You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi


kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun
sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang
lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari
sudut ilmiah yang telah mapan.

Karena itulah penulis ingin mengangkat topik mengenai kemiskinan karena seperti
yang diketahui bahwa kemiskinan merupakan masalah sosial yang terjadi di Indonesia
yang dapat mempengaruhi psikologi sosial suatu bangsa.

Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan
kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada
puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24%
dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun
menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004.Tetapi siapa yang dapat
menjamin bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus turun? Situasi terbaik terjadi
antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang
1

paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%. 
Hal

Bagaimana menerangkan bangunan ekonomi Indonesia dengan fenomena


kemiskinan di dalamnya? Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat terendah, justru
tak lama setelah itu terjadi krisis ekonomi yang dahsyat, yang ternyata tak segera bisa
diatasi. Dampak dari krisis tersebut masih terasa dan terlihat sampai sekarang. Kita lihat
saja, jumlah pengemis melonjak tajam sejak tahun 1999. Para pengemis ini beroperasi
dalam berbagai cara. Banyak yang menjadi pengamen dadakan, penodong di bis kota dan
di persimpangan-persimpangan jalan raya, dan lain-lain. Dibandingkan tahun 2001-2002,
situasi pada saat ini sudah menjadi lebih baik, namun jumlah pengemis yang beroperasi di
masyarakat belum kembali ke keadaan sebelum krisis.

Apakah gejala ini telah mendapat perhatian yang memadai dari penentu kebijakan
dan para sosiolog? Mungkin kita telah melewatkan satu momentum yang sangat baik untuk
belajar lebih dalam mengenai bangunan sosial-ekonomi-politik masyarakat kita. Jika saja
pemerintah menyisihkan beberapa milyar rupiah untuk memberdayakan para pengemis ini,
maka situasi keamanan di kota-kota yang agak terganggu dengan kehadirian pengemis-
penodong akan lebih cepat pulih.

Dalam kenyataannya para pengemis Indonesia, termasuk di dalamnya para


pengemis yang melakukan kegiatannya dengan kekerasan, telah ikut menciptakan rasa
tidak aman di dalam masyarakat. Ditambah dengan kondisi kehidupan politik yang hiruk-
pikuk seiring dengan bergulirnya perjuangan reformasi di segala bidang, maka citra umum
mengenai kondisi keamanan di Indonesia menjadi kurang baik dan tidak kondusif untuk
segera pulihnya kegiatan-kegiatan investasi di bidang ekonomi. Lambatnya proses
pemulihan ekonomi dengan sendirinya berarti lambatnya pengurangan jumlah orang
miskin.

Dalam setengah tahun terakhir  situasi tidak kondusif itu diperparah dengan
terjadinya peristiwa pemboman di Bali pada bulan Oktober 2002, dan terakhir peristiwa
invasi Amerika ke Irak. Semuanya menyebabkan hilangnya banyak lapangan kerja bagi
berbagai lapisan masyarakat, khususnya lapisan pekerja kasar.
2 Hal
BAB II

RUMUSAN BATASAN MASALAH DAN TUJUAN PENULISAN

2.1 Perumusan dan Pembatasan Masalah

Adapun permasalahan yang coba dirumuskan oleh penulis yaitu, penulis ingin
membuka wawasan pembaca mengenai kemiskinan yang terjadi di Indonesia, apa yang
menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan, dan bagaimana langkah-langkah
pengetasan kemiskinan.

2.2 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan agar supaya pembaca mengetahui tentang


kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Berkaitan dengan hal itu, diharapkan pembaca dapat
memahami faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan, serta mengetahui langkah-
langkah apa yang dapat diambil baik oleh pemerintah maupun masyarakat untuk
mengentaskan kemiskinan.
3 Hal
BAB III

PEMBAHASAN

Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan
Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten ,
tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut
adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang
kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).

Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan


dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari,
dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang
dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari." [1] Proporsi
penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28%
pada 1990 menjadi 21% pada 2001.[1] Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari
penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang
separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.

Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti
tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini
menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota
dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat
4

miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara
Hal

kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini


biasanya disebut sebagai negara berkembang.

Kemiskinan dipelajari oleh banyak ilmu, seperti ilmu sosial, ekonomi, dan budaya.

 Dalam ekonomi, dua jenis kemiskinan dipertimbangkan: kemiskinan absolut dan


relatif.
 Dalam politik, perlawanan terhadap kemiskinan biasanya dianggap sebagai tujuan
sosial dan banyak pemerintahan telah berupaya mendirikan institusi atau
departemen. Pekerjaan yang dilakukan oleh badan-badan ini kebanyakan terbatas
hanya dalam sensus dan pengidentifikasian tingkat pendapatan di bawah di mana
warga negara dianggap miskin. Penanggulangan aktif termasuk rencana perumahan,
pensiun sosial, kesempatan kerja khusus, dll. Beberapa ideologi seperti Marxisme
menyatakan bahwa para ekonomis dan politisi bekerja aktif untuk menciptakan
kemiskinan. Teori lainnya menganggap kemiskinan sebagai tanda sistem ekonomi
yang gagal dan salah satu penyebab utama kejahatan.

 Dalam hukum, telah ada gerakan yang mencari pendirian "hak manusia" universal
yang bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan.

 Dalam pendidikan, kemiskinan mempengaruhi kemampuan murid untuk belajar


secara efektif dalam sebuah lingkungan belajar. Terutama murid yang lebih kecil
yang berasal dari keluarga miskin, kebutuhan dasar mereka seperti yang dijelaskan
oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan Maslow; kebutuhan akan
keamanan dan rumah yang stabil, pakaian, dan jadwal makan yang teratur
membayangi kemampuan murid-murid ini untuk belajar. Lebih jauh lagi, dalam
lingkungan pendidikan ada istilah untuk menggambarkan fenomen "yang kaya akan
tambah kaya dan yang miskin bertambah miskin" (karena berhubungan dengan
pendidikan, tetapi beralih ke kemiskinan pada umumnya) yaitu efek Matthew.

Perdebatan yang berhubungan dalam keadaan capital manusia dan capital


5

individual seseorang cenderung untuk memfokuskan kepada akses capital instructional dan
Hal

capital social yang tersedia hanya bagi mereka yang terdidik dalam sistem formal.

Deklarasi Copenhagen menjelaskan kemiskinan absolut sebagai "sebuah kondisi


yang dicirikan dengan kekurangan parah kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air
minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, rumah, pendidikan, dan informasi."
Bank Dunia menggambarkan "sangat miskin" sebagai orang yang hidup dengan
pendapatan kurang dari AS$1 per hari, dan "miskin" dengan pendapatan kurang dari AS$ 2
per hari. Berdasarkan standar tersebut, 21% dari penduduk dunia berada dalam keadaan
"sangat miskin", dan lebih dari setengah penduduk dunia masih disebut "miskin", pada
2001.

Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:

 penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
 penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
 penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan
kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
 penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain,
termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
 penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil
dari struktur sosial.

Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat
dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya
memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang
tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis
kemiskinan.
6

Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah:


Hal

 Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini
telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.
 Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan
untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman,
pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
 Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada
orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang
dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau
orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti
kebutuhan akan perawatan kesehatan.

Kemiskinan pada umumnya meliputi elemen-elemen yang berikut : golongan yang


tidak mempunyai keupayaan pendapatan, golongan yang tiada akses kepada sumber kuasa
sosial dan golongan yang tidak menikmati keperluan asas (perlindungan, pemakanan,
pendidikan asas, kesihatan, pekerjaan dan sebagainya) yang mengikut piawaian ukuran
sara hidup sesuatu masyarakat bandar dan luar bandar.

Terdapat banyak negara-negara di dalam dunia yang mengalami masalah


kemiskinan. Secara umumnya, kebanyakan dari negara-negara ini jika diteliti dari
perspektif ekonomi politik, adalah negara-negara yang mengalami kemiskinan kesan dari
penjajahan dan perkara yang paling utama ialah kesan dari budaya yang dikonstruksikan di
dalam masyarakat. Kesan dari budaya yang dikonstruksikan di dalam masyarakat,
kemiskinan yang dilalui dan dihadapi bukan saja bersifat semasa, malah merupakan
masalah yang diwarisi dari satu generasi kesatu generasi yang lain.

Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam


berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan
tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai
dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang
7

diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya yang kompleks,


Hal

karena ternyata telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat.


Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu bentuk yang masih semu
termasuk di kota Yogjakarta. Untuk program pembangunan khususnya dalam mengatasi
kemiskinan Pemerintah Yogjakarta sendiri sudah menggulirkan berbagai skema program
penanggulangan kemiskinan yang secara umum memberikan dua bentuk bantuan.
Sedangkan bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk pembentukkan dan
pemberdayaaan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik yang berskala kecil maupun
mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan modal dan memberi pendampingan.
Suatu program biasanya mencakup pula pelatihan keterampilan, kewirausahaan,
manajemen, yang disertai pula dengan pendampingan. Asal sumber dananya yang dari
APBN maupun hutang dari lembaga donor seperti Bank Dunia. Pola-pola program tersebut
tentunya didasarkan pada definisi dan indikator kemiskinan yang ditetapkan pemerintah
pusat , serta definisi keluarga miskin yang di tetapkan pemerintah kota Yogjakarta sendiri .
Beberapa program yang kini dijalankan di Yogjakarta antara lain: Program Bantuan Modal
Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK)
dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang (DBUKID); Bantuan Usaha
Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan Pekarangan (BUEPKAID);
Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif (P2USEP); Program Pengentasan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN
BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan;
Program Kompensasi Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM);
Beasiswa Supersemar, Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman
Tenda Bagi Pedagang Kaki Lima.
Namun kebijakan dan program yang dilakukan pemerintah ini menjadi kontradiktif karena
di wilayah Kota Yogyakarta hingga bulan Februari 2006, menurut data Dinas
Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta, jumlah keluarga miskin (gakin) ternyata masih
banyak hingga menembus angka 31.367 Kepala keluarga dari jumlah total 81.859 KK yang
ada. Sederhananya, 3 dari 10 orang penduduk Yogyakarta tergolong miskin. Kelurahan
Prawirodirjan, Pringgokusuman, Bener, dan Kricak termasuk daerah dengan penduduk
miskin mencapai 30 persen dari seluruh penduduknya. Persentase penduduk miskin di 41
8

kelurahan lainnya umumnya kurang dari sepertiganya, dengan porsi bervariatif. Angka ini
Hal

merupakan turunan dari kriteria kemiskinan yang tertera di Peraturan Walikota Yogyakarta
No. 39/2005 tentang penetapan parameter kemiskinan Kota Yogyakarta. Sementara itu,
jumlah penerima beras miskin (raskin) di Kota Yogyakarta ada 22.719 gakin. Jumlah gakin
di kota gudeg ini lebih kecil lagi jika merujuk data penerima Bantuan Langsung Tunai
(BLT) tahap I yakni 13.354 gakin, yang kriterianya mengacu Badan Pusat Statistik (BPS).
Dengan melihat fenomena kemiskinan yang masih banyak di Yogjakarta Edi
Suhartono, pakar kebijakan sosial dan juga Ketua Tim Peneliti Depsos RI mengingatkan,
terlepas dari persoalan bentuk bantuan maupun hal-hal teknis lainnya, Edi menekankan
kejelasan paradigma dalam kebijakan penanganan kemiskinan. Faktanya, Edi melihat
banyak gejala kontradiktif. Pemerintah giat membantu permodalan UKM, tapi di sisi lain,
kebijakan menaikkan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan,
pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti mal, hypermart, dan warung
kelontong franchise masuk sampai pelosok. ”Saya berani taruhan, bapak latih saya sampai
kiamat (diberi keterampilan dan modal), kalau di sini masuk supermarket, kapan bisa
bersaing melawan supermarket itu?” sergah Edi. Ini semua menurut Edi merupakan tipikal
paradigma neoliberalisme. Demi pertumbuhan ekonomi yang cepat, sektor modern-padat
kapital harus diutamakan. Demi pertumbuhan pula, investasi industri produksi maupun
retail direlakan menggusur tempat tinggal sekaligus lahan ekonomi masyarakat miskin.
Logikanya, pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi. Investasi bisa terjadi jika
program rekapitulasi perbankan berjalan. Artinya, pemerintah harus mampu menyuntikkan
dana triliunan rupiah kepada bank-bank yang kreditnya macet. Yang ironis, kebijakan
penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya bersifat sementara, di mana negara
hanya boleh turun tangan jika lembaga keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga
keagamaan gagal berfungsi. Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa
kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh
kelemahan dan ketidakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan
kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan
jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal.
9

Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian”


Hal

(adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas.
Program-program structural adjustment yang didesakkan oleh lembaga donor macam
World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam
menangani kemiskinan.
Indonesia dalam peta pembangunan internasional termasuk dalam cakupan wilayah
di dunia ke tiga, untuk itu dalam perspektif teori pembangunan internasional maka
Indonesia termasuk dalam perspektif teori pembangunan dunia ketiga. Teori pembangunan
dunia ketiga sendiri adalah teori-teori pembangunan yang berusaha menyelesaikan masalah
yang dihadapi oleh negera-negara miskin atau negara-negara sedang yang sedang
berkembang dalam sebuah dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan militer negara-negara adikuasa atau negara-negara industri maju. Teori
Pembangunan di dunia ke tiga memiliki perbedaan dengan teori pembangunan bagi negara-
negara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya berlainan. Bagi negara-negara dunia
ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup atau bagaimana meletakkan dasar-
dasar ekonominya supaya bis bersaing di pasar internasional. Bagi negara-negara adikuasa
persolannya adalah bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan
ekonominya yang sudah mapan. Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di
dunia yaitu : 1) Teori modernisasi. Menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budanya
sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok
teori yang dominan dalam mengkaji masalah pembangunan di Indonesia; 2) Teori
ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. Teori ini merupakan reaksi
terhadap teori modernisasi. Teori ini mula-mula tumbuh di kalangan para ahli ilmu sosial
di Amerika Latin kemudian meluas sampai ke Amerika Serikat dan Eropa dan Asia. Teori
ini dipengaruhi oleh metoda analisis Marxis ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap
teori ketergantungan atau lebih di kenal Post Modernisme. Teori ini sering disebut sebagai
teori pasca ketergantungan. Di dalamnya ada teori sistem dunia, teori artikulasi dan
sebagainya .
10Hal

a) Perspektif Teori Modernisasi dalam melihat Kemiskinan .

Teori Modernisasi lahir di tahun 1950-an di Amerika Serikat, dan merupakan


respon kaum intelektual terhadap perang dunia yang bagi penganut evolusi dianggap
sebagai jalan optimis menuju perubahan. Teori ini lahir dalam suasana ketika dunia
memasuki “perang dingin” atau peperangan idiologi antara Kapitalisme dibawah
kepemimpinan amerika serikat dengan kekuatan Komunisme dibawah kepemipinan Negara
Sosialis Uni Sovyet Rusia (USSR). Adapun penopang dari Teori Modernisasi adalah ide
Weber yang melihat pada aspek-aspek nilai budaya yaitu Variabel etos sebagai varian
utama dalam melihat keterbelakangan dunia ketiga . Tesis ini diperkuat oleh McClelland
yang menekankan psikologi individu dan menekankan bahwa kondisi psikologis
prakondisi suatu masyarakat dalam memandang prestasi (the need for achievement) secara
signifikan berkorelasi positif terhadap kelangsungan pembangunan. Selain itu Teori
Modernisasi juga melihat bahwa masalah pembangunan merupakan masalah penyediaan
modal untuk investasi (Harood – Domar) . Gagasan ide ini kemudian dikembangkan oleh
Rostow bahwa pembangunan dikaitkan dengan perubahan dari masyarakat agraris dengan
budaya tradisional ke masyarakat yang rasional, industrial dan berfokus pada ekonomi
pelayanan. Ide ini kemudian melahirkan konsep lima tahap pembangunan Rostow .
Berbeda dengan Rostow Bert F. Hoselitz membahas faktor-faktor non ekonomi yg
ditinggalkan Rostow yang disebut faktor “kondisi lingkungan”. Kondisi lingkungan
maksudnya adalah perubahan-perubahan pengaturan kelembagaan yg terjadi dalam bidang
hukum, pendidikan,keluarga, dan motivasi. Hoselitz menekankan bahwa meskipun
seringkali orang menunjukkan bahwa masalah utama pembangunan adalah keurangan
modal (teori Harrod – Domar ), ada masalah lain yang juga sangat penting yakni adanya
ketrampilan kerja tertentu, termasuk tenaga wiraswasta yang tangguh. Karena itu
dibutuhkan perubahan kelembagaan pada masa sebelum lepas landas, yang akan
mempengaruhi pemasokan modal, supaya modal ini bisa menajadi produktif. Perubahan
kelembagaan ini akan menghasilkan tenaga wiraswasta dan administrasi serta ketrampilan
teknis dan keilmuan yang dibutuhkan. Menurut Hoselitz, pembangunan membutuhkan
pemasokan dari beberapa unsur, seperti : pemasokan modal besar dan perbankan, serta
11

pemasokan tenaga ahli dan terampil. Perspektif umum Teori modernisasi memandang
Hal

pembangunan merupakan kerja secara Internasional yang didasarkan pada teori


keuntungan komparatif yang dimiliki oleh setiap negara mengakibatkan terjadinya
spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang
dimilikinya. Secara umum, di dunia ini terdapat dua kelompok negara : 1) negara yang
memproduksi hasil pertanian ; 2) negara yang memproduksi barang industri. Antara kedua
kelompok negara ini terjadi hubungan dagang dan keduanya menurut teori di atas saling
diuntungkan. Tetapi setelah beberapa puluhan tahun kemudian, tampak bahwa negara-
negara industri menjadi semakin kaya sedangkan negara-negara pertanian semakin
tertinggal. Ini kemudiaan melahirkan dua kelompok negara yaitu negara-negara miskin
yang biasanya meruapakan negara pertanian dan negara-negara kaya yang biasanya adalah
negara industri. Teori Modernisasi lebih melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh
faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang
bersangkutan. embangunan sendiri mempunyai dua unsur utama yaitu masalah materi yang
mau dihasilkan dan dibagi, serta masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang
menjadi manusia pembangunan. Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi dan
distribusi barang-barang material tetapi pembangunan juga harus menciptakan kondisi-
kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreatifitasnya. Teori Modernisasi
mendasarkan selain pada faktor-faktor material sebagai penyebab kemiskinan juga faktor
manusia yang ada di dalam negara itu sendiri. Untuk itu maka negara-negara miskin yang
kemudian di petakan dalam negara dunia ketiga dalam perspektif teori modernisasi harus
mendapatkan perhatian dari negara maju, dan negara maju harus berupaya menciptakan
replikasi model pembangunan bergaya liberal untuk diadopsi negara-negara dunia Ketiga.
Pola hubungan ini kemudian melahirkan istilah Developmentalisme yang merupakan
bagian penyokong Teori modernisasi, sehingga teori modernisasi juga di kenal dengan
teori developmentalisme . Fenomena ini bisa kita lihat beberapa program yang kini
dijalankan antara lain: Program Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK);
Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil
Industri dan Dagang (DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek
dan Pemanfaatan Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial
Ekonomi Produktif (P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP);
12

Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja
Hal

Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi
Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga
Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang Kaki
Lima .
Konsep program itu beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah
individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang
bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang
itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu
memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program
pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan
orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut
merupakan program-program structural adjustment atau kepentingan dari negara-negara
maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program
Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK),
merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani kemiskinan.

b) Perspektif Teori Dependensi dalam melihat Kemiskinan .

Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan


pembangunan negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori dependensi
mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang hegemoni ekonomi, politik,
budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya teori dependensi lebih merupakan
kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan pembangunan yang didominasi oleh teori
modernisasi. Teori dependensi lahir karena teori modernisasi ternyata mempunyai banyak
kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori
modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kemajuan bagi negara dunia ketiga telah
menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan suatu teori
pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan dibandingkan
dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang dianggap sebagai
“musang berbulu domba” dan cenderung sebagai bentuk kolonialisme baru semakin
mencuat dengan gagalnya negara-negara Amerika Latin menjalankan modernisasinya.
13

Frank sebagai pelopor kemunculan teori dependensi, pada awalnya menyerang pendapat
Hal

Rostow. Frank menganggap Rostow telah mengabaikan sejarah. Sejarah mencatat


bagaimana perkembangan dunia ketiga yang tatanan ekonominya telah dihancurkan oleh
negara dunia pertama selama masa kolonial. Pemikiran Frank terus bergulir dan disambut
oleh pemikir sosial lainnya seperti Santos, Roxborough, Cardoso dan Galtung. Teori
dependensi merupakan analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori ini didasari
fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga,
khususnya di Amerika Latin. Teori dependensi memiliki saran yang radikal, karena teori
ini berada dalam paradigma neo-Marxis. Sikap radikal ini analog dengan perkiraan Marx
tentang akan adanya pemberontakan kaum buruh terhadap kaum majikan dalam industri
yang bersistem kapitalisme. Analisis Marxis terhadap teori dependensi ini secara umum
tampak hanya mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh
ke tingkat antar negara. Sehingga negara pusat dapat dianggap kelas majikan, dan negara
dunia ketiga sebagai buruhnya. Sebagaimana buruh, ia juga menyarankan, negara
pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang dengan negara maju yang selama
ini telah memperoleh surplus lebih banyak (konsep sosialisme). Analisis Neo-Marxis yang
digunakannya memiliki sudut pandang dari negara pinggiran.
Dalam perspektif Teori dependensi tentang negara miskin Santos mengamsusikan bahwa
bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe
hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme sehingga
menyebabkan timbulnya usaha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi
pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi
kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang
dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju
mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola
yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami
oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam
pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju.
Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi satelitnya.
Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat - periferi”. Pola hubungan antara pusat-
14

periferi ini dijelaskan oleh Frank bahwa kemampuan negara satelit dalam pembangunan
Hal

ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap
negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang
menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan
dan difusi dengan negara maju . Tesis yang diajukan oleh Santos adalah pembagian
ketergantungan menjadi tiga jenis yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri
keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan
bentuk ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan. Ketergantungan kolonial
merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah dihapuskan.
Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara
tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang
galian dan hasil bumi dari negara jajahan. Sementara itu, jenis ketergantungan industri
keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka ekonomi negara tergantung lebih terpusat
pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan
terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan
pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk
ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga
adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta
terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Asumsi dasar
teori dependensi ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui
pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah
ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan
negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah
melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi
teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis. Hal ini juga
mempengaruhi pandangan-pandangan teoritisi Dependensi diatas bahwa kemiskinan di
suatu negara disebabkan karena faktor eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari
bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal
melakukan pembangunannya. c) Akar Permasalahan Kemiskinan di Indonesia?
Apabila kita perhatikan kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan
struktural (buatan) karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai potensi dan
15

sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah
Hal

kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok
masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini
menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi
rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaan pembangunan
Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas angka-
angka statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam mengungkap latar
belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat persoalan secara
komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena sesungguhnya persoalan
kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan persoalan yang lainnya. Pada sisi lain
studi tentang kemiskinan juga cenderung over akademis yang kurang memiliki daya guna
pemecahan persoalan yang sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal
mengungkap akar penyebab kemiskinan.
Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural yaitu :
1. Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji dari
aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan kemiskinan
seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara terpisah. Persoalan kemiskinan
dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan publik atau pemerintah terhadap
keberadaan rakyat miskin
2. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena
sasaran, baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
3. Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat
dampak yang terjadi. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengerti apa yang menjadi
masalah mendasar dalam proses mengentaskan kemiskinan ini. Pemahaman kemiskinan
saat ini mempunyai arti yang lebih luas yang didefinisikan sebagai kemiskinan majemuk
yaitu suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia.
Kebutuhan asasi tersebut meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas,
proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, waktu luang. Kemiskinan subsistensi pada rakyat
miskin kota seperti yang terjadi di Yogjakarta (lampiran) merupakan contoh dimana
rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta
16

kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan karena meluasnya budaya


Hal

kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar rakyat
miskin kota; kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola
hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam;
kemiskinan pemahaman karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan; kemiskinan partisipasi karena adanya
diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan keputusan; kemiskinan
identitas karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan
hancurnya nilai sosio kultural yang ada. Dimensi kemiskinan majemuk yang dialami
masyarakat miskin dapat teridentifikasi dari beberapa aspek berupa rendahnya
kesejahteraan, akses pada sumber daya, kesadaran kritis, partisipasi dan posisi tawar.
Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain,
seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam
melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan. Paradigma
ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal
menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih demi ‘keuntungan bersama’,
menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan kebijakan
ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya
proses pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam
pemenuhan kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung
kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi
pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di Indonesia.
Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain.
Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi
yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin
memiskinkan rakyat d) Adakah kesalahan perspektif pembangunan? Bila kita telusuri lebih
teliti bahwa kesimpulan yang ditemukan akan lebih memandang bahwa perspektif
pembangunan pemerintah selama ini tentang kemiskinan, sebagai realitas yang selalu
dilihat dari sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang
tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu.
Kemiskinan selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau
17

persoalan yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau
Hal

ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan sebelumnya,


seperti: kondisi fisik dari bangunan atau lingkungan permukiman. Pengertian kemiskinan
yang ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan
kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Kebijakan pengentasan kemiskinan dari
pemerintah melalui program yang ada seperti : program recovery, hanya menjadi program
penyaluran dana bantuan saja tanpa mencoba memahami kemiskinan yang menjadi
penyebabnya. Kebijakan itu cenderung semakin memiskinkan masyarakat, karena
menimbulkan ketergantungan ekonomi, tanpa memberikan solusi untuk lepas dari
lingkaran kemiskinan. Perspektif inilah dalam teori pembangunan cenderung mengarah
pada perspektif Modernisme. Akibatnya Kebijakan pemerintah yang berkait dengan
penanggulangan kemiskinan selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan
cenderung memunculkan kemiskinan yang baru sebagaimana dalam artikel (lampiran). Hal
ini didasarkan bahwa pemerintah selalu menggunakan prinsip trickle down effect yang
melihat bahwa proses pelipatan modal atau keuntungan akan terdistribusi kepada
kelompok-kelompok di bawahnya. Seperti program dengan setiap masyarakat dibentuk
kelompok, diberi modal, motivasi berwirausaha, kapasitas manajerialnya ditingkatkan,
aktivitasnya didampingi, serta dikontrol kinerjanya, namun ini menjadi kontradiktif
pemerintah giat membantu permodalan UKM, tapi di sisi lain, kebijakan menaikkan BBM
juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan, pemerintah mengizinkan
membludaknya retail industry seperti mal, hypermart, dan warung kelontong franchise
masuk sampai pelosok akibatnya sulit bisa bersaing melawan supermarket. Ada juga
kebijakan program lebih merupakan pendekatan ekonomi dengan dasar belas kasihan.
Seperti BLT ataupun raskin dinilai banyak kalangan tidak menyelesaikan persoalan
kemiskinan. “Dampaknya seperti orang dikasih ikan yang langsung habis. Kalau kita
memberi kail dan umpan, mereka bisa mencari ikan sendiri “.
Selain itu juga ada kebijakan pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan banyak
menggunakan dana recovery yang merupakan dana pinjaman atau hutang dari luar negeri.
Seperti program pengentasan neoliberal yang bersifat “penyesuaian” (adjustment),
bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara
program tersebut merupakan program-program structural adjustment atau kepentingan dari
18

negara-negara maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF,
Hal

semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan
Kecamatan (PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani
kemiskinan. Program tersebut banyak memunculkan permasalahan; karena tidak tepat ke
sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas. Program ini tidak hanya menimbulkan
pemiskinan secara ekonomi, namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya
dan politik. Rakyat miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar
negeri dan tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban
utang dari dana pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang
oleh Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan
replikasi pembangunan pada negara berkembang terutama replikasi program
penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan atau hutang lunak justru akan
menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang atau dunia ketiga dan ini justru
yang menjadikan penyebab kemiskinan.

4. Kesimpulan

Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori


modernisasi ; 2) Teori ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. ; 3)
Teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau lebih di kenal Post
Modernisme. Dalam melihat masalah kemiskinan Perspektif Teori Modernisasi lebih
melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor
yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan. Sedangkan pandangan-
pandangan teoritisi Dependensi mengatakan bahwa kemiskinan di suatu negara disebabkan
karena faktor eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan-
kekuatan luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan
pembangunannya. Selama ini di Indonesia perspektif pembangunan pemerintah tentang
kemiskinan merupakan suatu realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, kemiskinan
selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau persoalan yang ada
dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau ditentukan berdasarkan
ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan .Pengertian kemiskinan yang ekonomistik
ini akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam bantuan
19

ekonomi saja. Akibatnya Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan


Hal

kemiskinan selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung
memunculkan kemiskinan yang baru. Bahkan banyak program yang memunculkan
permasalahan; karena tidak tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas.
Banyak Program kemiskinan ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi,
namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat miskin
menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan tidak inisiatif untuk
bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban utang dari dana pinjaman
menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang oleh Teoritisi dependensi
dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan replikasi pembangunan pada
negara berkembang terutama replikasi program penanggulangan kemiskinan dengan
disertai bantuan atau hutang lunak justru akan menyebabkan ketergantungan pada negara
berkembang atau dunia ketiga dan ini justru yang menjadikan faktor penyebab kemiskinan.

Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja
keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan
kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor kemiskinan adalah
gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru
termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi
anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga
termasuk faktor eksternal.

Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang


buruk, serta etos kerja yang rendah,  semuanya merupakan faktor internal.  Faktor-faktor
internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan masyarakat
yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah
akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya,
rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah akibat dari
kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari
kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari
keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling
terkait.
20Hal

Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan tidak jelas harus
mulai dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi
dengan penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan lapangan kerja bukanlah hal yang
begitu saja dapat dilakukan, misalnya dengan meminjam dari sumber-sumber pembiayaan
luar negeri. Buktinya, pinjaman luar negeri Indonesia pada saat ini sudah mencapai lebih
dari US$140 milyar, namun tetap tidak mudah bagi banyak warga negara, khususnya yang
tidak memiliki ketrampilan khusus, untuk mendapatkan lapangan kerja.
Upaya meningkatkan penguasaan iptek masyarakat juga bukan perkara yang
mudah. Masalah utamanya adalah biaya pendidikan. Tetapi bukan hanya itu, budaya
menghargai simbol-simbol formal di masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat
menghambat kemajuan penguasaan iptek. Entah sejak kapan, manusia Indonesia merasa
lebih terpandang di lingkungan masyarakatnya apabila telah memiliki ijazah kesarjanaan
daripada memiliki kemampuan nyata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Akhirnya
dunia pendidikan pun tidak tergerak untuk mencetak manusia-manusia siap pakai. Sekolah-
sekolah kejuruan kurang berkembang. Orang  merasa lebih bergengsi apabila tamat dari
sekolah umum daripada sekolah kejuruan karena para siswa sekolah kejuruan dianggap
kurang berkemampuan secara intelektual dibandingkan anak-anak dari sekolah umum.
Alhasil, Indonesia tidak memiliki cukup tenaga teknis dan insinyur-insinyur lapisan
menengah yang tumbuh dari bawah. Padahal sebagai salah satu negara sedang berkembang
kebutuhan akan tenaga-tenaga teknis amat besar. Merekalah yang akan membentuk lapisan
tenaga kerja menengah Indonesia dan menjadi infrastruktur lunak bagi pengembangan
teknologi lebih canggih pada tahap berikutnya. Dengan demikian, kemiskinan yang dialami
Indonesia di tengah-tengah kelimpahan sumber daya alamnya antara lain disebabkan oleh
sistem pendidikan yang kurang sesuai dengan tahap perkembangan Indonesia.
Yang perlu segera dilaksanakan adalah membangun suatu paradigma
pembangunan  yang memihak kepada penduduk miskin. Dalam membangun paradigma
golongan miskin perlu diikutsertakan, misalnya melalui perwakilan mereka. Pemerintah
daerah dan pemerintah desa sebaiknya hanya melakukan pekerjaan yang benar-benar
mampu mereka kelola. Untuk mencapai kemampuan manajemen tersebut, Pemerintah
Daerah dan pemerintah desa perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang berminat
21

dalam program penanggulangan kemiskinan.


Hal

Dalam jangka panjang pemerintah bersama pihak-pihak lain yang berminat harus
menanggulangi permasalahan tekanan donor menyangkut liberalisasi ekonomi agar tidak
lebih jauh merugikan penduduk miskin. Otonomi daerah dan desa hendaknya diarahkan
terutama untuk menanggulangi kemiskinan lokal. Dengan hilangnya kemiskinan, maka
akan berkembang aspirasi demokrasi yang lebih besar dan lebih dewasa.
Dalam proses ke arah itu dibutuhkan pendampingan yang akan membantu
mendorong tumbuhnya partisipasi penduduk miskin dalam proses pembangunan di
lingkungannya. Juga perlu menguatkan kemampuan kelembagaan penduduk miskin
dengan pelatihan dalam satuan kelompok-kelompok penduduk miskin bentukan mereka. Di
dalam kelompok, mereka menjadi sadar akan posisi dan apa penyebab kemiskinan mereka,
dan membuka peluang menggalang pemecahan masalah kemiskinan bersama.
22Hal

BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa percepatan penanggulangan


kemiskinan dapat dilakukan dengan mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dari
yang bersifat top-down menjadi partisipatif, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-
sumber daya lokal. Penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan
keluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil. 

Proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, meskipun
gamang pada awalnya, diyakini nanti akan berada pada jalur yang  pas. Yang diperlukan
adalah konsistensi dari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang
memberdayakan tersebut. Maka disarankan agar program-program penanggulangan
kemiskinan ke depan mengarah pada penciptaan lingkungan lokal yang kondusif bagi
keluarga miskin bersama komunitasnya dalam menolong diri sendiri.
23Hal

DAFTAR PUSTAKA
 Wikipedia.http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan. 05 Desember 2010. 18:15
WITA

 Ekonomi Rakyat.http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel. 05 Desember


2010. 19:05 WITA
 Kompas. http://www.kompas.com. 20 November 10:00 WITA
24
Hal

You might also like