

pemerintah juga termasuk tidak diijinkannya etnis minoritas berkelompok


110
Amnesty Internastional, Sudan Darfur: Rape as a Weapon of War, Sexual Violence and Its
Consequences, (London: AI, 2004), hlm. 3.
111
“Darfur Conflict”, Log. Cit.

55
membuat organisasi. 112 Anggota-anggota SLORC atau di masyarakat

Myanmar disebut sebagai Tatmadaw merupakan pelaku perkosaan

perempuan yang dilakukan secara sistematis melalui perbudakan seksual,

penyiksaan, pemaksaan pelacuran dan pemaksaan perkawinan. 113

Perkosaan dilakukan oleh SLORC terhadap perempuan kelompok

etnis minoritas seperti suku Karen, Karenni dan Shah namun perempuan

lokal lainnya juga menjadi korban perkosaan sebab mereka tidak berdaya

menghadapi kekuasaan tentara. 114 Perkosaan juga dilakukan terhadap

perempuan anggota pergerakan ataupun istri dari pihak yang dianggap

memberontak untuk mengerdilkan moral dan membungkam mereka. Sulit

untuk melaporkan tindakan perkosaan karena tentara berperan ganda

sebagai penguasa wilayah.

Faktor lain yang membuat perkosaan di Myanmar sulit untuk

mendapat tanggapan adalah budaya setempat yang menutupi perkosaan

dan sifat konflik yang tertutup dimana tindak perkosaan sulit sampai ke

dunia internasional. Bahkan pemerintah Myanmar sendiri menangkap

perempuan-perempuan yang berani mengadukan tindak perkosaan yang

terjadi pada diri mereka. 115 Hal ini sering terjadi bila pelaku dianggap

cukup berkuasa di wilayahnya maupun bila pelaku merupakan tentara

dengan pangkat menengah dan tinggi.

112
“Myanmar Backgrounder: Ethnic Minority Politics” dalam Asia Report, No. 52, Mei 2003,
hlm. 2.
113
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Log. Cit., hlm. 28-29.
114
Ibid., hlm. 31.
115
“Myanmar: Imprisonment of Two Rape Victims” diakses dari
http://www.omct.org/base.cfm?cfid=1433037&cftoken=910393&page=article&consol=close&ro
ws=3&num=4813&kwrd=EQL pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 23.05 WIB.

56
Sepuluh wilayah di atas, yaitu Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Rwanda,

Kongo, Sierra Leone, Guatemala, Kuwait, Uganda, Darfur dan Myanmar ini

merupakan sebagian kecil dari konflik-konflik yang terjadi di dunia. Perkosaan

yang terjadi di wilayah-wilayah ini juga terjadi di setiap wilayah konflik di dunia

walaupun dapat saja didasari dengan motif yang berbeda. Tapi yang pasti,

perkosaan terus terjadi di wilayah konflik karena fenomena tersebut menjalankan

fungsinya tersendiri.

II.2. Fungsi Perkosaan Perempuan di Wilayah Konflik

Kekejaman perkosaan di wilayah konflik adalah bahwa tindakan ini

mayoritas menargetkan perempuan. Karena itu Caroline Moser secara tegas

menyatakan bahwa perang adalah aktivitas yang terjenderisasi. 116 Menurut Moser

dalam artikelnya The Gendered Continuum of Violence and Conflict: An

Operational Framework hal ini disebabkan adanya konstruksi ideologi antara

laki-laki dan perempuan, beserta power relations, identitas, stereotipe dan akses

yang berbeda dalam perang. Karena sifat konstruksi ideologi yang massal dan

diterima di seluruh dunia maka perkosaan perempuan harus dipandang sebagai

fenomena internasional serius yang selalu terjadi di wilayah konflik. Fenomena

ini terjadi karena suatu sebab, dan seperti layaknya kekerasan yang berbasis atas

diskriminasi, sebab dari fenomena tersebut harus diberantas.

116
Caroline Moser, “The Gendered Continuum of Violence and Conflict: An Operational
Framework” dalam Caroline Moser dan Fiona Clark (eds.), Victims, Perpetrators or Actors?
Gender, Armed Conflict and Political Violence, (London: Zed Books, 2001), hlm. 30-51.

57
Menurut pengkaji perang dan jender di India, Anuradha M. Chenoy, dalam

konflik bersenjata perempuan berada dalam 6 posisi yaitu sebagai (1) korban dan

pengungsi, (2) relasi kombatan, (3) pendukung pergerakan, (4) kombatan yang

dipersenjatai, (5) pendukung kehidupan, dan (6) pembuat perdamaian. 117 Lima

dari enam posisi ini menunjukkan perempuan yang bukan kombatan, justru rentan

menjadi korban sebab tidak cukup dipersenjatai. Dalam konflik, perempuan

diperkosa karena perannya yang mendukung kehidupan dan budaya yang

dianggap bertentangan dengan pelaku perkosaan. 118 Hal ini menunjukkan

perkosaan memiliki fungsinya tersendiri sebagai instrumen perang.

Sama seperti pemikiran Moser yang menunjukkan perkosaan perempuan

terjadi karena sebab tertentu. Perkosaan di wilayah konflik terus terjadi karena

fenomena internasional ini menjalankan fungsi tersendiri. Fungsi perkosaan di

wilayah konflik akan dijabarkan satu persatu berikut ini:

a) Perkosaan dianggap sebagai salah satu pampasan perang

Seperti terdapat peraturan tak tertulis dalam konflik bahwa pihak

yang memenangkan perang akan menguasai tanah, sekaligus perempuan

daerah takhlukkan. Di wilayah di mana hukum setempat sudah tidak

berlaku dan belum tergantikan maka laki-laki pasukan yang menyerang

melakukan perkosaan tidak hanya sebagai aksi seksual tapi juga untuk

menunjukkan kekuasannya. 119

Fungsi perkosaan ini cukup umum terjadi di semua wilayah

konflik. Salah satunya terjadi pada perang saudara di Liberia. Pada tahun
117
Chenoy, Op. Cit., hlm. 478.
118
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 31-33.
119
Seifert (1994), Op. Cit., hlm. 54-72.

58
2003 pemberontak Liberian United for Reconciliation and Democracy

(LURD) menguasai kawasan Voinjama di utara Liberia. Mereka memaksa

para perempuan yang mengungsi untuk kembali dan menjalankan tugas

sehari-hari mencuci, memasak dan seks. Berikut adalah testimonial salah

satu perempuan korban Vanny Moore (bukan nama sebenarnya) yang

walaupun rambutnya telah memutih ia masih saja disekap di kota

Voinjama:

“Di malam hari pemberontak laki-laki itu akan datang,


biasanya lebih dari seorang. Mereka akan memperkosa saya.
Mereka berkata akan membantu saya dengan makanan bila
120
saya membantu mereka. Saya tidak mempunyai pilihan.”

Peristiwa tersebut tidak hanya terjadi di tengah-tengah wilayah

konflik, tapi juga di perbatasan. Perempuan yang ingin mengungsi ke

negara lain rentan terhadap kekerasan berbasis jender, termasuk

perkosaan. Pengalaman ini dirasakan oleh seorang perempuan yang

berniat melarikan diri dari kekejaman pemerintahan Mengistu di Ethiopia

ke negara tetangga (tidak disebutkan kemana), ia bercerita:

“Kami berempat: dua anak saya, pemandu dan saya sendiri.


Saya sedang mengandung 5 bulan. Di jalan kami
diberhentikan oleh dua orang laki-laki yang menanyakan
kemana kami akan pergi. Kami menjelaskan dan satu orang
di antaranya menarik saya dan berkata ‘tidak ada perjalanan
yang aman sebelum seks’ … dia memaksa saya duduk,
menendang perut saya dan memperkosa saya di depan anak-
anak saya. Dia tahu saya sedang hamil, tapi tidak ada beda
121
untuknya”.

120
“Liberia: War Leaves No Respect for Age in Voinjama, Northren Liberia” diakses dari
http://www.irinnews.org pada tanggal 15 Februari 2006 pukul 18.05 WIB.
121
Amnesty International, Human Rights are Women’s Rights, (London: AI, 1995), hlm. 23.

59
b) Perkosaan untuk menghancurkan moral individu, keluarga dan

komunitas di mana perempuan itu berasal

Karena seksualitas perempuan dianggap sebagai sesuatu yang

harus dilindungi oleh laki-laki dari komunitasnya, maka ketika perkosaan

terhadap perempuan terjadi tindakan tersebut seakan-akan merupakan

pernyataan kekuasaan terhadap laki-laki yang tidak mampu melindungi

‘properti’ mereka. 122 Sikap ini timbul karena seksualitas perempuan

dianggap sebagai sesuatu yang harus dijaga baik oleh individu perempuan,

keluarganya maupun masyarakat di mana ia tergabung.

Perkosaan untuk menghancurkan moral individu, keluarga dan

komunitas di mana perempuan itu berasal merupakan fungsi yang umum

terjadi di setiap konflik. Perkosaan akan menimbulkan trauma dan rasa

malu seorang individu, keluarganya dan juga komunitas tempat ia berada.

Perasaan malu dan tertekan ini dapat dihadapi bersama ataupun juga

membuat sang korban ditolak oleh keluarga maupun komunitasnya karena

dianggap memberi aib. Salah satu kasus terjadi di Kongo yang diserang

milisi Congolese Rally for Democracy (CRD). Di bawah ini adalah salah

satu testimonial dari perempuan bernama Sanguina (bukan nama

sebenarnya) yang menjadi korban perkosaan konflik di Kongo:

“Di komunitas, mereka mengejek saya sehingga saya


terpaksa untuk pergi dari desa dan mengungsi ke hutan …
Saya lapar, tidak memiliki baju dan sabun. Saya tidak
memiliki cukup uang untuk mendapatkan pengobatan.

122
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 4.

60
Adalah lebih baik jika saya mati bersama bayi dalam
123
kandungan saya.”

Selain itu perkosaan dilakukan di tempat umum untuk

mempermalukan dan menunjukkan bahwa komunitas asal perempuan

tersebut terlalu lemah untuk membela. Hal tersebut terlihat dari testimoni

perempuan Sudan berinisial S:

“Pada Juli 2003, milisi Arab memperkosa M di alun-alun


pasar dan mengancam akan menembak para orang-orang
124
yang menyaksikan bila mereka berusaha menghentikan.”

c) Perkosaan untuk membenihi perempuan dari suku tertentu sehingga

etnisnya tidak murni lagi

Tindakan perkosaan dengan motif ini umum terjadi pada konflik

etnis sebagai bagian dari ethnic cleansing (penghancuran etnis tertentu).

Perempuan menempati posisi korban perkosaan karena fungsi tubuh

mereka yang mampu melahirkan generasi selanjutnya. Sehingga pada

kasus ini identitas perempuan merupakan gabungan dari jenis kelamin,

etnisitas, agama maupun aliran politiknya. Beberapa feminis, antara lain

Seifert dan Sideris, menyebut keadaan ini sebagai politik tubuh 125 yang

mana idealnya seorang perempuan berhak untuk memilih keyakinan serta

tindakan yang ingin atau tidak ingin dilakukannya, termasuk memilih ayah

dari anak dalam kandungannya. Dalam situasi konflik politik tubuh

123
“Women’s Lives and Bodies – Unrecognized Casualties of War” diakses dari
http://news.amnesty.org/index/ENGACT770952004 pada tanggal 27 Desember 2005 pukul 10. 15
WIB.
124
Amnesty International, “Sudan, Darfur”, Op. Cit., hlm. 10.
125
Seifert, Op. Cit., hlm. 58.

61
perempuan ini tidak dihargai karena perempuan tidak memiliki

perlindungan yang cukup.

Fungsi perkosaan ini terjadi secara luas di konflik etnis, antara lain

yang mendapat perhatian paling luas yakni di Bosnia-Herzegovina,

Zagreb, Kosovo dan Rwanda. Di bawah ini adalah cerita dari perempuan

Bosnia bernama Trensjevika (bukan nama sebenarnya):

“Tentara Serbia dan paramiliternya diberitahu jika mereka


memperkosa perempuan maka mereka akan melahirkan
tentara Serbia kecil … Selain itu perempuan Croasia dan
Bosnia diberitahu bila mereka mengandung anak seorang
Serbia maka ia juga adalah orang Serbia … Beberapa
perempuan yang diperkosa di kamp perkosaan di Bosnia
ditahan di sana sampai kandungan mereka menjadi cukup
126
besar sehingga tidak bisa melakukan aborsi.”

d) Perkosaan untuk menghancurkan budaya dan identitas di mana

perempuan itu berasal

Posisi perempuan di masyarakat sebagai pembawa identitas budaya

juga membuat perempuan lebih rentan akan perkosaan di wilayah konflik.

Susan Brownmiller memberikan sebutan bagi tubuh perempuan sebagai

medan perang yang simbolik. 127 Tubuh perempuan bagi pihak lawan

merepresentasikan budaya berbeda dan kemampuan untuk mereproduksi

budaya itu melalui kemampuannya membesarkan anak dan berkecimpung

dalam masyarakat. Perkosaan perempuan kemudian dilakukan untuk

126
Mladjenovic dan Hughes, Op. Cit., hlm. 5.
127
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 31.

62
menghentikan reproduksi budaya sekaligus menghancukan kebudayaan di

mana seksualitas perempuan dianggap suci dan harus dijaga. 128

Fungsi ini dilakukan di beberapa wilayah konflik berbasis etnis

maupun agama seperti di Bangladesh, Bosnia dan beberapa wilayah di

Afrika. Di bawah ini adalah kisah seorang warga Sudan saat desanya

diserang oleh milisi Arab:

“Saya sedang tidur ketika penyerangan ke Disa dimulai.


Saya dibawa oleh para penyerang yang berseragam. Mereka
juga membawa banyak perempuan lain dan kami dipaksa
berjalan selama 3 jam. Di siang hari kami dipukuli dan
mereka berteriak pada kami ‘kalian perempuan kulit hitam,
kami akan memusnahkan kalian, kalian tidak memiliki
Tuhan’. Di malam hari kami diperkosa berulang-ulang.
Orang-orang Arab itu menjaga kami dengan senjata dan
129
kami tidak diberi makan selama 3 hari.”

Fungsi perkosaan juga dipengaruhi oleh budaya yang ada di

masyarakat. Semakin kehormatan perempuan dianggap sebagai sesuatu

yang suci dan harus dijaga maka pihak lawan semakin memiliki dorongan

untuk melakukan perkosaan. Hal tersebut terjadi pada perempuan-

perempuan Albania di Kosovo. Seorang laki-laki Albania bernama Parvin

Darabi menuturkan bahwa perempuan yang diperkosa akan membuat malu

keluarga dan diceraikan oleh suaminya:

“Ketika perempuan (Albania) diperkosa, ia telah berbuat


sesuatu (menodai) kehormatan dan harga diri keluarga. Jika
perempuan itu bunuh diri maka ia dapat menghapus malu

128
Ibid., hlm. 2-31.
129
Wawancara dilakukan oleh Amnesty Internasional di penampungan pengungsi Goz Amer di
Chad. Dalam laporan Amnesty International tanggal 19 Juli 2004, “Rape as a Weapon of War in
Darfur” diakses dari http://web.amnesty.org/ pada tanggal 15 Februari 2006 pukul 15.15 WIB.

63
keluarga dengan darahnya, barulah nama baik keluarga
130
kembali.”

e) Perkosaan sebagai senjata yang membangun teror

Teror rasa takut mampu mempengaruhi perilaku seseorang maupun

sekelompok orang, dan perkosaan dilakukan untuk menciptakan ketakutan

tersebut. Hal ini dapat terjadi dengan 2 jalan, pertama melalui tindakan

fisik perkosaan seperti perkosaan di tempat umum atau di hadapan

keluarga yang akan menimbulkan trauma, rasa malu dan demoralisasi.

Yang kedua ketakutan terbangun secara psikis setelah mendengar atau

menyaksikan tindak perkosaan akan menimbulkan rasa takut akan menjadi

korban selanjutnya. 131 Kedua hal ini merupakan faktor pemicu

mengungsinya keluarga ataupun kelompok masyarakat dari tempat tinggal

asalnya.

Ketakutan dibangun di semua konflik. Hal ini terjadi juga di Sierra

Leone dalam penuturan perempuan berinisial FB. Ketika ia berumur 10

tahun kakak perempuannya diculik dari rumah oleh para milisi dan baru

kembali ketika pamannya pergi menghadap milisi. Kini ia dan keluarga

telah mengungsi ke Liberia. Ini adalah penuturan FB kepada salah satu

media internasional Inggris British Broadcasting Channel:

“Dia (kakaknya) mengalami pendarahan banyak sekali. Dia


cerita kepada saya bahwa mereka menyumpal mulutnya dan

130
Jillian M. Weise, “Rape as a Strategy of War: The Sexual Assault of Kosovar Albanian Women
in 1999” diakses dari http://garnet.acns.fsu.edu/~whmoore/JillianWeise.pdf pada tanggal 1 Mei
2006 pukul 23.10 WIB.
131
T. Sideris, “Rape in War and Peace: Social Context, Jender, Power and Identity” dalam S.
Meintjes, A. Pillay dan M. Turshen, The Aftermath: Women in Post-Conflict Transformation,
(London: Zed Books, 2001), hlm. 142-157.

64
memperkosanya berkali-kali, tapi saya belum tahu apa itu
perkosaan. Setelah itu paman mencukur habis kepala saya
dan menyuruh saya menggunakan celana panjang. Ketika
saya berjalan ke sekitar kamp saya melihat beberapa
perempuan di bawah 12 tahun tergeletak di tanah dengan
darah keluar di antara kakinya. Mereka begitu sampai ada
132
keluarga mereka yang mengambil.”

Ketakutan hadir melalui perkosaan bersamaan juga dengan teror

kekerasan lainnya. Hal ini juga dirasakan oleh Clementine (bukan nama

sebenarnya). Ia adalah korban perkosaan milisi di konflik Rwanda dan kini

ia tertular HIV. Berikut adalah penuturannya:

“Saat perang, milisi datang untuk mencari laki-laki untuk


dibunuh dan perempuan untuk seks. Dalam seminggu, saya
diperkosa milisi yang berbeda-beda setiap malam dan
133
mereka mengancam akan membunuh saya…”

f) Perkosaan sebagai salah satu bentuk penyiksaan untuk menyakiti

atau mendapatkan keterangan

Perkosaan, walaupun berbeda secara motif dan dampaknya, adalah

juga suatu bentuk kekerasan. Tindakan ini umum dilakukan terhadap

perempuan dalam tahanan maupun penyanderaan untuk menyakiti dan

juga mendapatkan keterangan mengenai kerabatnya yang aktif dalam

pergerakan. Perkosaan terhadap perempuan dari pihak musuh juga

merupakan suatu upaya balas dendam terhadap pasukan musuh yang

relatif mudah dilakukan karena perempuan jarang dipersenjatai dan tidak

cukup kuat untuk melawan.

132
“Eyewitness: Sierra Leone’s Rape Ordeal” diakses dari
http://newswww.bbc.net.uk/1/hi/world/africa/2665103.stm pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 23.45
WIB.
133
Amnesty International, Rwanda: Marked for Death, Rape Survivors Living with HIV/AIDS in
Rwanda, (London: AI, 2004), hlm. 7.

65
Fungsi ini dilakukan di hampir seluruh konflik. Salah satunya

terjadi di Timor-Timur pada masa pendudukan Indonesia, berikut ini

adalah testimonial seorang korban:

“Setelah invasi 1975, kami melarikan diri ke bukit-bukit dan


bekerja sebagai bagian OPMT (Organizacao Popular de
Mulher Timor, organisasi perempuan Fretilin, kelompok
anti-integrasi). Kami ditangkap dan dimasukkan dalam
penjara. Tempatnya sangat padat dengan banyak perempuan
di satu ruangan … Di penjara, tentara Indonesia
memperlakukan kami seperti mainan. Saya tidak mengingat
semua nama perempuan yang menderita di sana bersama
saya, tapi saya mengingat Fatuna, Julita, Rosa Vitoria, dan
Maria … Di sana tidak hanya perkosaan tapi juga
penyiksaan, seperti penyundutan dengan rokok, dan
pemukulan … Tentara Indonesia mencari dan memperkosa
perempuan yang menikah dengan anggota Fretilin. Mereka
memperkosa salah satu teman saya yang bernama Ines
karena dia hidup dekat dengan para pejuang.” 134

Perkosaan juga dialami oleh Vumi (bukan nama sebenarnya),

perempuan Kongo yang pada masa konflik ia ditinggal suaminya

berperang saat ia sedang hamil. Perkosaan yang dilaluinya sangatlah brutal

sehingga bayi dalam kandungannya meninggal dan ia tidak bisa duduk

karena sakit. Dibawah ini adalah penuturannya:

“Perkosaan itu terjadi di malam hari. Empat orang menculik


saya. Mereka memperkosa saya. Pada waktu itu saya sedang
hamil 9 bulan. Mereka memperkosa saya bersama-sama dan
memasukkan tongkat ke vagina saya sehingga bayi saya
meninggal, mereka berkata itu lebih baik daripada
135
membunuh saya.”

134
Rebecca Winters, Buibere: The Voice of East Timorese Women, (Darwin: East Timor
International Support Center, 1999), hlm. 6.
135
Jackie Martens, “Congo Rape Victims Seek Solace” diakses dari
http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/3426273.stm pada tanggal 1 Mei 2006 pukul 23.30 WIB.

66
g) Perkosaan untuk menghentikan perempuan berkontribusi dalam

konflik

Di masa konflik, ketika laki-laki pergi berperang, maka

perempuanlah yang tinggal di rumah mengurus ladang, mengurus ternak

dan menjalankan tugas sehari-hari. Kekhawatiran pihak musuh bahwa

suami ataupun kerabat dari perempuan tersebut sewaktu-waktu datang

untuk meminta bantuan baik makanan maupun perlindungan membuat

tindak perkosaan dilakukan sehingga perempuan mengalami trauma dan

tidak bisa menjalani kehidupannya seperti biasa. Selain itu perkosaan juga

digunakan untuk membungkam perempuan yang aktif dalam pergerakan

dan diplomasi. 136

Fungsi terakhir ini juga cukup umum terjadi di wilayah konflik di

mana pun di dunia. Berikut ini adalah kesaksian dari konflik yang

berkecamuk di Myanmar di mana perkosaan perempuan dilakukan oleh

tentara Myanmar terhadap perempuan dari etnis minoritas maupun

kelompok-kelompok yang dianggap melawan junta militer:

“Banyak anggota perempuan dari organisasi revolusioner


kami yang tidak disukai oleh SLORC (tentara Myanmar).
Beberapa di antaranya telah diperkosa, ditangkap dan
dibunuh setelah diperkosa. Para tentara banyak melakukan
hal yang buruk pada perempuan, saya tidak dapat
137
mengatakan keseluruhannya.”

136
Meredith Turshen, “The Political Economy of Rape: An Analysis of Systematic Rape and
Sexual Abuse of Women During Armed Conflict in Africa” dalam Caroline Moser dan Fiona
Clark (eds.), Victims, Perpetrators or Actors? Jender, Armed Conflict and Political Violence,
(London: Zed Books, 2001), hlm.55-68.
137
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Op. Cit., hlm. 33.

67
Selain itu perkosaan juga dilakukan terhadap perempuan karena

mereka memiliki peran sosial dalam masyarakat. Hal ini dilontarkan oleh

perempuan Guatemala bernama Yolanda Aguilar (bukan nama

sebenarnya). Ia adalah salah satu korban yang selamat pada perang

saudara yang berlangsung tahun 1980an. Lebih lengkapnya ia berkata:

“Perempuan bertanggung jawab untuk menjaga berjalannya


kehidupan sosial … dengan menyerang perempuan maka
menyerang dasar yang membangun masyarakat. Selain itu
perkosaan juga seakan-akan menjadi ‘hadiah’ bagi tentara
138
dalam pekerjaannya”.

Fungsi-fungsi perkosaan perempuan di wilayah konflik, jika dimasukkan

ke dalam tabel akan tampak seperti di bawah ini:

Tabel I. Fungsi-Fungsi Perkosaan Perempuan di Wilayah Konflik


Fungsi Sebagai Menghan- Membenihi Menghan- Senjata Salah satu Menghen-
Perko- salah curkan moral perempuan curkan yang bentuk tikan
saan satu individu, sehingga budaya memba- penyiksaan perempuan
Perem- pampa- keluarga dan etnisnya dan ngun untuk berkontri-
puan di san komunitas di tidak identitas teror menyakiti busi dalam
Wila- perang mana murni lagi di mana atau konflik
yah perempuan perem- mendapat-
Konflik itu berasal puan itu kan
berasal keterangan

Jenis Semua Semua jenis Konflik Konflik Semua Semua jenis Semua jenis
Konflik jenis konflik etnis dan etnis dan jenis konflik konflik
konflik agama agama konflik

Testim Liberia Kongo dan Bosnia- Darfur, Sierra Timor- Myanmar


onial dan Darfur, Sudan Herzegovina Sudan dan Leone dan Timur, dan
dari Ethiopia Kosovo Rwanda Indonesia Guatemala
Konflik dan Kongo

138
Jennifer Harbury, “War Crimes: Women Begin to Speak, The Rape of Indigenous Women in
the 1970’s-1980’s Guatemalan Civil War” dalam Cerigua Weekly Briefs, No. 48, 11 Desember
1997 diakses dari
http://www.libertadlatina.org/LatAm_Guatemala_Indigenous_Rape_In_Civil_War.htm pada
tanggal 1 Mei 2006 pukul 12.05.

68
Perkosaan perempuan terus terjadi di dalam perang karena fenomena

tersebut memiliki fungsinya tersendiri dalam konflik. Sehingga sudah sepatutnya

fenomena tersebut turut dikaji menggunakan latar belakang teoritis. Tidak banyak

ahli konflik mengkaji perkosaan sebagai suatu kasus yang serius dan tersebar luas

(widespread) karena posisinya yang dianggap tidak memainkan peran yang besar

dalam politik keamanan internasional, seperti misalnya kajian persenjataan

maupun taktik perang. Padahal seperti yang tertera dalam tabel, perkosaan

menjalankan fungsi-fungsi yang tak hanya berlaku pada saat konflik terjadi

namun akibatnya masih dirasakan sampai dengan beberapa tahun mendatang.

Jika perkosaan digunakan sebagai senjata, maka akan memiliki pengaruh

lebih dari altileri perang konvensional karena dampaknya tidak hanya dirasakan

oleh perempuan yang menjadi korban tapi juga keluarga dan komunitasnya.

Selain itu, trauma yang ditimbulkan dari suatu perkosaan juga masih dapat

dirasakan oleh korban hingga bertahun-tahun ke depan. Sehingga bisa dikatakan

adalah suatu kebutuhan untuk mengangkat fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik sebagai kajian hubungan internasional. Karena hanya dengan

mengangkatnya ke tataran kajian dan pembahasan maka dapat dicari solusi untuk

mengatasi fenomena tersebut.

69
BAB III
KAJIAN PERSPEKTIF-PERSPEKTIF UTAMA HUBUNGAN
INTERNASIONAL TERHADAP FENOMENA PERKOSAAN
PEREMPUAN
DI WILAYAH KONFLIK

Noticed that the word woman scarcely ever crossed the lips of political science lecturers
-Cynthia Enloe- 139

Women are excluded from war talk; men, from baby talk
-Jean Bethke Elshtain- 140

Perkosaan perempuan di wilayah konflik terjadi secara luas di seluruh

konflik di dunia, sehingga pada bab ini penulis berusaha untuk memasukkan

fenomena tersebut ke dalam kerangka kajian hubungan internasional. Untuk

mengkaji suatu fenomena internasional maka sebelumnya dilakukan pencarian

perspektif teori hubungan internasional yang dianggap sesuai dengan kasus yang

akan diangkat. Dalam pendahuluan telah dijelaskan bahwa termin ‘perspektif’

digunakan untuk menjelaskan cara untuk melihat dunia dengan memprioritaskan

suatu keadaan, isu dan proses tertentu. Dapat dikatakan bahwa perspektif adalah

sudut pandang yang digunakan dalam menganalisa suatu fenomena 141 dan

merupakan alat yang penting untuk mengkaji suatu fenomena.

Menurut pendapat Thomas Kuhn yang menulis tentang struktur revolusi

ilmu pengetahuan, signifikansi paradigma terletak pada kekuatannya yang “tidak

139
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 228.
140
Jean Bethke Elshtain, Women and War, (New York: Basic Books, 1987), hlm. 225.
141
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 5.

70
menjelaskan kenyataan yang terjadi, namun membentuk fenomena itu sendiri.” 142

Kuhn menyatakan hal ini karena ia melihat bahwa perspektif akan mempengaruhi

para pemikir untuk melihat suatu isu dari sudut yang spesifik, yang mana pada

akhirnya akan mempengaruhi hasil akhir dari kajian maupun penelitiannya.

Sehingga dapat dikatakan bahwa identifikasi yang dilakukan oleh suatu

paradigma akan menghasilkan interpretasi dan rasionalisasi dari suatu isu. 143

Sejak tahun 1980an, kajian hubungan internasional telah memasuki apa

yang disebut sebagai “perdebatan ketiga” (the third debate) mengenai perspektif

realis, liberalis dan globalis. 144 Perdebatan-perdebatan perspektif dalam ilmu

hubungan internasional terjadi karena berkembangnya suatu cara pandang lain

yang mengkritik perspektif mainstream sehingga mengubah tataran mapan cara

berpikir yang ada. Bergantinya satu perspektif dengan yang lain dijelaskan oleh

pemikir Karl R. Popper dengan terminologi “pertumbuhan ilmu pengetahuan”.

Berangkat dari ilmu pengetahuan bisa salah (fallible), manusia hanya bisa maju

dengan belajar dari kesalahan dalam pemecahan masalah sehingga terjadi uji

teori, dimana teori yang gugur akan tergantikan teori baru. 145

Persepsi ilmu pengetahuan bisa salah dari Popper disetujui oleh Thomas

Kuhn yang menyatakan bahwa keputusan untuk menolak suatu paradigma

142
Garis miring disadur dari tulisan asli. Thomas Kuhn, Structure of Scientific Revolutions,
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), hlm. 140.
143
Ibid., hlm. 44.
144
Christine Sylvester, Feminist International Relations: An Unfinished Journey, (Cambridge:
Cambridge Studies in International Relations, 2002), hlm. 5-6.
145
Popper percaya akan adanya kebenaran objektif dan manusia berdebat menggunakan nalarnya
untuk mencapai kebenaran. Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R.
Popper, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 31. Namun secara lebih lengkapnya mengenai
observasi manusia dan sifat kritis dari logika, baca Karl R. Popper, The Open Society and Its
Enemies I, II¸ (London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1961) serta Karl R. Popper, The Logic of
Scientific Discovery, (New York: Harper & Row, 1968).

71
simultan dengan penerimaan paradigma lain. 146 Perbedaannya terletak pada Kuhn

lebih percaya pada terjadinya revolusi dari satu pemikiran tergantikan dengan

yang lain untuk dapat mengakomodasi isu sesuai dengan berkembangnya keadaan

di masyarakat. Sementara Popper lebih melihat bahwa pertumbuhan pengetahuan

merupakan suatu proses koreksi atas suatu teori oleh teori lainnya menghadapi isu

yang tak ada habisnya. Pendapat Popper maupun Kuhn sama-sama dapat

digunakan untuk menganalisa bagaimana suatu perspektif dapat lahir,

berkembang dan mengalami kemunduran, keputusan penggunaannya tergantung

dari sisi pengkaji ilmu. Dalam skripsi ini penulis menggunakan pemahaman

Thomas Kuhn yang lebih menyoroti sisi politik dari penerimaan mainstream

masyarakat ilmiah HI atas suatu perspektif.

Semenjak ilmu hubungan internasional lahir terdapat perdebatan mengenai

apa yang sepatutnya diangkat menjadi isu utama kajiannya. Pemikir terdahulu

percaya bahwa ilmu ini dimaksudkan untuk memahami sebab perang dan mencari

cara ideal interaksi antar negara agar dapat mempertahankan perdamaian jangka

panjang. Pemikiran ini disebut sebagai idealisme atau utopianisme yang tumbuh

pada akhir Perang Dunia I tahun 1930an. 147 Pemikiran ini ditentang oleh

pemikiran realis yang mempercayai keadaan dunia sebagai anarkis dimana setiap

negara mengejar kepentingan nasionalnya. Keadaan ini merupakan perdebatan

pertama (the first debate) dalam kajian hubungan internasional. Terjadinya Perang

Dunia II membuat perspektif realis mendominasi kajian hubungan internasional.

Realis menggambarkan bahwa power memainkan peranan dalam sistem


146
Kuhn, Op. Cit., hlm. 77.
147
Terry Terriff, Stuart Croft, Lucy James dan Patrick M. Morgan, Security Studies Today,
(Cambridge: Polity Press, 1999), hlm. 13.

72
internasional. 148 Tujuan ilmu hubungan internasional kemudian dianggap sebagai

kajian yang memahami dilema keamanan negara dalam mewujudkan

kepentingannya di dunia yang anarkis.

Perdebatan kedua (the second debate) dalam kajian hubungan

internasional muncul pada tahun 1960an. Fokus kajian ilmu hubungan

internasional bergeser dari hanya masalah keamanan dan kepentingan negara ke

pokok bahasan sosial lainnya yang lebih luas guna untuk memahami pola

pengambilan keputusan negara dan implementasi kebijakan luar negerinya. Pada

perdebatan ini realis berhadapan dengan behavioralis. Behavioralis memfokuskan

kajian pada perlunya pendekatan ilmu pengetahuan yang dapat dikuantifisir dalam

hubungan internasional. Dalam peredebatan kedua tidak ada yang dinyatakan

sebagai pemenang, namun pemikiran behavioralis mengembangkan kajian yang

lebih plural dari keamanan dan melahirkan perspektif liberalis. 149

Pada era 1970an realis dihadapkan dengan perspektif liberalis yang telah

berkembang luas dengan pokok kajian perluasan power. Hal ini timbul dari

pertumbuhan tekonologi dan ekonomi yang menyebabkan berkembangnya aktor-

aktor lain non-negara dalam hubungan internasional. Pada saat bersamaan

perspektif globalis yang berakar dari pemikiran Marxist juga naik ke permukaan

menghadapi fenomena tersebut. Perspektif ini masuk ke dalam ilmu hubungan

internasional dengan kajian yang menjabarkan adanya ketimpangan struktural

yang terjadi di dunia disebabkan oleh kapitalisme. 150 Keberadaan 3 paradigma

148
Tanda kutip disadur dari tulisan asli. Jill Steans, Gender and International Relations: An
Introduction, Cambridge: Polity Press, 1998), hlm. 33.
149
Terry Terriff et. all., Op. Cit., hlm. 13-14.
150
Jill Steans, Op. Cit., hlm. 34.

73
yang berbeda pada tahun 1980an inilah yang kemudian menjadi “perdebatan

ketiga” (the third debate). 151 Perspektif realis, liberalis dan globalis merupakan

sudut pandang utama dan mendominasi dalam kajian hubungan internasional yang

ada hingga sekarang. Ketiga perspektif inilah yang akan mencoba mengangkat

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik.sebagai isu kajiannya.

III.1. Perspektif Realis

Realis merupakan perspektif yang paling mapan dalam kajian hubungan

internasional. Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi menelaah perspektif ini dan

menyatakan asumsi-asumsi dasar yang dimiliki perspektif realis adalah sebagai

berikut: (1) negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional, (2) negara

dilihat sebagai aktor yang uniter, (3) negara bertindak secara rasional, dan (4) isu

yang diutamakan adalah keamanan nasional. 152 Pemikiran realis lahir dan tumbuh

pada masa perang sehingga melihat dunia berada dalam kondisi anarki serta

keadaan manusia secara natural adalah jahat.

Pemikir realis pertama adalah Thucydides (471-400 SM) yang menulis

tentang Perang Peloponnesia. Tulisannya menceritakan tentang perang antara

polis-polis di jaman Yunani, yaitu Athena dan Sparta, yang menunjukkan logika

151
Terdapat beberapa pendapat mengenai the third debate. Yang pertama menyatakan bahwa
perdebatan ini merupakan neorealis dengan neoliberal yang diajukan oleh Kenneth Waltz dalam
bukunya Theory of International Politics, (Reading, MA: Addison-Wesley, 1979). Yang kedua
adalah perdebatan antara positivis dengan post-positivis yang diajukanYosef Lapid, “The Third
Debate: On the Prospects of International Theory in Post-Positivist Era” dalam International
Studies Quarterly, Vol. 33, No. 3, Tahun 1989, hlm. 235-254. Yang ketiga dan yang paling luas
diterima adalah perdebatan antara realis, liberalis dan globalis yang diajukan oleh Michael Banks,
“The Inter-Paradigm Debate” dalam Margot Light dan John Groom (eds.), International
Relations: A Handbook of Current Theory, (London: Pinter Publishing, 1985), hlm. 7-26. Yang
digunakan oleh penulis adalah pemikiran the third debate ketiga karena paling luas diterima dalam
kajian hubungan internasional.
152
Viotti dan Kauppi, Op. Cit., hlm. 5-7.

74
kekuatan politik, yaitu mengejar power dan kepentingan nasionalnya. 153

Thucydides disebut sebagai bapak realis karena tulisannya merupakan kajian

konflik pertama yang ada.

Pemikir realis selanjutnya adalah Niccolo Machiavelli (1469-1572)

dengan tulisannya The Prince. 154 Ia menulis The Prince sebagai manual praktis

bagaimana mendapat, menjaga dan memperluas power bagi pemimpin Florence

saat itu, Lorenzi di Medici. Machiavelli tumbuh di masa kerajaan saling

menyerang satu sama lain sehingga tak sedikit yang menganggap tulisannya

kejam:

“Seorang pangeran tidak perlu perduli pada apapun tuduhan


kejahatan yang dilakukannya asalkan ia bisa menjaga
155
masyarakatnya bersatu dan setia.”

Thomas Hobbes (1588-1679) meneruskan pemikiran realis dengan buku

Leviathan. 156 Di dalam buku itu ia menulis tentang keadaan natural dunia adalah

perang manusia melawan manusia (“every man against everyman”). Ia

mempercayai bahwa dibutuhkan kekuatan koersif untuk memaksa orang (men,

dalam bahasa Hobbes) menjalankan kesepakatan, dengan teror dan hukuman yang

lebih besar dari keuntungan yang mereka dapatkan jika melanggar kesepakatan.157

Oleh karena itu diperlukannya adanya Leviathan yakni penguasa, seperti yang

dilakukan negara terhadap rakyatnya. Namun secara internasional hal ini tidak

153
“The Peloponnesian War” dalam Nye, Jr., Op. Cit., hlm. 9-12. Karya lengkapnya dapat dibaca
dalam Thucydides (terj. Rex Warner), History of the Peloponnesian War, (New York: Penguin
Books, 1982).
154
Niccolo Machiavelli, The Prince and The Discourses, (New York: Modern Library, 1950).
155
Ibid., hlm. 2.
156
Thomas Hobbes, Leviathan, (New York: Collier Macmillan, 1974).
157
Ibid., hlm. 113.

75
bisa terjadi karena situasi anarki, yaitu ketiadaan kekuasaan hegemoni yang

mengatur negara-negara di dunia.

Hugo Grotius (1583-1645) berusaha menawarkan solusi atas keluhan

Hobbes, yaitu dengan menyarankan pembentukan hukum atau aturan yang

mengikat seluruh negara di dunia. Grotius menulis pemikirannya dalam buku Law

of War and Peace (1625) yang mengusulkan bahwa dasar dari hukum adalah

“hukum natural” yang general sehingga memiliki dasar mengikat. Dengan idenya,

Grotius menunjukkan bahwa baik dalam perang dan damai, dibutuhkan power dan

values. 158

Pemikiran realis secara umum berfokus pada perang, begitu juga yang

dilakukan oleh pemikir Carl von Clausewitz (1780-1831) yang juga mendukung

perang-perang Napoleon. Tulisannya yang berjudul On War tidak pernah selesai,

namun ia dikenal dengan pemikiran bahwa “perang adalah perpanjangan aktivitas

politik dengan cara yang lain.”159 Ia juga menambahkan bahwa militer, bersamaan

dengan dukukan sosial ekonomi, merupakan bagian dari kapabilitas suatu negara.

Buku The Twenty Years’ Crisis 1919-1939 karya Edward Hallett Carr

adalah tulisan klasik kajian hubungan internasional. Pemikirannya mengkritisi

pendapat liberalis dan idealis yang dianggapnya terlalu naif karena menutupi

adanya kepentingan bahwa setiap negara menginginkan power dan berjuang

158
Viotti dan Kauppi, Op. Cit., hlm. 41-42.
159
Carl von Clausewitz (terj. Michael Howard dan Peter Paret), On War, (New Jersey: Princeton
University Press, 1976), hlm. 87.

76
mendapatkannya. 160 Carr juga mengkaji bahwa negara yang sudah memiliki

power akan selalu menginginkan power lebih besar lagi.

Hubungan power antar negara dielaborasi lebih jauh lagi oleh Hans

Morgenthau dalam buku Politics Among Nations. 161 Morgenthau membahas

tentang balance of power yang melihat bahwa hubungan antar negara memiliki 4

kriteria di bawah ini yaitu (1) terdapat kebijakan yang ditujukan dalam bidang-

bidang tertentu interaksi negara, (2) adanya tujuan dari interaksi antar negara, (3)

dalam interaksi tercipta distribusi power yang bila dimiliki secara seimbang maka

akan membangun balance of power seperti pada posisi Amerika Serikat dan Uni

Soviet saat Perang Dingin, dan (4) distribusi power manapun akan menghentikan

penggunaan power dan menahannya ketika terdapat kedua power yang seimbang.

Masih banyak pemikir kajian hubungan internasional lain yang juga

menggunakan perspektif ini sebagai cara pandang utama mengkaji fenomena

internasional. Mereka antara lain adalah Kenneth Waltz, Hedley Bull, K.J.

Holsti, Barry Buzan dan Robert Gilpin. Dari pemikiran-pemikiran ahli di atas,

Jill Steans dan Lloyd Pettiford menyatakan bahwa ciri-ciri utama dari perspektif

realis adalah: 162

1. Negara yang berdaulat merupakan aktor utama dalam hubungan internasional


2. Negara tergerak karena adanya power dan tujuan untuk mengejar kepentingan
nasional
3. Masalah utama dari hubungan internasional adalah kondisi anarki yaitu ketiadaan
autoritas berdaulat yang mengatur interaksi antar negara

160
Edward Hallett Carr, The Twenty Years Crisis, 1919-1939, (London: Macmillan and Co.,
1962), hlm. 93.
161
Hans Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle of Power and Peace, 4th ed., (New
York: Alfred A. Knopf, 1966).
162
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 25.

77
4. Agresivitas negara, digabungkan dengan tak adanya pemerintahan dunia
mengakibatkan konflik sebagai realitas yang selalu ada di dunia internasional
5. Suatu keteraturan dan keamanan dapat dijaga dengan pembentukan aliansi antar
negara sehingga mencegah satu negara menjadi sangat kuat dan mengancam
keberadaan negara lain
6. Institusi dan hukum internasional menjalankan peran dalam hubungan
internasional

Lebih lanjut Steans dan Pettiford melihat bahwa dalam mengkaji suatu

fenomena internasional, realis memiliki asumsi-asumsi di bawah ini: 163

a) Manusia adalah makhluk egois. Negara, seperti layaknya laki-laki


(diterjemahkan secara literal dari “men”), bertindak sesuai dengan
kepentingannya sendiri
b) Negara adalah aktor utama, sehingga kajian hubungan internasional
adalah kajian tentang negara dan bagaimana mereka berinteraksi. Dua hal
penting tentang negara yang patut diingat adalah:
(1) Negara memiliki kedaulatan. Sehingga kedaulatan adalah
kunci utama dalam hubungan internasional
(2) Negara digerakkan oleh kepentingan nasional dan menjalankan
kebijakan luar negeri untuk mencapainya
c) Power adalah kunci untuk memahami perilaku internasional dan motivasi
negara
d) Hubungan internasional secara mendasar adalah konfliktual, karena:
(1) Manusia adalah serakah dan bertindak atas kepentingannya
sendiri dan tidak ada kemungkinan sikap seperti ini berubah,
atau
(2) Di level negara, interaksi dikonstruksikan sedemikian rupa
bahwa ketika mengejar kepentingan nasional maka akan
berbenturan dengan negara lain, atau

163
Ibid., hlm. 28-29.

78
(3) Yang menjadi masalah adalah ketidakadaannya kekuasaan
sentral di tataran hubungan internasional sehingga
menimbulkan anarki dan ketidakamanan

Selanjutnya akan ditelaah apakah perspektif realis dapat mengkaji

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik. Dari pemaparan di atas dapat

dilihat fokus perspektif ini terletak pada negara, negara mengatur manusia yang

berada dalam wilayahnya, terdapat hubungan power antar negara, negara akan

memaksimalkan tindakannya untuk meraih kepentingan nasional, tidak ada

kekuasaan yang mengatur kedaulatan negara, oleh karena itu konflik merupakan

keadaan natural yang ada di dunia sehingga patut dikaji. Konflik yang diamati

realis berada dalam tataran antar negara yang berada dalam sistem internasional

yang anarkis. Oleh karena itu maka negara dalam perspektif realis akan selalu

merasa tidak aman terhadap negara lainnya.

Fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik di sisi lain, merupakan

terjadinya tindak kekerasan perempuan di dalam konflik yang didefinisikan

sebagai perkosaan. 164 Kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi dari

power relations yang tidak imbang secara historis antara perempuan dan laki-laki,

sehingga membuat adanya dominasi dan diskriminasi perempuan oleh laki-laki

untuk mencegahnya menjadi berdaya. 165 Ketika mengkaji fenomena perkosaan

perempuan di wilayah konflik maka akan terlihat perempuan berada dalam posisi

yang tidak aman terhadap laki-laki. Posisi ini dibentuk secara sosial melalui
164
Definisi perkosaan dapat dilihat pada bab 1 hlm. 20 atau dalam buku Arimbi Heroepoetri dan
R. Valentina, Percakapan Tentang Feminis VS Neoliberalisme, (Jakarta: Debtwatch Indonesia,
2004), hlm. 65.
165
Poin 118 Deklarasi Beijing, United Nations, Beijing Declaration and Platform for Action with
the Beijing+5 Political Declaration and Outcome Document, (New York: Department of Public
Information United Nations, 2001), hlm. 75.

79
hubungan power yang tidak imbang dan berdampak ke keadaan pragmatis di

mana saat damai perempuan lebih banyak di wilayah domestik dan laki-laki di

wilayah publik termasuk militer, sementara saat perang laki-laki lebih banyak

dipersenjatai untuk menjadi kombatan dibandingkan perempuan. Perkosaan

perempuan di wilayah konflik perlu ditangani serius menggunakan hukum

internasional namun pada kenyataannya fenomena ini terus terjadi karena

memiliki fungsinya tersendiri. 166

Dari penjabaran mengenai perkosaan perempuan di wilayah konflik

didapatkan bahwa fenomena tersebut bila diangkat ke tataran kajian memiliki

karakteristik utama kajian jender, mengkaji pengalaman individu perempuan yang

dialami secara kolektif, melihat bahwa terdapat hubungan power yang tidak

imbang antara perempuan dan laki-laki, perempuan berada dalam posisi yang

tidak aman terhadap laki-laki, terjadi di saat berlangsungnya konflik, perlu

ditangani secara serius oleh hukum internasional dan menyatakan bahwa

perkosaan mempunyai fungsi dalam konflik. Sehingga untuk melihat apakah

perspektif realis mampu mengkaji fenomena perkosaan di wilayah konflik akan

ditelaah melalui matriks di bawah ini:

Matriks I. Perspektif Realis Mengkaji Fenomena Perkosaan Perempuan di Wilayah


Konflik
Fenomena Kajian Mengkaji Melihat Perem- Terjadi Perkosaan Perkosaan
perkosaan jender pengala- adanya puan meluas perempuan memiliki
perempuan man hubungan berada di saat di wilayah fungsi
di wilayah individu power yang dalam berlang- konflik dalam
konflik perem- tidak posisi sungnya perlu konflik
puan yang imbang tidak konflik ditangani
dialami antara laki- aman secara serius
Fokus secara laki dan melalui
Perspektif kolektif perempuan hukum
Realis internasional

166
Fungsi perkosaan perempuan di wilayah konflik telah dijabarkan pada bab 2 hlm. 19-30.

80
Fokus pada
negara - - - - - - -
Negara
mengatur - - - - - - -
manusia
Terdapat
hubungan - - - - - - -
power antar
negara
Negara
memaksimalkan
tindakannya
untuk meraih
- - - - - - -
kepentingan
nasional
Tidak ada
kekuasaan yang - - - - - - -
mengatur
kedaulatan
negara
Konflik
merupakan - - - - v - -
keadaan natural
di dunia
sehingga patut
dikaji
Negara berada
dalam posisi - - - - - - -
tidak aman
terhadap
ancaman negara
lain

Dari matriks di atas terlihat bahwa perspektif realis hanya mampu

menganalisa kondisi konflik. Realis tidak secara spesifik mengakomodasi kajian

jender, melihat pengalaman individu perempuan, melihat hubungan power antara

laki-laki dan perempuan yang tidak imbang sebagai dasar terjadinya kekerasan

dan posisi perempuan yang tidak aman, perlunya menangani masalah ini secara

serius baik dari segi hukum internasional maupun kajian hubungan internasional

serta melihat fenomena perkosaan memiliki fungsi dalam konflik. Dari 7

karakteristik utama fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik hanya 1

81
karakteristik yang dapat dipenuhi oleh perspektif ini. Sehingga perspektif realis

dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memasukkan fenomena perkosaan

perempuan di wilayah konflik sebagai salah satu kajiannya.

III.2. Perspektif Liberalis

Persperktif ini sering disebut juga sebagai pluralis karena mengakomodasi

berbagai aktor dalam dunia internasional dan menganggap mereka sama penting,

berbeda dengan realis yang menganggap negara adalah aktor utama, Asumsi-

asumsi dasar dari perspektif ini menurut Viotti dan Kauppi adalah (1) aktor non

negara juga sama penting (dengan aktor negara) dalam hubungan internasional,

(2) negara bukanlah aktor yang uniter, (3) negara tidak selalu bertindak secara

rasional karena terdapat kompromi di dalam negara itu sendiri, dan (4) terdapat

banyak isu dalam hubungan internasional, yaitu keamanan, ekonomi, sosial dan

lingkungan. 167 Perspektif liberalis lahir pada masa-masa damai ataupun saat

negara berada dalam posisi yang mengungkung rakyatnya sehingga lebih percaya

pada individu daripada negara.

Liberalis memiliki 4 fokus dalam bidang pembahasannya. Yang pertama

adalah liberalis perdagangan (commercial liberalism) 168 yang berargumen

bahwa ekspansi ekonomi internasional membuat negara lebih tidak mau

mengambil resiko untuk berperang. Pemikir liberalis perdagangan adalah Adam

Smith dan David Ricardo. Adam Smith (1723-1790) menekankan pentingnya

perekonomian dijalankan oleh individu dan tidak dihambat oleh negara. Karena

167
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ hlm. 7-8.
168
Ibid.¸ hlm. 231.

82
setiap individu akan menjalankan ekonomi dan menciptakan keharmonisan

kepentingan pasar yang mengatur jalannya ekonomi negara (the invisible

hands). 169 David Ricardo (1772-1823) menaikkannya dalam tataran

internasional bahwa setiap negara memiliki kemampuan komparatif dalam

memproduksi jasa maupun produk tertentu. 170 Sehingga Ricardo menganjurkan

setiap negara mengembangkan spesialisasi usaha dan bekerja sama dalam

perdagangan.

Pemikiran yang sama diungkapkan juga oleh Jeremy Bentham. Ia

menyatakan bahwa manusia bertindak rasional dan selalu bertindak untuk

memaksimalkan kepentingannya. 171 Walaupun terdengar egois namun tindakan

kolektif semua manusia ini pada akhirnya mampu menciptakan apa yang terbaik

bagi mereka tanpa campur tangan pemerintah. Terlihat bahwa kapitalisme yaitu

sistem ekonomi sosial yang mementingkan individu dan pasar merupakan bagian

sentral dari perspektif liberalis. 172 Pemikiran-pemikiran ini sangat berpengaruh di

Amerika Serikat dan Inggris pada masa Perang Dingin dan menyebar ke seluruh

dunia setelah perang tersebut usai.

Fokus kedua adalah liberalis demokrat (democratic liberalism) yang

berargumen bahwa penyebaran sistem politik demokrasi menyebabkan di banyak

negara kekuasaan tidak terpusat pada sekelompok kecil politisi dan elit militer.

Dalam sistem ini penguasa harus memberi perhatian terhadap pendapat publik

169
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Cause of Wealth of Nations, (London: JM. Dent,
1910).
170
David Ricardo, The Principles of Political Economy and Taxation, (Harmondsworth: Penguin
Books, 1971).
171
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 49-50.
172
“A Reader’s Guide to ‘Isms’” dalam David N. Balaam dan Michael Veseth, Introduction to
International Political Economy, (New Jersey: Prentice Hall, 1996), hlm. 18.

83
domestik yang mampu bertindak sebagai penghambat negara untuk maju

berperang. Ahli yang melahirkan pemikiran ini adalah John Locke dengan

tulisannya Second Treatise on Government. 173 Dalam tulisannya, Locke

mempercayai pentingnya peran serta individu dalam politik dan peran negara

yang dibatasi hanya sebagai pengatur kestabilan politik, sosial dan ekonomi.

Dengan pemikiran ini maka individu dapat berinteraksi dengan bebas dan

mengejar tujuannya. Sehingga 3 penekanan perspektif liberalis demokrat adalah

(1) negara sebagai penguasa yang netral, (2) adanya potensi keharmonisan

kepentingan yang tercipta secara natural, dan (3) partisipasi dan perhatian publik

sehingga pengambilan keputusan tidak semata berada di tangan elit politik. 174

Bidang ketiga adalah liberalis regulator (regulatory liberalism) 175 yang

percaya pada hukum internasional sebagai aturan perilaku hubungan

internasional. Organisasi internasional berperang untuk memberi kontribusi pada

pengaturan perdamaian dari konflik-konflik yang terjadi antar negara dan

meningkatkan kerjasama di dunia. Pemikir liberalis pertama yang melontarkan

paham ini adalah Immanuel Kant (1724-1804) melalui karyanya Perpetual

Peace. 176 Kant mengadvokasi pentingnya federasi dunia yang menjalankan

hukum internasional sehingga tercipta keteraturan. Pemikir liberalis selanjutnya

Michael Doyle mengeluarkan pemikirannya bahwa negara demokrasi tidak

173
John Locke, “An Essay Concerning the True, Original Extent and End of Civil Government:
Second Treatise on Government” dalam John Locke, et. all, Social Contract, (London: Oxfor
University Press, 1962).
174
Theodore J. Lowi, The End of Liberalism: Ideology, Policy, and the Crisis of Public Authority,
(New York: Norton, 1969), hlm. 48 dan 71.
175
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ hlm. 231.
176
Immanuel Kant, Perpetual Peace, (Indianapolis: Boobs-Merrill, 1957).

84
menyerang satu sama lain. 177 Hal ini diargumentasikan oleh Doyle karena dasar

negara demokrasi lebih damai dan bertindak atas dasar hukum internasional.

Pemikiran tersebut melahirkan cara untuk mempertahankan perdamaian adalah

menyebarluaskan paham demokrasi. Hal ini sesuai dengan fokus dari liberal

demokrat.

Bidang terakhir yang menjadi fokus adalah kelelahan akan perang. 178

Liberalis secara umum percaya bahwa kebudayaan Barat telah cukup menderita

dari perang-perang yang terjadi sehingga pemimpin dan rakyat mengetahui resiko

besar untuk pergi berperang. Graham T. Allison mengembangkan konsep

pengambilan keputusan dalam pembentukan kebijakan negara. 179 Yang menjadi

perhatian dari bidang ini adalah proses pengambilan keputusan bertingkat, di

mana dalam kondisi negara demokratis tidak ada satu individu yang dapat

menyatakan perang sebelum berunding dengan aktor-aktor politik lain dalam

negara. Pemikiran ini dikembangkan lagi oleh David Mitrany yang melihat

bahwa hubungan transnasional dapat berkembang ke integrasi internasional.180

Teori fungsionalis Mitrany yang membahas tentang organisasi internasional

terbentuk karena fungsi yang dijalankannya 181 terbukti pada kesuksesan

terbentuknya Uni Eropa.

177
Michael Doyle, “Liberalism and World Politics” dalam American Political Science Review,
Vol. 80, No. 4, Tahun 1986, hlm. 1151-1169.
178
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ hlm. 231.
179
Graham T. Allison, “Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis” dalam American
Political Science Review, Vol. 63, September 1969, hlm. 689-718.
180
David Mitrany, A Working Peace System, (Chicago: Quadrangle Books, 1966)
181
David Mitrany, “The Functional Approach to World Organization” dalam International Affairs,
Vol. 24, No. 3, Juli 1948, hlm. 333-368.

85
Masih banyak pemikir liberalis lain yang memberi kontribusi terhadap

perspektif ini, antara lain Jean-Jacques Rousseau, Woodrow Wilson, Edward

Morse, Thomas Friedman, Francis Fukuyama. Dari pemikiran-pemikiran ahli

yang disebutkan di atas, Jill Steans dan Lloyd Pettiford menyatakan bahwa ciri-

ciri utama dari perspektif liberalis adalah: 182

1. Rasionalitas adalah karakter manusia yang universal


2. Manusia secara rasional mengejar kepentingannya sendiri namun terdapat potensi
kesamaan dan keharmonisan dari kepentingan antar manusia
3. Kerjasama merupakan perilaku utama dari hubungan antar manusia, termasuk
dalam tataran hubungan internasional
4. Keberadaan pemerintah adalah perlu namun sentralisasi kekuasaan merupakan
hal yang buruk
5. Kebebasan individu merupakan dasar politik yang paling penting

Lebih lanjut Steans dan Pettiford melihat bahwa dalam mengkaji suatu

fenomena internasional, liberalis memiliki asumsi-asumsi di bawah ini: 183

a) Liberalis percaya bahwa semua manusia adalah makhluk yang rasional.

Rasionalitas dapat digunakan melalui dua cara:

(1) Secara instrumental, merupakan kemampuan seseorang untuk


mengungkapkan dan mengejar kepentingannya
(2) Kemampuan untuk memahami prinsip moral dan hidup
menurut aturan hukum
b) Liberalis menghargai kebebasan individu di atas apapun

c) Liberalis memiliki cara pandang positif dan progresif tentang keadaan

dasar manusia. Liberalis percara bahwa adalah mungkin mencapai

perubahan positif dalam hubungan internasional

182
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 48.
183
Ibid., hlm. 53-54.

86
d) Liberalis menekankan pada kemungkinan organisasi dan perkumpulan

manusia mampu membawa perubahan

e) Dengan cara tersendiri, liberalis menggugat perbedaan antara bidang

domestik dan internasional:

(1) Liberalis adalah doktrin universalis yang mempercaya bahwa


manusia berada komunitas internasional yang melebihi
keanggotaannya dalam negara
(2) Konsep liberalis tentang interdependensi dan masyarakat dunia
membuat batasan antar negara semakin tipis

Selanjutnya akan ditelaah apakah perspektif liberalis dapat mengkaji

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik. Dari pemaparan di atas

terlihat bahwa fokus perspektif ini terletak pada setiap aktor (baik individu;

kelompok individu; negara; perusahaan multinasional; dst.) sama penting dalam

interaksi internasional, terdapat banyak isu dalam kajian hubungan internasional,

ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, negara mengatur hukum di

wilayahnya, individu berada dalam posisi tidak aman terhadap adanya dominasi

negara, pentingnya partisipasi individu dalam politik sehingga keputusan negara

tidak terpusat dan percaya hukum internasional dapat berlaku.

Dari penjabaran mengenai perkosaan perempuan di wilayah konflik

didapatkan bahwa fenomena tersebut bila diangkat ke tataran kajian memiliki

karakteristik utama kajian jender, mengkaji pengalaman individu perempuan yang

dialami secara kolektif, melihat bahwa terdapat hubungan power yang tidak

imbang antara perempuan dan laki-laki, perempuan berada dalam posisi yang

tidak aman terhadap laki-laki, terjadi di saat berlangsungnya konflik, perlu

ditangani secara serius oleh hukum internasional dan menyatakan bahwa

87
perkosaan mempunyai fungsi dalam konflik. Sehingga untuk melihat apakah

perspektif liberalis mampu mengkaji fenomena perkosaan di wilayah konflik akan

ditelaah melalui matriks di bawah ini:

Matriks II. Perspektif Liberalis Mengkaji Fenomena Perkosaan Perempuan di


Wilayah Konflik
Fenomena Kajian Mengka Melihat Perem- Terjadi Perkosaan Perkosaan
perkosaan jender -ji adanya puan meluas perempuan memiliki
perempuan pengala- hubungan berada di saat di wilayah fungsi
di wilayah man power dalam berlang- konflik dalam
konflik individu yang tidak posisi sungnya perlu konflik
perem- imbang tidak konflik ditangani
puan antara aman secara serius
Fokus yang laki-laki melalui
Perspektif dialami dan hukum
Liberalis secara perempuan internasional
kolektif
Setiap aktor
sama penting - v - - - - -
dalam interaksi
internasional
Terdapat
banyak isu v - - - - - -
dalam kajian
hubungan
internasional
Ekonomi
diserahkan pada - - - - - - -
mekanisme
pasar
Negara
mengatur - - - - - - -
hukum di
wilayahnya
Pentingnya
partisipasi - - - - - - -
individu dalam
politik
Individu berada
dalam posisi - - - - - - -
yang tidak aman
terhadap
tekanan negara
Percaya bahwa
hukum - - - - - v -
internasional
dapat berlaku

88
Dari matriks di atas terlihat bahwa perspektif liberalis mampu mengkaji 3

dari 7 kriteria utama fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik.

Perspektif ini mengakomodir kajian jender, menghargai pengalaman individu

perempuan dan perlunya menangani masalah ini secara serius baik dari segi

hukum internasional maupun kajian hubungan internasional. Namun perspektif

liberalis kurang mampu melihat hubungan power yang tidak imbang antara laki-

laki dan perempuan yang mengakibatkan posisi perempuan yang tidak aman

terhadap laki-laki saat terjadinya konflik, menganalisa kondisi konflik dan fungsi

dari perkosaan perempuan di wilayah konflik. Sehingga perspektif ini dianggap

tidak memiliki kemampuan untuk memasukkan fenomena perkosaan perempuan

di wilayah konflik sebagai salah satu kajiannya.

III.3. Perspektif Globalis

Perspektif ini umum disebut sebagai strukturalis karena mempercayai

bahwa masyarakat di dunia hidup dalam tingkatan-tingkatan yang dipertahankan

agar terus berjalan. Fokus asumsi-asumsi perspektif ini menurut Viotti dan

Kauppi adalah (1) analisis utamanya adalah konteks global dimana terdapat

negara dengan aktor lainnya berinteraksi dan interaksi tersebut terstruktur

mengikuti suatu pola tertentu, (2) penting untuk menganalisa hubungan

internasional dari sudut pandang sejarah yang mana terbentuk dari pemikiran

historical materialism (sejarah kebendaan) Marx, (3) globalis mengakui ada

banyak aktor dalam hubungan internasional yang saling berkaitan membentuk

89
mekanisme dominasi dan menciptakan pihak yang dominan dan pihak yang

dependen, serta (4) faktor yang paling penting dalam interaksi hubungan

internasional adalah ekonomi. 184

Pemikir pertama perspektif globalis yang karyanya menjadi dasar dari

pemahaman ini adalah Karl Marx (1818-1883). Marx hadir dengan tulisannya

yang ekstensif semenjak ia muda. Namun fokus utama dalam perspektif ini adalah

konflik kelas yang diciptakan oleh ekonomi modern kapitalisme dalam buku

terbitan tahun 1857 ke atas saat ia berkolaborasi dengan Friedrich Engels. 185

Marx mempengaruhi globalis setidaknya dengan 3 cara yaitu (1) kesadaran bahwa

kapitalis ekploitasi banyak orang oleh banyak orang melalui teori nilai buruh 186 ,

(2) kapitalisme membuat dunia berjalan dengan ‘mode of production’ atau pola

tertentu dalam pengembangan dan eksploitasinya, dan (3) masyarakat harus

dipelajari secara keseluruhan karena terdapat hubungan antara dasar ekonomi

dalam kegiatan politik, sosial dan hukum. Solusi yang ditawarkan Marx adalah

revolusi sosial yang mengubah tataran masyarakat menjadi tanpa kelas.

Pemikiran Marx dikembangkan lagi oleh banyak pemikir. Salah satunya

adalah John A. Hobson (1858-1940), ekonom Inggris yang bukan penganut

aliran Marxis namun kapitalis. Hobson menganalisa bahwa masyarakat kapitalis

dihadapkan pada 3 masalah dasar yang berkaitan yaitu kelebihan produksi,

kekurangan konsumsi para pekerja dan kelebihan kapital para pengusaha. 187

184
Viotti dan Kauppi, Op. Cit.¸ 8-10.
185
Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, (New York: Washington Square
Press, 1965).
186
Marx berargumen bahwa kapitalis membayar pekerjanya lebih kecil daripada nilai yang
sebenarnya dihasilkan.
187
John A. Hobson, Imperialism: A Study, (Michigan: University of Michigan Press, 1965).

90
Sehingga upaya yang dilakukan adalah berinvestasi di negara dunia ketiga.

Hobson berargumen bahwa imperialisme adalah tingkatan yang tidak terhindarkan

dari kapitalisme.

Karya yang mengelaborasi lebih lanjut tentang imperialisme adalah tulisan

Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism. 188 V.I Lenin (1870-1924)

mengamati pada Perang Dunia I bagaimana perebutan wilayah jajahan membawa

peperangan terhadap negara kapitalis. Lenin melihat bahwa kapitalisme di satu

titik akan menjadi jenuh di pasar domestiknya sehingga untuk mencari

keuntungan lebih banyak lagi dicari peluang investasi ke luar negeri. Pemikiran

Lenin menjelaskan mengapa revolusi sosial di Inggris tidak terjadi karena

pasarnya menjadi lebih luas melalui imperialisme sehingga membuatnya lebih

sulit untuk menjadi jenuh. Namun imperialisme pada akhirnya akan membuat

negara terjajah tidak berkembang dibandingkan negara yang melakukan

kolonisasi.

Imperialisme melahirkan teori sistem dunia modern (modern world-system

theory) dan teori dependensi. Teori sistem dunia dikembangkan oleh Immanuel

Wallerstein yang membagi negara-negara di dunia ke dalam 3 tingkatan yaitu

negara pusat (core), negara pinggiran (periphery) dan negara semi pinggiran

(semi-periphery). 189 Negara pusat adalah negara yang paling dominan secara

ekonomi, politik dan militer sementara negara pinggiran adalah yang paling lemah

188
V.I. Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism, (New York: International Publishers,
1967).
189
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System I: Capitalist Agriculture and the Origins of
the European World Economy in the Sixteenth Century, (New York: Academic Press, 1974) dan
The Modern World-System II:Merchantilism and the Consolidation of the European World-
Economy: 1600-1750, (New York: Academic Press, 1980).

91
serta tidak mampu mengatur sendiri tindakan mereka tanpa campur tangan negara

pusat.

Teori dependensi dikembangkan oleh beberapa pemikir yang mengamati

fenomena Amerika Latin yang menjadi lahan investasi Amerika Utara. Membagi

negara ke dalam 2 jenis yaitu “negara Utara” yang maju dan “negara Selatan”

yang terbelakang. Theotonio Dos Santos menyatakan bahwa dependensi adalah

keadaan sedemikian rupa dimana perkembangan dilakukan oleh negara maju

sementara negara lainnya (yang kurang maju) hanya terkena imbasnya. 190

Sementara itu Andre Gunder Frank mengeluarkan terminologinya “development

of underdevelopment” yang merujuk pada negara bila menjadi subjek dari

kolonisasi dari imperialisme negara lainnya maka akan mengalami kemunduran

perkembangan. 191 Negara terbelakang akan menjadi tergantung pada negara

berkembang sehingga Frank menganjurkan cara bagi negara terbelakang untuk

tidak turut serta dalam politik ekonomi global agar tidak menjadi tergantung.

Permikiran globalis terus dikembangkan oleh pemikir-pemikir alirannya,

antara lain Eduard Bernstein, Rosa Luxemburg dan Karl Kautsky. Dari

pemikiran-pemikiran ahli di atas, Jill Steans dan Lloyd Pettiford menyatakan

bahwa ciri-ciri utama dari perspektif globalis adalah: 192

1. Keadaan hubungan internasional dibentuk oleh struktur kapitalis dunia ekonomi,


atau sistem dunia kapitalis (capitalist world-system)
2. Politik internasional dibentuk oleh faktor-faktor ekonomi

190
Theotonio Dos Santos, “The Structure of Dependence” dalam American Economic Review,
Vol. 60, Tahun 1970, hlm. 231-236.
191
Andre Gunder Frank, Capitalism and Underdevelopment in Latin America: Historical Studies
of Chile and Brazil, (New York: Monthly Review Press, 1967).
192
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm.73.

92
3. Aktor utama adalah negara, perusahaan transnasional dan multinasional, serta
kelas-kelas sosial transnasional
4. Negara mencerminkan kepentingan dari kelas-kelas sosial yang dominan dan
bukan murni ‘kepentingan nasional’
5. Kapitalisme secara mendasar adalah keteraturan sosial dan ekonomi yang tidak
adil, yang pada akhirnya akan menghasilkan konflik dan ketidakharmonisan
6. Kapitalisme dikarakteristikkan dengan kontradiksi internal dan merupakan subjek
dari krisis yang terjadi secara periodik

Lebih lanjut Steans dan Pettiford melihat bahwa dalam mengkaji suatu

fenomena internasional, globalis memiliki asumsi-asumsi di bawah ini:193

a) Keberadaan manusia tidak tetap dan penting. Subjek dari manusia adalah
sosial dan historikal. Bagaimanapun keberadaan manusia dikondisikan
dengan keberadaan saat ini dari organisasi sosial, ekonomi dan politik.
Manusia adalah produk dari masyarakatnya
b) Subjek dapat dikelompokkan dalam kelompok yang teridentifikasi, yang
pada akhirnya dikatakan memiliki kepentingan yang konkrit
c) Tidak adanya pembedaan yang jelas antara nasional (di dalam negara)
dan internasional (di luar negara). Dari perspektif ini, sistem negara
dibentuk oleh sistem kapitalis internasional, atau keduanya bergabung
dan secara bersamaan saling mempengaruhi

Selanjutnya akan ditelaah apakah perspektif globalis dapat mengkaji

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik. Dari pemaparan di atas dapat

dilihat fokus perspektif ini terletak pada kajian ekonomi yang mempengaruhi

bidang sosial-politik-hukum secara internasional, aktor utama adalah pemilik

kapital (negara; perusahaan multinasional; kelas-kelas borjuis dalam masyarakat),

setiap interaksi di dunia memiliki struktur, terdapat mekanisme dominasi pihak

miskin oleh pihak kaya (baik di tingkat sosial masyarakat dalam negara maupun
193
Ibid., hlm. 83.

93
di tingkat internasional), struktur ini pada akhirnya membuat pihak miskin berada

pada posisi tidak aman terhadap eksploitasi pihak yang lebih kaya, kapitalisme

akan mencapai titik jenuh sehingga untuk mencegahnya dilakukan ekspansi

kapital dan struktur kelas dapat dihilangkan melalui revolusi sosial-ekonomi-

hukum.

Dari penjabaran mengenai perkosaan perempuan di wilayah konflik

didapatkan bahwa fenomena tersebut bila diangkat ke tataran kajian memiliki

karakteristik utama kajian jender, mengkaji pengalaman individu perempuan yang

dialami secara kolektif, melihat bahwa terdapat hubungan power yang tidak

imbang antara perempuan dan laki-laki, perempuan berada dalam posisi yang

tidak aman terhadap laki-laki, terjadi di saat berlangsungnya konflik, perlu

ditangani secara serius oleh hukum internasional dan menyatakan bahwa

perkosaan mempunyai fungsi dalam konflik. Sehingga untuk melihat apakah

perspektif globalis mampu mengkaji fenomena perkosaan di wilayah konflik akan

ditelaah melalui matriks di bawah ini:

Matriks III. Perspektif Globalis Mengkaji Fenomena Perkosaan Perempuan di


Wilayah Konflik
Fenomena Kajian Mengkaji Melihat Perem- Terjadi Perkosaan Perko-
perkosaan jender pengalama adanya puan meluas di perempuan saan
perempuan n individu hubungan berada saat di wilayah memili
di wilayah perempua power dalam berlang- konflik ki
konflik n yang yang tidak posisi sungnya perlu fungsi
dialami imbang tidak konflik ditangani dalam
secara antara aman secara serius konflik
Fokus kolektif laki-laki melalui
Perspektif dan hukum
Globalis perempuan internasional
Ekonomi
mempengaruhi - - - - - - -
bidang sosial-
politik-hukum
secara
internasional

94
Aktor utama
adalah pemilik - - - - - - -
kapital
Setiap interaksi
di dunia v - v - - - -
memiliki
struktur
Terdapat
mekanisme - - - - - - -
dominasi pihak
miskin oleh
pihak kaya
Pihak miskin
berada dalam - - - - - - -
posisi tidak
aman terhadap
eksploitasi
pihak kaya
Kapitalisme
akan mencapai - - - - - - -
titik jenuh
sehingga untuk
mencegahnya
dilakukan
ekspansi kapital
Struktur kelas
dapat - - - - - - -
dihilangkan
melalui revolusi
sosial-ekonomi-
hukum

Dari matriks di atas terlihat bahwa perspektif globalis hanya mampu

menganalisa 2 dari 7 kriteria utama fenomena perkosaan perempuan di wilayah

konflik. Perspektif ini mampu melihat hubungan power yang tidak imbang antara

laki-laki dan perempuan dengan acuan setiap interaksi di dunia memiliki struktur.

Oleh sebab itu maka dapat dikatakan bahwa perspektif globalis mampu mengkaji

jender walaupun tidak melihatnya secara utuh, hanya dari sisi ekonomi saja.

Sayangnya perspektif globalis tidak mengembangkan ketimpangan power sebagai

alasan posisi perempuan yang tidak aman saat konflik berlangsung, terutama

95
terhadap kasus kekerasan berbasis jender seperti antara lain perkosaan. Selain itu

globalis tidak mampu menghargai pengalaman individu berdasar jenis kelamin

tapi dari tingkatan ekonominya. Globalis juga tidak mengkaji kondisi konflik,

melihat perlunya penanganan dari segi hukum internasional maupun kajian

hubungan internasional, dan menganalisa fungsi dari perkosaan perempuan di

wilayah konflik. Sehingga perspektif globalis dianggap tidak memiliki

kemampuan untuk memasukkan fenomena perkosaan perempuan di wilayah

konflik sebagai salah satu kajiannya.

III.4. Kelemahan Perspektif-Perspektif Utama Hubungan Internasional

dalam

Mengkaji Fenomena Perkosaan Perempuan di Wilayah Konflik

Pada bagian sebelumnya dijabarkan perspektif-perspektif utama hubungan

internasional, yaitu realis, liberalis dan globalis. Satu persatu dari perspektif ini

telah mencoba mengkaji karakteristik fenomena perkosaan perempuan di wilayah

konflik. Ditemukan bahwa baik perspektif realis, liberalis maupun globalis tidak

mampu mengakomodasi keseluruhan karakteristik fenomena tersebut. Oleh

karena itu maka akan dicoba menggabungkan ketiga perspektif utama kajian

hubungan internasional untuk menganalisa fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik.

Matriks IV. Perspektif Realis, Liberalis dan Globalis Mengkaji Fenomena


Perkosaan Perempuan di Wilayah Konflik
Fenomena Kajian Mengkaji Melihat Perem- Terjadi Perkosaan Perko-
perkosaan jender pengala- adanya puan meluas di perempuan saan
perempuan man hubungan berada saat di wilayah memi-
di wilayah individu power dalam berlang- konflik liki
konflik perempuan yang tidak posisi sungnya perlu fungsi

96
yang imbang tidak konflik ditangani dalam
dialami antara aman secara serius konflik
Perspektif secara laki-laki melalui
Hubungan kolektif dan hukum
Internasional perempuan internasional
Realis
Fokus pada
negara - - - - - - -
Negara
mengatur - - - - - - -
manusia
Terdapat
hubungan - - - - - - -
power antar
negara
Negara
memaksimalkan
tindakannya
untuk meraih
- - - - - - -
kepentingan
nasional
Tidak ada
kekuasaan yang - - - - - - -
mengatur
kedaulatan
negara
Konflik
merupakan - - - - v - -
keadaan natural
di dunia
sehingga patut
dikaji
Negara berada
dalam posisi - - - - - - -
tidak aman
terhadap
ancaman negara
lain

Liberalis

Setiap aktor
sama penting - v - - - - -
dalam interaksi
internasional

Terdapat
banyak isu v - - - - - -
dalam kajian
hubungan
internasional

97
Ekonomi
diserahkan pada - - - - - - -
mekanisme
pasar
Negara
mengatur - - - - - - -
hukum di
wilayahnya
Pentingnya
partisipasi - - - - - - -
individu dalam
politik
Individu berada
dalam posisi - - - - - - -
yang tidak
aman terhadap
tekanan negara
Percaya bahwa
hukum - - - - - v -
internasional
dapat berlaku

Globalis
Ekonomi
mempengaruhi - - - - - - -
bidang sosial-
politik-hukum
secara
internasional
Aktor utama
adalah pemilik - - - - - - -
kapital
Setiap interaksi
di dunia v - v - - - -
memiliki
struktur
Terdapat
mekanisme - - - - - - -
dominasi pihak
miskin oleh
pihak kaya
Pihak miskin
berada dalam - - - - - - -
posisi tidak
aman terhadap
eksploitasi
pihak kaya
Kapitalisme
akan mencapai - - - - - - -
titik jenuh
sehingga untuk

98
mencegahnya
dilakukan
ekspansi kapital
Struktur kelas
dapat - - - - - - -
dihilangkan
melalui revolusi
sosial-ekonomi-
hukum

Melalui matriks yang menggabungkan perspektif realis, liberalis dan

globalis di atas, dapat dilihat bahwa perspektif-perspektif utama hubungan

internasional bila digabungkan mampu mengakomodir 5 dari 7 karakteristik

utama fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik. Perspektif realis

mampu mengkaji 1 karakteristik perkosaan perempuan di wilayah konflik melalui

fokusnya terhadap konflik sebagai keadaan natural di dunia. Perspektif globalis

dapat mengakomodir 2 karakteristik dari fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik, yaitu melihat adanya hubungan power tidak imbang antara laki-

laki dan perempuan serta mengakomodir kajian jender melalui fokusnya terhadap

struktur yang selalu ada dalam setiap interaksi manusia.

Perspektif hubungan internasional yang paling banyak mengakomodir

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik adalah liberalis. Perspektif ini

mampu mengkaji 3 karakteristik yaitu kajian jender, mengikutsertakan

pengalaman individu perempuan dan perlunya penanganan serius oleh hukum

internasional melalui fokusnya yang melihat banyak isu dalam kajian hubungan

internasional, di mana setiap aktor memiliki peran sama penting dan mempercayai

bahwa hukum internasional dapat berlaku. Walaupun 5 dari 7 karakteristik

perkosaan perempuan di wilayah konflik mampu dikaji dengan perspektif-

perspektif hubungan internasional namun masih ada 2 karakteristik dari fenomena

99
tersebut yang tidak dapat dijelaskan, yaitu perempuan secara umum berada pada

posisi yang tidak aman dan fungsi perkosaan perempuan di wilayah konflik.

Sehingga dapat dikatakan bahwa perspektif-perspektif utama hubungan

internasional tidak mampu mengakomodir fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik sebagai bagian dari kajiannya.

Seperti yang telah dijabarkan di atas, setiap perspektif memiliki

karakteristik dan fokusnya masing-masing. Misalnya, perspektif realis lebih dapat

menjelaskan tentang perang daripada perdagangan internasional dan di sisi lain

perspektif liberalis lebih mampu melihat keteraturan yang diciptakan oleh hukum

internasional daripada melihat alasan suatu negara melanggar penjanjian

internasional. Oleh karena itu juga setiap perspektif memiliki kekhasan bidang

kajian, yang mana belum tentu dalam mengkaji isu-isu yang tidak berada dalam

lingkup kajiannya. Jika dikaitkan dengan isu yang diangkat dalam tulisan ini maka

lebih lanjut penulis akan mencoba mencari jawaban dari pertanyaan permasalah

pertama yaitu mengapa perspektif-perspektif utama hubungan internasional yang

ada tidak mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik? Untuk

menjawab pertanyaan ini harus di lihat satu-persatu perspektif utama hubungan

internasional.

Perspektif realis tidak mengkaji fenomena perkosaan di wilayah konflik

dikarenakan fokus dari sudut pandang ini terletak pada negara. Perkosaan

merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu (ataupun kelompok

individu) terhadap individu (ataupun kelompok individu) lainnya sehingga

fenomena ini seberapa pun besarnya akan tetap tidak dianggap tindakan yang

100
patut diangkat sebagai kajian hubungan internasional. Perspektif ini sesuai dengan

karakteristiknya hanya memandang isu kajian hubungan internasional terjadi saat

suatu negara menjalankan kebijakan nasionalnya terhadap negara lain.

Di saat realis melihat kajian hubungan internasional secara mikro, satu-

satunya fokus yang bisa ditelaah perspektif ini adalah kehidupan manusia yang

anarkis sehingga negara dibentuk untuk membuat keteraturan. Pemikir realis yang

mengajukan konsep kedaulatan negara atas rakyat dan wilayahnya adalah Thomas

Hobbes yang melahirkan konsep Leviathan. Dalam ungkapannya, Leviathan lahir

karena keadaan di mana setiap manusia asalnya jahat (“everyman is evil”)

sehingga dibutuhkan kekuatan pengatur. 194 Fenomena perkosaan di wilayah

domestik kemudian dianggap sebagai insiden kecil dari pengaturan masyarakat

negara yang begitu besar. Karena tidak ada kekuasan yang lebih besar (Leviathan)

di tingkat dunia maka realis percaya keadaan dunia adalah anarki. Hukum

internasional tidak dapat menjamin keteraturan dunia, termasuk fenomena dalam

konflik, seperti perkosaan.

Pemikiran ini tidak mampu menjelaskan fenomena perkosaan yang

mayoritas korbannya adalah perempuan karena tidak memiliki kepekaan jender.

Realis juga tidak menyadari bahwa representasi dunia dalam pemerintahan

negara-negara mayoritas diduduki oleh laki-laki. 195 Hal tersebut karena perspektif

realis menganggap negara adalah aktor yang uniter, sehingga tidak memiliki dua

jenis kelamin. Sehingga realis juga tidak bisa melihat adanya perbedaan peran

194
Baca Thomas Hobbes, Leviathan, (New York: Collier Macmillan, 1974), hlm. 113.
195
Data tahun 2004 dalam United Nations, Women & Elections: Guide to Promoting the
Participation of Women in Elections, (New York: United Nations Department of Public
Information, 2005), hlm. 6.

101
yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat. Karena tidak adanya kesadaran inilah maka posisi yang tidak

imbang antara perempuan dan laki-laki seakan-akan dibiarkan saja, bahkan justru

dilestarikan dan dibentuk melalui institusi-institusi negara seperti militer dan

penegak hukum.

Realis percaya bahwa hubungan internasional idealnya mengkaji interaksi

antar negara. Interaksi ini dipengaruhi oleh power yang dimiliki masing-masing

negara. Hans Morgenthau salah sorang pemikir realis menggambarkan keadaan

internasional sebagai pergulatan power yang terjadi terus menerus antar negara

(“struggle of power… as power became means and end conducted by statemen”),

di mana negara yang power-nya lebih kuat akan memaksa negara yang power-nya

lebih lemah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 196 Perkosaan juga

merupakan suatu bentuk pemaksaan power oleh individu maupun sekelompok

individu (pelaku) terhadap individu maupun sekelompok individu lainnya

(korban). Pihak yang menjadi korban perkosaan mayoritas adalah perempuan baik

di saat damai maupun konflik. 197 Namun keadaan tersebut tidak mampu dikaji

oleh realis karena perspektif ini tidak melihat adanya hubungan power yang tidak

imbang antara laki-laki dan perempuan.

Satu-satunya bagian dari fenomena perkosaan perempuan di wilayah

konflik yang dapat dikaji oleh perspektif realis adalah konflik. Realis melihat

konflik sebagai keadaan natural di dunia, keadaan anarkis ditimbulkan karena

196
Morgenthau, Op. Cit., hlm. 25-26.
197
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 5.

102
tidak adanya kekuasaan yang lebih tinggi dari negara. 198 Perspektif realis melihat

konflik antar negara, tapi tidak mengikutsertakan pengalaman individu yang

terlibat di dalamnya walaupun pengalaman itu dialami secara kolektif. Selain itu

perspektif ini hanya menekankan ancaman ketidakamanan yang diderita negara,

tapi realis tidak melihat perempuan sebagai korban yang mendapat ancaman

secara spesifik dalam interaksi hubungan internasional. Sehingga dapat dikatakan

walaupun realis mengkaji konflik namun tetap tidak mampu memahami

bagaimana fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik harus ditangani

secara serius dan bukan hanya produk sampingan dari konflik. Karena itu jugalah

maka realis tidak mampu menjelaskan fungsi mengapa perkosaan perempuan di

wilayah konflik terjadi.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka terlihat bahwa perspektif realis

tidak dapat mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik karena:

¾ Realis berfokus pada negara dan tidak melihat pengalaman individu dalam
negara
¾ Realis melihat bahwa perkosaan adalah isu antar individu bukan dalam
tataran kajian hubungan internasional
¾ Realis melihat adanya hubungan power antar negara namun tidak dapat
melihat adanya hubungan power antara laki-laki dan perempuan
¾ Konflik dipandang sebagai bentuk hubungan antar negara tanpa melihat
dampaknya pada individu yang terlibat sehingga perkosaan di wilayah
konflik dianggap bagian tak signifikan dan tidak memiliki fungsi dalam
konflik

198
Bagaimana negara memandang konflik dan resolusi konflik digambarkan dengan baik dalam
Bab 14 “The Interaction of State: Conflict and Conflict Resolution” buku K.J. Holsti, International
Politics: A Framework for Analysis, (New Jersey: Prentice Hall, 1992) hlm. 348-380.

103
¾ Dalam interaksi hubungan internasional di dunia, negaralah yang dianggap
berada dalam posisi tidak aman terhadap negara lain, tidak spesifik
membahas mengenai posisi perempuan dalam interaksi tersebut
¾ Karena tidak mempercayai bahwa hukum internasional dapat diberlaku
maka realis juga tidak melihat signifikansi kasus perkosaan untuk
ditangani oleh hukum tersebut

Perspektif liberalis di sisi lain, melihat bahwa setiap aktor sama penting

dalam interaksi internasional sehingga liberalis lebih peka terhadap pengalaman

dan aspirasi individu, termasuk perempuan. Hal ini membuat liberalis mampu

mengakomodasi sebagian karakteristik dari fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik walaupun belum menyeluruh. Alasan-alasan mengapa perspektif

ini belum mampu mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik

sehingga tidak mengangkatnya sebagai kajian akan dijabarkan di bawah ini.

Liberalis mengganggap bahwa dalam kajian hubungan internasional

terdapat banyak isu yang saling berkaitan. Walaupun hal ini memiliki sisi positif

untuk memasukkan kajian jender namun sayangnya perspektif liberalis lebih

fokus pada isu-isu ekonomi, politik dan hukum dibandingkan dengan kajian

konflik. Liberalis mempercayai bahwa keteraturan dapat tercipta di dunia melalui

berlakunya hukum dan organisasi internasional maka konflik kurang mendapatkan

tempat untuk dielaborasi lebih lanjut, sehingga fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik tidak cukup mampu dikaji oleh perspektif ini. Karena tidak dapat

menganalisa konflik, perspekti ini juga tidak dapat menemukan fungsi perkosaan

perempuan di wilayah konflik.

104
Perspektif liberalis tidak memiliki pemahaman tentang konsepsi power

sebagai dasar interaksi dan posisi aktor dalam interaksi hubungan internasional.

Liberalis percaya bahwa kepentingan setiap individulah yang mendasari setiap

interaksi tanpa menimbulkan pertentangan karena menurut pemikir liberalis Adam

Smith, kebebasan individu akan membuat keteraturan sedemikian rupa tanpa perlu

adanya pihak negara yang mengatur (“every individual is continually exerting

himself to find out the most advantageous employment for what ever capital he

can command”). 199 Walaupun begitu negara tetap diperlukan untuk membentuk

hukum nasional dan bersama-sama dengan negara lain membentuk hukum

internasional. Sehingga menurut Ralf Dahrendorf, liberalisme adalah kebebasan di

bawah hukum. 200 Karena liberalis tidak melihat power sebagai pembentuk

hubungan internasional maka perspektif ini juga tidak bisa mengkaji power tak

imbang dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam fenomena perkosan

perempuan di wilayah konflik.

Kajian jender tidak mendapatkan tempat yang utama dalam perspektif

liberalis. Isu jender dalam liberalis memfokuskan kajiannya pada bagaimana cara

mewujudkan keadaan ideal dimana perempuan dan laki-laki mendapatkan hak

yang sama. 201 Kajian ini juga mendukung dibutuhkannya penanganan serius

ketidakadilan jender dari segi hukum dan pemerintahan, baik nasional maupun

internasional. Namun di sisi lain, kajian jender dalam perspektif liberalis tidak

melihat posisi perempuan yang tidak aman karena tubuhnya memiliki fungsi

199
Smith, Op. Cit., hlm. 400.
200
Ralf Dahrendorf, “Liberalism” dalam John Eatwell, Murray Milgate dan Peter Newman (eds.),
The New Palgrave: Invinsible Hand, (New York: W.W. Norton, 1989), hlm. 183.
201
Steans, Op. Cit., hlm. 16.

105
reproduksi dan memiliki daya tawar yang lebih rendah dibandingkan laki-laki

karena power yang dimilikinya lebih kecil. Keadaan-keadaan ini menimbulkan

banyaknya tindak kekerasan berbasis jender yang mana tidak mampu dijelaskan

oleh kajian jender dalam perspektif liberalis.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka terlihat bahwa perspektif liberalis

tidak dapat mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik karena:

¾ Walau mengkaji banyak isu namun liberalis lebih fokus dalam membahas
isu-isu ekonomi, politik dan hukum sehingga kurang dapat mengkaji
fenomena konflik dan peristiwa yang terjadi di dalamnya
¾ Kurangnya kajian konflik membuat liberalis tidak mampu melihat fungsi
perkosaan perempuan di wilayah konflik
¾ Liberalis tidak melihat adanya pengaruh power dalam membentuk
hubungan internasional karena itu tidak dapat melihat adanya hubungan
power antara laki-laki dan perempuan
¾ Liberalis mampu mengakomodasi kajian jender namun tidak menyeluruh
karena fokusnya hanya pada kebutuhan persamaan hak, tidak
mengakomodasi posisi perempuan yang tidak aman secara inheren

Perspektif globalis lebih memfokuskan kajiannya pada isu ekonomi

sehingga sulit untuk mengakomodasi fenomena perkosaan perempuan di wilayah

konflik sebagai masalah yang patut ditelaah lebih lanjut. Berakar dari pemikiran

Karl Marx, globalis melihat adanya pengaruh ekonomi dalam berbagai sendi

kehidupan dan membuat terciptanya struktur dalam masyarakat. Marx bersama

Engels berpendapat bahwa pengakumulasian kapital hanya membuat manusia

berinteraksi dengan manusia lain karena kepentingannya sendiri (“bourgeoisie has

106
left no other bond between man and man than naked self-interest”). 202 Landasan

kepentingan dalam kapitalisme inilah yang menjadi fokus utama dari kajian

hubungan internasional menurut globalis, sementara jender hanya mendapat

tempat sedikit.

Globalis percaya bahwa setiap interaksi di dunia terstruktur oleh

kepemilikan kapital, dan kapital merupakan power yang bisa digunakan oleh

kelompok dengan power lebih banyak untuk mengekploitasi kelompok dengan

power lebih sedikit. Jika dibawa dalam kajian jender, pemikiran globalis

Frederich Engels dalam The Origins of the Family, Private Property and the State

dapat menjelaskan struktur antara laki-laki yang bekerja mendapatkan kapital

dengan perempuan yang bekerja dalam rumah tangga tanpa dibayar. 203 Dari

keluarga struktur itu dibangun ke tingkat perusahaan dan naik ke tingkat negara.

Namun lebih dari itu, globalis tidak memiliki kajian mengenai kekerasan terhadap

perempuan dalam konflik.

Perspektif ini tidak mengkaji konflik lebih dari alasan mengapa negara

berperang memperebutkan negara jajahan yang dikembangkan V.I. Lenin. 204

Tindakan kekerasan dalam konflik bukan merupakan topik bahasan dari

perspektif ini sehingga globalis tidak mampu untuk mengkaji fenomena perkosaan

perempuan di wilayah konflik juga fungsi yang dijalankannya. Hal ini membuat

globalis tidak dapat memahami bagaimana perempuan berada dalam posisi yang

tidak aman dari ancaman fisik, psikologis dan seksual.

202
Karl Marx dan Friedrich Engels, Op. Cit., hlm. 12.
203
Friedich Engels, The Origins of Family, Private Property and the State, (London: Lawrence &
Wishart, 1972).
204
Baca Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism, (New York: International
Publishers, 1967).

107
Globalis tidak mengkaji pengalaman yang dirasakan individu. Perspektif

ini membagi masyarakat dalam kelompok-kelompok berbasis ekonomi yang pola

interaksinya telah diprediksi, yaitu pihak yang mengekploitasi dan pihak yang

terekploitasi. Baik di dalam negara seperti pemikiran Marx, maupun di tingkat

internasional melalui pemikiran sistem dunia Immanuel Wallerstein dan

dependensi Theotonio Dos Santos. 205 Kelompok yang menguasai ekonomi dan

melakukan dominasi memiliki kemampuan untuk mempengaruhi bagaimana

hukum dibentuk, baik secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu maka

globalis tidak mempercayai bahwa hukum dapat menyelesaikan kasus-kasus yang

ada dalam interaksi di dunia, termasuk untuk fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik.

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka terlihat bahwa perspektif globalis

tidak dapat mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik karena:

¾ Globalis berfokus pada kajian ekonomi dan tidak mengkaji keadaan di saat
konflik sehingga tidak mampu melihat fungsi perkosaan dalam konflik
¾ Globalis tidak mengkaji pengalaman individu namun kelompok-kelompok
ekonomi yang perilakunya terpola
¾ Globalis tidak mengkaji jender secara spesifik (tidak hanya dari segi
ekonomi) sehingga tidak mampu memahami ketidakamanan yang dialami
perempuan
¾ Karena tidak mempercayai bahwa hukum dapat netral tanpa dipengaruhi
kepemilikan kapital maka globalis tidak hukum dapat menuntaskan kasus-
kasus yang ada di dunia, termasuk perkosaan perempuan di wilayah
konflik

205
Balaam dan Veseth, Op. Cit., hlm. 71-74.

108
Pemaparan di atas telah memberi jawaban atas pertanyaan permasalah

pertama dengan memperlihatkan alasan mengapa perspektif-perspektif utama

hubungan internasional, yaitu realis, liberalis dan globalis tidak memasukkan

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik sebagai kajiannya. Yakni

karena perspektif-perspektif utama HI tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik. Walau begitu dari segi isu,

fenomena tersebut terjadi secara luas dan memiliki dampak yang serius terhadap

kehidupan perempuan korban, keluarga dan komunitas dimana perempuan korban

berada. Oleh karena itu maka sangatlah perlu untuk mengangkat fenomena

perkosaan perempuan di wilayah konflik ke dalam bagian dari diskursus

hubungan internasional agar dapat didiskusikan lebih lanjut penanganannya.

Sehingga dibutuhkan kontribusi perspektif lain yang peka jender dalam pemikiran

hubungan internasional untuk mengangkat fenomena tersebut ke dalam kajiannya.

109
BAB IV
KONTRIBUSI FEMINIS DALAM KAJIAN HUBUNGAN
INTERNASIONAL:
FENOMENA PERKOSAAN PEREMPUAN
DI WILAYAH KONFLIK

Like so many others, my husband was killed during the war, and I was rape by two
assailants. Most of my family died.
-Jeanne Musabe (50), Kigali, Rwanda- 206

On [another] occasion, I was raped with a gun by one of the three men… in the room…
Others stood watching. Some spat on this. They were raping me, the mother and her
daughter ath the same time. Sometimes you had to accept ten men, sometimes three … I
felt I wanted to die… The Serbs said to us, “Why aren’t you pregnant?”… I think they
wanted to know who was pregnant in case anyone was hiding it. They wanted women to
have children to stigmatize us forever. The child is a reminder of what happened.
-Anonymous, Bosnia- 207

Pada bab sebelumnya telah tergambar bagaimana perspektif-perspektif

utama hubungan internasional, yaitu realis, liberalis dan globalis, tidak mampu

mengakomodir fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik sehingga tidak

dapat memasukkannya sebagai bagian dari kajian ilmu HI. Oleh karena itu maka

penulis akan mengajukan perspektif yang peka jender untuk dapat mengangkat

fenomena tersebut ke dalam kajian ilmiah, yaitu perspektif feminis. Perspektif

feminis akan dijabarkan terlebih dahulu, termasuk gerakan yang dilakukannya

dalam hal mengatasi kekerasan terhadap perempuan. Pada bab ini akan dijawab

206
Amnesty International, Rwanda: Marked for Death, Rape Survivors Living with HIV/AIDS in
Rwanda, (London: AI, 2004), hlm. 6.
207
Dalam Barbara Bedont dan Katherine Hall Martinez, “Ending Impunity for Gender Crimes
under the International Criminal Court” dalam The Brown Journal of World Affairs, Vol. VI, Issue
65-85, Tahun 1999, hlm. 1

110
pertanyaan permasalah kedua yaitu bagaimana feminisme mengkaji fenomena

perkosaan perempuan di wilayah konflik. Kemudian penjelasan akan diteruskan

dengan analisa yang melihat bagaimana perspektif ini mengakomodasi fenomena

tersebut dan memasukkannya sebagai kajian HI. Pada bagian penutup bab ini akan

menjawab pertanyaan permasalahan ketiga yakni bagaimana kontribusi perspektif

feminisme dalam kajian ilmu hubungan internasional.

IV.1. Perspektif Feminis

Secara umum feminis merupakan sudut pandang yang meyakini bahwa

terdapat ketidakadilan jender dalam semua sisi kehidupan yang dialami

perempuan. 208 Feminis membedakan antara jender dan jenis kelamin. Jenis

kelamin merujuk pada bagaimana laki-laki dan perempuan dipandang secara

biologis. Sementara jender merupakan peran ideologis dan material yang dibentuk

serta dilekatkan oleh masyarakat terhadap kedua jenis kelamin tersebut. 209

Feminis menekankan bahwa jender tidak merefleksikan kepribadian laki-laki dan

perempuan. Sebaliknya jender digunakan untuk menjustifikasi perlakuan tidak

adil serta menjadi dasar ideologi untuk suatu bentuk ketidakadilan sosial. 210

Sehingga ‘perempuan’ dan ‘laki-laki’ tidak hanya diciptakan oleh masyarakat

namun merupakan aturan karakteristik feminis-maskulin yang secara spesifik dan

rigid diberlakukan. Konstruksi sosial ini berlaku bagi kedua jenis kelamin namun

perempuan ditempatkan dalam posisi yang lebih dirugikan karena posisinya yang

tersubordinasi.
208
Humm, Op. Cit., hlm. 158.
209
Steans, Op. Cit., hlm. 10.
210
Ibid.., hlm. 11.

111
Perspektif feminis menaungi berbagai analisa mengenai penyebab dan

pelaku subordinasi perempuan serta solusi untuk menghapuskan hal tersebut.

Rosemary Putnam Tong menjabarkan berbagai aliran perspektif feminis dalam

bukunya Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. 211 Tong membagi

feminis ke dalam beberapa aliran utama yaitu feminis liberal, feminis radikal

(libertarian dan kultural), feminis Marxis dan sosialis, feminis psikoanalisis dan

gender, feminis eksistensialis, feminis postmodern, feminis multicultural dan

global, serta ekofeminisme. Walaupun dalam kata pengantarnya Tong

menyatakan bahwa satu waktu pelabelan aliran feminis ini harus dihilangkan, ia

tetap menjelaskan bergunanya label-label ini untuk tetap dijabarkan. 212 Tujuan

utama dari pelabelan ini adalah memperlihatkan pada publik bahwa feminisme

bukanlah ideologi yang monolitik, bahwa tidak setiap feminis berpikiran sama

dan berakar dari latar belakang yang sama. Oleh karena itu maka akan dijabarkan

aliran-aliran utama feminis berdasarkan atas buku komprehensif Tong.

• Feminis Liberal

Aliran feminis ini lahir karena revolusi industri Eropa abad

ke-18 memberi nilai pekerjaan produktif publik lebih besar

dibandingkan nilai pekerjaan domestik yang mayoritas dilakukan

perempuan. Terdapat stereotipe masyarakat yang melihat

perempuan emosional sehingga laki-laki rasional. Namun feminis

pada abad ini menyanggahnya dengan pendapat bahwa jika

mendapat pendidikan yang sama maka perempuan juga mampu


211
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: A Comprehensive Introduction, (London: Unwin
Hyman, 1989).
212
Tong, Op. Cit., hlm. 2.

112
bersikap seperti laki-laki. 213 Sehingga gerakan yang dijunjung

adalah pendidikan untuk perempuan.

Pada abad ke-19 tuntutan kaum feminis liberal 214 beralih ke

perjuangan untuk mendapatkan hak politik dan kesempatan

ekonomi yang setara. Pada abad ke-20 perjuangan beralih kepada

perjuangan untuk membebaskan perempuan dari peran gender

yang opresif. 215 Timbul kritik mengenai perjuangan perempuan

ingin seperti laki-laki, apakah penting untuk hidup semata dengan

nalar dan wacana seputar hal ini. Kritik paling keras terhadap

feminis liberal adalah tujuannya yang cenderung rasis dan klasis

karena dianggap hanya berpihak pada perempuan kulit putih

borjuis yang heteroseksis. 216

• Feminis Radikal

Feminis aliran ini lahir di Amerika pada awal tahun 1960-

an yang melawan sistem seks/gender yang diidentifikasi sebagai

penyebab utama opresi terhadap perempuan. Menurut Allison

Jaggar dan Paula Rothenberg, feminis radial yakin bahwa

perempuan adalah kelompok teropresi pertama, opresinya paling

menyebar dan ada dalam hampir setiap masyarakat, sulit

213
Pemikiran feminis liberal pada abad ke-18 antara lain adalah Mary Wollstonecraft, A
Vindication of the Rights of Woman, (New York: W.W. Norton, 1975).
214
Pemikiran feminis liberal pada abad ke-19 antara lain adalah John Stuart Mill dan Harriet
Taylor, Essays on Sex Equality, (Chicago: University of Chicago Press, 1970).
215
Pemikiran feminis liberal pada abad ke-20 antara lain adalah Angela Davis, Women, Race and
Class, (New York: Random House, 1981), serta Betty Friedan, The Feminine Mystique, (New
York: Dell, 1974) dan The Second Stage, (New York: Summit Books, 1981).
216
Lebih lengkap tentang feminis liberal baca Tong, Op. Cit., hlm. 15-66.

113
dihapuskan, dan merupakan model konseptual untuk memahami

bentuk opresi yang lain. 217 Tidak semua feminis radikal sepaham

mengenai sifat bahaya seksisme dan solusi penanganannya, oleh

karena itu secara garis besar, feminis radikal terbagi menjadi dua,

yakni: 218

o Feminis Radikal Libertarian

Secara umum dasar pemikiran feminis radikal

libertarian memberikan perhatian pada konsep femininitas,

serta peran dan tanggung jawab reproduksi dan seksual

yang membatasi perempuan sebagai manusia yang utuh.

Feminis aliran ini menolak asumsi adanya hubungan pasti

antra jenis kelamin dengan gender seseorang. Namun

masyarakat patriakal menggunakan peran gender yang kaku

untuk membatasi perempuan. Konsep yang diajukan untuk

mengatasinya adalah adrogini. 219 Feminis radikal

libertarian memandang seksualitas sebagai pertukaran

kenikmatan seksual erotis dan genital ragawi yang

dikendalikan masyarakat dengan dikotomi praktik seksual

yang buruk dan abnormal. 220

217
Allison M. Jagger dan Paula S. Rothenberg (eds.), Feminist Frameworks. (New York:
McGraw-Hill, 1984), hlm. 186.
218
Lebih lengkap tentang feminis radikal baca Tong, Op. Cit., hlm. 67-138.
219
Pemikiran feminis radikal libertarian antara lain adalah Joleen J. yang dibahas dalam Anne
Koedt, Ellen Levine dan Anita Rapone (ed.), Radical Feminism, (New York: Quadrangle, 1973)
dan Kate Millet, Sexual Politics, (New York: Doubleday, 1970).
220
Tong, Op. Cit., hlm. 94-95.

114
o Feminis Radikal Kultural

Feminis aliran ini menolak gagasan androgini

sebagai tujuan feminis dengan usaha penguatan esensi

keperempuanan dan femininitas (esensialis). Bahwa

perempuan tidak seharusnya mencoba menjadi laki-laki

namun menekankan nilai dan sifat yang secara kultural

dihubungkan dengan perempuan. 221 Feminis radikal

kultural melihat perlunya mengambil kendali atas

seksualitas perempuan bagi perempuan dengan

memprioritaskan keintiman. Feminis aliran ini tidak setuju

pada seksualitas yang berorientasi pada genital. 222 Sehingga

feminis radikal kultural menolak semua institusi patriarkal

antara lain industri pornografi, prostitusi dan

heteroseksualitas yang dipaksakan.

• Feminis Marxis

Aliran feminis ini merujuk pada pemikiran Karl Marx dan

Friedrich Engels. Identifikasi kelompok feminis Marxis terhadap

alasan yang menjadi dasar utama penindasan perempuan adalah

kelasisme, sementara seksisme berada dalam urutan kedua. Opresi

perempuan bukan merupakan tindakan yang dilakukan oleh satu

221
Pemikiran feminis radikal kultural antara lain adalah Alice Echols, “The New Feminism of Yin
and Yang” dalam Ann Snow, Christine Stansell dan Sharon Thompson (eds.), Powers of Desire:
The Politics of Sexuality, (New York: Monthly Review Press, 1983) dan Mary Daly, Beyond God
the Father: Toward a Philosophy of Women’s Liberation, (Boston: Beacon Press, 1973) dan
Gyn/Ecology: The Metaethics of Radical Feminism, (Boston: Beacon, 1978).
222
Tong, Op. Cit., hlm. 96.

115
individu saja, namun produk dari struktur politik, sosial dan

ekonomi di mana masyarakat itu berada.

Feminis Marxis percaya bahwa eksistensi sosial

menentukan kesadaran. 223 Dan untuk memahami alasan

penindasan perempuan yang perlu dianalisis adalah hubungan

antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan. 224

Pekerjaan perempuan dianggap membentuk sifat-sifat alamiah

perempuan dalam suatu sistem hubungan kekuasaan dan

pertukaran kapital. Isu-isu yang difokuskan oleh feminis Marxis

adalah pekerjaan yang dijalani perempuan. 225 Di antaranya adalah

pemahaman bahwa institusi keluarga berkaitan dengan kapitalisme,

pekerjaan rumah tangga diremehkan dan pekerjaan perempuan

cenderung berupah rendah.

• Feminis Sosialis

Feminis sosialis dipengaruhi oleh pemikiran Louis

Althusser dan Jurgen Habermas. Dasar opresi yang dialami

perempuan bukanlah semata kelasisme maupun seksisme tapi

merupakan kapitalisme dan patriarki yang saling terkait. 226 Mirip

dengan feminis Marx, feminis sosialis juga melihat bahwa keadaan

223
Lebih lengkap tentang feminis Marxis baca Tong, Op. Cit., hlm. 139-187.
224
Nancy Holstrom, “A Marxist Theory of Women’s Nature” dalam Etnics, Vol. 94, No. 1, April
1984, hlm. 464.
225
Pemikiran feminis Marxis antara lain adalah Margaret Benston, “The Political Economy of
Women’s Liberation”, dalam Monthly Review, Vol. 21, No. 4, September 1969 dan Barbara
Bergman, The Economic Emergence of Women, (New York: Basic Books, 1986).
226
Lebih lengkap tentang feminis sosialis baca Tong, Op. Cit., hlm. 139-187.

116
penindasan perempuan dibentuk dan dipertahankan oleh struktur

massif di segala bidang masyarakat.

Aliran feminis ini secara substansi tidak jauh berbeda

dengan feminis Marxis, namun feminis sosialis lebih menekankan

adanya opresi perempuan oleh laki-laki. 227 Umumnya, feminis

sosialis lahir dari ketidakpuasan atas pemikiran Marxis yang

menganggap opresi terhadap perempuan lebih tidak penting

dibandingkan opresi pekerja. 228 Sehingga aliran ini menekankan

bahwa feminis seharusnya juga melihat posisi perempuan dalam

keluarga, di tempat kerja, peran reprosuksi dan seksual perempuan,

serta peran produktif perempuan.

• Feminis Psikoanalis

Berbeda dengan cara pandang aliran feminis yang

dijabarkan sebelumnya, feminis psikoanalis lebih menganalisa

lingkup mikro dibandingkan makro. Feminis psikoanalis dan

feminis gender menganalisa psikis dan cara berpikir perempuan.

Berangkat dari pemikiran Sigmund Freud 229 yang membagi level

berkembang manusia dalam tahapan Oedipal dan kompleks

227
Allison Jaggar, Feminist Politics and Human Nature, (New Jersey: Rowman & Allanheld,
1983), hlm. 221.
228
Pemikiran feminis sosialis antara lain adalah Heidi Hartman, “The Unhappy Marriage of
Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union” dalam Lydia Sargent (ed.), Women
and Revolution: A Discussion of the Unhappy Marriage of Marxism and Feminism, (Boston:
South End Press, 1981) dan Juliet Mitchell, Woman’s Estate, (New York: Pantheon Books, 1971).
229
Tidak semua pemikiran Sigmund Freud diterima oleh feminis, yang secara umum ditolak
adalah konsep Freud mengenai penis envy yang dialami perempuan. Feminis yang mengkritik
Freud antara lain Betty Friedan, Shulamith Firestone dan Kate Millet. Feminis sadar akan
kontribusi pemikiran Freud terhadap opresi perempuan, meski demikian terdapat teks yang
dianggap dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan feminis melalui penolakan doktrin
determinisme biologis Freud. Tong, Op. Cit., hlm. 200.

117
Oedipus, feminis psikoanalis melihat bahwa ketidaksetaraan

gender berasal dari pengalaman masa kecil manusia yang

membentuk anak laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin,

dan anak perempuan sebagai feminin. 230

Pada masa kanak-kanak merupakan saat penanaman bahwa

nilai-nilai maskulinitas lebih baik daripada nilai-nilai femininitas

sehingga mengistimewakan laki-laki dibandingkan perempuan.

Sehingga pembentukan identitas dan perilaku gender, serta

orientasi seksual dibentuk melalui tataran sosial, bukan biologis. 231

Dalam idealisme feminis psikoanalis, masyarakat nonpatriakal

akan menghargai maskulinitas dan feminitas secara setara.

Sehingga yang harus dibentuk adalah masyarakat androgin yang

seutuhnya mengakomodasi sifat positif feminin dan maskulin.

• Feminis Gender

Aliran feminis ini lebih mengkaji individu dibandingkan

masyarakat, walaupun memiliki pendapat yang berbeda dengan

feminis psikoanalis. Feminis gender mengkaji perbedaan psikis

perempuan dengan psikis laki-laki namun tidak mengamati

perkembangan psikoseksual yang diamati feminis psiko analis.

230
Lebih lengkap tentang feminis sosialis baca Tong, Op. Cit., hlm. 188-251.
231
Pemikiran feminis psikoanalis antara lain adalah Karen Horney, “The Flight from WomaMood”
dalam Karen Homey, Feminine Psychology, (New York: W.W. Norton, 1973) dan Clara
Thompson, “Problems of Womanhood” dalam M.P. Green (ed.), Interpersonal Psychology: The
Selected Papers of Clara Thompson, (New York: Basic Books, 1964).

118
Aliran feminis ini memfokuskan kajiannya pada aspek

psikomoral. 232

Feminis gender menerima perbedaan biologis dan

psikologis, bahwa ada penjelasan kultural antara maskulinitas laki-

laki dan femininitas perempuan. Dengan pengakuan ini feminis

gender kemudian menilai bahwa nilai-nilai yang secara tradisional

dihubungkan dengan perempuan (kelembutan, empati, kehati-

hatian, dst) secara moral lebih baik daripada kelebihan nilai-nilai

yang secara tradisional dihubungkan dengan laki-laki (kekerasan,

ambisi, keberanian, dst). 233 Solusi yang dibawa oleh feminis

gender adalah perempuan harus berpegang pada femininitas

sementara laki-laki harus melepaskan bentuk ekstrim dari

maskulinitasnya. Sehingga pada satu saat nanti etika keadilan

tergantikan oleh etika kepedulian.

• Feminis Eksistensialis

Pemikir utama dari aliran feminis ini adalah Simone de

Beauvoir. Ia mengkaji mengenai perempuan sebagai Liyan, objek,

yang berbeda, yang asing dan yang ia sebut dalam bukunya sebagai

kelas dua dalam masyarakat. 234 Liyan dianggap sebagai ancaman

terhadap diri, subjek yaitu laki-laki. Oleh karena itu maka laki-laki

merasa terancam terhadap perempuan dan pada akhirnya

232
Lebih lengkap tentang feminis sosialis baca Tong, Op. Cit., hlm. 188-251.
233
Pemikiran feminis eksistensialis antara lain adalah Carol Gilligan, In a Different Voice,
(Cambridge: Harvard University Press, 1982) dan Nel Noddings, Women and Evil, (Berkeley:
University of California Press, 1989).
234
Simone de Beauvoir, Terj. H.M. Parshley, The Second Sex, (New York: Vintage Books, 1974).

119
mensubordinasinya. Dalam pandangan Beauvoir, peran feminin

menjadi istri dan ibu merupakan pembatas bagi kebebasan

perempuan.

Perempuan hadir dalam masyarakat yang

mengkonstruksikan dirinya melalui persetujuan dunia yang

maskulin. Sehingga semua hal di masyarakat yang menghambat

perempuan meraih kepentingannya sendiri, termasuk patriarki,

harus diatasi oleh perempuan demi kepentingan dirinya dan

semuanya. 235 Feminis eksistensialis menyatakan bahwa opresi

gender tidak sekedar opresi biasa, namun perempuan selalu

tersubordinasi laki-laki dan perempuan telah menginternalisasikan

cara pandang bahwa laki-laki adalah esensial dan perempuan

adalah tidak esensial. 236 Solusi dari opresi perempuan menurut

feminis eksistensialis adalah perempuan harus bekerja, menjadi

seorang intelektual, bekerja untuk transformasi sosialis masyarakat,

dan perempuan harus menolak menginternalisasi ke-Liyanannya.

• Feminis Posmodern

Feminis posmodern mengundang setiap perempuan yang

berefleksi dalam tulisannya untuk menjadi feminis dengan cara

yang diinginkannya. 237 Aliran feminis ini tidak membuat satu

rumusan tertentu untuk menjadi feminis maupun perempuan yang

235
Lebih lengkap tentang feminis sosialis baca Tong, Op. Cit., hlm. 253-282.
236
Dorothy Kaufmann McCall, “Simone de Beauvoir, The Second Sex, and Jean Paul Sartre”
dalam Signs: Journal of Women in Culture and Society, Vol. 5, No. 2, Tahun 1979, hlm. 210.
237
Lebih lengkap tentang feminis posmodern baca Tong, Op. Cit., hlm. 283-308.

120
terbebaskan, semuanya bergantung pada perempuan yang mengkaji

dan menginterpretasikan. Penolakan untuk memberi definisi yang

dilakukan feminis posmodern membuat hablur teori feminis,

namun sangat menerima perbedaan dan memperkaya keragaman.

Aliran feminis ini cenderung mengkritik gagasan mapan

mengenai identitas dan diri dalam teori feminis. Sehingga tujuan

dari feminis posmodern adalah menulis sesuatu yang baru tentang

perempuan. 238 Misalnya saja pemahaman yang dicontohkan Tong

dengan buku The Second Sex milik Beauvoir. Pembaca buku itu

akan menyimpulkan menjadi Liyan bukanlah cara terbaik menjadi

seorang manusia. Sementara feminis posmodern memutarbalikkan

cara pandang dengan menyatakan bahwa menjadi Liyan memiliki

manfaat karena dapat mengkritisi norma, nilai dan perilaku yang

dilakukan oleh budaya dominan patriarki. Sehingga ciri khas aliran

ini adalah pada usaha dekonstruksi yang dilakukan feminis

posmodern.

• Feminis Multikultural

Feminis multikultural memiliki cara pandang yang hampir

sama dengan feminis global, yaitu meyakini bahwa diri itu

terpecah. Dasar pemikiran feminis multikultural adalah

pengamatan bahwa bahkan di satu negara, semua perempuan tidak

238
Pemikiran feminis posmodern antara lain adalah Helene Cixous, “The Laugh of the Medusa”
dalam Elaine Marks dan Isabelle de Courtivon (eds.), New French Femnisms, (New York:
Schocken Books, 1981) dan Luce Irigaray, Terj. Catherine Potter, This Sex is Not One, (New
York: Cornell University Press, 1985).

121
dikonstruksikan secara setara. 239 Nilai dari perempuan di

masyarakat bergantung pada ras, kelas, kecenderungan seksual,

usia, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan

sebagainya. Sehingga setiap perempuan mengalami opresi yang

berbeda tergantung pada latar belakang, keadaan fisik maupun

non-fisiknya.

Isu-isu yang dihadapi setiap perempuan, berdasarkan aliran

feminis multikultural, akan berbeda. Misalnya masalah perempuan

Amerika akan berbeda dengan masalah perempuan Indonesia,

perempuan lesbian berbeda isu yang diperjuangkannya dengan

perempuan heteroseksual, begitu juga dengan perempuan Islam

dan perempuan Kristen. Karena beragamnya isu dan kajian dalam

feminis multikultural maka tujuan utama dari aliran ini adalah

untuk memahami dirinya dan bukan dirinya, serta membuka diri

dan merayakan beragamnya isu yang ada. 240

• Feminis Global

Berakar dari konsepsi yang sama dengan feminis

multikultural, feminis global mengidentifikasikan diri perempuan

secara spesifik. Bedanya, feminis global melihat bahwa opresi

terhadap perempuan terjadi berbeda bergantung pada apakah

239
Lebih lengkap tentang feminis multikultural baca Tong, Op. Cit., hlm. 309-358.
240
Pemikiran feminis multikultural antara lain adalah Angela Y. Davis, “Gender, Class and
Multiculturalism: Rethinking ‘Race’ Politics” dalam Avery R. Cordon dan Christopher Newfield
(eds.), Mapping Multiculturalism, (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996) dan
Elizabeth V. Spelman, Inessential Woman: Problems of Exclusion in Feminist Thought, (Boston:
Beacon Press, 1988).

122
perempuan tersebut warga negara maju atau berkembang, negara

Dunia Pertama atau Dunia Ketiga, negara penjajah atau dijajah. 241

Sorotan dari kajian feminis global adalah pada perbedaan

agenda gerakan feminis yang terbagi secara garis besar “isu

seksual dan reproduksi” dengan “isu ekonomi dan politik”. Hal ini

terbawa hingga ke forum perempuan internasional dimana terjadi

tarik-menarik isu yang akan dibahas. Isu yang dibahas dalam

forum-forum itu sering merupakan perpanjangan dari kepentingan

institusi patriarki mapan, bukan mempertimbangkan keadaan

perempuan yang lebih teropresi, 242 misalnya perempuan Dunia

Ketiga. Sehingga aliran feminis ini memperingatkan bahwa

terdapat isu yang berbeda-beda signifikansinya untuk ditangani

secara berbeda pula di seluruh dunia.

• Ekofeminis

Ekofeminisme membawa sudut pandang yang berbeda

dengan aliran feminis lain. Fokusnya adalah pada usaha manusia

untuk mendominasi alam. Adanya kaitan kultural antara

perempuan dengan alam, maka ekofeminis melihat bahwa terdapat

241
Lebih lengkap tentang feminis global baca Tong, Op. Cit., hlm. 309-358.
242
Pemikiran feminis global antara lain adalah Charlotte Bunch, “Prospects for Global Feminism”
dalam Jaggar dan Rothenberg, Op. Cit., dan Ann Russo, “We Cannot Live Without Our Lives:
White Women, Anti-Racism and Feminism” dalam Chandra Talpads Mohanty, Ann Russo dan
Lourde Torres (eds.), Third World Women and the Politics of Feminism, (Bloomington: Indiana
University Press, 1991).

123
hubungan konseptual, simbolik dan linguistik antara feminis dan

isu ekologi. 243

Analogi berpikir yang digunakan oleh ekofeminis adalah

perempuan mengalami proses “denaturalisasi” dengan acuan

terhadap binatang seperti misalnya kucing (pussy) dan anjing

betina (bitch), sementara alam mengalami proses “defeminisasi”

ketika ia dikuasai, diekspoitasi dan dirusak oleh laki-laki yang

asalnya menyebut alam sebagai ibu (mother nature). Jika laki-laki

memiliki kekuasaan terhadap alam, maka ia juga memiliki kendali

atas perempuan dengan anggapan apa saja yang dapat dilakukan

laki-laki terhadap alam dapat dilakukan juga terhadap

perempuan. 244

Selain aliran-aliran feminis yang dijabarkan oleh Rosemarie Putnam Tong,

masih banyak lagi aliran feminis lain yang berkembang di dunia. Aliran tersebut

antara lain feminis lesbian, feminis dunia ketiga, feminis Muslim, feminis Kristen

dan feminis anarkis terdapat di dunia. Keberagaman aliran dalam perspektif

feminis (feminisms –feminis dalam bentuk jamak 245 ) memperkaya khasanah

kajian dari perspektif ini. Pemikiran feminis terus berkembang karena setiap

243
Lebih lengkap tentang feminis global baca Tong, Op. Cit., hlm. 359-408.
244
Pemikiran ekofeminis antara lain adalah Karren J. Warren, “The Power and the Promise of
Ecological Feminism” dalam Karren J. Warren (ed.), Ecological Feminist Philosophies,
(Bloomington: Indiana University Press, 1996) dan Rosemary Radford Ruether, New Roman/New
Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation, (New York: Seabury Press, 1975).
245
Mengutip dari bahasa Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam kata pengantar buku Rosemarie
Putnam Tong, Terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Arus Utama Pemikir Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. xiv.

124
pemikiran lahir dari suatu keadaan dan konteks tertentu yang melihat penindasan

terjadi pada perempuan yang meliki ras, kelas, agama maupun latar belakang

tertentu, dan kemudian membahasnya ke dalam kajian.

Keberagaman dalam perspektif feminis timbul karena perspektif ini

menerima bebagai sudut pandang individu perempuan yang menyakini adanya

opresi terhadap jenis kelaminnya dan percaya bahwa subordinasi tersebut perlu

diubah. Sehingga perspektif feminis merupakan cara pandang yang menggunakan

sistem “bawah ke atas” (bottom-up) untuk menganalisa dunia lalu

mengkonstruksikannya dari sudut pandang dan pengalaman kelompok yang

termarjinalisasi yaitu perempuan. Dalam penelitian ini penulis tidak akan

mengambil satu aliran saja namun menggunakan perspektif feminis secara

keseluruhan dalam mengkaji fenomena perkosan perempuan di wilayah konflik.

Hal ini dilakukan untuk dapat memperbandingkan secara langsung perspektif

feminis dengan perspektif utama HI yaitu realis, liberalis dan globalis.

IV.2. Pemikir-Pemikir Feminis

Pemikiran feminis telah hadir sejak abad ke-18 dimulai pemikiran Mary

Wollstonecraft dalam buku Thoughts on the Education of Daughters (1787) dan

A Vindication of the Rights of Woman (1789). 246 Tulisannya mencoba untuk

menyadarkan bagaimana proses sosialisasi melemahkan intelektualitas perempuan

dan mengajari mereka untuk berada dalam subordinasi laki-laki. Wollstonecraft

yakin bahwa pencerahan (enlightment) harus diterapkan secara sama terhadap


246
Mary Wollstonecraft, Thoughts on the Education of Daughters: With Reflection on Female
Duties, in the more Important Duties in Life, (London: Joseph Johnson, 1979) dan A Vindication of
the Rights of Woman, (London: W.W. Norton, 1967). Dicetak ulang tahun 1967.

125
laki-laki dan perempuan. Ia juga percaya bahwa titik mula emansipasi politik dan

sipil perempuan adalah pendidikan.

Tulisan Wollstonecraft menjadi dasar gerakan feminis gelombang pertama

tahun 1920an yang tujuannya adalah mewujudkan hak suara dalam pemilihan

umum bagi perempuan. 247 Pada era ini timbul kesadaran bahwa untuk lebih

berperan dalam masyarakat perempuan harus memiliki representasi dalam

pemerintah dan pembuatan hukum negara, jika tidak akan terus diatur hidupnya

oleh hukum yang dibuat oleh pihak lain yang tidak mengikutsertakan kepentingan

perempuan. Feminis gelombang pertama ini melakukan protes secara radikal yang

dimotori oleh perempuan-perempuan antara lain Emily Davis, Elizabeth

Garrett, Emmeline Pankhurst dan Emily Davison.

Aksi feminis gelombang pertama menginsiprasikan John Stuart Mill

membuat buku The Subjection of Women (1896). 248 Walaupun bukan perempuan,

Mill menyuarakan pemikiran perspektif feminis. 249 Mill menyatakan alasan dari

ketertindasan perempuan adalah peran tradisional dan kepentingan laki-laki untuk

mempertahankan stabilitas peran tersebut. Beberapa waktu sebelumnya,

Friedrich Engels mengeluarkan buku Origin of the Family, Private Property and

247
Humm, Op. Cit., hlm. 166-167.
248
John Stuart Mill, The Subjection of Women, (Oxford: Oxford University Press, 1969).
249
Tidak semua feminis menyetujui laki-laki dapat menjadi feminis. Yang tidak setuju antara lain
Maggie Humm, Op. Cit., hlm. 160 dan Gert Krell, “Feminist, Human Rights and International
Relations” dalam Marianne Braig dan Sonja Wolte (eds.), Op. Cit., hlm. 206. Feminis yang
menyetujui bahwa laki-laki dan perempuan dapat menjadi feminis antara lain Arimbi Heroepoetri
dan R. Valentina, Op. Cit., hlm. 67. Terdapat juga feminis yang tidak mendefinisikan secara jelas
jenis kelamin dari pemikir perspektif tersebut, seperti antara lain Jill Steans, Op. Cit., hlm. 13 dan
Christine Sylvester, Feminist International Relations: An Unfinished Journey, (Cambride:
Cambridge University Press, 2002), hlm 14. Namun dalam tulisan ini penulis memasukkan
permikiran J. S. Mill dan F. Engels sebagai bagian dari perspektif feminis karena pemikiran
keduanya mengkaji subordinasi perempuan dalam masyarakat.

126
the State (1884). 250 Engels lebih melihat lemahnya posisi perempuan karena

ketiadaan akses terhadap kapital karena selalu berada dalam wilayah domestik.

Saran yang diajukannya adalah mendesak perempuan untuk masuk menjadi

angkatan kerja.

Perspektif feminis semakin berkembang dengan tulisan Simone de

Beauvoir yakni The Second Sex (1949). 251 Pemikiran Beauvoir menggambarkan

budaya patriarkis dimana laki-laki berada dalam posisi inti yang membentuk

norma sementara perempuan ditempatkan sebagai yang lain (the Other). Identitas

yang diberikan terhadap perempuan oleh masyarakat ini membuat perempuan

merasakan keterasingan secara mendasar diakibatkan oleh tubuhnya melalui

kemampuan reproduksi dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin seperti

mengandung dan membesarkan anak. Karena itu Beauvoir menyatakan bahwa

perempuan perlu memperkuat rasionalitas dan daya kritisnya.

Pemikiran Beauvoir menginspirasikan buku The Feminine Mystique

(1963) karya Betty Friedan. 252 Dalam buku ini Friedan melakukan penelitian

terhadap realitas kehidupan perempuan dengan citra yang dihadapkannya. Posisi

perempuan yang berada dalam lingkup privat sebagai ibu rumah tangga dan istri

sebenarnya tidak diinginkan oleh para perempuan yang diteliti Friedan.

Sampelnya adalah perempuan kelas menengah di Amerika Serikat. Friedan juga

melihat adanya kungkungan perempuan untuk tampil menarik untuk diterima

masyarakatnya, yaitu laki-laki.

250
Friedich Engels, The Origins of Family, Private Property and the State, (London: Lawrence &
Wishart, 1972).
251
Simone de Beauvoir, The Second Sex, (Harmondsworth: Penguin Books, 1953).
252
Betty Friedan, The Feminine Mystique, (New York: W.W. Norton, 1963).

127
Pada era 1960an dan 1970an muncullah gerakan feminis gelombang kedua

yang bergerak lebih dari politik hak-hak sipil seperti yang dilakukan feminis

gelombang pertama. Pada era ini fokus yang perjuangkan adalah liberalisasi

perempuan. Terdapat pergeseran dari kajian yang melihat bahwa terdapat

perbedaan antara laki-laki dan perempuan, menjadi berpusat pada perempuan

yang tertindas dalam peran jender. 253 Terdapat juga kenaikan isu-isu perempuan

di negara dunia ketiga yang tidak hanya berfokus pada representasi dalam politik

namun ke dalam isu-isu lebih luas seperti kemiskinan, doktrin agama dan

kekerasan sosial. Sehingga timbullah urgensi untuk mengkaji kehidupan

perempuan yang dibentuk oleh institusi-institusi sosial dan pemahaman universal

yang membenarkan ketidakadilan terhadap jenis kelamin berbasis jender.

Feminis gelombang kedua mulai mengkaji lebih dalam dari terminologi

‘memberdayakan’. Hal ini disebabkan karena untuk menaikkan isu-isu perempuan

diperlukan tindakan yang lebih dari sekadar ‘memasukkan perempuan’ dalam

kajian dan kehidupan sosial, metode yang diucapkan secara sinis oleh feminis

Sandra Harding sebagai masukkan perempuan dan aduk (“add women and

stir”). 254 Perspektif ini mulai melihat konsepsi power sebagai bagian penting dari

pemberdayaan (empowerment) perempuan. Power dipraktekkan baik oleh laki-

laki maupun perempuan namun secara mayoritas perempuan jarang sekali

memiliki power dikarenakan struktur masyarakat patriarki. Oleh karena itu

feminis gelombang ini menaikkan isu bahwa perempuan perlu diberdayakan.

Pemberdayaan ini memerlukan daya sehingga sehingga perempuan cukup mampu


253
Humm, Op. Cit., hlm. 415-416.
254
Sandra Harding, “Is the Equality Opportunity Principal Democratic?” dalam The Philosopical
Forum, Vol. 10, No. 2/4, Winter/Summer, Tahun 1978-1979.

128
untuk melakukan pilihan dan memberdayakan lingkungannya (empowerment as

means and ends) 255 dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, sosial,

budaya dan agama.

Kajian feminis dalam hubungan internasional juga dibesarkan oleh

beberapa penulis perempuan. Salah satunya adalah Jean Bethke Elshtain yang

menulis Public Man, Private Woman: Women in Social and Political Thought

(1981) dan Women and War (1987). 256 Pemikiran Elshtain lahir dari perannya

yang merupakan seorang ibu dan juga pemikir bidang sosial. Ia melihat adanya

perbedaan penerimaan dalam masyarakat bagi laki-laki dan perempuan dalam

peran sosial serta penerimaan pemikiran. Karyanya yang paling bersinggungan

dengan ilmu HI adalah Women and War yang menceritakan tentang militer dan

sejarah peperangan yang memiliki kekosongan jender. Perang menurut Elshtain

merekrut laki-laki, sementara perempuan hanya memainkan peran sampingan

untuk terlibat di dalamnya. Ia juga mengutip pemikiran-pemikiran kajian HI

seperti Machiavelli, Rousseau, Hegel, Marx dan Engels lalu mempertanyakan

suara perempuan yang tidak terlihat dalam ilmu hubungan internasional.

Pemikir feminis internasional yang kedua adalah Cynthia Enloe yang

menulis beberapa buku, antara lain Does Khaki Become You? The Militarization

of Women’s Lives (1983), Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense

of International Relations (1989) dan The Morning After: Sexual Politics at the

255
Carolyn Medel-Anonuevo, “Reclaiming the Empowerment Discourse: A Challenge to
Feminist” dalam Marianne Braig dan Sonja Wolte (eds.), Op. Cit., hlm. 80-86.
256
Jean Bethke Elhstain, Public Man, Private Woman: Women in Social and Political Thought,
(Princeton: Princeton University Press, 1981) dan Women and War, (New York: Basic Books,
1987).

129
End of the Cold War (1993). 257 Dalam bukunya Enloe mempertanyakan dimana

perempuan (“where are the women?”) dalam sejarah dunia dan ilmu hubungan

internasional. Ia lebih lanjut mempertanyakan seberapa banyak power yang

diperlukan untuk menjaga sistem politik internasional seperti ini, dipenuhi laki-

laki dan sedikit sekali perempuan. Hubungan antara dua negara tidak hanya

dipengaruhi oleh kapital tapi juga kontrol atas perempuan sebagai simbol,

komsumen, pekerja dan pendukung emosional. Enloe menyatakan bahwa ketika

seseorang belajar melihat dunia melalui kacamata feminis, ia akan belajar untuk

bertanya apakah sesuatu tidak terhindarkan, inheren, tradisional sampai dengan

‘biologis’ terjadi secara dibentuk. 258 Enloe juga mengatakan bahwa tidak hanya

militer yang merupakan institusi patriarki, namun juga negara yang

membangunnya melalui nasionalisme.

Dalam kajian ekonomi-politik internasional, feminis mengembangkan

kajian melalui tulisan Maria Mies yang berjudul Patriarchy and Accumulation on

a World Scale (1986). 259 Dalam bukunya, Mies mengadaptasi kerangka teori

sistem dunia untuk menggambarkan bahwa sistem yang ada di dunia bukan hanya

satu namun dua, yaitu patriarki dan kapitalisme. Mies berargumen bahwa kapitalis

tidak dapat berfungsi tanpa adanya patriarki sehingga menciptakan 2 sistem dunia

dengan partriarki sebagai yang lebih duhulu hadir. Revolusi industri yang

kapitalis di abad ke-16 dipandang Mies juga merupakan revolusi patriarkis yang

257
Cynthia Enloe, Does Khaki Become You? The Militarization of Women Live’s, (London:
Pandora Press, 1983), Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International
Politics, (Berkeley: University of California Press, 1989) dan The Morning After: Sexual Politics
at the End of the Cold War, (Berkeley: University of California Press, 1993).
258
Cetak miring dan tanda kutip dari tulisan aslinya. Enloe (1989), Op. Cit., hlm. 3
259
Maria Mies, Patriarchy and Accumulation on a World Scale, (London: Zed Books, 1986).

130
mengikutsertakan tindakan pembakaran penyihir perempuan sebagai kontrol laki-

laki atas perempuan.

Feminis J. Ann Tickner adalah salah satu pemikir dari perspektif ini yang

membahas hubungan internasional dari berbagai sudut pandang bidang kajian

seperti negara dan perang, ekonomi global dan ekologi. Buku Tickner yang

terkenal adalah Gender in International Relations: Feminist Perspectives on

Achieving Global Security (1992). 260 Tickner melakukan analisa alasan untuk

mengangkat pertanyaan-pertanyaan feminis ke dalam isu penting kajian hubungan

internasional. Ia melakukan elaborasi satu-persatu perspektif realis, liberalis dan

globalis dengan perspektif feminis. Secara khusus Tickner mengkritik konsep-

konsep HI seperti political man, konsep negara yang maskulin dan sistem negara

yang merupakan perang everyman against everyman. Ia kemudian

menggambarkan bagaimana perempuan diposisikan di dunia, tidak hanya di masa

perang tapi juga saat damai dalam perannya di bidang ekonomi dan lingkungan.

Perempuan menempati posisi tidak aman namun tidak dihiraukan oleh masyarakat

dunia, termasuk dalam kajian ilmu. Sehingga yang disarankan oleh Enloe adalah

memasukkan pengalaman perempuan sebagai bagian dari kehidupan dan teori-

teori yang menganalisanya.

Feminis telah melahirkan kajian-kajian hubungan internasional sejak tahun

1980an. Sayangnya antusias mengenai perspektif ini tidak mendapat tempatnya

dan perlahan-lahan melemah menjadi salah satu pemikiran marjinal dalam disiplin

260
J. Ann Tickner, Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global
Security, (New York: Columbia University Press, 1992).

131
ilmu hubungan internasional. 261 Pada tahun 1990an ketika pemikiran kritikal,

post-modernis, post-strukturalis dan konstruktivis meningkat kajiannya dalam

studi HI, ketertarikan untuk menggunakan analisa feminis yang berfokus pada

perempuan cenderung menghilang. Perspektif feminis kemudian dimasukkan ke

dalam agenda tradisional HI hanya sebagai agenda sampingan. Awal era 2000an,

terlihat jelas bagaimana ide mengenai perspektif feminis dilihat sebagai tambahan

dari teori kritikal, post-modernis maupun konstruktivis, 262 bukan sebagai

perspektif yang mampu berdiri sendiri.

Masih banyak pemikir feminis lain yang turut mengembangkan perspektif

ini. Mereka antara lain adalah Sandra Whitworth, Marianne Marchand, Ann

Sisson Runyan dan Jill Steans. Dari pemikiran-pemikiran ahli di atas, Jill Steans

dan Lloyd Pettiford menyatakan bahwa ciri-ciri utama dari perspektif feminis

adalah: 263

1. Menggunakan jender sebagai kategori analisis yang utama


2. Melihat jender sebagai power relations yang khusus
3. Mengkaji sektor publik dan privat yang penting hubungannya dalam
memahami hubungan internasional
4. Melacak bagaimana pemikiran jender memiliki posisi sentral dalam
berjalannya fungsi institusi internasional
5. Memberi asumsi bahwa jender telah menjadi bagian yang tak tersadari
namun turut mempengaruhi international order

261
Salah satunya disebutkan oleh Francis Fukuyama, seorang liberalis, menggambarkan kondisi
perempuan dalam kepemimpinan dunia yang jumlahnya sedikit dan kalaupun ada perempuan-
perempuan ini bersikap ‘seperti’ laki-laki. Fukuyama mencontohkan Margareth Tacher. Feminis
Ann Tickner membahasnya dan menunjukkan fenomena perempuan dalam kajian HI. J. Ann
Tickner, “Why Women Can’t Run the World: International Politics According to Francis
Fukuyama”, dalam International Studies Review, Vol. 1, No. 3, Tahun 1999, hlm. 3-11.
262
Marysia Zalewski, Op. Cit., hlm. 27.
263
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 155.

132
6. Mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dominan mengenai yang
signifikan dan kurang signifikan dalam kajian hubungan internasional.

Lebih lanjut Steans dan Pettiford melihat bahwa dalam mengkaji suatu

fenomena internasional, feminis memiliki asumsi-asumsi di bawah ini: 264

e) Feminis tidak melihat keadaan natural manusia sebagai suatu hal yang
rigid
f) Dari perspektif ini, tidak dapat dibedakan secara jelas antara ‘kenyataan’
dan ‘nilai’
g) Terdapat hubungan dekat antara ilmu pengetahuan dan power serta antara
teori yang ada dengan praktek yang dilakukan secara fisik dan sosial
h) Feminis memiliki komitmen terhadap ide perkembangan sosial dan
pembebasan atau emansipasi perempuan

IV.3. Gerakan Feminis dalam Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan kejahatan yang paling

sering terjadi di seluruh dunia. 265 Tindakan kekerasan ini bervariasi bentuknya

mulai dari kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga, trafficking perempuan dan

anak perempuan, pembunuhan demi kehormatan, pembunuhan demi mahar,

mutilasi genital perempuan maupun perkosaan perempuan di wilayah konflik.

Walaupun manifestasi tindakannya bervariasi bergantung pada konteks ekonomi,

sosial dan kultural di mana kekerasan itu terjadi, kekerasan terhadap perempuan

merupakan fenomena yang terjadi secara universal di setiap masyarakat, tak

264
Ibid., hlm. 161.
265
“Indepth: Gender-Based Violence” diakses dari
http://www.choike.org/nuevo_eng/informes/3982.html pada tanggal 10 Juli 2006 pukul 18.05
WIB.

133
pandang etnis, ras, usia, kelas maupun negara. 266 Namun sifatnya yang tidak

terlihat karena berada di wilayah domestik, cenderung membuat kekerasan

terhadap perempuan sulit untuk ditangani dan tidak dianggap sebagai persoalan

serius. Perspektif feminis, di sisi lain, mengangkat masalah ini sebagai isu yang

signifikan untuk ditangani.

Feminis menganalisa bahwa kekerasan terhadap perempuan memiliki

karakteristik spesifik yang seksis sehingga perlu untuk ditindak secara tegas.

Sampai sekarang terdapat gerakan-gerakan feminis yang memperjuangkan isu ini

sehingga mendapat tanggapan internasional atas besarnya isu yang dihadapi

seluruh perempuan di dunia. Jika melihat kesepakatan dan traktat internasional

yang dihasilkan sebagai alat untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan,

sejauh ini sudah terdapat setidaknya 6 deklarasi besar dunia yaitu: 267

1. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap


Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of
Dicrimination against Women – CEDAW) tahun 1979 dan
Protokol Opsional-nya tahun 1999 yang menyatakan semua negara
menjalankan “kebijakan untuk mengeliminasi kekerasan terhadap
perempuan”, memberdayakan perempuan untuk menuntut haknya
ke tingkat nasional dan membuat tuntutan tersebut dipandang
secara signifikan.
2. Deklarasi PBB untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
(United Nations Declaration on the Elimination of Violence
against Women) tahun 1993.
3. Bab yang membahas secara khusus mengenai kekerasan terhadap
perempuan dalam Deklarasi Beijing dan Dasar Aksi (Beijing
266
“Spotlight: Speaking Out Against Global Violence” diakses dari
http://www.feminist.com/violence/spot/ pada tanggal 10 Juli 2006 pukul 17.15 WIB.
267
“Indepth: Gender-Based Violence”, Log. Cit.

134
Declaration and Platform of Action) yang diadopsi oleh
Konferensi Perempuan Dunia yang dilangsungkan oleh PBB tahun
1995.
4. Statuta Roma mengenai Pengadilan Kriminal Internasional untuk
kejahatan perang (International Criminal Court – ICC) tahun 1998
yang memasukkan kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan
seksual, pemaksaan prostitusi dan pemaksaan kehamilan) ke dalam
definisi kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan perang dan
dapat dihukum.
5. Review 5 tahun Deklarasi Beijing (Beijing +5 Review) tahun 2000
yang menyatakan kriminalisasi dari tindak kekerasan terhadap
perempuan dan adopsi cara-cara untuk mengakhiri kekerasan
terhadap perempuan yang berbasis rasial. Pada review inilah
pertama kalinya kejahatan terhadap perempuan untuk membela
kehormatan masuk ke dalam klausul kriminal.
6. Deklarasi Millenium yang diprakarsai PBB pada tahun 2000 yang
salah satu tujuannya adalah untuk melawan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan mendukung deklarasi
sebelumnya.

Harus diakui terdapat kemajuan dari hukum internasional dan aktivisme

organisasi perempuan secara global sehingga dapat menghasilkan deklarasi-

deklarasi mengenai penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan-

gerakan perempuan juga menaikkan visibilitas isu ketimpangan jender dan

struktur opresif yang menaunginya. Perhatian resmi telah diberikan pula terhadap

penderitaan perempuan korban kekerasan sebagai pelanggaran hak asasi manusia

bersama dengan komitmen pemerintah negara-negara dunia untuk

menghukumnya.

135
Khususnya dalam kasus perkosaan perempuan di wilayah konflik,

advokasi gerakan perempuan telah mengemuka sejak akhir Perang Dunia II.

Karena terdapat tuntutan dari perempuan korban jugun ianfu (budak seksual)

prajurit Jepang maka disusunlah Protokol Konvensi Genewa tentang Kejahatan

Perang tahun 1949. 268 Sayangnya perkosaan tidak dicantumkan secara spesifik

sebagai kejahatan perang yang krusial sehingga protokol ini tidak mampu

menghukum tindak perkosaan dalam sidang Perang Dunia II pada Pengadilan

Nurenberg dan Pengadilan Tokyo. 269 Karena desakan Konferensi Perempuan

Dunia yang pertama tahun 1975 mengenai penanganan kekerasan seksual dalam

perang, pada tahun 1977 dibuatlah Tambahan Protokol Konvensi Genewa tahun

1977 yang menyatakan bahwa perkosaan, pemaksaan prostitusi dan tindakan tak

pantas lainnya (indecent assault) dianggap sebagai tindakan yang memalukan dan

merendahkan. 270 Namun para feminis masih kecewa terhadap pasal ini karena

kekerasan terhadap perempuan masih tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan

yang fatal dilakukan terhadap manusia.

Kaum feminis akhirnya berhasil membawa perkosaan saat konflik ke

dalam kejahatan perang yang mendapat sanksi hukum dari dunia internasional

pada kasus di Yugoslavia tahun 1994. Hal ini dilakukan melalui International

Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY). Statuta ICTY merupakan dokumen

legal pertama yang menyatakan tindak perkosaan sebagai kejahatan

268
“Geneva Convention” diakses dari http://www.globaliissuesgroup.com/geneva/texts.html pada
tanggal 20 November 2005 pukul 10.15 WIB.
269
David J. Scheffer, “Rape as a War Crime” diakses dari
http://www.converge.org.nz/pma/arape.htm pada tanggal 20 November 2005 pukul 10.05 WIB.
270
Baca Protokol Kovensi Genewa dan Protokol Tambahan tahun 1977 di “Geneva Convention”,
Op. Cit.

136
humanitarian. 271 Berdasarkan dokumen tersebut, perkosaan dapat dituntut sebagai

kejahatan perang dengan mengajukan bukti bahwa tindakan tersebut adalah

bagian dari usaha menyerang populasi sipil dengan latar belakang nasional,

politikal, etnis dan agama. 272

Keberhasilan perjuangan feminis dalam mengadvokasi agar hukum

internasional dapat memberikan sanksi hukum pada perkosaan sebagai kejahatan

perang berlanjut pada tahun 1995 dengan konflik Rwanda. 273 Statuta dari

International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan pertama kalinya

perkosaan diakui sebagai salah satu alat untuk menjalankan genosida. Hal ini

dikarenakan perkosaan perempuan dalam konflik Rwanda digunakan sebagai

strategi perang untuk menghancurkan etnis yang dianggap musuh.

Hingga kini, lebih dari 10 tahun sesudahnya, pencapaian internasional

dalam menghukum pelaku perkosaan perempuan di wilayah konflik belum

menyamai hasil seperti dalam tribunal internasional Yugoslavia dan Rwanda.

Selama lebih dari 25 tahun kampanye anti kekerasan telah dilangsungkan (dari

deklarasi pertamanya dalam CEDAW) namun pada kenyataannya, beberapa tahun

telah lewat semenjak deklarasi-deklarasi ini ditandatangani, fenomena kekerasan

terhadap perempuan terus terjadi. Implementasi dari komitmen yang telah

disampaikan ke tingkat internasional terletak sepenuhnya pada kesediaan negara

untuk menjalankannya. Sehingga bisa dikatakan bahwa walaupun gerakan feminis

271
Statuta ICTY Artikel 5 diakses dari http://www.un.org/icty/basic/statut/stat2000_con.htm pada
tanggal 2 Januari 2006 pukul 17.10 WIB.
272
“International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia” diakses dari
http://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Tribunal_for_the_Former_Yugoslavia pada
tanggal 18 Januari 2006 pukul 13.25 WIB.
273
Vesna Kesic, Log. Cit.

137
dalam mengadvokasi isu telah berhasil menaikkan signifikansi masalah namun

kembali terganjal oleh kurangnya dorongan politis negara untuk mencegah,

menyelidiki dan menghukum kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik.

IV.4. Feminis Mengkaji Fenomena Perkosaan Perempuan di Wilayah

Konflik

Bagian ini akan memberi jawaban atas pertanyaan permasalahan kedua

mengenai bagaimana perspektif feminis mengkaji perkosaan perempuan di

wilayah konflik. Pemikir feminis yang secara spesifik mengkaji fenomena ini

adalah Cynthia Enloe dan Susan Brownmiller. Pemikiran keduanya mengenai

perkosaan di wilayah konflik akan dibahas lebih lanjut dengan berdasarkan runut

waktu dipublikasikannya.

Susan Brownmiller mengeluarkan bukunya Against Our Will: Men,

Women and Rape 274 pada tahun 1975 yang merupakan buku pertama yang

mengkaji perkosaan secara komprehensif dan luas. Buku ini mendokumentasikan

tindak perkosaan-perkosaan yang terjadi sepanjang sejarah kemudian

menganalisanya dalam kerangka kajian ilmu. Brownmiller menemukan bahwa

tindak perkosaan tidak terjadi begitu saja dan tidak hanya disebabkan oleh nafsu

lahiriah. Terjadinya perkosaan menurutnya disebabkan oleh ketidaksamaan posisi

perempuan dan laki-laki di dalam politik, sosial dan hukum. Bahkan Brownmiller

percaya bahwa perkosaan bukanlah tindakan seksual namun merupakan aksi

274
Susan Brownmiller, Against Our Will: Men, Women and Rape, (New York: Pinguin Books,
1975).

138
pemaksaan power laki-laki terhadap perempuan. 275 Perkosaan dalam

pandangannya lebih merupakan aktivitas kekerasan.

Melalui perkosaan, perempuan ditransformasikan dari subjek yang

memiliki daya untuk memilih tindakan yang dilakukan serta tidak dilakukannya,

menjadi sekedar objek. Perempuan dipaksa baik melalui ancaman maupun

kekerasan untuk mengikuti keinginan laki-laki yang memiliki mereka karena

lebih memiliki power. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkosaan adalah senjata

mendasar laki-laki terhadap perempuan, tes mendasar dari kekuatan laki-laki agar

bisa dikatakan lebih superior. Dan dalam analisa Brownmiller, perkosaan

digunakan secara sadar sebagai proses intimidasi.276

Mengenai perkosaan di wilayah konflik, Susan Brownmiller mengkritisi

mengapa tindakan tersebut tidak tercatat dalam sejarah perang walaupun

merupakan tradisi panjang militer. 277 Ahli sejarah melihat akibat yang harus

ditanggung dari perang secara umum adalah jumlah desa yang hancur, garis

wilayah kekuasaan yang bergeser, senjata pemusnah yang digunakan dan korban

yang meninggal dunia. Faktor-faktor ini dipandang sebagai bagian integral dari

konflik yang dicatat sebagai kerugian fisik yang diderita. Sementara itu jumlah

perkosaan perempuan di wilayah konflik dianggap tidak dapat diukur dan tidak

signifikan untuk dicantumkan dalam sejarah. 278 Hal tersebut sedikit banyak

memperlihatkan bahwa pengalaman perempuan tidak dianggap sebagai sesuatu

yang penting dan perlu diingat dalam kajian mengenai masa lalu konflik.

275
Ibid., hln. 4-5.
276
Ibid., hlm. 14-15.
277
Ibid., hlm. 40.
278
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, School for Rape Op. Cit., hlm. 8-9.

139
Perkosaan diyakini oleh Brownmiller sebagai sesuatu yang pasti terjadi

dan merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari sebuah perang. Terdapat

beberapa alasan mengapa perkosaan di wilayah konflik terjadi secara meluas di

semua konflik di dunia. Beberapa di antaranya adalah adanya persepsi yang salah

dalam memahami perkosaan hanya sebagai aktivitas seksual ketimbang aktivitas

kekerasan, adanya asumsi tentang seksualitas laki-laki terutama ketika

menghadapi ketegangan perang sehingga membutuhkan pelepasan, anggapan

bahwa tingginya aktivitas seksual di laki-laki membangun citra yang esensial

tentang maskulinitasnya, dan adanya interaksi bertingkat laki-laki sebagai

pelindung sementara perempuan adalah pihak yang dilindungi sehingga

berdampak dilakukannya kekerasan terhadap perempuan dari pihak lawan karena

posisinya sebagai yang dilindungi, serta kekerasan terhadap perempuan di pihak

yang sama dengan laki-laki dengan alasan imbalan jasa bagi pelindung. 279

Brownmiller mengkaitkan bahwa perkosaan dalam perang ‘diterima’

begitu saja karena terdapat asumsi luas tentang kodrat naluri laki-laki yang lebih

besar dibandingkan perempuan. Hal inilah maka perempuan di masa perang

dianggap dimiliki oleh laki-laki dari pihak yang menang. Karena itulah

perempuan ditempatkan di rumah pelacuran di mana perempuan dipaksa

mengerjakan tugas sehari-hari memasak mencuci dan mengalami perkosaan.

Yang mana membuat masyarakat luas kemudian menghakimi perempuan sebagai

279
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 31-113.

140
pembelot dan pelacur. 280 Sehingga sangat penting untuk memasukkan cerita dari

perempuan-perempuan ini dan pengalaman personalnya dalam kajian konflik.

Perempuan diperkosa karena tubuhnya adalah medan perang yang

simbolik (symbolic battlefield). Brownmiller melahirkan konsep tersebut dengan

penjelasan di bahwa “Dalam perang perempuan bukanlah subjek (yang

berperang), juga bukan musuh yang harus dibinasakan (kombatan), perempuan

bukan musuh yang mengancam kepentingan dan kehidupan pihak yang lain. Tapi

ia memduduki posisi medan perang simbolik. Perempuan adalah simbol yang

tidak dimanusiakan, sebagai penanggung dari kehormatan laki-laki, pereproduksi

ulang budaya dan nilai-nilai tradisional lainnya.” 281

Dalam melakukan perkosaan, Susan Brownmiller mengklasifikasikan 2

pendekatan yaitu (1) perkosaan terhadap perempuan untuk memberi teror

kekerasan terhadap pihak lawan dan sebagai suatu bentuk aksi keunggulan power

dari pihak lawan, yang mana hal ini terjadi di hampir setiap konflik. Dan (2)

perkosaan terhadap perempuan untuk melakukan aksi genosida yang bertujuan

menghabiskan suatu suku etnik dengan memotong garis keturunan. 282 Umumnya

pendekatan ini terjadi pada konflik etnis dan agama. Contoh kasus untuk kedua

pendekatan ini telah dijabarkan dalam fungsi-fungsi perkosaan di atas.

Cynthia Enloe di sisi lain memang lebih aktif dalam menulis dan telah

mengeluarkan beberapa buku sejak tahun 1970 mengenai kajian politik dan

militer, namun perempuan di wilayah konflik baru menjadi kajian utamanya sejak

tahun 1983 melalui buku Does Khaki Become You? The Militarization of
280
Ibid., hlm. 33.
281
Kata-kata dalam kurung ditulis oleh penulis. Ibid., hlm. 31.
282
Ibid., hlm. 15-16.

141
Women’s Lives 283 . Perkosaan perempuan di wilayah konflik baru mengemuka

dalam dua bukunya yaitu Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of

International Relations 284 dan The Morning After: Sexual Politics at the End of

the Cold War. 285 Kedua buku inilah yang akan digunakan dalam mengkaji

perkosaan di wilayah konflik.

Dalam Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of

International Relations, Enloe tidak keseluruhan mengkaji perkosaan namun

mengamati bagaimana perempuan diposisikan ketika konflik internasional terjadi.

Pernyataan yang dilontarkannya dalam buku itu adalah “jika personal adalah

politis maka yang politis adalah personal”. 286 Ia mengamati bahwa kebijakan

politik ada tidak hanya dalam lingkup nasional tapi juga internasional dan turut

membentuk identitas personal, mengatur kehidupan pribadi serta hubungan antar

manusia di dunia. Pengaturan ini termasuk juga menentukan posisi perempuan

dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konflik. Sehingga apa yang “personal

adalah juga internasional”. Jill Steans dan Lloyd Pettiford mencontohkannya

dengan posisi perempuan yang dikontrol oleh politik identitas pihak yang

berkuasa secara politik maupun ekonomi baik di suatu wilayah ataupun negara.

Pola-pola pengaturan tingkah laku perempuan ini terbentuk dan saling

mempengaruhi interaksi dunia. Misalnya perempuan diharuskan melahirkan dan

283
Cynthia Enloe, Does Khaki Become You? The Militarization of Women’s Lives, (London:
Pandora Press, 1983).
284
Cynthia Enloe, Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International
Relations, (London: Pandora Press, 1989).
285
Cynthia Enloe, The Morning After: Sexual Politics at the End of the Cold War, (Berkeley:
University of California Press, 1993).
286
Enloe (1989), Op. Cit., hlm, 195.

142
menjalankan peran sebagai ibu dengan cara tertentu, jika tidak maka dia dianggap

mengkhianati negara, nilai-nilai bangsa maupun budaya.287

Enloe berpendapat bahwa interaksi di tingkat dunia dibangun oleh

hubungan hierarkis antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

Perempuan secara luas dan mayoritas berada pada posisi tidak berdaya karena

keadaan tersebut dibentuk dan dilestarikan oleh masyarakat patriarkis. Ketika

konflik terjadi, power-relations yang sedemikian rupa semakin memperburuk

posisi perempuan yang kehilangan pelindung, yaitu hukum maupun laki-laki lain

(seperti suami, keluarga, saudara). 288 Karena posisi yang lemah maka perempuan

jarang bahkan sama sekali tidak terlihat dalam konflik. Sehingga perlu adanya

advokasi pengalaman-pengalaman perempuan agar dapat mempunyai posisi lebih

signifikan dalam kajian hubungan internasional.

Dalam kajian hubungan internasional, buku Enloe ini mempertanyakan

asumsi realis mengenai power yang hanya berkisar seputar negara tapi tidak

melihat hubungan power di tingkat lain. Interaksi di dunia tidak hanya bergantung

pada negara yang didukung kapital dan persenjataan, tapi juga melalui kontrol

terhadap perempuan sebagai simbol, konsumen, pekerja murah yang bahkan tidak

dinilai posisinya sebagai ibu rumah tangga, pekerja seks dan pembangun

kenyamanan hidup. 289 Sehingga sangatlah perlu untuk dipertanyakan seberapa

banyak power yang diperlukan untuk menjaga sistem politik internasional seperti

ini. Ann Tickner mengolah lebih lanjut konsepsi power dari perspektif realis yang

dianggapnya maskulin dan tidak melihat perempuan di dalam interaksi


287
Steans dan Pettiford, Op. Cit., hlm. 166.
288
Enloe (1989), Op. Cit., hlm 18.
289
Ibid., hlm xi.

143
internasional. Hierarki sosial yang diciptakan kekuatan patriarkis menurut

Tickner ada di setiap hubungan, baik secara mikro antara individu perempuan dan

laki-laki, maupun negara terhadap rakyatnya ketika mengeluarkan kebijakan

tentang keamanan nasional dengan menggunakan alat militer. 290

Enloe kemudian melakukan yang tidak dilakukan oleh kebanyakan

pemikir hubungan internasional lain, yaitu mengangkat pengalaman-pengalaman

personal perempuan dan mencoba memahaminya sebagai salah satu faktor

pembentuk interaksi internasional. Dan ia menekankan bahwa ketika seseorang

belajar untuk melihat dunia dengan menggunakan kacamata feminis, maka ia

akan mulai bertanya apakah segala sesuatu yang terjadi yang selama ini

dipersepsikan tidak terhindarkan, inheren, tradisional dan biologis merupakan

bentukan suatu sistem. 291

Salah satu contoh yang digunakan Enloe adalah hubungan antara negara,

militer dan perempuan. Negara membangun rakyatnya untuk memiliki

nasionalitas dan menjadi nasionalis membutuhkan laki-laki untuk melawan orang

asing menggunakan dan melukai perempuannya. Nasionalitas tidak memasukkan

pengalaman perempuan karena secara tipikal lahir dari ingatan maskulin,

penghinaan maskulin dan harapan maskulin. 292 Militer kemudian dipandang

sebagai alat dari negara yang bertugas mempertahankan keamanan negara namun

melakukannya dengan menggunakan atribut yang juga maskulin. Pembahasan

mengenai militer dan perempuan berlanjut pada buku Enloe selanjutnya The

Morning After.
290
Tickner (1992), Op. Cit., hlm. 66.
291
Enloe (1989), Op. Cit., hlm 3.
292
Cara penulisan sama seperti teks asli. Ibid., hlm 44.

144
Perkosaan merupakan bagian kajian utama dalam buku Enloe, The

Morning After: Sexual Politics at the End of the Cold War. Enloe menekankan

bahwa perkosaan di masa konflik bukanlah tindak kekerasan yang acak.

Perkosaan terjadi karena sudah ada struktur yang sedemikian rupa membentuk

posisi perempuan dapat diperkosa oleh laki-laki pihak lawan dalam situasi

perang. Melalui maskunilisasi yang dibangun dengan cara militer membentuk

sebagian besar pasukannya laki-laki, dan dalam masyarakat laki-laki pulalah yang

melindungi perempuan. Sehingga untuk menghancurkan pertahanan dengan cara

paling mudah adalah menyerang yang paling lemah, yaitu perempuan. 293

Di sisi lain Enloe juga menunjukkan bahwa memasukkan perempuan ke

dalam anggota militer tidak membawa perbaikan dari keadaan ini. Karena di saat

konflik, perempuan anggota militer tetap berada di posisi yang rentan sebagai

korban pelecehan seksual dan perkosaan. Hal ini timbul dengan alasan perempuan

tetap berada di posisi yang perlu dilindungi sehingga dianggap sudah selayaknya

untuk memberi imbalan jasa dari seksualitasnya. Pandangan yang

mensubordinasikan perempuan ini juga dilontarkan oleh feminis Barbara

Tuchman yang menganalisa keadaan sosial. Tuchman mengkritisi bahwa cara

pandang yang digunakan oleh para tentara, politisi pengambil keputusan,

wartawan hingga ahli sejarah, semua orang kecuali perempuan yang menyadari

keadaan ini adalah bias jender. 294 Keadaan inilah yang membuat pelecehan

seksual dan perkosaan di masa konflik tidak dipandang serius untuk ditangani.

Tuchman memberi argumen bahwa bila perempuan diposisikan secara sekunder

293
Enloe (1993), Op. Cit., hlm 168 dan 239.
294
Barbara Tuchman, The Guns of August, (New York: Dell, 1972), hlm. 199 dan 255-257.

145
maka masalah yang menimpanya juga menjadi tidak penting karena tertutupi

masalah lain yang dianggap lebih penting, seperti misalnya keamanan negara.

Perempuan anggota militer juga rentan terhadap pelecehan seksual dan

perkosaan ketika ditangkap oleh pihak lawan. Keadaan-keadaan ini kemudian

berada dalam posisi yang sulit karena jika ia melapor maka militer akan

cenderung tidak menurunkan perempuan ke dalam konflik yang berarti semakin

sedikit perempuan yang direkrut menjadi anggota militer. Negara juga sulit

menindaklanjuti perkosaan yang dilakukan oleh tentaranya yang dianggap berjasa

sebagai pahlawan karena pergi berperang membela negara sendiri sehingga

masalah ini umumnya ditutupi. 295 Posisi perempuan sebagai target kekerasan

seksual pihak musuh di saat konflik turut dianalisa oleh Jill Steans ketika

membahas pahlawan perang di negara yang patriakal. Budaya ini menurut Steans

dibentuk semenjak jaman Yunani ketika para pahlawan perang mendapatkan

perempuan sebagai hadiah, yang mana diturunkan ke masa kini sebagai hak

tentara terhadap perempuan (soldier’s right to women). 296

Perkosaan dalam konflik menurut Jill Steans tidak bisa dianggap sebagai

tindakan yang soliter. Steans melihat adanya pola patriarkis yang dibentuk di

masa damai dan menguat saat konflik berlangsung. Pemerintah suatu negara

memegang peran dalam terjadinya perkosaan terhadap perempuan di masa damai

dan juga di wilayah konflik melalui konstruksi maskulinitas dari patriotisme dan

kekerasan. 297 Hal yang mana digambarkan oleh Enloe dengan mayoritas anggota

militer adalah laki-laki. Karena negara telah membuat pembagian peran secara
295
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 224.
296
Steans, Op. Cit., hlm. 101.
297
Ibid., hlm. 101-102.

146
sosial, politik maupun hukum dan dalam perang maka segregasi konstruksi

ideologi antara perempuan dan laki-laki semakin nyata. Hal ini haruslah dikaji

lebih lanjut oleh hukum internasional yang memiliki kemampuan untuk

melakukan perubahan untuk lebih melindungi hak-hak perempuan, terlebih di saat

terjadinya konflik. Enloe membandingkan kasus perkosaan perempuan yang

terjadi berbeda pada Perang Vietnam dan Perang Teluk Pertama di Kuwait. 298

Misalnya pada Perang Vietnam yang berlangsung tahun 1990-1992 tentara

Amerika Serikat diterjunkan ke lapangan disertai dengan timbulnya pelacuran dan

perkosaan. Keadaan ini tidak mendapatkan tanggapan serius dari pemerintah AS

sehingga seolah-olah dibiarkan saja. Dan setelah perang itu berakhir yang terlihat

pada media-media Amerika gambaran veteran perang laki-laki AS dan melupakan

75 tentara perempuan yang juga diturunkan ke wilayah itu. Tidak hanya di

Vietnam, pelacuran tampak sebagai bagian tak terpisahkan dari operasi Pentagon,

antara lain di Amerika Latin, Filipina, Korea Selatan, Jepang, Puerto Rico, Jerman

dan Italia. 299

Sementara kasus pada Perang Teluk Pertama tahun 1990 berbeda. Basis

tentara Amerika Serikat terletak di Arab Saudi, dimana penguasanya Raja Fahd

mengeluarkan kebijakan tidak memperbolehkan adanya prostitusi untuk

melindungi perempuan-perempuan Arab di negara tersebut. Sebagai gantinya,

pada perang tersebut tentara perempuan AS mengalami pelecehan seksual dan

perkosaan yang dilakukan oleh koleganya sendiri. Salah satu yang perempuan

anggota militer yang mengakui hal ini adalah Jacqueline Ortiz, ia juga

298
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 221-223.
299
Ibid., hlm. 84, 183 dan 220.

147
menceritakan setidaknya 24 tentara perempuan AS mengalami perkosaan saat

ditempatkan dalam operasi Perang Teluk Pertama. 300 Terlihat bahwa bila

konstruksi ideologi perempuan dan laki-laki ini tidak ditangani secara

fundamental, ataupun hanya melalui kebijakan pragmatis, maka masalah terhadap

perempuan di masa konflik tidak akan terselesaikan tapi hanya berpindah kepada

perempuan lain.

Enloe menganggap bahwa militer dan rantai komando yang ada di

dalamnya sebagai institusi yang semakin memperjelas segregasi jender. 301

Melalui militerisasi dilakukan pola maskulinisasi laki-laki dan feminisasi perempuan.

Sistem maskulinisasi laki-laki dan fenimisasi perempuan ini sangat luas dilakukan

saat konflik, misalnya laki-laki yang diharuskan ikut ‘wajib-militer’ dan

perempuan di rumah harus melepaskan anak laki-laki serta suaminya pergi

berperang sambil meneruskan hidup sehari-hari. Feminis yang juga

mengembangkan pemikiran ini adalah N. Yuval-Davis. Dalam tulisannya “Front

and Rear: The Sexual Division of Labour in the Israeli Army”, Yuval-Davis

mengkritisi stereotipe yang membuat perempuan dieliminir dalam angkatan

bersenjata, antara lain lebih lemah dan lebih menggunakan perasaan. 302 Pola

mempersenjatai laki-laki dan tidak mempersenjatai perempuan (armed men and

disarmed women) ini pada akhirnya berimbas pada semakin maraknya perkosaan

perempuan di wilayah konflik.

300
“The Military Has a Lot to Learn about Women” dalam New York Times, 1 Agustus 1992.
301
Enloe (1993), Op. Cit., hlm. 245.
302
Perempuan dalam militer juga dianggap mengacaukan konsentrasi barisan militer tersebut
karena tentara laki-laki lebih sibuk melindungi tentara perempuan dibandingkan menghadapi
musuh. N. Yuva-Davis, “Front and Rear: The Sexual Division of Labour in the Israeli Army”
dalam Feminist Studies, Vol. 11, No. 3, Tahun 1985, hlm. 649-675.

148
Dalam buku Against Our Will: Men, Women and Rape; Bananas, Beaches

and Bases: Making Feminist Sense of International Relations dan The Morning

After: Sexual Politics at the End of the Cold War, Brownmiller dan Enloe telah

menganalisa fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik. Jika

disederhanakan pandangan Enloe dan Brownmiller dalam menganalisa fenomena

tersebut adalah:

9. Pengalaman-pengalaman personal perempuan korban perkosaan di

wilayah konflik menggambarkan keadaan internasional

10. Perkosaan perempuan di wilayah konflik dibentuk oleh hubungan jender

yang mempengaruhi interaksi manusia secara internasional

11. Perkosaan perempuan di wilayah konflik bukanlah peristiwa acak namun

dibangun melalui suatu pola maskulinisasi laki-laki dan feminisasi

perempuan

12. Perkosaan perempuan di wilayah konflik tidak bisa dimasukkan sebagai

tindak kejahatan biasa karena alasan dan dampaknya berbeda dan hal ini

harus mendapat perhatian hukum internasional

13. Perempuan mengalami perkosaan di wilayah konflik karena tubuhnya

adalah medan perang yang simbolik

14. Anggapan bahwa perkosaan sebagai suatu jenis penakhlukan dan

pampasan perang adalah salah dan harus diubah

15. Perkosaan perempuan di wilayah konflik merupakan teror kekerasan dan

penunjukkan power

16. Karena kemampuan reproduksi perempuan, perkosaan di wilayah konflik

mampu menjadi salah satu alat genosida

149
Karakteristik-karakteristik ini merupakan bagian yang tak terpisahkan

dalam perkosaan perempuan di wilayah konflik. Melihat luasnya perkosaan

perempuan terjadi di wilayah konflik di dunia dan adanya fungsi yang membuat

tindakan tersebut terus berlangsung maka fenomena ini sangatlah penting untuk

ditangani oleh perangkat hukum internasional dan tata sosial masyarakat secara

global. Perangkat hukum mengenai fenomena ini dapat disusun oleh organisasi

internasional dalam suatu kode etik perang. Sementara untuk mengubah tata sosial

dalam masyarakat, isu ini perlu diangkat ke dalam tataran kajian hubungan

internasional. Karena melalui diskursuslah maka suatu masalah dapat ditelaah,

dicari solusi untuk mengatasinya serta dinaikkan signifikansinya agar timbul

kesadaran bagi masyarakat dunia untuk melihat bahwa fenomena ini berdampak

sangat merugikan terhadap perempuan. Kesadaran diperlukan untuk mengubah

pemikiran dan perilaku dunia terhadap perempuan tidak hanya di masa perang

namun juga damai.

Dari penjelasan mengenai perspektif feminis dan kajian feminis terhadap

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik, selanjutnya akan ditelaah

bagaimana perspektif ini mengakomodir fenomena tersebut sebagai bagian dari

kajian ilmiah. Dalam pemaparan mengenai feminis pada subbab sebelumnya,

dapat dilihat fokus perspektif ini terletak pada kajian jender, berdasarkan

pengalaman perempuan berada dalam posisi yang tersubordinasi, perempuan

memiliki power yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki sehingga perempuan

berada dalam posisi tidak aman terhadap penindasan di semua bidang, penindasan

ini terjadi di masa perang maupun damai namun lebih merugikan perempuan di

150
masa perang. Karena fungsinya di saat perang yang terlihat dalam pemikiran

Susan Brownmiller dan Cynthia Enloe, fenomena ini perlu ditangani secara serius

melalui hukum dan tata sosial masyarakat secara global.

Dari penjabaran mengenai perkosaan perempuan di wilayah konflik pada

bab sebelumnya didapatkan bahwa fenomena tersebut bila diangkat ke tataran

kajian memiliki karakteristik utama kajian jender, mengkaji pengalaman individu

yang dialami secara kolektif, melihat bahwa terdapat hubungan power yang tidak

imbang antara perempuan dan laki-laki, perempuan berada dalam posisi yang

tidak aman terhadap laki-laki, terjadi di saat berlangsungnya konflik, perlu

ditangani secara serius oleh hukum internasional dan menyatakan bahwa

perkosaan mempunyai fungsi dalam konflik. Sehingga untuk melihat apakah

perspektif feminis mampu mengkaji fenomena perkosaan di wilayah konflik akan

ditelaah melalui matriks di bawah ini:

Matriks V. Perspektif Feminis Mengkaji Fenomena Perkosaan Perempuan di


Wilayah Konflik
Fenomena Kajian Mengkaji Melihat Perem- Terjadi Perkosaan Perko-
perkosaan jender pengala- adanya puan meluas perempuan saan
perempuan man hubungan berada di saat di wilayah memiliki
di wilayah individu power dalam berlang- konflik fungsi
konflik perem- yang tidak posisi sungnya perlu dalam
puan yang imbang tidak konflik ditangani konflik
dialami antara aman secara serius
Fokus secara laki-laki melalui
Perspektif kolektif dan hukum
Feminis perempuan internasional
Kajian peka
jender v - - - - - -
Mengikut-
sertakan - v - - - - -
pengalaman
perempuan
yang posisinya
tersubordinasi

151
Perempuan
memiliki power - - v - - - -
yang lebih
sedikit daripada
laki-laki
Perempuan
berada dalam
posisi yang
tidak aman
- - - v - - -
terhadap
penindasan di
segala bidang
Penindasan
perempuan - - - - v - -
terjadi di masa
damai maupun
perang
Fenomena
perkosaan
perempuan
perlu ditangani
- - - - - v -
secara serius
melalui hukum
dan tata sosial
masyarakat
secara global
Fenomena
perkosaan - - - - - - v
perempuan di
wilayah konflik
menjalankan
fungsi tersendiri
dalam perang

Dari matriks di atas terlihat bahwa perspektif feminis mampu

mengakomodir fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik sebagai bagian

dari kajian hubungan internasional. Cara yang dilakukan feminis dalam

mengakomodasi fenomena tersebut adalah melihat dari kajian jender,

mengikursertakan pengalaman individu perempuan, melihat hubungan power

antara laki-laki dan perempuan yang tidak imbang sebagai dasar terjadinya

kekerasan dan posisi perempuan yang tidak aman, perlunya menangani masalah

ini secara serius baik dari segi hukum internasional maupun kajian hubungan

152
internasional serta melihat fenomena perkosaan memiliki fungsi dalam konflik.

Dari 7 karakteristik utama fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik

seluruhnya dapat dipenuhi oleh perspektif ini. Sehingga perspektif feminis

dianggap memiliki kemampuan untuk memasukkan fenomena perkosaan

perempuan di wilayah konflik sebagai salah satu kajian hubungan internasional.

IV.5. Kontribusi Feminis dalam Kajian Hubungan Internasional

Bagian ini akan memberi jawaban atas pertanyaan permasalahan kedua

mengenai bagaimana kontribusi perspektif feminis dalam kajian hubungan

internasional. Perspektif feminis telah memberi sudut pandang yang peka jender

dalam berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa; sosiologi; teologi; kesehatan; hukum

dan khususnya dalam penelitian ini kajian hubungan internasional. Tujuan

perspektif ini adalah memperlihatkan terdapatnya struktur dan keadaan yang

dibentuk oleh sistem patriarki untuk memposisikan perempuan secara subordinat.

Feminis berusaha untuk melawan dan mendekonstruksikan status quo yang ada

dalam masyakat patriarki, selalu berusaha untuk meredefinisikan keadaan alamiah

dari disiplin-disiplin ilmu tersebut. Cara yang diambil oleh feminis adalah dengan

menunjukkan dan menyadarkan adanya dimensi jender yang tak terlihat dalam

konstruksi semua ilmu pengetahuan. Untuk melakukannya perspektif ini

menggunakan pemikiran dan nilai-nilai feminis sebagai alat analisis dalam

pembentukan ilmu pengetahuan.

Khususnya dalam bidang kajian hubungan internasional, sudut pandang

utama yang digunakan perspektif feminis yaitu jender sebagai faktor yang

153
mempengaruhi semua interaksi, di dalam maupun luar negara. Seperti yang telah

digambarkan dalam analisa perspektif di atas, kebijakan luar negeri dan militer

mayoritas dilakukan oleh laki-laki sehingga analisa dari aktivitas yang ada selama

ini umumnya mengetengahkan laki-laki (negarawan, political man, dst.) dan

maskulinitas (kekerasan, persejataan, perang, dst.). Menunjukkan pentingnya

peran jender dalam interaksi dilakukan agar posisi perempuan sebagai kelompok

yang berada dalam setiap hierarki dari hubungan yang terjadi di dunia terlihat.

Karena selama ini ilmu hubungan internasional mendasarkan kajiannya pada

asumsi dan penjelasan yang kebanyakan merupakan aktivitas dan pengalaman

laki-laki. Tanpa dilakukannya hal ini maka ilmu yang dikaji oleh studi hubungan

internasional akan selalu merupakan parsial, tidak mengetahui keseluruhan

fenomena yang ada.

Perspektif-perspektif utama hubungan internasional mengkonsentrasikan

kajiannya terhadap aktivitas dari pemilik-pemilik power yang besar, seperti

negara, perusahaan multi nasional maupun pemilik kapital. Perspektif feminis di

sisi lain, menyuarakan pengalaman-pengalaman perempuan yang posisinya

termarjinalisasi dalam keadaan sosial dan politik, sehingga dapat memberikan

dimensi baru pemahaman dunia di semua bidang. Seperti argumen yang

dikemukakan oleh feminis Sarah Brown, teori-teori feminis tentang hubungan

internasional merupakan komitmen untuk memahami dunia dari perspektif yang

lemah dan tertakhlukkan. 303

303
Sarah Brown, “Feminism, International Theory and International Relations of Jender
Inequality” dalam Millenium: Journal of International Studies, Vol. 17, No. 3, Tahun 1988, hlm.
469.

154
Salah satu fenomena yang tidak mendapatkan kajian yang signifikan

walaupun terjadi secara meluas adalah perkosaan perempuan di wilayah konflik

seperti yang dibahas dalam penelitian di atas. Fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik dalam studi ilmu hubungan internasional berada dalam kajian

keamanan. Analisis feminis yang peka jender akan memberi kontribusi bagi

kajian keamanan dengan 2 cara yaitu (1) mengamati posisi perempuan dan

bagaimana keamanan atas mereka saat ini dilanggar, serta (2) dengan melihat

bagaimana filosofi patriakal di balik kekerasan terhadap perempuan terjadi dan

kaitannya dengan studi keamanan. 304

Cara pertama dari kontribusi ini memperlihatkan seolah-olah feminis

menuliskan seluruh cerita kemalangan perempuan dan penindasan yang diterima

mereka. Namun ini adalah analisa naratif untuk memperlihatkan posisi politik

perempuan yang cenderung tersubordinasi. 305 Analisa ini sering disebut sebagai

pendekatan empiris feminis. Dari pendekatan ini dapat dilihat bagaimana

keamanan perempuan dapat dilanggar baik secara langsung maupun tidak

langsung. Kekerasan fisik merupakan cara langsung melukai perempuan dan

melanggar keamanan mereka. Perkosaan adalah salah satu tindakan kekerasan

yang mayoritas dilakukan terhadap perempuan, baik di masa damai maupun

konflik. Seperti yang disebutkan oleh Susan Brownmiller, melalui perkosaan

perempuan berada pada kerapuhannya yang mendasar. 306

Cara kedua dari konstribusi perspektif feminis yang peka jender adalah

melihat bagaimana filosofi patriarkal mendasari tindak kekerasan terhadap


304
Terriff et. all., Op. Cit., hlm. 86.
305
Gerard Lerner, The Creation of Patriarchy, (Oxford: Oxford University Press, 1986), hlm. 220.
306
Brownmiller, Op. Cit., hlm. 14.

155
perempuan dan kaitannya dalam studi keamanan. Perkosaan secara mendasar

adalah penggunaan power laki-laki dan penunjukkan superioritasnya atas

perempuan. Melalui perkosaan subjek perempuan yang memiliki kemampuan

untuk memutuskan tindakannya berubah menjadi objek laki-laki. Sehingga

perkosaan adalah senjata laki-laki untuk melukai perempuan dan digunakan

secara sadar sebagai proses intimidasi. 307 Dalam studi keamanan, perkosaan

digunakan sebagai senjata dalam perang melawan negara lain dan melawan

perempuan secara umum. 308 Sayangnya persepsi umum menyatakan bahwa

perkosaan di wilayah konflik baru dianggap sebagai kajian keamanan

internasional bila pelakunya adalah tentara negara lawan. Tapi apapun

kewarganegaraan pelaku, perkosaan dapat dilihat sebagai tindakan kolektif yang

menyatakan dominasi dan maskulinitas, memposisikan perempuan sebagai objek

dan tidak memanusiakan perempuan sebagai makhluk yang berdulat atas dirinya.

Melalui perkosaan perempuan dibentuk setara dengan properti yang dimiliki

pihak pemenang perang.

Bagi feminis, mengacuhkan keadaan dunia dimana kekerasan

terjenderisasi berarti mengkaji fenomena dengan cara pandang patriarkis yang

seolah-olah memiliki standar objektif namun tidak melihat adanya ketimpangan

power dan ketidakamanan yang meluas. Selain melalui kekerasan fisik,

ketidakamanan perempuan dapat terjadi secara tidak langsung melalui berbagai

bidang kehidupan. Antara lain melalui pola perekonomian yang tidak adil.

Feminis melihat adanya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin (sexual


307
Ibid., hlm. 15.
308
Catharine MacKinnon, Toward a Feminist Theory of the State, (Cambridge: Harvard University
Press, 1989), hlm. 172

156
division of labour) yang mengakibatkan perempuan menjadi korban dari

ketidakamanan yang terstruktur secara ekonomi. Misalnya perempuan tidak

diterima dalam bidang pekerjaan tertentu baik karena alasan biologis maupun

jender, dan gaji perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Model perkembangan ekonomi yang ada dan pemikiran kapitalis yang

dilakukan untuk memaksimalkan kekayaan, di sisi lain juga tidak

mempertimbangkan kebutuhan dan peran perempuan dalam ekonomi dunia.

Karena hanya sedikit perempuan yang berada dalam posisi utama pembuat

kebijakan ekonomi dan politik maka tidak ada pendekatan yang memfokuskan

pada ketidakamanan sistemik yang diderita perempuan. Bahkan pemikiran Maxis

tidak mengkaji peran perempuan dalam rumah tangga yang memiliki nilai

ekonomi untuk menunjang keberlangsungan kehidupan. Karena itu perlu adanya

penyadaran bahwa antara lingkungan privat dan publik memiliki keterkaitan yang

saling menunjang. Sehingga timbul penghargaan yang sama penting bagi orang-

orang yang berkecimpung baik lingkungan publik maupun domestik.

Perempuan secara umum dipandang sebagai korban alami di berbagai

level kehidupan. Kebebasan mereka terbatasi secara politik dan budaya, dan

melalui argumen ini, semua tindakan yang tidak memanusiakan perempuan juga

merupakan tekanan terhadap mereka. Walaupun begitu level keamanan disetiap

masyarakat berbeda sehingga dampaknya juga berbeda-beda bagi perempuan di

dalamnya. Perempuan di negara maju dapat menaikkan isu mengenai pendidikan,

lingkungan maupun ekonomi. Sementara perempuan di negara berkembang

maupun dunia ketiga bisa jadi memfokuskan kajian keamanan pada keamanan

157
kesehatan, pangan dan air bersih. Namun kesamaan dari keadaan-keadaan ini

adalah perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan terhadap ketidakamanan.

Ketidakamanan perempuan ini tidak bisa dikaji oleh studi keamanan

tradisional yang berfokus pada negara. Menurut feminis Cynthia Enloe, negara

merupakan aktor yang turut menjalankan mekanisme yang terjenderisasi dalam

aktivitasnya mengenai institusi keamanan. 309 Lebih lanjut Enloe mempertanyakan

konsepsi keamanan nasional yang melihat ancaman dari luar negara yang

dilakukan melalui pelestarian dominasi laki-laki dalam militer, polisi, dan

pemerintahan. Karena posisi perempuan yang tidak terlihat, sebagai istri,

pembantu rumah tangga, maupun pekerja seks komersial, maka studi keamanan

tradisional tidak dapat memasukkan perempuan sebagai isu keamanan yang

signifikan.

Feminis secara umum mengajukan alternatifnya untuk kontribusi ilmu

hubungan internasional, terutama dalam kajian keamanan. Perspektif ini memberi

pandangan bahwa konsep tradisional yang memahami “perdamaian sebagai

absennya perang dan keamanan dibangun dengan memaksimalkan pertahanan”

merupakan terminologi yang kurang tepat karena tidak mengikutsertakan

pengalaman perempuan. Feminis menekankan pada adanya kekerasan struktural

yang hadir di setiap interaksi. Kekerasan struktural ini terdapat dalam segala

bidang kehidupan dan menempatkan perempuan di posisi yang lebih lebih.

Karena itu feminis Betty Reardon mengkonsepskan bahwa keamanan lahir dari

309
Enloe (1989), Op. Cit., hlm. 10.

158
keadilan sosial dan ekonomi yang menciptakan situasi yang lebih tahan terhadap

munculnya konflik. 310

Jika hierarki dan ketidakadilan struktur tidak disadari dan didekonstruksi

maka menurut feminis yang disuarakan oleh Ann Ticker, pola ketidakamanan

perempuan akan terus berlanjut. 311 Analisa ini juga menunjukkan bahwa usaha

untuk menghilangkan ketidakamanan di bidang militer, ekonomi, sosial dan

budaya tidak dapat berhasil tanpa adanya penyadaran bahwa terdapat interaksi

hierarki dalam masyarakat, termasuk interaksi jender. Setelah masalah ini disadari

maka barulah pola interaksi bertingkat ini diubah melalui pemberdayaan. Dengan

kata lain, penciptaan perdamaian fisik, ekonomi maupun sosial-budaya harus

dibangun dengan menghapuskan hubungan superordinasi-subordinasi, sehingga

keamanan sejati membutuhkan tidak hanya absennya perang, namun eliminasi

hubungan sosial yang tidak adil, termasuk relasi jender. 312

Melihat bahwa keadaan dunia sekarang dalam keadaan tidak aman, karena

itu kajian hubungan internasional, ilmu yang menganalisa ketidakamanan

internasional dan memberikan anjuran untuk mengatasinya, harus direvisi.

Caranya adalah mengkonsepkan ulang terminologi keamanan yang

multidimensional dan multilevel dengan mengikutsertakan pengalaman laki-laki

dan perempuan secara seimbang. Perspektif feminis melihat bahwa dikotomi antar

bidang justru akan mengaburkan pemahaman akan konflik yang sebenarnya

310
Betty Readon, “Feminist Concept of Peace and Security” dalam Paul Smoker, Ruth Davies dan
B. Munske (eds.), A Reader in Peace Studies, (Oxford: Pergamon Press, 1990), hlm. 138.
311
J. Ann Tickner, “Re-visioning Security” dalam Ken Booth dan Steve Smith (eds.),
International Relations Theory Today, (Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press,
1995), hlm. 175-195.
312
Tickner (1992), Op. Cit., hlm. 128.

159
berlangsung, tidak hanya di level negara tapi juga di dalam dan di luar negara.

Dengan menekankan adanya hubungan kekerasan di semua level kehidupan maka

kajian internasional yang peka jender akan mampu menganalisa hubungan

superordinasi-subordinasi dan mencari langkah-langkah untuk menghapuskannya.

Feminis Peggy McIntosh dalam bukunya yang berjudul Interactive Phases

of Curricular Re-Vision: A Feminist Perspective 313 menjabarkan 5 fase masuknya

jender dalam kajian ilmu. Walaupun tidak secara spesifik menjabarkan tentang

suatu bidang ilmu tertentu, pemikiran McIntosh dapat diaplikasikan untuk kajian

ilmu hubungan internasional. Fase pertama adalah keadaan dunia yang

dipresepsikan tanpa perempuan dan analisanya terbatas pada pemilik power pada

posisi yang tinggi misalnya interaksi pemimpin negara-negara besar maupun

pengusaha-pengusaha besar dunia. Fase kedua mulai menghadirkan kesadaran

bahwa perempuan tidak masuk dalam kajian ilmu. Beberapa perempuan kemudian

naik ke dalam kajian baik sebagai objek kajian maupun pengkaji. Namun keadaan

ini tidak memfokuskan pada pengalaman perempuan, tapi lebih menekankan

bahwa jika perempuan ingin masuk ke dalam kajian ilmu mereka harus bertindak

seperti pria di wilayah publik. Fase ketiga telah melihat absennya perempuan dan

menjadikan hal ini sebagai masalah karena kurikulum politik secara implisit

mengkonstruksikan ilmu pengetahuan tanpa memasukkan pengalaman

perempuan. Pada tahap ini perempuan lebih dilihat sebagai korban. Fase keempat

mulai mengkaji perempuan sebagai sebagai manusia yang utuh. Dimana

pengalaman dan peran perempuan turut membentuk dunia walaupun kontribusi

313
Peggy MacIntosh, Interactive Phases of Curricular Re-Vision: A Feminist Perspective,
(Massachusets: Wellesley College Center for Research on Women: 1983).

160
yang dilakukan mereka belum disadari sepenuhnya. Fase kelima merupakan

tingkatan akhir dari pemikiran McIntosh yang menunjukkan bahwa subjek yang

mempengaruhi kajian ilmu telah mengakomodasi semua individu secara adil

tanpa meninggalkan suku, ras, budaya, kelas dan jender tertentu.

Studi ilmu hubungan internasional yang terjadi sekarang menurut penulis

telah memasuki fase kedua dimana absennya perempuan dari kajian ilmu telah

disadari. Selain itu telah hadir pula perempuan-perempuan yang turut serta dalam

praktek hubungan internasional serta kajiannya, yang dianggap mulai masuk ke

ruang publik. Namun belum ada penekanan untuk memasukkan pengalaman

perempuan secara keseluruhan sebagai bagian penting yang membentuk interaksi

secara global dan belum timbul penghargaan terhadap peran domestik. Penelitian

ini merupakan upaya untuk menaikkan kajian ilmu hubungan internasional ke fase

ketiga yaitu mengangkat absennya perempuan sebagai masalah, terutama dalam

pembangunan keamanan individu perempuan tersebut.

Menurut Terry Terriff, Stuart Croft, Lucy James dan Patrick M. Morgan,

perspektif feminis memiliki dua prinsip utama dalam mengkaji keamanan

internasional yaitu inklusivitas dan holisme. 314 Inklusivitas berarti perlindungan

dan tujuan keamanan yang tidak diberikan hanya pada sebagian masyarakat saja,

namun secara keluruhan dan meliputi semua bidang, termasuk perempuan.

Holisme merupakan pendekatan yang menyeluruh dan dilakukan di semua level

dan melihat semua elemen yang kemudian dikaitkan dengan konsepsi dasar

keamanan manusia, tanpa meninggalkan pengalaman perempuan.

314
Readon, Op. Cit., hlm. 144-150.

161
Dari dua prinsip utama feminis dalam mengkaji keamanan di atas, akan

timbul pertanyaan, “Bila feminis melindungi secara inklusif dan holisme,

mengapa sepertinya feminis memfokuskan pada perempuan saja? Kalau begitu

apakah yang membuat keadaan tidak aman adalah laki-laki?” 315 Jawabannya

adalah dalam terminologi feminis yang mengkaji keamanan, ancaman datang

tidak berasal dari laki-laki secara kelompok. Ancaman berasal dari dinamika

power dan struktur yang didasarkan atas kekerasan dan ketidaksamaan yang

dipahami feminis dibentuk secara intrinsik melalui jender. Sementara yang

diamankan adalah individu manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dan

hubungan di antaranya yang membentuk negara serta interaksinya di dunia.

Keamanan diciptakan dengan mengintegrasikan wilayah publik dan privat serta

adanya penyadaran akan peran-peran laki-laki dan perempuan yang dibangun

secara sosial tanpa paksaan dan disertai penghormatan satu sama lain. Hal-hal

inilah yang membuat perspektif feminis melihat keamanan secara berbeda dengan

perspektif lain dan mampu memberi kontribusi terhadap kajian hubungan

internasional.

315
Terriff et. all., Op. Cit., hlm. 97-98.

162
BAB V
PENUTUP

Rape is not an accident of war, or an incidental adjunct to armed conflict. Its widespread
use in times of conflict reflects the unique terror it holds for women, the unique power it
gives the rapist over his victims, and the unique contempt it displays for it victims. The
use of rape in conflict reflects the inequalities women face in their everyday lives in
peacetime.
-Amnesty International- 316

We also wanted to know why it appeared so easy for the discipline (of International
Relations) to ignore women and issues and practices traditionally associated with
women.
-Marysia Zalewski- 317

V.1. Kesimpulan

Studi hubungan internasional merupakan bidang ilmu yang dianggap

kurang peka terhadap masalah-masalah perempuan. Walaupun telah ada isu-isu

perempuan yang berusaha dipecahkan melalui kerangka studi HI namun bidang

studi ini belum mampu mengakomodasi seluruh fenomena internasional kedalam

kajiannya. Salah satu dari fenomena internasional yang terjadi secara luas

(widespread) dan merupakan bagian signifikan dari setiap perang yang ada di

dunia adalah perkosaan perempuan di wilayah konflik. Oleh karena itu dalam

skripsi ini penulis mengajukan tiga pertanyaan penelitian yang berusaha dicari

solusinya. Pertanyaan pertama yaitu “Mengapa perspektif utama hubungan

internasional yang ada tidak mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah

konflik?” Pertanyaan kedua “Bagaimana perspektif feminis mengkaji fenomena

316
Amnesty International, “Rape In War” diakses dari
http://www.womenforwomen.org/rarrape.html pada tanggal 18 Januari 2006 pukul 10.05 WIB.
317
Marysia Zalewski, “Feminist in International Relations: What Impact on the Discipline?” dalam
Marianne Braig dan Sonja Wolte (eds.), Common Ground or Mutual Exclusion? Women
Movements and International Relations, (New York: Palgrave, 2002), hlm. 26.

163
perkosaan perempuan di wilayah konflik?” Dan pertanyaan ketiga yaitu

“Bagaimana kontribusi perspektif feminis dalam kajian ilmu hubungan

internasional?”

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan permasalahan di atas, penulis

menggunakan instrumen pengalaman-pengalaman perempuan yang menjadi

korban perkosaan di wilayah konflik. Dari pengalaman-pengalaman tersebut

dicari karakteristik-karakteristik yang menjabarkan mengenai fenomena

perkosaan perempuan di wilayah konflik. Karakteristik-karakteristik tersebut

adalah sebagai berikut:

▬ Terjadi terhadap perempuan sehingga merupakan kajian jender


▬ Mengkaji pengalaman perempuan yang dialami secara kolektif di
masa konflik
▬ Melihat adanya hubungan power yang tidak imbang antara
perempuan dan laki-laki baik di masa damai maupun di masa
konflik
▬ Perempuan berada dalam posisi tidak aman karena hubungan
power yang tidak imbang tersebut
▬ Perkosaan perempuan terjadi meluas saat berlangsungnya konflik
▬ Perkosaan perempuan di wilayah konflik perlu ditangani secara
serius menggunakan hukum internasional
▬ Perkosaan perempuan memiliki fungsi dalam konflik

Karakteristik-karakteristik dari fenomena perkosaan di wilayah konflik ini

digunakan sebagai instrumen yang menganalisa perspektif-perspektif utama studi

hubungan internasional yaitu perspektif realis, liberalis dan globalis. Instrumen

tersebut digunakan untuk melihat apakah perspektif-perspektif di atas dapat

mengakomodasi fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik ke dalam

164
kajian studinya. Karena setiap perspektif memiliki cara pandang yang berbeda-

beda dalam menganalisa suatu masalah maka sebelumnnya setiap perspektif

dijabarkan fokus kajiannya.

Fokus kajian perspektif realis adalah:


▬ Fokus terhadap negara sebagai aktor utama dalam HI yang rasional
▬ Negara mengatur manusia
▬ Terdapat hubungan power antar negara
▬ Negara memaksimalkan tindakannya untuk meraih kepentingan
nasional
▬ Tidak ada kekuasaan yang mengatur kedaulatan negara karena
keadaan dunia yang anarkis
▬ Konflik merupakan keadaan natural dunia sehingga patut dikaji
▬ Negara berada dalam posisi tidak aman terhadap ancaman negara
lain

Fokus kajian perspektif liberalis adalah:


▬ Setiap aktor sama penting dalam interaksi internasional
▬ Terdapat banyak isu dalam kajian hubungan internasional
▬ Ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar
▬ Negara mengatur hukum di wilayahnya
▬ Pentingnya partisipasi individu dalam politik
▬ Individu berada dalam posisi tidak aman terhadap tekanan negara
▬ Percaya bahwa hukum internasional dapat berlaku

Fokus kajian perspektif globalis adalah:


▬ Ekonomi mempengaruhi bidang sosial-politik-hukum secara
internasional
▬ Aktor utama adalah pemilik kapital
▬ Setiap interaksi di dunia memiliki struktur
▬ Terdapat mekanisme dominasi pihak miskin oleh pihak kaya

165
▬ Pihak miskin berada dalam posisi tidak aman terhadap eksploitasi
pihak kaya
▬ Kapitalisme akan mencapai titik jenuh sehingga untuk
mencegahnya diperlukan ekspansi kapital
▬ Struktur kelas dapat dihilangkan melalui revolusi di bidang sosial-
ekonomi-hukum

Dari analisa matriks yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa alasan

mengapa perspektif-perspektif utama hubungan internasional, yaitu realis;

liberalis dan globalis tidak mengkaji fenomena perkosaan perempuan di wilayah

konflik adalah karena perspektif utama tersebut tidak mampu mengakomodir

fenomena itu sebagai bagian dari kajiannya. Di bawah ini adalah alasan-alasan

yang menjawab pertanyaan penelitian pertama mengapa fenomena perkosaan

perempuan di wilayah konflik tidak dapat dikaji menggunakan perspektif utama

hubungan internasional yang ada:

Perspektif realis tidak dapat mengkaji fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik karena fokusnya hanya pada negara dan tidak melihat

pengalaman individu dalam negara. Realis melihat bahwa perkosaan adalah isu

antar individu bukan dalam tataran kajian hubungan internasional (isu privat dan

bukan publik). Perspektif ini juga hanya melihat adanya hubungan power antar

negara namun tidak dapat mengamati adanya hubungan power antara laki-laki dan

perempuan. Realis memandang konflik sebagai bentuk hubungan antar negara

tanpa melihat dampaknya pada individu yang terlibat sehingga perkosaan di

wilayah konflik dianggap bagian tak signifikan dan tidak memiliki fungsi dalam

konflik. Karena menurut realis dalam interaksi hubungan internasional di dunia,

166
negaralah yang dianggap berada dalam posisi tidak aman terhadap negara lain,

tidak spesifik membahas mengenai posisi perempuan dalam interaksi tersebut.

Perspektif ini juga tidak mempercayai bahwa hukum internasional dapat diberlaku

maka realis juga tidak melihat pentingnya kasus perkosaan untuk ditangani oleh

hukum tersebut.

Sementara itu perspektif liberalis tidak dapat mengkaji fenomena

perkosaan perempuan di wilayah konflik karena fokusnya lebih kepada membahas

isu-isu ekonomi, politik dan hukum sehingga kurang dapat mengkaji fenomena

konflik dan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Kurangnya kajian konflik

membuat liberalis tidak mampu melihat fungsi perkosaan perempuan di wilayah

konflik. Perspektif ini juga tidak melihat adanya pengaruh power yang

membentuk hubungan internasional sehingga tidak dapat melihat adanya

hubungan power antara laki-laki dan perempuan. Walaupun liberalis mampu

mengakomodasi kajian jender namun tidak menyeluruh karena fokusnya hanya

pada kebutuhan persamaan hak, tidak mengakomodasi posisi perempuan yang

tidak aman secara inheren.

Perspektif globalis di sisi lain, tidak dapat mengkaji fenomena perkosaan

perempuan di wilayah konflik karena fokus utamanya pada kajian ekonomi dan

tidak mengkaji keadaan di saat konflik sehingga tidak mampu melihat fungsi

perkosaan dalam konflik. Objek kajian globalis adalah kelompok-kelompok

ekonomi yang perilakunya terpola, bukan pada keadaan individu, termasuk

perempuan. Globalis tidak mengkaji jender secara spesifik karena hanya melihat

dari segi ekonomi sehingga tidak mampu memahami ketidakamanan yang dialami

167
perempuan lebih dari masalah ekonomi semata. Menurut globalis, hukum dapat

netral tanpa dipengaruhi kepemilikan kapital sehingga hukum dapat digunakan

untuk menyelesaikan kasus-kasus yang ada di dunia, termasuk perkosaan

perempuan di wilayah konflik.

Alasan mengapa perspektif realis, liberalis dan globalis dalam

mengakomodasi fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik sebagai

bagian dari studi HI adalah karena ketidakmampuan perspektif utama HI yang ada

membuktikan hipotesis kerja yang dicantumkan di awal penelitian. Oleh karena

itu untuk dapat mengakomodir fenomena perkosaan perempuan di wilayah

konflik diperlukan alat analisis yang peka terhadap jender dan mampu

memasukkan pengalaman perempuan sebagai salah satu pertimbangan dalam

mengkaji suatu fenomena.

Perspektif yang diajukan untuk menganalisa fenomena perkosaan

perempuan di wilayah konflik adalah perspektif feminis. Perspektif ini mengkaji

masalah jender yang turut membentuk tata interaksi seluruh hubungan di dunia.

Feminis mengkaji pengalaman individu perempuan karena feminis percaya bahwa

terdapat hubungan hierarkis antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh

kepemilikan power yang tidak imbang. Dimana perempuan memiliki power yang

lebih sedikit melalui bentukan sosial, ekonomi, politik, budaya dan keamanan

sehingga mereka kurang berdaya dalam melakukan pilihan. Oleh karena itu maka

perempuan rentan terhadap penindasan di segala bidang baik di masa perang

maupun damai.

168
Feminis yang secara spesifik mengkaji tentang perkosaan perempuan

adalah Cynthia Enloe dan Susan Brownmiller. Keduanya menyatakan bahwa

perkosaan adalah suatu tindakan kekerasan yang mayoritas ditujukan terhadap

perempuan sebagai aksi tradisional pemaksaan power. Menurut pendapat

keduanya, perkosaan perempuan terjadi di masa damai dan konflik. Namun

karena menjalankan fungsi tertentu, antara lain sebagai alat teror dan pampasan

perang dari tubuh perempuan yang merupakan medan perang simbolik, maka

perkosaan di wilayah konflik tidak terjadi secara acak namun mengikuti suatu

pola internasional maskulinisasi laki-laki dan feminisasi perempuan. Oleh karena

itu maka diperlukan penanganan serius atas kasus perkosaan perempuan melalui

hukum nasional dan internasional serta tata sosial masyarakat secara global.

Sehingga jika dirangkum, fokus kajian perspektif feminis adalah:


▬ Merupakan kajian yang peka jender
▬ Mengikutsertakan pengalaman perempuan yang posisinya
tersubordinasi
▬ Perempuan memiliki power yang lebih sedikit daripada laki-laki
▬ Perempuan berada dalam posisi yang tidak aman terhadap
penindasan di segala bidang
▬ Penindasan perempuan terjadi di masa damai maupun perang
▬ Fenomena perkosaan perempuan perlu ditangani secara serius
melalui hukum dan tata sosial masyarakat secara global
▬ Fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik menjalankan
fungsi tersendiri dalam perang

Dari analisa matriks yang dilakukan penulis ditemukan terlihat bahwa

perspektif feminis mampu mengakomodir fenomena perkosaan perempuan di

wilayah konflik dan mengangkatnya sebagai bagian dari kajian hubungan

169
internasional dengan cara pandangnya terhadap isu. Hal ini menjawab pertanyaan

permasalahan kedua mengenai bagaimana perspektif feminis mengkaji fenomena

perkosaan perempuan di wilayah konflik.

Kontribusi perspektif feminis dalam kajian HI secara umum terletak pada

upayanya dalam mengajukan alternatif cara pandang, khususnya dalam kajian

keamanan. Perspektif ini memberi pandangan bahwa konsep tradisional yang

menyatakan perdamaian adalah absennya perang dan keamanan dibangun dengan

memaksimalkan pertahanan, merupakan terminologi yang tidak tepat karena tidak

mengikutsertakan pengalaman perempuan.

Feminis menekankan pada adanya kekerasan struktural yang hadir dalam

setiap interaksi namun tidak terlihat oleh kajian HI yang malestream sehingga

tidak dimasukkan ke dalam terminologi keamanan. Kekerasan struktural ini

terdapat dalam segala bidang kehidupan dan menempatkan perempuan di posisi

yang lebih lemah. Perempuan memiliki power lebih sedikit dibandingkan dengan

laki-laki dan dikondisikan terus-menerus seperti itu jika kekerasan struktural tidak

disadari dan diubah.

Oleh karena dalam penjabaran dijelaskan bahwa perspektif-perspektif

utama kajian HI cenderung malestream sehingga dibutuhkan perspektif yang lebih

peka jender dalam mengkaji isu-isu internasional, yaitu perspektif feminis. Dan

dalam penjabarannya terlihat bagaimana perspektif ini mampu mengkaji

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik serta memberi kontribusi

terhadap kajian HI secara lebih luas. Maka dapat dikatakan bahwa hipotesa

penelitian yang dituliskan di awal penelitian terbukti.

170
V.2. Saran

Diperlukan upaya-upaya lebih lanjut untuk mengadvokasi isu perempuan

dalam studi hubungan internasional tidak hanya dalam bidang keamanan, namun

juga politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karena itu penulis

menyarankan 3 agenda utama dalam melakukan advokasi agar suara perempuan

dapat turut diikutsertakan dalam kajian ilmu HI. Yaitu:

¾ Menimbulkan kesadaran bahwa terdapat ketidakadilan jender yang

tidak mengikutsertakan pengalaman-pengalaman perempuan

sebagai pelaku interaksi intenasional.

¾ Melakukan dekonstruksi pemahaman mengenai signifikansi isu.

Secara spesifik dekonstruksi pemikiran mainstream dan

malestream yang ada dalam kajian hubungan internasional harus

dilakukan agar mampu mengikutsertakan isu dan pemikiran

perempuan yang selama ini terpinggirkan.

¾ Melakukan pemberdayaan. Pemberdayaan adalah memberi daya

kepada orang-orang yang selama ini tidak memilikinya untuk

mampu menentukan dan menjalankan pilihan, menyuarakan

pendapat serta memberdayakan orang lain (give power to

empower).

Jika dibawa kedalam kajian hubungan internasional khususnya keamanan,

penciptaan perdamaian fisik, ekonomi maupun sosial-budaya harus dibangun

dengan menghapuskan hubungan superordinasi-subordinasi, sehingga keamanan

171
sejati membutuhkan tidak hanya absennya perang, namun eliminasi hubungan

sosial yang tidak adil, termasuk relasi jender.

Konsepsi keamanan yang ada selama ini kurang tepat karena tidak

mengikutsertakan pengalaman perempuan harus direvisi. Hal tersebut dilakukan

dengan mengkonsepkan ulang terminologi keamanan yang multidimensional dan

multilevel dengan mengikutsertakan pengalaman laki-laki dan perempuan secara

seimbang. Kajian-kajian hubungan internasional harus dapat menghilangkan

dikotomi publik-privat yang justru akan mengaburkan pemahaman dari konflik

yang sebenarnya berlangsung, tidak hanya di level negara tapi juga di dalam dan

di luar negara. Dengan menekankan adanya hubungan kekerasan di semua level

kehidupan maka kajian internasional yang peka jender akan mampu menganalisa

hubungan superordinasi-subordinasi dan mencari langkah-langkah untuk

menghapuskannya melalui pemberdayaan.

Sebagai penutup dari bab ini, penulis akan memberi saran-saran usaha

penyadaran, dekonstruksi dan pemberdayaan yang diterapkan ke dalam isu

perkosaan perempuan di wilayah konflik. Untuk dapat menangani fenomena

internasional perkosaan perempuan maka langkah-langkah pragmatis yang perlu

dilakukan adalah:

1. Memberikan penyadaran bahwa perkosaan perempuan adalah suatu

fenomena yang terjadi luas di seluruh konflik di dunia melalui tulisan-

tulisan baik di media massa, jurnal hubungan internasional maupun dalam

kurikulum pengajaran isu-isu keamanan populer

172
2. Memberikan penyadaran bahwa perkosaan perempuan merupakan

fenomena yang tidak terjadi secara acak melainkan menjalankan fungsi

tertentu di dalam konflik sehingga harus ditangani secara serius

menggunakan hukum internasional tanpa memandang dari sisi jumlah

korban, namun sebagai kejahatan yang menargetkan perempuan secara

spesifik

3. Tindakan penyadaran dilakukan melalui advokasi isu baik secara

perorangan melalui tulisannya di media massa maupun buku; berkelompok

melalui pengajuan petisi untuk menaikkan isu penanganan perkosaan di

tingkat kebijakan negara maupun supranegara; dan secara organisasi

melalui tindakan organisasi-organisasi perempuan dalam menyoroti

fenomena perkosaan perempuan di wilayah konflik yang membawanya ke

tataran internasional. Tindakan penyadaran tidak terbatas pada hal-hal

tersebut namun dapat dikembangkan lebih luas lagi

4. Melakukan dekonstruksi isu dengan memasukkan fenomena perkosaan

perempuan di wilayah konflik sebagai salah satu kajian keamanan melalui

kurikulum pengajaran isu-isu hubungan internasional, tulisan di dalam

jurnal maupun terbitan buku-buku ilmiah

5. Melakukan dekonstruksi isu untuk memperlihatkan bahwa fenomena

perkosaan perempuan bukanlah kejahatan seksual yang berlangsung di

wilayah privat namuan perkosaan perempuan merupakan kejahatan

kekerasan menargetkan jender tertentu secara khusus dan merupakan pola

yang mendasari kekerasan perempuan di wilayah konflik. Penyadaran ini

173
harus dilakukan baik di masa damai maupun perang, dengan pemerintahan

negara dan organisasi internasional melalui pelaksanaan hukum secara

tegas

6. Melakukan pemberdayaan perempuan dalam segi pemberian pendidikan,

penghapusan stereotipe perempuan, pemberian akses terhadap pekerjaan,

ilmu pengetahuan dan keamanan. Pemberdayaan perempuan ini akan

secara langsung membuat perempuan memiliki kesempatan lebih besar

untuk menyadari haknya dan meminta posisinya lebih dihargai secara

sosial, politik, ekonomi, hukum, keamanan dan pemerintahan

7. Melakukan pemberdayaan dan penguatan bagi perempuan korban

perkosaan baik yang terjadi di masa damai maupun konflik agar dapat

lepas dari trauma yang dideritanya. Sebab perempuan-perempuan ini

kemudian mampu memberikan pemberdayaan dan penguatan terhadap

perempuan-perempuan lainnya, baik sebagai panutan (roles) maupun

sebagai aktivis yang mampu turun ke lapangan

8. Pemberdayaan perempuan dapat dilakukan secara perorangan melalui

pendekatan dan pemberdayaan personal, serta tulisan-tulisan; sekelompok

orang melalui pemberian bantuan kolektif; organisasi melalui

kebijakannya untuk melakukan pendidikan, pemberdayaan dan advokasi

baik di tingkat lokal wilayah, nasional maupun internasional; dan negara

melalui kebijakannya yang lebih memperhatikan perempuan

(mainstreaming gender)

174
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Aafjes, Astrid. 1998. Gender Based Violence: The Hidden War Crime.
(Washington DC: Women, Law & International).

Amnesty International. 1995. Human Rights are Women’s Rights. (London: AI).

Amnesty International. 2004. Rwanda: Marked for Death, Rape Survivors Living
with HIV/AIDS in Rwanda. (London: AI).

Amnesty Internastional. 2004. Sudan Darfur: Rape as a Weapon of War, Sexual


Violence and Its Consequences. (London: AI).

Balaam, David N. dan Michael Veseth. 1996. Introduction to International


Political Economy. (New Jersey: Prentice Hall).

Bassiouni, Cherif dan Marcia McCormick. 1996. Sexual Violence: An Invinsible


Weapon of War in Yugoslavia. (Geneva: International Human Rights Law
Institute).

Beauvoir, Simone de. 1952. The Second Sex. (New York: Knopf Publishing).

Benjamin, Judy dan Lynn Murchison. 2002. Gender Based Violence: Care &
Protection of Children in Emergencies, A Field Guide. (Liberia: Save the
Children).

Booth, Ken dan Steve Smith (eds.). 1995. International Relations Theory Today.
(Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press).

Braig, Marianne dan Sonja Wolte (eds.). 2002. Common Ground or Mutual
Exclusion? Women Movements and International Relations. (New York:
Palgrave).

Brownmiller, Susan. 1975. Against Our Will: Men, Women and Rape. (New York:
Pinguin Books).

Carr, Edward Hallett. 1962. The Twenty Years Crisis, 1919-1939. (London:
Macmillan and Co.).

Clausewitz, Carl von. 1976. On War. (New Jersey: Princeton University Press).

Coser, Lewis A. 1956. The Function of Social Conflict, (New York: Free Press).

Dougherty, James E. dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr. 1996. Contending Theories of

175
International Relations: A Comprehensive Survey, 4th Edition. (New York:
Longman).

Elhstain, Jean Bethke. 1981. Public Man, Private Woman: Women in Social and
Political Thought. (Princeton: Princeton University Press)

Elhstain, Jean Bethke. 1987. Women and War. (New York: Basic Books).

Enloe, Cynthia. 1989. Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of
International Relations. (London: Pandora Press)

Enloe, Cynthia. 1993. The Morning After: Sexual Politics at the End of the Cold
War. (Berkeley: University of California Press).

Engels, Friedich. 1972. The Origins of Family, Private Property and the State.
(London: Lawrence & Wishart).

Eatwell, John, Murray Milgate dan Peter Newman (eds.). 1989. The New
Palgrave: Invisible Hand. (New York: W.W. Norton).

Giller, Jane E., et all. 1991. Uganda: War, Women and Rape. (London: Lancet).

Hassan, Mohamed Jahwar, Stephen Leong dan Vincent Lim (eds.). 2002. Asia
Pacific Security Challenges and Opportunities in the 21st Century.
(Malaysia: ISIS).

Heroepoetri, Arimbi dan R. Valentina. 2004. Percakapan Tentang Feminis VS


Neoliberalisme. (Jakarta: Debtwatch Indonesia).

Hobbes, Thomas. 1974. Leviathan. (New York: Collier Macmillan).

Holsti , K.J. 1992. International Politics: A Framework for Analysis, 6th Edition.
(New Jersey: Prentice-Hall,).

Human Rights Watch. 1999. Leave No One to Tell Story: Genoside in Rwanda.
(New York: Human Rights Watch).

Human Rights Watch. 2004. Struggling to Survive: Barriers to Justice for Rape
Victims in Rwanda. (New York: Human Rights Watch).

Humm, Maggie. Terjemahan Mundi Rahayu. 2002. Ensiklopedia Feminis.


(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru).

Kelman, Herbert C. (ed.). 1965. International Behavior: A Social-Psychological


Analysis. (New York: Holt, Reinhart and Winston).

176
Kuhn, Thomas. 1996. Structure of Scientific Revolutions. (Chicago: University of
Chicago Press).

Light, Margot dan John Groom (eds.). 1985. International Relations: A Handbook
of Current Theory, (London: Pinter).

Locke, John, et. all. 1962. Social Contract. (London: Oxford University Press).

Lowi, Theodore J. 1969. The End of Liberalism: Ideology, Policy, and the Crisis
of Public Authority. (New York: Norton).

Machiavelli, Niccolo. 1940. The Prince and the Discourses. (New York: Random
House).

MacKinnon, Catharine. 1989. Toward a Feminist Theory of the State. (Cambrige:


Harvard University Press).

MacIntosh, Peggy. 1983. Interactive Phases of Curricular Re-Vision: A Feminist


Perspective. (Massachusets: Wellesley College Center for Research on
Women).

McClintock, Michael. 1985. The American Connection. (London: Zed Books).

Meintjes, S., A. Pillay dan M. Turshen. 2001. The Aftermath: Women in Post-
Conflict Transformation. (London: Zed Books).

Mies, Maria. 1986. Patriarchy and Accumulation on a World Scale. (London: Zed
Books).

Mladjenovic, Lepa dan Donna M. Hughes. 1999. Frontline Feminisms. (London:


Garland Press).

Moser, Caroline dan Fiona Clark (eds.). 2001. Victims, Perpetrators or Actors?
Gender, Armed Conflict and Political Violence. (London: Zed Books).

Morgenthau, Hans. 1966. Politics Among Nations: The Struggle of Power and
Peace, 4th ed.. (New York: Alfred A. Knopf).

Nieburg, H. L. 1969. Political Violence, (New York: St. Martin Press).

Nye, Joseph S. Jr. 1997. Understanding International Conflicts: An Introduction


to Theory and History, 2nd Edition. (New York: Longman).

Papp, Daniel S. 1997. Contemporary International Relations: Frameworks for


Understanding, 5th Edition. (Boston: Allyn and Bacon).

177
Peters, Julie dan Andrea Wollper (eds.). 1995. Women’s Rights, Human Rights.
(New York: Routledge).

Peterson, V. Spike dan Anne Sisson Runyan. 2000. Global Gender Issues.
(Colorado: Westview Press).

Reiss, Hans (ed.). 1991. Immanuel Kant: Political Writings. (Cambridge:


Cambridge University Press).

Ricardo, David. 1971. The Principles of Political Economy and Taxation.


(Harmondsworth: Penguin Books).

Sasson, Jean P. 1991. The Rape of Kuwait: The True Story of Iraqi Atrocities
Against Civilian Population. (London: Knightsbridge Pub. Co).

Seifert, Ruth. 1992. War and Rape: A Preliminary Analysis. (Prague: Women’s
International League for Peace and Freedom).

Shute, Stephen dan Susan Hurley. 1993. On Human Right: The Oxford Amnesty
Lectures. (Oxford: Oxford University Press).

Sivard, Robert L. 1991. World Military and Social Expenditures 1991, 14th
edition. (Washington D.C.: World Priorities Inc.).

Smith, Adam. 1910. An Inquiry into the Nature and Cause of Wealth of Nations.
(London: JM. Dent).

Smoker, Paul, Ruth Davies dan B. Munske (eds.). 1990. A Reader in Peace
Studies, (Oxford: Pergamon Press).

Stanford, Victoria. 2003. Buried Secret: Truth and Human Rights in Guatemala.
(New York: Palgrave Macmillan).

Steans, Jill. 1998. Gender and International Relations: An Introduction.


(Cambridge: Polity Press).

Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. 2001. International Relations: Perspectives and
Themes. (England: Longman).

Stiglmayer, Alexandra (ed.). 1994. Mass Rape: The War Against Women in
Bosnia-Herzegovina. (London: University of Nebraska Press).

Subono, Nur Iman (ed.). 2000. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan.
(Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan).

Sylvester, Christine. 2002. Feminist International Relations: An Unfinished

178
Journey. (Cambridge: Cambridge Studies in International Relations).

Taryadi, Alfons. Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper.


(Jakarta: PT. Gramedia, 1989).

Terriff, Terry, Stuart Croft, Lucy James dan Patrick M. Morgan. 1999. Security
Studies Today. (Cambridge: Polity Press).

Thucydides. 1982. History of the Peloponnesian War. (New York: Penguin


Books).

Tickner, J. Ann. 1992. Gender in International Relations: Feminist Perspectives


on Achieving Global Security. (New York: Columbia University Press).

Tomaselli, Sylvana dan Roy Porter. 1986. Rape. (London: Zed Books).

Tong, Rosemarie Putnam. 1989. Feminist Thought: A Comprehensive


Introduction, (London: Unwin Hyman).

Tuchman, Barbara. 1972. The Guns of August. (New York: Dell).

Twagiramariya, Clotilde dan Meredith Turshen (eds.). 1998. What Women Do in


Wartime: Gender and Conflict in Africa, (New York: Zed Books).

United Nations High Commissioner for Refugees. 1986. Services for Vietnamese
Refugees Who Have Suffered from Violence at Sea: An Evaluation of the
Project in Thailand and Malaysia. (Genewa: UNHCR).

United Nations. 2001. Beijing Declaration and Platform for Action with the
Beijing+5 Political Declaration and Outcome Document. (New York:
Department of Public Information United Nations).

United Nations. 2005. Women & Elections: Guide to Promoting the Participation
of Women in Elections. (New York: United Nations Department of Public
Information).

United Nations General Assembly. 2001. Review of Reports, Studies and Other
Documentation for the Preparatory Committee and the World Conference.
(New York: Department of Public Information United Nations).

United Nations High Commissioner for Human Rights. 2005. Access to Justice
for
Victims of Sexual Violence. (New York: Department of Public Information
United Nations).

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 1999. School for Rape: Perkosaan

179
Sistematis di Burma. (Jakarta: YLBHI).
Yentriyani, Andy. 2004. Politik Perdagangan Perempuan, (Yogyakarta: Galang
Press).

Vasquez, John (ed.). 1990. Classics of International Relations, 2nd Edition. (New
Jersey: Prentice Hall).

Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. 1993. International Relations Theory:


Realism, Pluralism, Globalism, 2nd Edition. (New York: Macmillan).

Waltz, Kenneth. 1979. Theory of International Politics, (Reading, MA: Addison-


Wesley).

Winters, Rebecca. 1999. Buibere: The Voice of East Timorese Women. (Darwin:
East Timor International Support Center).

Artikel, Jurnal, Terbitan dan Surat Kabar


“Myanmar Backgrounder: Ethnic Minority Politics”. Asia Report. No. 52. Mei
2003.

“The Military Has a Lot to Learn about Women”. New York Times. 1 Agustus
1992.

“Report on the Situation of Human Rights in the Territory of the Former


Yugoslavia”. Geneva, Switzerland: United Nations; 1993. United Nations
document E/CN.4/1993/50.

Ani Soetjipto. “Perempuan dan Politik Internasional”. Artikel yang akan


diterbitkan.

Barbara Bedont dan Katherine Hall Martinez. “Ending Impunity for Gender
Crimes under the International Criminal Court”. The Brown Journal of
World Affairs. Vol. VI. Issue 65-85. Tahun 1999.

Catherine Nolin Hanlon dan Finola Shankar. “Gendered Spaces of Terror and
Assault: The Testimonio of Remhi and the Commission for Historical
Clarification in Guatemala”. Gender, Place and Culture: A Journal of
Feminist Geography. Vol. 7. No. 3. Tahun 2000.

Christine Chinkin. “Rape and Sexual Abuse of Women in International Law”.


Journal of International Law. Vol. 5. No. 2. Tahun 1994.

Chris Hedges. “Foreign Maids in Kuwait Fleeing by the Hundreds”. New York
Times. 24 Februari 1993.

180
David Mitrany. “The Functional Approach to World Organization”. International
Affairs. Vol. 24. No. 3. Juli 1948.

Graham T. Allison. “Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis”. American
Political Science Review. Vol. 63. September 1969.

J. Ann Tickner. “Why Women Can’t Run the World: International Politics
According to Francis Fukuyama”. International Studies Review. Vol. 1.
No. 3. Tahun 1999.

Jennifer Harbury. “War Crimes: Women Begin to Speak, The Rape of Indigenous
Women in the 1970’s-1980’s Guatemalan Civil War”. Cerigua Weekly Briefs.
No. 48. 11 Desember 1997.

John F. Burns. “A Serbian Fighter’s Trail of Brutality”. New York Times. 27


November 1992.

Julie A. Hastings. “Silencing State-Sponsored Rape: In and Beyond a


Transnational Guatemala Community”. Violence Against Women. Vol. 8.
No. 10. Tahun 2002.

Michael Doyle. “Liberalism and World Politics”. American Political Science


Review. Vol. 80. No. 4. Tahun 1986.

N. Yuva-Davis. “Front and Rear: The Sexual Division of Labour in the Israeli
Army”. Feminist Studies. Vol. 11. No. 3. Tahun 1985.

Raymond Bonner. “Report from Kuwait: A Women’s Place”. The New Yorker. 16
November 1992.

Sandra Harding. “Is the Equality Opportunity Principal Democratic?”. The


Philosopical Forum. Vol. 10. No. 2/4. Winter/Summer. Tahun 1978-1979.

Sarah Brown. “Feminism, International Theory and International Relations of


Gender Inequality”. Millenium: Journal of International Studies. Vol. 17.
No. 3. Tahun 1988.

Shana Swiss dan Joan A. Giller. “Rape as a Crime of War – A Medical


Perspective”. Journal of the American Medical Association. 4 Agustus
1993. Vol. 270. No. 5.

Sian Powell. “East Timor’s Children of the Enemy”. The Weekend Australian.
Edisi 1. 10 Maret 2001.

Theotonio Dos Santos. “The Structure of Dependence”. American Economic


Review. Vol. 60. Tahun 1970..

181
Yosef Lapid. “The Third Debate: On the Prospects of International Theory in
Post-Positivist Era”. International Studies Quarterly. Vol. 33. No. 3.
Tahun 1989.

Website
“Darfur Conflict”. http://en.wikipedia.org/wiki/Darfur_conflict. 1 Mei 2006.
22.25 WIB.

“DRC: Fighter Commit Atrocities Against Women and Also Men”.


http://www.irinnews.org. 15 Februari 2006. 18.00 WIB.

“Eyewitness: Sierra Leone’s Rape Ordeal”.


http://newswww.bbc.net.uk/1/hi/world/africa/2665103.stm. 1 Mei 2006.
23.45 WIB.

“Geneva Convention”. http://www.globaliissuesgroup.com/geneva/texts.html. 20


November 2005. 10.15 WIB.

“Indepth: Gender-Based Violence”.


http://www.choike.org/nuevo_eng/informes/3982.html. 10 Juli 2006.
18.05 WIB.

“International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia”.


http://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Tribunal_for_the_For
mer_Yugoslavia. 18 Januari 2006. 13.25 WIB.

“Kosovo”. http://en.wikipedia.org/wiki/Kosovo. 1 Mei 2006. 21.05 WIB.

“Liberia: War Leaves No Respect for Age in Voinjama, Northren Liberia”.


http://www.irinnews.org. 15 Februari 2006. 18.05 WIB.

“Myanmar: Imprisonment of Two Rape Victims”.


http://www.omct.org/base.cfm?cfid=1433037&cftoken=910393&page=art
icle&consol=close&rows=3&num=4813&kwrd=EQL. 1 Mei 2006. 23.05
WIB.

“Nanking Massacre”. http://en.wikipedia.org/wiki/Nanking_Massacre. 12 April


2006. 23.05 WIB.

“Rape”. http://en.wikipedia.org/wiki/Rape. 12 April 2006. 09.15 WIB.

“Sierra Leone: Getting Away with Murder, Mutilation, Rape, New Testimony
from Sierra Leone”. http://www.hrw.org/reports/1999/sierra/. 1 Mei 2006.
22.15 WIB.

182
“Sexual Violence within the Sierra Leone Conflict”.
http://www.hrw.org/backgrounder/africa/sl-bck0226.htm. 27 Desember
2005. 15.55 WIB.

“Spotlight: Speaking Out Against Global Violence”.


http://www.feminist.com/violence/spot/. 10 Juli 2006. 17.15 WIB.

“Statuta ICTY Artikel 5”. http://www.un.org/icty/basic/statut/stat2000_con.htm. 2


Januari 2006. 17.10 WIB.

“Systematic and Widespread Rape in Conflict”. http://womenwarpeace.org. 15


Februari 2006. 17.35 WIB.

“Uganda Conflict Worse than Iraq”.


http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3256929.stm. 1 Mei 2006. 22.30 WIB.

“Women’s Lives and Bodies – Unrecognized Casualties of War”.


http://news.amnesty.org/index/ENGACT770952004. 27 Desember 2005.
10. 15 WIB.

“Women War Peace”.


http://www.unifem.org/filesconfirmed/149/212_introduction.pdf. 20
November 2005. 12.10 WIB.

Amnesty International. “Rape as a Weapon of War in Darfur”.


http://web.amnesty.org/. 15 Februari 2006. 15.15 WIB.

Amnesty International. “Rape In War”.


http://www.womenforwomen.org/rarrape.html. 18 Januari 2006. 10.05
WIB.

David J. Scheffer. “Rape as a War Crime”.


http://www.converge.org.nz/pma/arape.htm. 20 November 2005. 10.05
WIB.

Denise Lifton. “Northen Uganda Brutal War: Murder, Rape, Abductions and
Mutilations in the Name of Ten Commandments”.
http://www.worldhunger.org/articles/africa/lifton.htm. 1 Mei 2006. 22.45
WIB.

Gordana Igric. “Kosovo Rape Victims Suffer Twice”.


http://www.motherjones.com/news/special_reports/total_coverage/kosovo/
victims.html. 1 Mei 2006. 21.15 WIB.

Jackie Martens. “Congo Rape Victims Seek Solace”.

183
http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/3426273.stm. 1 Mei 2006. 23.30
WIB.

Jan Goodwin. “Silence=Rape”.


http://www.thenation.com/doc/20040308/goodwin. 1 Mei 2006. 01.05
WIB.

Jennifer Herbury. “War Crimes: Women Begin to Speak, The Rape of Indigenous
Women in the 1970s-1980s Guatemala Civil War”.
http://www.libertadlatina.org/LatAm_Guatemala_Indigenous_Rape_In_Ci
vil_War.htm. 1 Mei 2006. 22.55 WIB.

Jillian M. Weise. “Rape as a Strategy of War: The Sexual Assault of Kosovar


Albanian Women in 1999”.
http://garnet.acns.fsu.edu/~whmoore/JillianWeise.pdf. 1 Mei 2006. 23.10
WIB.

Joanne Mariner. “The War Crime of Rape in Darfur: The Least Condemned War
Crime”. http://www.cnn.com/2004/LAW/10/27/rape.darfur/. 18 Januari
2006. 13.15 WIB.

Ruf Rebbels. “Human Rights Abuses Committed in Sierra Leone”.


http://www.hrw.org/reports/1999/sierra/SIERLE99-03.htm#P787_134882.
1 Mei 2006. 21.30 WIB

Tiare Rath. “In War-Riddled Congo, Militias Rape with Impunity”.


http://www.feminist.com/news/news192.html. 12 April 2005. 11.11 WIB.

Vesna Kesic. “The Status of Rape as War Crime in International Law: Changes
Introduced After War in Yugoslavia and Rwanda”. http://www.seeline-
project.net/status_rape.htm. 2 Januari 2006. 18.10 WIB.

Yayori Matsui. “Women and Arm Conflict: Foreign Military Bases as a Source of
Violence against Women”.
http://www.aworc.org/bpfa/gov/escap/vaww.html. 25 Desember 2005.
10.05 WIB.

184

You might also like