You are on page 1of 57

BENCANA KECELAKAAN LALU LINTAS

KERETA API

I. Transportasi

Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat
lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia atau
mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Di negara maju, mereka biasanya menggunakan kereta bawah
tanah (subway) dan taksi. Penduduk disana jarang yang mempunyai kendaraan
pribadi karena mereka sebagian besar menggunakan angkutan umum sebagai
transportasi mereka. Transportasi sendiri dibagi 3 yaitu, transportasi darat, laut, dan
udara. Transportasi udara merupakan transportasi yang membutuhkan banyak uang
untuk memakainya. Selain karena memiliki teknologi yang lebih canggih,
transportasi udara merupakan alat transportasi tercepat dibandingkan dengan alat
transportasi lainnya.

A. Transportasi Laut
Kapal, adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai dsb),
seperti halnya sampan atau perahu yang lebih kecil. Kapal biasanya cukup besar
untuk membawa perahu kecil seperti sekoci. Secara kebiasaannya kapal dapat
membawa perahu tetapi perahu tidak dapat membawa kapal. Ukuran sebenarnya
dimana sebuah perahu disebut kapal selalu ditetapkan oleh undang-undang dan
peraturan atau kebiasaan setempat.

Kapal sulit untuk diklasifikasikan, terutama karena banyak sekali kriteria yang
menjadi dasar klasifikasi dalam sistem yang ada seperti:
1. Berdasarkan tenaga penggerak
a. Kapal bertenaga manusia (Pendayung)
b. Kapal layar
c. Kapal uap
d. Kapal diesel atau Kapal motor
e. Kapal nuklir
2. Berdasarkan jenis pelayarannya
a. Kapal permukaan
b. Kapal selam
c. Kapal mengambang
d. Kapal bantalan udara
3. Berdasarkan fungsinya
a. Kapal Perang
b. Kapal penumpang
c. Kapal barang
d. Kapal tanker
e. Kapal feri
f. Kapal pemecah es
g. Kapal tunda
h. Kapal pandu
i. Tongkang
j. Kapal tender
k. Kapal Ro-Ro
l. Kapal dingin beku
m. Kapal keruk
n. Kapal peti kemas / Kapal kontainer
o. Kapal pukat harimau

Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk
menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya.
Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan
membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Crane dan gudang berpendingin
juga disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak swasta yang berkepentingan.
Sering pula disekitarnya dibangun fasilitas penunjang seperti pengalengan dan
pemrosesan barang. Peraturan Pemerintah RI No.69 Tahun 2001 mengatur tentang
pelabuhan dan fungsi serta penyelengaraannya.
B. Transportasi Udara

Pesawat terbang atau pesawat udara atau kapal terbang atau cukup pesawat saja
adalah kendaraan yang mampu terbang di atmosfer atau udara.

1. Kategori dan klasifikasi


a. Lebih berat dari udara
Pesawat terbang yang lebih berat dari udara disebut aerodin, yang masuk dalam
kategori ini adalah autogiro, helikopter, girokopter dan pesawat bersayap tetap.
Pesawat bersayap tetap umumnya menggunakan mesin pembakaran dalam yang
berupa mesin piston (dengan baling-baling) atau mesin turbin (jet atau turboprop)
untuk menghasilkan dorongan yang menggerakkan pesawat, lalu pergerakan udara di
sayap menghasilkan gaya dorong ke atas, yang membuat pesawat ini bisa terbang.
Sebagai pengecualian, pesawat bersayap tetap juga ada yang tidak menggunakan
mesin, misalnya glider, yang hanya menggunakan gaya gravitasi dan arus udara
panas. Helikopter dan autogiro menggunakan mesin dan sayap berputar untuk
menghasilkan gaya dorong ke atas, dan helikopter juga menggunakan mesin untuk
menghasilkan dorongan ke depan.
b. Lebih ringan dari udara
Pesawat terbang yang lebih ringan dari udara disebut aerostat, yang masuk dalam
kategori ini adalah balon dan kapal udara. Aerostat menggunakan gaya apung untuk
terbang di udara, seperti yang digunakan kapal laut untuk mengapung di atas air.
Pesawat terbang ini umumnya menggunakan gas seperti helium, hidrogen, atau
udara panas untuk menghasilkan gaya apung tersebut. Perbedaaan balon udara
dengan kapal udara adalah balon udara lebih mengikuti arus angin, sedangkan kapal
udara memiliki sistem propulsi untuk dorongan ke depan dan sistem kendali.
c. Jenis pesawat berdasarkan desain
* Balon udara
* Kapal udara
* Pesawat bersayap tetap
o Pesawat bersayap satu
+ Pesawat bersayap delta
+ Pesawat bersayap lipat
+ Sayap terbang
o Pesawat bersayap dua
o Pesawat bersayap tiga
* Pesawat sayap berputar
o Helikopter
o Autogiro

b. Berdasarkan propulsi
* Pesawat terbang layang (Glider)
* Pesawat bermesin piston
* Pesawat bermesin turbo propeler
* Pesawat bermesin turbojet
* Pesawat bermesin turbofan
* Pesawat bermesin ramjet

c. Berdasarkan penggunaan
* Pesawat eksperimental
* Pesawat penumpang sipil
* Pesawat angkut
* Pesawat militer

Pelabuhan udara, bandar udara atau bandara merupakan sebuah fasilitas tempat
pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandara yang paling sederhana
minimal memiliki sebuah landas pacu namun bandara-bandara besar biasanya
dilengkapi berbagai fasilitas lain, baik untuk operator layanan penerbangan maupun
bagi penggunanya.

Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization): Bandar


udara adalah area tertentu di daratan atau perairan (termasuk bangunan, instalasi dan
peralatan) yang diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk
kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat.

Sedangkan definisi bandar udara menurut PT (persero) Angkasa Pura adalah


"lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan yang merupakan
kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi angkutan udara
untuk masyarakat".

Transportasi darat

Angkutan Jalan adalah kendaraan yang diperbolehkan untuk menggunakan jalan,


menurut "Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan
Pengemudi" disebutkan:

1. Sepeda Motor adalah kendaraan bermotor beroda 2 (dua), atau 3 (tiga) tanpa
rumah-rumah baik dengan atau tanpa kereta samping.

2. Mobil Penumpang adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi


sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk
pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.

3. Mobil Bus adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi lebih dari 8
(delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik
dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.

4. Mobil Barang adalah setiap kendaraan bermotor selain dari yang termasuk
dalam sepeda motor, mobil penumpang dan mobil bus.

5. Kereta api adalah sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak,
baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang
akan ataupun sedang bergerak di rel.

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel.

1. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.

2. Jalan khusus adalah jalan yang di bangun oleh instasi, badan usaha.
Perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.

3. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan
dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.

Kereta api merupakan alat transportasi massal yang umumnya terdiri dari lokomotif
(kendaraan dengan tenaga gerak yang berjalan sendiri) dan rangkaian kereta atau
gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan lainnya). Rangkaian kereta atau gerbong
tersebut berukuran relatif luas sehingga mampu memuat penumpang maupun barang
dalam skala besar. Karena sifatnya sebagai angkutan massal efektif, beberapa negara
berusaha memanfaatkannya secara maksimal sebagai alat transportasi utama
angkutan darat baik di dalam kota, antarkota, maupun antarnegara.

Sejarah perkeretaapian sama seperti sejarah alat transportasi umumnya yang diawali
dengan penemuan roda. Mulanya dikenal kereta kuda yang hanya terdiri dari satu
kereta (rangkaian), kemudian dibuatlah kereta kuda yang menarik lebih dari satu
rangkaian serta berjalan di jalur tertentu yang terbuat dari besi (rel) dan dinamakan
sepur. Ini digunakan khususnya di daerah pertambangan tempat terdapat lori yang
dirangkaikan dan ditarik dengan tenaga kuda.

Setelah James Watt menemukan mesin uap, Nicolas Cugnot membuat kendaraan
beroda tiga berbahan bakar uap. Orang-orang menyebut kendaraan itu sebagai kuda
besi. Kemudian Richard Trevithick membuat mesin lokomotif yang dirangkaikan
dengan kereta dan memanfaatkannya pada pertunjukan di depan masyarakat umum.
George Stephenson menyempurnakan lokomotif yang memenangi perlombaan balap
lokomotif dan digunakan di jalur Liverpool-Manchester. Waktu itu lokomotif uap
yang digunakan berkonstruksi belalang. Penyempurnaan demi penyempurnaan
dilakukan untuk mendapatkan lokomotif uap yang lebih efektif, berdaya besar, dan
mampu menarik kereta lebih banyak.

Penemuan listrik oleh Michael Faraday membuat beberapa penemuan peralatan


listrik yang diikuti penemuan motor listrik. Motor listrik kemudian digunakan untuk
membuat trem listrik yang merupakan cikal bakal kereta api listrik. Kemudian
Rudolf Diesel memunculkan kereta api bermesin diesel yang lebih bertenaga dan
lebih efisien dibandingkan dengan lokomotif uap. Seiring dengan berkembangnya
teknologi kelistrikan dan magnet yang lebih maju, dibuatlah kereta api magnet yang
memiliki kecepatan di atas kecepatan kereta api biasa. Jepang dalam waktu dekade
1960-an mengoperasikan KA Super Ekspress Shinkanzen dengan rute Tokyo-Osaka
yang akhirnya dikembangkan lagi sehingga menjangkau hampir seluruh Jepang.
Kemudian Perancis mengoperasikan kereta api serupa dengan nama TGV.

Jenis-jenis kereta api


a. Dari segi propulsi (tenaga penggerak)
1. Kereta api uap
2. Kereta api diesel
3. Kereta rel listrik

b. Dari segi rel


1. Kereta api rel konvensional Kereta api rel konvensional adalah kereta api
yang umum dijumpai. Menggunakan rel yang terdiri dari dua batang besi
yang diletakan di bantalan. Di daerah tertentu yang memliki tingkat
ketinggian curam, digunakan rel bergerigi yang diletakkan di tengah tengah
rel tersebut serta menggunakan lokomotif khusus yang memiliki roda gigi.
2. Kereta api monorel Kereta api monorel (kereta api rel tunggal) adalah kereta
api yang jalurnya tidak seperti jalur kereta yang biasa dijumpai. Rel kereta ini
hanya terdiri dari satu batang besi. Letak kereta api didesain menggantung
pada rel atau di atas rel. Karena efisien, biasanya digunakan sebagai alat
transportasi kota khususnya di kota-kota metropolitan dunia dan dirancang
mirip seperti jalan layang.

c. Dari segi di atas/di bawah permukaan tanah


1. Kereta api permukaan (surface) Kereta api permukaan berjalan di atas tanah.
Umumnya kereta api yang sering dijumpai adalah kereta api jenis ini. Biaya
pembangunannya untuk kereta permukaan adalah yang termurah
dibandingkan yang di bawah tanah atau yang laying.
2. Kereta api layang (elevated) Kereta api layang berjalan di atas dengan
bantuan tiang-tiang, hal ini untuk menghindari persilangan sebidang, agar
tidak memerlukan pintu perlintasan kereta api. Biaya yang dikeluarkan
sekitar 3 (tiga) kali dari kereta permukaan dengan jarak yang sama, misalnya
untuk kereta api permukaan membutuhkan $ 10 juta maka untuk kereta api
layang membutuhkan dana $ 30 juta. Kereta api bawah tanah (subway)
3. Kereta api bawah tanah adalah kereta api yang berjalan di bawah permukaan
tanah (subway). Kereta jenis ini dibangun dengan membangun terowongan-
terowongan di bawah tanah sebagai jalur kereta api. Biaya yang dikeluarkan
sangat mahal sekali, karena sering menembus 20m di bawah permukaan, kali
- bangunan maupun jalan, yaitu 7 (tujuh) kali lipat dari pada kereta
permukaan.

Dari segi penggunaan

1. Kereta Api Penumpang


2. Kereta Api Barang

Rel

Rel digunakan pada jalur kereta api. Rel mengarahkan/memandu kereta api tanpa
memerlukan pengendalian. Rel merupakan dua batang rel kaku yang sama panjang
dipasang pada bantalan sebagai dasar landasan. Rel-rel tersebut diikat pada bantalan
dengan menggunakan paku rel, sekrup penambat, atau penambat e (seperti penambat
Pandrol).

Jenis penambat yang digunakan bergantung kepada jenis bantalan yang digunakan.
Paku ulir atau paku penambat digunakan pada bantalan kayu, sedangkan penambat e
digunakan untuk bantalan beton atau semen.
Rel biasanya dipasang di atas badan jalan yang dilapis dengan batu kericak atau
dikenal sebagai Balast. Balast berfungsi pada rel kereta api untuk meredam getaran
dan lenturan rel akibat beratnya kereta api. Untuk menyeberangi jembatan,
digunakan bantalan kayu yang lebih elastis ketimbang bantalan beton.

a. Jenis rel berdasarkan berat

Rel yang digunakan di Indonesia menggunakan standar UIC dengan Standar:

* Rel 25 yang berarti 25 kg/m


* Rel 33
* Rel 44
* Rel 52
* Rel 54
* Rel 60

b. Lebar trak/lebar rel/Gauge

Ada beberapa lebar (gauge) yang digunakan, semakin lebar semakin stabil sehingga
semakin tinggi kecepatan kereta apinya. Lebar trak yang umum digunakan
diantaranya:

* Lebar 700 mm, digunakan Kereta api Aceh, dari Besitang menuju Banda Aceh
yang saat ini sudah tidak digunakan lagi.
* Lebar 1000 mm disebut juga "meter gauge", digunakan di Malaysia
* Lebar 1067 mm, atau 3 kaki 6 inci merupakan lebar rel yang digunakan secara
umum di Indonesia, disebut juga sebagai Narrow gauge. Narrow gauge cocok untuk
daerah yang bergunung-gunung karena trak yang lebar membutuhkan biaya besar
dan pembangunannya lebih sulit.
* Lebar 1435 mm, atau 4 kaki 8,5 inci. merupakan rel yang banyak digunakan
didunia sehingga disebut juga sebagai Standar gauge

c. Penyambungan rel
Rel karena alasan transportasi menuju ke lokasi biasanya dari pabrik pembuat rel
dipotong menjadi rel dengan panjang 25 m. Untuk meningkatkan kenyamanan
penggunaan kereta api yang berjalan diatasnya maka rel tersebut disambung.
Penyambungan rel dilakukan dengan beberapa cara:
1. Las termit
Salah satu cara yang umum digunakan adalah dengan las termit dilokasi sehingga
bisa menjadi rel yang menerus. Pengelasan menggunakan las termit dengan
menggunakan bahan kimia senyawa besi yang ditempatkan diantara kedua rel
kemudian bahan tersebut direaksikan pada suhu sampai mencairkan bahan kimia
tersebut dan menyambung rel tersebut, sisa hasil reaksi kimia tersebut kemudian
dipotong dan diratakan dengan rel.
2. Sambungan baut
3. Fishplate diantara 2 rel yang disambung
Pada sambungan ini digunakan suatu penyangga yang disebut sebagai fish plate yang
dibaut pada kedua rel yang disambung.

Stasiun kereta api adalah tempat di mana para penumpang dapat naik-turun dalam
memakai sarana transportasi kereta api. Selain stasiun, pada masa lalu dikenal juga
dengan halte kereta api yang memiliki fungsi nyaris sama dengan stasiun kereta api.
Untuk daerah/kota yang baru dibangun mungkin stasiun portabel dapat dipergunakan
sebagai halte kereta.

Fasilitas stasiun kereta api umumnya terdiri atas:

* Pelataran parkir di muka stasiun


* Tempat penjualan tiket, dan loket informasi
* Peron atau ruang tunggu
* Ruang kepala stasiun, dan
* Ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, seperti
sinyal, wesel (alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Transportasi
http://www.bnpb.go.id/website/index.php?
option=com_content&task=view&id=2101
Statistik Bencana Tahun 2008
Selasa, 27/01/2009 04:02:25
Kejadian Bencana di Indonesia tahun 2008
Korban Meninggal dan Hilang Akibat Bencana Tahun 2008
KECELAKAAN KERETA API DI INDONESIA
I. latar Belakang
Kereta api di Indonesia sudah ada sejak 138 tahun yang lalu. Jaringan kereta api di
Indonesia sebagian besar merupakan peninggalan jaman Belanda meliputi lintasan
sepanjang 6.482 km yang tersebar di Jawa dan Sumatera, dimana 70% diantaranya
terletak di pulau Jawa. Usia jaringan KA umumnya sudah sangat tua, 25% sudah
berusia 70-137 tahun, 44% berusia antara 10-70 tahun.

Di Jawa terdapat tiga lintas pelayanan utama, yaitu: Jakarta-Bandung, Jakarta-


Semarang-Surabaya (disebut lintas utara), dan Jakarta-Yogyakarta-Surabaya (disebut
lintas selatan). Sementara di Sumatera terdapat tiga sub-jaringan KA yang terpisah
satu sama lain yakni: sub-jaringan Sumatera bagian Utara, sub-jaringan Sumatera
bagian Barat, dan sub-jaringan Sumatera bagian Selatan.

Sebelum perang dunia kedua angkutan KA di Indonesia dikelola oleh perusahaan


swasta Belanda. Selanjutnya pada tahun 1950 pengelolaan diserahkan kepada
Kementerian Komunikasi Republik Indonesia melalui DKA (Djawatan Kereta Api).
Kemudian secara berturut-turut pengelola KA mengalami beberapa kali perubahan
nama dan status, yaitu PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api ) pada tahun 1963,
PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api ) pada tahun 1971, PERUMKA (Perusahaan
Umum Kereta Api) pada bulan Januari tahun 1991, dan terakhir pada bulan Juni
tahun 1999 berubah menjadi PT KAI - Kereta Api Indonesia (Persero).

Sampai saat ini kereta api masih dianggap sebagai tulang punggung sistem
transportasi darat di berbagai wilayah di belahan dunia, baik untuk angkutan barang
ataupun penumpang. Namun demikian, di Indonesia peran kereta api masih sangat
marginal. Dari sisi market share angkutan antar moda, saat ini share kereta api untuk
angkutan penumpang hanya sebesar 7.3% dan angkutan barang lebih kurang 0.6%.
Dalam tahun 2005, KAI berhasil mengangkut penumpang sebanyak 147,9 juta orang
dan mengangkut barang sebanyak 17,3 juta ton.

Permasalahan yang cukup mengganggu perkeretaapian saat ini adalah tingginya


tingkat kecelakaan. Trend kecelakaan KA dalam periode tahun 2000 – 2005 yang
diperlihatkan pada Gambar-1 dapat memberikan gambaran bahwa tingkat
keselamatan angkutan KA selama tahun 2000-2005 sangat buruk.

Sumber: Direktorat jenderal perkeretaapian. Kementrian republik Indonesia.

II. Kondisi Prasarana & Sarana


Sarana kereta api meliputi lokomotif, kereta, gerbong, KRL, dan KRD. Jumlah
lokomotif yang dimiliki saat ini sebanyak 333 unit, lebih dari 60% diantaranya
berusia lebih dari 20 tahun. Karena keterbatasan jumlah, lokomotif seringkali
dioperasikan hingga jarak 1.400 km/hari, jauh melampaui batas ideal 900 km/hari.
Pada tahun 2005 terjadi lok mogok sebanyak 1.519 kali, yang mencerminkan kondisi
lokomotif sebagian sudah kurang baik. Jumlah kereta 1243 unit, lebih dari 45%
diantaranya berusia diatas 30 tahun. .

Prasarana jalan rel yang ada saat ini pada umumnya masih jalur tunggal. Jalur ganda
baru tersedia di jalur Jakarta-Cikampek, Jakarta-Bogor, Padalarang-Bandung, dan
Surabaya kota-Wonokromo. Jalur rel yang ada memiliki beban ganda antara 9 s.d. 18
ton yang mampu mendukung kecepatan kereta api antara 60-110 km/jam. Panjang
rel di Jawa yang masih dioperasikan sepanjang 3.216 km dan di Sumatera sepanjang
1.348 km. Sebagian dari jalur tersebut kondisinya sudah kurang layak operasi
sehingga sangat rawan terhadap kecelakaan.

Prasarana persinyalan mencakup perangkat sinyal, pintu perlintasan, telepon/telegraf,


saluran fisik, jaringan radio. Sampai dengan tahun 2000 telah dilakukan modernisasi
(elektrifikasi) persinyalan di 183 stasiun. Ada tiga sistem persinyalan yang
dioperasikan, di Jawa maupun Sumatera, yaitu: electronic interlocking system, all
relay/NX-interlocking system, dan electro mechanical interlocking system. Jumlah
pintu perlintasan ada 8.385 unit, sebanyak 1.145 unit dijaga dan sisanya sebanyak
7.240 unit tidak dijaga. Jumlah perlintasan tersebut belum termasuk sekitar 17.000
perlintasan yang belum terdaftar.

III. Keselamatan KA
Permasalahan perkeretaapian Indonesia saat ini sangat rumit, sulit, dinamis dengan
tantangan yang terus berkembang. Sejak dulu hingga kini kereta api selalu
berhadapan dengan tantangan kompetisi yang tinggi dari moda lain. Jika dulu
berhadapan dengan perkembangan otomotif, maka kini tantangan datang dari
perangkutan udara dengan tarif yang sangat kompetitif. Namun yang saat ini
mengganggu perkererataapian Indonesia adalah tingginya tingkat kecelakaan. Pada
Gambar-1 diperlihatkan trend kecelakaan kereta api periode 2000-2005. Frekuensi
kecelakaan sangat tinggi dan banyak menelan korban jiwa, dengan korban mayoritas
dari kalangan rakyat kecil. Padahal kereta api sangat diharapkan menjadi moda
transportasi yang paling aman, murah, andal dan cepat, anti kemacetan lalu-lintas.

Seperti yang disampaikan dalam gambar 4.1, dalam periode Januari 2004 s/d Mei
2006 di Indonesia telah terjadi kecelakaan kereta api sebanyak 359 kali dengan
jumlah korban jiwa 139 orang dan luka berat 219 orang. Kecelakaan kereta api ini
dalam lingkungan perkeretaapian disebut PLH (Peristiwa Luar biasa Hebat), yaitu
suatu kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa atau luka berat, atau
mengakibatkan rintangan jalan yang mengganggu operasi KA. Tabrakan KA vs KA
terjadi sebanyak 20 kali, rata-rata 8 kali dalam satu tahun. Tingginya frekuensi
kecelakaan katergori ini sangat mengkhawatirkan dan termasuk dalam kategori
terburuk di dunia. Kecelakaan KA anjlok terjadi sebanyak 211 kali atau 59% dari
jumlah total kecelakaan. Tabrakan KA dengan kendaraan umum sebanyak 46 kali
terjadi. Kecelakaan akibat lain-lain terjadi sebanyak 71 kali yang mayoritas
merupkan kecelakaan akibat pejalan kaki tertabrak kereta api.

Kecelakaan KA akibat lain-lain terjadi sebanyak 71 kali, 20% dari jumlah total
kecelakaan, dengan jumlah korban jiwa sebanyak 22 orang. Mayoritas Korban
adalah pejalan kaki yang tertabrak KA akibat kelalaian waktu berada di sekitar
daerah jalur operasi KA.
Jumlah korban jiwa (tidak termasuk luka berat) akibat kecelakaan kereta api dalam
periode Januari 2004 s/d Mei 2005 adalah ebesar 139 orang degan perincian seperti
yang diperlihatkan pada Gambar 4.3. Korban jiwa terbesar adalah akibat tabrakan
KA dengan dengan kendaraan umum di perlintasan sebidang yaitu sebesar 91 orang
atau sebesar 66% total jumlah korban.. Kemudian disusul akibat tabrakan KA vs KA
yang yang menyebabkan korban jiwa sebanyak 24 orang atau 17% dari jumlah total
korban.

Identifikasi Masalah
Tabrakan KA vs KA
Tabrakan antar KA merupakan kecelakaan dalam kategori malapetaka besar
(catastrophic), yang secara teoritis seharusnya dapat dan harus dicegah. Kecelakaan
ini memiliki potensi korban jiwa yang sangat besar mengingat kapasitas angkut KA
ratusan orang, dan juga berpotensi menimbulkan kerugian finansial yang sangat
besar akibat kerusakan sarana/prasarana. (harga satu unit lokomotif sekitar Rp.15
Milyar).
Dalam periode delapan tahun terakhir di Indonesia telah terjadi 64 kali tabrakan KA
vs KA. Tragedi Bintaro merupakan lembaran hitam dalam sejarah perkeretaapian
Indonesia, yaitu kasus tabrakan antara dua KA Ekonomi di Bintaro Jakarta Selatan
pada tahun 1987, yang menelan korban jiwa 153 orang dan korban luka berat 300
orang,. Untuk mencegah terulangnya kembali tragedi tersebut berbagai upaya sudah
dilakukan, baik oleh pemerintah maupun KAI. Antara lain dengan melakukan
modernisasi persinyalan, namun demikian hasilnya belum seperti yang diharapkan.

Berdasarkan hasil investigasi, dari 64 kecelakaan tabrakan antar KA dalam delapan


tahun terakhir, sebanyak 51 kali atau 80% disebabkan oleh faktor manusia, hanya
20% yang diakibatkan oleh faktor teknik

Dalam periode Januari 2004-Mei 2006 telah terjadi 20 kali tabrakan KA vs KA


dengan jumlah korban meninggal 24 orang (Gambar 4.2). Dari hasil investigasi
penyebab kecelakaan sebanyak 75% adalah akibat faktor manusia, antara lain:
pelanggaran sinyal atau PSAD (Passed Signal at Danger), masinis tertidur, PPKA
salah memberi sinyal, PPKA tertidur. Sedangkan kontribusi sarana terhadap
kecelakaan hanya 5% (rem rusak), faktor manusia eksternal 5 % (sabotase), dan yang
dalam pengusutan sebesar 15%.
Dalam bulan Maret-April tahun 2006 ini sudah terjadi 4 kali kecelakaan. Salah satu
diantaranya yang terjadi di daerah operasi Semarang berakibat sangat fatal,
menewaskan 13 orang dan 20 orang mengalami luka berat. Dan lagi-lagi,
berdasarkan hasil investigasi, sumber penyebabnya adalah akibat masinis melanggar
sinyal (PSAD).
Tabrakan antar KA memiliki potensi korban jiwa dan korban finansial, juga
memiliki dampak sosial, dan secara teoritis dapat dihindari, maka dalam manajemen
keselamatan harus sepenuhnya dapat dicegah dengan kategori zero tolerance.
Tingginya frekuensi tabrakan antar kereta api di Indonesia telah mengubah persepsi
persepsi keandalan faktor keamanan yang sudah melekat dan menjadi citra moda
transportasi KA. Tingginya frekuensi tabrakan antar KA akan mengasosiasikan
faktor keselamatan KA tidak berbeda dengan bus atau angkutan umum. Namun yang
menjadi persoalan, tabrakan antar KA seharusnya kejadian yang secara teoritis dapat
dihindari dan dapat dikendalikan, asalkan dapat diketahui sumber penyebabnya.
Tabrakan antar KA dalam satu kali dalam setahun adalah sudah terlalu banyak.
Namun demikian kasus tabrakan antar KA di Indonesia rata-rata dalam setahun 8
kali. Diduga kuat upaya-upaya pencegahan yang telah dilakukan belum memadai
atau belum komprehensif.
Tabrakan KA vs Kendaraan Umum
Dalam periode Jan’04 s.d. Mei’06, tabrakan KA vs Kendaraan Umum terjadi
sebanyak 46 kali atau 13% dari total jumlah kecelakaan. Jumlah korban meninggal
sebanyak 91 orang dan luka berat 93 orang. Jumlah korban jiwa adalah 65% dari
total jumlah korban jiwa dalam periode tersebut. Semua kecelakaan terjadi di lokasi
perlintasan KA sebidang, baik yang dijaga maupun yang tidak dijaga, dan sebagian
besar terjadi di Jawa. Kecelakaan ini dalam beberapa kali kasus menimbulkan
jumlah korban yang sangat besar, karena KA menabrak bus atau angkutan umum
yang sarat penumpang.
Perlintasan KA sebidang di Jawa dan Sumatera yang terdaftar resmi di Dephub
mencapai 8.385 buah (tidak termasuk ribuan perlintasan liar), dan yang dijaga hanya
1.145 buah (14%). Sisanya sebanyak 7.240 buah (86%) tidak dijaga dan pada
umumnya tidak dilengkapi dengan persinyalan yang memadai. Di daerah Jawa
perlintasan yang tidak dijaga lebih dari 6.602 buah. Dengan semakin tingginya
frekuensi lalu-lintas kendaraan umum maka tidak mengherankan tabrakan KA vs
Kendaraan Umum akan cenderung semakin tinggi.
Perlintasan sebidang tidak semua dijaga karena kendala keterbatasan dana.
Pembuatan jalan layang (fly over) atau terowongan (underpass) sulit untuk
diwujudkan, karena biaya pembangunannya sangat mahal. Alasan lainnya, pada saat
perlintasan KA dibangun kondisi lalu-lintas kendaraan umum belum sepadat
sekarang. Dengan berkembangnya lingkungan sosial dan ekonomi, memicu
tumbuhnya pemukiman disekitar jalur KA dan bertambah pesatnya jumlah
pengendara kendaraan bermotor.. Hal ini kemudian mendorong bertambahnya
jumlah perlintasan baru (liar). Perlintasan ini banyak yang dibiarkan terbuka tanpa
pintu ataupun penjaga, sehingga titik-titik rawan kecelakaan semakin bertambah
banyak.

http://perkeretaapian.dephub.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=108&Itemid=26&a728c66ceac927a1a5624c
56ff8c277c=27eeb8eb8075a712111282208e8edd52

Masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas kereta api adalah:
1. Trauma kepala, trauma thorak, trauma abdomen
2. Fraktur
3. Ruptur organ dalam
4. Luka bakar
5. Laserasi
6. Kematian

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN FRAKTUR


By Iwan Sain, S.Kp, M.Kes

A. Konsep Medis
1. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi
tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses
mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima
kelompok berdasarkan bentuknya :
1). Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang
disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari
epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang
rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan.
Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang
rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang
memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari
spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang
rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon
pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang.
Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang
suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis
medularis berisi sumsum tulang.
2). Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous
(spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3). Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan
lapisan luar adalah tulang concellous.
4). Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5). Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang
berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial,
misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas
tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam
pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas
98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang
dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear
( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling
tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon
terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang
dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi
melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang
menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai
tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung
osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan
tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam
lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).

Gambar 1 Anatomi tulang panjang


Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan
garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen
dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama
adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion
magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen
melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan
tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam
menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan
jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel
pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon
terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu
pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-
garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa
minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari
osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya
tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan
osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik
di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion
kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap
sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat
antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan
pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut
osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel
mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai
asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas
biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit
tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan
muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan
tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan
tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus
menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas
osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan
menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang
pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas
biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia pertengahan,
aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai
berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami
imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas
dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas
dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan
stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur
tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya
belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat
bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat
semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan
testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan
merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar
estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi
hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung dengan
bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan
kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong
kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar
kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin
D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan
menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh
hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang
terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat
sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid
meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk
membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara
umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut.
Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan
menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi
ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin
D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu
hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan
kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan
pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga
menurunkan kadar kalsium serum.

b. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
1). Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2). Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan
lunak.
3). Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
4). Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema
topoiesis).
5). Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

2. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam
buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah
rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain menyatakan
bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih
utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
3. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.

c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme


trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
6. Manifestasi Klinik
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
h. Pergerakan abnormal
i. Rontgen abnormal

7. Test Diagnostik
a. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma,
skan tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cederah hati.

8. Penatalaksanaan Medik
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum
terlalu jauh meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran¬nya dan rotasfanatomis (brunner,
2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi
fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera
mungkin untuk mencegah jaring-an lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani
prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan
sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan
alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar x harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapat¬kan efek reduksi dan imoblisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar x digunakan
untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang
sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar x. Ketika kalus telah kuat dapat
dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobili¬sasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat
ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat
tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
-Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalut¬an, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera
bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan
keti¬daknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik
dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari hari diusahakan untuk
memperbaiki ke-mandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap pada
aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna
memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas
fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang
diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.

9. Proses Penyembuhan Tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru
diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang.
Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel
darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang
berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma.
Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih
dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam
beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang
yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai,
tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal
dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman
tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4
minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk
membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan
pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan
normalnya.

10. Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.

2) Komplikasi Dalam Waktu Lama


b. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai
darah ke tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
d. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

B. Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.

c) Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa
kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan
yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995).

d) Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu
seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki
sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering
terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna
D, 1995).

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan


(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya
dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun
begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan
tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
(4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan
yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh
klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien

2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk.
Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien
yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor
dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler  5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia,
Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time  Normal 3 – 5 “
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah
ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan
aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi
untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan
penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

b. Dampak Fraktur Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia

3. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut:
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
(Doengoes, 2000)

4. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan
tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan
tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat
dan atau traksi

2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan


posisi)
5. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi
visual, aktivitas dipersional)

6. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai
keperluan.

7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.

Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-
tanda vital)
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.

Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.

Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.

Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang


mungkin berlangsung lama.

Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.

Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara


sentral maupun perifer.

Menilai perkembangan masalah klien.


b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria
akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi


distal cedera.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.

3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi


adanya sindroma kompartemen.

4. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.

5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit
distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.

Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.

Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan


bebat/spalk.

Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan
hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.

Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan


klien.
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan
kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.

2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.

3. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan


kortikosteroid sesuai indikasi.

4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit

5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya


stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.

Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.

Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.


Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid
telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.

Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas;


anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan
penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.

Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi
pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.

d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi


restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat
paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan
kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik
yang memampukan melakukan aktivitas
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran,


kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun
yang sehat sesuai keadaan klien.

3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.

5. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.


6. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.

7. Berikan diet TKTP.

8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.

9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.

Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu


menurunkan isolasi sosial.

Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot,


mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi
kalsium karena imobilisasi.

Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.

Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan


klien.

Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis,


penumonia)
Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.
Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-
pertahankan fungsi fisiologis tubuh.

Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara
individual.

Menilai perkembangan masalah klien.

e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan
perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai
indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun
kencang, bantalan bawah siku, tumit).

2. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.

3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal

4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi


pen/traksi.

Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.


Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap
tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.

Menilai perkembangan masalah klien.

f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,


taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase
purulen atau eritema dan demam
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol

2. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.

3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.

4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur


dan sensitivitas luka/serum/tulang)

5. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.


Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.

Meminimalkan kontaminasi.
Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis,
mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED
dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab
infeksi.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien.

h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan


b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien
mengerti dan memahami tentang penyakitnya
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.

2. Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.

3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat,


demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)

4. Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.


Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien
untuk mengikuti program pembelajaran.

Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan


program terapi fisik.
Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang
memerulukan intervensi lebih lanjut.

Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi


klien.

B. Evaluasi
o Nyeri berkurang atau hilang
o Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer
o Pertukaran gas adekuat
o Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
o Infeksi tidak terjadi
o Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami

http://hesa-andessa.blogspot.com/2010/03/askep-pada-pasien-dengn-fraktur-
terbuka.html

Peran Perawat saat terjadi kecelakaan


Tenaga Medik dan Kesehatan di Lapangan
Biasanya yang datang pertama ditempat kejadian adalah Pelayanan
Ambulans, yang tugas pertamanya adalah menilai keadaan, kemudian
memberitahu Pusat Koordinasi bila membutuhkan tambahan bantuan lain
sebelum melakukan tugas spesifik triage atau pengobatan korban.
Tambahan ambulans dapat dikirim bila masih tersedia dan dibutuhkan.
Bantuan ini termasuk Komandan Lapangan Ambulans. Pelayanan
ambulans memberitahu Pengendali Medik, yang mana dapat menunjuk
seorang Komandan Medik yang harus turun ke lapangan. Komandan
Medik bekerjasama dengan Komandan Ambulans dapat meminta Tim
Medik Bencana turun ke lapangan melalui Pengendali Medik yang bekerja
di Pusat Pengendali Krisis Medik Bencana. Pelayanan ambulans terbatas
pada manajemen pra-rumah sakit.

Triage
Triage adalah proses memilah pasien dan klasifikasi dari sudut
urgensi relatif. Ini untuk memastikan bahwa pasien yang perlu segera
diobati dapat tertangani dan sumber daya yang terbatas tidak terbuang
percuma pada kasus yang sebenarnya penanganannya dapat ditunda.
Pada kasus masal maka ada perbedaan dengan triage skala kecil, dimana
kasus yang cedera berat dengan kemungkinan hidup kecil akan
diletakkan pada prioritas rendah. Pada beberapa petugas maka kondisi ini
akan menjadi kesulitan, tetapi disini ada prinsip “kerjakan sebanyakbanyaknya
untuk kebaikan pasien dan buat sumber daya bekerja dengan
efisien”.
Kategori Triage
•••BAHANBACAAN•••
6
Ada sistim 4 level untuk kategori triage:
1. Segera - Immediate (I) – Pasien mengalami cedera mengancam jiwa
yang kemungkinan dapat hidup bila ditolong segera. Misal:
tension pneumothorax, distress spernafasan, perdarahan internal
vasa besar, dan cedera jalan nafas.
2. Tunda - Delayed (II) – Pasien perlu tindakan definitif tetapi tidak
ada ancaman jiwa segera. Pasien dapat menunggu giliran
pengobatan tanpa bahaya. Misal: fraktur minor ekstremitas,
perdarahan lacerasi terkontrol, dan luka bakar < 25%.
3. Minimal (III) – Pasien mendapat cedera minimal, dapat jalan dan
dapat menolong diri sendiri atau mencari pertolongan lain. Misal:
lacerasi minor, memar dan lecet.
4. Expextant (0) – Pasien mengalami cedera lethal dan akan
meninggal meski diobati. Misal: cedera kepala berat, luka bakat
derajat 3 berat hampir seluuruh tubuh dan kerusakan organ vital.
Metode penilaian triage
Triage dilakukan secara cepat dan mendapatkan kategori triage
berdasar evaluasi yang dapat dikerjakan secara cepat, mudah dan oleh
tenaga yang training medik terbatas. Sistim apapun yang dipakai tetap
diprioritaskan pada orang paling berpengalaman, berpengetahuan medik
cukup, dan mempunyai kemampuan penilaian yang baik. Untuk ini
dipakai metode START yaitu simple triage and rapid treatment.

Dapat jalan? ------------------- Ya----------------------------- Tunda


Tdk
Bernafas? ----Tidak  Posisi --- Bernafas? -- No --- Expectant
Jalan Nafas
Ya Ya
Frekuensi  30 -------------------- SEGERA
< 30
Capillary  2 detik  Kontrol perdarahan
< 2 detik
Dapat diperintah? --------------------------------------------
Ya
TUNDA
Gambar : ALGORITME TRIAGE START
Pemulihan
Saran
Untuk menghadapi masalah bencana yang dapat terjadi lagi dimasa
yang akan datang maka di rekomendasikan:
1. Perlu kesiapsiagaan dalam bentuk: pembentukan Pusat Pengendali
Krisis Medik Emergensi yang mempunyai Pengendali Medik dan
Komandan Medik
2. Perlu kesiapsiagaan pelayanan ambulans yang mempunyai: Komandan
Ambulans berikut Tim Ambulans-nya
3. Ditingkat rumah sakit: ada kesiapan rumah sakit dalam menerima
kasus korban bencana maupun dalam mengirim bantuan Tim Medik
Bencana. Di rumah sakit harus ada Pengendali Medik dan Komandan
Medik, dan rumah sakit sudah mempunyai Plan A,B, C dst.nya untuk
menghadapi kasus massal akibat bencana atau musibah massal.
4. Disiapkan peraturan, pedoman dan/atau prosedur di tingkat nasional,
daerah dan rumah sakit untuk menghadapi masalah bencana.
5. Latihan secara berkala untuk menghadapi musibah massal, sebagai
salah satu cara sosialisasi manajemen bencana kepada berbagai
pihak.

Http://www.pdfsearch./PERAN MEDIK PADA PENANGANAN KORBAN


BENCANA//.
(Lessons learned from earthquake May 27th 2006) Dr.Bambang Suryono S, Sp.An,
KIC, Mkes, KNA

You might also like