You are on page 1of 9

ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM

RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2008


[ Oleh : Uswatun Khasanah Alaqila, S.Hi]

Asas legalitas sebagaimana diterangkan konteks di atas (baca


lebih detail tulisan asas legalitas dalam perspektif hukum
pidana Indonesia dan kajian perbandingan hukum dalam web
ini), merupakan asas yang paling penting dalam hukum pidana
sebagaimana diucapkan oleh Dupont. Dikaji dari perspektif hukum
positif (ius constitutum) maka asas legalitas diatur dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pada RUU KUHP, dikaji dari perspektif ius
constituendum maka asas legalitas diatur pula dalam ketentuan Pasal
1 RUU KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,


kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang


menggunakan analogi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak


mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang
diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Kemudian penjelasan pasal demi pasal terhadap ketentuan Pasal


1 RUU KUHP tersebut diperinci sebagai berikut:

Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa
suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan
oleh atau didasarkan pada undang-undang. Dipergunakannya asas
tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam
hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana
atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum
tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak
berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum
dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan
suatu tindak pidana.

Ayat (2)

Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan


adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas
legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan
yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana,
tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk
tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama,
karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang
lain. Dengan ditegaskannnya larangan penggunaan analogi maka
perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat
dihilangkan.

Ayat (3)

Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu


di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang
hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah
tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum
pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk
memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum
pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat
ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat
tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat tertentu.

Ayat (4)

Ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu


dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum yang hidup dalam
masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber
legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai
nasional dan internasional.

Ada beberapa catatan substansial terhadap eksistensi asas


legalitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP
tersebut. Pertama, asas legalitas dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP
merupakan asas legalitas yang diperluas yaitu dikenal eksistensi asas
legalitas formal dan asas legalitas materiel. Pada RUU KUHP asas
legalitas formal diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) sedangkan
asas legalitas materiel diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3). Pada
asas legalitas formal, dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah
Undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut
dilakukan. Kemudian asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar
patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat. Kedua,
dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang mempergunakan
analogi (Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP). Penjelasan Pasal demi Pasal
ketentuan Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP menyebutkan bahwa, “larangan
penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak
pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas.
Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada
waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi
terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak
pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena
kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.
Dengan ditegaskannnya larangan penggunaan analogi maka
perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat
dihilangkan”. Dalam kepustakan hukum hakikat penafsiran analogi
dimaksudkan apabila suatu perbuatan pada saat perbuatan bukan
merupakan tindak pidana, kemudian diterapkan ketentuan hukum
pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat
atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua
perbuatan itu dipandang analog satu dengan lainnya. Andi Hamzah
menyebut bentuk analogi menjadi dua yaitu gesetz analogi yaitu
analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidan terdapat dalam
ketentuan pidana, dan recht analogi yaitu analogi terhadap perbuatan
yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam
ketentuan hukum pidana. Herman Mannheim mengemukakan
adanya dua macam analogi. Pertama, analogi undag-undang atau
gesetzes analogie. Kedua, analogi hukum atau rechtsanalogie. Dalam
penerapan hukum pidana analogi yang diperbolehkan adalah analogi
undang-undang dan bukan analogi hukum. Kendatipun demikian, sulit
dibedakan antara analogi undang-undang dan analogi hukum. M.
Cherif Bassiouni, membagi ada tiga katagori analogi. Pertama,
analogi untuk menciptakan perbuatan pidana baru yang sudah diduga
tetapi tidak dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Kedua,
analogi yang diterapkan apabila bunyi Undang-undang tidak cukup
jelas atau gagal merumuskan unsur-unsur dari suatu tindak pidana.
Ketiga, analogi yang diterapkan terhadap pemidanaan yang tidak
didifinisikan oleh pembentuk Undang-undang. Pada sistem dengan
pendekatan positivisme yang ketat, asas legalitas membolehkan
analogi terhadap pemidanaan, asalkan masih dalam batasan-batasan
yang telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi,
pada sistem hukum yang menerapkan asas legalitas yang sangat
ketat, penggunaan analogi sepenuhnya dilarang, dengan mengingat
klausula aturan favor reo. Artinya, hakim harus menjatuhkan putusan
yang meringankan terdakwa.

Pada hakikatnya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum


pidana menimbulkan perdebatan panjang. Ada kelompok yang
menerima analogi, kelompok yang menentang penafsiran analogi dan
ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi.
Kelompok yang menyetujui penerapan analogi argumentasinya karena
perkembangan masyarakat relatif cepat sehingga hukum pidana harus
berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Sebagian besar
negara Eropa melarang penggunaan analogi, terkecuali Negara
Denmark dan Inggris yang memperbolehkan penerapan analogi.
Kemudian kelompok yang menentang penerapan penafsiran analogi
dikarenakan penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat
menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne,
Roling, Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi dan
Scholten, van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno dan Jan
Remmelink menentang penerapan analogi dalam hukum pidana serta
Hazewinkel Suringa dan Vos yang tidak secara tegas menolak dan
menerima analogi. Dalam praktik peradilan pada tahun 1921
penerapan penafsiran analogi diterapkan dalam kassus pencurian
listrik dengan memperluas pengertian “barang” (goed) termasuk
aliran listrik. Praktik peradilan Indonesia lewat Putusan Pengadilan
Tinggi Medan Nomor: 144/Pid/1983/PT. Mdn telah menafsirkan Pasal
378 KUHP yang memperluas pengertian benda termasuk juga
“kegadisan seorang wanita”.
Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan
mengenai larangan menerapkan analogi merupakan suatu contradictio
interminis bila dihubungkan dengan ayat (3) di mana seseorang dapat
dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Sebab, untuk memidana suatu perbuatan yang
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, mau tidak mau,
hakim harus menggunakan analogi atau setidak-tidaknya interpretasi
ekstensif. Padahal, pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan prinsip
antara interprestasi ekstensif dengan analogi.Ketiga, asas legalitas
formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat
diberlakukan secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya
pengecualian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3),
(4) RUU KUHP. Eksistensi dan konsekuensi adanya ketentuan Pasal 1
ayat (3) RUU KUHP dijelaskan bahwa, “adalah suatu kenyataan bahwa
dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat
ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat
dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian
terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya
disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum
yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal
tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan
pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat
tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam
masyarakat tertentu”.

Konklusi dasar dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP dengan
diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan
hukum tidak tertulis membawa konsekuensi logis bahwa pembentuk
RUU KUHP menarik hukum tidak tertulis menjadi hukum formal.
Implikasi adanya aspek ini membuat penegakan hukum yang hidup
dalam masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub sistem
peradilan pidana. Hal ini dapat dimengerti oleh karena polarisasi
pemikiran pembentuk RUU KUHP bertitik tolak dari keseimbangan
monodualistik yaitu asas keseimbangan antara
kepentingan/perlindungan individu dengan kepentingan/perlindungan
masyarakat, keseimbangan antara kretaria formal dan materiel, dan
keseimbangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Nilai/ide
keseimbangan dalam RUU KUHP dilanjutkan dalam menentukan suatu
tindak pidana adalah selalu melawan hukum dengan dianutnya sifat
melawan hukum materiel. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU KUHP
menentukan, “untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain
perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat” dan ayat (3)
berbunyi bahwa, “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat
melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”. Polarisasi pemikiran
pembentuk undang-undang dalam menentukan dapat dipidana harus
memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Konklusinya, perbuatan tersebut nantinya tidak
hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi
juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang
bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum, didasarkan pada
pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang
melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai
tidak adil. Oleh karena itu untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim
selain harus menentukan apakah perbuatan yang diakukan itu secara
formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan apakah
perbuatan tersebut secara materiil juga bertentangan dengan hukum,
dalam arti kesadaran hukum masyarakat. Hal ini wajib
dipertimbangkan dalam putusan. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1
ayat (3) RUU KUHP mengimbangi ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU
KUHP. Tegasnya, asas legalitas formal diimbangi dengan ketentuan
asas legalitas materiel.

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP


dijelaskan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian
penjelasan Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “ayat ini mengandung
pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber
hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat
dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman
pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.” Pada
hakikatnya, pedoman dalam ayat ini berorientasi pada nilai nasional
dan internasional. Apabila dijabarkan, aspek ini sesuai dengan nilai
nasional (Pancasila) artinya sesuai dengan nilai/paradigma moral
religius, nilai/paradigma kemanusian/humanis, nilai/paradigma
kebangsaan, nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan) dan
nilai/paradigma keadilan sosial. Kemudian rambu-rambu yang
berbunyi, “sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh masyarakat bangsa-bangsa, bersumber pada “The general
principle of law recognized by community of nations” yang terdapat
dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) ICCPR (International Covenant on
Civil and Political Right). Adanya rambu-rambu tersebut, hukum yang
hidup (hukum pidana ada) mendapat landasan untuk dapat diadili
maupun sanksi adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan
adalah sesuai nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh masyarakat internasional. Keempat, adanya
pembatasan bahwa asas legalitas formal tidak diterapkan secara
absolut dan adanya keseimbangan monodualistik maka polarisasi
pemikiran pembentuk RUU KUHP menganut pula secara implisit ajaran
melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif. Dalam
kepustakaan ilmu hukum dan praktik peradilan ajaran sifat melawan
hukum materiil dalam fungsi positif diartikan bahwa meskipun suatu
perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang,
hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial
lainnya dalam kehidupan masyarakat. ***

Penulis adalah Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung,


penulis Buku Ilmu Hukum, Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten
Malang, Jawa Timur Dan Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Konsentrasi Hukum Pidana Universitas Merdeka, Malang

Lieven Dupont dan Raf. Verstraeten, Handboek Belgisch Strafrech,


Acoo Leuven/Amersfoort, 1990, hlm. 101 dalam: Komariah Emong
Sapardjaja, Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum
Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan
Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 6

Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Dalam Era


Globalisasi, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia,
Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008, hlm. 33

M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law,


Transnational Publisher, Inc. Ardsley, New York, 2003, hlm. 179-180

Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam


Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 38-39

You might also like