You are on page 1of 334

NOTA KEUANGAN

DAN
RANCANGAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN 1985/1986

REPUBLIK INDONESIA
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

BAB I

UMUM

Telah merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa perkembangan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat yang mengarah kepada kemajuan suatu bangsa, senantiasa mensyaratkan
adanya perjuangan dan membawa serta perubahan-perubahan dalam berbagai segi dan dimensi
kehidupan. Sebagai suatu rangkaian pembaharuan pada berbagai tingkat perimbangannya,
perjuangan yang merupakan pengejawantahan ideologi negara dan pandangan hidup bangsa
selalu menuju ke suatu bentuk, dan tatanan kehidupan masyarakat yang dinamis dan lebih baik.
Sejarah telah mengajarkan bahwa perjuangan untuk mencapai kehidupan berbangsa dan
bernegara yang makmur dan sejahtera, bukanlah suatu perjuangan tanpa pengorbanan.

Mengikuti liku-liku perjalanan sejarah Indonesia akan terlihat betapa generasi demi
generasi telah menyemarakkan persada nusantara dengan berbagai pengorbanan, mulai dari
perjuangan untuk menghimpun rakyat Indonesia menjadi satu bangsa, bersatu padu dalam
menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menjamin kelestarian eksistensinya,
sampai kepada usaha besar bangsa Indonesia untuk membangun suatu masyarakat sejahtera
yang berkeadilan, masyarakat Pancasila.

Limabelas tahun yang lalu, bangsa Indonesia telah memancangkan tonggak sejarah
bagi dimulainya suatu babak baru dalam kelanjutan perjuangannya. Bagi bangsa Indonesia,
babak itu merupakan garis pemisah antara kecenderungan yang serba sepihak, liberal ataupun
terpimpin, dengan sikap yang mengacu kepada keseimbangan, keserasian dan keselarasan yang
bersumber pada pemahaman Pancasila secara utuh dan menyeluruh. Alur perjalanan sejarah
yang demikian itulah yang terus diusahakan agar menjelma menjadi kenyataan tahap demi
tahap sesuai dengan rencana, dan pengutamaan yang selaras dengan perkembangan
kesanggupan bangsa.

Kini bangsa Indonesia tengah berada diambang pintu tahun kedua Repelita IV, suatu
tahap pembangunan yang telah semakin mendekatkan rakyat Indonesia kepada cita-cita
perjuangan. Repelita IV bukanlah semata merupakan kelanjutan dan peningkatan dari Pelita-
Pelita sebelumnya, melainkan juga mempunyai posisi yang penting dan menentukan bagi
terciptanya kerangka landasan pembangunan nasional. Keberhasilan Repelita IV akan
memungkinkan terlaksananya tahap pemantapan kerangka landasan dalam Repelita V dan tahap
tinggal landas dal3:m Repelita VI, untuk memacu pembangunan menuju masyarakat adil dan

Departemen Keuangan RI 2
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

makmur berdasarkan Pancasila. Untuk menciptakan kerangka landasan pembangunan tersebut,


perlu diupayakan terciptanya kondisi nasional yang memberikan rangsangan serta peluang
seluas-luasnya bagi potensi pembangunan agar dapat berperan serta dalam usaha pembangunan
nasional. Dengan segenap potensi pembangunan, dana dan daya yang dapat digali dan
dikerahkan dari dalam negeri akan semakin meningkatkan dan memantapkan ketahanan
ekonomi terhadap pengaruh dari berbagai kemungkinan gejolak atau krisis ekonomi dunia.
Pembangunan dengan asas kepercayaan pada diri sendiri, merupakan kekuatan yang tidak
ternilai harganya bagi bangsa yang sedang membangun. Kepercayaan pada diri sendiri
bertambah penting artinya, karena dalam tahun-tahun yang akan datang pembangunan posti
bertambah berat, karena masalah yang ditangani makin besar, dan aspirasi masyarakat pun
bertambah luas. Oleh sebab itu perlu dikembangkan kebijaksanaan ekonomi yang bertumpu di
atas Trilogi Pembangunan, suatu kebijaksanaan yang telah dianut Pemerintah sejak
pembangunan nasional dicanangkan raJa 1 April 1969.

Prioritas pembangunan dalam Repelita IV, sesuai dengan Pola Umum Pembangunan
Jangka Panjang, tetap menempatkan sektor pertanian sebagai sektor yang akan terus dikem-
bangkan dan ditingkatkan menuju swasembada pangan, serta pengembangan sektor industri,
balk industri berat maupun industri ringan. Dalam hubungan ini, apabila dikaji dan ditelusuri
kembali rangkaian kebijaksanaan ekonomi yang telah ditempuh Pemerintah selama ini hingga
tahun kedua Repelita IV, maka tampak jelas kesinambungan usaha menuju kepada memperluas,
meningkatkan dan sekaligus memperkuat landasan kegiatan ekonomi melalui pengembangan
industri di atas sektor pertanian yang mandiri. Kebijaksanaan juga ditujukan kepada perluasan
kesempatan kerja, mengutamakan penggunaan hasil produksi dalam negeri, dan peningkatan
ekspor. Kesemuanya itu ditunjang oleh kebijaksanaan di bidang fiskal yang lebih mengarah
pada asas keadilan, dan kebijaksanaan moneter yang diupayakan untuk merangsang kegiatan
dunia usaha, dan memantapkan kestabilan. Tujuan tersebut dan kebijaksanaan penunjangnya
mengisi dan menyatu secara terpadu dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang
memadai, pemerataan pembangunan dan hasilnya, dan pemeliharaan kestabilan. Diharapkan
pada akhimya tercipta strnktur perekonomian yang lebih seimbang dan mantap, dengan tingkat
kelenturan produksi yang tinggi yang dalam batasbatas tertentu, mampu meredam setiap
kegoncangan ekonomi baik dalam maupun luar negeri. Dengan perkembangan yang mengarah
kepada terciptanya keadaan tersebut, perekonomian Indonesia yang modern, tangguh dan
demokratis berdasarkan Pancasila akan menopang terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila.

Departemen Keuangan RI 3
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Sejalan dengan cita pembangunan tersebut, sertadengan memperhatikan perkembangan


keadaan perekonomian dunia yang masih belum sepenuhnya pulih dari resesi, pada tahun
pertama pelaksanaan Repelita IV oleh Pemerintah telah diambil beberapa langkah
kebijaksanaan ekonomi yang penting. Langkah nyata dalam rangka menegakkan kemandirian
dalam pembiayaan pembangunan tampak lebih jelas dengan telah disahkannya tiga undang-
undang perpajakan baru yang baik semangat maupun pengaturannya lebih sesuai dengan
tuntutan pembangunan yang semakin berkembang. Di bidang moneter, tanggung jawab yang
diberikan kepada bank-bank Pemerintah dalam menentukan suku bunga simpanan maupun
pinjaman, telah merangsang dunia perbankan untuk mengerahkan dana-dana masyarakat,
terlebih karena pada saat yang sama ketentuan pagu kredit perbankan ditiadakan. Bagi
masyarakat, adanya kenaikan dalam tingkat pendapatan, terpeliharanya kestabilan harga, dan
terkendalinya nilai tukar devisa te1ah semakin meningkatkan hasratnya untuk menabung, yang
dilakukan diantaranya melalui sektor perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Dengan
demikian terdapat titik temu aliran dana yang menghasilkan kegunaan bagi berbagai pihak,
yakni antara masyarakat penabung, sektor perbankan dan tersedianya sumber dana
pembangunan. Dan dalam rangka meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, serta mengurangi
tekanan yang berat terhadap neraca pembayaran, pada bulan Maret 1983 te1ah diadakan
penyesuaian nilai tukar rupiah terbadap dollar Amerika Serikat.

Agar supaya pengerahan dana pembangunan, baik yang bersumber dari dalam negeri
maupun dari luar negeri, memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pembangunan, usaha
pengendalian dan penghematan penggunaan dana harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu
penge1uaran rutin diusahakan dapat ditekan, dan dikendalikan tanpa mengurangi fungsi
pe1ayanan kepada masyarakat, serta pemeliharaan terhadap hasil pembangunan yang telah
dicapai. Namun demikian, mengingat pentingnya peningkatan pendayagunaan aparatur negara,
maka dalam tahun 1985/1986 direncanakan suatu kenaikan gaji bersih pegawai negeri sebesar
20 persen dan pensiun antara 27 - 59 persen. Di lain pihak prioritas pembangunan dipertajam
agar penge1uaran pembangunan dapat memberikan hasil guna dan daya guna yang lebih besar,
disertai dengan pengurangan, atau penghapusan terhadap berbagai subsidi sejauh yang dapat
dilakukan tanpa mengorbankan kepentingan stabilisasi, serta kebutuhan masyarakat banyak.
Pemberian subsidi ditata sedemikian rupa agar terdapat alokasi sumber ekonomi secara lebih
efisien, dan terhindar dari adanya distorsi harga-harga yang tidak wajar. Sejalan dengan hal
tersebut, maka pengeluaran untuk subsidi bahan bakar minyak dalam tahun 1985/1986 te1ah

Departemen Keuangan RI 4
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dapat ditekan lebih lanjut, yang terutama disebabkan karena adanya peningkatan efisiensi dalam
pengolahan bahan bakar tersebut. Di lain pihak subsidi untuk pupuk diperkirakan akan
meningkat lebih besar, yang berkaitan erat dengan semakin intensifnya penggunaan pupuk
dalam rangka mempertahankan, dan meningkatkan kemajuan yang te1ah dicapai di bidang
pengadaan pangan, dan produksi komoditi pertanian lainnya.

Adapun penjadwalan kembali beberapa proyek renting dan pengendalian impor secara
se1ektif, te1ah dilaksanakan dalam rangka penghematan di bidang devisa, dan upaya untuk
mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran. Sedangkan di bidang moneter, kebijaksanaan
moneter dan perkreditan tetap ditujukan kepada penggunaan dana yang terarah dan produktif.

Perimbangan yang belum memadai antar berbagai sektor kegiatan dalam pereko-
Damian, serta sifat perekonomian terbuka yang sangat dipengaruhi oleh hambatan dalam
kegiatan ekspor, dan resesi perekonomian dunia yang be1um sepenuhnya pulih, menimbulkan
akibat yang tak terhindarkan terhadap perekonomian Indonesia dalam tahun-tahun terakhir
Pelita III, yang masih berasa pengaruhnya hingga diambang tahun kedua Repelita IV. Agar
perkembangan pembangunan waktu lalu lebih dapat dipahami dalam ruang lingkup keadaan
yang melatarbelakanginya, dan terlebih renting dadpada itu, agar supaya permasalahan yang
dihadapi dalam masa pembangunan yang akan datang dapat ditanggulangi dengan tanggap,
serta dapat memanfaatkan peluang yang mungkin tercipta, maka keadaan ekonomi dunia perlu
dan senantiasa secara cermat terus diikuti perkembangannya.

Tanda-tanda perbaikan ekonomi dunia yang mulai tampak pada tahun akhir Pelita III
belum sepenuhnya menunjukkan perkembangan yang diharapkan. Bahkan akhir-akhir ini
diperkirakan terdapat kecenderungan gejala perlambatan kembali dari kegiatan ekonomi negara
industri utama, yaitu Amerika Serikat, yang dalam tahun 1984 diperkirakan mengalami
kenaikan pertumbuhan ekonomi tertinggi diantara negara-negara industri lainnya, yakni sebesar
7,3 persen. Perekonomian dunia yang belum sepenuhnya bangkit ke arab pemulihan
sebagaimana yang diharapkan, hanya memberikan pengaruh yang terbatas manfaatnya bagi
perkembangan ekonomi negara-negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi negara-negara
industri secara. keseluruhan dalam tahun 1984 diperkirakan menunjukkan kenaikan rata-rata
sebesar 4,9 persen, atau 2,3 persen lebih tinggi dibandingkan kenaikan tahun lalu, dimana
Jepang dan Kanada diperkirakan mengalami kenaikan tertinggi setelah Amerika Serikat, yakni
sebesar 5,0 persen dan 4,6 persen, sedangkan negara-negara industri lainnya dalam kelompok
tujuh negara industri besar diperkirakan menunjukkan kenaikan rata-rata sekitar 2,5 persen.

Departemen Keuangan RI 5
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Pertumbuhan ekonomi yang dicapai negara-negara industri utama tersebut, erat


kaitannya dengan menurunnya tingkat pengangguran serta laju inflasi. di negara-negara
tersebut. Tingkat pengangguran rata-rata di negara-negara industri tersebut diperkirakan telah
dapat ditekan menjadi 7,6 persen dalam tahun 1984 dibandingkan 8,3 persen dalam tahun 1983,
sedangkan laju inflasi diperkirakan menunjukkan sedikit penurunan dari sebesar 5,0 persen
dalam tahun 1983 menjadi 4,3 persen dalam tahun 1984. Sisi lain perkembangan perekonomian
dunia yang pada umumnya menunjukkan perbaikan, telah ditandai dengan makin meningkatnya
suku bunga riil di Amerika Serikat yang bertahan pada tingkat yang relatif tinggi, sebagai
akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang ketat di negara tersebut. Suku bunga untuk
nasabah-nasabah utama (US Prime Rate) di Amerika Serikat mencapai tingkatan yang tinggi,
sekitar 13 persen pada bulan September 1984. Perbedaan dalam tingkat produktivitas serta laju
pertumbuhan perekonomian, dan tingkat inflasi antara berbagai negara di dunia, serta tingginya
suku bunga riil di Amerika Serikat, telah mengakibatkan masuknya modal dari negara-negara
lain ke Amerika Serikat, yang kemudian mengakibatkan naiknya nilai tukar mata uang Amerika
Serikat terhadap pelbagai macam mata uang asing. Meningkatnya nilai tukar mata uang dollar
Amerika selanjutnya telah mengakibatkan kegoncangan posar valuta internasional di berbagai
negara, serta kemerosatan yang cukup besar pada nilai tukar mata uang - mata uang penting
dunia. Ketidakstabilan nilai tukar valuta asing, kebijaksanaan moneter yang ketat, tingginya
suku bunga menimbulkan rangkaian akibat berupa naiknya defisit transaksi berjalan negara-
negara industri. Usaha mengatasi defisit tersebut telah menimbulkan dampak sampingan yang
kurang menguntungkan, khususnya bagi perkembangan ekspor negara-negara berkembang,
karena adanya langkah-langkah proteksionisme yang dilakukan oleh negara-negara industri
dalam rangka melindungi hasil produksi dalam negeri mereka.

Perkembangan perekonomian dunia telah dipengaruhi pula oleh ketidakstabilan dalam


posar minyak dunia. Meningkatnya produksi serta peleposan cadangan minyak negara-negara
di luar OPEC, dan upaya penghematan penggunaan energi minyak telah menyebabkan
terganggunya keseimbangan posar, dan kecenderungan terjadinya penurunan harga minyak
dunia. Menghadapi keadaan demikian, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC)
dalam sidangnya bulan Oktober 1984 di Geneva memutuskan untuk tetap mempertahankan
tingkat harga yang berlaku sekarang, dengan jalan mengurangi produksi dari batas tertinggi
17,5 juta barrel menjadi sebesar 16,0 juta barrel per hari, serta menetapkan kuota baru bagi
negara-negara anggotanya.

Departemen Keuangan RI 6
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Setetah mengalami defisit dalam neraca pembayaran yang cukup besar dalam tahun
1982/1983, dengan latar belakang perkembangan keadaan perekonomian dunia yang
menunjukkan adanya sedikit perbaikan, dalam tahun 1983/1984 neraca pembayaran Indonesia
menunjukkan keadaan yang lebih baik yaitu surplus sebesar US $ 2.070 juta, meskipun
transaksi berjalan masih mengalami defisit sebesar US $ 4.151 juta. Namun demikian, defisit
tersebut apabila dibandingkan dengan defisit tahun 1982/1983, memperlihatkan adanya
perbaikan yang berarti. Kemajuan di bidang neraca pembayaran tersebut tidak terlepos dari
perkembangan ekspor bukan minyak yang menunjukkan kenaikan sebesar 36,6 persen, dimana
dalam tahun sebelumnya mengalami penurunan. Oleh karena penerimaan ekspor minyak
mengalami penurunan, walaupun penurunan tersebut jauh lebih rendah dari tahun 1982/1983,
kenaikan penerimaan ekspor keseluruhan dalam tahun 1983/1984 hanya sebesar 6,1 persen.
Dalam tahun 1984/1985 perkembangan neraca pembayaran diperkirakan masih akan
mengalami surplus sungguhpun tidak sebesar dalam tahun 1983/1984.

Berbagai langkah kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri, khususnya dalam


rangka mendorong ekspor, terus dilakukan oleh Pemerintah mengingat peranannya sebagai
salah satu sumber pembiayaan pembangunan, serta sebagai sektor pendorong gerak
perekonomian nasional yang penting. Menghadapi situasi perekonomian internasional yang
tidak menentu, serta guna mengurangi ketergantungan pada ekspor minyak dan gas bumi,
kebijaksanaan mendorong ekspor secara menyeluruh melalui pola pengembangan ekspor
terpadu terus ditingkatkan. Usaha tersebut meliputi peningkatan dan diversifikasi ekspor di luar
minyak dan gas bumi, perluasan kemudahan dibidang perpajakan dan perkreditan, perbaikan
mutu barang ekspor, pelaksanaan sistem imbal beli, pengembangan ekspor barang-barang
produksi hasil industri dan perluasan posaran di luar negeri ke negara-negara selain rekan
dagang. Dalam rangka memperluas ekspor Indonesia, maka telah dijajagi kemungkinan
peningkatan perdagangan dengan negara-negara Eropa Timur. Ternyata negara-negara tersebut
sangat membutuhkan komoditi ekspor Indonesia seperti karet, timah, kopi, teh, minyak kelapa
sawit dan sebagainya. Juga terlihat peluang untuk mengekspor barang-barang manufaktur ke
Eropa Timur sepanjang harganya mampu bersaing di posaran internasional. Selain dari itu juga
meliputi penyesuaian nilai tukar mata uang dollar Amerika, pengendalian impor, serta
pengelolaan bantuan dan pinjaman luar negeri secara lebih cermat. Dalam rangka pengelolaan
bantuan yang lebih berdaya guna, maka telah dikeluarkan Inpres No.8 Tahun 1984 yang
menegaskan ketentuan tentang pengendalian dalam penggunaan kredit ekspor luar negeri, agar
pembayaran kembali dikemudian hari tetap dalam batas kemampuan keuangan negara.

Departemen Keuangan RI 7
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Pelaksanaan berbagai kebijaksanaan di bidang ekspor tersebut tertuang antara lain dalam
Peraturan Pemerintah No.1 bulan Januari 1982 yang menyangkut pengaturan jual beli devisa,
tata cara ekspor dan sebagainya.

Di bidang prosedur ekspor, telah diadakan penyederhanaan perizinan, dan


penghapusan izin yang meliputi berbagai bidang antara lain bidang kehutanan, pertanian,
perhubungan, dan perdagangan. Di bidang perpajakan, sejak 1 Januari 1984 pungutan MPO
ekspor atas eksportir telah dihapuskan, dan untuk beberapa komoditi tertentu yang semula
dikenakan pajak ekspor sebesar 10 persen diturunkan menjadi 0 persen, serta penurunan pajak
ekspor tambahan atas jenis komoditi tertentu lainnya. Selain itu, sejak 10ktober 1984 pungutan
langsung oleh Pemerintah Daerah terhadap beberapa komoditi ekspor penting telah pula
dihapuskan. Sejalan dengan usaha meningkatkan mutu barang-barang ekspor, sampai dengan
Agustus 1984 telah ditetapkan standar mutu untuk 165 jenis barang-barang perdagangan,
dimana dari jumlah tersebut standar mutu dari 38 jenis barang sudah dilaksanakan.

Memantapkan ekspor, dan memperluas posarannya, memerlukan kerja keras baik dari
Pemerintah maupun masyarakat, khususnya dunia usaha. Pemerintah telah berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk meniadakan berbagai hambatan yang dapat mengurangi daya saing
komoditi ekspor Indonesia di posaran internasional.

Kebijaksanaan di bidang impor selain ditujukan kepada memperlancar pengadaan


bahan baku/penolong, dan barang modal dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan pokok
yang diperlukan masyarakat, dan pemeliharaan kestabilan, juga merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari program pembangunan jangka panjang sektor industri. Melalui kebijaksanaan
impor yang mendukung pertumbuhan sektor industri, sektor tersebut didorong untuk mencapai
tahap perkembangan yang efisien melalui persaingan yang sehat, dan selanjutnya meningkat
menuju tahapan perluasan ekspor hasil produksinya, suatu keterpaduan langkah yang tidak
hanya mengarah kepada penghematan devisa, akan tetapi juga sekaligus meningkatkan
penerimaannya, serta sejalan dengan usaha peningkatan penggunaan produksi dalam negeri.
Dalam hubungan ini, Pemerintah telah mengusahakan untuk sejauh mungkin tidak memberi
keringanan bea masuk, tetapi sekaligus menyesuaikan tarif bea masuk dan pajak penjualan
impor terhadap impor barang-barang yang telah dapat diproduksi di dalam negeri seperti kertas
untuk jenis tertentu, pipa besi dan produk polyvinyl chloride (PVC), aluminium sheet dan fuli
aluminium jenis-jenis tertentu. Demikian pula terhadap beberapa produk yang telah dapat
dirakit di dalam negeri telah diberlakukan tarif bea masuk, dan pajak penjualan impor yang
baru. Dengan berlakunya Undang-Undang Pajak Penghasilan pada tanggal 1 Januari 1984,

Departemen Keuangan RI 8
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pungutan MPO atas barang-barang impor dihapuskan, sedangkan pungutan baru dikenakan
terhadap impor barang yang dilakukan oleh importir yang menggunakan API, APIS atau APIT
yaitu sebesar 2,5 persen dari nilai dasar impor (cif). Terhadap impor barang yang dilakukan
oleh importir yang tidak menggunakan sistem perijinan impor, dikenakan pungutan sebesar 7,5
persen dari nilai dasar impor (cif).

Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara ditetapkan, bahwa pembangunan industri


ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja, memeratakan kesempatan berusaha,
meningkatkan ekspor, menghemat devisa, menunjang pembangunan daerah, dan memanfaatkan
sumber alam dan energi serta sumber daya manusia. Dengan demikian pembangunan industri
selain diharapkan dapat mewujudkan struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan
pertanian, juga diarahkan agar di dalam sektor industri sendiri semakin terwujud keseimbangan
dan keserasian antara industri besar/sedangdan industri kecil, antara industri hilir dan industri
hulu, antara industri padat modal dan industri padat karya, serta harus mampu meningkatkan
keahlian dan ketrampilan masyarakat, dan mempertinggi sikap mental pembaharuan. Dengan
arah kebijaksanaan tersebut, dan dengan Pancasila sebagai dasar perjuangan bangsa, tahap
industrialisasi yang merupakan tahap yang sulit, dan mengandung kerawanan kiranya dapat
dilalui tanpa menimbulkan ketegangan sosial.

Apabila dalam Pelita I dan II sektor industri telah tumbuh rata-rata sebesar 13,0 persen
dan 13,7 persen, maka dalam Pelita III turun menjadi 8,9 persen setahun. Pertumbuhan sektor
industri pengolahan, dilihat sebagai komponen produk domestik bruto, dalam tahun 1983 secara
riil menunjukkan kenaikan sebesar 2,2 persen, setelah mengalami titik kenaikan yang terendah
dalam tahun 1982. Sejak awal Pelita I, sektor tersebut hingga tahun-tahun pertama Pelita III
telah berkembang tidak kurang dari 9 persen. Kelambanan yang terjadi dalam pertumbuhan
sektor industri dipenghujung tahun Pelita III, tidak terlepos dari adanya pengaruh resesi
ekonomi dunia, serta adanya kekurangserasian pertumbuhan antarsektor industri. Industri hilir,
yang pada umumnya merupakan industri substitusi impor, telah berkembang relatif lebih pesat
dibanding industri hulu, sehingga menyebabkan lemahnya kaitan antarindustri, baik vertikal
maupun horizontal, dan belum dapat memberikan kemantapan pada struktur industri yang ada.
Sehubungan dengan hat tersebut, untuk memantapkan dan memperkokoh struktur industri
nasional, telah ditempuh kebijaksanaan program terpadu, yaitu dengan mengembangkan
industri yang saling menunjang dengan sektor lainnya. Program tersebut terdiri dari rangkaian
usaha berupa peningkatan keterkaitan antara berbagai jenis industri secara vertikal dan
horizontal, pembinaan industri kecil, peningkatan peranan bangsa Indonesia sendiri dalam

Departemen Keuangan RI 9
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pembangunan industri, serta peningkatan ekspor hasil produksinya. Dengan berbagai usaha
tersebut akan tercipta keserasian yang memberi kekuatan pada keseluruhan pertumbuhan
industri.

Kemajuan yang dapat dicapai oleh sektor industri pada tingkat akhir berkaitan erat
dengan kemantapan pertumbuhan, dan perkembangan produktivitas sektor pertanian, dimana
peningkatan daya beli sebagian besar masyarakat beserta pemerataan pendapatan yang
berlangsung di sektor ini, merupakan faktor yang sangat menunjang tegak tahannya sektor
industri.

Pembangunan sektor pertanian berdasarkan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang


tidak hanya menyangkut peningkatan produksi semata, akan tetapi meliputi pula usaha
mengangkat kehidupan sosial, pendidikan dan tingkat kehidupan para petani di pedesaan pada
umumnya. Dengan demikian pembangunan pertanian diharapkan memberikan arti yang utuh
bagi peningkatan sebagian besar kesejahteraan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, pembangunan pertanian dilaksanakan dengan berlandaskan Trimatra Pembangunan
Pertanian, yaitu keterpaduan dalam usaha tani, dalam komoditi, dan dalam pengembangan
wilayah dengan sasaran sebagaimana yang tercakup dalam Sapta Karya Pembangunan
Pertanian, dan dengan menerapkan Panca Usaha Tani. Sungguhpun pertumbuhan sektor
pertanian sejak Pelita I setiap tahunnya menunjukkan tingkat kenaikan yang berbeda, akan
tetapi sumbangannya terhadap produk domestik bruto riil terus mengecil, sementara nilai
produksinya terus meningkat. Apabila pada awal Pelita I, sumbangan sektor pertanian masih
sebesar 46,9 persen dari produk domestik bruto riil, maka pada akhir Pelita III diperkirakan
menurun menjadi hanya sekitar 29 persen.

Produksi tanaman pangan sebagai komponen produksi pertanian terpenting menun-


jukkan perkembangan yang mengesankan. Dalam Pelita III produksi beras menunjukkan
pertumbuhan sebesar 6,5 persen pertahun, dimana dalam Pelita I dan II pertumbuhan
produksinya adalah sebesar 4,7 persen dan 3,8 persen pertahun. Di samping produksi beras,
produksi palawija dan hortikultura telah memainkan peran yang cukup penting pula dalam
pemenuhan kebutuhan bahan pangan yang meningkat. Agar peningkatan produksi beras dapat
pula meningkatkan tarat hidup petani lebih layak, tingkat harga dasar gabah yang diterima oleh
petani setiap tahunnya selalu ditinjau kembali, dan dinaikkan. Untuk itu pada bulan Pebruari
1985, harga dasar gabah kering giling di KUD dinaikkan menjadi Rp 175,00 perkilogram.

Didukung oleh besarnya peranan nilai tambah yang diciptakan oleh sektor
perdagangan, lembaga keuangan dan jasa lainnya, serta sektor-sektor lainnya, produk domestik

Departemen Keuangan RI 10
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

bruto riil secara keseluruhan dalam tahun 1983 diperkirakan menunjukkan adanya kemajuan
yang cukup berarti, yakni kenaikan sebesar 4,2 persen. Sungguhpun kenaikan tersebut masih
lebih kecil dari rata-rata pertumbuhan per tahun dalam periode 1970 - 1982, akan tetapi masih
lebih tinggi dari yang dicapai dalam tahun 1982. Pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari
perkembangan produk domestik bruto sangat dipengaruhi, dan ditentukan oleh perimbangan-
perimbangan yang terjadi di dalam tingkat pembentukan modal, serta tingkat produktivitas
modal, dan tenaga kerja yang .ada. Produk domestik bruto, alas dasar harga konstan tahun
1973, dari tahun 1969 sampai dengan tahun 1983 telah meningkat rata-rata sebesar 7,2 persen
pertahun. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya pembentukan modal domestik
bruto rata-rata sebesar 15,2 persen pertahun dalam periode tersebut. Pembentukan modal
domestik bruto yang dalam tahun 1969, alas dasar harga konstan 1973, baru berjumlah 11,2
persen dari produk domestik brutonya, dalam tahun 1983 diperkirakan telah meningkat menjadi
30,5 persen. Hal ini tiada lain menunjukkan adanya kemajuan di dalam pembentukan atau
penanaman modal, baik yang dilakukan oleh masyarakat, dunia usaha, maupun Pemerintah.
Kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh dunia usaha, sejalan dengan terpeliharanya
kestabilan, dan prospek yang baik dari perkembangan pembangunan, terus menunjukkan
peningkatan. Penanaman modal yang dilakukan melalui fasilitas penanaman modal dalam
negeri (PMDN) sampai dengan bulan Agustus 1984 telah disetujui sebesar Rp 20.632,4 milyar,
sedangkan penanaman modal asing (PMA) dalam periode yang sama, rencana investasinya
mencapai nilai sebesar US $ 14.915,2 juta. Dalam rangka meningkatkan penanaman modal,
oleh Pemerintah telah diberikan berbagai rangsangan antara lain dalam bentuk penyederhanaan
prosedur penanaman modal, fasilitas pengampunan pajak, penetapan tarip penyusutan yang
lebih tinggi, serta ketentuan bahwa perorangan dapat melaksanakan penanaman modal melalui
fasilitas PMDN tanpa harus berbentuk badan hukum. Berbagai fasilitas tersebut diberikan agar
tercipta iklim penanaman modal yang menarik, meskipun fasilitas bebas pajak, dan pemutihan
modal bagi penanam modal di Indonesia dihapuskan. Sebagai kompensasi, semacam pemutihan
modal masih dimungkinkan, yakni segala dana yang ditabung dalam deposito tidakakan diusut
asal usulnya.

Sumber pembentukan modal yang terpenting adalah dana-dana yang dapat dikerahkan
dan disalurkan melalui APBN. Sebagai piranti anggaran dalam melaksanakan Repelita demi
Repelita, sejak Pelita I, volume Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah
berhasil ditingkatkan terus dalam jumlah yang cukup besar. Volume APBN pada awal Pelita I
yang berjumlah Rp 334,7 milyar, telah berkembang menjadi hampir lima puluh lima kali dalam

Departemen Keuangan RI 11
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

tahun terakhir Pelita III. Perkembangan APBN terus diusahakan agar tetap berimbang dan
dinamis, sehingga peranannya sebagai stabilisator, dan akselerator pembangunan tetap dapat
dipertahankan. Resesi ekonomi dunia yang telah mempengaruhi perekoDamian Il}donesia pada
gilirannya telah mempengaruhi penyusunan RAPBN 1985/1986. Dengan latar belakang
kebijaksanaan dan perkembangan perekonomian baik nasional maupun internasional, serta
usaha untuk tetap terpeliharanya kesinambungan pembangunan, maka volume RAPBN tahun
anggaran 1985/1986 direncanakan berimbang pada tingkat sebesar Rp 23.046,0 milyar. Di sisi
penerimaan negara, rencana tersebut terdiri dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp 18.677,9
milyar, dan penerimaan pembangunan sebesar Rp 4.368,1 milyar, sedangkan di sisi
pengeluaran negara rencana tersebut terdiri dari pengeluaran rutin sebesar Rp 12.399,0 milyar,
dan pengeluaran pembangunan sebesar Rp 10.647,0 milyar. Pengeluaran pembangunan selain
dialokasikan untuk berbagai sektor, juga diserasikan dengan pembiayaan pembangunan
regional dan perluasan kesempatan kerja melalui berbagai program Inpres, dalam rangka
pemerataan pembangunan dan hasilnya. Dengan demikian pemerataan, pertumbuhan dan
stabilitas memperoleh gambaran yang lebih nyata, utuh dan menyeluruh melalui peranan ganda
dari pengeluaran pembangunan.

Dalam tahun 1985/1986 bantuan pembangunan Dati I adalah sebesar Rp 280,0 milyar.
Bantuan tersebut dimaksudkan untuk pemeliharaan jembatan dan jalan propinsi, perbaikan dan
penyempumaan irigasi, eksploitasi dan pemeliharaan pengairan, pembangunan daerah minus
serta pengembangan perkotaan. Sedangkan bantuan pembangunan bagi Dati II antara lain
adalah untuk proyek-proyek prasarana dan produksi yang dapat memperluas lapangan kerja dan
proyek padat karya. Untuk mempedancar distribusi hasil-hasil produksi, kepada Dati II juga
diberikan bantuan pembangunan prasarana jalan. Gambaran perkembangan volume APBN yang
terus meningkat, memberikan harapan yang besar untuk tetap berlangsungnya pembangunan
nasional guna mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Namun
demikian, di balik kemajuan tersebut berbagai tantangan dan hambatan, serta upaya
pemecahannya telah pula menjadi bahagian dari pelaksanaan APBN, khususnya dalam
beberapa tahun terakhir ini.

Seperti yang telah dikemukakan perekonomian dunia yang dilanda krisis, dan
berlangsung berkepanjangan telah memberikan dampak yang tidak diinginkan terhadap
perekonomian Indonesia. Dalam usaha untuk memperkecil pengaruh yang ditimbulkan resesi
duma tersebut, terutama dalam mengamankan penerimaan negara melalui APBN, oleh
Pemerintah telah diambil berbagai langkah kebijaksanaan untuk meningkatkan ketahanan

Departemen Keuangan RI 12
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

ekonomi nasional, serta menciptakan landasan yang kuat guna berlangsungnya kelancaran
proses pembangunan. Salah satu kebijaksanaan yangtelah diambil adalah dengan disahkannya
beberapa undang-undang perpajakan yang baru, yang merupakan perbaikan secara mendasar
terhadap undang-undang perpajakan yang lama. Dengan kebijaksanaan tersebut Pemerintah
bukan saja berupaya untuk lebih menyeimbangkan struktur penerimaan negara, yang sebagian
besar masih bergantung pada penerimaan dari minyak bumi dan gas alam, akan tetapi juga
berusaha untuk meningkatkan rasa keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam memberikan
andil dan peranannya di dalam pembangunan melalui bidang perpajakan. Langkah-Iangkah
untuk menegakkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan, khususnya melalui usaha
peningkatan penerimaan dalam negeri di luar minyak, telah dilaksanakan ketika memasuki
tahun pertama Repelita IV, yakni dengan diberlakukannya UndangUndang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan serta Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan sejak
tanggal 1 Januari 1984. Sedangkan Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sedianya berlaku pada tanggal 1 Juli
1984, dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1984 telah ditangguhkan berlakunya sampai
selambat-Iambatnya tanggal 1 J anuari 1986. Namun demikian mengingat pentingnya peranan
pajak tersebut, Pemerintah bertekad untuk melaksanakannya pada 1 April 1985. Dalam rangka
pelaksanaan undang-undang ini, maka mulai tahun anggaran 1985/ 1986 dalam penerimaan
pajak pertambahan nilai, termasuk di dalamnya pajak pertambahan nilai atas penjualan bahan
bakar minyak (BBM) sebesar 10 persen. Berlainan dengan undang-undang perpajakan yang
lama yang mempunyai sistem, prosedur dan pentaripan yang rumit, undang-undang perpajakan
yang baru tersebut lebih mencerminkan kesederhanaan, serta lebih mendorong pemerataan, dan
memberikan kepostian hukum. Di samping Undang-Undang Perpajakan tersebut, Pemerintah
kini tengah mempersiapkan perundang-undangan mengenai pabean, pajak kekayaan, dan iuran
pembangunan daerah, guna lebih memantapkan peningkatan penerimaan dalam negeri. Untuk
mewujudkan kebijaksanaan yang lebih realistis dengan keadaan perekonomian nasional, serta
guna meningkatkan kesadaran para wajib pajak dalam menaati pembayaran pajaknya, maka
sejak 1 Januari 1985 tarip pajak kekayaan telah diturunkan dari 1 persen menjadi 0,5 persen,
sedangkan batas kekayaan yang tidak kena pajak telah dinaikkan dari Rp 14 juta menjadi Rp 80
juta.

Sumber penting lainnya dari penanaman modal adalah tabungan masyarakat yang antara
lain terkumpul melalui sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Sejak dilaksanakannya
kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983, dana-dana yang berasal dari masyarakat yang dapat

Departemen Keuangan RI 13
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dihimpun oleh sektor perbankan menunjukkan kenaikan yang mengesankan. Sampai dengan
bulan September 1984, dana perbankan telah mencapai jumlah sebesar Rp 14.705,8 milyar,
diantaranya sebesar Rp 7.905,2 milyar atau 53,8 persen merupakan dana deposito dan tabungan
yang merupakan sumber dana yang renting bagi pembentukan modal untuk disalurkan berupa
kredit bagi kegiatan usaha. Sementara itu dalam periode Juni 1983 - Juni 1984, volume deposito
berjangka telah menunjukkan kenaikan sebesar Rp 2.787;2 milyar. Meningkatnya dana-dana
masyarakat yang terhimpun oleh sektor perbankan menunjukkan adanya kestabilan ekonomi,
dan iklim terse but harus dipertahankan agar upaya pembangunan dengan kekuatan sendiri
secara bertahap dapat terwujud menjadi kenyataan. Terpeliharanya kestabilan ekonomi
mencerminkan terselenggaranya pengendalian jumlah uang beredar yang sesuai dengan
kebutuhan perekonomian. Sungguhpun jumlah uang beredar terus meningkat, diusahakan agar
pengaruhnya terhadap tingkat harga senantiasa dalam batas-batas yang aman, namun
mendorong kegiatan pembangunan. Dalam tahun 1984, laju inflasi menunjukkan peningkatan
sebesar 8,8 persen, sedangkan pada tahun sebelumnya menunjukkan kenaikan sebesar 11,5
persen.

Pelaksanaan pembangunan nasional senantiasa diupayakan berjalan seirama dengaIi


pembinaan dan pemeliharaan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, baik di bidang
ekonomi, sosial maupun politik. Tegaknya demokrasi Pancasila merupakan syarat mutlak bagi
terjaminnya stabilitas nasional, dan kesinambungan pembangunan. Oleh sebab itu,
pembangunan politik dan pendidikan politik seperti yang digariskan oleh GBHN terus menerus
dilaksanakan. Dalam rangka pembaharuan, dan penyederhanaan kehidupan politik, maka
kepada DPR telah diajukan lima RUU masing-masing tentang: Perubahan UU Pemilu,
Perubahan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD, Perubahan UU tentang
Parpol dan Golkar, Organisasi Kemasyarakatan, dan tentang Referendum. Kelima RUU
tersebut kini dalam pembahasan, dan diharapkan pada waktunya akan mendapat persetujuan
akhir dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya


dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian manusia Indonesia yang
sehat, cerdas dan berbudi luhur merupakan modal pembangunan yang sangat menentukan.
Dalam kaitan ini unsur terpenting di dalam pengembangan sumber daya manusia adalah
pendidikan. Sehubungan dengan itu dalam tahun pertama Repelita IV kebijaksanaan di bidang
pendidikan terutama ditekankan dan diarahkan pada peningkatan dan pemerataan mutu
pendidikan, peningkatan dan pemerataan kesempatan belajar dalam rangka pelaksanaan wajib

Departemen Keuangan RI 14
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

belajar, serta penyesuaian pendidikan dengan kebutuhan pembangunan nasional, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Di samping itu juga dilakukan pembinaan terhadap generasi muda
dalam tugasnya sebagai penerus perjuangan bangsa, dan pembangunan nasional, serta
pengelolaan pendidikan yang lebih berdaya guna dan berhasil guna. Guna meningkatkan mutu
pendidikan, telah dilaksanakan penataran guru/pembina pada berbagai tingkat pendidikan, yang
meliputi berbagai bidang studi dan pengelolaan, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di
daerah, sementara kesejahteraan para guru dan dosen tetap menjadi perhatian Pemerintah.
Untuk itu Pemerintah dalam tahun 1985/1986, merencanakan untuk memberikan tunjangan
jabatan fungsional kepada guru sekolah tingkat dasar dan menengah.

Pembangunan juga mengusahakan agar setiap warga negara dapat memperoleh derajat
kesehatan yang tinggi menuju terbentuknya keluarga yang sehat dan sejahtera. Oleh karena
manusia merupakan modal terpenting dan menentukan dalam pembangunan nasional, serta agar
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat dapat terlaksana dengan baik, maka perlu
terus ditingkatkan pembangunan kesehatan dan pengaturan pertumbuhan jumlah penduduk.
Untuk itu sejak Pelita I telah dan terus dilaksanakan pembangunan di bidang kesehatan, antara
lain berupa pembangunan Puskesmas dan rumah sakit, pengadaan tenaga dokter dan tenaga
medis, penyuluhan kesehatan, pemberantasan penyakit menular, peningkatan gizi masyarakat,
dan alih teknologi di bidang kesehatan dan peralatan kesehatan. Bersamaan dengan itu terus
diusahakan pula peningkatan program keluarga berencana (KB) nasional yang pelaksanaannya
ditempuh melalui pendekatan kemasyarakatan baik melalui jalur formal maupun informal, dan
mengarah kepada pengalihan tanggung jawab pengelolaan dari Pemerintah kepada masyarakat.
Di samping itu juga dilaksanakan norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera (NKKBS)
melalui program lintas sektoral agar terwujud keluarga yang sehat, makmur dan sejahtera.

Terciptanya kerangka landasan seperti yang diamanatkan oleh GBHN harus benar-
benar dapat diwujudkan, agar tempat beranjak pembangunan bertambah kuat sehingga bangsa
Indonesia dapat terus tumbuh dan berkembang. Dengan penuh kepercayaan pada kemampuan
sendiri, dan hanya dengan persatuan yang makin kukuh segala rintangan dan tantangan yang
berat dalam tahun-tahun mendatang akan teratasi, serta cita dan harapan dapat menjadi
kenyataan. Maka teramat penting bagi segenap aparatur negara, dan masyarakat untuk
menghayati dan mengamalkan Pancasila, agar arah dan pelaksanaan pembangunan tetap benar,
dan tujuannya tidak tersimpangkan.

Departemen Keuangan RI 15
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

BAB II

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

2.1. Pendahuluan

Sejak pembangunan nasional dirimlai pada tahun 1969/1970, tahun pertama


pelaksanaan Pelita pertama hingga memasuki tahun kedua Pelita IV, kebijaksanaan keuangan
negara tetap diarahkan, dan berpegang teguh pada kebijaksanaan yang bertujuan untuk
meningkatkan tarat hidup, kecerdasan, dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia, guna
mewujudkan amanat yang terkandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan
ditegaskan kembali di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Apa yang ditetapkan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dijabarkan di dalam Repelita, dan secara operasional
setiap tahun diwujudkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang memadai serta
kestabilan nasional yang sehat dan dinamis, sebagai suatu rangkaian tak terpisahkan dari Trilogi
Pembangunan, tetap menjadi dasar kebijaksanaan bagi pengelolaan keuangan negara. Dengan
demikian penerimaan negara beserta pengalokasiannya kepada seluruh sektor pembangunan,
diarahkan kepada terwujudnya Trilogi Pemba.i1gunan tersebut secara optimal. Dalam
memelihara pengaruh APBN terhadap perkembangan moneter, khususnya terhadap
meningkatnya laju inflasi, keseimbangan antara penerimaan negara, dan pengeluaran negara
sebagai pelaksanaan prinsip-prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis, tetap
dipertahankan. Hal demikian merupakan salah satu upaya pemantapan stabilitas ekonomi, yang
berarti pula menjaga sendi-sendi kestabilan kehidupan masyarakat.

Kemajuan pembangunan nasional yang dilaksanakan sejak tahun 1969 itu tercermin
tidak hanya dari terus meningkatnya volume APBN. Beberapa indikator seperti bertambah
luasnya prasarana dan sarana seperti perhubungan, pendidikan, kesehatan serta penciptaan
lapangan kerja diseluruh pelosok tanah air telah ikut mendorong laju pertumbuhan, dan
memperluas usaha pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, sehingga menambah
kemantapan iklim perekonomian nasional secara menyeluruh dan terpadu. Hal demikian
sangatlah diperlukan untuk menjamin terus berlangsungnya pembangunan nasional secara
berkesinambungan. Meningkatnya taraf hidup, kecerdasan serta kesejahteraan seluruh rakyat,
sebagai tujuan utama dari pembangunan merupakan babagian yang tak dapat dipisahkan dari
ukuran keberhasilan pembangunan secara menyeluruh.

Departemen Keuangan RI 16
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Perkembangan volume APBN, hila dalam tabun pertama Pelita I jumlah penerimaan
baru sebesar Rp 334,7 milyar, maka dalam tabun terakhir Pelita III realisasinya telah meningkat
menjadi Rp 18.315,1 milyar, yang berarti meningkat sebesar hampir 55 kali lipat dalam jangka
waktu lima betas tahun. Bila dibandingkan dengan rencana anggaran penerimaan dalam
Repelita, maka realisasinya selalu melampaui rencana dalam setiap Repelita. Dalam Repelita I
dan II anggaran penerimaan yang direncanakan berjumlah Rp 2.463,0 milyar dan Rp 12.467,6
milyar, dalam realisasinya masing-masing mencapai jumlah sebesar Rp 3.283,2 milyar dan
Rp18.019,4 milyar, sehingga dengan demikian masing-masing melampaui rencananya sebesar
Rp 820,2 milyar dan Rp 5.551,8 milyar. Demikian pula rencana anggaran penerimaan dalam
Repelita III sebesar Rp 43.510,6 milyar ternyata dalam pelaksanaannya telah dilampaui sebesar
Rp 22.883,1 milyar, yaitu dengan realisasi penerimaannya sebesar Rp 66.393,7 milyar.

Dalam Repelita III anggaran yang direncanakan berimbang pada jumlah sebesar
Rp43.510,6 milyar, yang terdiri dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp 34.273,1 milyar, dan
penerimaan pembangunansebesar Rp 9.237,5 milyar, sedangkan pengeluaran negara terdiri dari
pengeluaran rutin sebesar Rp 21.661,2 milyar, dan pengeluaran pembangunan sebesar
Rp21.849,4 milyar. Di dalam pelaksanaannya selama lima tahun Pelita III, yakni dari tahun
1979/1980 sampai dengan tahun 1983/1984, realisasi penerimaan negara telah dapatn mencapai
Rp 66.393,7 milyar, terdiri dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp 55.987,4 milyar, dan
penerimaan pembangunan sebesar Rp 10.406,3 milyar. Dengan demikian dibandingkan dengan
rencananya, masing-masing lebih besar dengan Rp 21.714,3 milyar dan Rp 1.168,8 milyar.
Adapun pengeluaran rurin dan pengeluaran pembangunan dalam lima tahun pelaksanaan Pelita
III terse but dicapaijumlah sebesar Rp 32.247,5 milyar dan Rp 34.129,2 milyar, sehingga
masing-masing mengalami kenaikan sebesar Rp 10.586,3 milyar dan Rp 12.279,8 milyar dari
yang direncanakan.

Dibalik kemajuan tersebut, dalam beberapa tahun terakhir, berbagai tantangan dan
hambatan, telah mempengaruhi perkembangan APBN, khususnya di bidang penerimaan negara.
Perekonomian dunia yang dilanda krisis, dan berlangsung berkepanjangan telah memberikan
dampak yang kurang menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Adapun usaha untuk
memperkecil pengaruh yang di timbulkan resesi dunia tersebut, terutama untuk mengamankan
penerimaan negara melalui APBN, Pemerintah telah mengambil berbagai kebijaksanaan antara
lain berupa pembaharuan di bidang perpajakan, penyesuaian nilai tukar dollar Ametika terhadap
rupiah, penjadwalan kembali proyek-proyek, dan kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983.

Oleh sebab itu upaya peningkatan penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas

Departemen Keuangan RI 17
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

alam, seperti penerimaan dari sumber-sumber perpajakan, bea dan cukai, serta penerimaan
bukan pajak, telah dan akan terus dilaksanakan. Adanya potensi perpajakan yang masih besar
dalam masyarakat, yang berkembang sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi,
memerlukan penanganan dan pendayagunaan yang cermat dan secara berencana terus
dikembangkan agar tujuan mencapai kemandirian dalam pembiayaan pembangunan secara
bertahap dapat menjadi kenyataan. Untuk itu mulai akhir tahun anggaran 1983/1984 telah
diberlakukan beberapa undang-undang perpajakan yang baru dengan perbaikan secara
mendasar terhadap sistem perpajakan lama yang antara lain meliputi dasar pengenaan pajak,
tarip pajak serta tata cara pembayaran pajaknya. Dalam undang-undang perpajakan rang baru
tersebut, unsur-unsur kesederhanaan, pemerataan atau keadilan dan kepostian mendapat
pengaturan yang lebih sesuai dengan perkembangan pembangunan. Sebagai peralatan fiskal,
kebijaksanaan perpajakan diarahkan bukan saja untuk meningkatkan penerimaan negara, akan
tetapi juga dimaksudkan untuk menciptakan iklim yang memungkinkan terwujudnya beberapa
sasaran pembangunan nasional, seperti pemerataan pendapatan dan beban pembangunan,
perluasan kesempatan kerja, serta membantu terciptanya suasana yang lebih sesuai dengan pola
hidup sederhana. Iklim tersebut selanjutnya akan mendorong pertumbuhan industri dalam
negeri, perdagangan, kestabilan barga, serta menunjang upaya stabilisasi ekonomi nasional.
Dalam melaksanakan undang-undang perpajakan yang baru, diperlukan disiplin dari berbagai
pihak, baik dari pengelola pajak maupun dari masyarakat wajib pajak. Dalam hubungan ini
pembenahan aparatur perpajakan, baik yang menyangkut prosedur dan tata kerja administrasi
perpajakan, maupun peningkatan disiplin dan pembinaan mental aparat pemungut pajak, terus-
menerus dilaksanakan. Agar pelaksanaan undang-undang pajak dapat berjalan lancar telah dan
terus diadakan penyuluhan terhadap pengusaha, badan-badan usaha, asosiasi-asosiasi, serta para
wajib pajak pada umumnya. Selanjutnya agar penerimaan dan pengeluaran negara dapat diurus
secara efisien dan efektif, maka perlu ditingkatkan pengawasan, dan terus disempurnakan baik
tata cara pengelolaannya, maupun ketrampilan petugas yang bersangkutan. Kebijaksanaan yang
ditempuh untuk melaksanakan hal tersebut antara lain dengan meningkatkan efisiensi
penggunaan dana., serta mengarahkan kegiatan pembangunan pada proyek-proyek yang
berprioritas tinggi. Di sektor pengeluaran rutin, pengendalian dan penghematan dalam
menyelenggarakan kegiatan Pemerintah terus dilakukan. Pengurangan dan penghapusan
berbagai subsidi, sedikit demi sedikit telah dilaksanakan seiring dengan meningkatnya
perekonomian pada umumnya, tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan kesejahteraan dari
sebagian besar masyarakat, dan agar terdapat alokasi sumber-sumber ekonomi yang sehat.
Sementara itu pengeluaran pembangunan tetap diarahkan untuk membiayai proyek-proyek yang

Departemen Keuangan RI 18
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas, baik sarana maupun prasarana, guna
menumbuhkan seluruh sektor perekonomian masyarakat.

2.2. Pelaksanaan APBN 1984/1985 ( Semester I )

2.2.1. Ringkasan

Pelaksanaan APBN dalam tahun anggaran 1984/1985 ditandai oleh perkembangan


keadaan ekonomi nasional yang relatif lebih baik, dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Berbagai usaha dan langkah kebijaksanaan yang telah diambil, baik untuk memperkecil
pengaruh resesi dunia, maupun dalam rangka pemulihan perekonomian di dalam negeri, pada
hakekatnya memerlukan penyesuaian sikap, dan kerja keras, baik dari masyarakat, khususnya
dunia usaha, maupun segenap aparat negara, khususnya aparat penge1ola keuangan negara.
Se1ama semester I tahun anggaran 1984/1985, realisasi penerimaan dan pengeluaran negara
masing-masing dapat mencapai Rp 8.546,6 milyar dan Rp 8.540,4 milyar, yang berarti masing-
masing meningkat dengan 6,7 persen bila dibandingkan dengan realisasinya dalam periode
yang sarna tahun anggaran sebe1umnya. Jumlah penerimaan dan pengeluaran negara dalam
semester I 1984/1985 tersebut berarti masing-masing mencapai 41,6 persen dan 41,5 persen
dari rencana APBN 1984/1985 yang berimbang pada jumlah Rp 20.560,4 milyar. Dalam
semester I 1984/1985, realisasi penerimaan dalam negeri mencapai jumlah sebesar Rp 7.390,6
milyar yang terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 4.971,8 milyar, dan
penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 2.418,8 milyar. Jumlah penerimaan
dalam negeri tersebut berarti 45,8 persen dari jumlah yang direncanakan dalam APBN
1984/1985. Apabila dibandingkan dengan penerimaan dalam negeri dalam semester I
1983/1984 sebesar Rp 6.372,7 milyar, maka te1ah terjadi kenaikan sebesar 16,0 persen.
Kenaikan tersebut terutama disebabkan karena meningkatnya penerimaan dari sektor minyak,
penerimaan cukai, dan penerimaan bukan pajak.

Kebijaksanaan penge1uaran rutin dalam tahun anggaran 1984/1985 diarahkan untuk


mencapai efisiensi dan efektivitas yang lebih tinggi, terutama dalam memberikan pe1ayanan
kepada masyarakat, serta merawat sarana dan prasarana hasil pembangunan. Adapun realisasi
pengeluaran rutin dalam semester I 1984/1985 mencapai Rp 4.295,9 milyar, yang berarti 42,5
persen dari penge1uaran rutin yang direncanakan dalam APBN 1984/1985. Dibandingkan
dengan pengeluaran rutin dalam semester I 1983/1984, terdapat peningkatan sebesar 19,1
persen.

Departemen Keuangan RI 19
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Meningkatnya kemampuan sumber-sumber dana dari dalam negeri guna membiayai


pembangunan nasional, terlihat dari meningkatnya tabungan Pemerintah yang merupakan
se1isih an tara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin. Dalam semester I 1984/1985
telah berhasil dihimpun tabungan Pemerintah sebesar Rp 3.094,7 milyar. Dibandingkan dengan
tabungan Pemerintah semester I 1983/1984 yang berjumlah sebesar Rp 2.764,3 milyar maka
terdapat peningkatan sebesar 12,0 persen. Realisasi penerimaan pembangunan yang bersumber
dari luar negeri dalam semester I 1984/1985 menunjukkan jumlah sebesar Rp 1.156,0 milyar.
Dana ini dibutuhkan guna menambah dana pembiayaan pembangunan agar sasaran
pembangunan dapat tercapai. Bila dibandingkan dengan penerimaan pembangunan dalam
semester I tahun sebe1umnya sebesar Rp 1.634,5 milyar, maka berarti terdapat penurunan
sebesar 29,3 persen. Penerimaan pembangunan bersama tabungan Pemerintah berjumlah
Rp3.094,7 milyar, membentuk dana pembangunan sebesar Rp 4.250,7 milyar pada semester I
1984/1985. Dalam semester I 1984/1985, realisasi pengeluaran pembangunan mencapai jumlah
sebesar Rp 4.244,5 milyar. Jumlah tersebut terdiri dari realisasi pembiayaan pembangunan
sektoral yang dilaksanakan oleh departemen/lembaga sebesar Rp 1.552,7 milyar, pembiayaan
pembangunan regional berupa bantuan pembangunan daerah (program Inpres) dan Ipeda
sebesar Rp 844,1 milyar, realisasi penge1uaran pembangunan lainnya sebesar Rp 714,9 milyar,
dan penge1uaran pembangunan dalam bentuk bantuan proyek sebesar Rp 1.132,8 milyar.
Dengan demikian dari dana pembangunan sebesar Rp 4.250,7 milyar tersebut te1ah digunakan
untuk membiayai penge1uaran pembangunan sebesar Rp 4.244,5 milyar.

2.2.2. Penerimaan dalam negeri

Dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan yang semakin meningkat dan meluas,
baik segi perencanaan maupun pelaksanaan operasionalnya, maka diperlukan tersedianya dana
pembangunan yang semakin meningkat pula. Sejalan dengan semakin ineningkatnya kebutuhan
dana pembangunan yang hams disediakan, upaya penyediaannya haruslah selalu diusahakan
terutama dari sumber dalam negeri. Dengan demikian pembangunan yang dilaksanakan untuk
se1anjutnya akan dapat lebih tumbuh dan berkembang di atas kemampuan sendiri. Sehubungan
dengan itu, upaya untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dalam tahun 1984/1985 terus
dilakukan seraya diarahkan untuk menunjang peningkatan produksi dan investasi, memperluas
kesempatan kerja, serta lebih mengusahakan pemerataan pembangunan dan pemeliharaan
kestabilan.

Dengan berbagai kebijaksanaan dan usaha yang te1ah dijalankan, maka dalam semester

Departemen Keuangan RI 20
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

I tahun anggaran 1984/1985 realisasi penerimaan dalam negeri mencapai jumlah sebesar
Rp7.390,6 milyar. Jumlah realisasi penerimaan dalam negeri semester I 1984/1985 tersebut
terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 4.971,8 milyar dan penerimaan
di luar minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 2.418,8 milyar. Realisasi penerimaan minyak
bumi dan gas alam dalam semester I 1984/1985 sebesar Rp 4.971,8 milyar tersebut adalah 48,0
persen dari yang direncanakan dalam APBN. Apabila dibandingkan dengan realisasi
penerimaan dalam semester I tahun sebe1umnya yang sebesar Rp 4.206,7 milyar, berarti
mengalami kenaikan sebesar Rp 765,1 milyar atau 18,2 persen. Peningkatan penerimaan ini
antara lain disebabkan oleh adanya penyesuaian nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah,
serta meningkatnya volume ekspor dari gas alam. Realisasi penerimaan di luar minyak bumi
dan gas alam sebesar Rp 2.418,8 milyar tersebut berarti telah mencapai 41,8 persen dari jumlah
seluruhnya yang direncanakan dalam APBN. Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam
tersebut telah meningkat sebesar Rp 252,8 milyar atau 11,7 persen hila dibandingkan dengan
realisasinya dalam semester I tahun 1983/1984 sebesar Rp 2.166,0 milyar. Adapun penerimaan
di luar minyak bumi dan gas alam terdiri dari penerimaan pajak penghasilan sebesar Rp 875,0
milyar, pajak penjualan sebesar Rp 272,2 miyar, pajak penjualan impor sebesar Rp 125,9
milyar, bea masuk sebesar Rp 276,5 milyar, cukai sebesar Rp 375,5 milyar, pajak ekspor
sebesar Rp 38,8 milyar, penerimaan Ipeda sebesar Rp 68,2 milyar, penerimaan pajak lainnya
sebesar Rp 33,5 milyar, dan penerimaan bukan pajak sebesar Rp 353,2 milyar. Langkah-
langkah kebijaksanaan yang diambil dalam rangka meningkatkan penerimaan negara di luar
minyak bumi dan gas alam antara lain berupa pelaksanaan undang-undang perpajakan yang
baru.

Undang-Undang Pajak Penghasilan tahun 1984 yang sudah berlaku sejak bulan Januari
1984 mengandung berbagai kebijaksanaan yang pada prinsipnya mendorong kegiatan dunia
usaha dan pembangunan nasional, dengan senantiasa berusaha untuk menciptakan iklim
perpajakan yang menjamin keadilan, pemerataan dan kepostian hukum. Upaya ke arah
pemungutan pajak yang lebih adil dan merata tercermin dengan semakin ringannya beban pajak
bagi golongan masyarakat berpendapatan rendah melalui peningkatan penghasilan tidak kena
pajak (PTKP). PTKP yang sebelumnya dikenal dengan istilah BPBP (batas pendapatan bebas
pajak), yang semula untuk satu keluarga terdiri dari suami, isteri, serta tiga orang anak adalah
sebesar Rp 1.050.000,- kini telah ditingkatkan menjadi Rp 2.880.000,-. Sedangkan lapisan kena
pajak, dan penggolongan tarip lebih sederhana, dan terdiri dari tiga lapisan tarip, yaitu 15
persen untuk penghasilan sampai dengan Rp 10 juta, 25 persen untuk penghasilan di atas Rp 10

Departemen Keuangan RI 21
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

juta sampai dengan Rp 50 juta, dan 35 persen untuk penghasilan di atas Rp 50 juta. Adapun
pengampunan pajak yang ditentukan sejak 18 April 1984 akan memberikan pengaruh positif
terhadap kejujutan dan keterbukaan wajib pajak, sehingga dengan pengampunan pajak terse but
diharapkan akan dapat memperluas jumlah wajib pajak. Pengampunan pajak diberikan atas
pendapatan yang diperoleh dalam tahun 1983, dan sebelumnya yang belum pernah, atau belum
sepenuhnya dikenakan atau dipungut pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan
berbagai kebijaksanaan dan usaha-usaha tersebut di atas, dalam semester I tahun anggaran
1984/1985 realisasi penerimaan pajak penghasilan telah mencapai Rp 875,0 milyar. Jumlah
terse but adalah 35,7 persen dari yang direncanakan dalam APBN.

Undang-Undang Pajak Penjualan 1951 sebenarnya tidak berlaku lagi setelah disah-
kannya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang semula direncanakan untuk diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1984. Tetapi
sehubungan dengan penundaan pelaksanaan Undang-Undang PPN 1984 tersebut hingga
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1986, maka Undang-Undang Pajak Penjualan 1951
masih berlaku hingga tanggal berlakunya undang-undang baru tersebut.

Dalam semester I 1984/1985, penerimaan pajak penjualan dan pajak penjualan impor
adalah sebesar Rp 272,2 milyar, dan Rp 125,9 milyar. Apabila dibandingkan dengan realisasi
penerimaan pajak penjualan dan pajak penjualan impor dalam semester I 1983/1984 yaitu
masing-masing sebesar Rp 252,7 milyar dan Rp 122,5 milyar, terlihat adanya.kenaikan sebesar
7,7 persen dan 2,8 persen.

Sejalan dengan kebijaksanaan umum di bidang perpajakan, kebijaksanaan di bidang


bea masuk di samping dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara, juga diarahkan
kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak, serta mendorong perkembangan industri
dalam negeri. Sehubungan dengan itu Pemerintah tetap memberikan keringanan tarip, maupun
beberapa pembebasan sebagian bea masuk atas sejumlah bahan baku dan barang-barang
tertentu, yang dimaksudkan untuk memelihara dan menunjang perkembangan industri di dalam
negeri. Dalam rangka menjamin kelancaran arus dokumen dan pengeluaran barang, telah pula
dilaksanakan penyempurnaan tala laksana pabean di bidang impor. Realisasi penerimaan bea
masuk dalam semester I tahun 1984/1985 mencapai Rp 276,5 milyar, yang berarti 40,6 persen
dari yang direncanakan dalam APBN. Bila dibandingkan dengan penerimaan bea masuk
semester I tahun anggaran sebelumnya sebesar Rp 267,3 milyar, maka terdapat kenaikan
sebesar 3,4 persen.

Realisasi penerimaan cukai dalam semester I 1984/1985 adalah sebesar Rp 375,5

Departemen Keuangan RI 22
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

milyar, yang berarti mencapai 51,6 persen dari yang direncanakan dalam APBN. Apabila
dibandingkan dengan realisasinya dalam periode yang sarna tahun anggaran sebelumnya yang
besamya Rp 334,4 milyar, berarti mengalami kenaikan sebesar 12,3 persen. Kenaikan ini
terutama berasal dari kenaikan penerimaan cukai tembakau dengan meningkatnya produksi
rokok.

Keadaan perekonomian yang masih belum sepenuhnya pulih dari resesi, membawa
pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap perkembangan harga barang-barang ekspor
non migas di posaran dunia. Di samping itu timbul pula hambatan yang dikenakan negara-
negara maju terhadap barang-barang ekspor negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, berupa
pembatasan (kuota) impor terbadap berbagaijenis komodiri. Hal tersebut telab berpengaruh
kepada volume maupun nilai ekspor Indonesia dalam semester I 1984/1985. Untuk me-
ningkatkan ekspor non migas di tengah perkembangan perekonomian dunia yang masih
lamban, Pemerintah telah menurunkan tarip pajak ekspor terhadap beberapa komoditi tertentu,
antara lain bauksit dan pekatannya. Sejalan dengan perkembangan tersebut, realisasi
penerimaan pajak ekspor untuk semester I 1984/1985 hanya mencapai sebesar Rp 38,8 milyar
atau 31,4 persen dari rencananya dalam APBN. Apabila dibandingkan dengan penerimaan yang
sarna dalam semester I tahun sebelumnya sebesar Rp50,6 milyar, berarti terdapat penurunan
sebesar 23,3 persen.

Penerimaan Ipeda dalam semester I tahun 1984/1985 adalah sebesar Rp 68,2 milyar,
yang berarti mengalami kenaikan sebesar 28,2 persen bila dibandingkan dengan penerimaan
dalam semester I tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 53,2 milyar. Upaya peningkatan
penerimaan jenis ini selalu diusahakan dengan lebih meningkatkan kualitas petugas pelaksana
melalui pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kepada masyarakat luas, sehingga dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar iuran tersebut.

Realisasi penerimaan pajak lainnya yang terdiri dari pajak kekayaan, bea meterai, dan
bea lelang, dalam semester I 1984/1985 mencapai Rp 33,5 milyar. Jumlah tersebut berarti 44,4
persen dari yang dianggarkan dalam APBN 1984/1985. Apabila dibandingkan dengan
realisasinya dalam semester I tahun sebelumnya sebesar Rp 23,6 milyar, berarti mengalami
kenaikan sebesar 41,9 persen.

Dalam semester I 1984/1985 penerimaan bukan pajak realisasinya mencapai Rp 353,2


milyar, atau 57,4 persen dari yang dianggarkan dalam APBN 1984/1985. Apabila dibandingkan
dengan realisasinya dalam semester I tahun sebelumnya sebesar Rp 205,5 milyar, maka terdapat
kenaikan sebesar Rp 147,7 milyar atau 71,9 persen. Penerirnaan bukan pajak terdiri dari

Departemen Keuangan RI 23
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

berbagai jenis penerimaan negara, antara lain berupa bagian Pemerintah atas laba perusahaan
negara, dan bank negara, serta berbagai jenis penerimaan departemen dan lembaga Pemerintah
lainnya, seperti iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), uang pendidikan, bea nikah dan akte
kelahiran pada catatan sipil, hasil penjualan barang milik negara, sewa rumah dinas, dan
sebagainya. Perbandingan penerimaan dalam negeri, semester I 1983/1984 dan 1984/1985
dapat dilihat dalam Tabel II.2

Tabel II.2
PENERIMAAN DALAM NEGERI, SEMESTER 1 1983/1984 DAN 1984/1985
(dalam milyar rupiah)
.Semester I Semester 11) Kenaikan /
1983/1984 1984/1985 Penurunan
Jems penerimaan (%)
Penerimaan minyak bumi dan
A. gas alam 4.206,70 4.971,80 18,2
Penerimaan di luar minyak
B. bumi dan gas alam 2.166,00 2.418,80 11,7
1. Pajak penghasilan 856,2 875 2,2
2. Pajak penjualan 252,7 272,2 7,7
3. Pajak penjualan impor 122,5 125,9 2,8
4. Bea masuk 267,3 276,5 3,4
5. Cukai 334,4 375,5 12,3
6. Pajak ekspor 50,6 38,8 -23,3
7. Ipeda 53,2 68,2 28,2
8. Pajak lainnya 23,6 33,5 41,9
9. Penerimaan bukan pajak 205,5 353,2 71,9
Jumlah 6.372,70 7.390,60 6,0

2.2.3. Penerimaan pembangunan

Untuk memungkinkan ekonomi nasional dapat tumbuh dan berkembang di atas kemampuannya
sendiri, penerimaan dalam negeri senantiasa diusahakan peningkatan dan peranannya di dalam
penyediaan dana pembangunan yang diperlukan. Namun upaya memobilisasikan dana
pembangunan tersebut harus diusahakan tidak melampaui kekuatan ekonomi yang ada. Oleh
karena itu dana yang berasal dari luar negeri masih diperlukan sebagai pelengkap untuk
membiayai berbagai kegiatan pembangunan. Penerimaan pembangunan, yaitu dalam bentuk
bantuan program dan bantuan proyek, dalam semester I 1984/1985 realisasinya masing-masing
sebesar Rp 23,2 milyar dan Rp 1.132,8 milyar. Pengelolaan sumber dana yang berasal dari luar
negeri tersebut senantiasa diarahkan seefisien mungkin untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan yang produktif dan berprioritas tinggi.

2.2.4. Pengeluaran rutin

Kebijaksanaan Pemerintah di bidang pengeluaran rutin tidak terlepos dari upaya untuk

Departemen Keuangan RI 24
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

meningkatkan tabungan Pemerintah, yang merupakan sumber utama bagi pembiayaan


pembangunan, di samping berhubungan erat dengan pengamanan dan pemeliharaan hasilhasil
pembangunan. Oleh sebab itu setiap kegiatan pengeluaran harus dipertimbangkan agar selalu
berlandaskan pada prinsip-prinsip hemat, tidak mewah, serta lebih efektif dan efisien sehingga
pelaksanaannya dapat lebih terarah dan terkendali. Dalam pedoman pelaksanaan APBN yang
tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 1984 dinyatakan bahwa pelaksanaan
APBN diarahkan kepada penggunaan kemampuan dan hasil produksi dalam negeri sejauh
mungkin, sebagai upaya untuk lebih mendorong peningkatan produksi dalam negeri. Seiring
dengan itu, dalam rangka meningkatkan kelancaran, dayaguna dan hasilguna serta pengamanan
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, telah ditetapkan pula Keputusan Presiden Nomor 30
tahun 1984 tentang Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah di
Departemen/Lembaga.

Dalam semester I 1984/1985, realisasi pengeluaran rutin diperkirakan mencapai jumlah


sebesar Rp 4.295,9 milyar, yang terdiri dari belanja pegawai sebesar Rp 1.602,3 milyar, belanja
barang sebesar Rp 406,9 milyar, subsidi daerah otonom sebesar Rp 913,0 milyar, pembayaran
bunga dan cicilan hutang sebesar Rp 1.238,1 milyar, dan lain-lain pengeluaran rutin sebesar
Rp135,6 milyar. Realisasi pengeluaran rutin sebesar Rp 4.295,9 milyar tersebut merupakan 42,5
persen dari rencananya dalam APBN 1984/1985 dan menunjukkan peningkatan sebesar 19,1
persen hila dibandingkan dengan semester I 1983/ 1984. Perkembangan realisasi pengeluaran
rutin dalam sem(.ster I 1984/1985 dapat diikuti dalam Tabel II.3 Realisasi belanja pegawai
sebesar Rp 1.602,3 milyar selama semester I 1984/1985 merupakan peningkatan sebesar 14,2
persen dari realisasi dalam semester I tahun sebelumnya, dan berarti pula telah menyerap 50,2
persen dari dana yang dianggarkan dalam APBN 1984/1985, Peningkatan re'alisasi belanja
pegawai ini antara lain sebagai akibat diberikannya kenaikan gaji sebesar 15 persen dari gaji
yang dibayarkan kepada pegawai negeri sipil/ ABRI dan pensiunan, Pemberian kenaikan gaji
itu sendiri merupakan langkah yang ditempuh Pemerintah dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan pegawai negeri sipil/ ABRI dan pensiunan, sehingga dapat bekerja lebih baik dan
dengan demikian akan meningkatkan produktivitas kerja. Kenaikan realisasi belanja pegawai
juga disebabkan meningkatnya realisasi tunjangan beras, dari Rp 137,7 milyar dalarn semester I
1983/1984 menjadi Rp 255,2 milyar dalarn semester I 1984/1985 yang berarti meningkat
sebesar 85,3 persen.

Departemen Keuangan RI 25
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel II.3 Tabel II.4


PENGELUARAN RUTIN, SEMESTER I 1983/1984 PENGELUARAN PEMBANGUNAN, SEMESTER I 1983/1984
DAN 1984/1985 DAN 1984/1985 1)
(dalam milyar rupiah) (dalam milyar rupiah)
Kenaikan Kenaikan
Jenis Pengeluaran 1983/84 1984/85 1) (%) Jenis pengeluaran 1983/84 1984/85 2) (%)
1. Belanja pegawai 1.402,90 1.602,30 14,2 1. Pembiayaan Departemen/Lembaga 1.609,40 1.552,70 -3,5
a. Tunjangan beras 137,7 255,2 85,3 a. Departemen/lembaga 1.369,70 1.348,90 -1,5
b. Gaji dan pensiun 1.051,30 1.123,70 6,9 b. H a n k a m 239,7 203,8 -15
c. Biaya makan (lauk pauk) 147,7 151 2,2 2. Pembiayaan bagi daerah 603,2 844,1 39,9
d. Lain-lain bel. peg. dalam negeri 42,7 41 -4 a. Bantuan pembangunan desa 24 92,8 286,7
e. Belanja pegawai luar negeri 23,5 31,4 33,6 b. Bantuan pembangunan kabupaten 30,1 194,2 545,2
2. Belanja barang 369,9 406,9 10 1) c. Bantuan pembangunan Dati I 59,7 57,7 -3,4
a. Dalam negeri 357,5 391,6 9,5 d. Bantuan sekolah dasar 330 311,1 -5,7
b. Luar negeri 12,4 15,3 23,4 e. SalaDa kesehatan / Puskesmas 9,1 21,5 136,3
3. Subsidi daerah otonom 722,7 913 26,3 f. Bantuan pembangunan dan pemugaran - 8,4 -
a. .Belanja pegawal 641,5 828,8 29,2 g. Bantuan penghijauan dan reboisasi 51,3 32,2 -37,2
b. Non belanja pegawai 81,2 84,2 3,7 h. Prasarana jalan 45 57,1 26,9
4. Bunga dan cicilan hutang 623 1.238,10 98,7 i. Pembangunan Timor Timur 0,8 0,9 12,5
a. Dalam negeri 0,9 0,4 -55,6 j. Ipeda 53,2 68,2 28,2
b. Luar negeri 622,1 1.237,70 99 3. Pembiayaan Lain-lain 548,6 714,9 30,3
5. Lain -lain 489,9 135,6 -72,3 a. Subsidi pupuk 176,2 237,3 34,7
a. Subsidi BBM 483,6 126,4 -73,9 b. Penyertaan modal pemerintah 197,6 260,6 31,9
b. Lain - lain 6,3 9,2 46 c. Lain - lain 174,8 217 24,1
Jumlah 3.608,40 4.295,90 19,1 Jumlah 2.761,20 3.111,70 12,7
1) Di luar bantuan proyek
1) Angka sementara 2) Angka sementara

Hal ini terutama disebabkan perhitungan harga beras untuk pegawai Degen, yang
semula Rp 327,-/kg dinaikkan menjadi Rp 366,-/kg sejak 1 April 1984. Se1anjutnya,
penyesuaian harga beras ini mempengaruhi pula pembayaran uang makan/lauk pauk. Agar
pe1aksanaan penge1uaran rutin dapat berjalan secara hemat dan efisien, penge1uaran untuk
belanja barang harus dilakukan secara selektif dan terkendali. Dengan berpedoman kepada
ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Keputusan Presiden Nomor 30 tahun 1984,
pe1aksanaan be1anja barang dalam semester I 1984/1985 mencapai jumlah sebesar Rp 406,9
milyar, yang berarti suatu kenaikan sebesar 10 persen dan realisasi dalam periode yang sama
tahun sebelumnya. Pengeluaran rutin untuk subsidi daerah otonom dalam semester I 1984/1985
mencapai jumlah sebesar Rp 913,0 milyar, yang berarti meningkat sebesar 26,3 persen
dibandingkan dengan semester I tahun sebelumnya. Kenaikan realisasi subsidi daerah otonom
ini disebabkan adanya kenaikan gaji pegawai daerah otonom sebesar 15 persen dari gaji yang
dibayarkan tahun sebe1umnya. Realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam semester
I 1984/1985 sebesar Rp 1.238,1 milyar terdiri dari pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam
negeri sebesar Rp 0,4 milyar, dan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
sebesar Rp 1.237,7 milyar. Bila dibandingkan dengan realisasi dalam semester I 1983/1984
terdapat kenaikan sebesar Rp 615,1 milyar. Lain-lain pengeluaran rutin, yang antara lain
menampung pengeluaran untuk subsidi bahan bakar minyak, penggantian biaya pengiriman
surat dinas bebas porto, biaya giro pos dan lain-lain, se1ama semester I 1984/1985 mencapai
realisasi sebesar Rp 135,6 milyar, yang berarti 72,3 persen lebih rendah dibandingkan dengan
realisasi dalam semester I 1983/1984. Hal ini disebabkan terutama oleh lebih rendahnya
realisasi subsidi bahan bakar minyak.

Departemen Keuangan RI 26
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

2.2.5. Tabungan Pemerintah

Usaha untuk meningkatkan tabungan Pemerintah, yang merupakan sumber utarna bagi
pembiayaan pembangunan, dilakukan dengan meningkatkan jumlah penerimaan dalam negeri
bersamaaan dengan penghematan dalam pengeluaran rutin. Upaya peningkatan penerimaan
dalarn negeri ditempuh antara lain dengan penyempurnaan perundang-undangan pajak,
intensifikasi dan extensifikasi pungutan pajak, penyempurnaan administrasi serta pembenahan
aparatur perpajakan, sedang di bidang penge1uaran rutin antara lain dengan jalan
menyempurnakan pedoman pe1aksanaan APBN di samping peningkatan mutu aparat
pe1aksanaannya. Selama semester I 1984/1985 te1ah berhasil dihimpun tabungan Pemerintah
sebesar Rp 3.094,7 milyar, yang berarti telah mencapai 51,2 persen dan yang direncanakan
dalam APBN 1984/1985. Bila dibandingkan dengan realisasi dalam semester I 1983/1984,
jumlah tersebut menunjukkan peningkatan sebesar Rp 330,4 milyar atau 11,9 persen.

2.2.6. Pengeluaran pembangunan

Berbagai langkah dan kebijaksanaan yang telah diambil Pemerintah selama


pelaksanaan Repelita I, II dan III, telah meletakkan landasan yang lebih kuat bagi pelaksanaan
Repelita IV. Dalam tahun anggaran 1984/1985, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan
Repelita IV, kebijaksanaan yang dijalankan berkenaan dengan pelaksanaan anggaran telah
dituangkan dalam Keputusan PresideD Nomor 29 tahun 1984 tentang Pelaksanaan APBN.
Dengan tetap berlandaskan pada Trilogi Pembangunan, serta selalu berpedoman kepada
Keputusan Presiden tersebut diatas, pelaksanaan pengeluaran pembangunan selama semester I
1984/1985 mencapai jumlah sebesar Rp 4.244,5 milyar. Jumlah tersebut meliputi pembiayaan
rupiah sebesar Rp 3.111,7 milyar, dan pengeluaran pembangunan dalam bentuk bantuan proyek
sebesar Rp 1.132,8 milyar. Pengeluaran pembangunan berupa pembiayaan rupiah sebesar
Rp3.111,7 milyar tersebut terdiri dari pengeluaran pembangunan untuk proyek-proyek sektoral
yang dikelola departemen/lembaga sebesar Rp 1.552,7 milyar, pengeluaran pembangunan bagi
daerah sebesar Rp 844,1 milyar, dan sisanya berupa pengeluaran pembangunan lainnya sebesar
Rp 714,9 milyar. Pengeluaran pembangunan bempa pembiayaan pembangunan bagi daerah
merupakan bantuan yang diberikan Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah untuk
menjalankan pembangunan yang meliputi program-program Inpres, Ipeda dan pembiayaan bagi
Timor Timur. Selama semester I 1984/1985, telah berhasil direalisasikan bantuan sebesar

Departemen Keuangan RI 27
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Rp844,1 milyar, yang berarti telah menyerap sebesar 55,7 persen dari dana yang direncanakan
dalam tahun 1984/1985. Jumlah tersebut meliputi pembiayaan bagi program bantuan
pembangunan desa sebesar Rp 92,8 milyar, bantuan pembangunan kabupaten sebesar Rp 194,2
milyar, dan bantu.an pembangunan Dati I sebesar Rp 57,7 milyar. Di samping itu jumlah
tersebut juga meliputi program bantuan pembangunan sekolah dasar sebesar Rp 311,1 milyar,
sarana kesehatan/Puskesmas sebesar Rp 21,5 milyar, bantuan pembangunan posar sebesar
Rp8,4 milyar, bantuan penghijauan dan reboisasi sebesar Rp 32,2 milyar, serta bantuan bagi
prasarana jalan sebesar Rp 57,1 milyar. Selebihnya adalah realisasi program bantuan
pembangunan Timor Timur sebesar Rp 0,9 milyar, dan program pembangunan dengan dana
Ipeda sebesar Rp 68,2 milyar.

Realisasi bantuan pembangunan desa dan bantuan pembangunan kabupaten masing-


masing sebesar Rp 92,8 milyar dan Rp 194,2 milyar dalam semester I 1984/1985 merupakan
realisasi dari anggaran yang disediakan dalam tahun anggaran 1984/1985. Bantuan
pembangunan Dati I, yang diberikan dalam rangka meningkatkan keselarasan pembangunan
sektoral dan regional, meratakan hasil-hasil pembangunan, serta meningkatkan partisiposi
daerah dalam pembangunan, dalam semester I 1984/1985 telah direalisasikan sebesar Rp 57,7
milyar yang berarti 3,4 persen di bawah realisasi semester I 1983/1984. Demikian pula halnya
dengan program pembangunan sekolah dasar, realisasinya menunjukkan penurunan sebesar 5,7
persen dibandingkan dengan semester I tahun lalu. Tetapi realisasi sebesar Rp 311,1 milyar ini
telah menyerap dana sebesar 53,6 persen dari yang direneanakan dalam tahun 1984/1985.
Realisasi program-program pembangunan sarana kesehatan/Puskesmas, prasarana jalan dan
program pembangunan Timor Timur dalam semester I 1984/1985 telah menunjukkan
peningkatan dibandingkan dengan realisasi dalam periode yang sarna tahun sebelumnya. Begitu
pula halnya dengan pengeluaran pembangunan dengan dana Ipeda, realisasinya sebesar Rp 68,2
milyar dalam semester I 1984/1985 menunjukkan peningkatan sebesar 28,2 persen bila
dibandingkan dengan realisasi dalam semester I tahun sebelumnya. Bantuan pembangunan dan
pemugaran pasar, yang diberikan Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah dalam rangka
melindungi para pedagang kecil golongan ekonomi lemah, dalam semester I 1984/1985 telah
direalisasikan sebesar Rp 8,4 milyar, sedangkan bantuan penghijauan dan reboisasi yang
bertujuan untuk menyelamatkan kelestarian sumber-sumber alam, dalam waktu yang bersamaan
telah direalisasikan sebesar Rp 32,2 milyar. Pengeluaran pembangunan lainnya, yang terdiri
dari subsidi pupuk, penyertaan modal Pemerintah dan lain-lain pembangunan, dalam semester I
1984/1985 telah direalisasikan masing-masing sebesar Rp 237,3 milyar, Rp 260,6 milyar, dan

Departemen Keuangan RI 28
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Rp 217,0 milyar. Dibandingkan dengan semester I 1983/1984, realisasi tersebut menunjukkan


peningkatan masingmasing sebesar 34,7 persen, 31,9 persen dan 24,1 persen. Pengeluaran
pembangunan dalam rangka penyertaan modal Pemerintah antara lain dipakai untuk
pembiayaan PT Dok Perkapalan Tanjung Priok, PT GIA/Cengkareng, PT PINDAD, PT Industri
Mesin Produksi Indonesia (IMPI) dan PT PAL Indonesia. Sedangkan pengeluaran
pembangunan lainnya terutama digunakan untuk meningkatkan pelaksanaan program keluarga
berencana, pengembangan statistik, sertifikat ekspor, lingkungan hidup, proyek sumber daya
laut dan lain-lainnya. Perbandingan antara realisasi pengeluaran pembangunan di luar bantuan
proyek dalam semester I 1984/1985 dengan semester I 1983/1984 ditunjukkan dalam Tabel
II.4.

2.3 Rencana APBN 1985/1986

Berbagai program dan proyek pembangunan yang disusun dalam reneana APBN
1985/1986 merupakan pelaksanaan operasional tahun kedua Reneana Pembangunan Lima
Tahun keempat (Repelita IV). Seperti halnya pada tahun-tahun yang lampau, landasan
kebijaksanaan raneangan APBN 1985/1986 tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yakni
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju tercapainya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat, pertumbuhan ekonomi yang eukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis. Demikian pula prinsip-prinsip anggaran berimbang yang dinamis tetap pula
dipertahankan dalam penyusunan rancangan APBN 1985/1986.

Situasi perekonomian intemasional yang belum sepenuhnya pulih dari resesi, malah
ditandai dengan mulai melambannya kembali pertumbuhan ekonomi negara-negara industri,
rendahnya permintaan akan komoditi-komoditi ekspor dari negara-negara sedang berkembang,
serta meningkatnya langkah-langkah proteksionisme dari negara-negara maju, telah
mempengaruhi perkembangan perekonomian negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Demikian pula posaran dan harga minyak bumi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan
keadaan labil, yaitu sejak diberlakukannya kuota produksi sebesar 1,3 juta barrel pada bulan
April 1982, dan penurunan harga minyak dari US $ 34,00 menjadi US $ 29,00 pada tanggal14
Maret 1983. Dari keadaan tersebut diperkirakan masa-masa sulit sebagai akibat dari resesi
ekonomi dunia dan perkembangan harga minyak bumi masih akan dirasakan dalam tahun
anggaran 1985/1986. Di bidang keuangan negara, akan tetap dilaksanakan berbagai langkah
kebijaksanaan untuk meningkatkan efisiensi dan penghematan, serta mengarahkan penggunaan

Departemen Keuangan RI 29
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

keuangan negara untuk bidang-bidang yang mempunyai prioritas yang tinggi. Di samping itu,
dengan pembaharuan-pembaharuan di bidang perpajakan, diharapkan penerimaan dalam negeri
di luar minyak bumi dan gas alam akan dapat lebih ditingkatkan.

Dalam tahun 1985/1986, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara direncanakan


berimbang pada jumlah sebesar Rp..23.046,0 milyar. Di sisi penerimaan negara, jumlah
tersebut terdiri dari penerimaan minyak bumi dan gas alam, dan penerimaan di luar minyak
bumi dan gas alam, yang masing-masing direncanakan sebesar Rp 11.159,7 milyar dan
Rp7.518,2 milyar, serta penerimaan pembangunan yang direncanakan sebesar Rp 4.368,1
milyar. Di sisi pengeluaran negara, jumlah tersebut terdiri dari pengeluaran rutin dan penge-
luaran pembangunan yang ,masing-masing direncanakan sebesar Rp 12.399,0 milyar dan
Rp10.647,0 milyar. Dengan demikian tabungan Pemerintah yang direncanakan adalah sebesar
Rp 6.278,9 milyar. Tabungan Pemerintah tersebut bersama-sama dengan penerimaan
pembangunan akan membentuk dana pembangunan yang direncanakan akan mencapai
Rp10.647,0 milyar. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai berbagai jenis pengeluaran
pembangunan sektoral yang dilaksanakan oleh Departemen/Lembaga Negara sebesar
Rp3.644,3 milyar, pembangunan regional berupa proyek-proyek Inpres, dana Ipeda, serta
bantuan pembangunan Timor Timur sebesar Rp 1.643,5 milyar, dan berbagai pembiayaan
pembangunan lainnya seperti penyertaan modal Pemerintah, subsidi pupuk, dan lain-lain
pengeluaran yang seluruhnya direncanakan berjumlah sebesar Rp 1.062,0 milyar. Dalam
pengeluaran pembangunan termasuk didalamnya pengeluaran pembangunan dalam bentuk
bantuan proyek yang direncanakan 3ebesar Rp 4.297,2 milyar.

2.3.1. Penerimaan dalam negeri

Kebijaksanaan untuk menciptakan landasan yang kuat guna mempercepat proses


pembangunan yang selama ini dijalankan, pada hakekatnya mempunyai arah dan tujuan untuk
meningkatkan penerimaan dalam negeri terutama dari sumber-sumber di luar minyak bumi dan
gas alam. Dengan kebijaksanaan ini Pemerintah bukan saja berupaya untuk lebih
menyeimbangkan struktur penerimaan negara yang sebagian besar masih tergantung pada
penerimaan dari minyak bumi dan gas alam, akan tetapi juga berusaha-untuk meningkatkan
rasa keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan melalui bidang perpajakan. Langkah-
Iangkah umuk menegakkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan, khususnya melalui
usaha peningkatan penerimaan dalam negeri di luar minyak, telah dilaksanakan ketika
memasuki tahun awal Pelita IV, yakni dengan disahkannya beberapa undang-undang

Departemen Keuangan RI 30
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

perpajakan baru sebagai penggami dari undang-undang perpajakan lama warisan kolonial yang
dirasakan telah tidak sesuai lagi dengan alam dan gerak pembangunan sekarang ini. Undang-
Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta Undang-Undang temang
Pajak penghasilan telah diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1984, sedangkan Undang-Undang
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak penjualan atas Barang Mewah
direncanakan akan berlaku pada tanggal 1 April 1985. Berlainan dengan undang-undang
perpajakan yang lama yang mempunyai sistem, prosedur dan penaripan yang rumit, undang-
undang perpajakan yang baru lebih mencerminkan kesederhanaan serta lebih mendorong
pemerataan dan memberikan kepostian hukum. Di samping undang-undang perpajakan
tersebut, kini tengah dipersiapkan beberapa rancangan undang-undang, antara lain mengenai
pabean, pajak kekayaan, dan iuran pembangunan daerah, guna lebih memantapkan peningkatan
penerimaan di dalam negeri.

Sejak berlakunya undang-undang perpajakan yang baru, berbagai perubahan dalam


teknis pelaksanaan pemungutan pajak telah pula dilaksanakan.. Hal itu meliputi perubahan-
perubahan prosedur dan administrasi perpajakan, pembaharuan bemuk-bentuk formulir, serta
pendataan dan pemberian nomor pokok wajib pajak (NPWP) sesuai dengan perundang-
undangan yang baru. Sejalan dengan itu, telah pula dilaksanakan penataran untuk seluruh aparat
perpajakan, baik untuk meningkatkan pengetahuan teknis di lapangan, maupun umuk
meningkatkan disiplin serta mental aparat perpajakan. Akan tetapi usaha tersebut akan kurang
bermanfaat tanpa keikutsertaan serta kesadaran .dari seluruh wajib pajak. Untuk itu
penyuluhan-penyuluhan juga telah diberikan kepada wajib pajak guna meningkatkan kesadaran,
serta pemahaman tentang arti pentingnya undang-undang perpajakan tersebut dalam era
pembangun. Namun Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa pembinaan yang dilakukan, baik
terhadap aparat perpajakan maupun para wajib pajak, memerlukan waktu umuk mencapai
mekanisme yang diinginkan oleh undang-undang perpajakan yang baru, terutama dalam
tujuannya meningkatkan peranan penerimaan dalam negeri di luar minyak bumi dan gas alam
sebagai sumber utama penerimaan negara.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1985/1986,


penerimaan dalam negeri direncanakan mencapai Rp 18.677,9 milyar, yang terdiri dari
penerimaan minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 11.159,7 milyar dan penerimaan di luar
minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 7.518,2 milyar. Perkembangan penerimaan dalam negeri
sejak 1969/1970 sampai dengan 1985/1986 dapat dilihat pada Tabel II.6

Departemen Keuangan RI 31
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabe1 II. 6
PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1969/1970 -1985/1986
( dalam milyar rupiah)
Kenaikan
Tahun anggaran Jumlah Jumlah Persentase
PELITA I
1969/1970 243,7
1970/1971 344,6 100,9 41,4
1971/1972 428 83,4 24,2
1972/1973 590,6 162,6 38
1973/1974 967,7 377,1 63,9
PELITA II
1974/1975 1.753,70 786 81,2
1975/1976 2.241,90 488,2 27,8
1976/1977 2.906,00 664,1 29,6
1977/1978 3.535,40 629,4 21,7
1978/1979 4.266,10 730,7 20,7
PELITA III
1979/1980 6.696,80 2.430,70 57
1980/1981 10.227,00 3.530,20 52,7
1981/1982 12.212,60 1.985,60 19,4
1982/1983 12.418,30 205,7 1,7
1983/1984 14.432,70 2.014,40 16,2
PELITA IV
1984/19851) 16.149,40 1.716,70 11,9
1985/19862) 18.677,90 2.528,50 15,7
1) APBN
2) RAPBN

2.3.1.1. Penerimaan minyak bumi dan gas alam

Dari keseluruhan penerirnaan negara yang bersurnber dari dalam negeri, penerimaan
yang berasal dari sektor minyak bumi dan gas alam masih tetap merupakan sumber penerimaan
yang penting dalam tahun 1985/1986. Namun demikian, melihat perkembangan harga dan
permintaan minyak mentah di posaran dunia yang masih diliputi kelesuan akibat keadaan
perekonomian negara-negara industri yang belum sepenuhnya bangkit dari kemelut resesi,
penerimaan dari sektor ini tidak dapat diharapkan akan mengalami lonjakan yang besar seperti
yang terjadi dalam Pelita II dan permulaan Pelita III. Adapun penerimaan dari sektor gas alam
(LNG) diperkirakan mengalami kenaikan. Gas alam yang rnerupakan salah satu sumber energi
alternatip bagi industri-industri besar sebagai pengganti minyak bumi, dalam masa.masa
terakhir ini menghadapi permintaan yang meningkat dengan cukup berarti. Pembatasan
produksi yang disepakati bersama oleh negara-negara anggota OPEC baru-baru ini diharapkan
akan membawa pengaruh yang positif terhadap perkembangan tingkat harga minyak mentah di
posaran dunia. Dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1985/1986
penerimaan rninyak bumi dan gas alarn direncanakan sebesar Rp 11.159,7 milyar. Apabila

Departemen Keuangan RI 32
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

penerimaan minyak bumi dan gas alam tersebut dibandingkan dengan rencana dalam APBN
tahun 1984/1985 yang berjumlah Rp 10.366,6 milyar, berarti terdapat peningkatan sebesar
Rp793,1 rnilyar atau 7,7 persen. Penerimaan rninyak bumi dan gas alam tersebut terdiri dari
penerimaan minyak bumi yang direncanakan sebesar Rp 9.479,6 milyar, dan penerirnaan gas
alam sebesar Rp 1.680,1 milyar. Perkembangan penerimaan pajak penghasilan rninyak bumi
dan gas alam sejak tahun 1969/1970 sampai dengan tahun 1985/1986 dapat dilihat dalam Tabel
II.7.

Tabel II. 7
PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1969/1970 -1985/1986
( dalam milyar rupiah )

Pajak penghasilan Penerimaan


Kenaikan
Tahun anggaran minyak bumi minyak Jumlah
dan gas alam lainnya Jumlah Persentase
PELITA I
1969/1970 48,3 17,5 65,8
1970/1971 68,8 30,4 99,2 33,4 50,8
1971/1972 112,5 28,2 140,7 41,5 41,8
1972/1973 198,9 31,6 230,5 89,8 63,8
1973/1974 344,6 37,6 382,2 151,7 65,8
PELITA II
1974/1975 973,1 -15,9 957,2 575 150,4
1975/1976 1.249,10 -1,1 1.248,00 290,8 30,4
1976/1977 1.619,40 15,9 1.635,30 387,3 31
1977/1978 1.948,70 - 1.948,70 313,4 19,2
1978/1979 2.308,70 - 2.308,70 360 .+ 18,5
PELITA III
1979/1980 4.259,60 - 4.259,60 1.950,90 84,5
1980/1981 7.019,60 - 7.019,60 2.760,00 64,8
1981/1982 8.627,80 - 8.627,80 1.608,20 22,9
1982/1983 8.170,40 - 8.170,40 -457,4 -5,3
1983/1984 9.520,20 - 9.520,20 1.349,80 16,5
PELITA IV
1984/1985 1) 10.366,60 - 10.366,60 846,4 8,9
.
1985/1986 2) 11.159,70 - 11.159,70 793,1 7,7
1) APBN
2) RAPBN

2.3.1.2. Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam

Untuk membiayai pelaksanaan pembangunan yang sernakin meningkat dalam Pelita


IV, Pemerintah tidak lagi sepenuhnya dapat bertumpu pada penerimaan yang berasal dari
minyak bumi dan gas alam. Menyadari hat tersebut, upaya peningkatan penerimaan negara di
luar minyak bumi dan gas alam, baik pajak langsung maupun tidak langsung, merupakan suatu
langkah keharusan bagi berhasilnya pembangunan yang akan dilaksanakan untuk waktu-waktu
mendatang, khususnya pada tahun kedua pelaksanaan Pelita IV ini.

Departemen Keuangan RI 33
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Sebagai tindak lanjut ditetapkannya beberapa undang-undang perpajakan baru, sejak


18 April 1984 diambil pula kebijaksanaan untuk memberi pengampunan pajak. Kebijaksanaan
ini tiada lain dimaksudkan untuk menunjang dan melengkapi pelaksanaan sistem perpajakan
yang baru, dengan jalan menciptakan pangkal tolak yang bersih yang berlandaskan pada
kejujutan dan keterbukaan dari masyarakat. Pengampunan pajak ini diberikan kepada wajib
pajak perorangan atau badan, dengan nama dan dalam bentuk apapun baik yang telah maupun
yang belum terdaftar sebagai wajib pajak. Untuk itu atas pendapatan yang diperoleh dalam
tahun 1983 dan sebelumnya dan kekayaan yang dimiliki pada 1 Januari 1984 dan sebelumnya,
yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan pajak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, diberikan pengampunan pajak. Pengampunan ini juga
diberikan terhadap pajak perseroan atas laba yang diperoleh dalam tahun 1983 dan sebelumnya,
pajak atas bunga, dividen, dan royalty (PBOR) yang terhutang atas bunga, dividen, dan royalty
yang dibayarkan atau disediakan untuk dibayarkan sampai dengan 31 Oesember 1983, serta
terhadap MPO wapu yang terhutang dalam tahun 1983 dan sebelumnya. Sementara itu terhadap
pajak pendapatan buruh yang terhutang dalam tahun pajak 1983 dan sebelumnya, serta terhadap
pajak penjualan yang terhutang dalam tahun 1983 dan sebelumnya, juga diberikan
pengampunan pajak. Terhadap pajak-pajak yang belum pernah atau belum sepenuhnya
dikenakan atau dipungut yang dimintakan pengampunan pajak, dikenakan tebusan dengan tarip
1 persen dan 10 persen dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah
pajak yang dimintakan pengampunan. Di samping itu kepada wajib pajak yang mengajukan
permintaan pengampunan pajak akan dibebaskan dari pengusutan fiskal, dan laporan tentang
kekayaannya tidak akan dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana dalam bentuk
apapun. Untuk memberi peluang agar wajib pajak memperoleh informasi lebih jelas dan
mempunyai waktu cukup untuk mengisi laporan kekayaannya, maka batas waktu pengampunan
pajak diperpanjang dari akhir Desember 1984 menjadi 30 Juni 1985.

Upaya yang dilakukan Pemerintah di bidang penerimaan negara di luar minyak bumi
dan gas alam tersebut di samping diarahkan bagi peningkatan pendapatan negara juga
diusahakan agar lebih dapat menciptakan iklim dan gairah usaha dalam negeri, melancarkan
perdagangan dalam dan luar negeri, melindungi barang-barang yang sudah dapat diproduksi di
dalam negeri, meningkatkan diversifikasi ekspor, melindungi golongan ekonomi lemah,
menciptakan suasana pola hidup sederhana, sehingga dapat lebih menjamin pemerataan
pendapatan. Selanjutnya untuk lebih mendorong tumbuhnya industri dalam negeri, serta untuk
lebih meningkatkan dampak positif di bidang ekonomi dari sistem perpajakan nasional, maka

Departemen Keuangan RI 34
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sejak 9 Agustus 1984 telah ditetapkan tarip penyusutan baru yang lebih tinggi. Penyusutan yang
lebih tinggi tersebut diberikan antara lain kepada mesin-mesin pertanian, mesin-mesin yang
mengolah produk asal binatang atau nabati, mesin-mesin tekstil dan lainnya. Tarip penyusutan
yang dipercepat tersebut diharapkan akan merangsang tumbuhnya investasi baru yang
selanjutnya akan memperkokoh kemandirian perekonomian nasional. Di dalam RAPBN tahun
1985/1986, penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas alam terbagi atas penerimaan pajak
penghasilan, penerimaan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas
barang mewah, penerimaan bea masuk, penerimaan cukai, penerimaan pajak ekspor,
penerimaan Ipeda, penerimaan pajak lainnya, dan penerimaan bukan pajak.

Di dalam perkembangannya, penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas :rlam
senantiasa menunjukkan adanya peningkatan sejalan dengansemakin baiknya pengelolaan
keuangan negara, serta semakin meningkatnya partisiposi masyarakat di dalam pembangunan.
Apabila dalam tahun 1969/1970, yaitu tahun pertama Pelita I, besarnya penerimaan ini baru
mencapai Rp 177,9 milyar: maka dalam tahun terakhir Pelita III, yaitu tahun 1983/1984, jumlah
tersebut telah meningkat menjadi Rp 4.912,5 milyar, atau suatu kenaikan lebih dari 27 kali.
Mengingat perkembangan perekonomian, serta dengan memperhitungkan pengelolaan sistem
perpajakan yang semakin baik, atas dasar undang-undang perpajakan yang bam beserta
kelengkapannya, maka penerimaan negara di luar minyak bumi dan gas alam untuk tahun
1985/1986 direncanakan sebesar Rp 7.518,2 milyar. Penerimaan ini terdiri dari penerimaan
pajak penghasilan sebesar Rp 3.074,0 milyar, yakni pajak penghasilan perseorangan sebesar
Rp797,3 milyar dan pajak penghasilan badan sebesar Rp 2.276,7 milyar, penerimaan pajak
pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebesar Rp 1.666,4
milyar, bea masuk sebesar Rp 717,1 milyar, cukai sebesar Rp 963,3 milyar, pajak ekspor
sebesar Rp 101,7 milyar, Ipeda sebesar Rp 167,4 milyar, pajak lainnya sebesar Rp 96,4 milyar,
dan penerimaan bukan pajak sebesar Rp 731,9 milyar. Apabila dibandingkan dengan
penerimaan tahun sebelumnya, yaitu tahun 1984/ 1985, penerimaan di luar minyak bumi dan
gas alam tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp 1.735,4 milyar atau 30,0 persen.
Perkembangan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam sejak tahun 1969/1970 sampai
tahun 1985/1986 dapat dilihat pada Tabel II.8.

Departemen Keuangan RI 35
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel II. 8
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1969/1970 -
1985/1986
(dalam milyar rupiah)

Kenaikan
Tahun anggaran Jumlah Jumlah Persentase
PELITA I
1969/1970 177,9
1970/1971 245,4 67,5 37,9
1971/1972 287,3 41,9 17,1
1972/1973 360,1 72,8 25,3
1973/1974 585,5 225,4 62,6
PELITA II
1974/1975 796,5 211 36
1975/1976 993,9 197,4 24,8
1976/1977 1.270,70 276,8 27,8
1977/1978 1.586,70 316 24,9
1978/1979 1.957,40 370,7 23,4
PELITA III
1979/1980 2.437,20 479,8 24,5
1980/1981 3.207,40 770,2 31,6
1981/1982 3.584,80 t377,4 11,8
1982/1983 4.247,90 663,1 18,5
1983/1984 4.912,50 664,6 15,6
PELITA IV
1984/1985 1) 5.782,80 870,3 17,7
1985/1986 2) 7.518,20 1.735,40 30
1) APBN
2) RAPBN

Berlakunya Undang-Undang Pajak Penghasilan sejak 1 Januari 1984 yang


menggantikan Undang-Undang Pajak Pendapatan 1944, Undang-Undang Pajak Perseroan 1925,
Undang-Undang PBDR 1970 dan Un dang-Un dang No.8 Tahun 1967 tentang MPO/MPS,
diharapkan akan menciptakan iklim dan gairah usaha yang lebih baik yang akan mendorang
kegiatan Junia usaha dan perekonomian nasional umumnya. Hal ini pada gilirannya akan
meningkatkan penerimaan pajak sehingga memperkokoh kemandirian dalam penyediaan
sumber dana yang dibutuhkan oleh pembangunan. Dengan undang-undang pajak penghasilan
ini diharapkan akan lebih diwujudkan prinsip kesederhanaan, prinsip kepostian dan prinsip
pemerataan, yang berarti di samping ditujukan bagi penambahan pengumpulan dana sebesar-
besarnya, undang-undang ini juga dimaksudkan untuk menciptakan suasana kehidupan dan
berusaha yang lebih adil dan merata dalam kepostian hukum yang berlaku. Kesederhanaan
daripada tarip pajak, yang hanya terdiri atas tiga tingkat dan tarip rata-rata yang lebih rendah
dari tarip rata-rata dalam undang-undang perpajakan sebelumnya, diharapkan akan lebih
merangsang para wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak. Di
samping itu lebih luasnya dasar pengenaan pajak, terutama dengan dimasukkannya semua jenis
pendapatan ke dalam dasar pengenaan pajak, diwajibkan kepada pegawai negeri untuk mengisi

Departemen Keuangan RI 36
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

surat pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan, serta dihapuskannya segala bentuk fasilitas dan
pembebasan pajak, diharapkan akan semakin memperluas potensi penerimaan pajak ini.
Sebagai perwujudan dari pemerataan pendapatan dan beban pembangunan, agar perkembangan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai selama ini dapat dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat, walaupun tarip pajak lebih rendah serta lebih sederhana, unsur
progresivitas tidaklah diabaikan akan tetapi sekaligus dilaksanakan untuk pengumpulan dana
bagi pembangunan. Tarip pajak tersebut adalah sebesar 15 persen, 25 persen dan 35 persen,
masing-masing untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 10 juta, antara Rp 10 juta
sampai Rp 50 juta, dan lebih dari Rp 50 juta. Di samping itu lebih tingginya batas pendapatan
tidak kena pajak (PTKP) dari batas pendapatan bebas pajak (BPBP) yang dulu terdapat dalam
sistem perpajakan yang lama, diharapkan dapat lebih melindungi golongan ekonomi lemah dan
masyarakat yang berpendapatan rendah .

Penerimaan pajak penghasilan perseorangan dalam RAPBN tahun 1985/1986


direncanakan meningkat dari tahun sebelumnya. Kalau dalam APBN 1984/1985 penerimaan
pajak penghasilan perseorangan aclalah sebesar Rp 577,6 milyar, maka dalam RAPBN tahun
1985/1986 diharapkan bisa mencapai Rp 797,3 milyar, yang berarti terdapat peningkatan
sebesar Rp 219,7 milyar atau 38,0 persen. Peningkatan tersebut berlangsung sejalan dengan
meningkatnya penghasilan para pegawai negeri dan karyawan swasta, meningkatnya dasar
pemungutan pajak dari karyawan asing, serta semakin efektifnya pemotongan oleh benda-
harawan Pemerintah atas pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan tetap, dan pembayaran
lain sehubungan dengan pekerjaan dan jabatan yang dibebankan kepada keuangan negara.
Keputusan PresideD Domer 26 tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak diharapkan akan
mempercepat proses terciptanya sikap jujur dan terbuka para pemberi kerja untuk melakukan
pemotongan dan penyetoran pajaknya, sehingga untuk masa mendatang akan meningkatkan
efektifitas pemungutan pajak. Adanya perluasan perusahaan dan munculnya penanaman modal
baru, sebagai hasil nyata dari kebijaksanaan penyesuaian tarip penyusmall baru yang lebih
menguntungkan para pengusaha, diharapkan akan membawa pengaruh positif terhadap
perluasan dan peningkatan kesempatan kerja baru. Di samping hat ini akan menambah
kapositas efektif pemungutan pajaknya, diharapkan pula dapat lebih mendorong gairah usaha
yang pada gilirannya akan memperluas tersedianya barang-barang produksi dalam negeri.

Upaya peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan diusahakan melalui


kebijaksanaan tarip yang lebih sesuai dengan perkembangan dunia usaha, di samping
ditekankan pula untuk memperluas dasar pengenaan pajaknya. Menyadari pentingnya perluasan

Departemen Keuangan RI 37
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dasar pengenaan pajak tersebut bagi peningkatan penerimaan pajak penghasilan, Pemerintah
melalui kebijaksanaan di bidang perpajakan telah memberikan kesempatan kepada para
penanam modal untuk menggunakan fasilitas pengampunan pajak. Di samping itu apabila
penanam modal lebih dulu menyimpan dananya melalui deposito berjangka sekurang-
kurangnya selama tiga bulan, maka penanam modal tersebut akan dibebaskan dari kemungkin-
an pengusutan perpajakannya. Sejalan dengan kebijaksanaan tersebut, telah dilakukan
penyesuaian atas tarip penyusutan yang ditetapkan lebih tinggi sehingga penyusutan dapat lebih
dipercepat. Kebijaksanaan ini diharapkan akan lebih meringankan beban pajak penghasilan
yang harus dibayar oleh pengusaha, yang selanjutnya akan mendorong investasi baru dan pada
gilirannya akan meningkatkan jumlah dan potensi wajib pajak. Sehubungan dengan semakin
pentingnya mobilisasi sumber dana dari dalam negeri, Pemerintah berupaya dengan sungguh-
sungguh melaksanakan pengawasan terhadap perusahaan negara. Pengawasan ini dilakukan
untuk lebih meningkatkan produktivitas dan efisiensinya sehingga akan meningkatkan
penghasilan perusahaan negara tersebut, untuk selanjutnya diharapkan akan meningkatkan
penerimaan pajak serta ketertiban pembayaran pajaknya. Di dalam perkembangannya,
penerimaan pajak penghasilan badan ini terus mengalami pertumbuhan yang menggembirakan.
Dalam RAPBN tahun 1985/1986 penerimaan pajak penghasilan badan direncanakan sebesar
Rp2.276,7 milyar. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 1.873,5
milyar, maka berarti meningkat sebesar Rp 403,2 milyar atau 21,5 persen.

Peningkatan kegiatan ekonomi nasional khususnya pengembangan dunia usaha


senantiasa mendapat perhatian Pemerintah. Upaya Pemerintah menciptakan peraturan
perundangundangan yang lebih luas dimensi cakupannya, lebih sederhana, dan lebih tegas
menjamin kepostian hukum, yang mendorong lahirnya Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah dalam rangka
menunjang perkembangan dunia usaha. Dari padanya diharapkan berlanjut akan meningkatnya
kegiatan dunia usaha, serta kesadaran melaksanakan kewajiban di bidang perpajakan. Dalam
undangundang tersebut hanya terdapat dua tarip yaitu 0 persen dan 10 persen, sedangkan bagi
barang mewah dikenakan tambahan pajak sebesar 10 persen dan 20 persen. Namun untuk
menunjang perkembangan perpajakan dalam memenuhi kebutuhan dana yang diperlukan
pembangunan serta untuk membantu menciptakan suasana pola hidup sederhana, tarip pajak
pertambahan nilai terse but dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5 persen, dari setinggi-
tingginya 15 persen, serta tarip pajak penjualan khusus atas barang mewah dapat diubah
menjadi setinggi-tingginya 35 persen. Dalam rangka lebih mendorong upaya peningkatan

Departemen Keuangan RI 38
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

ekspor, terutama komoditi non migas, serta untuk lebih menunjang upaya diversifikasi ekspor,
dalam undang-undang yang baru ini tarip pajak penjualan atas barang-barang ekspor adalah 0
persen. Kesederhanaan dalam tarip pajak pertambahan nilai akan lebih dapat dirasakan bila
dibandingkan dengan sistem yang lama dengan tarip yang bervariasi antara delapan jenis tarip.
Jumlah tarip tersebut diperbanyak lagi dengan diberikannya berbagai pembebasan sebagian atas
produk-produk tertentu. Tarip yang lebih sederhana yang diterapkan dalam sistem baru ini akan
sangat membantu pe1aksanaannya karena akan mudah dipahami baik oleh pemungut maupun
pembayar pajaknya. Untuk lebih mendorong kepatuhan membayar pajak dengan jalan
memberikan rasa aman bagi para wajib pajak, terutama mereka yang merasa telah membayar
pajak lebih daripada yang seharusnya, maka dalam sistem baru ini diatur dengan je1as
ketentuan mengenai pembayaran kembali daripada ke1ebihan dalam pembayaran pajak.
Sedangkan sebagai upaya untuk menghilangkan pengarub pajak berganda yang terdapat Facia
sistem yang lama, dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984 ditentukan
adanya sistem kredit. Sistem kredit ini menetapkan, bahwa beban pajak yang telah ada Facia
bahan baku yang dipakai perusahaan dapat diperhitungkan/dikurangkan dari pajak pertambahan
nilai yang terhutang alas hasil produksi perusahaan itu. Di samping itu dapat dihilangkan pula
kemungkinan adanya usaha-usaha untuk me1akukan integrasi vertikal antara dua perusahaan
alan lebih, yang semata-mata untuk menghindari pajak dengan mengorbankan efisiensi. Dalam
hubungannya dengan perdagangan luar negeri, sistem baru ini mengintegrasikan bea masuk
yang dikenakan atas barang-barang impor dengan pajak pertambahan nilai yang dikenakan atas
barang-barang perdagangan dalam negeri. Sedangkan bagi pajak pertambahan nilai yang
dikenakan atas bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor secara
periodik dapat dimintakan pengembaliannya. Kebijaksanaan ini bersama-sama dengan
kebijaksanaan lamnya, terutama kebijaksanaan pajak pertambahan nilai sebesar 0 persen atas
barang-barang ekspor, diharapkan akan semakin mendorong ekspor, khususnya komoditi non
migas baik dalam hal kualitas, volume maupun pengembangan diversifikasinya. Di samping itu
sistem baru ini juga menciptakan ik!im usaha yang lebih menarik bagi golongan ekonomi
lemah. Hal ini disebabkan karena adanya batasan yang jelas mengenai jenis perusahaan yang
dapat digolongkan sebagai perusahaan kecil, sehingga akan menciptakan kepostian bagi upaya
penyeragaman beban pajaknya. Dalam pada itu mulai tahun anggaran 1985/1986 di dalam
penerimaan pajak pertambahan nilai termasilk didalamnya pajak pertambahan nilai atas
penjualan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri.

Berdasarkan pertimbangan bahwa pelaksanaan Undang-Undang Pajak Pertambahan

Departemen Keuangan RI 39
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Nilai tahun 1984 yang ditunda sampai selambat-lambatnya 1 Januari 1986 dapat dilaksanakan
pada awal tahun anggaran 1985/1986, maka penerimaan pajak pertambahan nilai barang dan
jasa dan pajak penjualan atas barang mewah dalam RAPBN tahun 1985/1986 direncanakan
sebesar Rp 1.666,4 milyar.

Di bidang penerimaan bea masuk, dilanjutkan dan ditingkatkan usaha-usaha yang


diarahkan bagi penciptaan iklim dan gairah usaha yang mendorong terlaksananya pembangunan
industri dalam negeri yang efisien, tangguh dan memiliki daya saing yang kuat. Sehubungan
dengan hal rersebut, kebijaksanaan tarip bea masuk selalu diusahakan agar mampu memberikan
perhitungan yang wajar bagi industri dalam negeri, tanpa melupakan kepentingan konsumen,
pengamanan penerimaan negara, serta menunjang peiaksanaan kebijaksanaan perdagangan luar
negeri. Dalam rangka memberikan perlindungan dan mendorong pertumbuhan industri dalam
negeri, terutama industri yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi, menyerap tenaga kerja
yang banyak, menggunakan sumber daya dalam negeri, .serta mampu menyediakan barang-
barang yang diminta konsumen baik di dalam maupun di luar negeri dengan harga yang
memadai, maka kepada industri tersebut diberikan beberapa keringanan pembebanan taripnya.
Untuk itu dalam mendorong pertumbuhan industri : perakitan di tanah air, kepada sektor
industri tersebut diberikan perlindungan dengan tarip I CKO yang lebih rendah dari tarip
produk yang sama yang diimpor dalam keadaan built up/non-KO. Sedangkan untuk
memberikan perlindungan bagi semakin tumbuhnya industri pengolahan di dalam negeri, impor
terhadap produk-produk sejenis dikenakan tarip yang lebih tinggi. Sebagai upaya menunjang
pengembangan industri di dalam negeri, telah pula ditetapkan kebijaksanaan yang memberikan
keringanan pembebanan impor atas pemasukkan bahan baku/bahan penolong yang digunakan
dalam proses produksi. Sesuai dengan kebijaksanaan yang digariskan dalam Repelita IV,
kebijaksanaan tarip senantiasa diusahakan agar dapat berjalan seirama dengan kebijaksanaan
pengaturan tata niaga, di dalam memberikan perlindungan bagi industri di dalam negeri, dan
upaya pengutamaan penggunaan barang-barang hasil produksi dalam negeri. Diharapkan kedua
kebijaksanaan tersebut dapat saling mengisi dan melengkapi secara harmonis. Berkenaan
dengan program wajib belajar, telah diberikan beberapa bentuk keringanan bea masuk atas
kertas tulis dan kertas cetak serta beberapa buku ilmu pengetahuan tertentu. Selanjutnya untuk
menunjang kebijaksanaan Pemerintah di bidang pentaripan, usaha penanggulangan
penyelundupan terus ditingkatkan dengan meningkatkan ketrampilan aparat pabean serta
memperlancar arus dokumen, baik impor maupun ekspor. Untuk itu, dalam rangka
penyempumaa dan penertiban sistem administrasi pabean telah dilaksanakan persiapan-

Departemen Keuangan RI 40
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

persiapan kearah penerapan sistem komputer di bidang operasional pabean dari pengumpulan
data.

Berdasarkan langkah-Iangkah yang telah dilaksanakan di bidang bea masuk, maka


dalam RAPBN tahun 1985/1986 penerimaan bea masuk direncanakan sebesar Rp 717,1 milyar.
Apabila dibandingkan dengan rencana penerimaan bea masuk dalam APBN 1984/ 1985, maka
terlihat peningkatan sebesar Rp 35,7 milyar.

Kebijaksanaan. cukai yang se1ama ini dijalankan , di samping diarahkan kepada


fungsinya sebagai penghimpun dana, juga dimaksudkan guna mencapai sasaran-sasaran tertentu
lainnya. Penerimaan cukai ini terdiri dari cukai tembakau, cukai gula, cukai bir, dan cukai
alkohol sulingan. Di dalam perkembangannya, penerimaan cukai dipengaruhi antara lain oleh
perkembangan pertumbuhan produksi, penyesuaian harga pita dengan harga jualnya,
peningkatan daya beli masyarakat konsumen, serta intensifikasi dan verifikasi pemungutannya.
Dalam rangka lebih mendorong perkembangan industri rokok dan hasil tembakau dalam negeri
terutama bagi produsen yang tergolong pengusaha lemah, dan banyak menyerap tenaga kerja,
maka pada 1 April 1984 telah ditetapkan pembebasan sebagian tarip cukai terhadap hasil
tembakau buatan dalam negeri. Fasilitas tersebut diberikan kepada perusahaan sigaret kretek
tangan (SKT), dengan ketentuan bahwa perusahaan yang produksinya lebih dari 4 milyar
batang setahun dikenakan tarip 25 persen diri harga pita cukai, yang produksinya antara 750
juta batang sampai 4 milyar batang setahun dikenakan ta.rip 22,5 persen dari harga pita cukai,
yang produksinya antara 100 juta sampai 750 juta batang setahun dikenakan tarip 20 persen dari
pita cukai, dan bagi perusahaan yang produksinya 100 juta batang atau kurang setahun
dikenakan tarip 15 persen dari pita cukainya. Sedangkan bagi jenis produksi sigaret buatan
mesin, baik sigaret putih mesin (SPM) maupun sigaret kretek mesin (SKM) dikenakan tarip
tunggal yang besarnya 40 persen dari harga pita cukainya. Di samping itu untuk memberikan
kesempatan bagi berkembangnya produksi tembakau di dalam negeri, sejak 1 April 1984 tidak
lagi diberikan pembebasan sebagian cukai terhadap impor hasil tembakau. Terhadap impor
hasil tembakau dipungut cukai sepenuhnya, yaitu 70 persen dari pita cukainya untuk sigaret
buatan mesin dan tembakau iris, 50 persen untuk sigaret kretek bukan buatan mesin, serta 40
persen untuk jenis cerutu.

Sebagaimana halnya dengan cukai tembakau, kebijaksanaan di bidang cukai lainnya


juga disempurnakan sesuai dengan perkembangan ekonomi. Sehubungan dengan itu, guna
mempertahankan harga yang lebih sesuai dengan daya beli masyarakat dan menjamin
kelayakan tingkat pendapatan petani tebu, sejak 1 Mei 1984 diadakan penyesuaian harga dasar

Departemen Keuangan RI 41
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pemungutan cukai gula, yaitu untuk jenis SHS I, SHS II, dan HS I, masing-masing sebesar
Rp40.000,- per kuintal, Rp 39.850,- per kuintal, dan Rp 39.700,- per kuintal. Di samping itu
telah pula diadakan penertiban penanaman tebu, baik tebu rakyat bebas.(TRB) maupun tebu
rakyat intensifikasi (TRI). Sehubungan dengan perlunya pengawasan terhadap minuman keras,
produksi bir diperkirakan tidak akan mengalami kenaikan yang berarti. Demikian juga terhadap
alkohol sulingan, diperkirakan produksinya akan sedikit mengalami penurunan. Berdasarkan
pertimbangan atas langkah-langkah yang sedang, dan akan dilaksanakan terutama dengan
semakin efektifnya pemungutan cukai, prospek produksi, dan penyesuaian tarip cukai terutama
untuk tembakau dan gula, maka dalam RAPBN tahun 1985/1986 penerimaan cukai
direncanakan sebesar Rp 963,3 milyar. Apabila rencana penerimaan cukai tersebut
dibandingkan dengan yang direncanakan dalam tahun anggaran sebelumnya, berarti meningkat
dengan Rp 235,8 milyar.

Adapun penerimaan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan, akhir-akhir ini
mengalami sedikit penurunan di dalam realisasinya. Penurunan tersebut bukan saja disebabkan
karena menurunnya nilai maupun volume ekspor beberapa komoditi tertentu, melainkan
diakibatkan pula oleh adanya penurunan dan pembebasan pajak ekspor, serta pajak ekspor
tambahan terhadap berbagai barang-barang ekspor dalam rangka mendorong ekspor yang
selama ini terus diusahakan peningkatannya. Untuk itu, kebijaksanaan di bidang pajak ekspor
dalam tahun anggaran 1985/1986 akan tetap diarahkan agar selalu menunjang berbagai usaha
dan kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing komoditi ekspor
Indonesia di posaran intemasional. Segi lain dari kebijaksanaan tersebut adalah, bahwa barang-
barang yang dianggap penting bagi konsumsi dalam negeri, serta untuk menjaga kelestarian
lingkungan alam, seperti minyak kelapa sawit dan hasil-hasilnya, serta beberapa jenis kayu
gergajian mewah, sejak Januari 1984 telah diadakan pengenaan kembali tarip pajak ekspor
tambahannya. Di samping itu sebagai upaya penyediaan bahan bagi industri pengolahan kayu
dalam negeri, sejak Mei 1980 telah diadakan pembatasan ekspor terhadap kayu gelondongan.

Berdasarkan berbagai langkah kebijaksanaan yang dilaksanakan Pemerintah di bidang


ekspor, yang pada pokoknya mengarah pada upaya penciptaan iklim yang lebih mendorong
gairah usaha untuk rnempertahankan dan mendorong nilai maupun volume ekspor, maka dalam
RAPBN 1985/1986 penerimaan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan diperkirakan akan
mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan yang tertera dalam APBN 1984/1985.
Dalam RAPBN 1985/1986 penerimaan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan tersebut
direncanakan akan mencapai sebesar Rp 101,7 milyar.

Departemen Keuangan RI 42
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Kebijaksanaan di bidang Ipeda pada dasamya tetap diarahkan bagi terciptanya sasaran
pertumbuhan, dan gerak pembangunan ekonomi daerah yang lebih merata me1alui upaya
peningkatan penerimaannya. Dalam rangka meningkatkan potensi penerimaan Ipeda, terus
dibina kerjasama yang lebih baik dengan Pemerintah Daerah, di samping secara terus menerus
diadakan pembinaan terhadap administrasi pendataannya, penetapan dan penagihannya, serta
penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadarannya dalam membayar Ipeda.
Dalam RAPBN 1985/1986, penerimaan Ipeda direncanakan sebesar Rp 167,4 milyar yang
berarti meningkat sebesar Rp 16,8 milyar dari yang direncanakan dalam APBN 1984/1985.

Kebijaksanaan Pemerintah di bidang penerimaan pajak lainnya untuk tahun 1985/ 1986
masih merupakan kelanjutan dan peningkatan dari kebijaksanaan yang sudah diambil pada
masa sebelumnya. Kebijaksanaan tersebut di samping ditujukan untuk menghimpun dana
pembangunan yang bersumber dari dalam negeri, juga diarahkan untuk menciptakan iklim
dunia usaha yang lebih sehat, serta untuk mempercepat proses pemerataan pendapatan guna
lebih memantapkan stabilitas perekonomian nasional. Penerimaan negara yang berasal dari
penerimaan pajak lainnya, yaitu pajak kekayaan, bea meterai dan bea lelang, menunjukkan
perkembangan yang memadai. Hal ini menunjukkan semakin membaiknya kesadaran
masyarakat dalam rangka memenuhi kewajiban pajaknya, terutama terhadap kekayaan yang
dimilikinya, serta transaksi perekonomian yang lebih bertanggung jawab. Untuk mendorong
perkembangan yang lebih realistis seirama dengan keadaan perekonomian nasional, dewasa ini
sedang dibahas Rancangan Undang-Undang Pajak Kekayaan dan Ipeda.

Batas kekayaan yang tidak terkena pajak mulai 1 Januari 1985 dinaikkan dari Rp 14
juta menjadi Rp 80 juta, sedang taripnya diturunkan dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Dengan
kebijaksanaan tersebut diharapkan kesadaran para wajib pajak untuk memenuhi kewajiban
pajaknya akan meningkat. Tarip bea meterai yang berlaku sekarang dirasakan sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan. Untuk itu mulai 1 Maret 1985 terhadap tarip bea meterai juga
diadakan beberapa penyesuaian, antara lain atas kuitansi atau tanda penerimaan uang,
konosemen-konosemen, dan polis asuransi jiwa, yang saat ini adalah Rp 10,-, akan dinaikkan
menjadi Rp 100,-. Sedangkan untuk promes, aksep, dan surat-surat berharga lainnya tarip
meterainya juga diadakan penyesuaian dari Rp 25,- menjadi Rp 500,-. Kuitansi yang memuat
angka penjualan di atas Rp 50.000,- baru dikenakan bea meterai, sedangkan sebelumnya
kuitansi yang bernilai di atas Rp 5.000,- sudah dikenakan bea meterai. Sehubungan dengan
semakin banyaknya kegiatan le1ang, dan semakin meningkatnya mutu para juru lelang,
penerimaan di bidang ini untuk masa-masa mendatang diharapkan akan mengalami

Departemen Keuangan RI 43
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

peningkatan. Berdasarkan langkah-Iangkah yang sedang dan akan dilaksanakan Pemerintah,


terutama dengan kebijaksanaan pengampunan pajak serta dengan semakin membaiknya
perekonomian di tanah air, dalam RAPBN 1985/1986 besarnya penerimaan pajak lainnya
direncanakan sebesar Rp 96,4 milyar. Apabila penerimaan tersebut dibandingkan dengan
rencana penerimaan tahun 1984/1985 yaitu sebesar Rp 75,4 milyar, berarti meningkat sebesar
Rp 21,0 milyar atau 27,9 persen.

Penerimaan bukan pajak oleh Pemerintah senantiasa diusahakan pula peningkatan


sumbangannya bagi penerimaan negara. Untuk itu langkah-Iangkah kebijaksanaan yang sudah
dirintis sejak awal Pelita I akan terus dikembangkan. Penerimaan bukan pajak yang terdiri dari
penerimaan berbagai departemen/lembaga non departemen, seperti penerimaan pendidikan,
penerimaan jasa, penerimaan kejaksaan dan pengadilan serta penerimaan lainnya, baik yang
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, dalam perkembangannya te1ah mengalami
peningkatan. Dalam penerimaan bukan pajak tersebut termasuk pula penerimaan dari bagian
Pemerintah atas laba perusahaan negara/bank negara serta iuran hasil hutan dan royaltynya.
Dalam RAPBN 1985/ 1986 penerimaan bukan pajak direncanakan sebesar Rp 731,9 milyar.
Apabila penerimaan tersebut dibandingkan dengan APBN 1984/1985 berarti terdapat
peningkatan sebesar Rp 116,9 milyar atau 19,0 persen.

2.3.2. Penerimaan pembangunan

Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia sejak Pelita I hingga


sekarang te1ah memberikan hasil nyata berupa semakin meningkatnya taraf hidup dan
kesejahteraan se1uruh rakyat. Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan, baik jenis
maupun kualitasnya dalam dimensi yang semakin me1uas, di satu sisi meningkatkan kesejah-
teraan rakyat, tetapi di sisi lain menambah tanggung jawab Pemerintah dalam menyediakan
dana bagi pembangunan yang terus berkembang. Usaha pengerahan dana pembiayaan
pembangunan, sesuai dengan yang diamanatkan dalam GBHN, senantiasa harus terus diupa-
yakan terutama dengan menggalinya dari sumber-sumber dana dalam negeri, baik yang berasal
dari tabungan Pemerintah maupun dari tabungan masyarakat. Sedangkan dana bantuan yang
berasal dari luar negeri yang diterima sebagai penerimaan pembangunan, digunakan sebagai
pe1engkap. Dengan demikian untuk masa-masa selanjutnya, pembangunan yang dilaksanakan
adalah pembangunan yang dilandasi oleh kemampuan bangsa Indonesia sendiri yang bertumpu
kepada kepercayaan diri, menuju perekomomian nasional yang mandiri, dinamis, dan stabil.
Oleh sebab itu,dana yang bersumber dari bantuan luar negeri barus senantiasa diarahkan bagi

Departemen Keuangan RI 44
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pembiayaan kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersifat produktif dan berprioritas tinggi,


dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan memperlancar proses pemerataan
pembangunan dan hasilnya. Dalam RAPBN tahun 1985/1986, penerimaan pembangunan
direncanakan sebesar Rp 4.368,1 milyar, yang terdiri dari bantuan program sebesar Rp 70,9
milyar, dan bantuan proyek sebesar Rp 4.297,2 milyar. Perkembangan penerimaan
pembangunan se1ama tahun 1969/1970 hingga tahun 1985/1986 dapat dilihat dalam Tabel II.9.

Tabe1 II. 9
BANTUAN LUAR NEGERI, 1969/1970 - 1985/1986
(dalam milyar rupiah)

Tahun Bantuan Bantuan Kenaikan


anggaran program proyek Jumlah Jumlah Persentase
PELITA I
1969/1970 65,7 25,3 91
1970/1971 78,9 41,5 120,4 29,4 32,3
1971/1972 90,5 45 135,5 15,1 12,5
1972/1973 95,5 62,3 157,8 22,3 16,5
1973/1974 89,8 114,1 203,9 46,1 29,2
PELITA II
1974/1975 36,1 195,9 232 28,1 13,8
1975/1976 20,2 471,4 491,6 259,6 111,9
1976/1977 10,2 773,6 783,8 292,2 59,4
1977/1978 35,8 737,6 773,4 -10,4 -1,3
1978/1979 48,2 987,3 1.035,50 262,1 33,9
PELITA III
1979/1980 64,8 1.316,30 1.381,10 345,6 33,4
1980/1981 64,1 1.429,70 1.493,80 112,7 8,2
1981/1982 45,1 1.663,90 1.709,00 215,2 14,4
1982/1983 15,1 1.924,90 1.940,00 231 13,5
1983/1984 14,9 3.867,50 3.882,40 1.942,40 100,1
PELITA IV
1984/1985 1) 39,5 4.371,50 4.411,00 528,6 13,6
1985/1986 2) 70,9 4.297,20 4.368..1 -42,9 -1
1) A P B N
2) RAP B N

2.3.3. Pengeluaran rutin

Sasaran kebijaksanaan penge1uaran rutin, tidak bisa dipisahkan dari sasaran


kebijaksanaan anggaran secara kese1uruhan yang mencakup ketiga unsur Trilogi
Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju terciptanya
keadilan sosial bagi se1uruh rakyat, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis. Peningkatan tabungan Pemerintah tidak mungkin dapat
terlaksana hanya dengan peningkatan penerimaan negara saja, tetapi harus pula disertai
tindakan penghematan, serta pengarahan penge1uaran rutin untuk mencapai sasaran-sasaran
yang te1ah ditentukan. Penge1uaran rutin yang me1iputi be1anja pegawai, be1anja barang,
subsidi daerah otonom, pembayaran bunga dan cicilan hutang, serta penge1uaran rutin lainnya,

Departemen Keuangan RI 45
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dalam perkembangannya te1ah menunjukkan peningkatan selaras dengan tingkat


perkembangan pembangunan yang dicapai. Apabila pada tahun pertama Pelita I realisasi
penge1uaran rutin baru mencapai Rp 216,5 milyar, raJa akhir tahun Pelita II meningkat menjadi
Rp 2.743,7 milyar, dan pada akhir tahun Pelita III meningkat lagi menjadi Rp 8.411,8 milyar.
Dalam APBN 1984/1985, pengeluaran rutin direncanakan sebesar Rp 10.101,1 milyar. Perkem-
bangan pengeluaran rutin tersebut dapat diikuti pada Tabel II.10
Tab e I II. 10 Tabel II. 11
PENGELUARAN RUTIN, 1969/1970 - 1985/1986 BELANJA PEGAWAI, 1969/1970 - 1985/1986
(dalam milyar rupiah) ( dalam milyar rupiah)
Uang Lain-lain Belanja
Kenaikan Tunjangan Gaji dan makan bel. l.n
Tahun anggaran Jumlah Jumlah Persentase Tahun beras pensiun peg. d.n. Jumlah
PELITA I PELITA I
1969/1970 216,5 - - 1969/1970 28,8 56,4 10,7 3,8 4,1 103,8
1970/1971 288,2 71,7 33,1 1970/1971 33,5 70,6 11,7 10,8 4,8 131,4
1971/1972 349,1 60,9 21,1 1971/1972 31,9 99,7 12,1 14,5 5,2 163,4
1972/1973 438,1 89 25,5 1972/1973 31,3 131,6 14,6 17,3 5,6 200,4
1973/1974 713,3 275,2 62,8 1973/1974 50,6 173,9 16,8 20,2 7,4 268,9
PELITA II PELITA II
1974/1975 1.016,10 302,8 42,5 1974/1975 59,5 301,7 24,4 24,7 9,8 420,1
1975/1976 1.332,60 316,5 31,1 1975/1976 111,9 400 43,5 25,8 12,7 593,9
1976/1977 1.1>29,8 297,2 23,3 1976/1977 114,9 424,8 45,7 36,9 14,3 636,6
1977/1978 2.148,90 519,1 31,9 1977 /1978 126,2 672,9 47,8 31,5 14,8 893,2
1978/1979 2.743,70 594,8 27,7 1978/1979 132,8 760,3 51,2 33,6 23,7 1.001,60
PELITA III PELITA III
1979/1980 4.061,80 1.318,10 48 1979/1980 179,9 1.053,90 109,9 47,1 29,1 1.419,90
1980/1981 5.800,00 1.738,20 42,8 1980/1981 252 1.482,90 193,2 61,2 34 2.023,30
1981/1982 6.977,60 1.177,60 20,3 1981/1982 253,3 1.660,40 240,5 79,5 43,4 2.277,10
1982/1983 6.996,30 18,7 0,3 1982/1983 289,9 1.749,00 254,9 78,6 45,7 2.418,10
1983/1984 8.411,80 1.415,50 20,2 1983/1984 346,1 1.996,00 261,3 87,6 66 2.757,00
PELITA IV PELITA IV
1984/1985 1) 10.101,10 1.689,30 20,1 1984/19851) 415,7 2.307,90 286,6 99,9 79,4 3.189,50
1985/19862) 12.399,00 2.297,90 22,7 1985/19862) 482,5 3.115,80 313,3 116,6 89,1 4.117,30
1) Angka APBN 1) Angka APBN
2) Angka RAPBN 2) Angka RAPBN

Dalam tahun anggaran 1985/1986, yang merupakan tahun kedua pelaksanaan Repelita
IV, sasaran utama kebijaksanaan pengeluaran rutin adalah peningkatan dana tabungan
Pemerintah, di samping usaha-usaha untuk mengurangi secara bertahap pemberian subsidi
dalam berbagai bentuknya. Selanjutnya juga diusahakan peningkatan peranan golongan
ekonomi lemah, produksi dalam negeri, serta perluasan kesempatan kerja seperti yang telah
dijalankan dalam tahun-tahun sebelumnya. Usaha-usaha tersebut diwujudkan antara lain dengan
diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984 yang merupakan penyempurnaan
lebih lanjut daripada Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 dan Keputusan Presiden
Nomor 18 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan APBN. Dalam Keputusan Presiden Nomor 29
tersebut, golongan ekonomi lemah diberi kesempatan berusaha yang lebih luas lagi, yaitu dalam
rangka membantu dan membimbing pertumbuhan, serta meningkatkan kemampuan yang lebih
besar bagi mereka untuk berperanserta dalam proses pembangunan. Demikian pula penggunaan
barang dan jasa produksi dalam negeri makin digalakkan, dan ditingkatkan untuk lebih
mendorong peningkatan produksi dalam negeri. Rangkaian kebijaksanaan yang telah dijalankan
Pemerintah di bidang pengeluaran rutin tersebut frat kaitannya dengan usaha-usaha peningkatan

Departemen Keuangan RI 46
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kegiatan pembangunan dan pelayanan Pemerintah kepada masyarakat, serta dalam rangka
mengamankan dan memelihara kekayaan negara yang diperoleh sebagai hasil kegiatan
pembangunan.

Dalam tahun anggaran 1985/1986, anggaran untuk pengeluaran rutin direncanakan


sebesar Rp 12.399,0 milyar, yang berarti Rp 2.297,9 milyar atau 22,7 persen di atas anggaran
pengeluaran rutin dalam APBN 1984/1985. Jumlah tersebut meliputi pengeluaran untuk belanja
pegawai sebesar Rp 4.117,3 milyar, belanja barang sebesar Rp 1.529,9 milyar, subsidi daerah
otonom sebesar Rp 2.590,4 milyar, pembayaran bunga dan cicilan hutang sebesar Rp 3.559,1
milyar, dan lain-lain pengeluaran rutin sebesar Rp 602,3 milyar.

2.3.3.1. Belanja pegawai

Kebijaksanaan belanja pegawai yang akan dijalankan Pemerintah dalam tahun


1985/1986 adalah dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas Pemerintah, yang
dicerminkan antara lain dalam bentuk peningkatan jumlah, dan mutu aparatur negara beserta
perlengkapannya, pembinaan dan penertiban aparatur negara, di samping dilakukan pula
penyempurnaan di bidang organisasi dan administrasinya. Langkah-langkah tersebut telah
dimulai dengan usaha peningkatan kesejahteraan pegawai negeri/ ABRI dan pensiunan dalam
tahun-tahun yang lalu, antara lain dalam bentuk kenaikan gaji.

Perkembangan realisasi be1anja pegawai sejak Pe1ita I menunjukkan, bahwa pada awal
Pe1ita I realisasinya baru mencapai jumlah sebesar Rp 103,8 milyar, sedangkan pada akhir
Pe1ita II mencapai jumlah sebesar Rp 1.001,6 milyar. Pada akhir Pe1ita III jumlah realisasi
belanja pegawai mencapai jumlah sebesar Rp 2.757,0 milyar, yang berarti meningkat 2,75 kali
hila dibandingkan dengan realisasi pada akhir Pe1ita II. Kenaikan ini adalah karena se1ama
Pelita III te1ah beberapa kali dilakukan perbaikan penghasilan pegawai negeri/ ABRI dan
pensiunan, antara lain dalam bentuk pemberian gaji bulan ke 13 dan 14 dalam tahun 1979/1980,
pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) dalam tahun 1.980/ 1981 dan 1981/1982,
dan berupa pemberian gaji bulan ke 13 dalam tahun 1983/1984. Usaha perbaikan penghasilan
pegawai negeri/ ABRI se1alu dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara
setiap tahunnya, dan pada awal Pe1ita IV usaha perbaikan tersebut diwujudkan dengan
diberikannya kenaikan sebesar 15 persen dari gaji yang dibayarkan. Dalam tahun 1985/1986
be1anja pegawai direncanakan meningkat sebesar Rp 927,8 milyar karena ditetapkannya
kebijaksanaan untuk meningkatkan penghasilan pegawai negeri/ABRI sebesar 20 persen, dan

Departemen Keuangan RI 47
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pensiunan sebesar 27 - 59 persen. Dalam tahun anggaran 1985/1986, anggaran untuk be1anja
pegawai direncanakan sebesar Rp 4.117,3 milyar, yang terdiri dari tunjangan beras sebesar Rp
482,5 milyar, gaji dan pensiun sebesar Rp 3.115,8 milyar, uang makan/lauk pauk sebesar
Rp313,3 milyar, lain-lain be1anja pegawai dalam negeri sebesar Rp 116,6 milyar, dan be1anja
pegawai luar negeri sebesar Rp 89,1 milyar. Perkembangan realisasi be1anja pegawai dapat
dilihat pada Tabel II.11.

2.3.3.2. Belanja barang

Dalam rangka menunjang kegiatan usaha golongan ekonomi lemah serta menunjang
perluasan kesempatan kerja, maka kebijaksanaan 'be1anja barang dalam tahun anggaran
1985/1986 akan lebih diarahkan pada pembe1ian barang-barang dan jasa produksi dalam negeri
yang kebanyakan dihasilkan oleh golongan tersebut. Untuk menjamin lebih terlaksananya
kebijaksanaan dimaksud, dalam tahun 1984 telah dikeluarkan pula Keputusan Presiden Nomor
30 Tahun 1984 tentang Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah di
Departemen/Lembaga, di samping Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984 tentang
Pelaksanaan APBN. Dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984 dinyatakan bahwa
untuk pembelian/pemborongan barang dan jasa Pemerintah dengan nilai kontrak sebesar Rp200
juta ke atas harus me1alui Tim Pengendali dan Pengadaan. Penurunan batas nilai kontrak dari
Rp 500 juta dalam Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 menjadi Rp 200 juta tersebut
adalah dalam rangka penghematan dan rasionalisasi dunia usaha. Selanjutnya dengan
dike1uarkannya Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1984, ke1ancaran dan kehasilgunaan
dalam pengadaan barang/peralatan dan jasa di lingkungan departemen/lembaga diharapkan
dapat lebih ditingkatkan lagi. Dalam melaksanakan tugasnya, kepada Tim pengendali dan
Pengadaan ditekankan agar memperhatikan harga dan kualitas yang paling menguntungkan
negara, di samping pengutamaan penggunaan barang dan jasa produksi dalam negeri. Dengan
diberlakukannya kedua Keputusan Presiden tersebut, pengadaan atau pembelian barang dan
jasa yang diperlukan akan sesuai dengan prioritas, dan anggaran yang disediakan, sehingga
dengan demikian dapat lebih terkendali dan terarah, serta dicapai penghematan dalam
pelaksanaan anggaran belanja barang.

Pengeluaran rutin melalui belanja barang yang pada awal Pelita I baru mencapi sebesar
Rp 50,3 milyar, pada akhir Pelita II meningkat menjadi Rp 419,5 milyar, dan pada akhir Pelita
III mencapai jumlah sebesar Rp 1.057,1 milyar. Dalam RAPBN 1985/1986, anggaran untuk
belanja barang direncanakan sebesar Rp 1.529,9 milyar, yang terdiri dari belanja barang dalam

Departemen Keuangan RI 48
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

negeri sebesar Rp 1.451,8 milyar dan belanja barang luar negeri sebesar Rp 78,1 milyar.

2.3.3.3: Subsidi daerah otonom

Pengeluaran untuk subsidi daerah otonom erat kaitannya dengan kebijaksanaan belanja
pegawai, oleh karena pemberian subsidi daerah otonom sebagian besar digunakan untuk
pembayaran gaji pegawai negeri sipil dalam lingkungan daerah otonom. Di samping itu makin.
meningkatnya kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan SD Inpres dan Puskesmas, ikut
mempengaruhi besarnya subsidi daerah otonom, karena didalamnya ditampung pula
pembiayaan untuk tambahan guru-guru SD Inpres dan tenaga medis. Selanjutnya dalam subsidi
daerah otonom ditampung pula penggantian biaya akibat dihapuskannya sumbangan pembinaan
pendidikan (SPP) sekolah dasar kelas satu sampai dengan kelas enam, pembayaran gaji lurah
dan perangkatnya, serta tunjangan pamong desa. Dalam rangka pemerataan memperoleh
pendidikan dan pelayanan kesehatan, maka dalam tahun anggaran 1985/1986 direncanakan pula
untuk menambah jumlah guru sekolah dasar Inpres, tenaga paramedis dan tenaga medis
Puskesmas di daerah-daerah. Pengeluaran subsidi daerah otonom dalam tahun anggaran
1985/1986 direncanakan sebesar Rp 2.590,4 milyar, untuk belanja pegawai sebesar Rp 2.349,0
milyar, dan belanja non pegawai sebesar Rp 241,4 milyar. Dengan demikian hila dibandingkan
dengan APBN 1984/1985, rencana pembiayaan subsidi daerah otonom sebesar Rp 2.590,4
milyar tersebut berarti meningkat sebesar Rp 805,8 milyar atau 45,2 persen, oleh karena
ditetapkannya kebijaksanaan meningkatkan penghasilan pegawai negeri dan pensiunan.

2.3.3.4. Bunga dan cicilan hutang

Dana yang dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, selain berupa


dana yang dihimpun dari dalam negeri, juga berupa dana pinjaman dari luar negeri.
pengembalian pinjaman yang dipergunakan untuk membiayai pembangunan proyek-proyek
pada waktu jatuh tempo adalah dalam bentuk pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri.
Seiring dengan makin meningkatnya kemampuan keuangan negara, yang antara lain didukung
oleh hasil-hasil yang diperoleh dari proyek-proyek yang telah menghasilkan, realisasi
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri yang jatuh tempo makin meningkat pula
setiap tahunnya. Hal ini didasarkan pada perhitungan, bahwa setiap penambahan hutang luar
negeri harus sesuai dengan kemampuan pengembaliannya, di samping pemanfaatan bantuan
luar negeri tersebut harus benar-benar untuk proyek-proyek, dan kegiatan yang produktif,

Departemen Keuangan RI 49
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sehingga tidak sangat memberatkan beban keuangan negara. Di samping untuk pembayaran
bunga dan cicilan hutang luar negeri, terdapat pula pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam
negeri, yaitu untuk pembayaran tagihan jasa umum seperti bunga atas uang muka Bank
Indonesia kepada Pemerintah.

Realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang pada permulaan Pelita I baru mencapai
Rp 14,4 milyar, pada akhir Pelita II meningkat menjadi Rp 534,5 milyar, dan meningkat lagi
menjadi sebesar Rp 2.102,6 milyar pada akhir Pelita III. Dalam APBN 1984/1985, untuk
pembayaran bunga dan cicilan hutang direncanakan sebesar Rp 2.686,1 milyar, sedangkan
dalam tahun anggaran 1985/1986 direncanakan sebesar Rp 3.559,1 milyar, yang terdiri dari
pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri sebesar Rp 3.529,1 milyar, dan pembayaran
bunga dan cicilan hutang dalam negeri sebesar Rp 30,0 milyar. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan APBN 1984/1985, rencana pembayaran tersebut mengalami kenaikan
sebesar Rp 873,0 milyar atau 32,5 persen.

2.3.3.5. Lain-lain pengeluaran rutin

pembiayaan rutin yang ditampung dalam lain-lain pengeluaran rutin antara lain terdiri
dari pengeluaran untuk subsidi pangan, subsidi bahan bakar minyak dan Pemilu. Di samping
itu, melalui lain-lain pengeluaran rutin dibebankan pula pembiayaan yang bersifat non
departemental seperti biaya sural menyurat melalui pos dan giro pos. Dalam perkembangannya,
realisasi lain-lain pengeluaran rutin selama Pelita III menunjukkan peningkatan yang sangat
besar dibandingkan dengan Pelita I dan II. Hal ini terutama disebabkan meningkatnya
pengeluaran subsidi bahan bakar minyak sehubungan dengan kenaikan-kenaikan harga minyak
mentah di posaran internasional, di samping juga. disebabkan pengeluaran untuk subsidi impor
pangan terutama beras, gandum, dan gula dalam rangka kebijaksanaan stabilisasi harga pangan
di dalam negeri. Dalam APBN 1984/1985, lain-lain pengeluaran rutin dianggarkan sebesar
Rp1.177,0 milyar, sedangkan dalam tahun anggaran 1985/1986 direncanakan sebesar Rp 602,3
milyar, yang berarti lebih rendah hila dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya.
Rencana anggaran sebesar Rp 602,3 milyar tersebut disediakan untuk subsidi bahan bakar
minyak sebesar Rp 532,3 milyar, dan penge1uaran rutin lainnya antara lain untuk biaya sural
menyurat me1alui pos, giro pos dan bebas porto sebesar Rp 30,0 milyar, dan persiapan Pemilu
sebesar Rp 40,0 milyar.

Departemen Keuangan RI 50
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

2.3.4.Tabungan Pemerintah

Sesuai dengan kebijaksanaan anggaran berimbang yang dinamis, tabungan Pemerintah


sebagai unsur utama dalam dana pembangunan tetap memegang peranan yang sangat penting
dalam Pelita IV. Usaha-usaha untuk meningkatkan dana pembangunan melalui tabungan
Pemerintah terus dilakukan setiap tahunnya dengan jalan meningkatkan penerimaan negara,
baik melalui peningkatan sumber-sumber penerimaan yang sudah ada, maupun dengan mencari
sumber-sumber penerimaan yang baru. Usaha tersebut harus diikuti pula dengan tindakan
penghematan dalam pengeluaran rutin, sehingga dapat diperoieh selisih yang lebih besar antara
penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin untuk menambah besar tabungan Pemerintah.

Perkembangan realisasi tabungan Pemerintah selama ini menunjukkan peningkatan-


peningkatan, yaitu dari Rp 27,2 milyar pada awal Pelita I, menjadi Rp 1.522,4 milyar pada
akhir Pelita II, dan menjadi Rp 6.020,9 milyar pada akhir Pelita III. Pada APBN 1984/1985,
tabungan Pemerintah diharapkan dapat dihimpun sebesar Rp 6.048,3 mitral. Selanjutnya dalam
tahun anggaran 1985/1986, tabungan Pemerintah direncanakan dapat dihimpun sebesar
Rp6.278,9 milyar, yang merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri sebesar Rp l8.677,9
milyar dan pengeluaran rutin sebesar Rp 12.399,0 mitral. Perkembangan realisasi tabungan
Pemerintah dapat diikuti pada Tabel II.12, Tabel II.13
Tab e I II. 12 Tab el II.13
TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/1970 - 1985/1986 PERBANDINGAN TABUNGAN PEMERINTAH DAN BANTUAN
(dalam milyar rupiah) LUAR NEGERI TERHADAP ANGGARAN PEMBANGUNAN
1969/1970 - 1985/1986
Anggaran Dibiayai oleh
Kenaikan (milyar Tabungan Bantuan
Tahun anggaran Jumlah Tahun anggaran
Pemerintah luar negeri
Jumlah Persentase (%) (%)
PELITA I PELITA I:
1969/1970 27,2 - - 1969/1970 118,2 23 77
1970/1971 56,4 29,2 107,4 1970{1971 176,8 31,9 68,1
1971/1972 78,9 22,5 39,9 1971{1972 214,4 36,8 63,2
1972/1973 152,5 73,6 93,3 1972{1973 310,3 49,1 50,9
1973/1974 254,4 101,9 66,8 1973/1974 458,3 55,5 44,5
PELITA II PELITA II :
1974/1975 737,6 483,2 189,9 1974{1975 969,6 76,1 23,9
1975/1976 909,3 171,7 23,3 1975/1976 1.400,90 64,9 35,1
1976{1977 1.276,20 366,9 40,3 1976{1977 2.060,00 62 38
1977{1978 1.386,50 110,3 8,6 1977{1978 2.159,90 64,2 35,8
1978{1979 1.522,40 135,9 9,8 1978{1979 2.557,90 59,5 40,5
PELITA III : PELITA III :
1979{1980 2.635,00 1.112,60 73,1 1979{1980 4.016,10 65,6 34,4
1980{1981 4.427,00 + 1. 792,0 68 1980{1981 5.920,80 74,8 25,2
1981{1982 5.235,00 808 18,3 1981{1982 6.944,00 75,4 24,6
1982{1983 5.422,00 187 3,6 1982{1983 7.362,00 73,6 26,4
1983{1984 6.020,90 598,9 11 1983{1984 9.903,30 60,8 39,2
PELITA IV: PELITA IV :
1984{1985 1) 6.048,30 27,4 0,5 1984{19852) 10.459,30 57,8 42,2
1985{1986 2) 6.278,90 230,6 3,8 1985{19863) 10.647,00 59 41
I) Angka APBN I) Termasuk saldo anggaran lebih
2) Angka RAPBN 2) APBN
3) RAPBN

Departemen Keuangan RI 51
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

2.3.5. Pengeluaran pembangunan

Dalam perjalanannya menuju suatu masyarakat arlit makmur melalui pembangunan


nasional, bangsa Indonesia telah berhasil menyelesaikan serangkaian program pembangunan
yang dituangkan dalam tiga Repelita yaitu Repelita I, II dan III. Pelita III yang telah herakhir
pada tahun 1983/1984 telah memberikan hasil-hasil yang positif, sehingga tercapailah keadaan
yang mantap untuk melanjutkan pembangunan dalam Repelita IV sebagai pelaksanaan tahap
keempat dari Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang. SelaI1)a Pelita III, dana yang telah
dibelanjakan untuk pembiayaan pembangunan mencapai jumlah sebesar Rp 34.129.,2 milyar,
yang terdiri dari pembiayaan rupiah sebesar Rp 23.926,9 milyar, dan bantuan proyek sebesar
Rp 10.202,3. milyar. Bila dibandingkan dengan anggaran yang direncanakan dalam Repelita III,
maka jumlah pengeluaran pembangunan sebesar Rp 34.129,2 milyar tersebut menunjukkan
kenaikan sebesar Rp 12.279,8 milyar, atau 56,2 persen dari yang direncanakan dalam Repelita
III.

Pembiayaan pembangunan sebesar Rp 34.129,2 milyar selama Pelita III telah


menghasilkan berbagai macam program pembangunan yang ditujukan kepada usaha pening-
katan kesejahteraan rakyat, pembagian pendapatan yang makin merata, dan perluasan
kesempatan kerja, baik melalui pembangunan sektaral yang dilaksanakan oleh departemen/
lembaga maupun melalui pembangunan regional dalam berbagai bentuk program Inpres dan
bantuan pembangunan melalui Ipeda. Dalam pelaksanaannya, berbagai kebijaksanaan dan
program pembangunan sektaral yang didasarkan kepada unsur prioritas, penyebaran serta
pemerataan pembangunan itu diselaraskan dengan pembangunan regional, sehingga pem-
bangunan sektaral yang berlangsung di daerah benar-benar sesuai dengan potensi dan per-
masalahan masing-masing daerah. Di lain pihak pelaksanaan pembangunan regional dalam
berbagai bentuk program Inpres dan bantuan pembangunan melalui Ipeda, juga merupakan
usaha untuk tercapainya keserasian laju pertumbuhan antar daerah menuju kepada pemerataan
pembangunan.

Ditinjau secara sektoral, pengeluaran pembangunan selama Pelita III digunakan antara
lain untuk membiayai program-program pembangunan bidang ekonomi, terutama di sektor
pertambangan dan energi, sektor perhubungan dan pariwisata serta sektor pertanian dan
pengairan, dengan jumlah pengeluaran masing-masing sebesar Rp 5.175,0 milyar, Rp 4.457,0
milyar dan Rp 4.235,2 milyar. Hal ini berarti bahwa tiap sektor pembangunan tersebut telah
menyerap dana masing-masing sebesar 15,2 persen, 13,1 persen dan 12,4 persen dari seluruh
jumlah pengeluaran pembangunan dalam Pelita III. Pengeluaran pembangunan lainnya yang

Departemen Keuangan RI 52
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

menyerap dana cukup besar dalam Pelita III adalah sektor pendidikan, generasi muda,
kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sektor pembangunan
daerah, desa, dan kota, serta sektor tenaga kerja dan transmigrasi, dengan alokasi dana masing-
masing sebesar Rp 3.397,1 milyar, Rp 2.894,2 milyar dan Rp 1.797,5 milyar, atau masing-
masing telah menyerap dana sebesar 9,9 persen, 8,5 persen dan 5,3 persen dari seluruh jumlah
pengeluaran pembangunan selama Pelita III. Dengan demikian keenam sektor pembangunan
bidang ekonomi yang sebagian besar dananya dikelola departemen/lembaga itu telah menyerap
dana sebesar Rp 21.956,0 milyar atau 64,3 persen dari seluruh /pengeluaran pembangunan
selama Pelita III. Sesuai dengan arab dan kebijaksanaan Pelita III, penggunaan dana di keenam
sektor .pembangunan bidang ekonomi tersebut ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan yang
makin merata bagi seluruh rakyat, yang berarti pula makin memperkokoh ketahanan nasional.
Melalui pembangunan sektor pertambangan dan energi, telah dilaksanakan inventarisasi dan
pemetaan, serta ditingkatkap eksplorasi dan exploitasi kekayaan alam berupa sumber mineral
dan energi, sehingga penerimaan negara dari produksi ekspor pertambangan dapat bertambah.
Dalam kegiatan ini pula peranserta swasta nasional lebih ditingkatkan, terutama dalam
pertambangan rakyat. Selanjutnya melalui pembangunan sektor perhubungan dan pariwisata,
pembangunan prasarana angkutan dan perhubungan lebih ditingkatkan, sehingga dapat
memperlancar arus barang/jasa dan manusia ke seluruh daerah, terutama daerah pedesaan dan
daerah terpencil, serta dalam kota, dan dengan demikian merangsang dan menunjang
pencapaian sasaransasaran pembangunan. Melalui pembangunan sektor perhubungan dan
pariwisata ini pula telah ditingkatkan, dan diperluas kepariwisataan dalam rangka
meningkatkan penerimaan devisa, perluasan lapangan kerja, di samping untuk memperkenalkan
kebudayaan bangsa. Pemhangunan sektor pertanian dan pengairan yang telah dilaksanakan
selama Pelita III, merupakan kelanjutan dalam rangka meningkatkan produksi pangan yang
diarahkan untuk memperbaiki tingkat hidup petani, memperluas kesempatan kerja, dan
menjamin penyediaan panganuntuk masyarakat pada tingkat harga yang layak. Di samping itu
juga te1ah diarahkan agar dapat menunjang pembangunan industri pertanian, serta dapat
meningkatkan ekspor non migas. Pembiayaan pembangunan sektor pendidikan, generasi muda,
kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Pelita III
diarahkan kepada usaha-usaha peningkatan kecerdasan bangsa. Rangkaian kebijaksanaan pokok
yang telah dirumuskan dalam Repelita III adalah dalam rangka tercapainya tujuan
pembangunan di bidang pendidikan dan pengembangan generasi muda. Kegiatan-kegiatan
tersebut ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan, kesempatan belajar yang dikaitkan
dengan aspek pemerataan, peranan pendidikan dalam pembangunan, serta mempersiapkan

Departemen Keuangan RI 53
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

generasi muda sebagai penerus perjuangan dan pembangunan nasional. Pembangunan regional
dalam Pelita III yang dilaksanakan melalui sektor pembangunan daerah, desa dan kota
merupakan kelanjutan kegiatan yang telah dilaksanakan dalam Pelita II. Peranan pembangunan
daerah dalam Pelita III semakin bertambah besar karena dalam melanjutkan pelaksanaan
Trilogi Pembangunan, tekanan lebih diberikan kepada usaha pemerataan khususnya pemerataan
pembangunan di seluruh wilayah tanah air. Masalah-masalah yang menonjol dalam sektor
tenaga kerja dan transmigrasi selama Pelita III di bidang ketenagakerjaan adalah pertambahan
penduduk yang tinggi sehingga menimbulkan kelebihan tenaga kerja, kekurangseimbangan
dalam susunan unsur tenaga kerja dan penyebaran tenaga kerja, serta adanya
kekurangseimbangan antara tenaga kerja terdidik dan tak terdidik, di samping juga belum
tersedianya posar tenaga kerja yang menyalurkan tenaga kerja secara efektif dan efisien. Untuk
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, selama Pelita III telah ditempuh berbagai
langkah dan kebijaksanaan di bidang tenaga kerja yang bersifat menyeluruh, dan terpadu,
dengan sasaran perluasan serta pemerataan kesempatan kerja produktif dan numeratif, sehingga
dengan demikian dapat meningkatkan pemerataan pembagian pendapatan.

Dengan memperhatikan hasil-hasil pembangunan yang dicapai selama Pelita III maka
dalam RAPBN 1985/1986, yang merupakan pelaksanaan tahun kedua Pelita IV, arah dan
kebijaksanaan pembangunan yang ditempuh selama Pelita III terus dilanjutkan dan ditingkatkan
agar peningkatan tarat hidup, kecerdasan dan kesejahteraan yang makin merata dan adil bagi
seluruh rakyat dapat tereapai, dan pada gilirannya dapat merupakan landasan yang kuat untuk
tahap pembangunan berikutnya. Sementara itu makin meningkatnya program-program
pembangunan yang akan dijalankan hams diimbangi pula dengan pengerahan dana
pembangunan yang lebih besar. Seperti halnya dengan Repelita-repelita sebelumnya,
pengerahan dan penggunaan dana pembangunan dalam RAPBN 1985/1986, yang merupakan
reneana operasional tahunan daripada Repelita IV tetap berlandaskan pada Trilogi
Pembangunan. Dengan demikian di dalam pengerahan dan penggunaan dana tersebut,
keserasian antara pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi serta
stabilitas nasional akan tetap menjadi pertimbangan pokok.

Dengan berlandaskan pada arah dan sasaran serta berpedoman kepada kebijaksanaan
yang telah ditetapkan, pengeluaran pembangunan dalam tahun anggaran 1985/1986
direncanakan sebesar Rp 10.647,0 milyar, yang terdiri dari pembiayaan rupiah sebesar Rp
6.349,8 milyar dan bantuan proyek sebesar Rp 4.297,2 milyar. Bila dibandingkan dengan
APBN 1984/1985, pembiayaan rupiah sebesar Rp 6.349,8 milyar tersebut menunjukkan

Departemen Keuangan RI 54
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Rp262,0 milyar alan 4,3 persen lebih besar. Perkembangan pengeluaran pembangunan di luar
bantuan proyek sejak pelaksanaan Repelita I hingga sekarang dapat diikuti pada Tabel II.14

Tabel II.14
PENGELUARAN PEMBANGUNAN, 1969/1970 -1985/1986 1)
( dalam milyar rupiah)
Kenaikan
Tahun anggaran Jumlah Jumlah Persentase
PELITA I:
1969/1970 92,9 -
1970/1971 128,1 35,2 37,9
1971/1972 150,9 22,8 17,8
1972/1973 235,9 85 56,3
1973/1974 336,8 100,9 42,8
PELITA II
1974/1975 765,9 429,1 127,4
1975/1976 926,3 100,4 20,9
1976/1977 1.280,90 354,6 38,3
1977/1978 1.419,20 138,3 10,8
1978/1979 1.568,30 149,1 10,5
PELITA III :
1979/1980 2.697,90 1.129,60 72
1980/1981 4.486,40 1.788,50 66,3
1981/1982 5.276,20 789,8 17,6
1982/1983 5.434,70 158,5 3
1983/1984 6.031,70 597 11
REPELITA IV
1984/1985 2) 6.087,80 56,1 0,9
1985/19863) 6.349,80 262 4,3
1) Di luar bantuan proyek
2) Angka APBN
3) Angka RAPBN

Penggunaan anggaran pembangunan yang direncanakan sebesar Rp 10.647,0 milyar


tersebut akan lebih dipertajam prioritasnya dalam Repelita IV, yaitu diarahkan kepada proyek-
proyek yang secara langsung alan tidak langsung meningkatkan pemerataan kegiatan
pembangunan baik dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, politik maupun penahanan dan
keamanan. Di samping itu diarahkan pula kepada proyek-proyek yang dapat meningkatkan laju
pertumbuhan terutama sektor pertanian dalam rangka swasembada pangan, sektor industri yang
menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, sena pada sektor-sektor lain yang menunjang
tereapainya sasaran pertumbuhan dan keseimbangan struktur perekonomian. Pengarahan
pengeluaran pembangunan kepada proyek-proyek yang diprioritaskan untuk pertumbuhan dan
pemerataan tersebut pada gilirannya akan menunjang tereapainya sasaran kestabilan
perekonomian. Dalam reneana anggaran pembangunan tersebut telah termasuk pula
peningkatan bantuan pembangunan daerah, dengan tujuan lebih meningkatkan peranserta

Departemen Keuangan RI 55
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

masyarakat dalam kegiatan pembangunan.

Berdasarkan pada kebijaksanaan yang telah digariskan, anggaran pembangunan sebesar


Rp 10.647,0 milyar tersebut dialokasikan pada sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan
nasional dan kepereayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebesar Rp 1.510,8 milyar, sektor pertanian
dan pengairan sebesat Rp 1.430,4 milyar, dan sektor perhubungan dan pariwisata sebesar Rp
1.425,4 milyar. Selanjutnya untuk anggaran sektor pertambangan dan energi direncanakan
sebesar Rp 1.301,7 milyar, sektor pembangunan daerah, desa dan kota sebesar Rp 868,2 milyar
dan sektor tenaga kerja dan transmigrasi sebesar Rp 676,8 milyar. Selebihnya dialokasikan
kepada dua belas sektor pembangunan lainnya. Dengan demikian keenam sektor pembangunan
yang telah disebutkan masing-masing mendapat alokasi sebesar 14,2 persen, 13,4 persen, 13,4
persen, 12,2 persen, 8,2 persen dan 6,4 persen dari anggaran yang direncanakan dalam tahun
1985/1986.

Pembangunan sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan


terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dititik beratkan pada peningkatan mutu dan
perluasan pendidikan dasar dalam rangka mewujudkan dan memantapkan pelaksanaan wajib
belajar, serta meningkatkan perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan menengah.
Pelaksanaan wajib belajar ini dituangkan dalam program Inpres sekolah dasar, yang diberikan
dalam rangka mempercepat penuntasan keikutsertaan anak usia sekolah pada pendidikan dasar.
Untuk mendukung tercapainya perluasan kesempatan kerja yang merupakan kebutuhan yang
makin mendesak, berbagai tingkat dan jenis pendidikan ketrampilan serta latihan kejuruan yang
dapat menciptakan kegiatan kerja, lebih diperluas dan ditingkatkan.

Pembangunan sektor pertanian dan pengairan dalam tahun 1985/1986 merupakan


kegiatan yang diarahkan kepada usaha untuk meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi
kebutuhan pangan, kebutuhan in du stri dalam negeri serta meningkatkan ekspor, meningkatkan
pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja, mendorong pemerataan kesempatan
berusaha, mendukung pembangunan daerah, serta meningkatkan kegiatan transmigrasi. Dengan
demikian sektor pertanian akan makin kuat guna mendorong perkembangan industri dalam
rangka mencapai keseimbangan ekonomi.

pembangunan sektor perhubungan dan pariwisata yang meliputi perhubungan darat,


lalit, dan udara, serta pembangunan pos dan telekomunikasi, dalam RAPBN 1985/ 1986 tetap
mendapatkan perhatian sesuai dengan prioritas yang telah digariskan dalam GBHN. Termasuk
didalamnya usaha peningkatan dalam pengembangan jasa meteorologi dan geofisika untuk
menunjang keselamatan masyarakat pada umumnya, keselamatan pelayaran dan penerbangan

Departemen Keuangan RI 56
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pada khususnya, serta untuk kepentingan pembangunan di berbagai sektor. Demikian juga
pembangunan pariwisata terus ditingkatkan melalui kebijaksanaan terpadu, antara lain berupa
peningkatan kegiatan promosi dan pendidikan kepariwisataan, penyediaan sarana dan
prasarana, serta peningkatan mutu dan kelancaran pelayanan.

Di sektor pertambangan dan energi, usaha-usaha untuk meningkatkan produksi dan


ekspor hasil pertambangan, terutama sektor minyak bumi dan gas alam yang merupakan
sumber penerimaan negara yang terbesar selama ini, akan dilanjutkan dan diperluas. Oleh sebab
itu kegiatan pembangunan sektor pertambangan yang meliputi inventarisasi dan pemetaan,
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam berupa sumber mineral dan energi dalam tahun
1985/1986 terus ditingkatkan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna, sehingga produksi
dan ekspor pertambangan serta penerimaan negara akan dapat meningkat pula. Demikian pula
dengan pembangunan tenaga listrik yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat kota dan
desa, serta mendorong kegiatan ekonomi khususnya industri, terus dilanjutkan dan
ditingkatkan.

Kegiatan pembangunan dalam sektor pembangunan daerah, desa dan kota tetap
diarahkan kepada perluasan kesempatan kerja, pembinaan dan pengembangan lingkungan
pemukiman pedesaan dan perkotaan yang sehat, serta peningkatan kemampuan penduduk untuk
memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam. Untuk terlaksananya sasaran ini, bantuan
pembangunan yang diberikan kepada daerah berupa program-program Inpres dan bantuan
pembangunan lainnya makin ditingkatkan dan disempurnakan. Diberikannya berbagai program
bantuan pembangunan kepada daerah selama ini, telah memberikan kesempatan kepada daerah
untuk merencanakan dan )11elaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
masing-masing daerah.

Selanjutnya bantuan proyek yang dalam RAPBN 1985/1986 disediakan sebesar


Rp4.297,2 milyar, direncanakan untuk membiayai berbagai macam proyek prasarana serta
sektor-sektor produktif dan bermanfaat, yang tersebar dalam delapan belas sektor
pembangunan.

Perincian pengeluaran pembangunan secara sektoral dalam RAPBN 1985/1986 adalah


sebagai berikut :

Departemen Keuangan RI 57
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

( dalam ribuan rupiah)


1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN 1.430.363.000

Sub Sektor Pertanian 900.971.000


Sub Sektor Pengairan 529.392.000

2. SEKTOR INDUSTRI 655.141.000


Sub Sektor Industri 655.141.000

3. SEKTOR PERT AMBANGAN DAN ENERGI 1.301.679.000

Sub Sektor Pertambangan 275.975.000


Sub Sektor Energi 1.025.704.000

4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA 1.425.350.000

Sub Sektor Prasarana Jalan 621.658.000


Sub Sektor Perhubungan Darat 238.095.000
Sub Sektor Perhubungan Laut 274.739.000
Sub Sektor Perhubungan Udara 190.365.000
Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi 71.580.000
Sub Sektor Pariwisata 28.913.000

5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI 128.830.000

Sub Sektor Perdagangan 60.012.000


Sub Sektor Koperasi 68.818.000

6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 676.788.000


Sub Sektor Tenaga Kerja 98.531.000
Sub Sektor Transmigrasi 578.257.000

7. SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH, DESA DAN KOTA 868.219.000


Sub Sektor Pembangunan Daerah, Desa dan Kota 868.219.000

8. SEKTOR AGAMA 63.595.000


Sub Sektor Agama 63.595.000

9. SEKTOR PENDIDIKAN, GENERASI MUDA,


KEBUDAYAAN NASIONAL DAN KEPERCAYAAN
TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA 1.510.846.000
Sub Sektor Pendidikan Umum dan Generasi Muda 1.361.126.000
Sub Sektor Pendidikan Kedinasan 102.092.000
Sub Sektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 47.628.000

Departemen Keuangan RI 58
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

10. SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL,


PERANAN W ANITA, KEPENDUDUKAN DAN
KELUARGA BERENCANA 413.362.000
Sub Sektor Kesehatan 254.962.000
Sub Sektor Kesejahteraan Sosial dan Peranan Wanita 58.308.000
Sub Sektor Kependudukan dan Keluarga Berencana 100.092.000

11. SEKTOR PERUMAHAN RAKY AT DAN PEMUKIMAN 437.641.000


Sub Sektor Perumahan Rakyat dan Pemukiman 437.641.000

12. SEKTOR HUKUM 80.720.000


Sub Sektor Hukum 80.720.000

13. SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL 714.064.000


Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional 714.064.000

14. SEKTOR PENERANGAN, PERS DAN KOMUNlKASI SOSIAL 67.687.000


Sub Sektor Penerangan, Pers dan Komunikasi Sosial 67.687.000

15. SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN PENELITIAN 207.938.000


Sub Sektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 74.383.000
Sub Sektor Penelitian 133.555.000

16. SEKTOR APARATUR PEMERINTAH 176.441.000

Sub Sektor Aparatur Pemerintah 176.441.000

17. SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA 229.147.000

Sub Sektor Pengembangan Dunia Usaha 229.147.000

18. SEKTOR SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP 259.189.000

Sub Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup 259.189.000

JUMLAH 10.647.000.000

Pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan rupiah diperinci atas tiga bagian
besar, yaitu pengeluaran pembangunan departemen/lembaga termasuk di dalamnya departemen
Hankam, bantuan pembangunan bagi daerah, dan lain-lain pengeluaran pembangunan.
Pengeluaran pembangunan melalui departemen/lembaga merupakan pembiayaan yang
disediakan untuk pembangunan sektoral dan dikelola oleh departemen/lembaga, sedangkan

Departemen Keuangan RI 59
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pengeluaran pembangunan berupa bantuan pembangunan bagi daerah merupakan bantuan yang
diberikan Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan
sesuai dengan potensi dan prioritas daerah masing-masing dalam bentuk program Inpres,
bantuan Ipeda dan bantuan pembangunan Timor Timur. Dalam perkembangannya, program-
program Inpres yang terdiri dari bantuan pemb:mgunan desa, bantuan pembangunan kabupaten,
bantuan pembangunan Dati I, bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuan pembangunan
sarana kesehatan, bantuan pembangunan/pemugaran posar, bantuan penghijauan/rebuisasi, dan
bantuan pembangunan prasarana jalan, menunjukkan hasil-hasil yang nyata.

Bantuan pembangunan desa, yang diberikan untuk mendorong dan mengarahkan usaha-
usaha swadaya gotongroyong masyarakat dalam membangun desanya, pada awal Pelita I baru
diberikan kepada 44.478 desa dengan jumlah bantuan sebesar Rp 2,6 milyar. Pada akhir Pelita
II telah meningkat menjadi Rp 24,0 milyar dengan jumlah desa sebanyak 60.645 buah, dan
pada akhir Pelita III meningkat lagi menjadi Rp 91,6 milyar dengan jumlah desa sebanyak
66.437 buah. Dalam APBN 1984/1985, jumlah bantuan yang diberikan adalah sebesar Rp 92,8
milyar untuk 67.448 desa, sedang dalam RAPBN 1985/1986 bantuan terse but ditingkatkan
menjadi Rp 98,6 milyar, berhubung dengan bertambahnya jumlah bantuan menjadi Rp 1.350
ribu tiap desa.

Sementara itu bantuan pembangunan kabupaten yang besarnya didasarkan atas jumlah
penduduk, dimaksudkan untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, serta
meningkatkan partisiposi penduduk dalam pembangunan. Oleh sebab itu selain bantuan berupa
uang, kepada seBap kabupaten diberikan juga bantuan peralatan berupa satu buah mesin gilas
jalan. Adapun proyek-proyek yang dapat dibiayai oleh dana bantuan pembangunan kabupaten
meliputi proyek/kegiatan yang bersifat pemeliharaan jalan dan jembatan yang sudah ada, serta
proyek peningkatan dan pembangunan jalan yang dapat membuka daerah terisolasi sehingga
dapat mengembangkan perekonomian daerah dan memperluas kesempatan berusaha. Di
samping itu dapat juga dipergunakan untuk membiayai proyekproyek yang bersifat
meningkatkan ketrampilan penduduk pedesaan, dalam rangka memanfaatkan dan memelihara
sumber alam, dan pemeliharaan prasarana pedesaan. Dengan makin bertambahnya jumlah
penduduk dan kemampuan keuangan negara, bantuan yang diberikan terus meningkat pula
setiap tahunnya. Dalam tahun 1970/1971, bantuan yang diberikan baru mencapai jumlah
sebesar Rp 5,6 milyar, kemudian menjadi Rp 42,5 milyar dan Rp 87,1 milyar masing-masing
pada awal Pelita II dan Pelita III. Dalam RAPBN 1985/1986 yang merupakan tahun kedua
Pelita IV bantuan yang diberikan direncanakan sebesar Rp 215,9 milyar alas dasar perhitungan

Departemen Keuangan RI 60
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Rp 1.250,- bantuan per jiwa dan bantuan minimum yang diberikan adalah sebesar Rp 170,0 juta
untuk kabupaten.

Dalam rangka meningkatkan keselarasan pembangunan sektoral dan regional,


meratakan hasil-hasil pembangunan, dan untuk meningkatkan keserasian laju pertumbuhan
antar daerah serta meningkatkan peranserta daerah dalam pembangunan, bantuan pembangunan
Dati I dalam RAPBN 198511986lebih ditingkatkan penggunaannya. Program Inpres Dati I ini
terdiri dari bantuan yang ditetapkan penggunaannya, dan diarahkan penggunaannya. Bantuan
yang ditetapkan digunakan untuk membiayai perbaikan jalan dan jembatan, perbaikan dan
peningkatan irigasi, serta biaya eksploitasi dan pemeliharaan pengairan. Sedangkan bantuan
yang diarahkan, digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek yang meningkatkan taraf hidup
rakyat serta untuk mengembangkan daerah-daerah minus di daerah kritis. Dalam APBN
1984/1985, bantuan yang diberikan adalah sebesar Rp 253,0 milyar dengan bantuan minimum
untuk liar propinsi sebesar Rp 9,0 milyar, sedangkan dalam RAPBN 1985/1986 direncanakan
sebesar Rp 280,0 milyar dengan bantuan minimum sebesar Rp 10,0 milyar, dan bantuan
maksimum Rp 12,0 milyar.

Adapun bantuan pembangunan sekolah dasar yang bertujuan untuk memperluas


kesempatan belajar, terutama bagi anak-anak usia sekolah pada pendidikan dasar yang berada
di pedesaan, daerah terpencil, daerah transmigrasi, dan pemukiman baru, dalam tahun
1985/1986 lebih ditingkatkan lagi. Pada mulanya bantuan pembangunan sekolah dasar ini
diberikan untuk pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung sekolah dasar, penyediaan buku-
buku pelajaran, serta buku bacaan bagi anak-anak sekolah dasar saja. Selanjutnya ditingkatkan
dengan pembangunan penambahan ruang kelas baru, dan kemudian diperluas lagi pada tahun
berikutnya dengan pembangunan rumah bagi kepala sekolah dan guru yang bertugas di daerah
terpenci1. Dalam tahun 1982/1983, bantuan pembangunan sekolah dasar lebih ditingkatkan
lagi, yaitu ditambah dengan penyediaan paket peralatan olah raga untuk sekolah dasar negeri
dan swasta, serta madrasah ibtidaiyah. Adapun jumlah bantuan yang telah diberikan dalam
tahun 1973/1974 adalah sebesar Rp 17,2 milyar, kemudian ditingkatkan menjadi Rp 19,7
milyar pada awal Pelita II, dan ditingkatkan lagi menjadi Rp 155,8 milyar pada awal Pelita III.
Dalam APBN 1984/1985, yang merupakan permulaan Pelita IV, bantuan yang diberikan adalah
sebesar Rp 580,8 milyar, dan dalam RAPBN 1985/1986 direncanakan sebesar Rp 617,0 milyar.
Jumlah tersebut meliputi antara lain pembangunan gedung sekolah baru, pembangunan rumah
guru dan kepala sekolah di daerah terpencil, perbaikan gedung-gedung sekolah yang sudah ada,
penyediaan buku-buku pelajaran dan buku bacaan, serta penyediaan alat-alat olah raga dalam

Departemen Keuangan RI 61
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

bentuk paket.

Sebagaimana halnya dalam Pelita III, sasaran peningkatan pelayanan kesehatan dan
perbaikan gizi dalam Pelita IV tetap diutamakan kepada golongan masyarakat yang ber-
penghasilan rendah, baik di desa maupun di kota. Untuk keperluan itu dalam tahun 1985/ 1986
bantuan pembangunan yang diberikan melalui Inpres Sarana Kesehatan lebih ditingkatkan lagi
jumlahnya. Bila dalam APBN 1984/1985 jumlah bantuan yang diberikan sebesar Rp 98,4
milyar maka dalam RAPBN 1985/1986 disediakan sebesar Rp 114,5 milyar yang direncanakan
dipergunakan antara lain untuk pembangunan puskesmas baru, puskesmas pembantu,
puskesmas keliling, dan pernmahan untuk dokter dan paramedis.

Untuk membantu para pedagang kecil golongan ekonomi lemah, yang sebagian besar
berpenghasilan rendah, melalui bantuan pembangunan dan pemugaran posar diberikan
kesempatan kepada Pemerintah daerah untuk menyediakan tempat berjualan/posar dengan sewa
semurah mungkin. Dalam tahun 1978/1979, bantuan yang diberikan baru sebesar Rp 1,2 milyar,
sedangkan dalam APBN 1984/1985 disediakan sebesar Rp 10,6 milyar. Untuk tahun 1985/1986
anggaran yang direncanakan untuk program Inpres ini adalah sebesar Rp 11,5 milyar.

Kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup tetap mendapat perhatian yang besar
dalam Repelita IV. Sehubungan dengan itu anggaran bagi bantuan penghijauan dan reboisasi,
yang bertujuan untuk menyelamatkan kelestarian sumber-sumber alam, tanah hutan, dan air,
lebih ditingkatkan lagi. Kegiatan penghijauan meliputi penanaman tanaman tahunan,
pembuatan hutan rakyat, pembuatan bangunan pencegah erosi, percontohan pertanian terpadu,
dalam pelaksanaannya banyak melibatkan aparatur Pemerintah desa serta berbagai lembaga
yang ada di desa. Pada awal pelaksanaannya tahun 1976/1977, anggaran yang diberikan untuk
program Inpres ini baru sebesar Rp 16,0 milyar. Dalam tahun 1984/ 1985 disediakan anggaran
sebesar Rp 39,8 milyar, dan dalam tahun 1985/1986 anggaran untuk program Inpres ini
direncanakan sebesar Rp 42,3 milyar.

Dengan diberikannya bantuan penunjangan jalan kabupaten sejak 1979/1980, selama


Pelita III telah berhasil diperbaiki jalan sepanjang 33.021 km dan jembatan sebanyak 62.383
buah dengan jumlah biaya sebesar Rp 200,7 milyar. Sedangkan dalam APBN 1984/ 1985
disediakan bantuan sebesar Rp 80,1 milyar untuk memperbaikijalan sepanjang 7.500 km dan
jembatan sebanyak 19.050 buah. Bantuan ini sangat bermanfaat bagi Dati II dalam rangka
pembangunan daerah, khususnya dalam membuka daerah yang masih terisolasi,
menghubungkan daerah produksi hasil pertanian dengan daerah pemasarannya. Oleh sebab itu
dalam tahun 1985/1986 bantuan yang direncanakan untuk program bantuan penunjangan jalan

Departemen Keuangan RI 62
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

ditingkatkan menjadi Rp 87,5 milyar.

Bantuan pembangunan kepada daerah Timor Timur diberikan sejak tahun 1977/1978.
Bantuan yang diberikan dalam rangka memberi kesempatan kepada propinsi termuda ini agar
dapat sejajar dengan tingkat kemajuan daerah-daerah lainnya di Indonesia, digunakan untuk
membiayai berbagai kegiatan pembangunan, terutama pada sektor pendidikan, kesehatan, dan
sektor pemerintahan. Dalam tahun 1977/1978, bantuan yang diberikan adalah sebesar Rp 3,5
milyar, kemudian Rp 4,5 milyar dalam tahun 1978/1979, dan se1ama Pelita III telah diberikan
bantuan sebesar Rp 30,7 milyar. Dalam APBN 1984/1985, bantuan pembangunan untuk daerah
Timor Timur adalah sebesar Rp 8,5 milyar, sedangkan dalam RAPBN 1985/1986 disediakan
bantuan sebesar Rp 8,8 milyar.

Pembiayaan pembangunan lainnya dalam RAPBN 1985/1986 disediakan sebesar


Rp1.062,0 milyar, yang terdiri dari pembiayaan subsidi pupuk sebesar Rp 557,8 milyar,
penyertaan modal Pemerintah sebesar Rp 255,6 milyar, dan pembiayaan lain-lain pembangunan
sebesar Rp 248,6 milyar. Pemberian subsidi pupuk oleh Pemerintah pada hakekatnya bertujuan
untuk mendukung program swasembada pangallo Dengan diberikannya subsidi ini, harga
pupuk akan dapat disesuaikan dengan clara beli rakyat dan petani kecil, sehingga mereka dapat
membe1i pupuk sesuai dengan yang diperlukan. Bila dalam APBN 1984/1985 anggaran untuk
subsidi pupuk disediakan sebesar Rp 458,7 milyar, maka dalam tahun 1985/1986 direncanakan
untuk ditingkatkan menjadi Rp 557,8 milyar. Pembangunan melalui sektor pengembangan
dunia usaha dilakukan Pemerintah me1alui penyertaan modal Pemerintah pada perusahaan-
perusahaan negara yang bergerak di berbagai sektor, diantaranya sektor pertanian, industri,
pertambangan, perhubungan, dan perkreditan. Realisasi pengeluaran pembangunan bagi
penyertaan modal Pemerintah disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara setiap
tahunnya. Dalam APBN 1984/1985 anggaran yang disediakan adalah sebesar Rp 359,6 milyar,
sedangkan dalam RAPBN 1985/1986 disediakan sebesar Rp 255,6 milyar, yang direncanakan
antara lain untuk pembiayaan proyek-proyek pabrik pupuk, tambang batu bara, dan proyek-
proyek perkebunan tanaman komoditi ekspor. Selanjutnya penge1uaran pembangunan lainnya
yang dianggarkan sebesar Rp 248,6 milyar dalam RAPBN 1985/1986, ditujukan kepada
program pembangunan yang menyangkut kepentingan masyarakat umum yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan negara, dan lembaga Pemerintah lainnya. Program-program
pembangunan tersebut diantaranya adalah program pembinaan keluarga berencana, program
pengembangan statistik/sensus, dan pengembangan program perumahan rakyat. Rencana
penge1uaran pembangunan dalam tahun 1985/1986 dapat dilihat pada Tabel II.15 dan Tabel

Departemen Keuangan RI 63
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

II.16.

Tabel II. 15
RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1985/1986
( dalam milyar rupiah)

Penerimaan Pengeluaran Jumlah

A. PEN. DALAM NEGERI 18.677,90 A. PENG. RUTIN 12.399,00


I. Penerrmaan minyak bumi dan gas alam 11.159,70 I. Belanja pegawai 4.117,30
1. Tunjangan beras 482,5
II. Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam 7.518,20 2. Gaji/pensiun 3.115,80
3. Biaya makan (lauk-pauk) 313,3
4. Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 116,6
1. Pajak penghasilan 3.074,00
2. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak 1.666,40 5. Belanja pegawai luar negeri 89,1
penjualan atas barang mewah II. Belanja baraag
1.529,90
1. Dalam negeri 1.451,80
3. Bea masuk dan cukai 1.680,40 2. Luar negeri 78,1
4. Pajak ekspor 101,7 III. Subsidi daerah otonom 2.590,40
5. Ipeda 167,4 1. Belanja pegawai 2.349,00
6. Pajak lainnya 96,4 2. Belanja non pegawai 241,4
7. Penerimaan bukan pajak 731,9 IV. Bunga dan cicilan hutang 3.559,10
1. Dalam negeri 30
2. Luar negeri 3.529,10
V. Lain-lain 602,3
B. PEN. PEMBANGUNAN 4.368,10 B.PENG. PEMBANGUNAN 10.647,00
I. Bantuan program 70,9 I. Pembiayaan dalam rupiah 6.349,80
II. Bantuan Proyek 4.297,20 II. Bantuan proyek 4.297,20
Jumlah 23.046,00 Jumlah 23.046,00

Tabel II. 16
RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN, 1985/1986
(dalam milyar rupiah)

Jenis Pengeluaran 1984/1985 1985/1986


APBN RAPBN

I. Pembiayaan Departemen/Lembaga 3.510,00 3.644,30


1. Departemen/Lembaga 3.129,80 3.249,10
2. Departemen Hankam 380,2 395,2
II. pembiayaan bagi daerah 1.516,50 1.643,50
1. Bantuan pembangunan desa 92,8 98,6
2. Bantuan pembangunan kabupaten 201,9 215,9
3. Bantuan pembangunan Dati I 253 280
4. Pembangunan SD 580,8 617
5. Pelayanan kesehatan/Puskesmas 98,4 114,5
6. Bantuan pembangunan posar 10,6 11,5
7. Bantuan penghijauan 39,8 42,3
8. Pembangunan prasarana jalan 80,1 87,5
9. Timor Timur 8,5 8,8
10. I P e d a 150,6 167,4
III. Pembiayaan lain-lain 1.061,30 1.062,00
1. Subsidi pupuk 45'8,7 557,8
2. Penyertaan modal pemerintah 359,6 255,6
3. Lain-lain 243 248,6
IV. Bantuan proyek 4.371,50 4.297,20
Jumlah 10.459,30 10.647,00

Departemen Keuangan RI 64
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

2.3.6. Pengawasan pembangunan

Fungsi pengawasan keuangan negara memegang peranan yang makin penting, terutama
dengan makin meningkatnya volume anggaran yang dikelola sebagai konsekuensi dari makin
meluasnya kegiatan pembangunan yang dilaksanakan selama Pelita I, II dan III. Dalam Pelita
IV, fungsi pengawasan makin ditingkatkan dan disempumakan lagi, serta disesuaikan dengan
sasaran-sasaran pembangunan yang hendak dicapai. Peningkatan pengawasan pertama-tama
mempunyai arti peningkatan aparatur pengawasan, baik organisasi maupun kegiatannya.
Peningkatan organisasi tersebut meliputi peningkatan kedudukan, penyesuaian besarnya
organisasi dan personil, peningkatan tatakerja keterampilan serta keahlian, sedangkan
peningkatan kegiatan berarti perluasan ruang lingkup dan luasnya jangkauan pengawasan.
Selanjutnya peningkatan pengawasan adalah juga menggerakkan seluruh aparatur pelaksana
untuk secara aktif melaksanakan pengawasan terhadap bawahannya, yang biasa disebut
pengawasan atasan langsung. Akibat dari peningkatan pengawasan atasan langsung maka
timbul kebutuhan akan peningkatan media yang akan dipergunakan dalam pengawasan
tersebut. Oleh karenanya perlu diciptakan dan ditingkatkan mutu sistem pengendalian
manajemen dalam tiap aparatur Pemerintah. Peningkatan penggunaan hasilhasil pengawasan
oleh seluruh aparatur yang berwenang, yaitu peningkatan pelaksanaan tindak lanjut, baik itu
berupa tinda._an terhadap para pelaku, maupun berupa tindakan penyempumaan kelembagaan,
kepegawaian, dan ketatalaksanaan, juga merupakan salah satu aspek dari peningkatan
pengawasan. Langkah-langkah yang diambil dalam usaha peningkatan pengawasan serta
peningkatan penggunaan hasil-hasil pengawasan oleh seluruh aparatur yang berwenang itu
hams diikuti pula dengan usaha peningk::ttan pengertian dan kesadaran akan pengawasan dari
seluruh masyarakat, baik aparatur Pemerintah maupun masyarakat umum, atau dengan kala lain
peningkatan pemasyarakatan pengawasan.

Pada akhir tahun Pelita III telah ditempuh kebijaksanaan untuk melaksanaka_ sistim
pengawasan terpadu secara struktural. Untuk mewujudkan integrasi secara struktural di bidang
pengawasan seperti dim aksu d, telah diterbitkan Keputusan PresideD Nomor 31 tahun 1983
tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Keputusan Presiden Nomor
32 Tahun 1983 tentang Kedudukan, Tugas pokok, Fungsi dan Tatakerja, serta Struktur
Organisasi Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan, dan Inpres No. 15 tahun 1983 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, yang berlaku sebagai landasan operasional pengawasan.

Pelaksanaan pengawasan di bidang anggaran dilakukan dengan cara pemeriksaan secara

Departemen Keuangan RI 65
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

rutin, dan pemeriksaan secara serentak pada akhir tahun anggaran terhadap proyekproyek Pelita
dan proyek-proyek pembangunan daerah. Adapun jumlah laporan pemeriksaan terhadap
realisasi APBN/APBD selama tahun keempat Pelita III adalah sebanyak 11.590 laporan, yang
meliputi laporan hasil pemeriksaan penerimaan, pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan. Sedangkan pemeriksaan serentak terhadap proyek-proyek Pelita, yang pada
akhir tahun Pelita I baru mencapai 1.956 proyek, pada akhir Pelita II telah mencakup 3.178
proyek dan selanjutnya pada tahun keempat Pelita III bertambah lagi menjadi 5.211 proyek.
Hasil pemeriksaan tersebut menggambarkan kemajuan di dalam disiplin administrasi para
pelaksana proyek, yang tercermin dari perkembangan jumlah berita acara yang tidak benar dan
realisasi fisik yang tidak sesuai dengan DIP. Berita acara yang tidak benar pada periode tersebut
masing-masing adalah 0,20 persen, 0,14 persen dan 0,03 persen dari nilai yang diperiksa.
Sedangkan jumlah kejadian realisasi fisik yang tidak sesuai dengan DIP pada akhir Pelita I,
Pelita II, dan pada tahun keempat Pelita III masing-masing adalah sebanyak 0,19, 0,04 dan 0,08
kejadian per proyek. Perkembangan hasil pemeriksaan khusus proyekproyek Pelita dapat diikuti
pada Tabel II.17. Mulai tahun terakhir Pelita III, pemeriksaan serentak atas proyek-proyek
Repelita tidak lagi dilaksanakan tiap tahun tetapi akan dilakukan sewaktu-waktu bilamana
dianggap perlu. Hal ini adalah karena berdasarkan hasil-hasil pengawasan sejak Pelita I sampai
dengan akhir tahun keempat Pelita III, disiplin administrasi proyek-proyek Pelita secara
keseiuruhan bertambah baik.
Tabel II.17
HASIL PEMERIKSAAN KHUSUS PROYEK.PROYEK PELlTA, 1969/1970 - 1982/1983
PEL1TA I PEL ITA II PEL ITA III
1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983
1. Jumlah Proyek Pelita 759 992 1.483 1.791 1.956 2.100 2.512 2.783 2.940 3.178 4.024 4.262 4.821 5.211
Yang dipcriksa -20,18% -42,26% -71,60% -80,89% -80% -79,06% -81,21% -88,74% -89,66% -90,10% -96,45% -88,39% -90,88% -93,33%
2. Nilai DIP yang diperiksa data-data tak 58.475 87.756 138.784 146.851 222.104 355.103 507.867 647.025 846.773 1.687.5402) 1.912.8172) 3.246.9192) 4.116.729
( jutaan rupiah) dijumpai ka-
rena sasaran
pemeriksaan
ada1ah Kas
Opname
3. Nilai SKO yang diperiksa s.d.a 51.599 85.639 137.410 145.703 213.694 350.173 501.445 632.544 834.956 - - 3) - 3) - 3)
4. Fenerbitan SPMU oleh KPN:
(Murni) (jutaan Rp)
- beban tetap s.d... 18.514 48.408 70.057 80.157 97.038 154.759 207.011 226.171 246.333 362.421 676.024 857.295 1.054.011
- beban sementara s.d... 20.276 16.089 27.620 30.782 44.634 66.740 97.140 129.233 159.682 261.639 491.214 616.065 718.567
- jumlah s.d... 38.790 64.497 97.677 110.939 141.672 221.499 304.151 355.404 406.015 624.060 I.l67.238 1.473.360 1.772.578
5. Penerbitan SPMU oleh KPN :
(dalam pcrsentase)
- beban tetap s.d... 47 % 75% 72 % 72% 68,49% 69,86% 68,06% 63,63% 60,67% 58,07% 57,92% 58,19% 59,46%
- bcban sementara s.d... 53% 25% 28% 28% 31,51% 30,14% 31,94% 36,37% 39,33% 41,93% 2,08% 41,81% 40,54%
6. Berita acorn yang tidak
benar (jutaan RP)I) 1.151 248 111 108 306 368 273 260 979 1.214 3.398 828 3.123 1.098
- jumlab kejadian - 106 52 78 144 78 95 66 173 122 157 - 268 366
7. Realisasi pisik yang tak
sesuai dengan DIP
(jumlah kejadian) - 129 201 88 354 215 234 224 277 126 282 364 361 410
8. Nilai SlAP yang dipcriksa
per 1 April tahun berikutnya
(jutaan Rp) 12-375 23.221 27.324 38.370 41.142 86.683 160.789 251.326 369.361 566.015 704.540 969.814 1.180.162 1.647.101
1) Daiam Pelita I terdiri atas pcnerbitan SPMU murni SlAP: dalam Pelita II khusus penerbitan SPMU murni saja
2) Jumlab anggaran yang diperiksa
3) Mulai tabun anggaran 1979/1980 DIP berfungsi sebagai SKO

Dalam tahun 1983/1984, telah dilakukan pemeriksaan serentak terhadap belanja


pegawai daerah otonom dan pegawai pusat pada 27 propinsi, dalam rangka memperoleh
gambaran mutakhir mengenai jumlah pegawai Pemerintah serta permasalahannya. Dari hasil
pemeriksaan belanja pegawai tersebut, ditemukan hal-hat mengenai ketertiban administrasi

Departemen Keuangan RI 66
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kepegawaian maupun hal-hal yang merugikan negara, diantaranya ialah pembayaran gaji
pegawai fiktif, pembayaran gaji kepada pegawai yang belum/tidak berhak, pembayaran rangkap
kepada pegawai berupa pembayaran dari perusahaan dan dari Pemerintah daerah, pembayaran
rangkap kepada pegawai berupa pembayaran dari dua instansi Pemerintah, kelebihan
pembayaran tunjangan keluarga, kelebihan pembayaran kepada pegawai yang tidak patuh
kepada disiplin kepegawaian (meninggalkan tugas lebih dari 2 bulan tanpa alasan), kesalahan
perhitungan yang mengakibatkan pembayaran gaji lebih besar dari seharnsnya, kesalahan
perhitungan yang mengakibatkan pembayaran pensiunan lebih besar dari yang seharnsnya, dan
sebagainya.

Pemeriksaan secara rutin juga dilakukan terhadap Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), yang meliputi pemeriksaan atas Persero, Perum, Perjan, dan perusahaan-perusahaan
negara yang didirikan dengan undang-undang tersendiri, seperti Pertamina dan bank-bank milik
negara. Terhadap BUMN ini pada umumnya dilakukan pemeriksaan terhadap neraca dan
perkiraan rugi laba, yang diakhiri dengan pernyataan akuntan yang dapat dipergunakan untuk
menilai kemajuan dan ketertiban perianggungjawaban keuangan. Pernyataan akuntan
"menyetujui tanpa syarat" (yaitu pernyataan terhadap laporan keuangan BUMN jang disajikan
sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi) dari tahun ke tahun terus meningkat jumlahnya. Hal ini
menunjukkan bahwa administrasi pertanggungjawaban keuangan perusahaan semakin
bertambah baik. Pada akhir Pelita II, dari selurnh BUMN yang diperiksa terdapat 79 perusahaan
yang memperoleh pernyataan "menyetujui tanpa syarat", sedang dalam tahun terakhir Pelita III
terdapat kenaikan jumlah pernsahaan yang mendapat pernyataan "menyetujui tanpa syarat
menjadi 230 perusahaan.

Pengeluaran negara yang menyangkut subsidi BBM mengalami kenaikan karena


meningkatnya biaya pokok BBM dan semakin naiknya permintaan masyarakat akan BBM.
Sehubungan dengan itu telah dilakukan penelitian atas pengetrapan prinsip-prinsip perhitungan
biaya BBM yang telah ditetapkan. Usaha-usaha Pertamina di dalam mencapai accountability
dan auditability di bidang tata usaha keuangannya meliputi pula anak-anak perusahaan/joint
venture Pertamina. Selain itu dilakukan pula pemeriksaan terhadap para kontraktor minyak
asing yang mengadakan kerja sama dengan Pertamina dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil, dan
Kontrak Karya. Pemeriksaan tersebut dilakukan terhadap selurnh kontraktor minyak asing yang
telah berproduksi secara komersial. Pada umumnya hasil pemeriksaaan terhadap kontraktor
minyak asing tersebut menguntungkan Pemerintah karena terdapat koreksi-koreksi perhitungan
biaya, yang mengakibatkan bertambahnya bagian Pemerintah berupa pajak dan minyak mentah.

Departemen Keuangan RI 67
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Sejak tahun 1979/1980 tahap pengawasan ditingkatkan dengan pemeriksaan


operasional, yang berarti adanya perluasan sasaran pemeriksaan. Kalau dalam Pelita I dan Pelita
II pemeriksaan hanya ditujukan terntama kepada segi keuangan saja, maka pada Pelita III
sasaran diperluas sampai kepada pemeriksaan untuk melihat apakah suatu kegiatan/program
dilaksanakan dengan menggunakan dana yang tersedia secara efisien, dan apakah hasil atau
manfaat yang diinginkan dari suatu kegiatan/program telah diperoleh secara efektif.
Pemeriksaan operasional ini dilaksanakan baik terhadap kegiatan/program yang dibiayai
dengan dana-d.ana yang berasal dari APBN/APBD, maupun terhadap badan-badan usaha
negara. Pemeriksaan operasional tersebut belum dapat menjangkau seluruh bidang kegiatan
pemerintahan umum dan pembangunan, melainkan baru terbatas kepada sasaran-sasaran yang
diprioritaskan.

Di bidang penerimaan negara, pemeriksaan operasional dilakukan terhadap pene-


rimaan pajak/lpeda serta bea dan cukai. Sedangkan untuk program pembangunan, pemeriksaan
operasional dilakukan terhadap program transmigrasi termasuk program pemukiman daerah
transmigrasi, program peningkatan produksi tanaman pangan program pembangunan jaringan
irigasi baru, program perbaikan dan peningkatan irigasi, program pengembangan daerah rawa,
program rehabilitasi dan. pemeliharaan jalan dan jembatan, program pembangunan jalan dan
jembatan. Selanjutnya terhadap program pembangunan daerah, pemeriksaan operasional
dilakukan antara lain terhadap proyek-proyek Inpres pembangunan kabupaten, sarana
kesehatan, sekolah dasar, serta reboisasi dan penghijauan. Sementara itu terhadap Badan Usaha
Milik Negara, pemeriksaan operasional dilakukan antara lain terhadap perkreditan , penyaluran
pupuk, telekomunikasi, serta pos dan giro. Dari hasil pemeriksaan operasional tersebut, telah
ditemukan beberapa bidang yang dipandang masih dapat ditingkatkan dayaguna dan
hasilgunanya; kepada para pejabat yang bertanggungjawab telah disarnpaikan saran-saran
penyempumaan lebih lanjut.

Dalam tahun 1983/1984 telah dilakukan pula pemeriksaan khusus terhadap kasuskasus
penyimpangan, dan pengawasan terhadap kelancaran pelaksanaan pembangunan. Dari hasil
pemeriksaan khusus tersebut ditemukan 147 kasus yang diduga mengandung unsur tindak
pidana, terdiri dari 106 kasus yang menyangkut APBN/APBD, dan 41 kasus yang menyangkut
BUMN/BUMD. Selanjutnya sebanyak 28 kasus yang menyangkut APBN/ APBD, dan
sebanyak 8 kasus yang menyangkut BUMN/BUMD telah disampaikan kepada Kejaksaan
Agung. Dalam triwulan I tahun 1984/1985, dari hasil pemeriksaan khusus ditemukan 47 kasus
yang mengandung unsur tindak pidana, terdiri dari 43 kasus yang menyangkut APBN/ APBD,

Departemen Keuangan RI 68
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dan 4 kasus yang menyangkut BUMN. Dari kasus yang menyangkut APBN/APBD, sebanyak
14 kasus telah diteruskan ke Kejaksaan Agung, sedangkan terhadap 2 kasus yang menyangkut
BUMN telah dilakukan tindak lanjutnya berupa tindakan administratif dan tuntutan ganti rugi
kepada yang bersangkutan. Semua kasus yang disampaikan kepada Kejaksaan Agung telah
diteruskan pula kepada Kejaksaan Tinggi di masing-masing daerah.

Dalam rangka meningkatkan jumlah aparat pengawasan, melalui pendidikan pembantu


akuntan, ajun akuntan dan akuntan, yang diselenggarakan pada Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara telah dihasilkan tenaga-tenaga pemeriksa. Dewasa ini Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) telah memiliki 3.239 orang tenaga pemeriksa yang terdiri dari 1.190
orang akuntan, 1.473 orang ajun akuntan, dan 309 orang pembantu akuntan, ditambah pula
dengan 267 orang tenaga-tenaga sarjana dan sarjana muda jurusan non akuntan yang dijadikan
tenaga pemeriksa setelah mendapatkan pendidikan tambahan. Sernentara itu jumlah tenaga
pemeriksa pada aparat pengawasan fungsionallainnya seperti Inspektorat Jenderal, Inspektorat
Wilayah Propinsi, dan Inspektorat Wilayah Kabupaten/ Kotarnadya berdasarkan data sementara
adalah sebanyak 7.370 orang. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah
tenaga pemeriksa tersebut menunjukkan adanya kenaikan. Di samping usaha-usaha
meningkatkan jumlah aparat pengawasan, dilakukan pula usaha untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan teknis dari tenaga-tenaga yang sudah ada melalui penataran-
penataran, baik yang diselenggarakan oleh BPKP maupun oleh departemen , atau Pemerintah
Daerah. Selanjutnya untuk menciptakan keseragaman mutu hasil pemeriksaan, kepada para
pemeriksa dibekali norma pemeriksaan, yaitu standar-standar keahlian para pelaksana,
pelaksanaan tugas, dan pelaporan yang harns dipenuhi. Sedangkan sebagai petunjuk
pelaksanaan pengawasan secara lebih teknis, kepada para pengawas dibekali pula dengan tata
cara pelaksanaan pemeriksaan. Meskipun usaha-usaha peningkatan aparat pengawasan secara
kualitas maupun kuantitasnya terus dijalankan, tetapi jumlah dan kondisi aparat pengawas yang
ada saat ini masih belum memadai bila dibandingkan dengan makin kompleks dan luasnya
ruang lingkup pengawasan, serta makin banyaknya objek pemeriksaan yang hams ditangani.
Sehubungan dengan itu agar dapat mendukung tercapainya sasaran strategis pengawasan pada
masa mendatang, dalam tahun 1985/1986 Pemerintah terus berusaha meningkatkan serta
menyempurnakan fungsi pengawasan. Di samping itu dilanjutkan usaha untuk meningkatkan
mutu sistem pengendalian manajemen, sehingga dapat menghasilkan mekanisme pengawasan
terhadap bawahan, dalam arti bahwa pengawasan atasan bukan lagi merupakan pekerjaan
terpisah dari fungsi pimpinan. Selanjutnya hasil-hasil pengawasan aparat pengawasan

Departemen Keuangan RI 69
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

fungsional diharapkan akan menjadi bagian dari informasi untuk pengambilan keputusan dan
perumusan kebijaksanaan. Sejalan dengan itu pendidikan dan latihan tenaga pengawas, serta
pengembangan petunjukpetunjuk tatacara pelaksanaan pemeriksaan terus dilanjutkan untuk
lebih meningkatkan mutu aparat pengawasan fungsional. Seluruh kebijaksanaan dan langkah-
Iangkah di bidang pengawasan tersebut diarahkan agar pada akhir Repelita IV terbentuk sistem
pengendalian manajemen yang mampu mencegah secara dini terjadinya pemborosan,
kebocoran, dan penyimpangan. Sistem pengendalian manajemen tersebut akan ikut
mewujudkan aparatur Pemerintah yang berdayaguna dan berhasilguna, karena berkembangnya
standar dan norma untuk mengukur efisiensi, di samping pelaksanaan rencana memiliki
pengendalian yang menjamin tercapainya tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam rencana.

Departemen Keuangan RI 70
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

BAB III

HARGA, GAJI DAN UPAH

3.1. Pendahuluan

Stabilitas ekonomi yang cukup mantap merupakan landasan yang menjamin lancarnya
pembangunan tahap berikutnya. Oleh karena itu senantiasa diusahakan tercapainya kestabilan
harga di dalam negeri melalui penyediaan bahan kebutuhan pokok yang cukup, dan penyaluran
yang cepat bagi masyarakat. Melalui program stabilisasi senantiasa diusahakan agar laju inflasi
dapat dikendalikan, sehingga dapat memperkuat landasan bagi pelaksanaan Repelita
selanjutnya. Dari perkembangan laju inflasi selama Pelita I sampai dengan Pelita III, terlihat
bahwa rata-rata laju inflasi dalam Pelita I (1969/1970-1973/1974) adalah sebesar 17,48 persen
setahun, sedang dalam Pelita II (1974/1975-1978/1979) dan Pelita III (1979/1980-1983/1984)
laju inflasi menurun masing-masing menjadi rata-rata sebesar 14,77 persen dan sebesar 13,16
persen per taboo. Selanjutnya selama sembilan bulan dalam tahun pertama pelaksanaan
Repelita IV atau tepatnya sampai dengan bulan Desember 1984, laju inflasi adalah sebesar 3,46
persen atau rata-rata 0,38 persen sebulan. Untuk periode yang sarna tahun sebelumnya, laju
inflasi adalah sebesar 7,33 persen atau rata-rata 0,81 persen per bulan. Apabila diteliti barang
dan jasa yang mempengaruhi tingkat kenaikan barga-barga, bahan pangan merupakan salah
sarti kelompok barang yang terrenting. Oleh karena itu Pemerintah senantiasa menjaga
stabilitas harganya agar tetap dalam jangkauan daya beli masyarakat. Dengan produksi beras
dalam tahun 1984 yang diperkirakan lebih tinggidari tahun sebelumnya, secara umum harga
beras di beberapa kota selama bulan April-Oktober 1984 telah mengalami penurunan.
Perbedaan harga rata-rata terendah, dan harga rata-rata tertinggi di beberapa kota adalah sekitar
2,8 persen. Harga-harga di dalam negeri juga dipengaruhi oleh harga-harga di luar negeri,
seperti misalnya dengan emas, komoditi ekspor dan lain-lain., Dalam bulan-bulan terakhir
tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Nopember, harga emas di bursa internasional cenderung
mengalami penurunan, dan hal itu telah mengakibatkan harga emas di pasar Jakarta mengalami
penurunan pula. Dilain pihak menguatnya nilai dollar Amerika telah menyebabkan kurs
matauang terse but terus meningkat di posaran. Namun matauang lainnya secara umum tidak
mengalami gejolak harga yang cukup besar. Sementara itu perkembangan harga komoditi
ekspor di pasar internasional selama tahun anggaran 1984/1985 sampai dengan bulan
Nopember menunjukkan perkembangan yang agak baik, khususnya dalam hal lada putih, lada

Departemen Keuangan RI 71
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

hitam, kopi robusta eks Lampung dan timah putih. Sebaliknya penurunan harga telah terjadi
pada karet jenis RSS III, dan perkembangan harga yang tak menentu telah terjadi pada kopra
serta minyak sawit. Perkembangan indeks harga perdagangan besar Indonesia dalam tahun
1984 sampai dengan bulan Agustus telah meningkat sebesar 11,5 persen, sebagai akibat
meningkatnya indeks harga pada sektor-sektor pertanian sebesar 12,0 persen, pertambangan dan
penggalian sebesar 8,6 persen, industri sebesar 12,3 persen, serta sektor impor dan ekspor
masingmasing sebesar 10,7 persen dan 11,9 persen. Dalam periode yang sarna, indeks harga
sektor perdagangan besar bahan bangunan dan konstruksi telah meningkat pula sebesar 7,2
persen.

Tabe1 III. 1
PERSENTASE KENAlKAN INDEKS BIAYA HIDUP DI JAKARTA DAN
INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA 1969/1970 - 1984/1985

Tahun Persentase
kenaikan
REPELITA I 1)
1969/1970 + 10,65 %
1970/1971 + 7,78 %
1971/1972 + 0,81 %
1972/1973 + 20,79 %
1973/1974 + 47,35 %

REPELITA II 1)
1974/1975 + 20,10 %
1975/1976 + 19,77 %
1976/1977 + 12,12 %
1977/1978 + 10,08 %
1978/1979 + 11,79 %

REPELITA III 2)
1979/1980 + 19,13 %
1980/1981 + 15,85 %
1981/1982 + 9,80 %
1982/1983 + 8,40 %
1983/1984 + 12,63 %

REPELITA IV
1984/1985 (sampai dengan bulan Desember) + 3,46 %

1) Repelita I dan II berlaku Indeks Biaya Hidup di Jakarta


2) Repelita III mulai diguruikan Indeks Barga Konsumen Indonesia

3.2. Perkembangan harga

3.2.1. Indeks harga konsumen Indonesia

Berdasarkan perkembangan indeks harga 150 macam barang dan jasa di 17 kala
propinsi, yang digunakan sebagai pengukur perkembangan laju inflasi, terlihat bahwa laju

Departemen Keuangan RI 72
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

inflasi selama tahun anggaran 1984/1985 sampai dengan bulan Desember, adalah sebesar 3,46
persen atau rata-rata 0,38 persen per bulan. Pada periode yang sarna tahun sebelumnya, laju
inflasi adalah sebesar 7,33 persen, atau rata-rata 0,81 persen. perkembangan yang lebih
terperinci menunjukkan bahwa dalam bulan Agustus dan September 1984 telah terjadi deflasi
masing-masing sebesar 0,15 persen dan 0,10 persen, sedang dalam bulan-bulan April, Mei,
Juni, Juli dan Desember 1984 laju inflasi masing-masing sebesar 1,31 persen, 0,65 persen, 0,28
persen, 0,37 persen dan 1,04 persen, serta dalam bulan Oktober dan Nopember 1984laju inflasi
adalah sarna, yaitu sebesar 0,03 persen.

Bila dilihat faktor penyebab laju inflasi selama periode April-Desember 1984 berdasarkan
kelompok maupun sub kelompok barang dan jasa, terlihat bahwa laju inflasi sebesar 3,46
persen tersebut disebabkan oleh meningkatnya indeks harga kelompok makanan dan kelompok
perumahan, masing-masing sebesar 2,64 persen dan 2,30 persen, indeks harga kelompok
sandang dan kelompok aneka barang dan jasa masing-masing sebesar 2,49 persen dan 7,16
persen. Kenaikan indeks harga kelompok makanan sebesar 2,64 persen antara lain disebabkan
naiknya indeks harga sub kelompok daging dan hasil-hasilnya sebesar 7,45 persen, indeks harga
sub kelompok ikan segar sebesar 7,71 persen, indeks harga sub kelompok kacang-kacangan
sebesar 6,97 persen dan indeks harga sub kelompok minuman yang tidak beralkohol sebesar
6,38 persen. Sementara itu penurunan indeks harga sub kelompok lainnya dalam kelompok
makanan terjadi pada indeks harga sub kelompok lemak dan minyak yaitu sebesar 3,98 persen
dan indeks harga sub kelompok bumbu-bumbuan sebesar 5,17 persen. Bila diteliti lebih
lanjut,kenaikan yang cukup besar pada kelompok makanan terjadi pada bulan Desember 1984
yaitu sebesar 2,47 persen yang disebabkan naiknya indeks harga sub kelompok padi-padian,
ubi-ubian dan hasil-hasilnya sebesar 4,03 persen, indek harga sub kelompok telur, susu dan
hasil-hasilnya sebesar 5,79 persen dan indeks harga sub kelompok bumbu-bumbuan sebesar
9,76 persen. Dalam indeks harga kelompok perumahan, peningkatan sebesar 2,30 persen yang
terjadi selama periode April-Desember 1984 adalah akibat meningkatnya indeks harga sub
kelompok biaya tempat tinggal, dan indeks harga sub kelompok biaya penyelenggaraan rumah tangga,
masing-masing sebesar 2,43 persen dan 5,74 persen. Kenaikan yang cukup besar pada indeks harga sub
kelompok biaya penyelenggaraan rumah tangga pada bulan April dan Nopember 1984 masing_masing
sebesar 1,88 persen dan 1,33 persen adalah sebagai akibat meningkatnya upah pembantu di 10
dari 17 .kota propinsi di Indonesia.

Departemen Keuangan RI 73
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel III. 2
INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA, 1979/1980 - 1984/1985
( 1977/1978 = 100)

Tahun anggaran/
rata-rata bulan Makanan Perumahan Sandang Umum
1979/1980 Maret 144,82 146,70 173,82 139,58 147,14
1980/1981 Maret 172,60 171,83 192,82 161,88 172,14
1981/1982 Juni 174,35 176,86 194,43 163,47 174,73
September 177,38 178,32 197,28 166,70 177,40
Desember 179,34 182,26 198,19 168,76 179,82
Maret 183,38 200,12 200,27 183,90 189,63
1982/1983 Juni 183,42 202,01 202,03 184,93 190,49
September 186,29 204,96 204,48 187,73 193,41
Desember 192,72 209,76 205,02 189,32 197,85
Maret 189,70 228,76 204,60 210,57 205,99
1983/1984 Juni 205,23 234,86 210,18 217,18 216,19
September 210,48 236,45 212,96 219,51 219,61
Desember 212,70 238,08 214,04 221,54 221,53
Maret 220,54 263,88 215,14 229,77 233,42
198411985 April 221,16 265,64 215,72 240,34 236,48
Mei 224,27 265,88 216,03 240,87 238,02
Juni 225,29 266,14 217,50 240,93 238,69
Juli 225,93 267,34 218,77 241,68 239,58
Agustus 223,20 267,94 219,68 244,14 239,22
September 222,45 267,95 219,77 244,57 238,98
Oktober 221,52 268,53 220,34 246,03 239,06
Nopember 220,90 269,46 220,46 246,35 239,14
Desember 226,35 269,99 220,58 246,54 241,63

Tabel III. 3
INDEKS UMUM HARGA KONSUMEN DI 17 KOTA DI INDONESIA, 1979/1980 -1984/1985
( 1977/1978 = 100 )

Tahun anggaran/
rata-rata bulan Medan Padang Palembang Jakarta Bandung Semarang Yogyakarta Surabaya Denpasar
1979/1980 Maret 149,51 148,09 156,98 143,02 147,,21 149,10 152,82 148,73 147,57
1980/1981 Maret 171,33 177,61 188,24 160,77 175,19 179,89 183,09 185,29 177,62
1981/1982 Maret 183,30 191,30 204,08 175,99 194,21 197,24 203,58 206,45 208,57
1982/1983 Maret 199,93 210,58 223,02 189,84 214,79 218,28 220,98 223,79 239,33
1983/1984 Juni 211,37 214,69 237,59 197,40 227,93 224,46 236,02 237,43 245,14
September 213,27 221,68 242,29 200,11 233,21 231,53 237,77 241,52 240,40
Desember 214,89 226,33 243,75 200,65 234,70 233,51 242,56 245,34 242,12
Maret 227,01 238,88 257,37 215,22 243,86 239,78 255,48 255,28 262,82
1984/1985 April 230,64 238,52 255,12 219,48 244,05 243,17 255,67 259,72 272,00
Mei 232,45 238,11 256,52 220,39 246,25 244,48 258,H 261,47 275,91
Juni 231,33 240,46 258,46 220,89 246,72 245,18 257,08 262,93 275,07
Juli 234,08 240,48 257,55 221,73 247,57 246,40 258,82 263,62 276,91
Agustus 233,18 240,08 258,03 221,67 247,09 245,43 258,08 263,08 276,97
September 233,19 238,55 259,55 221,34 246,29 245,73 258,12 263,43 273,51
Oktober 232,90 238,11 258,60 221,59 247,36 245,65 258,08 263,02 273,45
Nopember 233,03 238,78 257,49 221,61 247,90 245,78 257,40 263,36 274,69
Desember 236,52 239,65 259,20 224,25 252,34 247,31 262,13 265,16 274,56

Departemen Keuangan RI 74
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel III. 3 (lanjutan)


Tahun anggaran/ Banjarmasi Ujung pandang
rata-rata bulan Mataram Kupang Pontianak n Manado Ambon Jayapura
1979/1980 Maret 148,29 150,42 148,55 163,97 149,2 145,24 135,52 128,93
1980/1981 Maret 175,17 175,51 161,45 191,49 179,67 164,46 144,37 157,35
1981/1982 Maret 192,53 193,91 180,95 208,81 193,53 191,42 160,28 180,66
1982/1983 Maret 214,57 218,04 197,81 219,97 209,31 201,52 177,7 214,87
1983/1984 Juni 214,67 223,8 205,68 243,27 216,92 206,96 192,2 231,22
September 218,25 219,76 210,65 242,5 221,09 208,25 200,3 233,63
Desember 222,9 218,37 212,56 244,17 225,27 212,72 206,01 227,18
Maret 230,55 227,47 223,4 253,95 235,81 223,56 216,13 231,68
1984/1985 April 232,65 227,9 225,36 255,21 241,19 224,39 217,11 231,02
Mei 234,56 230,84 225,95 258 247,81 226,7 219,65 229,43
Juni 236,1 231,44 228,83 257,23 246,33 228 227,17 236,62
Juli 236,56 231,15 226,55 257,97 246,12 228,79 232,09 237,19
Agustus 235,44 232,09 228,62 259,71 242,63 227,72 224,74 241,57
September 232,6 232,05 228,54 259,55 238,78 227,09 215,79 244,06
Oktober 231,82 231,33 228,65 258,92 241,19 227,68 212,4 253,81
Nopember 232,66 229,84 228,9 259,46 241,17 227,55 211,15 249,35
Desember 236,21 229,65 229,09 260,84 241,01 230,39 212,73 242,03

Indeks harga kelompok sandang selama bulan April-Desember 1984 telah meningkat sebesar
2,49 persen. Peningkatan terse but disebabkan oleh naiknya indeks harga sub kelompok san dang laki-
Iaki, sub kelompok sandang anak-anak, dari sub kelompok sandang wanita masing-masing sebesar 3,62
reIsen, 3,52 persen dan 1,97 persen, serta kenaikan indeks harga sub kelompok barang pribadi, dan
sandang lainnya sebesar 1,49 persen. Bila dilihat perkembangan per bulannya, peningkatan yang cukup
besar dari indeks harga ketiga jenis sandang yaitu sandang laki-Iaki, sandang wanita, dan sandang anak-
anak telah terjadi dalam bulan Juni dan Juli 1984, yaitu pada saat-saat menjelang Idul Fitri, sedapg
dalam bulan-bulan lainnya hanya mengalami peningkatan yang relatif rendah. Indeks harga kelornpok
aneka barung dan jasa yang meningkat sebesar 7,16 persen, antara lain disebabkan naiknya indeks harga
sub kelompok transpor sebesar 10,13 persen, indeks harga sub kelompok pendidikall sebesar 8,61
persen, dan indeks harga sub kelompok kesehatan sebesar 5,35 persen. Kenaikan yang cukup besar dari
biaya angkutan umum dalam bulan April 1984, kenaikan harga alar-alar tulis dan buku tulis, yang
termasuk pada indeks harga sub kelompok pendidikan, dalam bulan Juli dan Nopember 1934, serta
meningkatnya harga obat tanpa resep adalah merupakan faktor penyebab meningkatnya beberapa
indeks harga tersebut di atas. Perkembangan indeks harga konsumen beserta komponennya dapat
dilihat dalam Tabel III.1

Laju inflasi di 17 kota selama sembilan bulan tahun anggaran 1984/1985 telah menunjukkan
perkembangan yang relatif besar untuk kota Jayapura, Denpasar, Medan, dan DKI Jakarta yaitu masing-
masing sebesar 4,57 persen, 4,45 persen, 4,15 persen dan 4,13 persen, sedangkan laju penurunan harga

terjadi di kota Ambon sebesar 1,35 persen . Laju inflasi di kota-kota lainnya hanya berkisar antara 0,33

persen sampai 3,44 persen. Perkembangan indeks harga konsumen di setiap kala dapat dilihat dalam
Tabel III. 3.

Departemen Keuangan RI 75
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

3.2.2. Harga beberapa barang konsumsi utama

Perkembangan harga beras di beberapa kala di Indonesia selama periode April sampai dengan
Oktcber 1984 secara umum relatif stabil. Produksi beras dalam tahun 1984 yang diperkirakan lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, serta penyaluran yang cukup lancar ke pasaran telah
menyebabkan stabilnya harga beras dalam periode tersebut. perkembangan harga beras yang
relatif stabil antara lain terjadi di kola Semarang, Medan dan Banjarmasin, masing-masing pada
tingkat harga Rp 291,67, Rp 348,02 dan Rp 333,46 per kilogram. Sedangkan harga yang
bervariasi antara Rp 263,36 sampai Rp 425,- per kilogram terjadi di kola Bandung, Yogyakarta,
Surabaya, Ujungpandang dan Denposar. Perbedaan harga rata-rata terendah, dan harga rata-rata
tertinggi di beberapa kola adalah sebesar 2,8 persen. Harga tepung terigu di beberapa kola di
Indonesia dalam periode April-Oktober 1984 berkisar antara Rp 275,- sampai Rp 395,- per
kilogram. Peningkatan yang cukup tinggi telah terjadi hampir di semua kola dalam bulan
Agustus 1984, dengan peningkatan terbesar terjadi di kola Ujungpandang yaitu sebesar 13,8
persen. Sedangkan dalam bulan-bulan lainnya harga tepung terigu tidak mengalami
peningkatan yang berarti, bahkan di kota Banjarmasin selama periode April-Oktober 1984
mengalami kestabilan, yaitu tetap pada tingkat harga Rp 275,- per kilogram
Tabel III.4
HARGA RATA-RATA BERAS MUTU MENENGAH, TEPUNG TERIGU, GULA PASIR DAN
TEKSTIL DI BEBERAPA KOTA BESAR DI INDONESIA, 1973/1974 - 1984/1985

1973/1974 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979


Kota jenis barang Maret Maret Maret Maret Maret Maret
Bandung Beras ( Rp{kg ) 103,33 103,33 146,25 150,-- 157,71 172,78
Tepung terigu ( Rp{kg) 81,66 100,-- 125,-- 123,33 125,-- 166,89
Gula posir ( Rp{kg ) 135,-- 170,-- 185,-- 193,33 215,84 262,5
Tekstil (Rp{m) 241,66 220,-- 200,-- 250,-- 250,-- 311,11
Yogyakarta Beras ( Rp{kg ) 82,17 90,-- 120,-- 115,- 128,06 153,89
Tepung terigu ( Rp{kg ) 75,-- 95,-- 120,-- 130,-- 125,-- 166,11
Gula posir ( Rp{kg ) 125,67 159,5 175,-- 185,-- 226,39 261,67
Tekstil (Rp{m) 250,-- 246,67 235,-- 235,-- 250,- 250,--
Semarang Beras ( Rp{kg ) 91,67 103,33 143,33 150,-- 159,79 170,09
Tepung terigu ( Rp{kg ) 75,-- 96,67 125,-- 125,-- 125,-- 160,--
Gula posir ( Rp{kg ) 125,-- 165,-- 176,67 180,-- 218,88 244,34
Tekstil (Rp{m) 180,-- 193,33 183,33 221,67 242,08 273,96
Surabaya Beras ( Rp{kg) 89,-- 104,-- 135,-- 150,-- 160,88 173,33
Tepung terigu ( Rp{kg ) 79,-- 90,-- 120,-- 125,-- 124,13 157,5
Gula posir ( Rp{kg ) 129,-- 160,-- 180,-- 180,-- 217,33 255,81
Tekstil (Rp{m) 250,-- 245,-- 215,-- 200,-- 213,75 300,--
Medan Beras ( Rp{kg ) 103,75 105,-- 125,-- 135,- 139,63 165,--
Tepung terigu ( Rp{kg) 85,-- 100,-- 130,-- 140,-- 135,-- 173,33
Gula posir (Rp{kg) 140,-- 170,-- 190,-- 190,-- 230,-- 257,25
Tekstil (Rp{m) 200,-- 200,-- 200,-- 200,-- 200,-- 325,--
Banjarmasm Beras ( Rp{kg ) 133,75 93,75 135,94 132,18 131,85 191,84
Tepung terigu ( Rp{kg) 84,17 100,-- 125,-- 125,-- 135,44 175,83
Gula posir ( Rp{kg ) 137,5 165,-- 188,75 190,-- 235,62 278,54
Tekstil (Rp{m) 206,67 175,-- 175,-- 176,25 201,25 265,62
Ujungpandang Beras ( Rp{kg) 95,-- 105,-- 125,-- 130,-- 135,-- 155,--
Tepung terigu ( Rp{kg) 75,-- 90,-- 120,-- 120,-- 120,-- 168,33
Gula posir ( Rp{kg) 140,-- 165,- 190,-- 190,-- 223,75 252,5
Tekstil (Rp{m) 200,-- 200,-- 250,-- 250,-- 200,-- 425,--
Denpasar Beras ( Rp{kg) 80,-- 92,5 145,-- 155,-- 156,67 182,5
Tepung terigu ( Rp{kg ) 90,-- 100,-- 125,-- 135,-- 135,-- 175,--
Gula posir ( Rp{kg ) 140,-- 165,-- 185,- 190,-- 215,-- 262,5
Tekstil (Rp{m) - 210,-- 180,-- 200,-- 225,-- 275,--

Departemen Keuangan RI 76
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel 111.4
(lanjutan)
1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 1984/19851)
K o t a / Jenis barang Maret Maret Maret Maret Maret s/d Oktober
Bandung Beras ( Rp/kg) 219,94 252,97 281,88 319,22 272,16 315,63
Tepung terigu (Rp/kg ) 193,74 226,46 250,-- 275,67 330,83 375,33
Gula pasir ( Rp/kg) 287,92 481,63 527,87 540,-- 564,17 626,67
Tekstil (Rp/m) 571,67 600,- 590,8 541,67 649,75 714,--
Y ogyakarta Beras ( Rp/kg ) 183,07 196,3 208,55 271,99 221,33 269,35
Tepung terigu ( Rp/kg ) 178,34 225,-- 252,75 273,83 321,67 373,39
Gula pasir (Rp/kg ) 272,5 511,-- 514,-- 527,33 542,42 599,56
Tekstil (Rp/m) 437,5 500,- 500,-- 500,-- 500 633,33
Semarang Beras ( Rp/kg ) 206,71 226,38 239,89 288,36 236,08 291,67
Tepung terigu ( Rp/kg ) 188,54 225,33 260,-- 265,33 323,17 386,33
Gula pasir ( Rp/kg ) 278,12 473,97 503,8 518,83 542,25 621,67
Tekstil (Rp/m) 326,46 351,67 400,-- 400,-- 567,58 762,5
Surabaya Beras ( Rp /kg ) 214,68 205,51 206,34 274,21 217,25 275,;n
Tepung terigu ( Rp/kg ) 175,19 216,82 250,-- 261,84 319,08 377,--
Cula posir ( Rp/kg ) 269,34 486,83 516,4 528,48 550,25 610,72
Tekstil (Rp/m) 400,-- 450,- 415,2 423,04 461,25 702,52
Medan Beras ( Rp /kg ) 206,5 236,16 246,25 315,-- 289,75 349,43
Tepung terigu ( Rp/kg ) 195,5 250,-- 275,-- 275,-- 342,58 395,--
Gula pasir ( Rp/kg ) 290,75 503,-- 510,-- 550,-- 576,25 625,--
Tekstil (Rp/m) 400,-- 425,-- 425,-- 425,-- 430,42 900.--
Banjarmasin Beras ( Rp/kg) 219,38 210,41 242,91 268,65 260,5 332,55
Tepung terigu ( Rp/kg) 176,11 224,22 265,-- 272,-- 275,-- 275,-
Gula pasir ( Rp/kg ) 281,57 529,57 550,-- 563,-- 575,33 635,--
Tekstil (Rp/m) 400,-- 475,-- 500,-- 525,-- 525,-- 740,--
Ujungpandang Beras ( Rp/kg) 200,-- 222,-- 230,-- 385,-- 322,92 280,6
Tepung terigu ( Rp/kg ) 178,75 228,34 250,-- 267,-- 327,42 393,34
Gula pasir ( Rp/kg ) 278,75 510,-- 550,- 550,-- 584,92 650,--
Tekstil (Rp/m) 400,-- 600,-- 600,-- 700,-- 500,-- 650,--
Denposar Beras ( Rp/kg) 245,-- 285,-- 315,-- 381,-- 267,5 425,--
Tepung terigu ( Rp/kg) 190,-- 255,-- 255,-- . 271,- 327,75 375,--
Gula pasir ( Rp/kg) 273,75 555,-- 525,-- 536,-- 559,67 615,--
Tekstil (Rp/m) 300,-- 350,-- 350,-- 350,-- 407,08 500,--
1) Sampai dengan Oktober 198

Kebijaksanaan Pemerintah dalam usaha meningkatkan produksi gula pasir antara lain
dilaksanakan melalui rehabilitasi pabrik-pabrik gula, pembangunan pabrik-pabrik baru, dan
penyesuaian harga provenue gula pasir. Di sam ping itu dalam rangka menunjang program tebu
rakyat intensifikasi, mulai bulan Oktober 1980'Pemerintah menjamin pemasaran seluruh gula
rani baik yang merupakan bagian petani, maupun yang merupakan bagian pabrik. Dengan
demikian petani dapat menerima harga yang ditetapkan, dan konsumen terhindar dari gejolak
kenaikan harga. Berdasarkan perkembangan harga gula posir di beberapa kota selama periode
April-Oktober 1984 sebagaimana terlihat dalam Tabel III.4, kenaikan harga yang cukup tinggi
terjadi dalam bulan Mei dan Agustus 1984 yang berkisar antara 0,3 persen sampai 6,3 persen.
Kenaikan harga tepung terigu yang terjadi pada bulan Agustus 1984 telah pula mempengaruhi
perkembangan harga gula pasir, sehingga dalam bulan tersebut terjadi peningkatan di kota
Ujungpandang, Semarang dan Surabaya, masing-masing sebesar 4,0 persen, 2,6 persen dan 2,3
persen.

Produksi tekstil yang mencukupi telah menyebabkan perkembangan harga tekstil di

Departemen Keuangan RI 77
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

beberapa kota relatif stabil. Dalam bulan-bulan menjelang Idul Fitri, yaitu bulan Juni dan Juli
1984, harga tekstil tidak mengalami kenaikan yang berarti, bahkan di kota Semarang dalam
bulan Juli 1984 harga menurun sebesar 0,3 persen. Selama periode April-Oktober 1984, harga
tekstil di beberapa kota berkisar antara Rp 500,- sampai Rp 900,- per meter. Harga terendah
terjadi di kola Denpasar dengan tingkat harga Rp 500,- per meter, sedang harga tertinggi terjadi
di kota Medan dengan harga Rp 900,- per meter. perkembangan harga barang-barang konsumsi
Utama dapat dilihat dalam Tabel IlI.4.

Tabel III.5
HARGA BEBERAPA VALUTA ASING DI JAKARTA, 1969/1970 -1984/1985
(hargajual/dalam rupiah per satuan)
Tahun anggaran/
rata-rata bulan US $ Yen £ HK$ Sing $ DM Swiss F NFL
1969/1970 Maret 379,-- - 858,5 63,- 123,-
1970/1971 Maret 378,- - 882,- 62,- 123,-
1971/1972 Maret 413,-- - 1.035,- 72,5 146,- 127,- - 125,--
1972/1973 Maret 414,-- - 980,-- 80,- 162,- 140,- - 140,--
1973/1974 Maret 415,-- 1,25 920,-- 81,- 166,- 153,- 110,-- 143,-
1974/1975 Maret 416,- 1,25 950,- 83,-- 173,-- 160,- 125,- 153,-
1975/1976 Maret 415,-- 1,25 830,- 82,- 165,- 153,- 130,- 147,--
1976/1977 Maret 415,- 1,25 690,- 88,- 167,- 167,-- 145,- 157,--
1977/1978 Maret 412,- 1,6 780,- 89,-- 179,- 196,- 205,- 184,--
1978/1979 Maret 627,8 3,15 1.302,40 134,- 291,8 341,6 376,-- 323,2
1979/1980 Maret 632,5 2,57 1.422,50 129,75 289,75 347,25 365,25 314,5
1980/1981 Maret 632,- 3,09 1.431,25 123,5 304,75 302,75 335,25 274,--
1981/1982 Maret 653,75 2,81 1.197,50 115,5 312,- 276,5 348,75 251,25
1982/1983 Maret 761,8 3,25 1.151 ,-- 11 7,40 366,8 318,4 370,-- 284,8
1983/1984 Juni 979,2 4,16 1.527,- 139,- 461,6 383,4 463,4 341,6
September 989,8 4,12 1.488,- 130,6 461,21 370,6 455,2 329,8
Desember 996,6 4,31 1.443,- 131,4 469,6 365,8 456,2 324,--
Maret 1.020,- 4,47 1.465,- 131,2 478,2 386,- 465,2 341,--
1984/1985 April 1.006,-- 4,52 1.443,75 131,75 483,75 383,-- 461,25 338,5
Mei 1.011,60 4,46 1.418,- 132,4 482,6 370,2 448,-- 328,8
Juni 1.015,-- 4,4 1.408,75 133,- 481,75 372,-- 444,75 330,25
Juli 1.024,- 4,28 1.373,75 133,75 478,- 362,75 427,5 322,-
Agustus 1.041,20 4,33 1.390,- 13 5 ,80 486,6 363,6 432,-- 322,2
September 1.062,50 4,39 1.365,- 139,- 492,25 354,75 426,25 312,5
Oktober 1.064,- 4,36 1.326,25 139,25 491,5 349,25 422,5 308,-
Nopember 1.067,20 4,41 1.345,-- 138,8 496,- 357,- 433,2 316,4

3.2.3. Indeks harga emas dan valuta asing

Fluktuasi kurs matauang dollar Amerika telah mempengaruhi perkembangan harga


emas, baik di posaran lokal maupun di posaran internasional. Selama tahun anggaran
1984/1985 sampai dengan bulan Nopember, harga emas 24 karat, 23 karat dan 22 karat di pasar
Jakarta telah menurun masing-masing sebesar 7,2 persen, 7,5 persen dan 5,7 persen. Dalam
periode yang sarna di pasaran London, harga emas menurun sebesar 15,8 persen. Bila
dibandingkan penurunan harga emas di pasar Jakarta dengan di pasar London, maka terlihat
bahwa di pasaran Jakarta harga emas mengalami penurunan yang relatif lebih kecil diban-
dingkan dengan penurunan yang terjadi di pasar London. Hal ini memperlihatkan bahwa minat
masyarakat terhadap logam mulia emas masih cukup besar. Di samping itU penurunan harga

Departemen Keuangan RI 78
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

emas tersebut juga merupakan akibat bertambahnya permintaan terhadap matauang dollar
Arnerika. Bila dilihat perkembangannya setiap bulan, harga emas 24 karat, 23 karat dan 22
karat selama tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Nopember 1984 umumnya mengalami
penurunan. Khususnya dalam bulan Juli 1984, masing-masing mengalami penurunan sebesar
4,6 persen, 4,5 persen dan 4,1 persen. Sedangkan selama empat bulan terakhir yaitu bulan
Agustus, September, Oktober dan Nopember 1984, harga emas 24 karat, 23 karat dan 22 karat
relatif stabil yaitu tetap raJa harga Rp 11.500,-, Rp 11.000,- dan Rp 10.500,- per gram.
perkembangan harga emas dapat dilihat dalam Tabel III.6.

Tabel III. 6
HARGA EMAS DI PASAR JAKARTA DAN
DI PASAR LONDON, 1969/1970 - 1984/1985
( dalam rupiah per gram)
Tahun anggaran / Jakarta London
rata-rata bulan 24' 23 ' 22' US $/ 1 fine oz
1969/1970 Maret 490,-- 470,-- 450,-- 35.32
1970/1971 Maret 510,- 480,- 450,-- 37.38
1971/1972 Maret 620,-- 580,- 450,-- 48.40
1972 / Maret 1.050,- 1.000,- 950,-- 90.00
1973/1974 Maret 1.775,-- 1.675,- 1.575,-- 111.75
1974/1975 Maret 2.312,50 2.212,50 2.100,-- 177.50
1975 / Maret 1.837,50 1.737,50 1.637,50 129.55
1976/1977 Maret 2.050,- 1. 950,-- 1.850,- 149.13
1977/ 1978 Maret 2.350,-- 2.260,-- 2.150,-- 179.75
1978/1979 Maret 5.080,-- 4.880,- 4.680,- 239.75
1979/1980 Maret 10.750,- 9.750,-- 9.000,- 547.25
1980/ 1981 Maret 10.100,- 9.593,75 9.100,-- 576.75
1981 / Maret 7.150,-- 6.725,-- 6.375,- 316.25
1982/1983 Maret 9.980,- 9.534,- 9.048,- 413.00
1983/1984 Juni 12.580,- 11.940,-- 11.320,-- 415.00
September 12.800,-- 12.000,-- 11.500,-- 385.00
Desember 12.340,-- 11.690,-- 11.090,- 375.00
Maret 12.390,- 11.890,-- 11.140,- 393.00
1984/1985 April 12.237,50 11.662,50 11.025,-- 383.75
Mei 12.080,- 11.480,- 11.860,- 384.70
Juni 12.300,- 11.750,- 11.000,- 371.50
Juli 11.737,50 11.225,- 10.550,- 336.10
Agustus 11.500,-- d.OOO..- 10.500,- 347.11
September 11.500,-- 11.000,-- 10.500,-- 346.68
Oktober 11.500.- 11.000,- 10.500,- 336.00
Nopember 11.500,-- 11.000,- 10.500,- 330.80

Meningkatnya kurs matauang dollar Amerika sejak awal tahun anggaran 1984/1985
masih terus berlangsung sampai dengan bulan Nopember 1984. Selama periode April-
Nopember 1984, kurs matauang tersebut meningkat sebesar 4,6 persen yaitU dari Rp 1.020,-
menjadi Rp 1.067,20 per dollarnya. Dari perkembangan kurs dollar setiap bulannya terlihat
bahwa kurs dollar Amerika telah mengalami peningkatan tertinggi dalam bulan September
1984 yaitu sebesar 2,1 persen, sedangkan dalam bulan-bulan lainnya selama periode tersebUt

Departemen Keuangan RI 79
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

hanya meningkat antara 0,1 sampai 1,7 persen. Kurs dollar Hongkong terus meningkat dengan
peningkatan terbesar terjadi dalam bulan September 1984, yaitu sebesar 2,4 persen. Secara urn
urn dapat dikatakan bahwa peningkatan yang cukup besar raJa kurs dollar Amerika, maupun
pada kurs dollar Hongkong dalam bulan tersebut disebabkan permintaan dalam jumlah yang
relatif besar di posaran. Keadaan sebaliknya telah terjadi pada harga matauang Asia yaitu Yen,
dollar Singapura dan beberapa matauang Eropa Barat, yang permintaannya tidak menentu
sehingga berakibat tidak stabilnya kurs matauang tersebut di pasaran. Bila dilihat
perkembangan kurs Yen setiap bulan, maka selama delapan bulan dalam tahun anggaran
1984/1985 atau dalam periode April-Nopember 1984, telah terjadi penurunan dalam bulan-
bulan Mei, Juni, Juli dan Oktober 1984, sedangkan sebaliknya dalam bulan-bulan lainnya
terjadi peningkatan antara 1,1 sampai 1,5 persen. Pola yang hampir sarna terjadi raJa kurs dollar
Singapura yang mengalami kenaikan kurs tertinggi dalam bulan Agustus 1984 yaitU sebesar
1,8 persen, sedangkan dalam bulan Juli 1984 mengalami penurunan sebesar 0,8 persen. Secara
keseluruhan selama periode April-Nopember 1984, kurs Yen menurun sebesar 1,3 persen,
sedang kurs dollar Singapura meningkat dengan 3,7 persen. Perkembangan beberapa matauang
Eropa Barat yaitu Poundsterling Inggris, Mark Jerman, Franc Swiss dan Guilder Belanda dalam periode
yang sarna secara umum menunjukkan penurunan masingmasing sebesar 8,2 peTscH, 7,5 persen, 6,9
per:sen dan 7,2 persen. Penurunan kurs matauang Poundsterling Inggris dalam bulan Oktober 1984
sebesar 2,8 persen merupakan penurunan yang terbesar diantara penurunan yang terjadi selama kurun
waktu April-Nopember 1984. Sedangkan kurs matauang Mark Jerman dan Franc Swiss mengalami
penurunan terbesar dalam bulan Juli 1984 masing-masing sebesar 2,5 persen dan 3,9 persen, demikian
pula kurs Guilder Belanda mengalami penurunan terbesar dalam bulan September 1984 sebesar 3,0
persen. Perkembangan kurs beberapa valuta asing di pasar Jakarta dapat dilihat dalam Tabel III.8

3.2.4. Harga barang-barang ekspor

Memasuki tahun pertama Repelita IV, atau tepatnya pada tahun anggaran 1984/1985
sampai dengan bulan Nopember, harga komoditi ekspor di posar lokal Jakarta yaitu lada putih
dan kopi robusta telah mengalami peningkatan masing-masing sebesar 5,6 persen dan 2,0
persen, sedangkan komoditi karet dan kopra selama periode terse bUt telah menurun sebesar
23,8 persen dan 16,7 persen. Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan dan penurunan
harga yang terjadi di posaran lokal adalah akibat perkembangan harga yang terjadi di pasaran
internasional.

Mengamati perkembangan harga di posaran internasional dalam kaitannya dengan

Departemen Keuangan RI 80
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

ekspor beberapa komoditi Indonesia, terlihat bahwa beberapa komoditi mempunyai prospek
yang baik sekali dalam usaha pengembangan ekspor. Hal ini tercermin pada Tabel 111.8,
dimana komoditi lada putih, lad a hiram, kopi robusta eks Lampung, dan timah putih selama
tahun pertama Repelita IV sampai dengan bulan Nopember 1984 mengalami pemasaran yang
makin baik. Selama periode April-Nopember 1984, harga lada putih di posar London, dan lada
biram di posar New York telah meningkat masing-masing sebesar 21,9 persen dan 21,0 persen.
Menguatnya harga lada putih dan lada biram tersebut adalah akibat menurunnya persediaan,
karena memburuknya panen lada dunia dalam tahun 1983/1984 yang diperkirakan masih terus
berkelanjutan dalam tahun pallen 1984/1985. Harga kopi robusta eks Lamrung di posar
Singapura dalam periode yang sarna naik sebesar 14,1 persen, walaupun di pasar New York
sebagai pusat pemasaran kopi dunia dalam periode terse but mengalami penurunan sebesar 5,3
persen. perkembangan harga timah putih di posar London selama periode April-Nopember
1984 menunjukkan kenaikan sebesar 13,5 persen. Peningkatan tersebut bukan merupakan
akibat dari meningkatnya permintaan, akan tetapi akibat menurunnya nilai Pound sterling
Inggris di pasaran moneter internasional. Perkembangan yang sebaliknya telah terjadi pada
harga kopra di posar Manila, dan di posar London serta minyak sawit eks Malaysia di pasar
London, yang selama periode April-Nopember 1984 mengalami penurunan masing-masing
sebesar 17,0 persen, 17,8 persen dan 15,7 persen. Demikian pula halnya dengan harga karet
RSS III di posar New York, London dan Singapura, selama periode tersebut telah mengalami
penurunan masing-masing sebesar 27,7 persen, 17,2 persen dan 28,2 persen. Penurunan harga
karet sintetis, sehubungan dengan menurunnya harga minyak bumi, merupakan salah sarli
sebab menurunnya harga karet tersebut. perkembangan harga komoditi di posar lokal, dan di
posar internasional dapat dilihat pada Tabel III.7, Tabel III.8

Departemen Keuangan RI 81
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel III. 7
HARGA BEBERAPA BARANG EKSPOR DI JAKARTA, 1969/1970 - 1984/1985
( dalam rupiah per kilogram)
Tahun anggaran/ Kopra
rata-rata bulan RSS I (Sulawesi) Lada putih Kopi robusta
1969/1970 Maret 125,66 50,18 295,-- 126,57
1970/1971 Maret 106,1 65,4 199,25 156,-
1971 /1972 Maret 103,12 58,2 257,6 120,62
1972/1973 Maret 199,77 79,7 431,4 293,09
1973/1974 Maret 305,56 192,43 752,19 360,46
1974/1975 Maret 178,35 94,51 526,25 245,82
1975/1976 Maret 243,59 89,18 455,37 507,-
1976/1977 Maret 278,29 215,5 1.100,- 2.090,-
1977/1978 Maret 306,47 233,33 917,5 862,5
1978/1979 Maret 626,66 256,67 1.276,25 1.169,-
1979/1980 Maret 777,94 242,26 1.162,50 1.225,-
1980/1981 Maret 690,21 263,4 822,5 968,75
1981/1982 Maret 508,48 243,8 880,-- 783,6
1982/1983 Maret 701,09 219,8 956,-- 1.025,-
1983/1984 Juni 1.041,64 313,26 1.270,- 1.200,--
September 992,74 363,78 1.450,- 1.150,-
Desember 1.103,43 467,32 2.510,- 1.250,-
Maret 1.006,25 535,07 2.665,- 1.275,-
1984/1985 April 939,44 560,38 2.540,- 1.300,-
Mei 889,84 540,65 2.660,- 1.325,--
Juni 791,42 577,25 2.670,- 1.300,-
Juli 795,54 543,48 2.440,- 1.300,-
Agustus 820,36 493,15 2.600,- 1.325,-
September 853,37 432,74 2.925,- 1.350,-
Oktober 797,9 445,77 2.850,- 1.235,-
Nopember 766,78 445,77 2.815,- 1. 300,-

Tabel III..8
HARGA BEBERAPA BARANG EKSPOR UTAMA DI PASAR INTERNASIONAL, 1969/1970 - 1984/1985
Tahun anggaran/ RSS III Kopra Kopi robusta Lada putih Lada hitam Timah putih Minyak
rata-rata bulan -
US $ ct/lb Brp I kg Str $ ct/kg US $/lt US $flt Str $1 pic us $ ct/lb Br tIlt US $ ct/!b Br £ I mt Br tIlt
York) (London) (Singapnra) (Manila) (London) Lampung eks Palembang (London) (New York) (London) Malaysia
(Singapura) (New York) (London)
1969/1970 Maret 20,88 20,65 59,35 205,-- 240,53 82,38 33,65 49,77 57,72 1.578,54 109,58
1970/1971 Maret 17,08 14,6 98,83 176,28 208,55 117,13 39,28 42,73 55,6 1.472,20 117,6
1971/1972 Maret 16,01 12,6 83,2 115,92 141,84 95,5 36,43 47,4 45,- 1.477,60 81,35
1972/1973 Maret 26,4 24,59 137,45 201,5 221,21 90,-- 42,28 60,5 52,25 1.736,50 115,--
1973/1974 Maret 42,43 39,98 203,96 767,67 899,6 165,93 62,31 98,93 79,92 3.524,-- 276,87
1974/1975 Maret 27,83 24,89 117,8 258,93 304,6 118,53 42,86 88,3 90,-- 3.043,26 197,85
1975/1976 Maret 35,88 41,22 179,05 178,46 192,5 215,38 78,15 102,55 79,14 3.594,05
1976/1977 Maret 39,67 38,86 186,44 456,76 551,5 815,23 294,56 164,6 117,31 6.155,94 591,74
1977/1978 Maret 43,52 48,34 196,43 437,06 280,-- 188,75 116,67 5.917,50 319,5
1978/1979 Maret 51,7 59,87 247,44 664,5 796,45 285,-- 120,67 150,62 86,52 7.328,- 679,61
1979/1980 Maret 69,43 66,35 300,91 520,76 516,75 395,-- 154,75 139,-- 95,67 7.906,83 612,-
1980/1981 Maret 65,06 57,25 240,63 406,25 389,43 399,-- 104,52 100,-- 83,-- 6.084,13 602,33
1981/1982 Maret 43,24 48,24 163,5 327,05 330,25 356,94 114,48 128,88 73,-- 7.070,78 505,17
1982/1983 Maret 54,36 73,58 200,56 329,58 321,69 292,5 114,69 132,-- 64,"- 8.957,10 376,5
1983/1984 Juni 53,29 71,81 219,33 479,01 472,92 332,5 117,49 126,56 71,63 8.581,41 400,66
September 58,11 75,48 221,23 645,-- 638,01 362,5 117,42 135,-- 66,84 8.506,16 648,85
Oesember 57,2 81,21 228,53 655,33 653,4 480,5 126,04 243,-- 98,7 8.616,20 705,79
Maret 56,84 80,2 225,31 747,- 744,15 487,5 128,15 244,8 90,07 8.523,48 739,5
1984/1985 April 54,54 77,64 215,08 726,83 735,75 487,5 127,45 245,-- 92,45 8.762,42 767,23
Mei 50,7 73,41 198,55 800,17 487,5 133,5 245,- 96,8 9.055,25 905,63
Juni 47,01 68,01 182,17 845,-- 829,4 551,37 132,75 245,-- 97,6 9.170,38 817,33
Jull 45,47 70,07 179,2 723,25 728,- 551,-- 127,66 245,- 92,5 9.412,60 590,28
Agustus 45,59 70,3 180,04 658,5 682,6 551,-- 127,2 241,01 91,88 9.352,08 566,6
September 45,58 71,38 179,78 648,54 642,13 562,25 128,2 274,5 105,1 9.594,25 616,--
Oktober 42,33 68,59 167,30' 703,13 747,63 566,- 122,26 317,5 114,8 9.596,50 631,75
Nopember 41,1 66,41 161,87 620,- 611,54 556,-- 121,42 298,5 108,94 9.676,94 623,39

Departemen Keuangan RI 82
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

3.2 .5 .Indeks harga perdagangan besar Indonesia

Dalam tahun 1983, indeks harga perdagangan besar meningkat sebesar 18,2 persen, atau
dari indeks 302 dalam tahun 1982 menjadi 357 dalam tahun 1983. Kenaikan tersebut
disebabkan oleh meningkatnya indeks harga sektor pertanian sebesar 13,7 persen, sektor per-
tambangan dan penggalian sebesar 9,0 persen, sektor industri sebesar 17,1 persen, sektor impor
sebesar 20,9 persen, dan sektor ekspor sebesar 19,5 persen. Dalam perkembangannya yang
terakhir, yaitu dalam tahun 1984 sampai dengan bulan Agustus, indeks harga perdagangan
besar terse but meningkat sebesar 11,5 persen, sebagai hasil dari kenaikan indeks harga sektor
pertanian sebesar 12,0 persen, sektor pertambangan dan penggalian sebesar 8,6 persen, sektor
industri sebesar 12,3 persen, serta indeks sektor impor dan sektor ekspor masing-masing
sebesar 10,7 persen dan 11,9 persen. Peningkatan indeks harga sektor pertanian terjadi pada
indeks harga masing-masing sub sektor tanaman perdagangan, bahan makanan, peternakan,
perikanan, serta sub sektor perkayuan dan hasil-hasil hutan. Indeks harga sektor pertambangan
dan penggalian meningkat karena peningkatan yang terjadi antara lain pada indeks harga sub
sektor batubara, sub sektor penggalian, dan sub sektor garam. Pada indeks harga sektor industri,
peningkatan telah terjadi pada indeks harga semua sub sektornya, yaitu antara lain sub sektor
industri minyak nabati dan lemak, serta sub sektor industri pengilangan minyak dan hasil-
hasilnya. Di sektor impor, kenaikan terjadi pada indeks harga sub sektor hasil industri
pemintalan, perajutan, tekstil dan lainnya, sub sektor hasil industri kertas dan hasil-hasilnya,
serta sub sektor hasil industri pengilangan minyak. Demikian pula halnya dengan indeks harga
perdagangan besar bahan ekspor, peningkatan terjadi pada indeks harga masing-masing sub
sektor bahan makanan dan sejenisnya, biji logam bukan besi, serta sub sektor hasil-hasil
tanaman perdagangan dan ternak. Perkembangan Indeks harga perdagangan besar Indonesia
dapat dilihat dalam Tabel III.9.

Tabel III. 9
ANGKA INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR INDONESIA,
1977 -1984 ( 1975 = 100 )

S e k tor 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1)


I. Pertanian 145 162 213 262 302 336 382 428
2. Pertambangan dan penggalian 130 144 175 218 266 311 339 368
3. In d u s t r i 128 139 178 210 234 257 301 338
4. Impor 108 118 153 174 191 201 243 269
5. E k s p o r 116 127 246 375 414 430 514 575
Indek Umum 122 114 195 253 282 302 357 398
Kenaikan indeks (%) - -6,56 71,05 29,74 11,46 7,09 18,21 11,48
1) Sampai dengan buIan Agustus

Departemen Keuangan RI 83
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

3.2.6. Indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi

Perkembangan indeks umum harga perdagangan besar bahan bangunan dan konstruksi
dalam tahun 1983 telah menunjukkan peningkatan sebesar 11,8 persen. Kenaikan tersebut
tercermin dati kenaikan yang terjadi pada masing-masing indeks harga jenis bangunan tempat
tinggal sebesar 11,0 persen, jenis bangunan bukan tempat tinggal sebesar 12,3 persen, jenis
pekerjaan umum untuk pertanian sebesar 13,0 persen, jenis pekerjaan umum untuk jalan dan
jembatan sebesar 11,5 persen, jenis bangunan listrik dan transmisinya sebesar 12,2 persen,
bangunan dan konstruksi lainnya sebesar 11,9 persen, sella indeks harga untuk jenis perbaikan
bangunan sebesar 12,5 persen. Pada perkembangannya yang terakhir yaitu pada tahun 1984
sampai dengan bulan Agustus, indeks umum harga perdagangan besar bahan bangunan dan
konstruksi telah meningkat sebesar 7,2 persen. Peningkatan terse but disebabkan oleh
peningkatan masing-masing pada indeks harga jenis bangunan pekerjaan umum untuk pertanian
sebesar 8,9 persen, jenis bangunan pekerjaan uIhum untuk jalan dan jembatan sebesar 7,5
persen, serta indeks harga jenis bangunan lainnya yang berkisar antara 5,9 persen dan 7,4
persen. perkembangan angka indeks harga perdagangan besar bahan bangunan/konstruksi dapat
dilihat pada Tabel III.10.

Tabel III. 10
ANGKA INDEKS HARGA PERDAGANGAN BESAR BAHAN BANGUNAN/KONSTRUKSI
DI INDONESIA MENURUT lENIS, 1977 -1984
( 1975 = 100 )

Jenis 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984

1. Bangunan tempat tinggal 114 123 149 175 191 209 232 248
2. Bangunan bukan temp at tinggal 113 124 152 177 193 211 237 254
3. Pekerjaan umum untuk pertanian 109 120 146 192 213 239 270 194
4. Pekerjaan umum untuk jalan dan jembatan 112 123 151 183 205 226 252 271
5. Bangunan listrik dan transmisinya 106 116 142 160 170 181 203 215
6. Bangunan dan konstruksi lainnya 111 123 154 182 200 219 245 261
7. Perbaikan bangunan 113 122 151 179 196 216 243 261
Umum 112 122 150 177 194 212 237 254
Persentase perubahan 8,93 22,95 18 9,6 9,28 11,79 7,17
1) Sampai dengan bulan Agustus

3.3. Gaji dan upah di berbagai sektor ekonomi

Peraturan pengupahan secara regional, sektoral, maupun sub sektoral senantiasa


mengalami peningkatan dati tahun ke tahun. Sampai dengan tahun _pertama pelaksanaan
Repelita IV sampai dengan bulan September, secara kumulatif telah dihasilkan 16 buah
peraturan pengupahan secara regional, 58 buah peraturan pengupahan secara sektoral, dan 300

Departemen Keuangan RI 84
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

buah peraturan pengupahan secara sub sektoral. Pada Tabel III.11 dapat dilihat bahwa dalam
tahun 1983 upah minimum di semua sektor telah meningkat antara 4,5 sampai 18,6 persen.
Demikian pula halnya dengan upah maksimum dalam tahun 1983 meningkat antara 3,0 sampai
32,4 persen, kecuali pada sektor pegawai negeri yang tidak mengalami perubahan dalam upah
minimum maupun upah maksimum. Sampai dengan semester I tahun 1984, upah minimum di
semua sektor mengalami peningkatan yaitu pada sektor bangunan, sektor listrik, dan sektor
perkebllnan masing-masing sebesar 36,7 persen, 19,7 persen dan 17,5 persen. Sedangkan
peningkatan upah maksimum terjadi disektor perhubungan, sektor bangunan, dan sektor
perdagangan/bank/asuransi masing-masing sebesar 24,3 persen, 23,1 persen dan 18,9 persen.
Bila perkembangan upah selama periode Januari-Juni 1984 dibandingkan dengan periode
Januari-Juni 1983, kenaikan upah minimum terjadi terutama pada sektor bangunan dan sektor
perkebunan yaitu masing-masing sebesar 38,5 persen dan 22,6 persen, sedangkan sektor-sektor
lainnya hanya meningkat antara 2,0 persen sampai 12,2 persen. Dalam hal upah maksimum,
kenaikan terjadi pada sektor perdagangan/bank/asuransi sebesar 43,5 persen, sektor
perhubungan sebesar 28,4 persen dan sektor bangunan sebesar 24,1 persen, sedangkan sektor
perkebunan, sektor industri, sektor jasa dan sektor lainnya meningkat sekitar 4,5 persen sampai
18,2 persen. Dilain pihak penurunan terjadi pada sektor pertambangan sebesar 0,6 persen,
sedangkan sektor listrik tidak mengalami perubahan.
Tabel III. 11
UPAH MINIMUM DAN MAKSIMUM DI BERBAGAI SEKTOR, 1975 -1984
( rupiah per bulan)
Sektor 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 19841)
( Rata-rata upah minimum)
1. Perkebunan 8.429 9.101 10.932 12.993 14.919 17.606 21.877 25.485 27.207 31.974
2. Pertambangan 32.452 37.187 41.061 44.118 46.826 60.069 64.510 69.423 72.540 73.362
3. Industri 25.099 28.589 29.178 34.720 36.255 42.137 46.299 57.278 65.570 72.235
4. Bangunan 17.742 20.665 24.498 25.881 26.381 29.105 29.893 35.025 36.718 50.209
5. Listrik 14.262 14.262 14.262 17.318 20.494 21.050 27.279 33.843 40.121 48.039
6. Perdaganganlbank/asuransi 19.182 25.782 29.754 32.914 34.681 42.112 53.245 63.009 67.283 70.185
7. Perhubungan 22.606 23.114 27.051 35.128 36.116 41.972 50.517 60.662 69.475 72.056
8. Jasa-jasa 27.837 29.158 29.158 29.158 30.977 33.270 39.391 50.927 56.491 58.193
9. Lain-lain/pegawai negeri 13.300 14.300 16.280 16.280 16.280 26.500 32.400 32.400 32.400 35.760
( Rata-rata upah maksimum )
1. Perkebunan 118.314 138.214 150.211 172.530 176.036 191.411 262.721 277.328 289.408 295.745
2. Pertambangan 158.178 209.827 269.179 280.337 309.528 448.725 550.025 554.975 620.200 712.650
3. Industri 251.242 297.238 333.647 409.246 442.956 496.738 556.348 672.658 712.165 834.889
4. Bangunan 117.039 173.590 205.778 287.166 294.840 370.994 455.424 509.021 524.395 645.606
5 Listrik 89.595 89.595 135.046 150.196 219.832 231.719 320.299 351.723 465.520 465.520
6. Perdaganganlbank/asuransi 174.181 189.030 250.416 297.695 320.799 361.254 440.503 532.146 656.676 780.928
7. Perhubungan 171.991 172.419 205.527 248.405 268.536 382.665 492.624 527.361 554.632 689.618
8. Jasa-jasa 125.287 227.235 228.752 228.752 275.233 322.339 359.035 381.078 393.412 415.078
9. Lain-Iain/pegawal negeri 83.500 84.700 241.200 241.200 241.200 291.500 307.400 307.400 307.400 342.550

Departemen Keuangan RI 85
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

BAB IV

MONETER DAN PERKREDITAN

4.1. Pendahuluan

Kebijaksanaan moneter dalam Repelita IV, yang mempunyai kaitan erat dengan
kebijaksanaan fiskal dan perkembangan neraca pembayaran, bertujuan untuk meneruskan usaha
kearah tercapainya sa saran pembangunan sesuai dengan trilogi pembangunan. Beberapa tujuan
pokok yang akan dicapai adalah peningkatan usaha mobilisasi tabungan masyarakat melalui
bank dan lembaga keuangan bukan bank, meningkatkan usaha pemerataan pembangunan
dengan meningkatkan golongan ekonomi lemah, memelihara kestabilan perekonomian dengan
menjaga kestabilan harga, serta meningkatkan efisiensi dan peranan lembaga-lembaga
keuangan. Dalam tahun pertama Rep.dita IV, kebijaksanaan moneter telah memasuki tahun
kedua penataan kembali sistem perbankan Indonesia, yang pada dasarnya bertujuan untuk
ineningkatkan pengerahan dana masyarakat melalui pemberian tanggung jawab yang lebih
besar kepada bank-bank untuk menetapkan sendiri persyaratan-persyaratan penghimpunan dana
dari dan pemberian kredit kepada masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, pagu kredit
perbankan dihapuskan, dan kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank untuk sektor
ekonomi yang bukan prioritas dihentikan.

Untuk lebih menunjang usaha peningkatan dana masyarakat, telah diambil


kebijaksanaan untuk tidak memungut atau menangguhkan pemungutan pajak penghasilan atas
pendapatan bunga deposito berjangka, dan tabungan lainnya. Di samping itu penerbitan
sertifikat deposito terus dilanjutkan, sebagai salah satu pilihan bagi masyarakat untuk me-
nanamkan kelebihan dananya.

Transaksi di pasar uang antar bank melalui kliring di Jakarta, senantiasa disempurnakan
dengan ikut sertanya Bank Indonesia untuk menjaga perkembangan suku bunga antar bank.
Sedangkan untuk mengembangkan jual beli surat berharga di posar modal, tatacara
penyelesaian transaksi effek di bursa telah disederhanakan, dan keringanan pajak atas pen-
dapatan bunga dividen dan royalty (PBDR) juga berlaku bagi pembelian obligasi. Selanjutnya
dalam rangka meningkatkan usaha pemerataan pembangunan, Pemerintah senantiasa
mendorong peningkatan produksi barang-barang kebutuhan rakyat, serta pengembangan usaha
golongan ekonomi lemah. Untuk itu fasilitas kredit likuiditas tetap disediakan untuk pinjaman
yang berprioritas tinggi, dengan beberapa penyesuaian dalam ketentuan dan persyaratan.

Departemen Keuangan RI 86
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Sebagai sarana pengendalian moneter, di samping ketentuan untuk memelihara


cadangan wajib minimum bank-bank yang sejak 1 Januari 1978 besarnya adalah 15 persen dari
kewajiban y;mg dapat dibayar, sejak 1 Pebruari 1984 telah diterbitkan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI). SBI ini dapat digunakan (melalui operasi posar terbuka) untuk menanamkan
kelebihan dana likuiditas dari bank yang belum dioperasikan. Sebaliknya sebagai sarana untuk
menanggulangi kekurangan likuiditas, Bank Indonesia menyediakan fasilitas diskonto yang
merupakan upaya terakhir bagi bank-bank dalam usahanya untuk memperoleh tambahan dana.

Usaha untuk meningkatkan peranan pembiayaan pembangunan dengan dana dari


masyarakat, pembinaan lembaga-lembaga keuangan senantiasa ditingkatkan, dan meliputi
pembinaan terhadap lembaga perbankan, lembaga keuangan bukan bank, dan perasuransian,
serta peningkatan peranan pasar uang dan modal. Pembinaan disektor perbankan diarahkan
untuk mengembangkan sistem perbankan yang sehat, baik bank Pemerintah maupun bank
swasta nasional. Pembinaan bank pembangunan daerah dilaksanakan melalui program
pemberian bantuan teknis dan pendidikan, serta perluasan jaringan kliring lokal di tempat-
tempat yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia. Terhadap bank umum swasta nasional juga
diberikan keringanan dalam persyaratan pembukaan kantor cabang. Sementara itu peranan
lembaga keuangan bukan bank (LKBB) ditingkatkan dengan diberikannya fasilitas diskonto
ulang dalam perdagangan surat-surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan.

4.2. Jumlah uang beredar dan sehab-sehab perubahannya

Jumlah uang beredar selama 6 bulan pertama tahun anggaran 1984/1985 telah
mengalami peningkatan sebesar Rp 38,3 milyar (0,5 persen), yaitu dari posisinya sebesar
Rp8.054,7 milyar pada akhir bulan Maret 1984, menjadi Rp 8.093,0 milyar pada akhir bulan
September 1984. Peningkatan tersebut terdiri dari peningkatan uang kartal sebesar Rp 10,4
milyar, dan uang giral sebesar Rp 27,9 milyar. Dengan demikian secara keseluruhan sampai
dengan bulan September 1984, posisi uang kanal adalah sebesar Rp 3.563,9 milyar atau 44
persen dari jumlah uang beredar, dan uang giral sebesar Rp 4.529,1 milyar atau 56 persen dari
jumlah uang beredar. Peranan uang giral yang cukup tinggi di dalam komponen uang beredar
tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat di dalam menggunakan jasa-jasa
perbankan.

Departemen Keuangan RI 87
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel IV. 1
JUMLAH UANG BEREDAR, 1969/1970 - 1984/1985
( dalam milyar rupiah)
Uang Uang Persentase
Akhir Waktu kartal % giral % Jumlah Perubahan Perubahan
1969/1970 Maret 126,3 60 84,4 40 210,7 79,9 61,1
1970/1971 Maret 166,8 62 103,4 38 270,2 59,5 28,2
1971/1972 Maret 210,3 58 150 42 360,3 90,1 33,3
1972/1973 Maret 291,1 55 239,2 45 530,3 170 47,2
1973/1974 Maret 421,1 54 363,2 46 784,3 254 47,9
1974/1975 Maret 538,5 52 488,6 48 1.027,10 242,8 31
1975/1976 Maret 659,3 46 768,6 54 1.427,90 400,8 39
1976/1977 Maret 853,4 47 962 53 1.815,40 387,5 27,1
1977/1978 Maret 1.035,80 49 1.075,10 51 2.110,90 295,5 16,3
1978/1979 Maret 1.368,70 49 1.431,20 51 2.799,90 689 32,6
1979/1980 Maret 1.773,90 47 2.023,20 53 3.797,10 997,2 35,6
1980/1981 Maret 2.228,70 43 2.985,50 57 5.214,20 1.417,10 37,3
1981/1982 Maret 2.541,30 38 4.233,40 62 6.774,70 1.560,50 29,9
1982/1983 Maret 3.000,70 41 4.378,70 59 7.379,40 604,7 8,9
1983/1984 Joni 3.283,80 44 4.221,60 56 7.505,40 126 1,7
September 3.306,50 43 4.409,40 57 7.715,90 210,5 2,8
Desember 3.333,30 44 4.235,90 56 7.569,20 -146,7 -1,9
Maret 3.553,50 44 4.501,20 56 8.054,70 485,5 6,4
Kumulatif - - - - - 675,3 9,2
1984/1985 April 3.508,90 43 4.563,70 57 8.072,60 17,9 0,2
Mei 3.572,70 45 4.410,30 55 7.983,00 -89,6 -1,1
Juni 4.046,70 49 4.136,20 51 8.182,90 199,9 2,5
Juli I) 3.615,20 45 4.420,90 55 8.036,10 -146,8 -1,8
Agustus 1) 3.631,60 46 4.302,70 54 7.934,30 -101,8 -1,3
September 1) 3.563,90 44 4.529,10 56 8.093,00 158,7 2
I) Angka sementara

Tabel IV. 2
SEBAB - SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1969/1970 - 1984/1985
(dalam milyar rupiah)

Aktiva Luar Pemerintah Tagihan pada Simpanan Lainnya


Akhir waktu negeri pusat perusahaan & berjangka & bersih Perubahan
Perorangan l) Tabungan
1969/1970 Maret -7 -4,1 151,1 -27,5 -32,6 79,9
1970/1971 Maret -4,7 -16,2 127,6 -39,8 -7,4 59,5
1971/1972 Maret 153,1 53 100,1 -92,9 -123,2 90,1
1972/1973 Maret 124,4 -25,3 227,5 -50,8 -105,8 170
1973/1974 Maret 154,2 -13,9 458,6 -180,4 -164,5 254
1974/1975 Maret 1 23,3 549,5 -138,1 -192,9 242,8
1975/1976 Maret -319,6 -418 1.273,10 -277,2 142,5 400,8
1976/19.77 Maret 476,2 -417,9 718,6 -195 -194,4 387,5
1977/1978 Maret 441,1 -143,9 307,7 -134,4 -175 295,5
1978/1979 Maret 985,1 -445,9 1.605,80 -190,7 -1.265,30 689
1979/1980 Maret 2.497,30 -1.099,60 809,4 -650,4 -559,5 997,2
1980/1981 Maret 2.296,40 -1.825,50 1.836,20 -686,2 -203,8 1.417,10
1981/1982 Maret -67,6 -72,3 2.605,00 -684,5 -220,1 1.560,50
1982/1983 Maret 16,4 697,1 3.036,10 -1.491,40 -1.653,50 604,7
1983/1984 Juni 429 -347,9 361,8 -596,7 279,8 126
September 671 -871 608,4 -654,9 457 210,5
Desember 406,4 -395 810,1 -973,8 5,6 -146,7
Maret 1.178,50 -105,2 853,1 -610,1 -830,8 485,5
Kumulatif 2.684,90 -1.719,10 2.633,40 -2.835,50 -88,4 675,3
1984/1985 April 130,1 -369,2 158,4 -374 472,6 17,9
Mei 160,6 -83,9 395,7 -65 -497 -89,6
Juni 241,3 -312,2 353 -124,5 42,3 199,9
Juli 2) -35,7 -471,3 332,5 -162,4 190,1 -146,8
Agustus 2) -35,6 -266 527,8 -170,2 -157,8 -101,8
September 2) -215,8 112,2 198 -123,9 188,2 158,7
1) Termasuk tagihan pada badan/lembaga dan perusahaan Pemerintah
2) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 88
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Jika dilihat dari sektor-sektor yang mempengaruhi jumlah uang beredar, dalam periode
April-September 1984, sektor tagihan pada perusahaan dan perorangan memberikan pengaruh
menambah yang cukup besar, yaitu sebesar Rp 1.965,4 milyar. Di samping itu sektor aktiva luar
negeri bersih, dan sektor lainnya bersih juga memberikan pengaruh menambah pada jumlah
uang beredar, masing-masing sebesar Rp 244,9 milyar dan Rp 238,4 milyar. Pengaruh
menambah sektor tagihan pada perusahaan dan perorangan tersebut menunjukkan suatu
perkembangan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sarna tahun lalu, yaitu
sebesar Rp 970,2 milyar. Peningkatan yang cukup besar pada sektor tagihan pada perusahaan
dan perorangan ini, satu dan lain adalah karena peningkatan kredit untuk pembiayaan di bidang
perindustrian dan jasa-jasa. Sektor Pemerintah pusat selama semester pertama tahun anggaran
1984/1985 menunjukkan pengaruh mengurang, pada jumlah uang beredar sebesar Rp 1.390,4
milyar, sedangkan dalam periode yang sama tahun yang lalu, sektor Pemerintah pusat tersebut
memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp 1.218,9 milyar. Usaha untuk meningkatkan
tabungan masyarakat yang terus dilakukan Pemerintah tercermin dari besarnya pengaruh
mengurang pada jumlah uang beredar yang ditimbulkan oleh sektor simpanan berjangka dan
tabungan. Dalam periode April-September 1984, sektor tersebut memberikan pengaruh
mengurang sebesar Rp 1.020,0 milyar. 'Perkembangan jumlah uang beredar, dan sebab-sebab
perubahannya secara lengkap dapat diikuti pada Tabel lV.l dan Tabel IV.2.

4.3. Dana dan Kredit Perbankan

4.3.1. Dana perbankan

Kebijaksanaan di bidang mobilisasi. dana perbankan senantiasa mengalami


penyempurnaan sesuai dengan perkembangan. Sejak Juni 1983, kepada bank-bank Pemerintah
telah diberikan tanggung jawab yang lebih besar di dalam usaha pengerahan dana, serta
sekaligus mengurangi ketergantungan bank-bank kepada dana likuiditas Bank Indonesia.
Bankbank Pemerintah diberi kebebasan dalam menentukan tingkat suku bunga deposito dan
tabungan lainnya, kecuali terhadap deposito berjangka waktu 24 bulan yang bunganya
ditetapkan sekurang-kurangnya 12 persen per tahun. Sampai dengan akhir bulan September
1984, dana perbankan mencapai jumlah sebesar Rp 14.705,8 milyar. Dari jumlah tersebut,
sebesar Rp 6.800,6 milyar (46,3 persen) adalah dana giro, sedangkan dana deposito dan ,
tabungan masing-masing adalah sebesar Rp 7.266,9 milyar (49,4 persen), dan Rp 638,3 milyar
(4,3 persen). Dana giro sebesar Rp 6.800,6 milyar terse but sebagian besar berasal dari dana
giro bank-bank Pemerintah, yaitu sebesar Rp 5.034,6 milyar, sedangkan dana giro bank-bank

Departemen Keuangan RI 89
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

swasta nasional adalah sebesar Rp 1.252,6 milyar, dan dana giro cabang bank-bank asing
adalah sebesar Rp 513,4 milyar. Dari dana yang dihimpun dalam bentuk deposito sebesar
Rp7.266,9 milyar, Rp 4.122,1 milyar merupakan dana yang berhasil dihimpun oleh bank-bank
Pemerintah, Rp 1.908,2 milyar oleh bank-bank swasta nasional, dan Rp 1.236,6 milyaroleh
cabang bank-bank asing. Sedangkan dana tabungan yang berhasil dihimpun oleh bank-bank
Pemerintah adalah berjumlah Rp 531,3 milyar, oleh bank-bank swasta nasional sebesar
Rp106,8 milyar dan oleh cabang bank-bank asing sebesar Rp 0,2 milyar, sehingga secara
keseluruhan jumlah dana tabungan mencapai Rp 638,3 milyar.
Tabel IV. 3
DANA PERBANKAN RUPIAH DAN V ALUTA ASING, 1972 - 1984
( dalam milyar rupiah )
1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981
Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember Desember,
I. Bank-bank Pemerintah 381,8 !i31,7 890,1 1.181,10 1.618,30 1.853,40 2.254,40 3.180,40 4.927,00 6.033,10
Giro 186,2 255 363 464,4 680,7 804,7 1.034,80 1.888,10 3.449,00 4.266,70
Deposito 168,9 244 482,3 645,4 831,2 901,9 1.035,20 1.086,60 1.196,70 1.399,60
c Tabllngan 26,7 32,7 44,8 71,3 106,4 146,8 184,4 205,7 281,3 366,8
II. Bank-bank swasta nasional 50,1 79,6 112,3 159,3 238,7 303,8 436,3 604,6 930,2 1.210,80
Giro 29,9 55,9 80,1 110,1 164,7 20'\,2 302,6 431,7 666,6 740,8,
Deposito 18,5 21,1 28,9 44,3 66 89 117,7 153,1 231,3 417,4
Tabungan 1,7 2,6 3,3 4,9 8 11,6 16 19,8 32,3 '52,6
III. Cahang bank-bank asing 90,7 145,2 187,1 203,3 224 255,6 333,1 458,6 553,7 765;2
Giro 44,7 71,4 117,1 132,8 141 142,6 198;5 240 330,8 372,2
Deposito 46 73,8 70 70,5 83 113 134;5 218,5 222,8 392,9
Tabungan - - - - - - 0,1 0,1 0,1 0,1
IV. Sub total (II + III) 140,8 224,8 299,4 362,6 462,9 559,4 769,4 1.063,20 1.483,90 1.976,00
Giro 74,6 127,3 197,2 242,9 305,7 345,8 501,1 671,7 997,4 1.113,00
Deposito 64,5 94,9 98,9 114,8 149,2 202 252,2 371,6 454,1 810,3
Tabungan 1,7 2,6 3,3 4,9 8 11,6 16,1 19,9 32,4 52,7
V. Jumlah besar (I + IV ) 1) 522,6 756,5 1.189,50 1.543,70 2.081,20 2.412,80 3.023,80 4.243,60 6.410,90 8.009,10
Giro 260,8 382,3 560,2 703,3 986,4 1.150,50 1.535,90 2.559,80 4.446,40 5.379,70
Deposito 2) 233,4 338,9 581,2 760,2 980,4 1.103,90 1.287,40 1.458,20 1.650,80 2.209,90
Tabungan 3) 28,4 35,3 48,1 76,2 114,4 158,4 200,5 225,6 313,7 419,5
1) Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank tabungan termasuk dana milik pemerintah pusat dan bukan penduduk.
2) Termasuk sertifikat deposito.
3) Termasuk tabungan pegawai dan setoran ongkos naik hajj.

1982 1983 1984


Desember Maret Juni Sept. Des. Maret April Me i Juni Juli Agust. Sept. 4)
I. Bank-bank Pemerintah 6.168,40 7.106,60 7.195,50 7.917,00 8.381,40 9.080,60 9.111,70 9.250,20 .9.167,9 9.106,90 9.200,80 9.688,00
G ir 0 4.028,50 4.485,40 4.325,10 4.471,40 4.260,80 4.660,60 4.471,10 4.502,10 4.451,40 4.426,90 4.525,10 5.034,60
Deposito 1. 718,2 2.154,90 2.356,40 2.988,70 3.63.1,2 3.882,30 4.074,40 4.163,10 4.133,30 4.109,40 4.131,90 4.122,10
Tabungan 421,7 466,3 514 456,9 489,4 537,7 566,2 585 583,2 570,6 543,8 531,3
II. Bank-bank swasta nasional 1.695,20 1.707,90 2.058,00 2.343,50 2.616,80 2.736,70 2.888,80 2.927,20 3.068,60 3.156,20 3.239,70 3.267,60
Giro 954,6 869,6 1.047,70 1.170,10 1.230,20 1.173,40 1.259,00 1.233,70 1.270,50 1.293,60 1.272,00 1.252,60
Deposito 672,6 765,6 933,2 1.086,40 1.292,30 1.463,30 1.526,80 1.590,10 1.693,10 1.756,80 1.858,30 1.908,20
Tabungan 68 72,7 77,1 87 94,3 100 103 103,4 104,9 105,8 109,4 106,8
III. Cabang bank-bank asing 1.003,70 1.376,30 1.378,50 1.398,80 1.398,30 1.519,80 1.555,60 1.543,20 1.582,20 1.599,90 1.657,10 1.750,20
Giro 412,8 559,4 568,3 552,9 539,8 516,4 543,2 508,5 521,7 541,2 505,2 513,4
Deposito 590,8 816,7 810 845,7 858,3 1.003,20 1.012,20 1.034,50 1.060,40 1.058,50 1.151,70 1.236,60
Tabungan 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2
IV. Sub total (II + III ) 2.698,90 3.084,20 3.436,50 3.742,30 4.015,10 4.256,50 4.444,40 4.470,40 4.650,80 4.756,10 4.896,80 5.017,80
Giro 1.367,40 1.429,00 1.616,00 1. 723,0 1. 770,0 1.689,80 1.802,20 1.742,20 1.792,20 1.834,80 1.777,20 1.766,00
Deposito 1.263,40 1.582,30 1. 7 43,2 1.932,10 2.150,60 2.466,50 2.539,00 2.624,60 2.753,50 2.815,30 3.010,00 3.144,80
Tabungan 1) 68,1 72,9 77,3 87,2 94,5 100,2 103,2 103,6 105,1 106 109,6 107
V. Jumlah besar( I + IV) 8.867,30 10.190,80 10.632,00 11.659,30 12.396,50 13.337,10 13.556,10 13.720,60 13.818,70 13.863,00 14.097,60 14.705,80
Giro 5.395,90 5.914,40 5.941,10 6.194,40 6.030,80 6.350,40 6.273,30 6.244,30 6.243,60 6.261,70 6.302,30 6.800,60
Deposito 2) 2.981,60 3.737,20 4.099,60 4.920,80 5.781,80 6.348,80 6.613,40 6.787,70 6.886,80 6.924,70 7.141,90 7.266,90
Tabungan 3) 489 539,2 591,3 544,1 583,9 637,9 669,4 688,6 688,3 676,6 653,4 638,3
1) Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank tabungan termasuk dana milik pemerintah pusat dan bukan penduduk.
2) Termasuk sertifikat deposito.
3) Termasuk tabungan pegawai dan setoran ongkos naik haji.
4) Angka sementara.

Departemen Keuangan RI 90
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel IV.4
DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH DAN VALUTA ASING SELURUH BANK,
TABANAS DAN TASKA, 1972 - 1984
( dalam milyar rupiah, kecuali dalam juta rupiah untuk Taska)
1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981
Desember Desember Desember Deserrtber Desember Desember Desember Desember Desember
Deposito berjangka 233,4 338,9 581,2 760,2 980,4 1.103,90 1.287,40 1.458,20 1.650,80 2.209,90
24 bulan 94,1 136,6 234,2 306,4 522,8 605,5 612,2 612,2 679,5 833,7
12 bulan 32,8 47,6 81,7 106,8 117,6 90,7 111,4 127,4 141,4 244,7
6 bulan 61,1 88,7 152,1 199 234,8 264,5 359,5 471,9 476,3 537
3 bulan 22,1 32,1 55,1 72 53,4 59,2 80,1 74,3 136,4 191,8
1 bulan 1) 11,5 16,8 28,8 37,6 47,1 81,2 122,2 152,9 195,5 361,6
Lainnya 2) 11,8 17,1 29,3 38,4 4,7 2,8 2 19,5 21,7 41,1
TABANAS 25,6 32,5 43,9 70 109,1 153,6 191,5 212,6 291,7 384,3
TASKA 99 84 74 115 158 138 120 112 122 168

1) Termasuk deposito yang sudahjatuh waktu dan deposit on call


2) Termasuk deposito berjangka waktu 9 dan 18 bulan

1982 1983 1984


Desember Maret Juni Sept Des Maret April Mei Juni Juli Agust Sept 3)
Deposito berjangka 2.981,60 3.737,20 4.099,60 4.920,80 5.781,70 6.348,80 6.613,40 6.787,70 6.886,80 6.924,70 7.141,90 7.266,90
24 Bulan 967,3 950,9 897,9 785,5 684 591,4 569,6 519 480,8 450,6 418,7 407,8
12 bulan 342,8 370,5 492,8 844,5 1.316,20 1.669,80 1. 788,5 1.839,50 2.045,10 2.194,20 2.335,40 2.357,00
6 bulan 694,9 1.001,50 1.059,60 1.262,60 1.540,90 1.609,90 1.697,20 1.693,40 1.842,10 1.732,10 1.714,70 1.723,30
3 bulan 253,4 372,2 544,1 685,8 750 819,3 879,5 986 998,6 960,4 1.081,80 990,3
1 bulan 1) 640,3 937,9 1.031,90 1.225,10 1.379,40 1.489,60 1.550,90 1.618,00 1.401,40 1.459,40 1.461,80 1.668,80
Lainnya 2) 82,9 104,2 73,3 117,3 111,2 168,8 127,7 131,8 118,8 128 129,5 119,7
TABANAS 445,8 399,5 460,7 483,9 531,9 575,7 584,9 580,7 572,2 574 580,3 585,5
TASKA 307 303 317 366 331 357 343 357 372 391 421 413

1) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu dan deposit on call


2) Termasuk deposito berjangka waktu 9 dan 18 bulan.
3) Angka sementara.

Dengan demikian bila pada akhir tahun 1983/1984 jumlah dana perbankan secara
keseluruhan baru sebesar Rp 13.33 7,1 milyar, maka raJa akhir September 1984 dana ter-
tersebut terdiri dari deposito berjangka waktu 1 bulan sebesar Rp 1.668,8 milyar (23,0 persen),
berjangka waktu 3 bulan sebesar Rp 990,3 milyar (13,6 persen), berjangka waktu 6 bulan
sebesar Rp 1.723,3 milyar (23,7 persen), berjangka waktu 12 bulan sebesar Rp 2.357,0 milyar
(32,4 persen), berjangka waktu 24 bulan sebesar Rp 407,8 milyar (5,6 persen), dan deposito
lainnya sebesar Rp 119,7 milyar (1,7 persen). Perkembangan deposito berjangka dapat diikuti
pada Tabel IV.4.

4.3.1.2. Tabanas dan Taska

Tabungan pembangunan nasional (Tabanas), dan tabungan asuransi berjangka (Taska)


adalah saran a penghimpun dana masyarakat yang lebih menonjolkan segi pendidikan kepada
masyarakat terutama generasi muda untuk hidup berhemat. Jenis tabungan ini diikuti oleh para
pelajar, pramuka, pegawai, dan masyarakat pada umumnya. Sejak 1 Juni 1983, kebijaksanaan
mengenai Tabanas telah memberikan kesempatan bagi para penabung untuk menikmati tingkat
suku bunga yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika semula saldo Tabanas yang diberikan

Departemen Keuangan RI 91
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

bunga 15 persen setahun hanyalah sampai dengan jumlah maksimum Rp 200.000, sedang
selebihnya diberikan bunga 6 persen setahun, maka dalam kebijaksanaan yang bam saldo ini
telah ditingkatkan menjadi Rp 1.000.000, dan selebihnya bersuku bunga 12 persen setahun.
Sedangkan suku bunga Taska tidak mengalami perubahan, yaitu tetap 9 persen setahun. Sampai
dengan akhir September 1984, jumlah Tabanas telah mencapai sebesar Rp 585,5 milyar dengan
12.087 ribu penabung. Bila dibandingkan dengan posisinya pada akhir Maret 1984 sebesar
Rp575,7 milyar, tercatat adanya kenaikan sebesar Rp 9,8 milyar (1,7 persen). Kenaikan jumlah
penabung Tabanas pada periode April-September 1984 mencapai 613 ribu penabung,
sedangkan pada periode yang sarna tahun lalu kenaikan jumlah penabung adalah sebanyak 387
ribu penabung.

Posisi Taska sebesar Rp 413 juta pada bulan September 1984 menunjukkan adanya
peningkatan sebesar Rp 56 juta (15,7 persen) hila dibandingkan dengan posisinya pada akhir
bulan Maret 1984 sebesar Rp 357 juta. Pada periode April-September tahun sebelumnya,
kenaikan Taska mencapai Rp 63 juta (20,8 persen). Selanjutnya perkembangan Tabanas dan
Taska dapat diikuti pada Tabel IV.4.

4.3.1.3. Sertifikat Deposito

Sertifikat deposito semula diterbitkan oleh Bank Indonesia dengan nama Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), dalam rangka me intis terbentuknya pasar uang di Indonesia, di samping
sebagai wadah penghimpun dana masyarakat. Kemudian dalam tahun 1971 program SBI
tersebut diikuti oleh bank-bank Pemerintah, dan cabang bank asing, dan selanjutnya dikenal
sebagai sertifikat deposito. Untuk lebih meningkatkan peranan sertifikat deposito diperluas lagi
dengan penerbitan sertifikat deposito atas unjuk dalam rupiah bagi bank-bank umum, dan bank-
bank pembangunan. Jangka waktu sertifikat deposito ini ditetapkan sendiri oleh bank-bank
penerbit dengan ketentuan tidak kurang dari 15 (lima belas) hari. Bank-bank penerbit adalah
bank-bank yang secara berturut-turut selama dua tahun terakhir telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan, serta mempunyai kewajiban untuk menjamin pelunasan sertifikat deposito
yang diterbitkannya sesuai dengan jangka waktunya. Selain itu bank penerbit dapat memiliki
sertifikat deposito yang diterbitkan oleh bank-bank lain dalam jumlah tidak melebihi 7,5 persen
dari jumlah pinjarnan yang diberikannya. Sampai dengan akhir September 1984, posisi
sertifikat deposito yang diterbitkan oleh bank-bank Pemerintah, dan cabang bank-bank asing
mencapai Rp 224,0 milyar, yang terdiri atas sertifikat deposito bank-bank Pemerintah sebesar
Rp 189,1 milyar (84,4 persen), dan sertifikat deposito cabang bank-bank asing sebesar Rp 34,9

Departemen Keuangan RI 92
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

milyar (15,6 persen). Selama periode April-September 1984, sertifikat deposito bank-bank
Pemerintah menunjukkan penurunan sebesar Rp 157,1 milyar, sedangkan sertifikat deposito
cabang bank-bank asing meningkat sebesar Rp 4,9 milyar. Dengan demikian secara
keseluruhan sertifikat deposito selama periode tersebut menurun sebesar Rp 152,2 milyar.
Penurunan tersebut pada umumnya karena setelah sertifikat deposito jatuh waktu, para
penabung kemudian memilih jenis tabungan lain yang lebih menarik. Dibandingkan dengan
periode yang sarna tahun lalu, sertifikat deposito meningkat sebesar Rp 127,4 milyar.
Perkembangan sertifikat deposito dapat diikuti pada Tabel IV.5.

Tabel IV.5
SERTIFlKAT DEPOSITO BANK-BANK, 1970/1971 - 1984/1985
( dalam milyar rupiah)

Bank-bank Bank-bank
Akhir waktu Pemerintah Asing J umlah
1970/1971 Maret - 0,3 0,3
197111972 Maret 1,3 0,8 2,1
1972/1973 Maret 6,2 1,5 7,7
1973/1974 Maret 48,6 8,1 56,7
1974/1975 Maret 70 9,5 79,5
1975/1976 Maret 70 24,4 94,4
1976/1977 Maret 14,5 32,2 46,7
1977/1978 Maret 13,7 43,9 57,6
1978/1979 Maret 15,7 14,1 29,8
1979/1980 Maret 28 18,8 46,8
1980/1981 Maret 55,9 26,6 82,5
198111982 Maret 51,2 22,8 74
1982/1983 Juni 53,4 16,6 70
September 62,4 4,1 66,5
Desember 59,3 12,3 71,6
Maret 91,2 10,9 102,1
1983/1984 April 133,1 39,7 172,8
M ei 165,2 31,3 196,5
Juni 212,1 32,4 244,5
Juli 202,6 29,9 232,5
Agustus 213,1 31,2 244,3
September 204,7 24,8 229,5
Oktober 329,2 34,7 363,9
Nopember 373,8 42,1 415,9
Desember 352,2 21,4 373,6
J anuari 358,7 26,9 385,6
Pebruari 369,5 26,9 396,4
Maret 346,2 30 376,2
1984/1985 April 390,4 35,8 426,2
Me i 294,7 37 330,7
Juni 260,4 41,4 301,8
Juli 231 28,8 259,8
Agustus 222,1 28,7 250,8
September 1) 189,1 34,9 224
1) Arigka sementara
dalam memupuk pembiayaan pembangunan, sejak 22 Oktober 1984 program tersebut

Departemen Keuangan RI 93
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

4.3.2. Pemberian kredit perbankan

Kebijaksanaan perkreditan dalam tahun 1983/1984 dan 1984/1985 adalah sejalan dengan
kebijaksanaan moneter pada umumnya yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan kesempatan berusaha dengan tetap memelihara kestabilan. Melalui
kebijaksanaan 1 Juni 1983, bank-bank didorong untuk meningkatkan kemampuannya di dalam
melaksanakan pemberian kredit dengan dana yang berasal dari masyarakat. Dengan berlakunya
kebijaksanaan tersebut, kredit perbankan dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu kredit
yang berprioritas tinggi, dan kredit yang bukan prioritas. Bagi kredit bukan prioritas, sejak
Agustus 1982 tidak lagi disediakan fasilitas kredit likuiditas Bank Indonesia, sedangkan untuk
kredit yang berprioritas tinggi, yaitu dalam rangka tetap mendorong kegiatan pengusaha
golongan ekonomi lemah, serta produksi dalam negeri, fasilitas kredit likuiditas tetap diberikan.
Sebagai tindak lanjut dari kebijaksanaan pembebasan pagu kredit perbankan, serta untuk
menjaga likuiditas bank-bank dalam melaksanakan pemberian kredit sehari-hari, sejak Pebruari
1984 Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai fasilitas diskonto. Jangka waktu
maksimal diskonto pertama adalah 15 hari, yang dapat diperpanjang maksimal 7 hari untuk
setiap kali perpanjangan, dengan jangka waktu seluruhnya tidak melebihi 29 hari. Jumlah dasar
kredit yang disediakan adalah 5 persen dari jumlah dana pihak ketiga. Fasilitas diskonto kedua
disediakan untuk memudahkan bank dalam mengatasi kesulitan pendanaan hila rencana
penarikan dana tidak sesuai dengan reo ncana penarikan kredit jangka menengah, dan jangka
panjang. Jangka waktu dasar ditetapkan maksimal 60 hari, yang dapat diperpanjang maksimal
30 hari untuk setiap kali perpanjangan, sehingga jangka waktu seluruhnya tidak melebihi 120
hari. Jumlah fasilitas kredit adalah maksimal sebesar 3 persen dari jumlah dana pihak ketiga.

4.3.2.1. Pemberian kredit menurut sektor perbankan

Perkembangan pemberian kredit perbankan yang senantiasa menunjukkan peningkatan


dari tahun ke tahun, merupakan pencerminan dari semakin besarnya peranserta sektor
perbankan dalam pembiayaan pembangunan. Jika pada akhir tahun 1982/1983 posisi pemberian
kredit perbankan adalah sebesar Rp 13.705 milyar, pada akhir tahun 1983/1984 posisinya telah
meningkat menjadi Rp 16.135 milyar atau mengalami peningkatan sebesar Rp 2.430 milyar
(17,7 persen). Dalam tahun 1984/1985 sampai dengan akhir September, jumlah tersebut
meningkat menjadi sebesar Rp 18.043 milyar, yang berarti dalam periode I April-$eptember
1984 teIjadi peningkatan sebesar Rp 1.908 milyar (11,8 persen). Jumlah tersebut adalah lebih
besar jika dibandingkan dengan peningkatannya dalam periode yang sarna tahun 1983/1984

Departemen Keuangan RI 94
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

yang berjumlah sebesar Rp 900 milyar (6,6 persen).

Jika dilihat perkembangannya menurut kelompok bank penyelenggara, tercatat bahwa


jumlah pemberian kredit yang disalurkan melalui bank-bank umum Pemerintah tetap
mengambil bagian yang terbesar. Hal ini sejalan dengan luasnya bidang usaha yang dapat
dijangkau dengan lokasi cabang bank Pemerintah yang terse bar di seluruh Indonesia sampai
ketingkat kecamatan. Penyaluran. kredit melalui bank-bank umum Pemerintah, termasuk kredit
likuiditas Bank Indonesia sampai dengan akhir Sep1Jember 1984 mencapai Rp 12.773 milyar
atau 70,8 persen dari kesduruhan ktedit perbankan. Sedangkan posisi pemberian kredit bank
umum swasta nasional, kredit cabang bank asing, dan kredit langsung Bank Indonesia pada saat
yang sarna masing-masing mencapai Rp 3.269 milyar (18,1 persen), Rp 1.095 milyar (6,1
persen), dan sebesar Rp 906 milyar (5,0 persen). Kenaikan pemberian kredit perbankan sebesar
Rp 1.908 milyar dalam periode April-September 1984 tersebut disebabkan oleh kenaikan kredit
bank-bank umum Pemerintah sebesar Rp 2.490 milyar (24,2 persen), kredit bank-bank umum
swasta nasional sebesar Rp 686 milyar (26,6 persen), dan kredit cabang bank-bank asing
sebesar Rp 118 milyar (12,1 persen), walaupun terjadi penurunan kredit langsung Bank
Indonesia sebesar Rp 1.386 milyar (60,5 persen).

4.3.2.2. Pemberian kredit menurut sektor Pemerintah dan sektor swasta

Kredit perbankan sebagai somber pembiayaan pembangunan dapat diperinci menurut


kredit yang diberikan di sektor Pemerintah, dan kredit yang diberikan di sektor swasta.
Kegiatan yang dibiayai dengan kredit di sektor Pemerintah diantaranya adalah usaha di bidang
perindustrian, pertambangan, dan prasarana listrik, serta kegiatan perekonomian lain yang
dilaksanakan oleh lembaga-Iembaga negara. Adapun kegiatan di sektor swasta yang dibiayai
kredit perbankan adalah semua kegiatan yang diselenggarakan oleh perusahaan swasta,
yayasan, koperasi, perorangan, dan lembaga-Iembaga bukan bank milik swasta.

Posisi pemberian kredit perbankan sebesar Rp 18.043 milyar pada akhir September
1984 digunakan untuk membiayai kegiatan di sektor Pemerintah sebesar Rp 5.505 milyar (30,5
persen), dan di sektor swasta sebesar Rp 12.538 milyar (69,5 persen). Penyaluran kredit untuk
sektor Pemerintah dalam periode April-September 1984 meningkat sebesar Rp 117 milyar, atau
2,2 persen terhadap posisinya sebesar Rp 5.388 milyar pada akhir Maret 1984. Kenaikan terse
but berasal dari peningkatan kredit pada bank umum Pemerintah sebesar Rp 1.514 milyar,
bank-bank umum swasta nasional sebesar Rp 5 milyar, dan cabang bank asing sebesar Rp 3

Departemen Keuangan RI 95
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

milyar, walaupun terdapat penurunan kredit yang disalurkan melalui kredit langsung Bank
Indonesia sebesar Rp 1.405 milyar.

Dalam perkembangannya selama periode April-September 1984, pembiayaan kredit di


sektor swasta mengalami peningkatan sebesar Rp 1.791 milyar (16,7 persen), sehingga
posisinya meningkat dari Rp 10.747 milyar pada akhir bulan Maret menjadi Rp 12.538 milyar
pada akhir September 1984. Kenaikan pemberian kredit di sektor swasta tersebut sebagian
besar berasal dari kenaikan kredit bank-bank umum Pemerintah, yaitu sebesar Rp 976 milyar,
dari bank umum swasta nasional sebesar Rp 681 milyar, cabang bank asing sebesar Rp 115
milyar, dan dari Bank Indonesia sebesar Rp 19 milyar. Perkembangan kredit perbankan
menurut sektor Pemerintah dan sektor swasta dapat diikuti pada Tabel IV.6.
Tabel IV.6
KREDIT PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING MENURUT SEKTOR PEMERINTAH DAN SEKTOR SWASTA, 1969/1970 – 1984/1985
(dalam milyar rupiah)

1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1077/1978 1978/1979
Sektor Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret
Bank Indonesia 1) 71 81 86 126 136 177 264 345 343 1.968
Sektor Pernerintah 2) 69 78 83 122 132 174 260 342 339 1.948
Sektor Swasta 2 3 3 4 4 3 4 3 4 20
Bank-bank Urnurn Pernerintah 163 253 374 470 815 1.111 1.516 1.869 2.187 2.696
Likuiditas sendiri 72 138 221 302 538 686 1.008 1.174 1.542 1.883
Sektor Pernerintah 7 21 46 11 38 71 104 119 199 207
Sektor Swasta 65 117 175 291 500 615 904 1.055 1.443 1.676
Likuiditas Bank Indonesia 91 115 153 168 277 425 508 695 545 813
Sektor Pernerintah 50 39 57 59 104 203 312 428 411 559
Sektor Swasta 41 76 96 109 173 222 196 267 134 254
Bank-bank Urnurn Swasta Nasional 22 28 35 55 72 98 149 211 286 382
Likuiditas sendiri 21 24 28 49 67 93 140 199 274 347
Sektor Pernerintah - - 2 3 3 4 4 4 5
Sektor Swasta 21 24 28 47 64 90 136 195 270 342
Likuiditas Bank Indonesia 1 4 7 6 5 5 9 12 12 35
Sektor Swasta 1 4 7 6 5 5 9 12 12 35
Cabang Bankotiank asing 3) 4 11 15 34 64 63 76 99 144 207
Sektor Pernerintah - - - 2 1 - 2
Sektor Swasta 4 11 15 34 64 63 74 98 144 205
Jurnlah kredit perbankan 4) 260 373 510 685 1.087 1.449 2.005 2.524 2.960 5.253
Sektor Pernerintah 126 138 184 194 277 451 682 894 953 2.721
Sektor Swasta 134 235 326 491 810 998 1.323 1.630 2.007 2.532
Kredit dalarn valuta aging - 6 24 85 127 305 984 1.193 1.115 387
1). Kredit langsung Bank Indonesia
2). Sejak Maret 1979 terrnasuk pinjarnan valuta aging kepada Pertarnina yang dinyatakan dalarn rupiah
3). Likuiditas sendiri
4). Kredit dalarn rupiah, terrnasuk kredit investasi, KIK dan KMKP

4.3.2.3. Pemberian kredit perbankan menurut sektor ekonomi

Menurut sektor ekonomi, pemberian kredit perbankan sebesar Rp 18.043 milyar pada akhir
September 1984 digunakan untuk kegiatan di sektor produksi sebesar Rp 8.018 milyar (44,4
persen), di sektor perdagangan sebesar Rp 6.227 milyar (34,5 persen), dan untuk kegiatan di
sektor lainnya sebesar Rp 3.798 milyar (21,1 persen). Jumlah pemberian kredit untuk kegiatan
di sektor produksi sampai dengan bulan September 1984 sebesar Rp 8.018 milyar tersebut
digunakan untuk bidang perindustrian sebesar Rp 6.293 milyar, bidang pertanian sebesar Rp

Departemen Keuangan RI 96
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

1.347 milyar, dan bidang pertambangan sebesar Rp 378 milyar. Selama periode April-
September 1984 pemberian kredit untuk kegiatan produksi meningkat sebesar Rp 329 milyar
(4,3 persen) yang berasal dari kenaikan kredit di bidang perindustrian sebesar Rp579 milyar,
dan di bidang pertanian sebesar Rp 42 milyar, di samping penurunan di bidang pertambangan
sebesar Rp 292 milyar. Sementara itu posisi pemberian kredit untuk ,egiatan di sektor
perdagangan sampai dengan bulan September 1984 adalah sebesar lp 6.227 milyar, ini berarti
bahwa selama periode April-September 1984 telah meningkat sebesar Rp 930 milyar.
Sedangkan kredit untuk sektor ekonomi lainnya dalam periode yang iama telah meningkat
sebesar Rp 649 milyar. Pemberian kredit di sektor perdagangan sebagian besar digunakan untuk
pembiayaan pengadaan pangan. Di samping itu tercatat beberapa kegiatan lainnya yang dibiayai
oleh kredit di sektor perdagangan, yaitu antara lain lsaha pengumpulan barang-barang dalam
negeri, impor pupuk dan batu bara, distribusi kebutuhan pokok, dan perdagangan eceran.

Tabel IV.7
KREDIT PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1969/1970 – 1984/1985
(dalam milyar rupiah)

1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979
SEKTOR Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret
Bank Indonesia 1) 71 81 86 126 136 177 264 345 343 1.968
Produksi 2) - - - 18 21 17 104 206 166 1.735
Perdagangan - - - 105 112 158 149 130 165 202
Lain-lain - - - 3 3 2 11 9 12 31
Bank-bank Umum Pemerintah 163 253 374 470 815 0,11875 1.516 1.869 2.187 2.696
Produksi - - - 223 390 468 719 979 1.165 1.565
Perdagangan - - - 149 247 388 528 530 602 679
Lain-lain - - - 98 178 255 269 360 420 452
Bank-bank Umum SwastaNasional 22 28 35 55 72 98 149 211 286 382
Produksi - - - 15 21 29 45 64 82 111
Perdagangan - - - 22 23 29 62 94 130 181
Lain-lain - - - 18 28 40 42 53 74 90
Cabang Bank-bank asing 4 11 15 34 64 63 76 99 144 207
Produksi - - - 13 25 22 33 42 75 104
Perdagangan - - - 14 15 15 27 39 47 71
Lain-lain - - - 7 24 26 16 18 22 32
Jumlah kredit perbankan 3) 260 373 510 685 1.087 1.449 2.005 2.524 2.960 5.253
Produksi - - - 269 457 536 901 1.291 1.488 3.515
Perdagangan - - - 290 397 590 766 793 944 1.133
Lain-lain - - - 126 233 323 338 440 528 605
Kredit dalam valuta asing - 6 24 85 127 305 984 1.193 1.193 387
1) Kredit langsung Bank Indonesia
2) Sejak Maret 1979 termasukpinjaman valuta asing kepada Pertamina yang dinyatakan dalam rupiah
3) Termasuk kredit investasi, KIK dan KMKP, sampai dengan akhir Maret 1980 adalah posisikredit dalam rupiah
4) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 97
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85


S e k t o.r Maret Maret Maret Maret Juni Sept. Des. Maret April Me i Juni Juni Agost. 4) Sept. 4)
Bank Indonesia 1) 2.009 2.314 2.632 2.388 2.293 2.362 2.356 2.292 1.084 1.081 895 923 938 906
Produksi 2) 1. 784 1.795 1.592 1.139 1.027 930 720 574 521 501 301 304 274 273
Perdagangan 178 402 813 821 837 955 1.110 1.169 -- - - - - -
Lain-lain 47 117 227 428 429 477 526 549 563 580 594 619 664 633
Bank-bank Umum Pemerintah 3.114 4.620 6.353 8.854 9.062 9.542 9.787 10.283 11.512 11.782 12.107 12.292 12.644 12.773
Produksi 1.842 2.526 3.325 4.970 5.116 5.164 5.405 5.854 5.860 5.908 6.071 6.064 6.131 6.253
Perdagangan 762 1.121 1.678 2.293 2.353 2.757 2.757 2.712 3.902 4.139 4.328 4.502 4.728 4.477
Lain-lain 510 973 1.350 1.591 1.593 1.621 1.625 1.717 1.750 1.735 1.708 1.726 1.785 2.043
Bank-bank Umum Swasta Nasional 508 784 1.163 1.726 1.784 1.966 2.295 2.583 2.701 2.808 2.917 3.039 3.177 3.269
Produksi 148 178 261 450 466 541 645 718 775 780. 811 827 870 905
Perdagangan 232 382 580 780 785 849 990 1.127 1.165 1.216 1.249 1.318 1.399 1.427
Lain-lain 128 224 322 496 533 576 660 738 761 812 857 894 908 937
Cabang Bank-bank asing 284 436 587 737 661 735 861 977 981 1.004 1.039 1.031 1.068 1.095
Produksi 159 273 344 412 384 416 470 543 547 555 561 542 560 587
Perdagangan 76 121 192 241 212 240 275 289 292 296 311 312 323 323
Lain-lain 49 42 51 84 65 79 116 145 142 153 167 177 185 185
Jumlah kredit perbankan 3) 5.915 8.111 10.735 13.705 13.800 14.605 15.299 16.135 16.278 16.675 16.958 17.285 17.827 18..043
Produksi 3.933 4.772 5.522 6.971 6.993 7.051 7.240 7.689 7.703 7.744 7.744 7.737 7.835 8.018
Perdagangan 1.248 2.026 3.263 4.135 4.187 4.801 5.132 5.297 5.359 5.651 5.888 6.132 6.450 6.227
Lain-lain 734 1.356 1.950 2.599 2.620 2.753 2.927 3.149 3.216 3.280 3.326 3.416 3.542 3.798
(Kredit da1am valuta asing) 412 359 462 901 827 939 987 1.065 1.017 1.006 1.115 1.127 1.136 1.146

1) Kredit langsung Bank Indonesia


2) Sejak Maret 1979 termasuk pinjaman valuta asing kepada Pertamina yang dinyatakan dalam rupiah
3) Termasuk kredit investasi, KIK dan KMKP, sampai dengan akhir Maret 1980 adalah posisikredit dalam rupiah
4) Angka sementara

4.2.4. Pemberian kredit perbankan menurut Dati I

Pemerataan sarana dan hasil pembangunan juga diusahakan melalui pemberian fasilitas
kredit perbankan untuk membiayai kegiatan perekonomian di berbagai sektor yang dialokasikan
sesuai dengan kebutuhannya di masing-masing daerah tingkat I di Indonesia. Sampai dengan
akhir bulan September 1984, pemberian kredit perbankan untuk seluruh Dati I di Indonesia,
tidak termasuk kredit langsung Bank Indonesia, telah mencapai jumlah sebesar Rp 16.582,3
milyar. Kredit tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan perekonomian yang dapat diperinci
sebagai berikut. Untuk membiayai kegiatan di sektor produksi telah dipergunakan kredit
sebesar Rp 7.303,0 milyar (44,0 persen), bidang pertanian sebesar Rp 1.347,3 milyar, bidang
pertambangan sebesar Rp 104,4 milyar, dan bidang perindustrian sebesar Rp 5.851,3 milyar.
Untuk sektor perdagangan telah disalurkan sebesar Rp 6.167,6 tnilyar (37,2 persen), dan di
sektor lain-lain sebesar Rp 3.111,7 milyar (18,8 persen) termasuk kredit untuk bidang jasa-jasa
sebesar Rp 2.768,8 milyar. Secara keseluruhan, dalam periode ]anuari-September 1984 telah
terjadi peningkatan pemberian kredit di seluruh Dati I sebesar Rp 4.626,5 milyar (38,7 persen),
yang berasal dari kenaikan pemberian kredit di sektor produksi sebesar Rp 604,9 milyar (9,0
persen), sektor perdagangan sebesar Rp 2.496,8 milyar (68,0 persen), dan sektor lain-lain
sebesar Rp 1.524,8 milyar (96,1 persen).

Bila dilihat pemberian kredit di tiap-tiap Dati I, terlihat perkembangan yang cukup
menggembir_kan, karena daerah di luar pulau Jawa telah menikmati pemberian kredit yang
lebih meningkat. Di Dati I Sumatera Utara terdapat peningkatan volume kredit yang cukup
besar, yaitu sebesar Rp 165,1 milyar (20,7 persen), disusul kemudian oleh Dati I Sumatera
Selatan dengan Rp 115,6 milyar (49,4 persen), Dati I Kalimantan Barat dengan Rp 67,0 milyar

Departemen Keuangan RI 98
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

(32,6 persen), Dati I Sumatera Barat dengan Rp 51,4 milyar (26,5 persen), dan di Dati I
Kalimantan Timur meningkat dengan Rp 50,7 milyar (24,0 persen). Posisi penyaluran kredit di
Dati I DKI Jakarta raJa akhir bulan September 1984 menunjukkan jumlah sebesar Rp8.351,1
milyar. Dengan demikian selama sembilan bulan dalam tahun 1984, penggunaan kredit di DKI
Jaya telah meningkat sebesar Rp 3.183,3 milyar (61,6 persen) terhadap posisinya sebesar Rp
5.167,8 milyar raJa akhir bulan Desember 1983. Peningkatan tersebut tersalur ke sektor
produksi sebesar Rp 278,2 milyar (9,5 persen), ke sektor perdagangan sebesar Rp1.932,7 milyar
(25,8 persen), dan ke sektor lain-lain sebesar Rp 972,4 milyar (35,4 persen). Dati I Jawa Timur
telah menggunakan kredit sebesar Rp 1.839,2 milyar, yang berarti meningkat sebesar Rp355,3
milyar (23,9 persen) terhadap posisinya sebesar Rp 1.483,9 milyar raJa akhir bulan Desember
1983. Pertambahan tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan di sektor produksi sebesar Rp 169,8
milyar (19,2 persen), sektor peraagangan sebesar Rp 124,6 milyar (25,6 persen), dan sektor
lain-lain sebesar Rp 60,9 milyar (53,3 persen). Kenaikan kredit yang cukup tinggi di sektor
produksi terutama digunakan untuk kegiatan perindustrian. Dalam periode yang sarna, Dati I
Jawa Tengah telah menggunakan kredit scbesar Rp 978,6 milyar, yang berarti meningkat
sebesar Rp 147,4 milyar (17,7 persen) dari posisinya sebesar Rp 831,2 milyar raJa akhir bulan
Desember 1983. Jumlah pertambahan tersebut dipergunakan ulltuk membiayai usaha di sektor
produksi sebesar Rp 38,4 milyar (8,3 persen), di sektor perdagangan sebesar Rp 66,8 milyar
(23,2 persen), dan di sektor lain-lain sebesar Rp 42,2 milyar (50,8 persen). Dati I Jawa Barat
sampai dengan akhir bulan September 1984 telah menggunakan kredit sebesar Rp 1.297 milyar,
atau selama sembilan bulan terse but telah meningkat sebesar Rp 185,5 milyar (16,7 persen).
Jumlah peningkatan terse but dipergunakan untuk kegiatan di sektor produksi sebesar Rp 12,5
milyar (2,1 persen), di sektor perdagangan sebesar Rp 72,0 milyar (25,7 persen), dan di sektor
lain-lain sebesar Rp 101,0 milyar (41,0 persen). Jumlah pemberian kredit di Dati I lainnya,
sampai dengan akhir bulan September 1984 adalah sebesar Rp 4.115,9 milyar. Dengan
demikian sejak akhir bulan Desember 1983 telah meningkat sebesar Rp 755,0 milyar (22,5
persen). Seperti halnya raJa Dati I-Dati I terse but di atas, kenaikan pemberian kredit sebagian
besar berasal dari penggunaan kredit di sektor produksi sebesar Rp 106,0 milyar (5,7 persen),
perdagangan sebesar Rp 300,7 milyar (27,8 persen), dan di sektor lain-lain sebesar Rp 348,3
milyar (82,0 persen). perkembangan pemberian kredit perbankan menurut Dati I sampai dengan
akhir bulan Agustus 1984, dapat diikuti pada Tabel IV.8.

Departemen Keuangan RI 99
Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel IV. 8.
KREDIT RUPIAH PERBANKAN MENURUT DATI I DAN SEKTOR EKONOMI
TIDAK TERMASUK KREDIT LANGSUNG BANK INDONESIA 1)
DESEMBER 1983 - SEPTEMBER 1984
(dalam milyar rupiah)
Produksi Perdagangan Lain-lain Jumlah
D ati I Des. Sept. Des. Sept. Des. Sept. Des. Sept. 2)
1. DKl Jaya 2.913,40 3.191,60 1.536,20 3.468,90 718,2 1.690,60 5.167,80 8.351,10
2. Jawa Timur 882,5 1.052,30 487,1 611,7 114,3 175,2 1.483,90 1.839,20
3. Jawa Barat 585,7 598,2 279,9 351,9 246,4 347,4 1.112,00 1.297,50
4. Jawa Tengah 460,5 498,9 287,6 354,4 83,1 125,3 831,2 978,6
5. Sumatera Utara 522,9 589,8 208,9 238,2 66,1 135 797,9 963
6. Sumatera Selatan 112,3 112,5 85 175,5 36,6 61,5 233,9 349,5
7. Sulawesi Selatan 117 118,6 106,9 126,9 48 69,8 271,9 315,3
8. Kalimantan Barat 203,5 44,2 40 17,6 29,1 205,6 272,6
9. Kalimantan Timur 152,7 169,8 38,2 56,5 20,3 35,6 211,2 261,9
10. Sumatera Barat 104,4 116,9 52,9 70,6 36,4 57,6 193,7 245,1
11. Lampung 82,5 83,8 81,3 113,9 18,8 34 182,6 231,7
12. Kalimantan Selatan 124,4 114,4 48,9 73,8 16,5 35 189,8 223,2
13. Maluku 86,1 101,2 48 62,1 7 20,2 141,1 183,5
14. Ria u 85,8 88 33,1" 47,3 17,3 42,5 136,2 177,8
15. B a l i 48,8 47,1 55,9 65,8 23,2 32,4 127,9 145,3
16. D.I. Yogyakarta 51,8 53,9 40,4 51 24 30,7 116,2 135,6
17. D.I. Ace h 41,2 24,5 54 59 15,9 41,8 111,1 125,3
18. Sulawesi Utara 43,5 34 53,5 53,7 13,7 26,6 110,7 114,3
19. Jam b i 29,2 36,7 21,2 25 8,6 13,7 59 75,:1-
20. Sulawesi Tengah 25 14,9 24,1 25,2 9,6 21,9 58,7 62
21. Nusa Tenggara Barat 25,2 20,6 23,2 25,7 10,1 15,1 58,5 61,4
22. Kalimantan Tengah 15,5 13,4 15,1 18,9 4,5 10,4 35,1 42,7
23. Nusa Tenggara Timur 15,1 9,2 15 18,3 8,4 12,6 38,5 40,1
24. IrianJaya 10,3 2,1 10,2 11,3 8,3 18,6 28,8 32
25. Sulawesi Tenggara 8,9 2,6 13,4 14,3 5,5 13,1 27,8 30
26. Bengkulu 8,9 4,2 5,9 6,9 7,7 14,6 22,5 25,7
27. Timor Timur 0,7 0,3 0,7 0,8 0,8 1,4 2,2 2,5
Jumlah 6.698,10 7.303,00 3.670,80 6.167,60 1.586,90 3.111,70 11.955,80 16.582,30
1) Termasuk Bapindo dan Bank Pembangunan Daerah
2) Angka sementara

4.3.2.5. Pemberian kredit investasi

Kegiatan investasi terus berkembang sejalan dengan kegiatan pembangunan yang


semakin meningkat. Sehubungan dengan itu, Pemerintah senantiasa menyempurnakan
ketentuan-ketentuan yang menunjang pelaksanaan investasi, alltara lain bank-bank Pemerintah
dapat memberikan fasilitas kredit investasi ulltuk industri perkayuan yang berintikan kayu lapis.
Demikian pula bank-bank swasta nasional, dan bank asing yang memenuhi persyaratan, dapat
pula berperan serta memberikan kredit untuk pembiayaan investasi dengan jumlah maksimum
masing-masing sebesar 20 persen dan 35 persen dari baki debet pinjaman, dan sebanyak
mungkin dipergunakan untuk proyek-proyek yang menggunakan hasil produksi dalam negeri.
Jumlah maksimum pinjaman untuk setiap nasabah bank umllm swasta nasional adalah 10
persen dari modal sendiri, dan tidak lebih dari Rp 1 milyar. SelanjUtnya bank-bank umum

Departemen Keuangan RI 100


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

swasta nasional, dan bank-bank asing diberikan kesempatan melakukan penyertaan modal
dalam perusahaan-perusahaan yang potensial, dengan jangka waktu maksimum 8 tahun.

Sampai dengan akhir bulan September 1984, pinjaman investasi perbankan dalam
rupiah dan valuta asing yang disetujui telah mencapai jumlah sebesar Rp 6.199 milyar. Jumlah
terse but telah disalurkan oleh bank-bank Pemerimah sebesar Rp 4.674 milyar, oleh Bank
Indonesia sebesar Rp 1.371 milyar, oleh bank-bank umum swasta nasional sebesar Rp 152
milyar, dan oleh cabang bank-bank asing sebesar Rp 2 milyar. Keseluruhan jumlah kredit
sebesar Rp 6.199 milyar tersebut dipergunakan untuk kegiatan di bidang perindustrian sebesar
Rp 2.766 milyar (44,6 persen), jasa-jasa sebesar Rp 1.004 milyar (16,2 persen), pertanian
sebesar Rp 891 milyar (14,4 persen), pertambangan sebesar Rp 734 milyar (11,8 persen),
perdagangan sebesar Rp 223 milyar (3,6 persen), dan di bidang lain-lain sebesar Rp 581,0
milyar (9,4 persen). Dibandingkan dengan posisinya pada bulan Maret 1984, dalam periode
April-September 1984 telah terjadi peningkatan yang cukup berarti terutama di bidang
perindustrian, dan di bidang jasa-jasa, yaitu masing-masing meningkat dcngan Rp 193 milyar
(7,5 persen), dan Rp 114 milyar (12,8 persen). Menyusul kemudian peningkatan di bidang
pertanian st;besar Rp 99 milyar (12,5 persen), perdagangan sebesar Rp 73 milyar (48,7 persen),
dan di bidang lain-lain sebesar Rp 49 milyar (9,2 persen). Dilain pihak terdapat penurunan di
bidang pertambangan sebesar Rp 19 milyar (2,5 persen). Dengan demikian secara keseluruhan
dalam periode April-September 1984, te12h terjadi peningkatan sebesar Rp 509 milyar (8,9
persen) atau rata-rata perbulan sebesar Rp 85 milyar. Kenaikan dalam periode 1984/1985
tersebut adalah lebih baik dari yang terjadi dalam periode 1983/1984 yang mengalami
penurunan sebesar Rp 306 milyar (5,1 persen).

Ada pun posisi kredit investasi yang telah direalisasikan sampai dengan akhir bulan September
1984 adalah sebesar Rp 4.795 milyar. Dengan demikian, dalam periode AprilSeptember 1984
telah terjadi peningkatan sebesar Rp 63 milyar (1,3 persen) terhadap posisinya sebesar Rp 4.732
milyar pada akhir bulan Maret 1984. Peningkatan tersebut hemal dari kenaikan kredit di
berbagai sektor ekonomi, terutama di bidang jasa-jasa, dan di bidang pertanian, yaitu masing-
masing sebesar Rp 132 milyar (17,6 persen), dan sebesar Rp 92 milyar (18,6 persen). Juga
terjadi kenaikan di bidang perdagangan sebesar Rp 61 milyar (57,5 persen), dan di bidang -lain-
lain sebesar Rp 82 milyar (19,0 persen), di samping penurunan di bidang pertambangan sebesar
Rp 292 milyar (46,2 persen), dan di. bidang perindustrian sebesar Rp 12 milyar (0,5 persen).

Departemen Keuangan RI 101


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel IV. 9
KREDIT INVESTASI PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING
MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1) 1969/1970 - 1984/1985
( dalam mityar rupiah )

1969/1970 1970/1971 1971/1972 1972/1973 1973/1974 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979
Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret Maret
Yang disetujui perbankan 32 78 115 147 175 198 270 343 362 448
Pertanian 8 20 11 12 18 19 36 48 69 86
Industri 11 35 61 75 84 100 110 137 143 154
Pertambangan 1 - - 1 1 - 5 5 5 10
Jasa-jasa 2) 11 22 40 54 62 66 104 137 127 185
Lain - lain 1 1 3 5 10 13 15 16 18 13
Realisasi 17 49 77 107 119 143 196 263 288 343
Pertanian 6 13 6 8 10 13 29 41 57 71
Industri 5 20 45 58 61 73 82 97 109 118
Pertambangan 1 - - - - - 5 4 3 2
Jasa - jasa 2) 5 15 25 39 41 47 70 111 107 143
Lain -lain - 1 1 2 7 10 10 10 12 9
1) Sampai dengan Maret 1980, adalah posisi kredit investasi dalam rupiah pada bank-bank Pemerintah
2) Termasuk kredit untuk sektor perdagangan

1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/1984 1984/1985


Sektor Maret Maret Maret Maret Juni Sept Des Maret April Mei Juni Juli Agust 3) Sept 3)
Yang disetujui perbankan 662 3.752 4.571 5.996 5.393 5.650 5.793 5.690 5.755 5.762 5.681 5.794 6.054 6.199
Pertanian 114 243 355 644 617 713 734 792 815 831 852 878 875 891
lndustri 212 968 1.314 2.164 2.304 2.359 2.480 2.573 2.579 2.602 2.643 2.669 2.722 2.766
Pertambangan 6 1.973 2.002 1.934 1.092 1.040 837 753 753 737 562 564 736 734
Perdagangan - 49 84 121 121 138 129 150 158 160 167 184 177 223
Jasa-jasa 2) 306 485 661 800 894 984 1.141 890 916 899 925 963 975 1.004
Lain -lain 24 34 155 333 365 416 472 532 534 533 532 536 569 581
Realisasi 463 3.311 3.759 4.605 4.455 4.579 4.648 4.732 4.670 4.668 4.658 4.630 4.694 4.795
Pertanian 78 117 219 389 416 438 477 495 509 522 539 583 586 587
lndustri 158 917 1.190 1.958 1.894 2.003 2.176 2.316 2.248 2.222 2.340 2.225 2.242 2.304
Pertambangan 2 1.806 1.623 1.182 1.073 983 769 632 579 563 366 367 340 340
Perdagangan 39 67 99 101 117 115 106 121 123 134 139 150 167
Jasa-jasa 2) 207 361 521 676 645 663 716 752 765 773 813 827 870 884
Lain - lain 18 71 139 301 326 375 395 431 448 465 466 489 506 513
1) Sampai dengan Maret 1980, adalah posisi kredit investasi dalam rupiah pacta bank-bank Pemerintah.
2) Sampai dengan Maret 1980, termasuk kredit untuk sektor perdagangan
3) Angka sementara.

4.3.2.6. Program kredit untuk golongan ekonomi lemah

Untuk mendorong peranan pengusaha golongan ekonomi lemah dalam meningkatkan


produksi dalam negeri, kebijaksanaan moDeler perbankan 1 Juni 1983 tetap memberikan
bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, melalui pemberian fasilitas kredit
perbankan untuk jenis usaha yang berprioritas tinggi. Sehubungan dengan hat itu,
pembiayaannya tetap disediakan melalui fasilitas kredit likuiditas Bank Indonesia, di samping
keringanan suku bunga, dan kemudahan-kemudahan untuk memperoleh kredit yang diperlukan.
Beberapa jenis kredit berprioritas tinggi tersebut antara lain adalah Kredit Investasi Kecil
(KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Kecil (KK), Kredit Umum Pedesaan
(Kupedes), Kredit Koperasi, Kredit Bimas, kredit investasi sampai dengan Rp 75,0 juta, Kredit
Pemilikan Rumah (KPR), dan Kredit Candak Kulak (KCK).

Pemberian fasilitas kredit melalui Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP) kepada pengusaha kecil yang dilaksanakan sejak akhir tahun 1973, te1ah
mengalami beberapa penyempurnaan, baik mengenai besarnya volume kredit yang diberikan
maupun mengenai bagian pembiayaan pinjaman, suku bunga serta jangka waktu pinjamannya.

Departemen Keuangan RI 102


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Jika pada awal dilaksanakannya, jumlah maksimum KIK adalah sebesar Rp 5 juta setiap
nasabah dengan suku bunga 12 persen setahun, dan jangka waktu maksimum 5 tahun, maka
dalam perkembangannya hingga bulan September 1980 jumlah maksimum KIK te1ah menjadi
Rp 10 juta, dapat diberikan tambahan plafon sebesar Rp 5 juta, suku bunga 10,5 persen setahun
dengan jangka waktu maksimum menjadi 10 tahun. Sejak tanggal 1 Juni 1983, bat as tertinggi
KIK dinaikkan lagi menjadi Rp 15 juta, tanpa adanya tambahan plafon, daD dengan suku bunga
12 persen setahun. Selanjutnya pada bulan Juli 1984 diadakan penyesuaian dalam
kebijaksanaan KIK/ KMKP. Jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia untuk program kredit ini
yang semula ditetapkan 80 persen, di tUrunkan menjadi 55 persen, sedang sisanya sebesar 25
persen akan dibiayai dengan dana yang berasal dari Bank Dunia, sedangkan bagian dana dari
bank pelaksana tetap 20 persen. Jangka waktu KIK adalah 8 tahun dengan masa tenggang 4
tahun, serta plafon kredit yang dapat disesuaikan dengan kemampuan pelunasan pinjaman oleh
nasabah. Ketentuan jumlah maksimum KMKP pada awal diselenggarakannya program ini
adalahsebesar Rp 5 juta rupiah, dengan suku bunga 15 persen setahun, danjangka waktu
maksimum 3 tahun. Selanjutnya sejak September 1980 plafon KMKP te1ah menjadi Rp 10 juta,
dan diberikan tambahan plafon sebesar Rp 5 juta, sehingga jumlah maksimum kredit menjadi
Rp 15 jtita, dengan jangka waktu 3 tahun (yang setiap saat dapat diperpanjang), dan suku bunga
12 persen setahun. Mulai 1 Juni 1983 jumlah kredit tersebut ditingkatkan menjadi Rp 15 juta
tanpa tambahan plafon, dengan suku bunga tetap sebesar 12 persen setahun. Dalam bulan Juli
1984, jangka waktu KMKP ditetapkan 5 tahun dengan masa tenggang 1 tahun, dan plafon
kredit yang senantiasa disesuaikan dengan kemampuan pelunasan pinjaman oleh nasabah.
Jumlah KIK dan KMKP yang disetujui sampai dengan bulan September 1984 tercatat sebesar
Rp 2.945 milyar, dengan jumlah 1.956 ribu pemohon. Jumlah-jumlah tersebut terdiri dari KIK
yang disetujui sebesar Rp 872 milyar (29,6 persen) dengan 238 ribu pemohon, dan KMKP yang
disetujui sebesar Rp 2.073 milyar (70,4 persen) dengan 1.718 ribu pemohon. Dalam periode
April-September 1984, jumlah KIK mengalami peningkatan sebesar Rp 47 milyar (5,7 persen)
dengan pyningkatan nasabah sebesar 10 ribu pemohon (4,4 persell), sedangkan KMKP
meningkat sebesar Rp 212 milyar (11,4 persen) dengan peningkatan nasabah sebesar 97 ribu
pemohon (6,0 persen). Dengan demikian posisi KIK dan KMKP dalam 6 bulan pertama tahun
anggaran 1984/1985 (April-September 1984) menunjukkan pertambahan sebesar Rp 259 milyar
(9,6 persen), dengan peningkatan permohonan sebanyak 107 ribu pemohon, atau rata-rata setiap
bulannya meningkat sebesar Rp 43,2 milyar dengan 18 ribu pemohon.,Perkembangan KIK dan
KMKP dapat dilihat pada Tabel IV.10.

Departemen Keuangan RI 103


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel IV. 10
VESTASI KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA P
YANG DISETUJUI 1973/1974 - 1984/1985
(dalam milyar rupiah)

Periode KIK KMKP


1973/1974 Maret 6 4
1974/1975 Maret 19 18
1975/1976 Maret 34 41
1976/1977 Maret 55 75
1977/1978 Maret 79 124
1978/1979 Maret 113 188
1979/1980 Maret 190 349
1980/1981 Maret 366 656
1981/1982 Juni 421 799
September 477 958 .
Desember 528 1.062
Maret 571 1.178
1982/1983 Juni 608 1.300
September 648 1.378
Desember 685 1.454
Maret 723 1.542
1983/1984 April 732 1.578
Mei 741 1.605
Juni 749 . 1.627
Juli 756 1.657
Agustus 766 1.679
September 778 1.697
Oktober 783 1.725
Nopember 790 1. 761
Desember 799 1.798
J anuari 805 1.814
Pebruari 819 1.830
Maret 825 1.861
1984/1985 April 835 1.888
Mei 847 1.938
Juni 882 1.961
Juli 857 1.998
Agustus 860 2.022
September 1) 872 2.073
1) Angka sementara

Pemberian Kredit Kecil (KK) yang diselenggarakan sejak tahun 1974, senantiasa
ditingkatkan dari waktu kewaktu sesuai dengan perkembangan. Di samping Kredit Kecil, sejak
tahun 1978 telah pula diselenggarakan program kredit Midi untuk pengusaha yang memerlukan
kredit dalam jumlah maksimum sampai dengan Rp 500 ribu. Berbeda dengan Kredit Kecil yang
sumber dananya berasal dari APBN, Kredit Midi dananya sebagian berasal dari kredit likuiditas
Bank Indonesia, dan sebagian lagi dari bank pelaksana. Selanjutnya sejak Januari 1984 telah

Departemen Keuangan RI 104


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

diselenggarakan program kredit baru yang merupakan pengganti dari program Kredit Kecil, dan
Kredit Midi. Fasilitas kredit untuk pengusaha kecil ini dikenal dengan Kredit Umum Pedesaan
(Kupedes). Kredit ini dananya berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia, dana perbankan
yang berhasil dihimpun dari masyarakat, dan dana APBN yang telah disalurkan dalam rangka
penyelenggaraan program Kredit Keci!. Sampal dengan akhir September 1984, posisi Kredit
Kecil tercatat sebesar Rp 14,4 milyar atau suatu penurunan sebesar Rp 22,1 milyar ( 60,5 persen
) terhadap posisinya pada akhir bulan Maret 1984 sebesar Rp 36,5 milyar. Penurunan tersebut
terdiri dari penurunan kredit untuk usaha investasi sebesar Rp 1,5 milyar, dan untuk usaha
eksploitasi sebesar Rp 20,6 milyar, yang disebabkan karena selain makin banyak para nasabah
mengembalikan kredit dalam periode tersebut, juga disebabkan beralihnya nasabah Kredit Kecil
ke Kredit Umum Pedesaan. Dengan dikeluarkannya fasilitas Kupedes ini, fasilitas Kredit Mini
dan Kredit Midi masih diteruskan sampai dengan jatuh tempo kredit masing-masing, sedangkan
permintaan kredit baru dialihkan ke Kupedes. Fasilitas kredit ini dimaksudkan untuk
mengembangkan, dan meningkatkan usaha-usaha kecil di pedesaan, baik usaha-usaha yang
sebelumnya pernah dibantu dengan fasilitas Kredit Kecil/Kredit Midi, maupun usaha calon
nasabah baru. Jumlah pinjaman yang diberikan kepada nasabah Kupedes adalah minimum
sebesar Rp 25.000,- dan maksimum sebesar Rp 1.000.000,-. Kredit tersebut dapat digunakan
untuk investasi dengan bunga 12 persen setahun, dan jangka waktu maksimum 3 tahun. Dalam
hal Kupedes dipergunakan untuk modal kerja dikenakan suku bunga 18 persen setahun, dan
jangka waktu maksimum 2 tahun. Bagi nasabah yang menunggak pengembalian pinjamannya,
suku bunga_ya akan dinaikkan masing-masing menjadi 18 persen setahun untuk kredit
investasi, dan 24 persen setahun untuk kredit modal kerja. Sampai dengan akhir September
1984, posisi Kupedes yang diselenggarakan sejak Januari 1984 telah mencapai Rp 88,6 milyar,
atau rata-rata Rp 9,8 milyar setiap bulan. Perkembangan Kredit Kecil dan Kupedes dapat dilihat
pada Tabel IV.11.

Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan pemberian kredit kepada pengusaha kecil,


PT Askrindo dalam kegiatannya telah menyediakan jasa pertanggungan atas kredit perbankan
yang diberikan. Dalam tahun 1984 sampai dengan bulan September 1984, jumlah per-
tanggungan yang diberikan terhadap. Kredit Investasi Kecil (KIK) adalah sebesar Rp 71,2
milyar untuk 13 ribu nasabah, terhadap Kredit Modal Kerja Perman en (KMKP) sebesar
Rp236,2 milyar untuk 176 ribu nasabah, dan terhadap kredit eksploitasi biasa sebesar Rp 36,9
milyar untuk 62 ribu nasabah. Secara keseluruhan, jumlah pertanggungan yang diberikan
kepada KIK, KMKP, dan kredit eksploitasi biasa adalah sebesar Rp 344,3 milyar untuk 251

Departemen Keuangan RI 105


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

ribu nasabah. Menurut sektor ekonomi, dari keseluruhan jumlah pertanggungan tersebut di atas,
sebesar Rp 11,7 milyar merupakan jumlah pertanggungan yang diberikan secara masal kepada
124 ribu nasabah, dan Rp 332,6 milyar merupakan pertanggungan kredit yang diberikan secara
individual kepada 127 ribu nasabah. Secara terperinci pemberian pertanggungan secara masal
meliputi sektor pertanian sebesar Rp 8,5 milyar untuk 122 ribu nasabah, perdagangan sebesar
Rp 1,4 milyar untUk 389 nasabah, dan sektor jasa-jasa sebesar Rp 1,8 milyar untuk 1.682
nasabah. Pemberian pertanggungan secara individual terdiri dari nilai pertanggungan di sektor
pertanian sebesar Rp 10,0 milyar untuk 5 ribu nasabah, industri sebesar Rp 23,2 milyar untuk 5
ribu nasabah, perdagangan sebesar Rp 231,4 milyar untuk 68 ribu nasabah, jasa-jasa sebesar
Rp49,1 milyar untuk 9 ribu nasabah, dan di sektor ekonomi lainnya sebesar Rp 18,9 milyar
untuk 40 ribu nasabah. Di dalam keseluruhan kredit yang dijamin PT Askrindo, termasuk kredit
sebesar Rp 0,2 juta untuk satU BUUD/KUD.

Guna mendorong kegiatan para pengusaha kecil, PT Bahana sejak tahun 1974 telah
pula memberikan bantUan dalam bentuk penyertaan modal, pemberian kredit penjembatan,
maupun dalam bentuk penanaman lainnya. Sampai .dengan bulan September 1984, PT Bahana
telah melakukan penanaman dana sebesar Rp 4.285,0 juta yang terdiri dari kredit penjembatan
sebesar Rp 3.612,0 juta, penyertaan modal sebesar Rp 662,1 juta kepada 39 buah perusahaan
dan penanaman dana lainnya sebesar Rp 10,9 juta. Bantuan tersebut terutama dipergunakan
untuk usaha di sektor perdagangan dan industri.

Di samping program-program kredit diatas, maka untuk meningkatkan pendapatan


serta menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat pedesaan dan kota-kota kecamatan, sejak
tahun 1976 Pemerintah menyelenggarakan program Kredit Candak Kulak untuk para
bakul/pedagang kecil di pedesaan. Pada waktu dimulainya program kredit tersebut, jumlah
pinjaman yang dapat diberikan kepada seorang peminjam maksimum adalah Rp 15.000,-, yang
sejak bulan Juli 1982 ditingkatkan menjadi Rp 30.000,-. Sampai dengan akhir bulan September
1984, perputaran KCK telah mencapai sebesar Rp 162 milyar yang meliputi 13.588 peminjam,
sedangkan pada akhir bulan Maret 1984 jumlahnya baru mencapai Rp 150 milyar dengan
jumlah 12.956 peminjam. Hal ini berarti bahwa dalam periode AprilSeptember 1984 perputaran
KCK mengalami peningkatan sebesar Rp 12 milyar (8,0 persen), dengan peningkatan sebanyak
632 nasabah. Kredit ini disalurkan oleh Bank Rakyat Indonesia dengan syarat lunak, dan bunga
yang rendah melalui 4.964 BUUD/KUD yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Departemen Keuangan RI 106


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel IV. 11
KREDIT KECIL DAN KREDIT UMUM PEDESAAN, 1974/1975 -
1984/1985

Kredit Kecil Kredit Umum Pedesaan


Jumlah pinjaman Jumlah pinjaman
Periode peminjam rupiah ) peminjam rupiah)
1974/1975 Maret 61.824 2.137
1975/1976 Maret 131.603 5.029
1976/1977 Maret 207.773 8.192
1977/1978 Maret 252.810 11.058
1978/1979 Maret 342.246 15.754
1979/1980 Maret 407.266 20.398
1980/1981 Maret 618.229 41.322
1981/1982 Juni 665.708 47.162
September 710.290 50.879
Desember 750.822 54.414
Maret 744.740 56.968
1982/1983 Juni 760.659 60.256
September 758.040 59.065
Desember 756.806 59.641
Maret 766.208 62.932
1983/1984 April 757.601 62.673
Mei 756.509 63.592
Juni 749.503 63.925
Juli 741.159 62.088
Agustus 723.855 59.902
September 716.597 58.533
Oktober 702.934 57.281
Nopember 695.438 57.204
Desember 687.340 57.911
Januari 603.741 4-9.220 13.104 2.880
Pebruari 566.404 ,44.306 57.467 12.172
Maret 491.130 36.518 161.406 30.662
1984/1985 April 445.294 31.689 224.519 45.332
Mei 393.474 26.411 296.783 58.579
Juni 353.920 22.991 359.981 71.230
Juli 313.829 19.670 398.974 75.280
Agustus 272.250 16.599 450.553 82.708
September l) 234.972 14.416 498.277 88.624
1) Angka sementara.

Guna membantu mengatasi kebutuhan akan perumahan, Pemerintah sejak tahun 1976
menyediakan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang disalurkan melalui Bank Tabungan
Negara. Sampai dengan akhir bulan September 1984, posisi pemberian KPR mencapai jumlah
sebesar Rp 721 milyar, yang digunakan untuk membangun 215.613 unit rumah yang terdiri dari
92.417 unit dibangun oleh rerum Perumnas, dan 123.196 unit dibangun oleh non Perumnas.
Bila dibandingkan dengan posisinya pada bulan Maret 1984 sebesar Rp 620 milyar, selama

Departemen Keuangan RI 107


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

periode April-September 1984 pemberian KPR telah mengalami peningkatan sebesar Rp 101
milyar (16,3 persen) untuk membangun 19.778 unit rumah. Dari jumlah tersebut, sebanyak
3.882 unit dengan nilai sebesar Rp 8 milyar dibangun oleh rerum Perumnas, dan 15.896 unit
dengan nilai Rp 93 milyar dibangun oleh non Perumnas. Kredit untuk pembangunan rumah
oleh rerum Perumnas dananya berasal dari APBN, sedangkan kredit untuk pembangunan rumah
non Perumnas dananya berasal dari dana perbankan.

4.4. Lembaga-lembaga keuangan

4.4.1. Lembaga keuangan perbankan

Kebijaksanaan Pemerintah untuk mengembangkan dan membina sektor perbankan


dalam tahun 1984/1985 merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan dalam tahun anggaran
sebelumnya yang diarahkan untuk menumbuhkan sistem perbankan yang sehat, dan berhasil
guna dalam menunjang pembangunan nasional. Untuk tetap meningkatkan keikutsertaan
masyarakat dalam membiayai pembangunan, dalam Repelita IV sasaran kebijaksanaan moDeter
diarahkan untuk meningkatkan efisiensi kerja, serta menyempurnakan organisasiorganisasi
lembaga keuangan. Hal itu dimaksudkan agar lembaga-lembaga keuangan lebih efektif
menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan dalam bentuk mobilisasi daD penyaluran
dana-dana masyarakat. Lembaga-Iembaga keuangan perbankan akan dikembangkan dan
diperluas agar pelayanannya dapat menjangkau ke seluruh daerah kabupaten, kecamatan, dan
pedesaan. Pembinaan yang telah dilakukan selama ini terutama diarahkan kepada usaha untuk
lebih mengembangkan bank pembangunan daerah (BPD), bank perkreditan rakyat (BPR), dan
bank pembangunan koperasi.

Usaha memperkuat permodalan BPD serta pembinaannya dalam bentuk pemberian


bantuan teknis dan pendidikan tetap dilanjutkan. Dalam tahun 1983/84 bantuan tersebut
diberikan kepada 2 BPD, sehingga sampai saar ini telah dicakup 27 buah BPD yang tersebar
merata di setiap ibukota propinsi. Di samping itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan
jasa perbankan terutama di daerah-daerah, Pemerintah telah memperlunak persyaratan
pendirian kantor cabang, dan kantor cabang pembantu BPD. Usaha untuk meningkatkan bank
perkreditan rakyat di dalam rangka membantu pengusaha golongan ekonomi lemah yang berada
di pedesaan terus dilakukan dengan pemberian fasilitas kredit likuiditas yang disalurkan melalui
Bank Rakyat Indonesia (BRI). Jumlah kredit yang diperoleh daTi BRI adalah antara 1,5 sampai
3 kali modal sendiri, dengan suku bunga 13,5 persen per rabun, dan jangka waktu satu tahun.

Departemen Keuangan RI 108


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Demikian pula sejak Pebruari 1983 tata kerja bank-bank umum yang berbadan hukum koperasi,
disesuaikan dengan tempat dimana bank didirikan terutama mengenai besarnya modal koperasi.

Usaha menciptakan pertumbuhan yang lebih seimbang diantara bank-bank umum


swasta nasional (BUSN), dilaksanakan melalui pemberian kemudahan untuk membuka kantor
cabang, dan kantor cabang pembantu, sedangkan himbauan untUk melakukan penggabungan
usaha (merger) terus dilanjutkan. Dalam tahun 1983/1984, dan semester I 1984/1985, sebanyak
2 bank telah melakukan penggabungan usahanya, sehingga BUSN yang telah mengadakan
merger sampai dengan AgustUs 1984 berjumlah 94 bank. Berdasarkan Keppres nomor 29 tahun
1984 sebagai pengganti Keppres no. 14A tahun 1980, bank-bank dan lembaga-Iembaga
keuangan bukan bank masih tetap dapat menerbitkan surat jaminan bank dalam rangka
memberikan kesempatan lebih luas bagi masyarakat, dan pengusaha ekonomi lemah.

Dalam rangka memperluas dan memperlancar lalu lint as uang giral, perluasan kliring
lokal di wilayah, yang tidak terdapat kantor Bank Indonesia terus ditingkatkan. Dalam tahtm
terakhir ini, jumlah tempat penyelenggara kliring lokal tersebut telah bertambah dengan 3
tempat sehingga menjadi 24 tempat. Jumlah kantor cabang pembantu sebagai peserta tidak
langsung dari kliring lokal telah bertambah dengan 24 kantor, sehingga jumlahnya menjadi 80
kantor pacta akhir Juli 1984.

4.4.2. Lembaga-Iembaga keuangan bukan bank

Lembaga-Iembaga keuangan bukan bank (LKBB) mempunyai peranan penting dalam


menunjang pengerahan dana dari masyarakat untuk kemudian menyalurkan dana tersebut bagi
kegiatan yang produktip. Ada 3 macam jenis LKBB, yaitu jenis yang bergerak di bidang
pembiayaan pembangunan, jenis investasi, dan jenis lainnya. Tugas LKBB jenis pembiayaan
pembangunan terutama adalah memberikan. kredit jangka menengah atau jangka panjang, dan
melakukan penyertaan modal dalam perusahaan-perusahaan. LKBB jenis investasi terutama
melakukan usaha sebagai perantara dalam menerbitkan surat-surat berharga, dan menjamin
serta menanggung terjualnya surat-surat berharga (underwriter). Sedangkan tugas LKBB jenis
pembiayaan lainnya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat golongan berpenghasilan
menengah untuk memiliki rumah. Untuk lebih meningkatkan peranan LKBB di dalam
pengembangan posar uang dan modal, serta agar peranannya selaras dengan kebijaksanaan
ekonomi keuangan, tugas pembinaan dan pengawasan LKBB yang semula dilaksanakan oleh
Bank Indonesia, sejak tahun 1982 dilakukan oleh Departemen Keuangan. Di samping itu

Departemen Keuangan RI 109


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pendirian LKBB tetap hanya diberikan untuk kantor perwakilannya saja. Demikian pula untuk
lebih meningkatkan peranan LKBB dalam perdagangan surat-surat berharga, Bank Indonesia
telah memberikan fasilitas diskonto ulang. Surat berharga yang dapat didiskonto ulangkan
kepada Bank Indonesia telah diperluas dengan obligasi. Untuk tahap pertama, jumlah obligasi
yang dapat didiskonto ulangkan kepada Bank Indonesia ditetapkan sebesar 70 persen dari nilai
nominalnya. Dalam tahun 1983/1984, surat-surat berharga yang didiskontokan kepada Bank
Indonesia berjumlah sebesar Rp 156 milyar, dan jumlah surat berharga yang dibeli kembali oleh
LKBB adalah sebesar Rp 197 milyar. Posisi fasilitas diskonto ulang pada akhir Maret 1983
tercatat sebesar Rp 43 milyar. Dengan adanya pembelian kembali suqtt-surat berharga yang
lebih besar sejumlah Rp 41 milyar, berarti posisi fasilitas diskonto ulang menurun menjadi Rp 2
milyar pada akhir Maret 1984. Selanjutnya dalam tahun 1984/1985 (sampai dengan Juli 1984),
telah dijual surat-surat berharga kepada Bank Indonesia sebesar Rp 57 milyar, dan dibeli
kembali sebesar Rp 51 milyar. Dengan demikian posisi fasilitas diskonto ulang pada akhir Juli
1984 naik menjadi Rp 8 milyar.

Adapun penanaman dana dari LKBB secara keseluruhan selama periode April-
September 1984 mengalami kenaikan sebesar Rp 65.milyar (6,0 persen), sehingga posisinya
menjadi Rp 1.155 milyar. Sementara itU jumlah dananya pada periode yang sarna telah
meningkat sebesar Rp 58 milyar atau 5,2 persen, sehingga posisinya menjadi sebesar Rp 1.162
milyar. Penanaman dana dari LKBB sebesar Rp 1.155 milyar pada akhir September 1984 terse
but terdiri dari penanaman dana LKBB jebis investasi sebesar Rp 917 milyar (79,4 persen) dan
jenis pembangunan sebesar Rp 238 milyar (20,6 persen). Kedua jenis penanaman dana tersebut,
dalam periode April-September 1984 mengalami kenaikan masing-masing sebesar 5,2 persen,
dan 9,2 persen. Di lain pihak jumlah dana yang berhasil dihimpun oleh LKBB jenis investasi
sampai dengan September 1984 berjumlah sebesar Rp 919 milyar atau 4,2 persen lebih tinggi
dari posisinya sebesar Rp 882 milyar pada akhir Maret 1984. Sedangkan jumlah dana LKBB
jenis pembangunan berjumlah sebesar Rp 243 milyar, yang berarti mengalami kenaikan sebesar
9,5 persen dalam periode yang sarna.

Dengan berkembangnya perekonomian Indonesia, maka mulai ditempuh pula cara


pernbiayaan alternatip melalui leasing, yang secara formal mulai diperkenalkan oleh Pe-
merintah sejak tahun 1974. Leasing adalah kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan dalam jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala, disertai dengan. hak pilih (optie)
bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan, atau

Departemen Keuangan RI 110


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersarna.
Sejak diselenggarakannya sampai dengan akhir semester I 1984, jumlah perusahaan leasing
telah mencapai 41 perusahaan yang terdiri dari 1 perusahaan milik negara, 14 perusahaan milik
swasta nasional, dan 26 perusahaan leasing patungan.Kegiatan usaha leasing antara lain dapat
dilihat dari besarnya nilai kontrak leasingnya, yang selama April-Juni 1984 mencapai sebesar
Rp 108,5 milyar. Dibandingkan dengan nilai kontrak leasing dalam periode yang sarna tahun
lalu sebesar Rp 47,2 milyar, maka dalam tahun 1984 terdapat peningkatan kegiatan leasing
yang cukup besar.

4.4.3. Perasuransian

Perkembangan perekonomian dalam lahar pernbangunan yang semakin meningkat akan


memperluas bidang-bidang usaha perasuransian, yang pada gilirannya akan membawa
kernajuan kegiatan di bidang perasuransian. Kegiatan asuransi meliputi pemberian pertang-
gungan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat kebakaran, pengangkutan, kesehatan
tenaga kerja, pensiunan, kematian, dan bea siswa. Kegiatan ini di Indonesia dapat digolongkan
ke dalam 3 golongan, yaitu asuransi kerugian dan reasuransi, asuransi jiwa, dan asuransi sosial.
Industri asuransi mempunyai beberapa fungsi, antara lain menanggung resiko, sebagai alar
pernupukan modal, sebagai salah satu sumber pendapatan Pemerintah, maupun sebagai
penyerap tenaga kerja. Sampai dengan tahun 1983, jumlah dana investasi dari sektor asuransi
telah mencapai jumlah sebesar Rp 900,2 milyar, yang berasal dari dana-dana investasi asuransi
kerugian, dan reasuransi sebesar Rp 159,9 milyar, asuransijiwa sebesar Rp 169,9 milyar, dan
asuransi sosial sebesar Rp 570,4 milyar. Bila hal ini dibandingkan dengan dana investasi dari
sektor asuransi dalam tahun 1982, berarti telah terjadi kenaikan sebesar Rp 225,5 milyar (33,4
persen). peningkatan ini disebabkan adanya peningkatan dana-dana investasi dari sektor-sektor
asuransi kerugian dan reasuransi, asuransi jiwa, serta asuransi sosial, masingmasing sebesar
Rp8,2 milyar (5,4 persen\ Rp 58,8 milyar (52,9 persen), dan Rp 158,5 milyar (38,5 persen).
Berdasarkan perkembangan sampai dengan semester I 1984/1985, jumlah perusahaan asuransi
kerugian, dan reasuransi kerugian adalah sebanyak 68 buah, 3 buah diantaranya merupakan
perusahaan milik negara, 53 buah milik swasta nasional, dan 12 buah milik patungan. Jumlah
premi bersih yang diterima selama semester f1984/1985 adalah sebesar Rp 52,1 milyar
sedangkan jumlah tagihan bersih yang harus dibayar dalam periode yang sarna hanya berjumlah
sebesar Rp 21,1 milyar. Asuransi jiwa bertalian dengan pemberian jaminan terhadap resiko
yang timbul terhadap kematian, dan masa pensiun. Sampai saat ini jumlah perusahaan asuransi

Departemen Keuangan RI 111


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

jiwa yang ada di Indonesia, termasuk Koperasi Asuransi Indonesia (KAI), adalah sebanyak 15
perusahaan. Pemerintah telah memberikan kesempatan kepada pengusaha nasional untuk men-
dirikan perusahaan asuransi jiwa baru, sedangkan pengusaha asing dapat melakukan usaha
patungan dengan perusahaan asuransi jiwa nasional yang ada. Perkembangan usaha asuransi
jiwa pada saat ini terlihat pada jumlah polis yang dalam tahun 1983 berjumlah 2.259.760 buah,
sedangkan pada tahun 1978 baru mencapai 1.817.906 buah. Dengan demikian selama 5 tahun
terse but terjadi kenaikan sebesar 24,4 persen, atau rata-rata setiap tahun sebesar 4,9 persen.
Dalam periode yang sarna, jumlah uang pertanggungan asuransi jiwa telah meningkat sebesar
Rp 1.741,8 milyar (195,3 persen), sehingga jumlahnya menjadi sebesar Rp 2.633,8 milyar
dalam tahun 1983, atau rata-rata setiap tahunnya mengalami peningkatan sebesar Rp 348,4
milyar (39,1 persen). Dalam tahun 1983 saja jumlah pertanggungan meningkat sebesar Rp699,0
milyar (36,1 persen).

Sementara itu jumlah dana investasi asuransi jiwa yang ditanam dalam bentuk
deposito, pinjaman polis, dan jenis-jenis investasi lainnya, sampai dengan tahun 1983 mencapai
sebesar Rp 169,9 milyar. Dari jumlah tersebut Rp 80,4 milyar diantaranya diinvestasikan dalam
deposito, dan Rp 38,0 milyar diinvestasikan dalam pinjaman polis. Kalau dibandingkan dengan
jumlah dana investasi dalam tahun 1978, investasi perusahaan asuransi jiwa telah meningkat
sebesar Rp 140,9 milyar (484,7 persen), atau rata-rata Rp 28,2 milyar (96,9 persen) setiap
tahunnya. Sedangkan dalam tahun 1983 tercatat peningkatan sebesar Rp 58,8 milyar (52,9
persen).

Perkembangan perusahaan asuransi so sial menunjukkan gambaran adanya pembinaan


serta penyempurnaan yang dilakukan terhadap perusahaan tersebut. Jumlah peserta asuransi
sosial sejak tahun 1978 sampai dengan 1983 naik rata-rata 21,8 persen setiap tahunnya. Jika
dalam tahun 1978 pesertanya adalah sebanyak 2.308 ribu orang, dalam tahun 1983 telah
meningkat menjadi sebanyak 4.821 ribu orang. Jumlah nilai pertanggungannya dalam periode
yang sarna juga menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 58,7 persen setiap tahunnya,
sehingga posisinya dalam tahun 1983 menjadi Rp 1.969 milyar. Jumlah premi dalam periode
yang sarna mengalami kenaikan dengan 59,1 persen pertahun, sehingga jumlah premi untuk
tahun 1983 berjumlah Rp 114,3 milyar. Perkefnbangan dana investasi yang dilakukan
perusahaan asuransi sosial juga meningkat. Selama periode 5 tahun, dana investasi meningkat
sebesar Rp 95,7 milyar setiap tahunnya, sedangkan dalam tahun 1983 saja tercatat peningkatan
sebesar Rp 158,5 milyar (38,5 persen), yakni dari posisinya sebesar Rp 411,9 milyar dalam
tahun 1982, menjadi Rp 570,4 milyar pada tahun 1983. Perkembangan dana investasi dari

Departemen Keuangan RI 112


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sektor asuransi dapat diikuti dalam Tabel IV.12.

Tabel IV.
DANA INVESTASI DARI SEKTOR ASURANSI, 1969 - 1983
( dalam juta rupiah)

kerugian Asuransi Asuransi


Periode reasuransi jiwa sosial Jumlah
1969 1.103 30 1.560 2.693
1970 2.073 222 2.631 4.926
1971 4.344 404 3.163 7.911
1972 5.475 961 3.756 10.192
1973 8.889 2.051 4.872 15.812
1974 12.827 2.527 8.188 23.542
1975 18.322 7.743 21.333 47.398
1976 25.247 11.264 36.198 72.709
1977 32.530 18.085 60.267 110.882
1978 39.481 29.064 92.004 160.549
1979 54.983 40.609 126.939 222.531
1980 77.246 59.405 177.531 314.182
1981 105.288 83.560 296.405 485.253
1982 151.629 111.182 411.903 674.714
1983 1) 159.861 169.946 570.391 900.198
1) Angka sementara

4.4.4. Pasar Modal

Dalam rangka meningkatkan peranserta masyarakat dalam pemilikan saham, dan


obligasi yang diterbitkan perusahaan atau badan usaha, Pemerintah senantiasa berusaha untuk
menyempurnakan tala cara perdagangan efek di bursa. Sejak bulan Juli 1983 telah dipercepat
tala cara penyelesaian transaksi efek di bursa dari 14 hari menjadi 4 hari. Di samping itu guna
meningkatkan kegiatan perdagangan efek, sejak Juni 1983 bank dan LKBB yang ingin menjadi
pedagang efek diwajibkan menyisihkan modal usaha sekurang-kurangnya Rp 250 juta.
Sedangkan bagi badan hukum lainnya yang berbentuk PT, dan perorangan harus mempunyai
modal disetor atau modal sendiri sekurang-kurangnya Rp 100 juta. Sejak Januari 1983 telah
diadakan penyempurnaan ketentuan mengenai pemberian keringanan perpajakan bagi
perorangan, dan badan usaha yang membeli obligasi yang telah memperoleh ijin dari Menteri
Keuangan tidak dilakukan pengusutan fiskal. Pembelian obligasi tidak dapat dipergunakan baik
secara langsung maupun tidak langsung sebagai dasar pengenaan pajak mengenai masa
sebelum pembelian. Pajak alas bunga, dividen dan royalty yang terhutang alas pembayaran
bunga dan hadiah obligasi diberikan keringanan berupa tidak ditagihnya sebesar 50 persen,
sehingga tarip pengenaan efektip adalah 10 persen yang bersifat pungutan final. Selanjutnya

Departemen Keuangan RI 113


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

tidak dilakukan lagi penagihan pajak penjualan dan pajak perseroan yang terhutang dari hasil
penerimaan bunga dan hadiah obligasi. Di samping itu Pemerintah telah membebaskan pajak
penghasilan alas dana pensiun yang ditanam dalam bentuk saham, dan sertifikat dana yang
diperdagangkan di luar bursa, serta obligasi yang dikeluarkan oleh badan usaha milik negara.

Berbagai kegiatan promosi dan penelitian telah ditingkatkan untuk menjadikan pasar
modal sebagai sarana pembiayaan yang potensial, dan efektif. Dalam tahun 1983/1984 dan
semester I 1984/1985, telah disetujui permohonan 8 perusahaan untuk memasarkan sahamnya,
dan 1 perusahaan untuk memasarkail obligasi melalui posar modal. Dengan demikian, sejak
diaktipkannya kembali bursa efek di Indonesia pada bulan AgustUs 1977, maka sampai dengan
Agustus 1984, jumlah perusahaan yang telah terdaftar adalah sebanyak .26 buah, 23 buah
diantaranya menerbitkan saham sejumlah 57,2 juta lembar saham dengan nilai emisi

. Rp 130,8 milyar, dan 3 buah badan usaha menerbitkan obligasi sebanyak 263.230 lembar
dengan nilai Rp 154,7 milyar. Berdasarkan harga penawaran perdana, kedua puluh enam
perusahaan, dan badan usaha itu telah menyerap dana masyarakat melalui pasar modal sebesar
Rp 285,5 milyar. Perkembangan perusahaan-perusahaan/badan-badan usaha yang telah
memasyarakatkan saham dan obligasi melalui posar modal dapat diikuti dalam Tabel IV.13
dan Tabel IV.14. Dengan mulai diterbitkannya obligasi, berarti pasar modal di Indonesia mulai
memasuki tahap lanjut dalam perluasan transaksi modalnya. Adapun perusahaan/badan usaha
yang menerbitkan obligasi sampai dengan Agustus 1984 adalah PT Jasa Marga (di bidang jalan
tol), Bank Pembangunan Indonesia (di bidang perbankan), dan PT Papan Sejahtera (di bidang
perumahan).

Penerbitan berbagai jenis sertifikat saham PT Danareksa berkaitan erat dengan tujuan
menyebarluaskan pemilikan sertifikat kepada masyarakat, terutama yang berpenghasilan
rendah, dan menengah. Sampai dengan Agustus 1984, PT Danareksa telah menerbitkan dua
jenis sertifikat yaitu sertifikat saham dan sertifikat dana, yang seluruhnya berjumlah 7.420 ribu
sertifikat dengan nilai Rp 72,3 milyar. Jumlah sertifikat saham dan sertifikat dana yang berada
di masyarakat sampai dengan akhir tahun 1983/1984 adalah sebanyak 6.115 ribu lembar dengan
nilai sebesar Rp 60,5 milyar.

Departemen Keuangan RI 114


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel IV. 13
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN/BADAN USAHA YANG TELAH MEMASYARAKATKAN SAHAM
MELALUI PASAR MODAL SAMPAI DENGAN AGUSTUS 1984
Jumlah Harga Nilai pasar
Perusahaan emisi Kumulatif penawaran Perdana Kumulatif
(lembar) (lembar) (Rp/lembar) (Juta Rp) (Juta Rp)
1. PT Semen Cibinong
- Emisi I 342.116 342.116 10.000 3.421,20 3.421,20
- Emisi II 214.980 557.096 16.750 3.600,90 7.022,10
2. PT Centex
- Emisi I 116.000 673.096 5.500 638 7.660,10
- Emisi II 584.000 1.257.096 5.000 2.920,00 10.580,10
3. PT BAT Indonesia 6.600.000 7.857.096 2.500 16.500,00 27.080,10
4. PT Tificorp 1.100.000 8.957.096 7.250 7.975,00 35.055,10
5. PT Richardson Vicks Indonesia 360.000 9.317.096 3.000 1.080,00 36.135,10
6. PT Goodyear Indonesia 6.150.000 15.467.096 1.250 7.687,50 43.822,60
7. PT Merck Indonesia 1.680.000 17.147.096 1.900 3.192,00 47.014,60
8. PT Multi Bintang Indonesia 3.520.012 20.667.108 1.570 5.526,40 52.541,00
9. PT Unilever Indonesia 9.200.000 29.867.108 3.175 29.210,00 81.751,00
10. PT Sepatu Bata Indonesia 1.200.000 31.067.108 1.275 1.530,00 83.281,00
11. PT Unitex 733.500 31.800.608 1.475 1.081,90 84.362,90
12. PT Sucaco 4.800.000 36.600.608 1.100 5.280,00 89.642,90
13. PT Bayer Indonesia 2.324.100 38.924.708 1.325 3.079,40 92.722,30
14. PT Panin Bank Indonesia
- Emisi I 1.637.500 40.562.208 3.475 5.690,30 98.412,60
- Emisi II 3.162.500 43.724.708 3.550 11.226,90 109.639,50
15. PT Squibb Indonesia 972.000 44.696.708 1.050 1.020,60 110.660,10
16. PT Asuransi Jiwa Panin Putra 1.020.000 45.716.708 2.950 3.009,00 113.669,10
17. PT Sari Husada 1.000.000 46.716.708 1.850 1.850,00 115.519,10
18. PT Panin Union Insurance Ltd 765.000 47.481.708 1.150 879,8 116.398,90
19. PT Regnis Indonesia 523.500 48.005.208 1.540 806.2 117.205,10
20. PT Pfizer Indonesia 600.000 48.605.208 1.425 855 118.060,10
21. PT Delta Jakarta 347.400 48.952.608 2.950 .1.024,8 119.084,90
22. PT Hotel Prapatan 1.665.976 50.618.584 1.050 1.749,30 120.834,20
23.
. PT Jakarta International Hotel 6.618.600 57.237.184 1.500 9.927,90 130.762,10

Departemen Keuangan RI 115


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel IV. 14
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN/BADAN USAHA YANG TELAH
MEMASYARAKATKAN OBLIGASI MELALUI PASAR MODAL
(Januari 1983 sId Agustus 1984)

Jumlah emisi Pecahan Harga nominal


Perusahaan (lembar) Harga Perdana Nilai Harga
(ribu Rp) (juta Rp)

PT Jasa Marga I 125.000 10 1.250,00


46.000 50 2.300,00
24.080 100 2.408,00
2.960 1.000 2.960,00
960 5.000 4.800,00
1.000 10.000 10.000,00
Bank Pembangunan 15.000 10 150
6.000 100 600
4.500 500 2.250,00
5.500 1.000 5.500,00
1.650 10.000 16.500,00
PT Papan Sejakhtera 1.000 10 10
1.000 50 50
1.000 100 100
1.680 500 840
1.000 1.000 1.000,00
400 5.000 2.000,00
200 10.000 2.000,00
PT Jasa Marga II 1. 300 50 65
2.600 100 260
2.250 500 1.125,00
6.550 1.000 6.550,00
4.800 5.000 24.000,00
6.800 10.000 68.000,00
Jumlah 263.230 154.718,00

4.5. Perkiraan jumlah uang beredar dan kredit perbankan tahun 1985/1986

Perkiraan jumlah uang beredar didasarkan pada anggapan-anggapan, bahwa kenaikan


Darga dalam tahun 1985/1986 tidak banyak berbeda dibandingkan dengan tahun 1984/1985.
Pada akhir tahun 1984/1985 jumlah uang beredar dan kredit perbankan diperkirakan sebesar
Rp8.943,0 milyar, dan Rp 19.845,0 milyar. Dalam tahun 1985/1986 jumlah uang beredar
diperkirakan akan bertambah dengan Rp 1.221,0 milyar (13,7 persen), sedangkan kredit
perbankan bertambah dengan Rp 4.565,0 milyar (23,0 persen). Dengan demikian posisi jumlah
uang beredar, dan kredit perbankan pada akhir tahun 1985/1986 diperkirakan mencapaijumlah
Rp 10.164,0 milyar dan Rp 24.410,0 milyar.

Departemen Keuangan RI 116


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

BAB V

NERACA PEMBAYARAN DAN

PERDAGANGAN LUAR NEGERI

5.1. Pendahuluan

Memasuki tahun pertama Repelita IV, perkembangan ekonomi dunia belum


sepenuhnya pulih dan resesi yang berkepanjangan, sehingga pengaruh positifnya masih
dirasakan terbatas bagi kemajuan ekonomi negara-negara berkembang. Tanda-tanda perbaikan
ekonomi yang telah mulai tampak dalam tahun terakhir Pelita III belumlah sepenuhnya
berkembang seperti yang diharapkan. Sebagai akibatnya, proses peningkatan kegiatan yang
berlangsung dalam tahun 1984 belum secara merata terjadi pada semua negara industri.
Amerika Serikat, Kanada dan Jepang mengalami peningkatan kegiatan yang lebih tinggi,
sementara kegiatan di negara-negara industri lainnya hanya menunjukkan sedikit perbaikan.
Dengan dicapainya perluasan kegiatan tersebut, Amerika Serikat, Jepang dan Kanada dalam
tahun 1984 berhasil mempertahankan momentum pertumbuhan ekonominya, sehingga kalau
diukur dan pertambahan produk nasional bruto (GNP), masing-masing diperkirakan mengalami
kenaikan sebesar 7,3 persen, 5,0 persen dan 4,6 persen. Keadaan ini menempatkan mereka
sebagai negara-negara yang mempunyai laju pertumbuhan yang relatif lebih cepat di antara
kelompok negara-negara industri utama. Sementara itu negara-negara industri lainnya seperti
Jerman Barat, Italia dan Perancis diperkirakan sedikit mengalami peningkatan yaitu masing-
masing sebesar 2,7 persen, 2,5 persen dan 1,3 persen. Sebaliknya Inggris diperkirakan justru
mengalami penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi 2,4 persen, dari sebesar 3,2
persen dalam tahun 1983. Dengan tingkat pertumbuhan yang dicapai oleh masing-masing
negara industri tersebut, secara keseluruhan produk nasional bruto (GNP) negara-negara
industri dalam tahun 1984 diperkirakan dapat meningkat kembali menjadi 4,9 persen, setelah
dalam tahun sebelumnya mengalami perbaikan dari sebesar negatif 0,2 persen dalam tahun i982
menjadi 2,6 persen daiam tahun 1983. Sejalan dengan pertumbuhan yang dicapai negara-negara
industri, produk nasional bruto negara-negara berkembang pada pelbagai belahan bumi seperti
di Asia, Afrika dan Amerika Latin juga mengalami peningkatan, masing-masing diperkirakan
sebesar 5,6 persen, 3,4 persen dan 2,1 persen dan sebesar 5,5 persen, 1,1 persen dan nol persen
dalam tahun 1983. Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara ASEAN seperti Thailand,

Departemen Keuangan RI 117


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Malaysia dan Singapura diperkirakan berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya


masing-masing dari sebesar 5,8 persen, 5,8 persen dan 7,9 persen dalam tahun 1983 menjadi
sebesar 6,0 persen, 6,7 persen dan 8,0 persen dalam tahun 1984. Sedangkan Philipina justru
diperkirakan mengalami penurunan dalam tingkat pertumbuhan ekonominya dari 1,4 persen
dalam tahun 1983 menjadi negatif 6,0 persen dalam tahun 1984.

Pertumbuhan ekonomi dunia tersebut dapat dicapai dengan adanya perluasan kegiatan
investasi, peningkatan produksi, serta perkembangan aktivitas di bidang perdagangan
antarnegara. Peningkatan kegiatan-kegiatan tersebut se1anjutnya mendorong perluasan
kesempatan kerja, sehingga angka pengangguran dapat lebih dikendalikan selaras dengan
kemajuan ekonomi yang dicapai masing-masing negara. Dalam tahun 1984, Jepang dengan
penurunan angka pengangguran yang diperkirakan menjadi 2,6 persen, dari 2,7 persen dalam
tahun 1983, masih tetap merupakan negara dengan tingkat pengangguran terendah di antara
ke1ompok negara-negara industri utama. Penurunan yang sarna dialami pula oleh Amerika
Serikat dan Kanada masing-masing diperkirakan menjadi 7,5 persen, dan 11,3 persen dalam
tahun 1984, dari 9,6 persen, dan 11,9 persen dalam tahun sebe1umnya. Sementara itu Jerman
Barat be1um dapat menurunkan angka pengangguran dari tingkat 8,2 persen. Sebaliknya
Inggris, Italia, dan Perancis justru sedikit mengalami kenaikan dalam tingkat penganggurannya,
yaitu masing-masing menjadi 12,6 persen, 9,9 persen dan 10,0 persen. Dengan arah
perkembangan tersebut, tingkat pengangguran rata-rata di tujuh negara industri utama
diperkirakan menurun, yaitu menjadi 7,6 persen dalam tahun 1984 dibandingkan dengan 8,3
persen dalam tahun 1983.

Terpeliharanya stabilitas, dan terciptanya iklim usaha yang menguntungkan hanya


mungkin dicapai jika laju inflasi dapat dipertahankan pada tingkat yang terkendali. Melalui
kebijaksanaan pengendalian moneter, tingkat inflasi rata-rata dalam tahun 1984 di negara-
negara industri secara keseluruhan diperkirakan dapat diturunkan menjadi 4,3 persen dari 5,0
persen dalam tahun sebelumnya. Di antara negara-negara industri tersebut, Jepang dengan laju
inflasi yang diperkirakan sebesar 0,8 persen, merupakan negara yang paling berhasil
mempertahankan tingkat stabilitas ekonominya. Sedangkan negara-negara lainnya seperti
Jerman Barat, Kanada, dan Inggris te1ah dapat menu runkan tingkat inflasinya di bawah lima
persen, dengan masing-masing diperkirakan sebesar 2,3 persen, 4,0 persen dan 4,9 persen.
Sementara itu meskipun masih merupakan negara dengan tingkat inflasi tertinggi di antara
negara-negara industri, Italia dengan berbagai upaya diperkirakan telah berhasil menurunkan
laju inflasi ke tingkat 11,9 persen dari 15,0 persen dalam tahun sebelumnya. Sebaliknya

Departemen Keuangan RI 118


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Amerika Serikat sekalipun tingkat inflasinya masih di bawah lima persen, diperkirakan justru
mengalami sedikit kenaikan yaitu diperkirakan menjadi 3,9 persen dari 3,8 persen dalam tahun
sebe1umnya. Sepadan dengan hasil pengendalian yang dicapai oleh negara-negara industri, laju
inflasi negara-negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin diperkirakan dapat
dikendalikan masing-masing ke tingkat sebesar 12,0 persen, 7,1 persen dan 12,0 persen.

Adapun tingkat inflasi negara-negara ASEAN seperti Malaysia, dan Singapura


diperkirakan sedikit mengalami kepaikan, masing-masing menjadi 4,5 persen dan 3,0 persen,
dari sebesar 3,7 persen dan 1,2 persen dalam tahun 1983. Philipina diperkirakan mempunyai
angka inflasi yang paling tinggi, yaitu 45,0 persen dalam tahun 1984 dibandingkan dengan 10,3
persen dalam tahun 1983. Sementara itu Thailand diperkirakan mampu mengendalikan angka
inflasinya pada tingkat 3,5 persen.

Terkendalinya laju inflasi bagi terciptanya iklim usaha yang mendukung peningkatan
kegiatan ekonomi tersebut diusahakan dengan pengendalian jumlah uang beredar.
Kebijaksanaan ini yang dipertajam oleh upaya pemerintah negara-negara industri, terutama
Amerika Serikat, untuk menarik dana masyarakat sebagai cara menutup defisit anggaran
belanjanya telah mengakibatkan bertahannya suku bunga riil pada tingkat yang cukup tinggi.
Suku bunga nasabah utama di Amerika Serikat (US Prime Rate) mengalami peningkatan lebih
tinggi dibanding dengan kenaikan suku bunga antar bank baik di London (LIBOR) maupun di
Singapura (SIBOR). Sekalipun tidak sebesar ketika suku bunga mencapai tingkat tertinggi yaitu
sekitar 20,5 persen dalam bulan Juli 1981, US Prime Rate tetap bertahan pada tingkat yang
cukup tinggi, yaitu sebesar 13 persen jika dibanding dengan tingkat sebesar 11,5 persen, seperti
yang dicapai oleh LIBOR maupun SIBOR dalam bulan September tahun 1984. Perbedaan yang
terdapat pada perkembangan tingkat suku bunga ini mengakibatkan mengalirnya dana investasi
masuk ke Amerika Serikat, yang pada gilirannya telah mempercepat tingkat perluasan kegiatan
ekonomi negara terse but, dan mendorong timbulnya kesenjangan yang makin lebar dengan
negara-negara industri terkemuka lainnya.

Perbedaan tingkat kegiatan ekonomi di satu pihak, dan tingginya tingkat suku bunga
yang timbul sebagai akibat kebijaksanaan yang diambil dalam proses penyesuaian oleh
beberapa negara industri di lain pihak, mendorong semakin kuamya nilai tukar matauang
Amerika Serikat terhadap pelbagai macam matauang asing (currency) lainnya. Keadaan ini
menimbulkan ketidakstabilan pasar valuta internasional, baik di Eropa, Amerika Serikat,
Hongkong, maupun Singapura, dan mengakibatkan berbagai matauang kuat dunia seperti Mark
Jerman, Pound Sterling-Inggris, Yen Jepang, Franc Perancis, Guilder Belanda, Dollar

Departemen Keuangan RI 119


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Singapura dan Dollar Kanada mengalami kemerosotan nilai (depresiasi) yang cukup besar. Di
lain pihak hal ini mengakibatkan beberapa negara yang sampai sekarang masih mendasarkan
nilai tukar tetapnya terhadap dollar Amerika Serikat, seperti Thailand, terpaksa menempuh
kebijaksanaan devaluasi sekaligus melakukan pengambangan atas dasar sekelompok matauang
asing (currency-basket) negara-negara rekan dagangnya yang utama.

Ketidakstabilan kurs dollar Amerika, tindakan penyesuaian nilai tukar matauang, makin
ketatnya pengendalian moneter, besarnya defisit anggaran belanja, dan tingginya tingkat suku
bunga, di samping mewarnai ketidakpostian situasi moneter intemasional juga telah
mengakibatkan terganggunya keseimbangan sistem moneter, dan mekanisme pembayaran
dunia. Kecenderungan tersebut menimbulkan rangkaian akibat terhadap perkembangan
perdagangan dunia dalam tahun 1984. Volume impor negara-negara industri dalam tahun 1984
diperkirakan meningkat dengan 11,9 persen, sedangkan volume ekspornya dalam periode terse
but hanya meningkat sebesar 8,6 persen, sehingga defisit neraca perdagangan mereka menjadi
semakin besar. Besamya defisit neraca perdagangan di satu pihak, serta perkembangan yang
terdapat pada lalu lintas transfer, dan jasa-jasa di lain pihak, mengakibatkan defisit transaksi
berjalan negara-negara industri secara keseluruhan dalam tahun 1984 diperkirakan mengalami
kenaikan, yaitu menjadi US $ 52,5 milyar dari sebesar US $ 18,9 milyar dalam tahun
sebelumnya. Melihat perkembangan transaksi berjalan negara-negara industri tersebut, Amerika
Serikat diperkirakan mengalami kenaikan defisit yang cukup besar, yaitu dari US $ 41,6 milyar
dalam tahun 1983 menjadi sebesar US $ 90,0 milyar dalam tahun 1984. Sementara itu, Jepang
diperkirakan mengalami kenaikan surplus, daTi US $ 20,5 milyar dalam tahun 1983 menjadi
US $ 35,0 milyar dalam tahun 1984, sedangkan negara-negara industri lainnya seperti Jerman
Barat, Inggris dan Kanada diperkirakan mengalami penurunan surplus, masing-masing menjadi
sebesar US $ 3,7 milyar, US $ 2,2 milyar dan Dol milyar dollar Amerika, dari sebesar US $ 3,9
milyar, US $ 4,4 milyar dan US $ 1,4 milyar dalam tahun sebelumnya. Di lain pihak defisit
transaksi berjalan Perancis diperkirakan sedikit dapat diperbaiki dari US $ 3,8 milyar dalam
tahun 1983 menjadi sebesar US $ 2,4 milyar dalam tahun 1984. Usaha mencegah semakin
besarnya defisit transaksi berjalan ke arah keseimbangan neraca pembayaran, menimbulkan
kecenderungan makin meningkatnya tindakan proteksionisme yang dilakukan oleh negara-
negara industri sebagai upaya untuk melindungi industri dalam negeri masing-masing terhadap
persaingan barang-barang sejenis daTi negara lain. Upaya tersebut dilakukan baik dalam bentuk
kenaikan tarif maupun dalam bentuk kebijaksanaan bukan tarif, seperti penentuan kuota impor,
persetujuan pembatasan ekspor, persyaratan mutu, peraturan kesehatan dan lain-lain.

Departemen Keuangan RI 120


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Proteksionisme dalam segala bentuknya ini merupakan penghambat bagi dayaguna (effisiensi)
perdagangan antarnegara, dan sangat membatasi ekspor dari negara-negara berkembang, yang
selanjutnya mengakibatkan tertekannya pertumbuhan perdagangan dunia dalam tahun 1984.
Meskipun demikian, adanya sedikit peningkatan kegiatan ekonomi di pelbagai negara industri,
dan beberapa negara berkembang, telah mendorong harga beberapa barang primer non minyak
tetap ke arab yang lebih baik, walaupun tidak sebaik dalam tahun 1983, sedangkan di lain
pihak, sekalipun harga kelompok barang-barang industri mengalami perbaikan, namun masih
lebih rendah dad harga yang dicapai oleh kelompok barang primer non minyak. Perkembangan
ini menjadikan posisi perbandingan pertukaran (terms of trade) negara-negara berkembang
mengalami peningkatan dari negatif 3,5 persen dalam tahun 1983 menjadi sebesar 0,1 persen
dalam tahun 1984. Sebaliknya negara-negara industri diperkirakan mengalami penurunan dari
sebesar 2,2 persen dalam tahun 1983 menjadi 0,3 persen dalam tahun 1984.

Kesenjangan yang masih terdapat antara permintaan dan penawaran minyak dunia,
dipertajam pula oleh peleposan cadangan, dan penawaran minyak hasil produksi negaranegara
di luar OPEC, serta berhasilnya penghematan (konservasi) energi minyak. Kesemuanya itu
telah menyebabkan terganggunya keseimbangan posar, dan mengakibatkan timbulnya
penurunan harga seperti yang telah dilakukan oleh Norwegia, Inggris dan Nigeria. Menghadapi
situasi demikian, dalam rangka menjaga kestabilan harga minyak, Organisasi Negara-negara
Pengekspor Minyak (OPEC) dalam sidang daruratnya yang berlangsung dalam bulan Oktober
1984 di Jenewa, memutuskan untuk tetap mempertahankan harga pada tingkat yang berlaku
sekarang, dengan jalan mengurangi produksi dari batas tertinggi 17,5 juta barrel menjadi
sebesar 16,0 juta barrel per hari, serta menetapkan ketentuan kuota baru bagi negara-negara
anggotanya. Berdasarkan perkembangan barga, dan perbandingan pertukaran serta keadaan
posaran minyak seperti yang diuraikan di atas, volume, dan nilai ekspor maupun impor negara-
negara berkembang secara keseluruhan, sekalipun diperkirakan mengalami sedikit peningkatan,
tetapi masih belum seperti yang diharapkan. Dengan perkembangan ekspor, dan impor di
negara-negara industri, dan negara-negara berkembang tersebut, maka volume perdagangan
dunia dalam tahun 1984 diperkirakan mengalami sedikit peningkatan.

Perkembangan perdagangan dunia, dan kecenderungan yang terjadi pada moneter


internasional, di samping memperlangka dana yang dapat dipinjamkan, juga mempermahal
biaya peminjaman di berbagai pusat keuangan internasional. Besarnya kebutuhan dana untuk
membiayai pembangunan, dan menutup defisit neraca pembayaran, serta lesunya ekspor
kebanyakan negara-negara berkembang, menyebabkan menumpuknya beban hutang negara

Departemen Keuangan RI 121


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

berkembang yang meningkat secara cepat dari US $ 478,6 milyar dalam tahun 1979 menjadi
US $ 830,1 milyar dalam tahun 1984. Dari jumlah tersebut, US $ 728,9 milyar di antaranya
merupakan hutang negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak. Sementara itu
besarnya kewajiban pengembalian bunga maupun cicilan hutang di satu pihak, serta turunnya
ekspor di lain pihak telah menyebabkan debt-service-ratio (DSR) negara-negara terse but
menjadi semakin tinggi. Keadaan ini mengakibatkan beberapa negara berkembang mengalami
kesulitan dalam melunasi kembali hutang-hutangnya, yang pada gilirannya telah menimbulkan
masalah likuiditas perbankan internasional, dan membahayakan operasi bank-bank pemberi
pinjaman, sehingga mereka lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman baru.
Kecenderungan ini diperkirakan masih akan terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang,
dan akan merupakan salah satu penghambat ke arah pemulihan ekonomi dunia.

Pelbagai indikator ekonomi, dan moneter internasional tersebut di atas menimbulkan


kesadaran akan semakin tingginya tingkat ketergantungan timbal balik, baik antarnegara
industri, antarnegara berkembang, maupun antara negara industri dan negara berkembang.
Kesadaran itu menempatkan masalah pemulihan kembali ekonomi dunia menjadi tanggung
jawab bagi semua negara sehingga upaya pemecahannya memerlukan kerjasama yang sungguh-
sungguh, serta penanganan secara tuntas melalui berbagai perundingan yang sedang
berlangsung. Dengan diawali oleh Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) tujuh negara industri
terkemuka, yang berlangsung dalam bulan Juni 1984 di London, upaya mencari jalan keluar
dari resesi ke arah pemulihan kembali ekonomi dunia secara menyeluruh, tuntas dan mantap
terus diusahakan melalui perundingan-perundingan, dan kerjasama dalam berbagai forum
internasional. Forum perundingan dan kerjasama intemasional seperti dalam pertemuan Bank
Dunia (IBRD), Dana Moneter Internasional (IMF), Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa
dalam Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), Persetujuan Umum ten tang Tarif dan
Perdagangan (GATT), maupun Dialog Utara-Selatan, menjadi teramat penting sebagai sarana
perjuangan bagi semua negara untuk menegakkan tatanan ekonomi dunia baru yang lebih adil.
Terciptanya Tata Ekonomi Dunia Baru (TED B) merupakan kebutuhan mendesak, baik untuk
kestabilan ekonomi dunia yang lebih mantap, maupun sebagai jawaban terhadap tuntutan
keadilan sosial dalam hubungan ekonomi antarbangsa. Hal tersebut disebabkan karena resesi
yang timbul dewasa ini an tara lain bersumber dari kerawanan dan ketidakseimbangan
struktural di semua aspek yang berakar pada tatanan lama, yang dirasakan sudah tidak sesuai
dalam menjawab masalah, dan tantangan yang dihadapi. Namun demikian kenyataan saling
ketergantungan antara negara-negara maju, dan berkembang, yang merupakan dasar untuk

Departemen Keuangan RI 122


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dialog, dan kerjasama internasional, belum dengan sepenuh hati diikhtiarkan oleh negara-
negara maju. Hal ini mengakibatkan kelambanan terus mewarnai berbagai negosiasi yang
sudah, dan sedang berjalan bagi terwujudnya TEDB. Dalam hubungan ini, kecuali komitmen
politik untuk memperbaharui tekad dalam usaha mempertahankan pemulihan ekonomi agar
bertambah mantap, dan bertahan lama, KTT tidak menghasilkan kesepakatan mengenai
tindakan penyelesaian terhadap masalah-masalah proteksionisme, tingkat suku bunga yang
tinggi, dan defisit anggaran belanja khususnya di Amerika Serikat, yang merupakan
penghambat usaha mempercepat dan mempertahankan pemulihan ekonomi dunia. Ini berarti
bahwa lalu lint as perdagangan internasional sebagai salah satu syarat mendasar dalam
meningkatkan, dan mempertahankan laju pemulihan ekonomi dunia akan tetap mengalami
hambatan.

Dalam hubungan dengan penyelesaian hutang luar negeri negara-negara berkembang,


KTT sepakat untuk mendesak agar bank-bank komersial, dan lembaga-Iembaga internasional
memberi kelonggaran waktu bagi negara-negara peminjam untuk membayar kembali
hutangnya. Di lain pihak upaya mencari jalan penyelesaian dari krisis hutang negara-negara
"berkembang, menimbulkan dorongan kepada sebelas negara di Amerika Latin yaitu Mexico,
Brasilia, Chili, Bolivia, Costarica, Equador, Peru, Argentina, Venezuela, Colombia dan
Republik Dominika, mengadakan pertemuan untuk membicarakan masalah hutang luar negeri
mereka di Cartagena, Colombia pada tanggal 21 sampai dengan 22 Juni 1984. Pertemuan ini
menghasilkan kesepakatan untuk mendesak negara, dan lembaga pemberi pinjaman agar
memberikan kelonggaran waktu bagi pembayaran hutanghutang mereka melalui penjadwalan
kembali (rescheduling), menurunkan tingkat suku bunga, dan menghapuskan kebijaksanaan
yang bersifat protektif dan restriktif dalam perdagangan.

Sementara itu untuk memperkuat kedudukan negara-negara berkembang dalam proses


pengambilan keputusan politik tentang masalah-masalah ekonomi global, pengembangan
kerjasama ekonomi antarnegara berkembang (kerjasama selatan-selatan) lebih diarahkan untuk
mencapai kemandirian individual, dan kolektif sebagai strategi perjuangan untuk mewujudkan
TEDB. Usaha peningkatan kerjasama tersebut dilakukan melalui berbagai forum internasional
pada tingkat bilateral dan multilateral, baik di dalam maupun di luar forum PBB, seperti
gerakan Non blok, Kelompok 77, Organisasi Konperensi Islam (OKI), kelompok regional
seperti ASEAN, dan lain sebagainya. Kerjasama ekonomi ini meliputi kegiatan-kegiatan di
bidang pangan dan pertanian, perdagangan, moneter dan keuangan, industri, ilmu pengetahuan
dan teknologi, pengangkutan dan komunikasi, energi, ketrampilan teknik, dan lain sebagainya.

Departemen Keuangan RI 123


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Sebagai bagian dari strategi untuk menciptakan kemandirian individual dan kolektif dalam KTT
terakhir di New Delhi, gerakan non blok telah menggariskan suatu pendekatan baru yang
bertujuan untuk menanggulangi krisis ekonomi dunia dengan tindakan-tindakan darurat jangka
pendek, baik di bidang keuangan dan moneter, perdagangan, dan energi maupun di bidang
pangan dan pertanian. Pendekatan ini juga dimaksudkan sebagai usaha untuk memberikan
dorongan bagi terlaksananya negosiasi global yang masih tetap mengalami kemacetan dalam
Dialog Utara-Selatan. Di samping merupakan upaya merealisasikan konsep kemandirian
kolektif, program ini juga merupakan suatu pedoman bagi pembangunan ekonomi untuk
dikembangkan pada tingkat sub-regional, regional dan global. Dalam kerangka kerjasama
ekonomi regional, usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi ke arah pemulihan, dan
memperkuat kerjasama antar negara-negara anggota ASEAN telah menunjukkan perkembangan
yang sangat pesat. Pelbagai kemajuan telah dapat dicapai dalam kerjasama ekonomi tersebut,
yang meliputi sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, keuangan dan perbankan. Di
bidang perdagangan, hasil kerjasama tersebut tercermin dalam perluasan jumlah barang yang
tercakup dalam perjanjian perdagangan preferensial. Sedangkan di bidang industri, melalui
dana pembiayaan bersama telah dibangun proyek-proyek ASEAN,dan didirikan proyek-proyek
industri komplementer.

Ikhtiar politik untuk secara aktif memantapkan pemulihan ekonomi dunia yang
menyeluruh dan merata, telah pula diupayakan oleh Bank Dunia (IBRD) dan Dana Moneter
Internasional (IMF) melalui sidang-sidangnya yang berlangsung dalam bulan September 1984.
Dalam sidang tersebut diadakan pengkajian terhadap pelbagai indikator serta masalah-masalah
mendasar yang masih mewarnai situasi ekonomi dan moneter internasianal, seperti berbagai
aspek pemulihan ekonomi dunia, kekurangan likuiditas, dan beban hutang negara-negara
berkembang, tingkat suku bunga, masalah proteksi, defisit anggaran belanja, serta gejolak kurs
matauang. Sidang berhasil mencapai kesepakatan, bahwa agar pemulihan kembali ekonomi
dunia dapat bersifat tetap dan pesat, diserukan kepada negara-negara industri untuk terus
melaksanakan strategi kebijaksanaan moneter yang tidak menimbulkan pengaruh inflatoir,
mengurangi defisit anggaran belanja, melakukan usaha-usaha untuk mengatasi masalah
struktural dengan cara mendorong mobilitas tenaga kerja, serta meniadakan indeksasi dalam
kontrak-kontrak. Sedangkan negara-negara berkembang perlu pula melaksanakan penyesuaian
yang efektif, mempertahankan stabilitas dalam negeri, melaksanakan kebijaksanaan harga yang
fleksibel dan realistis, menekan defisit anggaran belanja, serta mengawasi pengeluaran
Pemerintah ke arab penggunaan yang produktif. Untuk memungkinkan negara-negara

Departemen Keuangan RI 124


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

berkembang dapat membayar kembali hutang-hutang luar negerinya, dan melaksanakan


pembangunan ekonomi negaranya, negara-negara industri dihimbau untuk tetap
mempertahankan pertumbuhan ekonominya pada tingkat yang memadai, membuka posar bagi
ekspor negara-negara berkembang, menghindari kebijaksanaan yang terlalu bersifat
proteksionistis, serta perlu menurunkan tingkat suku bunga. Sedangkan negara-negara debitur
perlu melaksanakan kebijaksanaan penyesuaian yang mantap, yaitu yang dapat memperkuat
posisi ekonomi luar negeri mereka, sehingga pada akhirnya dapat memulihkan kepercayaan
untuk memperoleh pinjaman (credit worthiness), serta memungkinkan seger a meningkatkan
kembali pertumbuhan ekonominya. Sehubungan dengan masalah hutang luar negeri negara-
negara berkembang, sidang menegaskan sikapnya bahwa masalah hutang luar negeri negara-ne-
gara berkembang hanya dapat diselesaikan sebaik-baiknya melalui kerjasama yang frat antara
negara-negara debitur dan negara-negara kreditur. Kerjasama internasional yang ditekankan
oleh IMF tersebut meliputi bidang pembiayaan bersyarat lunak (concessional financing),
kebijaksanaan perdagangan serta pengawasan (surveillance) efektif terhadap kebijaksanaan
yang ditempuh beberapa negara untuk mencegah terjadinya gejolak kurs :matauang secara
tajam. Dalam hubungan ini sidang menyambut baik penjadwalan kembali pembayaran hutang-
hutang luar negeri untuk jangka waktu beberapa tahun, dan mengharapkan agar IMF tetap dapat
memainkan peranannya dalam pelaksanaan strategi pengelolaan hutang luar negeri secara
terkoordinir. Dalam hubungannya dengan proteksionisme yang masih terus berlangsung, sidang
menyatakan keprihatinannya, karena hila hal ini tidak segera diatasi, akan dapat membahayakan
proses pemulihan kembali perekonomian, serta dapat menghambat kelancaran bekerjanya
sistem keuangan dan perdagangan internasional. Oleh sebab itu sidang menyambut baik
komitmen-komitmen kearah kebijaksanaan perdagangan terbuka, dan menyerukan perlunya
ditingkatkan, dan dikembangkan disiplin dalam sistem perdagangan intemasional kepada semua
negara anggota, dengan tindakantindakan yang nyata untuk mencegah timbulnya
proteksionisme baru, dan menghapuskan kebij aksanaan -ke bij aksanaan proteksionistis.

Tantangan politik untuk menghentikan dan memutar balik kecenderungan ke arah


proteksionisme, menjadikan pertemuan para menteri dalam GATT (Persetujuan Umum tentang
Tarif dan Perdagangan) forum paling tepat dalam mengadakan perundingan terusmenerus untuk
mengurangi rintangan-rintangan terhadap perdagangan. Dari hasil pertemuan, sidang telah
menghasilkan kesepakatan untUk memberikan wewenang kepada "suatu kelompok" guna
mengadakan pengkajian mengenai masalah-masalah di bidang perdagangan, seperti faktor-
faktor penghambat proses penyesuaian struktural, baik di bidang produksi maupun

Departemen Keuangan RI 125


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

perdagangan, mengurangi proteksionisme, dan menghilangkan tindakan meayimpang dari


prinsip-prinsip GATT lainnya, serta mencari upaya penyelesaian dari masalah-masalah yang
belum terselesaikan dalam perundingan perdagangan multilateral (MTN). Di samping itu
lembaga ini juga diminta untuk meneliti pelaksanaan prinsip-prinsip GATT, guna membantu
negara-negara berkembang dalam meningkatkan perdagangan internasionalnya dengan tidak
mengabaikan prinsip "special and differential treatment". Dalam hubungan ini partisiposi yang
lebih aktif dari negara-negara berkembang untuk menegakkan sistem perdagangan intemasional
yang lebih adil dan seimbarlg dirasakan makin penting, terutama dalam menghadapi sikap dan
kecenderungan proteksionisme negara-negara industri sebagai tindakan yang menyimpang dari
prinsip multilateralisme, non-diskriminasi, dan transparansi sebagai prinsip dasar sistem
perdagangan intemasional.

Untuk meningkatkan kerjasama perdagangan internasional atas dasar keuntungan


bersama, resiprositas dan non diskriminasi, dalam rangka UNCTAD dikembangkan diver-
sifikasi perdagangan antara negara-negara industri dan berkembang di satU pihak, dengan
negara-negara sosialis Eropa Timur di lain pihak. Di samping itu usaha peningkatan kegiatan
perdagangan juga dilakukan melalui pembentukan/perbaikan instrumen-instrumen perdagangan
yang ada, untUk meningkatkan aliran sumber keuangan ke negara-negara berkembang. Dalam
hubungan ini berbagai usaha telah dilakukan untuk menjadikan Generalized System of
Preferences (GSP) bukan saja sebagai "hasil sementara" akan tetapi merupakan "hasil
permanen" dalam sistem perdagangan internasional.

Pola perkembangan ekonomi dan moneter internasional, komitmen politik negara-


negara industri terhadap hasil-hasil negosiasi global, serta masih sulitnya dicapai kesepakatan
dalam berbagai kerjasama antarnegara yang masih terus berlangsung dewasa ini, menjadikan
perlunya pengamatan dan kewaspadaan terhadap berbagai kemungkinan yang dapat meng-
hambat pelaksanaan pembangunan. Dengan menyadari keterkaitan ekonomi Indonesia dalam
hubungan ekonomi internasional, maka dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi
terhadap tantangan-tantangan yang mungkin akan terjadi, perlu ditempuh langkah-langkah
untuk meningkatkan penerimaan devisa, dan menghemat penggunaannya melalui pelbagai
kebijaksanaan, baik di bidang perdagangan luar negeri, maupun lalu lintas devisa.

5.2. Kebijaksanaan di bidang perdagangan luar negeri

Dalam tahun pertama Repelita IV, kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan

Departemen Keuangan RI 126


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

luar negeri ditujukan untuk meningkatkan laju perkembangan ekspor, sehingga tersedia devisa
untuk mendukung pembiayaan impor bahan baku, bahan penolong, dan barang modal yang
dibutuhkan, sesuai dengan sasaran investasi dalam sektor-sektor pembangunan. Sehubungan
dengan itu untuk mengurangi ketergantungan pada hasil minyak bumi, maka peningkatan
pengembangan ekspor lebih diarahkan kepada ekspor di luar minyak dan gas alam, yang
diupayakan melalui perluasan posar dan peningkatan clara saing barang-barang ekspor
Indonesia di luar negeri. Namun demikian sebagai akibat belum mantapnya usaha pemulihan
ekonomi dunia, dan adanya berbagai hambatan dalam perdagangan internasional, maka dalam
rangka mempertahankan keseimbangan neraca pembayaran telah diusahakan penghematan
dalam penggunaan devisa, pengendalian impor yang lebih diarahkan kepada pengembangan
produksi dalam negeri, serta pemanfaalan pinjaman dan penanaman modal luar negeri.

5.2.1.Kebijaksanaan di bidang ekspor

Usaha mengurangi ketergantungan pacta sektor minyak terus dilaksanakan, lebihlebih


pada tahun 1984 di mana situasi minyak dunia semakin memburuk. Hal ini terjadi karena
meningkatnya produksi minyak dari negara-negara di luar OPEC, yang kemudian diikuti
dengan diturunkannya harga minyak oleh Inggris, Norwegia dan Nigeria pada pertengahan
Oktober 1984. Keadaan ini memaksa OPEC untuk mengadakan sidang di Jenewa pada tanggal
29 Oktober 1984 dengan keputusan untuk mengurangi produksinya dari 17,5 juta barrel
menjadi 16 juta barrel per hari dan tetap mempertahankan harga patokan minyaknya sebesar US
$ 29 per barrel. Dengan penurunan produksi tersebut, Indonesia mendapat pengurangan kuota
produksi sebesar 111.000 barrel per hari yang berarti penerimaan dari sektor minyak agak
berkurang. Mengingat situasi perminyakan yang tidak menentu tersebut, telah diambil
kebijaksanaan untuk lebih meningkatkan penerimaan devisa dari hasil ekspor di luar minyak
dan gas, antara lain dengan melalui usaha diversifikasi, peningkatan daya saing barang-barang
ekspor serta perluasan pasaran di luar negeri. Di samping itu peranan ekspor barang-barang
industri diusahakan pula peningkatannya.

Serangkaian tindakan Pemerintah untuk meningkatkan ekspor di luar minyak dan gas
diawali dengan kebijaksanaan ekspor yang tertuang dalam PP No.1 bulan Januari 1982, yang
kemudian dilanjutkan dengan tindakan devaluasi rupiah terhadap matauang dollar Amerika
pada bulan Maret 1983. Dalam tahun pertama Pelita IV ini Pemerintah tetap melanjutkan
kebijaksanaan ekspor sebagaimana yang tertuang dalam PP No.1 tahun 1982 beserta peraturan-
peraturan pelaksanaannya, seperti pemberian sertifikat ekspor, kredit ekspor, pajak ekspor dan

Departemen Keuangan RI 127


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pajak ekspor tambahan, penyederhanaan dan penyempurnaan prosedur ekspor, serta sistem
imbal beli di mana pembelian barang-barang Pemerintah dari luar negeri yang memakai dana
APBN dikaitkan dengan ekspor di luar minyak dan gas. Dalam pemberian fasilitas sertifikat
ekspor, prosentasenya yang semula ditetapkan setiap 6 bulan, mulai tanggal 1 Juli 1984
ditetapkan setiap 12 bulan. Sampai dengan bulan November 1984, terdapat 2.144 jenis barang
yang sudah memperoleh tasilitas sertifikat ekspor, meliputi berbagai macam barang yang tidak
terbatas pada produk tekstil saja, tetapi juga produk-produk lainnya.

Mengenai prosedur ekspor, telah dilakukan penyederhanaan perizinan yang berlaku dan
penghapusan izin-izin yang dapat menghambat ekspor, di antaranya telah dicabut 16 perizinan
di bidang pengusahaan hutan, 12 perizinan di bidang pertanian, 12 perizinan di sektor perhu
bungan, dan 17 perizinan di sektor perdagangan. Demikian juga mulai 1 Oktober 1984
dihapuskan pungutan langsung dari Pemerintah Daerah terhadap beberapa komoditi ekspor
yaitu plywood, kayu gergajian, rotan, karet, kelapa sawit, kopi, udang, ikan tuna, gaplek, dan
jagung. Sementara itu mum barang yang diekspor harus memenuhi standar mutu yang
ditetapkan dan selalu ditingkatkan. Untuk itu sampai dengan Agustus 1984 telah ditetapkan
standar mutu untuk 165 jenis barang-barang perdagangan, dan dari jumlah terse but baru 38
jenis barang yang sudah dilaksanakan. Sistem imbal beli, yang telah dilaksanakan sejak bulan
Januari 1982 sampai 3 Oktober 1984, mencakup kontrak yang sudah ditandatangani dengan 21
negara sebesar US $ 937,0 juta, sedangkan realisasinya mencapai US $ 465,6 juta. Di antara 21
negara tersebut, negara yang paling besar melaksanakannya adalah Republik Federasi Jerman,
disusul kemudian oleh Jepang.

Di bidang perpajakan, mulai t;mggal 1 Januari 1984 pungutan MPO ekspor atas
eksportir telah dihapuskan. Selanjutnya tarif pajak ekspor yang dikenakan atas beberapa
komoditi seperti bauksit dan pekatannya, serta biji nikel dan pekatannya diturunkan dari 10
persen menjadi nol persen. Begitu pula untuk refined bleached deodorized stearin dan crude
stearin, pajak ekspor tambahannya diturunkan. Sedangkan untUk mencegah penyalahgunaan
fasilitas sertifikat ekspor bagi hasil industri tekstil yang diekspor ke Hongkong, Singapura,
Malaysia dan Taiwan, para eksportir diharuskan menyertakan laporan surveyor yang
dikeluarkan oleh PT Sucofindo, sedang sistem pembayaran yang dapat digunakan hanyalah
irrevocable letter of credit, yang nilainya sarna dengan harga jual sebenamya. Dalam ekspor
produk tekstil, juga ditetapkan bahwa setiap eksportir barus menyerahkan bukti pembayaran
iuran ekspor produk tekstil untuk mendapatkan surat keterangan asal, lisensi ekspor, dan surat
persetujuan ekspor produk tekstil. Selanjutnya untuk memperluas pemasaran pakaian jadi,

Departemen Keuangan RI 128


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

terutama ke negara-negara Eropa dan Amerika, telah dilakukan beberapa pendekatan dengan
negara-negara tersebut, antara lain dengan mengirimkan misi-misi dagang agar memperoleh
kuota yang lebih besar. Sebagai hasilnya telah dicapai persetujuan bilateral dengan negara-
negara yang tergabung dalam masyarakat ekonomi Eropa (MEE), Swedia dan Amerika Serikat,
sehingga Indonesia memperoleh kuota ekspor sebanyak 12 juta potong ke negara MEE, 3 juta
potong ke Swedia dan 11 juta potong ke Amerika Serikat. Dalam rangka memperlancar
pelaksanaan, dan mengambil manfaat sebesar-besamya dari kuota ekspor tekstil tersebut,
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai kuota ekspor produk tekstil, dan peratUran
pelaksanaannya, di mana kuota tersebut diberikan kepada eksportir terdaftar yang secara
berkala barus melaporkan kegiatan ekspomya. Eksportir yang telah menerima kuota harus
melaksanakan sendiri ekspomya, kecuali dengan persetujuan Departemen Perdagangan untuk
bisa mengalihkan sebagian atau seluruh kuotanya kepada eksportir lainnya.

Selanjutnya untuk memantapkan pemasaran tembakau di pasaran internasional,


Pemerintah dalam tahun ini menyesuaikan kembali ketentuan ekspor tembakau. Karena udang
dipandang mempunyai potensi yang besar untuk menambah penerimaan devisa hasil ekspor,
maka Pemerintah mulai bulan Maret 1984 menggalakkan pembudidayaan udang tambak, antara
lain dengan mengadakan Proyek Tambak Inti Rakyat di atas tanah seluas 350 ha di desa Pusaka
Jaya Utara, Karawang, dengan tujuan meningkatkan produksi udang untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, dan untuk diekspor. Kemudian dilanjutkan dengan program
intensifikasi tambak musim tanam tahun 1984/1985, yang dimulai tanggal 4 Januari 1984,
dengan tujuan untuk lebih memantapkan peningkatan produksi udang/bandeng, pendapatan
petani tambak, dan peningkatan devisa negara dari hasil ekspor udang dan bandeng. Sementara
itu untuk menghindarkan persaingan yang tidak sehat di antara eksportir kayu lapis yang dapat
mempengaruhi harganya, maka Asosiasi Panel Kayu Indonesia telah membentuk 7 kelompok
pemasaran kayu lapis sebagai Badan Pemasaran Bersama Ekspor Kayu Lapis, yang dikukuhkan
Menteri Perdagangan pada tanggal 15 Oktober 1984. Dengan adanya badan ini, kontrak-
kontrak penjualan untuk ekspor kayu lapis harns mendapat persetujuan daTi badan terse but.
Kemudian pada tanggal 13 September 1984 juga telah dikeluarkan ketentuan mengenai
pengawasan mutu kayu lapis untuk ekspor. Sementara itu kegiatan ekspor beberapa jenis
komoditi meliputi pupuk, semen, besi beton, ban mobil, kertas, aspal, minyak sawit dan inti
sawit, diawasi karena kebutuhan di dalam negeri semakin meningkat.

Dalam rangka kerjasama regional, sidang Menteri-menteri ASEAN ke-16 bulan Mei
1984 dalam rangka ASEAN Preferential Trading Arrangement telah menyetujui pemb_rian

Departemen Keuangan RI 129


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

preferensi tarif antara 20 persen sampai maksimum 50 persen. Di antara barang-barang yang
mendapat preferensi tersebut Indonesia dapat mengekspor 8.283 jenis ke negara-negala
ASEAN lainnya. Selain kerjasama dengan negara-negara ASEAN, usaha meningkatkan
pemasaran komoditi di luar minyak juga terus dikembangkan baik melalui kerjasama bilateral,
regional maupun multilateral. Dalam hubungan ini di samping telah diadakan pernndingan
bilateral dengan negara-negara anggota MEE, Swedia, dan Amerika Serikat di bidang tekstil,
juga terus ditingkatkan kerjasama dalam Organisasi Kopi Internasional (ICO), Dewan Timah
Internasional (ITC), Perjanjian Timah Internasional (ITA), Asosiasi Negara-negara Produsen
Timah (ATPC), Perjanjian Karet Alam Internasional (INRA), dan organisasi-organisasi lainnya
yang berhubungan dengan kerjasama perdagangan barangbarang di luar minyak. Di samping itu
pada saat ini juga sedang dijajagi oleh Pemerintah kemungkinan untuk mengadakan hubungan
dagang langsung dengan RRC tanpa melalui pihak ketiga. Sedangkan untuk meningkatkan
hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara Eropa Timur, telah dikirim delegasi
ekonomi Indonesia ke negara-negara Uni Soviet, Hongaria, Cekoslowakia dan Jerman Timur,
dan sebagai kelanjutannya telah dibentuk team koordinasi dalam bidang kerja sarna ekonomi
dan perdagangan dengan Eropa Timur. Untuk mempermudah hubungan dagang ini, kedutaan
Republik Indonesia setempat diberi wewenang oleh Pemerintah untuk mengeluarkan visa bagi
importir-importir negara-negara tersebut yang akan melakukan penjajagan ke Indonesia. Selain
itu telah ditunjuk pula perusahaan pelayaran swasta dan Pemerintah untuk melaksanakan
keagenan umum perkapalan ke negara-negara Eropa Timur. Dalam hubungan. ASEAN dengan
negara-negara MEE, Indonesia sebagai negara anggota ASEAN turut memperjuangkan
kepentingan-kepentingan ASEAN dalam bentuk penyampaian beberapa masalah yang berkaitan
dengan adanya hambatan-hambatan di bidang tarif maupun non tarif. Di samping itu, MEE juga
memberikan bantuan teknis kepada negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, dengan
memberikan kursus-kursus untuk meningkatkan kemampuan ekspor negara-negara tersebut.
Selain mengadakan hubungan dengan MEE, ASEAN juga telah mengadakan hubungan
kerjasama perdagangan dengan Amerika Serikat, jepang, Kanada, Australia dan New Zealand,
yang kesemuanya merupakan upaya untuk meningkatkan pemasaran barang-barang ASEAN ke
negara-negara tersebut, serta berusaha untuk menghilangkan atau mengurangi hambatan-
hambatan yang sebelumnya terjadi.

Selanjutnya dalam rangka lebih meningkatkan ekspor di luar minyak dan gas,
Pemerintah mengaktifkan fungsi dari atase-atase perdagangan Indonesia di luar negeri, antara
lain dengan mengadakan pertemuan rutin antara pengusaha/eksportir-eksportir di dalam negeri

Departemen Keuangan RI 130


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dengan para atase perdagangan di luar negeri. Dengan pertemuan-pertemuan tersebut para
eksportir dapat menyampaikan informasi tentang produk mereka, dan sebaliknya para atase
perdagangan dapat memberikan informasi kepada eksportir tentang permintaan konsumen di
luar negeri. Dengan demikian diharapkan barang-barang produksi Indonesia akan dapat lebih
mudah masuk ke posar internasional. Selain itu Pemerintah telah memperbanyak pusat-pusat
promosi dagang di luar negeri, serta memperbanyak pengiriman misi-misi dagang ke luar
negeri yang dipimpin langsung oleh Menteri Perdagangan.

Sementara itu kegiatan Bursa Komoditi yang diresmikan pada bulan Desember 1982
dalam waktu dekat akan dimulai. Oleh karena sampai sekarang baru asosiasi pengusaha di
bidang karet (Gapkindo) yang telah menyatakan dukungannya terhadap pemasaran karet
melalui bursa, maka Pemerintah menetapkan bahwa karet merupakan komoditi pertama yang
diperniagakan di bursa. Untuk itu dibentuk Komite Karet yang bertugas menyusun ketentuan-
ketentuan perniagaan karet di bursa tersebut.

5.2.2.Kebijaksanaan di bidang impor

Kebijaksanaan di bidang impor ditujukan untuk menunjang pertumbuhan industri


dalam negeri dengan memperlancar pengadaan beberapa bahan baku/penolong dan barang
modal, serta untuk menjaga kestabilan harga beberapa bahan pokok yang diperlukan
masyarakat. Dalam rangka lebih memberikan kepostian berusaha, dan mendorong industri
dalam negeri, Pemerintah telah memperluas pemberian fasilitas berupa pembebasan sebagian
dan/atau seluruh bea masuk dan pajak penjualan impor terhadap pemasukan bahan
baku/penolong serta barang modal, seperti kacang kedele, peralatan laboratorium, peralatan
pertukangan, permesinan, perkakas tangan, serta elektro motor. Di lain pihak, dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap barang-barang yang telah dapat dihasilkan, dan mencukupi
kebutuhan di dalam negeri, serta untuk menciptakan persaingan yang sehat dan wajar antara
produksi dalam negeri dengan produksi eks impor sejalan dengan usaha peningkatan
penggunaan/pemakaian produksi dalam negeri, Pemerintah telah mencabut
keringanan/pembebasan, dan sekaligus menaikkan tarif bea masuk dan pajak penjualan impor
terhadap impor barang-barang seperti kertas untuk jenis tertentu, pipa besi dan produk
polyvinyl chloride (PVC), aluminium sheet dan fuli aluminium jenis-jenis tertentu. Demikian
pula terhadap beberapa produk yang telah dapat dirakit di dalam negeri, seperti me sin penggali
(hydraulic excavator) dan wheel loader, juga telah diberlakukan tari( bea masuk dan pajak
penjualan impor yang baru. Sedangkan untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng di

Departemen Keuangan RI 131


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dalam negeri pada tingkat yang dapat dijangkau oleh masyarakat, Pemerintah telah
membebaskan bea masuk dan pajak penjualan impor terhadap minyak goreng segala jenis yang
diimpor dalam jumlah yang diatur oleh Menteri Perdagangan.

Guna menjamin kelancaran pengadaan bahan baku/penolong yang masih harns


diimpor dari luar negeri untuk proses produksi industri dalam negeri, Pemerintah telah
mengeluarkan peraturan pelaksanaan mengenai tataniaga impor barang-barang yang termasuk
kelompok produk industri. Dengan demikian, barang-barang yang telah dimasukkan ke dalam
kelompok produk industri hanya dapat diimpor oleh importir produsen terdaftar bagi masing-
masing kelompok produksi yang diakui oleh Menteri Perdagangan, dan importir terdaftar, yang
dapat terdiri dari pernsahaan negara, perusahaan swasta nasional dan pernsahaan dalam rangka
penanaman modal. Dalam rangka memanfaatkan kapositas industri, produk baja lembaran,
gulungan dan pelat yang digiling pada suhu tinggi dan rendah, diatur dalam tataniaga ekspor
dan impor secara terpadu. Dengan pengaturan tersebut, PT Krakatau Steel atau PT Giwang
Selogam ditunjuk sebagai eksportir baja lembaran, gulungan dan pelat yang digiling pada suhu
tinggi, dan sekaligus sebagai importir baja lembaran dan gulungan tertentu yang digiling pada
suhu rendah. Untuk lebih memantapkan pelaksanaan tataniaga impor produk baja lembaran dan
gulungan yang digiling pada suhu rendah, maka jenisnya diperluas lagi dengan menunjuk PT
Krakatau Steel atau PT Tambang Timah sebagai importirnya. Demikian juga terhadap impor
produk aluminium dan barang logam tidak inulia, telah diatur dalam tataniaga impor dengan
menunjuk PT Tambang Timah sebagai importirnya. Sehubungan dengan berlakunya Undang-
Undang Pajak Penghasilan 1984, maka pungutan MPO atas barang-barang impor dihentikan,
dan sebagai gantinya dipungut pajak penghasilan (PPh). Besarnya pungutan ditetapkan sebesar
2,5 persen bagi imp or barang yang menggunakan API, APIS atau APIT, dan sebesar 7,5 persen
bagi impor barang yang tidak menggunakan API, APIS atau APIT masing-masing dihitung dari
nilai dasar impor (cif).

Adapun untuk mengurangi ketergantungan terhadap barang-barang impor, telah


dilakukan usaha-usaha untuk mengarahkan penggunaan devisa dalam rangka menggalakkan
penggunaan produksi industri di dalam negeri. Sehubungan dengan itu, beberapa peralatan yang
digunakan untuk industri perminyakan telah dapat diproduksi di dalam negeri, walaupun untuk
memproduksi peralatan tersebut sekitar 30 persen bahan bakunya masih perlu diimpor.
Sementara itu. proyek Aromatik Plaju di Sumatera Selatan telah dilanjutkan pembangunannya
sesuai dengan rencana penjadwalan kembali (rephasing). Untuk tahap pertama pembangunan
proyek ini dibatasi pada perangkat hilir yang terdiri dari pabrik Pure Terepthalic Acid (PTA)

Departemen Keuangan RI 132


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dengan kapositas 150.000 ton per tahun. PTA akan diproses lebih lanjut menjadi polyester oleh
industri hilir, sedangkan bahan bakunya yang berupa paraxylene masih perlu diimpor. Dengan
dilanjutkannya pembangunan proyek ini maka diharapkan akan lebih mendorong dan
memantapkan industri sandang di dalam negeri.

5.3. Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1984/1985

Walaupun berbagai hambatan telah mempengaruhi usaha pemulihan ekonomi dunia,


namun dengan adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan baik di bidang ekspor, impor maupun lalu
lintas devisa, neraca pembayaran Indonesia dalam tahun 1984/1Y85 diperkirakan masih
mengalami surplus walaupun tidak sebesar tahun sebe1umnya. Jumlah penerimaan devisa dari
hasil minyak dan gas bersih, dan ekspor bukan minyak dan gas dalam tahun 1984/1985
diperkirakan mencapai US $ 13.099 juta, sedangkan jumlah penge1uaran devisa untuk
membiayai imp or dan jasa-jasa bukan minyak dan gas dalam periode yang sarna diperkirakan
mencapai US $ 16.345 juta. Dengan deniikian realisasi transaksi berjalan dalam periode terse
but diperkirakan akan mengalami defisit sebesar US $ 3.246 juta. Sedangkan lalu lintas modal
bersih, yaitu jumlah pemasukan modal Pemerintah, dan pemasukan modal lainnya dikurangi
dengan pembayaran kembali angsuran pokok hutang luar negeri, dalam tahun 1984/1985
diperkirakan mencapai sebesar US $ 3.191 juta. Sete1ah memperkirakan adanya selisih yang
be1um diperhitungkan sebesar positif US $ 698 juta, neraca pembayaran dalam tahun
1984/1985 diperkirakan mengalami surplus sebesar US $ 643 juta. Perincian perkembangan
neraca pembayaran dapat dilihat dalam Tabe1 V.l.

5.3.1.Ekspor

Realisasi nilai ekspor minyak dan gas maupun bukan minyak dan gas dalam tahun
1984/1985 diperkirakan berjumlah sebesar US $ 19.779 juta, dibandingkan dengan nilai ekspor
tahun 1983/1984 sebesar US $ 19.816 juta, berarti terdapat penurunan sebesar US $ 37 juta.
Dari jumlah ekspor kese1uruhan tahun 1984/1985, nilai ekspor minyak dan gas berjumlah
sebesar US $ 13.729 juta. Sedangkan ekspor bukan minyak dan gas diperkirakan mengalami
kenaikan sebesar US $ 683 juta, yaitu dari US $ 5.367 juta dalam tahun 1983/1984 menjadi US
$ 6.050 juta dalam tahun 1984/1985.

Departemen Keuangan RI 133


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel V.l

NERACA PEMBAYARAN, 1969/1970 - 1984/1985


( dalam jutaan US $ )
persentase persentase persentase persentase
1969/1970 1970/1971 perubahan 1971/1972 perubaban 1972/1973 pernbahan 1973/1974 perubahan
I. Barang.barang don jasa.jasa
1. Ekspor, fob 1.044 + 1.204 + 15,3 + 1.374 + 14,1 + 1.939 + 41,1 3.613 + 86,3
minyak dan gas + 384 + 443 + 15,4 + 590 + 33,2 + 965 + 63,6 + 1. 708 + 77
tanpa minyak dan gas + 660 + 761 + 15,3 + 784 + 3 + 974 + 24,2 1.905 + 95,6
2. Impor, fob -1.097 -1.102 + 0,5 -1.248 + 13,2 -1.651 + 32,3 -3.074 + 86,2
minyak dan gas - 88 - 94 + 6,8 - 132 + 40,4 - 159 + 20,5 - 461 + 189,9
tanpa minyak dan gas -1.009 -1.008 - 0,1 -1.116 + 10,7 -1.492 + 33,7 -2.613 + 75,1
3. Jasa-jasa 448 - 490 + 9,4 - 574 + 17,1 - 845 + 47,2 -1.295 + 53,3
minyak dan gas 204 - 214 + 4,9 - 254 + 18,7 - 407 + 60,2 - 606 + 48,9
tanpa minyak don gas 244 - 276 + 13,1 - 320 + 15,9 - 438 + 36,9 - 689 + 57,3
4. Transaksi berjalan 501 - 388 - 22,6 - 448 + 15,5 - 557 + 24,3 - 756 + 35,7
minyak dan gas + 92 + 135 + 46,7 + 204 + 51,1 + 399 + 95,6 + 641 + 60,7
tanpa minyak dan gas - 593 - 523 - 11,8 - 652 + 24,7 - 956 + 46,6 -1.397 + 46,1
H. S D R + 35 + 28 - 20 + 30 + 7,1 - - - -
HI. Pemasnkan modal Pemerintab + 371 + 369 - 0,5 + 400 + 8,4 + 481 + 20,3 + 643 + 33,7
1. Bantuan program + 308 + 283 - 8,1 + 286 + 1,1 + 336 + 17,5 + 281 - 16,4
2. Bantnan prorok dan lain-lain + 63 + 86 + 36,5 + 114 + 32,6 + 145 + 27,2 + 362 + 149,7
IV. Lain lintas modallainnya + 27 + 115 325,9 + 190 + 65,2 + 480 + 152,6 + 549 + 14,4
V. Pembayaranhntang pokok 31 - 47 + 51,6 - 78 + 66 - 66 - 15,4 - 81 + 22,7
VI. Jumlah I sId V 99 + 77 + 94 + 338 + 355
VII. Sensih yang belum dapat diperhitungkan + 56 - 95 + 6 + 87 + 5
VIII. Lain lintas moneter + 43 + 18 - 100 - 425 - 360

persentase persentase persentase persentase persentase


1973/1974 1974/1975 perubahan 1975/1976 perubaban 1976/1977 pernbahan 1977/1978 perubahan 1978/1979 perubahan
I. Barang.barang don jasa.jasa
1. Ekspor, fob + 3.613 + 7.186 + 98,9 + 7.146 - 0,6 + 9.213 + 28,9 + 10.860 + 17,9 + 11.353 + 4,5
minyak dan gas + 1.708 + 5.153 + 201,7 + 5.273 + 2,3 + 6.350 + 20,4 + 7.353 + 15,8 + 7.374 + 0,3
tanpa minyak dan gas + 1.905 + 2.033 + 6,7 + 1.873 - 7,9 + 2.863 + 52,9 + 3.507 + 22,5 + 3.979 + 13,5
2. Impor, fob -3.074 -5.097 + 65,8 -5.409 + 6,1 -7.173 + 32,6 - 7.866 + 9,7 - 8.443 + 7,3
minyak dan gas 461 -1.275 + 176,6 930 - 27,1 1.753 + 88,5 1.490 - 15 1.711 + 14,8
tanpa minyak dan gas -2.613 -3.822 + 46,3 -4.479 + 17,2 -5.420 + 21 - 6.376 + 17,6 - 6.732 + 5,6
3. Jasa-jasa -1.295 -2.227 + 72 -2.591 + 16,3 -2.842 + 9,7 - 3.684 + 29,6 - 4.065 + 10,3
minyak dan gas - 606 -1.240 + 104,6 -1.205 2,8 - 887 - 26,4 - 1.418 + 59,9 - 1.653 + 16,6
tanpa minyak don gas - 689 987 + 43,3 -1.386 + 40,4 -1.955 + 41,1 - 2.266 + 15,9 - 2.412 + 6,4
4. Transaksi berjalan 756 - 138 81,7 854 + 518,8 802 - 6,1 - 690 - 14 1.155 + 67,4
minyak dan gas + 641 + 2.638 + 311,5 + 3.138 + 19 + 3.710 + 18,2 + 4.445 + 19,8 + 4.010 - 9,8
tanpa minyak dan gas -1.397 -2.776 + 98,7 -3.992 + 43,8 -4.512 + 13 - 5.135 + 13,8 - 5.165 + 0,6
H. S D R - - - - - - - - - + 64 -
HI. Pemasnkan modal Pemerintab + 643 + 660 + 2,6 + 1.995 + 202,3 + 1.823 - 8,6 + 2.106 + 15,5 + 2.208 + 4,8
1. Bantuan program + 281 + 180 - 35,9 + 74 - 58,9 + 147 + 98,6 + 157 + 6,8 + 94 - 40,1
2. Bantnan prorok dan lain-lain + 362 + 480 + 32,6 + 1.921 + 300,2 + 1.676 - 12,8 + 1.949 + 16,3 + 2.114 + 8,5
IV. Lain lintas modallainnya + 549 131 -123,9 -1.075 + 720,6 + 38 + 103,5 + 176 + 363,2 + 392 + 122,7
V. Pembayaranhntang pokok - 81 - 89 + 9,9 - 77 - 13,5 - 166 + 115,6 761 + 358,4 - 632 - 17
VI. Jumlah I sId V + 355 + 302 11 + 893 + 831 + 877
VII. Sensih yang belum dapat diperhitungkan + 5 - 311 - 353 + 108 180 - 169
VIII. Lain lintas moneter - 360 + 9 + 364 -1.001 - 651 708

Realisasi nilai ekspor secara kese1uruhan dalam periode April-Agustus 1984


menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan realisasi nilai ekspor dalam periode yang
sama tahun 1983, yaitu dari sebesar US $ 7.937,6 juta rnenjadi sebesar US $9.100,4 juta.
Realisasi nilai ekspor sebesar US $ 9.100,4 juta tersebut terdiri dari nilai ekspor minyak dan gas
sebesar US $ 6.765,5 juta, dan nilai ekspor di luar rninyak dan gas sebesar US $ 2.334,9 juta.
Bila dibandingkan dengan realisasinya selarna periode April-Agustus 1983 sebesar US $5.959,8
juta, berarti nilai ekspor rninyak dan gas tersebut rnengalami kenaikan sebesar 13,5 persen.

Peningkatan ini terjadi antara lain karena adanya peningkatan yang cukup besar dalarn
ekspor gas alarn cairo Nilai ekspor di luar rninyak dan gas selarna periode April-Agustus 1984
tersebut berarti rneningkat sebesar US $ 357,1 juta atau 18,1 persen dibandingkan dengan nilai
ekspornya dalarn periode yang sarna tahun 1983 sebesar US $ 1.977,8 juta. Peningkatan
tersebut tidak terlepos dari adanya perbaikan dalarn perekonornian dunia, yang pada gilirannya

Departemen Keuangan RI 134


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

rneningkatkan perrnintaan negara-negara industri terhadap barang-barang ekspor negara


berkernbang, terrnasuk dari Indonesia. Sebagai salah satu komoditi dalarn kelornpok barang
utama, ekspor kayu dalarn periode April-Agustus 1984 rnencapai nilai sebesar US $ 438,4 juta,
yang berarti US $ 7,2 juta lebih rendah dari nilai ekspor pada periode yang sarna tahun
sebelurnnya sebesar US $ 445,6 juta.

Penurunan ini disebabkan oleh rnenurunnya harga kayu, rneskipun pernasanin kayu
lapis ke beberapa negara sernakin rneningkat, diantaranya ke beberapa negara Asia, Tirnur
Tengah, Eropa dan Arnerika Serikat. Ekspor karet yang dalarn periode April-Agustus 1983
realisasinya mencapai US $ 343,4 juta, dalam periode yang sarna tahun 1984 menunjukkan
peningkatan rnenjadi sebesar US $ 373,4 juta, Meningkatnya nilai ekspor ini disebabkan oleh
rneningkatnya perrnintaan Amerika Serikat akan karet alam untuk rnenambah cadangan
strategisnya, dan perrnintaan dari Jepang karena meningkatnya kebutuhan untuk mermnuhi
pesanan dari luar negeri, meskipun dalarn periode tersebut harga karet rnengalarni penurunan,
Sebaliknya nilai ekspor tirnah yang dalam lima bulan pertama tahun 1984/1985 berjumlah
sebesar US $ 103,9 juta, menunjukkan adanya penurunan sebesar US $ 30,8 juta bila
dibandingkan dengan nilai ekspornya dalam periode yang sama tahun 1983/1984 yang
berjumlah sebesar US $ 134,7 juta.

Penurunan ini terjadi karena meskipun harga naik tetapi volume ekspornya menurun
sebagai akibat pembatasan ekspor timah oleh Dewan Timah Internasional, dan adanya
penggunaan bahan-bahan lain pengganti timah, sehingga pemakaian timah berkurang.
Demikian pula nilai ekspor minyak sawit telah menurun dari sebesar US $40,2 juta dalarn
periode April-Agustus 1983, rnenjadi sebesar US $ 9,8 juta dalarn periode yang sama tahun
1984, Menurunnya ekspor minyak sawit ini disebabkan oleh karena adanya pembatasan ekspor
untuk memenuhi kebutuhan dalarn negeri, meskipun harganya di posar internasional mulai
rnembaik. Sedangkan nilai ekspor biji sawit yang mencapai sebesar US $0,8 juta untuk periode
April-Agustus 1983, dalam periode 1984 belum ada realisasinya, karena ada penundaan dalarn
pelaksanaan ekspornya, Sebaliknya .nilai ekspor kopi yang pada lima bulan pertama tahun
1983/1984 mencapai US $ 203,6 juta, dalam periode yang sama tahun 1984/1985 meningkat
menjadi US $ 233,4 juta. Kenaikan tersebut terjadi selain disebabkan oleh kenaikan harga kopi
di posar internasional, juga disebabkan oleh naiknya kuota ekspor kopi.

Kenaikan harga ini timbul karena adanya pembelian secara besar-besaran yang
berlangsung setelah tersiar kabar kemungkinan rusaknya panen kopi Brazil tahun 1985 akibat
hawa beku yang akan melanda negara tersebut, serta berkurangnya penawaran kopi robusta dari

Departemen Keuangan RI 135


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Pantai Gading. Adapun barang lainnya seperti hewan dan hasilnya, lada, bungkil kopra, bahan
makanan, barang tambang, dan lain-Iainnya termasuk kerajinan tangan dan pakaian jadi, selama
lima bulan pertama 1984/1985 mencapai nilai ekspor sebesar US $ 1.067,5 juta atau US $ 338,0
juta lebih tinggi hila dibandingkan dengan nilai ekspornya dalam periode yang sarna tahun
1983/1984 sebesar US $ 729,5 juta. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya nilai ekspor
komoditi lada, bahan makanan, barang tamba.p.g dan lain-lain, termasuk tekstil dan pakaian
jadi. Nilai ekspor lada dan bahan makanan termasuk tapioka, kalau dalam lima bulan pertama
tahun 1983/1984 masing-masing berjumlah sebesar US $ 17,4 juta dan US $ 34,2 juta, dalam
jangka waktu yang sarna tahun 1984/1985 meningkat masing-masing menjadi sebesar US $
22,7 juta dan US $ 50,2 juta. Selanjutnya barang tambang yang dalam periode April-Agustus
1983 nilai ekspornya sebesar US $ 175,6 juta, dalam periode yang sarna tahun 1984 meningkat
sebesar US $ 94,7 juta, sehingga menjadi sebesar US $ 270,3 juta. Meningkatnya nilai ekspor
barang tambang ini disebabkan oleh meningkatnya ekspor aluminium dan tembaga. Demikian
pula nilai ekspor lain-lain meningkat dalam periode yang sarna dad sebesar US $ 378,6 juta
dalam tahun 1983, menjadi US $ 626,1 juta untuk tahun 1984, yang disebabkan an tara lain
oleh meningkatnya ekspor kerajinan tangan termasuk pakaian jadi, semen dan alat-alat listrik.

5.3.2. Impor

Rangkaian kebijaksanaan di bidang impor yang telah dan sedang dilaksanakan dalam
beberapa periode ini banyak mempengaruhi perkembangan impor dalam tahun 1984/1985.
Berkaitan dengan itu, nilai impor bukan minyak dan gas dalam tahun 1984/1985 diperkirakan
berjumlah sebesar US $ 12.169 juta, yang berarti US$ 646 juta atau 5,0 persen lebih rendah bila
dibandingkan dengan realisasi nilai impor bukan minyak dan gas dalam tahun 1983/1984 yang
berjumlah sebesar US $ 12.815 juta. Lebih rendahnya nilai impor tersebut terutama disebabkan
karena menurunnya impor yang dilakukan dalam rangka bantuan proyek. Sementara itu nilai
impor minyak dan gas dalam tahun 1984/1985 diperkirakan berjumlah sebesar US $ 3.269 juta,
yang berarti mengalami penurunan sebesar US $ 220 juta bila dibandingkan dengan realisasi
nilai impor minyak dan gas pacta tahun sebelumnya yang berjumlah sebesar US $ 3.489 juta.
Penurunan ini terutama disebabkan karena menurunnya impor peralatan untuk keperluan
eksplorasi minyak sejalan dengan telah dapat diproduksinya beberapa perala tan pengeboran
minyak oleh industri dalam negeri.

Dilihat dari golongan barangnya, realisasi impor bukan minyak dan gas dalam periode
April-Agustus 1984 berjumlah sebesar US $ 4.427,6 juta atau US $ 320 juta (6,7 persen) lebih

Departemen Keuangan RI 136


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

rendah hila dibandingkan dengan realisasinya dalam periode yang sarna tahun 1983 yaitu
sebesar US $ 4.747,6 juta. Lebih rendahnya nilai impor tersebut terjadi alas imp or semua
golongan barang, baik barang konsumsi, bahan baku/penolong maupun barang modal.
Sementara nilai impor kelompok barang konsumsi dalam tahun 1984 berjumlah sebesar US
$314,6 juta. Hal ini berarti terdapat penurunan sebesar US $ 60,3 juta atau sebesar 16,1 persen
hila dibandingkan dengan nilai impornya dalam periode yang sarna tahun 1;183 sebesar US
$374,9 juta. Penurunan nilai impor ini terjadi alas impor hampir semua jenis barang konsumsi,
dan telah menyebabkan menurunnya peranan impor barang konsumsi terhadap nilai impor
bukan minyak dan gas secara keseluruhan dari 7,9 persen menjadi 7,1 persen. Selanjutnya
realisasi impor bahan baku/penolong dalam periode April-Agustus 1984 juga menunjukkan
adanya penurunan bila dibandingkan dengan realisasinya dalam periode yang sama tahun
sebelumnya. Apabila realisasi nilai impor bahan baku/penolong dalam periode April-Agustus
1984 berjumlah sebesar US $ 2.168,0 juta, dalam periode yang sama tahun 1983 realisasi
impornya berjumlah sebesar US $ 2.258,5 juta. Hal ini berarti lebih rendah sebesar US $ 90,5
juta, atau sebesar 4,0 persen. Lebih rendahnya nilai impor tersebut disebabkan karena
menurunnya impor bahan kimia, bahan obat-obatan, pupuk, bahan-bahan kertas, bahan
bangunan serta semen, kapur, dan bahan bangunan buatan pabrik lainnya. Namun demikian
apabila dilihat dari peranan impor bahan baku/penolong terhadap impor bukan minyak dan gas
seC(I,ra keseluruhan, persentasenya mengalami peningkatan dari 47,6 persen dalam periode
April-Agustus 1983, menjadi sebesar 49,0 persen dalam periode yang sarna tahun 1984.
Adapun realisasi nilai impor barang modal dalam periode April-Agustus 1984 berjumlah
sebesar US $ 1.945,0 juta. Apabila dibandingkan dengan realisasinya dalam periode yang sarna
tahun 1983 yang berjumlah sebesar US $ 2.114,2 juta, berarti telah terjadi penurunan sebesar
US $ 169,2 juta atau 8,0 persen. Penurunan ini terjadi pacta impor mesin-mesin, generator
listrik, peralatan listrik dan lainnya. Penurunan dalam realisasi nilai impor ini telah
mengakibatkan pula menurunnya persentase impor kelompok barang modal terhadap realisasi
nilai impor bukan minyak dan gas secara keseluruhan, yaitu dari sebesar 44,5 persen dalam
periode April-Agustus 1983, menjadi sebesar 43,9 persen dalam periode yang sarna tahun 1984.
Gambaran yang terperinci mengenai impor bukan minyak dan gas dapat diikuti dalam Tabel
V.3.

Departemen Keuangan RI 137


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel V.3
NILAI IMPOR TANPA MINY AK DAN GAS MENURUT GOLONGAN BARANG, 1969/1970 - 1984/1985
(df, dalam jutaan US $)
persentase persentase persentase persentase persentase
Jenis barang 1969/1970 dari 1970/1971 dari 1971/1972 dari 1972/1973 dari 1973/1974 dari
jumlah jumlah jumlah jumlah jumlah
I. Barang konsumsi 180,7 22,1 178,1 17,7 157 13,2 293,7 16,2 544,1 18,9
1. Beras 46,9 44,1 27,3 132,6 367,8
2. Tekstil 28,3 16 11,9 23 13,2
3. Susu, makanan, minuman dan
buah - buahan 23,7 34 31,9 22,3 48,6
4. Tembakau daD olahannya 7,3 1,8 2,6 4,1 6,3
5. Sabun dan kosmetik 1 1,4 1,7 3,5 7,7
6. Alat-alat rumah tangga 10,9 12,3 15,8 6,7 24,6
7. Lainnya 62,6 68,5 65,8 101,5 75,9
ll. Bahan baku/penolong 399,7 48,8 475,6 47,3 562,3 47,3 790,4 43,7 1.257,90 43,7
1. Bahan kimia 60,3 69,6 80 115,2 171
2. Bahan obat-obatan 12,9 14,3 13,6 18,8 31,6
3. Pupuk 27,6 19,5 35,2 46,2 68,8
4. Bahan-bahan kertas 21,3 26,9 25,2 30,1 53,3
5. Benang tenun 54,3 55,3 56,5 106,2 206,5
6. Semen. kapur dan bahan
bangunan buatan pabrik 11,3 13,8 18,2 25,8 46,5
7. Besi baja dan logam 61,5 72,6 113,2 186,6 351,4
8. Bahan-bahan karet dan plastik 1,3 1,2 1,1 19 78,3
9. Bahan bangunan 6,1 10,8 16,3 25,7 56
10. Alat-alat listrlk 1 1,2 ' 0,9 5,7 23
11. Lainnya 142,1 190,4 202,1 211,1 171;5
III.Barang modal 238,7 29,1 352,6 35 470,6 39,5 724,5 40,1 1.079,00 37,4
1. Mesin-mesin 115,8 183,8 247,8 373,2 588,4
2. Generator listrik 5,3 7,6 10,9 31,9 87,1
3. Alat telekomunikasi 16,9 19,2 21 32,4 46,9
4. Peralatan listrik 7,2 11 12,3 16,4 31,3
5. Alat pengangkutan 44,7 62,9 81,4 141,2 301,3
6. Lainnya 48,8 68,1 97,2 129,4 24
Jumlah 819,1 100 1.006,30 100 1.189,90 100 1.808,60 100 2.881,00 100

persentase persentase persentase persentase persentase


Jenis barang 1974/1975 dari 1975/1976 dari 1976/1977 dari 1977/1978 dari 1978/1979 dari
jumJah jum1ah jum1ah jum1ah jumJah
I. Barang konsumsi 659 16,9 519 11,8 831,2 15,3 1.176,40 21,3 1.202,90 19,5
1. Beras 426,8 234,7 408,4 677,7 592,3
2. Tekstil 15,9 13,5 21,6 26,6 23,9
3. SolO, makanan, minuman dan
buah-buahan 77,7 130,7 173,4 238,1 256,1
4. Tembakau dan olahannya 11,6 7,9 13,5 15,3 16
5. Sabun dan kosmetik 7,4 8,6 17,1 19,5 20,5
6. Alat-alat rumah tangga 31,9 27,8 42,5 43,5 56,9
7. Lainnya 87,7 95,8 154,7 155,8 237,2
n. Bahan bakufpenolong 1.816,00 46,5 2.151,10 48,9 2.156,40 39,6 2.185,10 39,6 2.616,10 42,5
1. Bahan kimia 239,9 273,4 332,3 392,5 461,9
2. Bahan obat-obatan 33,8 33 45,4 42,1 48,3
3. Pupuk 305,6 316,5 22,1 31,9 55,2
4. Bahan-bahan kertas 58,9 70,7 109,6 117,2 123,2
5. Benang tenon 229,5 254,2 307,8 322,5 293,3
6. Semen, kapur dan bahan
bangunan buatan pabrik 76,2 61,9 60,4 29,4 23,7
7. Besi baja dan logam 467,8 585,2 587,7 597,4 760,4
8. Bahan-bahan karet dan plastik 99,9 128,9 165,4 175,3 223,5
9. Bahan bangunan 77,4 111 165,7 155,4 115,7
10. Alat-alat listrik 38,4 62,7 97,6 84,2 90,3
11. Lcinnya 188,6 253,6 262,4 237,2 420,6
ill.Barang modal 1.430,40 36,6 1.730,10 39,3 2.453,60 45,1 2.152,90 39,1 2.335,40 38
1. Mesin-mesin 738,7 804,9 1.125,80 944,7 1.113,10
2. Generator listrik 141 167,2 264,2 203,2 187,2
3. Alat telekomunikasi 60,7 122 355,4 200,9 122,5
4. Peralatan listrik 45,3 61,7 131,2 125,3 134,1
5. Alat pengangkutan 415,2 530,4 531,5 615,8 734,6
6. Lainnya 29,5 43,9 45,5 63 43,9
Jumlah 3.905,40 100 4.400,20 100 5.441,20 100 5.514,40 100 6.154,40 100

Berdasarkan PPUD yang diolah Biro Pusat Statistik

5.3.3.Pengeluaran jasa-jasa (netto)


Usaha-usaha meningkatkan penerimaan devisa dan penghematan penggunaan devisa
dalam bidang jasa-jasa terus digalakkan. Berkaitan dengan itu, fasilitas bebas visa selama dua
bulan yang telah diberikan sejak 1 April 1983 kepada wisatawan dari 26 negara, mulai 1
September 1984 juga diberikan kepada para pengusaha dari negara-negara tersebut, bahkan
telah ditambah dua negara lagi sehingga meliputi 28 negara. Demikian pula pembangunan

Departemen Keuangan RI 138


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

industri dan sarana pariwisata dirangsang dengan memberikan keringanan bea masuk dan pajak
penjualan impor atas barang-barang tertentu yang masih dibutuhkan dan belum dihasilkan di
dalam negeri. Sementara itu kebijaksanaan pengiriman tenaga kerja Indonesiake luar negeri
(Timur Tengah) terus digalakkan, dengan harapan dapat menambah penerimaan devisa yang
berasal dari uang kiriman para tenaga kerja ke tanah air (remittance). Pengendalian tata
pelaksanaan pengerahan tenaga kerja dewasa ini mencakup juga penentuan upah terendah, dan
kewajiban mentransfer paling sedikit lima puluh persen penghasilan yang diterima. Selanjutnya
usaha penghematan penggunaan devisa di bidang jasa-jasa dilaksanakan dengan tetap
menerapkan bea fiskal perjalanan luar negeri sebesar Rp 150.000,- bagi setiap orang yang
bepergian ke luar negeri. Pengeluaran devisa untuk jasa-jasa setelah dikurangi dengan
penerimaan devisa dari jasa-jasa, baik minyak dan gas maupun di luar minyak dan gas, dalam
tahun 1984/1985 diperkirakan berjumlah sebesar US $ 7.587 juta. Jumlah ini berarti lebih
rendah sebesar US $ 76 juta hila dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun sebelumnya
yang berjumlah sebesar US $ 7.663 juta. Perkiraan penge1uaran devisa untuk jasa-jasa tersebut
terdiri dari pengeluaran jasa-jasa bukan minyak dan gas sebesar US $ 4.176 juta, yang berarti
lebih tinggi sebesar US $ 102 juta atau 2,5 persen hila dibandingkan dengan realisasi tahun
sebelumnya yang berjumlah sebesar US $ 4.074 juta. Lebih tingginya pengeluaran jasa-jasa
tersebut terutama disebabkan karena meningkatnya pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Di
lain pihak pengeluaran jasa-jasa minyak (termasuk LNG) menunjukkan penurnnan sebesar US$
178 juta atau sebesar 5,0 persen, yaitu dari US $ 3.589 jut3 dalam tahun 1983/1984 menjadi US
$ 3.411 juta dalam tahun 1984/1985.

5.3.4. Lalu lintas modal dan transfer


Dengan semakin meningkatnya kebutuhan pembiayaan dan terbatasnya penerimaan
devisa yang dapat dihimpun, pemasukan modal baik dalam bentuk pemasukan modal
Pemerintah maupun modallainnya tetap diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan
neraca pembayaran, dan kelangsungan pembangunan ekonomi nasional. Namun demikian sikap
berhati-hati dalam meminjam, dan selektif dalam pemilihan proyek-proyek yang dibiayai dari
dana luar negeri tersebut lebih diperhatikan, sehingga penggunaannya dapat meningkatkan
kemampuan pengembangan industri dalam negeri, dan mendorong perluasan lapangan kerja,
serta pacta akhirnya tidak akan menyulitkan posisi neraca pembayaran dimasa yang akan
datang. Sehubungan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, lalu lintas modal, yang
merupakan hasil bersih pemasukan modal Pemerintah dan pemasukan modal lainnya setelah
dikurangi dengan pembayaran angsuran pokok hutang luar negeri, dalam tahun 1984/1985

Departemen Keuangan RI 139


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

diperkirakan berjumlah sebesar US $ 3.191 juta. Jumlah tersebut terdiri dari pemasukan modal
Pemerintah sebesar US $ 4.359 juta, dan pemasukan modallainnya sebesar US $ 341 juta.
Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 1983/1984, masing-masing menurun sebesar US $
1.434 juta atau 24,8 persen, dan sebesar US $ 850 juta atau 71,4 persen. Sedangkan realisasi
pelunasan hutang pokok luar negeri dalam tahun 1984/1985 diperkirakan meningkat dari tahun
sebelumnya sehingga mencapai jumlah sebesar US $ 1.509 juta. Peningkatan terse but adalah
sejalan dengan semakin bertambah besarnya kewajiban penyelesaian hutang dari tahun-tahun
sebelumnya yang telah jatuh tempo.

5.4. Perkiraan neraca pembayaran dalam tahun 1985/1986


Atas dasar perkiraan realisasi dalam tahun 1984/1985, dan dengan memperhitungkan
perkembangan yang diperkirakan akan terjadi baik terhadap ekspor, impor maupun lalu lintas
modal dalam periode berikutnya, neraca pembayaran Indonesia dalam tahun 1985/1986
diperkirakan masih akan mengalami surplus meskipun tidak sebesar dalam tahun 1984/1985.
Keadaan ini diperkirakan terjadi karena di satu pihak realisasi transaksi berjalan diperkirakan
akan mengalami defisit sebesar US $ 3.409 juta, dan di lain pihak lalu lintas modal bersih, baik
yang berasal. dari pemasukan modal Pemerintah maupun pemasukan modal lainnya, setelah
dikurangi angsuran pokok hutang luar negeri, dalam periode tersebut mencapai US $ 3.682 juta.
Dengan demikian neraca pembayaran tahun 1985/1986 diperkirakan surplus sebesar US $ 273
juta.

5.4.1. Perkiraan nilai ekspor bukan minyak dan gas


Kalau dalam tahun 1984/1985 nilai ekspor di luar minyak dan gas realisasinya
diperkirakan mencapai US $ 6.050 juta, maka dalam tahun 1985/1986 nilai ekspornya
diperkirakan mencapai sebesar US $ 7.009 juta, yang berarti meningkat sebesar. US $ 959 juta
atau 15,9 persen. Adapun perkiraan kenaikan nilai ekspor di luar minyak dan gas terse but
didasarkan pacta pertimbangan-pertimbangan :
(1) Mulai pulihnya perekonomian negara-negara industri dari pengaruh resesi, sehingga
harga-harga komoditi di luar minyak dan gas di posaran internasional diharapkan akan
meningkat, disertai dengan meningkatnya permintaan negara-negara tersebut terhadap
komoditi di luar minyak dan gas;
(2) Penanganan ekspor komoditi di luar minyak dan gas secara terpadu dan efisien;
(3) Ditingkatkannya usaha perluasan posar antara lain dengan' mengadakan hubungan
dagang dengan negara-negara Eropa Timur.

Departemen Keuangan RI 140


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

5.4.2. Perkiraan nilai impor bukan minyak dan gas


Pengduaran devisa untuk impor bukan minyak dan gas dalam tahun 1985/1986
diperkirakan akan berjumlah sebesar US $ 13.342 juta. Jumlah ini adalah US $ 1.173 juta atau
9,6 persen lebih besar bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi nilai impor bukan minyak
dan gas dalam tahun 1984/1985 sebesar US $ 12.169 juta. Nilai impor bukan minyak dan gas
tahun 1985/1986 didasarkan atas perkiraan-perkiraan sebagai berikut :
(1) Kebijaksanaan kurs devisa untuk menjaga keseimbangan perdagangan luar negeri masih
tetap dipertahankan.
(2) Keadaan resesi ekonomi dunia yang menunjukkan pemulihan akan mempengarnhi
perekonomian Indonesia khususnya di bidang produksi industri dalam negeri, sehingga
untuk keperluan industri dalam negeri t_rsebut diperlukan impor bahan baku/penolong serta
barang modal yang lebih tinggi.
(3) Pemerintah masih tetap menjaga kestabilan harga barang-barang kebutuhan masyarakat
sehingga terhadap barang yang belum mencukupi atau belum diproduksi di dalam negeri
tetap dilakukan impor.
(4) Pemakaian produksi dalam negeri terus digalakkan.
(5) Impor dalam rangka bantuan proyek dan bantuan program masih tetap diperlukan
sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
(6) Kebijaksanaan penjadwalan kembali (rephasing) yang telah dilaksanakan untuk
proyek proyek tertentu yang banyak menggunakan barang-barang impor masih tetap
dipertahankan.

5.4.3.Perkiraan penerimaan minyak bersih termasuk LNG


Situasi posaran minyak dunia sampai saat ini belum memperlihatkan tanda-tanda
perbaikan seperti yang diharapkan. Situasi yang demikian ini sangat frat hubungannya dengan
proses pemulihan ekonomi yang berjalan lamban, sehingga adanya kelebihan produksi minyak
dunia tidak segera diikuti oleh penambahan permintaannya. Di samping itu harga minyak tunai
(spot) diposaran dunia terus mengalami posang surut bersamaan dengan posang surntnya
pemulihan perekonomian dunia, terntama di negara-negara industri, perubahan musim di
belahan bumi non tropis, serta peleposan/penambahan cadangan (stock) minyak oleh negara-
negara industri. Situasi yang demikian itu telah memaksa OPEC mengambil keputusan untuk
memperbaiki situasi minyak yang ternyata sampai akhir tahun 1984 belum menunjukkan hasil
yang memuaskan. Bahkan sesuai dengan hasil pertemuan OPEC bulan Oktober 1984 telah
diputuskan bahwa kuota produksi diturunkan dari 17,5 juta barrel menjadi 16 juta barrel per

Departemen Keuangan RI 141


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

hari, sedangkan harga patokan minyak mentah masih tetap dipertahankan sebesar US $ 29 per
barrel. Dengan adanya ketentuan kuota produksi minyak tersebut, maka kuota produksi minyak
Indonesia harns diturunkan sebanyak 111.000 barrel per hari selama bulan November dan
Desember 1984. Sementara itu dengan telah diproduksinya beberapa peralatan pengeboran
minyak oleh industri dalam negeri, maka akan mempengaruhi penghematan penggunaan devisa
untuk impor di sektor minyak. Di lain pihak devisa hasil ekspor gas alam yang dicairkan (LNG)
diperkirakan akan mengalami peningkatan dalam tahun 1985/1986. Atas dasar perkiraan
realisasi penerimaan minyak bersih termasuk LNG dalam tahun 1984/1985, serta perkiraan
situasi pasaran minyak dunia yang akan terjadi, maka dalam tahun 1985/1986 penerimaan
minyak bersih (termasuk LNG) diperkirakan berjumlah sebesar US $ 7.299 juta.

5.4.4. Perkiraan pos lainnya


Pengeluaran devisa untuk pembayaran jasa-jasa. dalam tahun 1985/1986 diperkirakan
masih akan lebih besar dari penerimaannya, sehingga sektor jasa masih menunjukkan hasil
bersih yang negatif bagi penerimaan devisa negara. Sehubungan dengan itu, usaba peningkatan
penerimaan devisa, dan penghematan penggunaannya di bidang jasa-jasa akan terus dilakukan
melalui pengembangan sektor kepariwisataan, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri,
pembatasan perjalanan ke luar negeri, pengurangan secara bertahap penggunaan tenaga kerja
asing/konsultan di Indonesia, serta peningkatan peranan armada niaga nasional dalam
pengangkutan barang ekspor dan impor. Dalam tahun 1985/1986 hasil bersih untuk jasa-jasa
diperkirakan berjumlah sebesar US $ 8.102 juta. Selanjutnya pemasukan modal Pemerintah
dalam tahun 1985/1986 diperkirakan akan berjumlah sebesar US $ 4.974 juta, termasuk bantuan
proyek sebesar US $ 4.016 juta. Sedangkan pemasukan modallainnya diperkirakan akan
mencapai sebesar US $ 406 juta. Di lain pihak, pembayaran kembali hutang pokok luar negeri
dalam tahun 1985/1986 diperkirakan sebesar US $ 1.698 juta.

Departemen Keuangan RI 142


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

BAB VI

PENDAPATAN NASIONAL

6.1. Pendahuluan

Sebagai suatu negara yang sedang berkembang, Indonesia sejak tahun 1969 dengan
giat melaksanakan pembangunan nasional secara berencana dan bertahap serta berpegang teguh
pada kebijaksanaan Trilogi Pembangunan. Tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan
kestabilan, pembangunan nasional mengusahakan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, yang pada gilirannya memungkinkan terwujudnya peningkatan tarat hidup dan
kesejahteraan seluruh rakyat. Dalam kurun waktu 14 tahun, yakni sejak tahun 1969 sampai
dengan tahun 1983 pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur melalui produk domestik
bruto atas dasar harga yang berlaku telah berhasil ditingkatkan dengan rata-rata sebesar 26,2
persen per tahun. Sedangkan apabila diukur atas dasar harga konstan tahun 1973, maka dalarn
periode tersebut telah terjadi kenaikan rata-rata sebesar 7,2 persen per tahun. Di samping telah
dicapainya penmgkatan produk domestik bruto dari tahun ke tahun, telah terjadi pula perubahan
struJ<:.tural yang penting; di satu pihak peranan sektor pertanian menurun sedangkan di lain
pihak peranan sektor lainnya seperti sektor industri, sektor perdagangan, lembaga keuangan dan
jasa lainnya, sektor bangunan, serta sektor listrik, gas dan air minum telah semakin meningkat.
Keadaan tersebut merupakan suatu petunjuk terjadinya suatu proses keseimbangan yang lebih
baik dalam struktur ekonomi, yaitu ke arab suatu perekonomian industri yang didukung oleh
sektor pertanian yang tangguh.

6.2. Perkembangan pendapatan nasional menurut lapangan usaha dan kontribusinya

Hasil pembangunan ekonomi antara lain dicerminkan dari pendapatan nasional yang
senantiasa meningkat dalarn kurun waktu 14 tahun terakhir ini, yaitu dari periode tahun 1969
sampai dengan tahun 1983. Berdasarkan harga yang berlaku, pendapatan nasional sebagaimana
tercermin dari perkembangan nilai produk domestik bruto dari tahun 1969 sarnpai dengan tahun
1983 telah menunjukkan jumlah yang semakin besar, yakni dari sebssar Rp 2.718,0 milyar
menjadi sebesar Rp 71.214,7 milyar. Hal ini berarti bahwa selama kurun waktu tersebut, produk
domestik bruto atas dasar harga yang berlaku mengalami kenaikan rata-rata sebesar 26,2 persen
per tahun (Tabel VI.1).

Departemen Keuangan RI 143


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tab e 1 VI. 1
PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1969 - 1983 (dalam milyar rupiah atas dasar harga yang berlaku)
Lapangan usaha 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983
1. Pertanian, kehutanan, perikanan 1.339,00 1.575,00 1.646,00 1.837,00 2.710,00 4.003,40 4.003,40 4.812,00 5.905,70 6.706,00 8.995,70 11.290,30 13.642,50 15.668,30 18.771,50
a. Tanaman bahan makanan 823 962 961 1.071,00 1.573,00 2.096,00 2.554,80 3.043,90 3.659,90 3.991,40 4.892,00 6.357,60 8.101,80 9.961,00 12.380,90
b. Lainnya 516 613 685 766 1.137,00 1.401,00 1.448,60 1.768,10 2.245,80 2.714,60 4.103,7' 4.932,70 5.540,70 5.707,30 6.390,60
2. Pertambangan & penggalian 129 173 294 491 831 2.374,00 2.484,80 2.930,00 3.599,70 4.357,60 6.979,80 11.672,50 12.970,60 1l.707,8 13.823,60
3. industri pengolahan 251 293 307 448 650 890 1.123,70 1.453,30 1.816,90 2.420,40 3.310,60 5.287,90 5.821,70 7.680,70 8.918,00
4. Listrik, gas, dan air minum 13 15 18 20 30,4 52 69,8 98,1 105,6 118,3 148,8 225,1 288,2 380,3 305,2
5. Bangunan 75 100 128 174 262 406 589,6 812,6 1.023,30 1.242,10 1.789,70 2.523,80 3.117,80 3.507,20 4.433,70
6. Pengangkutan dan komunikasi 77 96 162 182 257 442 521,1 662,6 842,9 1.031,60 1.421,50 1.965,30 2.353,20 2.795,20 3.325,00
7. Perdagangan, lembaga keuangan
dan jasa lainnya 834 986 1.117,00 1.412,00 2.013,00 3.047,00 3.850,00 4.698,10 5.738,90 6.870,00 9.379,30 12.480,80 15.833,00 17.893,10 21.437,70

Dalam periode yang sama, produk domestik bruto yang dihitung atas dasar harga
konstan tahun 1973, juga mengalami peningkatan dari sebesar Rp 4.820,5 milyar menjadi Rp
12.842,2 milyar, atau naik rata-rata sebesar 7,2 persen per tahun. Dengan demikian apabila
perkembangan tersebut dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk yang diperkirakan sekitar
2,2 persen per tahun, maka terlihat bahwa upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
selama kurun waktu memperihatkan hasil yang nyata. Produk domestik bruto sebesar Rp
12.842,2 milyar tersebut terbentuk dari nilai tambah bruto di semua sektor, antara lain sektor
pertanian sebesar Rp 3.845,6 milyar, sektor industri pengolahan sebesar Rp 1.942,5 milyar serta
sektor perdagangan, lembaga keuangan dan jasa lainnya sebesar Rp 4.427,8 milyar.
Perkembangan secara lebih terperinci dapat diikuti pada Tabel VI.2.
Tabel VI.2
PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1969 -1983 (dalam milyar rupiah, atas dasar harga konstan tahun 1973)

Lapangan usaha 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983

1. Pertanian, kehutanan, perikanan 2.263,00 2.356,00 2.441,00 2.479,00 2.710,00 2.811,00 2.811,20 2.943,70 2.981,30 3.134,80 3.255,60 3.424,90 3.593,50 3.669,80 3.845,60
a. Tanaman bahan makanan 1.373,00 1.402,00 1.436,00 1.415,00 1.573,00 1.681,00 1.696,10 1.755,50 1.734,20 1.835,80 1.908,80 2.073,40 2.261,20 2.294,40 2.412,30
b. Lainnya 890 954 1.005,00 1.064,00 1.137,00 1.1 30,0 1.115,10 1.1 88,2 1.247,10 1.299,00 1.346,80 1.351,50 1.332,30 1.375,40 1.433,30
2. Pertambangan & penggalian 452 522 551 674 831 859 828,1 952,3 1.070,00 1.048,80 1.046,90 1.034,60 1.069,10 939,8 956,5
3. Industri pengolahan 399 435 490 564 650 755 847,9 930 1.057,70 1.235,60 1.395,30 1.704,60 1.877,80 1.900,70 1.942,50
4. Listrik, gas, don al£ minum 19,6 22,5 24,7 26,2 30,4 37 41,2 46,3 49 56,9 68,6 77,9 89,9 105,5 112,8
5. Bangunan 114 143 171 222 262 320 364,8 384,5 463,8 528,9 562,8 639,3 720,2 757,8 804,5
6. Pengangkutan don komunikasi 158 165 210 229 257 288 302,7 342,6 438,7 514,2 559,8 609,4 676,9 716,6 752,5
7. Perdagangan, 1embaga keuangan danjasa lainnya 1.414,90 1.538,50 1.657,00 1.873,00 2.013,00 2.199,00 2.434,90 2.556,90 2.821,50 3.047,30 3.275,90 3.678,50 4.027,20 4.235,20 4.427,80

Jumlah 4.820,50 5.182,00 5.544,70 6.067,20 6.753,40 7.269,00 7.630,80 8.156,30 8.882,00 9.566,50 10.164,90 11.169,20 12.054,60 12.325,40 12842,2

Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah dalam tahun 1982 yakni
sebesar 2,2 persen, maka ekonomi mulai membaik dan dalam tahun 1983 telah mencapai
sebesar 4,2 persen, suatu pertumbuhan yang dimungkinkan di samping oleh kebijaksanaan
Pemerintah dan upaya masyarakat, juga karena adanya kebangkitan kembali ekonomi dunia.
Dengan demikian selama Pelita III telah terjadi peningkatan rata-rata sebesar 6 persen per
tahun. Sebagaimana terlihat pada Tabel VI.3, laju pertumbuhan produk domestik bruto sebesar
7,2 persen selama kurun waktu 14 tahun tersebut terutama didukung oleh sektor bangunan yang
mempunyai tingkat pertumbuhan paling tinggi yaitu rata-rata sebesar 14,9 persen per tahun.

Departemen Keuangan RI 144


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VI.3
PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1970.1983
( persentase kenaikan )
Rata-rata 3)
Lapangan ulaha 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1) 1983 2) 1970 - 1973
( Atas dasar harga yang berlaku )
1. Pertanian, kehutanan, perikanan 17,6 4,5 11,6 47,5 29 14,5 20,2 22,7 13,6 34,1 25,5 20,8 14,8 19,8 20,7
2. Pertambangan & penggalian 34,1 69,9 67 69,2 185,7 4,7 17,9 22,9 21,1 60,2 67,2 11,1 -9,7 18,1 39,6
3. lndustri pengolahan 16,7 4,8 45,9 45,1 36,9 26,3 29,3 25 33,2 36,8 59,7 10,1 31,9 16,1 29
4. Listrik, gas daft air minum 15,4 20 11,1 52 71,1 34,2 40,5 7,6 12 12 51,3 28 32 32,8 29,8
5. Bangunan 33,3 28 35,9 50,6 55 45,2 37,8 25,9 21,4 48,4 41 23,5 12,5 26,4 33,8
6. Pengangkutan daft komunikasi 24,7 68,8 12,3 41,2 72 17,9 27,1 27,2 22,4 37,8 38,3 19,7 18,8 19 30,8
7. Perdagangan, 1embaga keuangan
dan jasa 1ainnya 18,2 13,3 26,4 42,6 51,4 26,4 22 22,2 19,7 36,5 33,1 26,9 13 19,8 26,1
Produk Domesdk Bruto 19,1 13,4 24,3 48 58,6 18,1 22,3 23,1 19,5 40,8 41,9 18,9 10,4 19,4 26,2
( Atas dasar harga konstan 1973 )
1. Pertanian, kehutanan, perikanan 4,1 3,6 1,6 9,3 3,7 0,01 4,7 1,3 5,2 3,9 5,2 4,9 2,1 4,8 3,8
2. Pertambangan & penggalian 15,5 5,6 22,3 23,3 3,4 - 3,6 15 12,4 - 2,0 -1,4 3,3 -12,1 1,8 5,5
3. lndustri pengolahan 9 12,6 15,1 15,2 16,2 12,3 9,7 13,7 16,8 12,9 22,2 10,2 1,2 2,2 11,9
4. Listrik, gas daft air minum 14,8 9,8 6,1 16 21,7 11,4 12,4 5,8 16,1 20,6 13,6 15,4 17,4 6,9 13,3
5. Bangunan 25,4 19,6 29,8 18 22,1 14 5,4 20,6 14 6,4 13,6 12,7 5,2 6,2 14,9
6. Pengangkutan dan komunikasi 4,4 27,3 9 12,2 12,1 5,1 13,2 28,1 17,2 8,9 8,9 11,1 5,9 5 11,7
7. Perdagangan, 1embaga keuangan
dan jasa lainnya 8,7 7,7 13 7,5 9,2 10,7 5 10,3 8 7,5 12,3 9,5 5,2 4,5 8,4
Produk Domestik Bruto 7,5 7 9,4 11,3 7,6 5 6,9 8,9 7,7 6,3 9,9 7,9 2,2 4,2 7,2
1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara 3) Dihitung dengan compound rate

Hal tersebut sejalan dengan makin meningkatnya kegiatan pembangunan di berbagai


bidang seperti perumahan, jalan, jembatan dan irigasi. Di samping itu sektor listrik, gas dan air
minum, sektor industri pengolahan serta sektor pengangkutan dan komunikasi juga cukup besar
peranannya, yakni masing-masing dengan kenaikan rata-rata sebesar 13,3 persen, 11,9 persen
dan 11,7 persen per tahun. Di samping itu sektor perdagangan, lembaga keuangan dan jasa
lainnya serta sektor pertambangan dan penggalian masing-masing mengalami kenaikan rata-
rata sebesar 8,4 persen dan 5,5 persen per tahun. Sementara itu walaupun laju pertumbuhan
sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya, yaitu meningkat rata-
rata sebesar 3,8 persen per tahun, namun sumbangannya terhadap pembentukan produk
domestik bruto masih tetap besar. Dari perbedaan laju pertumbuhan antarsektor tersebut dapat
dilihat bahwa telah terjadi proses perubahan di dalam komposisi produk domestik bruto, yaitu
ke arab struktur ekonomi yang lebih seimbang dengan sektor industri yang maju dan didukung
oleh sektor pertanian yang tangguh. Hal ini pada gilirannya diharapkan dapat mengacu kepada
perimbangan yang serasi dan sesuai dengan sasaran pembangunan ekonomi jangka panjang.
Seperti terlihat pada Tabel VI.4, peranan sektor pertanian dalam tahun 1969 tampak menonjol,
yaitu sebesar 46,9 persen dari seluruh nilai produk domestik bruto. Namun peranan tersebut
berangsur-angsur menurun menjadi sebesar 29,9 persen dalam jangka waktu 14 tahun
kemudian. Di lain pihak, peranan sektor-sektor lainnya di luar sektor pertanian pada umumnya
menunjukkan tendensi yang semakin meningkat, seperti halnya sektor industri pengolahan,
sektor bangunan serta sektor pengangkutan dan komunikasi, yang masing-masing meningkat
dari sebesar 8,3 persen, 2,4 persen dan 3,3 persen dalam tahun 1969 menjadi sebesar 15,1
persen, 6,3 persen dan 5,8 persen dalam tahun 1983. Di samping itusektor perdagangan,
lembaga keuangan dan jasa lainnya juga meningkat yaitu dari sebesar 29,3 persen dalam tahun
1969 menjadi sebesar 34,5 persen dalam tahun 1983.

Departemen Keuangan RI 145


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

TabeI VI. 4
PERANAN MASING-MASING LAPANGAN USAHA DALAM PROD UK DOMESTIK BRUTO, 1969 - 1983 ( persentase )
Lapangan usaha 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1) 1983 2)

(Atas dasar harga yang berlaku)


1. Pertanian, kehutanan, perikanan 49,3 48,6 44,8 40,3 40,1 32,7 31,7 31,1 31 29,5 28,1 24,8 25,3 26,3 26,4
2. Pertambangan & penggalian 4,7 5,3 8 10,8 12,3 22,2 19,7 18,9 18,9 19,2 21,8 25,7 24 19,6 19,4
3. Industri pengolahan 9,2 9 8,4 9,8 9,6 8,3 8,9 9,4 9,5 10,6 10,3 11-Jun 10,8 12,9 12,5
4. Listrik, gas dan air milIum 0,5 0,5 0,5 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7
5. Bangunan 2,8 3,1 3,5 3,8 3,9 3,8 4,7 5,3 5,4 5,5 5,6 5,6 5,8 5,9 6,2
6. Pengangkutan dan komunikasi 2,8 3 4,4 4 3,8 4,1 4,1 4,3 4,4 4,5 4,4 4,3 4,4 4,7 4,7
7. Perdagangan, lembaga keuangan dan jasa lainnya 30,7 30,5 30,4 30,9 29,8 28,4 30,4 30,4 30,2 30,2 29,3 27,5 29,2 30 30,1
Produk Domestik Bruto 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
(Atas dasar harga konstan 1973)
1. Pertanian, kehutanan, perikanan 46,9 45,5 44 40,8 40,1 38,7 36,8 36,1 33,6 32,8 32 30,7 29,8 29,8 29,9
2. Pertambangan & penggalian 9,4 10,1 9,9 11,1 12,3 11,8 10,9 11,7 12 11 10,3 9,3 8,9 7,6 7,4
3. lndustri pengolahan 8,3 8,4 8,8 9,3 9,6 10,4 11,1 11,4 11,9 12,9 13,7 15,3 15,6 15,4 15,1
4. Listrik, gas dan air milIum 0,4 0,4 0,5 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,9 0,9
5. Bangunan 2,4 2,7 3,1 3,7 3,9 4,4 4,8 4,7 5,2 5,5 5,6 5,7 6 6,1 6,3
6. Pengangkutan dan komunikasi 3,3 3,2 3,8 3,8 3,8 4 4 4,2 4,9 5,4 5,5 5,4 5,6 5,8 5,9
7. Perdagangan, lembaga keuangan dan jasa lainnya 29,3 29,7 29,9 30,9 29,8 30,2 31,9 31,3 31,8 31,8 32,2 32,9 33,4 34,4 34,5
Produk Domestik Bruto 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara

6.3. Perkembangan pendapatan nasional menurut jenis penggunaan

Perkembangan ekonomi nasional sarnpai dengan tahun 1983 selain ditunjukkan oleh
kenaikan per sektor, dapat pula dilihat dari perkembangan masing-masing komponen
penggunaannya seperti terlihat pada Tabel VI.5 dan Tabel VI.6. Meningkatnya produk
domestik bruto, alas dasar harga konstan tahun 1973, dari tahun 1969 sampai dengan tahun
1983 dengan rata-rata sebesar 7,2 persen per tahun, terutama disebabkan oleh meningkatnya
pembentukan modal domestik bruto yaitu dari sebesar Rp 537,8 milyar dalam tahun 1969
menjadi sebesar Rp 3.921,2 milyar dalam tahun 1983, alan suatu kenaikan sebesar rata-rata
15,2 persen per tahun dalarn periode tersebut.

Hal ini berarti bahwa kenaikan riil sebesar 7,2 persen per tahun selama 14 tahun tersebut
terutarna berasal dari semakin tingginya kegiatan investasi, baik yang dilakukan oleh
Pemerintah maupun oleh swasta. Selanjutnya di samping meningkatnya pembentukan modal
domestik bruto, dalam periode yang sarna pengeluaran konsumsi pemerintah dan pengeluaran
konsumsi rumah tangga juga telah menunjukkan peningkatan, yaitu masing-masing dari sebesar
Rp 414,0 milyar dan Rp 3.791,5 milyar dalam tahun 1969 menjadi sebesar Rp 1.758,9 milyar
dan Rp 11.501,1 milyar dalam tahun 1983, alan suatu kenaikan rata-rata sebesar 10,9 persen
dan 8,2 persen per tahun. Terlihat bahwa peranan masing-masing jenis penggunaan produk
domestik bruto dalarn periode tahun 1969 sarnpai dengan tahun 1983 telah menunjukkan
perubahan dalam komposisi penggunaannya. Apabila dalam tahun 1969 peranan pembentukan
modal domestik bruto atas dasar harga yang berlaku terhadap produk domestik bruto baru
mencapai sebesar 11,7 persen, maka dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi 24,1 persen.
Jika dihitung alas dasar harga konstan tahun 1973, pembentukan modal domestik bruto tetap
menunjukkan kenaikan yaitu dari sebesar 11,2 persen dalam tahun 1969 menjadi 30,5 persen

Departemen Keuangan RI 146


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dalam tahun 1983. Demikian pula halnya untuk konsumsi pemerintah, baik alas dasar harga
yang berlaku maupun atas dasar harga konstan tahun 1973 dalam periode yang sarna,
peran:annya narnpak semakin meningkat, yaitu dari masing-masing sebesar 7,3 persen menjadi
sebesar 10,9 persen jika dihitung alas dasar harga yang berlaku, dan dari sebesar 8,6 persen
menjadi sebesar 13,7 persen jika dihitung alas dasar harga konstan tahun 1973. Di lain pihak
peranan konsumsi rumah tangga mengalarni penurunan yaitu dari sebesar 84,5 persen dalam
tahun 1969 menjadi sebesar 69,1 persen dalam tahun 1983 bila dihitung atas dasar harga yang
berlaku, walaupun alas dasar harga konstan tahun 1973 peranannya menunjukkan peningkatan
dari sebesar 78,6 persen dalarn tahun 1969 menjadi sebesar 89,5 persen dalam tahun 1983.

Dalam pada itu ekspor netto juga mengalmi perubahan, yaitu apabila dihitung atas dasar
harga yang berlaku telah menurun dari negatif 3,5 persen dalam tahun 1969 menjadi negatif 4,1
persen dalam tahun 1983, sedangkan atas dasar harga konstan tahun 1973 menunjukkan suatu
penurunan dari positif 1,6 persen dalam tahun 1969 menjadi negatif 33,8 persen dalam tahun
1983.

Tabel VI.5
PENGGUNAAN PRODUK DOMESTIK BRUTO, 1969 -19
( daiam milyar rupiah atas dasar harga yang beriaku )
Jenis penggunaan 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1) 1983 2)
1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga 3) 2.297,80 2.578,70 2.847,70 3.308,70 4.804,10 7.343,80 8.731,50 10.572,30 12.481,00 15.184,50 19.513,70 27.502,90 35.560,00 41.670,30 49.231,00
2. Pengeluaran konsumsi pemerintah 199 293 341 414 716 84-1,0 1.253,70 !.590, 2.077,30 2.658,90 3.733,40 4.688,20 5.787,90 6.831,70 7.791,30
3. Pembentukan modal domestik bruto 317 455 580 857 1.208,00 1.797,00 2.511,70 3.204,90 3.826,40 4.670,70 6.704,30 9.485,20 1l.553,4 13.467,10 17.187,90
4. Ekspor barang daD jasa 328,4 434 526,8 762,4 1.356,10 3.044,50 2.897,20 3.621,30 4.512,80 4.973,90 9.628,70 13.849,20 14.927,90 13.345,20 17.732,90
5". Dikurangi: Impor barons don jasa 424 522,7 623,5 778,1 1.330,80 2.318,30 2.811,60 3.522,30 3.864,50 4.742,00 7.554,70 10.079,80 13.802,20 15.681,70 20.728,20
6. Produk domestik bruto 2.118,00 3.238,00 3.672,00 4.564,00 6.753,40 10.708,00 12.642,50 15.466,70 19.033,00 22.746,00 32.025,40 45.445,70 54.027,00 59.632,60 71.214,70
7. Pendapatan netto terhadap luar negeri dari faktor produksi - 34,9 - 48,5 - 67,9 -144,2 -254,4 -498,6 -556,8 -482,5 -677,8 -866,7 -1.484,40 -2.010,70 -1.924,90 -1.957,50 -3.035,90
8. Produk nasional bruto 2.683,10 3.189,50 3.604,10 4.419,80 6.508,10 10.209,40 12.085,70 14.984,20 18.355,20 21.879,30 30.541,00 43.435,00 52.102,10 57.675,10 68.178,80
9. Dikurangi: Pajak tak langsung nella 135 188 229 236 328 447 519,2 690,5 845,6 1.028,90 1.304,80 1.634,60 1.752,20 2.132,50 2.280,60
10. Dikurangi: Penyusutan 176 219 238,7 296,7 439 696 821 1.006,30 1.235,70 1.482,80 2.089,40 2.962,10 3.511,80 3.876,10 4.629,00
11. Produk nasional netto alas dasar biaya faktor produksi 2.372,10 2.782,50 3.136,40 3.887,10 5.741,10 9.066,40 10.745,80 13.287,40 16.273,90 19.367,60 27.146,80 38.838,30 46.838,10 51,666,5 61.269,20
1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara 3) Residual

Tab e I VI. 6
( dalam milyar rupiah atas dasar harga konstan tahun 1973 )

Jenis penggunaan 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1) 1983 2)

1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga 3) 3.791,50 3.904,60 4.088,00 4.323,50 4.804,10 5.502,10 5.699,20 6.153,50 6.399,60 6.879,50 7.865,80 8.867,70 10.349,50 10.697,50 11.501,10
2. Pengeluaran konswnsi pemerintah 414 483,9 518,3 560,9 716 641 835,5 896,7 1.044,40 1.228,20 1.345,00 1.489,60 1.641,00 1.776,10 1.758,90
3. Pembentukan modal domestik bruto 537,8 715,3 866,9 1.032,00 1.208,00 1.440,00 1.650,20 1.749,20 2.027,50 2.332,90 2.436,00 2.896,00 3.218,50 3.636,70 3.921,20
4. Ekspor barang dan jasa 746 834 942,7 1.143,40 1.356,10 1.445,00 1.410,10 1.650,20 1.805,80 1.824,30 1.822,00 1.719,30 1.678,20 1.444,30 1.535,00
5. Dikurangi: Impor barang dan jasa 668,8 755,8 871,2 992,6 1.330,80 1.759,10 1.964,20 2.293,30 2.395,30 2.698,40 3.303,90 3.803,40 4.832,60 5.229,20 5.874,00
6. Produk domestik bruto 4.820,50 5.182,00 5.544,70 6.067,20 6.753,40 7.269,00 7.630,80 8.156,30 8.882,00 9.566,50 10.164,90 11.169,20 12.054,60 12.325,40 12.842,20
7. Pendapatan netto terhadap luar negeri dari faktor produksi - 55,0 - 70,2 - 94,8 -183,9 -245,4 -378,3 -389 -314,1 -420,1 -493,2 -649,2 -758,7 -673,7 -652,7 -835,1
8. Produk nasional bruto 4.765,50 5.111,80 5.449,90 5.883,30 6.508,00 6.890,70 7.241,80 7.842,20 8.461,90 9.073,30 9.515,70 10.410,50 11.380,90 11.672,70 12.007,10
9. Dikurangi: Pajak tak langsung netto 234,1 251,7 271,9 294,5 328 351,7 370,6 399,1 430,8 466,2 495,7 544,3 587,4 600,6 625,8
10. Dikurangi: Penyusutan 313,3 336,8 360,3 394,2 439 472,5 496 530,8 576,6 624 663,5 728,5 786,2 803,9 837,6
11. Produk nasional netto atas dasar biaya faktor produksi 4.218,10 4.523,30 4.817,70 5.194,60 5.741,00 6.066,50 6.375,20 6.912,30 7.454,50 7.983,10 8.356,50 9.137,70 10.007,30 10.268,20 10.534,70
1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara 3) Residual

Departemen Keuangan RI 147


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

BAB VII

PERKEMBANGAN USAHA DAN

HASIL-HASIL PEMBANGUNAN EKONOMI

7.1. Pendahuluan

Sampai dengan tahun pertama Repelita IV, berbagai kegiatan pembangunan yang telah
dilaksanakan Pemerintah bersama-sama seluruh rakyat Indonesia telah mencapai hasil-hasil
yang positif. Hal itu tercermin pada peningkatan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan
seluruh rakyat, yang pada gilirannya menjadi kerangka landasan yang kokoh untuk melanjutkan
pembangunan dalam masa-masa mendatang. Oleh karena itu dalam Repelita IV akan terus
dilakukan pembangunan ekonomi yang berlandaskan Trilogi Pembangunan, yang pelaksanaan
operasionalnya senantiasa disusun dalam kerangka kebijaksanaan ekonomi secara terpadu.
Sehubungan dengan hal itu akan terus dilakukan upaya-upaya peningkatan hasil produksi
barang dan jasa di berbagai bidang meliputi penanaman modal, pembinaan dunia usaha,
pertanian, kehutanan, pertambangan dan energi, industri, perhubungan, telekomunikasi, pos dan
pariwisata, pekerjaan umum, serta kependudukan dan transmigrasi. Adapun hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai selama ini dapat diikuti melalui uraian daripada masing-
masing bidang di bawah ini.

7.2. Penanaman modal

Strategi dasar pembangunan nasional diarahkan pada pemanfaatan sebesar-besarnya dari


seluruh potensi yang ada untuk tercapainya tujuan pembangunan. Dalam hal ini, sesuai dengan
arab dan sasaran Repelita IV, peranan swasta dan kopeiasi akan lebih ditingkatkan guna
mencapai tingkat pertumbuhan seperti yang direncanakan. Oleh karena itu pengerahan dana
daTi sektor swasta, baik nasional maupun asing dalam penanaman modal terus digairahkan
melalui penciptaan prasarana dan sarana yang memungkinkan kegiatan pembangunan ekonomi
dapat bergerak ke arab yang direncanakan. Berkenaan dengan arab dan tujuan pengembangan
penanaman modal yang sesuai dengan strategi pokok pembangunan, kegiatan penanaman
modal baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA)
antara lain diarahkan untuk meningkatkan dan memperluas kapositas produksi nasional,
menciptakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan penerimaan devisa

Departemen Keuangan RI 148


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

serta mengusahakan perluasan kesempatan kerja.

Dari segi pemerataan pembangunan, telah ditempuh berbagai kebijaksanaan untuk


menyebar proyek-proyek ke seluruh wilayah Indonesia sejauh faktor-faktor ekonomis masih
memungkinkan. Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka kebijaksanaan tersebut adalah
mendekatkan lokasi proyek dengan bahan baku. Di samping itu juga telah dilaksanakan
kebijaksanaan yang mendukung adanya kerjasama antara proyek penanaman modal, baik asing
maupun dalam negeri dengan para pengusaha, koperasi ataupun para petani setempat, baik
dalam rangka partisiposi permodalan, sub-kontrak, maupun penampungan hasil-hasil usahanya.
Dalam hal ini masyarakat umum telah diberikan kesempatan yang luas untuk berperanserta
dalam perusahaan-perusahaan baik PMDN maupun PMA dengan memiliki saham dari
perusahaan-perusahaan yang telah memasyarakatkan sahamnya. Penanaman modal juga
diarahkan untuk meningkatkan penerimaan devisa antara lain dapat terlihat dalam
perkembangan sektor perkayuan terutama kayu olahan, industri tekstil dan pakaian jadi sebagai
komoditi ekspor. Di samping itu telah banyak pula diusahakan produk lain yang berorientasi
pada ekspor seperti udang, kodak, ikan tuna, dan ikan cakalang dari sektor perikanan, serta
coklat, teh, kepi, karel, ubi kayu dan kelapa sawit dari sektor perkebunan. Sejalan dengan itu
sektor-sektor lain seperti industri makanan telah pula diarahkan pada ekspor.

Dalam rangka perencanaan dan sebagai pedoman bagi penanaman modal telah
diterbitkan daftar skala prioritas (DSP) yang penyusunannya dikaitkan dengan programprogram
yang direncanakan. DSP menggambarkan suatu rencana penanaman modal yang terpadu,
dengan sasaran pokok tercapainya peningkatan pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan
berusaha serta pemerataan pembangunan di daerah-daerah dalam rangka pemanfaatan sumber
kekayaan alam. Pada dasarnya kesempatan penanaman modal diberikan lebih banyak kepada
swasta nasional dengan peran yang lebih besar kepada koperasi dan golongan ekonomi lemah,
sedangkan swasta asing diarahkan kepada usaha patungan yang memerlukan modal besar,
teknologi tinggi dan belum dapat diusahakan oleh swasta nasional. Sementara itu dalam rangka
pengembangan dan pembinaan proyek prioritas sesuai dengan sasaran dalam Repelita IV,
investasi di bidang industri logam dan mesin telah digalakkan secara khusus. Investasi yang
telah disetujui di bidang tersebut antara lain meliputi bidang usaha pembuatan mesin
automotive dan non-automotive, pembuatan komponen automotive, pengilangan baja (cold
rolling mill) dan sebagainya. Untuk proyekproyek penting tersebut disusun suatu ketentuan
teknis berupa kerangka acuan yang mengikat para investor dalam pelaksanaan proyek. Adapun
guna meningkatkan pelayanan kepada investor telah pula dikembangkan berbagai pra-studi

Departemen Keuangan RI 149


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kelayakan, dan penyiapan informasi proyek yang lebih sempurna, sehingga proyek-proyek
dapat dipromosikan secara lebih konkrit. Dalam hubungan ini kegiatan promosi penanaman
modal ditempuh melalui pendekatan yang optimal kepada para investor dengan cara promosi
investasi langsung, serta dengan cara membantu mempertemukan berbagai unsur masyarakat
yang ikut serta dalam bidang penanaman modal, baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu
telah dibuka 3 perwakilan BKPM di luar negeri, yakni di New York, Paris dan Frankfurt,
sebagai sarana memperlancar pemberian informasi penanaman modal ke negara-negara di
Amerika Serikat dan Eropa. Demikian pula telah diadakan kerjasama dengan berbagai pihak,
yang antara lain bertujuan mengidentifikasi proyek-proyek yang diperkirakan akan menarik
minat para calon investor, dan selanjutnya mempertemukan para peminat tersebut dalam suatu
temu-usaha ke arab kerjasama yang lebih konkrit.

7.2.1. Penanaman modal dalam negeri

Investasi melalui PMDN yang telah mendapat persetujuan Pemerintah sampai dengan
bulan Agustus 1984 adalah sebanyak 4.248 proyek, dengan nilai rencana investasi sebesar
Rp20.632,4 milyar. Jumlah tersebut termasuk proyek yang mengadakan perluasan/penambahan
modal, serta proyek-proyek yang beralih status dari PMA menjadi PMDN, tetapi tidak termasuk
proyek yang mengundurkan diri atau dibatalkan. Dari jumlah yang telah disetujuai tersebut
sampai dengan bulan Maret 1984 telah direalisasikan sebesar Rp 6.037,7 milyar atau 29,3
persen dari rencana investasi sampai dengan bulan Agustus 1984. Sektor industri sebagaimana
dalam tahun-tahun sebelumnya masih tetap merupakan sektor yang paling banyak menarik
minat para investor dengan nilai rencana investasi sebesar Rp 13.540,9 milyar, meliputi
sebanyak 2.948 proyek. Sedangkan realisasinya sampai dengan bulan Maret 1984 mencapai
Rp4.078,4 milyar atau 30,1 persen dari nilai rencana investasi sampai dengan bulan Agustus
1984. Kegiatan di sektor-sektor lain yang juga cukup menonjol adalah sektor
pertanian/peternakan dengan nilai rencana investasi sebesar Rp 1.645,5 milyar dengan 215
proyek, sektor kehutanan dengan nilai rencana investasi sebesar Rp 1.564,9 milyar dengan 502
proyek, serta sektor pertambangan dengan nilai rencana investasi sebesar Rp 1.178,3 milyar
dengan 54 proyek (Tabel VII.1).

Adapun mengenai lokasi, sampai saat ini pulau Jawa masih tetap merupakan daerah
yang paling banyak menyerap proyek-proyek PMDN sebagai lokasi usahanya. Sampai dengan
bulan Agustus 1984, dari sebanyak 4.259 proyek PMDN, 2.766 proyek (64,9 persen) di
antaranya berlokasi di pulau Jawa dengan nilai rencana investasi sebesar Rp 13.270,2 milyar,

Departemen Keuangan RI 150


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

atau 64,3 persen dari seluruh rencananya. Perkembangan proyekproyek PMDN yang telah
disetujui Pemerintah menurut lokasi usaha dapat diikuti pada Tabel VII. 2.
Tab e I VII. 1
PROYEK-PROYEK PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI YANG TELAH DlSETUJUI PEMERINTAH
MENURUT BIDANG USAHA, 1968 - 1984/1985 1)
1968 - 1982/1983 1983/1984 1984/1985 1968 - Realisasi 3)
Bidang Usaha Jum1ah Modal Jumlah Modal Jum1ah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal ( Rp juta )
Proyek (Rp juta) Proyek (Rp juta) Proyek (Rp juta) Proyek (Rp juta) Proyek (Rp juta)
1. Pertanian IPeternakan 167 580.375 13 445.732 31 460.211 4 159.148 215 1.645.466 693.413
2. Perikanan 33 48.161 - 15.147 16 208.387 2 4.383 51 276.078 33.746
3. Kehutanan 481 1.175.304 6 147.252 13 214.815 2 27.491 502 1.564.862 491.913
4. Pertarnbangan 27 145.106 8 892.317 18 139.027 1 1.800 54 1.178.250 234.289
5. Perindutrian 2.623 6.257.774 124 1.811.980 173 4.949.220 28 521.905 2.948 13.540.879 4.078.358
6. Perhubungan/Pariwisata 275 404.656 21 144.800 27 322.788 6 198.941 329 1.071.181 232.499
7. Perumahan/perkantoran 44 197.662 11 81.673 15 206.699 5 44.229 75 530.263 87.901
8. Prasarana 9 21.777 - - 16 196.385 1 31.099 26 249.261 65.262
9. Usaha-usaha lainnya 29 49.857 9 54.428 6 38.743 3 14.579 47 157.607 120.309
10. Tenaga listrik 1 418.585 - - - - - - 1 418.585
Jumlah 3.689 9.299.257 192 3.593.329 315 6.736.275 52 1.003.575 4.248 20.632.432 6.037.690
1) Sampai dengan bulan Agustus 1984
2) Jumlah proyek dan investasi berasal dari proyek baru, perluasan.perubahan, alih status dan yang dibatalkan/mengundurkan diri
3) Sampai dengan bulan Maret 1984.

Tabel VII.2
PROYEK-PROYEK PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI YANG TELAH DISETUJUI PEMERINTAH
MENURUT LOKASI USAHA, 1968 - 1984/1985 1)
Lokasi usaha 1968 - 1981/1982 1982/1983 1983/19842) 1984/1985 1) 1968 - 1984/1985' Realisasi 3)
Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal ( Rp juta)
proyek (Rpjuta) proyek (Rpjuta) proyek (Rp juta) proyek (Rp juta) proyek (Rpjuta)
1. DK1Jaya 781 1.350.692 18 296.068 36 885.908 3 730.512 838 2.863.180 718.260
2. Jawa Barat 829 3.179.665 43 655.098 97 1.846.847 16 154.990 985 5.836.600 1.492.651
3. Jawa Tengah 316 362.622 17 151.1 00 29 1.347.807 6 118.634 368 1.980.163 345.993
4. D1 Yogyakarta 54 49.922 3.792 4 26.541 58 80.255 47.959
5. Jawa Timur 446 952.802 29 594.736 35 869.626 7 92.790 517 2.509.954 692.733
6. D1 Aeeh 38 82.149 3 14.746 6 303.944 1 11.152 48 411.991 49.236
7. Sumatera Vtara 202 343.776 6 88.950 15 336.719 63.153 223 769.445 412.523
8. Sumalera Barat 52 168.053 7 53.099 7 33.434 1 8.899 67 263.435 92.709
9. Ri au 82 234.042 6 464.809 11 79.728 3 73.996 102 852.575 122.362
10. Jam b i 46 59.868 4 21.042 3 27.035 - 6.202 53 114.147 118.394
11. Sumatera Selatan 68 307.828 7 466.995 3 79.663 - 716 78 855.202 314.968
12. Bengkulu 14 18.512 1 5.679 3 48.814 1 8.795 19 81.800 8.274
13. Lampung 63 161.891 1 65.988 10 121.645 5 43.517 79 393.041 93.008
14. Kalimantan Barat 95" 128.919 9 144.124 10 141.395 - 19.017 114 433.455 420.334
15. Kalimantan Timur 196 854.026 13 159.471 11 159.212 3 31.087 223 1.203.796 481.666
16. Kalimantan Tengah 104 157.715 3 32.435 4 40.077 1 1.800 112 232.027 123.953
17. Kalimantan Selatan 60 180.342 6 22.742 - 10.119 66 213.203 93.622
18. Sulawesi Vtara 27 40.984 1 5.090 9 145.585 1 2.673 38 194.332 20.273
19. Sulawesi Tenggara 8 46.296 2 6.947 4 23.684 1 1.190 15 78.117 8.337
20. Sulawesi Tengah 24 67.623 4.263 2 43.791 - -2.352 26 113.325 46.752
21. Sulawesi Selatan 77 112.797 10 218.460 4 34.101 3 44.347 94 409.705 89.831
22. M a I u k u 45 113.923 6 85.346 6 48.024 3.370 57 250.663 107.994
23. B a Ii 31 70.320 254 5 78.303 4 11.590 40 160.467 31.326
24. Nusa Tenggara Barat 6 44.522 2 6.954 2 3.661 1 1.767 11 56.904 7.699
25. Nusa Tenggara Timur 7 15.932 2 26.140 - 279 1 1.794 10 44.145 7.724
26. lrianJaya 18 194.036 -1 -1.000 2 333 -1 -26.064 18 167.305 89.109
JUMLAH 3.689 9.299.257 195 3.593.329 318 6.736.275 57 1.003.575 4.259 20.632.432 6.037.690
Keterangan: 1) Sampai dengan bulan Agustus 1984
2) Jumlah proyek don investasi berasal dari proyek baru, perluasan, perubahan, alih status
daD yang dibatalkan/mengundurkan diri
3) Sampai dengan bulan Maret 1984

7.2.2. Penanaman modal asing

Keikutsertaan pihak swasta asing dalam kegiatan investasi di Indonesia diatur dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1967. PMA yang telah disetujui Pemerintah sampai dengan bulan
Agustus 1984 telah mencapai sebanyak 795 buah proyek dengan nilai rencana investasi sebesar
US $ 14.915,2 juta. Jumlah tersebut sudah termasuk proyek yang mengadakan
perluasan/penambahan modal, setelah diperhitungkan dengan proyek yang mengundurkan diri
atau dibatalkan dan yang melakukan pengalihan status dari proyek PMA menjadi proyek
PMDN. Realisasi penanaman modal asing sampai dengan bulan Maret 1984 mencapai US $
6.472,5 juta atau 43,4 persen dari rencana investasi sampai dengan bulan Agustus 1984.
Sebagaimana dapat diikuti pada Tabel VII.3, sektor perindustrian merupakan sektor yang

Departemen Keuangan RI 151


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

paling banyak menarik minat para investor, baik dalam hal jumlah proyek maupun nilai rencana
investasinya hila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Realisasi PMA yang terbesar
sampai dengan bulan Maret 1984 adalah sektor perindustrian, yaitu berjumlah US $ 3.845,0 juta
atau 59,4 persen dari seluruh nilai realisasinya. Adapun sektor-sektor lain yang juga cukup
dominan adalah sektor pertambangan dengan nilai rencana investasi sebesar US $ 1.451,4 juta
meliputi 9 proyek, sektor jasa, perumahan/perkantoran sebesar US $ 659,3 juta dengan 54
proyek, dan sektor perhubungan/pariwisata sebesar US $ 421,4 juta dengan 28 proyek.

Tabel VII.3
PROYEK - PROYEK PENANAMAN MODAL ASING YANG TELAH DlSETUJUI PEMERINTAH
MENURUT BIDANG USAHA, 1967 -1984 / 19851)
1967 - 1981/1982 1982/1983 1983/1984 1984/1985 1967 - 1984/1985 ReaJisasi
Bidang usaha JumIah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Modal
Proyek (US $ ribu) proyek (US $ ribu) Proyek (US $ ribu) Proyek (US $ ribu) Proyek (US $ ribu) (US $ juta)
1. Perindustrian 477 7.135.373 15 2.192.932 1.289.899 765.045 497 11.383.249 3.845,00
2. Pertanian 59 239.215 -1 8.026 -3 -2.224 -2 -10.000 53 235.017 237,4
3. Kehutanan 69 582.731 -8 -74.944 -1 -87.691 -3 -24.848 57 395.248 504,1
4. Peri k a n a n 24 147.970 3.737 -1 5.449 - 4.874 24 162.030 340,7
5. Pertambangan 10 1.444.983 -1 6.422 - - - - 9 1.451.405 969,9
6. Perhubungan/Pariwisata 31 352.172 - -3 67.771 - 1.500 28 421.443 160,5
7. Perdagangan 3 11.672 - - - - - - 3 11.672 -
8. Konstruksi 63 93.924 29.950 57.715 14.276 70 195.865 120,6
9. Jasa lainnya *) 51 362.430 247.613 63.519 -4 -14.250 54 659.312 294,3
Jumlab 787 10.370.470 12 2.413.736 1.394.438 -4 736.597 795 14.915.241 6.472,50
*) Jasa.jasa lain + Perumahan/Perkantoran
1) Sampai dengan bulan Agustus 1984
2) Jumlah proyek dan investasi berasal dari proyek baru, perluasan, perubahan, aIih status PMA ke PMDN dan yang dibatalkan/mengundurkan diri
3) Sampai d..ngan bulan Maret 1984

Tabel VII.4
PROYEK-PROYEK PENANAMAN MODAL ASING YANG TELAH DISETUJUI PEMERINTAH
MENURUT LOKASI USAHA, 1967 - 1984/1985 1)
1967 - 1981/1982 1982/1983 1983/1984 2) 1984/1985 1) 1967 - 1984/1985 Realisasi 3)
Lokasi Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Modal
proyek (US S ribu) proyek proyek (US S ribu) proyek (US S proyek (US S ribu) (US S juta)
JAW A
1. DKIJakarta 282 1.829.936 18 997.934 -1 656.627 -5 294 3.554.136 869,2
2. Jawa Barat 159 2.112.983 6 9 239.279 4 652.543 178 4.359.086 1.664,70
3. Jawa Tengah 21 233.010 1 9.496 - - 22 250.182 333,9
4. D.L Yogyakarta 3 8.385 - 120 -1 -4.850 - 2 3.655 7,4
5. Jawa Timur 70 520.577 -1 38.646 -2 - 67 665.932 359,8
LUARJAWA
6. D.L Aceh 6 435.910 - - 1 420.392 -2 -12.479 5 843.823 125,7
7. Sumatera Utara 46 1.939.404 - -1 - 45 1.937.773 524,2
8. Sumatera Barat 4 55.393 - - - - -13.693 4 41.700 40,9
9. Ria u 23 320.227 - 123.740 -4 1 20 491.535 100,3
10. Jam b i 5 28.405 - - - 1 6 32.656 5,4
11. Bengkulu - - - - - - - - -
12. Lampung 8 85.551 -1 5.641 -2 -5.550 -2 -10.000 3 64.360 54,2
13. Sumatera Selatan 14 73.490 -1 2.346 - - - 13 74.855 134,6
14. Kalimantan Barat 7 15.053 - - -2 -5.052 - 5 10.001 24,5
15. Kalimantan Timur 22 235.497 -5 -3 -57.917 - 14 130.317 331,3
16. Kalimantan Tengah 17 125.956 -1 - - 16 96.383 85,6
17. Kalimantan Selatan 7 66.654 -1 3.500 -1 -9.810 - - 5 52.100 57,2
18. Sulawesi Utara 3 77.893 - - - - 3 77.893 11,7
19. Sulawesi Tengah 6 78.937 -1 -2 -27.433 -1 -6.630 2 30.593 228,5
20. Sulawesi Tenggara 3 29.655 - - - - 3 29.655 6,7
21. Sulawesi Selatan 6 28.086 -1 8.307 - - 5 20.199 381,6
22. Mal u k u 7 46.916 -1 - - 6 36.916 25,7
23. B a 1 i 5 47.440 - 1.463 1 - 6 78.977 65,8
24. Nusa Tenggara Barat 1 3.499 - - - -1 -3.499 - - 3,5
25. Nusa Tenggara Timur 2 3.828 - - 1 - 3 5.518 0,4
26. IrianJaya 15 309.625 2 34.483 -2 1 16 368.836 253,1
27. Beberapa Daerah Lainnya 45 1.658.160 - - - - 45 1.658.160 776,6
JUMLAH 787 10.370.470 14 -9 1.394.438 -4 736.597 788 14.915.241 6.472,50
1) Sampai dengan bulan Agustus 1984
2) Jumlah proyek daD investasi berasal dari proyek baru, perluasan, perubahan, a1ih status daD yang dibatalkan/mengundurkan diri
3) SampaidenganimlanMaret 1984

Departemen Keuangan RI 152


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII.5
PROYEK-PROYEK PENANAMAN MODAL ASING YANG TELAH DISETUjUl PEMERINTAH
MENURUT NEGARA ASAL, 1967 - 1984/1985 1)
1967-1981/1982 1982/1983 1983/19842) 1) 1984/1985 Realisasi
Negara Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Jumlah Modal Modal
proyek (US $ ribu) proyek (US $ ribu) proyek (US $ ribu) proyek (US $ ribu) proyek (US $ ribu) ( US $ juta)
I. Amerika Serikat 72 456.958 - 62.364 -3 484.392 2 17.679 71 1.021.393 582,2
2. Canada 3 10.733 - - - - - 3 10.733 5,5
3. Jepang 205 3.746.945 10 667.611 -1 442.599 -4 62.602 210 4.919.757 2.160,80
4. Korea Se1atan 18 143.006 2 45.047 -1 12.954 -1 -2.244 18 172.855 93,5
5. Hongkong 127 1.178.297 - 31.962 -5 58.269 -1 614.507 121 1.883.035 677,6
6. Taiwan 5 146.230 - -1 7.052 - 4 139.178 219,6
7. Singapore 34 167.698 -2 3.105 -1 5.569 -2 -1.653 29 174.719 102,5
8. Malaysia 14 19.384 -1 -3.000 -2 -908 -1 -2.016 10 13.460 22
9. Philipina 8 45.646 -1 -12.066 -1 9.810 - - 6 23.770 30,1
10. India 7 112.612 7.353 16.593 - - 7 136.558 3,2
11. Australia 36 283.241 -1 -776 - -12.810 - 2.652 35 272.307 205,8
12. New Zealand 2 900 - - - - 2 900 0,3
13. Be1gia 16 123.635 - 802.876 - - - 16 926.511 166,5
14. Denmark 4 33.351 - 897 1 38.276 5 72.524 14,4
15. Perancis 9 48.576 - - 47.977 - 7.079 9 103.632 35,8
16. Italia 1 4.552 1 12.240 -2 -16.792 - - - 4,3
17. Netherland 44 482.760 -3 13.900 -1 79.892 2 17.263 42 593.815 196,3
18. Jerman Barat 24 266.244 - 139.963 3 7.807 - - 27 414.014 172,4
19. Inggris 44 130.840 2 165.550 5 71.272 - -15.190 51 352.472 107,8
20. Switzerland 15 76.727 1 96.710 762 2 28.978 18 201.653 107
21. Swedia - - 1 2.073 - - - 1 2.073 -
22. Panama 6 29.095 - 15.777 1 61.795 -1 -5.492 6 101.175 21,2
23. Brunei 3 15.800 - -1 -500 - - 2 15.300 2,4
24. Spanyol - - - - 1 25.000 - - 1 25.000 -
25. Lichentein 4 12.694 - - -1 -2.000 - - 3 10.694 4,7
26. Norwegia 2 16.675 - - 1 5.686 - - 3 22.361 8,7
27. Gabungan Negara 76 2.780.197 3 362.150 - 111.895 - 12.432 79 3.266.674 1.507,40
28. Negara Lainnya 8 37.674 - - - 1.004 - - 8 38.678 20,5
JUMLAH 787 10.370.470 12 2.413.736 -8 1.455.594 -4 736.597 787 14.915.241 6472,5
1) Sampai dengan bulan Agustus 1984
2) Jumlah proyek dan investasi berasal dari proyek baru, perluasan, perubahan, alih status dan yang dibatalkan/mengundurkan diri
3) Sampai dengan bulan Maret 1984

Seperti halnya dengan PMDN, maka jumlah investasi PMA yang terbanyak juga
berlokasi di pulau Jawa. Sebagaimana terlihat pada Tabel VII. 4, maka sejumlah 563 proyek
atau 71,4 persen daTi 788 buah proyek PMA, dengan nilai rencana investasi sebesar US $
8.832,9 juta atau 59,2 persen dari jumlah keseluruhan. rencana investasi berlokasi di pulau
Jawa. Selanjutnya bila ditinjau dari segi besarnya nilai rencana investasi untuk tiap-tiap
propinsi, maka Jawa Barat, DKI Jakarta dan Sumatera Utara merupakan daerah yang cukup
menonjol. Nilai rencana investasi untuk ketiga wilayah tersebut masing-masing adalah sebesar
US $ 4.359,1 juta meliputi sebanyak 178 proyek, US $ 3.554,1 juta dengan 294 proyek, dan US
$ 1.937,8 juta dengan 45 proyek. Demikian pula dari segi negara asal investor, Jepang
merupakan negara yang paling besar melakukan investasi di Indonesia. Sampai dengan bulan
Agustus 1984, Jepang telah membangun 210 proyek dengan nilai rencana investasi sebesar US
$ 4.919,8 juta, yang berarti 26,7 persen daTi jumlah proyek yang ada, dan 33,0 persen dari
seluruh rencana investasi PMA. Selain itu beberapa negara lain yang juga cukup menonjol
adalah Hongkong dengan nilai rencana investasi sebesar US $ 1.883,0 juta dan meliputi 121
proyek, Amerika Serikat dengan nilai rencana investasi sebesar US $ 1.021,4 juta meliputi 71
proyek, dan Belgia dengan nilai rencana investasi sebesar US $ 926,5 juta meliputi 16 proyek
(Tabel VII. 5).

Departemen Keuangan RI 153


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

7.3. Pembinaan dunia usaha

Pelaksanaan pembangunan ekonomi antara lain diarahkan untuk menumbuhkan


peranan dan tanggung jawab masyarakat pedesaan agar secara aktif ikut berperanserta dalam
pembangunan desa, sehmgga pada gilirannya dapat memetik dan menikmati hasil
pembangunan guna menaikkan taraf hidupnya. Dalam hubungan ini koperasi merupakan salah
satu wahana utama dalam membina kemampuan golongan ekonomi lemah, yang meliputi
pedagang kecil, pengrajin yang menggunakan peralatan tradisional, serta pengusaha industri
rumah. Dalam rangka pengembangan usaha koperasi/KUD tersebut, maka selain terus
ditingkatkan pembinaan, juga telah diberikan sarana dan prasarana antara lain berupa bantuan
permodalan serta latihan keterampilan baik administratif, maupun teknis, manajemen dan
pemasaran. Hal tersebut dimaksudkan untuk memantapkan dan menumbuhkan swadaya
koperasi/KUD, sehingga mampu menjadi pusat pelayanan kegiatan perekonomian pedesaan
yang mandiri.

Dalam Pelita III peningkatan dan pengembangan dunia usaha pada umumnya dan
koperasi khususnya, antara lain diarahkan untuk meningkatkan kemampuan KUD dan koperasi
primer dalam berprakarsa dan berswakarya. Dewasa ini KUD dan koperasi primer antara lain
telah mampu melayani kepentingan anggota, sekaligus memajukan usaha anggotanya di
berbagai sektor, seperti sektor perdagangan, sektor pertanian, sektor perkebunan, sektor
industri, sektor perlistrikan desa, sektor perkreditan dan sektor pengangkutan. Untuk lebih
memperkok6h kemampuan KUD dan koperasi primer maka dilakukan suatu kerjasama yang
lebih erat, baik dengan koperasi primer lainnya maupun dengan usaha-usaha bukan koperasi di
wilayah atau di daerahnya masing-masing. Sementara itu agar koperasi-koperasi primer dapat
memainkan peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya yang
berpendapatan rendah, maka selama Pelita III telah dltingkatkan pembinaan kelembagaan
koperasi yang mencakup organisasi, tatalaksana dan pengawasan. Sehubungan dengan itu maka
pembinaan kelembagaan koperasi diarahkan untuk meningkatkan penghayatan terhadap fungsi
koperasi bagi setiap anggota, serta mempertinggi kemampuan para anggota dan petugas
koperasi dalam berkoperasi. Hal ini diharapkan akan meningkatkan partisiposi dan kesediaan
anggota antara lain untuk mengikuti rapat tahunan para anggota, rapat pengurus dan badan
pemeriksa, yang pada gilirannya akan mempertinggi kemampuan para anggota, pengurus,
pemeriksa, manajer dan pembantu manajer dalam mengelola koperasi sesuai dengan tugasnya
masing-masing. Di samping itu juga dilakukan penyempurnaan organisasi dan tatalaksana
koperasi, mendorong pembentukan dan pengembangan unit-unit organisasi, serta meningkatkan

Departemen Keuangan RI 154


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

usaha di masing-masing wilayah koperasi sesuai dengan kebutuhan para anggotanya. Sejalan
dengan itu maka dilakukan pula penyempurnaan iklim perkoperasian melalui peningkatan
kesadaran masyarakat, mengenai besarnya peranan koperasi bagi para anggota khususnya dan
masyarakat pada umumnya.

Sementara itu guna meningkatkan kelancaran usaha koperasi unit desa (KUD), serta
untuk memantapkan pertumbuhan dan pengembangannya, maka melalui Keppres Nomor 4
Tahun 1984 di setiap KUD dibentuk Badan Pembimbing dan Pelindung Koperasi Unit Desa
(BPP-KUD), yang beranggotakan tokoh-tokoh yang berada di pedesaan dan atas usul camat
setempat. Tugas daripada BPP KUD tersebut adalah memberikan bimbingan, ballman, saran
dan nasehat kepada pengurus KUD, serta melindungi KUD daTi hal-hal yang dapat merusak
citra dan kelangsungan hidupnya. Namun BPP KUD tersebut tidak boleh mencampuri kegiatan
usaha KUD, tidak boleh melakukan usaha sendiri, serta tidak boleh melakukan kegiatan yang
dapat membebani atau menyaingi kegiatan KUD yang bersangkutan. Sedangkan biaya
pembinaan yang dilakukan oleh BPP KUD dibebankan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II
yang bersangkutan.

Hasil-hasil yang telah dicapai selama pelaksanaan Repelita III menunjukkan


peningkatan yang menggembirakan. Dalam tahun 1983 jumlah koperasi adalah sebanyak
24.791 buah, yang terdiri dari 6.327 buah KUD dan 18.464 buah non KUD, sedangkan dalam
tahun 1984 telah meningkat menjadi sebanyak 25.956 buah, yakni 6.546 buah KUD dan 19.410
buah non KUD. Adapun jumlah KUD model dalam tahun 1984 meliputi sebanyak 3.701 buah
yang tersebar di seluruh propinsi kecuali DKI Jakarta. Dalam pada itu jumlah anggota koperasi
primer dalam tahun 1983 adalah sebanyak 9.539 ribu orang pada KUD dan 4.073 ribu orang
pada non KUD, sedangkan dalam tahun 1984 telah terjadi peningkatan yaitu menjadi sebanyak
9.614 ribu orang pada KUD dan 4.290 ribu orang pada non KUD. Dengan meningkatnya
jumlah baik lembaga maupun anggota koperasi tersebut, berarti bahwa wadah koperasi telah
menyebar luas ke hampir seluruh lapisan masyarakat. Perkembangan jumlah BUUD dan KUD
yang menyebar di seluruh Indonesia dapat dilihat pada Tabel VII.6.

Jumlah simpanan anggota koperasi juga mengalami peningkatan yaitu dan Rp 103,1
milyar dalam tahun 1982 menjadi Rp 125,0 milyar dalam tahun 1983. Demikian pula halnya
jumlah usaha koperasi telah bertambah dari Rp 2.322,1 milyar menjadi Rp 2.714,4 milyar.
Kenaikan jumlah simpanan anggota dan jumlah nilai usaha koperasi tersebut menunjukkan
meningkatnya partisiposi masyarakat terhadap kegiatan dan kelangsungan hidup wadah
koperasi, yang sekaligus berarti pula bertambahnya kepercayaan masyarakat kepada

Departemen Keuangan RI 155


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

koperasiJKUD dalam menyimpan dan mengelola uang anggotanya. Perkembangan jumlah dan
simpanan koperasi dapat dilihat pada Tabel VII.7.
Tabel VIl.6
JUMLAH BUUD DAN KUD SELURUH INDONESIA MENURUT PROPINSI. 1974 - 1984

1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1)
No. Propinsi BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD BUUD KUD
1. D.L Aceh 27 22 31 48 27 57 7 83 12 103 12 103 12 103 12 103 - 843 48 296 15 298
2. Sumatera Utara - 205 - 261 - 284 - 288 - 297 - 307 7 311 5 342 - 350 133 413 114 428
3. Sumatera Barat 57 100 53 133 7 185 21 185 7 232 7 232 7 232 4 235 4 234 233 276 274 281
4. Riau 9 11 12 11 11 22 5 57 7 47 7 47 7 48 7 47 7 47 33 170 113 178
5. Jambi 6 40 10 50 5 57 9 24 - 99 - 99 - 99 - 99 - 118 34 148 155 163
6. Sumatera Selatan 12 15 13 20 33 53 48 38 78 36 37 81 21 108 16 144 16 177 16 295 47 310
7. Bengkulu 1 15 - 25 1 43 - 49 - 56 - 57 - 66 6 68 - 103 500 154 115 156
8. Lampung 20 52 5 83 5 101 - 112 - 118 - 118 - 118 1 156 - 147 51 199 87 209
9. Jawa Barat 250 342 261 530 267 629 226 682 195 731 195 731 195 731 196 750 132 871 872 994 1.019 993
10. Jawa Tengah 206 282 118 402 93 437 88 454 80 471 86 492 86 492 67 522 67 521 584 586 588 599
11. D1 Yogyakarta 45 10 3 54 - 57 - 57 - 57 - 62 - 62 - 62 - 61 61 62 61 62
12. Jawa Timur 634 13 572 91 570 113 577 116 526 189 526 189 486 231 199 538 48 695 490 731 672 736
13. B a Ii 5 46 8 52 5 55 - 61 - 63 - 67 2 69 - 72 - 72 72 84 81 84
14. Nusa Tenggara Barat 9 5 9 5 2 12 24 16 25 16 25 16 25 16 9 92 57 66 115 145 144 147
15. Nusa Tenggara Timur 23 45 23 51 25 55 15 71 8 84 8 84 9 92 57 66 8 116 8 101 50 110
16. Timor Timur - - - - - - - - - - - - - 1 - 1 10 18 - 61 14 67
17. Kalimantan Barat 2 32 4 44 - 52 - 78 - 80 - 80 - 154 - 154 1 26 1 203 92 204
18. Kalimantan Tengah 7 4 7 19 11 19 11 19 10 39 10 39 4 64 4 64 4 64 8 133 - 139
19. Kalimantan Selatan 11 47 7 79 5 99 3 106 2 116 2 115 1 117 3 119 - 130 66 160 110 164
20. Kalimantan Timur - 2 - 2 6 4 4 6 4 10 1 26 1 26 1 27 - 153 158 43 206
21. Sulawesi Utara 26 4 19 12 20 14 28 15 6 83 1 90 1 90 1 90 - 105 122 123 32 123
22. Sulawesi Tengah 6 7 12 15 9 20 18 17 69 17 69 17 - 91 92 - 90 19 126 83 127
23. Sulawesi Selatan 228 69 141 172 106 229 68 288 71 302 71 302 71 302 71 302 71 301 71 399 316 417
24. Sulawesi Tenggara - 34 - 40 1 56 1 63 3 73 11 75 11 77 15 79 14 79 37 120 65 140
25. Maluku 2 - - 2 - 2 - - 4 - 4 - 24 - 26 - 70 - 120 31 123
26. IrianJaya 5 - 5 - 4 2 6 3 10 8 18 8 27 15 27 15 47 30 47 69 78
JUMLAH 1.591 1.402 1.313 2.201 1.213 2.657 1.159 2.888 1.113 3.331 1.086 3.441 973 3.739 701 4.265 486 5.487 3.621 6.326 4.321 6.542
1) Angka sementara

Tabel VII.7
JUMLAH DAN SIMP ANAN KOPERASI, 1969 - 1984
Jumlah koperasi (buah ) Simpanan koperasi ( Rp juta)
Tahun Primer Pusat Gabungan Induk Jumlah Primer Pusat Gabungan Induk Jumlah
1969 13.315 548 78 8 13.949 940,5 215,4 71,8 522,8 1.750,50
1970 15.445 698 105 15 16.263 1.521,60 331,3 185,3 1.237,90 3.276,10
1971 15.941 675 124 15 16.775 2.344,50 445,7 357,7 1.531,00 4.678,90
1912 17.261 659 119 15 18.054 3.344,90 291,6 222,8 1.118,10 4.977,40
1973 18.970 683 127 15 19.795 4.516,90 284,7 189 1. 797,5 6.788,10
1974 22.404 655 126 15 23.200 6.282,30 333,5 353,2 1.797,50 8.766,50
1975 22.864 666 137 12 23.679 9.683,10 513,8 345 2.844,80 13.386,70
1976 22.394 678 130 12 23.214 12.741,80 519,4 365,4 1.139,80 14.766,40
1977 18.652 638 128 12 19.430 14.060,70 624,8 156,2 781,9 15.623,60
1978 16.693 593 113 31 17.430 18.067,20 802,8 200,7 1.003,50 20.074,20
1979 16.933 543 118 31 17.625 19.873,60 883,2 220,8 1.104,00 22.081,60
1980 18.450 548 99 39 19.136 51.097,90 1628,7 273,1 1.639,20 54.638,90
1981 20.456 571 113 44 21.184 74.191,00 2831,2 634,4 3.235,60 80.892,20
1982 22.714 532 60 19 23.325 2) 2) 2) 2) 103.071,00
1983 24.180 532 60 19 24.791 2) - 2) - 2) - 2) 124.991.0
1984 1) 25.323 533 60 19 25.935 - 2) - 2) - 2) - 2) - 2)

1) Angka sementara

Bidang perkreditan juga mengalami perkembangan, yaitu hila dalam tahun 19811 1982
jumlah KUD penerima kredit yang dijamin oleh Perum PKK (Perusahaan Umum
pengembangan Keuangan Koperasi) baru sebanyak 7.435 buah KUD dengan kredit sebesar
Rp209,5 milyar, maka dalam tahun 1982/1983 telah meningkat menjadi sebanyak 11.334 buah
KUD dengan kredit senilai Rp 270,9 milyar. Jumlah kredit candak kulak (KCK) melalui
koperasi selama pelaksanaan Repelita III menunjukkan peningkatan yang cukup berarti, yakni
apabila dalam tahun 1982 jumlah koperasi yang ikut menyelenggarakan KCK baru sebanyak
3.621 buah KUD denganjumlah perputaran kredit senilai Rp 113,7 milyar, maka dalam tahun
1983 telah meningkat menjadi 4.286 buah KUD dengan perputaran kredit sebesar Rp 145,7
milyar. Dalam tahun 1984 sampai derigan bulan April 1984, jumlah koperasi yang ikut
menyelenggarakan KCK adalah sebanyak 4.131 buah KUD, dengan perputaran kredit senilai

Departemen Keuangan RI 156


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Rp 12,5 milyar. Adapun jumlah KUD yang ikut serta dalam pengadaan beras untuk stok
nasional dalam tahun 1982/1983 adalah sebanyak 3.191 buah, dengan jumlah beras yang
disediakan sebanyak 1.932,7 ribu ton, sedangkan dalam tahun 1983/1984 jumlah KUD adalah
sebanyak 3.391 buah dengan beras sebanyak 851,7 ribu ton. Selanjutnya dalam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Mei 1984 jumlah KUD adalah sebanyak 2.054 buah dengan
jumlah beras yang tersedia sebanyak 1.036,6 ribu ton. Dalam rangka melaksanakan tugasnya,
setiap KUD wajib membeli gabah/beras dari para petani dengan harga dasar yang berlaku.
Beras/gabah yang telah dibelinya kemudian dijual kepada Sub Dolog setempat dengan harga
yang telah ditetapkan, sedangkan sisanya dijual ke posaran umum. Sehubungan dengan itu
dalam tahun 1982/ 1983 sebanyak 1.107 buah KUD telah menyiapkan pengadaan beras untuk
posaran umum sebanyak 64,5 ribu ton, yang meningkat dalam tahun 1983/1984 masing-masing
menjadi 1.519 buah KUD dan 69,4 ribu ton beras. Sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai
dengan bulan Mei 1984 masing-masing telah mencapai sebanyak 2.054 buah KUD dan 7,6 ribu
ton beras.

Di bidang penyaluran sarana produksi pertanian, khususnya pupuk dan obat-obatan,


jumlah KUD penyalur dalam musim tanam (MT) 1983 adalah sebanyak 3.332 buah yang
menyalurkan bahan-bahan sebanyak 251.237 ton pupuk, dan 2.996.078 kg/liter obat-obatan.
Kemudian dalam MT 1984 baik jumlah KUD, pupuk maupun obat-obatan telah meningkat
masing-masing menjadi sebanyak 3.699 buah, 490.357 ton dan 3.419.550 kg/liter. Sedangkan
pemasaran palawija yang meliputi jagung, kedelai dan kacang hijau dalam tahun 1982/1983
berjumlah masing-masing sebanyak 23,2 ribu ton, 229,0 ton dan 308,0 ton. Dalam tahun
1983/1984 sampai dengan November masing-masing telah mencapai 46,9 ribu ton, 8 ton dan
306 tOll. Sementara itu kegiatan koperasi/KUD di bidang perkebunan rakyat yang meliputi
kopra, cengkeh dan tebu rakyat nampak semakin meningkat. Dalam tahun 1982, koperasi yang
ikut memasarkan kopra berjumlah 126 buah KUD, dengan jumlah kopra yang dibeli sebanyak
29,9 ribu ton seharga Rp 5,5 milyar, sedangkan jumlah kopra yang telah terjual mencapai 27,6
ribu ton seharga Rp 5,5 milyar: dalam tahun 1983 masing-masing telah meningkat menjadi 184
buah KUD, pembelian kopra sebanyak 54,4 ribu ton seharga Rp 7,9 milyar, serta penjualan
kopra sebanyak 50,1 ribu ton seharga Rp 8,5 milyar.

Di bidang tataniaga cengkeh, hasil usaha yang dilakukan oleh KUD sampai dengan
akhir Pelita III telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Dalam tahun 1982 telah
terbentuk koperasi pengelola cengkeh sebanyak 138 buah, dan jumlah cengkeh yang dapat
dibeli seluruhnya sebanyak 24.609,9 ton seharga Rp 84,6 milyar. Dalam tahun 1983 jumlah

Departemen Keuangan RI 157


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

koperasi telah bertambah menjadi sebanyak 264 buah KUD, dengan pembelian cengkeh
seluruhnya sebanyak 20.380,5 ton seharga Rp 152,9 milyar. Dari cengkeh yang tdah dibeli
tersebut, yang terjual dalam tahun 1982 berjumlah sebanyak 18.788,1 ton seharga Rp 150,3
milyar, sedangkan yang terjual dalam tahun 1983 mencapai sebanyak 19.130,4 ton seharga
Rp157,4 milyar.

Pemberian kesempatan kepada KUD untuk mengelola tebu rakyat intensifikasi (TRI)
dimaksudkan untuk melayani para petani tebu, terutama dalam hal perkreditan dan pemasaran
gula tebu yang dihasilkannya. Kredit yang disalurkan KUD merupakan kredit yang diperlukan
oleh petani tebu untuk penggarapan tanah, pembibitan, penebangan, dan biaya angkut dari areal
penebangan ke pabrik gula. Dalam tahun 1983 jumlah kredit mencapai sebesar Rp 211,5 milyar
yang disalurkan oleh 675 buah KUD, sedangkan dalam tahun 1984 sampai dengan bulan April
1984 jumlah kredit telah mencapai sebesar Rp 199,7 milyar yang disalurkan oleh 714 buah
KUD.

Jumlah gula tani yang dapat ditampung KUD dalam tahun 1982/1983 adalah sebanyak
556.900 ton, koperasi yang menampung sebanyak 651 buah, dan kredit yang disalurkan kepada
petani sebesar Rp 241,2 milyar. Dalam tahun 1983/1984 jumlah gula telah mencapai sebanyak
652.200 ton, ditampung oleh 621 buah KUD, dengan kredit yang disalurkan kepada petani
sebesar Rp 179,7 milyar.

Penggabungan industri kecil yang memproduksi tahu dan tempe ke dalam wadah
koperasi tabu dan tempe Indonesia (KOPTI) telah menjadi kenyataan. Dalam tahun 1982
jumlah KOPTI baru mencapai sebanyak 36 buah, dengan jumlah anggota sebanyak 12.277
orang, modal sebesar Rp 743,9 juta, dan jumlah kedelai yang dapat disalurkan sebanyak
26.292,2 ton, dalam tahun 1983 jumlahnya telah meningkat masing-masing menjadi sebanyak
67 buah, 18.286 orang, Rp 1,6 milyar, dan 53.175,6 ton kedelai.

Perkembangan usaha koperasi di bidang perikanan rakyat selama Pelita III telah dapat
menunjukkan hasil yang cukup baik. Dalam tahun 1982, jumlah koperasi perikanan baru
sebanyak 585 buah, dengan jumlah anggota sebanyak 120.414 orang dan modal senilai Rp 71,4
milyar, sedangkan dalam tahun 1983 masing-masing telah mencapai 615 buah, 133.802 orang
dan modal senilai Rp 70,0 milyar.

Kegiatan koperasi di bidang peternakan meliputi pengadaan bibit sapi unggul impor,
penyediaan makanan ternak, penyediaan obat-obatan ternak, serta pemasaran hasil temak.
Dalam tahun 1982, jumlah koperasi petemakan baru sebanyak 469 buah, dengan jumlah

Departemen Keuangan RI 158


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

anggota sebanyak 45.281 orang dan nilai usaha sebesar Rp 40.969,8 juta. Sedangkan dalam
tahun 1983 jumlah tersebut telah meningkat menjadi 491 buah, dengan anggota sebanyak
48.383 orang, dan nilai usaha sebesar Rp 61.046 juta. Demikian juga jumlah koperasi susu yang
dalam tahun 1982 baru mencapai 162 buah dengan anggota sebanyak 38.630 peternak, dalam
tahun 1983 telah meningkat menjadi 173 buah dengan jumlah anggota sebanyak 41.732 orang.
Adapun jumlah sapi betina yang dimiliki oleh anggota koperasi yang dalam tahun 1982 baru
sebanyak 140.000 ekor, dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi 161.000 ekor. Adapun
jumlah susu yang dapat ditampung dan dipasarkan oleh koperasi dalam tahun 1982 adalah
sebanyak 108,1 juta liter atau 92,6 persen dari seluruh produksi susu dalam negeri yang
berjumlah 116,7 juta liter. Dalam tahun 1983 jumlah susu yang ditampung oleh koperasi telah
meningkat menjadi 130 juta liter atau 89,9 persen dari seluruh produksi susu dalam negeri yang
berjumlah 144,6 juta liter.

Keberhasilan koperasi di dalam membantu para anggotanya telah membuat para


pengrajin di daerah-daerah pedesaan terangsang untuk bergabung di dalam wahana koperasi.
Sehubungan dengan itu dalam tahun 1982 jumlah koperasi yang mengelola dan mengkoordinir
para pengrajin adalah sebanyak 348 buah, beranggotakan sebanyak 59.536 orang, dan dengan
usaha senilai Rp 208,2 milyar. Selanjutnya dalam tahun 1983 jumlah koperasi telah meningkat
menjadi 675 buah, dengan jumlah anggota sebanyak 65.201 orang, dan dengan nilai usaha
sebesar Rp 210,1 milyar.

Pembinaan koperasi yang menangani jasa angkutan juga terus digalakkan sejak awal
Pelita III, yakni mencakup koperasi angkutan darat, koperasi angkutan sungai dan
penyeberangan serta koperasi angkutan laut. Dalam tahun terakhir Pelita III, jumlah koperasi
jasa angkutan adalah sebanyak 165 buah yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, dengan
jumlah anggota sebanyak 29.362 orang, dan memiliki kendaraan sebanyak 7.352 buah, yang
terdiri dari 5.550 buah kendaraan angkutan darat dan sungai, serta 1.802 buah kendaraan
angkutan laut.

Keberhasilan proyek perintis perlistrikan di daerah pedesaan yang dikelola oleh


koperasi, secara bertahap telah pula merangsang masyarakat pedesaan untuk menjadi anggota
koperasi perlistrikan desa. Beberapa koperasi telah berperan sebagai distributor listrik di
pedesaan, yang dilakukan melalui pemanfaatan tenaga listrik yang dibangkitkan dan disediakan
oleh PLN. Dalam tahun 1982, jumlah koperasi di bidang perlistrikan desa meliputi 118 buah
yang tersebar di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Barat. Dalam
tahun 1983 jumlah terse but telah meningkat menjadi 298 buah yang tersebar di 20 propinsi.

Departemen Keuangan RI 159


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Sampai dengan bulan Maret 1984 jumlah koperasi perlistrikan desa telah mencapai 313 buah,
melayani pelanggan sebanyak 202.208 kepala keluarga pada 1.504 desa. Selain itu sejumlah 38
buah koperasi di bidang perlistrikan desa telah mampu untuk berswadaya melayani para
anggotanya, hal ini berarti bahwa koperasi tersebut selain dapat membantu perekonomian
masyarakat kecil di pedesaan, telah pula bermanfaat bagi sektor-sektor sosiallainnya.

7.4. Pertanian

Dalam kurun waktu antara tahun 1969 sampai dengan tahun 1983 pembangunan di bidang
pertanian yang diarahkan dan dilaksanakan melalui Sapta Karya Pembangunan Pertanian, telah
menunjukkan perkembangan yang positif. Hal ini terlihat dari meningkatnya produksi bahan
makanan sehingga memantapkan usaha swasembada pangan, meningkatnya tarat hidup petani,
meluasnya kesempatan kerja yang mendorong tumbuhnya kesempatan untuk berusaha di
bidang pertanian, meningkatnya produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan industri dalam
negeri, serta meningkatnya ekspor dan berkurangnya impor produksi pertanian. Perkembangan
terse but juga tercermin dari adanya proyek-proyek besar di bidang pertanian yang membantu
usaha pertanian rakyat dengan sistem perusahaan inti rakyat (PIR), serta adanya dukungan
untuk pembangunan daerah yang tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam.

T abel VII.8
PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERTANIAN TERPENTING, 1969 - 1984
(dalam ribu ton, kecuali dalam juta liter untuk susu)
Jenis hasil 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1) 1983 2) 1984 2)
1. Bera. 12.249 13.140 13.724 13.183 14.607 15.276 15.185 15.845 15.876 17.525 17.872 20.163 22.286 22.837 23.961 24.701
2. Jagung 2.292 2.825 2.606 2.254 3.690 3.011 2.903 2.572 3.143 4.029 3.606 3.991 4.509 3.235 5.095 5.412
3. Ubi kayu 10.917 10.478 10.690 10.385 11.186 13.031 12.546 12.191 12.488 12.902 13.751 13.726 13.301 12.988 11.651 14.702
4. Ubi ja1ar 2.260 2.175 2.211 2.066 2.387 2.469 2.433 2.381 2.460 2.083 2.194 2.079 2.094 1.676 2.044 2.257
5. Kede1ai 389 498 516 518 541 589 590 522 523 617 680 653 704 521 568 783
6. Kacang tORah 267 281 284 282 290 307 380 341 409 446 424 470 475 437 469 535
7. Ikan lout 785 808 820 836 889 949 997 1.082 1.158 1.227 1.318 1.395 1.408 1.491 1.600 1.670
8. Ikan darat 429 421 424 433 389 388 393 401 414 420 430 455 506 507 520 549
9. Daging 309 314 332 366 379 403 435 449 468 475 486 571 596 629 671 694
10. Telur 58 59 68 78 81 98 112 116 131 151 164 259 275 297 316 329
11. Susu 29 29 36 38 35 57 51 58 61 62 72 78 86 117 143 170
12. Karet 778 802 804 808 845 817 782 856 838 844 898 1.020 963 899 1.230 1.107
13. Minyak sawit 189 217 249 270 289 348 397 431 483 532 642 701 748 884 907 1.038
14. Inti ,awit - - - -- 94 108 126 135 157 161 141
15. Kelapa/kopra 1.221 1.200 1.149 1.311 1.237 1.341 1.375 1.532 1.518 1.575 1.582 1.759 1.812 1. 723 1.607 2.015
16. K 0 P i 175 185 196 214 150 149 160 194 197 223 228 285 295 281 302 309
17. T e h 62 64 71 51 67 65 70 73 76 91 125 106 110 93 113 116
18. Cengkeh 12 15 14 13 22 15 15 20 39 21 35 39 40 33 45 56
19. Lad a 17 17 24 18 29 27 23 37 43 46 47 37 39 34 40 41
20. Tembakau 84 78 76 79 80 77 82 89 84 81 87 116 118 106 120 121
21. Gula tebu 922 873 1.041 1.133 1.010 1.237 1.227 1.319 1.438 1.516 1.601 1.831 1.700 1.618 1.693 1.769
22. K a pos 3 3 2 1,5 1,1 2,9 2,4 0,9 0,9 0,5 0,6 6 10 14,7 7,7 40
1) Angka diperbaiki
2) Angka semen tara

Bila dikaji kembali hasil pembangunan di bidang pertanian, maka akan tampak
peranan cukup besar dari sektor negara dalam menggerakkan dan mendorong kegiatan yang
bersifat produktif di bidang pertanian. Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa masih

Departemen Keuangan RI 160


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

banyak masalah yang dihadapi serta diperlukan hasil-hasil yang lebih mantap dan merata.
Sehubungan dengan itu Pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan dasar pembangunan di
bidang pertanian yaitu berdasarkan Trimatra Pembangunan Pertanian. Kebijaksanaan tersebut
meliputi kebijaksanaan usaha tani terpadu, komoditi terpadu dan wilayah terpadu, sedangkan
upaya-upaya yang dilaksanakan untuk menunjang pelaksanaan kebijaksanaan tersebut ditempuh
melalui empat usaha pokok yaitu intensifikasi, perluasan areal, diversifikasi dan rehabilitasi.
Tataurut kebijaksanaan dan upaya-upaya tersebut semata-mata dimaksudkan untuk tercapainya
komoditi pertanian yang tangguh sesuai dengan kadar dan perimbangan yang wajar dalam
struktur perekonomian nasional. Pertanian yang tangguh adalah pertanian yang dinamis dan
kokoh, optimal dalam memanfaatkan sumberdaya alam, tenaga, modal dan teknologi serta
sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Di dalam pengertian tersebut
terkandung makna masyarakat petani yang mampu mengatasi tantangan, ancaman, hambatan
dan gangguan terhadap eksistensi serta kelestarian sumberdaya alamnya. Di samping itu juga
tercermin pengertian rota dan struktur produksi pertanian yang mampu mengikuti dinamika
perubahan permintaan industri hilir dan konsumsi akhir, yang dapat memberikan umpan batik
bagi pengembangan industri dan jasa, serta dapat berperan dalam pembangunan regional dan
nasional yang serasi dan seimbang. Gambaran daripada hasil-hasil pembangunan di bidang
pertanian sampai dengan tahun pertama Repelita IV dapat diikuti melalui Tabel VII.8.

7.4.1. Tanaman pangan

Produksi beras selama Pelita I, Pelita II dan Pelita III menunjukkan kenaikan yang
mantap. Apabila selama Pelita I dan Pelita II pertumbuhan produksinya masing-masing
mencapai 4,7 persen dan 3,8 persen per tahun, maka selama Pelita III telah meningkat menjadi
6,5 persen per tahun. Tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 6,5 persen per tahun tersebut
dimungkinkan karena didukung oleh produksi beras per hektar dalam tahun 1983 yang
mencapai rata-rata sebesar 2,6 ton, yang dalam tahun sebelumnya baru mencapai rata-rata
sebesar 2,5 ton per hektar. Atas dasar itu maka produksi beras dalam tahun 1983 telah mencapai
23,9 juta ton, atau mengalami kenaikan sekitar 4,9 persen di atas produksi tahun 1982 yang
baru berjumlah 22,8 juta ton (Tabel VII.9). Selanjutnya produksi beras sampai dengan bulan
September 1984 telah meningkat lagi menjadi sekitar 24,7 juta ton atau sebesar 3,3 persen lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun 1983. Hasil dari kenaikan produksi beras tersebut selain
disebabkan oleh adanya peningkatan luasareal pallen dalam tahun 1984, juga karena tetap
dilakukannya penggunaan pupuk, insektisida dan bibit unggul secara efektif, serta keberhasilan

Departemen Keuangan RI 161


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dalam mengatasi serangan hama/penyakit. Peningkatan tersebut juga ditunjang oleh keadaan
iklim dan curah hujan yang normal serta adanya perbaikan irigasi, baik perbaikan terhadap
saluran tersier, maupun dalam penggunaannya melalui organisasi pemakai air yang semakin
efisien. Apabila dalam tahun 1982 luas areal panen yang dapat dicapai baru seluas 8.988 ribu
hektar, maka dalam tahun 1983 telah bertambah menjadi seluas 9.102 ribu hektar, suatu
kenaikan sebesar 1,3 persen. Luas areal panen yang dapat dicapai sampai dengan bulan
September 1984 telah meningkat lagi menjadi 9.179 ribu hektar, atau meningkat dengan 77 ribu
hektar dibandingkan tahun sebelumnya. Pertambahan luas areal panen tersebut terutama
disebabkan meningkatnya luas areal panen intensifikasi sebesar 4,4 persen terhadap tahun
sebelumnya, yaitu dad 6.343 ribu hektar dalam ta:.;un 1982 menjadi 6.623 ribu hektar dalam
tahun 1983. Sedangkan pertambahan luas areal panen intensifikasi tersebut terutama
disebabkan oleh meningkatnya luas areal panen Inmas seluas 175 ribu hektar atau sebesar 3,5
persen dari tahun sebelumnya, yaitu dari 5.047 ribu hektar dalam tahun 1982 menjadi 5.222
ribu hektar dalam tahun 1983 (Tabel VII.I0). Selanjutnya luas areal panen Bimas yang sebagian
besar bergeser ke areal Inmas, dalam tahun 1983 meningkat sebesar 8,1 persen atau seluas 105
ribu hektar, yaitu dari seluas 1.296 ribu hektar dalam tahun 1982 menjadi 1.401 ribu hektar
dalam tahun 1983.

Sementara itu dalam rangka meningkatkan mutu intensifikasi, maka sejak tahun 1979
Pemerintah telah mengadakan pola kegiatan baru yang telah dikenal dengan intensifikasi
khusus (Insus). lusus adalah suatu bentuk intensifikasi yang dilaksanakan oleh petani secara
berkelompok sehamparan, yang bertujuan memanfaatkan potensi setiap lahan yang
memungkinkan. Kerjasama kelompok petani tersebut diarahkan pada terwujudnya partisipasi
dari semua petani untuk menerapkan sepenuhnya Panca Usaha Tani. Sedangkan sebagai
pendorong agar sebanyak mungkin kelompok tani dapat lebih berpartisiposi dan ikut serta
dalam intensifikasi khusus, maka diadakan perangsang, yaitu denl!an menyelenggarakan
perlombaan antarkelompok intensifikasi khusus. Di samping lusus, Pemerintah juga
melaksanakan operasi khusus (Opsus) yang merupakan penerapan intensifikasi khusus untuk
daerah/lahan tadah hujan yang potensial dan dilakukan dengan lebih menggiatkan baik para
petani maupun para petugas penyuluh yang ditunjang dengan penyediaan sarana produksi yang
memadai.

Departemen Keuangan RI 162


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

.Tabel VII. 9
AREAL PANEN DAN PRODUKSI BERAS, 1969 - 1984
Tahun Areal panen Produksi Rata-rata
(ribu ha) ( ribu ton) ( ton/ha )

1969 8.014 12.249 1,53


1970 8.135 13.140 1,62
1971 8.324 13.724 1,65
1972 7.898 13.183 1,67
1973 8.403 14.607 1,74
1974 8.509 15.276 1,8
1975 8.495 15.185 1,79
1976 8.369 15.845 1,89
1977 8.360 15.876 1,9
1978 8.929 17.525 1,96
1979 8.803 17.872 2,03
1980 9.005 20.163 2,34
1981 9.382 22.286 2,38
1982 1) 8.988 22.837 2,54
1983 2) 9.102 23.961 2,63
1984 2) 9.179 24.701 2,69
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Tabel VII. 10
LUAS PAN EN BIMAS DAN INMAS PADI, 1969 -19831)
( dalam ribu hektar )

Tahun Bimas In mas


... Biasa Baru Biasa Baru Jumlah
1969 926 383 722 99 2.130
1970 803 445 571 334 2.153
1971 827 569 867 525 2.788
1972 621 582 1.166 800 3.169
1973 662 1.170 1.076 1.080 3.988
1974 474 2.202 410 638 3724
1975 425 2.258 343 611 3.637
1976 321 2.103 370 .819 3.613
1977 272 1. 797 669 1.512 4.250
1978 236 1.724 800 2.088 4.848
1979 197 1.374 851 2.601 5.023
1980 125 1.249 858 3.284 5.516
1981 2) 119 1.265 868 3.934 6.186
1982 2) 77 1.219 701 4.346 6.343
1983 3) 63 1.338 619 4.603 6.623
1) Tidak termasuk Insus
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

Usaha ekstensifikasi dilakukan melalui perluasan areal tanam yaitu berupa pembukaan
persawahan pasang surut atau pencetakan sawah baru,di samping pengkaitannya dengan usaha
transmigrasi. Selama Pelita III, sawah yang sudah selesai dicetak meliputi 178.719 hektar dan
areal yang sudah ditanami mencapai 153.934 hektar. Di samping itu penambahan areal
pertanian di daerah transmigrasi mencapai 551.801 hektar, yang terdiri dari lahan pekarangan

Departemen Keuangan RI 163


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

seluas 98.814 hektar, lahan usaha seluas 377.605 hektar dan lahan yang. dibuka dengan cara
swadaya transmigrasi sendiri seluas 75.382 hektar. Dari luas lahan yang telah dibuka tersebut,
lahan yang sudah diusahakan penggunaannya mencapai seluas 366.779 hektar, atau 66,4 persen
dari luas seluruh lahan yang sudah dibuka. Oleh karena peningkatan produksi pangan sangat
ditentukan oleh kegiatan para petani, maka Pemerintah terus memberikan penyuluhan pertanian
agar mereka mampu menggunakan teknologi baru. Di samping itu Pemerintah juga
memberikan pelayanan kepada petani secara kontinyu dengan berbagai sarana produksi dan
kredit, sehingga petani dapat meningkatkan produksi pangallo Demikian pula terus ditingkatkan
kegiatan kursus tani, peragaan, informasi pertanian, pembinaan kelompok dan himpunan petani,
serta penyelenggaraan perlombaan antarhimpunan petani. Untuk menunjang usaha tersebut,
sampai dengan tahun 1983 telah terdapat 14.044 orang tenaga penyuluh pertanian lapangan
(PPL), 3.071 orang penyuluh pertanian madya (PPM) dan 606 orang tenaga penyuluh pertanian
spesialis (PPS) yang tersebar di wilayah kerja penyuluh pertanian (WKPP) di 26 propinsi.

Dalam pengembangan produksi pangan, baik melalui program intensifikasi maupun


dengan program Bimas dan Inmas yang masih memerlukan tersedianya sarana yang cukup,
maka kepada para petani peserta tetap disediakan bantuan kredit untuk pengadaan sarana
produksi yang dibutuhkan. Sebagaimana terlihat dalam Tabel VII.11, maka dalam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan September 1984, jumlah petani peserta Bimas dan Inmas telah
mencapai sebanyak 43.900 orang dengan realisasi penyaluran kredit sebesar Rp 1,4 milyar.

Sementara itu produksi palawija sampai dengan bulan September tahun 1984, seperti halnya
dengan produksi padi, juga mengalami peningkatan yang mantap apabila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut antara lain disebabkan adanya pengembangan produksi
palawija melalui pusat pengembangan pertanian palawija, di samping adanya pembinaan bagi
daerah yang telah melaksanakan Bimas palawija serta adanya penyebaran bibit unggul. Untuk
menunjang pelaksanaan kegiatan Bimas palawija, sebagaimana halnya dengan Bimas padi,
Pemerintah juga menyediakan kredit bagi petani untuk pengadaan sarana produksi. Sehubungan
dengan itu dari Tabel VII.12 dapat dilihat bahwa produksi jagung meningkat sebesar 57,5
persen, yaitu dari 3.235 ribu ton dalan tahun 1982 menjadi 5.095 ribu ton dalam tahun 1983.
Produksi ubi jalar meningkat dengan 21,9 persen, yaitu dari 1.676 ribu ton dalam tahun 1982
menjadi 2.044 ribu ton dalam tahun 1983. Produksi kacang tanah dan. kedelai juga meningkat,
yaitu masing-masing dari 437 ribu ton dan 606 ribu ton dalam tahun 1982 menjadi 469 ribu ton
dan 633 ribu ton dalam tahun 1983, atau masing-masing mengalami kenaikan sebesar 7,3
persen dan 9,0 persen. Selanjutnya Pemerintah juga menyediakan kredit bagi petani untuk

Departemen Keuangan RI 164


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pengadaan sarana produksinya. Oalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan September 1984,
realisasi penyaluran kredit telah mencapai sekitar Rp 0,4 milyar, dengan jumlah petani peserta
sebanyak 8.600 orang. Perkembangan mengenai penyaluran kredit Bimas palawija dapat diikuti
dalam Tabel VII.13.

Tabel VII. 11
PENYALURAN KREDIT BlMAS DAN INMAS PADI, 1971/1972 - 1984/1985
(dalam jutarupiah dan ribu orang)

Realisasi Pengembalian
Tanun kredit kredit Jumlah petani
1971/1972 9.815,10 9.458,90 1.538,40
1972/1973 15.330,80 14.557,10 2.071,40
1973/1974 36.492,30 33.584,30 3.106,90
1974/1975 53.096,50 48.301,60 3.603,20
1975/1976 72.288,50 64.573,40 3.581,90
1976/1977 71.314,30 60.682,40 3.004,10
1977/1978 62.515,10 51.173,50 2.470,50
1978/1979 60.282,90 49.548,30 2.151,10
1979/1980 49.503,90 41.846,10 1.605,50
1980/1981 50.115,20 39.633,70 1.519,80
1981/1982 62.501,80 42.794,60 1.740,20
1982/1983 59.353,70 29.353,70 1.391,90
1983/1984 23.493,20 11.011,90 563
1984/1985 1) 1.417;4 158,1 43,9
1) Posisi 30 September 1984
Kredit lomas padi mulai berIangsung MT 1977/1978

Tabel VII. 12
LUAS PANEN DAN PRODUKSI PALAWI]A, 1969 - 1984
( dalam ribu hektar untuk luas panen, dan ribu ton untuk produksi )

Jagung Ubi kayo Ubi jalar Kacang tanah Kedelai


Tahun Luas Produksi Luas Luas Luas Luas
panen Produksi panen Produksi panen Produksi panen Produksi
1969 2.435 2.292 1.467 10.917 369 2.260 372 267 554 389
1910 2.939 2.825 1.398 10.471 357 2.175 380 281 695 498
1971 2.626 2.606 1.406 10.690 357 2.211 376 284 680 516
1972 2.160 2.254 1.468 10.385 338 2.066 354 282 697 518
1973 3.433 3.690 1.429 11.186 379 2.387 416 290 743 541
1974 2.667 3.011 1.509 13.031 330 2.469 411 307 768 589
1975 2.445 2.903 1.410 12.546 311 2.433 475 380 752 590
1976 2.095 2.572 1.353 12.191 301 2.381 414 341 646 522
1977 2.567 3.143 1.364 12.488 326 2.460 507 409 646 523
1978 3.025 4.029 1.383 12.902 301 2.083 506 446 733 617
1979 2.594 3.606 1.439 13.751 287 2.194 473 424 784 680
1980 2.735 3.991 1.412 13.726 276 2.079 506 470 1) 732 653 1)
1981 2.955 4.509 1.388 13.301 275 2.094 508 475 810 704
1982 1) 2.061 3.235 1.324 12.988 220 1.676 461 437 606 521
1983 2) 3.018 5.095 1.185 11.651 261 2.044 484 469 633 568
1984 2) 1.966 5.412 297 14.702 37 2.257 419 535 666 783
1) Angka diperbaiki

Departemen Keuangan RI 165


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII.13
PENYALURAN KREDIT BIMAS PALAWIjA, 1973/1974 - 1984/1985
(dalamjuta rupiah dan ribu orang)

Realisasi Pengembalian
Ta h u n kredit kredit Jumlah petani
1973/1974 1.277,30 1.191,90 143,8
1974/1975 5.393,70 4.356;6 360,7
1975/1976 9.073,80 7.325,70 442,5
1976/1977 8.917,30 7.048,10 348,7
1977/1978 6.893,10 5.445,80 235,7
1978/1979 6.480,50 5.007,90 195
1979/1980 5.226,80 4.215,20 159,7
1980/1981 6.215,30 4.058,40 146,7
1981/1982 9.204,00 4.788,60 261,6
1982/1983 11.306,10 5.361,70 245,8
1983/1984 4.007,40 1.204,40 77,6
1984/1985 1) 390 15,9 8,6
1) Posisi 30 September 1984
Sejak MT 1978/1979 termasuk Bimas Palawija tumpangsari

Tabel VII. 14
LUAS PANEN DAN PRODUKSI HORTIKULTURA, 1969 - 1984
(dalam ribu hektar dan ribu ton)

Sayuran Buah-buahan
Tahun Luas panen Produksi Luas panen Produksi
1969 600 1.791 488 2.272
1970 641 1.832 533 3.332
1971 715 2.067 554 3.435
1972 694 2.120 666 3.906
1973 676 2.295 696 4.249
1974 647 2.293 614 4.731
1975 531 1.889 623 3.743
1976 459 1.641 528 2.725
1977 558 1.833 445 3.624
1978 642 1.927 436 2.709
1979 660 1.861 529 3.512
1980 673 2.127 541 4.206
1981 921 2.068 561 4.336
19821) 632 2.038 560 4.226
1983 2) 787 3.117 618 5.348
1984 2) - 5.517 - 8.030
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 166


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII. 15
PENGGUNAAN PUPUK UNTUK TANAMAN PANGAN, 1969 -1983
( dalam ribu ton kadar pupuk )

Tahun N P205 K20


1969 155,2 36,2 1
1970 162,1 31,3 3,6
1971 219,2 24,2 1
1972 262,3 43,5 2,3
1973 312 65,3 1,9
1974 290,8 95,7 6,8
1975 311,3 110,2 1
1976 313,3 99,3 3
1977 442,4 104,7 9,7
1978 478,9 126,9 11,7
1979 550,9 129,9 17,8
1980 . 787,3 210,9 13,9
1981 946 299,2 14,9
1982 1) 1.060,10 354,6 43,3
1983 2) 973,4 317,3 54,3
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Tabel VII. 16
PENGGUNAAN PESTISIDA UNTUK TANAMAN PANGAN, 1969 - 1983
( dalam ton)

Tahun Insektisida Rodentisida 1)

1969 1.209,30 33,7


1970 1.075,60 52,4
1971 1.555,60 53
1972 1.410,00 53
1973 1.504,20 116
1974 1.638,00 46,8
1975 2.464,00 84
1976 3.432,50 58
1977 4.268,10 113
1978 4.165,00 121
1979 4.191,10 79
1980 6.386,90 78,1
1981 8.943,20 109,5
1982 2) 11.254,80 94,7
1983 3) 13.982,40 171,2
1) Ekivalen Zinkphospide
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

Sejalan dengan usaha pengembangan tanaman pangan, maka selain dilakukan


peningkatan produksi beras dan produksi palawija, digiatkan pula peningkatan produksi
hortikultura. Hal ini mengingat bahwa hasil-hasil produksi hortikultura sangat penting artinya
dalam menunjang perbaikan gizi dan pola konsumsi masyarakat, di samping berperan pula

Departemen Keuangan RI 167


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dalam intensitas penggunaan tanah dan tenaga kerja. Sehubungan dengan itu maka
pengembangan produksi hortikultura ditekankan pada pengembangan sayur-sayuran dan buah-
buahan di sekitar kota yang pemasarannya dapat lebih cepat. Sebagaimana terlihat dalam Tabel
VII.14, hasil produksi hortikultura secara keseluruhan sampai dengan tahun 1983 telah
mengalami peningkatan sebesar 35,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal
tersebut terutama disebabkan karena terjadinya peningkatan produksi sayur-sayuran sebesar
52,9 persen, yaitu dari 2.038 ribu ton dalam tahun 1982 menjadi 3.117 ribu ton dalam tahun
1983.

Meningkatnya hasil produksi tanaman pangan sangat erat kaitannya dengan


penggunaan pupuk dan pestisida, karena semakin luasnya areal panen dan meningkatnya mutu
Insus. Meningkatnya penggunaan pupuk dan pestisida tersebut secara keseluruhan dapat diikuti
melalui Tabel VII.15 dan Tabel VII.16. Kenaikan penggunaan pupuk terutama disebabkan
oleh meningkatnya penggunaan pupuk jenis K20, yaitu dari sebanyak 43,3 ribu ton dalam tahun
1982 menjadi 54,3 ribu ton dalam tahun 1983. Meningkatnya penggunaan pestisida disebabkan
oleh bertambahnya penggunaan pestisida dari jenis insektisida dan rodentisida. Kenaikan
insektisida dan rodentisida masing-masing adalah sebesar 24,2 persen dan 80,8 persen, yaitu
masing-masing dari 11.254,8 ton dan 94,7 ton dalam tahun 1982 menjadi 13.982,4 ton dan
171,2 ton dalam tahun 1983.

7.4.2. Tanaman perkebunan

Perkebunan merupakan salah satu sektor yang terpenting dalam menunjang


perekonomian Indonesia. Hal ini terutama terlihat dari besarnya sumbangan devisa melalui
ekspor hasil-hasil produksinya. Menjelang akhir tahun 1983/1984, lebih dari US $ 1,5 milyar
nilai ekspor berasal dari sektor perkebunan. Walaupun dalam pelaksanaanya dialami banyak
tantangan, namun mengingat bahwa peranan sektor perkebunan yang demikian besar dalam
menunjang pembangunan umumnya dan bagi peningkatan sumber pendapatan devisa atau
rupiah khususnya, maka selama pelaksanaan Pelita telah dilaksanakan berbagai kebijaksanaan
dan kegiatan yang diarahkan untuk meningkatkan produksi hasil perkebunan. Dalam
pembahasan selanjutnya, perkebunan digolongkan atas perkebunan rakyat, perkebunan negara
dan perkebunan besar swasta. Selanjutnya perkebunan negara dan perkebunan besar swasta
disebut juga sebagai perkebunan besar.

Sampai dengan tahun terakhir pelaksanaan Pelita III, perkebunan rakyat telah

Departemen Keuangan RI 168


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

mendapat prioritas utama dalam pengembangan usaha perkebunan. Hal tersebut berdasarkan
kenyataan bahwa sebagian besar areal dan hasil perkebunan yang ada selama ini adalah milik
dan hasil produksi perkebunan rakyat, yang mutu dan produktivitasnya relatif masih rendah.
Oleh karena itu penyuluhan bagi perkebunan rakyat ditujukan untuk meningkatkan pendapatan
petani melalui modernisasi usaha perkebunan, pengorganisasian usahapemasaran serta
pengelolaannya melalui wadah KUD. Sedangkan pengembangan dan pembinaannya tidak lagi
dilakukan secara partial, akan tetapi melalui pola pembinaan terpadu. Pola pembinaan terpadu
tersebut dilaksanakan secara menyeluruh, baik secara vertikal yaitu berupa kegiatan
penyuluhan, penyediaan sarana produksi dan kredit, maupun secara horisontal yang dilakukan
sejak mulai penanaman, pemeliharaan tan am an, pengolahan hasil produksi dan pemasaran
hingga pengembangan manajemen. Realisasi daripada pembinaan terpadu diwujudkan dalam
bentuk unit pelaksana proyek (UPP), yang meliputi pembinaan untuk berbagai
komoditi/budidaya perkebunan, terutama tanaman karet, kelapa, kopi, cengkeh, lada, kelapa
sawit dan teh.

Selama Pelita III areal tanaman Y.lng telah berhasil diremajakan adalah tanaman karet,
kelapa, kopi, teh, lada dan coklat yang telah mencapai areal seluas 306.626 hektar, sedangkan
untuk tanaman cengkeh mencapai areal seluas 3.000 hektar. Adapun perkehunan rakyat yang
telah dibina melalui UPP meliputi 880 unit dengan areal tanam seluas 2.482 ribu hektar.
Sementara itu upaya lainnya untuk lebih mengembangkan perkebunan rakyat adalah dengan
menerapkan pola perkebunan inti. Dalam pola tersebut perkebunan besar milik Pemerintah,
yakni Perusahaan Negara Perkebunan/PT Perkebunan (PNP/PTP), berfungsi sebagai inti atau
pusat pengembangan perkebunan rakyat sekitarnya. Pada gilirannya perkebunan rakyat tersebut
diharapkan dapat berkembang menjadi koperasi perkebunan rakyat. Pengembangan pola
perkebunan inti tersebut, yang disebut proyek NES (nucleus estate smallholders) atau proyek
perkebunan inti rakyat (PIR) meliputi budidaya karet, kelapa hibrida, kelapa sawit dan tebu.
Perkebunan besar dalam NES/PIR tersebut berfungsi sebagai penyuluh, penyalur sarana
produksi kepada perkebunan rakyat, pengolah hasil yang berasal dari rakyat/petani dan sebagai
pemasar hasil produksinya. Sedangkan perkebunan rakyat hams menyediakan tanah dan tenaga
kerja. Sampai dengan tahun 1983, realisasi luas areal hasil pembinaan pola NES/PIR adalah
seluas 188.067 hektar untuk jenis tanaman kafer, kelapa sawit dan kelapa. Dari Tabel VII.17
dapat dilihat bahwa berhasilnya usaha pembina an perkebunan rakyat sampai dengan tahun
1983 tersebut ditandai dengan meningkatnya hasil kafer, teh dan cengkeh, masing-masing
sebesar 55,6 persen, 47,1 persen dan 37,5 persen apabila dibandingkan dengan tahun 1982.

Departemen Keuangan RI 169


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Dalam waktu yang sarna hasil produksi perkebunan rakyat lainnya seperti lada, tembakau, kopi
dan gula tebu juga mengalami peningkatan produksi, yaitu masing-masing sebesar 17,6 persen,
14,4 persen, 8,8 persen dan 2,1 persen.

Sejalan dengan usaha dan kegiatan dalam bidang perkebunan rakyat, maka pembinaan
dan pengembangan perkebunan besar swasta juga terus ditingkatkan. Hasil produksi usaha
perkebunan besar swasta selama ini, khususnya sampai dengan tahun 1983, belum
menunjukkan peningkatan seperti yang diharapkan. Hal ini antara lain karena berbagai jenis
tanam_n seperti kafer, kelapa dan coklat yang telah diremajakan belum menunjukkan
produktivitasnya, di samping masih adanya gangguan hama terhadap tanaman-tanaman terse
but. Dalam tahun 1983, produksi kopi mengalami kenaikan sebesar 26,3 persen dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, yakni dari 5,7 ribu ton dalam tahun 1982 menjadi 7,2 ribu ton dalam
tahun 1983. Sedangkan untuk produksi cengkeh dan teh, dalam tahun 1983 masing-masing
telah meningkat sebesar 50,0 persen dan 5,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Perkembangan selanjutnya daripada hasil produksi perkebunan besar swasta dapat diikuti dalam
Tabel VII.18.

Sementara itu perkebunan besar negara (PNP/PTP) dalam Pelita III juga telah banyak
mendapat perhatian dari Pemerintah. Hal ini dimasudkan agar perkebunan besar negara dapat
mengimbangi tuntutan perkembangan dan kemajuan teknologi moderen serta permintaan
posaran intemasional. Untuk itu ditempuh serangkaian kebijaksanaan yang ditujukan terutama
untuk meningkatkan budidaya pengusahaan tanaman dan bentuk usahanya. Di samping
menyangkut segi pengelolaan perkebunan/perusahaan, maka aspek sosial ekonomi khususnya
pemberian imbalan kepada tenaga kerja juga diperhatikan sebaik-baiknya. Berbagai kegiatan
yang dilakukan di bidang perkebunan negara tersebut ditandai dengan meningkatnya produksi
beberapa hasil perkebunan negara dalam tahun 1983, seperti antara lain terlihat dan
meningkatnya produksi kafer, minyak sawit dan teh, masing-masing sebesar 4,2 persen, 3,7
persen dan 18,0 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hasil-hasil yang dicapai di
bidang perkebunan negara dapat diikuti melalui Tabel VII.19. Dari Tabel VII.20 dapat dilihat
bahwa dengan berhasil ditingkatkannya produksi perkebunan dalam tahun 1983, baik
perkebunan rakyat, perkebunan besar swasta maupun perkebunan negara, serta ditunjang pula
oleh adanya kebangkitan kembali ekonomi dunia, maka volume ekspor hasil perkebunan telah
meningkat pula. Apabila dalam tahun 1982 volume ekspor hasil utama perkebunan secara
keseluruhan adalah sebesar 1.763,6 ribu ton, maka dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi
1.990,5 ribu ton, atau suatu kenaikan sebesar 12,8 persen dibandingkan dengan tahun

Departemen Keuangan RI 170


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sebelumnya. Kenaikan tersebut terutama didukung oleh meningkatnya volume ekspor minyak
sawit, lada dan karet, masing-masing sebesar 33,3 persen, 23,9 persen dan 20,2 persen. Oi
samping itu juga disebabkan oleh meningkatnya volume ekspor tembakau, teh dan kopi,
masing-masing sebesar 18,3 persen, 7,7 persen dan 6,3 persen dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.

Tabel VII. 17
PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERKEBUNAN RAKYAT, 1969 - 1983
( dalam ribu ton)
Kelapa/ Gula Temba-
Tahun Karet kopra Kopi Cengkeh Teh Tebu kau Lada Kapas
1969 558 220 162 11 22 220 75 17 2,4
1970 571 1.198 170 15 21 196' 69 17 2,6
1971 572 1.147 178 14 24 221 69 24 1,3
1972 559 1.308 196 13 7 247 74 18 1,5
1973 599 1.233 140 22 14 199 69 29 1,1
1974 571 1.335 132 15 14 250 69 27 2,9
1975 536 1.370 144 15 14 223 74 23 2,4
1976 610 1.527 178 17 13 267 78 37 0,9
1977 584 1.513 181 37 14 352 72 43 0,9
1978 612 1.554 206 21 17 485 68 46 0,5
1979 616 1.561 209 35 17 498 73 47 0,6
1980 1) 715 1.630 276 34 21 1.203 69 37 3
1981 1) 642 1.765 290 29 24 1.364 100 40 11
1982 1) 585 1.707 262 32 17 1.352 97 34 17,7
1983 2) 910 1.592 285 44 25 1.380 111 40 6,1
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Tabel VII. 18
PRODUKSI BEBERAP A HASIL PERKEBUNAN BESAR SWASTA, 1969 - 1983
( dalam ribu ton)
Ke1apa/ Gula Minyak Inti
Tahun Karet kopra Kopi Teh Tebu sawit sawit
1969 110 1 5 9 72 60 13
1970 113 2 6 9 74 70 15
1971 114 2 7 10 122 79 18
1972 128 3 6 7 130 81 17
1973 109 4 4 10 118 82 18
1974 108 6 7 11 127 104 21
1975 109 5 6 10 126 126 24
1976 104 5 6 11 152 145 27
1977 107 5 6 11 162 147 29
1978 110 21 7 15 71 165 22
1979 112 21 8 16 73 168 23
19801) 120 33 6 18 84 221 38
1981 1) 127 25 9 14 116 266 41
1982 1) 125 11 6 16 72 285 47
19832) 124 11 7 16 72 286 47
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 171


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII. 19
PRODUKSI BEBERAPA HASIL PERKEBUNAN NEGARA, 1969 - 1983
( dalam ribu ton)

Tahun Karet Minyak sawit Inti sawit Teh Kopi Tembakau Gula tebu
1969 110 129 28 31 8 9 630
1970 118 147 33 34 9 9 603
1971 118 170 39 37 11 7 708
1972 121 189 42 37 12 5 756
1973 137 207 46 43 6 11 293
1974 138 244 52 40 10 8 860
1975 137 271 57 46 10 8 878
1976 142 286 56 49 10 11 902
1977 147 338 64 51 ]0 12 924
1978 162 367 72 59 10 13 960
1979 170 474 85 92 11 14 1.030
19801) 186 499 90 68 13 15 273
1981 1) 193 533 100 72 16 9 220
19821) 189 599 110 61 13 9 195
19832) 197 621 115 72 10 8 191
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Tabel VII. 20
VOLUME EKSPOR HASIL UTAMA PERKEBUNAN, 1969 - 1983
( dalam ribu ton)
Minyak Kopra dan
Tahun Karet sawit Inti sawit Teh Kopi Tembakau Lada bungkil
1969 857,5 179,1 42,7 36,1 127,1 5,7 16,7 349,1
1970 790,2 159,2 42,4 41,1 104,3 11 2,6 393,1
1971 789,3 209 48,6 44,8 74,3 18,3 24,2 322,5'
1972 774,6 236,5 51,4 44 107 26,2 25,7 327,1
1973 890,2 262,7 39,2 39,6 100,8 33,3 25,6 282
1974 840,4 281,2 28,5 55,7 111,8 33,6 15,7 252,6 2)
1975 788,3 386,2 21 45,9 128,4 19,6 15,2 329,1
1976 811,5 405,6 25,6 47,5 136,4 20,5 28,8 396,7
1977 800,2 404,6 25,2 51,3 160,4 25,9 30,9 335,9
1978 918,2 412,3 7,3 61,6 222,8 27,3 38 324,4 2)
1979 967,3 437,8 33,1 65,9 230,7 24,9 25,7 381,4 2)
1980 I)' 981 502,9 42,9 74,2 238,7 28,3 29,7 430,1
19811) 812,8 196,4 22,7 71,3 210,6 25,3 34 321,8
19821) 797,6 259,5 6,9 63,7 227 20,2 36,3 352,4
19833) 958,9 345,8 2,2 68,6 241,2 23,9 45 304,9
1) Angka diperbaiki
2) Hanya bungkil kopra
3) Angka sementara

Tabel VII. 21
NILAI EKSPOR HASIL UTAMA PERKEBUNAN, 1969 - 1983
( dalam US $ juta )
Jenis komoditi 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1) 1983 2)
Kare t 220,7 260,9 222.2 195,9 395 487,3 365,U 535,1 593,8 720,5 1.002,40 1.174,20 835,8 602,1 802,3
Kopra dan bungkil kopra 20,6 35,1 26,2 17,6 23.6 23,2 28,9 31.2 38.1 35 41,3 52,1 32,4 38 46,4
Ko p i 51,3 65,8 55.4 72.4 77,4 1UI,3 101.1 250 634.0 509,7 655.4 656 345,9 341,7 427,3
Tcmbakau 13,8 11,5 19,9 30.0 44.9 35,5 37,8 39,2 61,1 59,3 60,3 58,b 53,1 38,9 47,6
Minyak sawit 22,2 36,5 46.3 42.0 72,5 Ibb,U 158,1 142 192,8 208,3 253,7 254,7 106,9 64,4 111,5
Inti sawlt 4 5.U 5,5 3,7 4.8 8.4 5.1 3,7 5.8 1,5 7.2 8.1 4,4 2,2 0,4
Lada 10,4 2.9 24.7 20.5 28.0 24.6 22.8 46,2 65,6 69,8 47,3 58,1 47,2 44,9 52
Teh 9,7 17,3 28,7 31.4 30,2 43,6 53,1 55 121.0 92,3 91,7 112,7 100.8 89,5 120,4
Bunga, biji pala dan ccngkch 1.6 2.1 1.8 2.1 1.7 2,5 5.0 9,7 10,9 11.2 10,9 27,9 80,3 0,33) 0,43)
Rcmpah-rcmpah lainnya 4) 3,5 4,3\ 4.4 3.4 6.5 6,1 3,7 5,6 7,8 9.0 0.3
Jumlah 357,8 441.4 435.1 419.0 684.6 898,5 78U,6 1.117,70 1.730,90 1.716,60 2.170,50 2.402,40 1.606,80 1.222,00 L608,3
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
3) Hanya cengkeh
4) Scjak tahun 1980 tidak ada nilai ckspor

Departemen Keuangan RI 172


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Meningkatnya volume ekspor beberapa hasil perkebunan tersebut disertai pula dengan
kenaikan nilai ekspor hasil perkebunan dalam tahun 1983. Nilai ekspor keseluruhan dari
beherapa komoditi perkehunan dalam tahun 1983, yang terdiri atas jenis komoditi karet, kelapa
sawit, kopi, teh, lada dan tembakau, telah mencapai US $ 1.608,3 juta. Apabila dibandingkan
dengan tahun 1982 dengan nilai sebesar US $ 1.222,0 juta, maka terdapat kenaikan sebesar 31,6
persen. Gambaran selanjutnya mengenai nilai ekspor beberapa hasil utama perkebunan dapat
diikuti melalui Tabel VII.21.

7.4.3. Peternakan

Salah satu masalah yang dihadapi di bidang peternakan sebelum Pelita berlangsung
adalah rendahnya tingkat populasi ternak dengan perkembangan yang tidak merata. Hal ini
antara lain disebabkan karena hampir 60 persen dari seluruh jenis ternak terkonsentrasi di pulau
J awa yang justru luasnya hanya sebesar 7 persen dari luas seluruh daratan Indonesia, kecuali
untuk jenis ternak babi yang sebagian besar dipelihara secara tradisional di Sumatela Utara,
Sulawesi Utara, Bali dan Nusa Tenggara Timur. Oleh karena itu sejak dilaksanakannya
pembangunan nasional, kegiatan di bidang peternakan diarahkan kepada peningkatan dan
penyebaran populasi ternak, dan sekaligus juga untuk meningkatkan pendapatan para peternak
dan memperluas kesempatan berusaha. Sehubungan dengan itu langkah-Iangkah telah dan terus
dilakukan terutama dengan penyebaran bibit unggul ke daerah-daerah dalam usaha untuk
mengatasi masalah kelahiran dan produktivitas ternak yang rendah, serta peningkatan
pemotongan ternak jenis betina. Bibit unggul ternak tersebut disebarkan dari wilayah/propinsi
sumber-sumber bibit ternak sapi seperti Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, ke wilayah/ propinsi lainnya yang potensial. Sedangkan
untuk meningkatkan kualitas bibit-bibit sapi lokal, telah dikembangkan usaha pembinaan
sumber bibitnya, misainya sapi Bali dikembangkan di pulau Bali, Sumbawa, dan beberapa
lokasi di Sulawesi Selatan. Di samping itu juga dilakukan pembinaan terhadap para peternak
sapi Ongole di pulau Sumba dengan jalan mendatangkan sapi jenis unggul dari luar negeri,
antara lain seperti sapi jenis Brahman. Sedangkan dalam rangka meningkatkan mutu bibit sapi,
maka dalarn tahun 19831 1984 te1ah disebar sebanyak 28.129 ekor bibit sapi. Demikian pula
untuk bibit ternak kerb au , karnbingldomba dan kuda, dalarn waktu yang sarna te1ah disebar
masing-masing sebanyak 6.452 ekor, 12.910 ekor dan 2.633 ekor. Berkaitan dengan usaha
Pemerintah di bidang transmigrasi, bidang peternakan telah ditingkatkan peranannya untuk
mendukung usaha pengembangan lokasi baru tersebut. Dalarn rangka menunjang program

Departemen Keuangan RI 173


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

tersebut, sampai dengan Pelita III telah disebarkan sekitar 4.000 ekor dari berbagai jenis ternak,
terutarna sapi dan kerbau, melalui dana transmigrasi. Di samping itu melalui dana bantuan
Presiden juga telah diimpor berbagai jenis temak unggul seperti sapi jenis Brahman, Santa,
Gertrudis dan Bilmon Red yang selanjutnya disebar ke daerah-daerah. Sedangkan untuk
penyebaran bibit ternak jenis lainnya yaitu seperti bibit ayam DOC (day old chick) dari Pusat
Pembibitan Cisarua juga terus dilaksanakan dan selanjutnya disalurkan ke seluruh propinsi
Indonesia. Upaya lainnya yang telah dilakukan adalah dengan teknik inseminasi buatan (IB),
yaitu suatu cara perkawinan pada hewan betina dengan alat berupa split pipet (insemination
gun) yang telah diisi dengan semen dari pejantan. IB merupakan sarana untuk
mengembangbiakkan ternak dengan cepat, teratur dan murah yang dapat memperkecil
kemajiran serta tidak perlu memelihara pejantan, sehingga dengan demikian dapat dicegah
adanya penyebaran penyakit dari satu hewan ke hewan lainnya sebagai akibat daripada
perkawinan. Teknik IB di Indonesia telah dipergunakan sejak tahun 1970, namun baru dalam
tahun 1973 dipergunakan semen beku, serta dalarn tahun 1975 dibangun laboratorium yang
dapat memproduksi semen beku tersebut di Lembang dan Bandung. Sehubungan dengan ire
dapat dikemukakan bahwa apabila se1arna Pelita II baru disalurkan sebanyak 67.000 dosis
semen beku kepada 18 propinsi, maka pada akhir Pelita III telah berhasil disalurkan sebanyak
396.817 dosis semen beku untuk keperluan IB ke seluruh propinsi di Indonesia. Tenaga-tenaga
untuk menangani pelaksanaan IB tersebut juga telah ditingkatkan, dan dalam rangka
meningkatkan keterampilannya sudah banyak yang dikirim ke luar negeri antara lain ke New
Zealand. Sebagai hasilnya, jumlah tenaga khusus untuk IB yang selama Pelita II baru berjumlah
295 orang telah berhasil ditingkatkan menjadi sebanyak 595 orang pada akhir Pelita III.

Mengingat bahwa persediaan makanan ternak, baik kualitas maupun kuantitasnya,


yang berasal dari hijauan makanan ternak masih dirasakan kurang terutama untuk daerahdaerah
di pulau Jawa, maka telah dilaksanakan pembinaan terhadap kegiatan-kegiatan penyediaan
makanan ternak. Adapun makanan ternak tersebut dapat dibedakan atas makanan hijauan yang
terdiri dari rumput, leguminosa dan lain-lain, serta makanan penguat yang terdiri atas
konsentrat. Sejalan dengan program penghijauan, maka kini telah dilakukan penanaman
makanan hijauan ternak pada daerah/tanah-tanah kritis dan terlantar.

Sedangkan dalam hal makanan temak jenis konsentrat, penyediaannya dilakukan oleh
pihak swasta dengan pengawasan mutu oleh Pemerintah. Sementara itu di kebun-kebun bibit
pusat di Cisarua dan Cisereuh, yang dilengkapi dengan laboratorium pemeriksaan bibit rumput
dan bahan rerumputan. telah berhasil dikembangbiakkan jenis rerumputan atau makanan

Departemen Keuangan RI 174


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

hijauan temak baru serta memperbaiki jenis yang ada untuk disebarkan ke kebun-kebun bibit di
berbagai propinsi. Di kebun bibit ditingkat propinsi tersebut, bibit-bibit diperbanyak, diamati
daya adaptasi dan daya tumbuhnya untuk kemudian disebarkan ke tiap kabupaten. Selanjutnya
dari kebun-kebun bibit tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan disalurkan kepada peternak di
kecamatan, desa dan kampung sampai ke padang penggembalaan. Dengan demikian akan
tercapai upaya dalam mendapatkan rumput alam yang bermutu tinggi di samping usaha
budidaya rumput.

Walaupun selama sepuluh tahun terakhir ini serangan penyakit pada temak pada umumnya
dapat diatasi dan dikendalikan, namun tidak dapat diabaikan adanya beberapa penyakit yang
berasal dari virus seperti penyakit tetelo, penyakit mulut dan kuku pada sapi, penyakit jembrana
di Bali dan penyakit zoonosa rabies. Di samping itu juga telah dapat ,ditanggulangi penyakit
asal bakteri antara lain seperti penyakit ngorok, penyakit antrax, radang paba dan keluron
menular (brucellosis), -parasit darah (surra, bebesiosis), dan penyakit kulit menular (scabies).
Selama lima tahun pelaksanaan Repelita III telah dilakukan kegiatan pengamanan ternak
dengan mengaktitkan fungsi penyidikan, penolakan, pencegahan dan pemberantasan penyakit.
Dalam hubungan ini telah selesai dibangun dan berfungsi 5 buah Balai Penyidikan Hewan, 2 di
antaranya berada di Denposar dan Ujungpandang yang dibangun alas ban_an FAa (Food
Agriculture Organisation) dan TJNDP (United Nation Development Program). Sebuah balai
dibangun di Bukittinggi dengan bantuan dari pemerintah j erman Barat, sedangkan 2 buah lagi
berada di Medan dan Tanjung Karang yang dibangun alas bantuan dari pemerintah jepang. Di
samping itu juga telah dibangun 3 buah Laboratorium Penyidikan Penyakit Hewan jenis A di
tingkat pusat, dan laboratorium jenis B di setiap propinsi serta laboratoriumjenis C di setiap
kabupaten. Selanjutnya dalam rangka pencegahan penyakit ternak, dewasa ini juga telah
direhabilitir beberapa karantina hewan serta vaksinasi massal yang\ditangani secara khusus.
Dalam tahun 1983/1984 telah dapat disediakan dan disebarkan vaksin dan obat- obatan
darijenis ND Kumarov, Fowl Pox F, SE, Anthrax, Brucella dan Rabies, masing-masing
sebanyak 50.000 ribu dosis, 13.500 ribu dosis, 4.000 ribu dosis, 1.550 ribu dosis, 20 ribu dosis
dan 522 ribu dosis. Guna menanggulangi wahab yang tidak dapat diduga baik mengenai keja-
dian maupun waktunya, maka Pemerintah telah mempersiapkan baik alat-alat ataupun
tenaganya. Sehubungan dengan itu, penyediaan tenaga penyuluh, kader peternak, petugas
laboratorium diagnostik dan tenaga vaksinator terus ditingkatkan. Apabila dalam tahun
1982/1983 jumlah tenaga penyuluh petemakan spesialis (PPS) dan tenaga penyuluh peternakan
lapangan/demonstrator masing-masing baru berjumlah 368 orang dan 936 orang, dalam tahun

Departemen Keuangan RI 175


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

1983/1984 telah meningkat masing-masing menjadi 428 orang dan 1.407 orang. Selanjutnya
jumlah petugas laboratorium diagnostik dan petugas vaksinator yang dalam tahun 1982/1983
masing-masing baru sebanyak 312 orang dan 1.130 orang, dalam tahun 1983/1984 juga telah
meningkat masing-masing menjadi 313 orang dan 5.436 orang.

Tabel VII. 22
POPULASI TERNAK, 1969 - 1984
( dalam ribu ekor)
Sapi
Tahun Sapi perahan Kerbau Kambing Domba Babi Kuda Ayam Itik
1969 6.447 52 2.976 7.544 2.998 2.878 642 62.476 7.269
1970 6.130 59 2.976 6.336 3.362 3.169 692 63.438 7.370
1971 6.245 66 2.976 6.943 3.146 3.382 665 75.640 10.416
1972 6.286 68 2.822 7.189 2.996 3.350 693 82.627 12.404
1973 6.637 78 2.489 6.793 3.457 2.768 645 84.380 11.124
1974 6.380 86 2.415 6.517 3.403 2.906 600 93.100 13.620
1975 6.242 90 2.432 6.315 3.374 2.707 627 98.475 14.125
1976 6.237 87 2.284 6.906 3.603 2.947 631 102.382 15.182
1977 6.217 91 2.292 7.232 3.804 2.979 659 107.493 16.032
1978 6.330 93 2.312 8.051 3.611 2.902 615 114.987 17.541
1979 6.362 94 2.432 7.659 4.071 3.183 596 121.357 18.089
1980 6.440 103 2.457 7.691 4.124 3.155 616 21.078
1981 6.516 113 2.488 7.790 4.177 3.364 637 184.556 22.426
1982 6.594 140 2.513 7.891 4.231 3.587 658 197.132 23.861
1983 1) 6.660 162 2.538 8.049 4.316 3.677 665 211.302 25.436
19841) 6.751 169 2.533 8.098 4.343 4.079 704 232.687 27.014
1) Angka sementara

Tabel VII. 24
VOLUME EKSPOR TERNAK DAN HASIL-HASILNYA, 1969 -1983
( dalam ribu ekor untuk temak, dalam ribu ton untuk kulit dan tulang )
Ternak Kulit
Tahun Sapi Kerbau S api Kerbau Kambing Domba Tulang
1969 38,2 18,7 3,4 0,6 1,8 1 10,6
1970 59,4 29,1 2,8 0,7 1,5 0,6 8,1
1971 50,6 22,4 2,4 0,5 1,3 0,7 8,1
1972 54,2 28 3,3 0,6 1,4 0,8 9,5
1973 51,1 11,5 2,6 0,5 1.1 0,7 5,6
1974 45 13,2 1,5 0,4 0,8 0,9 9,2
1975 31,9 4,2 0,4 0,1 1,5 0,9 7,2
1976 24,5 2,1 1,4 0,1 2,3 0,8 9,4
1977 9 0,2 1,1 0,2 2,1 0,9 8
1978 0,4 0 1,4 0,1 2,3 1 7,9
1979 0 0 2,1 0,1 2,6 0,9 9,2
1980 0 0 0,4 193 1) 2,3 0,5 5,2
1981 0 0 0,6 28 1) 3,6 0,7 4,4
1982 0 0 0,7 187 1) 3 0,9 2,5
19832) 0 0 1,2 97 1) 3,4 0,8

1) Angka dalam ton


2) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 176


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII.25
NILAI EKSPOR TERNAKDAN HASIL-HASILNYA, 1969 -1983
(dalam US $ ribu)

T ernak Kulit
Tahun Sapi Kerbau Sapi Kerbau Kambing Domba Tulang JumJah
1969 596 251 1.134,40 170,3 1.985,60 693,6 52,5 4.883,40
1970 1.391,00 698,3 1.560,60 385,5 2.412,50 652 172,5 7.272,40
1971 1.262,50 485,8 1.691,20 237,1 2.243,70 1.046,70 255,6 7.222,60
1972 2.315,10 1.226,80 3.193,00 398 3.196,90 1.401,20 169 11.900,00
1973 3.636,20 813,6 3.341,70 398,1 4.704,00 2.308,40 105,8 15.307,80
1974 7.471,30 1.658,30 1.790,30 395,1 3.010,30 2.248,30 195,9 16.769,50
1975 5.824,90 712,9 425,9 109,2 5.433,90 3.087,40 164,5 15.758,70
1976 3.949,30 299,1 1.922,20 147 11.421,30 4.423,00 590,5 22.752,40
1977 1.582,90 26 1.672,90 157,4 9.926,70 6.083,80 393,9 19.843,60
1978 70,3 0 2.516,80 139 11.810,20 7.677,80 524,1 22.738,20
1979 0 0 5.368,40 299,7 24.843,30 10.843,90 626,6 41.981,90
1980 0 0 990,4 69 18.026,50 6.822,60 615,3 26.523,80
1981 0 0 1.800,00 30 14.974,50 7.792,80 535,2 25.132,50
1982 0 0 2.246,30 154,6 14.694,70 7.966,10 124,6 25.186,30
19831) 0 0 3.662,80 83,2 13.007,10 7.245,30 0 23.998,40
1) Angka sementara

Berbagai cara telah dilaksanakan untuk meningkatkan populasi ternak. Hasil-hasil


yang dicapai di bidang peningkatan populasi ternak sampai dengan tahun pertama Repelita IV
dapat diikuti melalui Tabel VII.22. Dari tabel tersebut terlihat bahwa apabila dibandingkan
dengan tahun 1982, maka populasi ternak jenis sapi, sapi perahan dan kambing dalam tahun
1983 telah menunjukkan kenaikan dari masing-masing sebanyak 6.594 ribu ekor, 140 ribu ekor
dan 7.891 ribu ekor dalam tahun 1982, menjadi 6.660 ribu ekor, 162 ribu ekor dan 8.049 ribu
ekor dalam tahun 1983. Disusul kemudian kenaikan populasi ternak domba, babi dan kuda,
yaitu dari masing-masing sebanyak 4.231 ribu ekor, 3.587 ribu ekor dan 658 ribu ekor dalam
tahun 1982, meningkatkan menjadi 4.316 ribu ekor, 3.677 ribu ekor dan 665 ribu ekor dalam
tahun 1983. Demikian juga populasi ternak Ryall dan itik menunjukkan kenaikan masing-
masing sebesar 7,2 persen dan 6,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sejalan
dengan meningkatnya hasil-hasil yang dicapai di bidang pengembangan populasi ternak, maka
produksi daging, telur dan susu juga menunjukkan peningkatan yang cukup mantap. Dalam
tahun 1983, ketiga jenis produk tersebut masing-masing telah mencapai sebanyak 671,0 ribu
ton, 316,0 ribu ton dan 142,9 juta liter (Tabel VII.23). Apabila dibandingkan dengan produksi
tahun 1982 yang masing-masing baru berjumlah 628,6 ribu ton, 297,0 ribu ton dan 117,6 juta
liter, maka produksi daging telah meningkat sebesar 6,7 persen, produksi telur 6,4 persen dan
produksi susu 21,5 persen.

Sementara itu sebagaimana terlihat dalam Tabel VII.24 dan Tabel VII.25, volume dan
nilai ekspor ternak dan hasil-hasilnya tidak lagi mengalami kenaikan bahkan kegiatan ekspor

Departemen Keuangan RI 177


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

ternak sapi dan kerbau telah dihentikan sejak tahun 1979, meskipun jumlah populasi ternak
secara keseluruhan meningkat setiap tahunnya. Dengan demikian dalam tahun 1983 sebagian
besar ekspor hasil ternak adalah berupa kulit sapi, kerbau, kambing dan domba dengan nilai
ekspor sebesar US $ 23,9 juta. Apabila dibandingkan dengan nilai ekspor tahun 1982 yang
berjumlah US $ 25,1 juta, maka nilai ekspor hasil ternak turun sebesar 4,4 persen. Penurunan
tersebut disebabkan karena meningkatnya permintaan daging dan protein hewani, serta kulit
dan tulang di dalam negeri sebagai akibat dari berkembangnya sektor industri.

7.4.4. Perikanan

Indonesia dikenal sebagai suatu negara maritim yang terdiri dari pulau-pulau dengan
perairan yang me1iputi tiga perempat bagian dari se1uruh wilayah negara. Dengan letak
geografis yang ada sella ditunjang oleh iklim tropis sepanjang tahun, keadaan tersebut sangat
menguntungkan produktivitas dan pengembangan budidaya ikan di Indonesia. Namun
mengingat bahwa penangkapan ikan memerlukan tatacara yang benar agar pelaksanaannya
dapat produktif dan efisien, maka selama Pelita III telah ditempuh usaha-usaha intensifikasi
penangkapan sekaligus pengembangbiakan daTi berbagai jenis ikan dan udang di samping juga
dilakukan usaha pengembangan perikanan darat. Titik berat pembangunan di bidang perikanan
dalam Repelita IV ditujukan pada pembinaan dan pengembangan perikanan rakyat. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan para nelayan, memperluas kesempatan berusaha,
mempertinggi produksi, meningkatkan mutu gizi pangan dan sekaligus untuk meningkatkan
ekspor. Sementara itu hasil-hasil yang telah dicapai di bidang perikanan dalam tahun 1983
antara lain tercermin pada produksi ikan yang telah mencapai 2.120 ribu ton, atau 6,1 persen
lebih tinggi dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya yakni sebanyak 1.998 ribu ton.
Hasil produksi ikan dalam tahun 1983 tersebut sebagian besar merupakan produksi ikan lalit,
yaitu sebanyak 1.600 ribu ton atau 75,5 persen dari hasil keseluruhan, sedangkan sisanya
sebanyak 520 ribu ton adalah ikan darat. Produksi ikan sampai dengan tahun 1983 telah
meningkat menjadi sekitar 2.120 ribu ton atau sebesar 6,7 persen lebih tinggi dibandingkan
dengan tahun 1982. Kenaikan produksi ikan tersebut selain disebabkan peningkatan produksi
ikan taut sebesar 7,3 persen, juga karena meningkatnya produksi ikan darat sebesar 2,6 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dapat diketengahkan bahwa besarnya peningkatan
produksi ikan taut tersebut terutama karena bertambahnya kapal-kapal perikanan bermotor dan
meningkatnya penggunaan alat-alat penangkap ikan moderen seperti jaring jenis gill net,
purseseine, pole and line, dan long line. Di lain pihak, penggunaan perahu tanpa motor dan alat-

Departemen Keuangan RI 178


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

alat penangkap ikan tradisional te1ah menurun yang menunjukkan te1ah terjadinya pergeseran
dan pergantian dari alat-alat penangkapan tradisional ke alat-alat penangkapan yang lebih
produktif. Sementara itu walaupun pertumbuhan produksi ikan darat tidak secepat produksi
ikan laut, namun produksi ikan darat juga menunjukkan jumlah yang terus meningkat, terutama
yang terdiri dari hasil tambak, kolam dan sawah. Dalam tahun 1983, produksi budidaya
perikanan darat mengalami kenaikan sebesar 5,4 persen dibandingkan dengan tahun
sebe1umnya, yaitu dari 241 ribu ton dalam tahun 1982 menjadi 254 ribu ton dalam tahun 1983.
Sampai dengan bulan September tahun 1984, produksinya te1ah meningkat lagi sehingga
mencapai 279 ribu ton, atau suatu kenaikan sebesar 9,8 persen bila dibandingkan dengan tahun
sebe1umnya. Meningkatnya produksi budidaya perikanan darat tersebut terutama disebabkan
intensifikasi budidaya tambak di samping adanya perluasan arealnya. Apabila luas areal
budidaya tambak dalam tahun 1982 baru mencapai 400,5 ribu hektar, maka dalam tahun 1983
telah mencapai 405,6 ribu hektar atau suatu kenaikan 1,3 persen dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.

Meningkatnya penggunaan perahu/kapal motor serta alat-alat penangkap ikan moderen


terlihat dari jumlah perahu/kapal motor yang dalam tahun 1982 baru sebanyak 85.083 buah,
dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi 94.300 buah, yang berarti peningkatan sebesar 10,8
persen. Sebaliknya dalam periode yang sarna jumlah perahu tanpa motor telah menurun dari
215.466 buah dalam tahun 1982 menjadi 212.400 buah dalam tahun 1983, atau suatu penurunan
sebesar 1,4 persen.

Selanjutnya guna menunjang dan mempercepat pertumbuhan produksi perikanan lalit,


terutama perikanan rakyat, maka sejak Pelita III telah dilaksanakan rehabilitasi dan
pembangunan pangkalan pendarat ikan (PPI) serta pelabuhan perikanan (PP). PPI dan PP
tersebut dilengkapi dengan tempat pelelangan, pabrik es, gudang pendingin dan lain-lain
fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan produksi, pemasaran dan pengolahan hasil-
hasil perikanan. Dalam hubungan ini, sampai dengan tahun 1983/1984 telah dibangun 149 buah
PPI yang tersebar di 25 propinsi kecuali untuk DI Yogyakarta dan Timor Timur. Di samping itu
juga telah dibangun 24 buah PP, yang terdiri alas 21 buah PP pantai, 2 buah PP nusantara dan
sebuah PP samudera. Sedangkan untuk mendukung pengembangan budiclara tambak dan
perikanan darat lainnya, telah dibangun saluran tambak di Daerah Istimewa Aceh, Sumatera
Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Timur dan
Sulawesi Selatan yang keseluruhannya mencapai sepanjang 590 km.

Tersedianya benih dan induk ikan dalam jumlah dan mutu yang memadai sangat

Departemen Keuangan RI 179


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

menentukan berhasilnya usaha perikanan budidaya. Untuk mengatasi hal tersebut, selain
mengandalkan benih dari sumber alam, ditingkatkan pula peranan yang lebih aktif dari balai
benih ikan (BBl). Sampai dengan tahun 1983/1984 telah direhabilitasi dan dibangun BBI
sebanyak 43 unit. Dalam waktu yang sarna telah dibangun sebanyak 3 unit balai benih udang
(BBU) dan 3 unit balai benih udang galah (BBUG).

Pemasaran ikan, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri, sampai dengan tahun
1983 telah menunjukkan peningkatan yang mantap. Dilihat dari segi konsumsinya, rata-rata
konsumsi ikan segar per kapita per tahun dalam negeri dari tahun 1978 sampai dengan tahun
1983 terus menunjukkan peningkatan. Apabila dalam tahun 1978 konsumsi ikan baru mencapai
11,4 kg per kapita, maka dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi 13,1 kg per kapita, atau
mengalami kenaikan rata-rata 2,8 persen per tahun. Dalam waktu yang sama, ekspor hasil-hasil
perikanan juga menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan.

Tabel VII.28
VOLUME DAN NILAI EKSPOR HASIL-HASIL PERIKANAN, 1969 - 1983
(Volume dalam ton, nilai dalam US $ ribu)
Udang 1) Ikan segar Katak Ikan hias Lain-lain Jumlah
Tahun Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai
1969 5.637 878 2.332 326 28 9 42 20 13.387 1.111 21.426 2.444
1970 7.333 4.278 1.247 169 652 286 104 38 12.724 2.188 22.060 6.959
1971 15.319 14.697 4.118 892 568 384 103 29 10.648 2.992 30.756 18.994
1972 23.411 29.809 3.865 471 867 749 190 37 12.823 3.875 41.156 34.941
1973 28.787 57.562 5.868 678 2.867 3.774 286 56 14.370 6.115 52.178 68.185
1974 32.721 84.571 7.106 1.145 1.182 1.258 305 54 13.639 5.316 54.953 92.344
1975 25.121 78.431 4.693 1.505 1.553 2.768 321 92 9.050 5.395 40.738 88.191
1976 31.463 116.991 7.041 2.378 3.160 3.924 350 61 12.375 8.026 54.389 131.380
1977 31.627 140.233 11.049 5.154 1.980 5.355 358 65 12.496 12.211 57.510 163.018
1978 32.620 161.955 13.907 7.851 2.325 6.236 359 96 14.274 17.286 63.486 193.424
1979 34.943 200.483 16.810 10.334 2.657 7.184 399 114 13.655 18.712 68.464 236.827
1980 31.934 180.904 31.308 19.373 1.612 4.754 473 136 13.378 21.187 7S.705 226.354
1981 24.971 162.827 29.540 21.163 2.778 9.431 364 114 1 i .625 31.852 75.178 225.387
1982 2) 25.575 181.640 45.114 29.838 1.517 3.585 217 98 17.195 34.255 89.618 249.416
19833) 26.170 194.450 33.910 19.820 3.300 8.750 200 170 24.720 32.410 88.300 255.600
I) Segar dan awetan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

Ekspor ikan selama Pelita III, baik volume maupun nilainya telah mengalami kenaikan, yakni
masing-masing dengan rata-rata sebesar 6,8 persen dan 5,7 persen per tahun. Selanjutnya untuk
tahun 1983, sebagaimana terlihat pada Tabel VII.28, pemasaran hasil ikan ke luar negeri telah
mencapai 83.550 ton dengan nilai sebesar US $ 247.420 ribu. Apabila dibandingkan dengan
tahun 1982 dengan volume ekspor sebesar 61.805 ton senilai US $ 244.959 ribu, maka berarti
volume dan nilai ekspornya telah meningkat masing-masing sebesar 35,2 persen dan 1,0 persen.
Volume dan nilai ekspor hasil ikan dalam tahun 1983 tersebut belum termasuk ekspor uhlir-
uhlir yang berjumlah 4.750 ton senilai US $ 8.180 ribu. Ekspor hasil-hasil perikanan dalam
tahun 1983 sebagian besar adalah berupa udang segar dan awetan, yang mencapai 29,6 persen
dari seluruh volume, dan 76,1 persen dari seluruh nilai ekspor hasil perikanan. Pada urutan

Departemen Keuangan RI 180


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kedua adalah ekspor ikan segar yang mencapai 38,4 persen dari volume atau 7,7 persen dari
seluruh nilai ekspor hasil perikanan. Sedangkan negara-negara tujuan utama ekspor hasil
perikanan adalah ]epang, Singapura, Hongkong, Negeri Belanda, Amerika Serikat, Belgia dan
Luxemburg.

7.4.5. Pangan dan gizi

Pembangunan di bidang pangan dan gizi sampai dengan akhir Pelita III dititikberatkan
pada peningkatan penyediaan pangan secara merata, di samping tercukupinya kebutuhan gizi
yang sesuai dengan daya beli masyarakat banyak. Di samping itu, maka juga ditujukan untuk
meningkatkan gizi masyarakat melalui penganekaragaman pola konsumsi pangan masyarakat,
sehingga konsumsi bahan pangan bukan beras terus meningkat. Dalam menunjang usaha
tersebut, Pemerintah melakukan kebijaksanaan barga, peningkatan jumlah sarana penyangga,
melancarkan penyaluran bahan pangan, serta pembangunan gudanggudang pangan di seluruh
pelosok tanah air. Sehubungan dengan kegiatan tersebut, telah dilakukan peningkatan produksi,
memperbaiki sarana distribusi dan pemasaran, memantapkan harga serta memperbaiki
pengolahan dan penyimpanan hasil produksi pangan.

Sejalan dengan kebijaksanaan yang berorientasi pada harga, Pemerintah mengusahakan


terwujudnya harga pangan yang stabil pada tingkat yang wajar, baik bagi kepentingan produsen
maupun konsumen. Untuk itu secara berkala Pemerintah telah menetapkan harga dasar yang
diterima oleh petani produsen dan harga batas tertinggi yang dibayar oleh konsumen. Penentuan
harga yang wajar bagi produsen terutama ditujukan untuk memberikan dorongan kepada petani
produsen meningkatkan hasil produksinya. Sedangkan penetapan harga batas tertinggi yang
dibayar oleh konsumen dimaksudkan agar harga pangan dapat terjangkau oleh masyarakat
banyak, sehingga usaha perbaikan dan peningkatan gizi masyarakat dapat tercapai. Penetapan
harga dasar dan harga batas tertinggi tersebut tidak hanya berlaku terhadap bahan pangan pokok
beras saja, melainkan juga untuk beberapa jenis palawija, antara lain jagung, kedelai, dan
kacang hiiau. Sedangkan khusus harga dasar kacang tanah sejak tahun 1982/1983 telah
dihapuskan karena harga kacang tanah di posaran sudah tinggi sehingga tidak perlu lagi
ditetapkan harga dasarnya. Sehubungan dengan harga dasar gabah/beras dapat dikemukakan
bahwa pada awal Pe1ita III harga dasar gabah kering giling di tingkat BUUD/KUD adalah
sebesar Rp 85,- per kilogram. Agar petani produsen padi lebih bergairah dalam meningkatkan
produksinya, maka harga dasar gabah/beras tersebut te1ah ditingkatkan sehingga sampai
dengan akhir tahun Pe1ita III mencapai sebesar Rp 145,- per kilogram. Mulai awal Pebruari

Departemen Keuangan RI 181


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

1984 harga dasar gabah/beras telah ditingkatkan lagi menjadi Rp 165,- per kilogram (Tabel
VII.29). Demikian pula untuk tahun 1985, terhitung mulai tanggal1 Pebruari 1985 te1ah
diputuskan untuk menaikkan lagi harga dasar gabahlberas giling di tingkat BUUD/KUD
menjadi Rp 175,- per kilogram.

Untuk menjamin agar para petani produsen benar-benar dapat menerima harga penjualan hasil
produksinya sesuai dengan harga dasar yang telah ditetapkan, maka pembelian gabah dan hasil
palawija dari petani dilaksanakan terutama melalui koperasi unit desa (KUD). Untuk lebih
meningkatkan keterkaitan kebijaksanaan pangan dengan koperasi baik di bidang pengadaan
maupun penyalurannya, maka sejak tanggal 1 Juni 1983 kepada koperasi diberikan kredit
dengan suku bunga rendah, yakni sebesar 12 persen per tahun., dan diikutsertakan dalam
penyediaan sarana lepas panen: Di samping itu untuk memperkuat daya saing dan membantu
pemupukan modal bagi KUD, maka dalam pengadaan gabah/beras te1ah diberikan pula margin
tataniaga yang lebih besar dari yang diberikan kepada pihak swasta non KUD. Sebagai
perbandingan dapat dikemukakan bahwa pengadaan gabahlberas yang berasal dari kUD dalam
tahun 1983/1984, te1ah mencapai sebanyak 1.037,6 ribu ton alan sebesar 89 persen dari
se1uruh pengadaan gabahlberas dalam negeri, sedangkan sisanya sebanyak 137,0 ribu ton atau
sebesar 11 persen berasal dari non KUD. Selain mendorong perkembangan KUD, Pemerintah
juga terus memperbaiki sarana distribusi dan pemasaran serta pengolahan dan penyimpanan
hasil pertanian pangan. Hal ini antara lain terlihat dari pembangunan gudang-gudang pangan
Pemerintah di se1uruh pe1osok tanah air. Sampai dengan bulan Juli 1984, jumlah gudang
Pemerintah yang te1ah selesai dibangun dan dapat berfungsi mencapai 1.118 buah dengan
kapasitas tampung se1uruhnya sebesar 2.467,2 ribu ton. Jumlah gudang tersebut terdiri atas
gudang Bulog baru sebanyak 599 buah dengan kapositas tampung sebanyak 1.901,8 ribu ton,
gudang semi permanen sebanyak 430 buah dengan kapositas tampung sebanyak 397,0 ribu ton,
dan gudang Bulog lama sebanyak 89 buah dengan kapositas tampung sebanyak 168,4 ribu ton.
Dengan tersedianya gudanggudang penyimpanan tersebut diharapkan pengadaan pangan untuk
sarana penyangga dapat berjalan lancar. Dalam tahun 1983/1984 pembelian beras (berupa
gabah setara beras) yang berasal dari dalam negeri adalah sebanyak 1.210,8 ribu ton, sedangkan
dalam tahun 1984 sampai dengan bulan Agustus jumlah terse but telah meningkat menjadi
sekitar 2.250,0 ribu ton, atau 85,8 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1983/1984.
Agar persediaan beras berada dalam jumlah yang cukup, maka dalam tahun 1983/1984 telah
dilakukan impor beras sebanyak 1.109,6 ribu ton. Dari jumlah impor beras dalam tahun
1983/1984 tersebut, sebanyak 81,5 persen dilakukan melalui impor komersial, sedangkan

Departemen Keuangan RI 182


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sisanya dalam rangka bantuan pangallo Pengadaan beras dalam negeri dan impor dapat diikuti
melalui Tabel VII.30. Dengan adanya beras dalam jumlah yang cukup, maka perkembangan
harga beras di posaran umum dapat dikendalikan dalam batas-batas yang wajar. Pengendalian
harga tersebut antara lain dilakukan melalui penyaluran beras ke seluruh pelosok tanah air, baik
untuk memenuhi kebutuhan pegawai dan karyawan tertentu maupun untuk umum melalui
operasi posar. Secara keseluruhan, beras yang disalurkan dalam tahun 1983/1984 adalah 1.866
ribu ton atau 36,6 persen lebih rendah dibandingkan dengan penyaluran beras dalam tahun se-
belumnya yang mencapai jumlah 2.944 ribu ton. Gambaran dari perkembangan harga beras di
beberapa kola besar dari tahun 1974/1975 sampai dengan tahun 1983/1984 dapat diikuti melalui
Tabel VII.31.

Tabel VII. 29
HARGA DASAR PADI DAN GABAH, 1974/1975 - 1985/1986
( dalam rupiah per kilogram )

Tahun Padai kering Padi kering Gabah kering Gabah kering Gabah kering
Lumbung giling lumbung giling giling
di desa di desa di desa di desa di BUUD/KUD

1974/1975 30,00 31,30 38,50 40,60 42,30


1975/1976 42,00 44,50 54,50 57,50 58,50
1976/1977 50,00 52,50 64,00 67,50 68,50
1977/1978 51,00 54,00 66,50 70,00 71,00
1978/1979 54,00 57,00 70,50 74,00 75,00
1979/1980 85,00
95,00
1980/1981 105,00
1981/1982 120,00
1982/1983 135,00
1983/1984 145,00
1984/1985 165,00 1)
1985/1986 175,00 2)

I) BerIaku mulai I Pebruari 1984 s/d 31 Januari 1985


2) BerIaku mulai 1 Pebruari 1985

Departemen Keuangan RI 183


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII.31
HARGA BERAS KUALITAS MENENGAH DI BEBERAPA KOTA BESAR, 1974/1975 - 1983/1984
( dalam rupiah per kilogram)

Bulan
Kota Tahun April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari Pebruari Maret
1974/1975 84,63 77,94 76,59 76,88 76,74 76,76 75,88 82,12 90,/6 93,1 95,58 99,53
1975/1976 96,52 91,87 91,98 96,52 101,34 108,83 110,25 120,07 126,87 126,87 125,21 120,35
1976/1977 119,22 111,28 115,14 11 7,80 121,19 121,91 121,49 121,85 123,31 126,13 125,93 126,02
1977/1978 125,41 125,66 125,93 126,32 125,24 125 125,74 132,69 133,54 134,91 135,01 137,08
1978/1979 128,9 128,55 128,35 129,72 129,15 128,36 135,55 140,29 140,32 140,56 144,58 152,1
JAKARTA 1979/1980 151),36 159,99 178,64 185,78 185,1 183,6 187,43 187,55 187,27 140,56 188,28 184,02
1980/1981 128,17 185,34 184,46 184,14 183,82 186,6 208,22 212,03 213,41 213,94 214,74 215,42
1981/1982 215,88 213,88 213,28 213,28 213,56 213,56 215,5 225 224,43 228,28 234,36 232,5
1982/1983 230,36 230,36 230,36 230,36 230,36 232,99 233,42 242,53 253,62 270,69 268,6 261,73
1983/1984 259,04 285,87 285,87 285,87 286,45 288,39 ,288,39 292,01 300,16 321,35 322,19 318,81
1974{1975 80,46 77,99 75,32 75,4 76,75 75,37 75 79,77 88,42 87,22 90,46 93,99
1975{1976 86,69 80,22 85,3 93,98 95,79 102,72 107,31 127,68 127,68 125,18 124,33 120,03
1976{1977 109,25 109,08 117,8 123,57 124,56 125,18 125 125 125 125 125 124,42
1977{1978 118,03 124 126,34 127,02 126,82 125 127,11 132,64 134,11 134,79 132,5 131,79
BANDUNG 1978{1979 122,15 124,6 124,42 129,48 133,88 127,72 136,53 141,84 141,6 140,79 146,41 146,92
1979{1980 140,21 153,46 171,7 180,53 179,33 175 179,33 180 180 182,26 180,66 180,66
1980{1981 172,98 177,71 179,77 186,68 180,01 181,39 203,02 221,03 221,03 216,42 215,37 203,73
1981{1982 200 198,75 202,87 202,04 209,13 202,37 224,56 228,76 231,17 230,83 228,15 221,19
1982{1983 210,38 207,62 206,48 211,96 212,13 236,53 252 263,65 260 261 255,83 243,7
1983{1984 230,1 223,04 220,83 232,81 285,03 313,53 318,17 317,08 325,98 313,77 334,22 310,47
1974{1975 75,06 74,78 75,08 77,32 75,05 76,51 77,97 84,75 88,27 90,55 85,15 90
1975{1976 85,69 86,59 92,31 97,67 101,39 111,86 119,45 120,07 122,18 125,71 124,61 123,09
1976{1977 111,97 111,63 119,34 120 128,53 128,43 124,12 124 124 124,79 123,7 116,63
1977{1978 111,72 118,5 120,0(1 120 126,48 128,02 129,5 132,48 132,14 131,01 130,92 124,69
1978{1979 120,3 123,91 125,1:3 127,53 129,48 132,25 138,9 140,91 139,88 139,69 144,58 148,93
1979{1980 153,61 159,25 171,06 172,7 174,27 178,72 180,51 183,3 186,91 189,85 184,63 175,82
SEMARANG 1980{1981 175,43 179,91 180,9'! 180,34 179,95 185,56 208,46 216,59 217,78 218,49 215,71 199,52
1981{1982 195,52 194,17 193,68 194,85 196,81 201,64 224,18 231,7 236,56 243,94 244,16 225,59
1982{1983 207,46 196,22 99,OO 206,04 211,93 241,63 256,96 259,86 264,96 275 271,29 267,29
1983{19H 243,41 234,54 235,33 295,6 254,42 286,86 285,32 299,78 301,66 324,04 313,05 283,79
1) Angka sementara

Tabel VII.31
( lanjutan)
Bulan
Kota Tahun April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Dcsember Januari Pebruari Maret
1974/1975 66,09 66,8 66,92 69,18 68,37 67,65 68,64 77,74 85,65 84,48 79,64 80,69
1975/1976 73,37 77,12 84,81 91,16 96,02 103,44 107,48 120,15 123,19 123,68 120,58 117,2
1976/1977 107,36 108,16 115,3 117,8 124,15 125 122,78 122,5 123,64 125,OG 123,66 114,6
1977/1978 113,98 114,36 115,15 119,06 125,59 127,42 125 125 125 125 125 125
YOGYAK 1978/1979 120 120,12 121,92 125,4 124,61 127,08 133,46 135 133,95 134,52 146,41 145
1979/1980 145 157,31 178,97 167,5 167,5 167,5 169,1 172,4 172,5 172,5 172,5 172,5
1980/1981 172,57 176,37 178,81 180 178,3 181,31 212,96 226 227,5 229,9 226,67 199,04
1981/1982 190,38 195,6 200 199,4 197,41 200,38 217,78 225,59 233,19 245,28 233,53 209,19
1982/1983 183,31 189,48 191,46 197,6 202,29 247,15 217,06 279,96 281,83 291,25 289,62 274,92
1983/1984 245,96 241,88 239,88 247,15 257,94 283,53 296,21 297,13 304,68 312,76 334,9 319,9
1974/1975 69 71,46 72,35 74,32 74,03 74,58 73,73 85,58 89,19 90,62 90,37 88,65
1975/1976 83,65 81,85 86,9 90,19 96,48 109,17 109,99 112,9 124,88 126,28 125,96 117,81
1976/1977 109,18 109,18 111,71 112,05 122,12 125,25 126,55 128,43 128,9 127,97 125,86 121,13
1977/1978 114,72 118,75 122,71 125,84 128,42 131,2 132,59 136,59 132,53 128,78 128,56 130.00
SURABAY 1978/1979 122,52 121,43 128,25 133,3 134,81 136,78 139,57 142,46 139,39 141,41 144,63 148,22
1979/1980 145,61 156,24 164,56 167,6 165,96 165,26 169,2 172,87 178,67 184,66 186,2 181,77
1980/1981 180 184,23 185 179,83 178 182,15 204,11 212,1 212,9 212,68 212,84 206,51
1981/1982 194,76 195,8 195,23 198,13 199,46 199,19 205,2 212,72 221,48 230,72 229,34 207,71
1982/1983 200,28 201,57 208,96 209,99 211,12 247,06 253,91 257,5 283,23 292,36 280,98 273,1
1983/1984 257,07 252,36 252,11 255,29 262,46 268,52 274,28 277,5 279,42 320,5 290,36 283,98
1974/1975 101,55 97,88 97,76 93,6 90,6 85,18 85,6 102,17 108,07 110,17 107,55 104,25
1975/1976 141,03 115,71 114,54 116,83 125,4 128,71 133,84 132,87 133,47 129,66 199,88 116,75
1976/1977 118,2 126,58 128,25 130 125,9 125 129,19 137,77 135,2 133,12 130,42 127,28
1977/1978 135,16 138,76 135 137,72 139,12 139,23 140,18 144,42 144,5 143,94 134,41 133
MEDAN 1978/1979 128,26 130,73 134,27 146,1 144,65 144,66 145,15 154,54 161,17 162,9 156,33 150
1979/1980 150 162,5 169,08 183 181,25 184,6 185,15 189,32 190,6 190 189,64 185,31
1980/1981 185 197,1 198,81 198,81 205,41 202,69 206,31 223,64 225 222,53 218,15 216,58
1981/1982 213,02 212,8 212,8 211,87 210 208,98 211,38 231,57 245,5 252,54 250,63 234,51
1982'/1983 232,69 234,32 234,62 225 222,6 220 226,1 235,16 269,35 280 280 280
1983/1984 288,4 297,83 302,31 304,59 315 363,85 338,2 315 315 310,77 303,4 300
1) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 184


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII. 31 ( lanjutan)


Bu1an
Kota Tahun April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari Pebruari Maret
1974{1975 116,56 112,1 115,92 112,83 112,01 109,69 102,95 90,79 101,32 106,95 113,78 105,2
19750976 119,29 118,79 11 7 ,99 115,58 111,26 105,23 105,23 107,5 122,38 129,13 130,16 134,59
1976{1977 130,2 132,28 132,86 134,53 137,85 139,66 133,62 139,1 139,04: 142,44 142,73 142,5
1977{1978 142,34 142,34 142,13 142,1 142,23 142,33 142,26 146,47 147,23 146,36 152,65 149,71
PALEMBANG 1978{1979 151,6 151,83 152,43 152,46 147,86 141,91 145,06 151,04 152,94 155,12 164,11 164,96
1979{1980 164,96 173.,10 180,01 187,69 189,26 186,36 181,68 183,19 183,04 183,41 185,09 185,05
1980{1981 186 198,08 197,71 195 195 196,15 200 207,2 219,61 215 215 215
1981{1982 216,27 217,25 228 231,66 231,66 230,83 229,99 229,99 227,09 226,61 226,61 229,66
1982{1983 238,77 239,1 239,1 239,1 239,1 247,2 265,67 265,67 273,31 293,12 297,24 297,24
1983{1984 297,02 297 297 297 297,08 299,12 335 334,42 303,52 298,32 337,69 349,99
1974{1975 106,25 106,25 106,25 106,25 90,33 77,61 75 79,44 101,41 97,87 95,73 92,82
1975{1977 88,58 87,82 94,42 103,39 . 89,92 83,06 85,05 100,88 106,13 121,67 128,2 130,14
1976{1977 131,47 131,25 130,39 121,21 110,28 112,91 121,95 120,58 125,53 124,7 125,32 132,43
1977{1978 132,25 133,2 133,75 133,2 126,58 118,75 121,92 130,2 130 131,25 131,25 131,39
BANJARMASIN 1978{1979 132 132,45 131,69 133,77 134,05 127,08 126,68 131,25 147,76 157,33 170,46 157,34
1970{1980 155 158,55 168,12 173,17 175,13 179,72 178,46 185,87 184,1 182,5 186,6 187
1980{1981 201,98 214,37 206,26 205,95 205,95 205,64 205,51 205,51 206,64 206,74 208,68 209,19
1981{1982 209,83 211,27 216,48 220,47 221,31 221,31 221,31 221,31 232,79 239,46 242,43 242,91
1982{1983 242,91 242,91 242,91 242,91 242,91 242,91 246,98 250,66 256,66 266,41 260,65 268,65
1983{1984 308,52 312,31 312,31 312,31 312,31 312,31 316,79 318,55 323,22 356,92 332,11 333,46
1974{1975 78,76 75 75 89,44 94,06 92,5 89,4 89,03 100 95,8 97,29 97,5
1975{1976 99,8 92,12 88,6 90 90 97,4 96,5 96 107,5 112,08 115 115
1976{1977 120,4 120 115 120 120 120 120 120,19 122,5 125 125 119,5
1977{1978 115 115 113,46 109 110 110 110,96 11 7 ,60 126,75 125 127,07 127,11
UJUNG 1978{1979 126 127,21 125 125 125 121,45 120 123,8 125 130,77 142,39 140
1979{1980 140 145,38 148,6 156,54 160,83 165 165 174,2 181 185 185 185
1980{1981 185 185 180,62 180 180 180 182,03 185 190,77 200 206,25 206.15
1981{1982 200 200 191,54 194,07 200 200 202 206,4 220,19 230 226,04 225
1982{1983 255 225 225 225 225 229 234,2 247,69 275,2 275,5 277,29 276,11
1983{1984 273,6 273,69 270 270 270 270 274,4 275 285,58 298,65 299,6 294,81
1) Angka sementara

Dalam rangka penganekaragarnan konsumsi masyarakat agar tidak hanya tergantung


pada beras, serta untuk meningkatkan gizi masyarakat, telah dilaksanakan pula pengadaan dan
penyaluran tepung terigu yang bahan bakunya berupa gandum yang diperoleh dari impor.
Dalam hubungan ini maka dalam tahun 1983/1984 telah diimpor gandum sebanyak 1.722 ribu
ton atau 10,6 persen lebih banyak dibandingkan dengan impor dalam tahun 1982/1983 yang
sebanyak 1.557 ribu ton. Dari jumlah impor gandum dalam tahun 1983/1984 tersebut, dan
ditambah lagi dengan sebanyak 118 ribu ton dari sisa stok tahun sebelumnya, telah dapat
disalurkan kepada masyarakat sebanyak 1.648 ribu ton atau sebesar 89,6 persen. Usaha-usaha
lain yang telah dilakukan dalam rangka perbaikan gizi masyarakat antara lain ditempuh melalui
penyuluhan, fortifikasi bahan raTIgan, usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), usaha-usaha
khusus lainnya, dan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Dalam hal penyuluhan gizi,
khususnya masyarakat petani produsen telah diarahkan untuk meningkatkan intensifikasi
tanaman palawija di tanah kering dan penganekaragaman usaha pertanian dengan cara
tumpangsari antara jenis tanaman kacangkacangan dengan sayur-sayuran. Selanjutnya kegiatan
fortifikasi bahan pangan, UPGK dan usaha-usaha khusus lainnya, masing-masing diwujudkan
melalui peningkatan jumlah produksi garam beryodium, perluasan jangkauan UPGK sampai ke
pelosok tanah air, serta penanggulangan kekurangan vitamin A dan zat besi. Sedangkan dalam
hal SKPG, pada akhir Pelita III telah dikembangkan suatu sistem untuk mencegah terjadinya
krisis pangan yang antara lain sebagai akibat daripada bencana alam dan musim kering yang
berkepanjangan. Upaya-upaya tersebut telah mulai dilaksanakan di daerah-daerah pemanduan

Departemen Keuangan RI 185


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

seperti Lombok Tengah di NTB, Karang Asem di Bali dan Boyolali di Jawa Tengah. Dalam
tahun 1983/1984, kegiatan SKPG telah dikembangkan lagi ke daerah Lombok Timur,
pekalongan, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur.

7.5. Kehutanan

Hutan sebagai sumber kekayaan alam dan merupakan salah satu unsur pertahanan
nasional, harus dilindungi kelestariannya, daD dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan
rakyat secara optimal. Dalam Repelita IV pembangunan di bidang kehutanan ditujukan dan
dilaksanakan melalui Sapta Karya Pembangunan Kehutanan, yang ditempuh melalui berbagai
kegiatan antara lain meliputi pelestarian, perlindungan, serta pengawetan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Hal tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan
kelestariannya, sehingga akan tetap bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Selain itu juga
ditujukan pada pengusahaan sumberdaya bulan, yang meliputi peningkatan produksi hutan
berupa kayu dan hasil hutan ikutan. Untuk itu terus dilakukan kegiatan rehabilitasi sumberdaya
alam, melalui pemulihan kemampuan dan produktivitas sumberdaya bulan, tanah dan air yang
kritis sehingga dapat memenuhi fungsinya secara maksimal sebagai produsen, pengatur tata air,
pencegah erosi, pelindung, pengawet dan pelestari alam, serta sebagai penunjang peningkatan
so sial. Sasaran pembangunan di bidang kehutanan diharapkan dapat terwujud melalui
peningkatan inventarisasi dan tataguna bulan, perlindungan dan pelestarian alam, reboisasi,
penghijauan dan rehabilitasi lahan serta pengusahaan hutan. Di samping itu juga dilakukan
peningkatan bidang-bidang lain seperti penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,
pengawasan dan pendayagunaan aparatur, serta sarana penunjang.

7.5.1. Inventarisasi dan tataguna hutan

Kegiatan di bidang inventarisasi hutan yang telah dicapai selama Pelita III dan tahun
pertama Repelita IV, antara lain meliputi survai udara, lapangan dan penggunaan jasa satelit,
masing-masing meliputi areal kawasan hutan seluas 5.029 ribu hektar, 1.977,5 ribu hektar dan
36.060 ribu hektar. Dari hasil survai tersebut telah diperoleh potret kawasan hutan sebanyak
22.726 lembar dengan skala 1:100.000. Sementara itu dalam rangka penataan batas kawasan
hutan yang terdiri alas hutan lindung, hutan pendidikan dan hutan penelitian, maka sejak Pelita
I sampai dengan Pelita III telah berhasil dibuat tatabatas kawasan hutan sepanjang 31.400
kilometer. Hasil kegiatan tersebut baru sebesar 21,3 persen dari seluruh panjang batas kawasan

Departemen Keuangan RI 186


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

hutan yang diperkirakan sepanjang 147.000 kilometer. Sejalan dengan kegiatan tersebut, sejak
tahun 1981 sampai dengan bulan Juni 1984 telah dilaksanakan tatabatas dalam rangka
pengukuhan areal reboisasi pada bekas tanah negara bebas, yang mencakup areal seluas 260,4
ribu hektar. Dalam waktu yang sarna, juga telah berhasil dicapai pengukuhan dan penatagunaan
hutan lindung seluas 24.569,5 ribu hektar, hutan suaka alam dan hutan wisata seluas 15.891,0
ribu hektar, hutan produksi terbatas seluas 22.939,2 ribu hektar, hutan produksi bebas seluas
25.905,8 ribu hektar dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 24.317,4 ribu hektar.

Dalam rangka pengelolaan hutan yang meliputi peningkatan pembinaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup, maka diperlukan adanya tataguna hutan. Sampai dengan bulan Juni
1984 telah dapat disusun dan diselesaikan pola tataguna hutan kesepakatan (TGHK) di 19
propinsi di luar pulau Jawa. Dari hasil TGHK tersebut telah dapat diidentifikasikan luas areal
hutan di Indonesia sekitar 147 juta hektar. Sementara itu pemetaan yang mempunyai peranan
penting di bidang kehutanan, sampai dengan bulan Juni 1984 telah dapat memenuhi semua
kebutuhan peta dasarnya. Jenis peta dasar yang telah selesai dibuat antara lain berupa peta
topografi, peta TPC (Tactical Pilotage Chart), peta JOG Qoint Operation Graffic Ground), peta
lalit, peta geologi, peta land-use, peta tanah, peta daerah aliran sungai (DAS) di 27 propinsi,
peta ketinggian dan peta thematic. Sedangkan untuk kegiatan pendataan kehutanan yang
meliputi pengumpulan data dan pengolahannya, maka dalam tahun pertama Repelita IV telah
dapat diwujudkan suatu sistem informasi yang dipusatkan pada suatu basis data dan sistem
informasi, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam pengumpulan, pengolahan,
pengamanan dan penyimpanan data, di samping juga akan memudahkan pelayanan, informasi
dan menjaga konsistensi data.

Dalam rangka peningkatan penyempurnaan aparatur dan sarana penunjang telah


dilakukan peningkatan aparatur pelaksana inventarisasi dan tataguna bulan, melalui pendidikan
tenaga ukur, tenaga gambar dan tenaga penafsir potret udara. Sejak tahun 1981 sampai dengan
bulan Agustus 1984, jumlah tenaga juru ukur, juru gambar dan tenaga penafsir potret udara,
masing-masing telah berjumlah 604 orang, 87 orang dan 176 orang. Sebagai sarana penunjang
telah dibangun balai inventarisasi dan pemetaan bulan, berikut sub balainya, masing-masing
sebanyak 10 balai dan 31 sub balai.

7.5.2. perlindungan hutan dan pelestarian alam

Pada hakekatnya perlindungan hutan dan pelestarian alam dalam rangka konservasi

Departemen Keuangan RI 187


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sumberdaya alam dan lingkungan hidup, ditujukan untuk menjaga keberadaan plasma nutfah
dan kelestarian potensi sumberdaya alam beserta ekosistemnya dari kemungkinan bahaya
kerusakan dan penurunan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Usaha perlindungan hutan dan
pelestarian alam dilaksanakan melalui beberapa kelompok kegiatan, antara lain meliputi
pengembangan taman nasional, pengelolaan hutan lindung, pembinaan wisata alam, pembinaan
pencinta alam, monitoring dampak lingkungan serta kegiatan pengamanan hutan. Konservasi
kawasan hutan antara lain ditempuh melalui kegiatan pengalokasian, pengelolaan dan
pembinaan hutan suaka alam, hutan wisata dan taman nasional sebagai model ekosistem, gejala
alam, sumber plasma nutfah, keanekaragaman dan keunikan jenis flora dan fauna, serta
keindahan alam, baik di daratan maupun di perairan. Guna menunjang berbagai kegiatan
tersebut, maka selama Pelita III telah dilakukan penunjukan atau penetapan suaka alam dan
hutan wisata yang mencapai 12.076,2 ribu hektar dan tersebar pada 306 lokasi diseluruh
Indonesia. Suaka alam dan hutan wisata tersebut terdiri atas hutan cagar alam seluas 6.784,3
hektar, suaka margasatwa seluas 4.784,4 ribu hektar, taman wisata seluas 172,8 ribu hektar,
taman baru seluas 326,4 ribu hektar, dan taman laut seluas 8,4 ribu hektar, yang tersebar di 5
lokasi. Sedangkan konservasi di luar kawasan bulan, antara lain ditempuh melalui inventarisasi
dan identifikasi berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar yang populasinya diancam kepunahan,
di samping juga melalui kegiatan yang berorientasi pada masalah botani, serta pengamanan
terhadap daerah pengungsian dan daerah perlindungan satwa baik di darat maupun di laut.
Selama Pelita III, antara lain telah dilakukan studi dan inventarisasi flora dan fauna di 20 lokasi
yang mencakup kawasan seluas 2,1 juta hektar, penetapan sebanyak 521 jenis satwa dan 36
jenis flora yang dilindungi peraturan perundang-undangan, serta inventarisasi sebanyak 20 jenis
kekayaan laut. Di samping itu juga dilakukan pembinaan terhadap populasi jenis satwa langka,
antara lain berupa rehabilitasi orang hutan di Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) dan
Bahorok (Sumatera Utara), gajah di pinggiran Air Sugihan (Sumatera Selatan), Riau dan
Sumatera Utara, burung muho di Sulawesi Utara, burung jalak di Bali Barat, dan rusa di pulau
Bawean. Sejalan dengan kegiatan tersebut, ditingkatkan pula pembinaan dan pengembangan
kebun binatang dan oceanorium di 21 lokasi, dengan jumlah koleksi sebanyak 500 jenis satwa,
di mana 50 jenis di antaranya termasuk jenis satwa yang dilindungi.

Dalam rangka menunjang pelestarian jenis-jenis satwa yang tidak dilindungi, maka telah
ditingkatkan penertiban perburuan, selain sebagai obyek olah raga dan wisata, melalui
penetapan 11 lokasi taman baru. Sedangkan upaya konservasinya dilakukan melalui pembinaan
dan pengembangan taman nasional, yang selama Pelita III telah berhasil mencapai 16 lokasi

Departemen Keuangan RI 188


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dengan luas areal seluruhnya 4.626,5 ribu hektar. Dari 16lokasi tersebut, 5 lokasi di antaranya
telah ditetapkan pada tanggal16 Maret 1980 bertepatan dengan dicanangkannya World
Conservation Strategy, yaitu di gunung Leuser, Ujung Kulon, gunung Gede-Pangrango, gunung
Baluran dan pulau Komodo. Sedangkan 11 lokasi lainnya, yaitu di gunung Kerinci, gunung
Seblat, Bukit Barisan Selatan, Kepulauan Seribu, gunung Tengger-Semeru, gunung Meru-
Betiri, Bali Barat, daerah Kutai, Tanjung Puling, Dumoga Bone, serta Lore Lindu-Manusela
telah ditetapkan pada tanggal14 Oktober 1982, bertepatan dengan Kongres Taman Nasional
Sedunia ke III di Bali.

Dalam rangka pembinaan populasi satwa liar, selain dilakukan usaha pemanfaatan juga
tetap diperhatikan kelestariannya melalui pengurangan populasi yang telah melampaui
keseimbangan ekosistemnya, baik untuk kepentingan konsumsi dalam negeri maupun untuk
ekspor. Sumbangan devisa dari ekspor satwa liar dalam tahun 1983/1984 mencapai US
$5.934,3 ribu, yang berasal dari berbagai jenis satwa liar sebanyak 1.688,1 ribu ekor. Bila
dibandingkan dengan tahun 1982/1983 dengan nilai ekspor sebesar US $ 4.884,3 ribu yang
berasal dari 1.234,2 ribu ekor, berarti masing-masing telah meningkat sebesar 21,5 persen dan
36,8 persen. Dalam pada itu sejalan dengan upaya-upaya dalam bidang perlindungan hutan dan
pelestarian alam, pembinaan terhadap pencinta alam juga dilaksanakan dan ditingkatkan. Untuk
itu selama Pelita III telah diadakan penyuluhan, bimbingan dan pendidikan yang dimaksudkan
untuk meningkatkan kesadaran dan kecintaan masyarakat terhadap wisata alam.

7.5.3. Reboisasi, penghijauan dan rehabilitasi lahan

Dalam rangka pelaksanaan program penyelamatan hutan, tanah dan air, maka setiap
tahunnya terus ditingkatkan kegiatan di bidang reboisasi, penghijauan dan rehabilitasi lahan.
Hal ini dimaksudkan untuk mengimbangi kerusakan kawasan hutan sebagai akibat dari
perladangan berpindah, penggarapan lahan yang keliru, kebakaran hutan dan penggembalaan
ternak secara liar. Oleh karena itu dalam tahun 1983/1984 berbagai usaha penunjang telah
dilaksanakan, antara lain dengan dipekerjakannya sebanyak 7.432 orang petugas lapangan
penghijauan dan reboisasi, serta 169 orang petugas khusus penghijauan. Dan kegiatan yang
telah dilakukan tersebut, hasil reboisasi dalam tahun 1983/1984 telah meningkat sebesar 57,3
persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari 118.400 hektar menjadi 186.300
hektar (Tabel VII.32). Selanjutnya dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Juni 1984
realisasinya telah mencapai 75.434 hektar. Di samping kegiatan-kegiatan tersebut, maka dalam
rangka reboisasi lahan kritis juga telah dilakukan persiapan-persiapan kearah pembangunan

Departemen Keuangan RI 189


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

hutan jenis kayu indah dan langka, antara lain berupa studi-studi dan penyiapan rencana
pengembangannya pada areal seluas 720.000 hektar, yang tersebar di 15 propinsi. Sedangkan
dalam rangka pengembangan dan pembenihan, antara lain telah dilakukan pengembangan
teknologi benih dan pemulihan jenis pohon. Dalam hubungan ini, selama Pelita III telah
dibangun somber benih seluas 4.600 hektar, dan untuk menunjang kegiatan tersebut telah
dibangun Pusat Teknologi Benih di Bogor, Pusat Pemulihan Pohon di Yogyakarta dan Unit
Pengembangan Teknologi Persemaian di Benahat, Sumatera Selatan.

Sejak tahun 1976/1977 kegiatan penghijauan, seperti halnya reboisasi dilakukan


melalui dana Inpres bantuan penghijauan dan reboisasi. Dalam pelaksanaannya kegiatan
tersebut dilakukan melalui metoda sipil teknis, yaitu kegiatan yang dikaitkan dengan pern-
bangunan irigasi, dan dengan metoda vegetatif yang antara lain dilakukan melalui pembuatan
kebun-kebun rakyat. Selama Pelita III, melalui metoda sipil teknis telah berhasil clibangun
sebanyak 2.390 unit checkdam, yang sarna dengan luas kawasan penghijauan seluas 579.500
hektar, pembuatan beras dan saluran air seluas 184.576 hektar, serta pembuatan petak
percontohan penghijauan sebanyak 2.753 unit yang masing-masing luasnya antara 10 sampai 20
hektar. Sedangkan melalui metoda vegetatif telah berhasil dibuat kebun rakyat seluas 1.613,6
ribu hektar. Dari hasil-hasil yang telah dicapai tersebut, maka selama Pelita III realisasi
kegiatan penghijauan secara keseluruhan telah meningkat sebesar 44,2 persen bila
dibandingkan dengan Pelita II, yaitu dari rata-rata seluas 364.360 hektar per tahun, menjadi
525.400 hektar per tahun. Selanjutnya dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Juni I 1984
juga telah berhasil dilakukan penghijauan seluas 311.000 hektar. Dalam rangka kegiatan
rehabilitasi lahan, maka dilakukan upaya pemukiman kembali bagi para peladang berpindah
untuk mencegah rusaknya sumberdaya alam berupa hutan, yang pelaksanaannya dilakukan baik
di dalam maupun di luar kawasan hutan. Sehubungan dengan itu, sampai dengan tahun
1982/1983 telah dilaksanakan pemukiman kembali terhadap para peladang berpindah sebanyak
6.262 kepala keluarga (KK), yang kemudian ditingkatkan lagi dalam tahun 1983/1984 menjadi
7.210 KK. Di samping itu dilakukan juga pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara
terpadu, serta penyuluhan guna peningkatan partisiposi masyarakat dalam pemeliharaan
kelestarian sumberdaya alam.

Departemen Keuangan RI 190


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII. 32
AREAL PENGHIJAUAN DAN REBOISASI, 1969 - 1984
( dalam hektar )

Tahun Penghijauan Reboisasi

1969 149.578 33.174


1970 98.681 35.315
1971 102.259 22.118
1972 107.855 35.650
1973 104.500 53.402
1974 149.802 50.682
1975 70.623 89.658
1976 302.697 170.543
1977 632.689 204.148
1978 665.991 276.544
1979 578.400 213.000
1980 558.100 179.700
1981 501.900 147.000
1982 378.600 118.400
1983 610.000 186.300 1)
1984 2) 311.000 75.434

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Tabel VII. 33
PENGUSAHAAN HUTAN SAMPAI DENGAN MARET 1984 1)

Jenis dan sifat usaha Jumlah Luas areal Investasi


(unit) (ribu ha) ( US$ juta)
1.Perusahaan yang merupakan usaha nasional 457 45.032,9 1.971,1
2.Perusahaan patungan 61 7.840,7 240,3
3.Peruasahaah dalam rangka PMA 2 126,0 8,1
Jumlah perusahaan yang telah memperoleh HPH 520 52.999,6 2.219,5

1) Angka sementara

7.5.4. Pengusahaan hutan

Berdasarkan tataguna hutan kesepakatan luas kawasan hutan produksi di Indonesia


adalah sekitar 70 juta hektar, yang pengusahaannya di luar Jawa selain dilakukan oleh Perum
Perhutani juga dilaksanakan oleh pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Dalam hubungan
ini, sampai dengan akhir bulan Maret 1984 telah dilakukan pengusahaan hutan sebanyak 520
unit dengan areal konsesi seluas 52,9 juta hektar dan investasi yang ditanam senilai US $
2.219,5 juta (Tabel VII.33). Apabila ditinjau dari status dan sumber permodalannya, dari 520

Departemen Keuangan RI 191


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

unit perusahaan yang telah memperoleh HPH tersebut, sebanyak 457 unit di antaranya adalah
perusahaan nasional dengan areal pengusahaan seluas 45,0 juta hektar dan investasi senilai US
$ 1.971,1 juta. Sedangkan selebihnya sebanyak 61 unit merupakan perusahaan patungan dan 2
unit lagi berupa penisahaan asing dalam rangka PMA. Luas areal hutan dan besarnya investasi
yang ditanam oleh kedua jenis perusahaan tersebut masingmasing adalah 7,8 juta hektar dan US
$ 240,3 juta, serta 0,1 juta hektar dan US $ 8,1 juta.

Sejalan dengan pengaturan melalui HPH, hasil produksi kayu dalam tahun 1983 berjumlah
sebesar 9.702 ribu meterkubik yang terdiri atas 8.986 ribu meter kubik kayu rimba, dan 716
ribu meterkubik kayu jati. Jumlah tersebut apabila dibandingkan dengan tahun 1982 yang telah
mencapai sebesar 13.015 ribu meter kubik, berarti mengalami penurunan sebesar 3.313 ribu
meterkubik atau sebesar 25,4 persen. Hal tersebut disebabkan terutama karena adanya
kebijaksanaan untuk mengurangi secara bertahap ekspor kayu bulat guna lebih mendorong
industri pengolahan kayu dalam negeri. Selanjutnya dalam tahun 1984/1985 sampai dengan
bulan Maret 1984, produksinya telah mencapai sebesar 1.204 meterkubik, yang terdiri atas 754
ribu meterkubik kayu rimba dan 450 ribu meterkubik kayu jati. Walaupun produksi kayu da\am
tahun 1983 telah menurun, namun hasil volume dan nilai ekspornya telah meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam tahun 1982 volume dan nilai ekspor kayu yang
terdiri atas kayu rimba dan kayu jati baru sebanyak 5.980 ribu meterkubik senilai US $ 849,6
juta, sedangkan dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi 6.613 ribu meterkubik senilai US $
891,3 juta.

Tabel VII. 34
PRODUKSI DAN EKSPOR KAYU, 1969 - 1984
Produksi (ribu m3) Ekspor
Kayu Kayu Volume % Nilai
Tahun jati rimba J umIah (ribu m3 produksi (US$juta)
1969 520 7.587 8.107 3.596 44,3 26
1970 568 11.856 12.424 7.412 59,6 100,6
1971 770 12.968 13.738 10.760 78,3 168,6
1972 597 17.120 17.717 13.981 78,4 230,7
1973 676 25.124 25.800 19.488 75,5 583,9
1974 620 22.660 23.280 18.448 79,2 725,7
1975 595 15.701 16.296 13.921 85,4 501,6
1976 480 20.947 21.427 18.521 86,4 783,8
1977 573 22.366 22.939 19.806 86,3 961,4
1978 475 25.781 26.256 20.262 65,2 1.008,70
1979 575 24.490 25.065 19.610 74,2 1.786,60
1980 500 21.240 21.740 14.327 65,9 1.805,70
1981 578 15.376 15.954 8.425 52,8 1.035,40
1982 692 12.323 13.015 5.980 45,9 849,6
1983 1) 716 8.986 9.702 6.613 68,2 891,3
1984 2) 450 754 1.204 2.123 76,3 385
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 192


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII. 35
JENIS-JENIS KAYU DALAM PERSENTASE DARIPADA VOLUME EKSPOR KAYU,
1970 - 1983

Kapur/
Tahun Meranti Ramin Aglutis Jati Pulai keruing Lain-lain Jumlah
1970 68,5 9,3 5,8 0,6 1,6 1,1 13,1 100
1971 62,7 10,4 2,9 0,3 0,2 0,1 22,6 100
1972 62,7 11,9 2,5 0,4 0,4 1,1 21 100
1973 58 8,8 3,9 0,8 1,7 6,9 19,9 100
1974 64,3 5 6 0,2 2,2 8,9 13,4 100
1975 68 6 3 0,3 1 10 11,7 100
1976 64,5 6,9 2,2 0,3 2,9 10,2 13 100
1977 63,4 5,s 1,9 0,4 4 10,1 14,4 100
1978 66 5,5 1,8 0,2 2,3 10,6 13,6 100
1979 58,9 3,9 1,9 0,2 1,8 11,7 21,6 100
1980 57,8 3,8 1,7 0,1 2,7 10,7 23,2 100
1981 54,1 3,2 2 0,2 2,9 10,8 26,8 100
1982 56,7 14,6 1,2 0,7 0,7 14,4 11,7 100
19831) 70,2 14,6 2,7 0,8 1,7 4,5 5,5 100
1) Angka sementara

Hal ini berarti telah terjadi peningkatan volume dan nilai ekspor masing-masing sebesar
10,6 persen dan 4,9 persen. perkembangan volume dan nilai ekspor kayu dapat diikuti melalui
Tabel VII.34. Dilihat dari sudut permintaan, beberapa jenis kayu dari Indonesia cukup dikenal
dan mempunyai posaran yang mantap di luar negeri. Jenis kayu tersebut antara lain adalah kayu
meranti, ramin, kruing, agatbis, pulai dan jati. Sebagaimana terlihat Facia Tabel VII. 35, sejak
lima tahun terakhir jenis kayu meranti merupakan bagian terbesar dalam komposisi ekspor kayu
Indonesia, yaitu dari 58,9 persen dalam tahun 1979 meningkat menjadi 70,2 persen dalam tahun
1983. Demikian pula jenis kayu ramin, agatbis dan jati peranannya telah meningkat masing-
masing dari 3,9 persen, 1,9 persen dan 0,2 persen menjadi 14,6 persen, 2,7 persen dan 0,8
persen. Walaupun jenis-jenis kayu tersebut pemasarannya ke luar negeri telah mantap, namun
beberapa jenis kayu lainnya masih harus dikembangkan dan dipromosikan agar dapat
memasuki posaran dunia. Oleh karena itu guna mencegah kemungkinan melemahnya ekspor
kayu di posaran internasional, antara lain telah dilakukan diversifikasi komoditi dan
pemasarannya melalui pengembangan pemasaran ekspor hasil olahan/industri dan perluasan
negara tujuan ekspor. Akibat positif daripada kebijaksanaan tersebut ditandai dengan
berkembangnya industri kayu gergajian dan kayu lapis di dalam negeri, yang sampai dengan
bulan Maret 1984 jumlahnya telah mencapai 412 unit dengan kapositas produksi sebanyak 11,9
juta meterkubik. Sedangkan jumlah industri kayu lapis, dalam waktu yang sarna telah
berjumiah sebanyak 162 unit dengan kapositas produksi sebanyak 8,0 juta meterkubik.

Departemen Keuangan RI 193


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

7.6. Pertambangan dan energi

Selama Pelita III, peranan bidang pertambangan dan energi masih tetap besar dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia, walaupun dalam kurun waktu tersebut hampir
seluruh komoditi tambang yang diekspor mengalami kesulitan pemasaran. Namun demikian
produksi beberapa bahan tambang masih menunjukkan peningkatan apabila dibandingkan
dengan tahun terakhir Pelita II, khususnya di sektor minyak dan gas bumi. Perekonomian dunia
yang tidak menentu bagi Indonesia merupakan hambatan utama dalam mencapai peningkatan
produksi bahan-bahan tambang utama, yang tercermin dari pembatasan produksi minyak bumi
sebagaimana telah disepakati oleh negara-negara penghasil minyak OPEC dan pernbatasan
ekspor timah dari Dewan Timah Internasional terhadap anggota-anggotanya. Sehubungan
dengan itu telah dilakukan upaya-upaya antara lain berupa pengembangan inventarisasi dan
eksploitasi berbagai sumberdaya mineral dan energi, serta pengembangan teknologi
pertambangan yang mencakup pula pengolahannya. Upaya-upaya tersebut selain dimaksudkan
untuk menjamin kelangsungan dan peningkatan produksi, juga ditujukan untuk
penganekaragaman hasil-hasil pertambangan, baik untuk keperluan ekspor maupun guna
memenuhi kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri. Sampai dengan tahun terakhir Pelita
III telah dapat diselesaikan perluasan kilang minyak Cilacap serta pembangunan unit hydro
cracker di Dumai dan di Balikpapan dalam rangka pemehuhan BBM dalam negeri, di sam ping
perluasan kilang LNG (liquified natural gas) Arun dan kilang LNG Badak. Dengan hasil-hasil
terse but Indonesia telah dapat mengurangi ketergantungannya terhaclap impor bahan bakar
minyak (BBM), LNG dan LPG (liquified petroleum gas). Selama Pelita III, perkembangan
yang paling menonjol di sektor pertambangan antara lain ditandai oleh keberhasilan dalam
meningkatkan produksi batu bara, sebagai langkah persiapan menuju pengembangan dan
pemanfaatan batU bara secara besar-besaran di masa datang.

7.6.1. Minyak dan gas bumi

Hasil produksi minyak bumi dalam tahun kelima Pelita III mencapai 517,6 juta barrel,
yang terdiri dari 477,9 juta barrel minyak mentah, dan selebihnya sebanyak 39,7 juta barrel
berupa kondensat. Jumlah terse but menunjukkan peningkatan sebesar 12,7 persen apabila
dibandingkan dengan produksi tahun keempat Pelita III yang berjumlah 459,0 juta barrel.
Dengan melemahnya posaran minyak dunia akhir-akhir ini dan pembatasan produksi yang
disepakati oleh para anggota OPEC sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan tingkat
harga yang kini berlaku, maka perkembangan produksi minyak bumi menjadi kurang

Departemen Keuangan RI 194


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

menggembirakan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka ditempuh kebijaksanaan untuk


meningkatkan eksplorasi, antara lain dengan menggiatkan survai selsmik dan pemboran sumur
minyak. Kegiatan eksplorasi yang dilaksanakan dari tahun ke tahun telah memperlihatkan hasil
yang meningkat. Jika dalam tahun terakhir Pelita II baru dilaksanakan survai seismik sepanjang
21.000 kilometer lintasan, dan pemboran sebanyak 141 sumur minyak, maka dalam tahun
terakhir Pelita III telah berhasil dilakukan survai seismik sepanjang 56.944 kilometer lintasan
dan pemboran sumur minyak sebanyak 250 sumur. Dalam tahun 1983 telah dilakukan
eksplorasi terhadap 4 lokasi baru yang meliputi daerah Riau, Melawai Barat, Melawai Timur
dan Sumatera Selatan. Adapun produksi minyak bumi dalam tahun 1984/1985 sampai dengan
bulan Juni 1984 telah mencapai sekitar 259 juta barrel, yang terdiri alas 237 juta barrel minyak
mentah dan 22 juta barrel kondensat. Perubahan situasi posaran minyak bumi internasional
yang terjadi selama Pelita III, selain berpengaruh terhadap produksi minyak bumi juga
menghambat usaha peningkatan ekspor. Realisasi ekspor minyak bumi Indonesia selama Pelita
III, kecuali tahun terakhir Pelita III yang sedikit meningkat, dari tahun ke tahun menunjukkan
kecenderungan menurun hila dibandingkan dengan tahun terakhir Pelita II. Volume ekspor
minyak bumi dan hasil minyak dalam tahun 1983/1984 telah mencapai sebanyak 413,1 juta
barrel atau sebesar 22,9 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 1982/1983 yang
baru mencapai sebanyak 336,1 juta barrel (Tabel VII.36). Sedangkan volume ekspornya dalam
tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Juni 1984 telah mencapai sekitar 215 juta barrel.

Sementara itu meningkatnya kebutUhan terhadap BBM dalam negeri telah diimbangi
dengan pengadaan dan peningkatan produksi BBM yang berasal dari kilang minyak dalam
negeri. Dalam hubungan ini selama Pelita III khususnya dalam tahun 1983/1984 telah
ditingkatkan kapositas pengilangan minyak di kilang Balikpapan dan Cilacap, masing-masing
sebanyak 200 ribu barrel per hari. Di samping itu juga dilakukan pembangunan unit hydro-
cracker kilang Dumai, yang dapat mengolah bahan residu berkadar belerang rendah, dengan
kapositas 85 ribu barrel per hari. Dengan ditingkatkannya kapositas pengilangan di dalam
negeri tersebUt, maka produksi minyak bumi yang telah dapat diolah dalam tahun 1983/1984
mencapai 99 juta barrel atau 10 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dengan demikian secara keseluruhan produksi pengilangan minyak bumi dalam tahun terakhir
Pelita III telah mencapai 198 juta barrel, yang terdiri atas 99 iuta barrel hasil kilang dalam
negeri dan sebanyak 99 juta barrel dari hasil kilang luar negeri (Tabel VII.37). Selanjutnya dari
jumlah BBM hasil kilang dalam negeri terse but telah diposarkan untuk keperluan di dalam
negeri sebanyak 161 juta barrel, atau 2 juta barrel lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun

Departemen Keuangan RI 195


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sebelumnya.

Berbeda dengan minyak bumi, gas bumi tetap dapat ditingkatkan produksinya selama
Pelita III. Produksi gas bumi dalam tahun 1983/1984 mencapai sebanyak 1.278 milyar
kakikubik, dan yang telah dimanfaatkan adalah sebanyak 1.123 milyar kakikubik atau 87,9
persen. Apabila dibandingkan dengan produksi dan pemanfaatan dalam tahun 1982/1983 yang
masing-masing berjumlah 1.100 milyar kakikubik dan 932 milyar kakikubik, maka berarti telah
terjadi peningkatan masing-masing sebesar 16,2 persen dan 20,5 persen. Sedangkan apabila
dibandingkan dengan produksi dan pemanfaatan gas bumi dalam tahun terakhir Pelita II yang
masing-masing baru mencapai 868,2 milyar 'kakikubik dan 650,6 milyar kakikubik, maka
terdapat kenaikan sebesar 47,2 persen dan 76,6 persen. Peningkatan pemanfaatan gas bumi
tersebut antara lain disebabkan karena adanya peningkatan pemanfaatan gas bumi untuk LNG,
pembuatan pupuk urea, energi pengganti BBM bagi kilang minyak dan pabrik semen Cibinong,
serta bagi perusahaan gas negara (PGN) di kota Jakarta dan Bogor. Perkembangan produksi dan
pemanfaatan gas bumi sampai dengan tahun 1983/1984 dapat diikuti melalui Tabel VII.38.

Tabel VII. 37
VOLUME PENGILANGAN MINYAKMENTAH, 1969/1970 -1983/1984
( dalam juta barrel )

Tahun Minyak mentah yang diolah Persentase


( in-take) kenaikan

1969/1970 75,8
1970/1971 86,0 – 13,5
1971/1972 93,1 8,3
1972/1973 103,0 10,6
1973/1974 128,9 25,1

1974/1975 115,5 - 10,4


1975/1976 117,8 2,0
1976/1977 116,6 1,1
1977/1978 161,3 38,3
1978/1979 158,2 - 2,0

1979/1980 195,0 23,3


1980/1981 189,9 – 3,3
1981/1982 191,0 0,6
1982/1983 183,1 – 4,1
1983/19841) 198,0 8,1

1) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 196


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII. 38
PRODUKSI DAN PEMANFAATAN GAS BUMI, 1974/1975 - 1983/1984
( milyar kaki kubik )

Tahun Produksi Pemanfaatan

1974/1975 206,2 78,4


1975/1976 239,2 85,2
1976/1977 344,4 148,1
1977/1978 633,1 366,7
1978/1979 868,2 650,6
1979/1980 1.028,8 795,1
1980/1981 1.042,2 813,1
1981/1982 1.136,2 914,8
1982/1983 1) 1.100,0 932,0
1983/1984 2) 1.278,0 1.123,0

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Tabe1 VII. 39
PRODUKSI DAN EKSPOR TIMAH, 1969/1970 -1983/1984
(dalam ribu ton)
,
Produksi
Tahun Bijih Logam timah Ekspor

1969/1970 17,9 - 16,4


1970/1971 19,1 - 17,4
1971/1972 20,5 - 19,1
1972/1973 21,5 - 20,7
1973/1974 22,9 14,8 21
1974/1975 25,5 15 23,6
1975/1976 25,1 18,8 20,7
1976/1977 23,3 23,2 26,5
1977/1978 26,2 24,6 24,3
1978/1979 27,4 24,3 25,6
1979/1980 30,2 28,4 27,2
1980/1981 33,6 31,2 31,3
1981/1982 35,9 33 32,8
1982/1983 33 30,2 27,7
1983/1984 1) 25,4. 25,8 25
1) Angka sementara

Produksi LNG di Indonesia baru mulai dilakukan sejak Pelita II, yakni di LNG Plant
Badak dan LNG Plant Arun. Dalam tahun 1983/1984, jumlah produksi LNG telah mencapai
11,0 juta ton sarna dengan sebanyak 569,3 juta MMBTU, yang berarti mengalami kenaikan
sebesar 17,2 persen dibandingkan dengan tahun 1982/1983 yang berjumlah 9,4 juta ton sarna
dengan 485,1 juta MMBTU. Sejalan dengan meningkatnya produksi LNG tersebut, maka
ekspor LNG yang telah dimulai sejak tahun 1977 juga terus menunjukkan peningkatan. Apabila
dalam tahun 1982/1983 baru diekspor sebanyak 477,8 juta MMBTU, maka dalam tahun

Departemen Keuangan RI 197


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

1983/1984 telah meneapai sebanyak 555,5 juta MMBTU yang berarti terjadi peningkatan
sebesar 16,3 persen.

Produksi LPG yang berasal dari kilang minyak Plaju, Sungai Gerong, LPG Plant
Rantau di Sumatera Utara, Mundu di Cirebon, Lex Plant Union Oil Samail di Kalimantan
Timur dan LPG Plant Areo di J awa Barat, sampai dengan tahun terakhir Pelita III terus
mengalami peningkatan. Produksi LPG dalam tahun 1983/1984 meneapai sebanyak 514.198
metrik ton atau 5,6 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1982/1983 yang berjumlah
486.834 metrik ton. Dalam waktu yang sarna, volume ekspor LPG telah menurun sebesar 1,0
p_rsen, yaitu dari sebesar 461.559 metrik ton dalarn tahun 1982/1983 menjadi sebesar 456.952
metrik ton dalam tahun 1983/1984. Di lain pihak nilai ekspornya telah menunjukkan
peningkatan, yaitu dari US $ 86,4 juta dalam tahun 1982/1983 menjadi US $ 108,1 juta dalarn
tahun 1983/1984, atau suatu peningkatan sebesar 25,1 persen.

7.6.2. Timah

Hasil produksi timah dalam tahun 1982/1983 meneapai sebanyak 33,0 ribu ton bijih
timah dan 30,2 ribu ton logam timah. Dalam tahun 1983/1984 terjadi penurunan produksi
menjadi sebanyak 25,4 ribu ton bijih .timah dan 25,8 ribu ton logam timah. Adapun volume
ekspor tin:ah dalam 2 tahun yang sarna juga mengalami penurunan, yaitu jika dalam tahun
1982/1983 meneapai sebanyak 27,7 ribu ton senilai US $ 351.997 juta, maka dalam tahun
1983/1984 menjadi sebanyak 25,0 ribu ton senilai US $ 309.505 juta. Penumoan tersebut antara
lain disebabkan oleh adanya kemerosotan harga timah di posaran internasional, kesulitan
pemasaran di luar negeri, serta pembatasan kuota ekspor yang dikenakan oleh Dewan Timah
Internasional kepada negara-negara pengekspor timah. Sedangkan penjualan logam timah di
dalam negeri dalam tahun 1982/1983 dan tahun 1983/ 1984 masing-masing meneapai sebanyak
464,2 ton dan 406,1 ton. Perkembangan produksi dan ekspor logam timah dapat dilihat pada
Tabel VII.39.

7.6.3. Nikel

Jumlah ekspor hasil tambang nikel selama 2 tahun terakhir Pelita III berturut-turut mengalami
penurunan, yaitu apabila dalam tahun 1982/1983 berjumlah sebanyak 897,5 ribu ton senilai US
$ 19.566 juta, maka dalam tahun 1983/1984 telah turun menjadi 810,7 ribu ton senilai US $
15.870 juta. Penurunan tersebut disebabkan karena berkurangnya jumlah permintaan nikel di
posaran dunia.

Departemen Keuangan RI 198


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII. 40
PRODUKSI DAN EKSPOR BIJIH NIKEL, 1969/1970 -1983/1984
(dalam ribu ton)

Tahun Produksi Ekspor

1969/1970 311,0 232,0


1970/1971 689,0 538,4
1971 /1972 850,0 764,7
1972/1973 971,5 737,5
1973/1974 989,9 830,4
1974/1975 781,1 853,2
1975/1976 751,2 707,6
1976/1977 1.177,4 924,5
1977/1978 1.316,7 830,0
1978/1979 1.778,0 887,6

1979/1980 853,2 1.192,4


1980/1981 707,6 1.238,7
1981/1982 924,5 1.207,5
1982/1983 830,0 897,5 1)
1983/1984 2) 887,6 810,7

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Tabel VII. 41
PRODUKSI DAN EKSPOR KONSENTRAT TEMBAGA, 1972/1973 - .1983/1984
(dalam ribu ton kering)

Tahun Produksi Ekspor

1972/1973 9,7 8,3


1973/1974 125,9 114,2
1974/1975 212,6 207,2
1975/1976 201,3 194,2
1976/1977 223,3 216,8
1977/1978 189,1 220,6
1978/1979 184,9 167,8
1979/1980 188,5 187,1
1980/1981 178,3 176,6
1981/1982 197,5 209,7
1982/1983 225,4 1) 211,6
1983/1984 2) 199,7 202,8

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 199


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII. 42 Tabel VII. 43


PRODUKSI DAN EKSPOR P ASIR BESI, PRODUKSI BATU BARA, 1969/1970 -
1970/1971 - 1983/1984 ( dalam ribu ton)
( dalam ribu ton)
Persentase
Tahun Produksi Ekspor Tahun Produksi kenaikan
1969/1970 176 -
1970/1971 53,8 - 1970/1971 175,4 -0,4
1971 /1972 298,2 242,7 1971/1972 196,8 12,2
1972/1973 237,6 276,2 1972/1973 177,2 -10
1973/1974 321,7 283,6 1973/1974 145,9 -17,7
1974/1975 349,2 348,6 1974/1975 171,6 17,6
1975/1976 346,2 290,1 1975/1976 204 18,9
1976/1977 299,7 276,9 1976/1977 183,3 -10,1
1977/1978 317,2 291,2 1977/1978 248,5 35,6
1978/1979 120,2 66,5 1978/1979 256 3
1979/1980 78,5 9,5 1979/1980 267,3 4,4
1980/1981 68,3 35,1 1980/1981 329,3 23,2
1981/1982 105,6 25,5 1981/1982 376,2 14,2
1982/1983 135,7 1) 10,3 1982/1983 456,5 21,3
1983/1984 2) 122,1 12 1983/19841) 614,7 34,6

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
1) Angka sementara

Jumlah feronikel yang diekspor dalam tahun 1982/1983 dan 1983/1984 masingmasing
mencapai sebanyak 4.923,1 ton senilai US $ 21.274 juta dan 4.935,1 ton senilai US $ 23.001
juta. Dalam tahun 1982/1983 telah di ekspor nikel matte sebanyak 15.876 ton senilai US
$100.624,4 ribu, dan dalam tahun 1983/1984 telah meningkat menjadi 22.443 ton senilai US $
42.248,5 ribu. Perkembangan jumlah produksi dan ekspor bijih nikel dapat dilihat dalam Tabel
VII.40.

7.6.4. Tembaga

Produksi tembaga dalam tahun 1981/1982 telah mencapai 197,5 ribu ton, dari dalam
tahun 1982/1983 meningkat menjadi sebanyak 225,4 ribu ton. Sedangkan dalam tahun
1983/1984 jumlahnya mengalami penurunan menjadi sebanyak 199,7 ribu ton. Adapun jumlah
ekspornya dalam tahun 1981/1982 telah mencapai sebanyak 209,7 ribu ton senilai US $130.536
juta, dan kemudian dalam tahun 1982/1983 meningkat menjadi sebanyak 211,6 ribu ton senilai
US $ 114.130 juta. Namun dalam tahun 1983/1984 menurun menjadi sebanyak 202,8 ribu ton
senilai US $ 130.469 juta. Perkembangan jumlah produksi dan ekspor konsentrat tembaga dapat
dilihat pada Tabel VII.41.

Departemen Keuangan RI 200


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

7.6.5. Pasir besi

Penambangan pasir besi sejak 1 Maret 1982 hanya dilakukan di daerah Cilacap, karena
daerah penambangan di daerah Pelabuhan Ratu telah habis cadangannya. Sedangkan
pengembangan cadangan pasir besi di daerah pantai selatan Yogyakarta masih terbatas dalam
studi kelayakan, dan sedang dilakukan penelitian lanjutan guna mencari metode pemrosesan
lainnya dalam rangka pemanfaatan pasir besi Yogyakarta menjadi bahan baku bagi pabrik besi
baja PT Krakatau Steel. Hasil produksi pasir besi yang dalam tahun 1981/1982 sebanyak 105,6
ribu ton, dalam tahun 1982/1983 meningkat menjadi 129,9 ribu ton, sedangkan dalam tahun
1983/1984 mengalami penurunan menjadi 122,1 ribu ton. Dalam tahun 1982/1983 dan
1983/1984 telah diekspor masing-masing sebanyak 10,3 ribu ton senilai US $ 123,1 ribu dan
12,0 ribu ton senilai US $ 119,9 ribu. Perkembanganjumlah produksi dan ekspor pasir besi
dapat dilihat pada Tabel VII.42.
Tabel VII. 44 T a bel VII. 45
PRODUKSI DAN PENJUALAN DALAM NEGERI LOGAM PRODUKSI, PENJUALAN DALAM NEGERI DAN EKSPOR
1969/1970 - 1983/1984 LOGAM PERAK, 1969/1970 - 1983/1984
(dalam kilogram) (dalam ton)
Tahun Produksi Penjualan Tahun Produksi Penjualan Ekspor
1969/1970 261 - 1969/1970 10,5
1970/1971 255,4 - 1970/1971 9,2
1971/U)72 343,4 - 1971/1972 8,1
1972/1973 332,3 288,4 1972/1973 9,2 2,6 6,7
1973/1974 327,3 324 1973/1974 8,4 3,8 7,3
1974/1975 260 262,5 1974/1975 6,1 2,1 4
1975/1976 321,5 290 1975/1976 4,2 0,3 1
1976/1977 349,2 398 1976/1977 3,1 3,9
1977/19'18 252,3 269 1977/1978 2,8 3,1
1978/1979 220,3 250,9 1978/1979 2,2 2,4
1979/1980 197,4 186,2 1979/1980 1,8 1,8
1980/1981 224,7 246,1 1980/1981 2,3 2,41)
1981/1982 172,6 170,7 1981/1982 1,9 1,9
1982/1983 262,4 251,2 1982/1983 3,1 2,9 I)
1983/1984 1) 265,1 261 1983/1984 1,7 1,7
1) Angka diperbaiki
I) Angka sementara 2) Angka sementara

7.6.6. Batu bara

Dalam tahun 1983/1984 produksi batu bara berjumlah 614,7 ribu ton, yang berarti
peningkatan sebanyak 158,2 ribu ton atau 34,7 persen dibandingkan dengan produksi tahun
1982/1983 yang baru mencapai 456,5 ribu ton. Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan
bahan bakar di dalam negeri, maka sebagian daripada produksi batu bara tersebut telah pula
diekspor. Dalam tahun 1983, jumlah ekspor batu bara Indonesia mencapai sebanyak 283,8 ribu
ton, yang berarti suatu kenaikan sebanyak 162,5 ribu ton atau 133,9 persen bila dibandingkan
dengan tahun 1982 yang baru mencapai 121,3 ribu ton. Perkembangan produksi batu bara dapat
dilihat pada Tabel VII.43.

Departemen Keuangan RI 201


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

7.6.7. Emas dan perak

Penambangan emas dan perak yang dilakukan di penambangan Cikotok, Banten


Selatan, Jawa Barat telah semakin dalam, sehingga kadar emas dan perak dari bijih yang
dihasilkan menjadi semakin rendah, sedangkan kadar logam timbal dan seng semakin tinggi.
Melalui proses yang telah disempurnakan, selain dihasilkan konsentrat emas dan perak juga
diperoleh konsentrat timbal dan seng yang dapat diekspor walaupun saat ini jumlahnya masih
kecil. Selain itu emas dan perak juga dihasilkan oleh Freeport Indonesia Inc berupa logam
ikutan dalam konsentrat tembaga, dan oleh sejumlah pertambangan rakyat yang dilaksanakan
dengan peralatan dan teknik yang sederhana serta dengan hasil produksi yang tidak teratur.
Selama tahun 1983/1984 hasil produksi dan penjualan emas di dalam negeri, masing-masing
meneapai 266,1 kilogram dan 261,0 kilogram, yang berarti telah terjadi peningkatan sebanyak
3,7 kilogram untuk produksi dan sebanyak 9,8 kilogram untuk penjualannya, masing-masing
bila dibandingkan dengan tahun 1982/1983. Sedangkan produksi dan penjualan logam perak
dalam tahun 1983/1984 masing-masing meneapai 1,7 ton dan 1,7 ton, yang berarti mengalami
penurunan sebanyak 1,4 ton atau 45,2 persen untuk produksi dan sebanyak 1,2 ton atau 41,4
persen untuk penjualannya hila dibandingkan dengan tahun 1982/1983. Perkembangan produksi
dan penjualan logam emas dan perak dapat dilihat pada Tabel VII.44 dan Tabel VII.45.

7.6.8. Bauksit

Penambangan bauksit di Indonesia dilakukan di daerah pulau Bintan dan sekitarnya,


yaitu di pulau Tembiling, pulau Kelong dan pulau Dendang, yang masing-masing dilengkapi
dengan instalasi pencucian. Sementara itu penambangan di pulau Angkut telah dihentikan
karena cadangan bauksitnya telah habis. Penambangan di pulau Koyang sejak tahun 1982 telah
dihentikan, walaupun cadangan bauksitnya masih ada, yang disebabkan karena penambangan
tersebut tidak menguntungkan. Dalam tahun 1982/1983 jumlah produksi dan ekspor bauksit
masing-masing berjumlah sebanyak 721,0 ribu ton dan 792,6 ribu ton, sedangkan dalam tahun
1983/1984 masing-masing telah meningkat menjadi sebanyak 841,9 ribu ton dan 861,2 ribu ton,
atau suatu peningkatan sebesar 17 persen dan 9 persen. Perkembangan produksi dan ekspor
bauksit dapat dilihat pada Tabel VII.46. Dari tabel tersebut terlihat bahwa produksi dan ekspor
bauksit dalam tahun terakhir Pelita III mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun
terakhir Pelita II, yang terutama disebabkan karena pemasaran bauksit Indonesia hanya tertuju
ke Jepang, sedangkan di Jepang telah terjadi restrukturisasi dalam industri, sehingga
menurunkan permintaan bauksit di negara tersebut.

Departemen Keuangan RI 202


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

7.6.9. Granit

Dewasa ini penambangan batu granit dilaksanakan di pulau Karimun, Riau. Dalam
pada itu penjualan batu granit dilaksanakan baik untuk keperluan ekspor khususnya ke
Singapura dan Malaysia, maupun untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Dalam tahun
1982/1983, jumlah produksi dan ekspor granit mencapai 2.307,0 ribu ton dan 713,6 ribu ton,
sedangkan dalam tahun 1983/1984 telah terjadi penurunan masing-masing menjadi 2.190,7 ribu
ton dan 1.390,4 ribu ton. Hal ini berarti produksi granit mengalami penurunan sebanyak 116,3
ribu ton atau 5 persen, sedangkan ekspornya telah meningkat sebanyak 676,80 ribu ton atau
sebesar 95 persen. Perkembangan produksi dan ekspor granit dapat dilihat pada Tabel VII.47.

7.6.10. Bahan-bahan tambang lainnya

Bahan-bahan tambang lainnya, yang termasuk dalam bahan galian industri atau bahan
galian golongan C, terdiri alas kaolin, mangaan, aspal, yodium, belerang, fosfat, ashes, posir
kuarsa, marmer, gamping lempung, peldspar, bentonit, yarosit dan kalsit. Kegiatan
penambangan bahan-bahan tambang tersebut dilakukan oleh badan usaha milik negara
(BUMN) dan perusahaan swasta nasional. Pada umumnya bahan tambang ini diperuntukkan
bagi konsumsi dalam negeri, walaupun di antaranya telah ada yang diekspor dalam jumlah
relatif kecil dan secara tidak teratur. Perkembangan produksi tambang lainnya dapat dilihat
pada Tabel VII.48.
Tabel VII.48
PRODUK BAHAN GALIAN 1), 1972 - 1983
( dalam ton kecuali marmer dalam m2 slabs)
Jenis 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 19834)
1. Bahan - bahan semen
a. Gamping 411.976 995.767 1.114.079 1.374.433 2.120.909 3.724.575 1.657.528 2.690.439 7.605.644 3.360.484 9.753.942 6.865.621
b. Lempung 76.610 164.287 219.066 '270.893 379.569 653.782 332.152 583.522 1. 716.811 524.643 1.266.078 907.771
2. Marmer 9.717 12.232 13.520 19.828 25.944 35.216 33.496 25.216 25.315 28.842 1.603 220
3. Aspal 115.580 95.149 75.170 115..697 104.990 138.739 161.817 80.601 173.018 276.626 192.563 725.752
4. Yodium 9,6 19,4 25,9 33,1 27 11,9 7,3 25,3 29,3 25,3 28,9 25,2
5. Mangaan 7.522 15.965 18.228 14.192 8.780 6.847 5.889 6.909 4.196 2.639 17.894 7.783
6. BeIerang 900 1.951 2.349 3.944 3.483 1.697 1.7633) 1803) 1973) 4973) 1.144 3.639
7. Fosfat 1.320 819 5.563 7.902 7.465 3.598 6.071 5.323 11.111 7.295 5.631 2.949
8. As b e s 223 283 92 - 50 31 - 15 103) 253) 74
9. K a 0 1 i n 12.906 29.609 25.971 30.528 29.323 38.006 37.115 58.529 75.647 80.904 75.870 _2)
10. Posir kwarsa 44.148 64.161 62.688 85.979 110.809 221.441 310.051 106.244 260.074 155.730 938.618 _2)
11. Feldspar 2.756 1.648 6.616 13.721 12.266 16.750 13.345 11.939
12. K a Is it - 3.485 2.764 1.704 784 1.241 _2)
13. Yarosit - - 274 341 1.196 148 147 _2)
14. Bentonit - - 4.191 2.847 6.396 3.973 7.597 _2)
15. G ips - - - 290 453 855 570 _2)
1) Mcrupakan hasil usaha swasta nasional, pcrusahaan daerah dan lain-lain
2) Data tidak terscdia
3) Angka diperbaiki
4) Angka scmcntara

7.6.11. Listrik

Pembangunan di bidang kelistrikan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh


masyarakat, baik masyarakat pedesaan maupun perkotaan, serta untuk mendorong dan

Departemen Keuangan RI 203


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

merangsang kegiatan ekonomi. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat di
segala bidang, maka peranan listrik semakin mempunyai arti penting, baik sebagai sarana
kehidupan sehari-hari maupun sebagai sarana produksi. Hal ini terlihat antara lain dari
permintaan tenaga listrik yang semakin meningkat yang diakibatkan oleh terus bertambahnya
tingkat kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu pembangunan di bidang kelistrikan terus
dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pelaksanaan pembangunan tenaga listrik
tersebut didasarkan pada kebijaksanaan yang menyatukan seluruh sektor tenaga listrik dalam
satu kesatuan perencanaan yang menyeluruh, serta diarahkan pada pendekatan secara regional,
dengan maksud agar tercapai suatu sistem interkoneksi regional, lengkap dengan pembarigkit
transmisi dan distribusi. Selanjutnya dalam rangka diversifikasi penggunaan sumber energi dan
penghematan bahan bakar minyak, rencana dan pembangunan tenaga listrik dikaitkan dengan
kebijaksanaan umum bidang energi, yaitu sejauh mungkin memanfaatkan potensi sumber
energi non minyak dan penghematan bahan bakar minyak. Selama Pelita III, pembangunan dan
rehabilitasi tenaga listrik secara bertahap telah dapat meningkatkan baik clara terposang
pembangkit tenaga listrik maupun jaringan listriknya. Dalam tahun 1982/1983, rehabilitasi dan
pembangunan yang dilakukan pada pusat pembangkit tenaga listrik mencakup kapositas sebesar
355,720 MW, sedangkan dalam tahun 1983/1984 telah meningkat menjadi sebesar 501,800
MW, atau suatu peningkatan sebesar 41 persen. Di samping itu dalam tahun yang sarna juga
telah dilakukan rehabilitasi dan pembangunan jaringan transmisi, gardu induk dan jaringan
distribusi.

Dengan peningkatan rehabilitasi dan pembangunan di bidang kelistrikan tersebut,


maka telah dibuka peluang yang lebih besar dalam pengusahaan tenaga listrik. Dalam tahun
1982/1983 jumlah produksi tenaga listrik, penjualan tenaga listrik, daya tersambung dan daya
terpasang, masing-masing mencapai 11.843,151 MWH, 9.072,596 MWH, 5.269,251 KVA dan
3.405,980 MW. Sedangkan dalam tahun 1983/1984 masing-masing telah berkembang menjadi
sebesar 13.296,410 MWH, 10.023,619 MWH, 6.126,669 KV A dan 3.924,41 MW, yang berarti
terjadi peningkatan masing-masing sebesar 12 persen, 10 persen, 16 persen dan 15 persen.
Perkembangan produksi, penjualan, daya tersambung dan daya terpasang tenaga listrik dapat
diikuti pada Tabel VII.50. Di samping itu dengan meningkatnya pembangunan tenaga listrik,
maka telah meningkat pula kebutuhan tenaga-tenaga terampil. Untuk itu selama Pelita III telah
dilakukan pendidikan dan latihan di bidang teknis dan administratif baik di pusat pendidikan
dan latihan PLN, maupun pada lembaga-lembaga pendidikan dan latihan di luar PLN.

Departemen Keuangan RI 204


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

TABELVII.50
PRODUKSI, PENjUALAN, DAY A TERSAMBUNG
DAN DAYA TERPOSANG TENAGA LISTRIK, 1972/1973 -1983/1984

Uraian 1972/1973 1973/1974 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984

Produksi tenaga listrik (MWH) 2.494.477 3.006.669 3.345.241 3.770.294 4.127.390 4.740.660 5.722.816 7.004.288 8.420.386 10.137.910 11.846.151 13.296.410
Penjualan tenaga listrik (MWH) 1.892.609 2.214.950 2.444.107 2.803.613 3.081.817 3.532.027 4.286.921 5.343.406 6.473.026 1) 7.845.466 9.072.596 10.023.619
Daya tersambung (KVA) 934.617 1.076.264 1.261.&15 1.426.376 1.594.482 1.933.511 2.459.052 3.063.354 1) 3.744.236 4.502.788 5.269.251 6.126.669
Daya terposang (MW) 850,16 970,77 1.116,84 1.129,40 1.376,50 2.862,74 2.413,38 2.535,92 1) 2.554,801) 3.032,49 3.405,98 3.924,41

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Sejalan dengan peningkatan permjntaaan tenaga listrik yang terus berkembang, telah
ditingkatkan pula pembangunan pusat-pusat pembangkit tenaga listrik dengan tetap didasarkan
pada diverifikasi energi. Selama Pelita III telah dapat diselesaikan pembangunan sejumlah pusat
pembangkit tenaga listrik di beberapa lokasi, antara lain pusat listrik tenaga air (PLTA)
Maninjau, PLTA Wonogiri, PLTA Lodoyo, pusat listrik tenaga uap (PLTU) Semarang Unit III,
pusat listrik tenaga' gas (PLTG) Semarang Unit IV, PLTG Padang Unit III, PLTG Palembang
Unit III, PLTG Para Posir (Medan) Unit V, dan PLTG Ujungpandang unit II. Oemikian juga
beberapa pusat listrik tenaga disel (PLTD) yang tersebar di kala-kola dan di daerah pedesaan.
Selanjutnya kini juga sedang diselesaikan pembangunan beberapa pusat pembangkit tenaga
listrik, antara lain meliputi PLTU Suralaya Unit I, PLTU Belawan Unit I dan II, PLTG
Ujungpandang, PLTG Gresik Unit III, PLTG Denpasar, PLTD Bukit Asam, PLTD Tarakan,
PLTD Pontianak dan PLTD Ujungpandang. Dalam rangka pemerataan pembangunan, program
kelistrikan desa telah ditingkatkan melalui partisiposi masyarakat setempat dan pihak Pemda.
Adapun jumlah desa yang mendapat aliran listrik telah meningkat dari sebanyak 2.244 desa
pada akhir Pelita II menjadi sebanyak 8.051 desa pada akhir Pelita III. Di samping itu sekitar
2.000 ibukota kecamatan dari sejumlah 3.340 ibukota kecamatan yang ada juga telah mendapat
aliran listrik.

7.7. Industri

Pertumbuhan sektor industri yang telah dicapai selama ini adalah cukup tinggi, yaitu
mencapai rata-rata 13,0 persen per tahun dalam Pelita I, 13,7 persen per tahun dalam Pelita II
dan 8,9 persen per tahun dalam Pelita III. Sejalan dengan pembangunan yang dilakukan di
sektor industri, maka terus ditingkatkan pula keterpaduan antarsektor sehingga lebih
memantapkan proses industrialisasi. Dalam pada itu pemanfaatan kekayaan alam yang
merupakan potensi u'tama bidang industri, dalam Pelita III telah banyak menunjukkan
peningkatan. Hal ini terlihat dari perkembangan industri LNG, meningkatnya penggunaan dan
pengolahan gas alam untuk industri baja, pupuk urea dan petro kimia, pengolahan kapur dan
tanah liat untuk industri semen, serta penggunaan kayu gelondongan untuk industri kayu

Departemen Keuangan RI 205


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

gergajian dan kayu lapis. Oleh karena pembangunan sektor industri memerlukan mobilitas yang
tinggi, maka selama Repelita IV akan terus dilakukan pengamanan terhadap penyediaan sarana
angkutan, baik di dalam negeri maupun untuk angkutan komoditi ekspor, seperti angkutan
semen, pupuk, baja, kertas, dan kayu lapis. Dalam hubungan ini akan terus dilakukan
peningkatan penyediaan prasarana, terutama di wilayah pengembangan industri seperti zona
industri Cikampek, Cibinong, Gresik, Cilacap, Cilegon, Lhok Seumawe dan Indarung.

TabeI VII.51
BEBERAPA HASIL INDUSTRI, 1969/1970 - 1984/1985
Persentase perubahan
Jenis produksi 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/853) 1983/84 terbadap 3)
1969/70 1982/83
1. Tekstil (juta meter) 449,8 598,3 732 852 926,7 974 1.017,10 1.247,00 1.332,50 1.576,00 1.910,00 1.027,30 2.094,00 1. 708,9 1.995,10 737,3 343,5 16,8
2. Benang tenun (ribu ball 182,1 217 239 262 316,2 364 445,4 662,9 678,3 837,3 998 1.184,00 1.223,00 1.370,00 1.662,00 663 813,2 21,3
3. Assembling mobil (ribu buah) 5 2,9 16,9 23 36,7 65,6 78,9 75,3 83,9 108,7 102,5 172,51) 209,9 188,4 155,8 39,8 3.016,00 -17,5
4. Assembling sepeda motor
(ribu buah) 21,4 31,1 50 100 150 251 300 167,6 271,8 330,5 221,6 410 503,3 377,4 379,3 193,4 1.672,40 -34,3
5. Pup uk
- Urea (ribu ton) 85,4 102,9 108,4 120,0 115,7 209,1 387,4 406,0 990,0 1.437,2 1.827,0 1.985,1 2.006,7 1.944,1 2,204,8 - 2) 2.481,70 13,4
- Z A (ribu ton) - - - 49,7 122,8 129,1 113,8 105,2 93,3 141,0 147,8 180,8 195,2 209,6 208,0 - 2) - -0,5
6. Semen (ribu ton) 542 568,4 530,4 722,3 819 828,9 1.241,40 1.979,30 2.878,60 3.629,00 4.705,10 5.851,80 6.844,20 7.650,00 8.078,10 - 2) 1.390,40 -5,6
7. Ban kendaraan
bermotor (ribu buah) 366,4 401,5 507,7 857,6 1.351,5 1.704,0 1.796,00 1.883,30 2.339,10 2.540,40 2.898,40 3.320,00 3.816,90 3.885,60 3.673,30 - 2) 902,5 -5,4
8. Gelas/botol (ribu ton) 12,2 11 7,4 16,6 37,2 34,8 32,3 36,4 59,9 63,7 68,4 77,3 84,8 93,1 102 - 2) 736,1 9,6
9. Kaca polos (ribu ton) - - - - 22,3 21,6 29,5 30,9 43,6 51,4 67,3 106,2 89,9 100,7 110,9 - 2) - 10,1
10. Aluminium sulfat (ribu ton) - 3 7,2 11,6 17,2 14,3 13,7 15,1 18,5 18,8 12,9 15,4 17,7 17,8 26,8 - 2) - 52,9
11. Asam sulfat (ribu ton) - 3,6 8,6 11,2 17,7 8,6 15,3 18,9 19,8 24,5 50,9 39,8 37,2 32,2 44,9 - 2) - 37,5
12. Kertas (ribu ton) 17 22,2 30,1 39,6 47,2 43,2 46,7 54,4 83,5 155,2 214,2 232 246,6 296,9 369,2 - 2) 2.071,70 24,6
13. Minyak kelapa (ribu ton) 263 258,2 260,7 264,5 264,5 265 268,4 276,2 276,3 319,1 452 610 480,01) 442,1 381,7 127,3 45,1 -13,8
14. Minyak goreng (ribu ton) 27 26 27,2 28,8 28,7 29,4 30,6 32,6 31,3 37,8 266,2 278,9 326,4 326.21) 342 114 1.166,60 4,9
15. Sabun cuci (ribu ton) 133 132,2 132,4 132 131,3 148,9 164,6 175,5 194,9 218,5 202,9 213 207,8 213,01) 199 100,8 49,6 -6,5
16. Rokok kretek (milyar batang) 19 20,5 21,4 23,7 30,2 30,6 . 33,3 37,9 40,9 43,5 41,5 50,5 55,6 61,11) 68,2 23,8 258,9 11,6
17. Rokokputih (milyarbatang) 11 13,7 14,7 16,8 20,4 21,9 23,5 22,6 23,1 25,7 28,6 33,4 28,4 27,1 28,01) 9,9 144,5 -0,7
18. Korek api (juta kotak) 269 322 348 475,3 566 707 780 772 506,1 539,8 553 586,2 664,8 681,4 817 272,3 203,7 19,9
1) Angka diperbaiki
2) Data tidak tersedia
3) Angka sementara

( j )
Presentase perobahan
Jenis produksi 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/852) 1983/84 tedtadap 2)
1969/70 1982/83
19. Tapal gigi (juta tube) 15 25 26 30 32 46 108 104 104 109 114 123 138 145 165 55 1.001 14
20. Deterjen (ribu ton) - 4 6 5 7 7 35 34 39 44 47 54 64 67 75;5 39 13
21. Accu (ribubuab) 32 56 262 130 140 180 220 480 575 690 1.747 3.320 3.651,6 3.521,0 4.080 2.135 12.400 16
22. Radio (ribubuah) 364 393 416 700 900 1.000 1.000 1.100 1.000 1.536 1.019 1.111 1.155 1.590 1.503 529 314 - 5,4
23. Televisi (ribu buah) 5 5 65 60 70 135 166 210 460 733 660 730 847 654 623 264 13.740 -4,7
24. Assembling mesin jabit
(ribu buab) 14 14 262 340 800 400 520 400 484 600 478 525 552 394 290 97 1.971 -26,2
25. Baterai keriog (juta buah) 54 55 72 72 132 144 240 420 442 420 462 527 554 577 634 287 1.873 10
26. Plat song (ribu ton) 9 34 67 70 70 70 145 156 185 185 250 294 302 317 419 175 4.829 33
27. Kawat baja (ribu ton) - - 15 30 30 43 85 98 100 108 143 160 126 147 62 - 15
28. Besi spons (n"bu ton) - - - - - 100 282 385 391 800 350 - 105
29. Lampu pijarJTL (juta buah) 4 6 6 12 18 19 21 26 25 30 30 34 37 36 55 27 - 54
30. Besi beton (ribu ton) 5 10 74 75 120 115 202 296 240 300 500 641 672 744 1.026 500 22.700 38
31. Air conditioner (ribu buah) 5 5 32 20 20 24 23 30 29 26 47 74 54 55 69 26 1.431 25
32. Kabellistrik/telekom (ribu ton) 1 4 6 7 9 9 9 13 16 17 19 19 47 50 26 4.900 6
33. Kapal baja baru (ribu BRT) 1) 7 15 15 15 23 25 22 27 19 17 35 40 41 32 12 6 70 -62,6
34. Sprayer (ribubuah) - - - - 40 20 15 20 15 37 78 134 154 160 170 67 - 6
35. Vet sin (ribu ton) - - - 7 7 8 8 10 22 20 26 34 33,41) 36 12 - 6
36. Mesin dise1 (ribu boob) - 2 8 8 24 25 30 25 34 69 65 59 26 - 9
37. Susu kental manis (juta peti) - - 2 2 2,21) 3 4 4 4 5 6 5 93,8 *) 101,3 *) 37,9 *) - 8
*) Da1am ribu ton
1) Angka dipedtaiki
2) Angka smentara

Untuk memantapkan struktur industri, maka terus dilakukan pengembangan industri


berskala besar, yang didukung dan diperkuat oleh industri berskala menengah dan kecil.
Walaupun produksi dan nilai tambah industri kecil selama ini masih sangat rendah, clara
serapnya terhadap tenaga kerja cukup besar sehingga dalam Repelita IV akan terus diusahakan
peningkatan peranannya di dalam struktur industri nasional. Dari segi penyebaranura, sampai
dengan akhir Pelita II sebagian besar pembangunan industri masih berlokasi di pulau Jawa,
sedangkan untuk daerah-daerah di luar Jawa jumlahnya masih terbatas. Dalam Pelita III telah
dimulai dengan pembangunan industri-industri dasar/hulu yang mengolah sumberdaya alam
dan energi, yang sebagian berlokasi di luar pulau Jawa. Berdirinya industri dasar/hulu tersebut
telah mampu menggerakkan pembangunan wilayah, baik industri hilir dan industri kecil

Departemen Keuangan RI 206


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

maupun kegiatan ekonomi lainnya. Namun mengingat bahwa industri dasar/hulu mempunyai
ciri padat modal, berskala besar, menggunakan teknologi tinggi, serta berlokasi di daerah yang
berdekatan dengan sumberdaya alam dan energi yang pada umumnya belum berkembang, maka
timbul masalah regional baru yang memerlukan pemecahan secara konsepsional dan terpadu.
Permasalahan tersebut antara lain berupa pengaturan tataruang pemukiman, lingkungan hidup,
penyediaan sarana dan prasarana, pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja siap pakai, serta
pengembangan kehidupan perekonomian daerah. Perkembangan sektor industri yang cukup
pesat selama Pelita III selain karena adanya peranserta masyarakat, juga disebabkan oleh
dorongan sektor-sektor lainnya di samping juga melalui pembinaan terhadap industri itu sendiri
(Tabel VII. 51). Gambaran yang lebih terperinci tentang berbagai aspek perkembangan
kegiatan industri beserta hasil-hasilnya dapat diikuti melalui uraian berikut ini.

7.7.1. Industri logam dasar

Kelompok industri mesin dan logam dasar meliputi industri logam dan produk dasar,
industri mesin, industri motor dan perlengkapan pabrik, industri peralatan listrik dan
elektronika profesional, serta industri alat angkut. Hasil produksi kelompok industri tersebut
sebagian besar merupakan barang modal yang sangat diperlukan dalam kegiatan di berbagai
sektor ekonomi. Oleh karena itu laju pertumbuhan kelompok industri mesin dan logam dasar
senantiasa sejalan dengan perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya, terutama yang menjadi
konsumen dari kelompok industri tersebut. Dalam Pelita III pengembangannya mulai bergeser
ke arah hulu, yaitu industri yang menghasilkan bahan baku, komponen dan peralatan mesin.
Sedangkan dalam Repelita IV pengembangannya ditekankan pada industri yang dapat
menghasilkan mesin-mesin industri, baik industri berat maupun ringan.
Tab e I VII. 52
BEBERAPA HASIL INDUSTRI LOGAM DASAR, 1969/1970 - 1984/1985

Jenis produksi 1969/70 1970/71 1971/72 1972/78 1978/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 3)
1. Assembling mobil (ribu buah) 5 2,9 16,9 28 36,7 65,6 78,9 75,8 83,9 108,7 102,5 172,51) 209,9 188,4 155,8 39,8
2. Plat seng (ribu ton) 8,5 84,4 66,6 69,6 70 70 145 156 185 185 250 294,2 301,5 816,7 419 174,6
8. Besi spons (ribu ton) - - - - - - - - - - 99,6 281,9 884,5 891 800 850
4. Besi beton (ribu ton) 4,5 10 74 75 120 115 202 296,3 240 300 500 640,5 671,8 748,8 1.026,00 500
5. Kapal baja ba:ru (ribu BRT) 1) 7,1 15 15 15 22,9 25,4 22 27,2 19,4 16,9 85,2 40,4 41,3 82,4 12,1 6,1
6. Mesin penggilas jalan (buah) 200 200 200 200.0 860 575 475 546 400 120 450 816 431 404 423 177
7. Huller (ribu buah) 2,2 - - 2,5 3,5 3,5 4 1 0,8 2,2 2,5 1,8 1,1 1,7 0,5 0,7
8. Kawat baja (ribu ton) - - - 15 80 80 48,4 84,6 98 100 108 148,2 159,7 128,8 147,3 62
9. ,Mesin disel (ribu buah) - - - - 2 8 8 24 25,8 80,4 25 84,1 69,4 64,6 58,6 26,2
10. Ekstrusi aluminium (ribu ton) - ,.- - - - 4 2,4 2,4 2,6 2,8 6,1 8,2 10,7 12,8 16 7
11. Aluminium sheet (ribu ton) - - - - - 8 5,2 6,5 9,7 9,7 9,5 11,8 18,7 15,1 8 8,4
12. Pesawat terbang (buah) - - - - - - 2 8 7 16 16 12 17 21 15 4
18. Pesawat helikopter (buah) - - - - - - - 18 6 16 16 12 12 21,01) 18 6
14. Ingot baja (ribu ton) - - - - - - 116 186 67,2 80 122,4 897,1 486 698 762 888,8
15. Pipa air/gaJI/minyak (ribu ton) - - - - - - 85 88 45 47,8 47,8 68,1 102 122,2 178,4 75
16. Pipa listrik . (ribu ton) - - - - - - 50 55 60 66 75,8 60,2 109,6 114,1 1) 166,6 69,4
17. Pipa bajaspiral (ribu ton) - - - - - - 12 18,5 15 5 7 80,5 81,4 46,2 50 25
18. Radiator (ribu bush) - - - - - - 15 17,8 27 52 100 160,4 178,1 170,7 41,8 17,5
19. Piston (ribubuah) - .- - - - - 50 57,5 180 185 135 140 81,1 125 60 30
20. Tabung gambar (ribu buah) - - - - - - - 12,5 26,7 55 25 59,8 73,2 - 2) - 2) - 2)
21. Transformator (ribu bush) - - - - - - 0,8 1,2 1,2 1,4 1,4 2,8 3,9 4,7 9,8 4,8
22. Traktor tangan (buah) - - - - - - 30 80 44 280 550 877 1.074,00 1.271,00 1.065,00 625
23. Traktor mini (buah) - - - - - - - - - 25 150 192 65 116 68 48
24. Generator set (unit) - - - - - - - - - - 8.279,00 8.820,00 16.875,00 20.859,00 45.215,00 18.850,00
1) Angka diperbaiki
2) Data tidak tersedia
3) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 207


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Perkembangan yang telah dicapai di bidang industri logam dasar dalam pelaksanaan
Repelita III pada umumnya cukup menggembirakan. Sebagai hasilnya, saat ini industri mesin
dan peralatan pabrik sudah mampu membuat komponen-komponen mesin/peralatan untuk
pabrik gula, kelapa sawit, kafer, semen, kopi, teh, mesin tenun, mesin plastik dan komponen-
komponen pabrik lainnya. Dalam tahun 1983/1984 telah dihasilkan motor disel sebanyak 58,6
ribu unit, sedangkan dalam tahun 1978/1979 baru berjumlah 30,4 ribu unit. Hal ini berarti
bahwa selama periode tersebut telah terjadi peningkatan rata-rata sebesar 18,6 persen per tahun.
Sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dihasilkan lagi sebanyak 26,2 ribu unit. Adapun
produksi ingot baja/billet yang dalam tahun 1978/1979 mencapai sebanyak 80 ribu ton, dalam
tahun 1983/1984 telah meningkat menjadi 762 ribu ton, suatu kenaikan rata-rata sebesar 56,9
persen per tahun. Dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dapat
diproduksi sebanyak 333,3 ribu ton. Adapun produksi besi heron dalam waktu yang sarna telah
meningkat dari 300 ribu ton menjadi 1.026 ribu ton, yang berarti telah terjadi peningkatan rata-
rata sebesar 27,9 persen setahun, sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan
Agustus 1984 telah dapat dihasilkan sebanyak 500,0 ribu ton. Produksi industri transformator,
yang dalam tahun 1982/1983 baru mencapai 4,7 ribu buah, dalam tahun 1983/1984 telah
meningkat menjadi 9,8 ribu buah, atau suatu kenaikan sebesar 108,5 persen. Untuk tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dapat diproduksi sebanyak 4,3 ribu buah.
Namun untuk produksi aluminium sheet, yang dalam tahun 1978/1979 berjumlah 9,7 ribu ton
dan kemudian terus meningkat menjadi sebanyak 15,1 ribu ton dalam tahun 1982/1983, dalam
tahun 1983/ 1984 telah menurun menjadi sebanyak 8,0 ribu ton. Adapun dalam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, telah diproduksi sebanyak 3,4 ribu ton.
Walaupun perkembangan beberapa hasil industri logam dasar cukup baik sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel VII.52, namun masih banyak dihadapi hambatan-hambatan. Hal tersebut
antara lain menyangkut masalah ketergantungan akan bahan baku yang sampai saar ini masih
harus diimpor, belum cukup berkembangnya industri hulu atau industri barang antara, resesi
dunia yang belum sepenuhnya pulih, serta masih lemahnya keterkaitan industri baik secara
horizontal maupun vertikal.

7.7.2. Industri kimia dasar

Dalam Pelita III telah diusahakan tercapainya sa saran di bidang industri kimia dasar,
yang meliputi penguatan struktur industri dan peningkatan pertumbuhan industri nasional. Hal
ini antara lain ditandai oleh tumbuhnya wilayah-wilayah/zona industri yang tersebar di

Departemen Keuangan RI 208


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

beberapa wilayah seperti di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Sumatera bagian selatan, pulau Jawa,
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Hasil pengembangan tersebut
telah terlihat pada peningkatan kegiatan sektor-sektor ekonomi ,lainnya yang berkaitan dengan
kelompok industri kimia dasar. Hal ini telah menimbulkan dampak yang positif berupa
pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan lalu lintas ekonomi antarwilayah,
pemerataan pembangunan, serta peningkatan kemampuan teknologi industri. Dalam Repelita
IV akan terus ditingkatkan upaya pengembangan industri-industri yang mempunyai dampak
pengembangan wilayah.

Kelompok industri kimia dasar, yang antara lain menghasilkan pupuk, kertas, semen,
ban kendaraan bermotor, pestisida, kaca palos, asam sulfat, dan serat sintetis, dalam tahun
terakhir Pelita III secara umum menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Jika
dalam tahun 1982/1983 produksi pupuk urea mengalami sedikit penurunan hila dibandingkan
dengan tahun 1981/1982, maka dalam tahun 1983/1984 telah dapat meningkat menjadi
sebanyak 2.204,8 ribu ton yang berarti sebesar 13,4 persen di alas tahun sebelumnya. Hal ini
antara lain disebabkan karena makin meningkatnya permintaan masyarakat akan pupuk.
Demikian pula halnya dengan pupuk TSP, dalam tahun 1983/1984 produksinya telah mencapai
sebanyak 783,0 ribu ton, atau 35,6 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1982/1983
yang baru berjumlah 577,4 ribu ton. Di lain pihak terjacli sedikit penurunan produksi pupuk
ZA, dari 209,6 ribu ton dalam tahun 1982/1983 menjacli 208,0 ribu ton dalam tahun 1983/1984.
Walaupun demikian hal ini tidak akan berpengaruh terhadap kapositas produksi petani pemakai
pupuk. Dengan meningkatnya produksi dan kebutuhan pupuk, maka terus dilaksanakan usaha-
usaha untuk menunjang kelancaran distribusinya. Proyek sarana distribusi pupuk Pusri IV (PSD
IV), yang l?erupakan lanjutan daripada PSD III, merupakan salah satu langkah yang ditempuh
Pemerintah dalam memperlancar distribusi pupuk. Adapun kegiatannya mencakup pengadaan
kapal curah dan suku cadang, pembangunan unit pengantongan pupuk di Ujungpandang, serta
pengadaan gerbong kereta api dan pembangunan gudang-gudang pupuk. Sementara itu jumlah
produksi berbagai jenis kertas dalam tahun 1983/1984 juga telah mengalami peningkatan. Jika
dalam tahun 1982/1983 baru dihasilkan sebanyak 296,6 ribu ton kertas, maka dalam tahun
1983/1984 produksinya meningkat menjadi 369,2 ribu ton, atau kenaikan sebesar 24,5 persen.
Di lain pihak produksi berbagai jenis ban luar kendaraan bermotor dan ban luar sepeda motor
telah mengalami sedikit penurunan. Dalam tahun 1982/1983 produksinya masing-masing
berjumlah 3.885,6 ribu buah dan 2.567,1 ribu buah, namun dalam tahun 1983/1984 hanya
mencapai sebanyak 3.673,3 ribu buah ban kendaraan bermotor dan 2.438,5 ribu ban sepeda

Departemen Keuangan RI 209


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

motor, suatu penurunan masing-masing sebesar 5,5 persen dan 5,0 persen.

Cabang industri anorganik dan industri bahan-bahan kimia organik dasar, yang antara
lain menghasilkan semen, kaca palos, asam sulfat dan zink oksida, dalam tahun terakhir Pelita
III telah berkembang dengan baik. Apabila dalam tahun 1982/1983 produksi semen baru
berjumlah 7.650,0 ribu ton, maka dalam tahun 1983/1984 telah mencapai sebanyak 8.078,1 ribu
ton, yang berarti telah terjadi peningkatan sebesar 5,6 persen di bandingkan dengan tahun
sebelumnya. Demikian pula halnya dengan produksi kaca palos, dalam waktu yang sama telah
meningkat dari 100,7 ribu ton menjadi 110,9 ribu ton, atau suatu kenaikan sebesar 10,1 persen.
Perkembangan beberapa hasil industri kimia dasar dapat diikuti pada Tabel VII. 53.

Tab e I VII. 53
BEBERAPA HASIL INDUSTRI KIMIA DASAR, 1969/1970 - 1983/1984
Jenis produksi 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 3)
1. a. Urea (ribu ton) 85,4 102,9 108,4 120 115,7 209,1 387,4 406 990 1.437,20 1.827,0 1.985,1 2.006,71) 1.994,1 2.204,80
b. ZA (ribu ton) - - - 49,7 122,8 129,1 113,8 105,2 93,3 141 147,8 180,8 195,2 209,6 208
c. TSP (ribu ton) - - - - - - 114,4 465 559,3 577,4 783
2. K e r t a s (ribu ton) 17 22,2 30,1 39,6 47,2 43,2 46,7 54,4 83,5 155,2 214,2 232 246,6 296,9 369,2
3.Semen(ributon) 542 568,4 530,4 722,3 819 828,9 1.241,40 1.979,30 2.878,60 3.629,00 4.705,10 5.851,80 6.844,20 7.650,00 8.078,10
4. Ban kendaraan bermotor (ribu ton) 366,4 401,5 507,7 857,6 1.351,50 1.704,00 1.796,00 1.883,30 2.339,10 2.540,40 2.898,40 3.320,00 3.816,90 3.885,60 3.673,30
5. Ban sepeda motor (ribu ton) - - - - - 792 1.432,80 1.200,00 1.520,00 1.658,20 2.070,50 2.319,70 2.801,30 2.567,10 2.438,50
6. Kaca palos (ribu ton) - - 22,3 21,6 29,5 30,9 43,6 51,4 67,3 106,2 89,9 100,7 110,9
7. Aluminium sulfat (ribu ton) - 3 7,2 11,6 17,2 14,3 13,7 15,1 18,5 18,8 12,9 15,4 17,7 17,8 26,8
8. Asam sulfat (ribu ton) 3,6 8,6 11,2 17,7 8,6 15,3 18,9 19,8 24,5 50,9 39,8 37,2 32,2 44,9
9.Soda(ributon) 0,4 0,9 1,8 2,8 2,9 4,2 8,8 8,8 9,5 8,5 17,6 18,8 15.6 29 _2)
10. Zat asam (iuta M3) 2,2 2,8 3,5 3,7 4,6 4,8 4,9 6,3 6,8 7,2 8,21) 8,1 9,5 9,5 9,8
11. Asam arang (ribu ton) 0,5 - - 2,1 0,8 2,5 2,3 2,8 3,5 2,2 4,7 4,9 4,6 3,9
12.Acety1ene (ribu M3) - - - 99,2 123,8 241,2 289,1 305 335 246,7 511,6 534,5 600 244,2
13. Pestisida (ribu ton) - - - - 0,4 1 2,3 2,5 10,2 9,1 20,8 25,7 33,6 48 36,6
14. Synthetic resin (ribu ton) - 0,5 1,9 3,2 31,3 14 31 51,2 57,2 81 _2)
15. Bahan kimia tekstil (ton) - - - - 509,5 532,2 527 627 4.460,00 6,557,5 11.800,00 25.392,0 45069,0 1) 43.898,00
16. Zink oksida (ton) - - - - 0,1 471,4 801,7 810 1.127.0 1.329,0 7:)1,0 970 980
17. Bahan peledak (ribu ton) - - - - 1.150,00 1.284,0 1.250,0 1.189,00 1.154,00 1.550,00 1.870,00 718 480 614 541
18. Asam chlorida (ribu ton) 0,4 0,9 1,2 3,7 4,5 2.2 3,9 4 4,3 5,3 11 10,9 9,6 10,5 10,7
19. Serat sintetis (ribu ton) - - - - - 72,9 89 112 113,7 118,3
1)Angka diperbaiki 2) Data tidal tersedia 3) Angka sementara

7.7.3. Aneka industri

Kelompok aneka industri (industri hilir) mempunyai peranan yang cukup besar dalam
pembangunan industri secara keseluruhan. Hal ini antara lain karena aneka industri dapat
merupakan jembatan antara kelompok industri hulu (dasar) dengan ke1ompok industri kecil,
dan sekaligus mempererat keterkaitan antara industri besar dengan industri kecil, sehingga
dapat memperkokoh struktur industri nasional. Di samping itu dalam menyerap tenaga kerja,
ke1ompok aneka industri ini lebih besar peranannya apabila dibandingkan dengan kelompok
industri hulu yang re1atif lebih padat modal. Aneka industri yang meliputi industri pangan,
tekstil, kimia, alar listrik dan logam serta bahan bangunan dan umum, dalam tahun terakhir
Pelita III menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dalam tahun 1983/1984
produksi margarine te1ah mencapai 85,5 ton, sedangkan dalam tahun 1982/1983 baru
berjumlah 30,1 ton, atau suatu kenaikan sebesar 184,0 persen. Selanjutnya dalam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 te1ah dihasilkan sebanyak 28,3 ton. Demikian
pula halnya dengan produksi susu kental manis, te1ah terjadi kenaikan sebesar 8,0 persen, yaitu

Departemen Keuangan RI 210


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dari 93,8 ribu ton dalam tahun 1982/1983 menjadi 101,3 ribu ton dalam tahun 1983/1984.
Kemudian dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dapat diproduksi
sebanyak 37,9 ribu ton. Produksi rokok kretek dan susu cair te1ah meningkat masing-masing
sebesar 11,6 persen dan 67,9 persen, yakni dari 61,1 milyar batang dan 11,1 juta ]iter dalam
tahun 198211983, menjadi 68,2 milyar batang dan 18,6 juta liter dalam tahun 1983/1984.

Selanjutnya dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, telah
dihasilkan masing-masing sebanyak 23,8 milyar batang dan 6,6 juta liter. Dalam periode yang
sarna produksi minyak ke1apa mengalami penurunan sebesar 13,7 persen, yakni dari 442,1 ribu
ton dalam tahun 1982/1983 menjadi 381,7 ribu ton dalam tahun 1983/1984. Produksi industri
tekstil seperti benang tenun, tekstil dan pakaian jadi telah menunjukkan peningkatan bila
dibandingkan dengan tahun sebe1umnya. Produksi tekstil, meningkat sebesar 16,8 persen,
yakni dari 1.708,9 juta meter dalam tahun 19821 1983 menjadi 1.995,1 juta meter dalam tahun
1983/1984, sedangkan dalam tahun pertama Repe1ita IV sampai dengan bulan Agustus 1984
telah dapat dihasilkan sebanyak 737,3 juta meter. Bersamaan dengan itu produksi benang tenun
dan pakaian jadi juga te1ah menunjukkan suatu peningkatan, yakni dari 1.551,0 ribu bal dalam
tahun 1982/1983 menjadi 1.662,0 ribu bal dalam tahun 1983/1984, yang berarti meningkat
sebesar 7,2 persen.

Adapun industri kimia seperti tapal gigi dan diterjen juga mengalamj peningkatan
produksi yang cukup besar. Jika dalam tahun 1982/1983 baru dihasilkan sebanyak 145,0 juta
tube tapal gigi dan 66,8 ribu ton diterjen, maka dalam tahun 1983/1984 telah meningkat
menjadi 165,1 juta tube dan 75,5 ribu ton, suatu peningkatan sebesar 13,9 persen dan 13,0
persen. Sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 masing-masing
telah berjumlah 55,0 juta tube dan 39,2 ribu ton. Industri alat listrik dan logam, yang antara lain
menghasilkan televisi, radio, sepeda motor, dan baterai kering, secara keseluruhan me-
nunjukkan sedikit penurunan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun khusus
untuk baterai kering telah terjadi peningkatan sebesar 9,9 persen, yakni dari 576,6 juta buah
dalam tahun 1982/1983 menjadi 633,6 juta buah dalam tahun 1983/1984, dan dalam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dihasilkan sebanyak 287,2 juta buah.
Perkembangan beberapa hasil aneka industri dapat diikuti melalui Tabel VII.54.

Departemen Keuangan RI 211


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII.54
BEBERAPA HASIL ANEKA INDUSTRI, 1969/1970 - 1984/1985
Jenis produksi 1969/70 19670/197 1971/1972 1972/1973 1973/1974 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 1984/1985
1. Tekstil (juta meter) 449,8 598,3 732 852 926,7 974 1.017,00 1.247,00 1.332,50 1.576,00 1.910,00 2.027,30 2.094,00 1.708,90 1.995,10 737,3
2. Benang tenon (ribu ba1) 182,1 217 239 262 316,2 364 445,4 622,9 678,3 837,3 998 1.184,00 1.233,00 1.551,00 1.662,00 633
3. Margarine (ton) 7,5 7 7,5 7,3 8,1 10,7 10,7 13,1 15,3 17,7 18,5 19,3 19,6 30,1 85,5 28,3
4. Minyak kelapa (ribu ton) 263 258,2 260,7 264,5 264,5 265 268,4 276,3 319,1 319,1 452 610 480,0 1) 442,1 381,7 127,3
5. Minyak goreng (ribu ton) 27 26 27,2 28,8 28,7 29,4 30,6 32,6 31,3 37,8 266,2 278,9 326,4 326,21) 342 114
6. Sabun cuei (ribu ton) 133 132,2 132,4 132 131,3 148,9 164,6 175,5 194,9 218,5 202,9 213 207,8 213 199 100,8
7. DeteIjen (ribu ton) - 4 5,6 5,2 6,6 7 34,9 33,4 38,5 44,2 46,5 54,4 63,9 66,8 75,5 39,2
8. Rokok kretek (milyar batang) 19 20,5 21,4 23,7 30,2 30,6 33,3 37,9 40,9 43,5 41,5 50,5 55,6 61,1 68,2 23,8
9. Rokok putih (milyar batang) 11 13,7 14,7 16,8 20,4 21,9 23,5 22,6 23,1 25,7 28,6 33,4 28,4 27,1 28 9,9
10. Korek api (juta kotak) 269 322 348 475,3 566 707 780 772 506,1 539,8 553 586,2 664,8 681,4 817 272,3
11. Tapal gigi (juta tube) 15 25 26 30 32 46 107,8 103,6 104,4 108,5 113,9 123 137,5 145 165,1 55
12. Assembling sepeda motor (ribu buah) 21,4 31,1 50 100 150 261 300 267,6 271,8 330,5 221,6 410 503,3 577,4 379,3 193,4
13. A c c u (ribu buah) 32 56,2 262 130 140 180 220 480 575 690 1.747,20 3.319,70 3.651,60 3.521,00 4.080,00 2.135,00
14. Radio (ribubuah) 363,5 393,3 416 700 900 1.000,00 1.000,00 1.100,00 1.000,00 1.536,00 1.018,80 1.110,50 1.154,90 1.589,90 1.503,10 529
15. Televisi (ribu buah) 2) 4,5 4,7 65 60 70 135 166 210 260 733,2 659,8 730,1 846,9 653,5 622,8 263,7
16. Assembling mesin jahit (ribu bubo) 14 13,5 262 340 800 400 520 400 484 600 477,6 525,4 531,6 393,5 290,2 96,7
17. Baterai kering (juta buah) 54 55,2 72 72 132 144 240 420 442 420 462 526,7 553,6 576,6 633,6 287,'2
18. Lampu pijar/TL (juta buah) 3,5 5,5 6 12,3 18 18,9 21 26 24,8 30,4 29,9 33,8 36,5 35,7 55,1 27,1
19. Air Conditioner (ribu buah) 4,5 4,7 31,8 20 20 24 23 30 29,3 26,4 47,4 73,5 53,6 55 68,9 26,4
20. Kabellistrik/telekom (ribu.ton) 1 4 6 9 9 9 9 12,5 15,7 17,4 19,1 18,7 47 50 26,3
21. Susu bubuk (ribu ton) - - - - - 1,7 3,8 9,6 13,5 16,8 26,5 28,3 27,6 27,9 9,8
22. Susu kenta! manis (juta peti) - - 1,5 2,4 2,2 2,5 3,5 4,4 4,1 4,8 5,5 5,2 93,8*) 101,3*) 37,9*)
23. Susu cair (juta liter) - - - - - 2,5 4 3,9 3,6 5,9 8,5 9,2 11,1 18,6 6,6
*) Dalam ribu ton
1 ) Angka diperbaiki
2) Mu1ai tahun 1978/1979, terdiri dari TV hitam putih dan TV berwarna
3) Angka sementara

7.7.4. Industri kecil

Pembangunan di bidang industri kecil ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja,


memeratakan kesempatan berusaha, meningkatkan ekspor, menghemat devisa, menunjang
pembangunan daerah serta memanfaatkan sumberdaya alam, energi dan manusia. Dalam
hubungan ini diusahakan untuk terciptanya kaitan yang erat antara industri kecil, industri
menengah dan industri besar, sehingga dapat diharapkan pembangunan industri besar dan
menengah secara langsung akan merangsang pembangunan sektor industri keci!. Untuk itu
telah digariskan pokok-pokok kebijaksanaan di bidang pembangunan industri kecil yang antara
lain bertujuan menciptakan iklim usaha melalui penetapan skala prioritas, meningkatkan
pembangunan di daerah, meningkatkan ekspor serta meningkatkan pengetahuan para
pengusaha/pengrajin. Mengingat lokasi usaha industri kecil tersebar di seluruh wilayah tanah
air bahkan sampai ke pedalaman, maka pengembangannya lebih dikaitkan dengan potensi
setempat, yaitu melalui pengembangan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri (WPPI).
Oleh karenanya. salah satu prioritas pengembangan wilayah dalam kelompok industri kecil
berorientasi kepada pengembangan zona dan kawasan industri, terutama melalui penciptaan
usaha industri kecil baru yang dinamis di samping optimalisasi usaha industri kecil yang telah
ada. Untuk lebih mendukung terciptanya sa saran pengembangan industri kecil, maka ditempuh
beberapa kebijaksanaan sektoral, antara lain berupa pemberian prioritas pengembangan kepada
industri kecil yang hasilnya dapat memenuhi kebutuhan orang banyak, mempunyai keterkaitan
dengan sektor-sektor lain, serta produksinya berorientasikan kepada komoditi ekspor. Semen
tara itu di bidang kelembagaan telah didirikan sarana pembinaan, yakni meliputi 9 pusat
pengembangan industri kecil (PPIK), 7 pusat pelayanan informasi, 80 unit pelayanan teknis dan
13 pusat pelayanan promosi yang penyebarannya hampir merata di seluruh wilayah tanah air.
Dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, telah berhasil diresmikan
penggunaan buah lingkungan industri kecil (UK), yang tersebar di Yogyakarta, Magetan,

Departemen Keuangan RI 212


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Semarang, Bandung, Tegal, Sidoarjo, Tasikmalaya dan Sukabumi. Di samping itu juga telah
dilaksanakan pembangunan 6 buah perkampungan industri kecil (PIK) masing-masing di
Jakarta yang meliputi Pulogadung, Tebet dan Tangerang, di Sukabumi (Jawa Barat), di Gunung
Sempu (Yogyakarta), serta di Pare-Pare (Sulawesi Selatan). Sejalan dengan itU telah dibangun
pula saran a usaha industri kedl (SUlK) yang terletak di dalam kawasan-kawasan industri
Pulogadung (Jakarta), Medan, Cilacap dan Surabaya.

Tenaga penyuluh lapangan (TPL) terus pula ditingkatkan, baik jumlah maupun
mutunya. Apabila dalam tahun 1979/1980 jumlah TPL yang berhasil dididik baru sebanyak 93
orang, maka dalam tahun 1983/1984 telah bertambah menjadi 2.151 orang. Sedangkan jumlah
tenaga penyuluh lapangan spesialis (TPLS), yang merupakan peningkatan dari TPL, dalam
tahun 1982/1983 telah berjumlah 438 orang. Dengan bertambahnya sarana pembina tersebut
maka kemampuan pembinaan juga telah meningkat, yakni apabila dalam tahun 1979/1980
jumlah sentra industri kecil yang dibina baru sebanyak 281 buah, maka dalam tahun 1983/1984
telah meningkat menjadi 690 buah, yang tersebar di hampir seluruh propmsl.

7.8. Perhubungan, telekomunikasi, pos dan kepariwisataan

Pelaksanaan pembangunan perhubungan, pos dan telekomunikasi serta kepariwisataan


sampai dengan tahun pertama Pelita IV ditekankan pada kegiatan rehabilitasi dan peningkatan
prasarana serta sarana yang ada, sehingga dapat menyediakan kapositas jasa yang semakin baik
bagi masyarakat. Di samping itu terus dilakukan pula pembangunan prasarana dan sarana baru
sesuai dengan pertumbuhan jasa perhubungan, telekomunikasi, pos dan kepariwisataan yang
setiap tahunnya terus meningkat. Dengan adanya peningkatan pembangunan tersebut, telah
dapat diperluas jangkauan pelayanan perhubungan, arus barang dan jasa, serta komunikasi dan
mobilitas penduduk ke seluruh pelosok wilayah Nusantara. Usaha tersebut juga telah
dapat'menembus isolasi dan mendorong laju pertumbuhan daerahdaerah terpencil serta
meningkatkan perdagangan antardaerah yang lebih seimbang dan lancar. Dengan pembangunan
perhubungan, maka wilayah Nusantara telah dapat dihubungkan oleh suatu sistem perhubungan
yang semakin terpadu dan teratur.

Dewasa ini peningkatan kapositas di bidang perhubungan telah mampu melayani


kenaikan permintaan masyarakat dengan tingkat pertumbuhan sekitar 12 persen per'tahun.
Selain itu hasil-hasil yang dicapai juga telah dapat menjangkau dan memenuhi pelayanan
kebutuhan masyarakat luas. Hal ini terwujud dari meningkatnya pemerataan pembangunan

Departemen Keuangan RI 213


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

perhubungan secara menyeluruh, baik secara nasional maupun regional, sehingga semakin
memantapkan perwujudan stabilitas nasional dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan
ketahanan nasional.

7.8.1. Perhubungan darat

Program pembangunan di bidang perhubungan darat, sampai dengan tahun pertama


Repelita IV, pada umumnya telah dapat dilaksanakan sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai.
Hal tersebut telah ditunjang pula dengan usaha-usaha yang dapat meningkatkan efisiensi
pelayanan jasa perhubungan, pengaturan pengoperasian dan keselamatan lalu lintas, serta
pembinaan dan pengembangan usaha angkutan darat termasuk peningkatan pendidikan,
keterampilan dan latihan bagi petugas. Pembangunan di bidang perhubungan darat tetap
ditujukan untuk lebih meningkatkan pemanfaatan jalan raya, kereta api, serta angkutan sungai,
danau dan penyeberangan. Selama Pelita III telah dilakukan peningkatan fasilitas keselamatan
jalan raya berupa pembangunan rambu-rambu lalu lintas, lampu pengatur lalu lintas dan pusat-
pusat pengujian kendaraan bermotor. Pelayanan angkutan kola, angkutan antarkota . dan
angkutan bis perintis ke daerah terpencil juga telah ditingkatkan guna melancarkan arus
penumpang, angkutan pariwisata, angkutan transmigrasi dan angkutan ke seluruh daerah
terpencil yang secara ekonomis potensial.

Hasil pembangunan yang telah dicapai di bidang perhubungan darat, khususnya


angkutan jalan raya, ditandai dengan meningkatnya jumlah armada angkutan jalan raya yang
telah mencapai 1.748.073 buah dalam tahun 1983. Apabila dibandingkan dengan tahun 1982
yang baru berjumlah 1.582.5 5 3 buah, armada angkutan jalan raya telah meningkat 10,5 persen
atau sebanyak 165.520 buah (Tabel VII.55). Dalam periode yang sarna, angkutan sungai,
danau dan penyeberangan telah mengalami kenaikan angkutan barang sebesar 21 persen dan
angkutan penumpang sebesar 21,7 persen, yaitu masing-masing dari 3.928.651 ton menjadi
4.752.761 ton, dan dari sebanyak 14.796.574 orang menjadi 18.004.915 orang. Sedangkan
bidang perkeretaapian dalam tahun 1983 telah mengalami kenaikan sebesar 9,7 persen untuk
angkutan penumpang dan 1,9 persen .untuk angkutan barang hila dibandingkan dengan tahun
1982, yaitu dari masing-masing 43,2 juta orang menjadi sebanyak 47,4 juta orang, dan dari 5,3
juta ton barang menjadi sebanyak 5,4 juta ton barang.

Dalam rangka mengatasi kebutuhan angkutan umum dalam kola, serta guna me-
ngurangi kepadatan lalu lintas dalam kola, maka jumlah angkutan armada bis bertingkat dan

Departemen Keuangan RI 214


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

tidak bertingkat terus ditambah. Jika dalam tahun 1982 jumlah armada bis kota di beberapa kota
besar di luar Jakarta baru sebanyak 604 buah, yang terdiri alas 85 bis bertingkat dan 519 buah
bis tidak bertingkat, maka dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi sebanyak 680 buah bis,
yang terdiri alas 105 buah bis bertingkat dan 575 buah bis tidak bertingkat. Dalam hal ini
Surabaya mempunyai bis kota sebanyak 208 buah, Medan 117 buah, Semarang 134 buah, Solo
15 buah, Tanjung Karang 42 buah, Bandung 144 buah, dan Ujungpandang 20 buah. Adapun
jumlah armada bis kota yang ada di Jakarta dalam tahun 1983 adalah sebanyak 1.609 buah.

Tab e I VII. 55
ARMADA ANGKUTAN JALAN RAY A, 1969 -1983
(dalam satuan)

Tahun Bis Mobil Mobil Jumlah


1969 20.497 95.660 -212.123 328.280
1970 23.451 99.814 235.816 359.081
1971 22.562 112.878 256.988 392.428
1972 26.488 131.175 277.210 434.873
1973 30.368 144.060 307.739 482.167
1974 31.439 166.356 337.701 535.496
1975 35.900 189.480 377.990 603.370
1976 39.389 220.692 419.240 679.321
1977 46.644 268.098 471.099 785.841
1978 57.835 328.022 531.206 917.063
1979 69.545 383.648 5.815.311 1.034.7241)
1980 86.166 478.066 639.464 1 1.203.6961)
19811) 112.078 590.538 722.441 1.425.057
19821) 134.430 657.104 791.019 1.582.553
19832) 160.260 717.873 869.940 1.748.073
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Tab e I VII. 56
PEMAKAIAN JASA KERETA API, 1969 - 1983
Tahun Penumpang Barang
J umlah km J umlah Ian
Outa orang) (orang) Outa ton) (ton)
1969 55,4 3.422 4 859
1970 52,4 3.466 3,9 855
1971 50,9 3.623 4,2 949
1972 40,1 3.352 4,6 1.038
1973 29,4 2.727 5 1.069
1974 25,4 3.466 4,5 1.116
1975 23,8 3.534 3,9 959
1976 20,1 3.371 3,3 701
1977 21 3.082 3,3 814
1978 29,2 4.751 4,2 1.022
1979 37,7 5.981 4,2 1.016
1980 40,7 6.229 4,3 980
1981 39,9 6.080 4,8 1.016
19821) 43,2 6.271 5,3 1.063
19832) 47,4 6.313 5,4 951,2
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 215


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Untuk menjaga kelancaran , ketertiban dan keselamatan lalu lintas angkutan jalan raya
telah dikembangkan pula fasilitas pengaturan dan pengawasan, yang antara lain meliputi
pembangunan alat pengujian, rambu jalan, tanda jalan, pagar pengaman jalan, lampulampu
pengatur lalu lintas dan kendaraan patroli. Dalam waktu yang sama telah dibangun pula pusat
pengujian kendaraan bermotor di Bekasi, Jawa Barat yang bertujuan untuk menguji kendaraan
laik darat. Dalam rangka mengembangkan armada angkutan kota telah ditingkatkan pula sistem
dan fasilitas angkutan dalam kota, antara lain berupa terminal dan shelter. Sedangkan guna
memperlancar angkutan kota, khususnya angkutan umum di kota-kota besar, sistem angkutan
disusun secara terpadu antara angkutan bis dengan angkutan kereta api kota.

Pengembangan pedesaan yang sekaligus berfungsi sebagai angkutan perintis dan


melayani daerah-daerah terpencil, telah diusahakan dalam bentuk angkutan campuran antara
barang dan penumpang. Armada bis perintis tersebut terus ditingkatkan jumlahnya, sehingga
apabila dalam tahun 1982 jumlah bis perintis baru mencapai sebanyak 142 buah, dalam tahun
1983 telah meningkat menjadi 165 buah. Bis-bis perintis terse but melayani daerahdaerah
terpencil dengan perincian untuk stasiun Ujungpandang sebanyak 7 bis, Pangkal Pinang 6 bis,
Kupang 6 bis, Ambon 5 bis, Bengkulu 23 bis, Mataram 5 bis, Sumbawa 8 bis, Jayapura 11 bis,
Sarong 7 bis, Manokwari 4 bis, Biak 6 bis, Merauke 4 bis, Dilli 18 bis, Balik papan 4 bis, Palu
8 bis, Padang 10 buah bis, Lubuk linggau 9 bis, Banda Aceh 14 bis dan Palembang 10 bis.
Selain itu telah dilengkapi pula pengadaan terminal angkutan, bengkel kendaraan dan tempat
tunggu bis.

Angkutan kereta api mempunyai peranan semakin penting, baik kini maupun di masa
mendatang, dalam menunjang laju pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena jenis
angkutan ini selain lebih hemal dalam pemakaian bahan bakar, juga lebih kecil tingkat
pencemarannya dibandingkan dengan angkutan jalan raya lainnya. Angkutan kereta api juga
sangat efektif dan efisien dalam memperlancar distribusi beberapa hasil produksi, seperti
minyak, batu bara, besi beton, semen, pupuk dan kelapa sawit, serta untuk pengangkutan
transmigrasi dan pariwisata. Demikian pula bagi kota-kota besar yang telah mendesak
keperluan jasa angkutan masalnya, telah dilakukan peningkatan penggunaan jasa kereta api
kala, sehingga arus penumpang akan lebih lancar, lebih cepat dan lebih teratur di samping juga
dapat mengurangi kemacetan lalu lintas. Sampai dengan tahun pertama Repelita IV, peranan
angkutan kereta api terus meningkat dalam melayani angkutan penumpang dan barang.
peningkatan tersebut disebabkan oleh bertambahnya permintaan untuk jasa angkutan hasil-hasil
industri, pertambangan, perkebunan dan pertanian, di samping juga melayani angkutan

Departemen Keuangan RI 216


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pariwisata, transmigrasi dan angkutan kala. Untuk dapat meningkatkan kapositas angkutan dan
mutu pelayanan kereta api tersebut, antara lain telah dilakukan peningkatan jalan kereta api
serta rehabilitasi dan penambahan lok uap, lok disel, lok listrik, kereta penumpang dan gerbong
barang. Sebagian daripada kebutuhan prasarana dan sarana kereta api tersebut telah pula
diproduksi di dalam negeri, yang menunjukkan peningkatan operasianal perusahaan sehingga
mampu beroperasi secara efektif dan efisien. Dalam tahun 1982, jumlah angkutan penumpang
kereta api adalah sebanyak 43,2 juta orang atau 6,2 juta penumpang per kilometer, sedangkan
dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi 47,4 juta orang atau 6,3 juta orang per kilometer.
Demikian pula angkutan barang dalam waktu yang sarna telah mengalami peningkatan dari 5,3
juta ton dalam tahun 1982 menjadi 5,4 juta ton dalam tahun 1983. Sedangkan angkutan barang
dalam ton per kilometer mengalami penurunan hila dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
yaitu dari 1.063,0 ton per kilometer dalam tahun 1982 menjadi sebesar 951,2 ton per kilometer
dalam tahun 1983. Perkembangan jumlah angkutan penumpang dan barang dapat diikuti
melalui Tabel VII.56.

Sementara itu pembuatan sarana dan suku cadang kereta api terus dikembangl)an
sehingga kebutuhan sarana dan prasarana kereta api dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam
negeri. Sejak tahun 1981 sampai dengan tahun 1983, PT Inka (Industri Kereta Api) teiah
merakit 400 gerbong dari bahan complete manufacturing (CM) keluaran Sumitomo Jepang.
Hasil yang teiah dicapai di bidang saran a dan prasarana kereta api selama 5 tahun pelaksanaan
Pelita III antara lain meliputi rehabilitasi lok uap sebanyak 38 buah, lok disel sebanyak 590
buah, kereta penumpang sebanyak 1.623 buah, gerbong sebanyak 10.070 buah, serta
rehabilitasi/peningkatan jalan kereta api sepanjang 2.329 kilometer. Selain itu telah pula
dilakukan penambahan lok disel sebanyak 75 buah, kereta rei listrik (KRL) sebanyak 60 buah,
kereta rei disel (KRD) sebanyak 112 buah, kereta penumpang sebanyak 360 buah dan gerbong
sebanyak 400 buah. Hasil rehabilitasi di bidang perkeretaapian dapat diikuti pada Tabel VII.57.

Dalam pada itu Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) juga mempunyai proyek-
proyek pembangunan kereta api yang cukup besar, antara lain proyek pengembangan
pengangkutan batu bara Bukit Asam dengan kereta api (P3Baka) dari Tanjung Enim ke
Tarahan, yang bertujuan untuk mengangkut batu bara sebanyak 3 ton setahun sebagai sumber
energi bagi PLTU di Suralaya. Di samping itu juga telah dilakukan pembangunan lintas kereta
api antara Meneng-Kabat di Jawa Timur yang ditujukan untuk memperlancar distribusi pupuk
di wilayah tersebut. Dalam rangka mengatasi masalah angkutan masal di wilayah Jabotabek,
teiah dilakukan peningkatan kapositas dan mutu pelayanan angkutan kereta api kala melalui

Departemen Keuangan RI 217


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

penambahan sarana angkutan dan peningkatan prasarananya. Adapun tujuan proyek kereta api
Jabotabek tersebut antara lain untuk mengurangi beban jalan raya, penghematan energi bahan
bakar minyak melalui sistem propulsi kereta api dengan listrik dari PLN, penghematan waktu,
meningkatkan kapasitas angkut serta menciptakan sistem transportasi yang terpadu antara
kereta api dan jalan raya. Selanjutnya juga telah dilakukan penelitian terhadap penggunaan
angkutan kereta api untuk angkutan petikemas serta penelitian pembangunan lintasan baru bagi
pengembangan industri semen di pulau Jawa dan Sumatera.

TabelVII. 57
REHABILITASI DI BIDANG PERKERETAAPIAN, 1969/1970 - 1983/1984
Uraian 1969/70 1970/71 1971/12 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84
1. Penggantian rei (km) 94,6 126,1 150,3 124,6 272 513,7 578,8 620 968 164 732,7 565,3 326,4 349,7 354,9
2. Penggantian bantalan(ribu bt) 40,2 188,4 218,4 280,3 180,9 - 232,2 298,7 294,2 296,2 351,2 397,2 207 164,5 295,7
3. Perbaikan pilar jembatan(m 3) 5.243 3.359 2.474 7.943 14.385,50 191 1.606 81 301 2) 190 140 42 2) 55 4) 99 79
(ton) - - - - 973 - - 1.382,40 - 422 762 ,3 - - -
4. Bangunan operasional (m2) 1.376,60 4.038,30 3.371 7.701 3.469 38 1) 58 1) 39 I) 15 1) 67 1) 115 1) 2.906 3.675 11.514 15.055
5. Lok uap (buah) 15 - 10 23 69 68 48 31 28 7 3 - -
6. Lok disel (buah) 13 16 15 40 91 103 111 111 107 118 163 128 387
7. Lok listrik (buah) - - - 2 - - - 2 - 8 - - -
8. Kereta (buah) 20 92 52 65 58 62 176 390 444 635 406 256 246 328 387
9. Rehabilitasi gerbong (buah) 25 301 236 680 455 714 2.772 2.960 3.120 2.253 2.272 1.825 1.583 2.223 2.112
10. Assembling gerbong (buah) 135 15 - 15 - - - 130 - 42 20
I 1. a. beton (buah) - - 69 34 196 111 93 259 34 22 42
b. baja(buah) - - - 56 - - - - 83 38 - 21 389 3) 1.136,5 5) 1.341 5)

1. Unit 2. Buah 3. Angka diperbaiki 4. Angka sementara 5. Ton

Perkembangan di bidang angkutan sungai dan danau sampai dengan tahun pertama
Repelita IV sangat dirasakan manfaatnya dalam memperlancar angkutan daerah pedalaman dan
daerah terpencil, terutama bagi penduduk di tepi sungai dan danau yang belum dilayani oleh
jenis angkutan lain. Di samping itu pembangunan angkutan penyeberangan juga telah dapat
meningkatkan hubungan penyeberangan sungai dan selat, serta beberapa lokasi sarana angkutan
jalan. Dengan demikian, baik pelayanan angkutan jalan raya maupun angkutan sungai, danau
dan penyeberangan telah dapat ditingkatkan menjadi satu kesatuan hubungan yang terpadu.
Pelaksanaan pembangunan angkutan sungai, danau dan penyeberangan, sampai dengan tahun
pertama Repelita IV telah ditempuh beberapa kebijaksanaan antara lain mengutamakan proyek
lanjutan agar segera dapat terwujud dan langsung dapat beroperasi, serta penyediaan jasa
angkutan sepanjang tahun secara tetap dan teratur. Dalam hubungan ini, penyediaan jasa
angkutan diarahkan agar pihak swasta dan koperasi khususnya golongan ekonomi lemah dapat
turut berperanserta, di samping dimaksudkan juga untuk memekarkan bidang usaha pelayanan
tradisional.

Hasil-hasil yang dicapai selama 5 tahun pelaksanaan Pelita III antara lain meliputi
pembangunan 25 buah dermaga sungai, danau dan penyeberangan, 5 buah terminal, 11 buah
gedung kantor, pengadaan 15 buah kapal dan 4.379 buah rambu-rambu, pembersihan alur
sepanjang 1.096 kilometer dan pengerukan sekitar 300.000 meterkubik. Di samping itu

Departemen Keuangan RI 218


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

angkutan penyeberangan juga telah dapat beroperasi di 19 lintasan yang dilayari oleh 62 kapal,
di mana setiap lintasan dilayari oleh lebih dari 2 kapal penyeberangan baik milik swasta,
koperasi maupun Pemerintah. Sedangkan dalam tahun pertama Repelita IV telah dilakukan
peningkatan dan pembangunan sarana dan prasarana angkutan sungai, danau dan
penyeberangan berupa rehabilitasi dan penambahan kapal, pembangunan dermaga dan terminal,
penambahan fasilitas keselamatan pelayaran serta pembersihan dan pengerukan alur pelayaran.
Selain itu juga telah dilakukan peningkatan pelayaran operasional, penyempurnaan
kelembagaan serta pembinaan \ terhadap usaha masyarakat di bidang angkutan sungai, danau
dan penyeberangan. Hasil-hasil yang dicapai dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Juni
tahun 1984 adalah meliputi pembangunan 9 buah dermaga penyeberangan, 2 buah dermaga
sungai, 4 buah terminal penyeberangan, 2 buah terminal sungai dan 291 buah rambu sungai.
Selanjutnya telah pula dilakukan penambahan 2 buah sarana angkutan sungai dan danau, 11
buah kapal inspeksi serta pengerukan sebanyak 113.211

meterkubik. Sementara itu akan terus ditingkatkan pembangunan lintas dari Sabang sampai ke
Los Palos, lintas angkutan sungai, danau dan penyeberangan di Sulawesi dan pulau-pulau di
sekitarnya, lintas-lintas di kepulauan Maluku dan Irian Jaya, serta lintas-lintas perairan
dipedalaman Kalimantan, di samping juga sedang diselesaikan sebanyak 8 buah lintasan baru.

7.8.2. Perhubungan taut

pembangunan di bidang perhubungan taut ditandai dengan meningkatnya penyediaan


jasa angkutan taut baik oleh sektor Pemerintah, swasta maupun koperasi. Hal tersebut antara
lain meliputi peningkatan kapositas angkutan armada pelayaran dan mutu pelayanan dalam
negeri yang terdiri atas armada pelayaran nusantara, armada pelayaran lokal, armada pelayaran
rakyat dan armada pelayaran perintis. Selain itu terus dilakukan pula peningkatan kapositas
armada pelayaran dan mutu pelayanan luar negeri yang meliputi armada pelayaran samudera
umum dan armada pelayaran samudera khusus. Untuk dapat meningkatkan jasa perhubungan
taut secara keseluruhan, dilakukan peningkatan fasilitas armada taut, peralatan pelabuhan,
pengerukan kolam pelabuhan, alur pelayaran, keselamatan pelayaran, kesyahbandaran,
telekomunikasi pelayaran, fasilitas pengamanan taut dan pantai, pengembangan jasa industri
maritim dan pekerjaan bawah air, serta peningkatan kapositas galangan kapal. pengembangan
armada angkutan taut terse but dilakukan oleh pihak swasta nasional, di samping juga usaha
patungan antara pihak swasta nasional dengan swasta asing. Dalam hal ini partisiposi
Pemerintah dibatasi pada kegiatan pelayaran tertentu saja, dengan menciptakan iklim usaha

Departemen Keuangan RI 219


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

yang ditujukan untuk merangsang pihak swasta dalam menunjang pengembangan armada
nasional. Peranan perhubungan laut secara keseluruhan terus ditingkatkan untuk mencapai
keterpaduan berbagai jenis pelayaran, sehingga dapat meningkatkan pelayaran antarpulau yang
lebih efektif, efisien, teratur, dapat menjangkau daerah-daerah terpencil dan dapat
meningkatkan kegiatan ekspor. Selain itu juga dilakukan pembinaan pelayaran rakyat sebagai
modal angkutan tradisional yang potensial, dan diarahkan pada usaha wiraswasta bahari
nasional dengan mendorong perusahaan-perusahaan kecil untuk bergabung dalam bentuk
koperasi, serta pembinaan sistem organisasi, manajemen dan diversifikasi usaha. penyediaan
jasa perintis diselenggarakan oleh Pemerintah, sedangkan pelaksanaan angkutan transmigrasi
diselenggarakan oleh Pemerintah dan swasta.

Armada pelayaran Nusantara dan pelayaran lokal sebagai jaringan utama angkutan taut
dalam negeri telah dan terus ditingkatkan melalui penambahan kapositas armada pelayaran,
penyempurnaan sistem trayek pelayaran,. serta pembinaan perusahaan-perusahaan pelayaran.
Kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan agar sistem angkutan taut dapat meningkatkan
kegiatan pemasaran, pengembangan daerah terutama di Indonesia bagian timur, serta
memperlancar arus barang dan penumpang, termasuk transmigrasi. Selanjutnya pola jaringan
pelayaran Nusantara telah dipadukan dengan jaringan yang dilayani kapal pelayaran lokal,
sehingga terwujud suatu sistem pelayaran terpadu yang menunjang kelancaran arus barang dan
penumpang dengan aman, cepat dan teratur, serta tarip jasa yang terjangkau. Dalam tahun
1982/1983, jumlah muatan yang diangkut oleh armada pelayaran Nusantara meliputi barang
sebanyak 7.457.610 ton dan 4.376 unit petikemas penumpang sebanyak 475.896 orang, dengan
memakai karat sebanyak 397 buah dengan kapositas seluruhnya 503.375 DWT. Sedangkan
dalam tahun 1983/1984 jumlah muatan yang diangkut telah meningkat menjadi 8.423.463 ton
barang dan 1_.927 unit petikemas, 495.245 penumpang, dengan memakai karat sebanyak 387
buah dengan kapositas 486.824 DWT. Dalam periode tersebut telah terjadi peningkatan muatan
barang dan petikemas sebesar 13 persen dan 218 persen, serta penumpang sebesar 4 persen.
Sebaliknya jumlah dan kapositas armada mengalami penurunan, karena pada akhir Pelita III
sebanyak 62 karat dengan clara muat 60'.690 DWT telah berusia di alas 30 rabun, sehingga
tidak dapat lagi beroperasi sepenuhnya. Namun .untuk lebih meningkatkan lagi produktivitas
angkman lalit, maka karat-karat tersebut secara bertahap sampai dengan bulan Agustus 1984
diganti dengan karat-karat produk,si dalam negeri. Perkembangan armada niaga Nusantara
dapat dilihat pada Tabel VII.58. Sejalan dengan meningkatnya angkutan transmigrasi dari
tempat asal ke tempat tujuan, armada pelayaran Nusantara telah memanfaatkan prasarana dan

Departemen Keuangan RI 220


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sarana perhubungan taut yang ada tanpa mengganggu fungsi mama kegiatan pelayarannya.
Dalam kaitan ini juga telah dilaksanakan peningkatan fasilitas pelabuhan, baik di daerah asal
transmigrasi maupun di pelabuhan kecil yang melayani daerah-daerah pemukiman transmigrasi.
Selama ini armada pelayaran Nusantara telah melaksanakan pengangkutan transmigrasi dari
beberapa pelabuhan asal yaitu Tanjung Priok, Semarang, Surabaya, Benoa dan Lembar ke
berbagai daerah tujuan pemukiman transmigrasi di Sumatera, Riau, Jambi, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya.

Pelayaran lokal sebagai unsur penunjang pelayaran Nusantara Regular Liner Service
(RLS), telah berkembang adalah seperti yang diharapkan terutama dalam mengumpulkan
barang-barang ke pelabuhan pengumpul. Untuk menunjang perkembangan armada pelayaran
lokal tersebut, terus dilakukan peningkatan dan pembangunan beberapa prasarana dan sarana
pelabuhan perahu layar, antara lain di Sibolga, Palembang, Sunda Kelapa, Cirebon, Tegal,
Semarang, Gresik, Kendari, Bitung, Paotere, Donggala, Idi dan Ternate. Dalam tahun
1982/1983, jumlah armada pelayaran lokal baru sebanyak 1.049 buah karat dengan kapasitas
129.400 DWT, serta mengangkut barang dan penumpang masing-masing seberat 2.444.677 ton
dan sebanyak 610.747 orang. Walaupun dalam tahun 1983/1984 jumlah karat telah menurun
menjadi 1.025 buah, namun kapasitasnya telah meningkat menjadi 133.138 DWT, serta
mengangkut 2.481.347 ton barang dan 653.496 orang. Perkembangan jumlah armada pelayaran
lokal dapat dilihat pada Tabel VII.59.

Bidang pelayaran rakyat selain merupakan jenis angkutan laut penunjang pelayaran
Nusantara yang melayari daerah-daerah terpencil, juga merupakan pelayaran yang sesuai
dengan potensi angkutan laut tradisional sehingga terus dikembangkan dan dibina. Pem binaan
pelayaran rakyat dimaksudkan untuk membantu meningkatkan kehidupan so sial ekonomi
masyarakat dan sekaligus memberikan kesempatan untuk berkembang bagi golongan ekonomi
lemah. Untuk menunjang pelayaran terse but, terus dilakukan pembinaan melalui usaha
koperasi dan motorisasi perahu layar dengan mengutamakan golongan ekonomi lemah. Dalam
tahun 1982/1983, kapositas armada pelayaran rakyat baru sebesar 180.477 DWT dengan jumlah
muatan sebanyak 2.155.600 ton, sedangkan dalam tahun 1983/ 1984 masing-masing telah
meningkat menjadi 195.460 DWT dan 2.294.436 ton, atau suatu kenaikan masing-masing
sebesar 8,3 persen dan 6 persen. Di samping itu dalam tahun yang sarna juga telah
dimotorisasikan sebanyak 1.390 kapal melalui dana Bantuan Presiden, usaha koperasi serta
usaha swadaya masyarakat.

Departemen Keuangan RI 221


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tab e 1 VII. 58
ARMADA PELAYARAN NIAGA NUSANTARA, 1969 - 1983

Kapal-k.apal yang
Jumlah kapal beroperasi
Tahun
Kapal DWT Kapal DWT
1969 182 184.350 130 138.004
1970 273 267.759 232 234.685
1971 282 321.669 215 238.535
1972 282 321.669 282 321.669
1973 267 284.931 267 284.931
1974 300 272.411 300 272.411
1975 305 311.950 305 311.950
1976 340 330.419 340 330.419
1977 316 310.570 316 310.570
1978 322 312.000 322 312.000
1979 373 386.954 373 386.954
1980 390 406.378 390 406.378
1981 361 425.428 361 425.428
1982i) 397 503.375 397 503.375
1983 387 486.824 387 4.824
1) Angka sementara

T abel VII. 59
ARMADA DAN MUATAN PELAYARAN LOKAL, 1969 -1983

Kapositas Muatan yang


Tahun Jumlah kapal ( ribu DWT ) ( ribu ton)
1969 803 60,7 1.162
1970 777 90 1.278
1971 623 83 1.479
1972 679 86 1.543
1973 980 92,6 1.208
1974 965 92,6 938
1975 858 92,8 1.278
1976 1.277 132,1 1.382
1977 1.348 147,9 1.822
1978 1.448 155,6 1.899
1979 1.389 163,2 1.970
1980 1.081 154,8 2.200
1981 1.090 161,4 2.271
1982 1.144 129,41) 2.445
1983 2) 1.025 133,1 2.481
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Pembangunan di bidang pelayaran perintis juga terus ditingkatkan, antara lain melalui
perluasan hubungan angkutan laut ke daerah-daerah terpencil dan terisolir, penambahan
pe!abuhan yang disinggahi, pengaturan pelayaran serta penambahan frekuensi. Di samping itu

Departemen Keuangan RI 222


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

terus dilakukan pula pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaannya, dengan sejauh
mungkin memanfaatkan usaha pelayaran swasta setempat terutama pengusaha golongan
ekonomi lemah. Demikian pula pembinaan pelayaran diarahkan pad a sistem angkutan laut
yang teratur, tetap, cepat, murah dan aman. Dalam tahun 1982/1983, jumlah armada pelayaran
perintis yang telah dioperasikan adalah sebanyak 36 kapal, yang melayari 35 trayek dan
menyinggahi sebanyak 214 pelabuhan, dengan muatan yang diangkut seberat 53.166 ton barang
dan 161.387 orang. Sedangkan dalam tahun 1983/1984, telah terjadi penurunan yaitu jumlah
armada yang dioperasikan menjadi 31 kapal, melayari 29 trayek, menyinggahi 177 pelabuhan
dengan muatan seberat 31.200 ton barang dan 127.848 penumpang. Berkurangnya jumlah kapal
yang digunakan dan trayek yang dilayari terse but adalah karena telah banyaknya trayek-trayek
ekonomi yang dapat dilayari pelayaran lokal dan pelayaran rakyat, antara lain di pantai barat
Aceh, pantai barat Sumatera, Riau dan Banjarmasin.

Pe1ayaran samudera telah pula meningkat karasitasnya, di samping telah dilakukan


pula penyesuaian terhadap perkembangan teknologi, baik semi container (petikemas) maupun
full container. Di samping itu setiap tahun kaposltas dan jumlah kapalnya juga telah disesuaikan
dengan pertumbuhan permintaan akan jasa angkutan laut. Adanya peningkatan penggunaan
angkutan petikemas pada gilirannya teiah meningkatkan kapositas angkut disamping lebih
efisien pula penggunaannya. Dalam tahun 1983/1984, kapositas yang tersedia telah mencapai
sebesar 732.052 DWT, bermuatan nasional seberat 6.270.000 ton dan bermuatan asing seberat
12.694.000 ton. Dengan adanya usaha peningkatan angkutan petikemas, sampai dengan bulan
Agustus tahun 1984 PT Jakarta Lloyd telah memiliki serta mengoperasikan sebanyak 7 buah
kapal, yang terdiri atas 3 buah kapal full container, dan 4 buah kapal semi container dengan
clara angkut seluruhnya masing-masing 61.500 DWT dan 61.200 DWT. Jumlah dan kapositas
kapal petikemas tersebut telah mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan akhir Pelita
III yang berjumlah 11 buah kapal dengan kapositas seluruhnya 130.325 DWT, oleh karena
kapal petikemas konvensional tidak dioperasikan lagi. Jumlah muatan yang diangkut kapal
nasional dalam taliun 1982/1983 adalah sebanyak 18.465 ribu ton, sedangkan dalam tahun
1983/1984 telah meningkat menjadi 18.964 ribu ton. Perkembangan jumlah armada dan muatan
pelayaran samudera dapat dilihat pada Tabel VII.60.

Pelayaran khusus, yang antara lain mengangkut minyak bumi, minyak kelapa sawit,
kayu, nikel, bauksit, posir besi, pupuk, aspal, dan semen, sampai dengan akhir Pelita III telah
meningkat, baik jumlah armada maupun daya angkutnya. Dalam tahun 1982/1983, jumlah
armada pelayaran khusus baru mencapai 2.501 buah kapal dengan kapositas seluruhnya

Departemen Keuangan RI 223


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

2.267.740 DWT, 649.489 BRT dan 361.408 HP, serta mengangkut muatan non migas dan
migas masing-masing seberat 14.772.041 ton/meterkubik dan 39.682.628 liter/ton. Sedangkan
dalam tahun 1983/1984 telah meningkat menjadi 2.542 buah kapal, dengan kapositas 2.240.215
DWT, 606.489 BRT dan 425.587 HP, serta mengangkut muatan nonmigas dan migas sebanyak
36.981.535 ton/meterkubik dan 95. 784.541 liter/ton. Hal ini berarti telah terjadi peningkatan
masing-masing sebesar 1,6 persen, 17,7 persen, 150 persen dan 141 persen. Kenaikan muatan
tersebut antara lain disebabkan karena meningkatnya produksi di bidang industri semen, pupuk,
minyak kelapa sawit, kayu olahan, bijih tambang serta minyak dan gas bumi. Adanya
peningkatan pelayaran khusus dalam negeri tersebut juga telah memperlancar distribusi bahan
pangan serta bahan 'bakar minyak (BBM) ke seluruh pelosok tanah air.

Untuk memelihara dan meningkatkan kelancaran lalu lintas kolam pelabuhan dan alur
pelayaran!- pengerukan kolam pelabuhan dan alur pelayaran telah dan terus ditingkatkan.
Dalam tahun 1983/1984 telah berhasil dilakukan pengerukan lumpur sebanyak 15,71juta
meterkubik, yang dilakukan di pelabuhan-pelabuhan dan alur pelayaran Belawan, Bengkulu,
Pulau Batam, Jambi, Palembang, Tanjung Priok, Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Tegal,
Gresik, Probolinggo, Panarukan, Tanjung Petak, Sei Barito, Sei Kahayan, Sei Mahakam,
Ujungpandang, Kendari, Manado dan Bitung. Pengerukan tersebut dilakukan oleh 39 buah
kapal keruk dengan kapositas 39 juta meterkubik. Hasil-hasil pengerukan pelabuhan dapat
dilihat pada Tabel VII.61.

Pengembangan fasilitas pelabuhan merupakan salah satu penunjang kegiatan pelayaran,


terutama dengan semakin meningkatnya standar kapal dan bongkar muat barang. Oleh sebab itu
pembangunan fasilitas pelabuhan terus ditingkatkan sesuai dengan pertumbuhan lalu limas
pelayaran dan arus bongkar muat barang yang terjadi di masing-masing pelabuhan. Kegiatan
tersebut dilakukan melalui rehabilitasi, pembangunan baru dan peningkatan fasilitas dermaga,
fasilitas gudang dan lapangan penumpukan, serta peningkatan peralatan bongkar muat barang.
Di samping itu dilakukan pula peningkatan operasional melalui pembentukan perusahaan
umum pelabuhan dan pengelompokan pelabuhanpelabuhan dalam 4 Perum pelabuhan yang
berpusat di Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak dan Ujungpandang. Keempat pelabuhan
tersebut ditunjang oleh 14 pelabuhan kolektor sebagai pengumpul dan pengirim barang ekspor.
Sedangkan untuk kegiatan angkutan laut domestik, disediakan sebanyak 25 pelabuhan Utama
yang tersebar di seluruh wilayah tanah air. Selain itu juga telah dilakukan peningkatan
keterampilan tenaga kerja dan buruh pelabuhan agar pengoperasiannya dapat dilaksanakan

Departemen Keuangan RI 224


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dengan lebih. baik. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam tahun 1983/1984, antara lain meliputi
rehabilitasi dan peningkatan dermaga seluas 5.917 meter persegi, pembangunan dermaga baru
seluas 54.026 meterpersegi, pembangunan penahan gelombang seluas 8.186 meter persegi serta
pembangunan lapangan penumpukan seluas 41.145 meter persegi. Dengan pembangunan
tersebut, produktivitas rata-rata dermaga pelabuhan telah mencapai 700-800 ton/meter per
tahun. Perkembangan fasilitas pelabuhan dapat diikuti melalui Tabel VII.62.

Tabel VII. 60
ARMADA DAN MUATAN PELAYARAN SAMUDERA, 1969 -1983

Tahun JumIah Kapositas Muatan yang


kapal (ribu DWT) ( ribu ton)
1969 39 318 1.343
1970 48 386 1.913
1971 59 489 2.650
1972 53 467 6.923
1973 41 387 9.917
1974 45 339 5.967
1975 47 412 5.406
1976 50 450 10.452
1977 54 491 12.121
1978 52 513 12.120
1979 50 513 14.095
1980 58 668 16.752
1981 61 802 16.636
1982 62 827 18.465
1983 51 732 18.964
1) Angka sementara

Tab e I VII. 61
HASIL PENGERUKAN PELABUHAN, 1969/1970 - 1983/1984
( dalam juta m3 )

Tahun Target Realisasi Persentase


terhadap target
1969/1970 11.0 16.0 145
1970/1971 10.0 11,5 115
1971/1972 15,6 16,6 106
1972/1973 16 16 100
1973/1974 16 16 100
1974/1975 16 16 100
1975/1976 16 16,7 104
1976/1977 16 17,5 109
1977/1978 19 21,4 103
1978/1979 20,1 16,7 83
1979/1980 15 15 100
1980/1981 17,2 17,2 100
1981/1982 17,2 17,2 100
1982/19831) 14,7 14,7 100
1983/1984 15.7 15,7 100

1) Angka sementara
Ketelangan : JumIah lumpur yang dikeruk dinyatakan dalam juta m 3 hopper (
lumpur bercampur air )

Departemen Keuangan RI 225


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII.62
REALISASI FISIK PEMBANGUNAN FASILITAS PELABUHAN, 1969/1970 -1984/1985
PELITA I 1974/1975 1975/1976 1976/1977 1977/1978 1978/1979 1979/1980
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Fisik Fisik Fisik Fisik Fisik Fisik Fisik
pelabuhan pelabuhan pelabuhan pelabuhan pelabuhan pelabuhan pelabuhan
1. Kade / dennaga
- Rehabilitasi (m2) 29.764 27 2.310 2 21.190 4 2.550 4 9.257 10 14.473 6 11.690
- Penambahan (m2) 18.921 17 22.680 15 22.750 18 33.878 17 23.206 17 14.455 15 15.942 15
2. Penahan gelombang
- Rehabilitasi (m2) 6.455 6 - - 2.190 1 2.732 4 1.521 3 515 3 2.700
- Penambahan (m2) 135 1 1.500 2 1.800 5 230 8 1.075 4 - 3 3.253
3. G u d a n g
- Rehabilitasi (m2) 48.334 15 3.720 1 53.281 2 5.928 1 10.725 6 7.175 5 12.425
- Penambahan (m2) 11.700 9 11.946 4 11.650 6 1.960 1 8.007 11 2.242 6 3.804 3
4. Lis t ri k
- Rehabilitasi (kva) 299 6 - - - - - - - 800 5 -
- Penambahan (kva) 60 3 1 2 2 55 6 5 320 5 300
5. Fasilitas air
- Rehabilitasi (ton/hari) 3.399 16 - - - - 360 1 - - - - -
- Penambahan (ton/h..n) 2.035 4 150 - 1.700 4 500 4 400 6 2.025 8 155.340 3
6. AJat bongkar moat
- Rehabilitasi (ton) 6 2 - - - - - - 5 unit - - - - -
- Penambahan (ton) 25 1 900! 4 2 unit 3 3 unit 2 40 unit 10 756 7 31.218 m2 -
(hp) 1.000

1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 1984/1985 1)


Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah J um1ah
Fisik Fisik Fisik Fisik Fisik
pe1abuhan pelabuhan pelabuhan pelabuhan pelabuhan
1. Kode / dermaga
- Rehabilitasi (m2) 2.145 5 3.296 6 2.325 4 3 2.514 - 8.216
- Penambahan (m2) 11.535 64 31.368 47 24.270 31 35 54.026 17.497
2. Penahan gelombang
- Rehabilitasi (m2) 260 1 1.066 2 45 1 1 0
- Penambahan (m2) 1.810 6 1.246 4 3.100 1 2 8.186 0
3. G u d an g
- Rehabilitasi (m2) 4.800 1 17.794 2 11.465 4 - - 0
- Penambahan (m2) 22.500 2 2.600 4 5.255 5 800 0
4. Listrik
- Rehabilitasi (kva) - - - -
- Penambahan (kva) 90 4 200 1
5. Fasilitas air
- Rehabilitasi (ton/hari) - - - -
- Penambahan (ton/hari) 1 1 200 1 400
6. AIat bongkar muat
- Rehabilitasi (ton) - -
- Penambahan (ton) 59.070 6
(hp)

T abe I VII. 63
REHABILITASIIPEMBANGUNAN FASILITAS KESELAMATAN PELAY ARAN, 1972/1973 - 1984/1985
( dalam satuan )

Jenis sarana 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1) 1984/85 2)
L Pcrambuan daft pencrangan pantai :
1. Elektrifikasi menara suar 10 4 12 7 9 11 10 12 12 26 11 6
2. Rambu suax 13 11 9 17 5 13 25 11 18 38 39 23 25
3. Pelampung suar 8 13 6 - - - 20 1 7 - 2 -
4. ADak pelampung - 26 - - 10 7 - 6 15 7 27 23
5. Lampu peIabuhan 1 - 2 5 - 5 14 7 10 12 5 3 4
6. Buoy tender - 2 - 2 1 2
7. Supply Vessel - - 1 1 2
8. Kapal rambu (watch boat) 2 2
9. Pangkalan bantu sarana navigasi 1 1
10. Ben g k e I 2 - - 1 4 - 5
11. Dermaga - - 800 m2 1) 700 m2 1) - - 2 - - 1.100 m2
. IL Telekomunikasi:
1. Stasiun radio kelas I - - - - - - - 4
2. Stasiun radio kelas II - - - - - - - - -
3. Stasiun radio kelas III 1 7 1 - - - - - 6
4. Stasiun radio kelas IV - - 5 23 - - 1 26 8 11 6
1) Masing-masing adalah merupakan bagian dari
2) Angka sementara

Di bidang jasa maritim, dewasa ini telah dapat ditingkatkan kemampuan perawatan,
perbaikan dan pembangunan kapal- kapal serta pembersihan alur dan daerah perairan dari
kerangka- kerangka kapal, karang dan ranjau. Dalam hubungan ini terus ditingkatkan perawatan
dan perbaikan kapal nasional, di samping juga kemampuan dan fasilitas galangan kapal dalam
negeri. Dalam tahun 1983/1984, jumlah kapositas galangan kapal telah mencapai 163.700 DWT
dengan produksi doking sekitar 127 juta DWT. Sampai dengan bulan Agustus tahun 1984,
sebanyak 60 persen dari armada pelayaran nasional yang berukuran di bawah 10.000 DWT
telah dapat diperbaiki oleh galangan kapal dalam negeri. Di samping itu juga telah dilakukan

Departemen Keuangan RI 226


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pembersihan alur-alur pelayaran dan daerah pelabuhan dari kerangka kapal dan ranjau, terutama
di pelabuhan Sunda Kelapa dan Cilacap. Selanjutnya untuk meningkatkan kemampuan
perusahaan dok/galangan kapal dalam negeri, dilakukan pembinaan di bidang manajemen
keuangan serta pembentukan usaha patungan perusahaan dok/galangan kapal dalam negeri
dengan perusahaan dok/galangan kapalluar negeri. Demikian pula dalam rangka keselamatan
dan keamanan pelayaran, dalam waktu yang sama telah dapat ditingkatkan kemampuan dan
modernisasi sarana keselamatan dan keamanan pelayaran di perairan Indonesia, antara lain
berupa pembangunan fasilitas navigasi, menara suar, rambu suar, radio pantai, peningkatan
kesyahbandaran, pcnjagaan laut dan pantai serta jasa klasifikasi. Sedangkan guna meningkatkan
pengawasan teknis pembangunan reparasi kapal, terus dilakukan pembinaan klasifikasi
Indonesia dan penambahan sarana laboratorium. Hasil rehabilitasi fasilitas keselamatan dan
keamanan pelayaran dapat diikuti melalui Tabel VII.63.

7.8.3. Perhubungan udara

Kegiatan pembangunan sektor perhubungan udara sampai dengan tahun pertama Pelita
IV ditandai antara lain oleh usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat di bidang jasa angkutan
udara yang semakin meningkat. Selain itu juga oleh adanya peningkatan frekuensi
penerbangan, perluasan jaringan penerbangan, penambahan jumlah dan komposisi armada,
peningkatan kemampuan landasan udara serta penambahan peralatan keselamatan penerbangan.
Sejalan dengan itu ditempuh usaha-usaha untuk menciptakan kemudahan-kemudahan bagi lalu
lintas penumpang, barang, hewan, tanaman dan pos melalui udara, serta dapat menjangkau ke
se1uruh tanah air. Se1ain diusahakan pertumbuhan angkutan komersial dalam dan luar negeri,
te1ah pula dilakukan peningkatan pe1ayanan angkutan perintis di daerah-daerah terpencil, serta
peningkatan pe1ayanan angkutan transmigrasi dan pelayanan angkutan haji.

Selama Pelita III, pertumbuhan prasarana, sarana dan angkutan udara mengalami
kenaikan, walaupun pada tahun terakhir Pelita III tingkat pertumbuhannya tidak setinggi awal
Pelita III. Sehubungan dengan itu terus dilaksanakan proyek-proyek lanjutan dalam masa Pelita
IV, termasuk di dalamnya pembangunan dan peningkatan beberapa pe1abuhan udara dan
lapangan terbang, serta peningkatan kemampuan pegawai melalui pendidikan dan latihan.
Sampai dengan tahun pertama Repe1ita IV, telah dapat dikembangkan sebanyak 5 buah
pe1abuhan udara, yaitu di Medan, Surabaya, Denpasar, Ujungpandang, dan Biak guna
menampung pesawat berbadan lebar tipe B-747, A-300 dan DC-lO. Di samping itu juga te1ah
dilaksanakan pembangunan landasan udara baru sesuai dengan pertumbuhan lalu lintas udara,

Departemen Keuangan RI 227


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

antara lain di Meulaboh, Pulau Batam, Pangkalan Bun, Kota Baru, Samarinda, Timika, Nabire,
Poso, Waingapu, Ampenan, Bima, Ruteng, Waikabubak dan Baucau. Dalam pada itu telah pula
dibangun dan ditingkatkan pe1abuhan udara perintis di 75 lokasi yang tersebar di 27 propinsi di
Indonesia. Sehubungan dengan akan diproduksinya pesawat CN-235, maka pelabuhan udara
yang semula direncanakan menjadi pelabuhan udara yang dapat dioperasikan dengan pesawat
Fokker 27 (F-27), disesuaikan menjadi pelabuhan udara yang dapat dioperasikan untuk pesawat
CN-235.

Hasil pembangunan yang telah dicapai dalam tahun pertama Repelita IV antara lain
te1ah terdapatnya 9 landasan yang dapat didarati oleh pesawat tipe C-l60 dan CN-235, 3
landasan oleh pesawat Hercules tipe L-I00-300, 20 landasan oleh F-28, 7 landasan oleh DC-9, 2
landasan oleh DC-lO dan A-300 serta 2 landasan yang dapat didarati oleh B-747. Adapun
pelabuhan udara internasional di Cengkareng sedang dalam taraf penyelesaian, dan sesuai
dengan jadwal akan beroperasi penuh dalam bulan April 1985. Uji coba pendaratan dan lepas
landas telah dilakukan, sedangkan penyelesaian pekerjaan akan dilanjutkan dengan
penyempurnaan gedung terminal dan fasilitas peralatan kese1amatan penerbangan.

Di bidang keselamatan penerbangan, hingga tahun pertama Repelita IV juga telah


ditingkatkan fasilitasnya, antara lain bahwa semua pelabuhan udara yang melayani pesawat jet
secara bertahap diperlengkapi dengan instalasi peralatan navigasi DVOR (Doppler Very High
Omni Range). Di samping itu juga telah dilakukan pemasangan alat bantu pendaratan ILS
(Instrumen Landing System) di 7 pelabuhan udara yaitu Polonia di Medan, Talangbetutu di
Palembang, Halim Perdanakusumah di Jakarta, Juanda di Surabaya, Samsudin Noor di
Banjarmasin, Hasanuddin di Ujungpandang dan Mokmer di Biak, sedangkan pada 6 pelabuhan
udara lainnya sedang dalam persiapan pemasangan instalasi. Demikian pula telah dilakukan
pemasangan fasilitas radar di 7 pelabuhan udara, fasilitas telekomunikasi di 46 pelabuhan
udara, fasilitas pengangkat pesawat di 3 pelabuhan udara dan fasilitas pemadam kebakaran di
48 pelabuhan udara. Selain itu sesuai dengan sa saran yang hendak dicapai, jumlah pelabuhan
udara yang beroperasi lebih dari 12 jam telah menjadi 20 buah pelabuhan udara.

Kegiatan penerbangan perintis terus ditingkatkan pula melalui penambahan frekuensi


penerbangan dan lapangan terbang perintis. Sampai dengan tahun pertama Repelita IV, jumlah
lapangan terbang perintis telah berhasil ditambah menjadi 95 buah yang dilayani oleh 19 buah
pesawat DHC-6 dan 16 buah pesawat C-212. Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan
pelabuhan udara, fasilitas dan pesawat terbang, serta untuk mengurangi kepadatan arus lalu
lintas udara dari pemakaian jasa terminal pelabuhan udara, telah dilakukan pembukaan

Departemen Keuangan RI 228


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

beberapa pelabuhan udara bagi penerbangan malam, dengan mengusahakan agar perusahaan-
perusahaan penerbangan memanfaatkan fasilitas tersebut. Dalam hubungan ini baru sepuluh
buah pelabuhan udara (Pelud) yang dioperasikan secara penuh melalui perpanjangan jam
operasi dan dilengkapi dengan fasilitas penerbangan malam, yaitu Medan, Palembang,
Kemayoran Jakarta, Halim Perdanakusumah Jakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Banjarmasin,
Ujungpandang dan Biak. Selanjutnya telah direncanakan pula sebanyak 42 Pelud untuk
melayani penerbangan malam, dimana 30 buah di antaranya telah siap dengan fasilitas
penerbangan malam.

Sejalan dengan pembangunan pelabuhan udara dan fasilitas keselamatan penerbangan,


telah ditingkatkan pula sarana angkutan udara yaitu pesawat udara bermesin turbo-prop dan
pesawat bermesin turbo-jet. Hal ini dimaksudkan untuk menunjang kemajuan teknologi
angkutan udara agar dapat memenuhi dan melayani permintaan angkutan udara baik di dalam
maupun di luar negeri. Dalam tahun pertama Repelita IV, angkutan udara dalam negeri telah
dilayani oleh sebanyak 768 buah pesawat, ,yang terdiri alas 231 buah pesawat yang mempunyai
kapositas tinggallandas di alas 10 ton, 353 buah pesawat dengan kapositas tinggal landas di
bawah 10 ton dan 184 buah pesawat helikopter. Dari jumlah tersebut, sebanyak 188 buah di
antaranya dipergunakan untuk melayani penerbangan berjadwal, 250 buah pesawat untuk
melayani penerbangan tidak berjadwal ,dan sisanya sebanyak 330 buah lagi dipergunakan untuk
melayani penerbangan umum. Di samping itu penggunaan pesawat hasil rakitan PT Nurtanio
juga telah meningkat, yaitu bila dalam tahun 1978 baru sebanyak 2 buah pesawat, maka dalam
tahun 1983 telah meningkat menjadi sebanyak 16 buah pesawat dan dipergunakan untuk
melayani penerbangan perintis. Jumlah pesawat yang digunakan untuk masing-masing armada
penerbangan telah pula meningkat. Dalam tahun pertama Repelita IV, PT Garuda Indonesian
Airways (GIA) telah menggunakan 86 buah pesawat, PT Merpati Nusantara Airways (MNA)
menggunakan 57 buah pesawat, Mandala menggunakan 15 buah pesawat, Bouraq
menggunakan 26 buah pesawat dan Seulawah menggunakan 4 buah pesawat.

Adapun dalam menunjang program transmigrasi dan pelaksanaan angkutan haji, telah
dapat ditingkatkan baik kapositas angkutan maupun mutu pelayanannya. Untuk melaksanakan
angkutan transmigrasi, Pelita Air Service sebagai pengelolanya telah memiliki 6 buah pesawat
udara tipe Hercules (L-I00-300) dan 3 buah pesawat udara tipe Transall (C-I00). Dalam tahun
1983/1984, angkutan transmigrasi udara telah diangkut melalui udara adalah sebanyak 28.921
kepala keluarga (KK), sedangkan dalam waktu yang sarna jemaah haji udara telah dapat
diangkut sebanyak 49.943 orang dari 4lokasi penerbangan. Di samping itu, usaha untuk

Departemen Keuangan RI 229


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

menunjang keberhasilan program pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri, antara lain
dilakukan melalui reduksi harga tiket untuk wisata remaja dan paket wisata (package tour),
serta meningkatkan penerbangan borongan dari luar negeri langsung ke tempat-tempat obyek
pariwisata tanpa mengganggu penerbangan berjadwal. Sejalan dengan itu telah pula dilakukan
peningkatan fasilitas terminal di beberapa pelabuhan udara guna melayani arus wisatawan yang
langsung ke tempat-tempat obyek wisata. Apabila pada akhir Pelita II jumlah penumpang
dalam negeri yang diangkut baru sebanyak 4.711.000 orang dan 45.884 ton barang/pos, maka
pada akhir Pelita III telah meningkat menjadi 5.292.000 orang dan 49.790 ton barang/ pos, atau
masing-masing telah mengalami kenaikan sebesar 12 persen dan 9 persen. Angkutan
penerbangan sipil ke luar negeri juga mengalami peningkatan, yaitu dari sebanyak 733.839
penumpang dan 9.884 ton barang/pos menjadi 1.047.113 penumpang dan 28.366 ton
barang/pos, yang berarti masing-masing mengalami kenaikan sebesar 43 persen dan 187 persen.
Perkembangan penerbangan sipil di dalam negeri dan ke luar negeri dapat diikuti melalui Tabel
VII.64 dan Tabel VII.65.

Hasil pembangunan yang telah dicapai di bidang meteorologi dan geofisika selama
Pelita III antara lain ditandai dengan bertambahnya jaring-jaring stasiun, dan digantinya hampir
semua peralatan lama dengan yang baru sesuai dengan kemajuan teknologi. Di samping itu
sebagian besar stasiun yang ada juga sudah mampu beroperasi selama 24 jam sehari. Jumlah
stasiun-stasiun meteorologi, geofisika, klimatologi dan iklim serta stasiun penguapan dan hujan,
sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1984 selalu mengalami kenaikan, yaitu masing-masing
dari sebanyak 56 buah menjadi 107 buah, dari 6 buah menjadi 27 buah, dari 92 buah menjadi
324 buah dan dari 2.320 buah menjadi 4.024 buah yang berani masing-masing mengalami
peningkatan sebesar 91,1 persen, 350 persen, 252 persen dan 74 persen. Dalam periode yang
sama data meteorologi dan geofisika yang dihasilkan meningkat dengan sekitar 90 persen per
tahun, sedangkan pelayanan jasanya rata-rata naik sebesar 30 persen per tahun. Sampai dengan
bulan Juni tahun 1984, telah selesai dibangun dan dioperasikan stasiun geofisika Tanjung
Pandan di Sumatera Selatan, stasiun geofisika Saumlaki di Maluku, serta stasiun Klimatologi
Sicincin, Pulau Baai dan Lasiana Kupang, masing-masing di Sumatera Barat, Bengkulu dan
Nusa Tenggara Timur. Adapun hasil penelitian yang telah diterbitkan dalam publikasi, antara
lain meliputi penelitian mengenai standardisasi pengumpulan dan penyebaran data/informasi,
penelitian kartografi normal yang bertipe hujan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan daerah
ramalan cuaca, serta penelitian sistematika gempa dan polusi udara. Kenyataan bahwa sebagian
besar areal pertanian masih merupakan daerah tadah hujan, menunjukkan bahwa keadaan iklim

Departemen Keuangan RI 230


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

yang tidak menentu pada suatu periode dapat memberikan pengaruh yang besar pada produksi
pertanian, yaitu berupa banjir atau merajalelanya hama tanaman. Oleh karenanya informasi dari
meteorologi dan geofisika bagi sektor pertanian harus dapat dipercaya dan tepat pada waktunya.
Hal ini akan terpenuhi apabila data hujan yang dikumpulkan dari 4.204lokasi dapat diterima
tepat pada waktunya. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar data hujan masih meng-
alami keterlambatan yang disebabkan karena banyak lokasi renakar hujan yang letaknya sangat
terpencil dan jauh dari sarana komunikasi. Untuk itu ditempuh kebijaksanaan dengan
mendirikan lebih kurang 750 stasiun hujan utama sistem telemetry di seluruh wilayah
Indonesia. Stasiun hujan utama ini dilengkapi pula dengan sensor lain seperti suhu, ke-
lembaban, radiasi matahari dan arab angin. Di samping itu untuk setiap balai penyuluhan
pertanian juga dibangun stasiun meteorologi pertanian khusus, lengkap dengan sarana tele-
komunikasinya.

Tabel VII 64
PENERBANGAN SIPIL DALAM NEGERI, 1969 - 1983
Tahun Km pesawat Penumpang Barang Jam terbang Tonjkm TonJkm
(ribu) (ribu) (ton) (ribu) (ribu) (ribu)
1969 12.162 499 4.129 52.506 34.920
1970 16.480 770 4.940 80.185 51.045
1971 20.458 993 7.015 102.494 68.501
1972 26.942 1.235 11.094 125.502 82.209
1973 33.194 1.649 13.790 213.925 115.062
1974 42.448 2.126 19.252 106 264.461 114.401
1975 46.972 2.323 22.619 116 302.570 164.955
1976 55.377 2.782 28.781 137 378.925 196.602
1977 59.142 3.373 32.908 151 396.519 1) 233.290
19781) 85.578 4.711 45.884 196 950.167 457.459
19791) 70.150 4.246 39.560 176 463.918 279.250
19801) 78.439 4.664 45.268 190 521.483 321.233
1981 87.546 5.5881) 50.459 212 616.433 373.166
1982 1) 87.626 5.538 56.834 223 800.589 387.597
19832) 89.180 5.292 49.790 227 809.023 374.671
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
Tabel VII.65
PENERBANGAN SIPIL KE LUAR NEGERI, 1969 -1983
Tahun Km pesaat Penumpang Barang TonJkm TonJkm
(ribu) (orang) (ton) Jam terbang (ribu) (ribu)
1969 5.385 98.937 3.326 46.302 31.451
1970 6.883 79.287 4.019 84.549 40.831
1971 6.555 80.651 7.354 102.815 47.151
1972 7.237 85.963 2.304 10.451 122.427 56.073
1973 7.340 97.098 3.125 10.340 127.384 62.674
1974 7.506 109.840 3.574 10.429 180.340 80.620
1975 8.779 134.675 3.635 11.791 216.824 87.914
1976 10.696 169.985 3.318 14.377 291.371 97.412
1977 14.115 245.217 3.953 17.016 369.607 146.353
1978 1) 19.424 733.839 9.884 29.480 526.918 193.543
1979 1) 22.136 748.378 10.042 34.101 653.135 240.804
1980 1) 24.341 923.057 17.791 37.624 731.272 335.510
1981 1) 24.240 1.158.743 20.562 34.741 1.166.893 449.329
1982 1) 26.302 1.083.269 22.718 34.499 1.348.512 531.404
1983 2) 23.991 1.047.113 28.366 36.758 1.175.027 545.760
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 231


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

7.8.4. Telekomunikasi, pos dan giro

Telekomunikasi sebagai salah satu pendorong dan penggerak pembangunan nasional


terus ditingkatkan kemampuannya guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus
meningkat setiap tahun, baik yang menyangkut hubungan komunikasi di dalam maupun di luar
negeri. Dalam tahun pertama pelaksanaan Repelita IV, pembangunan di bidang telekomunikasi
ditujukan untuk menciptakan kerangka landasan bagi pembangunan tahap-tahap Pelita
berikutnya. Untuk itu terus ditingkatkan sistem jaringan transmisi, fasilitas telepon otomat,
telepon umum, telegrap dan telex, sehingga memungkinkan hubungan telekomunikasi yang
lebih luas dan cepat.

Melalui serangkaian pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah berhasil


dilakukan peningkatan fasilitas telepon, telegrap, telex dan jaringan transmisi, serta
penambahan sejumlah stasiun bumi. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk memperluas pe-
manfaatan satelit Palapa dan sejumlah fasilitas penunjang lainnya. Di bidang telekomunikasi
dalam negeri, sampai dengan bulan Agustus tahun 1984, antara lain telah dapat diselesaikan
pembangunan telepon otomat sebanyak 152.000 satuan sambungan (SS), sambungan telex
sebanyak 2.850, alur telegrap sebanyak 1.380 SS, sirkit tandem sebanyak 1.080 SS, alur
transmisi teresterial sebanyak 15.070 alur dan stasiun bumi kecil (SBK) sebanyak 10 buah. Di
samping itu telah diselesaikan pula program ekstra sebanyak 75 buah SBK, sambungan
kontener sebanyak 900 SS, sambungan telepon manual sebanyak 7.150 SS, telepon umum
sebanyak 3.500 buah, serta sentral sambungan telepon jarak jauh (STJJ) sebanyak 14 buah
dengan kapositas masing-masing 50 SS. Sementara itu dalam periode yang sarna telah di-
selesaikan pula sambungan telepon sebanyak 26.000 SS, sentral transit perluasan sambungan
langsung jarak jauh (SLJJ) 7.583 sirkit, transmisi teresterial 11.819 alur, serta STJJ sebanyak
1.854 SS. Dengan adanya kegiatan tersebut, maka dalam tahun 1983 jumlah sentral telepon
otomat (STO) telah mencapai 170 buah dengan kapositas seluruhnya 576.797 SS, sampai
dengan bulan Agustus tahun 1984 telah dapat ditingkatkan lagi menjadi 173 buah dengan
kapositas seluruhnya 583.947 SS. Demikian pula halnya kapositas telepon manual, yaitu
sebanyak 86.579 SS dalam tahun 1983 dan bertambah lagi menjadi 91.54855 dalam tahun
1984. Perkembangan jumlah sentral dan kapositas telepon dapat diikuti pada Tabel VII.66.

Departemen Keuangan RI 232


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

TabeI VII. 66
JUMLAH SENTRAL DAN KAPASITAS TELEPON, 1969 -1984
( sentral dalam buah, kapositas dalam satuan sambungan )

Tahun Otomat Manual


Sentral Kapasitas Sentral Kapasitas
1969 26 84.660 506 122.718
1970 28 90.660 504 102.167
1971 33 95.300 496 96.142
1972 33 110.860 506 101.782
1973 34 121.460 504 101.920
1974 37 125.500 507 104.092
1975 39 144.100 507 99.563
1976 45 160.600 507 104.896
1977 54 218.320 503 107.292
1978 69 367.200 493 108.253
1979 101 460.100 468 87.772
1980 137 524.860 457 73.762
1981 156 549.520 469 1) 79.054
1982 164 557.963 503 1) 86.579
1983 1) 170 576.797 509 89.336
1984 2) 173 583.947 509 91.548
1) Angka diperbaiki 2) Angka sementara

Sistem yang digunakan dalam bidang telekomunikasi telah mengalami banyak


perkembangan, antara lain teiepon lokal dengan sistem manual secara bertahap telah diganti
dengan sistem otomat walaupun baru menjangkau di kala-kala. Pada awal Pelita I, jumlah
sentral manual adalah sebanyak 506 buah, sedangkan pada awal Repelita IV adalah sebanyak
509 buah. Kenyataan ini menunjukkan bahvva selama periode tersebut tidak mengalami banyak
perubahan. Di lain pihak jumlah sentral telepon otomat telah meningkat dengan pesat, yaitu dari
26 sentral pada awal Pelita I menjadi sebanyak 173 sentral pada awal Repelita IV. Di samping
itu, hubungan telepon interlokal dengan sistem manual secara bertahap juga telah diganti
dengan sistem otomat dan dimasukkan ke dalam jaringan SLJJ. Pada awal Repelita IV, jumlah
kala yang sudah masuk jaringan SLJJ mencapai sebanyak 104 kala, sedangkan yang mendapat
hubungan SLJJ terbatas adalah sebanyak 20 kala. Di samping itu hubungan telepon
internasional dengan sistem manual dan semi otomatis secara bertahap juga telah diganti
dengan sambungan langsung internasional (SLI). Sampai dengan bulan Agustus tahun
1984/1985, telah dapat dilakukan hubungan melalui SLI ini dengan sebanyak 58 negara. Di
bidang telex, telah dilakukan peningkatan jaringan pada 4 buah sentral tandem nasional yang
berlokasi di Medan, Jakarta, Surabaya dan Ujungpandang.

Selanjutnya masing-masing sentral tandem tersebut dihubungkan dengan sentral lokal


yang tersebar di beberapa kota. Selama Pelita III, kapositas sentral yang terposang telah
mencapai 15.840 satuan sambungan yang melayani 24 kota di Indonesia. Selain itu juga telah

Departemen Keuangan RI 233


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dilakukan peningkatan sistem telegrap teleprinter sebagai pengganti sistem morse dan di-
gunakan untuk menghubungkan telegrap pada 400 lokasi di kota-kota besar, ibukota kabupaten
dan beberapa kota kecamatan. Adapun lalu lintas telepon internasional telah pula meningkat
dari sebanyak 2.622,3 ribu permintaan dalam tahun 1982 menjadi 3.120,1 ribu dalam tahun
1983. Hal ini berarti bahwa dalam periode tersebut telah terjadi suatu kenaikan sebesar 19
persen. perkembangan jasa telekomunikasi dapat diikuti melalui Tabel VII.67.
TabeI VII.67
PEMAKAIAN ]ASA TELEKOMUNIKASI, 1969 - 1984
1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 19831) 19842)
.. Lalu lintas telepon international:
- Banyak pennintaan (ribu) 62,4 151,3 202,3 208,8 257,8 331,1 414,3 629,3 772,0 964,5 1.094,4 1.396,0 2.376,7 2.622,2 3.120,1 1.775,3
#NAME? 277,0 1.190,8 1.249,1 1.364,8 1.219,1 2.302,1 3.196,2 4.431,1 5.426,8 6.619,9 7.446,1 8.864,4 12.480,1 16.849,5 18.793,1 9.988,0
b. Lalu lintas telepon dalam negeri:
- Lokal (jumlahpulsa) 1) 176.513,9 157,463,7 182.426,7 217.776,1 240.865,3 758.760,2 796.918,5 1.136.158,0 1.543.184,7 2.169.647,9 2.524.807,4 3.353.442,0 4.297.047,0 4.949.036,0 2.527,8,.
- Sambungan langsung jarak jaub: -
Jumlah paisa (ribu ) 5.877,0 6.419,1 7.558,1 7.916,6 9.427,9 10.096,9 10.013,2 11.011,9 13.741,0 14.830,4 12.114,8 10.868,5 10.212,6 10.632,3 10.038,2 5.027,8
Jumlah call (ribu) 30.532,5 30.579,6 . 30.233,3 39.332,5 50.889,2 51.430,9 48.950,1 58.718,8 72.083,1 75.753,3 70.315,2 63.158,8 64.174,5 67.621,5 53.551,8 26.631,0
Co Telegrap dalam negeri:
- Jumlah telegrap (ribu) 2.084,8 2.133,0 2.389,9 2.696,5 3.459,0 3.776,1 3.574,1 4.070,4 4.403,6 4.905,4 5.503,5 6.452,4 6.920,6 7.141,8 7.958,94 4.064,5
. - Jumlahkata (ribu) 55.817,0 60.059,0 62.827,0 74.576,0 105.247,0 113.527,5 106.345,6 124.244,1 134.402,2 150.103,1 167.885,3 191.073,1 205.372,51) 240.073,6 122.156,5
d. Telegrap luar negeri:
- Jumlah telegrap (ribu) 389,4 391,0 379,2 411,4 488,3 493,7 470,1 400,3 351,3 307,6 267,7 231,6 205,9 140,7 104,6 40,2
- Jumlah kata (ribu) 12.663,6 11.990,3 11.381,3 11.961,1 15.023,1 15.419,7 14.730,8 13.239,2 11.529,4 9.682,4 7.930,3 6.790,4 7.271,6 4.548,1 3.327,5 1.263,9
e. Telex dalam negeri :
- Jumlah pulsa (ribu) 3.701,1 4.934,0 6.786,7 7.876,2 9.925.3 12.684,7 17.164,9 23.321,9 27.926,3 35.894,3 43.297,1 56.903,7 82.479,7 271.864,0 336.399,6 181.237,6
f.Telex luar negeri :
- Jumlah call (ribu) 25.7 68,3 124,8 185,7 - 276,4 368,8 563,4 663,0 992,2 1.284,0 1.673,1 2.190,5 2.735,7 3.294,51) 3.656,9 2.103,3
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

Sementara itu telah dilakukan pula penambahan jaringan transmisi, yang merupakan
salah satu unsur renting dalam peningkatan jasa telekomunikasi baik di dalam maupun di luar
negeri, dengan kabel kawat masa ganda (multi-pairs wire), kabel koaksial dan kabel optek. Di
samping itu telah dipakai pula sistem gelombang mikro (GM) teresterial, yang meliputi GM
Lintas-Sumatera dengan 693 aluran, GM Jawa-Bali dengan 2.206 saluran yang dirangkaikan
dengan sistem transmisi hambur-tropo (tropos catter), GM SurabayaBanjarmasin dengan 48
aluran dan GM Indonesia Timur dengan 196 aluran. Sedangkan perluasan sistem gelombang
radio frekuensi tinggi HF, VHF, dan UHF telah mencapai sebanyak 197 stasiun. Penggantian
Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa Al yang dalam operasi pertama baru
mempunyai 12 transponder telah diganti, dengan satelit Palapa generasi kedua Bl dan B2 yang
mempunyai 24 transponder. Peningkatan hubungan internasional dilaksanakan melalui sistem
komunikasi intelsat yang mencakup dua kawasan, yaitu kawasan Samudera Hindia (Indian
Ocean Region) dengan kemampuan up-link 6 aluran dan down-link 14 aluran, serta kawasan
Samudera Posifik (Posific Ocean Region) dengan kemampuan up-link 5 aluran dan-down link
14 aluran. Dalam rangka peningkatan sarana telekomunikasi internasional, sampai dengan
bulan Agustus 1984 telah dapat diselesaikan pembangunan sistim komunikasi kabel laut
(SKKL) Asean antara Indonesia-Singapura sebanyak 480 kallal, SKKL Medan-Penang dan
stasiun kabel sebanyak 480 kallal, SKKL Medan-Singapura 1.260 kallal, sentral telepon di_ital
di Medan sebanyak 2.100 kallal, stasiun referensi time division multiple accses (TDMA) dan
terminal TDMA di Jatiluhur sebanyak 240 kanal, mikrowave link Jakarta-Jatiluhur sebanyak

Departemen Keuangan RI 234


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

572 kanal, pengadaan uninterruptible power supply (UPS) 200 KVA dan 1 unit antena track
telemetry command and monitoring (TTCM) di Jatiluhur, pengadaan peralatan VFT-MUX
sebanyak 48 terminal, penambahan trafo tegangan tinggi 3x250 KVA, sirkit sewa telegrap
sebanyak 120 kanal, sirkit sewa suara/data sebanyak 20 kallal, serta 4.096 trunks telepon
internasional dan nasional. Demikian pula industri telekomunikasi PT Inti, telah berkembang
dalam meningkatkan kemampuannya di bidang usaha telekomunikasi dan elektronika.
Selanjutnya guna menertibkan penggunaan frekuensi radio serta persiapan keanggotaan
Indonesia dalam sistem monitoring radio internasional, kini te1ah dioperasikan 1 buah stasiun
monitor bergerak, 3 buah stasiun tetap yakni di Cakung, Ulan Kayu dan Samarinda, serta telah
siap untuk dioperasikan sebanyak 18 buah stasiun monitoring bergerak.

Pembangunan di bidang pos dan giro sampai dengan tahun 1984/1985 dimaksudkan
untuk memperluas fasilitas pos dan giro dan meningkatkan jasa pelayanannya, sehingga dapat
menjangkau kecamatan-kecamatan di wilayah Nusantara termasuk daerah-daerah pemukiman
transmigrasi. Untuk menunjang hal tersebut, telah dilakukan pembangunan kantor pos dan
kantor pos pembantu di kecamatan-kecamatan, serta kantor pus tambahan, kantor pos besar dan
kantor pos ke1as I di ibukota propinsi dan kala-kala lainnya. Di samping itu juga te1ah
dilakukan penambahan, dan perluasan jasa pos ke1iling kala dan jasa pos ke1iling desa,
sehingga pe1ayanan pos dapat menunjang kegiatan so sial ekonomi masyarakat. Di samping itu,
dari segi operasi te1ah pula berhasil ditingkatkan mutu pe1ayanan pos dan giro, antara lain
dengan memperpendek waktu tempuh surat, penambahan jaringan dan perluasan pe1ayanan.
Selain itu te1ah berhasil pula ditetapkan sistem kode pos untuk se1uruh Indonesia guna
mendukung kelancaran operasi. Hasil-hasil yang te1ah dicapai sampai dengan bulan Mei 1984
meliputi pembangunan kantor pos pembantu/kantor pos tambahan sebanyak 485 buah, kantor
pos sebanyak 30 buah, kantor pos besar/ kantor pos ke1as I sebanyak 21 buah, kantor kepala
daerah pos sebanyak 3 buah, kendaraan bermotor roda 4 sebanyak 48 buah serta bis sural
sebanyak 1.214 buah. Dengan peningkatan fasilitas pos dan giro tersebut, kini pelayanannya
te1ah mampu menjangkau 3.103 ibukota kecamatan dari sejumlah 3.488 ibukota kecamatan
yang ada, sebagai sentral pos desa sekitarnya. Jangkauan pelayanan pos dan giro ke desa-desa
te1ah mencapai 60.232 desa dari sejumlah 66.159 desa yang ada di Indonesia. Hal ini berarti
pelayanan pos dan giro telah dapat melayani 91,3 persen dari seluruh ibukota kecamatan yang
ada dan 91,0 persen dari selruh desa di Indonesia. Se1ama Pelita III hingga tahun pertama
Repelita IV, te1ah banyak kemajuan yang dapat dicapai, baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya. Dari segi kuantitas, telah berhasil diletakkan dasardasar kebijaksanaan untuk

Departemen Keuangan RI 235


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

djadikan program pengembangan tahun-tahun berikutnya, yakni berupa perluasan jangkauan


pelayanan sampai ke desa-desa, daerah-daerah pemukiman trasmigrasi serta daerah terpencil,
yang antara lain dilakukan dengan memperbanyak unitunit pelayanan pos bergerak. Sedangkan
dari segi kualitas antara lain ditandai dengan berhasilnya diadakan ikatan kontrak dengan
perusahaan angkutan umum, sehingga dapat mengatasi kemungkinan hambatan-hambatan yang
mengganggu ke1ancaran pos dan giro. Dengan adanya peningkatan kualitas tersebut, angkutan
pos me1alui darat pada umumnya lancar. Guna menambah fasilitas alat angkutan pos untuk
pemantapan waktu tempuh, telah diadakan perjanjian kerjasama angkutan pos dengan
perusahaan swasta. Adapun angkutan pos laut pada umumnya tidak ada hambatan, karena
frekuensi dan jumlah kapal sudah semakin bertambah dan daerah yang dilintasi juga semakin
luas.

Demikian pula angkutan pos udara semakin lancar, dengan lebih seringnya frekuensi
penerbangan dan adanya tambahan trayek baru sehingga hampir menjangkau seluruh pelosok
Nusantara. Di samping itu dalam kedudukannya sebagai anggota UPU (United Post Union) dan
APPU (Asia Posific Post Union), Indonesia telah banyak memperoleh manfaat dari kedua
organisasi tersebut dalam mencapai kemajuan di bidang pos dan giro. Dalam pada itu telah
dilakukan pula pemasyarakatan kode pos, yang untuk tahap pertamanya dimulai di wilayah
DKI Jakarta dan kemudian disusul oleh propinsi-propinsi lairmya. Pelayanan pos dan giro
selain berpedoman kepada volume lalu lintas pos dan perhitungan biaya, juga ditujukan untuk
meningkatkan jangkauan pelayanan ke daerah-daerah terpencil dan daerah-daerah transmigrasi.
Dalam tahun 1983 telah disampaikan surat pos sebanyak 348 juta buah, weselpos senilai Rp
445,80 milyar, peredaran giro dan cekpos sebesar Rp 2.569,41 milyar serta jumlah tabungan
pada BTN sebesar Rp 81.063,60 juta. Sedangkan sampai dengan bulan Mei 1984, surat pos
yang disampaikan berjumlah sebanyak 27,74 juta buah, weselpos senilai Rp 163,70 milyar,
peredaran giro dan cekpos sebesar Rp 967,50 milyar, serta jumlah tabungan BTN sebesar Rp
23.795,90 juta. Perkembangan arus lalu lintas pos dan giro dapat diikuti melalui Tabel VIII.68.

Departemen Keuangan RI 236


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII.68
ARUS LALU LINTAS POS DAN GIRO, 1969 -1984
Peredaran Tabungan
Tahun Surat pos Weselpos dan cekpos Bank
(juta ) ( mityar ( mityar ( juta
1969 147 14,9 97,63 59,37
1970 159 20,81 106,65 146,05
1971 181,9 26,48 124,3 317,65
1972 196 32,53 157,26 499,52
1973 176,5 45,65 204,19 1.414,98
1974 187,23 63,3 325,61 2.325,82
1975 199,84 81,29 426,43 4.358,18
1976 200,56 99,48 471,45 7.042,17
1977 236,7 121,71 660,59 10.908,80
1978 252,29 138,81 840,34 15.526,00
1979 265,86 174,56 1.113,16 20.705,801
1980 276,2 126,94 1.558,70 32.338,06
1981 1) 272,75 152,08 1.933,42 42.850,29
1982 299,23 183,771) 2.208,42 58.064,31
1983 348 445,8 2.569,41 81.063,60
1984 2) 27,74 163,7 967,5 23.795,90
1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

7.8.5. Kepariwisataan

Pembangunan di bidang pariwisata diarahkan selain untuk meningkatkan dan


memperluas kesempatan kerja serta kesempatan berusaha, juga dimaksudkan untuk me-
ningkatkan penerimaan devisa, serta pengenalan alam dan kebudayaan Indonesia. Selama Pelita
III telah dilakukan langkah-Iangkah pembinaan dan pengembangan pariwisata, antara lain
berupa peningkatan dan pembangunan daerah-daerah tujuan wisata, serta pengembangan mutu
produk wisata Indonesia, dan wisata remaja. Untuk lebih meningkatkan arus wisatawan dari
luar negeri, telah dilakukan berbagai usaha antara lain pembebasan visa selama 2 bulan bagi
wisatawan dari 26 negara posaran wisatawan yang potensial, kemudahan keimigrasian,
peningkatan pelayanan bagi wisatawan asing serta peningkatan keahlian dan keterampilan
petugas-petugas yang menangani pariwisata.

Pembinaan dan pengembangan obyek wisata sejak Pelita III hingga tahun pertama
Repelita IV terutama ditujukan pada 10 daerah tujuan wisata (DTW) yaitu propinsi Sumatera
Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Dalam upaya mengembangkan obyek
wisata yang tersebar di 10 DTW dan beberapa propinsi lainnya tersebut, dalam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Agus.tus tahun 1984 telah dilaksanakan studi perencanaan
pengembangan, baik yang berupa rencana induk perencanaan, tapak kawasan dan detil desain

Departemen Keuangan RI 237


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

maupun lanjutan pembangunan fasilitas obyek-obyek wisata di DTW yang te1ah mantap
pengembangannya. Dalam rangka perintisan pengembangan obyek-obyek wisata di luar 10
DTW, dalam tahun pertama Repe1ita IV te1ah dipersiapkan pengembangan pariwisata di tiga
propinsi yaitu Riau, Bengkulu dan Kalimantan Tengah. Sed:mgkan guna menunjang
ke1ancaran arus wisatawan sampai ke DTW, diusahakan peningkatan prasarana, sarana dan
penunjang lainnya seperti tempat penginapan, jasa biro perjalanan, penerbangan borongan yang
langsung ke tempat obyek wisata, serta pemandu wisata. Kegiatan di DTW tersebut telah
menghasilkan peningkatan arus wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Dalam tahun
1982, jumlah wisatawan asing yang datang ke Indonesia baru sebanyak 592.046 orang,
sedangkan dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi 638.855 orang, yang berarti mengalami
kenaikan sebesar 7,9 persen. Sedangkan lama tinggal di Indonesia ratarata bagi wisatawan asing
dalam tahun 1983 adalah 11,7 malam per kunjungan, dengan pengeluaran rata-rata sebesar US
$ 58,8 per malam sehingga jumlah seluruh pengeluaran wisatawan asing mencapai sekitar US $
439,5 juta. Perkembangan bidang kepariwisataan dapat diikuti melalui Tabe1 VII.69.

Tabel VII.69
PERKEMBANGAN DI BIDANG PARIWISATA, 1969 - 1983
Wisatawan Kamar hotel Biro Penerimaan Tenaga kerja
Tahun (orang) (kamar) (buah ) (juta US $) (orang)
1969 86.100 2) 2.972 297 10,8 7.233
1970 129.319 3.390 359 16,2 8.278
1971 178.781 2) 3.671 545 22,6 10.048
1972 221.179 4.850 242 27,6 - 1)
1973 270.303 2) 5.510 253 40,9 - 1)
1974 313.452 11.000 414 54,4 48.300
1975 366.293 12.766 437 62,3 53.960
1976 401.237 21.925 453 70,6 - 1)
1977 433.393 2) 42.356 464 81,3 - 1)
1978 468.614 42.575 2) 467 94,3 - 1)
1979 501.430 31.406 2) 295 250,7 2) 86.398
1980 561.178 3) 34.300 2) 330 289,0 2 94.360
1981 600.151 3) 38.308 2) 409 309,1 112.156 )
1982 3) 592.046 38.627 426 358,8 1.139.282
1983 638.855 38.621 436 439,5 113.928

1) Data tidak tersedia 2) Angka diperbaiki 3) Angka sementara

Untuk meningkatkan arus wisatawan baik asing maupun domestik, dalam tahun 1983
telah dilakukan usaha-usaha dan kegiatan pemasaran melalui koordinasi dan kerjasama terpadu
guna menghadapi persaingan yang cukup ketat di pasaran pariwisata internasional. Kegiatan
dan upaya tersebut antara lain meliputi pemasangan iklan pada media internasional, untuk
mempromosikan dan menjual produk wisata Indonesia. Selain itu juga dilakukan pembuatan
bahan promosi/cetakan yang bertemakan "Indonesia destination of endless diversity" (Indonesia

Departemen Keuangan RI 238


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

adalah tempat tujuan yang beraneka ragam tanpa putus-putusnya), yaitu meliputi sejarah,
budaya dan alam serta wisata marina. Sementara itu untuk memperkenalkan secara lebih
mendalam mengenai atraksi dan fasilitas wisata Indonesia, telah diselenggarakan widya wisata.
Melalui kerjasama dengan KBRI di luar negeri, Garuda Indonesian Airways, hotel-hotel dan
biro perjalanan di dalam negeri. Program tersebut ditujukan antara lain bagi kalangan
pengusaha/pedagang dan wartawan dengan cara peninjauan langsung ke obyek-obyek wisata,
untuk mengetahui fasilitas, pelayanan, prosedur dan unsur-unsur lainnya yang berkaitan dengan
kedatangan wisatawan asing di Indonesia. Di samping itu perwakilan Pusat Promosi Pariwisata
Indonesia (P3I) di luar negeri juga telah berperanserta, secara aktif, dalam setiap kesempatan
untuk memperkenalkan Indonesia sebagai negara tujuan wisata. Hal itu sekaligus merupakan
kesempatan bagi industri dan perusahaanperusahaan untuk melakukan kontak dagang dengan
industri pariwisata dari berbagai negara yang ikut serta.

Kegiatan bina masyarakat dimaksudkan untuk membimbing, dan mengarahkan


masyarakat untuk mendukung kebijaksanaan, program dan kegiatan yang dilakukan Pemerintah
di bidang kepariwisataan. Untuk menunjang kegiatan tersebut, dilakukan peningkatan
kerjasama dengan media masa guna menyebarkan informasi kepariwisataan dan hasil-hasilnya,
serta meningkatkan sadar wisata dari para pejabat, dan pemuka-pemuka organisasi dan
masyarakat. Selain itu telah pula digalakkan wisata di kalangan para remaja melalui pengadaan
bahan-bahan informasi berupa buku petunjuk perjalanan wisata remaja, yang selalu diterbitkan
setiap tahun. Di samping itu juga dilakukan monitoring, pengendalian, pembinaan dan
pengembangan wisata remaja di empat daerah, yaitu Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sulawesi
Tengah dan Maluku.

Dalam tahun 1983, jumlah tempat menginap yang telah mendapatkan klasifikasi hotel
mencapai sebanyak 283 buah hotel berbintang dengan kamar sebanyak 20.090 buah, sedangkan
yang belum diklasifikasikan berjumlah sebanyak 792 buah dengan kamar sebanyak 18.537
buah. Posisi ini tidak berbeda dengan keadaan tahun 1982, oleh karena dalam tahun 1983
pelaksanaan klasifikasi hotel terpaksa ditunda yang disebabkan adanya resesi dunia. Demikian
pula dengan biro perjalanan, yang memperoleh ijin usaha dalam tahun 1983 tercatat sebanyak
436 perusahaan, yang terdiri atas biro perjalanan umum (BPU) sebanyak 185 buah perusahaan,
cabang biro perjalanan umum (CBPU) 108 buah perusahaan, dan agen perjalanan (AP)
sebanyak 143 buah perusahaan. Bila dibandingkan dengan tahun 1982 yang baru mencapai 426
buah perusahaan, maka berarti terdapat peningkatan usaha baru sebanyak 10 buah perusahaan
atau sebesar 2,3 persen.

Departemen Keuangan RI 239


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Pariwisata dalam negeri pada tahun pertama Repelita IV mengalami peningkatan yang
cukup tinggi, yang antara lain disebabkan adanya kebijaksanaan Pemerintah untuk
meningkatkan biaya fiskal perjalanan ke luar negeri. Di lain pihak, kebijaksanaan tersebut telah
menurunkan jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Singapura sebesar 38 persen
dalam tahun 1983, bila dibandingkan dengan tahun 1982. Selanjutnya kegiatan pemasaran dan
promosi baik di dalam maupun ke luar negeri semakin ditingkatkan melalui pemasangan iklan
dan penyebaran informasi mengenai atraksi dan fasilitas wisata Indonesia. Sementara itu guna
membantu kelancaran arus wisatawan asing clari luar negeri, dilakukan peningkatan pemasaran
dan promosi yang terpadu dan agresif berdasarkan penelitian yang menyeluruh, antara lain
berupa penambahan pintu masuk penerbangan dan pintu masuk pelabuhan laut, serta pelayanan
telekomunikasi di tempat menginap. Selain itu telah pula disempurnakan koordinasi
pemanfaatan obyek wisata, dan peningkatan atraksi wisata yang akan dapat meningkatkan clara
saing produk wisatawan Indonesia. Berbagai kebijaksanaan tersebut diharapkan akan dapat
meningkatkan arus wisatawan pada waktu yang akan datang. Untuk menunjang perkembangan
pariwisata, kini sedang dipersiapkan Rancangan Undang-undang Kepariwisataan Nasional.

7.9. Pekerjaan umum

Pembangunan di bidang pekerjaan umum yang meliputi bidang pengairan, cipta karya
dan bina marga telah menunjukkan hasil yang semakin nyata di dalam menunjang dan
mendukung keberhasilan pembangunan sektor-sektor lain. Hal tersebut tercermin antara lain
dari tercapainya sasaran fisik sejak tahun pertama Pelita I sampai dengan Pelita III. Pelaksanaan
pembangunan yang dilakukan dalam tahun pertama Repelita IV merupakan kesinambungan
dari tahap-tahap Repelita sebelumnya, dan sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh
kerangka landasan dalam pencapaian sasaran Repelita IV.

7.9.1. Pengairan

Pembangunan di bidang pengairan dititikberatkan pada peningkatan produksi pangan


terutama beras, yakni melalui usaha intensifikasi dan ekstensifikasi areal persawahan. Dalam
rangka itu antara lain dilakukan pembukaan areal persawahan baru terutama di luar pulau J
awa, sehingga dengan peningkatan produksi padi tersebut pada gilirannya pendapatan para
petani juga dapat ditingkatkan. Di samping itu bidang pengairan telah pula menunjang kegiatan
sektor- sektor lainnya, seperti pembangunan waduk serba guna yang dapat dimanfaatkan untuk

Departemen Keuangan RI 240


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pembangunan areal pertanian, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan penyediaan air
industri. Sedangkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat, telah disediakan
air baku yang memenuhi syarat-syarat kesehatan bagi daerah pemukiman. Program
pembangunan di bidang pengairan yang dilaksanakan dalam Pelita III mencakup masalah
perbaikan dan peningkatan irigasi, pembangunan jaringan irigasi baru, pengembangan daerah
rawa, serta penyelamatan hutan, tanah dan air. Untuk menunjang kegiatan tersebut, dilakukan
pula penelitian, survai, penyelidikan dan perancangan pengembangan sumber-sumber air, guna
mempercepat jangkauan fungsional pelayanan produksi dalam kawasan yang telah
dikembangkan. Hal itu dilakukan dengan meningkatkan pelayanan produksi, sehingga mampu
memberikan pelayanan yang le.bih cepat dan tepat melalui pemanfaatan sumber-sumber clara
alam yang ada. Selain itu guna melindungi kawasan pemukiman masyarakat pedesaan dan
masyarakat lainnya, telah dilakukan pengamanan terhadap daerah yang peka terhadap bencana
banjir.

Dalam tahun 1982/1983 telah dilakukan perbaikan dan peningkatan areal irigasi seluas
72.468 hektar, dan kemudian dalam tahun 1983/1984 telah mencapai seluas 88.561 hektar.
Adapun hasil-hasil yang telah dicapai selama pelaksanaan Pelita III meliputi perbaikan dan
peningkatan irigasi seluas 386.651 hektar, pembangunan jaringan irigasi baru seluas 437.271
hektar, pengembangan daerah rawa seluas 437.271 hektar, serta penyelamatan hutan, tanah dan
air seluas 587.100 hektar. Sedangkan proyek-proyek yang sampai dengan akhir Pelita III sudah
atau hampir terselesaikan antara lain berupa rehabilitasi jaringan irigasi utama Cisadane seluas
40.600 hektar, Ciujung seluas 24.300 hektar, Sedeku seluas 30.000 hektar, Gambarsari seluas
20.000 hektar, Pamali Carnal seluas 30.000 hektar, Pekalen Sampean seluas 229.000 hektar,
Delta Brantas seluas 32.000 hektar dan Tabo-tabo seluas 11.500 hektar. Sementara itu dalam
tahun pertama Repelita IV te1ah dimulai pembangunan irigasi tersier dan drainase di daerah
irigasi Cirebon, Madiun, Serayu, Jawa Timur, serta Lombok Se1atan. Se1ain itu secara intensif
juga mulai dilaksanakan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah Semarang Barat dan Simalungun,
yang masing-masing mencakup wilayah se1uas 19.400 hektar dan 45.000 hektar. Dalam waktu
yang sarna, pembangunan jaringan irigasi baru dititikberatkan pada pembangunan irigasi
sedang dan kecil, dengan prioritas utama pada lokasi-lokasi yang memenuhi persyaratan yang
ditentukan. Persyaratan dimaksud adalah se1ain lokasi yang bersangkutan sangat memerlukan
pembangunan irigasi guna menunjang peningkatan produksi pertanian, para pemilik tanahnya
juga harus menunjukkan partisiposi yang tinggi dalam program irigasi dan pencetakan sawah
baru. Hal ini terutama diterapkan pada areal transmigrasi, sehingga program pembangunan

Departemen Keuangan RI 241


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

jaringan irigasi terse but sekaligus dapat menunjang keberhasilan program transmigrasi.

Se1ain dilakukan pengembangan irigasi sedang, kecil dan sederhana, juga dilanjutkan
pembangunan prasarana irigasi baru yang lebih besar. Selama masa Pelita III te1ah dibangun
jaringan irigasi baru pada areal se1uas 437.271 hektar antara lain me1iputi proyek irigasi
Krueng Jrue Kiri se1uas 2.500 hektar, Gumbasa seluas 7.200 hektar, Cidurian se1uas 9.900
hektar, Lodoyo se1uas 12.400 hektar, Be1itang se1uas 19.500 hektar, Way Jepara se1uas 6.600
hektar dan Way Pangubuan seluas 5.000 hektar. Untuk seluruh proyek terse but sudah dapat
dise1esaikan jaringan irigasi utamanya, sedangkan jaringan tersier dan drainasenya sedang
dalam tarat penyelesaian. Adapun proyek-proyek yang masih terus ditingkatkan
pembangunannya me1iputi proyek irigasi Krueng Baro, Jambu Aye, Batang Gadis, Way
Rarem, Teluk Lada, Ciletuh, Pada Waras, Kedu Selatan, Bali, Wawotobi, Sungai Dareh Sitiung,
dan Dumoga. Kegiatan lain daripada program ini adalah pengembangan air tanah bagi daerah-
daerah pertanian yang berlahan kering dan rawan yang langka air permukaan, seperti daerah
Yogyakarta Se1atan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, dan Timor. Hasil-hasil yang
te1ah dicapai di bidang pembangunan irigasi baru se1ama dua tahun terakhir pe1aksanaan
Pe1ita III, yaitu dalam tahun 1982/1983 dan 1983/1984, masing-masing adalah se1uas 108.607
hektar dan 39.680 hektar.

Dalam tahun pertama Repe1ita IV pembangunan daerah rawa masih me1anjutkan


kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan se1ama Pe1ita III, antara lain berupa penyempurnaan
jaringan reklamasi daerah rawa serta perluasan dan penambahan areal pertanian baru. Dalam
hubungan ini standar prasarana reklamasi daerah rawa te1ah ditingkatkan, agar dapat dilakukan
pengaturan air dengan lebih baik, dan dengan biaya peme1iharaan yang lebih rendah.
Pemanfaatan daerah rawa selain ditujukan untuk memperluas areal pertanian yang ada, juga
dimaksudkan untuk memperluas dan memperbaiki daerah pemukiman penduduk, te1ah
dilaksanakan melalui kegiatan pengembangan pengairan posang surut di daerah Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Kegiatan
tersebut juga mencakup proyek reklamasi rawa bukan posang surut yang terdapat di daerah
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Hasil yang telah dicapai dalam
tahun terakhir Pelita III di bidang pengembangan daerah rawa meliputi areal seluas 86.729
hektar, yang sebagian besar merupakan lahan yang potensial untuk usaha tani. Sedangkan hasil
yang dicapai selama Pelita III meliputi areal seluas 456.189 hektar.

. Penyelamatan hutan, tanah dan air dimaksudkan guna meningkatkan pengamanan

Departemen Keuangan RI 242


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

daerah produksi pertanian, daerah pemukiman penduduk, dan daerah industri terhadap
gangguan bencana banjir. Di samping itu juga ditujukan untuk mengembangkan pemanfaatan
sumber-sumber air sungai yang memiliki potensi tinggi dalam memenuhi keperluan sektor
pertanian, kebutuhan air bersih untuk pemukiman penduduk, keperluan air industri untuk
pembangkit tenaga listrik serta kebutuhan air di pelabuhan. Untuk menanggulangi bencana
banjir lahar sebagai akibat dari meletusnya gunung-gunung berapi seperti di sekitar daerah-
daerah gunung Merapi, gunung Kelud, gunung Semeru, gunung Agung dan gunung Ga-
lunggung, maka dilakukan pembangunan dan pengendalian kantong posir (check dam) serta
tanggul. Selain itu program ini juga dimaksudkan untuk mengamankan sungai-sungai yang
merupakan sumber-sumber air bagi jaringan irigasi yang telah ada. Kegiatan-kegiatan tersebut
meliputi pengaturan dan pengamanan sungai, yaitu berupa pengerukan dasar sungai, perluasan
aliran, pembuatan sudetan, perlindungan dan perkuatan tebing, pembuatan tanggul, pembuatan
saluran banjir, pembuatan pintu-pintu banjir, serta latihan penanggulangan banjir, baik bagi
para petugas maupun bagi penduduk setempat. Selama 5 tahun Pelita III telah berhasil
dilakukan penyelamatan hutan, tanah dan air seluas 587.100 hektar, di antaranya yang
dilakukan dalam tahun 1982/1983 dan tahun 1983/1984 masing-masing seluas 248.601 hektar
dan 63.698 hektar, yang dilaksanakan secara khusus melalui proyekproyek pengaturan dan
pengamanan sungai besar. Proyek-proyek terse but terdiri atas proyek Bengawan Solo,
Citanduy, Cisanggarung, sungai Arakundo, sungai Ular, sungai Brantas dan pengendalian banjir
Jakarta. Selain untuk pengendalian banjir, proyek itu juga dimaksudkan untuk menunjang
sektor industri, seperti pembangunan pembangkit tenaga listrik dan penyediaan air, baik untuk
keperluan industri maupun rumah tangga. Dalam hubungan ini, telah dilaksanakan pula
pembangunan waduk-waduk besar, seperti waduk Wonogiri yang sudah berfungsi dan Wadas
Lintang yang sedang dalam tahap penyelesaian.

Pengutamaan kegiatan pada program jaringan tersier, dalam Pelita III telah me-
perlihatkan hasil yang cukup menggembirakan, yaitu tercapainya areal seluas 1.680.573 hektar.
Pembangunan jaringan tersier dilaksanakan melalui pemanfaatan jaringan-jaringan irigasi yang
telah dibangun, dan dewasa ini secara langsung telah dapat menunjang program intensifikasi
produksi pertanian.

7.9.2. Perumahan rakyat dan pemukiman

Salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui


peningkatan pembangunan di bidang perumahan rakyat dan pemukiman. Sehubungan dengan

Departemen Keuangan RI 243


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

itu, pembangunan perumahan rakyat dan pengembangan pemukiman penduduk diarahkan untuk
dapat tersebar ke berbagai lokasi pemukiman yang meliputi sekitar 6.000 desa pada 200 kota.
Pembangunan perumahan rakyat dan pemukiman tersebut pada dasarnya merupakan tanggung
jawab masyarakat itu sendiri dengan mendapatkan bantuan dan pembinaan dari Pemerintah,
terutama yang menyangkut peningkatan mutu kehidupan masyarakat banyak yang
berpenghasilan rendah. Sehubungan dengan itu kini sedang dikembangkan suatu sistem yang
lebih terarah dan terpadu, terutama yang berkaitan dengan masalah pembiayaan, perluasan
kesempatan kerja, kesehatan lingkungan, produksi bahan bangunan lokal, keserasian
pembangunan daerah, pemukiman serta tataguna tanah perkotaan dan pedesaan.

Pembangunan perumahan rakyat terutama ditujukan untuk meningkatkan perbaikan


kampung/lingkungan pemukiman kota, pemugaran perumahan desa dan pembinaan yang
menunjang kegiatan tersebut. Kebijaksanaan pembangunan di bidang pemukiman rakyat sangat
erat kaitannya dengan kebijaksanaan di sektor lainnya seperti kependudukan, pertanahan,
perkreditan, serta riset dan teknologi. Program perumahan rakyat mencakup perintisan
pemugaran perumahan desa, perintisan perbaikan lingkungan perumahan kota, perbaikan
kawasan pusat kota bagi kota-kota sedang dan kecil termasuk lingkungan kawasan posarnya,
perintisan peremajaan kota, pembangunan perumahan rakyat, serta pengembangan kredit
pemilikan rumah (KPR). Kebijaksanaan umum yang ditempuh di bidang ini antara lain dengan
melibatkan masyarakat sebanyak mungkin, di samping tetap memperhatikan aspek-aspek
pemerataan dan keterjangkauan khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan
menengah.

Kegiatan perbaikan kampung di daerah perkotaan mencakup bina lingkungan, bina


usaha dan bina manusia, yang antara lain berupa perbaikan jalan lingkungan dan jalan setapak,
penanggulangan sampah lingkungan, perbaikan saluran pembuangan air hujan, pembuangan air
limbah rumah tangga dan pengadaan air bersih. Kegiatan tersebut juga berupa pengadaan
sarana fasilitas sosial lainnya seperti Puskesmas, gedung sekolah dasar, pembinaan
kesejahteraan ibu dan anak (PKK), serta kegiatan-kegiatan lainnya yang ditujukan untuk lebih
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perkotaan, yang sebagian besar penduduknya
berpenghasilan rendah. Sehubungan dengan itu, dalam tahun 1983/1984 telah dilakukan
perbaikan kampung pada 190 kala, meliputi areal seluas 3.701 hektar yang dapat memberikan
manfaat bagi 1.183.220 orang penduduk kampung. Adapun secara keseluruhan selama 5 tahun
pelaksanaan Pelita III telah berhasil dilaksanakan perbaikan kampung seluas 17.980 hektar,
yang dapat memberikan manfaat langsung kepada 5.436.600 penduduk di berbagai propinsi.

Departemen Keuangan RI 244


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Hal ini berarti bahwa selama periode tersebut pelaksanaan program perbaikan kampung telah
dapat melampaui target yang direncanakan dalam Repelita III seluas 15.000 hektar.

Pengadaan perumahan rakyat bagi masyarakat berpenghasilan rendah selama ini telah
dilaksanakan melalui Perum Perumnas yakni berupa pemberian fasilitas KPR dari Bank
Tabungan Negara (BTN). Selain dengan Perum Perumnas, BTN juga mengadakan kerjasama
dengan perusahaan pembangunan perumahan swasta, yang bertujuan untuk membangun
perumahan rakyat bagi mereka yang berpenghasilan menengah dan tinggi. Dalam tahun
1983/1984, Perum Perumnas telah membangun sebanyak 12.963 rumah siap huni yang terdiri
atas 3.680 unit rumah sederhana, 8.523 unit rumah inti dan 760 unit rumah susun. Adapun
selama 5 tahun pelaksanaan Pelita III, jumlah keseluruhan rumah siap huni yang telah selesai
dibangun mencapai 81.323 unit, terdiri atas 28.030 unit rumah sederhana, 50.269 unit rumah
inti dan 3.024 unit rumah susun. Dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Juni 1984 juga
telah seksai dibangun sebanyak 1.537 unit, terdiri atas 787 unit rumah inti, 110 unit rumah
sederhana, dan 640 unit rumah susun. Perkembangan jumlah perumahan yang dibangun oleh
Perum Perumnas dapat dilihat pada Tabel VII.71.
Tab eI VII. 71
PEMBANGUNAN PERUMAHAN RAY AT OLEH PERUMNAS, 1978/1979 - 1983/1984
( dalam unit rumah )
1978/1979 1979/1980 1980/1981 1981/1982 1982/1983 1983/1984 1)
Propinsi Rumah Rumah Rumah Rumah Rumah3) Rumah Rumah 3) Rumah Rumahh3) Rumah Rumah 4) Rumah
sederhana inti Jumlah sederhana inti Jumlah sederhana inti Jumlah sederhana inti Jumlah sederhana inti Jumlah sederhana inti Jumlah
I. D.l. Ace h - - - - - - 388 - 388 388 388 388 - 388
2. Sumatern Utara 3.948 898 4.846 1.412 2.479 3.891 2.342 1.252 3.594 1.734 1.742 7.552 5.457 13.009 - 606 606
3. Sumatern Barat 368 - 368 500 500 1.192 - 1.192 - 1.764 - 1.764
4. Ria u - - - - 400 600 1.000 612 600 1.212 612 600 1.212
5. J ambi - - - - - - - 500 200 700 - - - 1'49 638 787
6. Swnatern Selatan - - - 90 450 540 306 680 986 148 452 600 406 1.094 1.500
7. Bengkulu - - - - - - 158 286 444 - 286 158 444
8. Lampung - - - - - 522 300 822 522 510 1.032 140 58 198
9. DK1Jakarta 11.216 12.018 23.234 2.186 7.200 9.386 1.8642) 522 2.386 - 12.212 9.087 21.299 935 - 935
10. Jawa Barat 5.250 4.230 9.480 1.020 3.576 4.596 1.190 1.666 2.856 746 882 1.628 9.606 15.098 24.704 1.620 706 2.326
11. Jawa Tengah 1.946 1.230 3.176 8 2.500 2.508 830 - 830 4.400 2.500 6.900 4.584 3.730 8.314 333 727 1.060
12. D.l. Yogyakarta 1.166 - 1.166 34 34 64 - 64 - - - 1.230 - 1.230 200 1.518 1.718
13. Jawa TImur 3.046 1.222 4.268 400 3.500 3.900 194 1.542 1.736 1.200 1.300 2.500 4.872 6.264 11.136 478 2.988 3.466
14. BaIi - - - - - 240 1.774 2.014 - - - - 10 148 158
15. Nusa Tenggara Barut - - - - 100 100 508 354 862 514 500 1.014 500 764 1.264
16. Nusa Tenggara Timur - - - 140 140 324 - 324 534 - 534 534 - 534
17. Kalimantan Barat 1.078 - 1.078 1.078 - 1.078 - 200 300 500 - - -
18. Kalimantan Tengah - - - - - - - 216 216 216 216
19. Kalimantan Belatan - - - - - - 216 - 216 - 500 500 300 - 300 502 304 806
20. Kalimantan Timur 200 - 200 - - 502 304 806 - 200 - 200 - 432 482
21. Sulawesi Utara - - - 120 120 656 - 656 32 32 688 - 688 43 238 281
22. Sulawesi Tengah - 340 340 400 - 400 - - 400 - 400 - -
23. Sulawesi Selatan 1.070 768 1.838 134 134 480 - 480 - 2.504 - 2.504 171 218 389
24. Sulawesi Tenggara - - - 250 250 282 - 282 4 - 278 - 278
25. Maluku - - - 300 200 500 300 200 500 300 200 500
26. Irian Jaya - - - 200 - 200
27. Timor Timor - - - 356 216 572
Jumlah 29.288 20.366 49.654 7.712 19.805 27.517 13.914 9.696 23.610 12.050 7.953 20.003 49.580 42.510 92.090 4.441 8.523 12.964
I) Angkadiperbaiki
2) Termasuk Tangerang dan Depok
3) Sejak tahun 1980/1981 pada rumah sederhana termasuk rumah susun
4) Sejak tahun 1983/1984 rumah sederhana terma,uk rumah susun don RKTM

Pembangunan rumah dengan dukungan KPR dari BTN telah pula ditingkatkan dan
dikembangkan hampir di seluruh ibukota propinsi dan ibukota kecamatan. Selama Pelita III,
hasil yang telah dicapai oleh Perum Perumnas dan non Perumnas yang mendapat dukungan
KPR masing-masing sebanyak 88.289 unit rumah dan 104.563 unit rumah, sehingga seluruhnya
berjumlah 192.852 unit rumah. Sedangkan yang dibangun tanpa dukungan KPR masing-masing
telah mencapai sebanyak 81.323 unit rumah dan 104.563 unit rumah, sehingga keseluruhannya
berjumlah 185.886 unit rumah. Di samping itu terdapat pula perumahan yang dibangun oleh PT

Departemen Keuangan RI 245


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Papan Sejahtera atas dukungan KPR, yang selama Pelita III telah mencapai sebanyak 1.243 unit
rumah. Adapun perusahaan-perusahaan pembangunan perumahan swasta yang tergabung dalam
perusahaan Real Estate Indonesia (REI), juga telah banyak memberikan sumbangannya dalam
pembangunan perumahan, khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas.

Pemugaran perumahan pedesaan dimaksudkan agar sebanyak mungkin rakyat desa


dapat mendiami rumah dan lingkungan yang sehat, dengan mengarahkan agar dapat dilakukan
secara mandiri melalui rumah percontohan dan penyuluhan yang diberikan. Pada dasarnya
kegiatan tersebut merupakan usaha gotong royong masyarakat desa yang bersangkutan dengan
mendapatkan bantuan dan bimbingan dari Pemerintah. Kegiatannya selain mencakup
pemugaran rumah-rumah desa, juga meliputi perbaikan jalan lingkungan desa, penyediaan air
bersih, pengadaan sarana mandi-cuci-kakus (MCK), serta perintisan unit produksi bahan
bangunan setempat. Selama Pelita III telah dilaksanakan pemugaran perumahan di 4.923 desa
yang terse bar di 25 propinsi kecuali propinsi OKI Jakarta dan Irian Jaya, di samping juga telah
dilakukan di 120 desa dalam rangka penanggulangan bencana alam atau penanggulangan
darurat. Sedangkan pembangunan jalan lingkungan desa telah diselesaikan sepanjang 990.214
meter, pengadaan sarana air bersihsebanyak 1.281 unit, pembuatan saluran pembuangan air
kotor sepanjang 25.444 meter, pembangunan sarana MCK sebanyak 993 unit, dan pengadaan
peralatan penukangan sebanyak 1.281 unit.

Selain pengadaan perumahan rakyat, perbaikan kampung dan pemugaran perumahan


desa, maka dilakukan pula kegiatan-kegiatan penunjang yang bertujuan untuk memudahkan
pelaksanaan program perumahan rakyat secara keseluruhan. Kegiatan terse but antara lain
berupa pembinaan umum pembangunan perumahan rakyat, perintisan pengadaan produksi
bahan-bahan bangunan setempat, peningkatan keterampilan, serta penelitian perumahan rakyat
baik yang bersifat nasional maupun regional. Pembinaan di bidang pembangunan perumahan
rakyat tersebut telah dilaksanakan melalui Pusat Informasi Teknik Bangunan (PITB), dengan
tujuan untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, motivasi, kemampuan dan keterampilan
masyarakat luas, dan juga aparat Pemerintah daerah. Selain itu juga dimaksudkan untuk
menunjang pelaksanaan proyek perintis perbaikan lingkungan perumahan desa (P3LPD),
proyek perintis perbaikan lingkungan perumahan kota (P3LPK), serta usaha-usaha lain di
bidang pemukiman. Kegiatan penelitian di bidang air bersih dan kesehatan lingkungan
pemukiman, telah dilaksanakan dengan pembuatan model bangunan sederhana pengolah air
yang disebut embung-embung, yang dimaksudkan untuk mencukupi keperluan air bersih di
propinsi Nusa Tenggara Timur. Adapun unit usaha pengolahan air bersih yang menggunakan

Departemen Keuangan RI 246


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

tanah gambut sebagai bahan pengolahannya, telah dibangun di propinsi Kalimantan Selatan.

Sejalan dengan makin meningkatnya kebutuhan air bersih, terus dilakukan upaya
pengadaan dan penyediaan air bersih yang dapat menjangkau baik kota-kota-besar, rnaupun
kota-kota kecil, termasuk ibukota kecamatan (IKK) yang terdapat di seluruh propinsi. Dalam
tahun terakhir pelaksanaan Pelita III, telah dapat dilakukan penambahan kapositas produksi air
bersih sebesar 5.082,5 liter per detik untuk kota. Sedangkan selama 5 tahun pelaksanaan Pelita
III kapositas produksi air bersih, telah mencapai 18.254 liter per detik, tersebar di 710 kota
besar, sedang dan kecil termasuk IKK. Di samping itU selama periode tersebut juga telah
berhasil dilakukan pengadaan air di 627 IKK, 390 di antaranya ditangani dengan sistem IKK
sepenuhnya, 139 dengan sistem BNA (basic need approach), dan 98 sisanya melalui Inpres
kesehatan. Sejalan dengan itu, dalam Pelita III telah dilakukan peningkatan dan pemerataan
pelayanan air bersih, khususnya bagi penduduk yang berpenghasilan rendah. Hal itu
dilaksanakan melalui peningkatan penyediaan dan pemasangan hidran umum, serta sambungan
ke rumah-rumah guna mencapai tingkat pelayanan penduduk semaksimal mungkin. Dalam
tahun 1983/1984 telah dapat diposang sambungan rumah sebanyak 69.146 buah dan 2.651
hidran umum yang mampu melayani 1.221.660 jiwa penduduk di 357 kota. Dengan demikian,
selama lima tahun pelaksanaan Repelita III jumlah sambungan rumah yang telah dipasang
mencapai 227.309 buah, dan hidran umum sebanyak 9.322 buah, yang dapat melayani
penduduk sebanyak 4.137.520 jiwa di 25 propinsi kecuali Sumatera Barat dan Jawa Barat.
Kegiatan program penunjang air bersih dilakukan untuk mempersiapkan, mengendalikan dan
mengawasi pelaksanaan proyek air bersih di berbagai kala di seluruh propinsi, sehingga dapat
melayani penduduk dengan baik terutama berdasarkan kemampuannya sendiri. Sehubungan
dengan itu, dalam tahun 1983/1984 telah dibentuk 28 badan pengelola air minum (BPAM),
sedangkan sampai dengan tahun terakhir pelaksanaan Pelita III jumlah seluruh BPAM telah
mencapai 150 buah. Peningkatan status BPAM menjadi Perusahaan Daerah Air Minum
(POAM), terus diusahakan, dan sejalan dengan itu dilakukan pula usaha peningkatan
keterampilan tenaga-tenaga teknisi air bersih.

Pembangunan di bidang sanitasi lingkungan meliputi kegiatan kebersihan kala, serta


pembangunan sarana pembuangan air kotor dan saluran pembuangan air hujan. Kegiatan terse
but ditujukan untuk meningkatkan mutu lingkungan pemukiman terutama dalam mencegah
berjangkitnya penyakit. Dalam hubungan ini, selama Pelita III telah dilaksanakan perbaikan
sarana lingkungan kota termasuk persampahan di 15 kala, sedangkan untuk pembangunan
sarana pembuangan air kotor telah selesai dibangun instalasi pengolahan air kotor, termasuk

Departemen Keuangan RI 247


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

jaringan pipanya di Tangerang. Selain itu kini sedang dilakukan juga pembangunan sarana
pembuangan air kotor di kota Bandung, Jakarta dan Medan. Sampai dengan tahun 1983/1984
telah dibangun saluran pembuangan air hujan di 25 kala yang tersebar di berbagai daerah.

Mengingat bahwa pembangunan gedung-gedung, baik yang dilaksanakan oleh


Pemerintah maupun swasta, semakin meningkat, maka diperlukan pengaturan dan pem-
binaannya agar pelaksanaan dan pemanfaatannya dapat berdaya guna dan berhasil guna. Untuk
itu terus ditingkatkan keselamatan bangunan-bangunan umum agar tidak cepat rusak, tidak
mudah runtuh, aman dari bahaya kebakaran, bebas dari genangan banjir, dan mendapatkan sinar
matahari yang cukup. Di lain pihak, dalam rangka tertib bangunan telah disusun berbagai
peraturan antara lain mengenai standar, pedoman pelaksanaan, prosedur pengadaan bangunan
negara, peraturan bangunan nasional, serta model peraturan setempat di kola kabupaten dan
kotamadya. Selama Pelita III telah disusun rencana tataruang kala sebanyak 176 kota, serta
rencana tataruang daerah yang diperuntukkan bagi sebanyak 61 daerah yang tersebar di
berbagai propinsi di seluruh Indonesia.

7.9.3. Prasarana jalan dan jembatan

Pelaksanaan pembangunan jalan selama Pelita III dan tahun pertama Repelita IV
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan pelayanan jaringan jalan yang tersebar di seluruh
Indonesia agar dapat melayani lalu lintas yang semakin berkembang, terutama arus-arus jalan
yang mempunyai nilai sosial dan ekonomi yang tinggi. Di sam ping itu pembinaan jaringan
jalan ditujukan untuk meningkatkan pengangkutan barang dan jasa dari pusat-pusat produksi ke
daerah-daerah pedesaan, serta untuk mendorong mobilitas manusia sekaligus mengembangkan
dan meratakan pembangunan beserta hasil-hasilnya di seluruh nusantara. Dengan demikian
prioritas utama kegiatannya diberikan kepada perbaikan dan peningkatan jalan yang
menghubungkan antara pusat-pusat produksi dengan daerah-daerah pemasaran dan pelabuhan,
serta jalan-jalan yang membuka daerah-daerah yang potensial tetapi masih terisolir. Di daerah-
daerah yang telah menunjukkan perkembangan yang relatif tinggi, masyarakat pemakai jalan
ikut membiayai jalan-jalan baru melalui sistem tol. Kegiatan yang telah dilakukan sampai
dengan tahun pertama Repelita IV meliputi programprogram rehabilitasi dan pemeliharaan
jalan dan jembatan, penunjangan jalan dan jembatan, peningkatan jalan dan penggantian
jembatan, serta program pembangunan jalan dan jembatao baru. Bidang rehabilitasi dan
pemeliharaan jalan dan jembatan telah dapat memperbaiki kerusakan-kerusakan setempat pacta
ruas-ruas jalan arteri dan kolektor yang telah mempunyai kondisi fisik yang mantap, sehingga

Departemen Keuangan RI 248


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

jalan terse but tetap terpelihara. Hasil yang dicapai dalam program tersebut selama Pelita III
meliputi jalan sepanjang 31.971 km, termasuk di antaranya yang dicapai dalam tahun
1982/1983 sepanjang 9.414 km dan dalam tahun 1983/1984 sepanjang 4.841 km. Sedangkan
kegiatan rehabilitasi dan pemeliharaan jembatan selama Pelita III telah mencapai 41.059 meter,
termasuk di antaranya yang dicapai dalam tahun 1982/1983 dan tahun 1983/1984 masing-
masing sepanjang 8.212 meter dan 10.749 meter. Kegiatan yang dilakukan di bidang
penunjangan jalan dan jembatan telah dapat memperbaiki kondisi jalan yang tidak mantap dan
kritis menjadi baik, sehingga dapat melayani pertumbuhan lalu lintas dalam jangka pendek
sebelum jalan tersebut ditingkatkan luasnya. Hasil yang telah dicapai selama Pelita III meliputi
peningkatan jalan sepanjang 90.547 km, di antaranya dalam tahun 1982/1983 sepanjang 18.381
km, dan dalam tahun 1983/1984 sepanjang 15.943 km, sedangkan beberapa ruas jalan telah
beberapa kali mengalami perbaikan. Adapun di bidang penunjangan jembatan, selama 5 tahun
pelaksanaan Pelita III telah mencapai 141.308 meter, di antaranya dalam tahun 1982/1983 dan
tahun 1983/1984, masing-masing mencapai 36.488 meter dan 24.0'55 meter. Sementara itu
program peningkatan jalan dan penggantian jembatan telah dapat meningkatkan jumlah
jaringan jalan arteri dan jalan kolektor ke dalam kondisi mantap, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan pertumbuhan lalu lintas yang terus meningkat pada arus-arus jalan tersebut. Selama
Pelita III telah dapat ditingkatkan jalan sepanjang 10.708 km, diantaranya dalam tahun
1982/1983 telah dilaksanakan sepanjang 3.272 km, dan dalam tahun 1983/1984 sepanjang
2.448 km. Sedangkan peningkatan jembatan selama Pelita III telah mencapai sepanjang 14.412
meter, yaitu sepanjang 4.393 meter telah dilaksanakan dalam tahun 1982/1983 dan 3.887 meter
daiam tahun 1983/1984. Dalam tahun 1982/1983 dan tahun 1983/1984 telah dilakukan
penggantian jembatan sepanjang 8.768 meter dan 7.527 meter, sedangkan secara keseluruhan
selama 5 tahun pelaksanaan Pelita III mencapai 42.848 meter.

Pembangunari jalan baru ditujukan untuk dapat melayani pertumbuhan lalu lintas baik
di daerah perkotaan, maupun dalam rangka pembukaan hubungan lalu lintas ke daerah yang
terpencil, terisolir dan daerah pemukiman transmigrasi. Hasil yang telah dicapai selama Pelita
III adalah meliputi pembangunan sepanjang 1.384 km jalan dan 6.868 meter jembatan. Hasil
yang cukup baik tersebut tampak pada kenyataan bahwa jalan kritis yang pada akhir Pelita II
masih sekitar 22 persen, maka pada akhir Pelita III telah dapat diatasi seluruhnya. Di lain pihak
jalan mantap dan tidak mantap yang pada akhir Pelita II masing-masing adalah sebesar 13
persen dan 65 persen, maka pada akhir Petitt III jalan mantap telah meningkat menjadi sebesar
36 persen dan jalan tidak mantap berkurang menjadi 64 persen. Apabila dalam tahun 1982/1983

Departemen Keuangan RI 249


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

jumlah jalan mantap mencapai 12.392 km, maka dalam tahun 1983/1984 telah ditingkatkan
menjadi 13.956 km. Di lain pihak, dalam periode yang sarna jumlah jalan tidak mantap telah
diturunkan dari sepanjang 25.208 km dalam tahun 1982/1983 menjadi sepanjang 25.044 km
dalam tahun 1983/1984. Sedangkan jumlah jalan kritis yang dalam tahun 1982/1983 mencapai
sepanjang 900 km, dalam tahun 1983/1984 telah dapat diperbaiki seluruhnya.

Sementara itu penggunaan aspal Buton terus dikembangkan, selain untuk


meningkatkan produksi aspal dalam negeri, juga ditujukan untuk mengadakan penelitian
mengenai peningkatan mUlti produksi dalam negeri, sistem distribusi, dan sistem
pengelolaannya. Hasil penelitian yang dilakukan selama Petita III, telah dapat digunakan untuk
peningkatan jaringan jalan antara lain meliputi lapisan tipis aspal Buton murni (Latasbum) dan
lapisan aspal Buton dengan batu pecah agreget (Lasbutag). Kedua lapisan aspal tersebut
digunakan untuk kondisi jalan dengan kepadatan lalu lintas sekitar 3.000 kendaraan per hari,
dengan lebar perkerasan jalan sekitar 7 meter. Sedangkan jalan agreget padat tahan cuaca
(Japat) digunakan untuk kegiatan penunjangan jalan, terutama untuk menghapuskan ruas-ruas
jalan pada kondisi kritis dengan kepadatan lalu lintas yang relatif rendah. Dengan penggunaan
cara/sistem tersebut maka dalam tahun 1982/1983 dan 1983/1984 masingmasing telah
digunakan aspal Buton sebanyak 452.943 ton dan 453.383 ton dan untuk seluruh Pelita III
sebanyak 1.399.633 ton.

Sementara itu guna memperlancar pemasaran hasil produksi pertanian, perkebunan dan
industri kecil di pedesaan, telah dilakukan bantuan penunjangan jalan kabupaten. Selama 5
tahun pelaksanaan Pelita III telah berhasil ditingkatkan penunjangan jalan kabupaten sepanjang
40.326 km, dan penunjangan jembatan sepanjang 51.781 meter. Hasil yang dicapai dalam tahun
1983/1984 di bidang penunjangan jalan kabupaten meliputi sepanjang 7.418 km, penunjangan
jembatan sepanjang 19.396 meter dan penggantian gorong-gorong sepanjang 59.568 meter.
Kegiatan tersebut ditingkatkan melalui penyediaan peralatan jalan dan peningkatan kemampuan
teknis di lapangan. Berhasilnya pembangunan jalan dan jembatan terse but pada gilirannya
telah dapat meningkatkan kelancaran mobilitas antardaerah, baik yang menyangkut kegiatan
perdagangan dan produksi, maupun dalam rangka penyebaran penduduk dan penghapusan
isolasi daerah-daerah terpencil. Pembangunan di bidang jalan dan jembatan dapat dilihat pada
Tabel VII. 72.

Departemen Keuangan RI 250


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

T abe I VII.72
PEMBANGUNAN DI BIDANG PRASARANA jALAN DAN jEMBATAN, 1969/1970 - 1984/1985
1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85
J a I a n (km)
1. Pemeliharaan 1) - 10.482 30.034 23.745 18.730 10.419 8.887 8.982 9.956 8.858 4.889 5.673 7.154 9.414 4.841 157
2. Rehabilitasi 920 1.387 1.544 1.605 994 1.779 829 1.294 1.356 2.226 - - - - -
3. Peningkatan 746 735 507 920 684 546 757 916 1.165 1.262 936 1.685 2.367 3.272 2.448 3.502
4. Pembangunan baru 27 47 - 111 51 230 145 148 110 60 68 221 521 400 174 331
5. Penunjangan 2) - - - - - - - 21.074 18.583 16.566 18.381 15.943 1.128
Jembatan (m)
1. Pemeliharaan 1) - - - - - 2.464 2.390 2.782 5.526 12.602 6.075 8.013 8.010 8.212 10.749 775
2. Rehabilitas! 4.825 6.399 2.482 3.894 4.029 3.502 3.515 6.789 5.317 - - - -
3. Peningkatan 1.580 1.579 4.928 3.700 2.916 2.132 3.502 4.787 4.224 4.560 2.610 3.397 125 4.393 3.887 1.834
4. Pembangunan baru 1.500 1.579 4.928 3.700 688 1.305 840 1.514 1.199 913 375 1.454 2.105 2.108 826 115
5. Penunjangan 2) - - - - - - - - - 28.011 27.651 25.103 36.488 24.055 26.301
1) Dalam Pelita llI, pemeliharaan menjadi satu dengan rehabilitasi
2) Dalarn Pelita I dan ll, penunjangan menjadi satu dengan peningkatan
3) Angka sementara

7.10. Kependudukan dan transmigrasi

7.10.1. Kependudukan

Masalah pokok di bidang kependudukan dalam tahun kedua Repelita IV terutama


ditandai oleh besarnya jumlah penduduk, pertumbuhan yang cukup tinggi dan penyebaran yang
kurang merata. Di samping itu juga oleh adanya struktur umur yang kurang seimbang serta
kualitas penduduk yang relatif masih rendah. Keadaan penduduk tersebut secara tidak langsung
akan mempengaruhi perkembangan bidang ketenagakerjaan, terutama dalam mewujudkan
lapangan kerja baru bagi angkatan kerja, yang setiap tahun jumlahnya diperkirakan bertambah
sekitar 1,5 juta orang selama kurun waktu tersebut. Oleh karena itu di dalam melaksanakan
pembinaan dan penempatan tenaga kerja, telah ditetapkan kebijaksanaan yang bersifat
menyeluruh dan terpadu dan dititikberatkan pada perluasan kesempatan kerja yang produktif
dan renumeratif, dan sekaligus bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pendapatan dan
kegiatan pembangunan. Jumlah penduduk Indonesia dalam tahun 1980 adalah sebanyak 147,5
juta, dan dalam tahun 1983 telah meningkat menjadi 158,1 juta. Kenaikan tersebut terutama
disebabkan karena masih tingginya tingkat pertumbuhan penduduk. Jika dalam periode 1960-
1971 tingkat pertambahan penduduk adalah sebesar 2,1 persen, dalam periode 1971-1980
meningkat menjadi sebesar 2,3 persen, sedangkan dalam periode 1980-1990 diperkirakan
menurun menjadi sekitar 2,0 persen. Dengan pertumbuhan yang relatif masih cukup tinggi
ter3ebut, jumlah penduduk Indonesia dalam tahun 1985, tahun 1990 dan tahun 2000
diperkirakan akan meningkat masing-masing menjildi 165 juta jiwa, 184 juta jiwa dan 223 juta
jiwa. Guna mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk tersebut, diusahakan untuk
mempercepat turunnya tingkat kelahiran, antara lain melalui perluasan dan intensifikasi
pelaksanaan program keluarga berencana ke seluruh wilayah dan lapisan masyarakat, termasuk
daerah-daerah pemukiman baru.

Sementara itu dengan adanya penyebaran penduduk yang kurang merata, sebanyak

Departemen Keuangan RI 251


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

98,7 juta orang, atau 61,1 persen dari sebanyak 161,6 juta penduduk dalam tahun 1984, berada
di pulau Jawa yang luas wilayahnya hanya sekitar 7 persen dari seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai akibatnya, di samping dialaminya tekanan penduduk yang mencapai kepadatan 747
orang per kilometer persegi, diperkirakan sebanyak 41,2 juta jiwa atau 62,9 persen dari seluruh
angkatan kerja juga berada di pulau Jawa. Di lain pihak, di wilayah Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi, yang masing-masing luasnya sekitar 26,6 persen, 27,8 persen, dan 9,7 persen dari
seluruh wilayah Indonesia, jumlah penduduknya hanya sebanyak 31,9 juta, 7,6 juta dan 11,3
juta. Dengan demikian kepadatan penduduknya hanya mencapai 67 orang, 14 orang dan 60
orang per kilometer persegi. Dengan adanya ketimpangan penyebaran penduduk tersebut, maka
di satu pihak sumber daya alam di daerah padat penduduk mengalami tekanan eksploitasi yang
berlebihan, di lain pihak di daerah yang jarang penduduknya, sumber daya alam tidak dapat
dikelola secara efektif. Oleh karena itu guna memungkinkan pendayagunaan sumber daya alam
secara optimal, penyebaran penduduk terutama ditujukan pada tercapainya perimbangan yang
lebih serasi antara sumber daya alam dan sumber daya manusia. Selain itu dalam rangka
meningkatkan kesadaran serta pengetahuan di bidang kependudukan, dikembangkan pula
penelitian di bidang kependudukan yang sekaligus dimaksudkan untuk memanfaatkan sumber
daya manusia melalui berbagai kegiatan pembangunan. Perkembangan penduduk Indonesia,
kepadatan serta proyeksinya sampai dengan tahun 1984 dapat dilihat pada Tabel VII.73.

Masalah lain di bidang kependudukan adalah kurang seimbangnya struktur umur


penduduk, yang ditandai dengan besarnya jumlah penduduk berusia muda. Hal ini terutama
disebabkan karena masih cukup tingginya tingkat kelahiran, yaitu apabila dalam periode 1981-
1985 tingkat kelahiran mencapai 33,72 per seribu, dalam periode 1986-1990 dan 1990-1995
masing-masing diperkirakan sebesar 31,26 per seribu dan 28,90 per seribu. Sebagai akibatnya
apabila dalam tahun 1980 jumlah penduduk yang berumur 0-14 tahun baru mencapai sebanyak
59,7 juta, dalam tahun 1985, tahun 1990 dan tahun 2000, masing-masing diperkirakan akan
meningkat menjadi 64,7 juta orang, 69,1 juta orang dan 76,2 juta orang. Demikian pula halnya
dengan jumlah angkatan kerja, apabila dalam tahun 1983 baru mencapai 63,9 juta orang, dalam
tahun 1988 diperkirakan akan meningkat menjadi 71,7 juta orang atau suatu kenaikan rata-rata
sebesar 2,5 persen per tahun. Tingkat kenaikan tersebut berarti masih di alas pertumbuhan
penduduk dalam periode 1980-1990 yang diperkirakan mencapai sekitar 2,0 persen per tahun.
Sementara itu dengan adanya peningkatan penyediaan fasilitas pendidikan, terutama pada
seko}ah dasar (SD) dan sekolah menengah tingkat pertama (SMTP), jumlah angkatan kerja
dalam kelompok umur 10-14 tahun diperkirakan akan terus menurun baik secara proposional

Departemen Keuangan RI 252


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

maupun secara absolut. Apabila dalam tahun 1983 jumlah angkatan kerja dalam kelompok
umur 10-14 tahun mencapai 2,0 juta orang, dalam tahun 1988 diperkirakan akan menurun
menjadi 1,6 juta orang. Namun sebaliknya untuk angkatan kerja muda dalam kelompok umur
15-24 tahun, dalam periode yang sarna jumlahnya diperkrakan masih cukup besar, yaitu dari
sebanyak 16,8 juta orang meningkat menjadi 17,9 juta orang. Selanjutnya apabila dilihat dari
tingkat pendidikannya, dalam tahun 1983 diperkirakan 41,2 juta orang atau 64,5 persen dari
seluruh angkatan kerja yang ada masih belum tamat SD, sedangkan yang telah menamatkan
perguruan tinggi hanya mencapai 657.200 orang atau 1,0 persen. Dalam tahun 1985, per-
kembangan angkatan kerja yang belum tamat SD diperkirakan masih cukup besar, yaitu akan
meningkat menjadi 42,5 juta orang, sedangkan yang tamat perguruan tinggi hanya sebanyak
754.000 orang.

Guna menanggulangi permasalahan tersebut, antara lain telah ditempuh kebijaksanaan


di bidang ketenagakerjaan, yakni meliputi peningkatan informasi posar kerja, perluasan
kesempatan kerja, produktivitas tenaga kerja, serta peningkatan penyaluran, penyebaran dan
pemanfaatan tenaga kerja khususnya tenaga kerja usia muda. Untuk itu pelaksanaan
operasionalnya akan dituangkan ke dalam berbagai program, meliputi program pembangunan
desa, program penyebaran tenaga kerja, program latihan, program generasi muda dan program
peranan wanita.

Program pembangunan desa terutama ditujukan untuk mengatasi masalah kekurangan


kesempatan kerja bagi tenaga-tenaga penganggur atau penganggur musiman yang kurang
terampil di daerah pedesaan. Dalam jangka pendek, program ini ditujukan untuk perluasan
kesempatan kerja bersamaan dengan dilaksanakannya suatu proyek, sedangkan dalam jangka
panjang, perluasan kesempatan kerja terutama dihubungkan dengan kebutuhan tenaga kerja
setelah selesainya atau berfungsinya proyek tersebut. Dalam pelaksanaannya, program
pembangunan desa dilakukan melalui proyek padat karya gaya baru (PPKGB) dan proyek padat
karya jaringan tersier (PPKJT). Melalui PPKGB, antara lain dilakukan pembangunan jalan-
jalan desa dan prasarana desa lainnya, di samping juga ditanggulangi kekurangan kesempatan
kerja sebagai akibat terjadinya bencana alam di beberapa daerah. Sedangkan melalui PPKJT,
dilaksanakan pembangunan/rehabilitasi terhadap saluran air dan jaringan tersier, dengan tujuan
untuk memberikan kesempatan kerja terutama bagi penduduk yang tinggal di daerah kecamatan
miskin dan padat penduduk. Sehubungan dengan itu, dalam tahun 1982/1983 melalui PPKGB
dan PPKJT telah dapat diserap tenaga kerja sebanyak 21.801.325 hari kerja. Tenaga kerja
tersebut dipekerjakan pada pembangunan jalan desa, saluran air, pembuatan beras dan

Departemen Keuangan RI 253


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

prasarana desa lainnya, yang terse bar di 1.096 buah kecamatan miskin dan padat penduduk.
Kemudian dalam tahun 1983/1984, melalui pembangunan/rehabilitasi jalan desa sepanjang
3.693 kilometer dan saluran tersier sepanjang 3.940,7 kilometer yang tersebar pada 1.084
kecamatan miskin dan padat penduduk, tenaga kerja yang diserap telah meningkat menjadi
sebanyak 26.720.721 hari kerja. Sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Juli
1984, dari pembangunan/rehabilitasi prasarana dan sarana yang tersebar di 96 kecamatan
miskin dan padat penduduknya telah dapat diserap tenaga kerja sebanyak 342.892 hari kerja.

Sementara itu pelaksanaan pogram penyebaran tenaga kerja terutama ditujukan untuk
menyebarkan dan memanfaatkan tenaga kerja terdidik ke daerah pedesaan, baik tenaga kerja
sarjana maupun sarjana muda. Melalui proyek pengerahan tenaga kerja sukarela, mereka
diaktifkan sebagai pelopor pembaharuan dan pembangunan di daerah pedesaan yang tersebar di
seluruh propinsi. Dalam lokasi baru tersebut, para tenaga kerja sukarelalbadan usaha tenaga
sarjana Indonesia (TKS/BUTSI) bertugas di berbagai bidang pembangunan, antara lain sebagai
tenaga penyempurna administrasi desa, pelaksana program kejar paket A, penyuluh di bidang
kesehatan, gizi dan keluarga berencana, serta kegiatan lain yang menunjang pembangunan, di
samping juga ikut membantu menyebarkan teknologi tepat guna dan sistem padat karya.
Sehubungan dengan itu, dalam tahun 1983/1984 jumlah TKS/ BUTSI yang dikerahkan ke
daerah-daerah pedesaan di seluruh Indonesia telah mencapai 5.480 orang, yang berarti telah
meningkat dengan 82,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang baru mencapai
3.010 orang. Di samping melalui program TKS/BUTSI, program penyebaran tenaga kerja juga
dilaksanakan melalui kegiatan antarkerja yang ditunjang oleh informasi posar kerja yang akurat.
Dengan demikian mobilitas tenaga kerja baik antar jabatan maupun antarlokasi dapat
ditingkatkan. Melalui informasi pasar kerja, .antara lain dapat diketahui jumlah tenaga kerja
yang dibutuhkan menurut jenis pekerjaan, keterampilan dan imbalan jasa yang, diberikan.
Dalam hubungan ini, dalam tahun 1983/1984 dengan jumlah pencari kerja yang terdaftar
sebanyak 498.302 orang dan jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia seb:inyak 112.815
orang, telah dapat ditempatkan sebanyak 84.836 tenaga kerja. Sedangkan daJam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Juli 1984, dengan jumlah pencari kerja sebanyak 104.941
orang dan jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia sebanyak 23.221 orang, telah dapat
ditempatkan sebanyak 15.635 orang. Di samping itu usaha penyebaran tenaga kerja juga
dilaksanakan melalui program antarkerja antar lokal (AKAL), antarkerja antardaerah (AKAD)
dan antarkerja antarnegara (AKAN). Dengan semakin meningkatnya pembangunan,
pelaksanaan program AKAD diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang semakin

Departemen Keuangan RI 254


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

meningkat di luar Jawa. Sedangkan guna memenuhi kebutuhan tenaga kerja di luar negeri,
terutama dengan terbukanya kesempatan kerja di Timur Tengah, pengelolaannya dilaksanakan
melalui program AKAN. Melalui program antarkerja tersebut, dalam tahun 1983/1984 telah
dapat disalurkan tenaga kerja sebanyak 135.209 orang, dengan perincian sebanyak 84.836
orang disalurkan melalui AKAL, 19.583 orang melalui AKAD dan sebanyak 30.790 orang
melalui AKAN. Dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Juli 1984, penyaluran tenaga
kerja melalui AKAL mencapai sebanyak 15.635 orang, sedangkan melalui AKAD dan AKAN
masing-masing mencapai 9.427 orang dan 11.346 orang.

Sementara itu guna meningkatkan produktivitas tenaga kerja, diberikan program


latihan dan keterampilan tenaga kerja khususnya kepada tenaga kerja usia muda dan wanita
pedesaan yang belum memiliki pengalaman dan keterampilan. Di samping itu juga diberikan
kepada beberapa tenagakerja yang sudah mendapatkan lapangan kerja tertentu, terutama yang
sudah mandiri, tetapi produktivitas kerjanya masih rendah. Untuk menunjang kegiatan tersebut,
selain melalui pembangunan/rehabilitasi balai latihan kejuruan (BLK), juga diberikan
bimbingan kepada kursus-kursus swasta sebagai bagian dari sistem latihan nasional. Dalam
tahun 1983/1984, jumlah tenaga kerja yang telah dilatih melalui BLK Industri (BLKI), BLK
Pertanian (BLKP), Balai Pengembangan Manajemen dan Produktivitas (BPMP), Unit
Produktivitas Nasional (UPN) dan Mobile Training Unit (MTU) seluruhnya mencapai 98.193
orang. Hal ini berartitelah terjadi kenaikan sebanyak 16.005 orang atau 19,6 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang baru mencapai 82.138 orang. Kenaikan ini selain
disebabkan karena adanya penambahan tenaga instruktur dan perluasan clara tampung daripada
BLK-BLK, juga karena semakin meningkatnya minat para pencari kerja untuk mengikuti
latihan. Sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Juli 1984, telah dapat dilatih
tenaga kerja sebanyak 1.734 orang melalui BLKI, 880 orang melalui BPMP dan sebanyak
1.120 orang melalui MTU.

Departemen Keuangan RI 255


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tabel VII. 73
PENDUDUK INDONESIA DAN KEPADATANNYA PADA TAHUN 1971
SERTA PROYEKSINYA SAMPAI DENGAN TAHUN 1984
( dalam ribu jiwa)
Pulau J awa Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya Indonesia
Jumlah penduduk
19711) 76.086 20.808 5.155 8.527 8.632 119.209
1976 85.289 24.282 5.924 9.812 9.888 135.190
1977 87.076 24.989 6.079 10.070 10.128 138.342
1978 88.904 25.724 6.240 10.334 10.377 141.579
19801) 91.269 28.016 6.723 10.410 11.072 147.490
1981 93.340 29.028 6.942 10.665 11.340 151.315
1982 95.103 29.962 7.143 10.887 11.567 154.662
1983 96.893 30.929 7.350 11.112 11.799 158.083
1984 98.700 31.927 7.563 11.341 12.048 161.579
Kepadatan / Km 2
19711) 576 44 10 45 15 62
1976 633 45 11 43 17 67
1977 650 46 11 44 18 68
1978 663 47 11 46 18 70
1980 1) 690 59 12 55 19 77
1981 706 61 12 56 19 79
1982 719 63 13 58 20 81
1983 733 65 13 59 20 83
1984 747 67 14 60 20 84
Perkembangan
rata - rata per
tahun 1971 - 1984 2,13% 3,48% 3,34% 2,70% 2,28% 2,78%
1) Angka sensus

7.10.2. Transmigrasi

Program transmigrasi terutama ditujukan untuk memperbaiki penyebaran penduduk


dan tenaga kerja, untuk membuka dan mengembangkan daerah pertanian baru, serta untuk
menunjang pembangunan daerah, khususnya di luar pulau Jawa dan Bali. Usaha-usaha tersebut
pada gilirannya diharapkan akan dapat menjamin peningkatan tarat hidup, baik bagi para
transmigran maupun bagi masyarakat sekitarnya. Untuk tersedianya prasarana, sarana dan
fasilitas secara memadai bagi tumbuhnya kegiatan masyarakat baru, maka di daerah
pemukiman transmigrasi antara lain telah dibangun jalan penghubung, jalan desa, lahan
pertanian, serta perumahan berikut salafia air minum dan jamban keluarga. Guna melayani
kegiatan. sosial-ekonomi para transmigran telah dibangun pula sarana penunjang seperti gedung
sekolah, gedung koperasi/KUD, balai pengobatan, balai pertemuan/balai desa, rumah ibadah,
rumah petugas dan rumah pos, yang kesemuanya disertai dengan perlengkapan dan peralatan.
Di lain pihak, bagi daerah asal transmigran, pelaksanaan transmigrasi terutama ditujukan untuk
pembangunan dan rehabilitasi daerah asal, serta mendorong masyarakat agar berperanserta

Departemen Keuangan RI 256


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dalam bidang transmigrasi. Oleh karena itu penentuan daerah asal bagi para calon transmigran
terutama diprioritaskan pada daerah yang terlalu padat, dae(ah aliran sungai (DAS) yang akan
dihijaukan, daerah yang terkena proyek-proyek pembangunan serta daerah yang perlu
dilestarikan.

Selama Pelita III pelaksanaan transmigrasi dari tahun ke tahun selalu menunjukkan
peningkatan. Apabila dalam tahun 1979/1980 jumlah transmigran yang ditempatkan baru
mencapai sebanyak 51.985 kepala keluarga (KK), dalam tahun 1980/1981 telah meningkat
menjadi 78.359 KK. Kemudian dalam tiga tahun terakhir Pelita III masing-masing telah
meningkat menjadi 100.552 KK, 127.970 KK dan 169.010 KK. Dengan demikian selama 5
tahun pelaksanaan Repelita III telah dapat ditempatkan transmigran sebanyak 527.876 KK,
yang terdiri atas 367.127 KK transmigran umum dan 160.749 KK transmigran swakarsa.
Sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Oktober 1984 telah dapat ditemp
atkan sebanyak 48.055 KK, yang terdiri atas 29.263 KK transmigran umum, 736 KK
transmigran swakarsa berbantuan dan sebanyak 18.056 KK transmigran swakarsa murni.
Perkembangan hasil penempatan transmigran dapat diikuti dalam Tabel VII.74.

TabeI VII. 74
HASIL PENEMPATAN TRANSMIGRAN, 1969/1970 - 1984/1985
( kepala keluarga )
Persentase
Tahun Target Realisasi realisasi
Pelita I 46.566 46.268 99,4
1969/1970 4.489 3.933 87,6
1970/1971 3.865 4.338 112,2
1971/1972 4.600 4.171 90,7
1972/1973 11.200 11.414 101,9
1973/1974 22.412 22.412 100
Pelita II 82.959 82.959 100
1974/1975 11.000 11.000 100
1975/1976 8.100 8.100 100
1976/1977 13.910 13.910 100
1977/1978 22.949 22.949 100
1978/1979 27.000 27.000 100
Pelita III 1) 500.000 527.876 105,6
1979/1980 50.000 51.985 104
1980/1981 75.000 78359 104,5
1981/1982 100.000 100.552 100,6
1982/1983 125.000 127.970 102,4
1983/1984 150.000 159.010 106
Pelita IV
1984/1985 2) 125.000 48.055 38,4
Jumlah 754.425 705.158 93,5
1) Angka diperbaiki, termasuk transmigran swakarsa 2) Angka sementara

Departemen Keuangan RI 257


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Sejalan dengan telah berhasilnya pelaksanaan program transmigrasi dalam Pelita III,
maka dalam Pelita IV pelaksanaan program transmigrasi akan lebih dipadukan dengan
pembangunan sektor-sektor lainnya, seperti sektor pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan, perindustrian, pendidikan dan kesehatan. Di sektor pertanian, pelaksanaan
transmigrasi ditujukan untuk memperluas areal pertanian baru, serta meningkatkan produksi
dari berbagai komoditi pertanian. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan ini langsung dikaitkan
dengan pemindahan penduduk dan tenaga kerja dari daerah yang radar ke daerah yang jarang
penduduknya. Dengan demikian diharapkan penyebaran potensi sumber daya manusia akan
lebih seimbang dengan penyebaran potensi sumber alam, terutama untuk lahan pertanian. Bagi
sektor industri, usaha di bidang transmigrasi akan lebih menjamin tersedianya tenaga kerja dan
bahan baku, sehingga membuka kemungkinan yang lebih luas bagi pengolahan hasil-hasil
pertanian di daerah transmigrasi. Sedangkan untuk sektor perdagangan, kegiatan transmigrasi
akan memberikan kesempatan yang luas pada usaha-usaha penyalur hasil produksi dari daerah
transmigrasi ke pasaran, baik di pasaran lokal maupun nasional. Sebaliknya pembangunan yang
dilakukan di daerah transmigrasi akan memberikan peluang bagi usaha penyalur barang dan
jasa yang dibutuhkan bagi pembangunan daerah transmigrasi itu sendiri.

Dalam pelaksanaannya, program transmigrasi masih banyak mengalami hambatan-


hambatan, seperti terlihat dari pelaksanaan dalam tahun pertama Repelita IV sampai dengan
bulan Oktober 1984 yang baru mencapai 38,4 persen dari target yang telah ditetapkan dalam
tahun 1984/1985 yaitU sebanyak 125.000 KK. Hambatan-hambatan tersebut antara lain berupa
kurangnya tenaga penyuluh yang terampil, belum memadainya sarana penerangan yang ada,
belum terarahnya materi atau informasi yang disampaikan, serta masih lemahnya pelayanan
dalam angkutan, kesehatan dan makanan bagi para transmigran. Di samping itu juga belum
memadainya perkembangan KUD, sebagai lembaga yang diharapkan dapat mengembangkan
perekonomian bagi daerah transmigrasi. Demikian juga sektor swasta belum memadai
peranannya dalam menunjang perkembangan perekonomian daerah transmigrasi, khususnya
yang menyangkut masalah pengelolaan dan perdagangan hasil-hasil pertanian.

Guna mengatasi hambatan-hambatan tersebut, khusus kepada para petugas pengawal


transmigran telah diberikan berbagai penataran, yang dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan di bidang keamanan dan kesehatan para transmigran. Di samping itu guna
melancarkan angkutan bagi para transmigran, khususnya untuk daerah-daerah kosentrasi
pengumpulan yakni di kabupaten-kabupaten, telah dilakukan penambahan angkutan transite.
Sedangkan untuk memenuhi kecepatan waktu dan meningkatkan mutu makanan yang lebih

Departemen Keuangan RI 258


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sempurna, maka di beberapa lokasi dan daerah asal telah diadakan dapur lapangan yang mobil.
Sementara itu guna meningkatkan pengelolaan dan pemasaran hasil-hasil produksi dari daerah
transmigrasi, telah ditingkatkan pula peranan koperasi dan usaha swasta. Khusus kepada
daerah-daerah yang terkena musim kering dan beberapa daerah yang memerlukan perawatan
kesehatan, telah diberikan bantuan bibit tanaman dan bantuan pangan. Demikian pula bagi
lokasi-lokasi yang kurang subur telah dilaksanakan upaya penanggulangan, yaitu dengan
memberikan pengapuran, mengadakan konservasi laban, serta intensifikasi dan diversifikasi
usaha tani.

Guna meningkatkan dan mendorong pelaksanaan transmigrasi swakarsa, kepada para


caton transmigran swakarsa telah diberikan berbagai kemudahan, baik yang menyangkut
masalah pengurusan pelaksanaan administrasi, ijin dan penyediaan fasilitas di daerah
penerimaan, maupun mengenai kelancaran hub_mgan antara daerah asal dan daerah penerima.
Selanjutnya usaha peningkatan transmigrasi swakarsa dilaksanakan pula dengan jalan
mengikutsertakan para transmigran pada kegiatan perkebunan inti rakyat (PIR) khusus. Sejalan
dengan itu dalam tahun pertama Pelita IV, sampai dengan bulan Oktober 1984, telah dapat
dilaksanakan pengadaan tenaga pembina sebanyak 6.458 orang, yang terdiri dari 956 tenaga
medis, 55 dokter, 2.631 guru SO, 1.622 guru SMTP, 534 penyuluh pertanian lapangan (PPL)
dan 660 pembina koperasi. Selain ittt juga telah dilaksanakan rehabilitasi terhadap 67 lokasi
lahan usaha yang kurang berhasil, dan pembinaan terhadap transmigran lama sebanyak 592.381
KK.

Departemen Keuangan RI 259


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

BAB VIII

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN SOSIAL

DAN PEMBANGUNAN DAERAH

8.1. Pendahuluan

Laju pembangunan yang telah dicapai sekarang ini tidak terlepas dari peranan manusia
yang berfungsi sebagai pelaksana pembangunan. Oleh karena itu walaupun prioritas
pembangunan masih ditekankan pada sektor ekonomi, namun unsur manusia dan unsur-unsur
lainnya tetap mendapat perhatian yang seimbang. Oengan demikian dalam proses'pembangunan
selanjutnya diharapkan akan dapat tercipta suatu strata masyarakat Indonesia yang
berkepribadian kokoh, dan mempunyai etik moral yang kuat. Selaras dengan itu, pembangunan
di bidang agama antara lain bertujuan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia
'yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta mampu menciptakan
keselarasan, keserasian dan keseimbangan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat dan alam sekitarnya. Pembinaan di bidang agama, baik
melalui pendidikan formal maupun non formal, terus pula dikembangkan seiring dengan
bidang-bidang lainnya. Dalam kaitannya dengan pembangunan di bidang pendidikan,
jangkauannya tidak hanya terbatas pada pendidikan formal melainkan meliputi pula pendidikan
luar sekolah yang menuntut peran serta aktif pihak swasta. Sasaran yang ingin dicapai di bidang
ini antara lain adalah meningkatkan kecerdasan serta menumbuhkan semangat kebangsaan yang
tinggi, yang pada gilirannya diharapkan akan menumbuhkan manusia Indonesia yang mampu
membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Untuk itu berbagai sarana dan fasilitas pendidikan secara bertahap dan pasti terus ditingkatkan.
Tersedianya gedung-gedung sekolah terutama di tingkat dasar yang menyebar di seluruh
pelosok tanah air, serta semakin meningkatnya kesejahteraan dan mutu para pendidik,
sebagaimana telah dapat dirasakan dewasa ini, merupakan wujud nyata dari upaya tersebut.
Sejalan dengan upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia tersebut, pembangunan bidang
kesehatan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap manusia terus pula dilaksanakan.
Hal ini ditandai dengan makin berkembangnya berbagai fasilitas dan saran a kesehatan, yang
berarti pula makin banyak anggota masyarakat yang mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan fasilitas dan pelayanan kesehatan. Di samping itu, keberhasilan upaya

Departemen Keuangan RI 260


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak terlepas pula dari kemampuan dan kesadaran
masyarakat itu sendiri. Untuk itu berbagai upaya dan penyuluhan, yang bertujuan
membangkitkan motivasi serta kesadaran masyarakat akan arti pentingnya kesehatan dan
keluarga berencana (KB), terus digalakkan. Norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera
sudah dapat dirasakan oleh sebagian anggota masyarakat, terutama para peserta KB. Dalam
rangka memantapkan usaha tersebut, pelayanan kepada para akseptor KB terus ditingkatkan, di
samping penyediaan sarana dan fasilitas yang memadai.

Pembangunan bidang kesejahteraan sosial yang merupakan bagian integral daripada


kesatuan sistem pembangunan nasional, diarahkan guna meningkatkan tarat kesejahteraan
sosial masyarakat secara adil dan merata, terutama bagi para penyandang perrnasalahan sosial.
Hal ini tidak terlepas dari usaha untuk mewujudkan kondisi sosial yang dinamis dalam
kehidupan individu, keluarga dan masyarakat, agar tercipta rasa amall, tertib serta tenteram
lahir dan batin. Dalam hubungannya dengan usaha untuk rnenciptakan suasana tersebut,
pembangunan di bidang hukum berasa semakin penting. Adanya kepastian hukum yang dapat
rnenjamin hak-hak setiap warga negara, di samping aparat penegak hukum yang bersih dan
berwibawa, serta ditunjang oleh kesadaran hukum masyarakat yang tinggi merupakan salah satu
tujuan di bidang pembinaan hukum. Dengan bertumpu pada landasan tersebut, serta diiringi
dengan penyediaan fasilitas yang memadai, diharapkan akan tercipta suatu kondisi sosial
rnasyarakat sebagaimana diidam-idamkan. Kesemuanya itu akan terwujud apabila keutuhan
bangsa serta integritas teritorial terus ditingkatkan pula. Maka dari itu, pembangunan di bidang
pertahanan dan keamanan juga semakin berasa sebagai suatu kebutuhan yang mutlak. Berbagai
langkah pembinaan telah dilakukan, demi terbentuknya suatu angkatan bersenjata yang tangguh
serta mampu rnelindungi seluruh turnpah darah dan segenap bangsa Indonesia. Hal ini pada
akhirnya diharapkan akan mampu menjamin kelangsungan pembangunan yang merata di
seluruh wilayah tanah air serta kemajuan yang nyata dan ternikmati oleh segenap lapisan
masyarakat. Di bidang pembangunan daerah, perlu ditingkatkan laju pertumbuhan daerah, serta
pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air. Selaras dengan itu, terus
ditingkatkan upaya guna menjabarkan asas Trilogi Pembangunan ke dalam konsepsi yang
bersifat operasional, dinamis, serta mampu mengikuti laju pertumbuhan-daerah.

8.2. Agama

Memasuki tahun pertarna Pelita IV, pembangunan di bidang agama terutama ditandai
dengan semakin terbinanya hidup rukun di antara sesama umat beragama. Dengan demikian

Departemen Keuangan RI 261


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kesatuan dan persatuan bangsa dapat diperkokoh dan peranserta umat beragama dalam
pembangunan dapat ditingkatkan pula. Untuk itu telah dikembangkan kehidupan keagamaan,
khususnya di bidang pendidikan, yang dilakukan dengan cara memasukkan pendidikan agama
ke dalam kurikulum, mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas. Usaha tersebut
terutama ditujukan untuk meningkatkan dan menyelaraskan pembinaan antara pendidikan dan
perguruan agarna dengan pendidikan umurn, serta menciptakan suasana yang mendorong ke
arah berkembangnya pola berpikir secara ilmiah, agar tercapai tujuan pendidikan nasional yang
berlandaskan Pancasila. Adapun pembinaan yang dilakukan terhadap para penganut
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selain ditujukan agar dalam pengembangannya
tidak mengarah kepada adanya pembentukan agama baru, juga dimaksudkan agar pelaksanaan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

8.2.1. Pembinaan tata kehidupan beragama

Pembinaan tata kehidupan beragama antara lain mencakup peningkatan sarana


kehidupan beragarna, penerangan dan bimbingan hidup beragama serta peningkatan pelayanan
ibadah hajj. Salah sarti perwujudan nyata dari pada upaya tersebut adalah dilakukannya
pembangunan/rehabilitasi gedung balai nikah dan gedung pengadilan agama. Hal ini secara
tidak langsung akan menunjang suksesnya program nasional kependudukan dan keluarga
berencana, karena melalui gedung balai nikah ini kepada para calon suami istri dapat dibina dan
diberikan penyuluhan mengenai kesejahteraan keluarga sesuai dengan undang-undang
perkawinan. Sejalan dengan itu, selama 5 tahun pelaksanaan Repelita III telah dibangun balai
nikah sebanyak 1.572 buah, dengan perincian masing-masing setiap tahunnya sebanyak 296
buah, 320 buah, 290 buah, 316 buah dan 350 buah. Sedangkan untuk tahun pertama Pelita IV
sampai dengan bulan Agustus 1984, pembangunan balai nikah telah mencapai sebanyak 587
buah atau 237 buah lebih banyak hila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dalam waktu
yang sarna juga telah ditingkatkan pembangunan gedung pengadilan agarna, yakni apabila
dalarn tahun 1983/1984 telah dibangun 15 buah gedung pengadilan agama tingkat pertarna,
maka dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, telah dibangun 17 buah
gedung pengadilan agama tingkat pertama dan 4 buah gedung pengadilan agama tingkat
banding. Dalam pada itu telah dilakukan pula rehabilitasi terhadap 27 buah gedung pengadilan
agama tingkat pertama dan sebuah gedung pengadilan agama tingkat banding.

Guna mendorong para pemeluk agarna untuk mempelajari dan mendalami agamanya,

Departemen Keuangan RI 262


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

maka terus ditingkatkan usaha penerbitan kitab suci dari berbagai agama. Jika dalam tahun
1983/1984 telah diterbitkan sebanyak 1.183.000 buah kitab suci dari berbagai agama, dalam
tahun 1984/1985 sarnpai dengan bulan Agustus 1984, telah diterbitkan sebanyak 1.228.800
buah, yang terdiri atas 844.000 buah kitab suci agama Islam, 148.500 buah kitab suci agama
Protestan, 132.000 buah kitab .suci agarna Katolik, 89.300 buah kitab suci agama Hindu dan
15.000 buah kitab suci agama Budha.

Dalam rangka meningkatkan sarana kehidupan beragama maka telah dilaksanakan


bantuan pembangunan/rehabilitasi tempat-tempat ibadah, terutarna terhadap kelompok
masyarakat yang masih lemah sosial ekonominya, daerah pemukiman baru, daerah
transmigrasi, daerah-daerah yang mempunyai nilai sejarah dan yang terletak di daerah strategis,
serta tempat-tempat ibadah yang rusak karena bencana alam. Bantuan tersebut pada umumnya
diberikan dalam bentuk biaya pembangunan/rehabilitasi, sarana ibadah serta buku-buku
keagamaan. Dampak positif dari bantuan tersebut adalah terangsangnya masyarakat untuk
berswadaya dalam membangun tempat ibadah sesuai dengan kebutuhannya, seperti terlihat
dengan semakin banyaknya jumlah tempat ibadah dari tahun ke tahun. Apabila pada akhir
Pelita II baru terdapat sebanyak 471.433 buah tempat ibadah, maka pada akhir Pelita III telah
meningkat menjadi 577.660 buah, atau rata-rata 21.245 buah setiap tahunnya. Di samping itu
jumlah tempat ibadah yang diberikan bantuan setiap tahunnya juga mengalami peningkatan.
Apabila dalam tahun 1983/1984 bantuan pembangunan/rehabilitasi diberikan kepada 2.821
temp at ibadah, dalafu tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, telah diberikan
kepada 3.715 tempat ibadah, yang terdiri dari 2.834 mesjid, 335 gereja Protestan, 267 gereja
Katolik, 221 pura Hindu dan 58 buah wihara Budha.

Pemberian penyuluhan agama, sebagai salah satu pelaksanaan daripada program


penerangan dan bimbingan hidup beragama, telah diberikan kepada masyarakat dari berbagai
golongan agama, terutama masyarakat suku berasing, para transmigran, narapidana, dan
kelompok khusus lainnya seperti tunasusila. Sehubungan dengan itu dalam tahun pertama
Repelita IV telah diberikan penyuluhan agama kepada 2.790 kelompok pemeluk agama Islam,
yang terdiri dari para karyawan instansi Pemerintah/swasta, suku berasing, para transmigran
dan kelompok khusus lainnya, dan disertai pula dengan pengadaan 652.000 buah brosur agama
dan 36.384 paket penyuluhan. Dalam periode yang sarna telah diberikan pula penyuluhan
kepada para pemeluk agama Protestan dan Katolik masing-masing sebanyak 300 kelompok dan
185 kelompok yang terdiri dari suku berasing, para transmigran, narapidana dan kelompok
lainnya, disertai pula dengan penyediaan brosur agama masing-masing sebanyak 60.000 buah

Departemen Keuangan RI 263


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dan 22.000 buah, serta paket penyuluhan masing-masing sebanyak 4.200 buah dan 22.000
buah. Sedangkan untuk agama Hindu dan Budha telah diberikan penyuluhan kepada 25
kelompok transmigran dan suku berasing dengan disertai 32.000 buah brosur agama.

Usaha peningkatan kerukunan hidup beragama dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan
Agustus 1984 telah dilaksanakan dengan berbagai kegiatan, seperti musyawarah intern umat
beragama, antarumat beragama, pekan orientasi kerjasama antarumat beragama dengan
Pemerintah, dan pengadaan buku pedoman kerukunan hidup beragama. Musyawarah intern
umat beragamatelah dilaksanakan pada 13 lokasi dengan peserta sebanyak 1.300 orang,
sedangkan musyawarah antarumat beragama telah diikuti oleh 540 orang dan dilaksanakan
pada 6 lokasi. Dalam periode yang sama telah dilaksanakan pekan orientasi kerjasama
antarumat beragama dengan Pemerintah pada 3 lokasi dengan peserta sebanyak 360 orang, di
samping telah diberikan pula buku pedoman kerukunan hidup beragama sebanyak 17.200 buah.

Peningkatan pelayanan ibadah haji terutama ditujukan untuk meningkatkan


pengelolaan dan pelayanan kepada masyarakat dalam melaksanakan ibadah haji. Guna
menunjang program tersebut, an tara lain telah dilaksanakan pembangunan/rehabilitasi asrama
haji, baik untuk pelabuhan-pelabuhan pemberangkatan maupun pelabuhan-pelabuhan transit. Di
samping itu juga telah diberikan penataran, baik kepada para petugas maupun jemaah,
disediakan buku pedoman perjalanan dan ibadah haji, serta sarana lainnya seperti pembuatan
film haji. Pada awal Pelita III pembangunan asrama haji dititikberatkan pada 4 kola pelabuhan
udara tempat pemberangkatan jemaah, yaitu Jakarta, Surabaya, Ujungpandang, dan Medan.
Untuk tahun 1983/1984 pembangunan asrama haji telah pula menjangkau beberapa pelabuhan
transit yang jumlah jemaahnya sudah cukup banyak, seperti Banjarmasin dan Pontianak dengan
luas masing-masing 1.200 meter persegi dan 2.400 meter persegi. Sedangkan untuk tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, pembangunan asrama haji telah dapat
ditingkatkan menjadi 7.695 meter persegi, dengan perincian 2.180 meter persegi untuk
pelabuhan Surabaya, 2.800 meter persegi untuk Banjarmasin dan 2.715 meter persegi untuk
pelabuhan.Pontianak. Sementara itu jika dilihat daerah asal daripada para jemaah, maka dalam
tahun 1984/1985 jumlah jemaah haji yang paling banyak berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, DKI Jakarta dan Jawa Tengah, dengan jumlah jemaah masing-masing
sebanyak 7.008 orang, 5.097 orang, 3.907 orang, 3.615 orang dan 2.783 orang. Perkembangan
jumlah jemaah haji dapat diikuti pada Tabel VIII.1.

Departemen Keuangan RI 264


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Tab e I VIII. 1
JUMLAH JEMAAH HAJI, 1969/1970 -1984/1985
(orang)

Haji Haji
Tahun melalui laut melalui udara Jumlah
1969/1970 8.681 611 9.292
1970/1971 12.845 1.227 14.072
1971/1972 19.781 2.511 22.292
1972/1973 16.039 6.305 22.344
1973/1974 17.071 23.449 40.520
1974/1975 15.575 53 .828 69.403
1975/1976 9.612 45.366 54.978
1976/1977 7.351 18.238 25.589
1977/1978 12.124 23.146 35.270
1978/1979 - 73.035 73.035
197971980 - 41.697 41.697
1980/1981 - 74.897 74.897
1981/1982 - 66.961 66.961
1982/1983 - 55.246 55.246
1983/1984 - 48.317 48.317
1984/19851) - 38.126 38.126
Jumlah 119.079 572.960 692.039
1) Angka sementara

8.2.2. Pembinaan pendidikan agama

Pembinaan pendidikan agama dalam pelaksanaannya mencakup pendidikan agama


tingkat dasar, menengah dan tingkat tinggi. Usaha ini ditujukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan umum pada pendidikan dan perguruan agama, serta mutu pendidikan agama pada
sekolah umum. Untuk itu telah dilaksanakan berbagai kegiatan seperti pembangunan/
rehabilitasi gedung sekolah, penyempurnaan kurikulum, pemberian alat peraga dan olah raga
serta penataran guru dan tenaga pembina. Dalam rangka meningkatkan mutu madrasah
ibtidaiyah negeri (MIN) sebagai pendidikan agama tingkat dasar, dalam tahun 1983/ 1984 telah
dilaksanakan penataran terhadap 3.500 guru, pembangunan/rehabilitasi gedung MIN sebanyak
83 buah, serta pengadaan buku pedoman bagi guru sebanyak 5,8 juta buah. Demikian pula
dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, masing-masing telah mencapai
1.500 guru, 51 buah dan 5 juta buah.

Sejalan dengan pembinaan MIN, telah dilakukan pula pembinaan terhadap madrasah
ibtidaiyah swasta (MIS). Apabila dalam tahun 1983/1984 dilaksanakan pembangun-
an/rehabilitasi terhadap 6.000 MIS, maka dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus
telah meningkat menjadi 10.760 MIS. Sedangkan guna meningkatkan mutu pendidikan agama

Departemen Keuangan RI 265


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pada sekolah dasar, dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah
dilaksanakan penataran terhadap 1.280 orang guru agama, pengadaan buku sebanyak 3,2 juta
buah dan pengadaan alat peraga sebanyak 2.000 set.

Pembinaan terhadap pendidikan agama tingkat menengah pertama terutama ditujukan


untuk meningkatkan multi pendidikan umum pada madrasah tsanawiyah negeri (MTsN) dan
pondok pesantren, serta pendidikan agama pada sekolah menengah tingkat pertama (SMTP).
Khusus kepada MTsN, dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah
dilaksanakan pembangunan/rehabilitasi gedung sebanyak 154 buah, penataran terhadap 1.200
guru dan pengadaan buku sebanyak 1,2 juta buah. Sedangkan guna meningkatkan mutu
pendidikan agama bagi SMTP, dalam periode yang sarna juga telah disediakan buku pelajaran
dan pedoman bagi guru sebanyak 706.250 buah, dan diberikan penataran kepada 160 orang
guru agama. Sementara itu terhadap pondok pesantren telah dilaksanakan pembinaan dan
pengembangan melalui penataran tenaga pembina, penyediaan buku pelajaran dan
perpustakaan, penyediaan alat-alat keterampilan dan alat-alat praktek, serta
pembangunan/rehabilitasi gedung dan bengkel kerja. Untuk itu dalam tahun 1984/1985 sampai
dengan bulan Agustus 1984, di samping telah dilaksanakan penataran terhadap 4.200 tenaga
pembina, juga telah diberikan bantuan kepada 534 pondok pesantren, terdiri dari penyediaan
buku pelajaran dan perpustakaan kepada 397 pondok pesantren, pemberian alar-alar
keterampilan dan praktek kepada 66 pondok pesantren, serta pembangunan/rehabilitasi gedung
dan bengkel kerja pada 71 pondok pesantren. Dengan demilGan secara keseluruhan mulai awal
Pelita III sampai dengan tahun pertama Repelita IV, telah dilakukan pembinaan dan
pengembangan terhadap 3:734 buah pondok pesantren yang meliputi penyediaan buku
pelajaran dan perpustakaan bagi 2.030 pondok pesantren, penataran terhadap 6.163 tenaga
pembina, penyediaan alar-alar keterampilan dan praktek untuk 891 pondok pesantren dan
pembangunantrehabilitasi gedung dan bengkel kerja terhadap 813 pondok pesantren. Kegiatan
pondok pesantren yang banyak mendapat perhatian, baik dari masyarakat maupun dari
Pemerintah, dan dinilai telah berhasil adalah kegiatan terapi non medis yang agamis terhadap
korban narkotika, yang antara lain dilakukan oleh pondok pesantren Suryalaya (Jawa Barat).
Pondok pesantren tersebut sampai saar ini telah berhasil menyantuni korban narkotika sebanyak
100 orang, sehingga dapat kembali menjadi remaja yang baik, bergairah serta mempunyai
kepercayaan kepada diri sendiri.

Pembinaan terhadap pendidikan agama tingkat menengah alas terutama ditujukan


untuk meningkatkan pendidikan pada madrasah aliyah negeri (MAN), pendidikan guru agarna

Departemen Keuangan RI 266


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

(PGA), serta peningkatan mutu pendidikan agarna pada sekolah menengah tingkat atas
(SMTA). Dalam tahun 1983/1984, kepada MAN telah dilakukan pengadaan buku sebanyak
462.850 buah, penataran 7.500 guru dan pembangunan/rehabilitasi gedung MAN sebanyak 45
buah. Selanjutnya dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dilakukan
pengadaan buku sebanyak 358.000 buah, dan pembangunan/rehabilitasi gedung MAN sebanyak
67 buah. Dalam periode yang sama telah ditingkatkan pula mutu madrasah aliyah swasta
(MAS), yaitu dengan memberikan bantuan rehabilitasi terhadap 50 buah gedung MAS, dan
pengadaan buku pelajaran sebanyak 239.800 buah. Adapun pembinaan terhadap PGAN
terutama ditujukan agar lulusan PGAN benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai tenaga guru
yang baik dan mampu. Untuk itu dalam tahun 1983/1984 telah dilakukan penataran terhadap
7.500 guru agama, pengadaan buku pelajaran dan pedoman bagi guru sebanyak 650.000 buah
serta pembangunan/perluasan 35 buah gedung PGAN Islam, Protestan, Katolik dan Hindu.
Dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, telah dilaksanakan penataran
kepada 355 guru serta penyediaan buku pelajaran dan buku pedoman guru sebanyak 270.000
buah. Dalam periode yang sarna juga telah dilaksanakan pembinaan pendidikan agama pada
SMTA yang meliputi penataran guru agama dan pengadaan buku, masing-masing sebanyak 160
orang dan 358.000 buah.

Guna meningkatkan mutu perguruan tinggi agama, telah dilaksanakan berbagai


kegiatan, antara lain pembangunan prasarana dan penyediaan sarana pendidikan, peningkatan
mutu tenaga pengajar serta kegiatan penelitian. Dalam Pelita III telah dilaksanakan
pembangunan/perluasan gedung Institut Agama Islam Negeri (lAIN) seluas 56.087 meter
persegi, yang terdiri dari ruang kuliah, ruang kantor dan ruang perpustakaan. Di samping itu
juga dilakukan penyediaan buku-buku ilmiah dan perpustakaan sebanyak 221.150 buah.
Selanjutnya dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, telah dilakukan
pembangunan/perluasan gedung IAIN seluas 10.440 meterpersegi, dan disediakan buku-buku
ilmiah dan perpustakaan sebanyak 6.750 buah. Hasil lain yang telah dicapai dalam periode yang
sarna antara lain meliputi pelaksanaan kuliah kerja nyata (KKN) yang diikuti oleh 2.688
mahasiswa, serta penelitian di berbagai daerah mengenai masalah-masalab keagarnaan dan
kemasyarakatan sebanyak 29 kali. Untuk meningkatkan mutu para pengajar dan tenaga
administrasi, maka telah diberikan kesempatan kepada 117 dosen untuk mengikuti program
posca sarjana dan program doktor.

Departemen Keuangan RI 267


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

8.3. Pendidikan dan kebudayaan

8.3.1. Pembinaan pendidikan formal dan nonformal

Salah satu tujuan dari kemerdekaan bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang perumusannya dilakukan melalui serangkaian kebijaksanaan pokok pembangunan
di bidang pendidikan. Dalam tahun pertama Repelita IV kebijaksanaan di bidang pendidikan
terutama ditekankan dan diarahkan pada peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan,
peningkatan dan pemerataan kesempatan belajar dalam rangka pelaksanaan wajib belajar, serta
penyesuaian pendidikan dengan kebutuhan pembangunan nasional, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Di samping'itu juga dilakukan persiapan terhadap generasi muda dalam
tugasnya sebagai penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional, serta pengelolaan
pendidikan yang lebih berdaya guna dan berhasil guna. Sejak Pelita III sampai dengan bulan
Agustus 1984 telah dan sedang dilaksanakan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan,
yang antara lain dilakukan melalui penataran guru/ pembina, pengadaan buku pelajaran, buku
bacaan dan buku perpustakaan, pengadaan laboratorium dan peralatan belajar, peningkatan
keterampilan serta penyempumaan kurikulum. Penataran guru/pembina dilaksanakan pada
berbagai tingkat pendidikan, yang meliputi berbagai bidang studi dan pengelolaan, baik yang
dilaksanakan di pusat maupun di daerah. Sejak Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984,
telah dan sedang ditatar sebanyak 2.291.039 orang untuk pendidikan dasar, 74.250 orang untuk
pendidikan menengah umum, 20.706 orang untuk pendidikan menengah kejuruan dan
teknologi, serta 20.509 orang untuk pendidikan guru termasuk penataran dosen. Buku pelajaran
yang disediakan untuk tingkat pendidikan dasar adalah sebanyak 260.195.917 eksemplar, untuk
sekolah menengah umum sebanyak 82.699.700 eksemplar, untuk sekolah menengah tingkat
pertania (SMTP) kejuruan dan teknologi sebanyak 96.000 eksemplar, untuk sekolah menengah
tingkat atas (SMTA) kejuruan dan teknologi sebanyak 6.671.945 eksemplar, serta untuk
sekolah pendidikan guru/sekolah guru olah raga (SPG/SGO) sebanyak 7.350.963 eksemplar. Di
samping buku pelajaran, telah disediakan pula buku perpustakaan untuk tingkat pendidikan
dasar sebanyak 119.700.000 eksemplar, untuk SMP dan SMA sebanyak 14.048.235 eksemplar,
untuk SPG/SGO sebanyak 1.367.240 eksemplar serta untuk pendidikan tinggi sebanyak
333.292 eksemplar.

Sejalan dengan pengadaan buku pelajaran dan buku bacaan, maka telah dibangun pula
sebanyak 1.782 ruang perpustakaan dan 1.816 ruang laboratorium untuk tingkat SMP, yang
disertai dengan penerbitan 3.892.500 eksemplar buku Sistem Pengajaran Modul untuk SMP
terbuka. Di samping itu untuk tingkat SMA juga dibangun 317 ruang perpustakaan, dan 367

Departemen Keuangan RI 268


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

ruang laboratorium serta 25 ruang laboratorium bahasa. Sedangkan untuk perguruan tinggi telah
dibangun )7.467 meter persegi ruang perpustakaan dan 237.163 meterpersegi ruang
laboratorium yang masing-masing dilengkapi dengan 305.611 eksemplar buku-buku
perpustakaan dan 1.810 perangkat alat laboratorium. Selain itu juga telah dibangun sebanyak
1.310 buah perumahan dosen, dilakukan penelitian sebanyak 7.793 judul, dan diberikan
bantuan kepada perguruan tinggi swasta .

Dalam rangka peningkatan mutu di bidang pendidikan luar sekolah termasuk


kepemudaan dan keolahragaan, telah diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi tenaga
pendidik termasuk tutor, monitor, pelatih, penggerak olah raga dan pembina/pemuka pemuda.
Sejak Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984 telah ditatar sebanyak 383.936 tenaga teknis
termasuk tutor, monitor, pembina dan instruktur serta diadakan buku paket A sebanyak
71.610.390 eksemplar. Guna menunjang kegiatan.kegiatan tersebut dalam waktu yang sama
telah dibangun dan direhabilitasi, masing-masing sebanyak 56 buah dan 37 buah sanggar
kegiatan belajar untuk tempat latihan tenaga teknis dan pengembangan sarana belajar. Dalam
peningkatan mutu pendidikan di luar sekolah ini termasuk juga usaha mengintegrasikan
kelompok belajar (Kejar) paket A dengan pendidik. an mala pencaharian serta pendidikan
politik dan latihan kepemimpinan/keterampilan bagi generasi muda. Perkembangan
peningkatan pendidikan dapat diikuti pada Tabel VIII.2.
Tab e I VIII. 2
PEMBINAAN MUTU PENDIDIKAN DI BERBAGAI TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL, 1973/1974 -1984/1985
. Kegiatan 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/854)
1. Penataran guru/pembinaan (orang)
- Pendidikan dasar 8.053 105.994 231.200 372.600 369.161 364.521 385.157 479.524 547.467 299.393 304.018 275.480
- Pendidikan menengah 5.284 2.072 5.675 6.565 7.176 6.376 18.032 23.512 25.177 25.744 17.292 6.238
- Pendidikan tinggi (dosen) 945 1.084 1.088 1.505 1.015 489 4.812 3.879 4.140 10.000 10.360 2.855
2. Pengadaan buku pelajaran
( ribu eksemplar ) 1)
- Pendidikan dasar 25.840 4.544 43.823 60.000 58.960 105.811 41.468 68.800 31.840 45.400 56.488 16.200
- Pendidikan menengah 106 1.606 2.407 11.048 21.400 29.441 19.946 17.813 18.717 20.884 18.0043) 13.300
- Pendidikan tinggi 2) - - - - - - - - - -
3. Pengadaan buku perpustakaan
( ribu eksemplar )
- Pendidikan dasar 6.600 6.900 7.316 8.600 7.314 8.500 12.500 14.000 15.000 30.000 32.000 16.200
- Pendidikan menengah 413 979 422 1.040 1.000 1.095 424 226 1.000 1.538 11.133
- Pendidikan tinggi 11 30 6 61 51 28 36 40 46 105
4. Pengadaan alat peraga/praktek/
ketarampilanflaboratorium (unit)
- Pendidikan dasar - - - 20.000 24.960 22.150 116.000 88.580 110.000 80.420 5.531 6.600
- Pendidikan menengah 2.852 2.271 65(SMP) 104(SMP) 424 3.023 2.307 4.258 5.795 7.513 4.262
- Pendidikan tinggi 19 35 3 39 76 50 273 270 724 417
1) Sejak tahun 1979{1980 termasuk buku PMP dan kurikulum
2) Termasuk dalam buku perpustakaan
3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara

Usaha peningkatan kesempatan belajar yang dikaitkan dengan pemerataan memperoleh


pendidikan, antara lain dilaksanakan melalui pembangunan gedung sekolah baru, penambahan
ruang belajar pada sekolah yang ada, rehabilitasi gedung sekolah, serta peng. angkatan guru
baru. Sehubungan dengan hal itu, untuk mewujudkan pelaksanaan wajib belajar pada tingkat
pendidikan dasar, sejak Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dan sedang dibangun
melalui program bantuan Inpres sebanyak 76.940 unit gedung SD, penambahan ruang kelas

Departemen Keuangan RI 269


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

baru sebanyak 129.800 buah, serta rehabilitasi sebanyak 134.500 sekolah termasuk SD swasta
dan madrasah ibtidaiyah. Dalam waktu yang sarna telah dilaksanakan pengangkatan 439.580
guru, termasuk guru agarna dan tenaga teknis. Seperti diketahui, Pemerintah juga telah
menghapuskan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) untuk SD dan sebagai gantinya
diberikan subsidi/bantuan pembiayaan penyeleng. garaan untuk SD negeri. Perkembangan
pendidikan dasar telah menunjukkan hasil yang nyata seperti tercermin pada kenaikan angka
partisiposi pendidikan. Dalam tahun 1979/ 1980 baru mencapai 83,8 persen sedangkan pada
awal Repelita IV sarnpai dengan bulan Agustus 1984, telah meningkat menjadi 97,2 persen.
Sebagai kelanjutannya, pada Hari Pendidikan Nasional (Harpenas) tanggal2 Mei 1984, Presiden
telah mencanangkan gerakan wajib belajar untuk seluruh Indonesia.

Adapun pendidikan bagi anak-anak yang mengalami cacat fisik, mental dan sosial,
dilakukan melalui lembaga pendidikan khusus, yaitu sekolah luar biasa (SLB). Sejak tahun
1979/1980 sampai dengim bulan Agustus 1984, selain disediakan buku, alat peraga dan
penataran guru/pembina, juga dibangun sejumlah gedung SLB baru dengan asramanya, serta
dila:kukan rehabilitasi terhadap sejumlah SLB yang telah ada. Sedangkan pengembangan
pembinaan taman kanak-kanak (TKK) dalam Pelita III, dan tahun pertama Pelita IV telah
ditingkatkan dengan membangun TKK pembina, baik di tingkat nasional, tingkat propinsi
maupun tingkat kabupaten/kotamadya, sebagai TKK percontohan.

Sejalan dengan perkembangan tingkat pendidikan dasar serta perluasan dan


pemerataan kesempatan belajar pada tingkat SMTP, maka selmna Pelita III, dan tahun pertama
Repelita IV sampai dengan bulan Agustus 1984 telah diusahakan pula peningkatan daya
tampungnya. Untuk itu telah dibangun 2.919 unit sekolah baru, 18.054 ruang kelas baru, dan
dilakukan rehabilitasi terhadap 1.598 gedung sekolah yang telah ada. Bersamaan dengan itu
telah dikembangkan pula sebanyak 165 buah SMTP kejuruan yang tidak diintegrasikan ke
dalam SMP, baik yang baru maupun lanjutan. Perluasan dan pemerataan kesempatan belajar
pada tingkat SMTP tersebut telah memperlihatkan hasil yang baik. Hal ini tercermin pada
kenaikan jumlah murid yang selama 5 tahun terakhir telah meningkat sebesar 79,1 persen atau
rata-rata 15,8 persen per tahun. Apabila pada awal Pelita III jumlah murid baru sebanyak
2.983.000 orang, maka sampai dengan bulan Agustus 1984 telah meningkat menjadi sebanyak
5.342.200 orang. Hal ini disebabkan karena terjadinya kenaikan jumlah lulusan SD yang
melanjutkan ke SMP yakni dari sebanyak 1.156.000 orang dalam tahun 1979/1980 menjadi
4.732.000 orang sampai dengan bulan Agustus 1984. Selanjutnya guna menunjang

Departemen Keuangan RI 270


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

perkembangan kegiatan belajar pada tingkat SMTP, maka dalarn waktu yang sarna juga telah
dilakukan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar pada tingkat SMTA. Untuk itu telah
dibangun sebanyak 517 unit gedung SMA baru, 5.085 ruang kelas baru, dan dilakukan
rehabilitasi terhadap 460 sekolah yang telah ada. Bersamaan dengan itu pada SMTA kejuruan
telah direhabilitasi/dikembangkan pula sebanyak 145 buah STM 3 tahun, serta dilakukan
pembangunan/pembinaan terhadap 8 STM Pembangunan, 289 buah STM 3 tahun, 44 buah
SMT pertanian/khusus, SMEA, sekolah menengah tehnologi kerumahtanggaan (SMTK),
sekolah menengah kesejahteraan keluarga (SMKK), sekolah menengah pekerjaan sosial
(SMPS), sekolah menengah industri kerajinan (SMIK), sekolah menengah seni rupa (SMSR),
sekolah menengah karawitan indonesia (SMKI), dan sekolah menengah musik (SMM).
Sedangkan untuk pendidikan guru, telah dilakukan pembangunan gedung baru, serta
pembangunan ruang kelas dan rehabilitasi sejumlah SPG, SGO dan SGPLB. Kegiatan
perluasan dan pemerataan kesempatan belajar pada tingkat SMTA telah menunjukkan hasil
yang cukup menggembirakan. Hal ini tercermin dari meningkatnya daya tampung SMTA yang
dalam tahun 1979/1980 baru berjumlah 1.574.000 orang, dalam tahun 1984/1985 sampai
dengan bulan Agustus 1984 telah mencapai 2.733.200 orang. Hal ini berarti suatu peningkatan
sebesar 70,6 persen selama periode tersebut atau rata-rata sebesar 14,7 persen per tahun.

Guna menghadapi meningkatnya jumlah mahasiswa yang ingin melanjutkan pelajaran


pada perguruan tinggi, maka selama Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984 telah
dibangun 765.547 meterpersegi ruang kuliah dan kantor, serta merehabilitasi gedung seluas
233.085 meterpesegi. Usaha perluasan dan pemerataan kesempatan belajar pada tingkat
pendidikan tinggi, telah dapat meningkatkan daya tampung bagi lulusan SLTA yang akan
me1anjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dalam tahun 1979/1980 jumlah mahasiswa
baru adalah sebanyak 424.700 orang, yang meningkat menjadi 803.776 orang dalam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984. Hal ini berarti peningkatan sebesar 89,3 persen
dalam periode tersebut, atau rata-rata sebesar 22,3 persen per tahun.

Pembinaan perguruan tinggi swasta juga terus ditingkatkan, antara lain me1alui
penataan dan pemberian bantuan prasarana serta sarana. Untuk memperlrias kesempatan belajar
kepada siswa dan mahasiswa yang berbakat dan berprestasi, juga telah diberikan sejumlah bea
siswa. Se1ama Pe1ita III sampai dengan bulan Agustus 1984 telah diberikan bea siswa kepada
63.400 siswa SD, 39.927 siswa SLTP, 37.373 siswa SMTA, 22.424 mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi, 160 putra Nusa Tenggara Timur, 130 putra Irian Jaya dan 320 putra Timor
Timur. Perkembangan kesempatan belajar diberbagai tingkat pendidikan formal dapat dilihat

Departemen Keuangan RI 271


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pada Tabel VIII.3. Se1anjutnya dalam rangka meningkatkan pendidikan masyarakat te1ah pula
ditingkatkan kegiatan pendidikan di luar sekolah. Usaha ini dilakukan melalui Kejar pendidikan
dasar (Paket A), yang telah diikuti oleh 7.404.547 warga pe1ajar selama Pelita III dan tahun
pertama Repelita IV sampai dengan bulan Agustus 1984. Adapun lembaga pendidikan luar
sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (PLSM), jumlahnya te1ah mencapai 8.000 buah,
dan menampung sebanyak 1.338.000 orang.
T abel VIII. 3
PENYEDIAAN SARAN A GEDUNG DAN GURU BAGI PENDIDIKAN FORMAL, 1973/1974 -1984/1985
o Kegiatan 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 4)
1. Pembangunan gedung (unit)
- Pendidikan dasar (a 3
ruang kelas) 6.000 6.000 10.000 10.000 15.000 15.000 10.000 14.000 15.000 22.600 13.140 2.200
- Pendidikan menengah - - - 125 135 155 162 246 390 1.150 878 610
- Pendidikan tinggi - - - - - 6 10 11 11 11 11
2. Pembangunan ruang kelas baru
- Pendidikan dasar (ruang) - - 15.000 15.000 15.000 20.000 25.000 35.000 15.700 19.100
- Pendidikan menengah (ruang) 1) - - 1.200 1.300 1.205 1. 725 1.900 2.202 1.614 6.000 6.003 5.420
- Pendidikan tinggi (m 2) 23.261 14.051 16.192 30.000 37.207 52.334 54.500 89.750 103.500 175.347 218.683 123.767
3. Rehabilitasi/pengembangan (sekolah)
- Pendidikan dasar 2) - - 10.000 16.000 15.000 15.000 15.000 20.000 25.000 25.000 21.000 28.500
- Pendidikan menengah - 1.219 703 179 103 92 286 608 923 1.154 1.202 784
- Pendidikan tinggi (m 2) 4.610 7.151 8.105 9.194 27.225 24.380 24.435 29.629 67.080 48.020 50.184 14.085
4. Pengangkatan/penempatan guru (orang)
- Pendidikan dasar 3) 18.000 18.000 50.000 60.000 60.000 75.000 50.000 50.000 103.350 121.100 91.830 23.300
- Pendidikan menengah - - - 4.075 36(SPG) 8.460 7.390 5.320 10.480 12.600 19.672 28.488
- Pendidikan tinggi (dosen) - - - - - 10.500 21.000 32.946 33.790 36.144 36.845

1. Terdiri dari SMP & SMA, tennasuk ruang laboratorium, ruang ketrampilan dan ruang perpustakaan
2. Meliputi SD Negeri, SD Swasta, MI Swasta
3. Termasuk guru agama daD tenaga teknis lainnya
4. Angka sementara.

Untuk meningkatkan sistem pendidikan agar lebih sesuai dengan kebutuhan


pembangunan, telah dilakukan berbagai kegiatan seperti penyempurnaan kurikulum tingkat
pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah alas, penyempurnaan sistem pendidikan
nasional, dan perluasan sekolah kejuruan. Penyempurnaan kurikulum dilaksanakan melalui
perbaikan kurikulum lama (1975) menjadi kurikulum baru (1984) yang merupakan bagian
penting dari perkembangan sistem pendidikan nasional guna memenuhi tuntutan pembangunan
nasional. Sedangkan dalam rangka penyempurnaan sistem pendidikan nasional, telah disiapkan
RUU sistem pendidikan nasional yang kini telah mencapai tahap penyelesaian terakhir. Guna
memenuhi kebutuhan tenaga-tenaga kejuruan/teknik yang terdidik dan terampil, dewasa ini
te1ah dikembangkan sekolah menengah kejuruan tingkat atas (SMTA-AKT) yang meliputi
berbagai bidang dan 7 politeknik, dan sampai dengan bulan Agustus 1984 telah mempunyai
7.400 orang mahasiswa.

Pembinaan dan pengembangan generasi muda sebagai kader-kader penerus perjuangan


dan pembangunan nasional, selain dilakukan melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi juga dilaksanakan melalui berbagai kegiatan yang bersifat informal. Kegiatan-
kegiatan tersebut diarahkan pada pengembangan kepemimpinan dan keterampilan, kesegaran
jasmani dan daya kreasi, patriotisme dan idealisme, kesadaran berbangsa dan bernegara,

Departemen Keuangan RI 272


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kepribadian dan budi pekerti luhur, serta partisipasi generasi muda dalam pembangunan.
Sehubungan dengan itu, selama Pelita III dan tahun pertama Repelita IV sampai dengan bulan
Agustus 1984 telah dilaksanakan penataran P4, penataran pemuda tingkat perintis, penataran
pengelola gelanggang, dan penataran tenaga teknis penilik generasi muda, yang masing-masing
diikuti oleh 2.799 orang, 22.556 orang, 325 orang dan 2.192 orang. Selain itu juga telah
dilakukan latihan pemuda tingkat pemuka yang diikuti oleh 6.480 orang dan latihan
pendamping pembina pemuda yang diikuti oleh 210 orang. Sementara itu dalam rangka
pembinaan serta pengembangan keterampilan dan daya kreasi generasi muda antara lain
dilakukan pertukaran pemuda dengan luar negeri dan antarpropinsi, yang masing-masing diikuti
3.576 orang dan 4.855 orang, pembinaan terhadap 8.970 anggota Pasukan Pengibar Bendera
Pusaka (Poskibraka) dan Caraka Muda tingkat propinsi, penyelenggaraan festival pemuda yang
mengikutsertakan 44.270 orang, perkemahan kerja pemuda yang diikuti oleh 3.057 orang,
pembinaan unit kerja produktif terhadap 1.204 orang serta pembinaan terhadap 5.400 orang
satuan tugas sukarela pemuda. Selain itu bantuan kepada KNPI juga telah dimanfaatkan guna
meningkatkan aktivitas, fungsi, mutu, pemantapan organisasi, serta pengadaan prasarana dan
sarana. Untuk itu telah dilakukan pengembangan desa pemuda di beberapa daerah/propinsi,
lomba kreativitas pemuda, latihan instruktur terhadap 3.280 orang, serta latihan kepemimpinan
manajemen yang mengikutsertakan 1.330 orang. Bantuan kepada pramuka dilakukan dengan
menyelenggarakan latihan terhadap 30.955 orang, pembangunan gedung Cadika seluas 16.718
meterpersegi serta pengadaan buku pramuka sebanyak 310.185 eksemplar. Selanjutnya dalam
rangka peningkatan/pengembangan wanita telah dilakukan latihan pengembangan belajar
wanita yang diikuti 24.795 orang, serta lomba desa binaan keluarga sehat dan sejahtera di 26
propinsi.

Untuk peningkatan pengelolaan pendidikan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna,
selama Pelita III dan tahun pertama Repelita IV sampai dengan bulan Agustus 1984 telah
dilaksanakan kegiatan-kegiatan, yang antara lain meliputi penataran tenaga nonedukatif,
pembinaan dan peningkatan perencanaan serta penyempurnaan pengawasan. Penataran tenaga
non edukatif telah dilakukan melalui sekolah star dan pimpinan administrasi (Sespa), sekolah
pimpinan administrasi tingkat madya (Sepadya) dan sekolah pimpinan administrasi tingkat
lanjutan (Sepala), yang masing-masing diikuti 300 orang, 260 orang, 150 orang, dan 805 orang,
penataran tingkat menengah nasional dan regional terhadap 600 orang, penataran tingkat
pelaksana terhadap 1.360 orang, pendidikan dan latihan kegrafikaan yang diikuti 6.519 orang
serta penataran tenaga teknis kebudayaan yang diikuti 2.825 orang. Adapun pembinaan dan

Departemen Keuangan RI 273


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

peningkatan perencanaan dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, antara lain penyempurnaan


teknik dan metodologi perencanaan, pemantapan sistem dan mekanisme perencanaan terpadu,
serta peningkatan mutu aparat perencanaan baik di pusat maupun di daerah melalui penataran
perencanaan P2 dan P1 tertulis yang masing-masing diikuti oleh 60 orang dan 1.360 orang.
Adapun peningkatan pengawasan dilakukan melalui penyempumaan sistem dan prosedur
pengawasan terpadu, penyempurnaan sistem pelaporan, serta peningkatan mutu aparat
pengawasan. Guna menunjang berbagai kegiatan tersebut, selama Pelita III dan tahun pertama
Repelita IV sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dilakukan pembangunan/rehabilitasi
gedung kantor pusat dan kantor wilayah, masing-masing seluas 25.054 meterpersegi dan 30.982
meterpersegi, gedung kotamadya/kabupaten sebanyak 117 unit, gedung kantor kecamatan
sebanyak 8 unit, rumah dinas sebanyak 37 buah, serta pengadaan peralatan kantor kecamatan
dan sarana mobilitas.

Pembinaan di bidang olah raga ditujukan untuk mengolahragakan masyarakat, dan


memasyarakatkan olah raga, selama Pelita III dan tahun pertama Repelita IV sampai dengan
bulan Agustus 1984 antara lain telah diwujudkan pembangunan gedung olahraga dan kolam
renang, masing-masing seluas 9.175 meter persegi dan 6.657 meter persegi, pengadaan
peralatan olah raga sebanyak 52.583 paket, serta pengadaan buku-buku olah raga sebanyak
143.000 eksemplar. Berkaitan dengan itu juga telah dilaksanakan penataran terhadap 8.243
orang guru, pelatih, dan pembina, penyelenggaraan pemasalan olahraga yang mengikutsertakan
1.065.573 orang pelajar, mahasiswa, masyarakat dan penyandang cacat, serta pembinaan
olahraga berbakat terhadap 18.658 orang.

8.3.2 Pembinaan kebudayaan

Usaha pembinaan dan pengembangan budaya bangsa senantiasa ditujukan untuk


menunjang pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi dan menjawab
tantangan zaman dalam berbagai bidang, antara lain bidang ekonomi, teknologi dan ilmu
pengetahuan, serta mempercepat alih teknologi yang semakin tinggi. Untuk itu, nilai-nilai dan
norma budaya yang dinamis, selaras dgn memberi arah pacta pembangunan harus dibina dan
dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila, memperkuat
kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional, serta memperkokoh
jiwa persatuan. Sejak Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dilaksanakan berbagai
program yang antara lain berupa program kepurbakalaan, kesejarahan, dan permuseuman.
Untuk itu telah dilakukan survai dan perencanaan koleksi di 92 lokasi yang tersebar di 26

Departemen Keuangan RI 274


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

propinsi, pengadaan koleksi sebanyak 6 jenis di 26 propinsi, pameran dalam rangka


pemantapan fungsi eksistensi museum dengan segenap aspeknya sebanyak 183 kali di 26
propinsi, pemberian bantuan kepada 60 museum daerah, pengadaan peralatan teknis.museum
sebanyak 549 unit, serta pengadaan peralatan kantor museum sebanyak 872 unit. Dalam waktu
yang sama juga telah dilakukan pemugaran peninggalan sejarah dan purbakala di 379 lokasi,
studi kelayakan di 133 lokasi, pemeliharaan dan penyelamatan 1.564 situs, melanjutkan
pemeliharaan Candi Borobudur serta rehabilitasi Monumen Nasional (Monas).

Pengembangan dalam bidang seni budaya ditujukan untuk meningkatkan kreativitas


seniman yang sehat, dan lebih memperkaya kesenian Indonesia yang beraneka ragam. Untuk itu
telah dilakukan berbagai kegiatan, antara lain meliputi pembinaan sosio drama, penyuluhan
teknis kesenian, pengembangan organisasi kesenian dan penyebarluasan kesenian. Di samping
itu juga dilakukan peningkatan penghayatan seni oleh masyarakat yang mencakup 4 bidang
seni, serta studi kelayakan di daerah tingkat II di 127 lokasi, yang tersebar di seluruh nusantara.
Kemudian dilakukan juga penanggulangan terhadap pengaruh kebudayaan yang negatif,
peningkatan apresiasi sastralseni, penyelesaian rencana induk Wisma Seni Nasional, serta
pemberian bantuan peralatan kesenian pada kabupaten/kodya, kecamatan, dan daerah
transmigrasi. Untuk pengembangan kebahasaan, kesusastraan, perbukuan, dan perpustakaan,
maka sejak Pelita III dan tahun pertama Repelita IV sampai dengan bulan Agustus 1984 telah
dilakukan pengembangan bahasa serta sastra Indonesia dan daerah. Kegiatan tersebut antara
lain berupa penyusunan/penerbitan perkamusan sebanyak 29 naskah, terjemahan 16 naskah,
sayembara mengarang, pengembangan media kebahasaan sebanyak 30 naskah, penerbitan
majalah, serta pembinaan bahasa Indonesia melalui TVRI dan RRI. Demikian pula
dilaksanakan penambahan tenaga, pengadaan peralatan kantor, serta pengadaan buku sebanyak
1.351.636 eksemplar untuk perpustakaan wilayah, perpustakaan umum, perpustakaan keliling,
perpustakaan desa dan perpustakaan perintis sekolah. Sejalan dengan itu telah dilakukan pula
penulisan dan penerbitan naskah buku bacaan populer sebanyak 720.500 eksemplar, serta
sayembara mengarang bacaan populer sebanyak 56 judul. Selain itu dalam bidang perpustakaan
nasional juga telah dilaksanakan rekatalogisasi koleksi pustaka Indonesia dan asing, penerbitan
pedoman penyuluhan perpustakaan sebanyak 6 naskah, serta pengembangan perpustakaan
nasional.

Kegiatan inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan nasional ditujukan untuk membina


Wawasan Nusantara. Sejak tahun 1979/1980 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah diadakan
penilaian, penyempumaan, dan editing dari 800 naskah, penyusunan naskah kebudayaan daerah

Departemen Keuangan RI 275


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dalam 5 aspek dengan ps:nerbitan sebanyak 372 judul, serta pembinaan bimbingan teknis
operasional penelitian yang mengikutsertakan 457 orang. Selain itu juga telah diselenggarakan
penataran tenaga teknis dokumentasi dan informasi kebudayaan yang diikuti 130 orang, dan
penyusunan naskah dad 117 penelitian. Sejalan dengan usaha inventarisasi dan dokumentasi
sejarah nasional, maka dilakukan penelitian, penulisan, dan penyusunan naskah biografi
pahlawan nasional yang meliputi caton pahlawan sebanyak 36 judul, tokoh nasional sebanyak
120 judul, sejarah pahlawan sebanyak 26 judul serta biografi nasional sebanyak 17 judul. Usaha
lain yang dilakukan adalah meliputi penelitian bahasa dan sastra Indonesia dan daerah sebanyak
665 naskah, penelitian purbakala sebanyak 5 aspek serta penerbitan majalah arkeologi.

8.4. Kesehatan dan keluarga berencana

Sebagai kelanjutan dari tahun-tahun sebelumnya, pembangunan di bidang kesehatan


dalarn tahun pertama Repelita IV diarahkan pada peningkatan kemarnpuan masyarakat untuk
hidup sehat dan mengatasi sendiri masalah kesehatan yang sederhana, terutama melalui
pencegahan dan penyembuhan. Selain itu juga ditujukan pada peningkatan kesehatan
lingkungan terutama penyediaan sanitasi dasar guna perbaikan mutu lingkungan. Selanjutnya
juga diarahkan pada pengurangan kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit yang
banyak diderita rakyat banyak, terutama penyakit menular, penyakit yang hanya dapat dicegah
dengan imunisasi, serta penyakit yang disebabkan oleh pengaruh buruk dari bahan yang
berbahaya bagi kesehatan. Kegiatan ini ditunjang dengan pengadaan obat yang cukup dan
terjangkau oleh masyarakat, serta peningkatan pendidikan, latihan dan pengelolaan tenaga
kesehatan masyarakat. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, pembangunan di bidang
kesehatan dilakukan secara terpadu dengan bidang-bidang lainnya ke dalam suatu sistem
kesehatan nasional.

8.4.1. Pelayanan kesehatan

Kegiatan yang dilakukan di bidang pelayanan kesehatan ditujukan untuk memberikan


pelayanan kesehatan secara lebih merata dan lebih dekat kepada masyarakat, terutama yang
berpenghasilan rendah baik di desa maupun di kota. Peningkatan dan pemerataan pelayanan
kesehatan tersebut antara lain dilakukan melalui puskesmas, usaha kesehatan sekolah (UKS),
pemerataan kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan gigi dan jiwa, serta peningkatan
pelayanan laboratorium kesehatan. Selain itu telah dilakukan peningkatan pelayanan rumah

Departemen Keuangan RI 276


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sakit, penarnbahan persediaan bahan-bahan dan obat-obatan, pembangunan kesehatan


masyarakat desa, serta peningkatan pelayanan instalasi kesehatan. Untuk itu, seluruh sarana
kesehatan diusahakan berada dalarn suatu sistem jaringan hubungan yang serasi dan efektif,
yang dilakukan melalui sistem rujukan antara masyarakat, puskesmas dan rumah sakit di semua
tingkat. Selanjutnya agar pelayanan kesehatan kepada rakyat dapat dilaksanakan dengan lebih
baik dan merata, maka jumlah dan fungsi puskesmas terus ditingkatkan, sehingga sarnpai
dengan bulan Agustus 1984 jumlahnya telah mencapai 5.453 buah. Untuk mendukung tugas
puskesmas tersebut, dalam waktu yang sarna telah dibangun pula puskesmas pembantu dan
puskesmas keliling, masing-masing sebanyak 15.136 buah dan 2.979 buah. Sedangkan bagi
daerah-daerah terpencil yang jauh dari pelayanan rumah sakit, serta daerah perbatasan atau
daerah yang angka kecelakaan lalu lintasnya tinggi, telah dibangun puskesmas perawatan
sebanyak 158 unit, yang masing-masing dilengkapi 10 tempat tidur. Selain pembangunan
puskesmas, telah dilakukan pula perbaikan 5.826 puskesmas dan penggantian peralatan medis
sebanyak 2.702 set. Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah puskesmas, telah disediakan
pula 19.787 tenaga kesehatan melalui program Inpres. Untuk meningkatkan keterampilan dan
kemampuan tenaga kesehatan di puskesmas, telah dilaksanakan penataran tenaga kesehatan
terhadap 2.600 dokter puskesmas, 5.828 staf puskesmas, 3.076 tenaga laboratorium dan 3.691
tenaga record and report (RR) terpadu. Sedangkan dalam rangka memenuhi kekurangan tenaga
di puskesmas, telah diadakan latihan cepat bagi pembantu paramedis sebanyak 1.416 orang,
serta latihan klinis bagi 155 orang dokter dan 185 orang paramedis yang bekerja di puskesmas.
Perkembangan sarana pelayanan kesehatan masyarakat dapat diikuti pada Tabel VIII.4.
Tabel VIII. 4
JUMLAH SARAN A PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT, 1973/1974 -1984/1985 1)

1984/855) 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85

1. Puskesmas 2.343 3.113 3.443 3.893 4.053 4.353 4.553 4.753 4.953 5.153 5.353 5.453
2. Puskesmas Pembantu 2) - - - - - - 7.342 8.342 10.342 12.342 13.6364) 15.136
3. Puskesmas Ke1iling - - - - - 604 729 979 1.479 1.979 2.479 2.979
4. BaJai Pengobatan 3) 7.124 7.124 4.602 4.180 4.180 4.180
5. B K I A 3) 6.801 6.928 2.744 2.412 2.412 2.412

1). Angka kumuIatif


2). Merupakan peningkatan dari BKlA dan Ba1ai Pengobatan
3). Sejak 1975/1976 berkurangnya jumlah BKIA dan Balai Pengobatan karena diintegrasikan
4). Angka diperbaiki 5). Angka sementara

Sampai dengan bulan Agustus 1984, pengobatan mala telah dikembangkan di 250
puskesmas yang tersebar di 24 propinsi, dan diperlengkapi dengan 167 set peralatan kesehatan
mata dan obat-obatan mata. Di samping itu telah diselenggarakan pula latihan kesehatan mala
bagi 221 paramedis dan 1.670 kader/pemuka masyarakat. Selanjutnya di bidang kesehatan olah
raga telah dikembangkan pusat kesehatan olah raga di 8 propinsi. Dalam rangka pencegahan

Departemen Keuangan RI 277


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dan pengobatan penyakit pada anak-anak sekolah, telah dilakukan usaha kesehatan sekolah
(UKS) melalui kunjungan berkala petugas puskesmas ke sekolah-sekolah. Selain dilakukan
pemeriksaan guna menemukan kelainan-kelainan kesehatan yang ada sedini mungkin, dan
pengobatan pertama bagi yang memerlukan, juga diberikan penyuluhan kesehatan kepada anak-
anak sekolah, imunisasi, serta pembinaan kesehatan lingkungan. Selama Pelita III telah dapat
dicakup sebanyak 95.404 SD, 9.280 SLP dan 3891 SLA. Di samping itu dalam rangka UKS
juga telah dilakukan penataran terhadap105.191 guru yang terdiri dati 97.620 guru SD, 5.224
guru SLTP dan 2.347 guru SLTA.

Program perawatan kesehatan masyarakat sampai dengan bulan Agustus tahun 1984,
telah dilaksanakan di 2.254 puskesmas dengan membina 82.426 keluarga, di samping juga
terhadap golongan khusus yang berada di 52 panti dan tersebar di 24 propinsi. Bersamaan
dengan itu, ditingkatkan pula pelayanan kesehatan gigi kepadamasyarakat. Dalam Pelita III,
melalui usaha kesehatan gigi sekolah (UKGS) telah dilaksanakan pemanduan UKGS selektif
bagi 108 SD, dan pengembangan pelayanan kesehatan gigi integrasi terhadap 258 SD di 139
daerah tingkat II. Sedangkan dalam rangka kesehatan gigi masyarakat desa, telah ditempatkan
sebanyak 1.250 orang tenaga perawat gigi di 402 puskesmas. Selanjutnya dalam upaya
kesehatan gigi sekolah telah dilakukan penempatan sebanyak 62 set klinik gigi lapangan
(KGL), serta peningkatan pelayanan gigi di 104 RSU kelas D yang dilengkapi dengan 104 unit
klinik gigi basis, di 40 RSU kelas C yang dilengkapi dengan peralatan bedah mulut
sederhana,dan di 30 rumah sakit yang dilengkapi dengan peralatan rehabilitasi gigi (unit teknik
gigi). Di samping itu juga dilakukan survai epidemiologi terhadap 11.500 orang, survai
pengumpulan data kadar flour dalam posta gigi, standarisasil metodologi terhadap' 10 daerah
pelayanan, dan UKGS di puskesmas-puskesmas, serta pemantapan standarisasi pelayanan di
rumah sakit.

Dalam Pelita III, telah dilakukan juga pelayanan kesehatan jiwa yang dititikberatkan
pada upaya pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi mental, serta penanggulangan penderita
mental khususnya psikotik, gelandangan dan posung. Adapun pelaksanaannya dilakukan
melalui rumah soot jiwa (RS jiwa), serta integrasi kesehatan jiwa ke puskesmas dan rumah sakit
umum (RS umum). Untuk itu fungsi rumah sakit jiwa sebagai pusat rujukan pelayanan
kesehatan jiwa semakin ditingkatkan. Selama Pelita III telah dilakukan integrasi kesehatan jiwa
ke 560 puskesmas, dengan jumlah kunjungan posien mental sekitar 40.000 per tahun.
Sedangkan melalui RSU, sejak tahun 1980/1981 sampai dengan akhir Pelita III, telah
diintegrasikan kesehatan jiwa ke 90 RSU.

Departemen Keuangan RI 278


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Sementara itu guna menunjang peningkatan pelayanan kesehatan secara keseluruhan,


terus ditingkatkan pula pelayanan laboratorium kesehatan, yakni melalui pemeriksaan
laboratorium baik secara kualitatif maupun kuantitatif, di bidang mikrobiologi, patologi, kimia
dan imunologi. Untuk itu baik sarana maupun peralatan laboratorium, terutama di daerah-
daerah terpencil semakin ditingkatkan. Dalam hubungan ini selama Pelita III telah dilaksanakan
pembangunan gedung dan penambahan ruang pemeriksaan di 27 balai laboratorium kesehatan,
serta penambahan alat-alat laboratorium di 26 balai laboratorium dan 137 laboratorium
kabupaten rumah sakit C. Sedangkan untuk meningkatkan pelayanan laboratorium di
puskesmas, sampai dengan bulan Agustus tahun 1984 telah ditatar sekitar 3.076 tenaga
laboratorium puskesmas.

Guna meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, pelayanan melalui rumah


sakit juga terus ditingkatkan dengan penyempurnaan sistem rujukan, baik antarberbagai tingkat
rumah sakit maupun antara puskesmas dengan rumah sakit. Untuk lebih meningkatkan fungsi
rujukan tersebut, dokter-dokter ahli dari rumah rumah sakit yang tingkatannya lebih tinggi telah
dikirim ke tingkatan yang lebih rendah. Selain itu pengiriman penderita dari puskesmas ke
rumah sakit kabupaten dan rumah sakit yang lebih tinggi semakin ditingkatkan. Untuk itu
selama Pelita III telah ditingkatkan pula baik sarana fisik maupun tenaga kesehatannya melalui
pemban_nan 11 RSU baru sebagai pengganti RSU yang telah ada. Dalamwaktu yang sarna
telah dilakukan pula rehabilitasi terhadap 192 buah RSU kabupaten/kotamadya, 20 buah RSU
di ibukota propinsi, 13 buah RS vertikal, 5 buah RS khusus vertikal dan sebuah Palang Merah
Indonesia (PMI). Sejalan

Departemen Keuangan RI 279


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dengan meningkatnya sarana fisik tersebut, diberikan pula bantuan berupa peralatan medis dan
non medis kepada 135 RSU propinsi/kabupaten, dan 5 RS khusus vertikal. Peningkatan
pembangunan sarana pelayanan kesehatan tersebut telah diikuti pula dengan peningkat an
jumlah tenaga kesehatan. Untuk itu selama Pelita III telah ditempatkan di 133 RS sebanyak 263
tenaga dokter, yang memiliki keahlian dasar bedah, kesehatan anak, kebidanan dan kandungan
serta penyakit dalam. Perkembangan tenaga kesehatan dapat diikuti pada Tabel VIII.5.
Tabel VIII. 5
JUMLAH BEBERAPAjENIS TENAGA KESEHATAN, 1973/1974 -1983/1984

J enis Tenaga 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 2) 1983/84 3)

1. D okter 6.221 7.644 8.279 8.977 9.805 10.456 11.681 12.931 15.400 16.000 17.647
2. Per a w a t 1) 7.736 8.066 9.856 ) 28.926 27.711 31.061 32.854 35.520 37.693 40.000 44.113
3. Bid ani) 8.323 9.160 10.720 )
4. Penjenang kesehatan 24.248 26.262 28.707 30.972 33.237 35.577 35.361 35.698 35.678 35.679 35.679

1) Sejak tahun 1976/1977 perawat dan bidan ditetapkan menjadi tenaga perawat kesehatan.
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

Sementara itu guna memenuhi kebutuhan obat dalam masyarakat, selama Pelita III
telah disediakan obat-obatan dan bahan-bahan obat antara lain untuk RSU khusus pusat,
penanggulangan bencana alam, AMD (ABRI Masuk Desa) serta kegiatan sosial lainnya.
Sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus telah diberikan bantuan obat-
obatan kepada 40 RS propinsi. Adapun untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam
peningkatan derajat kesehatannya, dibentuk Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa
(PKMD), melalui latihan dan bimbingan tenaga sukarelawan kesehatan desa, yang disebut
promotor kesehatan desa (Prokesa). Sampai dengan akhir Pelita III, PKMD tersebut telah
dikembangkan di 7.693 desa meliputi sebanyak 1.678 kecamatan, dan 269 Dati II yang tersebar
di seluruh propinsi. Dari jumlah tersebut, yang dikembangkan melalui bantuan Pemerintah
meliputi sebanyak 1.698 desa, di 410 kecamatan dan 101 Dati II, sedangkan sisanya. sebanyak
5.985 desa, di 1.268 kecamatan, dan 168 Dati II merupakan hasil swadaya masyarakat.

8.4.2. Pemberantasan penyakit menular

Pemberantasan penyakit menular mempunyai peran yang cukup penting dalam


menunjang pembangunan. Usaha pencegahan dan pemberantasan penyakit menular ditujukan
khususnya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular, dengan
pemutusan matarantai penularan penyakit. Kegiatan tersebut merupakan kelanjutan daripada
upaya-upaya yang telah dilakukan dalam tahun sebelumnya dan didasarkan atas ketentuan

Departemen Keuangan RI 280


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

prioritas jenis penyakit yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan itu, pemberantasannya
diprioritaskan pada penyakit malaria melalui penurunan jumlah penderita, dan penanggulangan
wabah yang terjadi di Jawa dan Bali, melindungi penduduk yang telah kebal dan berpindah dari
Jawa dan Bali, serta menurunkan jumlah penderita di daerah yang keadaan sosial ekonominya
rendah termasuk pemukiman transmigran dan pemukiman baru. Dalam tahun 1984/1985
sampai dengan bulan Agustus 1984, telah dilakukan pengumpulan dan pemeriksaan terhadap
sekitar 749 ribu sediaan darah penderita, pemberian obat kepada sekitar 798 ribu orang
penderita, dan penyemprotan terhadap sekitar 75 ribu buah rumah. Dengan demikian sejak
Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dilakukan pengumpulan dan pemeriksaan
terhadap 48,3 juta sediaan darah, pengobatan alas 45 juta orang dan penyemprotan 17 juta buah
rumah. Pemberantasan penyakit demam berdarah (arbovirosis) dalam tahun pertama Repelita
IV sampai dengan bulan Agustus 1984, dilakukan melalui pemberantasan jentik nyamuk pada
sekitar 200 ribu rumah dan penanggulangan fokus pada 800 lokasi. Dengan demikian selama
Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dilakukan pemberantasan jentik nyamuk
terhadap 528.516 buah rumah dan penanggulangan 11.632 fokus. Pemberantasan penyakit kaki
gajah (filariasis) dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 dilakukan melalui
pemeriksaan terhadap 146.778 sediaan darah malam dan pengobatan terhadap 200.557 orang
penderita. Dengan demikian sejak Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984 telah diperiksa
sebanyak 737.702 sediaan darah malam, dan diobati sebanyak 1.136.573 orang penderita.
Dalam waktu yang sama untuk pemberantasan penyakit rabies dan pes telah dilakukan
pengumpulan dan pemeriksaan terhadap 200 sediaan darah tersangka rabies dan pengobatan
terhadap 1.700 orang yang digigit oleh hewan tersangka rabies. Sejak Pelita III sampai dengan
bulan Agustus tahun 1984, telah dikumpulkan dan diperiksa sebanyak 8.970 sediaan darah
tersangka rabies, dan diobati sebanyak 66.408 orang penderita gigitan hewan tersangka rabies.
Adapun dalam rangka pemberantasan penyakit pes, dalam tahun 1984/1985 sampai dengan
bulan Agustus 1984 telah diobati sebanyak 70 orang tersangka pes, sehingga sejak tahun
1979/1980 sampai dengan bulan Agustus tahun 1984 telah diobati sebanyak 1.424 orang
tersangka penderita pes. Pemberantasan penyakit demam keong (scbistosomiasis) dilakukan
melalui survai terhadap tikus, keong dan specimen tinja, sella pengobatan selektif terhadap
penderita di daerah endemis, yaitu di sekitar danau Lindu (Sulawesi Tengah). Selama Pelita III
telah dilaksanakan survai di 15 lokasi dan pengobatan terbatas terhadap 12.799 orang penderita.
Di samping itu dilakukan juga pemberantasan terhadap penyakit anthrax, yakni penyakit
menularyang bersumberdari binatang. Untuk itu dalam tahun 1984/1985 sampai dengan buIan
Agustus 1984 tdah dilakukan pengumpulan dan pemeriksaan terhadap 10 sediaan dan

Departemen Keuangan RI 281


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pengobatan terhadap 30 orang tersangka penderita anthrax. Pemberantasan penyakit tersebut


dilakukan di daerah endemis yaitu Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Timor Timur,
sehingga sejak Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dilakukan pengumpulan dan
pemeriksaan terhadap 361 sediaan dan pengobatan terhadap 844 orang penderita tersangka
anthrax.

Selain pemberantasan terhadap penyakit menular yang bersumber dari binatang, telah
dilakukan pula pemberantasan penyakit yang menular secara langsung. Dalam tahun 1984/1985
sampai dengan bulan Agustus 1984, pemberantasan terhadap TBC paru dilakukan melalui
pemeriksaan dahak dari 19.000 orang penduduk dan pengobatan kepada 2.000 orang penderita,
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan demikian sejak Pelita III sampai dengan
bulan Agustus 1984 telah. diadakan pemeriksaan dahak terhadap 1.255.846 orang tersangka
TBC, dan diobati sebanyak 141. 300 orang penderita, baik dengan streptomycin maupun
rifampisin. Jumlah penderita yang diobati tersebut belum termasuk penderita yang diobati oleh
BP4 (Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru) dan dirumah-rumah sakit. Untuk pemberantasan
penyakit frambosia juga te1ah dilakukan pemeriksaan terhadap sekitar 231.000
orangpendudukdan pengobatan terhadap 4.500 orang penderita, sehingga sejak Pelita III sampai
dengan bulan Agustus tahun 1984 telah diperiksa sebanyak 37.268.231 orang penduduk dan
diobati sebanyak 534.903 orang..penderita. Untuk pemberantasan penyakit ke1amin, dalam
tahun pertama Repe1ita IV sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dilakukan pemeriksaan
darah terhadap sekitar 20.500 orang, pemeriksaan gonorhoe terhadap 800 orang, dan
pengobatan terhadap 17.500 orang penderita. Secara keseluruhan, sejak Pe1ita III sampai
dengan bulan Agustus 1984 te1ah dilakukan pemeriksaan darah terhadap 916.940 orang,
pemeriksaan gonorhoe terhadap 271.079 orang, dan pengobatan terhadap 287.893 orang
penderita. Se1anjutnya untuk pemberantasan penyakit kusta yang mempunyai angka kesakitan
tinggi, antara lain di daerah Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya, dalam tahun 1984 te1ah diperiksa
sekitar 25 ribu anak sekolah, dan 24.900 orang kontak (orang yang mempunyai hubungan
dengan penderita). Dari hasil pemeriksaan tersebut, te1ah diobati secara teratur sebanyak
15.200 orang penderita, sehingga dengan demikian secara kese1uruhan sejak Pelita III sampai
dengan bulan Agustus tahun 1984 te1ah diperiksa sebanyak 20.608.702 anak sekolah dan
2.134.183 orang kontak, serta pengobatan terhadap 467.510 orang penderita. Dalam tahun yang
sarna juga te1ah dilakukan pemberantasan terhadap penyakit cacing tambang dan parasit
lainnya, melalui pemeriksaan sediaan darah dan sediaan tinja dari 105.153 orang, serta
pengobatan terhadap sekitar 5.200 orang penduduk. Dengan demikian sejak tahun 1979/1980

Departemen Keuangan RI 282


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sampai dengan bulan Agustus tahun 1984 telah dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan tinja
terhadap 105.153 orang, dan pengobatan terhadap 646.722 orang penduduk, Berkaitan dengan
pemberantasan penyakit kholera, te1ah dikembangkan 482 puskesmas menjadi pusat rehidrasi,
serta te1ah ditemukan dan diobati sebanyak 246.000 orang penderita diare dan 4.100 orang
penderita tersangka kholera. Sehubungan dengan itu, sejak awal Pelita III sampai dengan bulan
Agustus tahun 1984 te1ah dikembangkan sebanyak 811 puskesmas menjadi pusat rehidrasi,
serta telah diobati penderita diare dan kholera masing-masing sebanyak 4.006.583 orang dan
1.205.192 orang.

Dalam program pemberantasan penyakit menular te1ah dikembangkan pula berbagai


konsep pengembangan kesehatan, antara lain kegiatan imunisasi dan epidemiologi. Berkaitan
dengan kegiatan imunisasi, dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 te1ah
dilakukan vaksinasi BCG pertama kepada 299.000 anak, vaksinasi TT (tetanus toxoid) kepada
282.000 ibu hamil dan anak, vaksinasi DPT (deptherina pertusis tetanus) kepada 282.000 anak,
vaksinasi DT (depthelina tetanus) kepada 233.000 anak, vaksinasi polio kepada 97.000 anak,
serta vaksinasi pencegahan penyakit campak (morbili) kepada 57.000 anak. Dengan demikian
sejak Pelita III sampai dengan bulan Agustus tahun 1984 telah diberikan vaksinasi BCG
pertama kepada 5.298.918 anak, vaksinasi IT kepada 282.000 ibu hamil dan anak, vaksinasi
DPT kepada 6.32L529 anak, vaksinasi DT kepada 2.064.482, anak, vaksinasi polio kepada
1.103.652 anak serta vaksinasi pencegahan penyakit campak kepada sebanyak 470.612 anak.
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit menular termasuk penyebaran penyakit
dari satu tempat ke tempat lainnya, telah dilakukan peningkatan kesehatan terhadap pelabuhan
karantina haji, pengamanan kesehatan dalam perpindahan penduduk serta isolasi penderita
penyakit menular. Guna menunjang kegiatan tersebut, maka fasilitas sarana kerja dan
keterampilan petugasnya terus ditingkatkan. Dalam waktu yang sarna juga telah diadakan
persiapan pengamanan terhadap terjangkitnya penyakit menular di 10 lokasi transmigrasi baru,
terutama penyakit malaria. Dengan demikian selama Pelita III dan tahun 1984/1985 sampai
dengan bulan Agustus 1984, kegiatan tersebut secara keseluruhan telah mencakup 203 lokasi
transmigrasi baru, di samping telah dilakukan pengamatan kesehatan bagi seluruh jemaah haji.
Selain itu dalam tahun 1984 teiah dikembangkan pula isolasi penderita penyakit menular
terhadap 11 rumah sakit di beberapa daerah, yang selain ditujukan pada penyakit yang nyata-
nyata menimbulkan masalah, juga terhadap penyakit menular yang sewaktu-waktu dapat
menimbulkan masalah. Untuk itu dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984
telah dilaksanakail pengamatan (surveillance) penyakit menular melalui survai terhadap 500

Departemen Keuangan RI 283


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kejadian luar biasa (KLB), survai penyakit-penyakit tertentu di 255 rumah sakit, pengambilan
900 sampel, penyebaran data dalam bentuk bulletin epidemologi sebanyak 4.400 eksemplar,
serta pelaksanaan survai entomologis serangga penular penyakit pada 200 lokasi. Sejak Pelita
III dan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984, secara keseluruhan telah
dilaksanakan penyelidikan terhadap 21.520 KLB, survai beberapa penyakit menular di 2.418
rumah sakit, pengambilan 741.495 sampel, dan penyebaran data dalam bentuk bulletin
epidemiologi sebanyak 217.214 eksemplar.

Untuk menunjang penurunan angka kematian anak balita dan peningkatan kemampuan
masyarakat dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, terutama bagi golongan rawan
dan masyarakat yang berpenghasilan rendah baik di desa maupun di kota, telah dilaksanakan
usaha perbaikan gizi. Kegiatan ini diarahkan untuk melanjutkan dan meningkatkan status gizi
masyarakat, serta pencegahan dan penanggulangan masalah gizi khususnya terhadap penderita
kurang kalori protein (KKP), kurang vitamin A, anemia gizi besi serta gondok endemik melalui
peranserta aktif masyarakat. Pencegahan dan penanggulangan KKP terutama ditujukan pada
anak pra-sekolah, wan ita hamil, wanita menyusui serta penduduk di daerah rawan pangan dan
bencana alam. Untuk menurunkan jumlah anak yang menderita KKP, baik dalam tingkat ringan
maupun sedang, telah dilakukan peningkatan dan perluasan usaha perbaikan gizi keluarga
(UPGK). Sehubungan dengan usaha peningkatan pelayanan kesehatan bagi anak-anak penderita
gizi buruk, kaitan antara UPGK dengan puskesmas juga semakin ditingkatkan. Kegiatan UPGK
yang dilaksanakan secara terpadu di sektor kesehatan, pertanian, agama dan keluarga
berencana, serta swadaya masyarakat tersebut antara lain mencakup penimbangan anak balita,
penyuluhan gizi, pemberian paket pertolongan gizi, pemanfaatan tanaman pekarangan dan
pemberian makanan tambahan. Dalam tahun pertama Repelita IV selain dilanjutkan pembinaan
pada desa UPGK lama, juga te1ah dikembangkan UPGK pada 3.000 desa baru, sehingga sejak
tahun 1979/1980 sampai dengan bulan Agustus tahun 1984/1985 kegiatan tersebut te1ah
mencakup sebanyak 43.085 desa. Penanggulangan dan pencegahan kekurangan vitamin A pada
aDak balita dalam tahun 1984/1985 sampai dengan Agustus 1984, telah dilaksanakan khusus
untuk 15 propinsi rawan vitamin A yang desa-desanya belum terjangkau oleh UPGK melalui
pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi terhadap 1.550 orang anak balita. Dengan demikian
sejak Pelita III sampai dengan bulan Agustus tahun 1984 melalui kegiatan tersebut telah dicapai
sebanyak 15.017.061 orang anak balita. Se1anjutnya guna menanggulangi dan mencegah
gondok endemik, dalam waktu yang sarna telah dilakukan penyuntikan larutan radium dalam
minyak terhadap daerah endemik berat meliputi 1.663.000 orang, sehingga dengan demikian

Departemen Keuangan RI 284


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sejak Pelita III hingga bulan Agustus 1984 te1ah dilakukan penyuntikan terhadap 6.279.815
orang penduduk yang tinggal di daerah-daerah pegunungan. Sedangkan untuk menanggulangi
dan mencegah anemia gizi besi telah dilakukan pemberian pil zat besi, penyuluhan gizi dan
pemanfaatan tanaman pekarangan, yang pelaksanaannya diintegrasikan ke dalam UPGK,
sehingga me1alui paket tersebut se1ama Pelita III telah dicukupi kebutuhan zat besi terhadap
1.790.650 orang ibu hamil Adapun sistem kewaspadaan pangan dan gizi yang se1ama Pelita III
baru dilaksanakan di beberapa daerah pemanduan di 5 propinsi, dalam tahun 1984/1985 sampai
dengan bulan Agustus 1984 telah diperluas ke 2 propinsi baru yaitu Jawa Barat dan Jawa
Timur.

Salah satu syarat penting untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dalam
masyarakat adalah tersedianya air bersih yang cukup dan memenuhi syarat kesehatan, terutama
bagi penduduk yang berpenghasilan rendah baik di daerah pedesaan maupun di daerah
perkotaan. Untuk itu se1ain disediakan sarana dan teknologi sederhana, terus dilakukan pula
penyuluhan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
memelihara sarana air bersih, serta pengawasan kualitas air minum dan pencemaran
lingkungan. Adapun penentuan lokasi sarana air tersebut diprioritaskan pada daerah-daerah
yang sulit memperoleh air bersih dan daerah yang tinggi angka kesakitan terhadap penyakit
kholera dan penyakit perut lainnya. Sehubungan dengan itu, dalam tahun 1984/1985 sampai
dengan bulan Agustus 1984 te1ah dibangun berbagai jenis sarana air minum meliputi 3 buah
penampungan mata air dengan perpipaan (PP), 7 buah sumur artesis (SA), 16 buah sumur gali
(SGL), 1.277 buah sumur pompa tangan dangkal (SPT DK) dan 431 buah sumur pompa tangan
dalam (SPT DL). Selanjutnya dalam waktu yang sama telah dibangun pula saringan pasir
sederhana sebanyak 3 buah, sarana pengolahan Fe dan Mn sebanyak 7 buah dan kran umum
sebanyak 40 buah. Selain telah dibangun berbagai sarana fisik tersebut, dilakukan pula
pelaksanaan survai di 146 lokasi. Dengan demikian sejak Pelita III sarnpai dengan bulan
Agustus tahun 1984 telah dibangun sebanyak 628 buah PP, 250 buah SA, 13.741 buah SGL,
244.411 buah SPT DK dan 27.160 buah SPT DL. Sejalan dengan itu, telah dibangun pula
saringan posir sederhana, sarana pengolahan Fe dan Mn serta kran umum, masing-masing
sebanyak 3 buah, 26 buah dan 40 buah, dan juga dilakukan survai di 800 lokasi.

Untuk menciptakan lingkungan pemukiman yang sehat terutama bagi masyarakat kota
dan masyarakat desa yang berpenghasilan rendah, dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan
Agustus 1984 telah dilakukan pemeriksaan umum di 129lokasi, pembangunan multiple latrine
sebanyak 10 buah, peningkatan sanitasi perumahan dan lingkungan di 93 lokasi, pengamatan

Departemen Keuangan RI 285


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida di 1.660 lokasi, serta grading tempat
pembuatan dan penyimpanan makanan (TP2M) sebanyak 1.180 buah. Dengan demikian sejak
Pelita III sarnpai dengan bulan Agustus 1984 telah dilakukan pemeriksaan umum, peningkatan
sanitasi perumahan dan lingkungan, serta pengarnatan pencemaran lingkungan akibat
penggunaan pestisida, masing-masing di 77.271lokasi, 413 lokasi dan 1.660 lokasi, di samping
juga pembangunan multiple latrine dan grading TP2M, masing-masing sebanyak 428 buah dan
5.977 buah.

8.4.3. Pengadaan dan pengawasan obat, makanan dan minuman

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam tahun terakhir Pelita III di bidang


pengadaan dan pengawasan obat, makanan serta minuman pada dasarnya merupakan kelanjutan
dan peningkatan dari kegiatan yang dilakukan dalam tahun sebelumnya. Upaya ini meliputi
pengawasan dalam produksi, distribusi dan penggunaan obat, termasuk obat tradisional,
makanan dan minuman, kosmetika dan alat-alat kesehatan, serta pengawasan terhadap
penyalahgunaan narkotika dan bahan obat.berbahaya lainnya. Untuk menunjang kegiatan
tersebut telah ditetapkan daftar obat esensial (DOE) yang dipakai oleh semua unit kerja
kesehatan dalam pengadaan obat di sektor Pemerintah. Obat yang dihasilkan di sektor
Pemerintah besamya sekitar 5 persen dari seluruh obat yang beredar, sedangkan sisanya
merupakan produksi sektor swasta. Selanjutnya untuk memperlancar distribusi obat, dilakukan
penataan kembali pola distribusi obat, baik terhadap sektor Pemerintah maupun sektor swasta.
Sejalan dengan peningkatan produksi obat, selama Pelita III telah dibangun sebanyak 134 buah
gudang farmasi di seluruh kabupaten dan kotamadya, di sarnping juga telah tersedia sebanyak
283 buah pabrik farmasi. Adapun jumlah pedagang besar farmasi dan jumlah apotik masing-
masing telah mencapai 912 buah dan 1.717 buah. Dalam rangka pembinaan di bidang produksi
dan distribusi obat, dilakukan pengambilan 76.305 sample obat untuk seluruh propinsi dan
47.430 sample obat untuk tingkat pusat. Untuk melestarikan dan mengembangkan obat-obatan
tradisional, dilakukan pengawasan melalui pendaftaran, pemberian informasi dan penyuluhan,
serta evaluasi terhadap kegunaannya. Berkaitan dengan itu selama Pelita III telah terdaftar
sebanyak 2.3 88 buah produk obat tradisional dari 370 buah perusahaan. Selain itu telah pula
diterbitkan buku-buku dan pedoman penyuluhan yang bersifat teknis terutama mengenai jamu
gendong, pemanfaatan tanaman obat tradisional dan obat keluarga serta pertemuan-pertemuan
ilmiah dalam bentuk seminar dan lain-lain.

Selanjutnya untuk mendapatkan keposrian mengenai keamanan, khasiat, nilai gizi,

Departemen Keuangan RI 286


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kegunaan, standar mutu dan persyaratan lain yang telah ditetapkan, kegiatan pendaftaran obat,
makanan, alat kesehatan dan sebagainya semakin ditingkatkan. Berkaitan dengan itu selama
Pelita III telah terdaftar produksi obat dalam dan luar negeri masing-masing sebanyak 4.516
macam dan 48 macam, serta produksi makanan dalam dan luar negeri sebanyak 8.467 macam
dan 1.054 macam. Selain itu telah dilakukan pula pendaftaran terhadap produk kosmetika
dalam dan luar negeri sebanyak 3.195 macam dan 3.146 macam, serta alat-alat kesehatan
produksi dalam dan luar negeri masing-masing sebanyak 1.425 macam dan 2.256 macam.
Dalam hal narkotika dan obat-obatan berbahaya lainnya, pengawasannya dilakukan melalui
pengaturan izin impor bagi apotik atau badan usaha yang akan mengimpor dan
mengedarkannya, di samping melalui wajib daftar dan pemeriksaan laboratorium terhadap
sampel narkotika dan obat-obatan berbahaya lainnya yang telah beredar. Sementara itu untuk
mendukung kegiatan pengujian obat dan makanan, sampai dengan akhir Pelita III telah
dilakukan perluasan dan pembangunan gedung laboratorium pengujian obat dan makanan di 26
propinsi, yang terdiri dari laboratorium tipe B di 8 propinsi dan laboratorium tipe C di 18
propinsi. Sedangkan untuk menjamin keselamatan pemakaian obat, makanan dan lainnya,
selama Pelita III antara lain telah diterbitkan dan diundangkan peraturan tentang bahan
berbahaya, penandaan obat, kriteria obat jadi, serta kadaluwarsa makanan yang berasal dari
susu dan makanan-makanan bayi.

8.4.4. Keluarga berencana

Faktor penduduk merupakan salah satu modal dasar dan sekaligus sebagai faktor
dominan dalam pembangunan nasional. Namun demikian, agar pembangunan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan rakyat dapat terlaksana dengan cepat, maka perlu adanya pengaturan
pertumbuhan jumlah penduduk. Untuk itu sejak Pelita I sampai dengan Pelita III telah
dilaksanakan program keluarga berencana (KB) nasional, yang ditempuh atas dasar sukarela.
Sejalan dengan perkembangan waktu dan pertimbangan hasil-hasil yang telah dicapai selama
ini, tujuan secara kuantitatif demografis semakin dipercepat. Penurunan fertilitas sebesar 50
persen dari keadaan tahun 1971, yang semula direncanakan dapat dicapai dalam tahun 2000,
dipercepat untuk dapat dicapai dalam jangka waktu 10 tahun lebih awal yaitu dalam tahun
1990. Oleh karena itu dalam memasuki tahun kedua Repelita IV ini, usaha percepatan program
KB nasional ditempuh melalui pendekatan kemasyarakatan baik melalui jalur formal maupun
informal, dan mengarah kepada pengalihan tanggung jawab pengelolaan dari Pemerintah
kepada masyarakat. Selain itu guna melaksanakan norma keluarga kecil yang bahagia dan

Departemen Keuangan RI 287


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

sejahtera (NKKBS), juga telah diusahakan percepatan peningkatan kesejahteraan peserta KB


yang dilakukan melalui program lintas sektoral dan pembangunan daerah. Program KB yang
sebelumnya baru meliputi 16 propinsi, pada saat ini telah mampu menjangkau seluruh pelosok
tanah air Indonesia. Pelaksanaan program KB atas dasar hasil sensus penduduk Indonesia tahun
1980, penggarapannya dilakukan menurut pembagian wilayah yang didasarkan pada klasifikasi
propinsi sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah. Atas dasar penggarapan tersebut,
propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jumlah penduduknya banyak,
dijadikan sebagai propinsi penyangga utama. Kemudian propinsi Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur yang pasangan usia suburnya besar, dikategorikan sebagai propinsi
penyangga. Propinsi Aceh, Riau dan Kalimantan Barat yang mempunyai dampak politis
psikologis dinyatakan sebagai propinsi khusus. Propinsi Kalimantan Timur, Bengkulu,
Sulawesi Tengah, Jambi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Irian J aya dan Timor
Timur ditetapkan sebagai propinsi penerima transmigran. Sedangkan propinsi DI Yogyakarta,
Bali dan Sulawesi Utara ditetapkan sebagai pengembang program kependudukan. Dengan cara-
cara penggarapan yang taktis menurut spesifikasi propinsi tersebut, maka setiap propinsi mene-
ruskan cara-cara tersebut kepada daerah-daerah tingkat kabupaten/kotamadya yang strategis
potensial, dan dari kebupaten/kotamadya selanjutnya diteruskan pula ke tingkat kecamatan
yang potensial tanpa meninggalkan kecamatan lainnya.

Penggunaan alat kontrasepsi diarahkan pada alat kontrasepsi yang selain lebih murah
juga mempunyai clara lindung yang efektif, seperti spiral atau IUD. Untuk itu telah dilakukan
berbagai kegiatan program KB, antara lain Safari Spiral, Safari Catur Warga dan terakhir
dikenal pula Safari KB Senyum (sungguh enak dan nyaman untuk masyarakat) Terpadu.
Pelaksanaan program KB ini apabila dilihat dari dimensi perluasan jangkauan kuantitatifnya
yaitu jumlah peserta KB baru, telah memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Dalam
tahun terakhir Pelita III telah diperoleh peserta KB baru sebanyak 5,2 juta, sehingga jumlah
seluruhnya dari awal Pelita III sampai dengan bulan Juli 1984 telah mencapai sebanyak 18,4
juta peserta KB baru. Jika dalam tahun-tahun sebelumnya lebih dari 50 persen peserta KB baru
menggunakan kontrasepsi pil, pada akhir Pelita III dan awal Pelita IV telah menurun sampai di
bawah 50 persen. Di lain pihak, jumlah peserta KB baru yang menggunakan kontrasepsi IUD
memperlihatkan kecenderungan meningkat yaitu dari sekitar 16 persen dalam tahun 1980/1981
menjadi sekitar 27 persen pada akhir Pelita III dan awal Pelita IV. Demikian pula halnya
dengan peserta KB baru yang menggunakan metode suntikan telah meningkat dari sekitar 3

Departemen Keuangan RI 288


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

persen pada awal Pelita III menjadi sekitar 28 persen pada awal Pelita IV. Di samping terjadi
peningkatan dalam jumlah peserta KB baru, dari segi kualitas pun menunjukkan kenaikan, yaitu
sebagian besar peserta KB baru tersebut berumur di bawah 30 tahun dan berasal dari keluarga
petani. Hal ini berarti bahwa penggarapan program KB telah dapat diarahkan kepada sasaran
yang mempunyai potensi melahirkan yang tinggi, dan merupakan mayoritas daripada
masyarakat yang berasal dari kalangan berpenghasilan rendah. Perkembangan jumlah peserta
dan metode kontrasepsi yang digunakan dapat diikuti pada Tabel VIII.6.

Tabel VIII. 6
JUMLAH AKSEPTOR BARU Y Al'TG DICAPAI MENURUT METODE
KONTRASEPSI, 1969/1970 - 1984/1985 ( ribu orang)
Tahun Pil IUD Lain -lain Jumlah
1969/1970 14,6 29 9,5 53,1
1970/1971 79,8 76,4 24,9 181,1
1971/1972 281,8 212,7 24,9 519,4
1972/1973 607 380,3 91,6 1.078,90
1973/1974 857,7 293,2 218,2 1.369,10
1974/1975 1.087,80 187,2 317,9 1.592,90
1975/1976 1.330,30 252 384,3 1.966,60
1976/1977 1.481,70 400,2 330,9 2.212,80
1977/1978 1.593,90 366,5 286;1 2.246,50
1978/1979 1.524,50 405,7 285,7 2.215,90
1979/1980 1.550,90 398,2 280,5 2.229,70
1980/1981 2.120,80 496,8 433,5 3.051,10
1981/1982 1.908,60 596,8 461,4 2.966,80
1982/1983 2.055,20 892,4 937,6 3.885,20
1983/1984 2.316,20 1.424,50 1.505,40 5.246,10
1984/1985 1) 382,6 265,9 335 983,5
1) Angka sementara sampai dengan bulan Juli 1984

Keberhasilan pelaksanaan program KB nasior.al ini selain didukung oleh kegiatan para
petugas KB dan kesadaran masyarakat, ditunjang pula oleh penyediaan sarana pelayanan yang
memadai, baik berupa klinik KB maupun tenaga medis dan administrasinya. Sejalan dengan
meningkatnya kegiatan KB, jumlah klinik KB selama ini juga terus bertambah, sehingga
sampai dengan bulan Juli 1984 telah mencapai 7.220 buah klinik yang tersebar sampai ke
kecamatan-kecamatan dan desa-desa. Menurut statusnya, klinik tersebut terdiri dari 5.911 buah
klinik milik Departemen Kesehatan, 480 buah klinik milik ABRI, 246 buah klinik milik instansi
lainnya dan 583 buah klinik milik swasta. Selain melalui klinik KB, untuk menjangkau
pelayanan KB yang lebih luas kepada masyarakat dikembangkan juga kegiatan pelayanan KB
melalui till KB keliling. Di daerah perkotaan, pelayanan KB kepada masyarakat didukung oleh
meningkatnya partisiposi para dokter dan bidan praktek swasta, selain juga dari dukungan
pelayanan dan penanggulangan efek sampingan yang dilakukan di klinik dan di rumah sakit

Departemen Keuangan RI 289


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

yang menjadi pusat rujukan. Sedangkan untuk daerah pedesaan, pelayanan kegiatan KB ini
dilakukan melalui pembantu pembina keluarga berencana desa (PPKBD) dan sub-PPKBD.
Sedangkan jumlah tenaga medis yang mendukung pelayanan KB sampai dengan bulan Juni
1984 telah mencapai sebanyak 16.435 orang, yang terdiri dari 4.653 orang dokter, 6.584 orang
bidan dan 5.198 orang pembantu bidan. Adapun jumlah tenaga administrasi klinik dan petugas
lapangan masing-masing adalah sebanyak 4.722 orang dan 12.041 orang. Perkembangan KB
dan tenaga pendukungnya dapat diikuti pada Tabel VIII.7.

Tab el VIII. 7
JUMLAH KLINIK, PERSONALIA DAN PETUGAS LAPANGAN KELUARGA BERENCANA, 1969/1970 - 1984/1985
( dalam jumlah orang, kecuali untuk klinik KB dalam satuan )
Tenaga
Tahun Jumlah Dokter Bidan Pembantu administtasi Petugas
klinik bidan klinik lapangao
1969/1970 727 421 855 75 - 1) - 2)
1970/1971 1.465 556 1.678 580 322 - 2)
1971/1972 1.861 791 1.758 605 1.275 1.930
1972/1973 2.137 883 1. 776 1.143 1.646 3.774
1973/1974 2.235 1.186 2.241 1.959 1.970 q.9Q.9
1974/1975 3.018 1.956 3.421 2.657 2.609 6.639
1975/1976 3.343 2.316 3.919 3.098 2.995 6.578
1976/1977 3.620 2.569 4.213 3.349 3.232 6.445
1977/1978 3.791 2.750 4.436 3.532 3.392 6.682
1978/1979 4.134 2.882 4.568 3.715 3.504 6.999
1979/1980 5.118 3.594 5.476 4.319 3.927 7.000
1980/1981 5.609 3.808 5.707 4525 4.096 7.000
1981/1982 6.129 3.975 5.974 4.661 4.242 9.964
1982/1983 6.586 4.303 6.239 4.920 3) 4.478 11.425
1983/1984 7.064 4.601 6.544 5.141 4.667 12.041
1984/19854) 7.220 4.653 6.584 5.198 4.722 12.041

1) Pekerjaan administrasi dirangkap pembantu bidan


2) Belum ada tenaga PLKB (Petugas Lapangan KB )
3) Angka diperbaiki
4) Angka sementara sid bulanJuli 1984

Sejalan dengan perluasan jangkauan program KB, pembinaannya pun menunjukkan


kemajuan. Hal ini dapat diukur melalui indikator kuantitatif, baik terhadap peserta KB aktif
maupun peserta KB yang diaktifkan kembali setelah beristirahat menggunakan kontrasepsinya.
Sampai dengan bulan Juli 1984, jumlah peserta KB yang telah dibina mencapai 14,1 juta
peserta KB aktif atau sebesar 57,1 persen dari seluruh posangan usia subur, dan yang tetap setia
menggunakan kontrasepsi secara berlanjut. Adapun menurut metode kontrasepsi yang dipakai,
54,8 persen dari peserta KB aktif tersebut memakai kontrasepsi pil, 28,3 persen memakai IUD,
9,3 persen memakai suntikan dan sisanya memakai alat kontrasepsi lainnya. Peningkatan
jumlah peserta KB aktif telah diikuti pula dengan peningkatan usaha pembinaan melalui
program integrasi gizi, yang dilakukan sampai ke desa-desa di seluruh wilayah Indonesia.

Departemen Keuangan RI 290


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Selain itu, dengan mengikuti program KB, maka peranan dan status wan ita akan lebih potensial
baik sosial maupun ekonomis. Maka dari itu dikembangkan suatu usaha bersama dalam
program peningkatan pendapatan yang dilakukan melalui kelompok-kelompok peserta KB.

Apabila dilihat dari dimensi pelembagaan/pembudayaan, keberhasilan program KB


ditandai dengan makin berkembangnya partisiposi, baik dari masyarakat maupun instansi
Pemerintah yang semula belum turut menjadi pelaksana, dan pengelola program KB. Selain itu
keterlibatan perusahaan-perusahaan untuk memberikan dukungan yang positif terhadap
pelaksanaan program KB bagi buruh dan karyawannya juga semakin meningkat. Proses
pelembagaan di dalam masyarakat ditandai dengan terus meningkatnya lembaga-Iembaga
masyarakat seperti PPKBD, Sub PPKBD atau paguyuban-paguyuban akseptor. Sampai dengan
bulan Agustus 1984, jumlah PPKBD dan paguyuban telah mencapai 184.191 buah. Melalui
lembaga masyarakat ini selain dilakukan kegiatan pemberian kontrasepsi, telah pula
dilaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang berada dalam naungan program-program kepen-
dudukan yang sifatnya mendukung program kependudukan dan keluarga berencana (KKB).
Kegiatan-kegiatan ini antara lain mencakup peningkatan gizi keluarga, yang salah satu
kegiatannya adalah berupa penimbangan terhadap anak berumur di bawah lima tahun (balita),
dan penyuluhan makanan sehat. Program gizi yang dilakukan melalui jalur program KKB ini
dalam tahun 1984 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah mencakup 27.022 desa yang
tersebar di seluruh wilayah tanah air dan telah memiliki 63.731 buah pos penimbangan balita.
Di samping itu telah dilakukan pula program peningkatan pendapatan keluarga yang pada saat
ini telah dilaksanakan di 8.138 kelompok akseptor KB, serta pemberian bib it kelapa hybrida
kepada 500 ribu peserta KB lestari. Sementara itu dalam rangka program peningkatan usia
perkawinan dan program pendidikan kependudukan, telah dilakukan pendekatan kepada para
pemuda, pelajar dan mahasiswa. Sedangkan untuk lebih memberikan dukungan psikologis bagi
peserta KB, telah dilakukan pemberian piagam penghargaan bagi peserta KB lestari 5 tahun, 10
tahun dan 16 tahun serta kepada lembaga masyarakat pengelola program KB di tingkat
pedesaan.

8.5. Kesejahteraan sosial

Pembangunan di bidang kesejahteraan sosial merupakan bagian yang tak terpisahkan


dari pembangunan nasional, dan pelaksanaannya dilakukan searah, saling menunjang dan saling
mengisi dengan bidang-bidang pembangunan lainnya. Setiap tahap pembangunan di bidang
kesejahteraan sosial diarahkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat'

Departemen Keuangan RI 291


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

secara adil dan merata, terutama bagi para penyandang permasalahan sosial. Sejak tahun
pertama Repelita IV, pembangunan di bidang kesejahteraan sosial di samping diarahkan pada
kelanjutan perbaikan dan perluasan segala kegiatan yang berfungsi pelayanan, juga lebih
diutamakan pada kegiatan yang berfungsi pencegahan dan pengembangan. Sehubungan dengan
itu, partisipasi sosial masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial semakin
dikembangkan.

8.5.1. Pembinaan kesejahteraan sosial

Pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial dilakukan melalui berbagai


program pembinaan, salah satu daripadanya adalah pembinaan generasi muda yang kegiatannya
meliputi pembinaan Karang Taruna. Melalui wadah ini telah dilakukan pembinaan terhadap
remaja, yang tujuannya untuk memberikan bimbingan agar dapat menyadari peranan dan
tanggung jawabnya dalam menyongsong hari depan. Selain itu para remaja juga dibimbing
dalam berbagai kegiatan yang meliputi keterampilan ekonomis produktif, penyuluhan dan
bimbingan sosial. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai penanaman rasa tanggung jawab sosial
yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan rasa kebersamaan masyarakat dalam
kesetiakawanan sosial, yang pada gilirannya akan mampu mengatasi atau menanggulangi
berbagai permasalahan sosial di kalangan pemuda dan masyarakat. Melalui wadah Karang
Taruna dimaksudkan pula untuk terwujudnya penghayatan dan pengamalan Pancasiladi
kalangan remaja, agar dapat mencegah dan membatasi timbulnya masalah kenakalan atau
kelainan tingkah laku remaja. Untuk menunjang kegiatan-kegiatan terse but, telah dilakukan
pembinaan dalam bidang kepemimpinan sosial, pembinaan jasmani dan rohani serta kegiatan
yang bersifat rekreatif. Dalam hubungan ini, sampai dengan bulan Oktober 1984 telah berhasil
dibina sebanyak 13.450 karang taruna dan 14.800 remaja.

Program lainnya adalah pembinaan kesejahteraan sosial, yang bertujuan memberikan


bimbingan kepada para keluarga yang kondisi sosial dan ekonominya berada di batas rawan,
yang bertempat tinggal di daerah minus, serta yang tinggal di daerah perkotaan yang padat dan
miskin. Kegiatan ini meliputi bimbingan dan penyuluhan sosial, latihan usaha swadaya sosial
masyarakat, pemberian bantuan stimulan berupa modal dan bahan usaha produktif, serta
pengadaan pusat-pusat latihan kerja sebagai tempat kegiatan kerja produktif. Dengan bantuan
ini diharapkan dapat tumbuh dan berkembang kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial,
sehingga pada gilirannya mereka akan mampu berusaha secara swaclara, swakarsa dan
swasembada dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya semaksimal mungkin. Sejak awal

Departemen Keuangan RI 292


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Pelita III sampai dengan akhir 1983/1984, melalui stimulan sarana produksi telah berhasil
dibina dan ditingkatkan taraf hidup para keluarga yang berpenghasilan rendah sebanyak
242.709 keluarga bina swadaya. Di samping itu dalam waktu yang sama te1ah diberikan pula
7.908 unit stimulan dana kesejahteraan sosial yang te1ah melibatkan 79.080 kepala keluarga
(KK).

Se1ain bimbingan dan pengembangan kesejahteraan masyarakat, dalam waktu yang


sarna juga te1ah diadakan pembinaan swadaya masyarakat di bidang perumahan dan
lingkungan. Kegiatan ini antara lain meliputi penye1enggaraan latihan bagi ke1uarga miskin di
bidang pembangunan perumahan secara gotong royong dengan semaksimal mungkin meng-
gunakan potensi manusia dan alam yang ada. Selain itu juga berupa penanaman pengetahuan
dan keterampilan dalam memelihara, pengembangan peranserta fungsi lingkungan bagi
kesejahteraan sosial masyarakat, penggalakan penghijauan, pengaturan saluran air, pe1estarian
sumber-sumber alam lainnya, serta pemberian stimulan bahan bangunan bukan lokal dan
peralatan kerja. Sampai dengan akhir tahun 1983/1984, telah dapat dibina me1alui stimulan
bahan bukan lokal sebanyak 24.399 KK, me1alui stimulan perbaikan lingkungan sebanyak 716
unit yang me1ibatkan 7.160 KK, serta melalui stimulan peralatan bangunan lokal sebanyak 697
unit yang me1ibatkan 6.970 KK. Dalam tahun 1984/1985 sarnpai dengan bulan Oktober 1984,
telah berhasil dilakukan pembinaan me1alui potensi kesejahteraan sosial terhadap sebanyak
28.114 orang. Sedangkan dalam rangka pembinaan swadaya masyarakat di bidang perumahan
dan lingkungan, melalui stimulan bahan bukan lokal sebanyak 18 unit telah berhasil dibina
6.384 perumahan warga binaan yang meliputi 17 desa.

Usaha peningkatan peranan dan fungsi wanita ditujukan untuk mengembangkan


kesejahteraan sosial wanita, khususnya dalam pemantapan kemampuan dan keterarnpilan, agar
dapat berperan serta dalam proses pembangunan tanpa mengurangi peranannya dalam
pembinaan keluarga sejahtera. Usaha-usaha tersebut terutarna diarahkan pada wanita yang
kondisi kehidupannya tergolong miskin, khususnya yang bertempat tinggal di daerah pedesaan.
Sarnpai dengan tahun 1983/1984 telah berhasil dibina 35.935 Dalam bina swadaya, dan 5.160
wanita dalam kepemimpinan. Dalam tahun 1984/1985 sarnpai dengan bulan Oktober 1984,
telah berhasil dibina sebanyak 1.567 wanita dalam bina swadaya.

Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pembinaan kesejahteraan masyarakat berasing


ditujukan pada peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat yang hidup terpencil, terbelakang
dan berpindah-pindah. Kegiatan tersebut berupa pembinaan dan bimbingan agar mereka
memiliki kern au an dan kemarnpuan untuk mengembangkan kondisi sosial dan budayanya ke

Departemen Keuangan RI 293


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

arah kehidupan sosial yang selaras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu
diberikan pula bimbingan mental, sosial dan berbagai keterampilan dalam bidang-bidang usaha
kesejahteraan sosial. Sarana lain untuk membina masyarakat berasing adalah melalui
pemukiman di suatu lokasi yang terletak pada jalur komunikasi dan ekonomi, yang dilengkapi
dengan sarana umum seperti tempat ibadah, balai sosial dan sekolah sederhana. Sejalan dengan
itu, kepada setiap keluarga diberikan bantuan rumah sederhana, dan tanah seluas 2 hektar
sehingga diharapkan taraf hidup mereka akan dapat lebih ditingkatkan. Sampai dengan akhir
bulan Oktober 1984 melalui kegiatan ini telah dapat dibina sebanyak 13.449 KK.

Dalarn rangka mcngembangkan, menyebarluaskan dan melembagakan partisiposi


sosial masyarakat dalam pembangunan di bidang kesejahteraan sosial, telah dilakukan
peningkatan mutu dan kemarnpuan operasional organisasi sosial, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum. Untuk itu kepada para pengurus dan anggota organ isasi
sosial diberikan latihan keterampilan dalam bidang manajemen dan prinsip-prinsip tehnik
pendekatan sosial menurut bidang sasaran organisasi sosial. Sampai dengan akhir tahun
1983/1984, melalui kegiatan ini telah dapat dibina sebanyak 14.115 orang. Dalam tahun
1984/1985 sarnpai dengan bulan Oktober 1984, telah dapat dibina sebanyak 164 organisasi
sosial. Sedangkan untuk menunjang kelancaran kegiatan di bidang kesejahteraan sosial, telah
dibentuk tenaga kesejahteraan sosial sukarela (TKSS), yang terdiri atas para tokoh masyarakat
dari berbagai profesi. Kegiatan ini dilakukan melalui pendekatan dan bimbingan sosial, serta
latihan keterampilan dalam penanganan dan penanggulangan permasalahan sosial dalam
masyarakat, yang sampai dengan akhir tahun 1983/1984 telah mencapai 5.490 orang.
Sedangkan dalam rangka memantapkan keserasian dan kesetiakawanan masyarakat dalam
mengatasi berbagai masalah, dalam waktu yang sarna telah dibina pula sebanyak 8.350 orang
kader keserasian sosial. Kemudian untuk tercapainya hasil-hasil pembangunan kesejahteraan
sosial secara luas dan merata, melalui latihan dan praktek lapangan di bidang kesejahteraan
sosial te1ah dibina pekerja sosial masyarakat (PSM). Tenaga yang dipilih dari anggota
masyarakat setempat, ditugaskan sebagai penggerak dan pelaksana dari peningkatan
kesejahteraan sosial di lingkungan tempat tinggalnya, yang sekaligus sebagai pendorong
kegiatan yang semakin meluas secara swadaya di kalangan masyarakat. Melalui kegiatan ini
sarnpai dengan bulan Oktober 1984, telah berhasil dibina 70.088 orang PSM yang tersebar di
seluruh propinsi. Dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Oktober 1984, telah diadakan
penyuluhan sosial terhadap 5.347 orang. Sementara itu telah dilakukan pula pembinaan
terhadap keluarga dan remaja yang mengalami permasalahan sosial psikologis, sehingga

Departemen Keuangan RI 294


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

melalui kegiatan ini sampai dengan akhir tahun 1983/1984 telah dibina sebanyak 8.833 KK dan
14.822 remaja putus sekolah.

8.5.2. Bantuan dan penyantunan sosial

Dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesejahteraan sosial bagi para


penyandang masalah kesejahteraan sosial, telah dilakukan berbagai kegiatan yang bertujuan
agar mereka mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri, tidak menggantungkan pada
bantuan orang lain dan dapat ikut serta dalam proses pembangunan. Terhadap anak terlantar,
yang meliputi anak-anak yatim piatu terlantar, anak-anak putus sekolah dan anak-anak dari
keluarga miskin yang terhambat perkembangan sosialnya, telah diberikan bantuan dan
penyantunan, baik melalui sistem paoli maupun sistem luar panti. Selama Pelita III, melalui
sistem rami telah dapat dibina sebanyak 15.222 anak, sedangkan melalui sistem luar panti
sebanyak 221.220 anak. Dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Oktober 1984, telah
diberikan bantuan penyantunan dan pengentasan sosial terhadap 4.873 anak. Selain kepada
anak terlantar, telah dilakukan pula pemberian bantuan dan penyantunan kepada para
penyandang cacat, baik melalui sistem panti maupun sistem luar panti. Sampai dengan Pelita
III, melalui sistem panti dan luar panti telah berhasil dibina masing-masing sebanyak 29.010
orang dan 105.900 orang, sedangkan melalui Loka Bina Karya (LBK) telah dibina sebanyak
300 orang. Dalam tahun. 1984/1985 sampai dengan bulan Oktober 1984, telah diberikan
bantuan penyantunan dan pengentasan so sial terhadap 2.597 orang cacat.

Untuk memulihkan kembali rasa harga diri, serta membangkitkan minat dan kecintaan
bekerja bagi para gelandangan dan pengemis, kepada mereka telah diberikan bimbingan sosial,
mental dan agama. Selain itu kepada mereka diberikan pula keterampilan yang bersifat
ekonomis produktif, sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing. Setelah
mendapatkan bimbingan dan keterampilan tersebut, para gelandangan dan pengemis itu
disalurkan melalui kegiatan transmigrasi sosial, pemukiman lokal, pola swakarya dan pola
pondok so sial. Sampai dengan akhir 1983/1984, melalui kegiatan ini telah dapat dibina
sebanyak 13.745 KK, yaitu melalui swakarya sebanyak 4.835 KK, melalui transmigrasi sosial
sebanyak 5.765 KK, melalui pemukiman lokal sebanyak 2.545 KK serta melalui pondok sosial
sebanyak 600 KK. Sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Oktober 1984,
telah diberikan bantuan penyantunan dan pengentasan kepada 561 orang dan 41 KK fakir
miskin.

Departemen Keuangan RI 295


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Selanjutnya untuk menanggulangi kehidupan yang sesat dari kelompok wanita


tunasusila (WTS), telah dilakukan usaha rehabilitasi, baik melalui sistem panti maupun sistem
luar paoli. Dalam kegiatan ini kepada WTS tersebut diberikan pendidikan budi pekerti dan
berbagai keterampilan agar dalam kehidupan bermasyarakat kelak mereka dapat berdiri sendiri
dengan menjunjung harga dirinya. Sampai dengan akhir tahun 1983/1984, telah berhasil dibina
sebanyak 6.610 orang, dengan perincian melalui sistem panti sebanyak 3.600 orang dan melalui
sistem luar panti sebanyak 3.010 orang. Selain usaha rehabilitasi para WTS, telah dilakukan
pula rehabilitasi bagi para bekas tahanan. Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan melalui LBK
bertujuan agar setelah mereka dianggap mampu untuk terjun ke dalam masyarakat, selanjutnya
dapat disalurkan ke pasaran kerja sesuai dengan bakat dan jenis keterampilannya. Sampai
dengan akhir tahun 1983/1984, melalui kegiatan ini telah berhasil dibina sebanyak 1.757 bekas
narapidana. Dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Oktober 1984, telah diberikan
penyantunan dan pengentasan kepada 1.177 orang tuna sosial. Selanjutnya telah dilakukan pula
usaha rehabilitasi bagi para remaja yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, yang
pelaksanaannya dilakukan melalui sistem panti dan luar panti. Untuk itu telah dibangun panti
rehabilitasi sosial korban narkotika di Jakarla, Surabaya dan Medan, sedangkan untuk
rehabilitasi anak nakal telah dibangun panti rehabilitasi di Jakarta, Palembang dan Semarang.
Melalui panti-panti tersebut, sampai dengan Oktober tahun 1984 telah berhasil dibina sebanyak
4.411 anak korban narkotika dan anak nakal. Dalam hal pemberian bantuan dan penyantunan
bagi para lanjut usia/jompo yang terlantar atau kurang terurus, telah dilaksanakan pembangunan
panti baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten. Melalui panti tersebut diberikan
pembinaan dan pengembangan yang bersifat spiritual, kemasyarakatan dan rekreasi, serta
kegiatan yang produktif bagi yang masih potensial. Sampai dengan akhir Pelita III, guna
melayani sebanyak 430 orang lanjut usia, telah dibangun 43 buah wisma, yang terdiri dari 11
wisma tingkat propinsi, dan 32 wisma tingkat kabupaten. Selain itu telah dilakukan pula
pembinaan terhadap para lanjut usia/jompo melalui sistem luar panti dan Sasana Tresna
Wredha, masing-masing sebanyak 242.350 orang dan 2.720 orang. Sedangkan dalam tahun
1984/1985 sarnpai dengan bulan Oktober 1984, telah diberikan penyantunan dan pembinaan
terhadap 4.765 orang lanjut usia.

Untuk menimbulkan kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap arti


dan nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan para pahlawan dan perintis kemerdekaan, telah
dilakukan penyebarluasan gambar-garnbar dan buku-buku sejarah serta penulisan autobiografi
para pahlawan dan perintis kemerdekaan. Di samping itu untuk maksud yang sama telah

Departemen Keuangan RI 296


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dilakukan pemeliharaan dan pemugaran makarn perintis kemerdekaan, makam pahlawan dan
taman makam pahlawan (TMP), serta pembangunan monumen kepahlawanan. Selama Pelita III
telah dibangun dan dipugar sebanyak 157 buah TMP dan 9 buah makam pahlawan nasional
serta penulisan buku perjuangan sebanyak 10.000 eksemplar. Selain itu juga telah diberikan
bantuan dan penyantunan perintis/pejuang kemerdekaan, antara lain berupa bantuan usaha
produktif kepada 1.165 orang, bantuan perbaikan rumah kepada 165 orang, dan bantuan
pemugaran makam sebanyak 280 buah. Sampai kini jumlah perintis/pejuang kemerdekaan yang
masih hidup dan yang jandanya telah mendapat pengakuan, masing-masing adalah sebanyak
2.525 orang dan 4.292 orang.

Usaha yang berkaitan dengan pemberian bantuan dan penyantunan kepada para korban
bencana alam pada dasarnya bersifat darurat, dan merupakan rehabilitasi agar kondisi sosial
ekonomi para korban dapat menjadi lebih baik. Kegiatan ini antara lain dilakukan melalui
pengadaan panti persinggahan pada daerah-daerah rawan bencana, seperti propinsi Aceh, Riau,
Sulawesi Utara, Maluku dan Bali, di samping juga dilaksanakan melalui pemberian bantuan
berupa beras, obat-obatan dan pakaian. Bersamaan dengan itu diusahakan pula peningkatan
tarat hidup melalui bimbingan, motivasi dan berbagai .macam latihan keterampilan yang
ekonomis produktif. Selain itu melalui pemukiman lokal dan transmigrasi sosial, para korban
telah dipindahkan pula ke temp at lain. Sejak awal Pelita III sampai dengan bulan Oktober
1984, telah dilakukan rehabilitasi sosial korban bencana alam sebanyak 35.606 KK. Sedangkan
selama Pelita III telah dilakukan pemberian bantuan bahan bangunan rumah kepada 2.075 KK,
latihan pembimbing dan petugas lapangan sebanyak 540 orang, serta penyediaan panti
persinggahan sebanyak 28 buah. Adapun jumlah para korban bencana alam yang
ditransmigrasikan ke luar pulau Jawa dan Bali mencapai 3.840 KK dan yang ditempatkan pada
pemukiman lokal di luar pulau Jawa dan Bali adalah sebanyak 3.388 KK.

8.6. Hukum dan perundang-undangan

8.6.1. Pembinaan dan pembaharuan hukum

Pembinaan hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembangunan
yang tengah berlangsung. Sehubungan dengan itu, kebijaksanaan pokok dalam pembangunan
dan pembinaan hukum diarahkan agar hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan
tingkat dan perkembangan pembangunan di berbagai bidang. Dengan demikian dapat
diciptakan ketertiban dan kepostian hukum yang pada gilirannya dapat memperlancar

Departemen Keuangan RI 297


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pembangunan. Untuk itu telah dilaksanakan pembaharuan dan pembentukan perangkat hukum
nasional. Dalam tahun 1983/1984 telah dihasilkan 7 buah undang-undang, yang terdiri dari
Undang-Undang tentang Tambahan dan Perubahan Atas Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 1982/1983, Undang-Undang tentang Perhitungan Anggaran Negara
Tahun 1979/1980, Undang-Undang ten tang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Un dang-Un
dang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan, Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, serta Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun 1984/1985. Sementara itu dalam waktu yang sarna juga telah disahkan sebanyak 44 buah
peraturan Pemerintah, antara lain Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Pajak Penghasilan 1984, Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai 1984, Pendaftaran, Pemberian
Nomor Wajib Pajak, Penyampaian Surat Pemberitahuan, dan Persyaratan Pengajuan Keberatan,
serta Peraturan Pemerintah tentang Pajak Atas Bunga Deposito Berjangka dan Tabungan-
tabungan lainnya. Selain itu juga telah dihasilkan Peraturan Pemerintah ten tang Dewan Pers,
Pelaksanaan KUHP, Asuransi Sosial Tenaga Kerja, Badan Administrasi Kepegawaian Negara,
Pemberian Tunjangan Perbaikan Penghasilan Pensiun Bagi Penerima Pensiun/Tunjangan Yang
Bersifat Pensiun, serta Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Masyarakat. Sementara itu
telah pula dihasilkan sejumlah Keputusan Presiden antara lain Keppres tentang Rencana
pembangilnan Lima Tahun Keempat (Repelita IV) tahun 1984/1985-1988/1989, Jam Krida
Olah Raga, Penangguhan Pajak Penghasilan Atas Bunga Pinjaman Yang Diterima Pemerintah
Dalam Rangka Pinjaman Luar Negeri, Daftar Skala Prioritas Bidang Usaha Penanaman Modal
Tahun 1983/ 1984, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Koordinasi Usaha
Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat, Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan
Pengemis, serta Keppres ten tang Dewan Standardisasi Nasional. Sedangkan yang berupa
Instruksi Presiden, antara lain Inpres tentang Pelaksanaan Penjadwalan Kembali Proyek-proyek
di lingkungan Departemen Pertambangan dan Energi, Penjadwalan Kembali Proyek-proyek
Pembangunan yang Pembiayaannya Menggunakan Devisa Negara atau Kredit Komersial Luar
Negeri, serta Inpres tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Selanjutnya dalam tahun
1983/1984 telah dibahas pula sejumlah rancangan undang-undang, antara lain meliputi
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Pidana, Perbendaharaan Negara, Grasi,
Hukum Perdata Internasional, serta RUU tentang Pelimpahan Teknologi.

Dalam rangka menunjang perancangan perundang-undangan, telah dilakukan


kerjasama antara berbagai instansi yang ada hubungannya dengan bidang hukum. Kerjasama ini

Departemen Keuangan RI 298


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

berbentuk kegiatan ilmiah, antara lain berupa penelitian hukum, pertemuan ilmiah dalam
bentuk lokakarya, seminar dan simposium serta penulisan karya ilmiah dalam berbagai bidang
hukum. Sehubungan dengan itu, dalam tahun 1983/1984 telah dilaksanakan berbagai penelitian
antara lain atas pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (KUHAP), aspek
hukum perlindungan berkenaan dengan perluasan lokasi industri, masalah yang timbul
sehubungan dengan pelaksanaan RUU Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, perlindungan
hukum terhadap konsumen jasa angkutan, aspek hukum dalam praktek pertanggungan
perbankan umuk usaha pemborongan bangunan, serta kejahatan akibat teknologi modem.
Sedangkan pertemuan ilmiah yang diselenggarakan antara lain meliputi evaluasi terhadap
pembangunan hukum Pelita III menjelang Pelita IV, harmonisasi hukum di negaranegara
ASEAN, penanggulangan kejahatan dan pembinaan narapidana, serta hukum kedokreran. Di
samping itu dalam waktu yang sarna juga telah dihasilkan penulisan karya ilmiah dengan judul
Perlindungan hak-hak azasi manusia dalam KUHAP serta Politik hukum baru mengenai
kedudukan dan Peranan hukum adat dan hukum Islam dalam pembinaan hukum.

8.6.2. Penegakan hukum

Kegiatan yang dilakukan dalam penegakan hukum pada dasarnya diarahkan untuk
meningkatkan ketertiban dan kepostian hukum dalam masyarakat. Untuk itu telah dilakukan
pemantapan kedudukan dan wewenang badan-badan penegakan hukum, pemantapan sikap,
perilaku dan kemampuan para penegak hukum, peningkatan operasi yustisi untuk pengamanan
hasil-hasil dan pelaksanaan pembangunan yang sedang berjalan, serta penyempurnaan
koordinasi dan kerjasama fungsional, baik antarsesama aparatur penegak hukum maupun
dengan instansi-instansi lain. Selanjutnya untuk menunjang peningkatan dan penyempurnaan
penegakan hukum, khususnya dalam' pembinaan peradilan, terus diusahakan agar proses
peradilan lebih sederhana, cepat, jujur dan dengan biaya yang terjangkau oleh pencari keadilan
dalam berbagai lapisan masyarakat. Dalam hubungan ini, dalam tahun 1983/1984 telah
dibentuk 7 pengadilan negeri yang terletak di Garut, Pacitan, Kotacane, Sungai Liat, Putusibau,
Gorontalo dan Watampone. Dengan demikian sampai dengan bulan Agustus tahun 1984/1985
telah dibangun 291 pengadilan negeri yang tersebar di hampir setiap kabupaten/kotamadya, dan
26 pengadilan tinggi yang terdapat pacta setiap propinsi kecuali Propinsi Timor Timur. Selain
itu guna meningkatkan pemerataan kesempatan dalam memperoleh keadilan, di daerah-daerah
yang wilayah pengadilan negerinya sangat luas dan sulit komunikasinya, telah diadakan tempat-
tempat sidang pengadilan sehingga pelaksanaan tugas hakim keliling dapat berjalan lancar, di

Departemen Keuangan RI 299


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

samping telah dipercepatnya proses penyelesaian perkara di temp at kasus/sengketa. Sementara


itu dalam waktu yang sarna juga telah diadakan pembinaan personal peradilan, yang
dilaksanakan dengan pemutasian hakim, baik secara regional maupun nasional. Sampai dengan
bulan Agustus tahun 1984/1985 jumlah hakim telah mencapai 2.238 orang.

Dalam rangka menunjang pembinaan peradilan, telah dilakukan peningkatan dalam


penyediaan prasarana dan sarana hukum. Sehubungan dengan itu, dalam tahun 1983/1984 telah
dibangun 7 gedung pengadilan negeri, 45 tempat sidang dan 11 gedung kejaksaan negeri/tinggi.
Di samping itu juga telah dilakukan rehabilitasi dan perluasan/penyempurnaan 19 gedung
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, serta 79 gedung kejaksaan negeri/tinggi. Dengan
demikian, sampai dengan tahun terakhir Pelita III telah dilakukan pembangunan 127 gedung
baru pengadilan negeri, 12 gedung baru pengadilan tinggi dan 373 buah tempat sidang, serta
rehabilitasi/penyempurnaan/perluasan 160 gedung pengadilan negeri daD gedung pengadilan
tinggi serta 244 gedung kejaksaan tinggi/negeri. Di samping itu, untuk menunjang pembinaan
dan pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum, telah disediakan pula sebanyak 111 kendaraan
yang terdiri atas berbagai jenis. Guna meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat, telah
dilaksanakan pula berbagai kegiatan penyuluhan hukum. Kegiatan tersebut dalam tahun
1983/1984 telah dilakukan di 2.915 desa, berupa penerangan tentang fungsi dan tugas
pengadilan, antara lain melalui brosur-brosur yang disebarluaskan ke daerah-daerah,
penyuluhan pacta masyarakat dalam bentuk ceramah, wawancara di TVRI/RRI, radio swasta
serta tempat- tempat umum dan publikasi media cetak lainnya. Sedangkan penyuluhan hukum
yang dilaksanakan melalui program jaksa masuk desa, sampai dengan bulan Agustus tahun
1984/1985 telah menjangkau 9.527 desa.

Dalam rangka peningkatan pemerataan kesempatan untuk memperoleh keadilan bagi


masyarakat, terutama bagi golongan yang kurang atau tidak mampu, terus dilakukan pemberian
bantuan hukum. Sehubungan dengan itu, dalam tahun 1983/1984 telah diberikan bantuan
hukum terhadap 4.496 perkara, sehingga sampai dengan akhir Pelita III telah diberikan bantuan
hukum bagi pencari keadilan yang kurang mampu sebanyak 17.858 kasus pidana, yang tersebar
di 26 pengadilan tinggi. Di samping itu, sejak tahun 1981/1982 telah dilakukan pula
konsultasilbantuan hukum melalui 24 fakultas hukum negeri yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kegiatan tersebut sampai dengan tahun 1983/1984 telah meliputi sebanyak 45.440 kasus
konsultasi hukum dan 2.450 perkara bantuan hukum, baik yang bersifat pidana maupun perdata.

Sementara itu guna meningkatkan pelaksanaan penegakan hukum, telah ditingkatkan


juga penyelesaian perkara. Dalam tahun 1983/1984, dari 766.880 perkara yang ada di

Departemen Keuangan RI 300


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

pengadilan negeri, telah dapat diselesaikan 747.705 perkara atau sekitar 97 persen. Sedangkan
dari 7.297 perkara yang ada pada pengadilan tinggi, telah dapat diselesaikan 5.184 perkara atau
sekitar 71 persen. Selain itu dari 14.746 perkara yang ada di mahkamah agung, telah dapat
diselesaikan sebanyak 7.729 perkara at au sekitar 52 persen, dan dari 703.042 perkara yang ada
di kejaksaan telah dapat diselesaikan 698.336 perkara atau sekitar 99 persen. Selanjutnya dalam
rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilanaparat penegak hukum, serta guna
pemantapan sikap dan kepekaannya terhadap perkembangan kesadaran hukum dan rasa
keadilan masyarakat, telah diselenggarakan berbagai kegiatan pendidikan, latihan dan
penataran. Kegiatan ini dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus telah diikuti oleh
3.816 orang, yang meliputi penataran administrasi kepegawaian, keuangan dan perlengkapan
sebanyak 570 orang, penataran panitera/panitera pengganti sebanyak 150 orang, pendidikan
calon hakim sebanyak 210 orang, pendidikan tenaga peneliti hukum sebanyak 30 orang, serta
pendidikan perancang perundang-undangan sebanyak 70 orang.

Berkaitan dengan pembinaan pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan yang ada


diarahkan agar narapidana dan anak didik setelah selesai menjalani hukumannya, mampu
melanjutkan kehidupannya dengan wajar dan layak dalam masyarakat, dan agar dapat menjadi
warga negara yang kreatif, produktif, taat serta menghormati hukum dan norma-norma
pergaulan hidup yang berlakudalam masyarakat. Adapun pembinaan narapidana dan anak didik
dilakukan melalui pembinaan spiritual, pendidikan umum, keterampilan perawatan dan
pelayanan masyarakat, bimbingan sosial, serta program rekreasi/olahraga, keamanan dan
ketertiban. Sementara itu guna meningkatkan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan
anak, telah diadakan pendidikan di sekolah, pendidikan keammaan, pembinaan pramuka, serta
keterampilan bertani, beternak dan berwiraswasta.

Untuk menunjang sistem tersebut maka ditingkatkan pula pembangunan sarana


penunjangnya. Dalam tahun 1983/1984 dan tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus
1984, telah dilaksanakan pembangunan prasarana fisik berupa pembangunan baru/lanjutan
masing-masing 22 dan 51 gedung lembaga pemasyarakatan (LP), perluasan/rehabilitasi masing-
masing 24 dan 25 gedung LP, serta renovasi LP menjadi rumah tahanan (Rutan) masing-masing
73 dan 79 gedung. Di samping itu dalam waktu yang sarna juga telah dilakukan pembangunan
balai bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak (Bispa) masingmasing 5 dan 9 gedung.
Dengan demikian sejak Pelita III sampai dengan bulan Agustus 1984, telah dilaksanakan
pembangunan, baik baru maupun lanjutan, serta perluasan/rehabilitasi gedung LP masing-
masing sebanyak 162 gedung dan 224 gedung. Selain itu dalam periode yang sarna juga telah

Departemen Keuangan RI 301


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dibangun 38 gedung Bispa dan renovasi LP menjadi Rutan sebanyak 152 gedung.

8.6.3. Keimigrasian

Sejalan dengan perkembangan ekonomi dan hubungan antar negara, pengembangan


pariwisata, ketenagakerjaan, serta pelaksanaan ibadah keagamaan (haji dan umroh), maka baik
frekuensi maupun volume lalu lintas orang dari dan ke luar negeri dari tahun ke tahun terus
mengalarni peningkatan. Berkaitan dengan itu penanganan bidang keimigrasian diarahkan
untuk menunjang perkembangan yang terjadi di bidang-bidang tersebut, tanpa mengabaikan
segi pengawasannya agar tidak mengganggu stabilitas nasional. Dalam rangka menanggulangi
subversi, pengawasan orang asing dan lalu lintas ke dan dati luar negeri terus ditingkatkan.
Untuk mewujudkan usaha tersebut diperlukan prasarana dan sarana yang dati tahun ke tahun
terus meningkat. Dalam tahun 1983/1984 telah dilaksanakan pembangunan 8 gedung kantor
imigrasi yang terletak di pelabuhan-pelabuhan Cengkareng, Tanjung Priok, Surakarta, Tanjung
Petak, Banda Aceh, Padang, Jambi dan Banjarmasin. Dalam waktu yang sarna telah dibangun
pula 11 pos imigrasi yang terletak di Sinabi, Aruk, Liku, Jagoi Babang, Siding, Sebatik, Ubruk,
Bupul, Senggih, Sentani dan Kabil. Demikian juga telah dilakukan rehabilitasi dan perluasan
kantor imigrasi dan asrama tahanan imigrasi, masing-masing sebanyak 12 gedung dan 1
gedung.

Dalam tahun 1983/1984, orang yang masuk ke Indonesia adalah sebanyak 1.011.379
orang, terdiri 286.030 orang Indonesia dan 725.349 orang asing. Sedangkan yang berangkat ke
luar negeri berjumlah sebanyak 1.034.713 orang, terdiri dari 323.666 orang Indonesia dan
711.047 orang asing.

8.7. Pertahanan dan keamanan

Pembangunan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sampai dengan Pelita


III telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kokoh dalam menuju angkatan bersenjata yang
modern, baik masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Di samping itu ABRI juga
telah mampu mengamankan pembangunan nasional dan kedaulatan Negara RI, sehingga
pembangunan ABRI akan selalu selaras dengan tingkat kemajuan pembangunan nasional.
Pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan telah berkembang terus, sehingga dapat
menjadi kerangka landasan yang dapat diandalkan dan tahan uji. Kerangka landasan tersebut
mempunyai pengertian yang seluas-luasnya, di mana tiap-tiap warga negara berhak dan wajib

Departemen Keuangan RI 302


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Dwi fungsi ABRI harus dilaksanakan sebaik-baiknya,
agar ABRI dapat terus memikul tugas sejarahnya sebagai stabilisator dan dinamisator, termasuk
di dalamnya sebagai kekuatan yang menjaga dan sekaligus menyegarkan demokrasi Pancasila.

Politik pertahanan dan keamanan dimaksudkan untuk menjamin keamanan negara


serta turut memelihara perdamaian dunia pada umumnya dan keamanan di kawasan Asia
Tenggara khususnya, sedangkan strategi pertahanan dan keamanan ditujukan untuk mencegah
dan menangkal gangguan keamanan dalam negeri. Adapun pembangunan kekuatan pertahanan
dan keamanan yang telah dilaksanakan adalah berupa peningkatan mutu personal, peralatan,
komando dan pengendalian, serta penyempumaan sistem dan manajemen. Konsep pertahanan
yang dikembangkan menyangkut pertahanan dan konsentrasi selektif sesuai dengan perkiraan
keadaan, yang disertai dengan penyebaran kekuatan penangkal dan penempatan perbekalan
dalam upaya menyesuaikan luas wilayah ke dalam strategi pagelaran kekuatan. Sesuai dengan
doktrin dasar nasional Wawasan Nusantara, kekuatan yang dibangun tetap dikonsentrasikan
pada kekuatan kewilayahan yang lebih mempertegas dan memantapkan prinsip kesatuan
wilayah Nusantara, dengan inti kekuatan darat yang didukung kekuatan laut dan kekuatan
udara. Di samping itu dalam rangka ketertiban masyarakat dan penegakan hukum, maka telah
ditingkatkan mutu aparat kepolisian agar mampu hadir secara fisik, sekaligus sebagai
pengayom dan pencipta rasa tenteram dan aman bagi lingkungan masyarakat.

Selama Pelita III telah berhasil dicapai tonggak baru dalam sejarah perkembangan
ABRI, yaitu dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, yang memberikan
landasan hukum yang bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945. Dengan adanya undang-
undang tersebut, ABRI menjadi seinakin mantap dalam mengemban tugas pokoknya, yaitu
menjamin tetap tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 dalam
bidang organisasi telah dilaksanakan melalui Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1983
tentang Pokok-Pokok dan Susunan Organisasi Departemen Pertahanan dan Keputusan Presiden
Nomor 60 Tahun 1983 tentang Pokok-Pokok Susunan Organisasi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Dalam hubungan ini masalah utama yang telah mendapat perhatian semua
pihak adalah pendayagunaan sumber daya nasional bagi upaya pertahanan keamanan negara,
yang memerlukan koordinasi yang terus menerus antara semua pihak yang berkepentingan.

Selama dua Pelita yang lalu, pembangunan ABRI masih dipusatkan pada
pembangunan personalnya, yakni mencakup usaha untuk mendapatkan prajurit ABRI yang

Departemen Keuangan RI 303


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

mewarisi jiwa dan semangat pejuang.Angkatan 1945, dan yang memiliki kemampuan
profesional yang cukup tinggi dalam bidangnya. Hal tersebut dimaksudkan agar mampu
mengemban tugas pokok ABRI dalam lingkungan yang terus bergerak dinamis guna mengikuti
gerak pertumbuhan pembangunan nasional. Untuk menunjang usaha tersebut telah dilakukan
kegiatan-kegiatan pokok, yang antara lain meliputi penyempurnaan sistem penerimaan anggota
baru ABRI, agar mampu menjangkau seluruh pelosok tanah air. Selanjutnya dilakukan juga
penyempurnaan sistem pendidikan dan latihan ABRI, mulai dari pendidikan tamtama hingga
pendidikan tinggi perwira, serta penyempurnaan fasilitas perawatan personal melalui
pembangunan sistem pangkalan. Adapun kekuatan personal militer yang telah dimiliki sampai
dengan triwulan IV tahun 1983/1984 adalah sebanyak 411.833 orang, yang terdiri dari 216.003
orang TNI-AD , 36.944 orang TNI-AL, 25.098 orang TNI-AU, dan 133.838 orang Polri.
Pembangunan kekuatan ABRI tersebut dilaksanakan untuk mewujudkan ABRI sebagai
kekuatan yang kecil tetapi efektif, yaitu kecil dalam jumlah dan sederhana dalam organisasi,
namun mampu melaksanakan tugas-tugas yang menjadi kewajibannya. Hal ini memerlukan
daya pukul dan kecepatan bergerak yang tinggi, sehingga tingkat teknologi maju yang terus
berkembang hams dapat dikuasai. Untuk menunjang usaha tersebut, maka secara bertahap
beberapa peralatan utama ABRI telah mulai diganti dengan yang lebih maju tingkat
teknologinya. Sampai dengan akhir tahun 1983/1984, telah dilakukan peningkatan kekuatan
operasi untuk masing-masing angkatan dan Polri. Adapun kekuatan operasi tersebut meliputi 2
Brigif Linud, 82 Yonif, 53 Yonban, 2 Grup Sandha, 2 Grup Parako, 16 Kodam, 41 Korem, 292
Kodim dan 3215 Koramil untuk TN I-AD , 58 kapal, 25 pesawat udara (Pesud), 14 Heli, 6
Yonif Mar dan 10 Yonban Mar untuk TNI-AL, serta 102 Pesud, 47 Heli, dan 1 Yon Posgat
untuk TNI-AU. Sedangkan untuk Polri adalah mencakup 17 Kodak, 33 Kowil, 281 Kores,
3.233 Kosek dan 56 Sat Brimob.

Untuk mengurangi ketergantungan peralatan ABRI pada luar negeri, maka telah
digalakkan industri nasional dalam pembuatan komponen atau suku cadang peralatan utama
ABRI, sehingga pada akhirnya mampu berswasembada secara keseluruhan. Usaha-usaha
tersebut meliputi pengembangan Unit Industri Bahan Peledak TNI-AU menjadi Perum Dahana,
Unit Survai dan Pemetaan TNI-AU menjadi Perum Penas, Lembaga Industri Penerbangan
Nurtanio TNI-AU menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, Penataran TNI-AL Surabaya
menjadi PT Pabrik Kapal Indonesia, Perindustrian TNI-AD (Pindad) menjadi PT Pindad, serta
Pabrik Roket Menang TNI-AU menjadi bagian dari divisi senjata PT Industri Pesawat Terbang
Nurtanio. Di samping itu koordinasi antardepartemen, yang sangat penting bagi pengembangan

Departemen Keuangan RI 304


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

industri pertahanan keamanan, juga telah dimantapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 59
Tahun 1983 tentang Pembentukan Dewan Pembina dan Pengelola Industri-industri Strategis
dan Industri Pertahanan Keamanan.

8.8. Penerangan

Pembangunan di bidang penerangan terutama ditujukan untuk meningkatkan


penerangan sampai ke desa-desa, dengan lebih meningkatkan pendayagunaan sarana
penerangan seperti radio, televisi, film, pees, pameran dan media tradisional. Untuk itu telah
dilaksanakan berbagai kegiatan penerangan terutama yang bersifat menggelorakan semangat
pengabdian dan perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional,
memasyarakatkan kebudayaan dan kepribadian Indonesia serta menggairahkan partisiposi
masyarakat dalam pembangunan. Guna meningkatkan peranan pers dalam pembangunan, terus
ditingkatkan pengembangan pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab, sehingga dapat
menjalankan fungsinya dalam menyebarkan informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial
yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat, serta memperluas komunikasi dan partisiposi
masyarakat.

8.8.1. Operasional penerangan

Pembangunan operasional bidang penerangan dalam pelaksanaannya mencakup


peningkatan peranan pusat penerangan masyarakat (Puspenmas), dan peningkatan jumlah
frekuensi dari berbagai jenis kegiatan penerangan umum, baik yang diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan penerangan di dalam negeri maupun di luar negeri. Sejalan dengan itu, telah
ditingkatkan pula peranserta masyarakat pedesaan dalam pembangunan, yang dilakukan melalui
penambahan sarana dan prasarana penerangan. Untuk itu melalui Puspenmas diberikan
penerangan dan bimbingan, antara lain dengan memperkenalkan teknologi yang layak dan
sesuai dengan perkembangan daerah pedesaan, mengembangkan sistem perekonomian yang
lebih baik dengan mengutamakan asas gotong royong, mengembangkan usaha bersama melalui
sistem koperasi, serta meningkatkan pemeliharaan kesehatan bagi lingkungan. Dengan adanya
kegiatan tersebut, masyarakat pedesaan diharapkan akan dapat menggali dan memanfaatkan
sumber-sumber kekayaan yang ada di daerahnya, yang pada gilirannya akan meningkatkan pula
pendapatan atau kesejahteraannya. Hal ini secara tidak langsung akan mendidik masyarakat
pedesaan agar tidak mudah terpengaruh pada keinginan untuk melakukan urbanisasi. Guna

Departemen Keuangan RI 305


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

menunjang usaha tersebut, dalam pembangunan gedung Puspenmas selalu dilengkapi dengan
ruang aula, ruang perpustakaan, alat-alat duplikasi dan sarana mobilitas penerangan.
Sehubungan dengan itu apabila dalam tahun 1983/1984 pembangunan gedung Puspenmas baru
mencapai sebanyak 11 buah, dalarn tahun 1984/1985 sarnpai dengan bulan Agustus 1984 telah
menjadi sebanyak 25 buah yang tersebar pada 11 ibukota propinsi meliputi propinsi Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Timor Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Bali dan Sulawesi Utara. Dengan demikian sampai dengan tahun
pertama repelita IV sampai dengan bulan Agustus 1984 pembangunan gedung Puspenmas telah
mencapai 275 buah yang mencakup 27 ibu kota propinsi.

Sebagaimana halnya dengan Puspenmas, dalam meningkatkan mutu dan peranan juru
penerang (Jupen) yang bertugas di kecamatan, juga dilengkapi dengan berbagai sarana
penerangan antara lain berupa radio kaset. Hal ini dimaksudkan agar para Jupen tersebut dapat
memonitor siaran-siaran Pemerintah, yang untuk selanjutnya dapat menyebarluaskan materi
siaran tersebut kepada masyarakat sebelum diterima dokumen lengkapnya. Di samping itu guna
menunjang kelancaran pelaksanaan penerangan sampai ke desa-desa, telah ditingkatkan pula
penyediaan sarana mobilitas bagi para Jupen, yaitu meliputi mobil unit penerangan, mobil unit
suara, mobil unit panggung, serta mobil unit visual mini yang terdiri alas muviani darat dan
muviani air. Sampai dengan bulan Agustus 1984 tahun pertama Repelita IV, penyediaan
muviani darat dan muviani air masing-masing telah berjumlah sebanyak 3.135 unit dan 300
unit. Dalam waktu yang sama juga telah dilaksanakan usaha peningkatan mutu dan peranan
daripada Jupen wanita, terutarna dalam rangka meningkatkan peranserta wanita dalam
pembangunan. Sarnpai dengan akhir Pelita III, jumlah Jupen wanita yang secara aktif ikut
memberikan penerangan kepada kaum wanita di daerah-daerah pedesaan mencapai 380 orang,
sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 sebanyak 110 orang.

Salah satu kegiatan penerangan yang dilaksanakan secara langsung adalah pameran
pembangunan, yang antara lain meliputi peragaan visual, hiburan dan sarasehan/pentaloka. Hal
ini merupakan suatu kegiatan terpadu antara Pemerintah dengan unsur-unsur swasta, yang
dalarn penyelenggaraannya terutarna disesuaikan dengan momentum hari-hari bersejarah.
Selain itu kegiatan tersebut juga berfungsi sebagai salah satu promosi hasil-hasil industri,
terutama industri kecil, baik melalui pameran di tingkat pusat, maupun di daerah-daerah sampai
dengan tingkat kecarnatan yang dilaksanakan dengan pameran keliling. Pameran pembangunan
di tingkat pusat dilakukan pada setiap tanggal 20 Mei, yaitu bertepatan dengan hari
Kebangkitan Nasional, dan pada periode antara tanggal 21 Juni sarnpai dengan tanggal 21 Juli

Departemen Keuangan RI 306


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

berupa Pekan Raya Jakarta. Sedangkan untuk tingkat propinsi, pameran pembangunan
dilaksanakan pada setiap tanggal 17 Agustus, bersamaan dengan peringatan hari Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia. Selanjutnya pada setiap tanggal 1 Oktober, yang bersamaan
dengan dilakukannya peringatan hari Kesaktian Pancasila, dilakukan pula pameran
pembangunan untuk tingkat kabupaten/kotamadya.

Dalam rangka meningkatkan citra Indonesia di luar negeri, terus diusahakan


peningkatan mutu, isi, jumlah serta frekuensi paket penerangan ke luar negeri yang disalurkan
melalui perwakilan-perwakilan Indonesia yang berada di luar negeri. Demikian pula halnya
kepada masyarakat Indonesia di luar negeri, dan masyarakat asing yang tinggal di Indonesia,
telah diberikan pembinaan, baik melalui forum pertemuan/sarasehan maupun dengan
pengadaan buku/brosur tentang pelaksanaan/perkembangan pembangunan di Indonesia. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama dan persahabatan bagi bangsa-bangsa di kawasan
ASEAN khususnya, dan dunia internasional pada umumnya, terutama yang mempunyai
pengaruh langsung terhadap pembangunan di Indonesia. Dengan demikian minat luar negeri
terhadap pelaksanaan pembangunan di Indonesia diharapkan akan semakin meningkat. Guna
menunjang kebijaksanaan tersebut, dalarn tahun 1983/1984 antara lain telah diterbitkan majalah
Indonesia Today sebanyak 48.000 eksemplar, Indonesia Elyoum sebanyak 18.000 eksemplar
dan Indonesia Spotlight On Event sebanyak 72.000 eksemplar. Sedangkan khusus untuk Timor
Timur, guna meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan maka dalam waktu
yang sama telah diberikan 48.000 eksemplar brosur/ majalah yang terdiri atas 25 judul.

8.8.2. Pengembangan sarana penerangan

8.8.2.1. Radio

Dalarn rangka meningkatkan frekuensi dan mutu siaran RRI, dalam tahun pertama
Pelita IV antara lain telah dilaksanakan peningkatan sarana penyiaran, yang meliputi alat-alat
studio/pemancar, OB Van dan gedung studio/pemancar. Di sarnping itu juga telah diadakan
kompetisi siaran pedesaan, perekaman, penyebaran kaset penerangan dan penyuluhan ke
daerah-daerah, perlombaan bintang radio dan televisi, serta penyelenggaraan siaran wanita
dalam pembangunan. Selanjutnya guna meningkatkan kekuatan pemancar RRI, terutama yang
ditujukan ke daerah-daerah Indonesia bagian timur dan Posifik Selatan, dewasa ini telah
dilaksanakan pengudaraan pemancar gelombang pendek dengan kekuatan 250 kilowatt. Dengan
demikian sampai dengan bulan Agustus 1984, RRI telah memiliki 301 buah pemancar yang

Departemen Keuangan RI 307


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

tersebar pada 49 stasiun di seluruh Indonesia dengan kekuatan terpasang sekitar 2.997 kilowatt.

Untuk meningkatkan peranserta masyarakat pedesaan dalam pembangunan, terus


ditingkatkan siaran pedesaan baik mengenai mutu maupun isinya. Untuk itu dalam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Juli 1984, jumlah jam siaran pedesaan telah ditingkatkan
sehingga mencapai 484 jam dalam satu minggu, terdiri dari 244 jam per minggu yang disiarkan
melalui 48 buah Radio Republik Indonesia (RRI) dan 240 jam per minggu yang disiarkan
melalui 108 buah Radio Pemerintah Daerah (RPD). Dalam pada itu jumlah pendengar siaran
pedesaan juga telah meningkat sebesar 5,4 persen, yaitu dari 39.000 orang dalam tahun
1983/1984 menjadi 41.325 orang dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984.
Dari jumlah tersebut, kelompok dewasa merupakan kelompok pendengar yang paling banyak
yakni 28.609 orang, kemudian diikuti oleh kelompok pemuda dan kelompok wanita yang
masing-masing mencapai 6.814 orang dan 5.902 orang. Kegiatan pembinaan kelompok
pendengar siaran pedesaan, dilakukan secara terpadu dengan kelompok pembaca dan pemirsa
(Kelompencapir). Dengan demikian dalam pembinaan selanjutnya akan terus diusahakan agar
di setiap desa di seluruh Indonesia terdapat sekurang-kurangnya 1 kelompok pendengar yang
tergabung dalam Kelompencapir, sehingga pada gilirannya RRI akan dapat menyatu dan akrab
dengan khalayak pendengarnya.

8.8.2.2. Televisi

Dalam rangka meningkatkan daya jangkau penerangan dan pengembangan siaran di


seluruh pelosok tanah air melalui televisi, terus dilakukan perbaikan dan penyempurnaan, baik
mengenai mutu, isi maupun persentase siarannya. Di samping itu juga telah dilaksanakan
intensifikasi penggunaan stasiun produksi keliling dalam bentuk mobil unit, terutama dalam
rangka menggali potensi seni budaya bangsa yang tersebar di berbagai daerah. Selanjutnya
untuk meningkatkan sarana produksi dan jangkauan siaran TVRI, sampai dengan akhir Pelita
III telah dapat diselesaikan pengembangan tahap pertama studio produksi TVRI di Jakarta,
pembangunan studio warna di Ujungpandang, Medan dan Palembang, pengadaan 10 unit
stasiun produksi keliling, serta pembangunan 189 stasiun pemancar. Dalam tahun 1984/1985
sampai dengan bulan Juli 1984, telah dibangun lagi 10 buah stasiun pemancar. Dengan
demikian secara keseluruhan jumlah stasiun pemancar TVRI yang berhasil dibangun sampai
dengan periode tersebut telah mencapai 199 buah. Sehubungan dengan perluasan jangkauan
siaran TVRI, apabila dalam tahun 1983/1984 luas daerah jangkauannya baru mencapai 495.609
kilometer, dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah meningkat menjadi

Departemen Keuangan RI 308


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

534.808 kilometer. Demikian pula jumlah penduduk yang telah terjangkau oleh siaran TVRI,
dalam periode yang sama telah meningkat dari 95,5 juta orang menjadi 115,2 juta orang.
Sedangkan jumlah pesawat televisi yang terdaftar pada kantor pos dan giro dalam tahun yang
sama telah mencapai 5.433.740 buah, yang berarti telah meningkat dengan 90.432 buah atau
sebesar 1,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkembangan sarana dan jumlah
jam siaran TVRI menurut jenis siaran dapat diikuti pada Tabel VIII.8 dan Tabel VIII.9.

TabeI VIII. 8
JUMLAH JAM SIARAN TELEVESI MENU RUT JENIS SIARAN, 1969/1970 - 1984/1985

Jam siaran 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 1)

Hiburan 680 800 900 930 2.610 3.020 1.740 4.420 3.439 5.508 5.915 5.519 6.944 6.906 7.011 7.011
Berita/penerangan/ 800 800 800 800 1.700 2.410 4.680 7.030 11.461 17.026 17.232 17.232 18.261 18.160 18.435 18.435
pendidikan /kebudayaan
Lain - lain 260 300 270 270 470 600 560 650 731 2.504 2.572 2.572 514 512 519 519

Jumlah 1.740 1.900 1.970 2.000 4.780 6.030 6.980 12.100 15.631 25.038 25.719 25.323 25.719 25.578 25.965 25.965

1) Angka sementara

Tabel VIII. 9
JUMLAH STUDIO, STASI_N PEMANCAR, PESAWAT TELEVISI, LUAS DAERAH DAN JUML_H PENDUDUK DALAM DAERAHPANCARAN TVRI, 1969/1970 - 1984/1985

Uraian 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74 1974/75 1975/76 1976/77 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/83 1983/84 1984/85 2)

1. Studio (buah) 2 3 4 4 6 6 6 6 9 9 9 9 9 9 9 9
2. Stasion pemancar (buah) 4 4 8 10 22 23 26 34 70 82 89 107 124 186 189 199
3. Pesawat televisi (buah) 80.000 135.000 190.000 220.000 351.470 410.000 542.430 632.940 895.180 1.100.000 1.405.000 2.126.000 2.599.827 2.971.890 5.343.308 5.433.740
4. Luas dalam jangkauan (Km2) 18.500 24.500 34.500 36.500 72.100 72.900 75.600 174.100 229.000 400.000 406.000 419.000 427.500 495.600 495.600 534.808
5. Penduduk dalam daerah pancaran (juta orang) 22,5 26,5 36,5 40 40,5 42 73 80,9 82 82 85 87 90 95,5 95,5 115,2
1 ) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

8.8.2.3. Perfilman nasional

Peningkatan dan pembinaan bidang perfilman nasional terutama ditujukan untuk


meningkatkan citra, mutu, jumlah produksi serta kelancaran peredaran dan pemasaran fIlm
Indonesia, baik dalam memenuhi kebutuhan di dalam negeri maupun di luar negeri. Guna
mewujudkan iklim yang sehat bagi perkembangan industri perfilman dan rekaman video, terus
diusahakan terciptanya mekanisme kerjasama, saling pengertian, rasa persatuan dan tanggung
jawab di antara organisasi profesi. Selanjutnya dalam rangka peningkatan produksi film, yang
sekaligus terkandung penertiban judulnya, pelaksanaannya diarahkan pada tercapainya suatu
keseimbangan di antara tema-tema fIlm yang diproduksi, seperti film drama, komedi, action
serta film khusus untuk anak-anak dan remaja. Sehubungan dengan itu, agar film/rekaman
video produksi nasional dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, sedangkan film/rekaman
video impor hanya berfungsi sebagai pelengkap, maka kemampuan mekanisme tata peredaran
film/rekaman video nasional terus ditingkatkan.

Sehubungan dengan usaha regenerasi pewarisan nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa,


di Pusat Produksi Film Negara (PPFN) pada saat ini telah dan sedang di produksi film-film
sejarah seperti Serangan Fajar, Kartini, Jaka Sembung, Lebak Membara, Nopember 1828,

Departemen Keuangan RI 309


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Kamp Tawanan Wanita, Kereta Api Terakhir dan Sejarah Orde Baru. Adapun film Sejarah
Orde Baru dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan nasional terhadap bahaya laten PKI,
di samping juga sebagai film pendidikan bagi generasi muda. Selanjutnya agar film tersebut
dapat mencapai peredaran di dalam negeri selama dua tahun, disediakan 30 copy dengan
perincian 27 copy untuk Daerah Tingkat I dan 3 copy untuk arsip nasional. Sedangkan untuk
peredaran di luar negeri me1alui 59 kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) telah
disediakan 60 copy. Dengan te1ah dilaksanakannya peningkatan di bidang pertunjukan, sejak
tahun 1983/1984 PPFN telah diperkenalkan film Cinerama, yaitu suatu film yang dalam
penyajiannya menggunakan layar lebar dan membentuk 180?, sehingga dapat menampung
penonton sebanyak 3 kali lebih besar dibandingkan dengan pertunjukan film yang dalam
penyajiannya menggunakan teknik biasa. Se1anjutnya dalam rangka meningkatkan mutu
penyajian film, sejak tahun 1984/1985 diproduksikan fIlm dengan menggunakan sistem Imax
yaitu suatu teknologi perfilman yang menggunakan sistem proyektor 70 mm/6 sound track.

Selama Pelita III, te1ah diproduksi film ceritera nasional sebanyak 337 judul yang
berarti rata-rata dapat diproduksi sebanyak 67 judul per tahun. Sedangkan dalam tahun
1984/1985 sampai dengan bulan Juli 1984 telah dihasilkan 46 judul, di sampingjuga telah
diproduksi film iklan, film dokumenter nasional dan film dokumenter/iklan yang dibuat orang
asing, masing-masing sebanyak 16 judul, 76 judul dan 40 judul. Sementara itu guna
meningkatkan usaha promosi dan pemasaran film Indonesia ke luar negeri, film-film Indonesia
telah diikutsertakan dalam festival dan pekan film internasional, di samping setiap tahun juga
diikutsertakan dalam Festival Film Asia dan Festival Film ASEAN secara rutin. Dalam
hubungan ini, selama Pelita III telah diikuti festival dan pekan film internasional di Manila,
Hongkong, Berlin, Cannes, London, Los Angeles dan Milano. Sedangkan dalam tahun 1984
antara lain telah diselenggarakan Festival Film Indonesia (FFI) di Yogyakarta dan Festival Film
ASEAN XIV di Jakarta. Selanjutnya untuk lebih memperkenalkan budaya bangsa Indonesia di
luar negeri, terus ditingkatkan usaha menghidupkan film produksi nasional. Selama Pelita III,
jumlah ekspor film Indonesia ke luar negeri telah mencapai sebanyak 22 judul, yaitu ke
Malaysia, Singapura dan Brunai.

8.8.2.4. Pers

Peningkatan pembinaan di bidang pers terutama ditandai dengan telah ditetapkannya


Undang-Undang No. 21 Tahun 1982, yang merupakan perubahan alas Un dangUndang No. 11
Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan

Departemen Keuangan RI 310


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Undang-Undang No. 44 Tahun 1967. Selanjutnya sebagai pelaksanaannya telah dikeluarkan


Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers, yaitu sebuah lembaga yang akan
mendampingi Pemerintah dalam membina dan mengembangkan pers nasional. Selain itu sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 1982, saat ini sedang dilaksanakan
pembahasan rancangan perubahan mengenai Sural Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) oleh
Dewan Pers. Sedangkan guna mengembangkan kebutuhan informasi, serta dalam rangka
pelaksanaan interaksi positif, terutama dalam mewujudkan adanya pers yang bebas dan
bertanggung jawab, terus ditingkatkan penyelenggaraan forumforum dialog antara Pemerintah,
pers dan masyarakat.

Sementara itu guna meningkatkan pemerataan informasi ke daerah-daerah pedesaan,


secara bertahap telah ditingkatkan pelaksanaan program koran masuk desa (KMD) baik kualitas
maupun kuantitas. Dari segi kualitas dicerminkan dalam peningkatan kemampuan mengelola
KMD melalui penataran-penataran, sehingga dengan adanya KMD tersebut benar-benar akan
dapat memberikan motivasi kepada masyarakat pedesaan untuk ikut berpatisiposi dalam
pembangunan, sedangkan dari segi kuantitas peningkatannya nampak dari penambahan jumlah
oplag. Di samping itu guna meningkatkan pelaksanaan KMD telah dibentuk pula kelompok-
kelompok pembaca di daerah pedesaan, yang kemudian ditingkatkan melalui kegiatan
kerjasama dengan berbagai lembaga, khususnya yang mempunyai hubungan secara langsung
dengan tugas di bidang pembangunan desa. Sehubungan dengan itu, dalam tahun 1983/1984
melalui program KMD telah dapat diedarkan koran sebanyak 8.675.000 eksemplar dari 50
penerbit dan tersebar pada 26 propinsi, sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan
Juli 1984 telah dapat diedarkan sebanyak 397.000 eksemplar melalui 16 penerbit.

8.9. Bantuan pembangunan daerah

8.9.1. Pembangunan desa, daerah tingkat I dan daerah tingkat II

Kebijaksanaan yang ditempuh di bidang pembangunan daerah dalam tahun 1983/ 1984
merupakan kelanjutan dan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Sejalan dengan Trilogi
Pembangunan, kegiatan tersebut antara lain ditujukan pada pemerataan penyebaran
pembangunan di seluruh tanah air, serta peningkatan laju pertumbuhan setiap daerah, di
samping itu juga untuk mempertebal semangat dan gairah partisiposi masyarakat dalam
meningkatkan hasil guna dan clara guna kegiatan pembangunan di daerah. Sesuai dengan arab
pembangunan daerah tersebut, maka dalam Pdita IV pembangunan pedesaan ditujukan untuk

Departemen Keuangan RI 311


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

mempercepat pertumbuhan desa, yang merupakan satu sistem terkecil dalam administrasi
pemerintahan dan ekonomi, menjadi desa swasembada. Dengan demikian kedudukan desa
sebagai obyek pembangunan berubah menjadi subyek pembangunan yang berketahanan di
semua bidang, yang pada gilirannya akan dapat memantapkan ketahanan nasional. Untuk itu
telah dilakukan evaluasi terhadap tingkat perkembangan desa, karena dalam jangka panjang
desa-desa di seluruh Indonesia akan dikembangkan menjadi desa swasembada. Hasil evaluasi
dan monitoring di bidang perkembangan desa sampai dengan tahun 1984/1985 menunjukkan
adanya 16.385 desa yang telah menjadi desa swasembada, atau suatu peningkatan rata-rata
sebesar 3,5 persen per tahun. Sedangkan untuk mendorong desa-desa agar lebih giat
melaksanakan pembangunan desanya, telah diselenggarakan perlombaan desa. Kepada desa-
desa yang mencapai prestasi tinggi dan menjadi pemenang perlombaan diberikan penghargaan
dan hadiah dalam bentuk proyek. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan yang
positif bagi desa-desa lainnya agar lebih giat melaksanakan pembangunan. Sebagai hasilnya,
desa-desa di 27 propinsi yang telah menjadi pemenang perlombaan desa kini dapat
mengembangkan desanya secara lebih cepat dan baik. Sampai dengan tahun 1983/1984, jumlah
desa yang telah menjadi pemenang perlombaan desa, baik di tingkat kabupaten/kotamadya
daerah tingkat II maupun di tingkat propinsi daerah tingkat I, berjumlah 11.757 desa.

Sejalan dengan pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah tanah air, dilakukan juga
pembangunan desa melalui sistem Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Usaha ini
merupakan penerapan sistem penyusunan rencana daTi bawah, yang disesuaikan dengan
kebutuhan dasar masyarakat desa yang berada pada wilayah kecamatan yang bersangkutan.
pembangunan di wilayah kecamatan melalui sistem UDKP tersebut diutamakan pada
kecamatan yang tergolong miskin, rawan, minus, terbelakang, serta berada di wilayah
perbatasan/kepulauan dan radar penduduk, agar kecamalan-kecamatan tersebut dapat
berkembang sesuai dengan kecamatan lainnya. Sampai dengan tahun 1983/1984, sistem UDKP
ini telah dilaksanakan pada 2.045 kecamatan yang tersebar di 27 propinsi daerah tingkat I.
Selain itu di wilayah kecarnatan UDKP telah dilaksanakan pula berbagai kegiatan, antara lain
penataran terhadap 1.093 orang camat UDKP, serta kursus bagi 3.429 kepala urusan
pembangunan. desa tingkat kecamatan dari 27 propinsi. Sejalan dengan itu telah dilaksanakan
pula penempatan 1.183 TKS-BUTSI, musyawarah LKMD, diskusi UDKP dan temu karya
LKMD di tingkat ke carnatan , serta rapat koordinasi pembangunan, baik di tingkat
kabupaten/kotamadya maupun di tingkat propinsi. Melalui sistem UDKP, jumlah desa
swasembada pada. kecamatan UDKP rata-rata meningkat 6,7 persen per tahun, sedangkan pada

Departemen Keuangan RI 312


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kecamatan non UDKP rata-rata hanya b.ertambah dengan sebesar 3,2 persen per tahun. Dalam
pada itu peningkatan jumlah proyek/program sektoral, regional, Inpres, dan swadaya
masyarakat yang mengisi kecarnatan dengan sistem UDFY terse but rata-rata adalah sebanyak
25 proyek. Melalui inpres bantuan pembangunan desa, sampai dengan tahun 1983/1984 telah
diberikan dana paket UDKP kepada 1.876 kecamatan. Dalam sistem UDKP tersebut, juga
terkait kegiatan penerapan pola tatadesa dan pengembangan teknologi pedesaan. Berkaitan
dengan itu telah dilakukan survai pendahuluan tatadesa pada 1.040 kecamatan, penerapan pola
tatadesa di 672 desa, survai/pengkajian identifikasi masalah tatadesa di 6 kecarnatan yang
meliputi 90 desa dan penyuluhan mengenai teknis pola tatadesa terhadap 216 tokoh masyarakat
desa. Sedangkan guna penerapan dan pengembangan teknologi pedesaan telah dilakukan
identifikasi spesifik terhadap 46 jenis teknologi pedesaan yang telah berhasil diterapkan dan
dikembangkan, yakni meliputi bidang energi, pangan, pertanian, konstruksi dan material, di
samping juga penetapan dan pemilihan 63 orang perugas teknologi pedesaan (PL TP) dan 345
orang kader teknologi pedesaan.

Untuk menumbuhkan dan mengembangkan peranserta aktif swadaya masyarakat


dalam peningkatan kesejahteraan hidup dan pembangunan desanya, telah dibentuk pula
lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD). Sampai dengan tahun 1983/1984, telah dibentuk
sebanyak 63.698 LKMD atau sekitar 94,4 persen dari 66.448 desa yang ada di Indonesia.
Jumlah tersebut menurut tingkat perkembangannya dapat dike1ompokkan ke dalam 3 kategori,
yaitu kategori posif sebanyak 10.207 LKMD, kategori berkembang sebanyak 25.297 LKMD
dan kategori aktif berfungsi sebanyak 28.194 LKMD. Selain itu guna mempercepat
terwujudnya LKMD yang aktif berfungsi dalam pelaksanaan pembangunan, telah
dikembangkan pula sebanyak 4.755 LKMD percontohan yang diharapkan akan menjadi LKMD
teladan. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan fungsi LKMD, telah dilaksanakan latihan bagi
pelatih/instruktur PL-LKMD yang diikuti 6.488 orang, dan bagi kader LKMD-KPD yang
diikuti 57.237 orang. Adapun untuk pengembangan teknologi desa telah diberikan latihan
kepada 734 orang anggota masyarakat, sedangkan latihan guna meningkatkan keterampilan
dalam pembangunan/pemugaran perumahan desa, pemukiman kembali penduduk dan
penciptaan lapangan kerja, telah diikuti oleh 42.315 orang. Selain kegiatan tersebut, telah
dilaksanakan pula penyuluhan dan peningkatan motivasi, terutama untuk desa-desa yang
terbelakang. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam bentuk latihan sosio drama yang diikuti oleh
9.575 peserta dan kelompok kesenian rakyat, pementasan kegiatan LKMD melalui TVRI,
siaran pedesaan melalui RRI dengan 41.380 kelompok pendengar, serta melalui penerbitan dan

Departemen Keuangan RI 313


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

penyebaran folder/poster/brosur-brosur penyuluhan. Kegiatan lain yang erat kaitannya dengan


pembinaan LKMD adalah pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK). Untuk itu dibentuk kader-
kader PKK melalui penyelenggaraan kursus-kursus PKK, yang sampai dengan tahun 1983/1984
telah diikuti oleh 290.598 orang. Sedangkan dalam tahun 1984/1985 sampai dengan' bulan
Agustus 1984 telah dilaksanakan latihan/kursus bagi tim penggerak PKK tingkat propinsi dan
kabupaten/kotamadya, yang diikuti oleh 2.430 orang meliputi 27 propinsi dan terdiri dari 54
kabupaten/kotamadya. Berkaitan dengan pemukiman kembali penduduk desa, sejak tahun
1972/1973 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah dimukimkan kembali penduduk sebanyak
29.669 KK pada 5'Ollokasi di 21 propinsi. Sedangkan sejak dimulainya kegiatan pemugaran
perumahan dan lingkungan desa, yakni dalam tahun 1976/1977 sampai dengan bulan Agustus
1984, telah dilaksanakan pemugaran 46.890 rumah yang tersebar pada 1.896 lokasi/desa di 26
propinsi. Di samping itu guna meningkatkan peranan masyarakat dalam menunjang program
dasawarsa air bersih dan penyehatan lingkungan pemukiman, telah dilakukan pula penyuluhan
dan latihan bagi 21 orang petugas lapangan di Tangerang, Jawa Barat dan 32 orang di DI
Yogyakarta. Untuk meningkatkan taraf hidupdan kesejahteraan penduduk di pedesaan serta
guna mempercepat pembangunan pedesaan, terus ditingkatkan jumlah bantuan yang diberikan
kepada setiap desa, sehingga dalam tahun 1983/1984 sebanyak 66.437 desa telah memperoleh
bantuan sebesar Rp 91,6 milyar. Dalam waktu yang sarna hasil pelaksanaan Inpres
pembangunan desa telah mencakup 106.441 proyek, yang terdiri atas prasarana produksi,
perhubungan, pemasaran dan sosial, masing-masing sebanyak 30.935 buah, 17.831 buah, 3.583
buah dan 54.092 buah. Proyek-proyek tersebut dibangun melalui bantuan Pemerintah pusat,
Pemerintah daerah dan swadaya masyarakat, masing-masing sebesar 61,4 persen, 0,3 persen
dan 38,3 persen.

Untuk membantu pelaksanaan pembangunan di daerah tingkat II, telah diberikan


bantuan yang besarnya didasarkan atas jumlah penduduk. Bantuan tersebut ditujukan untuk
penciptaan dan perluasan lapangan kerja di daerah-daerah, yakni melalui usaha perbaikan,
peningkatan dan pembangunan berbagai jenis prasarana fisiko perekonomian dan lingkungan,
'yang sangat bermanfaat bagi masyarakat di daerah-daerah bersangkutan. Untuk mencapai
tujuan tersebut, bantuan diarahkan pada pembangunan baik prasarana fisik, seperti jalan,
jembatan, gorong-gorong, bendungan, dan saluran pembawa, maupun proyek-proyek lain
seperti pengembangan potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Untuk daerah
perkotaan, penggunaan bantuan tersebut diarahkan pada proyekproyek yang dapat memperbaiki
lingkungan hidup perkotaan, terutama lingkungan hidup masyarakat yang berpenghasilan

Departemen Keuangan RI 314


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

rendah. Dalam tahun 1983/1984 telah dibangun prasarana perhubungan meliputi jalan
sepanjang 17.393,3 kilometer, dan jembatan sepanjang 27.227 meter, serta prasarana pengairan
bernpa bendungan sejumlah 121.487 meterkubik, saluran pembawa sepanjang 13.741,9
kilometer dan bangunan pengairan lainnya sebanyak 664 buah yang dapat mengairi areal seluas
44.928 hektar. Selain itu juga telah dibangun pasar seluas 77.315 meterpersegi, riol sepanjang
434.415 kilometer, stasiun bus dan pelabuhan sungai, masing-masing sebanyak 23 buah dan 11
buah, serta penghijauan dan pencegahan banjir, masing-masing seluas 38.174 hektar dan
6.916,4 hektar.

Di samping bantuan pembangunan daerah tingkat II tersebut, mulai tahun 1979/1980


diberikan pula bantuan penunjangan jalan kabupaten,. yang ditujukan untuk membantu daerah
tingkat II untuk membangun jalan yang menghubungkan daerahdaerah terpencil, yang jumlah
penduduk dan tingkat produktivitasnya cukup tinggi. Dengan bantuan tersebut, dalam tahun
1983/1984 telah berhasil dilaksanakan penunjangan jalan sepanjang 7.414 kilometer,
penunjangan jembatan sepanjang 5.707 meter, pembangunan jembatan sepanjang 14.022 meter,
serta penggantian gorong-gorong sepanjang 59.658 meter. Dengan semakin meningkatnya
bantuan kepada Dati I, maka pelaksanaan pembangunan daerah lebih meningkat lagi sesuai
dengan prioritas kebutuhannya. Bantuan tersebut antara lain digunakan untuk pemeliharaan
jalan dan jembatan, masing-masing sepanjang 7.352,8 kilometer dan 8.321,5 meter, selain juga
untuk perbaikan dan penyempurnaan irigasi yang terdiri dari bendungan sebanyak 56 buah dan
saluran sepanjang 280,7 kilometer. Sementara itu dalam rangka pemeliharaan pengairan antara
lain telah dilakukan pembangunan bangunan air sebanyak 112.082 buah, serta saluran pembawa
dan pembuang, masing-masing sepanjang 61.748,2 kilometer dan 16.880,6 kilometer. Sejalan
dengan itu telah dibangun pula fasilitas eksploitasi sebanyak 3.907 buah, serta tanggul banjir
dan jaringan telepon, masing-masing sepanjang 5.225,1 kilometer dan 3.728,2 kilometer.
Sedangkan melalui dana Inpres bantuan pembangunan daerah tingkat I sebesar Rp 253.000,-
juta telah dibangun sebanyak 2.604 buah proyek.

8.9.2. Tatakota dan tatadaerah

Sejalan dengan proses pembangunan yang terus berlangsung, peranan kota sebagai
pusat pemukiman, kegiatan ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, administrasi, jasa dan pusat
pemerintahan juga semakin besar. Oleh schab itu, telah dilakukan usaha pembinaan dan
pengembangan perkotaan yang bertujuan, selain untuk pembangunan dan pengembangan
terhadap kota tersebut, juga dimaksudkan untuk peningkatan pelayanan umum dan perbaikan

Departemen Keuangan RI 315


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

kondisi lingkunganpemukiman yang aman, tertib da sehat bagi seluruh warganya. Untuk
mencapai tujuan tersebut, ditempuh kebijaksanaan yang antara lain meliputi pembinaan reneana
kota, pembinaan pengelolaan air minum dan pembinaan pemerim:ahan kota. Dalam rangka
pembinaan pengelolaan air minum, telah dilaksanakan pengumpulan data/bahan-bahan yang
meneakup masalah air minum di seluruh Indonesia. Atas dasar hasil pengumpulan data tersebut,
dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Agustus 1984 telah terdapat sebanyak 136 buah
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), 75 buah Badan Pengelola Air Minum (BPAM), 30
buah Dinas Air Minum dan 27 buah Seksi Air Minum. Sementara itu dalam pembinaan reneana
kota telah dilakukan kegiatan pengembangan kota Metropolitan Jakarta yang meliputi
penyusunan rencana induk kota DKI Jakarta tahun 1985 - 2.005, serta rencana induk kota
Tangerang, Cibinong, dan Bekasi, yang pengembangannya disesuaikan dengan pokok-pokok
kebijaksanaan pengembangan wilayah Jabotabek. Selain itu juga telah disusun kerangka acuan
kerja bantuan teknik bagi kota Semarang (Semarang Raya), Ujungpandang (Mamimasa Ora)
dan Denpasar. Sejalan dengan itu dilakukan pula persiapan penyusunan rencana kota yang
dikaitkan dengan program bantuan bagi 57 kota, pemberian bantuan teknis dan biaya dalam
jumlah terbatas kepada daerah tingkat II yang akan melakukan reneana induk kotanya. Di
samping itu juga dilakukan peningkatan kemampuan di bidang perencanaan kota melalui kursus
yang diselenggarakan oleh Badan kerjasama Antar Kota Seluruh Indonesia (BKS-AKSI).
Berkaitan dengan pembinaan pemerintahan kota, telah dilakukan pula pembentukan kota
administratif sebanyak 28 buah di seluruh Indonesia, penyusunan raneangan peraturan
Pemerintah mengenai pembentukan kota administratif Kota Bumi, Metro, Lahat, Palopo,
Watampone, Bima, Lhokseumawe dan Pariaman. Selain itu telah dilakukan penelitian tentang
reneana pembentukan kota administratif Sarong, Kuala Kapuas, Sampit, Pangkalan Brandan,
Kota Banjar, Curup, Langsa, Bontang, Rantau Prapat, Kota Baru dan Amuntai. Selanjutnya
dalam rangka pengembangan perkotaan telah dilakukan pula pembinaan kerjasama antara kota-
kota di dalam negeri, baik dengan kota-kota di luar negeri maupun dengan organisasillembaga
intemasional perkotaan di luar negeri.

8.9.3. Tata agraria dan tataguna tanah

Kegiatan program tataagraria seiring dengan program tataguna tanah ditujukan untuk
meneiptakan tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah,
serta tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan. Untuk itu telah dilakukan penertiban dan
peningkatan pengurusan hak-hak atas tanah, pendaftaran tanah, pengembangan landreform serta

Departemen Keuangan RI 316


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

proyek operasi nasional agraria (Prona). Adapun dari hasil penertiban dan peningkatan
pengurusan hak-hak atas tanah, dalam tahun 1984/1985 sampai dengan bulan Juli 1984 telah
diselesaikan sebanyak 34.302 surat keputusan hak tanah, dengan jumlah pemasukan uang
kepada negara sebesar Rp 1.833.281.652,-. Dengan demikian sejak Pelita III sampai dengan
bulan Juli 1984 telah diselesaikan sebanyak 171.053 sural keputusan hak tanah dengan
penerimaan negara sebesar Rp 6.512.716.611,-. Sedangkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam
kegiatan pengembangan land reform sampai dengan akhir Pelita III antara lain meliputi
identifikasi penguasaan pemilikan tanah pertanian pedesaan di 21 desa, pelaksanaan redistribusi
tanah seluas 665.094 hektar, penertiban perjanjian bagi hasil pada 52 kabupaten, penyelesaian
sengketa sebanyak 114 kasus, serta peningkatan tertib administrasi landreform terhadap 80.078
KK.

Program pembangunan tataguna tanah terutama diarahkan pada daerah-daerah minus


dan padat penduduknya, serta ditujukan untuk peningkatan pelayanan terhadap penyiapan
daerah transmigrasi. Selain itu juga mencakup peningkatan inventarisasi dan evaluasi
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, penyediaan sarana dan cara penataan kembali,
penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, serta pengendalian penggunaannya. Dalam
tahun 1983/1984, pengembangan tataguna tanah pada umumnya merupakan kelanjutan
daripada kegiatan tahun sebelumnya yang meliputi pembuatan peta kerja, pemetaan
kemampuan tanah, pemetaan penggunaan tanah pedusunan, pemetaan penggunaan tanah
perkotaan, perencanaan tataguna tanah Dati II, perhitungan produktivitas tanah, monitoring
lokasi daerah miskin, serta monitoring rencana tataguna tanah Dati II. Hasil yang dicapai di
bidang pengembangan tataguna tanah sampai dengan Pelita III meliputi pembuatan peta kerja
dengan skala 1:25 ribu seluas 7.760 ribu hektar, pemetaan kemampuan tanah dengan skala 1:
100 ribu dan 1:50 ribu, masing-masing seluas 9.088 ribu hektar dan 44.960 ribu hektar, serta
pemetaan penggunaan tanah pedusunan dengan skala 1:200 ribu, 1: 100 ribu, 1:50 ribu dan 1:25
ribu, masing-masing seluas 11.264 ribu hektar, 78.592 ribu hektar, 14.494 ribu hektar dan
70.160 ribu hektar. Sementara itu telah dilakukan pemetaan penggunaan tanah perkotaan pada
64 kotamadya/kota administratif, 194 kota kabupaten dan 485 kola kecamatan. Di samping
pemetaan penggunaan tanah, juga telah diselesaikan penyusunan rencana tataguna tanah Dati II
di 250 kodya/kabupaten, perhifungan produktivitas tanah di 199 kabupaten, monitoring lokasi
daerah miskin di 246 kabupaten, dan monitoring rencana tataguna tanah Dati II di 250
kabupaten/kodya.

Departemen Keuangan RI 317


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Lampiran 1

PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA


TAHUNANGGARAN 1985/1986
(dalam jutaan rupiah)

JENIS PENERIMAAN JUMLAH


A. PENERIMAAN DALAM NEGERI 18.677.900
I. Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam 11.159.700
1. Pajak Penghasilan Minyak Bumi 9.479.600
2. Pajak Penghasilan Gas Alam 1.680.100
II. Penerimaan di Luar Minyak Bumi dan
Gas Alam 7.518.200
1. Pajak Penghasilan 3.074.000
1.1. Pajak penghasilan perseorangan 797.300
- Hasil potongan penghasilan Pekerjaan -570.700

- Usaha dan pekerjaan -226.600


1.2. Pajak penghasilan badan 2.276.700
- Badan usaha milik negara -658.000
- Badan usaha swasta -1.010.100
- Hasil pungutan kegiatan usaha -314.400
- Hasil potongan bunga deviden, royalty -294.200
Dan sebagainya.

2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa


dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 1.666.400

3. Bea Masuk dan Cukai 1.680.400


3.1. Bea Masuk 717.100
3.2.Cukai 963.300
- Cukai tembakau -865.000
- Cukai lainnya -98.300
4. Pajak Ekspor 101.700
5.Ipeda 167.400
6. Pajak Lainnya 96.400
7. Penerimaan Bukan Pajak 731.900
B. PENERIMAAN PEMBANGUNAN 4.368.100
1. Bantuan Program 70.900
2. Bantuan Proyek 4.297.200
JUMLAH 23.046.000

Departemen Keuangan RI 318


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

DASAR PERHITUNGAN UNTUK PERKlRAAN PENERIMAAN NEGARA RAPBN


1985/1986

A. PENERIMAAN DALAM NEGERI

I. PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM


Faktor-faktor yang diperhitungkan :
- produksi minyak diperkirakan sebesar 1,3 juta barrel minyak mentah sehari, dan
100 ribu barrel kondensat sehari
- harga rata-rata ekspor minyak mentah Indonesia diperkirakan sebesar US $
29,50 per barrel.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penerimaan minyak bumi dan gas alam
diperkirakan sebesar Rp'11.1S9,7 milyar.

II. PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM

1. Pajak penghasilan
1.1. Pajak penghasilan perseorangan Faktor-faktor umum yang diperhitungkan :
- perluasan dasar pengenaan pajak,
- penertiban dan perluasan wajib pajak,
- peningkatan penghasilan masyarakat,
- timbulnya perusahaan-perusahaan baru dan perluasan perusahaan yang
ada sehingga memperluas lapangan kerja,
- berkembangnya kegiatan usaha produksi dan perdagangan,
- peningkatan mutu aparat pajak.
1.1.1. Pajak hasil potongan penghasilan pekerjaan
Faktor-faktor yang diperhitungkan akan mempengaruhi
penerimaan :
- perluasan dasar pengenaan pajak,
- penertiban dan perluasan wajib pajak,
- peningkatan verifikasi sehingga dapat ditagih pajak yang
seharusnya dipungut,
- penagihan yang lebih intensif atas tunggakan-tunggakan
pajak,
- peningkatan kesadaran dari para wajib pajak,
- batas pendapatan tidak kena pajak sesuai dengan Undang-
Undang Pajak Penghasilan.
Berdasarkan hal-hat tersebut, maka diperkirakan penerimaan
yang berasal dari pajak hasil potongan penghasilan pekerjaan
dapat mencapai Rp 570,7 milyar.
1.1.2. Pajak penghasilan usaha dan pekerjaan
Faktor-faktor yang diperhitungkan akan mempengaruhi
penerimaan :
- perluasan dasar pengenaan pajak,
- peningkatan penghasilan dan kegiatan usaha perseorangan,
- penertiban dan perluasan jumlah wajib pajak dengan
intensifikasi pemungutan melalui verifikasi yang mendalam,
- peningkatan kegiatan penagihan atas tunggakan-tunggakan
pajakpenghasilan,

Departemen Keuangan RI 319


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

- pemeriksaan pembukuan yang lebih intensif atas jumlah laba


perusahaan,
- batas PTKP sesuai dengan Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, diperkirakan penerimaan
pajak penghasilan usaha dan pekerjaan dapat mencapai jumlah Rp
226,6 milyar.

1.2. Pajak penghasilan badan


Faktor-faktor umum yang diperhitungkan :
- perluasan dasar pengenaan pajak,
- penertiban dan perluasan wajib pajak,
- berkembangnya kegiatan usaha produksi dan perdagangan,
- timbulnya perusahaan-perusahaan baru,
- naiknya penghasilan perusahaan-perusahaan.
1.2.1. Pajak penghasilan badan usaha milik negara Faktor-faktor yang
diperhitungkan :
- penertiban administrasi dan organisasi perusahaan
- perusahaan negara,
- peningkatan keuntungan daripada perusahaan negara,
- intensifikasi pemungutan pajak.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas diperkirakan pajak
penghasilan badan usaha milik negara sebesar Rp 658,0 milyar.
1.2.2. Pajak penghasilan badan usaha swasta
Dalam penerimaan ini termasuk pula pajak penghasilan atas laba
yang/diperoleh badan aging yang ada di Indonesia.
Faktor-faktor yang diperhitungkan akan mempengaruhi
penerimaan :
- peningkatan penghasilan dari badan-badan usaha swasta,
- penertiban dan perluasan jumlab wajib pajak,
- pemeriksaan pembukuan yang lebih intensif atas jumlah laba
perusahaan,
- penagihan yang lebih intensif atas tunggakan-tunggakan
pajak,
- kesadaran wajib pajak yang semakin baik yang mendorong
perusahaan untuk lebih terbuka dalam pembukuannya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, diperkirakin pajak penghasilan
badan usaha swasta sejumlah Rp 1.010,1 milyar.
1.2.3. Pajak hasil pungutan kegiatan usaha
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan :
- kegiatan usaha di bidang impor,
- kegiatan usaba yang memperoleh pembayaran untuk barang
dan jasa dari anggaran belanja negara.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka diperkirakan dapat
diperoleh pajak hasil pungutan kegiatan usaha sebesar Rp 314,4
milyar.

1.2.4. Pajak hasil potongan bunga, dividen, royalty dan sebagainya.


Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan :
- berkembangnya kegiatan ekonomildunia usaha,

Departemen Keuangan RI 320


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

- verifikasi yang intensif terhadap perusahaan-perusahaan


dalam hal pembagian dividen, pembayaran bunga dan
royalty.
Berdasarkan faktor-faktor di atas maka penerimaan pajak hasil
potongan bunga, dividen, royalty dan sebagainya diperkirakan
akan mencapai sebesar Rp 294,2 milyar.

2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak penjualan atas Barang
Mewah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan adalah :
- perkembangan perekonomian khususnya pacta sektor pertanian, industri,
perdagangan dan jasa,
- perluasan jumlah wajib pajak dan intensifikasi pemungutan melalui
verifikasi yang lebih ketat atas penyerahan barang-barang dan jasa,
- pengenaan pajak pertambahan nilai atas penjualan bahan bakar minyak
(BBM), - perkembangan tata niaga impor.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka penerimaan pajak pertambahan nilai barang
dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah diperkirakan mencapai Rp
1.666,4 milyar

3. Bea Masuk dan Cukai

3.1. Bea masuk


Perkiraan penerimaan bea masuk didasarkan alas hal-hat sebagai berikut:
- impor yang dapat dikenakan bea masuk diperkirakan sekitar US $ 5,1
milyar,
- tarip rata-rata bea masuk diperkirakan sebesar 13,0 persen.
Berdasarkan hal-hat tersebut, maka penerimaan bea masuk diperkirakan
dapat mencapai Rp717,1 milyar.

3.2. Cukai
3.2.1. Cukai tembakau

Hal-hal yang dapat mempengaruhi penerimaan cukai tembakau


adalah :
- peningkatan produksi rokok dan hasil-hasil tembakau lainnya,
- peningkatan clara beli masyarakat dengan naiknya
pendapatan nasional,
- peningkatan usaha pemungutan cukai berupa penyerasian pita
cukai dengan perkembangan harga jualnya,
- verifikasi yang lebih cermat alas perusahaan-perusahaan
rokok,
- pencegahan dan pemberantasan pita rokok palsu dan rokok
tidak berpita cukai,
- penyelesaian tunggakan-tunggakan cukai.
Berdasarkan hal-hat tersebut di alas, diharapkan dapat diterima
cukai tembakau sebesar Rp 865,0 milyar
3..2.2. Cukai lainnya
Cukai lainnya terdiri dari cukai gula, cukai bir dan cukai alkohol
sulingan.

Departemen Keuangan RI 321


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Hal-hal yang dapat meningkatkan penerimaan adalah :


- peningkatan produksi gula,
- intensifikasi pemungutan cukai dan penyesuaian harga dasar
sesuai dengan perkembangan ekonomi.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka cukai lainnya diperkirakan
akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 98,3 milyar.

4. Pajak Ekspor
Dasar perhitungan pajak ekspor adalah sebagai berikut :
- ekspor di luar minyak diperkirakan sebesar US $ 7,0 milyar.
Dengan dasar perhitungan tersebut, maka penerimaan pajak ekspor diperkirakan
sebesar Rp 101,7 milyar.

5. luran Pembangunan Daerah


Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan :
- peningkatan daripada nilai obyek Ipeda sejalan dengan kegiatan
pembangunan,
- intensifikasi pemungutan meliputi pokok pengenaan dalam tahun berjalan
dan penagihan atas tunggakan hutang Ipeda tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penerimaan Ipeda diperkirakan akan
mencapai jumlah sebesar Rp 167,4 milyar.

6. Pajak Lainnya
Jenis penerimaan ini meliputi pajak kekayaan, bea meterai dan bea lelang.
Perkiraan penerimaannya didasarkan atas hal-hal sebagai berikut :
- naiknya nilai kekayaan sejalan dengan naiknya penghasilan,
- berkembangnya kegiatan ekonomi,
- perluasan wajib pajak dan intensifikasi pemungutan pajak,
- peningkatan batas kekayaan yang tidak kena pajak,
- penyesuaian tarip pajak kekayaan dan bea meterai,
- peningkatan kegiatan dan transaksi ekonomi yang dapat dikenakan bea
meterai,
- pengawasan yang lebih ketat atas pemakaian bea meterai,
- penyempurnaan dan peningkatan efektivitas dalam penggunaan kantor
lelang.
Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut maka penerimaan pajak lainnya
diperkirakan mencapai jumlah sebesar Rp 96,4milyar.

7. Penerimaan Bukan Pajak


Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan adalah :
- penertiban administrasi perusahaan negara dan bank milik negara dalam
rangka meningkatkan penerimaan,
- verifikasi dan pengawasan yang lebih baik atas penyetoran daripada
penerimaan departemen-departemen,
- usaha intensifikasi dan ekstensifikasi daripada sumber-sumber penerimaan.
Dengan faktor-faktor tersebut diperkirakan akan diterima penerimaan bukan
pajak sebesar Rp731,9 milyar.

Departemen Keuangan RI 322


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

B. PENERIMAAN PEMBANGUNAN

Perkiraan penerimaan bantuan program dan bantuan proyek adalah sebagai berikut :

- bantuan program dalam tahun anggaran 1985/1986 diperkirakan sebesar Rp 70,9


milyar,
- realisasi (disbursement) dalam tahun 1985/1986 dari komitmen bantuan proyek
tahun-tahun yang lalu dan tahun 1985/1986 diperkirakan sebesar Rp 4.297,2 milyar.

Lampiran 2

ANGGARAN BELANJA RUTIN 1985/1986


DIPERINCI MENU RUT SEKTOR 1 SUB SEKTOR
( dalam ribuan rupiah)
Nomor
Kode Sektor/Sub Sektor J umlah
1 SEKTOR PERTANIAN DAN PEN GAl RAN 50.979.646,00
1.1 Sub Sektor Pertanian 42.377.534,00
1.2 Sub Sektor Pengairan 8.602.112,00
2 SEKTOR INDUSTRI 6.754.440,00
2.1 Sub Sektor Industri 6.754.440,00
3 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 15.542.550,00
3.1 Sub Sektor Pertambangan 14.952.170,00
3.2 Sub Sektor Energi 590.380,00
4 SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA 83.132.160,00
4.1 Sub Sektor Prasarana Jalan 5.100.398,00
4.2 Sub Sektor Perhubungan Darat 13.665.920,00
4.3 Sub Sektor Perhubungan Laut 40.893.355,00
4.4 Sub Sektor Perhubungan Udara 21.075.122,00
4.5 Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi 405.446,00
4.6 Sub Sektor Pariwisata 1.991.919,00
5 SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI 31.237.523,00
5.1 Sub Sektor Perdagangan 15.990.298,00
5.2 Sub Sektor Koperasi 15.247.225,00
6 SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 36.368.563,00
6.1 Sub Sektor Tenaga Kerja 22.715.685,00
6.2 Sub Sektor Transmigrasi 13.652.878,00
SEKTOR REGIONAL DAN DAERAH/PEM-
7 BANGUNAN DAERAH, DESA DAN KOTA 2.636.464.408,00

Departemen Keuangan RI 323


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Nomor
Sektor/Sub Sektor Jumlah
Kode
7.1 Kota 2.636.464.408,00
8 SEKTOR AGAMA 34.662.521,00
8.1 Sub Sektor Agama 34.662.521,00
SEKTOR PENDIDIKAN, GENERASI MUDA,
KEBUDAYAAN NASIONAL DAN KEPERCAYAAN
9 TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA 665.470.295,00
9.1 Sub Sektor Pendidikan Umum dan Generasi Muda 642.453.941,00
9.2 Sub Sektor Pendidikan Kedlinasan 16.331.196,00
9.3 Sub Sektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 6.685.158,00
SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN
SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN
10 DAN KELUARGA BERENCANA 116.074.269,00
10.1 Sub Sektor Kesehatan 74.778.604,00
10.2 Sub Sektor Kesejahteraan Sosial dan Peranan Wanita 17.848.155,00
10.3 Sub Sektor Kepencluclukan dan Keluarga Berencana 23.447.510,00
11 SEKTOR PERUMAHAN RAKY AT DAN PEMUKIMAN 4.596.316,00
11.1 Sub Sektor Perumahan Rakyat dan Pemukiman 4.596.316,00
12 SEKTOR HUKUM 129.928.154,00
12.1 Sub Sektor Hukum 129.928.154,00
SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN
13 NASIONAL 1.600.392.500,00
13.1 Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional 1.600.392.500,00
SEKTOR PENERANGAN, PERS DAN
14 KOMUNlKASI SOSIAL 50.803.850,00
14.1 Sub Sektor Penerangan, Pers dan Komunikasi Sosial 50.803.850,00
15 PENELITIAN 46.943.618,00
15.1 Sub Sektor Penelitian 46.943.618,00
16 SEKTOR APARATUR PEMERINTAH 6.889.649.187,00
16.1 Sub Sektor Aparatur Pemerintah 618.500.453,00
16.2 Sub Sektor Lembaga Tertinggi Tinggi Negara 9.930.100,00
16.3 Sub Sektor Keuangan Negara 6.261.218.634,00
JUMLAH 12.399.000.000,00

Departemen Keuangan RI 324


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Lampiran 3

ANGGARAN BELANJA PEMBANGUNAN 1985/1986


DIPERINCI MENURUT SEKTOR/SUB SEKTOR
( dalam ribuan rupiah )
Nilai Rupiah
Proyek/
Teknis, Kredit
Ekspor dan
Nomor obligasi
Kode Sektor/Sub Sektor Rupiah Jumlah
1 SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN 957.831.000 472.532.000 1.430.363.000
1.1 Sub Sektor Pertanian 691.931.000 209.040.000 900.971.000
1.2 Sub Sektor Pengairan 265.900.000 263.492.000 529.392.000
2 SEKTOR INDUSTRI 111.518.000 543.623.000 655.141.000
2.1 Sub Sektor Industri 111.518.000 543.623.000 655.141.000
3 SEKTORPERTAMBANGAN DAN ENERGI 258.359.000 1.043.320.000 1.301.679.000
3.1 Sub Sektor pertambangan 58.850.000 217.125.000 275.975.000
3.2 Sub Sektor Energi 199.509.000 826.195.000 1.025.704.000
4 SEKTORPERHUBUNGAN DAN PARIWISATA 635.486.000 789.864.000 1.425.350.000
4.1 Sub Sektor Prasarana Jalan 365.469.000 256.189.000 621.658.000
4.2 Sub Sektor Perhubungan Darat 68.050.000 170.045.000 238.095.000
4.3 Sub Sektor Perhubungan Laut 95.545.000 179.194.000 274.739.000
4.4 Sub Sektor perhubungan Udara 80.903.000 109.462.000 190.365.000
4.5 Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi 9.289.000 62.291.000 71.580.000
4.6 Sub Sektor Pariwisata 16.230.000 12.683.000 28.913.000
5 SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI 76.294.000 52.536.000 128.830.000
5.1 Sub Sektor Perdagangan 45.800.000 14.212.000 60.012.000
5.2 Sub Sektor Koperasi 30.494.000 38.324.000 68.818.000
SEKTOR TENAGA KERJA
6 DAN TRANSMIGRASI 539.795.000 136.993.000 676.788.000
6.1 Sub Sektor Tenaga Kerja 70.000.000 28.531.000 98.531.000
6.2 Sub Sektor Transmigrasi 469.795.000 108.462.000 578.257.000

Departemen Keuangan RI 325


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Nilai Rupiah
Nomor Proyek/
Kode Sektor/Sub Sektor Teknis, Kredit
Ekspor dan
Rupiah obligasi Jumlah
7 SEKTORPEMBANGUNAN
DAERAH, DESA DAN KOTA 842.334.000 25.885.000 868.219.000
7.1 Sub Sektor Pembangunan Daerah,
Desa dan Kota 842.334.000 25.885.000 868.219.000
8 SEKTOR AGAMA 63.595.000 63.595.000
8.1 Sub Sektor Agama 63.595.000 63.595.000
9 SEKTOR PENDlDlKAN, GENERASI
MUDA, KEBUDAYAAN NASIONAL
DAN KEPERCAYAAN TERHADAP
TUHAN YANG MAHA ESA 1.273.001.000 237.845.000 1.510.846.000
9.1 Sub Sektor Pendidikan Umum dan
Generasi Muda 1.158.006.000 203.120.000 1.361.126.000
9.2 Sub Sektor Pendidikan Kedinasan 83.860.000 18.232.000 102.092.000
9.3 Sub Sektor Kebudayaan Nasional
dan Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa 31.135.000 16.493.000 47.628.000
10 SEKTOR KESEHATAN, KESEJAH-
TERAAN SOSIAL, PERANAN WA-
NITA, KEPENDUDUKAN DAN
KELUARGABERENCANA 303.540.000 109.822.000 413.362.000
10.1 Sub Sektor Kesehatan 189.553.000 65.409.000 254.962.000
10.2 Sub Sektor Kesejahteraan Sosial
dan Peranan Wanita 55.987.000 2.321.000 58.308.000
10.3 Sub Sektor Kependudukan dan
Keluarga Berencana 58.000.000 42.092.000 100.092.000
11 SEKTORPERUMAHAN RAKYAT
DAN PEMUKIMAN 273.867.000 163.774.000 437.641.000
11.1 Sub Sektor Perumahan Rakyat
dan Pemukiman 273.867.000 163.774.000 437.641.000
12 SEKTOR HUKUM 79.903.000 817.000 80.720.000
12.1 Sub Sektor Hukum 79.903.000 817.000 80.720.000

Departemen Keuangan RI 326


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Nomor Nitai Rupiah


Kode Bantuan Proyek/
Sektor/Sub Sektor Rupiah Teknis, Kredit J umlah
Eksgor dan
obligasi
13 SEKTOR PERTAHANAN DAN
KEAMANAN NASIONAL 395.210.000 318.854.000 714.064.000
13.1 Sub Sektor Pertahanan dan
Keamanan Nasional 395.210.000 318.854.000 714.064.000
14 SEKTOR PENERANGAN, PERS
DAN KOMUNIKASI SOSIAL 49.115.000 18.572.000 67.687.000
14.1 Sub Sektor Penerangan, Pers
dan Komunikasi Sosial 49.115.000 18.572.000 67.687.000
15 SEKTOR ILMU PENGETAHUAN,
TEKNOLOGI DAN PENELITIAN 138.523.000 69.415.000 207.938.000
15.1 Sub Sektor Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi 39.281.000 35.102.000 74.383.000
15.2 Sub Sektor Penelitian 99.242.000 34.313.000 133.555.000
16 SEKTOR APARATUR
PEMERINTAH 174.327.000 2.114.000 176.441.000
16.1 Sub Sektor Aparatur Pemerintah 174.327.000 2.114.000 176.441.000
17 SEKTORPENGEMBANGAN
DUNIA USAHA 11.274.000 217.873.000 229.147.000
17.1 Sub Sektor Pegembangan Dunia
Usaha 11.274.000 217.873.000 229.147.000
18. SEKTOR SUMBER ALAM DAN
LINGKUNGAN HIDUP 165.828.000 93.361.000 259.189.000
18.1 Sub Sektor Sumber Alam dan
Lingkungan Hidup 165.828.000 93.361.000 259.189.000
JUMLAH 6.349.800.000 4.297.200.000 10.647.000.000

Departemen Keuangan RI 327


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN

TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN
1985/1986

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1985/
1986 pada dasarnya merupakan rencana kerja Pemerintah dalam rangka
pelaksanaan tahun kedua rencana tahunan Pembangunan Lima Tahun IV
dan di samping itu dimaksudkan pula untuk memelihara dan meneruskan
hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan pembangunan sejak
Pembangunan Lima Tahun I sampai dengan tahun pertama Pembangunan
Lima Tahun IV, dan sekaligus untuk meletakkan landasan bagi usaha-
usaha pembangunan selanjutnya;
b. bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk Tahun Anggaran
1985/1986 sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun
kedua dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun
IV, tetap disusun dengan mengikuti prioritas nasional sebagaimana
ditetapkan di dalam Pola Umum Pembangunan Lima Tahun IV yang
tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;
c. bahwa sehubungan dengan itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 1985/1986 perlu diatur dengan Undang-undang, dan
untuk lebih menjaga kelangsungan jalannya pembangunan maka dalam
Undang-undang tersebut diatur pula ten tang saldo-anggaran-Iebih dan
sisa kredit anggaran proyek-proyek pada anggaran pembangunan Tahun
Anggaran 1985/1986;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad tahun 1925 Nomor 448) se-
bagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1968 tentang Perubahan Posal 7 Indische Comptabili-
teitswet (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 53);

Departemen Keuangan RI 328


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ANGGARAN


PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1985/
1986.

Pasal l

(1) Pendapatan Negara Tahun Anggaran 1985/1986 diperoleh dari :


a. Sumber-sumber Anggaran Rutin;
b. Sumber-sumber Anggaran Pembangunan.

(2) Pendapatan Rutin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a menurut perkiraan
berjumlah Rp 18.677.900.000.000,00.
(3) Pendapatan Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b menurut
perkiraan berjumlah Rp 4.368.100.000.000,00.

(4) Jumlah seluruh pendapatan Negara Tahun Anggaran 1985/1986 menurut perkiraan
berjumlah Rp 23.046.000.000:000,00.
(5) Perincian pendapatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) berturut-turut
dimuat dalam Lampiran I dan Lampiran II.

Pasal 2

(1) Anggaran Belanja Tahun Anggaran 1985/1986 terdiri atas :


a. Anggaran Belanja Rutin;
b. Anggaran Belanja Pembangunan.
(2) Anggaran Belanja Rutin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a menurut perkiraan
berjumlah Rp 12.399.000.000.000,00.
(3) Anggaran Belanja Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b menurut
perkiraan berjumlah Rp 10.647.000.000.000,00.
(4) Jumlah seluruh Anggaran Belanja Negara Tahun Anggaran 1985/1986 menurut perkiraan
berjumlah Rp 23.046.000.000.000,00.
(5) Perincian pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Jan ayat (3) berturut-turut
dimuat dalam Lampiran III dan Lampiran IV.
(6) Perincian dalam Lampiran III sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) memuat sektor dan
sub sektor, sedangkan perincian lebih lanjut sampai pada kegiatan ditentukan dengan
Keputusan Presiden.

Departemen Keuangan RI 329


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

(7) Perincian dalam Lampiran IV sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) memuat sektor dan
sub sektor, sedangkan perincian lebih lanjut sampai pada proyek-proyek ditentukan
dengan Keputusan Presiden.

Pasal 3

(1) Pada pertengahan Tahun Anggaran dibuat


a. Anggaran Pendapatan Rutin;
b. Anggaran Pendapatan Pembangunan;
c. Anggaran Belanja Rutin;
d. Anggaran Belanja Pembangunan.

(2) Pada pertengahan Tahun Anggaran dibuat laporan realisasi mengenal :


a. Kebijaksanaan Perkreditan;
b. Perkembangan Lalu-lintas Pembayaran Luar Negeri.

(3) Dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disusun prognosa
untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dibahas bersama oleh
Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

(5) Penyesuaian anggaran dengan perkembangan/perubahan keadaan dibahas bersama oleh


Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 4

(1) Kredit anggaran proyek-proyek pada Anggaran Belanja Pembangunan Tahun Anggaran
1985/1986 yang pada akhir Tahun Anggaran menunjukkan sisa, dengan Peraturan
Pemerintah dipindahkan kepada Tahun Anggaran 1986/1987 dengan menambahkannya
kepada kredit anggaran Tahun Anggaran 1986/1987.
(2) Saldo-anggaran-Iebih Tahun Anggaran 1985/1986 ditambahkan kepada anggaran Tahun
Anggaran 1986/1987 dan dipergunakan untuk membiayai Anggaran Belanja
Pembangunan Tahun Anggaran 1986/1987.
(3) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyatakan pula, bahwa sisa
kredit anggaran yang ditambahkan itu dikurangkan dari kredit anggaran Tahun Anggaran
1985/1986.
(4) Sisa kredit anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum ditambahkan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1986/1987 terlebih dahulu
diperiksa dan dinyatakan kebenarannya oleh Menteri Keuangan.
(5) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan selambat-Iambatnya pada akhir
triwulan I Tahun Anggaran 1986/1987.

Departemen Keuangan RI 330


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Pasal 5

Selambat-Iambatnya pada akhir Tahun Anggaran 1985/1986 oleh Pemerintah diajukan


Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan alas Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1985/1986 berdasarkan tambahan dan perubahan sebagai hasil
penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) untuk mendapatkan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 6

(1) Setelah Tahun Anggaran 1985/1986 berakhir dibuat perhitungan anggaran mengenai
pelaksanaan anggaran yang bersangkutan.

(2) Perhitungan Anggaran Negara sebagaimana dim.aksud dalam ayat (1) setelah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Tahun Anggaran yang bersangkutan
berakhir.

Pasal 7

Ketentuan-ketentuan dalam Indische Comptabiliteitswet (Undang-undang Perbendaharaan)


yang hertentangan dengan bentuk, susunan, dan isi Undangundang ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal l April 1985.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indoneia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI/SEKRET ARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SR.

Departemen Keuangan RI 331


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

RANCANGAN PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN
TEN TANG

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA


TAHUN ANGGARAN 1985/1986

UMUM

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1985/1986 adalah


anggaran pendapatan dan belanja negara tahun kedua dalam rangka pelaksanaan REPELITA
IV. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1985/1986 mengikuri prioritas
nasional sebagaimana ditetapkan di dalam Pola Umum Pelita Keempat, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
Prioritas diletakkan pada pembangunan di bidang ekonomi dengan ririk berat pada sektor
pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha memantapkan swasembada pangan, dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri, baik industri
berat maupun industri ringan, yang akan terus dikembangkan dalam Pelitaj'elita selanjutnya.
Sejalan dengan prioritas pembangunan di bidang ekonomi, pembangunan di bidang polirik,
sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain, makin diringkatkan sepadan, dan agar saling
menunjang dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh pembangunan bidang ekonomi.

Sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara, khususnya Pola Umum Pelita
Keempat, kebijaksanaan dalam pelaksanaan pembangunan didasarkan kepada Trilogi Pem-
bangunan, yakni pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan ekonomi yang cukup ringgi, dan stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis. Keriga unsur Trilogi Pembangunan tersebut saling kait-
mengkait, dan perlu tetap dikembangkan secara serasi agar saling memperkuat.
Anggaran berimbang yang dinamis perlu disertai penyempurnaan pengelolaan
anggaran pendapatan dan belanja negara agar penerimaan negara makin meningkat, sedangkan
pengeluaran negara makin terkendali dan terarah, sehingga peranan Tabungan Pemerintab di
dalam anggaran pembangunan dapat lebih ditingkatkan lagi. Peningkatan penerimaan negara
diutamakan dari sumber-sumber di luar miIiyak bumi dan gas alam, antara lain melalui
penyempurnaan sistem perpajakan, yang disertai dengan pemungutan pajak yang lebih intensif,
dan ap;1fat yang makin mampu dan bersih.
Di bidang pengeluaran, maka pengeluaran terutama ditujukan untuk menyelesaikan
proyek-proyek, dan tahun berjalan, maupun dari tahun-tahun sebelumnya, di samping
memelihara hasil-hasil pembangunan. Selanjutnya diperlukan pula pengeluaran untuk tugas
umum Pemerintahan, antara lain untuk terus mendayagunakan aparatur negara agar lebih
mampu melaksanakan tugas yang kian meningkat sesuai dengan perkembangan pelaksanaan
pembangunan.

Adapun bantuan pembangunan kepada Desa, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat I,
serta bantuan pembangunan lainnya, seperti pengembangan sarana kesehatan, prasarana jalan,

Departemen Keuangan RI 332


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

dan penghutanan kembali tanah kritis, dilanjutkan sehingga secara keseluruhan dapat terus
menggerakkan dan meratakan pembangunan daerah, serta mengurangi tekanan pengangguran.
Di samping itu, terus pula dilaksanakan pembangunan di bidang pendidikan, serta bidang-
bidang lainnya, agar tercapai keserasian dan keselarasan pertumbuhan ekonomi nasional dan
daerah, yang diharapkan dapat menambah penyediaan dan perluasan lapangan kerja.

Selanjutnya, agar biaya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara maksimal sesuai
dengan kebijaksanaan anggaran, maka penggeseran antar program dan antar kegiatan dalam
anggaran belanja rutin, serta antar program dan antar proyek dalam anggaran belanja pem-
bangunan, dilakukan dengan persetujuan Presiden, sedangkan penggeseran antar sektor dan
antar sub sektor, baik dalam anggaran belanja rutin, maupun dalam anggaran belanja pem-
bangunan, dilakukan dengan Undang-undang.

Dalam rangka kesinambungan kegiatan pembangunan, sisa kredit anggaran proyek-


proyek pada anggaran pembangunan dan saldo-anggaran-Iebih Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1985/1986 ditambahkan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1986/1987. .

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka Anggaran Pendapatan dan


Belanja Negara Tahun Anggaran 1985/1986 disusun berdasarkan asumsi-asumsi umum sebagai
berikut :
a. bahwa keadaan perekonomian Indonesia khususnya sektor perdagangan internasional, dan
sektor penerimaan negara masih dipengaruhi oleh perekonomian dunia yang belum
menunjukkan kepulihan yang berarti.
b. bahwa kestabilan moneter, tersedianyabarang-barang kebutuhan pokok sehari-hari yang
cukup tersebar merata dengan harga yang stabil dan terjangkau oleh rakyat banyak, dapat
terus dipertahankan
c. bahwa penerimaan negara, khususnya yang berasal dari sektor perdagangan internasional
dapat mencapai target yang telah ditetapkan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)

Masalah kebijaksanaan kredit dan lalu lintas pembayaran luar negeri sebagian besar berada di
sektor bukan Pemerintah. Oleh sebab itu penyusunan kebijaksanaan kredit dan devisa dalam
benruk dan ani seperti anggaran rutin dan anggaran pembangunan sukar untuk dilaksanakan,
sehingga untuk itu dibuat dalam bentuk prognosa.

Departemen Keuangan RI 333


Nota Keuangan dan APBN Tahun 1985/1986

Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Pasal ini menentukan bahwa jika diperlukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tambahan dan Peru bahan, maka pengajuannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dilakukan selambat-lambatnya pada akhir Tahun Anggaran 1985/1986.

Pasal 6
Perhitungan Anggaran Negara sebagaimana dimaksud dalam Posal ini disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dalam benruk dan susunan yang ditetapkan oleh Pemerintah
dengan persetujuan Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Departemen Keuangan RI 334

You might also like