You are on page 1of 31

TUGAS TERSTRUKTUR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Analisis Demo Anarkhisme Mahasiswa


Menentang Kenaikan Harga BBM

Oleh :
Pangesti Aryani
H1A007022

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN MIPA
PROGRM STUDI KIMIA
PURWOKERTO
2008
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dua-tiga bulan terakhir telah terjadi sejumlah peristiwa penting

yang sangat memengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Antara

lain adalah keputusan Pemerintah yang telah: menurunkan subsidi BBM dengan

penaikan harga tiga jenis BBM, melanjutkan pemberian Bantuan Langsung uang

Tunai dan Bantuan Khusus Mahasiswa, menaikkan tarif listrik di satu sisi sambil

memadamkan secara bergilir berdasarkan waktu dan lokalitas di sisi lain untuk

mengatasi krisis pasokan, menyelenggarakan forum-forum regional dan

internasional untuk menarik investasi, dan lain-lainnya yang pasti luput dari

sebutan sekalipun seandainya saya dedikasikan satu hari penuh untuk

mendaftarkannya di sini.

Peristiwa-peristiwa ini merupakan hasil sejumlah keputusan regulasional

sebagai wujud konkret perencanaan sentral yang dilakukan badan eksekutif dan

legislatif pemerintah. Tidak dipersoalkan di sini apakah kebijakan-kebijakan

tersebut lebih merupakan aksi tanggapan terhadap berbagai faktor eksternal luar

negeri atau dinamika pergolakan internal di dalam negeri, daripada misalnya

langkah-langkah korektif atas kegagalan-kegagalan kebijakan yang ditempuh

melalui proses perencanaan di masa lalu, oleh rejim pemerintahan lalu.

Harus diakui bahwa kebijakan-kebijakan ini lahir dari niat baik

pemerintah, namun pengambilan keputusan-keputusan tersebut telah

2
menyebabkan merebaknya pro dan kontra di seluruh elemen masyarakat, bukan

hanya di tingkat masyarakat awam, melainkan juga melibatkan para intelektual

dan bahkan di tingkat pengambil keputusan dan pelaku perencanaan itu sendiri.

Selain itu, semua hasil kebijakan pemerintah tersebut juga mempengaruhi

jalannya pemerintahan ke depan yang berdampak pada kehidupan masyarakat

selanjutnya baik dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah

tersebut sangat menarik untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut.

B. Perumusan Masalah

1. Mengapa muncul kebijakan-kebijakan tersebut ?

2. Bagaimana dampak yang terjadi dengan munculnya kebijakan-kebijakan

tersebut ?

3. Bagaimana pendapat serta solusi masyarakat umum dan pengamat ekonom

terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah tersebut ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

Keputusan Pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan kontemporer seperti

menurunkan subsidi BBM dengan penaikan harga tiga jenis BBM, pemberian

Bantuan Langsung uang Tunai dan Bantuan Khusus Mahasiswa, serta menaikkan

tarif listrik menurut sebagian masyarakat awam berpendapat bahwa keputusan-

keputusan tersebut salah; sebagian lagi menyatakan dapat menerimanya karena

keputusan tersebut adalah langkah logis yang tepat.

Berbagai alasan telah terlontar dari mulut para pejabat negara mengenai

mengapa keputusan tersebut dibuat. Menteri Keuangan Boediono memberikan

alasan bahwa pertimbangan pemerintah tersebut didorong oleh faktor teknis dan

politis yaitu agar sebagian pekerjaan rumah tangga (pemerintahan) yakni

memangkas subsidi diselesaikan pada 2003 karena pada 2004 akan digelar

pemilihan umum. Agar lebih tenang dan pemerintah tidak mau kehilangan

popularitas pada saat menjelang pemilu. Selain itu, keputusan menaikkan harga

BBM dalam negeri diambil karena biaya subsidi BBM dalam negeri meningkat

sangat pesat dengan naiknya harga minyak mentah dunia yang akhir-akhir ini

mencapai di atas US$ 120 per barel. Jika tidak dilakukannya penyesuaian harga

BBM dalam negeri, APBN yang merupakan salah satu pilar perekonomian

menjadi tidak berkelanjutan dan menyebabkan runtuhnya kepercayaan pasar yang

pada gilirannya berakibat pada merosotnya perekonomian nasional. Untuk itu,

4
pemerintah membuat kebijakan-kebijakan kontemporer tersebut agar

perekonomian nasional tidak semakin merosot dan bertekad mempertahankan

kesejahteraan masyarakat yang berpenghasilan rendah terutama masyarakat

miskin melalui program kompensasi, yang berupa:

1. Peningkatan program kemiskinan yang bersifat jangka panjang seperti

PNPM, program keluarga harapan, program JAMKESNAS, program

penyediaan beasiswa seperti Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM), program

Bantuan Operasional Sekolah (BOS), program pelayanan KB bagi PUS,

Program KUR dan program lain yang berkaitan dengan kesejahteraan

masyarakat.

2. Program Kompensasi jangka pendek yaitu program Bantuan Langsung

Tunai (BLT), perluasan program raskin, program penjualan minyak goreng

bersubsidi dan program pasar beras murah untuk buruh, PNS Gol I / II,

tenaga honorer serta Tamtama TNI / Polri.

Pengambilan keputusan besar tersebut ternyata menimbulkan dampak

yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Analisis dampak kebijakan-kebijakan

kontemporer pemerintah dapat dilihat baik dalam jangka pendek, jangka

menengah, maupun jangka panjang.

Adapun dampak kebijakan misalnya kenaikan harga BBM yang telah

diputuskan pemerintah telah menyebabkan berbagai program-program sosial lahir

yang membawa rakyat Indonesia semakin sengsara. Dalam kondisi perekonomian

yang belum pulih dari krisis pada tahun 1997, serta situasi politik yang masih tak

menentu, kenaikan harga BBM akan dengan sangat cepat mempengaruhi kenaikan

harga bahan pokok, listrik, dan harga elektronik. Tingkat perekonomian nasional

5
semakin merosot, nilai dari rupiah akan semakin rendah meski perputaran uang

menjadi lebih tinggi namun nilainya tetap menurun. Sehingga biaya hidup ke

depan akan semakin berat. Menurut GPB Suka Arjawa (2008), jika

diperhitungkan ada tiga faktor pesimis yang membuat biaya hidup ke depan cukup

berat dan kesemuanya merupakan faktor eksternal, faktor tersebut adalah:

1. Naiknya posisi Cina dan India menjadi negara industri. Akibatnya, bahan

pangan dan minyak dunia sebagian besar akan tersedot ke kedua negara

tersebut. Ini tentu saja membuat jatah pangan dan minyak ke negara lain

berkurang (menimbulkan persaingan yang membuat harga naik).

2. Naiknya harga jual BBM membuat lahan-lahan pertanian konvensional

(misalkan untuk menanam padi dan perkebunan) diubah menjadi lahan

penanaman bahan biodiesel (minyak kendaraan), misalkan lahan untuk

menanam jarak. Akibatnya, harga pangan pasti akan naik karena secara

global lahan untuk menanam pangan menjadi berkurang. Kecenderungan

ini telah ada sampai saat ini. Belum lagi jika diperhitungkan dengan

semakin bertambah luasnya pemukiman penduduk.

3. Kondisi iklim dunia yang selalu berubah-ubah. Kondisi ini memerlukan

minyak bakar harus tersedia di negara-negara bermusim empat. Dengan

demikian, bisa disimpulkan ke depan harga pangan dan minyak pasti akan

terus naik. Ini bermasalah bagi Indonesia karena akan mempengaruhi

perekonomian nasional dan membuat harga-harga ekonomi naik.

Untuk mengurangi dampak yang terjadi akibat kenaikan harga BBM,

pemerintah mengeluarkan program-program sosial seperti program pemberian

Bantuan Langsung uang Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan

6
Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM), menaikkan tarif listrik di satu sisi sambil

memadamkan secara bergilir berdasarkan waktu dan lokalitas di sisi lain untuk

mengatasi krisis pasokan, menyelenggarakan forum-forum regional dan

internasional untuk menarik investasi, dan lain-lainnya. Namun program-program

tersebut tidak berjalan dengan baik bahkan dapat dikatakan mengalami kegagalan.

Harus diakui bahwa program-program sosial tersebut lahir dari niat baik

pemerintah dan tidak cuma berisi kegagalan. Terutama jika pembahasan tentang

program tersebut kita batasi dengan melihat dan menganalisis dampak jangka

pendeknya, akan cukup jelas bagi kita bahwa tidak semuanya berakhir buruk.

Memang benar BLT, BOS dan BKM dan sebagainya tidak membuat parit-parit di

lingkungan kita menjadi lebih bersih atau terbebas sepenuhnya dari sampah,

namun bagi sebagian golongan, terutama para penerima BLT dan BKM, atau

pebisnis terkait, keputusan-keputusan tersebut dapat menjadi sumber rejeki yang

dapat menjadi jawaban bagi persoalan kehidupan, meski sesaat. Sedangkan untuk

efek-efek program jangka menengah dan panjang ternyata tidak memadai sebagai

strategi pembangunan ekonomi. Hasil analisis menyatakan bahwa dalam jangka

menengah dan panjang tujuan-tujuan pemerintahan yang ingin dicapai melalui

modus tersebut tidak tercapai, malah akan memperburuk keadaan dan

memperuncing kegentingan situasi. Berdasrkan hasil analisis, gagasan-gagasan

dibuatnya program-program sosial tersebut terpaksa harus dikatakan sebagai ide-

ide yang buruk, dalam arti bahwa program-program tersebut tidak akan membawa

kita kepada tujuan yang kita harapkan.

Pengambilan keputusan-keputusan tersebut telah menyebabkan

merebaknya pro dan kontra di seluruh elemen masyarakat, bukan hanya di tingkat

7
masyarakat awam, melainkan juga melibatkan para intelektual dan bahkan di

tingkat pengambil keputusan dan pelaku perencanaan itu sendiri. Ada sebagian

masyarakat menyatakan setuju dengan keputusan tersebut dan sebagian lagi

menyatakan ketidaksetujuannya.

Menurut Fadhil Hasan, pengamat ekonomi mengatakan bahwa kebijakan

menaikkan harga BBM merupakan kebijakan ekonomi yang paling rasional.

Pemerintah jangan menyandera kebijakan ekonomi ini karena lebih baik

menaikkan BBM secara bertahap daripada menaikkan BBM 126% seperti

kenaikan BBM tahun 2005. Sama halnya dengan pendapat Aviliani, pengamat

ekonomi yang mengatakan subsidi yang paling besar saat ini ada di premium,

sehingga disparitas harga premium subsidi dengan harga minyak dunia mencapai

50%, oleh karena itu, kenaikan BBM 5%-10% sangat penting dilakukan untuk

mengurangi disparitas itu secara bertahap.

Dalam kasus BLT dan penurunan subsidi, sejumlah ekonom menyatakan

persetujuannya dengan langkah pemerintah. Sejumlah tokoh intelektual baik

secara pribadi maupun institusional melalui berbagai forum intelektual

menyarankan agar BLT halal diterima atas dasar bahwa hal tersebut sudah inheren

termaktub sebagai hak rakyat atas konstitusi 1945, yang dijadikan induk bagi

seluruh hirarki legislasi yang boleh dilakukan di negeri ini.

Melihat dampak-dampak yang terjadi akibat berbagai keputusan yang

diambil oleh pemeintah menyebabkan sebagian masyarakat menolak mentah-

mentah dengan kebijakan tersebut. Menurut sebagian besar masyarakat,

kebijakan-kebijakan kontemporer tersebut tidak membawa perubahan-perubahan

yang signifikan bagi rakyat Indonesia terutama kesejahteraan rakyat kecil

8
melainkan justru membawa rakyat menuju jurang kemiskinan. Pendapat lain

menyatakan bahwa semua hasil kebijakan pemerintah yang mempengaruhi

jalannya pemerintahan ke depan tidak pantas disebut sebagai hal-hal yang

menarik, sebab jalannya pemerintahan sangat penting untuk kesejahteraan rakyat.

Perubahan-perubahan menuju lebih baik yang telah dijanjikan oleh

pemerintah tidak terealisasikan menyebabkan sebagian besar orang terutama

rakyat kecil mudah menjadi emosional, merasa tidak puas, marah, bahkan sinis

atau frustrasi. Demo-demo yang marak di berbagai kota hingga saat ini adalah

wujud ekspresi perasaan-perasaan tersebut. Misalkan saja demo yang menentang

kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif listrik dan telepon semakin marak,

melibatkan berbagai komponen masyarakat yang vokal dan meledak di seantero

negeri ini. Pemerintah kelihatannya tidak mengira bahwa reaksi masyarakat akan

begitu keras dan pemerintah mungkin juga tidak sadar bahwa dalam sepanjang

sejarah kenaikan harga yang terjadi di negeri ini, tidak pernah terjadi harga-harga

barang dan jasa yang sangat vital bagi seluruh masyarakat dinaikkan sekaligus.

Sesuai istilah “Orang kaya akan semakin kaya, orang miskin akan semakin

miskin”, subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpendapatan

menengah dan atas. 20% masyarakat kelompok terkaya menikmati hampir 50%

subsidi BBM. Sementara 20% masyarakat termiskin hanya menikmati 5,15%

subsidi BBM. Selain itu dengan semakin besarnya subsidi BBM mengakibatkan

berbagai program untuk masyarakat miskin menjadi tidak mungkin dilaksanakan.

Secara tidak disadari, bahwa semua desain sosial masyarakat telah diciptakan

mengikuti aliran modern yang bersandar kepada mobilitas bermesin, yang sudah

tentu memerlukan minyak.

9
Menurut perhitungan pemerintah untuk memperkecil pengeluaran negara,

maka subsidi BBM di gantikan posisinya dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Dalam kasus BLT dan penurunan subsidi, tidak sedikit dari masyarakat menolak

atas keputusan tersebut. Menurut Muhammad Rijal (2008), Bantuan Langsung

Tunai (BLT) bukanlah sebuah solusi, BLT hanya merupakan bentuk pembodohan,

hampir sama dengan kelakuan pemerintah yang membagi-bagikan kompor dan

tabung gas gratis. Yang terjadi malah kompor dan tabung gas tersebut dijual lagi.

Kebijakan-kebijakan instan seperti ini sesungguhnya akan menjadi bom waktu

yang siap meledak kapan saja. Terlebih kurangnya akses pelayanan di bidang

pendidikan dan kesehatan. Sehingga masyarakat awam yang tak mendapatkan

haknya misalnya pendidikan menjadi lebih bergantung pada kebijakan sesaat ini.

Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diyakini sebagai obat pelipur lara, tidak lain

adalah perusak moral bangsa, BLT akan semakin memicu tumbuh suburnya jiwa

“pengemis” dan “pemalas” pada bangsa kita. Beramai-ramai rakyat mendaftar dan

meyakini diri bahwa mereka adalah benar-benar miskin, tak peduli harga diri, dan

malangnya yang benar-benar miskin malah tersingkirkan. Sesuai istilah “orang

kaya akan semakin kaya, orang miskin akan semakin miskin”.

Sementara Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM) sebagai program

sampingan pemerintah merupakan salah satu kompensasi dari kenaikan harga

BBM, atau jika dianalogikan dengan kenyataan, bahwa saat ini masyarakat kurang

mampu versi pemerintah menerima BLT. Hal ini menjadi keresahan mahasiswa,

yang mana pada saat kerasnya arus penolakan kenaikan harga BBM oleh

mahasiswa, justru pemerintah dengan enaknya memberi umpan kepada mahasiwa

itu sendiri. Selain itu, BKM ini juga dijadikan alat untuk membenturkan antara

10
pihak mahasiswa dengan Pejabat kampus itu sendiri, karena bisa kita ketahui di

media-media bahwa banyak dari aksi mahasiswa yang mengajak pihak

rektoratnya untuk ikut berstatement menolak BBM naik dan menganggap BKM

sebagai barang “haram” yang tidak lain adalah sogokan.

Satu fakta utama sebagai dasar telaah di sini, semua dampak kemunduran

ini terjadi di mana pemerintah telah berperan amat dominan di dalamnya. Di sini

pemerintah terjebak dalam situasi yang menyulitkan, di satu sisi pemerintah harus

meleksanakan penyesuaian harga BBM dalam negeri agar keadaan perekonomian

nasional tidak bertambah buruk dan di sisi lain pemerintah harus menghadapi

dampak yang akan terjadi setelah keputusan tersebut diambil serta berbagai

penolakan dari rakyat terhadap keputusan tersebut. Menurut pendapat Aviliani,

pengamat ekonomi menyatakan bahwa "Pemerintah tidak perlu mencabut subsidi

BBM 100%, tapi kurangi subsidi dengan kenaikan BBM sebesar 5%-10%, saya

kira penting untuk itu. Karena, biar bagaimanapun kalau kita ingin ekonomi kita

berkesinambungan, kenaikan BBM secara bertahap tiap tahun itu akan lebih baik

daripada nanti 2009 kenaikannya lebih gila seperti 2005”.

11
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Kebijakan-kebijakan kontemporer seperti kenaikan harga BBM,

pemberian BLT, BKM, BOS dan sebagainya yang muncul akhi-akhir ini

merupakan hasil sejumlah keputusan regulasional sebagai wujud konkret

perencanaan sentral yang dilakukan badan eksekutif dan legislatif pemerintah.

Pertimbangan pemerintah tersebut didorong oleh faktor teknis dan politis.

Keputusan menaikkan harga BBM dalam negeri diambil karena biaya

subsidi BBM dalam negeri meningkat sangat pesat dengan naiknya harga minyak

mentah dunia. Jika tidak dilakukannya penyesuaian harga BBM dalam negeri,

APBN yang merupakan salah satu pilar perekonomian menjadi tidak

berkelanjutan dan menyebabkan runtuhnya kepercayaan pasar yang pada

gilirannya berakibat pada merosotnya perekonomian nasional. Untuk mengatasi

masalah dan memperkecil akibat maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan

kontemporer tersebut melalui program kompensasi yang berupa program

pemberian BLT, BKM, BOS dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa program-

program sosial berupa transfer payment (subsidi) yang didasari atas niat baik

sekalipun tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, dan dalam jangka

pendek dan panjang bahkan merugikan pihak-pihak penerimanya.

12
Kebijakan-kebijakan ini lahir dari niat baik pemerintah, namun

pengambilan keputusan-keputusan tersebut telah menyebabkan merebaknya pro

dan kontra di seluruh elemen masyarakat, bukan hanya di tingkat masyarakat

awam, melainkan juga melibatkan para intelektual dan bahkan di tingkat

pengambil keputusan dan pelaku perencanaan itu sendiri. Berbagai pendapat

mengenai dampak masalah tersebut mengacu pada setuju dan ketidaksetujuan

mereka.

2. Saran

Menurut pandangan saya keputusan pemerintah dalam pembuatan

kebijakan-kebijakan kontemporer tersebut merupakan salah satu kebijakan yang

dapat dikatakan baik dan dapat pula dikatakan sebagai kebijakan yang buruk.

Di satu sisi kebijakan tersebut ditujukan pemerintah untuk menekan

penurunan tingkat perekonomian nasional, namun seharusnya kebijakan misal

kenaikan BBM tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap sehingga

dapat mengikuti harga minyak internasional secara bertahap. Dengan begitu,

dampak kenaikan BBM tidak terlalu besar terhadap masyarakat.

Dan di sisi lain kebijakan tersebut menyebabkan berbagai dampak negatif

terjadi. Dampak tersebut terlihat jelas pada tingkat perekonomian masyarakat

yang semakin menurun, sehingga dapat disimpulkan bahwa program-program

sosial berupa transfer payment (subsidi) yang didasari atas niat baik sekalipun

tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, dan dalam jangka pendek

dan panjang bahkan merugikan pihak-pihak penerimanya. Oleh karena cara-cara

tersebut secara logis tidak membawa kita kepada perbaikan kesejahteraan sebagai

13
satu tujuan ultimat bernegara, maka penghentian program-program tersebut secara

saksama dan dalam tempo yang secepat-cepatnya adalah satu-satunya kesimpulan

logis yang harus diterima.

KEPUSTAKAAN

Anonymous. 2008. Program Bantuan Langsung Tunai Kepada Rumah Tangga

Sasaran. http://www.bappenas.go.id/ . Diakses tanggal 08 Juni 2008.

Arjawa, Suka GBP. 2008. Kenaikan Harga BBM, Antisipasi Aspek Sosial-Politik.

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/5/9/o2.htm . Diakses tanggal

08 Juni 2008.

Aviliani dan Hasan, Fadhil. 2008. Indef Usulkan Harga BBM Naik 5%-6%.

http://www.media-indonesia.com/berita . Diakses tanggal 08 Juni 2008.

Mar’ie, Muhammad. 2003. Kenaikan Harga, Tak Adakah Jalan Keluar?.

http://www.transparansi.or.id/berita/berita-

januari2003/berita3_130103.html. Diakses tanggal 08 Juni 2008.

Nad. 2008. Tinjauan Singkat Terhadap Kontribusi Ilmu Ekonomi dalam

Kebijakan-Kebijakan Kontemporer. http://akaldankehendak.com/?p=275d.

Diakses tanggal 08 Juni 2008.

Rijal, Muhammad. 2008. Bantuan Langsung Tunai. http://rijal28.wordpress.com/

. Diakses tanggal 08 Juni 2008.

Rothbard, Murray N. 1997. The Logic of Action One: Method, Money, and the

Austrian School. London: Edward Elgar.

14
KLIPING KASUS

Tinjauan Singkat Terhadap Kontribusi Ilmu Ekonomi dalam Kebijakan-

Kebijakan Kontemporer

By Nad. June 2, 2008

Dalam dua-tiga minggu terakhir telah terjadi sejumlah peristiwa penting

yang sangat memengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan kita. Untuk menyebut

sebagian saja, contoh-contohnya adalah keputusan Pemerintah yang telah:

menurunkan subsidi BBM dengan penaikan harga tiga jenis BBM, melanjutkan

pemberian Bantuan Langsung uang Tunai dan Bantuan Kredit Mahasiswa,

menaikkan tarif listrik di satu sisi sambil meng-oglang atau memadamkan secara

bergilir berdasarkan waktu dan lokalitas di sisi lain untuk mengatasi krisis

pasokan, menyelenggarakan forum-forum regional dan internasional untuk

menarik investasi, dan lain-lainnya yang pasti luput dari sebutan sekalipun

seandainya saya dedikasikan satu hari penuh untuk mendaftarkannya di sini.

Peristiwa-peristiwa ini hasil sejumlah keputusan regulasional sebagai

wujud konkret perencanaan sentral yang dilakukan badan eksekutif dan legislatif

pemerintah. Tidak dipersoalkan di sini apakah kebijakan-kebijakan tersebut lebih

merupakan aksi tanggapan terhadap berbagai faktor eksternal luar negeri atau

dinamika pergolakan internal di dalam negeri, daripada misalnya langkah-langkah

15
korektif atas kegagalan-kegagalan kebijakan yang ditempuh melalui proses

perencanaan di masa lalu, oleh rejim pemerintahan lalu.

Pengambilan keputusan-keputusan tersebut telah menyebabkan

merebaknya pro dan kontra di seluruh elemen masyarakat, bukan hanya di tingkat

masyarakat awam, melainkan juga melibatkan para intelektual dan bahkan di

tingkat pengambil keputusan dan pelaku perencanaan itu sendiri. Sebagian

masyarakat awam berpendapat bahwa keputusan-keputusan tersebut salah;

sebagian lagi menyatakan dapat menerimanya oleh karena mereka adalah langkah

logis yang tepat. Dalam kasus BLT dan penurunan subsidi, sejumlah ekonom

menyatakan persetujuannya dengan langkah pemerintah; di sisi lain, tidak sedikit

dari mereka menolak atas berbagai alasan, dari persoalan asumsi yang terlalu

tinggi/rendah, hingga ke tanggung-jawab negara. Presiden SBY pun hingga

minggu terakhir sebelum pengumuman kenaikan BBM, dilaporkan sejumlah

media memastikan tidak akan menaikknya pada tahun ini, antara lain karena di

bulan Maret 2005 di masa awal kepemimpinannya ia telah menyetujui kenaikan

BBM melebihi 124% dari harga sebelumnya. Pejabat tertinggi di kantor-kantor

koordinasi perekonomian dan sosial menjanjikan akan menyusulkan paket

kebijakan baru secara terpadu menyusul kenyataan bahwa pemimpin tertinggi di

negeri ini ternyata harus menjilat ludah (dan tidak terbukti hingga saat ini, kecuali

pengumuman berbagai kebijakan sampingan a.l. berupa BOS, BLT, BKM dan

langkah-langkah fiskal lainnya seperti penurunan bea masuk untuk komoditas

tertentu dan larangan ekspor barang tertentu).

Dalam hal-hal tersebut orang mudah menjadi emosional, merasa tidak

puas, marah, bahkan sinis atau frustrasi. Demo-demo yang marak di berbagai kota

16
hingga saat tulisan ini dibuat adalah wujud ekspresi perasaan-perasaan tersebut.

Sejumlah tokoh intelektual baik secara pribadi maupun institusional melalui

berbagai forum intelektual menyarankan agar BLT halal diterima atas dasar bahwa

hal tersebut sudah inheren termaktub sebagai hak rakyat atas konstitusi 1945,

yang dijadikan induk bagi seluruh hirarki legislasi yang boleh dilakukan di negeri

ini; sementara BKM harus dianggap sebagai barang “haram” yang tidak lain

adalah sogokan.

Anda dan saya pun dapat berbeda sikap dalam hal ini. Meski demikian,

kemungkinan besar kita setidaknya masih bisa sependapat bahwa semua hasil

*kebijakan* pemerintah yang mempengaruhi jalannya peristiwa-peristiwa ke

depan tersebut tidak pantas disebut sebagai hal-hal yang menarik, sebab mereka

terlalu penting. Kita sama tahu, meski mustahil mengetahuinya secara persis atau

empiris, bahwa seluruh semesta kehidupan kita telah berubah sejak saat itu, dan

perubahan-perubahan tersebut sangat tidak menarik. Hari-hari ke depan adalah

keniscayaan konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dijalani. Dalam hampir

semua hal bagi sebagian besar kita, perkembangan di atas bahkan dapat sama-

sama kita akui berarti suatu kemunduran, keburukan. Suka atau tidak suka. Dan

tidak bisa tidak.

Satu fakta utama sebagai dasar telaah kita di sini, semua kemunduran ini

terjadi di sektor-sektor di mana pemerintah telah berperan amat dominan di

dalamnya. Pernyataan ini harus diterima terlepas dari apakah, atau sejauh

manakah, kita menyetujui sepak terjang atau campur tangan pemerintah dalam

perekonomian, dan terlepas dari apakah kita percaya bahwa tugas sejati negara

17
adalah sebagaimana termaktub dalam Konstitusi, kita sama-sama menjadi saksi

hidup atas telah terjadinya fenomena anomali berikut ini.

Di satu sisi, sesuai dengan hukum ekonomi yang berlaku universal di

mana pun kita berada, jika A adalah seorang penjual jasa atau barang apapun,

maka semakin banyak permintaan terhadap pelayanannya, maka A akan semakin

berjaya melebihi para pesaingnya, dan kemungkinan besar akan menangguk

keuntungan. Dan A akan semakin meningkatkan kuantitas atau kualitas

layanan/barang, setidaknya mempertahankan di tingkat sekarang, demi

keberlangsungan usaha dan eksistensinya sebagai makhluk hidup. Jika ia gagal

melakukan ini, maka B seorang pesaingnya mungkin akan memanfaatkan kondisi

tersebut agar dapat memuaskan keinginan pelanggan A. Kondisi normal dalam

perekonomian sejati, di manapun, adalah kecenderungan terjadinya kelebihan

produksi daripada kekurangan. Ketika permintaan akan barang/jasa diinginkan,

maka pasar secara otomatis akan melakukan penyesuaian, tanpa mengingkari

perlunya waktu dalam proses produksi, tentu saja.

Di sisi lain, di bidang pengadaan listrik dan BBM pola-pola kebijakan

memiliki banyak kemiripan dalam hal karakteristik dan “hasil akhirnya”. Meski

sama-sama dikelola oleh badan-badan yang monopolistis, tanpa kehadiran

satupun pesaing, di kedua bidang tersebut telah terjadi sejumlah anomali. Anomali

pertama adalah terjadinya kekurangan barang pasokan secara berkelanjutan.

Anomali kedua terjadi ketika justru para konsumenlah yang harus lebih banyak

dituntut untuk melakukan penyesuaian permintaannya. Dalam perilaku ekonomi

yang wajar di kondisi pasar yang normal, seorang penjual peralatan komputer

tidak akan menyarankan pembelinya agar berhemat dan membatasi pencetakan

18
dokumen agar tidak terlalu sering membeli tinta komputer. Namun, tanpa harus

menjadi sinis dalam menjelaskannya, kita perlu mengakui bahwa persis seperti

inilah kejadian yang menimpa dunia kelistrikan dan energi lain di negeri ini.

Di bidang-bidang yang sangat menyentuh hajat hidup orang banyak,

modus produksi dan perilaku ekonomi yang terjadi di negeri kita persis

berlangsung di sisi ini. Dan kita dapat berpegang pada kenyataan-kenyataan yang

telah berlangsung selama beberapa dasawarsa ini dalam membentuk opini kita.

Analisis-analisis teoritis terhadap universalisme hukum ekonomi, serta analisis-

analisis deskriptif terhadap anomali-anomali semacam di atas akan tetap sama-

sama tidak terbantahkan sepanjang jaman.

Tentang Transfer Payments

Program-program transfer payments atau program-program subsidi baik

sebagai program utama maupun kebijakan sampingan perlu dikritisi secara

proporsional. Harus diakui bahwa program-program sosial ini lahir dari niat baik

pemerintah dan tidak cuma berisi kegagalan. Terutama jika pembahasan tentang

mereka kita batasi dengan melihat dampak jangka pendeknya, akan cukup jelas

bagi kita bahwa tidak semuanya berakhir buruk. Memang benar, BLT, BOS dan

BKM dan sebagainya tidak membuat parit-parit di lingkungan kita menjadi lebih

bersih atau terbebas sepenuhnya dari sampah; namun, bagi sebagian golongan,

terutama para penerima BLT dan BKM, atau pebisnis terkait, keputusan-

keputusan tersebut dapat menjadi sumber rejeki yang dapat menjadi jawaban bagi

persoalan kehidupan, meski sesaat.

Seberapa jauh kita harus menganalisis efek program sosial seperti ini? Haruskah

kita menghentikan analisis dampak program-program tersebut hingga sejauh

19
jangka pendek saja tanpa memperhitungkan efek-efek jangka menengah dan

panjangnya? Good will semata ternyata tidak memadai sebagai strategi

pembangunan ekonomi. Analisisnya telah kita lakukan sebelumnya, dengan hasil

bahwa dalam jangka menengah dan panjang tujuan-tujuan pemerintahan yang

ingin dicapai melalui modus tersebut tidak tercapai, malah akan memperburuk

keadaan dan memperuncing kegentingan situasi. Dalam analisis terakhir, gagasan-

gagasan tersebut terpaksa harus dikatakan sebagai ide-ide yang buruk, dalam arti

bahwa mereka tidak akan membawa kita kepada tujuan yang kita harapkan. Ada

baiknya gagasan seperti ini kita tinjau kembali, karena kita tidak ingin

meremehkan kekuatan dan bahayanya. Oleh karena itu, untuk analisis yang lebih

memadai, sidang pembaca diimbau untuk membaca kembali analisis logis

mengenai dampak pengambilan kebijakan pemerintah untuk melindungi

rakyatnya.

Kita cukupkan analisis tersebut dengan tambahan kecil yang menyoroti

satu aspek lain dari program-program tersebut, yaitu dari aspek pendanaannya.

Darimana sumberdaya subsidi itu berasal? Pemerintah, sebagaimana

diketahui, pada dasarnya tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk mendanai

program-program tersebut. Ini terutama benar dalam konteks pemerintahan

kontemporer di Indonesia saat ini. Yang dapat dilakukan pemerintah untuk tujuan

ini, baik secara langsung maupun tidak, adalah cara-cara atau kombinasi berbagai

hal sebagai berikut: 1) mencetak uang; 2) menarik pinjaman; dan 3) menarik pajak

yang lebih besar dari sebagian warganya, atau mengalokasikan pajak yang ada.

Ketiga cara tersebut memiliki satu kesamaan yang amat kentara. Tidak

memerlukan otak yang terlatih dengan teori ekonomi untuk mengenali bahwa

20
semua cara tersebut bukanlah cara-cara produktif, melainkan semata cara

distributif atas sumber daya yang ada.

Efek-efek dari penerapan satu atau semua modus di atas dalam jangka

menengah dan panjang tidak terletak dalam cakupan otoritas atau kapasitas para

pembuat kebijakan. Hukum ekonomi yang universal akan mendiktenya; tidak bisa

lain, tidak bisa tidak.

Pencetakan uang akan berakhir pada pendilusian atau

pencemaran/pelemahan nilai uang itu sendiri. Pencetakan uang akan membuat

jumlah uang beredar lebih besar daripada daripada jumlah komoditas ekonomi

yang tersedia. Dengan jumlah uang yang lebih banyak tiba-tiba “mengejar”

komoditas yang tidak berubah; dalam waktu yang tidak terlalu lama, harga-harga

akan bergerak naik untuk menyesuaikan dengan pertambahan jumlah uang yang

ada. Dengan kata lain, daya beli uang akan berkurang; kita akan memerlukan uang

yang lebih banyak untuk membeli satu barang, sekalipun secara riil nilai

komoditas tersebut belum ikut bergerak naik. Inflasi akan semakin memengaruhi

seluruh proses kalkulasi ekonomi dan membebankan kehidupan.

Penarikan pinjaman terutama untuk konsumsi adalah proses deplesi aset di

masa depan yang akan memengaruhi proses alokasi modal dan dengan sendirinya

proses produksi dan konsumsi masa depan plus beban untuk membayar biaya

pinjaman.

Demikian pula dengan cara ketiga. Cara ini akan memengaruhi alokasi

hasil pajak di masa sekarang dan masa depan untuk tujuan konsumsi masing-

masing penerima bantuan. Selain itu, penggunaan bantuan tunai/barang tersebut

mustahil dapat dipastikan; namun, semua ini tentu akan berpeluang besar untuk

21
dipakai guna menyiasati kehidupan hari per hari yang akan semakin sulit.

Diperlukan pemerintahan yang totalitarian untuk mengontrol dan memantau

bagaimana uang-uang hasil bantuan tersebut dipergunakan. Pemantauan semacam

ini akan membuat tindakan yang tidak produktif menjadi semakin tidak produktif,

dan jika dilakukan tindakan ini sendiri akan menuntut biaya tambahannya sendiri.

Analitis di atas belum lagi mencakupi evaluasi etis, yang tidak menjadi

fokus penulisan ini. Bagi sebagian dari kita semua ini memang tidak dianggap

sebagai isu moral; namun, bagaimana halnya dengan sebagian pihak yang

mempermasalahkannya? Jika analisis etis tidak diberikan secara memadai di sini,

tidak berarti bahwa nilai pentingnya lebih inferior daripada analisis obyektif

ekonomis, melainkan karena keterbatasan ruang dalam tulisan ini, di samping

keterbatasan kemampuan penulis.

Untuk menelisik posisi dasar yang dapat memengaruhi sikap etis kita

masing-masing terhadap isu-isu tersebut, kita dapat mengambil pendekatan top-

down dan mengandaikan diri berada dalam posisi para pembuat peraturan (sisi

suplai). Anggap saja ini semacam role playing atau simulasi, yang amat mewah

tentunya, sebab dalam real-politik tidak ada simulasi dan hidup jelas sebagai

perhelatan tidak pernah menawarkan gladi kotor maupun resik.

Jika sebagian kita tertarik dan meyakini diri mampu menjadi salah seorang

pemimpin bangsa, atau menjadi pakar intelektual pemberi nasehat kepada

pemimpin bangsa yang, apakah sebenarnya tujuan akhir semua ini? Kepentingan

siapa yang harus diutamakan? Kepentingan manakah yang harus didahulukan-

yang seketika atau yang jangka panjang?

22
Ketika kita disuguhkan bahwa tujuan akhirnya adalah membentuk

masyarakat yang adil dan sejahtera, maka kita harus berhasil mendefinisikan

keadilan dan kesejahteraan, sebagai pepesan-pepesan yang harus diyakini benar-

benar berisi kandungan tertentu.

Jika kita mengetahui bahwa kepentingan yang harus kita bela adalah

kepentingan nasional, maka kita harus memastikan siapakah pembentuk nasion

itu. Jika akal membimbing kita untuk meyakini bahwa pembentuk nasion itu

adalah rakyat atau masyarakat, kita masih harus mendefiniskan lagi rakyat atau

masyarakat yang mana.

Umpamanya kita tidak memiliki jawaban-jawaban yang memuaskan

terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, apakah Republik ini harus

diteruskan? Apakah sebuah negara harus berdiri lantaran negara tersebut harus

berdiri bagi dirinya sendiri? Jika negara terlalu abstrak, pertanyaan tersebut bisa

diubah: apakah sebuah rejim harus bertahan bagi dirinya sendiri?

Melalui proses intro- dan retrospeksi, kita akan tiba pada suatu pemikiran

yang dapat diterima oleh mayoritas bahwa sebuah negara didirikan dan

dipertahankan untuk memajukan kesejahteraan seluruh golongan tanpa

favoritisme terhadap satu golongan tertentu, dan bukan demi saat ini saja

melainkan serentang masa depan keberadaan bangsa tersebut going concerned ke

arah infiniti, sebagaimana kita mendirikan warung kecil, meski dengan dengan

trial-error, tetap tidak dengan harapan untuk gulung tikar di kemudian hari.

Pertanyaan dasar selanjutnya adalah: bagaimana tujuan tersebut dapat

diejawantahkan bagi tujuan dan seluruh pemangku kepentingan tersebut?

23
Jika seseorang mempertanyakan kembali nomenklatur dan hal-hal

rudimenter tentang kenegaraan, apakah ia harus diinterpretasikan anti-negara,

anti-pemerintahan? Apakah seseorang lantas dianggap pembenci pemerintah saat

mengatakan hal-hal logis yang menurutnya tidak boleh dilakukan pemerintah?

Jawabannya adalah tidak.

Apakah orang harus dianggap sebagai pembenci bensin atau minyak tanah,

yang kebetulan baru saja melonjak harganya, saat mengatakan bahwa kita tidak

boleh meminumnya karena bahan bakar tersebut tidak cocok untuk dijadikan

makanan? Sekali lagi, jawabannya tidak; dan dalam semangat inilah diskusi ini

kita lanjutkan.

Kontribusi Ilmu Ekonomi

Ilmu ekonomi yang sering dianggap sebagai instrumen paling-ampuh

pemecah banyak persoalan sosial pada dasarnya memiliki kemampuan yang amat

terbatas. Pada hakikatnya dia bukan ilmu tentang uang atau benda-benda

sejenisnya. Ilmu ini berfokus pada tindakan manusia; secara lebih spesifik,

tentang cara alokasi terbaik suatu means yang akan mendasari tindakan kita atas

suatu tujuan (ends) tertentu. Ekonomi menggantungkan diri pada asumsi adanya

tujuan dan para ekonom akan berangkat dari sana untuk mendeduksi teori-

teorinya yang sahih dan relevan, untuk kemudian menentukan bagaimanakah cara

terbaik untuk mencapai suatu tujuan.

Jika suatu cara bagi suatu tujuan dianggap sudah diperoleh, ekonomi dapat

membantu memastikan apakah cara tersebut akan membawa kita pada tujuan

tersebut. Secara per se ilmu ini tidak berurusan dengan kandungan tujuan itu

sendiri, atau dengan apa yang terjadi di benak para penggagas kebangsaan kita

24
saat menggagas tujuan bernegara, dan dalam pengertian ketat demikian ilmu ini

disebut bebas-nilai.

Jadi ekonomi tidak mempermasalahkan tujuan kita bernegara; kita hanya

dapat menarik dalil-dalilnya yang relevan dalam menganalisis cara terbaik guna

mencapai tujuan tersebut. Sains ini menganggap given tujuan negara kita, yang

untuk tujuan pembahasan di sini cukup aman untuk direduksi menjadi:

memaksimalkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia.

(Namun, kita masih harus menelaah peran keterlibatan ekonom, yang

kerap tergelincir pada suatu proses moralizing yang implisit. Ketika seorang

ekonom menghadapi kebijakan konkret, misalnya dia diminta untuk menganalisis

cara terbaik untuk mewujudkan program penggelontoran bantuan langsung secara

tunai, maka tidak dapat diasumsikan bahwa ekonom tersebut telah bersikap netral

dan bebas nilai ketika ia menyetujui atau menolak pengaplikasian program

tersebut. Implicit moralizing sudah terjadi; ia tidak lagi bersikap netral saat

mendukung atau menolak program tersebut. Ia hanya dapat bersikap netral sejauh

ia mencoba menganalisis apakah program BLT akan mencapai tujuan-tujuan yang

ingin dicapainya, sebagai bagian dari tujuan bersama kita dalam bernegara.)

Oleh karena ekonomi berbicara tentang pemaksimalan utilitas, tentang

maksmimasi kebahagiaan atau kesejahteraan kita, maka persoalan seputar tujuan

bernegara perlu diterjemahkan dulu ke dalam pertanyaan-pertanyaan ekonomis

yang lebih pragmatis semacam berikut ini:

Kapankah kita dapat mengatakan, berdasarkan standar ekonomi, bahwa

kondisi masyarakat telah menjadi “lebih baik”? Atau kapankah kita bisa

25
mengatakan bahwa manfaat bagi masyarakat yang diberikan program-program

sosial melalui pemerintah telah meningkat atau dimaksimalkan?

Dalam pandangan saya yang saya usahakan akurat meski amat terbatas,

teori utilitas (utility theory) dan teori kesejahteraan (welfare theory) sangat relevan

untuk membahas inti permasalahan kita. Berikut saya mencoba menjabarkannya,

meski dengan risiko melakukan oversimplifikasi terhadap proses panjang

perkembangan pemikiran ekonomi dalam kaitannya dengan teori-teori utility dan

welfare.

Prinsip Keseragaman

Saya akan memulainya dari satu pandangan ekonomi yang kebenarannya

sudah umum, bahwa utilitas marjinal suatu barang semakin berkurang ketika unit

utilitas barang yang homogen tersebut meningkat. Ketika Anda memiliki uang

satu juta, maka pertambahan unit uang tersebut, katakanlah secara satu rupiah,

akan menurun. Demikian juga jika misalnya Anda memiliki uang miliaran rupiah

di posisi awal.

Namun, bagaimana teori utilitas tersebut ditafsirkan oleh para ekonom?

Menurut salah satu interpretasi yang dominan oleh sejumlah ekonom neoklasik,

maka dapat disimpulkan dengan “aman” bahwa nilai utilitas marjinal orang yang

kaya berbeda dari yang miskin. Pemikiran semacam ini dijadikan justifikasi bagi

penerapan pajak penghasilan secara progresif di mana, ceteris paribus,

penghasilan orang yang kaya dibolehkan untuk dikutip lebih besar agar

didistribusikan kepada yang miskin. Pemikiran semacam ini pula yang kiranya

dipakai untuk menjustifikasikan program-program “pemerahan” orang-orang yang

kaya demi keuntungan orang-orang yang dianggap miskin.

26
Terlepas dari segala kontroversinya, selama beberapa waktu ekonom

mengikuti jalan pemikiran ulititarian seperti ini. Adalah Lionnel Robbins yang

kemudian menunjukkan bahwa pandangan di atas hanya dapat diterima jika

konsep utilitas dapat diperbandingkan dari satu orang ke yang lain. Menurutnya,

oleh sebab ulititas adalah perkara ordinal yang tidak dapat dikuantifikasi, maka

pertimbangan neoklasik tersebut tidak dapat ditarik dari dalil ekonomi, kecuali

hasil penilaian etis yang kontroversial.

Dalam sanggahannya ini ia memperkenalkan kembali apa yang disebut

sebagai Prinsip Keseragaman. Konsep unanimity rule ini, berasal dari ekonom

Vilfredo Pareto, berbunyi kurang-lebih sebagai berikut: “Kita hanya dapat

mengatakan bahwa peningkatan kesejahteraan sosial (utilitas sosial) telah terjadi

sebagai akibat suatu perubahan jika tidak ada satu pun individu yang kondisinya

menjadi lebih buruk akibat perubahan tersebut, sementara paling sedikit satu

individu telah menjadi lebih sejahtera.”

Dalam perkembangan teori ekonomi kesejahteraan kemudian, selama

beberapa dasawarsa konsep ini mendominasi pemikiran ekonomi. Jika kita

kembali berpedoman pada konsep dasar bahwa utilitas interpersonal tidak dapat

dijumlahkan atau dikurangi, maka harus ditekankan kembali bahwa ilmu ekonomi

tidak dapat memberikan persetujuannya yang wertfrei terhadap modus tersebut.

Meski Robbins pun menekankan bahwa ekonom masih dan hanya

memerlukan satu proposisi etis saja agar ekonom dapat membuat perbandingan

ulititas secara interpersonal, yaitu: bahwa setiap orang memiliki “kemampuan

setara dalam hal pemenuhan kepuasan”, kondisi tersebut tetap musykil dari sudut

pandang ekonomi. Utilitas manusia tetap bukan sebagai sesuatu yang kardinal dan

27
dapat diukur dan dijumlahkan oleh dunia ini tidak mengenal satuan unit apapun

untuk mengukurnya. (Ini mengukuhkan pernyataan bijak nenek moyang kita

bahwa kemakmuran bukan hanya soal uang dan rupiah.) Utilitas selalu perkara

subyektif dan tidak dapat dijumlahkan menjadi suatu totalitas. Dengan demikian

tingkat kesejahteraan secara total tidak bisa diterima karena hanya bersifat

marjinal dan juga mengingat bahkan sistem preferensi satu orang individu yang

sama pada satu titik waktu tidak bersifat tetap (fixed) di titik waktu yang lain;

utilitas, nilai, preferensi adalah merupakan hal-hal personal bukan hal yang time-

invariant (dapat beroperasi mandiri kapan pun).

Prinsip Kompensasi Kaldor-Hicks

Upaya khusus untuk menarik simpulan kebijakan yang masih terkait

dengan prinsip keseragaman Robbinsian di atas dilakukan oleh Kaldor-Hicks

melalui prinsip kompenasinya. Menurut mereka, utilitas sosial dapat secara ilmiah

dikatakan meningkat jika para pemenangnya dapat memberi kompensasi kerugian

kepada para pecundang dan masih tetap menjadi pemenang. Dan pandangan ini

melandasi teori ekonomi modern tentang kesejahteraan.

Murray Newton Rothbard adalah salah seorang tokoh yang mengkritik

keras pandangan ini. Dalam satu karya seminalnya*) yang dijadikan kerangka

bagi tulisan ini, ia mengatakan bahwa kita dalam hal ini sedang berurusan dengan

sesuatu yang aktual, bukan yang potensial terjadi. Ketika perubahan

menyebabkan sebagian orang tertentu memeroleh manfaat sementara yang lain

harus mengenyam kerugian, maka yang kita bicarakan bukanlah apakah para

pemenangnya dapat, atau bersedia, memberikan kompensasi atas kerugian yang

menimpa korban, melainkan apakah proses yang dilibatkan perubahan tersebut

28
benar-benar terjadi memberikan kompensasi tersebut. Rothbard mengatakan,

kalaupun program kompensasi harus ditempuh, kompensasi yang tidak

memberikan pilihan kepada korbannya tidak dapat diterima sebagai suatu

konklusi ilmu ekonomi.

Untuk kembali ke bumi pertiwi, di sini kita mulai dapat menanyakan:

apakah BLT kompensasi yang sepadan? Apakah BKM sebuah kompensasi? Jika

individu yang dapat menentukan sendiri cara terbaik membelanjakan Rp. 500 ribu

miliknya ketimbang dirampas sebagai pajak untuk “diserahkan kembali” kepada

mereka yang dianggap berhak menerimanya, bagaimana mengompensasi hal

tersebut?

Jika kompensasi memang dapat dilakukan, prosesnya tetap akan harus

melibatkan adanya pembandingan utilitas interpersonal, di mana skala preferensi

dan sistem nilai satu individu harus diteliti dan diperbandingkan. Hingga saat ini,

ini masih merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan tanpa keterpaksaan di

satu sisi atau pemaksaan di sisi lain. Dan keterpaksaan/pemaksaan ini adalah

proses yang akan mencederai kondisi psikis korban; dan hal ini harus dihitung

juga sebagai kerugian.

Penutup

Apakah Anda setuju dengan kebijakan pemerintah yang telah menaikkan

BBM per tanggal 24 lalu? Ternyata, ini bukan pertanyaan yang tepat. Penaikan

atau penurunan harga BBM dan keputusan besar menyangkut hajat hidup orang

banyak tidak dapat direduksi menjadi pertanyaan ya atau tidak, sebab hal

mendasar ini terkait sangat erat dengan berbagai keputusan lain dan bermuara

pada cara pandang kita terhadap perekonomian secara keseluruhan. Anomali-

29
anomali besar yang terjadi dalam dua sektor strategis di atas lebih dari sekadar

hasil kebijakan pragmatis pemerintahan. Persoalannya berawal dari persoalan

ideologis, yang dapat dirunut kembali hingga ke Konstitusi 1945. Konstitusi dan

segenap produk legislasi pada hakikatnya adalah seperangkat instrumen yang kita

gagas bagi kemaslahatan bersama. Apabila perangkat tersebut ternyata tidak

membawa kita kepada hasil yang kita dambakan, apabila ternyata perangkat

tersebut membutuhkan elaborasi untuk meniadakan ketaksaan, dan kebingungan

dalam pengimplimentasiannya, adalah tanggungjawab bersama untuk

memperbaikinya—bahkan menggantikannya dengan instrumen lain yang lebih

cocok.

Selain itu, sekalipun tanpa pertimbangan moral, melainkan berdasarkan

paparan dan analisis teoritis ekonomis sebagaimana di atas, disimpulkan bahwa

program-program sosial berupa transfer payment (subsidi) yang didasari atas niat

baik sekalipun tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, dan dalam

jangka pendek dan panjang bahkan merugikan pihak-pihak penerimanya. Oleh

karena cara-cara tersebut secara logis tidak membawa kita kepada perbaikan

kesejahteraan sebagai satu tujuan ultimat bernegara, maka penghentian program-

program tersebut secara saksama dan dalam tempo yang secepat-cepatnya adalah

satu-satunya kesimpulan logis yang harus diterima. Para ekonom yang

mendukung kebijakan-kebijakan tersebut perlu memeriksa kembali asumsi-asumsi

dasarnya, menggugurkan asumsi-asumsi yang disinggung dalam tulisan ini, atau

paling tidak perlu menyuguhkan asumsi-asumsi ilmiah lain yang dapat

dipertanggungjawabkan secara memuaskan.

30
Rujukan:

*) Murray Newton Rothbard, “Toward a Reconstruction of Utility and Welfare

Economics”, 1956. Artikel ini diterbitkan pertama kali dalam On Freedom and

Free Enterprise: The Economics of Free Enterprise, May Sennholz, peny.

(Princeton, N.J: D. Van Nostrand, 1956). Dicetak ulang dalam The Logic of

Action One: Method, Money, and the Austrian School, Murray N. Rothbard

(London: Edward Elgar, 1997, hal. 211-255.

31

You might also like