You are on page 1of 15

STRATEGI PEMBELAJARAN IPA UNTUK SEKOLAH DASAR

Evi Afifah Hurriyati,M.Si


Trainer Makmal Pendidikan

Kecakapan Proses
IPA tidak dapat diajarkan sebagai suatu materi pengetahuan, yang disampaikan dengan
metoda ceramah,melainkan melalui pembelajaran siswa aktif. Model pembelajaran penemuan
(discovery-inquiry) merupakan pembelajaran siswa aktif, dimana siswa belajar dan berlatih
untuk memiliki dan menguasai konsep-konsep dasar sains secara tuntas (mastery learning).
Tujuan pendidikan sains di SD hendaknya lebih menekankan kepada pemilikan kecakapan
proses atau kecakapan generik dibandingkan dengan penguasaan konsep, karena kecakapan
generik merupakan prasyarat yang harus dimiliki siswa, agar siswa dapat mempelajari bidang
studi lainnya sesuai dengan minatnya. Kecakapan generic yang dimiliki siswa SD akan
berfunsi menjadi alat bagi mereka untuk menggali konsep-konsep keilmuan yang
diminatinya, pada jenjang pendidikan berikutnya
Adapun kecakapan proses yang harus dimiliki siswa adalah :
1. Kecakapan observasi
2. Kecakapan klasifikasi
3. Kecakapan Pengukuran
4. Kecakapan memprediksi
5. Kecakapan inferensi (pengambilan kesimpulan)
6. Kecakapan membuat hipotesa
7. Kecakapan komunikasi
Selain penguasaan konsep dan kecakapan proses yang merupakan keterampilan ilmiah, siswa
juga seharusnya memperoleh nilai religius, karena pada dasarnya IPA adalah bagaimana
mempelajari ciptaan Allah swt. Rasa keingintahuan untuk mengamati fenomena alam, nilai
kejujuran harus melekat pada diri seorang saintis kecil.

Model Inquiry
Ada banyak model pembelajaran sain atau IPA. Diantaranya model inquiry. Pembelajaran
IPA berbasis inkuiri dideskripsikan dengan mengajak siswa dalam kegiatan yang akan
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA sebagaimana para saintis
mempelajari dunia alamiah.
Trowbridge, et al. (1973) mengajukan tiga tahap pembelajaran berbasis inkuiri. Tahap
pertama adalah belajar diskoveri, yaitu guru menyusun masalah dan proses tetapi memberi
kesempatan siswa untuk mengidentifikasi hasil alterna-tif. Tahap kedua inkuiri terbimbing
(guided inquiry), yaitu guru me-ngajukan masalah dan siswa menentukan penyelesaian dan
prosesnya. Tahap ketiga, adalah inkuiri terbuka (open inquiry), yaitu guru hanya memberikan
konteks masalah sedangkan siswa mengindentifikasi dan memecahkannya.
Menurut NRC (1996) pembelajaran berbasis inkuiri meliputi kegiatan observasi, mengajukan
pertanyaan, memeriksa buku-buku dan sumber-sumber lain untuk melihat informasi yang
ada, merencanakan penyelidikan, me-rangkum apa yang sudah diketahui dalam bukti
eksperimen, menggunakan alat untuk mengumpulkan, menganalisis dan interpretasi data,
mengajukan jawaban, penjelasan, prediksi, serta mengkomunikasikan hasil. Dari pandangan
pedagogi, pengajaran IPA berorientasi inkuiri lebih mencerminkan model belajar
konstruktivis. Belajar adalah hasil perubahan mental yang terus mene-rus sebagaimana kita
membuat makna dari pengalaman kita.
Menurut NSTA & AETS (1998) jantungnya inkuiri adalah kemampuan mengajukan
pertanyaan dan mengidentifikasi penyelesaian masalah. Karena itu dalam pembelajaran
seharusnya guru lebih banyak mengajukan pertanya-an open ended dan lebih banyak
merangsang diskusi antar siswa. Keterampilan bertanya dan mendengarkan secara efektif
penting untuk keberhasilan mengajar.
Akhirnya, berbagai model, pendekatan atau strategi apapun dalam pembelajaran, harus
disajikan guru dalam kemasan yang menarik sehingga membangun minat siswa untuk belajar.
Jika guru,sudah menerapkan 3 prinsip strategi pembelajaran IPA, yaitu memahami konsep
ilmiah, keterampilan ilmia dan nilai religius dengan model pembelajaran IPA yang
menggugah selera belajar siswa, maka nilai akademis pun insya Allah akan diraih.

http://sahabatguru.wordpress.com/2010/01/04/strategi-pembelajaran-ipa-untuk-sekolah-
dasar-evi-afifah-hurriyatim-si-trainer-makmal-pendidikan/

Posted: Juli 9, 2009 by techonly13 in Education


0

Strategi Pembelajaran IPA

Beberapa pendekatan yang dianjurkan untuk digunakan dalam pembelajaran IPA diantaranya
adalah sebagai berikut.

1. Pendekatan Inkuiri

Pembelajaran IPA berbasis inkuiri dideskripsikan dengan mengajak siswa dalam kegiatan
yang akan mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA sebagaimana
para saintis mempelajari dunia alamiah.

Trowbridge, et al. (1973) mengajukan tiga tahap pembelajaran berbasis inkuiri. Tahap
pertama adalah belajar diskoveri, yaitu guru menyusun masalah dan proses tetapi memberi
kesempatan siswa untuk mengidentifikasi hasil alterna-tif. Tahap kedua inkuiri terbimbing
(guided inquiry), yaitu guru me-ngajukan masalah dan siswa menentukan penyelesaian dan
prosesnya. Tahap ketiga, adalah inkuiri terbuka (open inquiry), yaitu guru hanya memberikan
konteks masalah sedangkan siswa mengindentifikasi dan memecahkannya.

Menurut NRC (1996) pembelajaran berbasis inkuiri meliputi kegiatan observasi, mengajukan
pertanyaan, memeriksa buku-buku dan sumber-sumber lain untuk melihat informasi yang
ada, merencanakan penyelidikan, me-rangkum apa yang sudah diketahui dalam bukti
eksperimen, menggunakan alat untuk mengumpulkan, menganalisis dan interpretasi data,
mengajukan jawaban, penjelasan, prediksi, serta mengkomunikasikan hasil. Dari pandangan
pedagogi, pengajaran IPA berorientasi inkuiri lebih mencerminkan model belajar
konstruktivis. Belajar adalah hasil perubahan mental yang terus mene-rus sebagaimana kita
membuat makna dari pengalaman kita.

Menurut NSTA & AETS (1998) jantungnya inkuiri adalah kemampuan mengajukan
pertanyaan dan mengidentifikasi penyelesaian masalah. Karena itu dalam pembelajaran
seharusnya guru lebih banyak mengajukan pertanya-an open ended dan lebih banyak
merangsang diskusi antar siswa. Keterampilan bertanya dan mendengarkan secara efektif
penting untuk keberhasilan mengajar.

Selain itu inkuiri memerlukan keterampilan dalam menganalisis data dan menilai hasil untuk
mendapatkan kesimpulan yang valid dan masuk akal. Siswa IPA seharusnya diberi
kesempatan untuk menganalisis data selama pembekalannya. Mereka seharusnya
memperoleh tingkat kecakapan yang memadai dalam mengumpulkan dan menganalisis data
dalam berbagai format (terbuka dan tertutup) dan dapat menggunakan kriteria ilmiah untuk
membedakan ke-simpulan yang valid dan tidak valid.

Dalam konteks inkuiri, assesmen yang dilakukan adalah berbasis kelas dengan harapan dapat
mengambil pandangan yang luas dari pengalaman belajar siswa. Assesmen dalam
pembelajaran berbasis inkuiri berbeda dari as-sesmen tradisional (NRC, 2000). Untuk
memahami kemampuan siswa dalam berinkuiri dan memahami prosesnya dapat dilakukan
baik berdasarkan pada analisis kinerja di dalam kelas maupun pada hasil kerja mereka.
Kemampuan siswa yang seharusnya dinilai adalah kemampuan dalam mengajukan perta-
nyaan yang dapat diteliti, merencanakan investigasi, melaksanakan rencana penelitiannya,
mengembangkan penjelasan yang mungkin, menggunakan data sebagai bukti untuk
menjelaskan atau untuk menolak penjelasan, dan laporan penelitiannya (NRC, 2000).

Pada saat siswa melakukan kegiatan inkuiri guru melakukan observasi untuk setiap kinerja
siswa, seperti presentasi siswa di kelas, interaksi dengan teman, penggunaan komputer,
penggunaan alat-alat laboratorium. Guru juga mempunyai hasil kerja siswa secara individual
meliputi draft pertanyaan penelitian, kritik dari siswa-siswa lain, dan jurnal siswa. Observasi
kinerja siswa dan hasilnya adalah sumber data yang kaya untuk guru membuat inferensi
tentang setiap pemahaman siswa tentang inkuiri ilmiahnya (NRC, 1996).

2. Pendekatan Salingtemas

Untuk mewujudkan sekolah sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan, pembelajaran
IPA dikembangkan dengan pendekatan sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat
(salingtemas). Dalam proses pembelajarannya, IPA tidak hanya mempelajari konsep-konsep
tetapi juga diperkenalkan pada aspek teknologi dan bagaimana teknologi itu berperan di
masyarakat serta bagaimana akibatnya pada lingkungan.

Pembelajaran sains dengan pendekatan yang mencakup aspek teknologi dan masyarakat
mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara konvensional. Perbedaan
tersebut meliputi: kaitan dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep
pengetahuan. Dengan mengkaitkan serta mengaplikasikan bahan pelajaran sains ke teknologi
dan masyara-kat, diharapkan siswa dapat menghubungkan materi yang dipelajari dengan
kehidupan sehari-hari, serta perkembangan teknologi dan relevansinya. De-ngan pengkaitan
dan pengaplikasian tersebut kreativitas siswa untuk lebih banyak bertanya dan
mengidentifikasi kemungkinan penyebab dan efek dari hasil observasi makin meningkat.
Selain itu sikap siswa dalam bentuk kesadaran akan pentingnya mempelajari sains untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi melalui proses sains yang benar juga meningkat
(Poedjiadi, 2000).

3. Pendekatan Pemecahan Masalah

Menurut The National Science Teachers Association (NSTA) tahun 1985, pemecahan
masalah merupakan kemampuan yang sangat penting yang harus dikembangkan dalam
pembelajaran sains. Pemecahan masalah adalah hasil aplikasi pengetahuan dan prosedur
kepada suatu situasi masalah. Ada empat tingkatan dalam pemecahan masalah, yaitu: (1)
definisi masalah, (2) seleksi informasi yang tepat, (3) penggabungan bagian-bagian informasi
yang terpisah-pisah, dan (4) menilai pemecahan masalah.
Untuk memecahkan suatu masalah pada dasarnya diperlukan pengetahuan deklaratif,
pengetahuan prosedural dan pengetahuan struktural (Gagne, 1977). Pengetahuan deklaratif
adalah pengetahuan yang dapat dikomunikasikan, misalnya fakta, konsep, aturan, dan prinsip.
Pengetahuan prosedural menggambarkan tahap penampilan seseorang dalam menyelesaikan
tugas tertentu. Pengetahuan struktural merupakan interaksi antara pengetahuan deklaratif dan
pengetahuan prosedural dalam situasi memecahkan masalah.

Salah satu cara menilai pemecahan masalah dalam pendidikan sains dilakukan dengan
menggunakan analisis tugas prosedural (Barba & Rubba, 1992). Hal ini didasarkan pada
anggapan bahwa tahapan pemecahan masalah identik dengan tahapan memperoleh
pengetahuan yang digunakan oleh para perencana sistem pengajaran. Analisis tugas
prosedural (procedural task analysis atau task analysis atau task hierarchi analysis),
digunakan untuk memecahkan tugas menjadi beberapa komponen, mengorganisasikan
hubungan antara masing-masing tugas dan untuk menghasilkan penyelesaian tugas dengan
tepat.

Cara penilaian penyelesaian masalah dalam pembelajaran dengan analisis tugas adalah: (1)
dibuat prosedural tertulis, untuk menentukan pengetahuan deklaratif atau pengetahuan
prosedural yang digunakan subyek dalam me-mecahkan masalah; (2) dibuat rekaman dengan
audio/videotape saat subJek memecahkan masalah; (3) dibuat catatan observasi/interview,
transkrip dan dicatat variabel-variabel saat pemecahan masalah dilakukan, berdasarkan tugas
yang menjadi acuan; dan (4) dibuat analisisis akhir.

4. Pendekatan Keterampilan Proses Sains (KPS)

Pendekatan KPS merupakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada proses IPA,
berupa keterampilan-keterampilan yang dimiliki para ilmuwan IPA untuk menghasilkan
produk IPA yang satu sama lain sebenarnya tak dapat dipisahkan. Keterampilan-keterampilan
yang dimaksud dijelaskan berikut ini (Rustaman, 2003).

a. Mengamati

Untuk dapat mencapai keterampilan mengamati siswa harus mengguna-kan sebanyak


mungkin inderanya, yaitu indera penglihat, pembau, pen-dengar, pengecap dan peraba.
Dengan demikian ia dapat mengumpulkan dan menggunakan fakta-fakta yang relevan dan
memadai.

b. Menafsirkan pengamatan (interpretasi)

Untuk dapat menafsirkan pengamatan, siswa harus dapat mencatat setiap pengamatan, lalu
menghubung-hubungkan pengamatannya sehingga ditemukan pola atau keteraturan dari suatu
seri pengamatan.

c. Mengelompokkan (klasifikasi)

Dalam proses pengelompokan tercakup beberapa kegiatan seperti mencari perbedaan,


mengontraskan ciri-ciri, mencari kesamaan, membandingkan, dan mencari dasar
penggolongan.

d. Meramalkan (prediksi)
Keterampilan prediksi mencakup keterampilan mengajukan perkiraan tentang sesuatu yang
belum terjadi atau belum diamati berdasarkan suatu kecenderungan atau pola yang sudah ada.

e. Berkomunikasi

Untuk mencapai keterampilan berkomunikasi, siswa harus dapat berdiskusi dalam kelompok
tertentu serta menyusun dan menyampaikan laporan tentang kegiatan yang dilakukannya
secara sistematis dan jelas. Siswa juga harus dapat menggambarkan data yang diperolehnya
dalam bentuk grafik, tabel atau diagram.

f. Berhipotesis

Berhipotesis dapat berupa pernyataan hubungan antar variabel atau mengajukan perkiraan
penyebab terjadinya sesuatu. Dengan berhipotesis terungkap cara melakukan pemecahan
masalah, karena dalam rumusan hipotesis biasanya terkandung cara untuk mengujinya.

g. Merencanakan percobaan atau penelitian

Agar siswa dapat merencanakan percobaan, ia harus dapat menentukan alat dan bahan yang
akan digunakan. Selanjutnya siswa harus dapat me-nentukan variabel yang dibuat tetap dan
variabel yang berubah, menentukan apa yang dapat diamati, diukur atau ditulis, serta
menentukan cara dan langkah-langkah kerja. Selain itu siswa juga harus dapat menentukan
cara mengolah data sebagai bahan untuk menarik kesimpulan.

h. Menerapkan konsep atau prinsip

Dengan menggunakan konsep yang telah dimiliki, siswa seharusnya dapat menerapkan
konsep tersebut pada peristiwa atau pengalaman baru yang terkait dengan cara menjelaskan
apa yang terjadi.

i. Mengajukan pertanyaan

Pertanyaan yang diajukan dalam mengembangkan keterampilan ini dapat meminta penjelasan
tentang apa, mengapa, bagaimana atau menanyakan latar belakang hipotesis. Pertanyaan
tentang latar belakang hipotesis menunjukkan bahwa siswa memiliki gagasan atau perkiraan
untuk menguji atau memeriksanya. Dengan mengajukan pertanyaan diharapkan siswa tidak
hanya sekedar bertanya tetapi melibatkan proses berpikir.

5. Pendekatan Terpadu (Integrated Approach)

Pendekatan ini intinya adalah memadukan dua unsur pembelajaran atau lebih dalam suatu
kegiatan pembelajaran dengan prinsip keterpaduan tertentu. Unsur pembelajaran yang dapat
dipadukan dapat berupa konsep dan pro-ses, konsep dari satu mata pelajaran dengan konsep
mata pelajaran lain, atau suatu metode dengan metode lain. Dengan prinsip keterpaduan antar
unsur pembelajaran diharapkan terjadi peningkatan pemahaman ilmu yang lebih bermakna
serta peningkatan wawasan dalam memandang suatu permasalahan.

Prinsip keterpaduan dapat diciptakan melalui jembatan berupa tema sentral sebagai fokus
yang akan ditinjau dari beberapa konsep dalam satu atau beberapa bidang ilmu. Selain itu
dapat pula melalui jembatan berupa target perilaku atau keterampilan tertentu yang
dibutuhkan bukan hanya oleh satu disiplin ilmu saja.

Keragaman unsur yang dilibatkan dalam pembelajaran dapat memperkaya pengalaman


belajar siswa, kegiatan belajar menjadi lebih dinamis dan menarik serta dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa. Selain itu apabila pendekatan terpadu ini dilakukan secara sistematis
dapat mengefisienkan penggunaan waktu.

http://techonly13.wordpress.com/2009/07/09/strategi-pembelajaran-ipa/

PEMBELAJARAN MODEL SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE)

Apa Siklus Belajar (Learning Cycle) itu?

Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model
pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). LC merupakan rangkaian
tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat
menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan
berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan
konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their
dalam Renner et al, 1988). Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk
memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan
melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena
alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini
diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium)
yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada
berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-
kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-
pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase
berikutnya, fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju
kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep
yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti
menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah
yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni
aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-
kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan)
atau melakukan percobaan lebih lanjut.. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman
konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang
mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator
yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama
pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-
pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC
biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas
pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya
yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara
mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC
5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap
evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept
application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC
5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan
Evaluation) (Lorsbach, 2002). Pada LC 6 fase, ditambahkan tahap identifikasi tujuan
pembelajaran pada awal kegiatan (Johnston dalam Iskandar, 2005). Tahap engagement
bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya
dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase
engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan
diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak membuat prediksi-
prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi. Pada
fase exploration, siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok
kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat
pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur.
Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan
kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan
mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini pebelajar menemukan istilah-istilah dari
konsep yang dipelajari. Pada fase elaboration (extention), siswa menerapkan konsep dan
ketrampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan
problem solving. Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-
fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau
kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru yang kadang-kadang
mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. Berdasarkan tahapan-tahapan dalam
metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya
mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya
pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Berdasarkan uraian di atas, LC
dapat dimplementasikan dalam pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial.

Mengapa Menggunakan Learning Cycle?


LC patut dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al, 1988), teori
belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan
pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual
adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan
masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi.
Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan
organisasi (Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi
individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap
rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di
lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental
individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan
modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental.
Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu.
Individu harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep lain
dalam suatu hubungan antar konsep. Konsep yang baru harus diorganisasikan dengan konsep-
konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan
tercermin dari respon yang diberikan dalam menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam
Renner et al, 1988) mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di
atas. Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara
mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara mengembangkan
konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan
menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena
yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi,
pengenalan konsep, dan aplikasi konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi,
akomodasi, dan organisasi) mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam LC (Abraham
et al, 1986). Hubungan tersebut disajikan seperi Gambar 1 (Marek dan Cavallo dalam Dasna,
2005).
Laerning Cycle Phases Mental Functioning
Eksplorasi
Asimilasi

ketidakseimbangan

Pengenalan Konsep
Akomodasi

Aplikasi Konsep
Organisasi

Gambar 1 Hubungan Fase-fase dalam LC dengan Teori Piaget

Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap
berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E
termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses
organisasi.
Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir
dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial
Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap
fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan
cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam
pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan
berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang
dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan
masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke
siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep
yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran
demikian akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi
pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan
sekolah menengah tentang implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan
keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih
dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005)
menyatakan bahwa siswa yang gurunya mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan
menjelaskan yang lebih baik dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori.
Cohen dan Clough (dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu
bagi pembelajaran sain di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan
memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini
memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan
pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar, penerapan strategi ini memberi
keuntungan sebagai berikut:
1. meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses
pembelajaran
2. membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3. pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai
berikut (Soebagio, 2000):
1. efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah
pembelajaran
2. menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses
pembelajaran
3. memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4. memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan
melaksanakan pembelajaran.
Bagaimana Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran?
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan
pembelajaran. Tabel 1 menyajikan beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat
dilakukan dalam tiap fase LC 5E.

Tabel 1 Aktivitas Belajar dalam Tiap Fase LC 5E

Fase Aktivitas Belajar/ Metode


Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan
terjadinya miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar •
Demonstrasi oleh guru atau siswa
• Tanya jawab dalam rangka mengeksplorasi pengetahuan awal, pengalaman, dan ide-ide
pebelajar
• Pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan
dibuktikan dalam tahap eksplorasi
Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, menguji prediksi,
melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide • Demonstrasi
• Praktikum
• Mengerjakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa)
Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta bukti
dan klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar
menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. • Mengkaji literatur
• Diskusi Kelas

Elaboration (extention) : siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru. •
Demontrasi lanjutan
• Praktikum lanjutan
• Problem solving
Evaluation : evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap
pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang
kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. • Refleksi
pelaksanaan pembelajaran
• Tes tulis
• Problem solving
Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam
tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan « Konsep apa yang akan diberikan ? » atau «
Kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ? » dan « Aktivitas-aktivitas yang
bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau
terkuasainya kompetensi tersebut ? ». Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai
sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat
psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan
semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah :
1. Tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki
siswa
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat
secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan
menyenangkan. (Hudojo, 2001)
Berikut ini akan disajikan contoh penerapan LC dalam pembelajaran kimia di SMA.

Contoh Penerapan Learning Cycle dalam Pembelajaran


Uraian dalam paragrap ini menyajikan penerapan LC 5E dalam pembelajaran zat aditif di
SMA (Fajaroh dan Dasna, 2004) yang terdiri atas 3 siklus.

1. Siklus 1
Skenario

TPK: Siswa dapat menjelaskan tujuan pemanfaatan zat pewarna makanan, klasifikasi serta
aturan pemakaian zat pewarna makanan

Fase Kegiatan Guru Kegiatan


1

5 Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk membangkitkan motivasi belajar


dan menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang:
1. kebiasaan yang biasanya dilakukan orang dalam mengolah makanan dalam kaitannya
dengan zat pewarna makanan.
2. tujuan penambahan zat pewarna pada pengolahan makanan tersebut
3. kaitan antara penambahan zat pewarna makanan dengan peningkatan nilai gizi makanan.
4. perlu tidaknya aturan pemakaian zat pewarna makanan
5. bagaimana membedakan pewarna alami dan sintetis

Membimbing siswa melaksanakan Kegiatan I (Klasifikasi Zat Pewarna Makanan) yakni LKS
1 No. 1.1 sampai 1.4.
Membimbing diskusi kelas dan menggiring siswa untuk sampai pada kesimpulan bahwa:
(1) penambahan zat pewarna tersebut semata-mata tidak mempengaruhi nilai gizi makanan
tapi agar penampilan makanan tersebut lebih menarik untuk memancing selera dan mungkin
untuk meningkatkan rasa makanan,
(2) perlunya aturan pemakaian zat pewarna,
(3) ciri-ciri zat pewarna sintetis, (4) kelebihan dan kerugian pemakaian zat pewarna makanan

Menugaskan siswa menjelaskan cara membedakan pewarna sistetis dan alami secara
percobaan (LKS 1 No. 1.5)

Memberikan soal tes:


(1) Sebutkan minimal 2 alasan mengapa orang menggunakan pewarna makanan sebagai zat
aditif?
(2) Sebutkan minimal 3 contoh pewarna alami
(3) Apa kelebihan pewarna sintetis dibanding alami?
(4) Apa kekurangan pewarna sintetis disbanding alami? Diskusi kelas

Melaksanakan Kegiatan I
Diskusi Kelompok

Presentasi kelompok dan Diskusi Kelas

Melakukan percobaan 1.5


Diskusi Kelompok

Menyelesaikan soal tes secara individual

LKS 1

Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut secara berkelompok pada Lembar Jawaban/Pengamatan


yang telah disediakan!

1.1 Tuliskan nama dan warna “jajanan” yang tersedia pada kelompok Anda!
1.2 Menurut Anda dari bahan pewarna pada “jajanan” tersebut? (bahan pewarna sintetis atau
alami). Jelaskan Jawaban anda!
1.3 Bagaimana ciri-ciri bahan pewarna sintetis dan alami? Bandingkan warna makanan dari
kunir atau daun suji dengan warna saus “tanpa merk”!
1.4 Bagaimana cara Anda membedakan bahan makanan yang mengandung zat pewarna
sintetis dengan bahan makanan yangmengandung zat pewarna alami?
1.5 Kerjakan kegiatan berikut ini:
Pilih 4 orang anggota kelompokmu, sebut saja siswa A, B, C, dan D
Siswa A : ambil sedikit saos tomat merk “Indofood” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu.
Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa B : Ambillah sedikit saos tomat dalam botol besar merk “X” lalu oleskan pada telapak
tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa C : Ambillah sedikit saos tomat “tanpa merk” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu.
Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa D : Geruslah sedikit tomat sampai halus, lalu oleskan pada telapak tangan kirimu.
Biarkan tomat halus tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Kemudian cucilah tangan Anda dan catat warna yang membekas pada tangan Anda. Tarik
kesimpulan percobaan Anda!

2. Siklus II
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan dampak pemakaian pewarna berbahaya bagi kesehatan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1

5 Memancing keingintahuan siswa tentang efek interaksi dinding usus sapi dengan
bermacam-macam pewarna dengan mengingatkan kembali hasil percobaan 1.5 (pengolesan
bermacam-macam pewarna makanan pada kulit).

Menugaskan siswa melaksanakan praktikum efek interaksi dinding usus sapi dengan
rhodamin-B (pewarna tekstil), saos bermerk A dan B (LKS 2).

Membimbing diskusi hasil percobaan.

Mengajak siswa mendiskusikan fenomena penyalahgunaan zat warna di masyarakat serta


dampaknya bagi kesehatan.

Memberikan soal tes:


(1) Sebutkan cara-cara membedakan pewarna sintetis dan alami
(2) Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan zat warna?
(3) Apa dampaknya bagi kesehatan? Menjawab pertanyaan guru secara berkelompok

Melaksanakan praktikum

Presentasi kelompok
Diskusi Kelas

Diskusi Kelas

Menyelesaikan soal tes

LKS 2
Lakukan Kegiatan Berikut secara Berkelompok dan Catat Hasil Pengamatan Anda pada
Lembar yang Tersedia!
1. Siapkan 10 g saos merk Indofood, Cherry, dan tomat halus, masing-masing larutkan dalam
10 mL air
2. Masukkan larutan-larutan saos tersebut masing-masing ke dalam potongan usus sapi yang
sudah diikat salah satu ujungnya.
3. Ikat ujung usus lainnya, kemudian gantung pada statif dan diamkan selama 45 menit.
4. Keluarkan saos dari usus, cuci usus sampai bersih, amati kemungkinan ada tidaknya zat
warna yang tertinggal pada dinding usus, catat hasil pengamatanmu pada lembar
pengamatan!
5. Tarik kesimpulan dari percobaan ini
3. Siklus 3
Skenario

TPK: siswa dapat mengidentifikasi pewarna berbahaya pada makanan

Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa


1

5 Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjajagi pengetahuan dan


wawasan siswa tentang berbahaya tidaknya penyalahgunaan zat-zat pewarna non-makanan
untuk makanan.

Menugaskan siswa melaksanakan praktikum identifikasi kandungan pewarna berbahaya


(Rhodamin-B) pada bermacam-macam saos dengan teknik kromatografi kertas dan spot test
(LKS 3).

Membimbing diskusi hasil percobaan.

Memberikan pertanyaan kepada kelompok siswa:


(1) Apakah teknik kromatografi kertas dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada
makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
(2) Apakah teknik spot test dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan
selain Rhodamin-B?mengapa?

Memberikan soal:
Sebutkan cara-cara fisik dan kimia yang dapat dilakukan untuk mendeteksi pewarna
berbahaya pada makanan!
Diskusi kelas

Praktikum

Presentasi kelompok

Diskusi dan presentasi

Menyelesaikan soal tes

LKS 3

3.1 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Tes Warna


a. Isi 4 lubang pada pelat tetes masing-masing dengan 1 tetes larutan Rhodamin-B
b. Tambahkan lubang 1 dengan setetes H2SO4
Tambahkan lubang 2 dengan setetes HCl
Tambahkan lubang 3 dengan setetes NaOH
Tambahkan lubang 4 dengan setetesNH4OH
c. Biarkan campuran tersebut kurang lebih 2 menit dan amati perubahan warna yang terjadi
d. Lakukan langkah a s.d. c untuk menguji perubahan warna larutan sampel X dan Y bila
ditetesi dengan larutan-larutan H2SO4, HCl, NaOH, dan NH4OH
e. Apakah larutan X dan Y mengandung Rhodamin-B

3.2 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Kromatografi Kertas


a. Ke dalam beaker glass yang dinding bagian dalamnya telah dilapisi kertas saring,
masukkan 25 mL larutan eluen
b. Siapkan kertas kromatografi dan buatlah garis melintang sekitar 1 cm
dari kedua ujungnya.
c. Siapkan titik noda larutan Rhodamin-B, larutan X, dan larutan Y pada
salah satu garis melintang tersebut dengan pipa kapiler. Atur ketiga noda tersebut sedemikian
rupa sehingga tidak berimpit.
d. Lakukan proses elusi sampai eluen mencapai tanda batas.
e. Angkat dan keringkan kertas dengan cara diangin-anginkan.Bandingkan Rf noda
Rhodamin-B, X, dan Y.
f. Tarik kesimpulan dari percobaan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, M.R., Renner J.W.. 1986.The Sequence of Learning Cycle Activity in High School
Chemistry. J. of Research in Science Teaching. Vol 23 (2), pp 121-143.

Arifin, M. 1995. Pengembangan Program Pengajaran Bidang Studi Kimia. Surabaya:


Airlangga University Press.

Budiasih, E. , Widarti, H.R. 2004. Penerapan Pendekatan Daur Belajar (Learning Cycle)
dalam Pembelajaran Matakuliah Praktikum Kimia Analisis Instrumen. Jurnal Pendidikan dan
pembelajaran Vol 10 (1), hal 70-78.

Dasna, I.Wayan.2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam
Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM –
Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.

Fajaroh, F., Dasna, I.W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif Dalam Bahan Makanan
Pada Siswa Kelas Ii Smu Negeri 1 Tumpang – Malang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran
Vol 11 (2) Oktober 2004, hal 112-122.

Hudojo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah Semlok


Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting JICA. FMIPA UM. 9 Juli 2001.

Iskandar, S.M. 2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar. Makalah Semlok
Pembelajaran Berbasis Konstruktivis. Jurusan Kimia UM. Juni 2005.

Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science Instruction.
Online (http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.html, diakses 10 Desember
2002).

Rahayu, S., Prayitno. 2005. Penggunaan Strategi Pembelajaran Learning Cycle-Cooperative


Learning 5E (LCC-5E). Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA
UM – Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.

Renner, J.W., Abraham M.R.,Birnie, H.H. 1988. The Necessity of Each Phase of The
Learning Cycle ini Teaching High School Physics. J. of Research in Science Teaching. Vol
25 (1), pp 39-58.

Soebagio dkk. 2000. Penggunaan Siklus belajar dan Peta Konsep untuk Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Konsep Larutan Asam-Basa. PPGSM.

Fauziatul Fajaroh dan I Wayan Dasna


Jurusan Kimia FMIPA UM

sumber: http://lubisgrafura.wordpress.com

You might also like