You are on page 1of 13

Pengertian Kemiskinan

By andist

Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk
minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masakini mereka
tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan
lainnya yang tersedia pada jaman modern.

Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-
negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan
Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an
pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum
miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani
yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka
umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya,
seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.

Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada
masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat
tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup
dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada
negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau
seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta
jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998).
Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta
jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka
tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin
sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah
penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah
dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang
terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan”
terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota
masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang
tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering
mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang
pemerataan.

Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai
aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya
interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya
pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah
mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme,
malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses
terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses
pengambil keputusan.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan


relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila
hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi
kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang
yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun
masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural
berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau
berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang
membantunya.

Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial masih sulit
mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis
dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,
pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS)
untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.

Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk
perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan penduduk miskin
perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungan uang tersebut
dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per
hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang,
kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila
dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp.
38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk
perdesaan.

Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai definisi dan klasifikasi


kemiskinan ini. Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melihat
kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan umum,
kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi lainnya melihat secara
global, yakni kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman (cyclical), dan
kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami
kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab
keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli
masyarakat menurun atau rendah. Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia.
Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat
fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia.
Penanggulangan Kemiskinan
Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak. Teori ekonomi
mengatakan bahwa untak memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan
peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan
mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas
akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang
dapat dilakukan?

Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai


perbandingan, di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk
meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi
permukiman perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk
para pemuda, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan
pemberian bantuan kepada kaum miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga
kalangan masyarakat ikut terlibat membantu kaum miskin melalui organisasi
kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.

Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula


dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan
terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut
secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia
pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.

Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan


lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan
masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini
dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi
obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka.
Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program.
Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada
tekad dan komitmen masyarakat sendi

Kemiskinan menurut pandangan Gereja Katolik

Dalam dimensi politis-ekonomis-sosial pun Gereja harus menjadi saksi dan pembawa
kebaikan Allah ke dalam masyarakat. Itu berarti bahwa Gereja secara konsisten, dengan
menyingkirkan segala sikap oportunis, harus menyuarakan perdamaian, penghormatan
terhadap harkat kemanusiaan, keadilan serta solidaritas dengan saudara-saudari miskin ke
dalam masyarakat. Hal itu mengimplikasikan bahwa Gereja secara meyakinkan
mendukung demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Terhadap umat
Islam dan aspirasi-aspirasi wajar mereka Gereja perlu mengambil sikap yang positif.
Gereja sangat mendukung apabila kaum awam mengambil inisiatif dalam bidang politik,
membentuk gerakan dlsb. Gereja perlu menciptakan budaya saling menghormati dan
inklusif dalam bidang politik dan dalam masyarakat pada umumnya. Alangkah baiknya
kalau KWI menulis surat gembala yang mengutarakan sikap prinsipiil Gereja itu.
Gereja ikut bersama kekuatan-kekuatan berkehendak baik lain dalam usaha
menyelamatkan masyarakat dari keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Gereja
harus memperjuangkan hak-hak orang miskin, kaum buruh, orang kecil. Ia harus menjadi
sahabat orang miskin. Yang sangat mendesak adalah agar Gereja mempermaklumkan,
serta melaksanakan, ajaran sosialnya. Sikap "mengutamakan orang miskin" harus
menjadi kenyataan. Kami ingin menegaskan secara khusus bahwa Gereja Indonesia
hendaknya memberi dukungan terhadap pelbagai usaha untuk mengembangkan
perekonomian rakyat (seperti misalnya mengembangkan koperasi kredit/bagi hasil, atau
mendukung unit usaha kecil). Begitu pula kita hendaknya mendukung secara aktif usaha-
usaha untuk meningkatkan ketrampilan penduduk-penduduk asli, terutama di Indonesia
Timur dan di Kalimantan, dalam pelbagai ketrampilan. Dengan demikian Gereja ikut
memperkuat civil society. Gereja harus menjelaskan ajaran sosialnya kepada para
pengusaha, pertama-tama yang menjadi warganya sendiri. Gereja juga perlu mendukung
usaha-usaha internasional untuk memecahkan masalah hutang luar negeri negara-negara
berkembang.

Di tingkat paroki dan komunitas basis, fungsi dan kegiatan PSE perlu diperbaharui
supaya tidak semata-mata berfungsi sebagai birokrasi karitatif. Penggunaan dana yang
dikumpulkan lewat APP perlu dipertanggungjawabkan secara transparan kepada umat.

Demi menciptakan suasana damai dalam masyarakat dan sinergi usaha untuk memajukan
bangsa, tetapi juga, sesuai dengan Konsili Vatikan II, demi hormat terhadap agama-
agama lain, Gereja Katolik perlu secara konsisten bersikap positif terhadap umat Islam.
Gereja mendukung gerakan-gerakan dalam Islam yang semakin peka terhadap
kemanusiaan dan kebangsaan. Gereja harus secara meyakinkan membawa sikap yang
pluralistik dan inklusif. Perlu kita bangun hubungan dengan umat beragama lain untuk
bersama-sama menyelamatkan bangsa. Dalam hal ini Gereja perlu berusaha supaya dapat
dialami dalam masyarakat sebagai sahabat, sebagai ramah, dapat dipercaya, dan tidak
ditakuti.

Maka para pemimpin harus mengajak umat untuk berpandangan positif terhadap umat
beragama lain dan untuk menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Umat hendaknya
tidak apriori dan lalu tidak berani membuka kontak. Tidak cukup kalau hubungan baik
terbatas pada tingkat pemimpin agama. Di tingkat akar rumput perlu ada komunikasi
positif dengan umat Islam dan umat beragama lain. Komunitas-komunitas basis perlu
mengusahakan hubungan baik dengan umat Islam setempat. Misalnya dengan
bersilaturahmi kepada tokoh Islam di wilayahnya. Dewan Paroki sebaiknya membentuk
komisi HAK (hubungan antar agama dan kepercayaan). Dialog dari dan bagi kehidupan
merupakan cara baik untuk berhubungan dengan umat beragama lain.

Dalam hubungan ini kami mencatat kenyataan bahwa banyak umat bingung tentang
apakah, dan partai manakah, yang harus mereka pilih dalam pemilihan umum. Kami
menyarankan agar KWI, meskipun tetap akan mendukung kebebasan umat untuk
memilih menurut keyakinannya sendiri, namun mengadakan pembicaraan-pembicaraan
tentang kemungkinan memberikan pengarahan resmi kepada umat.
2. Lembaga-lembaga Gereja

Dalam masyarakat Indonesia Gereja Katolik hadir dan kelihatan terutama melalui karya-
karyanya di bidang pendidikan dan kesehatan. Khususnya bidang pendidikan Katolik
menderita penyakit institusionalisme, sebagian sebagai akibat kebijakan sosial Orde
Baru. Artinya, hampir seluruh enersinya habis hanya untuk mempertahankan
lembaganya, untuk mencapai peringkat yang baik, bahkan untuk menghasilkan
pendapatan tinggi. Tetapi untuk apa sebenarnya kita menyelenggarakan pendidikan, tidak
lagi dilihat.

Maka sangat perlu para penyelenggara sekolah-sekolah Katolik duduk bersama untuk
merumuskan kembali tujuan suatu pendidikan yang bermutu, tujuan pendidikan Katolik.
Sekolah-sekolah kita hendaknya mendidik generasi muda yang aktif dan kreatif, yang
bukan diarahkan untuk asal mengisi lowongan kerja yang sudah disediakan, melainkan
untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Pendidikan bukan untuk selekas mungkin
menemukan pekerjaan, melainkan untuk memperoleh sikap yang menunjang seluruh
kehidupan. Bukan hanya kecerdasan kognitif, melainkan kreativitas, keberanian dan
imaginasi perlu dikembangkan, dengan sekaligus anak didukung dalam mengembangkan
kepribadian moral.

Kenyataan bahwa sekolah-sekolah kita semakin hanya dapat dimasuki oleh orang-orang
kaya, harus dibalik. Sekolah-sekolah kita harus juga terbuka bagi orang miskin. Misalnya
dapat diusahakan agar 10% dari murid terdiri atas anak-anak dari keluarga miskin.

Karya kesehatan pun perlu merumuskan kembali tujuannya. Jangan mereka terjebak
dalam persaingan keuntungan finansial. Dapat diharapkan bahwa mereka unggul dalam
"human approach". Orang miskin perlu mendapat akses pada pelayanannya.

3. Komunikasi sosial

Hampir 40 tahun sejak Konsili Vatikan II mengeluarkan dekrit Inter Mirifica tentang
pentingnya komunikasi sosial (massa) sambil mengakui adanya “penemuan teknologi
yang menakjubkan itu”, apresiasi Gereja terhadap alat-alat komunikasi sosial itu masih
rendah. Bergitu pula himbauan Inter Mirifica agar “semua orang yang berkepentingan
perlu membentuk hati nurani yang tepat mengenai penggunaan alat-alat ini” sebagai
“bagian dari tugas Gereja untuk mewartakan berita keselamatan”, belum cukup tampak
dalam kehidupan menggereja sehari-hari.

Gereja bukan hanya “tidak pantas berpangku tangan” (IM), melainkan sebagaimana
diserukan Bapa Suci dalam perayaan Hari Komunikasi Sosial Sedunia bulan Mei 2002
lalu, perlu “duc in altum” (mengayuh ke tempat yang lebih dalam), berani mengambil
risiko merambah dunia teknologi informasi baru, termasuk mengambil prakarsa
menggunakan internet untuk mewartakan kabar gembira itu. Gereja Katolik Indonesia
masih ketinggalan di bidang ini.
Kami juga mencatat betapa Gereja semakin lemah dalam pengembangan database dengan
wawasan sejarah. Pada tingkat KWI, Keuskupan maupun Paroki, belum ada Litbang yang
membangun database, melakukan berbagai riset/penelitian, apalagi yang memanfaatkan
kecanggihan teknologi informasi modern, untuk mendukung berbagai upaya Gereja, baik
internal maupun eksternal, seperti yang dicanangkan SAGKI 2000.

4. Awam dan komunitas basis

Kenyataan bahwa menurut pandangan umum, partisipasi dalam perutusan Gereja


dianggap sama dengan ikut aktif dalam paroki – yang tentu termasuk dalam perutusan itu,
- tetapi tidak menyadari tugas panggilan untuk menyucikan dunia, menunjukkan betapa
perlu diadakan pendidikan kaum awam. Perlu betul-betul dihidupkan kesadaran bahwa di
mana pun mereka bergiat, betapa pun "duniawi" kegiatan itu, mereka membawa cahaya,
kekuatan dan semangat Kristus ke dalam masyarakat. Bahwa mereka dipanggil untuk, di
mana mereka hidup dan bekerja, menjadi kekuatan ke arah perdamaian, kebaikan,
kejujuran, keadilan, kepekaan terhadap kebutuhan kaum miskin. Di situ katekese umat
bisa memainkan peranan penting, misalnya lewat pendidikan keluarga – sebuah kerasulan
yang sangat penting, - di sekolah dan melalui pendalaman iman umat. Generasi muda
perlu diberi lebih banyak perhatian.

Pesan SAGKI 2000 untuk membangun komunitas basis perlu terus diusahakan dalam
kesadaran bahwa adanya umat-umat basis akan mengakarkan Gereja dalam masyarakat
dan membuat nyata ciri Gereja sebagai gerakan. Hal itu juga berarti bahwa jangan
seluruh fokus pastoral dipusatkan pada paroki. Komunitas basis merupakan tingkat lebih
mendasar. Di lain pihak kerasulan kategorial dan organisasi pun sangat penting.

5. Pendidikan calon imam dan rohaniwan/rohaniwati

Dalam pertemuan disadari bahwa pendidikan para calon imam maupun pendidikan para
rohaniwan dan rohaniwati tidak lagi memadai. Bahwa klerikalisme dan paternalisme
masih tetap merupakan cara biasa kepemimpinan para imam, lalu konflik-konflik yang
sering terjadi antar pastor, terutama yang muda yang sangat cepat ditempatkan dalam
posisi pimpinan, dengan umat, atau rohaniwan/wati dengan karyawan lembaga-lembaga
yang mereka pimpin, menunjuk pada kekurangan dalam formasi.

Kekurangan itu bukan dalam pendidikan kognitif, melainkan dalam formasi kepribadian
dan kemampuan untuk berkomunikasi. Gejala yang mencolok adalah bahwa imam muda,
atau rohaniwan/rohaniwati, merasa sudah tahu semuanya dan tidak perlu belajar lagi,
apalagi dari umat. Konflik lalu tak terelakkan.

Oleh karena itu dalam pendidikan imam perlu lebih ditekankan pendidikan kepribadian,
karakter, kedewasaan mental dan emosional, kemampuan untuk berkomunikasi, serta
untuk memimpin secara partisipatif dan kolegial. Mereka perlu memperoleh sikap mau
belajar terus menerus dari orang lain. Mereka perlu diberi kesempatan untuk belajar
menerima realitas hidup masyarakat dan mengembangkan sikap yang bersedia
memandang ke luar. Dalam kaitan ini kami menekankan pendidikan ongoing formation.
III. Fokus akhir
Kita bertolak dari visi Gereja sebagai gerakan, sebagai peristiwa penyelamatan Ilahi
dalam masyarakat. Sesudah melihat situasi di Indonesia yang ditandai oleh keterpurukan
di hampir semua dimensi kehidupannya, kami mengidentifikasi beberapa kelemahan dan
kekurangan serius dalam Gereja Katolik Indonesia, yang apabila dibiarkan berlangsung
terus, akan membuat Gereja menjadi tidak mampu menjawab tantangan situasi bangsa
itu. Maka kami mencoba menunjuk pada pelbagai perspektif dan keharusan bagi ikut
sertanya Gereja secara aktif dalam kehidupan masyarakat.

Dalam bagian terakhir ini tidak dikemukakan sesuatu yang baru. Melainkan kami ingin
memusatkan perhatian pada lima pokok yang kami anggap paling kunci dalam
pembaruan yang dituntut dari Gereja Katolik Indonesia.

1. Gereja sahabat orang miskin

Akan berakibat fatal betul bagi kesaksian Gereja, andaikata Gereja kelihatan telah
menjadi Gereja orang kaya. Kalau begitu, kita sudah mengkhianati perutusan Yesus yang
justru bertemu dengan kita dalam orang-orang miskin. Maka keprihatikan-keprihatian
yang disebut di atas perlu ditindak agar kesaksian Gereja tetap dapat terang. Para
pemimpin dan panutan Gereja harus hidup kembali dengan cara sederhana, sehingga
mereka bisa dekat dengan orang miskin. Lembaga-lembaga kita perlu mengadakan
perubahan arah sungguh-sungguh dan juga secara internal mencerminkan ajaran Gereja
sendiri.

2. Hubungan dengan agama-agama lain

Membangun secara konsisten hubungan baik dengan agama-agama lain di Indonesia,


terutama dengan umat Islam, bukan hanya sangat penting bagi kita orang Kristen,
melainkan salah satu syarat terpenting agar Indonesia dapat membangun masa depan
yang damai, ramah, adil, sejahtera dan solider. Maka pengembangan hubungan itu,
betapa pun sulitnya, perlu menjadi prioritas baik di tingkat pimpinan Gereja, maupun di
tingkat komunitas basis. 3. Lembaga-lembaga pendidikan (dan lain-lain)

Tenaga dan dana yang dikerahkan oleh Gereja dalam bidang pendidikan adalah luar
biasa. Dan memang, melalui bidang ini Gereja betul-betul menyumbang sesuatu kepada
"pencerdasan" bangsa. Maka kenyataan bahwa banyak lembaga pendidikan tenggelam
dalam usaha untuk sekedar mempertahankan diri perlu menggugah Gereja, artinya semua
yang bertanggungjawab, untuk kembali merumuskan apa yang kita kehendaki dengan
lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan dibangun bukan demi lembaganya, melainkan
karena kita ingin memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak yang dipercayakan
orangtuanya kepada kita.

4. Formasi kaum awam

Formasi kaum awam merupakan unsur kunci dalam pembaruan diri Gereja. Justru apabila
kehidupan barangkali akan menjadi lebih sulit bagi umat kristiani di Indonesia, kaum
awam perlu dapat menimba kekuatan dari spiritualitas perutusan ke dalam dunia, dari
kesadaran bahwa apa yang mereka prestasikan di situ, betul-betul berpartisipasi dalam
penyebaran biji-biji kerajaan Allah ke dalam masyarakat. Kita memerlukan tokoh-tokoh
intelektual yang juga tahu tentang ajaran Gereja.

5. Pembaruan pendidikan imam dan rohaniwan/wati

Peran para imam maupun rohaniwan dan rohaniwati dalam Gereja Katolik tetap akan
besar. Maka sudah sangat mendesak bahwa kekurangan-kekurangan dalam formasi
mereka yang sebenarnya sudah lama disuarakan, dan dengan sangat keras dalam SAGKI
2000, diakui adanya dan diambil tindakan untuk mengubah/memperbaiki formasi
mereka. Kunci formasi imam dan rohaniwan/rohaniwati yang memadai adalah
pendidikan watak dan kemampuan untuk berkomunikasi, membangun kesediaan untuk
mendengarkan, memperhatikan dan menghormati pendapat orang lain, serta agar mereka
belajar menerima diri dalam segala macam realitas dan senantiasa mau belajar.

Jogjakarta, 27 Oktober 2002

Pemihakan Gereja terhadap kemiskionan

enguraikan tema di atas menuntun saya kepada satu pertanyaan mendasar, yaitu siapakah
orang miskin[1] ? Penelitian G. Soares Prabhu sebagaimana yang dikutib oleh J.B.
Banawiratma mengenai orang miskin dalam Alkitab memperlihatkan bahwa: a) orang
miskin merupakan kelompok sosial dengan identitas yang ditentukan bukan oleh sikap
religius mereka melainkan oleh situasi sosial mereka. Jadi bukan hanya kemiskinan
rohani, melainkan kemiskinan fisik; b) kaum miskin dalam Alkitab juga merupakan
kelompok dialektis. Maksudnya situasi mereka ditentukan oleh pertentangan kelompok-
kelompok yang bertindak tidak adil dan menyingkirkan mereka; c) orang miskin dalam
Alkitab juga adalah kelompok dinamis. Mereka bukanlah korban-korban pasif sejarah.
Melalui dan bersama mereka, Allah membentuk sejarah-Nya. Hal lebih terperinci
mengenai orang miskin disampaikan oleh A. Pieris yang membuat kategori-kategori
orang miskin dalam Alkitab: a) mereka yang secara sosial dikucilkan (karena penyakit);
b) mereka yang secara sosial bergantung pada orang lain (janda dan yatim piatu); c)
mereka yang secara religius dibuang (pelacur dan pemungut cukai); d) mereka yang
secara kultural ditundukan (kaum perempuan dan anak); e) mereka yang secara fisik
cacat (bisu, tuli, buntung kaki, buta); f) mereka yang secara psikologi tersiksa (kerasukan
setan); g) mereka yang secara spiritual rendah hati (orang-orang sederhana yang takut
akan Allah dan para pendosa yang bertobat[2].

Mengacu kepada uraian Prahbu dan Pieris di atas, maka kenyataan orang miskin yang
demikian tidaklah jauh berbeda dengan realitas kemiskinan kita saat. Memang agak
sedikit kesulitan untuk mengukur tingkat kemiskinan seseorang, sebab dalam pengalaman
observasi selalu menunjukan bahwa masalah kemiskinan mempunyai banyak segi dan
dimensi, mulai dari yang bersifat material sampai pada yang bersifat mental, sehingga
tidak mudah untuk menentukan tolak ukur yang tepat mengenai kemiskinan. Dengan
demikian juga tidak gampang untuk mengatakan siapa itu orang miskin. Hal ini bukan
berarti kita mengalami kesulitan dalam mengukur tingkat kemiskinan masyarakat,
berdasarkan human development report yang diterbitkan oleh UNDP (United Nations
Development Programme) menggambarkan bahwa kemiskinan nampak dalam: angka
pengangguran, angka kematian balita, jumlah orang yang buta huruf, tingginya daya beli,
presentasi pendapatan yang harus dikeluarkan, dll. Bahkan orang dikatakan miskin bisa
diukur berdasarkan garis kemiskinan yang menunjuk kepada minimnya pendapatan yang
diperlukan supaya kebutuhan pokok bisa terpenuhi. Kenyataan ini memberikan kita
gambaran saat ini bahwa kenyataan kemiskinan dan atau orang miskin ada disekitar kita
bahkan kitapun tergolong didalamnya. Bahkan di Indonesia (juga Maluku) kenyataan
kemiskinan merajela dimana-mana, para pengungsi, janda dan yatim-piatu, orang cacat,
para pengemis, pemulung, anak jalanan, mereka yang tinggal di bawah kolom-kolom
jembatan, termasuk perempuan dan anak, para buruh kasar, pembantu rumah tangga,
penjual, mereka yang hak-haknya dirampas, korban penindasan, masyarakat yang
terpencil jauh dari aksesibilitas dan informasi juga komunikasi termasuk transportasi
(daerah terpencil) adalah potret kemiskinan saat ini. Sebab kenyataan orang miskin di
Alkitab bahkan realitas kehidupan kita memiliki kesamaan, sebab juga menjurus kepada
miskin secara fisik, ekonomis, sosial politis dan religius.

Mengapa Tuhan Berpihak Kepada Orang Miskin

Banyak gambaran orang miskin dan kemiskinan tampil dalam Alkitab bahkan hal ini
sangat mencolok, dalam Perjanjian Lama (PL) gambar orang miskin sangat dekat dengan
Allah. Allah memperhatikan, melindungi dan membela orang miskin dan malang.
Terdapat kelompok Anawim, kaum miskin yang hanya mengandalkan Allah saja. Sikap
pasrah, sikap mengandalkan dan mempercayakan hidupnya kepada Allah saja, tidak
terlepas dari kemiskinan dan penderitaan yang mereka alami. Allah berbelas kasih
terhadap orang-orang miskin, orang lemah. Kepada Allah semacam inilah, orang-orang
miskin ini menaruh harapan. Keberpihakan Allah yang demikian menjadi nampak jelas
dan konkrit dalam kitab-kitab Injil (Perjanjian Baru) lewat inkarnasi Allah dalam Yesus
Kristus. Dalam PB, orang-orang miskin yang dihadapi Yesus adalah mereka yang miskin
secara fisik, sosial, ekonomi, politis, dan religius termasuk mereka yang mengalami
berbagai penderitaan karena penyakit, juga yang terpnggirkan karena diangap pendosa
adalah kelompok terdepan sebagai alamat yang dituju oleh kabar gembira Yesus.
Keberpihakan Yesus kepada orang miskin bukan berarti mengabaikan karya
penyelamatan Allah yang universal atau milik semua ciptaan-Nya. Allah memihak
kepada orang miskin bukan berarti karena mereka lebih suci, melainkan karena mereka
miskin dan menderita. Kemiskinan itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan terjadi
sebagai bentuk dari sebuah ketidakadilan.

John Hick dalam bukunya Evil and the God of Love mencoba menghubungkan realitas
kemiskinan yang dekat sekali dengan penderitaan[3]. Baginya penderitaan sebagai
keadaan mental, keadaan pikiran yang sangat mengharapkan atau tergila-gila bahwa
situasinya adalah sebaliknya, kemampuan untuk membayangkan alternatif-alternatif dan
(dalam diri manusia) kesadaran moral[4]. Gambaran Hick memberikan kesan bahwa
kenyataan kemiskinan seringkali hadir bersamaan dengan pederitaan. Mereka yang hidup
dalam situasi miskin benar-benar memandangnya sebagai sesuatu yang buruk atau
sebagai bentuk ketidakadilan, yang karenanya perlu dirubah dengan mencari alternatif-
alternatif untuk mengubah keadaan miskin itu. Keadaan demikian perlu dirubah menjadi
keadaan yang benar-benar adil bagi manusia. Keadaan ketimpangan sosial ini
mengindikasikan jelas bahwa ada jarak antara yang kaya dan yang miskin, seakan-akan
ada sekat yang memisahkan mereka. Keberpihakan Yesus memiliki arti yang
fundamental yaitu meniadakan jarak tersebut, sehingga rasa keadilan, kesetaraan dan
menjunjung kebersamaan harkat dan martabat akan nampak dalam relasi sosial masyakat
termasuk kehidupan beragama (bergereja).

Karenanya kalau kita berbicara mengenai keberpihakan Allah itu berarti kita sedang
berbicara mengenai kerajaan Allah bagi orang-orang miskin. Melalui Yesus, orang-
orang miskin dan menderita mengalami tanda-tanda kedatangan Kerajaan Allah, yakni
Allah sedang hadir dan bertindak, sedang menampakan kuasa yang menyelamatkan
mereka. Pemakluman Kerajaan Allah merupakan sesuatu yang aktual terjadi sebagai hari
dan peristiwa penyelamatan. Hal ini bukan berarti hanya melalui perkara verbal,
melainkan sebuah gerakan aktual. Hal ini berarti bahwa orang-orang miskin dan
menderita merasakan penyertaan Allah. Allah tidak meninggalkan mereka. Allah berada
dalam penderitaan dan keprihatinan mereka dan dalam perjumpaan mereka dengan Yesus
mereka sedang mengalami perubahan. Pilihan Allah untuk berpihak kepada orang miskin,
akhir-akhir ini menjadi bagian penting dari pergumulan gereja. Pilihan tersebut
melahirkan imperatif untuk mendahulukan orang miskin (preferential option for the
poor). Pilihan mendahulukan orang miskin bukanlah pilihan mengecualikan orang kaya
dari rencana penyelamatan Allah. Pilihan mendahulukan orang miskin adalah sikap dan
tindakan mengikut Yesus yang memaklumkan Kerajaan Allah. Pemakluman tersebut
merupakan undangan untuk siapa saja, agar terjadi persaudaraan di antara semua orang,
di mana jurang antara yang kaya dan miskin dijembatani, dimana tidak ada lagi pemeras
dan yang diperas, penindas dan yang ditindas, di mana semua orang “makan bersama”.[5]
Orang kaya dapat bergembira dan berbahagia menemukan solidaritas Allah sendiri dalam
solidaritasnya dengan kaum miskin. Dengan demikian kita dapat mengerti mengapa
Allah melalui Yesus memilih dan mendahulukan orang miskin. Dalam orientasi dan
kesetiakawanan terhadap orang miskinlah persaudaraan semua orang dibangun. Pilihan
kita mendahulukan orang miskin berakar pada Allah sendiri, Allah yang memilih dan
menyelamatkan, bukan kekayaan, kuasa atau kekuasaan dan prestasi manusia. Tidak
peduli dengan orang miskin sama artinya dengan tidak mempedulikan Allah. Kerananya
perjuangan mengatasi kemiskinan merupakan jalan mengkuti rencana Allah melalui
Yesus, jalan murid-murid Yesus.

Pilihan di atas cukup menentukan arah dasar bagi hidup gereja. Gereja yang melibatkan
diri dalam pilihan cinta mendahulukan orang miskin dapat disebut gereja kaum miskin.
Banawiratma dan Muller menggambarkan gereja kaum miskin dari dua sisi mata uang.
Yang pertama adalah hubungan dengan Allah yang menampakan kuasa dan belas kasih-
Nya yang menyelamatkan melalui Yesus Kristus (segi kristologi). Yang kedua, dari
hubungannya dengan kaum miskin (ekonimi, politis, kultural), dua segi ini sangat
menentukan apakah gereja sungguh hidup sebagai gereja kaum miskin ataukah tidak.[6]
Sejalan dengan hal itu, Hendriks pun menegaskan bahwa menjadi gereja berarti harus
tetap konsisten dan konsekuen berjalan pada jalan Yesus, kepala gereja. Jalan itu adalah
jalan salib, suatu jalan dimana kedalaman hubungan dengan Allah dan kekentalan
solidaritas dengan mereka yang menderita (miskin) berpadu. Kita tidak dapat
menekankan yang satu dan mengabaikan yang lain.[7] Karena itu pilihan menjadi miskin
hanyalah menjadi pengikut Yesus yang benar sejauh juga merupakan pemihakan gereja
kepada kaum miskin.[8]

Bagaimana Dengan Orang Kaya

Hal penting yang mesti digarisbawahi adalah keberpihakan kepada orang miskin bukan
berarti mengecualikan orang kaya dalam karya penyelamatan Allah yang universal itu.
Malahan pilihan kepada orang miskin adalah suatu undangan untuk siapa saja dengan
tujuan untuk mendatangkan persaudaraan diantara semua orang. Kepentingannya adalah
jurang antara si kaya dan miskin dapat terjembatani. Memang benar, adalah hal yang
ironis bahwa apabila kita kaya dengan kelimpahan harta milik, namun pada sisi yag lain,
masih banyak saudara-saudara kita yang miskin, bukankah kenyataan ini memperlihatkan
kesenjangan sosial diantara kita. hal ini juga bukan berarti orang tidak boleh menjadi
kaya atau seolah-olah mengalami kemakmuran atau menjadi kaya adalah hal-hal yang
buruk. Tidaklah demikian. Menikmati barang-barang bumi ini sungguh suatu sukacita
yang tidak ditolak oleh Alkitab apalagi Allah. Bagi Conrad Boerma, Allah tidak akan
berpihak atau melawan orang kaya (tidak masuk dalam Kerajaan Allah) apabila orang
menjadi kaya, lantaran orang-orang lain menjadi miskin, apabila kemakmuran yang
diperoleh, timbul setelah orang yang lain menjadi korban. Bukankah dalam hal demikian,
kekayaannya menjadi perintang bagi jiwa dan keselamatannya.[9] Bahkan perilaku yang
demikian bagi Julio de Santa Anna melangagar otoritas Yesus. Menurutnya Yesus
memang mengatakan kita tidak dapat mengabdi kepada dua tuan, yaitu Allah dan Mamon
(Mat. 6:24). Kekayaan yang telah didewakan akan merusak hubungan antar manusia,
seperti yang dikatakan oleh nabi Amos, “mereka menjual orang benar karena perak dan
orang miskin karena sepasang sepatu (Amos 2:6). Uang juga melambangkan keinginan
manusia yang mendominasi dan memperbudak, menaklukan dan memerintah,
mengontrol dan mengecam. Sebagai suatu simbol uang menunjukan kekuatan yang
bertentangan dengan otoritas Yesus.[10]

Tipe orang kaya demikian, yang memandang kekayaan sebagai tujuan hidup bahkan
menjadi budak dari kekayaan (uang) tersebut sangat bertentangan dengan kehendak Allah
melalui Yesus Kristus. Karena itu, orang kaya akan mendapat bagian dalam keberpihakan
karya penyelamatan Allah, hanya terjadi apabila kekayaan dilihat sebagai alat untuk
memuliakan Tuhan. Karena itu kekayaan semestilah diperoleh dengan tidak
mengorbankan yang lain serta digunakan untuk melayani sesama, sebab kesitulah
keberpihakan Allah itu nyata. Karena itu Boerma mengusulkan hal yang penting untuk
memerangi ketidakadilan dan mengurangi kesenjangan miskin dan kaya adalah dengan
tiga hal: pertama, struktur sosial kemasyarakat harus ditata dengan baik. Aspek keadilan
dalam mengelola hidup yang penuh rasa adil diantara semua ciptaan harus nampak dalam
perilaku keseharian, kedua, mengusahakan ciri hidup gereja/umat sebagai usaha yang
menampakan solidaritas Allah. Orang kaya dan atau kekayaan harus dipakai dan
digunakan dalam solidaritas dengan orang miskin. Itu berarti orang kaya tidak seharusnya
menciptakan ketergantungan bagi si miskin, namun berusaha bersama mengusahakan
kemandirian bersama; ketiga, kehidupan orang kaya dan atau kekayaan harus bergaya
hidup yang bisa belajar menjadi miskin. Spiritualitas ini penting untuk membangun hidup
dalam kebersamaan dan tetap berdiri disamping orang miskin dan menderita dan bukan
sebaliknya berada di atas orang miskin dan penderitaan mereka. Ketiga hal ini, menjadi
adil, belajar solidaritas, belajar menjadi miskin, adalah kunci hidup dan mesti menjadi
gaya hidup orang-orang kaya dengan kekayaan mereka. Sebab hanya dengan begitu karya
penyelamatan Allah yang universal yang diperuntukan bagi semua kita tanpa memandang
status apapun akan menjadi bagian bersama kita, tanpa ada yang terabaikan. Semoga !!!

[1] tentunya menjelaskannya kita harus berhati-hati dan butuh landasan teologis yang
jelas dan masuk akal. Sebab kesalahan kita menguraikannya maka akan menimbulkan
kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.

[2] J.B. Banawiratma, SJ., 10 Agenda Pastoral Transformatif; Menuju Pemberdayaan


Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender, HAM dan Lingkungan Hidup,
(Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2002), hal. 22-23.

[3] Sedikit berbeda dengan John Hick, A. Pieris tidak serta merta melihat kemiskinan
sebagai bentuk penderitaan. Baginya kemiskinan adalah sesuatu yang dwi-arti, artinya ia
membedakan antara kemiskinan sukarela dan kemiskinan yang dipaksakan. Menurutnya
kemiskinan sukarela adalah bentuk kerelaan untuk meninggalkan harta dan keluarganya.
Kemiskinan yang demikian tidak dipandang sebagai bentuk penderitaan, melainkan
sebuah kebajikan. Sehingga keprihatinan utamanya adalah bukanlah pengahapusan
kemiskinan, melainkan perjuangan melawan Mamon. Sebab hal inipun dipraktekan oleh
para biarawan maupun masyarakat biasa. Tentang pendapat ini bisa dilihat dalam, Dr. A.
A. Yewangoe, Theologia Crusis Di Asia, (Jakarta, BPK. Gunung Mulia 1996), hlm 14-
15.

[4] John Hick, Evil and the God of Love, (Glasgow, 1977), hlm. 354. Sebagaimana yang
dikutib oleh Dr. A. A. Yewangoe, Theologia Crusis di Asia, (Jakarta, BPK. Gunung
Mulia, 1996), hlm 13.

[5] B.J. Banawiratma dan S.J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu; Kemiskinan sebagai
Tantangan Hidup Beriman, (Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1993), hlm 136.

[6] Ibid, hlm. 137.

[7] Lihat I. W. J. Hendriks, Jabatan Pendeta Dan Spiritualitas Pendeta GPM, Perspektif
Teologis-Biblis, dalam makalah yang disampaikan dalam seminar sehari menjelang HUT
Fakultas Filsafat UKIM, di Hotel Amans, Ambon.

[8] Aloysius Pieris, Berteologi Dalam Konteks Asia, (Yogyakarta, Penerbit. Kanisius,
1996), hlm. 31-32.

[9] Conrad Boerma Dapatkah Orang Kaya Masuk Kerajaan Surga, (Jakarta: Penerbit
BPK Gunung Mulia, 1987), hlm 133-134
[10] Julio de Santa Ana, Good News to the Poor , (Maryknoll/New York: Orbis Books,
1979), hlm. 30

Daftar Pustaka

Banawiratma, J.B dan Muller. J., 1993, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.

Boerma, Cunrad., 1987, Dapatkah Orang Kaya Masuk Sorga ?, Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

de Santa Ana, Julio., Good News to the Poor , Maryknoll/New York: Orbis Books.

Hendriks, I.W.J., 2009, Jabatan Gereja dan Spiritualitas Pendeta GPM, Ambon.

Pieris, Aloysius., Berteologi Dalam Konteks Asia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Yewangoe A.A., 1996, Theologia Crusis di Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Masukan ini dipos pada Maret 8, 2010 2:59 pm dan disimpan pada Teologi Kontekstual . Anda dapat
mengikuti semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Anda dapat memberikan tanggapan, atau
trackback dari situs anda.

You might also like