You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Folklor merupakan cabang pengetahuan yang berdiri sendiri di Indonesia,


dimana permasalahannya tampak semakin penting untuk dibicarakan. Folklor
sebagai suatu tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun, sedikitnya dua
generasi, yang dapat mereka akui bersama. Pentingnya folklor untuk diketahui
dan dikembangkan orang pada jaman sekarang.

Seni pertunjukkan rakyat yang didalamnya terdapat tarian mistis rakyat,


yang dibahas dalam makalah ini adalah sintren. Sintren sebagai seni pertunjukkan
rakyat perbatasan antara Jawa dan Sunda, yang mana dalam masa sekarang sudah
sangat jarang untuk dipertunjukkan.

Sintren sebagai bentuk folklor yang sudah sangat jarang dikenal oleh
masyarakat luas, terutama masyarakat asal daerah sintren pun tak mengetahui
secara pasti sebenarnya sintren itu. Maka dalam makalah ini, saya mencoba
memperkenalkan seni sintren agar dapat lebih dikenal lagi. Sehingga hal ini dapat
mengenalkan sintren tidak hanya sekedar asal tahu nama saja, tetapi juga
mengetahui bagaimana sintren itu.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana asal muasal seni sintren itu?

2. Apa seni sintren itu sebenarnya?

3. Bagaimana jalannya pertunjukkan seni sintren?

4. Apa makna dari sintren tersebut?

1
C. Tujuan Masalah

1. Maha siswa mengetahui tentang asal muasal seni sintren.

2. Maha siswa mengetahui tentang pengertian seni sintren.

3. Maha siswa mengetahui tentang jalannnya pertunjukkan seni sintren.

4. Maha siswa mengetahui tentang makna dari seni sintren.

2
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Folklor

Pengertian folklor menurut:

• James Danandjaya, folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif,


yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa
saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device). Folklor sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan
yang berdiri sendiri di Indonesia, yang mana belum lama dikembangkan orang
dewasa ini. Folk yang sama artinya dengan kata kolektif (collectivity).
Sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang
diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui secara contoh yang
disertai dengan gerak isyarat. Folklor merupakan hazanah sastra lama.

B. Pengertian Folklor Sebagian Lisan

Sintren merupakan seni pertunjukkan rakyat yang didalamnya terdapat


tarian mistis rakyat, sehingga sintren termasuk dalam folklor sebagian lisan.
Menurut James Danandjaya, folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya
merupakan campuran unsure lisan dan unsure bukan lisan.

B. Pengertian Sintren

Menurut Budiono Herusatoto, sintren adalah bentuk seni pertunjukkan


rakyat di wilayah Jawa Tengah bagian barat daerah Cilacap dan Brebes, serta
wilayah Jawa Barat bagian timur daerah Cirebon dan Ciamis. Sintren adalah seni
pertunjukkan rakyat Jawa-Sunda; seni tari yang bersifat mistis, memiliki ritus
magis tradisional tertentu yang mencengangkan.

3
BAB III

PEMBAHASAN

A. Asal Muasal Seni Sintren

Sintren sebagai sebuah bentuk seni pertunjukkan rakyat di wilayah Jawa


Tengah bagian barat, yaitu daerah Cilacap dan Brebes, serta wilayah Jawa Barat
bagian timur, yaitu daerah Ciamis dan Cirebon. Sintren sempat digemari
masyarakat antara tahun 1950 sampai 1963. Pertunjukkan seni sintren asli sempat
terlihat pada tahun 1963. Seni pertunjukkan sintren sempat punah akibat ‘badai
politik’ yang mencengangkan kedaulatan rakyat sampai dnegan awal tahun 1966.
Seni pertunjukkan sintren dicap sebagai ‘racun yang melemahkan semangat
revolusioner rakyat’, versi politik palu-arit saat itu.

Kenangan rakyat terhadap sintren masih melekat sampai dengan tahun


1990, berkat adanya merk rokok Siong yang bersimbol gambar sintren (penari
bedaya serimpi), meskipun bila dicermati, gambar penari serimpi tersebut tidak
mewakilli gambar penari sintren yang sesungguhnya. Busana lengkap penari
sintren berbeda jauh dengan penari srimpi. Mata penari ditutup dengan sapu
tangan putih yang dilipat, kemudian diikatkan ke belakang kepala serta memakai
kacamata warna hitam.

Rokok Siong adalah rokok yang berukuran sebesar jari kelingking,


beraroma khas klembak-menyan Siong. Sintren menyatu ke dalam rokok dan
merek karena rokok tersebut menjadi kegemaran para sintren, khususnya pada
saat penari Sintren yang masih perawan kencur (gadis yang belum haid) sedang
manggung.

B. Definisi Seni Sintren

Kata ‘sintren’ dalam Baoesastra Djawa karangan W. J. S Poerwadarminta


(1939), dimaknai ‘bangsaning soelapan, djantoeran’ yang artinya “sejenis

4
sulapan, nama pertunjukkan’. Pemaknaan kata ‘sintren’ yang menyesatkan orang
itu harus diganti dengan makna yang benar. Sintren merupakan bentuk seni
pertunjukkan rakyat di wilayah Jawa Tengah bagian barat daerah Cilacap dan
Brebes, serta wilayah Jawa Barat bagian timur daerah Cirebon dan Ciamis.
Sintren adalah seni pertunjukkan rakyat Jawa-Sunda; seni tari yang bersifat mistis,
memiliki ritus magis tradisional tertentu yang mencengangkan. (Budiono
Herusatoto, 2008: 207)

Sintren adalah sebutan kepada peran utama dalam satu jenis kesenian.
Tapi akhirnya sebutan itu menjadi satu nama jenis kesenian yang disebut sintren.
Sintren sendiri berasal kata sesantrian artinya meniru santri bermain lais, debus,
rudat atau ubrug dengan menggunakan magic (ilmu ghaib).

C. Pertunjukkan Seni Sintren

Pertunjukkan seni sintren biasanya dilaksanakan pada malam hari, pada


saat bulan purnama di musim kemarau. Jaman dahulu saat belum ada listrik
masuk desa, pertunjukkan sintren ini menggunakan lampu ting (lentera) dan obor
bamboo sebagai alat penerangnya. Pertunjukkannya digelar diatas tanah yang
berikar mendhog (batang rumput rawa), dikelilingi lima buah obor bamboo
setinggi satu setengah meter yang ditancapkan di atas tanah. Namun jaman
sekarang sudah berubah, listrik sudah masuk desa, pemakaian obor sudah jarang
digunakan karena sudah digantikan dengan lampu.

Di tengah arena pertunjukkan dipasang sebuah kurungan ayam jago yang


terbuat dari bamboo. Lokasi penontonnya disiapkan untuk mengitari arena
pertunjukkan. Goyangan nyala obor yang tertiup angin, menjadikan cahaya di
arena pentas itu terlihat berbinar-binar, bergelombang-gelombang, berubah-ubah
arah sesuai arah angin. Lentera-lentera dipasang mengelilingi halaman untuk
menerangi tempat duduk penonton yang lesehan (duduk di atas tikar) atau di
rumput halaman. (Budiono Herusatoto, 2008: 210)

Lagu-lagu dolanan anak-anak Jawa, seperti Ilir-ilir, Cublek-cublek


suweng, Padang Rembulan, Unthuluwuk, Pring Reketek, Cing Cangkeling,
Pacici-cici Putri, dan Slep Dur dinyanyikan oleh segerombola anak SD untuk

5
menunggu penonton datang ke arena pertunjukkan. Setelah waktu shalat Isya,
nyanyian dolanan tersebut digantikan oleh grup kesenian rakyat Tanjidor, sebagai
pengiring tarian sintren dengan lagu Salawatan. Instrumen Tanjidor terdiri dari
gendang, terbang, dua buah genjring, bedug, dan terompet.

Setelah Tanjidor keluar, beberapa saat kemudian keluarlah pawang sintren


laki-laki diiringi Tanjidor yang langsung mengelilingi arena pertunjukan. Pawang
laki-laki tersebut berhenti sejenak ditengah arena sambil memegang-megang
kurungan ayam sambil membaca mantra. Sang pawang tersebut sedang memohon
kepada seluh penonton yang dating, khususnya mereka yang mempunyai ilmu
tinggi (ilmu tenaga dalam) untuk tidak mengganggu jalannya pertunjukkan agar
acar pertunjukkan tersebut dapat berjalan lancar. Kemudian pawang perempuan
munsul dengan membawa seperangkat pakaian sintren, yang terdiri dari kain batik
parang, segulung angkin (sabuk kain beledu bersulam) dan stagen (sabuk kain
panjang dua setangah meter yang digulung), blus beledu hitam penari sintren
dengan sulam hias berwarna perak dan emas, selendang tari, kuluk (mahkota)
berhias bulu merak, sepasang sumping (hiasan daun telinga berjuntai), hiasan
kalung penari putrid, sapu tangan putih, dan tali lawe (tambang benang) berisi
bedak, sisir, kaca rias kecil, dan kaca mata hitam.

Seperangkat pakaian itu ditumpuk rapi di atas baki (dulang). Kemudian


ada lagi baki kecil yang berisi satu gelas kosong, satu gelas air putih, satu piring
kembang telon (tiga macam bunga: mawar merah-putih, kenanga, dan kanthil),
satu ikat kinang 9sirih0, rokok siong, dan pemantik api. Kedua baki tersebut
diletakkan dalam kurungan. Kemudian kurungan ditutup rapat-rapat dengan dua
kain batik warna tua/gelap. Sementara itu, pawang laki-laki membakar kemenyan
diatas bara api yang telah disiapkan diatas layah (piring dari tanah liat), yang
diputar-putar diatas dan di sekeliling kurungan ayam tersbut.

Pawang perempuan keluar arena dan kembali lagi mengiringi seorang


remaja putrid memakai rok atau pakaian yang dikenakan sehari-hari. Pawang
perempuan dan remaja putri tersebut duduk berdampingan di sebelah timur
kurungan, sedangkan pawang laki-laki duduk di sebelah barat kurungan. Mereka
bertiga menghadap kurungan, lalu sang pawang laki-laki meminta penonton untuk

6
berdoa bersama-sama kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dikaruniai keselamatan
dan kelancaran atas jalannya perunjukkan tersebut.

Pawang laki-laki tersebut kemudian membuka sedikit kurungan, lalu


pawang perempuan mengambil tali lawe yang ada di dalamnya dan mengikat erat-
erat tangan remaja putrid tersebut ke belakang badannya. Iringan Tanjidor
berhenti digantikan oleh nyanyian lagu dolanan sama seperti awal pertunjukkan.
Remaja putri sebagai calon sintren membungkuk masuk ke dalam kurungan yang
telah dimirngkan ke arah barat oleh pawang laki-laki, dengan diiringi nyanyian
lagu Padang Rembulan dan Ilir-ilir.

Kurang lebih dua puluh menit kemudian, kurungan sintren dibuka oleh
pawang laki-laki, lalu sintren pun keluar dengan dandanan yang sudah rapi,
cantik, mengenakan semua perlengkapan pertunjukkan tadi. Pada gelas kosong
terlihat air ludah sirih dan sisa kunyahannya. Kemudian sintren menari dengan
monoton, lucunya sintren menari menggunakan kacamata hitam. Para penonton
yang berdesak-desakan mulai melempari sintren dengan uang logam, dan begitu
uang logam mengenai tubuhnya, maka sintren akan jatuh pingsan. Setelah itu,
sintren akan dimasukkan kembali ke dalam kurungan. Pawang laki-laki pun
kembali membacakan mantra-mantra, setelah beberapa saat kurungan di buka
kembali, dan sintren tersebut berpakaian sehari-hari menjadi remaja putri biasa.
Kain, pakaian, dan perlengkapan lainnya kembali terlipat dan tertumpuk seperti
semula meski tidak serapi sebelumnya.

D. Makna Seni Sintren

Semula dalam kontruksi awal penelitian masih menggunakan kesimpulan


para ahli kesenian Jawa yang menganggap bahwa kesenian rakyat, termasuk
Sintren, sebagai releksi dari masa lalu pre-history yang masih kental dengan
tradisi animisme yang menggunakan medium shaman (medium untuk
menggunakan manusia yang menari-nari diiringi bunyi-bunyian sampai mencapai
keadaan tidak sadarkan diri). Tetapi setelah mempelajari lebih jauh da
memperhatikan bentuk pentasnya muncul sebuah penyangkalan akan wacana
dominan tentang kesenian rakyat itu. Sebab, ternyata Sintren adalah pantulan maa

7
lalu massa rakyat yang berhubungan dengan kolonialisme masa lalu Indonesia.
Dalam beberapa kali wawancara Rumekso Setyadi dengan pelaku kesenian ini
memang tidak begitu terungkap masalah ini. Tetapi berdasarkan penelitiannya
terhadap syair-syair yang dinyanyikan untuk mengiringi pementasan dan ragam
atribut yang dikenakan penarinya, maka sebuah hipotesis awal yang diambil
Rumekso Setyadi adalah ada sebuah symbol dan siasat kebudayaan tertentu dari
masa lalu dalam tradisi Sintren masa kini tersebut. (Budi Susanto, S. J, 2009: 239-
240)

Menurut Rumekso Setyadi mengemukakan bahwa transformasi kekuasaan


di pesisir dari kekuasaan Mataram ke pemerintah kolonial ditengarai sebagai
munculnya kesenian sintren ini. Sintren adalah kesaksian dari sebuah kebudayaan
kolonial yang pernah berkembang di kalangan elite birokrasi Eropa dan aristokrat
pribumi, yaitu kegemaran berpesta dan dansa-dansa mewah di gedung-gedung
pertunjukan. Untuk meniru gaya borjuasi kolonial, rakyat membuat suatu bentuk
kesenian yang merupakan ekspresi imitasi dari sebuah produk kebudayaan elite
dan kemudian terciptalah sintren. Sintren pernah digunakan sebagai alat
perlawanan pada masa kolonial dahulu melalui syair-syair dalam lagunya. Sintren
mulai dikenal dan populer pada 1940-an. Pada periode 1950-an, sintren banyak
dimanfaatkan oleh puluhan partai yang berebut kekuasaan. Namun,
perkembangan sintren mulai redup sejak masa Orde Baru. Terlepas dari itu,
menurut Fandy Hutari, kesenian sintren merupakan perlambang kebebasan. Ini
dapat kita lihat dari bentuk pertunjukannya. Adegan saat sintren diikat dengan
seutas tali dan dimasukkan ke dalam kurungan, itu merupakan lambang kebebasan
yang direnggut. Saat sintren terbebaskan dari tali yang mengikatnya merupakan
simbol kebebasan. Diikuti dengan menari sebagai ekspresi dari kebebasan tadi.

Sekarang, sintren biasanya digelar pada upacara pernikahan/hajatan atau


upacara laut. Tidak hanya di Cirebon, sintren juga dapat ditemui di daerah-daerah
pesisir lainnya, seperti Pamanukan, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.
Bahkan sintren juga bisa ditemui di Pekalongan, Tegal, dan Batang, Jawa Tengah.
Belakangan, kesenian ini jarang ditemui, bahkan di tempat lahirnya sekalipun.

8
Seperti halnya kesenian tradisional lain, sintren mulai tersisih oleh bentuk
kesenian dan hiburan modern.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Sintren merupakan bentuk seni pertunjukkan rakyat di wilayah Jawa


Tengah bagian barat daerah Cilacap dan Brebes, serta wilayah Jawa Barat bagian
timur daerah Cirebon dan Ciamis. Sintren adalah seni pertunjukkan rakyat Jawa-
Sunda; seni tari yang bersifat mistis, memiliki ritus magis tradisional tertentu
yang mencengangkan. (Budiono Herusatoto, 2008: 207)

Kesenian ini memiliki makna, antara lain:

- Bentuk komunikasi manusia dengan roh dunia lain

- Pencarian petunjuk karena dari simbol-simbol yang terjadi waktu


pertunjukan sintren dipercaya memiliki makna (bidadari mara, senang, akan
ada bahaya), dalam kasus tertentu sintren juga sering dimintai obat.
- Bentuk tolak bala karena komunikasi antara dunia manusia dengan dunia
roh, dipercaya akan menghindarkan bahaya.
- Pemantapan terhadap sistem kepercayaan pada dunia gaib.
- Sebagai simbol kebebasan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-
lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak.


Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta.

Hutari, Fandy. 2009. Sintren: Kesenian Magis yang Menyejarah. Bandung:


http://sandiwaradanperang.blogspot.com/2009_10_20_archive.html

Susanto, Budi (Editor). 2009. Penghibur(an): Masa Lalu dan Budaya Hidup
Masa Kini Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

10
LAMPIRAN

Gambar 1 Seorang pemain Sintren didampingi oleh panjak

Gambar 2Sintren edang dimantrai oleh pawang

11
Gambar 3 Pertunjukkan Sintren

LAMPIRAN II

Sumber : Bapak Agus (warga desa Banjaratma, RT 10/ RW IV, Brebes)

Hasil wawancara yang saya peroleh kurang lebihnya seperti dibawah ini:

Saya (penulis) : “Pak, badhe nyuwun pirsa babagan Sintren.”

Sumber : “Apa? Sintren? Nggo apa takon kaya kue?”

Saya (penulis) : “Kangge bahan damel makalah sintren pak, ing jaman menika
taksih wonten Sintren pak?”

Sumber : “Ya tesih, tapi secuil, paling wis jarang banget wong ngadake
sintrenan.”

Saya (penulis) : “Kados pundi pak sintren menika?”

Sumber : “Sintren kue kesenian tari-tarian sing nganggo kekuatane jin.”

Saya (penulis) : “Jin? Sami kaliyan kesenian kuda lumping pak?”

Sumber : “Ya ora, ngene, sintren kue wong sing nari wadon lan tesih
perawan, pertamane wong wadone kue nganggo klambi
omahan biasa, digiring nyang lapangan. Biasane sintrenan kui
bengi-bengi maine. Terus calon sintrene dianjingna maring
kurungan ayam sing wis ditutupi karo kain, neng jero ya wis

12
dilebokna pakean lan peralatane sintren. Sing gawe
pertunjukkane sintren kui apik ya gara-garane sakwise sintren
mlebu kurungan ayam, trus didongani karo dukun lanang,
metu-metu sintrene wis dandan ayu karo klambi lan asesorise
mau. Padahal neng kurungan ayam sempit ow ya, trus
waktune neng kurungan ayam yo mung delat. Sawise metu
saka kurungan ayam sintrene joget-joget.”

Saya (penulis) : “Lajeng lagu iringanipun kados pundi pak? Wonten boten?”

Sumber : “Walah, bapak rak ngerti ki nok, soale kue sintren wis jarang
banget dimainna, dadine ya masyarakate ya akeh sing ra ngerti
lengkape sintren kue kepriben. Ngertine ya mung sintren kui
yen ganti klambi karo nganggo asesorise cepet nemen.”

Saya (penulis) : “Inggih pak, boten menapa-napa. Maturnuwun nggih pak.


Pareng pak.”

13

You might also like