Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Karena itulah penulis ingin mengangkat topik mengenai kemiskinan karena seperti
yang diketahui bahwa kemiskinan merupakan masalah sosial yang terjadi di Indonesia
yang dapat mempengaruhi psikologi sosial suatu bangsa.
Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan
kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada
puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24%
dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun
menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004.Tetapi siapa yang dapat
menjamin bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus turun? Situasi terbaik terjadi
antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang
1
paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Hal
Apakah gejala ini telah mendapat perhatian yang memadai dari penentu kebijakan
dan para sosiolog? Mungkin kita telah melewatkan satu momentum yang sangat baik untuk
belajar lebih dalam mengenai bangunan sosial-ekonomi-politik masyarakat kita. Jika saja
pemerintah menyisihkan beberapa milyar rupiah untuk memberdayakan para pengemis ini,
maka situasi keamanan di kota-kota yang agak terganggu dengan kehadirian pengemis-
penodong akan lebih cepat pulih.
Dalam setengah tahun terakhir situasi tidak kondusif itu diperparah dengan
terjadinya peristiwa pemboman di Bali pada bulan Oktober 2002, dan terakhir peristiwa
invasi Amerika ke Irak. Semuanya menyebabkan hilangnya banyak lapangan kerja bagi
berbagai lapisan masyarakat, khususnya lapisan pekerja kasar.
2 Hal
BAB II
Adapun permasalahan yang coba dirumuskan oleh penulis yaitu, penulis ingin
membuka wawasan pembaca mengenai kemiskinan yang terjadi di Indonesia, apa yang
menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan, dan bagaimana langkah-langkah
pengetasan kemiskinan.
PEMBAHASAN
Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan
Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten ,
tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut
adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang
kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti
tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini
menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota
dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat
4
miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara
Hal
Kemiskinan dipelajari oleh banyak ilmu, seperti ilmu sosial, ekonomi, dan budaya.
Dalam hukum, telah ada gerakan yang mencari pendirian "hak manusia" universal
yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan.
individual seseorang cenderung untuk memfokuskan kepada akses capital instructional dan
Hal
capital social yang tersedia hanya bagi mereka yang terdidik dalam sistem formal.
penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan
kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain,
termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil
dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat
dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya
memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang
tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis
kemiskinan.
6
Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini
telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.
Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan
untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman,
pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada
orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang
dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau
orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti
kebutuhan akan perawatan kesehatan.
kelurahan lainnya umumnya kurang dari sepertiganya, dengan porsi bervariatif. Angka ini
Hal
merupakan turunan dari kriteria kemiskinan yang tertera di Peraturan Walikota Yogyakarta
No. 39/2005 tentang penetapan parameter kemiskinan Kota Yogyakarta. Sementara itu,
jumlah penerima beras miskin (raskin) di Kota Yogyakarta ada 22.719 gakin. Jumlah gakin
di kota gudeg ini lebih kecil lagi jika merujuk data penerima Bantuan Langsung Tunai
(BLT) tahap I yakni 13.354 gakin, yang kriterianya mengacu Badan Pusat Statistik (BPS).
Dengan melihat fenomena kemiskinan yang masih banyak di Yogjakarta Edi
Suhartono, pakar kebijakan sosial dan juga Ketua Tim Peneliti Depsos RI mengingatkan,
terlepas dari persoalan bentuk bantuan maupun hal-hal teknis lainnya, Edi menekankan
kejelasan paradigma dalam kebijakan penanganan kemiskinan. Faktanya, Edi melihat
banyak gejala kontradiktif. Pemerintah giat membantu permodalan UKM, tapi di sisi lain,
kebijakan menaikkan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan,
pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti mal, hypermart, dan warung
kelontong franchise masuk sampai pelosok. ”Saya berani taruhan, bapak latih saya sampai
kiamat (diberi keterampilan dan modal), kalau di sini masuk supermarket, kapan bisa
bersaing melawan supermarket itu?” sergah Edi. Ini semua menurut Edi merupakan tipikal
paradigma neoliberalisme. Demi pertumbuhan ekonomi yang cepat, sektor modern-padat
kapital harus diutamakan. Demi pertumbuhan pula, investasi industri produksi maupun
retail direlakan menggusur tempat tinggal sekaligus lahan ekonomi masyarakat miskin.
Logikanya, pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi. Investasi bisa terjadi jika
program rekapitulasi perbankan berjalan. Artinya, pemerintah harus mampu menyuntikkan
dana triliunan rupiah kepada bank-bank yang kreditnya macet. Yang ironis, kebijakan
penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana negara
hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga
keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa
kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh
kelemahan dan ketidakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan
kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan
jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal.
9
(adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas.
Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor macam
World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam
menangani kemiskinan.
Indonesia dalam peta pembangunan internasional termasuk dalam cakupan wilayah
di dunia ke tiga, untuk itu dalam perspektif teori pembangunan internasional maka
Indonesia termasuk dalam perspektif teori pembangunan dunia ketiga. Teori pembangunan
dunia ketiga sendiri adalah teori-teori pembangunan yang berusaha menyelesaikan masalah
yang dihadapi oleh negera-negara miskin atau negara-negara sedang yang sedang
berkembang dalam sebuah dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan militer negara-negara adikuasa atau negara-negara industri maju. Teori
Pembangunan di dunia ke tiga memiliki perbedaan dengan teori pembangunan bagi negara-
negara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya berlainan. Bagi negara-negara dunia
ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup atau bagaimana meletakkan dasar-
dasar ekonominya supaya bis bersaing di pasar internasional. Bagi negara-negara adikuasa
persolannya adalah bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan
ekonominya yang sudah mapan. Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di
dunia yaitu : 1) Teori modernisasi. Menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budanya
sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok
teori yang dominan dalam mengkaji masalah pembangunan di Indonesia; 2) Teori
ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. Teori ini merupakan reaksi
terhadap teori modernisasi. Teori ini mula-mula tumbuh di kalangan para ahli ilmu sosial
di Amerika Latin kemudian meluas sampai ke Amerika Serikat dan Eropa dan Asia. Teori
ini dipengaruhi oleh metoda analisis Marxis ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap
teori ketergantungan atau lebih di kenal Post Modernisme. Teori ini sering disebut sebagai
teori pasca ketergantungan. Di dalamnya ada teori sistem dunia, teori artikulasi dan
sebagainya .
10Hal
pemasokan tenaga ahli dan terampil. Perspektif umum Teori modernisasi memandang
Hal
Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja
Hal
Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi
Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga
Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang Kaki
Lima .
Konsep program itu beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah
individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang
bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang
itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu
memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program
pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan
orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut
merupakan program-program structural adjustment atau kepentingan dari negara-negara
maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program
Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK),
merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani kemiskinan.
Frank sebagai pelopor kemunculan teori dependensi, pada awalnya menyerang pendapat
Hal
periferi ini dijelaskan oleh Frank bahwa kemampuan negara satelit dalam pembangunan
Hal
ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap
negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang
menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan
dan difusi dengan negara maju . Tesis yang diajukan oleh Santos adalah pembagian
ketergantungan menjadi tiga jenis yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri
keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan
bentuk ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan. Ketergantungan kolonial
merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah dihapuskan.
Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara
tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang
galian dan hasil bumi dari negara jajahan. Sementara itu, jenis ketergantungan industri
keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka ekonomi negara tergantung lebih terpusat
pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan
terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan
pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk
ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga
adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta
terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Asumsi dasar
teori dependensi ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui
pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah
ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan
negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah
melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi
teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis. Hal ini juga
mempengaruhi pandangan-pandangan teoritisi Dependensi diatas bahwa kemiskinan di
suatu negara disebabkan karena faktor eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari
bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal
melakukan pembangunannya. c) Akar Permasalahan Kemiskinan di Indonesia?
Apabila kita perhatikan kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan
struktural (buatan) karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai potensi dan
15
sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah
Hal
kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok
masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini
menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi
rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan pembangunan
Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-
angka statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar
belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara
komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya persoalan
kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan persoalan yang lainnya. Pada sisi lain
studi tentang kemiskinan juga cenderung over akademis yang kurang memiliki daya guna
pemecahan persoalan yang sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal
mengungkap akar penyebab kemiskinan.
Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural yaitu :
1. Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji dari
aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan
seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara terpisah. Persoalan kemiskinan
dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan publik atau pemerintah terhadap
keberadaan rakyat miskin
2. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena
sasaran, baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
3. Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat
dampak yang terjadi. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengerti apa yang menjadi
masalah mendasar dalam proses mengentaskan kemiskinan ini. Pemahaman kemiskinan
saat ini mempunyai arti yang lebih luas yang didefinisikan sebagai kemiskinan majemuk
yaitu suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia.
Kebutuhan asasi tersebut meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas,
proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, waktu luang. Kemiskinan subsistensi pada rakyat
miskin kota seperti yang terjadi di Yogjakarta (lampiran) merupakan contoh dimana
rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta
16
kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar rakyat
miskin kota; kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola
hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam;
kemiskinan pemahaman karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan; kemiskinan partisipasi karena adanya
diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan keputusan; kemiskinan
identitas karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan
hancurnya nilai sosio kultural yang ada. Dimensi kemiskinan majemuk yang dialami
masyarakat miskin dapat teridentifikasi dari beberapa aspek berupa rendahnya
kesejahteraan, akses pada sumber daya, kesadaran kritis, partisipasi dan posisi tawar.
Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain,
seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam
melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan. Paradigma
ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal
menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih demi ‘keuntungan bersama’,
menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan kebijakan
ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya
proses pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam
pemenuhan kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung
kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi
pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di Indonesia.
Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain.
Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi
yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin
memiskinkan rakyat d) Adakah kesalahan perspektif pembangunan? Bila kita telusuri lebih
teliti bahwa kesimpulan yang ditemukan akan lebih memandang bahwa perspektif
pembangunan pemerintah selama ini tentang kemiskinan, sebagai realitas yang selalu
dilihat dari sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang
tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu.
Kemiskinan selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau
17
persoalan yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau
Hal
negara-negara maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF,
Hal
semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan
Kecamatan (PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani
kemiskinan. Program tersebut banyak memunculkan permasalahan; karena tidak tepat ke
sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas. Program ini tidak hanya menimbulkan
pemiskinan secara ekonomi, namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya
dan politik. Rakyat miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar
negeri dan tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban
utang dari dana pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang
oleh Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan
replikasi pembangunan pada negara berkembang terutama replikasi program
penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan atau hutang lunak justru akan
menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang atau dunia ketiga dan ini justru
yang menjadikan penyebab kemiskinan.
4. Kesimpulan
kemiskinan selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung
memunculkan kemiskinan yang baru. Bahkan banyak program yang memunculkan
permasalahan; karena tidak tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas.
Banyak Program kemiskinan ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi,
namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat miskin
menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan tidak inisiatif untuk
bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban utang dari dana pinjaman
menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang oleh Teoritisi dependensi
dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan replikasi pembangunan pada
negara berkembang terutama replikasi program penanggulangan kemiskinan dengan
disertai bantuan atau hutang lunak justru akan menyebabkan ketergantungan pada negara
berkembang atau dunia ketiga dan ini justru yang menjadikan faktor penyebab kemiskinan.
Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja
keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan
kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor kemiskinan adalah
gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru
termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi
anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga
termasuk faktor eksternal.
Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan tidak jelas harus
mulai dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi
dengan penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan lapangan kerja bukanlah hal yang
begitu saja dapat dilakukan, misalnya dengan meminjam dari sumber-sumber pembiayaan
luar negeri. Buktinya, pinjaman luar negeri Indonesia pada saat ini sudah mencapai lebih
dari US$140 milyar, namun tetap tidak mudah bagi banyak warga negara, khususnya yang
tidak memiliki ketrampilan khusus, untuk mendapatkan lapangan kerja.
Upaya meningkatkan penguasaan iptek masyarakat juga bukan perkara yang
mudah. Masalah utamanya adalah biaya pendidikan. Tetapi bukan hanya itu, budaya
menghargai simbol-simbol formal di masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat
menghambat kemajuan penguasaan iptek. Entah sejak kapan, manusia Indonesia merasa
lebih terpandang di lingkungan masyarakatnya apabila telah memiliki ijazah kesarjanaan
daripada memiliki kemampuan nyata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Akhirnya
dunia pendidikan pun tidak tergerak untuk mencetak manusia-manusia siap pakai. Sekolah-
sekolah kejuruan kurang berkembang. Orang merasa lebih bergengsi apabila tamat dari
sekolah umum daripada sekolah kejuruan karena para siswa sekolah kejuruan dianggap
kurang berkemampuan secara intelektual dibandingkan anak-anak dari sekolah umum.
Alhasil, Indonesia tidak memiliki cukup tenaga teknis dan insinyur-insinyur lapisan
menengah yang tumbuh dari bawah. Padahal sebagai salah satu negara sedang berkembang
kebutuhan akan tenaga-tenaga teknis amat besar. Merekalah yang akan membentuk lapisan
tenaga kerja menengah Indonesia dan menjadi infrastruktur lunak bagi pengembangan
teknologi lebih canggih pada tahap berikutnya. Dengan demikian, kemiskinan yang dialami
Indonesia di tengah-tengah kelimpahan sumber daya alamnya antara lain disebabkan oleh
sistem pendidikan yang kurang sesuai dengan tahap perkembangan Indonesia.
Yang perlu segera dilaksanakan adalah membangun suatu paradigma
pembangunan yang memihak kepada penduduk miskin. Dalam membangun paradigma
golongan miskin perlu diikutsertakan, misalnya melalui perwakilan mereka. Pemerintah
daerah dan pemerintah desa sebaiknya hanya melakukan pekerjaan yang benar-benar
mampu mereka kelola. Untuk mencapai kemampuan manajemen tersebut, Pemerintah
Daerah dan pemerintah desa perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang berminat
21
Dalam jangka panjang pemerintah bersama pihak-pihak lain yang berminat harus
menanggulangi permasalahan tekanan donor menyangkut liberalisasi ekonomi agar tidak
lebih jauh merugikan penduduk miskin. Otonomi daerah dan desa hendaknya diarahkan
terutama untuk menanggulangi kemiskinan lokal. Dengan hilangnya kemiskinan, maka
akan berkembang aspirasi demokrasi yang lebih besar dan lebih dewasa.
Dalam proses ke arah itu dibutuhkan pendampingan yang akan membantu
mendorong tumbuhnya partisipasi penduduk miskin dalam proses pembangunan di
lingkungannya. Juga perlu menguatkan kemampuan kelembagaan penduduk miskin
dengan pelatihan dalam satuan kelompok-kelompok penduduk miskin bentukan mereka. Di
dalam kelompok, mereka menjadi sadar akan posisi dan apa penyebab kemiskinan mereka,
dan membuka peluang menggalang pemecahan masalah kemiskinan bersama.
22Hal
BAB IV
KESIMPULAN
Proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, meskipun
gamang pada awalnya, diyakini nanti akan berada pada jalur yang pas. Yang diperlukan
adalah konsistensi dari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang
memberdayakan tersebut. Maka disarankan agar program-program penanggulangan
kemiskinan ke depan mengarah pada penciptaan lingkungan lokal yang kondusif bagi
keluarga miskin bersama komunitasnya dalam menolong diri sendiri.
23Hal
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia.http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan. 05 Desember 2010. 18:15
WITA