You are on page 1of 5

Sekilas tentang Angka Kemiskinan

Polemik data kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang
gencar diberitakan media akhir-akhir ini menggelitik penulis untuk mencoba menuangkan
pendapatnya dalam tulisan ini.
BPS setiap tahun membuat data statistik angka kemiskinan yang dihasilkan dari dan
survei. Ketika pemerintah menyampaikan kepada publik mengenai angka kemiskinan yang
pada tahun 2010 (Maret 2010) sebesar 13,33 persen dari penduduk Indonesia atau 31 juta
orang miskin dari jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa, sebagian publik menanggapi bahwa
pemerintah berbohong.
Sebenarnya tanggapan dari sebagian publik ini sah-sah saja, hal ini menunjukkan
adanya perhatian dan kepedulian terhadap kondisi bangsa ini. Namun, perdebatan-perdebatan
yang terjadi juga perlu diluruskan. Angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS jangan langsung
dbandingkan dengan jumlah penerima beras miskin (raskin) atau penerima layanan
Jamkesmas. Itu namanya tidak “apple to apple”.
Berikut ini penulis mencoba menguraikan mengenai pengertian kemiskinan dan cara
penghitungan kemiskinan. Semoga bisa menambah wawasan kita dalam memahami angka
kemiskinan BPS.

1. Pengertian Kemiskinan
Fenomena kemiskinan merupakan sesuatu yang kompleks, dalam arti tidak hanya
berkaitan dengan dimensi ekonomi saja tetapi juga dengan dimensi-dimensi lain diluar
ekonomi. Namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks
ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan,
yang mana semuanya berada dalam lingkup dimensi ekonomi. Kemiskinan tidak hanya
berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan
keberdayaan dan tingkat partisipasinya.
Berikut beberapa definisi tentang kemiskinan. World Bank (2000) mendefinisikan
kemiskinan sebagai berikut:
“ Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able
to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having a job,
poverty is fear for the future, living one day at a time. Poverty is powerlessness, lack
of representation and freedom “.
Pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Sosial
Development) di Kopenhagen 1995, kemiskinan didefinisikan sebagai berikut:
“ Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan
dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan
dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses
pada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan akibat
penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak
memadai; lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial; dan
dicirikan juga oleh rendahnya tingkat partisipasai dalam proses pengambilan keputusan
dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.”
Menurut Sen (1985) kemiskinan adalah kegagalan untuk berfungsinya beberapa
kapabilitas dasar atau dengan perkataan lain seseorang dikatakan miskin jika kekurangan
kesempatan untuk mencapai/mendapatkan kapabilitas dasar ini. Sen (1995) menyatakan
bahwa kemiskinan jangan dianggap hanya sebagai pendapatan rendah (low income), tetapi
harus dianggap sebagai ketidakmampuan kapabilitas (capability handicap).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar minimum dikategorikan sebagai penduduk miskin. Nilai garis kemiskinan
yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari ditambah
dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang
meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan
rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah)
untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis
kemiskinan (BPS, 2007).
Beberapa kriteria kemiskinan yang ditetapkan oleh instansi lainnya, antara lain:
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), World Bank dan UNDP (United
Nations for Development Programs). BKKBN menetapkan kemiskinan berdasarkan kriteria
keluarga pra sejahtera (pra KS) dan keluarga sejahtera I (KS I). World Bank menetapkan
kemiskinan berdasarkan pada pendapatan per orang per hari. Biasanya ukuran yang
digunakan US$ 1 atau US$ 2. Penduduk dengan penghasilan dibawah nilai nominal tersebut
dikategorikan sebagai penduduk miskin.
UNDP pada tahun 1990 an memperkenalkan indeks pembangunan manusia (human
development index – HDI) dan indeks kemiskinan manusia (human poverty index – HPI).
Dibandingkan dengan kriteria kemiskinan Bank Dunia, maka pendekatan UNDP relatif lebih
komprehensif. Pendekatan UNDP tidak hanya mencakup aspek ekonomi (pendapatan), tetapi
juga pendidikan (angka melek huruf) dan kesehatan (angka harapan hidup).

2. Penghitungan Kemiskinan
Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga
saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs
approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non
makanan yang bersifat mendasar.
Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, indikator yang digunakan adalah Head
Count Index (HCI) yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah Garis
Kemiskinan (GK). GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan non
makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) yang telah ditetapkan.
Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang
hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas perkiraan awal GK. Perkiraan awal GK ini
dihitung berdasarkan GK periode sebelumnya yang diinflate/dideflate dengan inflasi/deflasi.
GK dibagi ke dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Batas kecukupan makanan (pangan) dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan
untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2100 kkalori per kapita per hari.
Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Sejak tahun 1993
penghitungan kecukupan kalori ini didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang telah
disesuaikan dengan pola konsumsi penduduk.
Batas kecukupan non makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk
non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang, kesehatan,
pendidikan, transportasi, dan lain-lain. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan
mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan
perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14
komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan. Sementara itu sejak tahun 1996 terdiri
dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis
komoditi) di perdesaan. Penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin provinsi
dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan berdasarkan GK (GKM + GKNM) yang juga
dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan.
Setelah garis kemiskinan ditetapkan, maka penghitungannya menggunakan formula
yang di sarankan oleh Foster-Greer-Thorbecke (1984) sebagai berikut:
α
1 q
 z − yi 
Pα =
n
∑  z 
i =1  
……………………………….(1)

dimana: α = 0, 1, 2
z = garis kemiskinan
yi = rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada
dibawah garis kemiskinan ( i=1, 2, 3, …, q), yi < q
q = banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n = jumlah penduduk
Jika α =0 maka diperoleh Head Count Index (P0); α =1 adalah Poverty Gap Index (P1); dan
α =2 merupakan ukuran Poverty Severity Index (P2).
Head count index (HCI) adalah ukuran kemiskinan jika pada formula Foster-Greer-
Thorbecke nilai α kita ganti dengan nol, sehingga:
q
P0 = …………………………………………………...(2)
n
Ini adalah ukuran proporsi dari populasi yang berada di bawah garis kemiskinan, yang
didefinisikan sebagai persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk. Ukuran
ini yang paling sering digunakan, meski memiliki kekurangan yaitu tidak bisa
menggambarkan kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan.
Poverty gap atau kedalaman/jurang kemiskinan adalah ukuran kemiskinan, jika pada
formula Foster-Greer-Thorbecke nilai α kita ganti dengan satu, sehingga:

1 q
 z − yi 
P1 =
n
∑ 
i =1 z 
…………………………………….(3)

Poverty gap adalah ukuran yang berguna untuk mengetahui seberapa banyak sumber
daya (uang) yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan melalui transfer uang (cash
transfer) yang ditujukan kepada orang miskin dengan sempurna. Misalkan poverty gap = 0,2
maka cash transfer yang diperlukan untuk menghapus kemiskinan adalah sebesar 20 persen
dari garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini semakin besar rata-rata kesenjangan
pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin
tinggi nilai indeks menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk
Squared poverty gap atau poverty severity index adalah ukuran yang menggambarkan
keparahan kemiskinan. Jika pada formula Foster-Greer-Thorbecke nilai α kita ganti dengan
dua, sehingga:
2
1 q
 z − yi 
P2 =
n
∑  z 
i =1  
……………………………………(4)

Indeks ini menggambarkan ketimpangan diantara orang miskin. Sampai batas tertentu
squared poverty gap dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas
kemiskinan.

3. Penutup
Demikianlah, sedikit tambahan wawasan mengenai kemiskinan. Tanpa bermaksud
menggurui, penulis mengajak kita semua agar dapat meningkatkan wawasan kita tentang data-
data yang kita hasilkan. Dan kepada redaksi Varia Statistik, terima kasih atas perhatiannya dan
sudilah kiranya memberikan tanggapan terhadap tulisan ini demi perbaikan dimasa mendatang.

Tulisan ini bisa juga dilihat diblog penulis:


http://openmind-hajiji.blogspot.com/

You might also like