You are on page 1of 19

MEKANISME RESISTENSI DAN RESURGENSI HAMA

TERHADAP PESTISIDA

OLEH :

AINUL MARDIYAH (107001019)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
MEDAN - 2010
I. PENDAHULUAN

Sejarah manusia kaya dengan peperangan melawan organisme pengganggu tumbuhan


(OPT). Lebih dari sepuluh ribu spesies insekta, gulma, nematoda dan penyakit yang dapat
menyerang tanaman yang dibudidayakan. Berbagai cara telah dikembangkan untuk
mengubah keseimbangan ke arah yang menguntungkan manusia. Salah satunya adalah
pengendalian hama menggunakan bahan kimia yaitu pestisida.

Pestisida juga diartikan sebagai substansi kimia dan bahan lain yang mengatur dan atau
menstimulir pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman. Sesuai konsep Pengendalian
Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida ditujukan bukan untuk memberantas atau
membunuh hama, namun lebih dititiberatkan untuk mengendalikan hama sedemikian rupa
hingga berada dibawah batas ambang ekonomi atau ambang kendali.

Telah disadari bahwa pada umumnya pestisida merupakan bahan berbahaya yang dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan
hidup. Namun demikian, pestisida juga memberikan manfaat, sehingga pestisida banyak
digunakan dalam pembangunan di berbagai sektor, termasuk pertanian. Memperhatikan
manfaat dan dampak negatifnya, maka pestisida harus dikelola dengan cara sebaik-baiknya
sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan dampak negatif yang
sekecil-kecilnya.

II. PEMBAHASAN

2.1. Pengendalian Hama secara Kimiawi

Pengendalian hama secara kimiawi merupakan upaya pengendalian pertumbuhan hama


tanaman menggunakan zat kimia pembasmi hama tanaman yaitu pestisida. Definisi dari
pestisida, ‘pest” memiliki arti hama, sedangkan “cide” berarti membunuh, sering disebut
“pest killing agent”.

Penggunaan bahan kimia untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT)


sebenarnya telah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu seperti penggunaan bubur
Bordeaux, campuran kapur dan belerang, larutan arsenik, ataupun insektisida alami. Hampir
setiap usaha pertanian sejumlah bahan kimia digunakan untuk memberantas gulma, hama dan
penyakit. Sehingga saat ini banyak sekali jenis pestisida yang digunakan untuk memberantas
gangguan hama dan penyakit terhadap tanaman.

Dalam pengendalian hama tanaman secara terpadu, pestisida adalah sebagai alternatif
terakhir. Dan belajar dari pengalaman, Pemerintah saat ini tidak lagi memberi subsidi
terhadap pestisida . Namun kenyataannya di lapangan petani masih banyak menggunakannya.
Menyikapi hal ini, yang terpenting adalah baik pemerintah maupun swasta terus menerus
memberi penyuluhan tentang bagaimana penggunaan pestisida secara aman dan benar.

2.2. Pestisida dalam Pengendalian Kimiawi


2.2.1. Peranan Pestisida

Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk membunuh hama-hama


tanaman. Dalam konsep PHT, pestisida berperan sebagai salah satu komponen
pengendalian. Prinsip penggunaanya adalah :

o Harus kompatibel dengan komponen pengendalian lain, seperti komponen


hayati.
o Efisien untuk mengendalikan hama tertentu.
o Meninggalkan residu dalam waktu yang tidak diperlukan.
o Tidak boleh persistent, harus mudah terurai.
o Dalam perdagangan (transport, penyimpanan, pengepakan, labeling) harus
memenuhi persyaratan keamanan yang maksimum.
o Harus tersedia antidote untuk pestisida tersebut.
o Sejauh mungkin harus aman bagi lingkungan fisik dan biota.
o Relatif aman bagi pemakai.
o Harga terjangkau bagi petani.

Idealnya teknologi pertanian maju tidak memakai pestisida. Tetapi sampai saat ini
belum ada teknologi yang demikian. Pestisida masih diperlukan, bahkan
penggunaanya semakin meningkat. Pengalaman di Indonesia dalam menggunakan
pestisida untuk program intensifikasi, ternyata pestisida dapat membantu mengatasi
masalah hama padi. Pestisida dengan cepat menurunkan populasi hama. Hingga
meluasnya serangan dapat dicegah, dan kehilangan hasil karena hama dapat ditekan.

Pengalaman di Amerika Latin menunjukkan bahwa dengan menggunakan pestisida


dapat meningkatkan hasil 40 persen pada tanaman coklat. Di Pakistan dengan
menggunakan pestisida dapat menaikkan hasil 33 persen pada tanaman tebu, dan
berdasarkan catatan dari FAO penggunaan pestisida dapat menyelamatkan hasil 50
persen pada tanaman kapas.

Dengan melihat besarnya kehilangan hasil yang dapat diselamatkan berkat


penggunaan pestisida, maka dapat dikatakan bahwa peranan pestisida sangat besar
dan merupakan sarana penting yang sangat diperlukan dalam bidang pertanian. Usaha
intensifikasi pertanian yang dilakukan dengan menerapkan berbagai teknologi maju
seperti penggunaan pupuk, varietas unggul, perbaikan pengairan dan pola tanam akan
menyebabkan perubahan ekosistem yang sering diikuti oleh meningkatnya problema
serangan jasad pengganggu. Demikian pula usaha ekstensifikasi pertanian dengan
membuka lahan pertanian baru, yang berarti melakukan perombakan ekosistem,
sering kali diikuti dengan timbulnya masalah serangan jasad pengganggu. Dan
tampaknya saat ini yang dapat diandalkan untuk melawan jasad pengganggu tersebut
yang paling manjur hanya pestisida. Memang tersedia cara lainnya, namun tidak
mudah untuk dilakukan, kadang-kadang memerlukan tenaga yang banyak, waktu dan
biaya yang besar, hanya dapat dilakukan dalam kondisi tertentu yang tidak dapat
diharapkan efektifitasnya. Pestisida saat ini masih berperan besar dalam
menyelamatkan kehilangan hasil yang disebabkan oleh jasad pengganggu.

2.2.2. Kelebihan dan Kekurangan Pestisida


Seperti diketahui pada peranan pestisida yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya
bahwa pestisida berperan besar dalam menyelamatkan kehilangan hasil yang
disebabkan oleh OPT. Pengendalian OPT dengan menggunakan pestisida banyak
dilakukan secara luas oleh masyarakat, karena pestisida mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain, yaitu:

o Dapat diaplikasikan secara mudah.


o Dapat diaplikasikan hampir di setiap tempat dan waktu.
o Hasilnya dapat dilihat dalam waktu singkat.
o Dapat meningkatkan hasil produksi.
o Dapat diaplikasikan dalam areal yang luas dalam waktu yang singkat.
o Mudah diperoleh, dapat dijumpai di kios-kios pedesaan sampai pasar swalayan
di kota besar.

Di samping memiliki kelebihan tersebut di atas, pestisida harus diwaspadai karena


dapat memberikan dampak negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung,
antara lain:

o Keracunan dan kematian pada manusia, ternak dan hewan piaraan, satwa liar,
ikan dan biota air lainnya, biota tanah, tanaman
o Terjadinya resistensi, resurjensi, dan perubahan status OPT
o Pencemaran lingkungan hidup
o Residu pestisida yang berdampak negatif terhadap konsumen
o Terhambatnya hasil pertanian (terutama perdagangan dalam ekspor)

Dari kekurangan yang telah disebutkan di atas, tentunya sudah dapat dilihat bahwa
pestisida merupakan zat kimia yang berbahaya dan dapat menimbulkan dampak buruk
yang dapat merugikan manusia maupun lingkungan. Penyuluhan untuk menggunakan
pestisida dengan aman dan benar sangatlah diperlukan. Sebelum menggunakan
pestisida dalam pengendalian OPT akan lebih baik bila pengguna mengenal seluk
beluk mengenai pestisida dan cara penggunaannya sesuai fungsinya agar dapat
mengaplikasikan pengendalian dengan aman dan benar. Aman terhadap diri dan
lingkungannya, benar dalam arti 5 tepat, yaitu:

1. tepat jenis pestisida.


2. tepat cara aplikasi.
3. tepat sasaran.
4. tepat waktu, dan
5. tepat takaran.

2.2.3. Klasifikasi Pestisida

Menurut Soemirat (2003), pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan organisme


target, struktur kimia, mekanisme dan atau toksisitasnya. Berikut klasifikasi pestisida
berdasarkan organisme targetnya :
o Akarisida, berasal dari kata akari yang dalam bahasa Yunani berarti tungau
atau kutu. Akarisida sering juga disebut sebagai mitesida. Fungsinya untuk
membunuh tungau atau kutu.
o Algisida, berasal dari kata alga yang dalam bahas latinnya berarti ganggang
laut. Berfungsi untuk membunuh melawan alga.
o Avisida, berasal dari kata avis yang dalam bahasa latinnya berarti burung.
Berfungsi sebagai pembunuh atau zat penolak burung serta pengontrol
populasi burung.
o Bakterisida, berasal dari kata latin bacterium atau kata Yunani bacron.
Berfungsi untuk melawan bakteri.
o Fungisida, berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani spongos yang berarti
jamur. Berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.
o Herbisida, berasal dari kat latin herba yang berarti tanaman setahun. Berfungsi
membunuh gulma (tumbuhan pengganggu).
o Insektisida, berasal dari kata latin insectum yang berarti potongan, keratan
atau segmen tubuh. Berfungsi untuk membunuh serangga
o Larvasida, berasal dari kata Yunani lar. Berfungsi untuk membunuh ulat atau
larva.
o Molluksisida, berasal dari kata Yunani molluscus yang berarti berselubung
tipis lembek. Berfungsi untuk membunuh siput.
o Nematisida, berasal dari kata latin nematoda atau bahasa Yunani nema yang
berarti benang. Berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam cacing yang
hidup di akar).
o Ovisida, berasal dari kata latin ovum yang berarti telur. Berfungsi untuk
membunuh telur.
o Pedukulisida, berasal dari kata latin pedis berarti kutu, tuma. Berfungsi untuk
membunuh kutu atau tuma.
o Piscisida, berasal dari kata Yunani piscis yang berarti ikan. Berfungsi untuk
membunuh ikan.
o Rodentisida, berasal dari kata Yunani rodera yang berarti pengerat. Berfungsi
untuk membunuh binatang pengerat, seperti tikus.
o Predisida, berasal dari kata Yunani praeda yang berarti pemangsa. Berfungsi
untuk membunuh pemangsa (predator).
o Silvisida, berasal dari kat latin yang berarti hutan. Berfungsi untuk membunuh
pohon.
o Termisida, berasal dari kata Yunani termes ang berarti serangga pelubang
daun. Berfungsi untuk membunuh rayap.

Berikut ini beberapa bahan kimia yang termasuk pestisida, namun namanya tidak
menggunakan akhiran sida:

o Atraktan, zat kimia yang baunya dapat menyebabkan serangga menjadi


tertarik. Sehingga dapat digunakan sebagai penarik serangga dan
menangkapnya dengan perangkap.
o Kemosterilan, zat yang berfungsi untuk mensterilkan serangga atau hewan
bertulang belakang.
o Defoliant, zat yang dipergunakan untuk menggugurkan daun supaya
memudahkan panen, digunakan pada tanaman kapas dan kedelai.
o Desiccant. zat yang digunakan untuk mengeringkan daun atau bagian tanaman
lainnya.
o Disinfektan, zat yang digunakan untuk membasmi atau menginaktifkan
mikroorganisme.
o Zat pengatur tumbuh. Zat yang dapat memperlambat, mempercepat dan
menghentikan pertumbuhan tanaman.
o Repellent, zat yang berfungsi sebagai penolak atau penghalau serangga atau
hama yang lainnya. Contohnya kamper untuk penolak kutu, minyak sereb
untuk penolak nyamuk.
o Sterilan tanah, zat yang berfungsi untuk mensterilkan tanah dari jasad renik
atau biji gulma.
o Pengawet kayu, biasanya digunakan pentaclilorophenol (PCP).
o Stiker, zat yang berguna sebagai perekat pestisida supaya tahan terhadap angin
dan hujan.
o Surfaktan dan agen penyebar, zat untuk meratakan pestisida pada permukaan
daun.
o Inhibitor, zat untuk menekan pertumbuhan batang dan tunas.
o Stimulan tanaman, zat yang berfungsi untuk menguatkan pertumbuhan dan
memastikan terjadinya buah.

2.2.4. Formulasi Pestisida

Pestisida sebelum digunakan harus diformulasi terlebih dahulu. Pestisida dalam


bentuk murni biasanya diproduksi oleh pabrik bahan dasar, kemudian dapat
diformulasi sendiri atau dikirim ke formulator lain. Oleh formulator baru diberi nama.
Berikut ini beberapa formulasi pestisida yang sering dijumpai:

o Cairan emulsi (emulsifiable concentrates/emulsible concentrates)

Pestisida yang berformulasi cairan emulsi meliputi pestisida yang di belakang


nama dagang diikuti oleb singkatan ES (emulsifiable solution), WSC (water
soluble concentrate). B (emulsifiable) dan S (solution). Biasanya di muka
singkatan tersebut tercantum angka yang menunjukkan besarnya persentase
bahan aktif. Bila angka tersebut lebih dari 90 persen berarti pestisida tersebut
tergolong murni. Komposisi pestisida cair biasanya terdiri dari tiga komponen,
yaitu bahan aktif, pelarut serta bahan perata. Pestisida golongan ini disebut
bentuk cairan emulsi karena berupa cairan pekat yang dapat dicampur dengan
air dan akan membentuk emulsi.

o Butiran (granulars)

Formulasi butiran biasanya hanya digunakan pada bidang pertanian sebagai


insektisida sistemik. Dapat digunakan bersamaan waktu tanam untuk
melindungi tanaman pada umur awal. Komposisi pestisida butiran biasanya
terdiri atas bahan aktif, bahan pembawa yang terdiri atas talek dan kuarsa serta
bahan perekat. Komposisi bahan aktif biasanya berkisar 2-25 persen, dengan
ukuran butiran 20-80 mesh. Aplikasi pestisida butiran lebih mudah bila
dibanding dengan formulasi lain. Pestisida formulasi butiran di belakang nama
dagang biasanya tercantum singkatan G atau WDG (water dispersible
granule).

o Debu (dust)

Komposisi pestisida formulasi debu ini biasanya terdiri atas bahan aktif dan
zat pembawa seperti talek. Dalam bidang pertanian pestisida formulasi debu
ini kurang banyak digunakan, karena kurang efisien. Hanya berkisar 10-40
persen saja apabila pestisida formulasi debu ini diaplikasikan dapat mengenai
sasaran (tanaman).

o Tepung (powder)

Komposisi pestisida formulasi tepung pada umumnya terdiri atas bahan aktif
dan bahan pembawa seperti tanah hat atau talek (biasanya 50-75 persen).
Untuk mengenal pestisida formulasi tepung, biasanya di belakang nama
dagang tercantum singkatan WP (wettable powder) atau WSP (water soluble
powder).

o Oli (oil)

Pestisida formulasi oli biasanya dapat dikenal dengan singkatan SCO (solluble
concentrate in oil). Biasanya dicampur dengan larutan minyak seperti xilen,
karosen atau aminoester. Dapat digunakan seperti penyemprotan ULV (ultra
low volume) dengan menggunakan atomizer. Formulasi ini sering digunakan
pada tanaman kapas.

o Fumigansia (fumigant)

Pestisida ini berupa zat kimia yang dapat menghasilkan uap, gas, bau, asap
yang berfungsi untuk membunuh hama. Biasanya digunakan di gudang
penyimpanan.

2.2.5. Kimia Pestisida

Pestisida tersusun dan unsur kimia yang jumlahnya tidak kurang dari 105 unsur.
Namun yang sering digunakan sebagai unsur pestisida adalah 21 unsur. Unsur atau
atom yang lebih sering dipakai adalah carbon, hydrogen, oxigen, nitrogen, phosphor,
chlorine dan sulfur. Sedangkan yang berasal dari logam atau semi logam adalah
ferum, cuprum, mercury, zinc dan arsenic.

o Sifat pestisida
Setiap pestisida mempunyai sifat yang berbeda. Sifat pestisida yang sering
ditemukan adalah daya, toksisitas, rumus empiris, rumus bangun, formulasi,
berat molekul dan titik didih.

o Tata Nama Pestisida

Pengetahuan pestisida juga meliputi struktur dan cara pemberian nama atau
dikenal dengan tata nama.

o Cara Kerja Pestisida


o Pestisida kontak, berarti mempunyai daya bunuh setelah tubuh jasad terkena
sasaran.
o Pestisida fumigan, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran
terkena uap atau gas.
o Pestisida sistemik, berarti dapat ditranslokasikan ke berbagai bagian tanaman
melalui jaringan. Hama akan mati kalau mengisap cairan tanaman.
o Pestisida lambung, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran
memakan pestisida.

2.3. Cara Menggunakan Pestisida

Cara penggunaan pestisida yang tepat merupakan salah satu faktor yang penting dalam
menentukan keberhasilan pengendalian hama. Walaupun jenis obatnya manjur, namun karena
penggunaannya tidak benar, maka menyebabkan sia-sianya penyemprotan. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida, di antaranya adalah keadaan angin, suhu
udara, kelembapan dan curah hujan. Angin yang tenang dan stabil akan mengurangi
pelayangan partikel pestisida di udara. Apabila suhu di bagian bawah lebih panas, pestisida
akan naik bergerak ke atas. Demikian pula kelembapan yang tinggi akan mempermudah
terjadinya hidrolisis partikel pestisida yang menyebabkan kurangnya daya racun. Sedang
curah hujan dapat menyebabkan pencucian pestisida, selanjutnya daya kerja pestisida
berkurang.

Hal-hal teknis yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah ketepatan
penentuan dosis. Dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan pemborosan pestisida, di
samping merusak lingkungan. Dosis yang terlalu rendah menyebabkan hama sasaran tidak
mati. Di samping berakibat mempercepat timbulnya resistensi.

1. Dosis pestisida

Dosis adalah jumlah pestisida dalam liter atau kilogram yang digunakan untuk
mengendalikan hama tiap satuan luas tertentu atau tiap tanaman yang dilakukan
dalam satu kali aplikasi atau lebih. Ada pula yang mengartikan dosis adalah jumlah
pestisida yang telah dicampur atau diencerkan dengan air yang digunakan untuk
menyemprot hama dengan satuan luas tertentu. Dosis bahan aktif adalah jumlah bahan
aktif pestisida yang dibutuhkan untuk keperluan satuan luas atau satuan volume
larutan. Besarnya suatu dosis pestisida biasanya tercantum dalam label pestisida.
2. Konsentrasi pestisida

Ada tiga macam konsentrasi yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan pestisida,

o Konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif suatu pestisida dalam
larutan yang sudah dicampur dengan air.
o Konsentrasi formulasi, yaitu banyaknya pestisida dalam cc atau gram setiap
liter air.
o Konsentrasi larutan atau konsentrasi pestisida, yaitu persentase kandungan
pestisida dalam suatu larutan jadi.

3. Alat semprot

Alat untuk aplikasi pestisida terdiri atas bermacam-macam seperti knapsack sprayer
(high volume) biasanya dengan volume larutan konsentrasi sekitar 500 liter. Mist
blower (low volume) biasanya dengan volume larutan konsentrasi sekitar 100 liter.
Dan Atomizer (ultra low volume) biasanya kurang dari 5 liter.

4. Ukuran droplet

Ada bermacam-macam ukuran droplet:

o Veri coarse spray : lebih 300 µm


o Coarse spray : 400-500 µm
o Medium spray : 250-400 µm
o Fine spray : 100-250 µm
o Mist : 50-100 µm
o Aerosol : 0,1-50 µm
o Fog : 5-15 µm

5. Ukuran partikel

Ada bermacam-macam ukuran partikel:

o Macrogranules : lebih 300 µm


o Microgranules : 100-300 µm
o Coarse dusts : 44-100 µm
o Fine dusts : kurang 44 µm
o Smoke : 0,001-0,1 µm

6. Ukuran molekul hanya ada satu macam, yatu kurang 0,001 µm

2.4. Petunjuk Penggunaan Pestisida

1. Memilih pestisida
Di pasaran banyak dijual formulasi pestisida yang satu sama lain dapat berbeda nama
dagangnya, walaupun mempunyai bahan aktif yang sama. Untuk memilih pestisida,
pertama yang harus diingat adalah jenis jasad pengganggu yang akan dikendahikan.
Hal tersebut penting karena masing-masing formulasi pestisida hanya manjur untuk
jenis jasad pengganggu tertentu. Maka formulasi pestisida yang dipilih harus sesuai
dengan jasad pengganggu yang akan dikendalikan. Untuk mempermudah dalam
memilih pestisida dapat dibaca pada masing-masing label yang tercantum dalam
setiap pestisida. Dalam label tersebut tercantum jenis-jenis jasad pengganggu yang
dapat dikendalikan. Juga tercantum cara penggunaan dan bahaya-bahaya yang
mungkin ditimbulkan.

Untuk menjaga kemanjuran pestisida, maka sebaiknya belilah pestisida yang telah
terdaftar dan diizinkan oleb Departemen Pertanian yang dilengkapi dengan wadah
atau pembungkus asli dan label resmi. Pestisida yang tidak diwadah dan tidak berlabel
tidak dijamin kemanjurannya.

2. Menyimpan pestisida

Pestisida senantiasa harus disimpan dalam keadaan baik, dengan wadah atau
pembungkus asli, tertutup rapat, tidak bocor atau rusak. Sertakan pula label asli
beserta keterangan yang jelas dan lengkap. Dapat disimpan dalam tempat yang khusus
yang dapat dikunci, sehingga anak-anak tidak mungkin menjangkaunya, demikian
pula hewan piaraan atau temak. Jauhkan dari tempat minuman, makanan dan sumber
api. Buatlah ruang yang terkunci tersebut dengan ventilasi yang baik. Tidak terkena
langsung sinar matahari dan ruangan tidak bocor karena air hujan. Hal tersebut
kesemuanya dapat menyebabkan penurunan kemanjuran pestisida.

Untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu pestisida tumpah, maka harus


disediakan air dan sabun ditergent, beserta pasir, kapur, serbuk gergaji atau
tanah sebagai penyerap pestisida. Sediakan pula wadah yang kosong, sewaktu-
waktu untuk mengganti wadah pestisida yang bocor.

3. Menggunakan pestisida

Untuk menggunakan pestisida harus diingat beberapa hal yang harus diperhatikan:

o Pestisida digunakan apabila diperlukan.


o Sebaiknya makan dan minum secukupnya sebelum bekerja dengan pestisida.
o Harus mengikuti petunjuk yang tercantum dalam label.
o Anak-anak tidak diperkenankan menggunakan pestisida, demikian pula wanita
hamil dan orang yang tidak baik kesehatannya.
o Apabila terjadi luka, tutuplah luka tersebut, karena pestisida dapat terserap
melalui luka.
o Gunakan perlengkapan khusus, pakaian lengan panjang dan kaki, sarung
tangan, sepatu kebun, kacamata, penutup hidung dan rambut dan atribut lain
yang diperlukan.
o Hati-hati bekerja dengan pestisida, lebih-lebih pestisida yang konsentrasinya
pekat. Tidak boleh sambil makan dan minum.
o Jangan mencium pestisida, karena pestisida sangat berbahaya apabila tercium.
o Sebaiknya pada waktu pengenceran atau pencampuran pestisida dilakukan di
tempat terbuka. Gunakan selalu alat-alat yang bersih dan alat khusus.
o Dalam mencampur pestisida sesuaikan dengan takaran yang dianjurkan.
Jangan berlebih atau kurang.
o Tidak diperkenankan mencampur pestisida lebih dari satu macam, kecuali
dianjurkan.
o Jangan menyemprot atau menabur pestisida pada waktu akan turun hujan,
cuaca panas, angin kencang dan arah semprotan atau sebaran berlawanan arah
angin.
o Bila tidak enak badan berhentilah bekerja dan istirahat secukupnya.
o Wadah bekas pestisida harus dirusak atau dibenamkan, dibakar supaya tidak
digunakan oleh orang lain untuk tempat makanan maupun minuman.
o Pasanglah tanda peringatan di tempat yang baru diperlakukan dengan
pestisida.
o Setelah bekerja dengan pestisida, semua peralatan harus dibersihkan, demikian
pula pakaian-pakaian, dan mandilah dengan sabun sebersih mungkin.

III. Pestisida meningkatkan Perkembangan Populasi Jasad Pengganggu Tanaman

Tujuan penggunaan pestisida untuk mengurangi populasi hama. Namun jika


penggunaan pestisida tidak sesuai dengan petunjuk dan dosis pemakaian maka akan
meningkatkan populasi jasad pengganggu tanaman. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang
dapat dikemukakan mengapa pestisida menjadi tidak efektif dan malahan sebaliknya bias
meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman. Berikut ini diuraikan tiga
dampak buruk penggunaan pestisida, khususnya yang mempengaruhi peningkatan
perkembangan populasi hama.

3.1. Munculnya ketahanan ( resistensi) hama terhadap pestisida

Timbulnya ketahanan hama terhadap pemberian pestisida yang terus menerus,


merupakan fenomena dan konsekuensi ekologis yang umum dan logis,

Munculnya resistensi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan


( stress). Karena hhama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui
proses seleksi alami, spesies hama mampu membentuk Strain baru yang lebih tahan
terhadap pestisida tertentu yang digunakan petani. Pada tahun 1947, dua tahun setelah
penggunaan pestisida DDT, diketahui muncul Strain serangga yang resisten terhadap
DDT. Saat ini telah di data lebih dari 500 spesies serangga hama telah resisten
terhadap berbagai jenis kelompok insektisida.

Mekanisme timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai berikut.


Apabila suatu populasi hama yang terdiri dari banyak individu, dikenakan pada suatu
tekana lingkungan, misalnya penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian
besar individu populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak
individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan hidup. Tidak
terbunuhnya individu yang bertahan tersebut, mungkin disebabkan terhindar dari efek
racun pestisida, atau sebagaimana karena sifat genetik yang dimilikinya. Ketahan
secara genetik ini mungkin disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi
yang mampu menetralkan daya racun pestisida. Keturunan individu tahan ini, akan
menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis. Oleh karena itu pada generasi
berikutnya anggota populasi akan terdiri dari lebih banyak individu yang tahan
terhadap pestisidasehingga muncul populasi hama yang benar benar resisten.

Dari penelahaan sifat sifat hama, hampir setiap individu memiliki potensi
untuk menjadi tahan terhadap pestisida. Hanya saja, waktu dan besarnya ketahanan
tersebut bervariasi, dipengaruhi oleh jenis pestisida yang diberikan, intensitas
pemberian pestisida dan factor factor lingkungan lainnya.

Oleh karena sifat resistensi dikendalikan oleh factor genetis, maka fenomena
resistensi adalah permanen dan tidak dapat kembali lagi. Bila sesuatu jenis serangga
telah menunjukan sifat ketahanan dalam waktu yang cukup lama serangga tersebut
tidak akan pernah berubah kembali lagi menjadi serangga yang peka terhadap
pestisida.

Di Indonesia beberapa jenis hama yang diketahui resisten terhadap pestisida


antara lain hama kubis plutella xylostella , hama kubis Crosidolomia pavonana,
hama penggerek umbi kentang Phthorimaea operculella dan ulat grayak Spodoptera
litura. Demikian juga hama hama tanaman padi seperti wereng coklat ( Nilaparvata
lugens), hama walang sangit ( Nephotettik inticeps) dan ulat penggerek batang (
Chilo suppressalis) dilaporkan mengalami peningkatan ketahanan terhadap pestisida.
Dengan semakin tahannya hama terhadap pestisida, petani terdorong untuk semakin
sering melakukan penyemprotan dan sekaligus melipatgandakan tingkat dosis.
Penggunaan pestisida yang berlebihan ini dapat menstimulasi pengingkatan populasi
hama.

Ketahanan terhadap pestisida tidak hanya berkembang pada serangga atau


binatang arthropoda lainnya tepai juga saat ini telah banyak kasus timbulnya
ketahanan pada pathogen/ penyakit tanaman terhadap fungisida, ketahana terhadap
herbisida dan ketahanan nematode terhadap nematisida.

3.2. Resurgensi hama

Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi


pestisida, populasi menurun dengan cepat dan secara tiba tiba justru
meningkat lebih tinggi dari jenjang populasi sebelumnya. Resurgensi sangat
mengurangi efektifitas dan efesiensi pengendalian dengan pestisida.

Resurgensi hama terjadi karena pestisida sebagai recun yang


berspektrum luas juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang terhindar
dan bertahan terhadap penyemprotan pestisida sering kali mati kelaparan
karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit, sehingga tidak
tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi demikian terkadang
menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk mempertahankan hidup. Disisi
lain, serangga hama akan berada pada kondisi yang lebih baik dari
sebelumnya. Sumber makanan tersedia alam jumlah cukup dan pengendali
alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi tidak berfungsi.
Akibatnya populasi hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan.
Resurgensi hama, selain disebabkan karena terbunuhnya musuh alami
ternyata dari penelitian lima tahun terakhir dibukti bahwa ada jenis jenis
pestisida tertentu yang memacu peningkatan telur serangga hama. Hasil ini
telah dibuktikan International Rice Riset institute terhadap hama wereng
coklat. ( Nilaparvata lugens)

3.3. Ledakan populasi Hama Sekunder

Dalam ekosistem pertanian, diketahui terdapat beberapa hama utama dan


banyak hama hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan
pestisida adalah untuk mengendalikan hama utama yang paling merusak.
Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi apabila setelah perlakuan pestisida
menghasilkan penurunan populasi hama utama, tetapi kemudian terjadi
peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya bukan hama utama,
sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oelh
terbunuhnya musuh alami, akibat penggunaan pestisida yang berspektrum
luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi
sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal
secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder.

Peristiwa terjadinya ledakan populasi hama sekunder di Indonesia,


dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan persawahan jalur
pantura jawa barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif pestisida
Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning
Scirpophaga incertulas. Penelitian dirumah kaca membuktikan, dengan
menyemprotkan Dimecron pada tanaman padi muda, hama ganjur dapat
berkembang dengan baik, karena parasitoidnya terbunuh. Munculnya hama
wereng coklat Nilaparvatalugens setelah tahun 1973 mengganti kedudukan
hama penggerek batang padi sebabgai hama utama di Indonesia, mungkin
disebabkan penggunaan pestisida golongan khlor secara intensif untuk
mengendalikan hama sundep dan weluk

IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pengendalian hama secara kimiawi adalah pengendalian hama menggunakan bahan


kimia yaitu pestisida. Pestisida merupakan salah satu cara pengendalian terhadap
organisme pengganggu tanaman. Pestisida berperan besar dalam bidang pertanian
karena dapat menekan pertumbuhan OPT dan dapat meningkatkan hasil produktivitas
tanaman. Banyak kelebihan-kelebihan pestisida dibandingkan dengan cara
pengendalian lain. Sehingga pestisida menjadi cara pengendalian andalan dan
akhirnya akan menjadikan ketergantungan terhadap pemakaian pestisida tersebut.

Seperti yang kita ketahui, pestisida merupakan zat kimia berbahaya. Residunya dapat
merusak lingkungan, ekosistem bahkan bisa membahayakan manusia itu sendiri.
Penggunaan pestisida haruslah diaplikasikan dengan cara aman dan benar. Aman
terhadap diri dan lingkungannya, benar dalam arti 5 tepat, yaitu: tepat jenis pestisida,
tepat cara aplikasi, tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat takaran.

Untuk itu dalam melakukan pengendalian kimiawi sudah semestinya pengguna


pestisida terlebih dahulu mengetahui apa saja peran pestisida, kelebihan dan
kekurangan pestisida, klasifikasi pestisida, cara menggunakan pestisida dengan benar,
serta petunjuk penggunaan pestida itu sendiri agar diperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya dengan dampak negatif yang sekecil-kecilnya.

DAFTAR PUSTAKA

 Anonymous, 2009. http://agriculturesupercamp.wordpress.com/2008/01/25/bijak-


memilih-pestisida
 Anonymous, 2009. http://dizzproperty.blogspot.com/2007/05/pencemaran-pestida-
dampak-dan-upaya Anonymous, 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/Herbisida - 25k
 Anonymous, 2009. http://www2.kompas.com/kompas-
cetak/0010/19/iptek/inse10.htm
 Maryati, sri dan Suharno.2006.Biologi.Jkarta;Erlangga
 Sudjadi, bagoed dan Dra. Siti Laila. 2006. Biologi sains dalam kehidupan. Jakarta:
Yudhistira
I. Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
I.2. Rumusan Masalah
I.3. Tujuan Penulisan
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Hama
II.2. Hama Penggerek Buah Melon ( PBM)
II.3. Pengendalian Hama Terpadu ( PHT)
III. Pembahasan
III.1. Sejarah dan Pemencaran PBM
III.2. ASpek Bioekologi PBK
III.3. Gejala Serangan PBK
III.4. Ekologi
III.5. Teknis Pengendalian Hama PBK
III.5.1. Pengedalian Teknis Budidaya
III.5.2. Pengendalian Hayati
III.5.2.1. Penggunaan Musuh Alami
III.5.2.2. Penggunaan Bio Insektisida
III.5.2.3. Penggunaan Feromon
III.5.3. Pengedalian Mekanis
III.5.4. Pengedalian Kimia
IV. PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
IV.2. Saran

BAB III

STUDI KASUS

3.1. Pestisida dalam Sayuran

3.1.1. Residu Pestisida dalam Sayuran di Indonesia

Data tentang residu pestisida dalam sayuran di indonesia masih terbatasnya fasiltas untuk
pemantauan residu pestisida.

Pemantauan yang dilakukan oleh Lembaga Ekonomi Universitas Pajajaran menunjukkan


bahwa pada umumnya kandungan residu pestisida dalam conoh-contoh sayuran di daerah
Jawa Barat adalah rendah. Juga dilaporkan adanya residu pestisida pada jenis-jenis sauran
yang tdak disemprot pestisida seperti kangkung, genjer, daun talas dan aun singkong
(Soemarwoto, 1980). Mlyani dan Sumatera (1982) melaporkan bahwa dari contoh-contoh
sayuran yang diambil dari 7 daerah pusat sayuran di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan jawa
Timur ditemukan residu beberapa jenis insektisida (DDT, aldrin, diazinon, dieldrin,
fenitrothion, fenoat, an khlorpyrifos) meskipun masih jauh di bawah nilai MRL (Maximum
Residu Limit) menurut FAO/WHO 1978. Ada satu tempat yaitu di Batu pada wortel ternyata
residu DDT hampir mencapai batas MRL. Jenis sayuran yang diambil contohnya adalah
kenang, kubis, sawi, tomat, dan wortel.
Oshawa et al. (1985) melaporkan bahwa dari cntoh kubis, tomat, dan mentimun yang diambl
dari pasar Sri Wedari Yogyakarta ditemukan residu BHC, aldrin, dieldrin, heptachlr, DDT,
DDE, dan diazinon dalam kadar yang di bawah nilai MRL. Meskipun demikian masih adanya
residu pestisida persisten organokhlor pada contoh sayuran perlu memperoleh perhatian.
Effendy (1985) juga menemukan kadar residu metaidofos dari contoh kubis yang diambil dari
pasar Pakem, Yogyakarta sebesar 0,014 – 0,120 ppm. Yang masih di bawah nilai NMR.

3.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi residu pestisida dalam sayuran

Residu yang terdapat dalam tanaman dapat berasal dari pestisida yang langsung diaplikasikan
pada tanaman, atau yang diaplikasikan melalui tanah dan air. Selain daripada itu residu dapat
berasal dari kontaminasi melalui hembusan angin, debu yang terbawa hujan dari daerah
penyemprotan yang lain, dan juga penanaman pada tanah yang mengandung pestisida
persisten.

Tinggi rendahnya residu pestisida pada tanaan ditentukan oleh jenis pestisida, dosis dan
frekuensi aplikasi, serta waktu aplikasi. Pengaruh jenis pestisida terhadap tingkat residu
tergantung pada sifat-sifat fisika dan kimiawinya.

Insektisida organokhlor pada umumnya tidak mudah menguap, praktis tidak larut dalam air
kecuali lindane, serta mudah larut dalam pelarut organik. Dalam ekosistem kelompok
insektisida ini bersifat persisten karena sifatnya yang lipofilik. Insektisida ini tidak bersifat
sistemik, meskipun demikian dapat diserap ke dalam jaringan tanaman dalam jumlah rendah.
Sedangkan distribusi insektisida organokhlor dalam tanaman sangat dipengaruhi oleh jenis
tanaman dan struktur jaringan organokhlor dari dalam tanah, tetapi pada varietas tertentu
residu organokhlor terdapat pada lapisan luar umbi, sedang pada varietas yang lain residu
terdapat juga di dalam jaringan-jaringan tanaman lainnya (Brooks, 1974).

Tabel l. Jenis pestisida yang digunakan oleh petani sayuran di Parangtritis

Golongan Insektisida Nama Dagang Bahan Aktif LD 50


Organokhlor Tiodan Endosulfan 39 – 79 mg/kg

DDT pp’ DDT Tehnis 250 m/kg


Organofosfat Lebaycid Fention 178 – 310 mg/kg

Dursban Korpirifos 87 – 276 mg/kg

Asodrin Mnokrotofos 150 – 220 mg/kg

Dazinon Diazinon

Tamaron Metamidofos

Takution Protiofos
Karbamat Bassa, Baycarb BPMC

Curater Furadan
Di dalam jaringan tanaman insektisida organokhlr mengalami biotransformasi menjadi
metabolit yang lebih mudah larut dalam air. Hasil metabolit tersebut dapat bersifat lebih
beracun seperti Aldrin yang mengalami epoksidasi menjadi Dieldrin yang lebih persisten dan
beracun.

Insektisida organofosfat lebih mudah larut dalam air apabila dibandingkan dengan insektisida
organokhlor, lebih mudah terhidrolisa menjadi senyawa yang tidak beracun dan mudah larut
dalam air. Di dalam jaringan tanaman insektisida organofosfat termetabolisasi dengan pola
yang sama dengan metabolismenya dalam tubuh hewan, hanya hasil metabilisme dalam
tanaman cenderung disimpan sedangkan pada hewan hasil tersebut segera dikeluarkan.
Aktivasi organofosfat dalam tanaman tidak menimbulkan masalah persistensi, tetapi sebagai
akibatnya untuk memperoleh kadar yang efektif frekuensi penyemprotan harus ditingkatkan
(Eto, 1974).Ada beberapa jenis organofosfat yang bersifat sistemik dan menjadi senyawa
yang lebih aktif dan beracun bagi serangga.

Senyawa karbamat pada umumnya bersifat sistemik, di alam tanaman karbamat tidak begitu
stabil dan cepat termetabilisasi dengan cara teroksidasi dan terkonjugasi menjadi senyawa
yang tidak beracun (Chou dan Afghan, 1977).

Kecuali jenis insektisida waktu aplikasi sangat menentukan residu pada tanaman terutama
waktu aplikasi pestisida terakhir sebelum panen, karena sangat menentukan.

3.1.3. Toksisitas Pestisida pada Manusia

Toksisitas akut suatu senyawa digambarkan oleh harga LD 50-nya. Dalam Tabel l terlihat
bahwa senyawa organofosfat dan karbamat pada umumnya mempunai harga LD 50 lebih
tinggi dari seyawa organohlor. Kasus keracunan akut jarang dijumpai di masyarakat,
sedangkan kasus keracunan kronis pada umumnya dijumpai pada pelaksana pengendalian
hama dan mereka yang bekerja pada industri pestisda. Pada pestisida yang bersifat persisten,
seperti insektisida organokhlor, kemungkinan terjadi kasus keracunan kronis lebih besar dari
pada pestisda yang tidak persisten. Hal ini terjadi karena adanya bioakumulasi, yaitu proses
dinamika yang terjadi bila pemasukan (intake) lebih besar dari pengeluarannya (excretion).
Karena sifatnya yang lipofilik senyawa organokhlor yang mask ke dalam tubuh akan segera
terdistribusi ke dalam jaringan-jaringan dengan kandungan lemak yang tinggi dan tersimpan
di dalam lemaknya. Senyawa organokhlor tersebut dapat diekskresikan bersama dengan
lemak melalui air susu, sehingga terjadi transfer residu insektisida yang telah terakumulasi
dalam tubuh Ibu kepada anak yang disusuinya. Hal ini perlu mendapat perhatian karena anak
jauh lebih peka daripada orang dewasa.

Rendahnya kadar residu pestisida dalam makanan,jelas tidak akan menimbulkan gejala
keracunan kronis mapun aukt,tetapi dapat menimbulan efek subtil (subtle effect) yaitu efek
lanjut jangka pajang yang terjadi pada dosis rendah yang berkali-kali. Penelitian mengenai
efek subtil pada manusia tidak mungkin diakukan, sehingga pengamatan pada hewan
percobaan merupakan indikasi utama pada manusia. Efek subtil dapat berupa perubahan
histolgis dan patologis, efek karsinogenik, tumorigenik, mutagenik dan teratogenik.

Perubahan sitolgis dapat terjadi pada pemberian 5 – 15 ppm DDT pada ransum makanan
tikus jantan. Perubahan ini bersifat reversibel, hal ini menunjukkan adanya ”induksi”
terhadap enzim dalam hati (Ortega, 1962). Insektisida organofosfat dan karbamat dapat
menimbulkan efek neuropatologi karena demielinasi pada jaringan pelindung syaraf.
Untuk mengetahui efek karsinogenik dan tumorigenik suatu pestisida, diperlukan penelitan
mult generasi. Pembeian pp’ DDT 0,4 – 0,7 mg/kg/hari dalam ramsum makanan tikus,
menngkatkan terjadinya leukimia dan tumor pada generasi kedua dan ketiga, sedang
padagenerasi kelima, terjadinya kanker paru-paru meningkat sampai 25 kali (Kemeny dan
Tarjan, 1966,1969). Kepustakaan mengenai efek karsinogenik insekstisida organofosfat dan
karbamat sangat jarang, sehingga belum dapat dipastikan bahwa senyawa-senyawa tersebut
tidak menimbulkan kanker atau tumor.

Beberapa insektisida seperti karbaril,DDt, dieldrin, lindane, fenion dan malation,


menimbulkan efek magenik dan teratogenik pada dosis yang lebih tinggi dari pada dosis yang
terdapat dalam lingkungan pada umumnya (Epstein dan Legators, 1971), meskipun demikian
hal ini perlu diperhatikan juga.

3.1.4. Cara Mengurangi Residu Pestisida

Untuk masyarakat pada umumnya, pemasukan pestisida terutama melalui makanan.Adanya


efek lanjut jangka panjang karena dosis rendah yang berulang-ulang, menharuskan usaha
penurunan tingkat residu pestisida dalam makanan sampai tingat yang serendah-rendahnya.
Usaha ini dapat dilakukan dilapangan dan pada penanganan pasca panen.

Usaha mengurangi residu di lapangan dapat dilakuan dengan beberapa cara yaitu:

1. Pemilihan jenis insektisda yang efektif terhadap hama, aman bagi manusia dan
lngkungan, serta memilki persistensi yang rendah, sehingga meninggalkan residu
yang serendah mungkin.
2. Penggunaan dan pengembangan jenis-jenis insektisida yang baru, yang lebih spesifik
dan aman seperti insektisida biolgis, insect Growh Regulator, atrakan dan lain-lain.
3. Penggunaan dosis dan cara aplikasi yang tepat sesuai dengan rekomendasi.
4. Frekuensi penyemprotan pestisida dikurangi, hanya apabila perlu, yaitu sewaktu aras
populasi hama melebihi tingkatan yang merugikan secara ekonomis.

Penanganan pasca panen yang dapat dilakukan untuk mengurangi residu pestisida, antara
lain:

1. Pencucian: cara ini dapat mengurangi sebagian kandungan residu pestisida. Pncucian
bayam yang disemprot dengan karbaril, DDT dan paration, menunjukkan penurunan
residu 66 – 87 % untuk karbaril, 17 – 48 % untuk DDT dan 0 – 9 % untuk paration.
Penambahan detergent pada pencucian akan memperbesar penurunan tingkat residu.
2. Pengupasan: apabila pestisida yang digunakan bersifat non-sistemik dan struktur
jaringan yang dikenai pestisida, menghambat translokasi residu ke jaringan lainnya,
pengupasan sangat membantu dalam saha menurunkan tingkat residu pestisida.
3. Perendaman dalam air panas (blanching): penurunan kandungan residu dengan cara
ini cukup besar. Pada bayam dapat terjadi penurunan sebesar 38 – 60 % untuk DDT,
49 – 71 % untuk paration, dan 96 – 97 % untuk karbail (Lamb et al., 1968).
4. Pemasakan: kandungan residu DDT dalam makanan yang telah dimasak jauh lebih
renah dari bahan mentahnya, terutama pada buah-buahan, biji-bijian, sayuran
(Duggan dan Lipscomb, 1971).
Pegolahan dalam industri, seperti pengalengan, juga menurunkan kandungan residu pestisida.
Efek dari perlakuan-perlakuan tersebut di atas tergantung pada sifat-sifat residu pestisida dan
sifat-sifat bahan makanan tersebut.

You might also like