You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Amandemen terhadap UUD 1945 telah memberikan dasar hukum
terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. UUD 1945 yang
telah diamandemen memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada DPR
dibandingkan dengan UUD 1945 yang asli. DPR yang ada sekarang ini
memainkan peranan yang amat dominan dalam proses perumusan dan
pengesahan UU. Bahkan banyak pihak menilai bahwa DPR pasca amandemen
UUD 1945 telah menjadi super parliament, sebuah lembaga perwakilan rakyat
dengan kewenangan amat besar. Ketentuan yang diatur oleh Pasal 20 Ayat (5)
tentang sahnya sebuah RUU menjadi UU tanpa persetujuan presiden adalah
salah satu indikator besarnya kewenangan presiden. Atas dasar ketentuan-
ketentuan yang dibuat oleh UUD 1945, disusunlah RUU Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang sudah disetujui oleh DPR
tanggal 9 Juli 2003 yang lalu.
Kondisi ini telah membawa dampak yang signifikan terhadap sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Salah satu perubahan penting yang dibawa oleh
UUD 1945 adaIah pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.
Pasal 6A Ayat (1) memberikan dasar hukum yang jelas bagi pemilihan
tersebut. Hal ini merupakan sebuah terobosan politik (political breakthrough)
yang hebat dalam sistem politik Indonesia. Selain itu, dengan semakin luasnya
kekuasaan dan wewenang DPR, juga telah memberikan corak baru dalam
ketatanegaraan. Dalam kaitan yang lebih jauh, telah terjadi suatu warna baru
dalam pelaksanaan hukum tata negara.
Hukum dalam pengertian yang luas bertujuan untuk menciptakan
keamanan dan ketertiban. Hukum lahir sebagai suatu bentuk tatanan sistem
dalam pengaturan hubungan antar manusia yang tidak menutup kemungkinan
pada suatu hubungan tersebut terdapat perselisihan, pada akhirnya
menimbulkan kejadian yang tidak diharapkan dalam masyarakat. Hadirnya
hukum adalah bentuk eksisnya suatu negara.
Lahirnya sebuah negara tentu bukan hal yang mudah, negara terbentuk
karena hasil akumulasi proses yang cukup panjang, dimulai dari sekumpulan
masyarakat yang membentuk suatu pemerintahan kecil yang kemudian
berkembang disebabkan adanya hubungan antar masyarakat. Seiring dengan
bergulirnya waktu dan perkembangan zaman kelompok tersebut bertambah
besar dengan nama lain, yaitu negara. Dalam teori terbentuknya negara,
terdapat dua syarat yang harus dipenuhi. Yang pertama adalah syarat
konstitutif, didalamnya terdapat pemerintahan, wilayah dan rakyat yang
berdaulat. Sementara syarat yang lainnya merupakan unsur tambahan, yaitu
syarat deklaratif, berupa pengakuan dari negara lain.
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah
organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan
manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat (Miriam Budihardjo, 2004: 38). Pengendalian ini dilakukan
berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala
alat-alat perlengkapannya. Sistem hukum adalah dasar legal dari Negara,
seluruh struktur dan fungsi negara ditetapkan oleh hukum. Hukum yang
berlaku bagi suatu negara mencerminkan perpaduan antara sikap, dan
pendapat pimpinan pemerintahan negara dan keinginan masyarakat luas
mengenai hukum tersebut (Padmo Wahjono, 1986: 23). Suatu konsekuensi
logis apabila dalam suatu negara terdapat kelengkapan negara beserta fungsi-
fungsinya yang diturunkan dari konstitusinya.
Berkaitan dengan proses perkembangan suatu negara dan adanya
berbagai penyesuaian-penyesuaian pengaturan masyarakat di negara tersebut,
maka perubahan aturan untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman
adalah suatu kewajaran. Hal itu terjadi pula pada keputusan untuk
mengamandemen UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi
di Indonesia.
Dengan berbagai argumentasi dan tuntutan realitas kebangsaan dan
demokrasi, maka amandemen harus dilaksanakan. Namun harus disadari
bahwa merubah pandangan rakyat yang sudah cukup lama ditatar bahwa UUD
1945 tidak dapat dirubah kecuali melalui referendum, bukanlah pekerjaan
mudah dan sederhana. Namun akhirnya kesadaran muncul. Di Indonesia
sekarang ini, telah terjadi suatu sistem ketatanegaraan baru yang diharapkan
lebih baik dibandingkan pelaksanaan sebelum amandemen keempat UUD
1945.
Berdasarkan adanya konsep kenegaraan serta amandemen UUD 1945
sebagai aturan tertinggi dalam pelaksanaan kehidupan bernegara, maka dalam
kesempatan ini penulis akan membahas tentang: ”Sistem Hukum dan Tata
Negara di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945.”

B. Tujuan dan Manfaat Makalah


1. Tujuan
Penulisan makalah ini pada hakikatnya mempunyai beberapa
tujuan yaitu:
a. Menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen.
b. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Hukum Tata
Negara.
c. Untuk mengetahui latar belakang dari amandemen UUD 1945.
d. Untuk mengetahui sistem hukum dan tata negara di Indonesia
pasca amandemen UUD 1945.
2. Manfaat
Pada penulisan makalah ini, diharapkan bahwa pembahasan yang
dilakukan dapat berguna bagi pihak-pihak sebagai berikut:
a. Bagi mahasiswa
Selain untuk memenuhi tugas dari dosen, diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman dan arah pandang mahasiswa terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara dan kondisi yang
terjadi pada sistem hukum dan tata negara di Indonesia pasca
amandemen UUD 1945.
b. Bagi masyarakat
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan
pemahaman tentang Hukum Tata Negara dan kondisi yang terjadi pada
sistem hukum dan tata negara di Indonesia pasca amandemen UUD
1945.
c. Bagi pengembangan ilmu
Diharapkan dapat menjadi sumbangan masukan yang meliputi bahan
pemikiran dan pertimbangan dalam penyampaian materi tentang
Hukum Tata Negara.
BAB II
PERMASALAHAN

Pintu gerbang reformasi adalah amandemen konstitusi. Sebuah Undang-


Undang Dasar atau konstitusi bukanlah kitab suci. Undang-Undang Dasar adalah
buatan manusia, sedang kitab suci buatan Tuhan yang diwahyukan melalui para
Nabi/Rasul-Nya. Atas dasar itu maka seperti yang dikatakan Harun Alrasid,
Kartorius Sinaga dan Miriam Budiardjo, adakalanya suatu Undang-Undang Dasar
dapat dibatalkan dan diganti dengan Undang-Undang Dasar baru, karena Undang-
Undang Dasar bersifat kontekstual, konkret dan lekang oleh waktu (Sobirin
Malian, 2001: 19). Hal tersebut perlu diungkapkan, karena walau bagaimanapun
sebuah konstitusi merupakan buatan manusia, yang dapat dipastikan mempunyai
kelemahan-kelemahan dalam buatannya, tidak terkecuali dengan yang namanya
konstitusi.
Berkaitan dengan adanya sistem hukum dan ketatanegaraan yang berlaku
di Indonesia serta adanya amandemen UUD 1945, maka dalam makalah tentang
Sistem Hukum dan Tata Negara di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 ini
mempunyai beberapa rumusan masalah yaitu:
A. Pengertian apa?
A.I. Hukum Tata Negara
A.II. Konsep Hukum Tata Negara
A. III. Ruang Lingkup Hukum Tata Negara
A. IV. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia
B. Mengapa suatu peraturan perundang-undangan dapat dilakukan
amandemen?
C. Bagaimana pengaruh amandemen UUD 1945 terhadap Sistem
Hukum dan Tata Negara di Indonesia?
BAB III
PEMBAHASAN PERMASALAHAN

A. Pengertian
I. Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara pada dasarnya adalah hukum
yang mengatur organisasi kekuasaan suatu negara beserta
segala aspek yang berkaitan dengan organisasi negara
tersebut. Sehubungan dengan itu dalam lingkungan Hukum
Ketatanegaraan dikenal berbagai istilah yaitu :
a. State Law dimana yang diutamakan adalah Hukum
Negara;
b. State Recht (Belanda) dimana State Recht dibedakan
antara:
1) Arti luas Staat Recht in Ruinenzin
2) Arti sempit Staat Recht in Engeezin;
c. Constitutional Law (Inggris) dimana hukum Tata Negara
lebih menitikberatkan pada konstitusi atau hukum
konstitusi.
d. Droit Constitutional dan Droit Adminitrative (Perancis),
dimana titik tolaknya adalah untuk membedakan antara
Hukum Tata Negara dengan Hukum Aministrasi Negara.
e. Verfassnugrecht dan Vervaltingrecht (Jerman) yang
sama dengan di Perancis.
Bagi Indonesia tentunya mempunyai hubungan dengan
Hukum Tata Negara Belanda dengan istilah State Recht
atau Hukum Negara/Hukum Tata Negara.

II. Konsep Hukum Tata Negara


1. Van Vallenhoven : Hukum Tata Negara
mengatur semua masyarakat hukum
atasan dan masyarakat hukum
bawahan menurut tingkatannya dan
dari masing-masing itu menentukan
wilayah lingkungan rakyatnya, dan
akhirnya menentukan badan-badan dan
fungsinya masing-masing yang
berkuasa dalam lingkungan masyarakat
hukum itu serta menentukan sususnan
dan wewenang badan-badan tersebut.
2. Scholten : Hukum Tata Negara adalah hukum
yang mengatur organisasi daripada
Negara
3. Van der Pot : Hukum Tata Negara adalah peraturan-
peraturan yang menentukan badan-
badan yang diperlukan serta
wewenangnya masing-masing,
hubungannya dengan yang lainnya dan
hubungannya dengan individu-individu.
4. Longemann : Hukum Tata Negara adalah hukum
yang mengatur organisasi-organisasi
Negara.
5. Apeldoorn : Hukum Negara dalam arti sempit
menunjukkan organisasi-organisasi
yang memegang kekuasaan
pemerintahan dan batas-batas
kekuasaannya. Hukum Negara dalam
arti luas meliputi Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara.
6. Wade and Philips : Hukum Tata Negara
mengatur alat-alat perlengkapan
Negara, tugas, dan hubungannya antar
perlengkapan Negara itu
7. Paton : Hukum Tata Negara adalah hukum
mengenai alat-alat, tugas dan
wewenang alat-alat perlengkapan
Negara.
8. R. Kranenburg : Hukum Tata Negara meliputi
hukum mengenai susunan hukum dari
Negara- terdapat dalam UUD.
9. Utrecht : Hukum Tata Negara mempelajari
kewajiban sosial dan kekuasaan
pejabat-pejabat Negara.
10. Longemann : Hukum Tata Negara yang dipelajari
adalah :
a. Jabatan-jabatan apa yang ada dalam
suatu Negara.
b. Siapa yang mengadakan jabatan-
jabatan itu
c. Bagaimana caranya melengkapi
jabatan-jabatan itu
d. Apa tugas jabatan itu
e. Apa yang menjadi wewenangnya
f. Bagaimana hubungan kekuasaan
antara para pejabat
g. Didalam batas-batas apa organisasi
Negara menjalankan tugasnya.
11. J.R. Stellinga : Hukum Tata
Negara adalah hukum yang mengatur
wewenang dan kewajiban-keawajiban
alat-alat perlengkapan Negara,
mengatur hak, dan kewajiban warga
Negara.
12. L.J. Apeldorn :
Pengertian Negara mempunyai beberapa arti:
a. Negara dalam arti penguasa, yaitu adanya orang-
orang yang memegang kekuasaan dalam
persekutuan rakyat yang mendiami suatu daerah.
b. Negara dalam arti persekutuan rakyat yaitu adanya
suatu bangsa yang hidup dalam satu daerah,
dibawah kekuasaan menurut kaidah-kaidah hukum
c. Negara dalam arti wilayat tertentu yaitu adanya
suatu daerah tempat berdiamnya suatu bangsa
dibawa kekuasaan.
d. Negara dalam arti Kas atau Fikus yaitu adanya harta
kekayaan yang dipegang oleh penguasa untuk
kepentingan umum.

III.Ruang Lingkup Hukum Tata Negara


Persoalan atau masalah yang dibahas oleh Hukum
Tata Negara meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Struktur Umum dari Negara sebagai organisasi
adalah:
a. Bentuk Negara (Kesatuan
atau Federasi)
b. Bentuk Pemerintahan
(Kerajaan atau Republik)
c. Sistem Pemerintahan
(Presidentil, Parlementer, Monarki absolute)
d. Corak Pemerintahan
(Diktator Praktis, Nasionalis, Liberal, Demokrasi)
e. Sistem Pendelegasian
Kekuasaan Negara (Desentralisasi, meliputi jumlah,
dasar, cara dan hubungan antara pusat dan daerah)
f. Garis-garis besar tentang
organisasi pelaksana (peradilan, pemerintahan,
perundangan)
g. Wilayah Negara (darat,
laut, udara)
h. Hubungan antara rakyat
dengan Negara (abdi negara, hak dan kewajiban
rakyat sebagai perorangan/ golongan, cara-cara
pelaksanaan hak dan menjamin hak dan sebagainya)
i. Cara-cara rakyat
menjalankan hak-hak ketatanegaraan (hak politik,
sistem perwakilan, Pemilihan Umum, referendum,
sistem kepartaian/ penyampaian pendapat secara
tertulis dan lisan)
j. Dasar Negara (arti
Pancasila, hubungan Pancasila dengan kaidah-kaidah
hukum, hubungan Pancasila dengan cara hidup
mengatur masyarakat, sosial, ekonomi, budaya dan
berbagai paham yang ada dalam masyarakat.
k. Ciri-ciri lahir dan
kepribadian negara (Lagu Kebangsaan, Bahsa
Nasional, Lambang, Bendera dan sebagainya).

2. Badan-badan Ketatanegaraan yang mempunyai


kedudukan dalam organisasi Negara (MPR, DPR,
DPD, Presiden, BPK, MA, MK, KY) yaitu
menyangkut masalah :
a. Cara pemnetukannya
(Pengangkatan, Pemilihan)
b. Susunan masing-masing
badan (Jumlah, jenis anggota, dan pembagian tugas)
c. Tugas dan wewenang
masing-masing badan
d. Cara kerjanya masing-masing
badan.
e. Perhubungan kekuasaan
antara badan
f. Masa Jabatan
g. Badan-badan lain
3. Pengaturan Kehidupan Politik Rakyat
a. Jenis, penggolongan dan
jumlah partai politik di dalam negara dan ketentuan
hukum yang mengaturnya.
b. Hubungan antara
kekuatan-kekuatan politik dengan badan-badan
ketatanegaraan.
c. Kekuatan politik dan
pemilihan umum
d. Arti dan kedudukan
golongan kepentingan
e. Arti kedudukan dan
peranan golongan penekan.
f. Pencerminan pendapat
(perbedaan pendapat dalam masyarakat, ajaran
politik, perbedaan pendapat didalam badan-badan
ketatanegaraan)
g. Cara kerjasama antara
kekuatan-kekuatan politik (koalisi, oposisis,
kerjasama atas dasar kerukunan).

IV. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia


Di dalam Soemantri (1993: 9), susunan ketatanegaraan Indonesia
terbagi ke dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia sebagai berikut.
1. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Sistem Pemerintah Negara Republik Indonesia
menurut UUD 1945 pasca perubahan keempat tahun
2002 telah menetapkan tentang pembentukan susunan
dan kekuasaan/wewenang badan-badan kenegaraan
adalah sebagai berikut:
a. Dewan Perwakilan Rakyat
b. Dewan Perwakilan Daerah
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat
d. Badan Pemeriksa Keuangan
e. Presiden dan Wakil Presiden
f. Mahkamah Agung
g. Mahkamah konstitusi
h. Komisi Yudisial.
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Tugas MPR adalah (Pasal 3 UUD 1945):
1) Mengubah dan menetapkan UUD 1945
2) Melantik Presiden dan Wakil Presiden
3) Dapat memeberhentikan Presiden dan Wakil
Presiden
Presiden dalam masa jabatan menuurut UUD
Pasal 1 (2) UUD 1945, kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilakukan menurut UUD. Sebelumnya,
MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi atau
pemegang kedaulatan rakyat, sebagai pemegang
kekuasaan negara tertinggi, MPR membawahi
lembaga-lembaga yang lain.
Dengan adanya perubahan ini, maka:
1) MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara
2) Tidak lagi memegang kedaulatan rakyat
3) Tidak lagi memilih Presidendan Wakil Presiden
karena rakyat memilih secara langsung.
Mengenai memberhentikan presiden dan wakil
presiden dalam masa jabatannya, MPR mempunyai
kewenagan apabila:
1) Ada usulan dari DPR
2) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili,
dan memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden bersalah.
Alasan kedudukan MPR sebagai lembaga
tertinggi Negara dan pemegang kedaulatan rakyat
ditiadakan adalah, karena MPR bukan satu-satunya
lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat,
setiap lembaga yang mengembang tugas-tugas
politik negara dan pemerintahan adalah pelaksana
kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan
bertanggung jawab kepada rakyat.
Mengenai susunan keanggotaan MPR menurut
pasal 2 (1) mengatakan: MPR terdiri atas anggota
DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-
undang. Dengan demikian keanggotaan MPR terdiri:
1) Seluruh anggota DPR
2) Anggota DPD
Adanya anggota DPD agar lebih demokratis
dan meningkatkan keikutsertaan daerah dalam
penyelenggaraan sehari-hari praktek negara dan
pemerintahan disamping sebagai forum
memperjuangkan kepentingan daerah. Mengenai
perubahan UUD 1945 diatur mekanisme perubahan
UUD dalam pasal 37 UUD 1945.

b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)


Tugas wewenang DPR adalah:
1) DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-
Undang
2) DPR berfungsi Budget dan Pengawasan
3) DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan
hak menyatakan pandapat, mengajukan
pertanyaan, menyampaikan ususl dan pendapat
serta hak imunitas.
4) DPR memberikan pertimbangan kepada Presiden
dalam mengangkat Duta Besar dan menerima
penempatan duta negara lain, memberikan
Amnesty dan Abolisi.
5) DPR memberikan persetujuan bila Presiden
hendak membuat perjanjian bidang ekonomi,
perjanjian damai, mengadakan perang serta
perjanjian internasional lainnya, dan memilih
anggota-anggota BPK, mengangkat dan
memberhentikan Anggota Komisi Yudisial dan
menominisasikan 3 orang Mahkamah Konstitusi.
6) DPR memberikan persetujuan kepada Presiden
dalam hal Presiden hendak mengangkat seorang
Panglima TNI, Kepala Kepolisian.
7) DPR diberi wewenang untuk memilih/ menyeleksi
Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, Gubernur
Bank Indonesia dan Anggota Komisi Nasional
HAM.
8) DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan
Presiden dan/ atau Wakil Presiden, setelah
Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan
memutuskan bahwa Presiden bersalah.
Apabila dilihat tugas, wewenang, fungsi dan
hak-hak DPR tersebut sangat banyak dan luas sekali,
bahkan hampir semua bidang kekuasaan Presiden
dimiliki DPR.

c. Dewan Perwakilan Daerah ( DPD )


DPD diatur dalam pasal 22c dan 22d UUD
1945. Anggota DPD dipilih dari setiap propinsi
melalui pemilihan umum. Jumlah anggota DPD setiap
propinsi tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota
DPR.
DPD bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun. Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan
Undang-Undang. Wewenang DPD (Pasal 22d):
1) DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan pemekaran, dan penggabungan
daerah, pengolahan sumber daya alam dan
sember daya ekonomi lainnya serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
2) DPD melakukan pengawasan atas pelaksanaan
Undang-Undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah pengolahan
sumber daya alam dan sember daya ekonomi
lainnya , pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan dan agama
serta menyampaikan hasil pengawasannya
kepada DPR.
3) DPD sebagai bagian dari kelembagaan MPR,
mempunyai tugas melantik dan memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden, mengubah UUD
1945, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden
apabila dalam waktu yang bersamaan keduanya
berhalangan tetap.
Hak-hak DPD yaitu:
1) Menyampaikan usul dan pendapat
2) Memilih dan dipilih
3) Membela diri
4) Memerintah
5) Protokoler
6) Keuangan dan Administrasi.

d. Presiden dan Wakil Presiden


Presiden RI memegang kekuasaan
Pemerintahan menurut UUD. Presiden dalam
melakukan kewajibannya dibantu oleh satu orang
Wakil Presiden. Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatan selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
UUD 1945 menempatkan kedudukan lembaga-
lembaga tinggi negara sederajat sehingga tidak
dapat saling menjatuhkan dan/atau membubarkan
Pasal 8 UUD 1945 mengatakan:
1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan
atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam
masa jabatan, ia digantikan oleh Wakil Presiden
sampai habis masa jabatannya.
2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden
selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari MPR
menyelenggarakan siding untuk memilih Wakil
Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh
Presiden.
3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan, pelaksanaan tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara
bersama-sama, selambat-lambatnya tiga puluh
hari setelah itu MPR menyelenggarakan siding
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden meraih suara terbanyak pertama dan
kedua dalam pemilihan umum sebelumnya
sampai berakhir masa jabatannya.

e. Mahkamah Agung ( MA )
UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Negara Indonesia berdasarkan
atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat). Pemerintahan
berdasarkan sistem konstitusi, tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Prinsip dalam suatu negara hukum adalah
jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarkan peradilan guna
penegakan hukum dan keadilan. Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan-badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan.
1) Peradilan Umum
2) Peradilan Agama
3) Peradilan Militer
4) Peradilan Tata Usaha Negara
5) dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman telah mencabut UU No. 14 Tahun 1970
dan UU No. 35 Tahun 1994, dimana segala urusan
mengenai peradilan baik teknis yudisial, organisasi
administrasi dan financial berada di bawah satu atap
yaitu Kekuasaan Mahkamah Agung.
Negara Indonesia adalah negara demokratis
dimana kedaulatan ada di tangan rakyat dan juga
Indonesia adalah negara hukum atau kedaulatan
hukum, keduanya menyatu dalam konsepsi negara
hukum yang demokratis atau negara demokratsi
yang berdasarkan hukum, dan selanjutnya sebagai
perwujudan keyakinan bangsa Indonesia akan
kedaulatan Tuhan dalam penyelenggaraan
kehidupan kenegaraan berdasarkan Pancasila.

f. Mahkamah Konstitusi (MK)


Pasal 24 c UUD 1945 mengatakan:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap
UUD.
2) Memutus sengketa-sengketa kewenangan
lembaga negara yang wewenang diberikan oleh
UUD.
3) Memutus pembubaran partai politik.
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
5) Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Perbandingan antara Mahkamah Agung dengan
Mahkamah Konstitusi adalah:
1) Kedua-duanya sama-sama merupakan pelaku
kekuasaan kehakiman.
2) Mahkamah Agung merupakan pengadilan keadilan
(Court of Justice), sedangkan Mahkamah
Konstitusi Lembaga Pengadilan Hukum (Court of
Law).

g. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)


Diatur dalam BAB III A, pasal 23 E yang
berbunyi:
1) Untuk memeriksa pengolahan dan tanggung
jawab tentang keuangan negara di dalam suatu
Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan
mandiri.
2) Hasil pemeriksaan keuangan itu diserahkan
kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya.
3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh
lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai
dengan UU.
4) Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan
diresmikan oleh Presiden. BPK juga berwenang
melakukan pemeriksaan APBD, perusahaan
dareah, BUMN, dan perusahaan swasta dimana di
dalamnya terdapat kekayaan negara.

h. Komisi Yudisial ( KY )
Diatur dalam pasal 24 B UUD 1945 dan UU No
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Komisi
Yudisial adalah lembaga Negara yang bersifat
mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas
dari campur tangan atau pengaruh dari kekuasaan
lainnya. Anggota Komisi Yudisial diangkat oleh
Presiden dengan persetujuan DPR.
Wewenang Komisi Yudisial adalah:
1) Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada
DPR,
2) Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga prilaku hakim.
Tugas Komisi Yudisial yaitu:
1) Melakukan pendaftaran Calon Hakim Agung
2) Melakukan seleksi terhadap Calon Hakim Agung
3) Menetapkan Calon Hakim Agung
4) Mengajukan Calon Hakim Agung ke DPR
5) Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
6) Mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap
hakim kepada pimpinan MA dan/atau MK.

2. Lembaga-Lembaga Independen
Lembaga-lembaga Independen yang dasar
pembentukannya diatur dalam UUD 1945, adalah:
a. Komisi Pemilihan Umum
b. Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
(TNI dan POLRI)
c. Bank Indonesia
d. Kejaksaan Agung.
Lembaga-lembaga khusus yang tidak diatur dalam
UUD 1945, adalah:
a. Komnas HAM
b. KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi)
c. Komisi Ombudsmen
d. KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan
Penyelenggara Negara)
e. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
f. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)

B. Amandemen UUD 1945


Keinginan politik untuk mengubah UUD 1945 di era reformasi
didorong oleh pengalaman-pengalaman politik selama menjalankan UUD itu
dalam dua periode, yakni periode yang disebut sebagai Orde Lama (1959-
1966) dan periode yang disebut sebagai Orde Baru (1966-1998). Berdasarkan
analisis dan pengamatan penulis, UUD 1945 kemungkinan dahulu dibuat
dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga mengandung segi-segi kelemahan, yang
memungkinkan munculnya pemerintahan diktator, baik terang-terangan
maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik pada masa Presiden
Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945 sebelum amandemen,
memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, meskipun disebut sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat, dan penjelmaan seluruh rakyat, dalam kenyataannya
susunan dan kedudukannya diserahkan untuk diatur dalam undang-undang.
Presiden Soekarno bahkan mengangkat seluruh anggota MPR tanpa proses
Pemilu. Presiden Soeharto telah merekayasa undang-undang susunan dan
kedudukan MPR, sehingga majelis itu tidak berdaya dalam mengawasi
Presiden, dan bahkan tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya
secara optimal. UUD 1945 juga mengandung ketidakjelasan mengenai batas
periode masa jabatan Presiden. MPRS pernah mengangkat Presiden Soekarno
sebagai presiden seumur hidup. MPR Orde Baru berkali-kali mengangkat
Presiden Soeharto, sampai akhirnya, atas desakan berbagai pihak, menyatakan
berhenti di era awal reformasi, tanggal 21 Mei 1998. Keinginan untuk
menghindari kediktatoran, baik terbuka maupun terselubung, dan membangun
pemerintahan yang demokratis, menjadi latar belakang yang penting yang
mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi.
Keinginan untuk menata ulang kedudukan lembaga-lembaga negara,
agar terciptanya check and balances juga terasa begitu kuatnya. Demikian
pula keinginan untuk memperjuangkan tegaknya hukum dan pengakuan serta
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Keinginan untuk memberikan
perhatian yang lebih besar kepada daerah-daerah juga demikian menguat,
sehingga kewenangan-kewenangan Pemerintah Daerah juga perlu diperkuat,
untuk mencegah terjadinya disintegrasi. Pada akhirnya, keinginan yang teguh
untuk membangun kesejahteraan rakyat, yang telah lama menjadi harapan dan
impian, terasa demikian menguat pada era reformasi. Itulah antara lain, latar
belakang keinginan dan aspirasi yang mengiringi perubahan Undang-Undang
Dasar 1945. Namun perubahan itu dilaksanakan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999, yang diikuti oleh partai-partai
politik, baik lama maupun baru, yang ternyata tidak menghasilkan kekuatan
mayoritas. Dalam situasi seperti itu, dapat dipahami jika perumusan pasal-
pasal perubahan penuh dengan kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu
mudah dipahami dari sudut pandang hukum tata negara. Proses perubahan itu
dipersiapkan oleh Panita Ad Hoc MPR, yang mencerminkan kekuatan fraksi-
fraksi yang ada di dalamnya. Akhinya terjadilah empat kali perubahan, dalam
bentuk penambahan dan penghapusan ayat-ayat, namun secara keseluruhan,
tetap terdiri atas 37 Pasal, yang secara keseluruhan, ternyata lebih banyak
materi muatannya dari naskah sebelum dilakukan perubahan.
Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua fraksi yang ada
di MPR sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah Pembukaan
UUD 1945. Dengan demikian, pikiran-pikiran dasar bernegara sebagaimana
termaktub di Sekretariat Negara Republik Indonesia (http://www.setneg.go.id)
dalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi pikiran-pikiran dasar itu
ke dalam struktur ketatanegaraan, sebagaimana akan saya jelaskan nanti,
memang cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan ini,
memang menunjukkan keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari perdebatan
yang bersifat filsafat dan ideologi, yang nampaknya memetik pelajaran dari
sejarah perdebatan, baik dalam proses penyusunan UUD 1945 di masa
pendudukan Jepang maupun perdebatan-perdebatan yang sama di
Konstituante.
Beberapa partai politik dalam Pemilu 1999 tegas-tegas menyuarakan
perlunya amandemen konstitusi. Akhirnya perubahan konstitusi terjadi juga
dalam empat tahapan perubahan, yang disebut dengan Perubahan Pertama,
Kedua, Ketiga dan Keempat. Sejarah Konstitusi kita juga menunjukkan bahwa
UUD 1945 bersifat sementara yang akan disempurnakan bila keadaan sudah
aman. Diantara argumentasi yang mendasari perubahan UUD 1845 tersebut
antara lain:
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur
ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang
sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak
terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
Kedua, Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang
sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang
dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di
tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim
disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan
rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk
Undang-undang.
Ketiga, UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan
“fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran
(multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen). Keempat,
UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden
untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga
memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal
penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
Kelima, rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan
negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar
tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat,
penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka
peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak
sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut: a) Tidak
adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada
presiden; b) Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan
organisasi masyarakat; c) Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk
memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan
pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah; d) Kesejahteraan sosial berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem
monopoli dan oligopoli.

C. Pengaruh Amandemen UUD 1945 terhadap Sistem Hukum dan Tata


Negara di Indonesia
Dengan empat tahapan amandemen UUD 1945 (konstitusi) yang
terjadi, niat yang sesungguhnya dari para penggagas adalah untuk
memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan sistem dan mekanisme
penyelenggaraan negara kita untuk memperkuat sistem presidensiil.
Pertama, hubungan antar lembaga negara bukan didasarkan pada
hirarkis. Praktek ketatanegaraan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar
1945 dikenal dengan adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi
negara. Implementasi dari sistem ini adalah menempatkan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara yang salah satu fungsinya adalah memberikan
cabang kekuasaan negara kepada lembaga negara lainnya, misalnya kekuasaan
eksekutif kepada presiden, kekuasaan legislatif kepada DPR, dan kekuasaan
yudikatif kepada MA. Konsekuensi pada sidang tahunan, presiden, DPR, MA,
DPA dan BPK mempertanggungjawabkan kepada MPR. Praktek
ketatanegaraan seperti ini didasarkan pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat”. Konsekwensi dari MPR
sebagai lembaga tertinggi negara adalah menjadi lembaga super bodi yang
memiliki segala-galanya. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berubah menjadi “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hilangnya
kata “sepenuhnya” pada pasal tersebut mempunyai implikasi yang sangat
fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR kedudukannya
tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi sama dengan lembaga
negara lainnya. Dengan demikian hubungan antar lembaga negara tidak
didasarkan pada hirarkis atas-bawah, melainkan sejajar yang masing-masing
lembaga negara menjalankan sebagaimana fungsinya.
Kedua, pembatasan masa jabatan Presiden, yakni selama lima tahun,
namun hanya untuk dua periode saja, telah dilakukan. Hal ini mencegah
diangkatnya Presiden seumur hidup seperti di masa Orde Lama, atau Presiden
yang dipilih setiap lima tahun tanpa batasan periode seperti di zaman Orde
Baru. Amandemen terhadap pasal tentang masa jabatan Presiden ini patut kita
hargai. Di masa depan, kita harapkan tidak akan ada lagi Presiden seumur
hidup atau dipilih berkali-kali tanpa batasan periode. Sistem ini akan
mencegah terulangnya kekuasaan Presiden yang cenderung menyalahgunakan
kekuasaannya karena memerintah terlalu lama.
Ketiga, pembatasan kewenangan Presiden. Sebelum dilakukan
amandemen, kewenangan presiden dinilai terlalu besar di dalam UUD 1945.
Ketentuan yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dibalik menjadi kewenangan DPR. Namun Presiden tetap berhak
mengajukan rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan DPR.
Perubahan ini bertujuan untuk memberikan penguatan kepada DPR, walau
tidak mengubah hakikat bahwa badan legislatif tidaklah hanya monopoli DPR.
Badan ini memang memegang kekuasaan legislasi, namun tidak menyebabkan
DPR menjadi badan legislatif, karena sebagian kewenangan legislasi tetap
berada di tangan Presiden. Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif
bersama-sama dengan DPR dan untuk beberapa hal sebagaimana diatur dalam
Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
Keempat, munculnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Utusan
daerah dan utusan golongan-golongan yang dulu dimaksud untuk menambah
anggota DPR untuk membentuk MPR, digantikan dengan anggota DPD.
Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum menggunakan sistem
proporsional melalui partai politik dengan teknik penentuan calon jadi
berdasarkan BPP, sedangkan pencalonan DPD adalah perorangan dengan
teknik penentuan calon jadi berdasar simple majority berdasarkan rangking
perolehan suara. Inilah esensi DPR mewakili orang (people representation),
sementara DPD mewakili ruang (sphere representation). Artinya, keterwakilan
sesama anggota DPR harus mencerminkan kesederajatan dan keadilan. Tidak
ada lagi anggota DPR maupun MPR yang diangkat. Ketidakjelasan jumlah
anggota MPR dan pengertian “ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan” yang dapat dijadikan Presiden sebagai instrumen untuk
melanggengkan kekuasaan, dapat dihindari, sebab jumlah maksimum anggota
DPD adalah sepertiga anggota DPR seperti diatur
dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945.
Kelima, amandemen Konstitusi juga telah menciptakan lembaga baru,
yakni Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Keberadaan MK adalah suatu gagasan yang baik, untuk memeriksa
perkara-perkara yang terkait langsung dengan konstitusi. Kekuasaan
Kehakiman sebagai cabang kekuasaan yang merdeka, memang harus terpisah
secara ketat dengan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Pada masa saya
menjadi Menteri Kehakiman dan HAM saya telah menuntaskan sebuah
pekerjaan cukup berat yakni memisahkan kewenangan adiminstrasi, personil
dan keuangan peradilan dari Pemerintah. Kini, Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi secara administrasi, personil dan keuangan benar-benar
independen, apalagi dalam menangani perkara. Jadi, meskipun dalam hal
legislasi ada pembagian kekuasaan antara Presiden, DPR dan DPD, namun
dalam hal kekuasaan kehakiman, maka kekuasaan ini adalah kekuasaan yang
merdeka dan bebas dari campur-tangan lembaga manapun juga.
Dengan amandemen UUD 1945, kedudukan DPR telah diperkuat,
bukan saja dalam kewenangan legislasi, namun juga dalam hal anggaran dan
pengawasan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-
anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima
tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggungjawab kepada
DPR. Inilah sesungguhnya inti dari sistem pemerintahan Presidensial yang
kita anut. Para menteri adalah pembantu Presiden, yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada
Presiden. DPR memang memiliki wewenang melakukan pengawasan, namun
tidak dapat “memanggil” para menteri yang dapat menimbulkan kesan bahwa
yang satu adalah bawahan dari yang lain, apalagi meminta
pertanggungjawabannya.
Pertanggungjawaban akhir penyelenggaraan pemerintahan negara,
sesungguhnya terletak di tangan Presiden. DPR juga tidak dapat mendesak
Presiden untuk memberhentikan menteri, karena pengangkatan dan
pemberhentiannya adalah kewenangan Presiden yang tidak dapat dicampuri
oleh lembaga negara yang lain.
Amandemen UUD 1945 terjadi hingga empat tahapan. Hasil dari
perubahan konstitusi tersebut adalah perubahan secara signifikan sistem
ketatanegaraan R.I. Struktur lembaga negara yang tidak diperlukan
dibubarkan, kemudian atas tuntutan perkembangan politik dan masyarakat
dibentuk lembaga negara baru. DPA dibubarkan, dibentuk MK dan DPD
sebagai lembaga tinggi negara.
Lembaga perwakilan rakyat direformasi sedemikian rupa dengan
menghilangkan unsur-unsur keterwakilan yang pada masa lalu digunakan
sebagai alat kekuasaan eksekutif. Unsur ABRI, Utusan Golongan dan Utusan
Daerah yang selama Orde Baru digunakan untuk membangun legitimasi
formal dihilangkan dari DPR. Semua anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui
partai politik. Untuk memenuhi dan mewadahi aspirasi dan kepentingan
daerah, maka dibentuklah DPD, yang susunannya dipilih langsung oleh rakyat
dari daerah yang diwakilinya (Propinsi). Sedangkan MPR berjalan seolah
joint session antara DPR dan DPD, dengan tugas dan wewenang yang lebih
terbatas (bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara).
Pengaruh amandemen juga menjangkau hingga pada pengaturan
tentang sistem kepartaian di Indonesia. Masyarakat diberikan kebebasan yang
sangat luas untuk membentuk partai politik, dan bagaikan jamur di musim
hujan sejak itu lebih dari seratus partai politik yang terdaftar di Departemen
Hukum dan HAM. Sekalipun demikian untuk mengikuti pemilu partai politik
harus memenuhi persyaratan tertentu yang tidak mudah. Tetapi harus diingat
bahwa partisipan pemilu pasca reformasi selalu diikuti oleh lebih dari 20
partai politik. Bahkan pada pemilu legislatif 2009 yang baru lalu diikuti oleh
40 partai politik.
Pemilu menjadi sarana yang sangat penting dalam sistem politik
demokrasi untuk menyalurkan aspirasi dan agregasi sekaligus rekruitmen
politik rakyat. Pemilu sekaligus menjadi ajang untuk melakukan seleksi
kebijakan nasional bagi penyusunan program negara R.I. Oleh karena itu
pemilu harus dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga
yang independen namun dengan kedudukan yang kuat.
Materi penting yang lain dalam perubahan UUD 1945 adalah bahwa
Presiden R.I. dipilih langsung oleh rakyat, dengan masa jabatan yang dibatasi
untuk dua kali lima tahun. Selebihnya tidak dapat dipilih lagi. Dengan
pemilihan presiden secara langsung, maka aspirasi rakyat akan menjadi lebih
terjamin. Rakyat sendirilah yang memilih presidennya, sehingga setiap suara
rakyat menjadi semakin berarti.
Pers sebagai pilar keempat demokrasi berperan semakin maksimal
ketika ruang ekspresi dan informasi dibuka lebar. Media massa tidak takut lagi
dengan ancaman breidel oleh pemerintah. Bahkan independensi media
dilindungi dengan UU Pers dan negara telah memasukkan pers sebagai rejim
HAM, sehingga urgensi pemeruhannya menjadi semakin pokok. Pada periode
ini kekuatan pers untuk menjadi pilar keempat demokrasi benar-benar
mendapatkan ruang yang sangat besar.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Uraian di atas menunjukkan bahwa situasi politik tertentu akan dapat
melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu pula. Hal ini juga terjadi
pada kurun waktu empat kali pelaksanaan amandemen UUD 1945.
Amandemen tersebut secara teoritis, dikotomis sistem politik demokrasi akan
menghasilkan produk hukum yang responsif. Sedangkan konfigurasi sistem
politik yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang
konservatif/ortodoks. Kesimpulan umum tersebut dapat secara langsung
dikaitkan dalam telaah pengaturan hukum tentang pemerintahan daerah di
Indonesia.
Dalam periodesasi yang ditentukan menurut momentum kesejarahan
perkembangan politik nasional Indonesia yang ditandai dengan pelaksanaan
amandemen UUD 1945, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Periode 1945 – 1959, karena keadaan politik di Indonesia pasca
kemerdekaan adalah sangat demokratis (demokrasi liberal), dan telah
melahirkan produk hukum tata negara yang berkarakter responsif.
2. Periode 1959 – 1965, keadaan politik di Indonesia adalah otoriter, di
bawah panji politik totalitarianisme Soekarno dan demokrasi terpimpin,
maka telah melahirkan produk hukum tata negara yang berkarakter
ortodoks.
3. Periode 1966 – 1998, keadaan politik adalah otoriter dengan ditandai
otoritarianisme rejim Orde baru yang terpusat di tangan Soeharto. Pada
periode ini telah melahirkan produk hukum tata negara yang ortodoks dan
konservatif.
4. Periode 1998 – sekarang, konfigurasi politik demokratis, dengan ditandai
munculnya rejim reformasi yang secara fundamental telah merubah sistem
ketatanegaraan menjadi demokratis. Produk hukum yang dihasilkan adalah
berkarakter responsif.
Amandemen UUD 1945 memang berusaha untuk mengurangi
kekuasaan yang begitu besar yang berada di tangan Presiden, sebagaimana
diterapkan oleh Presiden Soekarno dan Soeharto. Masa jabatan Presiden
dibatasi hanya dua periode, untuk mencegah terulangnya pemerintahan tanpa
batasan yang jelas seperti di masa lalu. Kewenangan Presiden untuk
mengangkat duta dan menerima duta negara lain, juga dilakukan dengan
memperhatikan pertimbangan DPR. Demikian pula dalam pengangkatan dan
pemberhentian Panglima TNI dan Kapolri, dilakukan Presiden setelah
mendapat pertimbangan DPR. Ketentuan yang terakhir ini, menyebabkan
panglima TNI dan Kapolri bukan lagi pejabat setingkat menteri negara dan
menjadi anggota kabinet, karena Presiden telah kehilangan hak prerogatif
untuk mengangkat dan memberhentikan kedua pejabat itu.

B. Saran
Penerapan dan pelaksanaan sebuah undang-undang dasar akan sangat
dipengaruhi oleh situasi perkembangan zaman, serta kedewasaan bernegara
para pelaksananya. Adanya semangat para penyelenggara negara yang benar-
benar berjiwa kenegerawanan, sangatlah mutlak diperlukan untuk mengatasi
kekurangan dan kelemahan rumusan sebuah undang-undang dasar. Tanpa itu,
undang-undang dasar yang baik dan sempurna pun, dapat diselewengkan ke
arah yang berlawanan. Namun, apapun juga, amandemen konstitusi itu telah
terjadi, dan menjadi bagian sejarah perjalanan bangsa ke depan.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan saran bahwa pihak-pihak
yang berwenang dan yang bertanggung jawab terhadap perubahan dalam
ketatanegaraan di Indonesia sebaiknya mampu bersikap konsisten dan mampu
membawa perjalanan bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Miriam Budihardjo. 2004Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

Padmo Wahjono. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta:


Ghalia Indonesia.

Sobirin Malian. Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945.


Yogyakarta: UII Press.

Soemantri, Sri. 1993. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 dalam


Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta:
Sinar Harapan.

http://www.setneg.go.id., Diakses November 2010.


TINJAUAN TENTANG SISTEM HUKUM DAN
TATA NEGARA DI INDONESIA PASCA
AMANDEMEN UUD 1945

Oleh:

WENDY
NPM. 09.32.0024

UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
MADIUN
2010
KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadlirat Allah SWT., yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah

dengan judul: “ Tinjauan tentang Sistem Hukum dan Tata Negara di Indonesia

Pasca Amandemen UUD 1945” ini dengan baik.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada berbagai pihak

yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini, baik bantuan yang

berupa bimbingan, semangat, dan penyampaian berbagai informasi sehingga

makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk

itu segala kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan. Selanjutnya,

penulis berharap makalah ini mampu memberikan manfaat kepada semua pihak.

Terima kasih.

Madiun, November 2010

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Tujuan dan Manfaat Makalah...................................................... 3
1. Tujuan.................................................................................... 3
2. Manfaat.................................................................................. 3
BAB II PERMASALAHAN.......................................................................... 5
BAB III PEMBAHASAN PERMASALAHAN.............................................. 6
A. Pengertian.................................................................................... 6
I. Hukum Tata Negara............................................................... 6
II. Konsepsi Hukum Tata Negara............................................... 6
III. Ruang Lingkup Hukum Tata Negara..................................... 8
IV. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia............................. 10
B. Amandemen UUD 1945.............................................................. 18
C. Pengaruh Amandemen UUD 1945 terhadap Sistem Hukum
dan Tata Negara di Indonesia...................................................... 21
BAB IV PENUTUP......................................................................................... 27
A. Kesimpulan.................................................................................. 27
B. Saran............................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 29

You might also like