You are on page 1of 124

c c


  c c 
c 

 !"#$%&'#$$&(




















Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) Filsafat Islam



)*+
c *c c 
,--.#-%.#



/  c c0)c cc 
c  c   )) 
  c c/c c
1* 1cc c
%--.
±c±


 )c  c 



c,? ±

Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu.

Dinamika perkembangan ilmu yang begitu pesat dan cepat serta pengaruhnya

yang cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat, menuntut intensitas

pemikiran kita untuk mempelajari berbagai metode cabang ilmu secara terpadu

dan berkesinambungan. Hakikat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan

berdaya guna memberikan dorongan bagi kita dalam menjelaskan, meramalkan

dan mengontrol gejala-gejala alam.

Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor

peradaban telah memungkinkan manusia menemukan jati dirinya dan menghayati

hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan serta merta dikembangkan

manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan

pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang

menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai

masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kehidupan

sehari-hari, dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari

sejarah kebudayaannya.

Meskipun tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran

itu, namun pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan

didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni: Apakah yang ingin kita ketahui?
Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? dan Apakah nilai pengetahuan

tersebut bagi kita?1 Hal ini juga sesuai dengan dimensi utama filsafat ilmu itu

sendiri sebagai sebuah proses penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah

dan cara-cara untuk memperolehnya. Sebab filsafat ilmu itu sendiri bersinggungan

pula dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti filsafat pengetahuan

(hakikat serta otentisitas pengetahuan), ontologi (ciri-ciri serta susunan kenyataan)

dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggungjawab).2

Pertanyaan itu kelihatannya sederhana namun mencakup permasalahan

yang sangat azasi. Lahirnya sejumlah karya pemikiran besar pun sebenarnya

merupakan wujud nyata dari keseriusan kaum intelektual dalam rangka

merumuskan format penafsiran baru yang lebih bermutu atas ketiga pertanyaan

tersebut di atas. Pemikiran-pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan manusia

dapat dicirikan dan dibedakan dari cara mereka menjawab dan menyikapi

pertanyaan-pertanyaan itu yang merupakan titik tolak dalam pengembangan

pemikiran selanjutnya. Ilmu merupakan salah satu bentuk manifestasi dari

pengetahuan manusia yang pada abad modern ini telah merasuki setiap sudut

kehidupan manusia.

Salah satu pandangan kontemporer tentang ilmu yang paling menantang

dan provokatif adalah pandangan yang dikemukakan dan dibela secara gemilang

oleh Paul Karl Feyerabend. Ia mengajukan pandangan yang sangat menantang dan

baru dalam filsafat ilmu. Baginya, tidak ada penilaian mengenai watak dan status

1
Jujun Suparjan Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2.
2
Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soejono Soemargono,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. xii.
ilmu akan lengkap tanpa suatu usaha untuk memahaminya secara integral dan

holistik. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita

harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya secara mendalam, sehingga hal

tersebut bukan saja akan meningkatkan apresiasi kita terhadap ilmu itu sendiri,

namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan yang

dikandungnya.

Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber

kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Demikian

juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari ilmu, dan tidak mau

melihat kenyataan bahwa ilmu telah mampu membentuk peradaban seperti apa

yang kita saksikan sekarang ini, kepicikan seperti itu kemungkinan besar

disebabkan karena mereka kurang mengenal hakikat ilmu yang sebenarnya.

Menghadapi dua pola pendapat yang ekstrem ini seyogianya kita harus

bersikap lapang dan bijak dengan menyadari bahwa meskipun ilmu memang

memberikan gambaran konseptual tentang hakikat kebenaran, namun kebenaran

keilmuan bukanlah satu-satunya sumber kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat

berbagai model kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita.

Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran saja.

Adalah ketinggi hatian yang tidak mempunyai dasar sama sekali, jika kita

beranggapan bahwa ilmulah alpha dan omega dari segala kebenaran yang ada.

Dalam konteks pemikiran inilah, Paul Karl Feyerabend ingin melihat

mengapa pada abad modern ini ilmu pengetahuan diberi penghargaan tinggi
dalam masyarakat dibandingkan bidang-bidang lainnya. Seolah-olah kini ilmu

pengetahuan bersifat "anarkis".3

Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara tipikal

menilai ilmu adalah superior atas bentuk-bentuk pengetahuan lain tanpa

melakukan penyelidikan yang layak mengenai bentuk-bentuk pengetahuan lain.4

Ia mengemukakan bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar

tanpa argumentasi, bahwa ilmu (fisika) membentuk paradigma rasionalitas.

Secara kritis Feyerabend menulis tentang Imre Lakatos yang dianggapnya

sebagai rekan anarkis karena metodologinya tidak menyediakan hukum-hukum

untuk memilih teori atau program: "Setelah menyelesaikan rekonstruksinya

tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-

olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih unggul daripada sihir-sihir atau ilmu

Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada

secuil pun argumentasi yang dikemukakannya. 'Rekonstruksi rasional'

menganggap 'kearifan ilmiah' sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ai lebih

baik daripada 'kearifan' para ahli sihir dan tukang-tukang sulap. Feyerabend

menggambarkan hal tersebut dengan pernyataan berikut:

Having finished his µreconstruction¶ of modern science, he turns it against


other fields as if it had already been established that modern science is
superior to magic, or to Aristotelian science, and that it has no illusory
results. However, there is not a shared of an argument of this kind.
µRational reconstructions¶ take µbasic scientific wisdom¶ for granted, they

3
Prasetya T.W., "Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim
Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1993), hlm. 47.
4
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan
Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 149.
do not show that it is better than the µbasic wisdom¶ of witches and
warlocks. 5

Feyerabend tidak bersedia menerima keharusan superioritas ilmu atas

bentuk-bentuk pengetahuan lain, karena hal semacam itu hanya akan

membenarkan tentang adanya suatu fenomena ³penjajahan intelektual´ secara

terselubung. Dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia

juga menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen menentukan yang

menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain.

Apabila ilmu hendak diperbandingkan dengan bentuk-bentuk pengetahuan

lain, maka diperlukan penyelidikan terhadap watak, tujuan dan metode dari ilmu

itu serta bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Hal ini harus dilakukan dengan

meneliti "catatan-catatan sejarah, buku-buku pelajaran, tulisan-tulisan orisinal,

pembicaraan serta surat-surat pribadi, dan sebagainya". Ia mengatakan, ³«that is,

we shall have study historical records²texbooks, original papers, records of

meetings and private conversations, letters, and like´.6 Ia pun tidak bisa sekedar

asumsi tanpa penelitian lebih jauh, bahwa suatu bentuk pengetahuan yang sedang

diteliti itu harus sesuai dengan hukum-hukum logika, sebagaimana yang biasanya

dipahami oleh para filsuf dan rasionalis kontemporer.

Feyerabend meyakini bahwa tidak ada metodologi ilmu yang ada selama

ini yang bisa bertahan dari perubahan. Secara meyakinkan Feyerabend

mengemukakan bahwa metodologi-metodologi ilmu gagal menyediakan hukum-

hukum yang memadai untuk membimbing aktivitas para ilmuwan. Menurut

5
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge
(London: New Left Books, 1975), hlm. 205.
6
Ibid., hlm. 253.
Feyerabend, mengingat kompleksitas sejarah, maka tidak masuk akal untuk

mengharapkan ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar beberapa hukum

metodologi yang terlalu simplistik (sederhana) dan superfisial (dangkal).

Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi yang menolak

pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa rasionalitas

adalah agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas, konteks dan

historisitas. Baik rasionalisme maupun empirisme mendukung rasionalitas yang

menurutnya universal dengan cara yang berbeda.

Seperti halnya Kuhn yang berasumsi bahwa tidak ada suatu teori apa pun

yang bertahan dalam sejarah, Feyerabend menyangkal adanya rasionalitas yang

universal dan historis. Maksudnya, kebenaran universal yang tidak terikat dengan

ruang dan waktu, yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik

daripada yang lainnya.7

Kesamaan Feyerabend dengan Kuhn terletak pada tesis keduanya yang

menyatakan bahwa ilmu-ilmu atau teori-teori tidak bisa saling diukur dengan

standar yang sama. Feyerabend beranggapan bahwa makna dan interpretasi

tentang keterangan observasi tergantung pada konteks teoretis. Dengan begitu, ia

ingin menentang pandangan yang memisahkan teori dan observasi.

Konsekuensi logisnya adalah, tidak mungkinlah merumuskan keterangan

observasi yang sama dalam suatu konteks yang berbeda. Perbedaan dua teori atau

7
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,
2003), hlm. 119 dan 116.
lebih cukup mendasar, sehingga tidak mungkin saling membandingkan teori-teori

rival secara logis.8

Dalam sebuah kutipan yang agak panjang, Feyerabend mengatakan:

The idea that science can, and should, be run according to fixed and
universal rules, is both unrealistic and pernicious. It is unrealistic, for it
takes too simple a view of the talents of man and of the circumstances
which encourage, or cause, their development. And it is pernicious, for the
attempt to enforce the rules is bound to increase our professional
qualifications at the expense of our humanity. In addition, the idea is
detrimental to science, for it neglects the complex physical and historical
conditions which influence scientific change. It makes our science less
adaptable and more dogmatic«All methodologies have their limitations,
and the only rule that survives is µanything goes¶. 9

[Ide bahwa ilmu dapat dan harus berjalan sesuai dengan hukum-hukum
universal yang mapan, adalah tidak realistis dan juga merusak. Ia tidak
realistis, karena terlalu menyederhanakan bakat manusia dan keadaan
lingkungan yang mendorong atau menyebabkan perkembangan. Dan ia
merusak, karena usaha untuk memberlakukan hukum-hukum itu
cenderung meningkatkan kualifikasi profesional kita yang mengorbankan
rasa kemanusiaan. Selain itu, ide itu pun merugikan ilmu, karena ia
mengabaikan kondisi fisik dan historis yang kompleks yang
mempengaruhi perubahan ilmiah. Ia menyebabkan ilmu semakin kurang
bisa dikelola dan semakin dogmatik«Semua metodologi mempunyai
keterbatasannya dan satu-satunya 'hukum' yang survive adalah 'apa saja
boleh'].

Kasus Feyerabend yang menentang metode, memukul metodologi-

metodologi yang dianggap telah memberikan hukum-hukum untuk membimbing

para ilmuwan ini ternyata ditunjang dengan alasan yang kuat. Menurutnya: ³the

methodology of research programmes provides standards that aid the scientist in

evaluating the historical situation in which he makes his decisions; it does not

8
Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan:
Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 167-168.
9
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 295-6.
contain rules that tell him what to do´.10 Maksudnya, "Metodologi dan program-

program riset menyediakan standar-standar yang membantu ilmuwan menilai

situasi historis untuk mengambil keputusan-keputusannya; ia tidak berisi hukum-

hukum yang mendikte apa yang harus diperbuat ilmuwan´. Maka tidaklah

bijaksana, bahwa para ilmuwan dalam melakukan pemilihan-pemilihan dan

keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum yang diatur atau terkandung di

dalam metodologi-metodologi ilmu.

Feyerabend membela apa yang ia sebut sebagai "sikap kemanusiawian"

yang memandang bahwa manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan

sebagaimana yang diperjuangkan John Stuart Mill. Feyerabend menyetujui usaha

meningkatkan kebebasan menuju ke kehidupan yang penuh dan produktif.

Ia mendukung Mill dalam membela "pembinaan individualitas yang secara

pribadi mampu berproduksi sendiri, atau dapat memproduksi manusia-manusia

yang maju". Feyerabend menyatakan bahwa, It is in conflict µwith cultivation of

individuality which alone produces, or can produce, well-developed human

beings¶.11

Dari sudut pandang kemanusiawian ini, pemikiran anarkis Feyerabend

tentang ilmu mendapatkan dasar pembenarannya, karena di dalam ilmu ia

memang diarahkan guna meningkatkan kebebasan individu dengan memacu

penyingkiran segala macam kungkungan metodologis.

Dalam konteks yang lebih luas, ia senantiasa mendorong semangat

kebebasan bagi para individu untuk memilih antara ilmu dan bentuk-bentuk

10
Ibid., hlm. 186.
11
Ibid., hlm. 20.
pengetahuan lain. Jadi jelas sekali, bahwa Feyerabend menolak sikap otoriter

dalam bentuk apapun juga.

Feyerabend hendak mendobrak anggapan bahwa ada keteraturan dalam

perkembangan ilmu yang hendak diwujudkan dalam hukum dan sistem. Sebab

pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa diterangkan

ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun hukum yang berlaku.

Ia harus bebas karena memang kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan merupakan

suatu upaya yang anarkistik. Pendapat Feyerabend ini juga harus dilihat

sehubungan dengan analisisnya tentang masyarakat.

Dalam perspektif Paul Karl Feyerabend, perkembangan ilmu di dalam

masyarakat kita tidak lagi konsisten dengan sikap kemanusiawian. Di kalangan

masyarakat kita dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama

dengan posisi agama seperti halnya pada masa Abad Pertengahan. Ilmu

pengetahuan memiliki kuasa mutlak. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak

lagi berfungsi membebaskan manusia, namun justru menguasai dan memperbudak

manusia.

Apa yang perlu kita lakukan dalam masalah ini, tulis Feyerabend, adalah

"membebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu yang membatu secara

ideologis, persis seperti nenek moyang kita membebaskan kita dari kungkungan

'agama satu-satunya' yang benar". Ia menyatakan, ³let us free society from the

strangling hold of an ideologically petrified science just as our ancestors freed us


12
from the strangling hold of the One True Religion!´.

12
Ibid., hlm. 307.
Hal ini perlu ditempuh karena menurut citra Feyerabend, setiap individu

dilahirkan ke dalam suatu masyarakat yang sudah eksis lebih dulu, dan dalam

pengertian itu, masyarakat itu bukanlah pilihannya yang bebas. Kebebasan yang

dimiliki seorang individu akan tergantung pada posisi yang ia duduki di dalam

struktur sosial tersebut, dan oleh karena itu, suatu analisa tentang struktur sosial

bersangkutan merupakan prasyarat untuk mengerti tentang kebebasan sang

individu.

Setidaknya ia menyadari hal semacam ini dan dalam satu bagian tentang

kebebasan riset, Feyerabend menulis: ³The scientist is still restricted by the

properties of his instruments, the amount of money available, the intelligence of

his assistants, the attitude of his colleagues, his playmets²he or she²is restricted

by innumerable physical, physiological, sociological, historical contraints´.13

Artinya bahwa, "Ilmuwan masih dibatasi oleh sifat-sifat dari instrumen-

instrumennya, jumlah uang yang bisa diperolehnya, kecakapan para asistennya,

sikap rekan-rekannya, teman-teman mainnya²lelaki atau perempuan²ia dibatasi

oleh banyak sekali kekangan fisik, psikologis, sosiologis dan historis".

Seluruh pembicaraan dan perdebatan tentang pemikiran Paul Karl

Feyerabend tersebut di atas tersimpul dalam sebuah mainstream yang padat

makna, anarkisme ilmu pengetahuan, sebagai suatu kritik yang diajukan dan

ditujukan untuk semakin dapat menemukan wajah ilmu pengetahuan yang

sebenarnya. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua

sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

13
Ibid., hlm. 187.
Yang pertama, dengan memegang semboyan anti-metode (Against

Method), Feyerabend ingin melawan batang tubuh beserta metode ilmu

pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang

baku dan universal serta tahan sepanjang masa, dan juga dapat membawahi semua

fakta dan penelitian.

Kemudian, atas nama kebebasan yang sama, Feyerabend mempunyai sikap

anti-ilmu pengetahuan (Against Science) sebagai kritik terhadap praktek ilmiah,

kekuasaan, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam masyarakat yang

kerapkali melampaui maksud utamanya. Dengan posisi seperti ini, ia hendak

melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul

daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain semisal sihir, magi,

voodoo, mitos, dan sebagainya.

Feyerabend menyimpulkan bahwa, sains maupun rasionalitas bukanlah

ukuran unggul yang universal. Keduanya adalah tradisi partikular yang tidak

menyadari latar historisnya sendiri. Ilmu pengetahuan sebagaimana tinjauan

historis Feyerabend, lebih merupakan suatu perkembangan dari berjuta-juta

alternatif, satu dengan yang lain tidak selalu terdapat konsistensi atau

kesepadanan.14

Maksud dari semua itu sebenarnya adalah, Feyerabend ingin mengatakan

bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka

yang dipropagandakan oleh para ilmuwan. Ia memilih istilah realisme ilmiah yang

14
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 130.
dalam salah satu bentuknya berupa aktivitas-aktivitas kita mengumpulkan

pengetahuan sebagai jalan terbaik untuk memahami dunia.

Dalam pengertian ini berarti ilmu pengetahuan tidak hanya sanggup

menghasilkan prediksi-prediksi saja, melainkan juga berpotensi untuk menggali

hakikat realitas yang menjadi cita-cita dari pengembangan ilmu pengetahuan itu

sendiri. Realisme ini akan bisa terwujud pada saat teori-teori, sistem pemikiran,

dan kerangka-kerangka pandang diterapkan dalam bentuknya yang paling kuat,

bukan sekedar sebagai skema-skema bagi setiap proses kejadian yang kodratnya

ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan eksternal, tetapi sekaligus juga

bertindak sebagai penentu orientasi keilmuan yang telah dirancangnya.

Pada akhir kegelisahan intelektualnya, Feyerabend menawarkan terma

anarkisme sebagai obat mujarab dalam menyembuhkan epistemologi dari

sakitnya. Sebagai obat bukan berarti ilmu pengetahuan harus menjadi anarkis,

namun baik epistemologi maupun filsafat ilmu pengetahuan harus menerima

anarkisme agar dengan demikian kita akan kembali kepada bentuk-bentuk

rasionalitas yang lebih jelas dan bebas, kurang lebih seperti yang diproyeksikan

dan diidealisasikan oleh Feyerabend.

Adanya klaim bahwa anarkisme ilmu pengetahuan sebagai bentuk

kesewenang-wenangan epistemologis Feyerabend perlu kiranya dimengerti dalam

porsi pemahaman yang tepat dan seimbang. Sebab pada kenyataannya istilah

ekstrem itu dimaksudkan untuk memberikan kritik eksternal terhadap metode dan

praktek ilmu pengetahuan yang acapkali mengaburkan karakter dan tujuan dasar

utamanya. Tetapi hal itu mungkin bisa dipahami karena memang seorang anarkis
di bidang ilmu pengetahuan oleh Feyerabend diistilahkan²mengutip pendapat

Hans Richter²sebagai dadais yang anti terhadap segala bentuk kemapanan.

Maka berkaitan dengan persoalan itu pula, skripsi ini diangkat guna

menelaah lebih jauh mengenai beberapa pokok pemikiran Feyerabend beserta

aspek penting lain yang terdapat di dalamnya. Secara khusus, dalam tulisan ini

penulis ingin melacak dan mengurai sejauhmana konsistensi dari seluruh sistem

pemikiran Feyerabend dalam alur sejarah perkembangan ilmu pengetahuan

dengan berbagai tawaran metodis yang disodorkannya.

Sebagai sebuah kajian serius tentang tokoh filsafat ilmu pengetahuan baru,

Feyerabend melontarkan gagasan kritis-progresif yang sayangnya sampai saat ini

masih relatif kurang bisa dibaca, dipelajari dan diakses lebih jauh oleh para

peminat filsafat pada khususnya serta kalangan dunia akademis pada umumnya.

Mungkin hal inilah yang kemudian menjadi latar dari pemilihan tokoh dan

pembahasan topik Paul Karl Feyerabend, yang dalam rekaan awal penulis,

beberapa pandangan ilmu pengetahuannya tidak lebih hanya sekedar reaksi

keilmuan mengenai presuposisi-presuposisi akan adanya berbagai deviasi

(penyimpangan) nilai-nilai etis-praktis ilmu pengetahuan yang diterapkan oleh

para ilmuwan kala itu saja.

Namun setelah melalui proses studi yang runut dan seksama, ternyata

penulis menemukan beberapa endapan gagasan vital dan relatif belum banyak

diperbincangkan muatan-muatan filosofisnya, yang selain disinyalir menjadi

tonggak kebangkitan era filsafat ilmu pengetahuan baru pasca dominasi aliran

Positivisme Logis, juga telah dianggap berhasil memecahkan kebuntuan


monometodologi ilmu pengetahuan untuk direinterpretasikan dan

direformulasikan secara paradigmatik dan anarkistik, tanpa terikat oleh hukum-

hukum positivistik-logis yang berkembang sebelum masa Feyerabend.

Pondasi ilmu pengetahuan Feyerabend yang berusaha mendobrak

keangkuhan format dan prosedur-prosedur sains modern ini telah menggugah

kesadaran kolektif kita untuk merefleksikan ulang tentang asumsi-asumsi ilmiah

sebagai simbol kemajuan peradaban modern, yang telah beralih fungsi menjadi

semacam arogansi intelektual, atau terkesan hanya menjadi menara gading, dan

pada akhirnya berujung pada retorika serta ideologi tertutup yang penuh

kedangkalan makna dan kepentingan-kepentingan tertentu.

Maka dengan pluri-metodologi dan pandangan konstruktivis-kontekstualis

seperti yang dinyatakan oleh Feyerabend, kita jadi mafhum bahwa semua klaim

pengetahuan (fakta, kebenaran, validitas) hanya dapat dimengerti dan

diperdebatkan dalam konteks dan dalam paradigma atau komunitas tertentu pula.

Tidak satupun yang diterima sebagai fakta, teori, atau kesimpulan yang selesai

atau final, sebab penerimaan atas pluri-metodologi Feyerabend ini memang

mengandaikan adanya berbagai standar kebenaran.

Dengan mengacu pada realitas historis seperti itu, penulis pun

berketetapan hati untuk menempatkan segi-segi fundamental filsafat ilmu

pengetahuan Feyerabend tersebut sebagai starting point dan landasan pemikiran

dalam menggali dan mengolah ide-ide dasar ilmu pengetahuan Paul Karl

Feyerabend secara lebih jelas dan obyektif. Harapannya, paling tidak urgensi
topik dalam penulisan karya ilmiah ini bisa menambah koleksi seri tokoh filsafat

ilmu di masa mendatang.

±,? 

Dari deskripsi umum di atas, ada beberapa kata kunci yang perlu kiranya

dicermati dari pola pemikiran yang dibangun oleh tokoh utama dalam fokus

kajian skripsi ini, yakni Paul Karl Feyerabend. Banyak jalinan ide penting

Feyerabend yang saling berhubungan dalam membentuk konsep-konsep penting

lainnya sehingga semakin memperkokoh landasan teoretis yang dituangkan

semasa hidupnya.

Oleh karena itu, agar alur pembahasan ini tepat sasaran, terarah dan sesuai

dengan maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka tentu saja ruang lingkup

masalah yang akan dijadikan sumber acuan nantinya terbatas dan terumus dalam

masalah-masalah berikut, yaitu:

1.? Bagaimana prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend dalam

filsafat ilmu pengetahuannya?

2.? Bagaimana corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Paul Karl

Feyerabend?

A,? 2


Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah:

1.? Mengetahui prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend secara

utuh dan mendalam.


2.? Mengetahui corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan yang digunakan

oleh Paul Karl Feyerabend secara jelas dan memadai.

),? 


Menurut sumber bacaan yang ada, metodologi penelitian merupakan

serangkaian metode yang saling melengkapi dalam melakukan penelitian.15 Sifat

dari penelitian ini sendiri adalah kajian kepustakaan (Vibrary Research) yang

memuat data-data dan bahan-bahan yang mendukung dan melengkapi terhadap isi

pembahasan ini baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, artikel, dan sebagainya.

Selanjutnya dalam proses pengumpulan data-data tersebut, penulis

berusaha untuk menghimpun data primer maupun sekunder yang sekiranya ada

kaitannya dengan pokok pembicaraan dalam skripsi ini. Data primer itu berupa

buku masterpiece Paul Karl Feyerabend sendiri yang berjudul Against Method,

sedangkan data sekunder adalah berupa karya-karya Feyerabend lainnya yang

dilengkapi pula dengan tulisan atau karya ilmiah para ahli yang secara khusus

mengkaji dan membahas tentang pemikiran Paul Karl Feyerabend.

Disamping itu, penelitian ini juga merupakan penelitian historis-faktual

mengenai seorang tokoh16, dalam hal ini Paul Karl Feyerabend. Dalam kaitan ini,

penulis berusaha menyelami pikiran, karya dan latar belakang historis yang

melingkupi sejarah kehidupan dan keilmuannya.

15
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi
(Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002), hlm. 9.
16
Anton Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 61.
Untuk mempermudah prosedur pengolahan data itu, maka dalam

penelitian ini penulis menggunakan metode-metode khusus, yaitu: (1) þeskriptif.

Dengan metode ini, peneliti menguraikan dan membahas secara sistematis dan

terperinci seluruh konsepsi pemikiran tokoh yang bersangkutan.17 Dalam konteks

ini, penulis akan menggambarkan dan menguraikan sepenuhnya dengan memakai

analisis filosofis tentang konstruksi filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dan

beberapa gagasan penting lainnya secara lebih lengkap dan jelas. (2) Interpretatif.

Dalam hal ini, peneliti berusaha menyelami karya tokoh untuk menangkap

kandungan arti dan nuansa yang dimaksudkan secara spesifik.18 (3) Analisis.

Dengan cara ini, penulis akan merinci istilah-istilah atau pendapat-pendapat tokoh

(Feyerabend) ke dalam bagian-bagian khusus tertentu sehingga dapat dilakukan

pemeriksaan atas arti yang dikandungnya, dengan maksud untuk memperoleh

kejelasan tentang arti yang sebenar-benarnya.19 Dengan begitu, diharapkan

nantinya akan bisa diperoleh suatu pemahaman yang benar pula tentang ciri, sifat,

latar belakang dan ide-ide dasar Feyerabend itu sendiri.

,? 2


Diantara para filsuf sezamannya, Feyerabend dinilai paling kontroversial,

paling berani dan paling ekstrem, yang terutama didasarkan pada karya

17
Ibid., hlm. 65.
18
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
98. Lihat juga dalam Anton Bakker dan A. Charris Zubair, op.cit., hlm. 63.
19
Ibid., hlm. 60.
monumentalnya, Against Method. W.H. Newton-Smith20 menilai bahwa tidak ada

kritik terhadap ilmu pengetahuan setegar dan selantang kritik Feyerabend. Kritik

yang disampaikan melalui buku itu telah menggambarkan panggung filsafat pada

tahun 70-an21 yang banyak mengundang polemik dan perdebatan sengit.

Sudah ada beberapa literatur yang mengupas jejak-jejak pemikiran

Feyerabend, baik dalam versi Bahasa Indonesia maupun asing. Misalnya tulisan

Prasetya T.W. yang berjudul ³Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl

Feyerabend´, yang dimuat dalam antologi buku Hakikat Pengetahuan dan Cara

Kerja Ilmu-ilmu.22 Secara lengkap dan padat, di dalamnya diuraikan seluk-beluk

kemunculan Feyerabend dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan serta sejarah awal

perjalanannya menjadi seorang anarkis. Dalam buku itu juga, dijelaskan tentang

definisi dari anti-metode dan anti-ilmu pengetahuan yang menjadi kritik utama

dalam pemikiran Feyerabend.

Selain itu pula, buku yang secara representatif dalam menampilkan dan

menanggapi urgensi pemikiran Feyerabend juga diungkapkan oleh A.F. Chalmers

dalam sub-topik bahasan, ³Teori Anarkistis Feyerabend Tentang Pengetahuan´,

yang termaktub dalam bukunya Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian

20
W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul
Ltd., 1981), sebagaimana yang dikutip oleh Endro Witj., Feyerabend: Rasionalitas Ilmu Yang
Goyah, dalam Fokus, Februari 1989, hlm. 34.
21
Kees Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987),
hlm. 17.
22
Prasetya T.W., ³Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend´, dalam
Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1993).
Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya.23 Buku ini secara teliti dan

akurat memberikan ringkasan tentang segi-segi kunci pandangan Feyerabend yang

meliputi seluruh konstruksi epistemologinya dengan disertai kritik-kritik yang

cukup argumentatif-korektif.

Buku lain yang membicarakan sisi-sisi pemikiran Feyerabend adalah The

Rationality of Science, karya W.H. Newton Smith24, yang berintikan tema-tema

aktual dan liberal Feyerabend secara menyeluruh, mulai dari konsep anti-metode

yang merupakan topik utama pemikirannya sampai gagasan-gagasan vital lainnya,

seperti pandangan Feyerabend tentang prosedur kontra-induksi, ketidaksepadanan,

dan seterusnya yang dibahas secara tuntas dan mendalam.

Satu lagi buku rujukan yang berkaitan dengan fenomena pemikiran

Feyerabend adalah apa yang ditulis oleh Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya,

Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode.25 Seri pengantar tokoh filsafat ini

memberikan garis-garis besar haluan sebagai gambaran awal yang sistematis

tentang sosok filsuf Paul Karl Feyerabend yang kerapkali mendera sains dengan

kritik-kritik kerasnya. Ia tidak menawarkan metodologi apapun sebagai ganti

induksi yang selama ini dijadikan panduan utama cara kerja ilmiah. Dengan

lantangnya, Feyerabend justru memproklamirkan anarkisme epistemologis yang

23
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan
Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982).
24
W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul
Ltd., 1981).
25
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,
2003).
berhasil membuka sumbat penyatuan metode yang selama ini diberhalakan oleh

sains.

Dari sekian literatur tersebut di atas, ada perbedaan yang cukup signifikan

dengan maksud penelitian ini, yaitu bahwa artikel yang ditulis oleh Prasetya T.W.

hanya sebatas mengenalkan sejarah awal dan garis-garis besar haluan filsafat ilmu

pengetahuan Feyerabend dalam pergulatannya dengan aliran Positivisme Logis.

Sedangkan buku A.F. Chalmers dan W.H. Newton-Smith sekedar rangkuman dari

beberapa substansi pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan

saja yang pembahasannya terkesan ambivalen tanpa disertai jalinan sketsa ilmu

pengetahuan Feyerabend dengan pemikiran tokoh-tokoh lain serta minimnya

aspek historisitas mengenai kemunculan dan keterlibatan Feyerabend dalam

wacana filsafat ilmu pengetahuan secara terperinci.

Demikian juga dengan buku Akhyar Yusuf Lubis sebagai buku pengantar

dalam memahami traktat-traktat berat filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend yang

secara khusus hanya µmemandu¶ pembaca untuk mengenal ciri, sifat dan latar

belakang pemikiran filsafat Feyerabend yang disisipi juga penjelasan tentang titik

persinggungannya dengan model metodologi ilmu pengetahuan yang berkembang

sebelumnya, semisal metodologi Galilean dan metodologi Positivisme Logis.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis secara spesifik berusaha

menyelidiki pokok-pokok masalah yang menjadi sasaran kritik utama Feyerabend

serta letak-letak perbedaan fundamental yang terdapat dalam corak pemikiran

filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend dengan para filsuf ilmu pengetahuan


lainnya, tanpa terperangkap ke dalam pemihakan-pemihakan subyektif yang

terkesan berlebihan dan kontraproduktif.

Selain daripada itu, penulis juga akan mengkaji sejauhmana konsekuensi-

konsekuensi yang ditimbulkan dari dasar-dasar pemahaman epistemologi

Feyerabend dalam mindset sosio-kultural masyarakat yang akhir-akhir ini secara

tidak kritis cenderung hanya terpaku pada satu bentuk kebenaran monologis yang

bersumber dari konsepsi keilmuan tertentu.

, ? 
!

Untuk lebih mudah dan urutnya penulisan ini, maka pembahasan dalam

skripsi ini akan dikelompokkan menjadi beberapa bab dan sub-bab, yaitu:

Diawali dengan ±ab I, yang mencakup latar belakang, rumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan

sistematika pembahasan.

Kemudian ±ab II, berisi tentang biografi singkat Paul Karl Feyerabend

yang terdiri dari riwayat hidup, karya serta tokoh-tokoh yang membentuk watak

dan mempengaruhi karakteristik pemikirannya.

Selanjutnya ±ab III, menyarikan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan

Paul Karl Feyerabend yang berkisar tentang persoalan apa saja boleh (anything

goes), ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak

harus mengungguli bidang-bidang pengetahuan lain, dan kebebasan individu.

Disusul dengan ±ab IV, yang merupakan intisari pembahasan yang

mengetengahkan tentang penafsiran Paul Karl Feyerabend terhadap makna


anarkisme sebagai kritik atas ilmu pengetahuan itu sendiri berupa anti-metode

(Against Method), dan anti-ilmu pengetahuan (Against Science).

Terakhir ±ab V, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran

dari penulis berdasarkan seluruh hasil pembahasan yang dilakukan dan ditekuni

selama dalam proses awal sampai akhir penyusunan skripsi ini.

 ±c±

 ±* c
c c1c± )#$%&'#$$&(



c,? 3    

Paul Karl Feyerabend lahir pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945

ia belajar seni suara teater, dan sejarah teater di Institute for Production of

Theater, the Methodological Reform the German Theater di Weimar. Sepanjang

hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Ia belajar Astronomi, Matematika,

Sejarah, Filsafat. Menurut pengakuannya, kalau ia mengingat masa itu, ia

menggambarkan dirinya sebagai seorang rasionalis. Maksudnya, ia percaya akan

keutamaan dan keunggulan ilmu pengetahuan yang memiliki hukum-hukum

universal yang berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat

dipertanggungjawabkan.

Keyakinan rasionalitasnya pada masa itu tampak dari kiprahnya dalam

Himpunan Penyelamatan Fisika Teoretis (A Club for Salvation of Theoretical

Phsysics).26 Keanggotaannya dalam kelompok tersebut tentu melibatkan dirinya

dengan eksperimen-eksperimen ilmu alam dan sejarah perkembangan ilmu fisika


26
Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja
Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 48.
itu sendiri. Dari sinilah ia melihat hubungan yang sesungguhnya antara

eksperimen dengan teori yang ternyata relasi itu tidak sesederhana apa yang

dibayangkan dan dijelaskan dalam buku-buku pelajaran selama ini.

Terjadinya perubahan pemikiran dalam Paul Karl Feyerabend itu

setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karena adanya

perkembangan baru dalam ilmu fisika, terutama fisika kuantum. Ia melihat bahwa

fisika kuantum telah menolak beberapa patokan dasar fisika yang ketika itu

dianggap modern (Newtonian) yang di atasnya prinsip-prisnip positivisme

ditegakkan. Yang Kedua, sambutan para fisikawan/filsuf terhadap teori mekanika

kuantum yang dianggap sebagai dukungan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Gagasan Popper, Thomas S. Kuhn, dan terutama Imre Lakatos, sangat

mempengaruhi pemikiran filsafatnya.27

Pada permulaan tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari

Karl Raimund Popper di London. Waktu itu ia masih tetap berpegang teguh pada

keyakinan rasionalitasnya, bahkan ia berpendapat bahwa perkenalannya dengan

Popper semakin memperteguh keyakinannya itu.

Ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang fisika dari Wina University dan

kemudian mengajar di California University. Ia telah menyatakan diri sebagai

seorang ³anarkis´ yang menentang penyelidikan terhadap aturan-aturan

penggantian teori dan pembangunan kembali pemikiran rasional dari kemajuan-

kemajuan ilmu pengetahuan. Sikap Feyerabend tentang ³apa saja boleh´ dan

27
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,
2003), hlm. 101-102.
bahwa sasaran dari kreativitas dalam ilmu pengetahuan itu adalah sebagai bentuk

pengembangbiakan teori-teori.28

Pada tahun 1953, ia menjadi pengajar di Bristol. Tahun-tahun berikutnya

mengajar Estetika, Sejarah Ilmu Pengetahuan dan Filsafat di Austria, Jerman,

Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Pada tahun-tahun itu pula ia mulai

mengalami pertobatan pemikiran. Tidak bisa tidak pertobatannya itu merupakan

akibat dari perkenalannya dengan Imre Lakatos, yang meniupkan pemikiran-

pemikiran anarkis terhadapnya.29

Kelak, Feyerabend menyebutkan bahwa Lakatos dianggap sebagai sahabat

anarkisnya. Lagi pula seperti yang ia akui, Lakatoslah yang mendorongnya untuk

menuliskan gagasan-gagasannya. Seperti yang pernah dikatakan Lakatos padanya,

µPaul, µhe said, µyou have such strange ideas, why don¶t you write them down?30

Dalam pertobatannya itu ia melihat bahwa dalam sejarah mekanika

kuantum, bermacam-macam patokan telah dilanggar, dan anehnya patokan itu

dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam

pertobatannya itu, Feyerabend mengajukan pertanyaan: apakah manusia tidak

mengejar ilusi-ilusi kalau mencari hukum universal guna mencapai hasil dalam

ilmu pengetahuan?

Tahun 1958 ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley,

tempat ia mengajar sampai akhir hayatnya. Tahun 1964-1965 proses

28
John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition
(New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 177.
29
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge
(London: New Left Books, 1975), hlm. 5. Feyerabend mempersembahkan buku ini kepada Imre
Lakatos dengan menulis To Imre Vakatos, friend and fellow-anarchist.
30
Ibid., hlm. vii.
pertobatannya dipercepat karena percakapannya dengan Carl Freither von

Weizsäcker di Hamburg mengenai dasar-dasar mekanika kuantum. Pertobatannya

itu juga dipercepat oleh keraguannya terhadap bangunan sistem pendidikan

intelektualistis di tempat ia bekerja sebagai pengajar.31

Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against Method yang terbit

pada tahun 1970, suatu karangan panjang yang pada tahun 1975 diolah lagi

menjadi sebuah buku dengan judul yang sama pula. Terbitnya buku itu ternyata

mampu menyedot dan menyulut antusiasme publik dengan adanya berbagai

kontroversi, diskusi dan kritik yang cukup beragam corak dan pemaknaannya dari

para tokoh filsafat dan kaum ilmuwan secara luas. Maka sebagai jawaban atas

kritik terhadap pemikirannya itu, ia pun kemudian menerbitkan lagi beberapa

buku yang memuat penjelasan serta argumentasi atau perluasan gagasan yang

sudah diulas dalam buku yang dikritik sebelumnya. Namun begitu, munculnya

tanggapan dari berbagai pihak itu seolah-olah justru semakin memperkokoh

pemikiran anarkisnya.

Mungkin Feyerabend merupakan salah satu filsuf yang sangat provokatif

pada abad ke-20. Ia giat melakukan perlawanan terhadap setiap gagasan ilmu

yang memiliki metodologi tersendiri untuk membatasinya dengan yang bukan

ilmu dan ilmu palsu. Walaupun mulai dulu sampai sekarang banyak usaha-

usahanya yang disia-siakan, tetapi usaha itu bisa dijadikan sebagai dasar persiapan

yang masih layak dan berharga bagi bentuk-bentuk perlawanan lain.32

31
Prasetya T.W., op.cit., hlm. 49.
32
Yuri Balashov and Alex Rosenberg (eds.), Philosophy of Science: Contemporary
Readings (London: Routledge, 2002), hlm. 141.
Dalam analisis Don Cupitt, sebagai seorang filsuf sains dari California

yang sangat Californian sekali, Feyerabend berargumen bahwa apa yang ia sebut

dengan ³teori pengetahuan anarkistik´ merupakan pemaknaan ulang terhadap

pengetahuan saintifik. Baik filsuf maupun yang lainnya berhak menetapkan dan

menggambarkan apa saja yang diperbolehkan sebagai metode saintifik, baik yang

termasuk kategori sains asli ataupun yang bukan sains sekalipun. Sebab beberapa

usaha untuk menjalankan aturan-aturan yang ada sebelumnya hanya mengundang

pertentangan seperti yang nampak jelas pada kasus konflik agama dan (menurut

Feyerabend) juga berlaku pada kasus sains. Sudah banyak contoh sejarah yang

mengesampingkan hal-hal semacam itu sebagai intuisi tandingan teori-teori

saintifik, seperti transmutasi spesies, relativitas umum dan teori kuantum.33

±,?
 !456


Dalam menempatkan konteks pemikiran Feyerabend, penulis membatasi

diri mulai dari tahun 1920-an sampai Feyerabend muncul di panggung filsafat.

Semenjak tahun 1920, panggung filsafat ilmu pengetahuan dikuasai oleh aliran

Positivisme Logis. Kelompok ini berusaha memperbaharui positivisme abad ke-

19 yang telah dirintis oleh tokoh positivisme klasik August Comte (1798-1857)

dan para pengikutnya yang dinilai diwarnai pemikiran yang bersifat dogmatis dan

indoktrinasi ideologi yang mengarah kepada absolutisme.34

33
Don Cupitt, After God: Masa þepan Agama, terj. Abdul Qodir Shaleh (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2001), hlm. 204-205.
34
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Vogika (Bandung: Remadja
Karya, 1985), hlm. 2.
Filsafat Comte adalah anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang

ditemukan secara positif-ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang

gejala-gejala (fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat

kenyataan yang tidak mempunyai arti faktual sama sekali. Sebab bagi Comte,

hanya ada satu hal yang penting, yaitu savoir pour prévoir, ³mengetahui supaya

siap untuk bertindak´, ³mengetahui agar manusia dapat memperkirakan apa yang

akan terjadi´. Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan

hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual tersebut sehingga ia

dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Hubungan-

hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan konsep-konsep atau

hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran manusia. Tetapi

lawan dari filsafat positivisme ini bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan

filsafat spekulatif atau obyek metafisik.35

Positivisme klasik merumuskan hukum-hukum positif itu sebagai berikut:

³Setiap perkembangan pemikiran rohani dan ilmu pengetahuan manusia secara

berturut-turut melewati tiga tahap (stadia) yang berbeda, yakni tahap teologis

yang berdasarkan fantasi, tahap metafisis yang abstrak dan tahap positif-ilmiah´.

Tahap teologis, merupakan tahap dimana manusia percaya akan kemungkinan

adanya kekuatan adikodrati yang mutlak.

Dalam tahap teologis ini terdapat tiga tahap lagi: animisme, politeisme dan

monoteisme. Berdasarkan kepercayaan animistis ini, manusia beranggapan bahwa

benda-benda itu merupakan sesuatu yang bergerak. Banyak benda disebut suci

35
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat ±arat Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.
54-55.
dan sakti yang biasa diidentikkan dengan dewa-dewa, seperti dewa api, dewa

lautan, dewa angin, dewa panen, dan sebagainya, diatur dalam suatu sistem

sehingga menjadi paham politeisme dengan berbagai macam spesialisasinya.

Selanjutnya, semua gejala tersebut dikembalikan pada satu sumber kekuatan

tunggal, yakni satu keilahian yang pada akhirnya melahirkan pemikiran tentang

monoteisme.36

Kemudian dalam tahap metafisis, alam pikiran manusia secara simbolis

beralih kepada kekuatan-kekuatan kosmis yang abstrak. Pada tahap positif-ilmiah,

manusia mulai sadar dan mengetahui bahwa upaya teologis dan metafisis itu tidak

ada gunanya. Dari sini kemudian manusia berusaha mencari hukum-hukum alam

dengan memakai kemampuan akal budi yang dimilikinya.37

Di lain pihak, kaum Positivisme Logis itu sendiri menolak filsafat yang

tidak menghiraukan kenyataan dan susunan serta hasil ilmu pengetahuan empiris.

Mereka menganggap bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang benar adalah

pengetahuan yang telah diatur dan dirumuskan dalam kaidah-kaidah ilmu alam

dan diperoleh dari pengamatan inderawi serta dapat diperiksa secara empiris.

Aliran Positivisme Logis membagi pengetahuan hanya terbatas kepada

ilmu matematika (ilmu pasti) dan ilmu-ilmu lain yang diperoleh dari gejala-gejala

yang dapat diamati oleh indera. Pengetahuan semacam ini yang disebutnya

sebagai pengetahuan positif, artinya dapat dinyatakan atau dibuktikan (verifiable-

positive knowledge). Seperti halnya dengan Bacon yang mendeskripsikan semua

36
Ibid., hlm. 55.
37
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 114-
115.
pengetahuan atas dasar pengalaman dan pengamatan inderawi, kalangan

Positivisme Logis menolak persoalan sebab-sebab terakhir (final causes) yang

menjadi pokok perdebatan filsafat klasik, terutama mengenai sebab pertama (first

cause), sehingga mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan pun sama sekali

mereka tolak.38 Kiranya pandangan Positivisme Logis ini mempunyai dasar-dasar

persamaan ontologis dengan aliran Naturalisme yang juga menentang segala

bentuk pikiran yang menyatakan adanya suatu dunia yang bersifat adialami atau

transendental.39

Bagi aliran ini, persoalan-persoalan ilmiah harus dipecahkan secara lebih

tepat dan sistematis dengan menggunakan teknik-teknik logika matematika, sebab

mereka menganggap bahwa ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai

pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Ilmu

pengetahuan sendiri dirumuskan dan diuraikan sebagai kalkulasi aksiomatis, yang

memberikan perangkat-perangkat hukum pada interpretasi terhadap observasi

yang terbatas.40

Positivisme Logis bertitik tolak dari data empiris dan tetap setia pada

sifatnya yang empiristis dengan menganggap hukum-hukum logis sebagai

hubungan antara istilah-istilah, hasil pengamatan dan fakta yang dinyatakan

dengan memakai ungkapan dasar dalam suatu ilmu yang bercorak empiris atau²

dalam pengertian Rudolf Carnap²³kalimat protokol´. Ilmu formal sama sekali

38
A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat ±arat (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), hlm. 65.
39
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1996), hlm. 116.
40
Frederick Suppe (ed.), The Structure of Scientific Theories (Urbana University of
Illionis Press, 1974), hlm. 4.
tidak menyinggung tentang bukti dan data empirik (kenyataan), tetapi hanya

menampilkan jalinan hubungan antara lambang-lambang logiko-matematis yang

membuka kemungkinan pemakaian data observasi yang telah diperoleh untuk

menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).41

Sebagai sebuah aliran epistemologi, Positivisme Logis menganggap logika

dan matematika mencakup sebuah sintaksis dan semantik umum sehingga

struktur-struktur matematis dan logis untuk menjelaskan himpunan, transformasi

maupun aspek-aspek terkecil dari logika hanya merupakan struktur-struktur

linguistik.42 Positivisme sebagai sebuah pandangan filsafat mengemukakan bahwa

segala sesuatu yang terjadi berdasarkan hukum-hukum dapat dibuktikan dengan

teknik observasi, eksperimen dan verifikasi.43

Menurut Positivisme Logis, hanya apa yang nampak jelas dan berguna

saja yang secara prinsipil bisa diverifikasi melalui observasi dan eksperimentasi.

Persoalan tentang nilai sebuah teori atau makna suatu penjelasan dianggapnya

tidak berarti apa-apa karena tidak memberikan jawaban yang pasti dan terukur.44

Prinsip verifikasi sebagai sentral dalam doktrin Positivisme Logis

menegaskan bahwa suatu ungkapan baru akan mempunyai makna manakala ia

menunjuk pada pengalaman langsung dan konkrit. Dan bahasa figuratif atau

41
Cornelis Anthonie van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1985),
hlm. 82.
42
Jean Piaget, Strukturalisme, terj. Hermoyo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995),
hlm. 63.
43
Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), hlm. 193.
44
Henry van Laer, Filsafat Sains ±agian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum,
Yudian W. Asmin (ed.), (Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995),
hlm. 133.
kiasan juga hanya akan dianggap mempunyai akan makna apabila diterjemahkan

ke dalam bahasa literal hurufiah. Positivisme Logis menggabungkan argumen

epistemologis dengan argumen semantik, persis seperti dilakukan oleh Locke dan

Hobbes yang melihat kerancuan dan kekaburan kategori itu terdapat dalam

penggunaan kiasan metaforis bahasa. Mereka yakin pula bahwa filsafat hanya bisa

maju jika menggunakan bahasa lugas literal murni. Imbasnya lantas timbul

keyakinan umum yang semakin kuat bahwa dalam dunia kebahasaan manusia

sebetulnya yang berperan besar adalah memang bahasa literal itu sendiri.45

Positivisme Logis menempatkan filsafat ilmu pengetahuan sebagai logika

ilmu. Pandangan semacam itu menguasai dan diterima luas oleh para filsuf ilmu

pengetahuan pada zaman itu. Penerimaan secara luas ini membuat pandangan

semacam itu oleh Frederick Suppe disebut The Received View.46 Sebagai tradisi

intelektual yang berakar pada ilmu pengetahuan alam kodrati (natural sciences),

pesatnya perkembangan kelompok yang lazim juga dinamakan empirisme neo-

klasik ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena memang kesan baik

yang diberikan oleh ilmu fisika sebagai disiplin ilmu yang prestisius dengan

teknik-teknik penelitian yang impresif, di samping itu juga disebabkan oleh

adanya orang-orang besar dan terhormat dalam bidang ilmu pengetahuan yang

terdapat dalam kelompok ini seperti Albert Einstein.47

45
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan ±agi Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 126-127.
46
Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 161.
47
Soeroso H. Prawirohardjo, Pengamatan Meta-Teoritis atas Ilmu Pengetahuan dan
Implikasinya ±agi Program Pendidikan Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Yogyakarta: U.P.
Indonesia, 1984), hlm. 9-10.
Berdasarkan kronologi sejarahnya, Positivisme Logis muncul pertama kali

sebagai suatu logika bagi ilmu-ilmu fisika. Tahun 1895, Ernst March menjabat

sebagai guru besar pertama filsafat ilmu-ilmu induksi di Universitas Wina, dan

pada tahun 1922, posisi itu digantikan oleh Moritz Schlick, seorang murid dari

Max Planck yang pada saat itu ia memusatkan karyanya pada filsafat fisika.

Kemudian pada tahun 1929, kelompok ini menerbitkan sebuah manifesto yang

berisi tentang tujuan perkumpulan itu dan memberinya nama: ³A Scientific

Conception of the World: The Vienna Circle´ (Suatu Konsepsi Ilmiah Tentang

Dunia: Lingkaran Wina).48 Para anggota yang ikut bergabung dalam kelompok ini

adalah para kaum positivis yang kebanyakan adalah ahli ilmu alam, matematikus

dan filsuf berlatar belakang matematika.

Dalam tulisan Morton White disebutkan bahwa aliran Positivisme Logis

ini telah dipelopori oleh Moritz Schlick yang kala itu menjabat sebagai guru besar

Filsafat di Wina, dan resmi dibentuk pada tahun 1923 dengan sebutan The Vienna

Circle. Secara khusus, Schlick dan Wittgenstein mengunjungi Amerika pada

tahun 1929 untuk memperkenalkan aliran tersebut. Namun ketika Hitler berkuasa,

mulailah aliran Positivisme Logis ini disebut-sebut sebagai gerakan pemikiran

yang sangat berbahaya. Popkin & Stroll menambahkan pula bahwa para anggota

Lingkaran Wina ini adalah Moritz Schlick, Hans Hahn, Friederich Waismann,

Herbert Feigel, Otto Neurath dan Rudolf Carnap.49

48
Roy J. Howard, Pengantar atas Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika;
Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis, Ninuk Kleden-Probonegoro (ed.), (Bandung:
Nuansa, 2000), hlm. 51.
49
Bawengan, G.W., Sebuah Studi Tentang Filsafat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983),
hlm. 113.
Kelompok ini pernah mengadakan seminar atau studi kelompok dengan

melakukan pembahasan pada tulisan Wittgenstein yang sangat teliti serta

didasarkan pada pandangan bahwa filsafat bukanlah teori, melainkan suatu

aktivitas. Mereka berpedoman pada pendapat bahwa filsafat tidak mungkin

menghasilkan pernyataan, baik pernyataan yang salah maupun pernyataan yang

benar. Filsafat hanya memberikan penjelasan mengenai pengertian suatu

pernyataan; mengemukakannya secara ilmiah, matematik atau bahkan tidak

mempunyai arti apapun.

Inti pandangan mereka terletak pada keyakinan bahwa setiap pernyataan

mengikuti ketentuan logika formal dan bahwa pernyataan itu harus bersifat

ilmiah. Positivisme Logis ini biasa disebut sebagai hasil karya Ludwig Josef

Johann Wittgenstein (1889-1951), yaitu dalam buku berjudul Tractatus Vogico-

Philosophicus yang terbit pada tahun 1921, lalu berkembang ke seluruh dunia

termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Dalam tulisan tersebut, Wittgenstein

menyatakan bahwa filsafat bukanlah suatu teori, melainkan suatu aktivitas atau

kegiatan. Wittgenstein pun yakin bahwa teka-teki dan kekacauan filsafati akan

dapat diatasi oleh analisis bahasa.

Wittgenstein mensinyalir bahwa apabila suatu pernyataan dapat diajukan,

maka pernyataan itu pun seyogianya dapat dijawab secara jelas dan tuntas. Tetapi

kenyataannya, ternyata tidak semua pernyataan yang diajukan itu benar-benar

bermakna. Maka agar supaya kita tidak terperangkap ke dalam persoalan-

persoalan filsafati yang tidak berarti, yang bersumber dari pernyataan-pernyataan

yang tidak bermakna itu, maka dalam pandangan Wittgenstein harus ditemukan
peraturan-peraturan tentang permainan bahasa (language game) yang digunakan

lewat ungkapan bahasa sehari-hari.

Berbeda dengan Ayer, bagi Wittgenstein, yang penting bukanlah mengatur

bagaimana suatu ungkapan bahasa itu harus berarti atau bermakna, tetapi kita

harus bisa menangkap apa arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa itu.

Oleh karena itu, kita harus mengalisis bentuk-bentuk hidup (forms of life) sampai

ke dasar terdalam dari setiap permainan bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa

arti ditentukan oleh bagaimana suatu kata digunakan dalam konteksnya. Lewat

analisis bahasa, seseorang akan dapat memperoleh kejelasan (clarify) arti bahasa

sebagaimana yang diutarakan oleh orang yang menggunakan bahasa itu.50

Senada dengan Wittgenstein, Kuhn juga berpendirian bahwa pengetahuan

sains seperti bahasa pada dasarnya adalah milik bersama suatu kelompok. Dan

untuk memahaminya kita perlu mengetahui karakteristik-karakteristik khusus dari

kelompok yang menciptakan dan menggunakannya.51

Apabila disimak secara seksama, seluruh ajaran filsafat Wittgenstein itu

tidak lain hanya menawarkan suatu metode yang sering disebut sebagai metode

analisis bahasa. Metode itu bersifat netral, tanpa pengandaian filsafati,

epistemologis ataupun metafisik. Analisis bahasa secara logis tanpa mereduksikan

sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya sekedar membuat lebih jelas tentang

maksud yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa verbal. Metode analisis

50
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 122.
51
Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 203.
bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein ini disebut juga dengan metode

klarifikasi.

Pandangan Positivisme Logis bahwa bahasa merupakan gambaran realitas

inilah yang ditolak Feyerabend. Bagi Feyerabend, fakta-fakta itu sesungguhnnya

tergantung pada teori yang menjadi mediasi dalam proses pemahaman. Sedangkan

pengalaman dan pemahaman itu sendiri terjadi lewat bahasa. Oleh karena itu,

bahasa selalu terbatas untuk mengungkapkan totalitas pengalaman. Pengalaman

yang kita alami senantiasa sudah terefleksikan yang dinyatakan dalam bahasa.

Jadi, distorsi itu tidak hanya terjadi pada waktu obyek atau peristiwa

dipresepsikan. Interpretasi yang dilakukan setelah dipersepsi pun, sebagaimana

diutarakan Feyerabend, juga dipengaruhi oleh pengalaman dan harapan-harapan

dari orang yang berusaha menafsirkan struktur realitas itu.52

Disamping itu, Positivisme Logis ini juga biasa disebut sebagai Logika

Empirisme dengan pelopornya yang sangat menonjol, yakni Rudolf Carnap. Ia

merupakan seorang tokoh kelahiran Jerman, datang ke Wina pada tahun 1927 dan

ikut secara aktif di Lingkaran Wina. Ia adalah seorang ahli yang terlatih dalam

bidang fisika dan juga seorang logisian yang rajin bekerja keras. Para anggota

aliran ini sendiri adalah bekas ilmuwan yang terjun ke dunia filsafat dan

sebelumnya telah berhasil membentuk suatu kegiatan di Lingkaran Wina. Para

ilmuwan yang terkenal itu diantaranya adalah Ludwig Boltzmann, Pierre Duhem,

Helmholtz, Ernst March termasuk juga Einstein.53

52
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 111-113.
53
Bawengan, G.W., op.cit., hlm. 114.
Positivisme Logis sebenarnya merupakan perkawinan antara dua aliran,

empirisme dan logika tradisional. Tetapi sebutan positivisme kemudian diralat

menjadi empirisme, sebab menghilangkan sebutan ³positivisme´ seperti kata

Morton White adalah berhubungan erat dengan kritik terhadap ajaran August

Comte yang menggunakan istilah ³positivisme´ juga. Dalam perspektif Morton

White, setidaknya terdapat dua kutub dalam aliran Positivisme Logis yang patut

juga kiranya mendapat perhatian cermat dalam diskursus perdebatan filsafat ilmu

pengetahuan kontemporer.

Yang pertama adalah pihak negatif, suatu golongan yang ekstrem, militan,

penuh kritik tajam dan menganggap remeh pula pandangan-pandangan

pendahulunya. Pihak kedua adalah kelompok positif yang bersikap mengagumi

logika dan ilmu pengetahuan. Disisi lain mereka juga membantah sekaligus

menyerang metafisika dan etika yang gagasan awalnya sudah mulai dilontarkan

beberapa filsuf analitik yang embrionya berasal dari Lingkaran Wina itu sendiri.

Mereka mengembangkan ajaran yang disebut ³kriteria pengertian empiris´ dan

menolak setiap ajaran, pandangan dan pengertian yang tidak memakai rumusan

matematik dan empiris. Pada umumnya, mereka menolak metafisika karena

mereka sependapat bahwa metafisika tidak dapat ³dipertanggungjawabkan´ secara

ilmiah.

Salah satu pemikir kontemporer filsafat analitik terkenal yang memiliki

pengaruh cukup besar, Alfred Jules Ayer (1910-1970) lewat bukunya Vanguage,

Truth and Vogic (1963), juga berupaya mengeliminasi metafisika yang didasarkan

pada prinsip verifikasi, yaitu agar suatu pernyataan (statement) benar-benar penuh
arti, maka pernyataan tersebut haruslah dapat diverifikasi oleh salah satu atau

lebih dari kelima pancaindera. Tokoh positivisme logika modern Inggris dan salah

satu penganut empirisis logis ini menandaskan bahwa kata ³makna´ dalam

positivisme logis berarti gagasan yang kebenaran dan kepalsuannya dapat

ditegaskan dalam batas-batas pengalaman inderawi.54

Pada tahap perkembangan selanjutnya, munculnya Karl Raimund Popper

menandai kreasi wacana baru dan sekaligus merupakan masa transisi bagi suatu

zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper membuka babak baru sekaligus

sebagai masa transisi dipicu oleh adanya dua alasan penting. Pertama, lewat teori

falsifikasinya Popper menjadi orang pertama yang meruntuhkan dominasi aliran

Positivisme Logis dari Lingkaran Wina. Kedua, lewat pendapatnya tentang

berguru pada ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu

pengetahuan baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.

Popper menentang Lingkaran Wina terutama dalam distingsi antara

ungkapan yang disebut meaningful dan meaningless berdasarkan

kemungkinannya untuk diverifikasi, yakni dibenarkan secara empiris. Namun

Popper sendiri dalam hal ini mengakui bahwa ia tidak pernah berasumsi dengan

memaksa kesimpulan yang telah diverifikasi dapat ditetapkan sebagai sebuah

jaminan kebenaran, apalagi hanya sekedar dijadikan acuan untuk menerapkan

prinsip ³mungkin´ atau ³bisa jadi´ benar (probability). Bahkan mungkin saja

yang disalahkan (difalsifikasi) itu menjadi benar dalam arti verifiable (dapat diuji)

secara ilmiah. Oleh Popper distingsi itu diganti dengan apa yang disebut garis

54
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali
(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 59.
batas (demarcation) antara ungkapan yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Menurut

Popper, pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya kemungkinan falsifikasi bagi

ungkapan yang bersangkutan.

Popper menandaskan bahwa metode falsifikasi itu mengisyaratkan tidak

adanya kesimpulan deduktif, kecuali hanya perubahan sifat pengulangan kata dari

logika deduktif yang memiliki derajat kebenaran yang tidak lagi diperselisihkan.

Ia mengatakan, ³...the method of falsification presupposes no inductive inference,

but not only tautological transformation of deductive logic whose validity is not

indispute´.55 Popper menegaskan bahwa suatu ungkapan bersifat empiris atau

tidak, tidak dapat ditentukan berdasarkan azas pembenaran (verifiability)

sebagaimana dianut oleh aliran Positivisme Logis. Pokok persoalannya adalah

mustahilnya pembenaran proses induksi.

Sebagai ganti azas pembenaran, Popper menyodorkan prinsip

falsifiabilitas, artinya ciri pengetahuan ilmiah adalah dapat dibuktikan salah.56

Popper lantas menyarankan dilakukannya suatu deductive testing of theories

untuk menguji kesahihan (validasi) dan ketepatan (akurasi) suatu teori ilmu

pengetahuan lewat empat jalur berbeda. Pertama, perbandingan logis dari

kesimpulan antar teori dalam hal konsistensi internal dari sistem yang diuji.

Kedua, penyelidikan terhadap bentuk logis dari teori dengan obyek penelitian

teori tersebut untuk memastikan apakah teori tersebut mempunyai karakter suatu

55
Karl Raimund Popper, The Vogic of Scientific þiscovery (New York: Harper & Row
Pub., 1968), hlm. 40-42.
56
Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan:
Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 160.
teori empiris atau teori ilmiah, atau juga mungkin terjadi hubungan tautologis

(pengulangan kata yang mengaburkan makna) diantara teori-teori tersebut.

Ketiga, perbandingan dengan teori-teori lain dengan tujuan untuk

menentukan apakah teori itu telah memenuhi standar mutu hipotesis umum

sebagai scientific advance yang tahan dari berbagai ujian dan kritik maupun

diskusibilitas publik sehingga hal itu akan semakin mengukuhkan c( orroboration)

keberadaannya dalam setiap proses pencarian kebenaran ilmu pengetahuan.

Keempat, pengujian terhadap teori dengan cara aplikasi empiris dari kesimpulan

yang berasal dari teori tersebut. Dari cara yang terakhir inilah, suatu pernyataan

tunggal dapat menghasilkan suatu prediksi kemungkinan baru yang dapat diuji

(applicable) yang dideduksi dari suatu teori pengetahuan tertentu.

Setelah dilakukan seleksi terhadap beberapa pernyataan (prediksi), maka

diambil suatu putusan melalui perbandingan antar pernyataan tersebut dengan

hasil aplikasi praktis dan eksperimen. Apabila putusan itu positif, berarti

kesimpulan tunggal itu acceptable (dapat diterima secara logika) atau verified

(dapat dibuktikan secara empiris). Tetapi jika kesimpulan tersebut negatif atau

falsified (tidak dapat dibuktikan keabsahannya), maka teori yang digunakan untuk

mendeduksi teori-teori tersebut secara logis tidak dapat diterima sebagai sebuah

hasil kebenaran yang sah.57

Dengan begitu Popper dianggap berhasil memberikan pemecahan bagi

masalah induksi. Dengan itu pula, Popper serentak merubah seluruh pandangan

tradisional atau The Received View yang dipegang oleh Lingkaran Wina. Bila cara

57
Conny R. Semiawan, et.al., þimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung:
Rosdakarya, 1991), hlm. 51-52.
kerja ilmu pengetahuan tradisional didasarkan pada prinsip verifikasi, maka dasar

yang diajukan Popper adalah prinsip falsifiabilitas, suatu cita-cita yang

sebenarnya diimpikan oleh para ilmuwan tradisional yakni mendasarkan cara

kerja ilmu-ilmu empiris pada logika deduktif yang ketat.

Namun menurut kaum falsifikasionisme sofistikit, masalah keutamaan

falsifiabililtas belum cukup untuk menjajaki kebenaran suatu teori, sebab masih

ada kondisi lain yang diperlukan oleh ilmu untuk dapat berkembang lebih maju.

Pandangan ini lebih menekankan pentingnya manfaat relatif teori-teori yang

bersaing daripada manfaat suatu teori tunggal.

Pertanyaan-pertanyaan tentang teori seperti: ³Apakah ia falsifiable?´

³Bagaimana tingkat falsifiabilitasnya?´ dan ³Sudahkah ia difalsifiable?´ dalam

penilaian mereka kini lebih layak diganti dengan, ³Apakah teori yang baru ini

memiliki daya saing untuk menggantikan teori yang ditantangnya?´. Jadi disini

berlaku pragmatisme dari suatu teori ilmiah yang merupakan racun ampuh

terhadap paham determinisme yang bersifat statis dan yang sebelumnya tidak

dibicarakan oleh Popper.

Sedangkan pendapat Popper tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu juga

mengintroduksikan zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper menegaskan

bahwa cara kerja (berdasarkan prinsip falsifiabilitas) itu bisa dilihat secara nyata

dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sejarah ilmu-ilmu. Selanjutnya,

dikatakan bahwa tidak hanya hipotesa melainkan juga hukum dan teori yang

kokoh dalam proses falsifikasi lalu ditinggalkan.58 Dari situ Popper meyakini

58
Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, op.cit., hlm. 161.
tidak ada ungkapan, hukum dan teori yang definitif dan baku. Semua pengetahuan

manusia sementara sifatnya, bisa difalsifikasi. Beerling59 juga berpendapat bahwa

semua hasil ilmu itu tidak sempurna, dapat ditambah dan diperbaiki. Jika tidak

demikian, maka ilmu pengetahuan justru akan merosot menjadi ideologi tertutup

dari segala kritik dan pembaruan.

Dalam kaitannya dengan hal inilah, maka kemudian muncul paham

falsifikasionisme yang memandang ilmu sebagai suatu perangkat hipotesis yang

dikemukakan lewat proses mencoba-coba (trial and error) dengan tujuan

melukiskan secara akurat gejala suatu fenomena dunia atau alam semesta. Jadi

apabila suatu hipotesis akan dijadikan bagian dari bangunan struktur ilmu, maka

ia harus falsifiable (dapat dinyatakan sebagai benar atau salah).

Mengikuti cara berpikir Popper, kita seharusnya memecahkan setiap

persoalan yang menarik melalui dugaan yang berani melawan (dan terutama)

apabila tidak lama kemudian ternyata salah daripada mengulang suatu rangkaian

kebenaran yang tidak relevan lagi dengan konteks zamannya. Kita mesti belajar

dari kesalahan-kesalahan kita terdahulu, dan untuk selanjutnya setelah mengetahui

bahwa dugaan kita salah, maka lalu kita akan belajar banyak tentang model

kebenaran yang lain.

Dalam perkembangan ilmu, falsifikasi menjadi sandaran penting, sebab

penarikan kesimpulan teori-teori universal dari keterangan observasi tidak

mungkin menemukan jalan kebenaran yang diharapkan. Tetapi sebaliknya,

membuat deduksi tentang ketidakbenaran suatu teori lewat proses falsifikasi

59
Seperti dikutip oleh Conny R. Semiawan, op.cit., hlm. 58.
mungkin saja ditempuh, sebab pada dasarnya ilmu memang berkembang maju

melalui berbagai percobaan dan kesalahan. Paham falsifikasionisme ini dapat

dipakai sebagai landasan berpikir pragmatis tanpa selalu menganggap semua teori

ilmiah sudah benar secara ilmiah dalam perjalanan ilmu.

Kesalahan kita selama ini, sebagaimana yang diutarakan oleh Huston

Smith adalah mengira sains dapat memberikan satu pandangan utuh tentang dunia

seisinya. Tapi sayangnya sains cuma mampu memperlihatkan kepada kita

serpihan-serpihan dunia yang bersifat fisikal, bisa dikalkulasi dan diuji lewat

pengamatan fakta-fakta empiris semata. Potongan-potongan dunia itu tidak dapat

divisualisasikan hanya dengan indera reseptor manusia yang memiliki standar

sensibilitas terbatas. Tak heran jika menjelang wafatnya, Richard Feynman

berujar kepada murid-muridnya, ³Jangan pernah menanyakan bagaimana cara

kerja alam semesta, karena pertanyaan seperti itu akan menyeret kalian ke dalam

sebuah lubang, dan tak seorang saintis pun bisa keluar darinya dengan selamat.

Ketahuilah, tak ada manusia yang dapat memahami bagaimana alam bekerja´.60

Popper sendiri sebenarnya ingin menekankan tentang pentingnya kontrol

intersubyektif dan kesepakatan dalam komunitas para peneliti sendiri sehubungan

dengan kemunculan teori-teori baru agar kemungkinan falsifikasi atas teori-teori

itu tidak semata-mata didasarkan pada koherensi logis dan linguistis belaka,

melainkan juga atas kriteria praktis dan fungsional.61

60
Huston Smith, Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas, terj.
Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. xviii.
61
I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 77.
Popper juga selalu mendorong tentang perlunya mengembangkan budaya

rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang

berbau mitos untuk mengikis tradisi-tradisi dogmatik yang selama ini hanya selalu

mengagung-agungkan kebenaran satu doktrin saja untuk selanjutnya digantikan

dengan doktrin yang lebih bersifat majemuk (pluralistik) dan masing-masing

mencoba menemukan kebenaran secara analisis kritis.62

Tuntutan falsifikasi Popper tersebut di atas tentu harus dipahami pula

berkaitan dengan pandangan filsafatnya tentang rasionalisme kritis yang salah

satu uraian pokok ajarannya menjelaskan bahwa setiap pernyataan teoretis harus

disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan terbukanya peluang-peluang

perbaikan lanjutan. Sebab hanya dengan demikian daya topang dan kemungkinan

perkembangan ilmu-ilmu ikut tertunjang secara selaras dan seimbang.

Rasionalisme kritis memang tepat mengatakan bahwa rasionalitas suatu

ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari dan ditemukan pada kekuatan

nalar ilmiah saja, seperti yang dikatakan oleh Descartes dan Leibniz, melainkan

bahwa sifat rasional itu justru dibentuk oleh adanya sikap keterbukaan terhadap

kritik dan kenyataan empiris menuju suatu kebijakan dan strategi ilmu yang lebih

terpadu dan menyeluruh.

Berbeda dengan Kant, Popper mengajukan suatu pandangan yang lebih

historis dan dinamis mengenai ilmu yang harus selalu memodifikasi dan

memperbaiki diri. Demikian pula terhadap pendirian empiristis dari Hume

ditandaskannya tidak perlu menunggu secara pasif berulangnya gejala untuk

62
Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 112.
mencari keteraturan. Justru kitalah yang harus berusaha secara aktif memaksakan

hukum keteraturan (regularities) kepada alam. Sebab pada hakikatnya sifat kritis

berarti bahwa kita seperti kata Kant senantiasa siap terbuka pada semua aneka

bentuk perubahan yang kita hadapi dan pengalaman yang kita alami. Tetapi

Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh dianggap kritis

apabila kita bersedia membuang rongrongan-rongrongan yang dipaksakan

(imposed regularities) oleh sistem makrokosmos alam semesta ini dalam sistem

mentalitas berpikir kita.63

Popper menawarkan formulasi lain dalam prinsip epistemologi dengan

sebuah keyakinan awal bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita refleksikan

dan kita buat eksplisit. Baginya ketidakmungkinan mengeksplisitkan asumsi-

asusmi dasar adalah sebuah mitos yang cenderung dibesar-besarkan sehingga

membuat kesulitan menjadi ketidakmungkinan. Ia memang percaya bahwa setiap

saat kita ini terpenjara oleh teori-teori, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman

dan bahasa kita. Tetapi sebenarnya kalau saja kita mau, kita selalu bisa keluar dari

kerangka acuan dasar itu setiap saat. Memang kita akan terperangkap dalam

kerangka yang lain, tetapi kerangka itu pasti yang lebih baik. Lalu disitu pun kita

bisa saja keluar lagi untuk kemudian merefleksikan ulang tentang kerangka acuan

dasar itu. Inti persoalannya adalah bahwa suatu diskusi kritis dan perbandingan

berbagai kerangka acuan selalu mungkin dilakukan.64

Sejalan dengan ide-ide awal yang provokatif tersebut, tampilnya Thomas

Kuhn, sebagai generasi pasca Popper, semakin memantapkan permulaan suatu


63
Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 83-84.
64
I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 92-93.
zaman baru dalam proses dialektika filsafat ilmu kontemporer yang biasa disebut

filsafat ilmu pengetahuan baru. Secara khusus, Kuhn memperlihatkan bahwa

sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan itu pembaharuan-

pembaharuan yang benar hanya terjadi dalam beberapa fase saja, yaitu sewaktu

anggapan para ahli ilmu pengetahuan pindah dari suatu paradigma (istilah teknis

Kuhn, artinya ³susunan dasar´ ilmu alam pada zaman dan wilayah perkembangan

ilmu tertentu) ke paradigma yang lain tanpa adanya hubungan logis antara

keduanya.

Tokoh-tokoh yang disebut bersama Kuhn adalah Mihael Polanyi, Paul

Karl Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Polter, Stephen Toulmin dan A. Kaplan.

Mereka ini disebut sebagai generasi filsafat ilmu pengetahuan baru karena

mempunyai perhatian besar terhadap sejarah ilmu pengetahuan dan peranan

sejarah ilmu pengetahuan bagi penyusunan filsafat ilmu pengetahuan yang lebih

mendekati kenyataan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.

Mereka itu oleh Cornelis Anthonie van Peursen65, digolongkan sebagai

filsuf ilmu pengetahuan baru karena mereka melihat perkembangan ilmu

pengetahuan sebagai perkembangan yang revolusioner. Oleh Dudley Shapere66,

mereka digolongkan sebagai pemikir baru yang mendasarkan pandangan

filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri.

Hal ini nampak dari cara kerja Feyerabend dalam menentang empirisme

kontemporer dan teori kuantum mutakhir dari interpretasi Kopenhagen yang

menegaskan bahwa tidak mungkin untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah
65
Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 10.
66
Dudley Shapere, Meaning and Scientific Change, dalam Ian Hacking (ed.), hlm. 29.
elektron bersama-sama. Berdasarkan percobaan, kemustahilan ini ditarik dari

kenyataan bahwa setiap kuantitas cahaya yang cukup untuk menangkap posisinya

akan merubah kecepatannya, dan sebaliknya, setiap kuantitas cahaya yang tidak

mempengaruhi kecepatan tidak akan memadai untuk menyatakan posisinya.

Menurut interpretasi Kopenhagen yang dipertahankan oleh ahli fisika

Werner Heisenberg (1901-1976) dengan Uncertainly principle (Prinsip

Ketidakpastian)-nya, kemustahilan ini adalah kemustahilan prinsipiil. Alasannya,

pada tingkat sub-mikroskopik kita tidak berhak untuk memberikan suatu sifat

kepada entitas kecuali kita dapat membuktikannya secara eksperimental. Ia

mengatakan bahwa para ahli fisika tidak membangun peralatan yang canggih

untuk membantah hipotesis dan pondasi ilmu pengetahuan yang telah ada,

melainkan untuk mengembangkan dan menguatkan praktek kegiatan ilmiahnya.

Namun sayangnya, peralatan kita²istilah Einstein²terlalu kasar untuk

mendeteksi dan memaksa menspesifikasikan kecepatan dan arah tertentu dari

partikel elektron yang lebih kecil daripada atom. Akibatnya, kenyataan obyektif

digambarkan secara mekanis sehingga hanya menghasilkan informasi yang

terbatas dan tidak utuh. Istilah-istilah seperti massa, kecepatan, posisi, volume,

tekanan, kekuatan dan unsur-unsur semesta atomik yang paling kecil merupakan

sifat-sifat utama dari materia yang bergerak secara bebas. Dunia nyata

diasumsikan menjadi suatu sistem partikel-partikel material yang dipahami secara

geometris. Akhirnya, Heisenberg berkesimpulan bahwa ilmuwan tidak mungkin

dapat melihat elektron dan sekaligus mengukur kecepatannya pada waktu yang

bersamaan. Apa yang kita amati bukanlah alam an sich, tetapi alam yang tampak
seperti dalam metode penelitian, dan gerakan sub-atomik alam itu sesungguhnya

tidak bisa dipastikan atau diramalkan.

Dalam kegiatan-kegiatan bebas, kita memanipulir benda-benda yang

terdiri dari bermiliar-miliar atom, dan bukannya atom-atom itu sendiri. Sehingga

dengan alasan bahwa teori kuanta (partikel) itu masih jauh dari kadar kepastian,

dan karena kebebasan kita juga tidak dilaksanakan pada tingkat mikroskopik,

melainkan pada tingkat makroskopik dari kuanta, maka konsep indeterminisme

Heisenberg tersebut tidak dapat berfungsi lagi. Salahlah menjadikan kepercayaan

kita akan pertanggungjawaban manusiawi itu pada jurang-jurang kekosongan

yang ditemukan oleh Heisenberg dalam struktur deterministik gambar dunia

fisik.67

Implikasi dari adanya fenomena tentang interpretasi Kopenhagen itu

ternyata membawa sains modern kepada cara analisis yang bersifat atomistik

dengan jalan memilah-milah suatu proses ke dalam proses pencarian sebab-sebab

efisiensi maupun subyek-subyek aktual yang terlibat dalam rangkaian kegiatan

penyelidikan ilmu pengetahuan. Sekali analisis dimulai harus dikejar dan

ditelusuri sampai batas akhir, karena sains baru akan merasa tahu ³bagaimana´

secara persis dari proses alami jika telah menemukan komponen-komponen fisis

dasar yang menyebabkan terjadinya hukum kausalitas dalam proses kegiatan

tersebut sampai kepada teori atomik sebagai pusat aktivitas saintifik.

Prinsip ketidakpastian ini telah memacu fungsi imajinasi manusia untuk

memunculkan ide-ide serta penemuan-penemuan baru yang merupakan refleksi

67
Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal
(Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 176 dan 315.
perkembangan ilmu dari masa ke masa. Dari sini kemudian perkembangan ilmu-

ilmu modern telah mengakibatkan penjernihan dari prasangka-prasangka

metafisika dan pencocokan lebih teliti pada data dan cara berpikir yang lebih

benar.

Kalau filsafat ilmu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 lebih

difokuskan pada upaya untuk menemukan penjelasan yang radikal tentang apa,

bagaimana dan untuk apa gejala alam itu, maka filsafat di abad modern

memperlihatkan kecenderungan menggeser landasan dan obyek telaahannya.

Filsafat ilmu abad modern bersumber pada manusia itu sendiri yang pada

perkembangan berikutnya terkesan menjadi filsafat ilmu kehidupan. Artinya, ilmu

bukan lagi merupakan hasil usaha manusia semata-mata berdasarkan pengalaman

empirik yang diperolehnya melalui pengamatan inderanya dan penelitian

percobaannya serta pembuktiannya, melainkan manusia itu sendiri sebagai

makhluk yang memiliki keistimewaan khusus, yaitu dalam hal kemampuan

berimajinasi. Oleh karena itu, filsafat ilmu abad modern tidak lagi mengutamakan

penalaran semata, tetapi bertujuan juga untuk meningkatkan dan membuka tabir

serta mendalami realitas alam yang penuh misteri dan paradoks ini melalui

perangkat dimensi kreatif ilmu pengetahuan kontemporer.

Oleh Frederick Suppe68, Feyerabend disebut bersama Kuhn, Toulmin,

Hanson, Popper dan Bohm sebagai pembawa pandangan alternatif (alternatives to

the Received View). Suppe secara khusus menempatkan mereka dalam kelompok

analisis Weltanschaungen, suatu model analisis untuk menginterpretasi dunia.

68
Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 119.
Anehnya, pada posisi ini Feyerabend justru didekatkan dengan Popper. Dikatakan

bahwa filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend merupakan percobaan untuk

memperkembangkan analisis Popperian, terutama dalam penilaian Feyerabend

terhadap empirisme kontemporer yang dianut oleh para pengikut The Received

View.

Mereka digolongkan sebagai filsuf ilmu pengetahuan baru bukan saja

karena mendasarkan pandangan filosofisnya pada sejarah ilmu pengetahuan,

melainkan juga karena mereka melihat adanya hubungan antara sejarah ilmu

pengetahuan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Misalnya, Lakatos mengatakan

bahwa filsafat ilmu pengetahuan tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah omong

kosong ilmiah belaka. Sebaliknya, sejarah filsafat tanpa sejarah ilmu pengetahuan

adalah buta.69

Namun berbeda dengan Popper, dan lebih sehaluan dengan Thomas S.

Kuhn, ia menyangkal kemungkinan adanya tentang experimentum crucis, yakni

keadaan bahwa dengan satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Sebab

berdasarkan keyakinan Lakatos, seandainya ada gerak lawan lain yang muncul

dari ranah pengalaman subyek peneliti pasti memproduk suatu teori baru, karena

fakta tanpa kerangka teoretis tidak pernah dapat menjadi relevan secara ilmiah.

Yang terjadi dalam pembaruan suatu ilmu itu sebetulnya merupakan peralihan

dari teori yang satu ke teori yang lain. Atau lebih jelasnya lagi, yang berlangsung

sebetulnya adalah suatu program penelitian. Jika nantinya semua ini menghasilkan

69
Prasetya T.W. op.cit., hlm. 52.
teori yang lebih baik, maka ini bisa dikatakan sebagai program penelitian

progresif, tetapi kalau tidak dinamakan degeneratif.70

Lakatos menyatakan bahwa seluruh bangunan ilmu alam merupakan suatu

kompleksitas makro yang intinya seharusnya melawan segala usaha untuk

membuktikan salah. Kompleksitas itu terdiri atas sejumlah teori ilmiah yang

menurut Popper tidak dapat berlaku sekaligus (yaitu apabila teori yang baru

masuk, maka yang lama dianggap gugur), tetapi justru deretan teori-teori ilmiah

itu yang dimaksud Lakatos dengan program riset (research program) yang dalam

prakteknya di lapangan tidak boleh dilaksanakan secara fragmentaris.

Sementara disisi yang lain, Feyerabend juga berusaha melawan segala

usaha untuk menemukan keteraturan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Feyerabend merasa bosan akan segala law and order yang ingin dicapai oleh para

sarjana, khususnya Popper. Feyerabend berpendapat bahwa manusia dewasa ini

terkekang oleh semua cara kerja yang telah diperincikan dengan teliti itu dengan

hanya berlandaskan pada teori dan hipotesis yang kurang ditopang oleh kenyataan

yang terjadi dalam masyarakat.71

Feyerabend secara tegas mengatakan bahwa antara sejarah ilmu

pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai keterkaitan timbal balik.

Dalam Against Method72, Feyerabend mengatakan bahwa para ilmuwan tidak bisa

melepaskan diri dari latar belakang historis bagi hukum-hukum, hasil-hasil

70
Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 86.
71
Soedjono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 17.
72
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 211.
eksperimen, teknik-teknik matematis, prasangka-prasangka epistemologis dan

sikap-sikap mereka terhadap akibat-akibat aneh dari teori-teori diterimanya.

Kaitan itu dilukiskan oleh Feyerabend sebagai sebuah perkawinan yang cocok

(marriage convenience).73 Alasannya adalah bahwa analisis-analisis terhadap

kejelasan, konfirmasi dan teori perbandingan yang diberikan oleh para filsuf

berguna baik bagi ilmuwan maupun para pakar sejarah.

Dengan semboyan Against Method yang disuarakannya secara ekstrem,

Feyerabend mendesak membuka pintu bagi bermacam-macam model alternatif

demi pembaruan suatu ilmu. Bahkan yang kini sama sekali tidak ilmiah, atau

masih disebut magis sekalipun, misalnya, dapat berfungsi sebagai ancangan

alternatif yang merangsang untuk menggantikan metode ilmiah tradisional dan

kaku, dengan maksud agar lebih banyak bahan yang bervariasi sifatnya dapat

dicakup dalam sistem ilmiah.74

Segala upaya dekonstruksi metodologis Feyerabend dalam filsafat ilmu

modern tersebut memberikan perspektif baru tentang hakikat ilmu pengetahuan

yang sebenarnya. Pandangan-pandangan maupun kritik-kritik tajam yang

dilontarkannya merupakan sebuah reaksi nyata dalam menyikapi kegagalan teori-

teori ilmiah tradisional yang tidak dapat dibuktikan secara konklusif

(meyakinkan), dan sekaligus juga sebagai penentangan terhadap adanya asumsi

bahwa ilmu itu adalah suatu aktivitas rasional yang beroperasi hanya berdasarkan

satu atau beberapa metode tertentu. Sebab bagi Feyerabend, ilmu tidak

73
John Losee, Philosophy of Science and Historical Enquiry (Oxford: Clarendon Press,
1974), hlm. 4.
74
Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 90.
mempunyai segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya lebih unggul

daripada cabang-cabang pengetahuan lain.

 ±c±


 
'
 
 
  c c 
c c1c± )



A,? c2±Ô   (

Pada zaman Yunani kuno, hubungan antara kesatuan alam semesta yang

teratur (kosmos) dengan pemikiran para filsuf berkembang menjadi teori-teori

yang berbeda. Platonisme, berasumsi bahwa kesatuan adalah nyata, sedangkan

pengertian (pengamatan) awam adalah opini sebagai duplikat yang tidak

sempurna. Aristoteles menganggap bahwa opini atau hasil pengamatan (menurut

Plato) itulah yang benar, sedangkan hasil pengetahuan rasional abstrak Plato itu

adalah mimpi yang tidak berguna. Teori lain (para Sophis) menganggap obyek

natural adalah sesuatu yang nyata, sementara obyek-obyek matematika (obyek

akal) merupakan pemikiran dan bayangan yang tidak realistik dari obyek natural.

Munculnya kaum Sophis itu secara tidak langsung memperlihatkan

tentang mulai adanya krisis dalam pemikiran filsafat Yunani. Orang-orang Yunani

merasa jemu terhadap banyak ajaran yang dikemukakan oleh para filsuf pra-

Sokratik. Kebosanan ini kemudian melahirkan Skeptisisme sebagaimana yang

dianut oleh tokoh-tokoh berpengaruh besar kaum Sophis, seperti Protagoras (±

480-411 SM.), Georgias (± 480-380 SM.), Hippias, Prodikos dan Kritias.

Akibatnya kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan mulai disanggah. Hal

ini jelas membawa pengaruh yang tidak baik bagi kebudayaan Yunani zaman itu.
Nilai-nilai tradisional dalam bidang agama dan moral dirubuhkan serta kecakapan

berpidato di depan umum digunakan untuk memutarbalikkan kenyataan demi

kepentingan pihak yang berbicara saja.75

Kelompok ini menolak segala realitas serta mengingkari proposisi-

proposisi ilmiah dan empirikal. Kaum Sophis dengan kritik-kritiknya yang

bersifat menjatuhkan telah menjadikan manusia dan segala hal yang berhubungan

dengan akal budi pengetahuan sebagai pusat perhatian utama. Anehnya, Sokrates

oleh lawan-lawannya dinamakan juga orang Sophis, meskipun ia sebetulnya

adalah lawan yang terbesar dari kaum Sophis. Hal ini mungkin disebabkan oleh

karena Sokrates terus bertekad untuk mempertahankan azas-azas pokok mengenai

pengetahuan hidup yang hendak dirongrong dan dirusak oleh kaum Sophis.

Di sisi yang lain, kaum Sophis menyangkal adanya nilai-nilai universal

mengenai prinsip baik dan buruk atau adil dan tidak adil yang terdapat dalam

suatu tatanan masyarakat. Sebaliknya, Sokrates membenarkan bahwa nilai yang

berkembang dalam masyarakat memang tidak dapat tahan terhadap kritik. Tetapi

ia juga merasa bahwa nilai-nilai yang ada itu pasti ada yang bergerak menuju

kepada tercapainya suatu norma yang bersifat mutlak, absolut dan abadi. Ia

membela yang benar dan baik sebagai nilai-nilai obyektif yang harus diterima dan

dijunjung tinggi oleh semua manusia. Ia sadar bahwa mengenai satu hal ia lebih

tahu daripada kebanyakan orang, sehingga tanpa ragu-ragu ia pun berujar, ³Saya

tidak tahu apa-apa, tetapi saya juga tidak mengira mengetahui sesuatu´.

Semboyan Sokrates yang kemudian lebih populer dengan ungkapan ³Gnothi

75
Martinus Anton Wesel Brouwer dan M.P. Heryadi, Sejarah Filsafat ±arat dan
Sezaman (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 22.
Seauton´ (Kenalilah dirimu) ini menyiratkan bahwa ia mencintai kebijaksanaan

dan bukan untuk menguasainya.76 Kaum Sophis membantah adanya norma-norma

moral-etis yang berlaku terus-menerus. Kesalahan mereka adalah bahwa ukuran

dari nilai kebenaran yang mereka ajukan itu hanya sebatas pengamatan yang

nampak dari bagian permukaan luarnya saja. Padahal menurut Sokrates, kesadaran

akan adanya hakikat yang mutlak itu justru berada dalam jiwa manusia yang

selalu berpikir serta berusaha mencari dan menyelidiki problem mendasar dari

filsafat, yakni tentang µAda¶.

Namun begitu, harus diakui pula bahwa aliran Sophis mempunyai

pengaruh yang positif pada kebudayaan Yunani. Aliran Sophis inilah yang pada

akhirnya menimbulkan revolusi intelektual di Yunani. Kaum Sophis menciptakan

gaya bahasa baru yang sangat mempengaruhi para sejarawan dan penulis drama

Yunani. Kaum Sophis juga menempatkan manusia sebagai obyek pemikiran

filsafat dan meletakkan dasar bagi pendidikan untuk para pemuda secara

sistematis. Dan yang paling penting adalah mereka menyiapkan kelahiran suatu

genre pemikiran filsafat baru yang direalisasikan oleh tiga mahaguru filsuf

terkemuka Yunani Kuno, yakni Sokrates, Plato dan Aristoteles.

Pemikiran Yunani sendiri ditandai oleh ketergantungan pada akal sehat

(common sense) manusia (human reason) dalam memecahkan berbagai macam

persoalan. Setiap persoalan digagas atau dirancang dalam satu sistem kehidupan

yang dialogis dan kritis, sehingga peranan akal sehat dan logika diakui sangat

penting.

76
Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), hlm. 42.
Sejak filsuf Yunani Kuno berusaha meruntuhkan mitos dengan

mengedepankan logos, yang berusaha untuk mencari dasar realitas a( rche) dalam

berbagai unsur kosmos atau alam raya, pemikiran manusia seolah-olah

mememukan eksistensinya kembali. Implikasi filosofisnya, berbagai pergolakan

dan sekaligus pembongkaran atas pemikiran manusia pun kemudian bermunculan

sebagai suatu respons positif terhadap berbagai usaha yang dilakukan oleh para

filsuf Yunani Kuno tersebut, sehingga mampu melahirkan sejumlah perubahan

mendasar dalam cara berpikir manusia atas dunia beserta karakteristiknya.

Dominasi kosmosentris yang menjadi sifat dasar Yunani Kuno, misalnya,

disingkirkan oleh pandangan teosentris Abad Pertengahan melalui suatu

pemahaman, bahwa semua realitas yang terjadi dalam fenomena alam semesta ini

dilihat dari segi kehendak Tuhan sebagai prima causa yang menggerakkan dan

mengendalikan segala kejadian yang ada. Implikasi teologisnya, yang memegang

peran pada Abad Pertengahan ini adalah dogmatisme gerejani dengan beragam

tafsir keagamaannya yang meminggirkan peran akal dalam menjelaskan dunia

dengan berbagai permasalahannya. Inilah sebenarnya awal dari kesalahan persepsi

dalam perjalanan sejarah ilmu pengetahuan berikutnya yang seringkali

menempatkan ilmu pengetahuan seakan-akan telah menjadi sedemikian

matematis, abstrak dan teknis, sehingga setiapkali terjalin hubungan dengan akal

sehat, pada saat itu juga terjadi perpecahan. Dogmatisme tersebut telah cukup

untuk meluluhlantakan bermacam nilai humanisme, karena manusia dianggap


tidak mempunyai peran apapun di atas dunia, kecuali hanya sebagai viator mundi

(sekedar penziarah di muka bumi).77

Meskipun banyak pihak yang menilai bahwa Abad Pertengahan sebagai

masa kebodohan dan kegelapan dalam sejarah dunia filsafat, namun begitu

kemunculannya telah berusaha mewariskan suatu kebudayaan baru dengan ciri-

cirinya yang khas. Kebudayaan modern sendiri tidak dapat melepaskan diri dari

kebudayaan Abad Pertengahan, dan penafsiran-penafsiran filosofis yang terdapat

dalam filsafat modern pun tidak mungkin ada dan berkembang tanpa berkiblat

kepada konsep awal filsafat skolastik. Sebab pada awal kemunculannya,

pemahaman Filsafat Skolastik (filsafat yang diajarkan di sekolah-sekolah)²yang

pada Abad Pertengahan terkenal dengan nama Filsafat Eropa²tentang definisi,

kategori dan analogi yang didasarkan pada ketelitian, obyektivitas dan penguraian

logis, memang ditujukan untuk menumbuhkan dan menjelaskan alam pikiran

Eropa yang terjadi pada saat itu.78

Selanjutnya pada zaman Renaissance, pendulum epsitemologis kembali

pada empirisme, walaupun para ilmuwan dan filsuf Aristotelian berupaya keras

bersama tokoh gereja mengecam bahwa pandangan Copernicus tidak rasional,

tetapi Galileo, Giordano Bruno, Kepler dan Newton justru mendukungnya.

Nikolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan Galileo

Galilei (1564-1642)²barangkali²menjadi orang pertama yang berusaha untuk

memberikan cara pandang yang relatif baru bagi perkembangan sains, terutama

77
Listiyono Santoso, ³Sains dan Problematika Ketuhanan Abad Pencerahan (Hampiran
Empirisme Radikal David Hume, 1711-1776)´, dalam Win Usuluddin Bernadien (ed.), þance of
God, Tarian Tuhan (Yogyakarta: Apeiron-Philotés, 2003), hlm. 84.
78
A. Hanafi, Filsafat Skolastik (Jakarta: Pustka Alhusna, 1983), hlm. 82.
dengan teori heliosentrisnya yang menggugurkan paham geosentris tentang pusat

tata surya.

Bruno, misalnya, memahami alam semesta ini sebagai sesuatu yang tidak

terbatas dan tidak menentu serta tidak terhitung jumlahnya dalam ruang dan

waktu yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang sama. Sedangkan Kepler

menolak ajaran gerakan alami, dan mengajukan prinsip kelambanan, yaitu prinsip

yang menyatakan bahwa sebuah benda cenderung untuk diam atau bergerak di

tempat ia berada, kecuali apabila ia dipengaruhi oleh suatu benda yang terdapat di

sekitarnya. Kepler mengajarkan tentang tenaga mekanis yang menghasilkan

perubahan-perubahan kuantitatif.79

Secara historis, Renaissance itu sendiri adalah suatu gerakan yang meliputi

suatu zaman saat manusia merasa diri dan alam pikirannya telah dilahirkan

kembali dalam keadaan bebas dan beradab berdasarkan logika serta otoritas yang

utuh sebagai subyek yang berpikir, yang sempat diberangus oleh dominasi otoritas

gerejani Abad Pertengahan. Manusia kembali kepada sumber yang murni bagi

pengetahuan dan juga keindahan.80

Manusia²pada abad ini²dianggap telah menemukan kembali

subyektivitasnya yang menjadi titik acuan pengertian realitas. Subyek bukan saja

mempengaruhi realitas, bahkan pada tataran tertentu dengan penuh kepercayaan

diri dan kesadaran penuh terhadap otonomi dan kebebasan alamiahnya untuk

berpikir dan bertindak berdasarkan kemampuannya tersebut, subyek juga dapat

79
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1996), hlm. 269.
80
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat ±arat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm.
11.
menciptakan realitas itu sendiri. Dalam terminologi Hegel (1770-1832)81 manusia

bukan lagi dipahami sebagai substansi, melainkan subyek yang mempunyai pusat

kesadaran kritis untuk selalu membenturkan diri terhadap realitas dan dunia.

Modernitas sebagai produk dari Filsafat Pencerahan, menurut Hegel

melibatkan sang subyek dalam proses dialektik pembaharuan secara konstan

dunia realitas, disebabkan ketidakpercayaan pada spirit dan hukum alam. Dalam

penciptaan dunia obyek-obyek dan dalam pencarian nilai-nilai, subyek selalu

terlibat dalam proses bergerak ke depan²subyek selalu mengacu pada nilai-nilai

Kebenaran Ideal, sementara Kebenaran Ideal itu sendiri juga selalu dalam proses

µmenjadi¶. Perubahan yang dihasilkan dari proses bergerak ke depan dan proses

µmenjadi¶ inilah yang oleh subyek modern itu sendiri dinilai sebagai kemajuan.82

Dengan pola pemikiran yang demikian itu, maka pengetahuan dianggap

tidak lagi berasal dari Kitab Suci atau dogma Gereja, dan juga bukan berasal dari

kekuasaan feodal, melainkan dari diri manusia sendiri83, yaitu melalui rasio

(rasionalism) dan pengalaman (empirism). Rasionalisme dan empirisme inilah

yang kemudian menjadi arus utama filsafat yang paling dominan dalam

perkembangan pemikiran manusia abad Renaissance dan dilanjutkan serta

mencapai puncaknya pada abad ke-17 yang dikenal dengan Abad Pencerahan

(Aufklärung). Tradisi khas dari filsafat abad ini terletak pada mainstream

81
Franz von Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
hlm. 60.
82
Yasraf Amir Piliang, Hiper-Realitas Kebudayaan (Yogyakarta: VKíS, 19990), hlm. 17.
83
Nico Syukur Dister, ³Descartes, Hume dan Kant, Tiga Tonggak Filsafat Modern´,
dalam F.X. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 55.
utamanya dalam menempatkan akal atau rasio dan pengalaman manusia sebagai

sumber tertinggi untuk mencapai kebenaran.

Filsafat Pencerahan merupakan suatu ideologi yang mengiringi

perkembangan tingkat borjuasi di Eropa dan sekaligus kemunduran bagi simbol

budaya feodalisme. Jadi filsafat dituntut harus kembali berpatokan pada dua nilai

utama yang dianut dalam masyarakat: hal yang berguna dan kesejahteraan

manusia. Yang ditentang oleh aliran filsafat ini adalah suatu hierarki atas dasar

wahyu Tuhan dan mendukung ideologi dari pluralisme politis dan religius. Hal itu

disebabkan oleh adanya pengertian baru bahwa dengan akal dan metode ilmiah

yang dimilikinya, manusia dianggap sanggup mencapai kebahagiaan dan

kesejahteraan di dunia ini.

Disamping itu, Filsafat Pencerahan juga mengusung suatu perspektif

epistemologi baru dengan menempatkan ilmu pengetahuan sebagai urusan

kolektif masyarakat yang tidak mempunyai batas-batas tertentu selain daripada

pengamatan seluas dunia nyata yang selalu menampakkan diri sebagai realitas

empirik. Filsafat Pencerahan adalah suatu bentuk rasionalisme empiris yang

berusaha menyangkal pendapat seperti yang sering diutarakan oleh banyak pihak

bahwa Filsafat Pencerahan hanya terdiri dari sekumpulan fakta-fakta kecil yang

tidak mempunyai kesatuan dan corak yang khusus.

Sebab dalam Filsafat Pencerahan itu terdapat dua aras pemikiran penting:

orang menciptakan ilmu nyata (positif) tentang corak jiwa manusia (ilmu jiwa

rasional) dengan mempelajari daya psikis, terutama bahasa. Selain itu, metode

eksperimental dalam ilmu alam dan kimia menjadi metode utama yang sangat
dihargai dan digunakan secara silih berganti serta saling melengkapi satu sama

lain. Dua azas itu memungkinkan kita mengerti bahwa terdapat suatu sejarah akal

manusia yang universal sejajar dengan universalitas dari pengamatan dan

pengalaman.84

Semboyan µsapere aude¶; beranilah berpikir memberikan suatu spirit baru

bagi cita-cita kemanusiaan. Voltaire85 menyebut Abad Pencerahan sebagai

³Zaman Akal¶, karena manusia telah merasa bebas, merdeka untuk

menginterpretasikan setiap kejadian yang ada secara berbeda atau bahkan baru

sama sekali tanpa memerlukan lagi intervensi tiap kuasa yang datang dari luar

kemampuan dirinya. Sebab sebagaimana kita ketahui, bahwa paruh Abad

Renaissance dan Abad Pencerahan sendiri memang telah dipenuhi dengan

berbagai revolusi ilmiah yang sangat mengagumkan lewat berbagai pemikiran dan

penemuan manusia secara spektakuler dan monumental. Tokoh-tokoh pembaharu

dan pemikir seperti Galileo Galilei, Francis Bacon dan pada abad berikutnya Rene

Descartes dan Isaac Newton telah berhasil memperkenalkan metode matematik

dan metode eksperimental untuk mempelajari alam. Dengan demikian, maka

pengertian filsafat alam mulai memperoleh arti khusus sebagai penelaahan yang

sistematis terhadap alam dengan menggunakan metode-metode yang

diperkenalkan oleh para pembaharu dari zaman Renaissance dan awal abad ke-

17.86

84
M.A.W. Brouwer dan M.P. Heryadi, op.cit., hlm. 75-77.
85
Sebagaimana dikutip oleh Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 47.
86
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 13.
Perkembangan ilmu pengetahuan dari yang semata-mata bersifat rasional-

empiris menuju ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-eksperimental ini telah

mengakibatkan ditemukannya kegunaan praktis ilmu pengetahuan dengan

berbagai kemungkinan-kemungkinan dan impuls-impuls baru. Dimensi-dimensi

kehidupan sehari-hari telah pula mengalami perubahan drastis dengan cara dan

teknik yang tidak disangka sebelumnya.87

Galileo Galilei mengawali penjelasannya tentang suatu perkembangan

baru sains ketika ia membuat suatu aliansi (pengggabungan) antara matematika

dengan observasi eksperimen. Alam hendaknya diselidiki dengan memakai

pengertian matematika, setiap kenyataan pasti bersifat kualitatif dan dapat diukur.

Pada sisi lain, penemuan teleskop dari Galileo Galilei semakin memperkuat

kebenaran teori heliosentrisnya Copernicus; bahwa bukan bumi sebagai pusat

gerakan dari tata surya, melainkan mataharilah pusatnya.

Dengan teropong jarak jauhnya, Galileo memastikan bahwa planet-planet

tidaklah bercahaya sendiri, melainkan memantulkan cahaya matahari seperti

halnya bulan. Lewat pengamatan astronomis itu pula, Galileo sampai pada sebuah

kesimpulan bahwa Jupiter merupakan model miniatur dari prinsip heliosentris.

Galileo juga meletakkan dasar hukum-hukum yang menghubungkan kecepatan,

percepatan dan jarak yang ditempuh dalam jangka waktu tertentu, sehingga

dengan demikian ia juga telah berhasil menciptakan ilmu pengetahuan kinetika

(ilmu tentang gerak) yang bersifat linear-lurus.88

87
A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, terj. Kees Bertens
(Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 6-7.
88
Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 159.
Apa yang diintrodusir dan diwariskan oleh teori heliosentris ini adalah

babak baru bagi kebenaran logis rasionalisme dan empirisme yang meruntuhkan

kebenaran dogmatisme agama saat itu. Berbagai pendekatan dan juga penemuan

sains oleh para filsuf dan ilmuwan abad ini, seperti Francis Bacon (1561-1626)

dengan metode induktif sebagai landasan empirismenya, Galileo Galilei dengan

pengembangan prinsip heliosentrisnya Copernicus, Charles Darwin dengan teori

evolusinya, dan sebagainya, seolah telah menjadi awal bagi tersingkirnya doktrin

keagamaan.

Melalui penemuan inilah Galileo kemudian berusaha memberikan

keyakinan bahwa kebenaran pengetahuan terletak pada persoalan yang obyektif,

atas dasar observasi dan hitungan matematis. Alam bagi Galileo merupakan satu-

satunya sumber pengetahuan ilmiah sehingga ia memposisikan antara alam

sebagai sumber pengetahuan ilmiah dengan Kitab Suci sebagai pengetahuan

teologi dalam derajat yang sama. Tragisnya, ahli astronomi dan fisika Italia ini

pada tahun 1633 justru dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Gereja Roma di bawah

kekuasan Paus Urbanus VIII, karena dituduh telah menyebarkan ajaran

heliosentrisme dari Copernicus, seorang pastor yang meninggal pada tahun 1543.

Pendapat dan perjuangan yang telah dirintis oleh Galileo itu kemudian

disempurnakan secara sistematis oleh Isaac Newton (1642-1727) yang

menjelaskan bahwa alam sebagai mesin besar yang berjalan sesuai dengan hukum

gerakan dan segenap proses yang terjadi di dalamnya ditentukan oleh massa dan

posisi yang dimiliki oleh berbagai partikel materi yang terdapat di dalamnya.

Prinsip mekanika tentang gerak alam ini berimplikasi logis bahwa dunia
diciptakan seperti sebuah mesin dengan hukum mekanikanya, dan Tuhan yang

semula diyakini begitu intim dengan manusia mulai dicurigai sebagai remote

control yang jauh letaknya dari dunia nyata.

Newton melihat bahwa planet-planet tidak berjalan lurus, tetapi berputar-

putar. Fenomena ini dalam pandangan Newton tidak mungkin terjadi seandainya

tidak ada kekuatan gravitasi. Dari gejala inilah Newton kemudian memperoleh

hukum gravitasi yang menetapkan bahwa planet-planet tersebut tunduk pada

kekuatan sentral, yaitu gravitasi. Newton menyatakan bahwa semua benda langit

saling tarik menarik dengan gaya yang berbanding lurus dengan massanya serta

berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Prinsip yang sederhana ini telah

mampu menerangkan berbagai garis orbit yang sangat kompleks bagi berbagai

planet di sekeliling matahari. Newton berpendapat bahwa suatu planet bergerak

mengitari matahari karena adanya gaya gravitasi yang keluar dari matahari.89

Sementara itu, jauh sebelum Isaac Newton, Francis Bacon sebagai peletak

dasar Abad Renaissance merupakan tokoh yang mempertajam empirisme dengan

mendasarkan semua pengetahuan dan sains atas dasar pengalaman. Bacon

menerangkan prinsip empirisme bahwa untuk menyusun ilmu pengetahuan yang

diperlukan adalah pengumpulan fakta pengalaman sebanyak mungkin yang

kemudian dianalisis mengenai kesamaan yang terdapat diantara berbagai fakta

tersebut. Melalui metode empirismenya pula, Bacon mempercayai bahwa apa

yang akan datang dapat diramalkan kejadiannya atas penemuan yang lampau.

Berbagai prinsip ini pulalah yang kemudian mempengaruhi dan dijabarkan oleh

89
Joko Siswanto, Kosmologi Einstein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 38.
Newton dengan teori gravitasi universalnya sebagaimana yang telah penulis

uraikan di atas.

Dengan demikian sesungguhnya dapat dikatakan bahwa Abad

Renaissance dan Pencerahan merupakan dua mata rantai perkembangan ilmu

pengetahuan yang menggunakan dua arus besar dalam tradisi filsafat, yaitu

rasionalism dan empirism. Menurut Karen Amstrong90, tradisi tersebut²dalam

banyak hal²secara alamiah mempengaruhi cara manusia mempersepsi diri dan

mendorong mereka untuk meninjau kembali hubungan dengan Realitas Tertinggi

yang biasa disebut Tuhan.

Secara khusus, doktrin rasional membagi pengetahuan menjadi dua

macam. Pertama adalah pengetahuan intuitif, artinya akal mesti mengetahui dan

mengakui tentang kebenaran suatu proposisi tertentu tanpa harus mencari dalil

pembuktiannya, misalnya: ³tidak mungkin terjadi suatu peristiwa tanpa suatu

sebab´, ³keseluruhan lebih besar daripada sebagian´, dan ³satu adalah separuh

dua´. Yang kedua adalah pengetahuan informasi dan teoretis. Maksudnya adalah

bahwa akal tidak dapat mempercayai dan menilai kebenaran suatu proposisi,

kecuali dengan merujuk kepada proses pemikiran dan bantuan informasi-

informasi pengetahuan primer lain, seperti: ³bumi itu bulat´, ³gerak adalah sebab

terjadinya panas´, ³gerak mundur tak terbatas adalah mustahil´, ³benda-benda

logam itu memuai oleh panas´.

Berdasarkan pandangan rasionalisme, kriteria pertama bagi benar salahnya

setiap gagasan manusia adalah pengetahuan rasional yang bersifat pasti dan

90
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 383.
mengandung prinsip nonkontradiksi, sehingga cakupan wilayah pengetahuan

manusia menjadi lebih luas daripada batas-batas indera dan eksperimen. Ia

memberikan potensi-potensi kepada pikiran manusia untuk dapat menjangkau dan

merealisasikan realitas-realitas dan proposisi-proposisi di balik materi, bahkan

sampai kepada aspek-aspek metafisis sekalipun. Perjalanan pikiran manusia,

menurut kaum rasionalis berpijak dari proposisi umum menuju ke proposisi yang

lebih khusus, dari yang universal ke yang partikular. Bahwa materi itu memiliki

asal, kita ketahui dari ³bahwa setiap yang berubah pasti memiliki asal´. Jadi

pikiran itu bergerak dari proposisi universal, ³setiap yang berubah pasti memiliki

asal´ ke proposisi partikular ³materi itu memiliki asal´. Akhirnya mesti diingat

bahwa doktrin rasional tidak bersikap masa bodoh terhadap peran eksperimen

dalam penarikan kesimpulan dan pencarian hakikat pengetahuan. Tetapi doktrin

rasional yakin bahwa eksperimen saja tidak mungkin menjadi sumber azasi dan

kriteria primer bagi pengetahuan.

Sebaliknya, paham empirisme menunjukkan bahwa pengalaman adalah

sumber pertama semua pengetahuan manusia. Demikian juga halnya dengan

masalah penalaran pikiran yang menurut mereka selalu berangkat dari yang

khusus ke yang umum, yaitu dari batas-batas eksperimen yang sempit ke hukum-

hukum dan prinsip-prinsip yang universal; selalu beranjak dari realitas khusus

empirikal ke realitas yang mutlak berdasarkan hasil pengalaman. Karena itu,

doktrin empirisme dalam mencari dalil berpikir bersandar pada metode induksi,

sebab ia merupakan metode yang bergerak dari yang partikular ke yang universal.

Aliran pemikiran ini menolak prinsip logika silogistik yang berpatokan dari yang
umum ke yang khusus, karena dalam pembuktian dan kesimpulan akhirnya

ternyata tidak menghasilkan pengetahuan baru yang tidak terkandung dalam

rumus premis-premis silogisme tersebut.

Rasionalisme dan empirisme yang begitu mendominasi alam pikir Abad

Renaissance itu memunculkan persoalan baru berupa ketegangan antara agama

dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai penemuan di bidang sains dan

teknologi²dalam kenyataannya²memberikan kontribusi yang cukup besar bagi

tumbangnya otoritas keagamaan dan mulai mengguncang paham keyakinan

keagamaan manusia, dan juga tentang hakikat serta peranan Tuhan. Ukuran

rasional dan empirik telah menyempitkan kesadaran kebenaran agama dan

pembuktian adanya Tuhan sehingga dianggap memberikan ketidakpastian dan

kebingungan.

Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Descartes (1596-1650)

dengan cogito ergo sum-nya, Baruch Spinoza (1632-1677) dengan ajarannya

tentang satu substansi yaitu Tuhan yang dapat ditangkap oleh akal atau rasio

manusia, karena dalam dunia tidak ada hal yang bersifat rahasia dan akal manusia

telah mencakup semuanya. Ia beranggapan bahwa segala kejadian di dunia ini

berjalan menurut suatu proses yang logis.

Sedangkan empirisme yang bermula dari Inggris diberikan jalan

pembukanya oleh Francis Bacon, bahwa pengalaman merupakan sumber

kebenaran yang terpercaya, yang dilanjutkan dan dirubah secara radikal oleh

empirisme Abad Pencerahan seperti John Locke (1632-1704) dengan teori

tabularasa-nya, bahwa pada mulanya rasio harus dianggap as a white paper dan
seluruh isinya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation) dan

pengalaman batiniah (reflexion).91 Tokoh empirisme yang paling radikal, yaitu

David Hume (1711-1776) juga menggunakan prinsip empiristis, terutama dalam

hal penolakannya terhadap substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima

substansi, sebab yang dialami hanya merupakan kesan saja tentang beberapa ciri

yang selalu terdapat bersama-sama. Hume berpendirian bahwa gambaran dan

pengertian kita terhadap hubungan logis antara peristiwa-peristiwa yang terjadi

secara kausal-mekanis hanya merupakan salinan yang sesuai dengan aslinya.

Berbagai cita rasa hasil dari kombinasi penangkapan, pengalaman dan kesadaran

itu adalah suatu perasaan atau naluri-pembawaan yang berada di luar kekuasaan

akal.92

Baginya, tidak mungkin mengkonsepsikan atau menciptakan suatu

gagasan tentang realitas jika gagasan itu ternyata berbeda dengan konsep-konsep

dan reaksi-reaksi itu sendiri. Kepastian tentang nilai obyektif pengetahuan

manusia merupakan masalah yang tidak bisa dijangkau oleh nalar. Oleh karena

itu, lanjut Hume, sebaiknya kita pusatkan saja perhatian kita ke alam luar sesuka

kita, dan biarkan imajinasi kita menjelajah langit-langit atau ujung-ujung alam

semesta. Sebab kita selamanya tidak akan dapat melampaui hal-hal di luar batas

kemampauan rasio kita sendiri. Kita juga mustahil mampu menjawab persoalan

dasar filsafat yang dipertentangkan oleh kaum idealis dan kaum realis. Idealisme

sendiri berpendapat bahwa realitas itu ada dalam kesadaran dan pengetahuan

91
Sutardjo Adisusilo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Kanisius, 1983), hlm. 43.
92
A. Epping, Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie: Eerste, Nederlandse,
Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie (Bandung: Jemmars, 1983), hlm. 244-245.
manusia, sementara kaum realisme menduga bahwa realitas itu ada secara

obyektif dan mandiri.93

Keberhasilan pembuktian ilmiah melalui rasionalisme dan empirisme telah

menggeser kedudukan otoritas pengetahuan berdasarkan kebenaran wahyu yang

dianggap abstrak. Apa yang diterima sebagai kebenaran dogma keagamaan, pada

abad ini benar-benar mulai dipertanyakan dan ditinjau kembali. Penemuan sains

dan teknologi pada masyarakat Barat tersebut membawa sinyal otonomi baru

bahwa manusia sebagai penanggungjawab atas urusan mereka sendiri94, termasuk

agama dan Tuhan. Kepercayaan diri yang baru terhadap kekuatan alamiah

manusia ini mengandung arti bahwa manusia mulai yakin bahwa mereka mampu

mencapai pencerahan lewat usaha mereka sendiri. Mereka sudah tidak lagi merasa

perlu untuk bersandar pada warisan tradisi, institusi, sekelompok elit,²bahkan

wahyu dari Tuhan²untuk menemukan hakikat kebenaran.95 Kekuatan alamiah

yang dimiliki manusia dianggap telah cukup representatif untuk menemukan

semua jenis kebenaran, dan sains yang telah ditemukan oleh para ilmuwan

merupakan bukti empiriknya.

Paradigma sains yang demikian telah cukup menjadi pertanda konkrit

betapa Abad Renaissance yang kemudian dilanjutkan oleh Abad Pencerahan telah

menimbulkan ketegangan kreatif antara agama dengan filsafat. Filsafat sering

dituduh sekularistik, ateis dan anarkis karena suka menyobek selubung-selubung

93
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali
(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 90.
94
Karen Amstrong, op.cit., hlm. 384.
95
Ibid., hlm. 386.
ideologis berbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dalam

pakaian yang alim sekalipun. Pada Abad Renaissance, otoritas agama benar-benar

telah ditinggalkan, sementara pada Abad Pencerahan, otoritas agama dan peranan

Tuhan dipertanyakan kembali.

Spirit ilmiah baru, terutama di Abad Pencerahan yang bersifat empiris,

semata-mata berdasarkan observasi dan eksperimen pada akhirnya berimplikasi

logis bahwa fenomena dan problem ketuhanan pun harus diletakkan pada domain

empiris. Melalui metode empirismenya, para ilmuwan dan filsuf melakukan

verifikasi atas realitas obyektif Tuhan dengan cara yang sama seperti ketika

mereka membuktikan fenomena lainnya yang bisa didemonstrasikan.

Permasalahan di atas lantas diangkat oleh Feyerabend untuk menunjukkan

bahwa perdebatan seputar rasioalisme dan empirisme telah berlangsung sepanjang

pemikiran filsafat itu muncul. Feyerabend ingin menolak kedua posisi yang

ekstrem itu, walaupun dalam argumen-argumennya yang menonjol adalah berupa

kritik terhadap empirisme dan positivisme ilmiah. Tetapi ia juga cukup banyak

menyodorkan bukti bahwa rasionalitas itu sendiri bukanlah suatu yang mapan.

Misalnya ia menunjukkan bahwa teori Pythagoras (± 580-500 SM.) tentang bumi

itu bulat dan berputar tidak rasional menurut Hipparchus dan Ptolemeus, tetapi

kemudian rasional lagi pada masa Copernicus.

Dalam pandangan Ptolemeus, bumi menjadi pusat dari bulan, matahari dan

lima bintang yang telah dikenal luas pada saat itu (Jupiter, Mars, Mercury,

Saturnus dan Venus) serta semua bintang lainnya di langit. Peredaran bintang-

bintang yang tampak bergerak mundur dari bumi dijelaskan oleh Ptolemeus
dengan teori Epicycle. Dalam teori ini, setiap planet bergerak pada suatu lingkaran

yang titik pusatnya bergerak pada suatu lingkaran lain yang pusatnya juga adalah

bumi. Teorinya tentang bumi sebagai pusat dari peredaran bintang-bintang

termasuk matahari sangat berpengaruh besar sampai pada Abad Pertengahan dan

Masa Pencerahan.

Tesis geosentrisme (matahari beredar mengelilingi bumi dan planet)

Ptolemeus ini kemudian berangsur-angsur mulai surut sejalan dengan munculnya

Revolusi Copernicus yang diprakarsai oleh Copernicus yang berusaha

meyakinkan semua orang bahwa sebenarnya mataharilah yang menjadi pusat orbit

bintang-bintang dan bumi sendiri mengelilingi matahari sebagaimana halnya

bintang-bintang lainnya.

Copernicus berhasil menyusun tujuh hipotesis yang berkaitan dengan

alam. Pertama, tidak ada sentrum bagi seluruh bola-bola langit. Kedua, bumi

meskipun dipandang sebagai pusat gravitasi, tetapi bukan merupakan sentrum

kosmos. Ketiga, bola-bola planet bergerak mengelilingi matahari sebagai

sentrumnya. Keempat, jarak antara bumi ke matahari tidak bisa diukur melalui

luas cakrawala ruang angkasa. Kelima, bumi setiap hari mengelilingi porosnya

sendiri. Keenam, gerakan bumi menunjukkan lebih dari satu macam. Ketujuh,

gerakan bumi memberikan pemahaman adanya gerakan benda-benda langit.96

Sehingga tidak heran jika dari berbagai rumusan metode ilmiah yang

dihasilkannya tersebut, ia kemudian dianggap oleh para ahli ilmu pengetahuan

96
Joko Siswanto, op.cit., hlm. 11. Baca juga dalam Androngi, Filsafat Alam Semesta
(Semarang: Bintang Pelajar, 1986), hlm. 110.
dewasa ini sebagai peletak dasar dari Ilmu Bintang modern.97 Walaupun di pihak

yang lain, ternyata gagasan heliosentrisme (bumi dan planet-planet beredar

mengelilingi matahari) Copernicus dalam bidang sains dan filsafat tersebut,

³secara sah dianggap sesat´ jika dikontradiksikan dengan ajaran Kitab Suci

(Bibel) dan pandangan Gereja.98

Tetapi dari hasil diskusi yang membuat heboh itu, akhirnya terungkap

bahwa ilmu bumi benar dan pandangan kitab suci mengenai langit dan masalah

beredarnya matahari pada bumi tidak dapat dipertahankan lagi. Mungkin

kesalahan pihak Gereja Katolik pada waktu itu adalah mereka memandang kitab

suci sebagai sumber dan pedoman segala ilmu dalam arti sempit dan keras.

Padahal kitab suci adalah suara Tuhan yang mengajak umat manusia menuju

iman, pengharapan dan cinta kasih sebagai nilai-nilai tertinggi.

Lalu dari semua itu siapa yang benar? Menurut Feyerabend, itu tergantung

pada jenis informasi, budaya ataupun pemimpin budaya yang menggunakan

informasi tersebut. Tentu banyak orang dewasa ini tanpa pikir panjang akan

memilih teknologi daripada kehidupan yang harmonis dengan alam. Tetapi bagi

sebuah kebudayaan yang memusatkan perhatian manusia dan kemanusiaan pada

tempat tertinggi, akan memilih dan mendahulukan hubungan personal daripada

hubungan abstrak seperti kepandaian ataupun efisiensi yang statistik.

Feyerabend adalah penganjur pluralisme metodologi, ia menolak

pandangan idealisme dan naturalisme. Idealisme berpendapat bahwa rasionalitas

97
The Liang Gie, Vintasan Sejarah Ilmu (Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna,
1998), hlm. 71.
98
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,
2003), hlm. 118.
adalah asli, agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas, konteks dan

historisitas. Baik rasionalisme maupun empirisme mendukung rasionalitas yang

menurutnya universal dengan cara yang berbeda. Tetapi anggapan ini

sesungguhnya tidak dapat dibenarkan. Contoh-contoh yang dikemukakan oleh

Feyerabend membuktikan bahwa tidak ada teori yang mengandung cacat, tidak

ada teori yang sepenuhnya konsisten dengan fakta, tidak ada rasionalitas yang

tidak terkait dengan konteks. Atas dasar itu, sangat dipahami apabila Feyerabend

menolak kesatuan metode ilmu pengetahuan.

Feyerabend mengemukakan pandangannya tentang relativisme dalam

konteks ilmu pengetahuan, yang di dalamnya semua pendekatan dan metode

dianggap sah, semua cara mendapatkan pengetahuan dianggap boleh, semua

pengetahuan yang dihasilkannya dianggap mengandung kebenaran, yang di

dalamnya apapun saja boleh²anything goes. Sehingga di dalam penjelajahan

pengetahuan tidak diperlukan metode atau paradigma umum, yang berlaku dan

menjadi acuan umum sebuah masyarakat peneliti. Relativisme dalam ilmu

pengetahuan memungkinkan setiap orang melakukan penelitian tanpa perlu terikat

pada sebuah metode yang telah baku.99

Itulah sebenarnya penjabaran makna relativisme pengetahuan sebagai

sebuah pandangan yang meyakini bahwa nilai dan kebenaran ditentukan oleh

pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap individu atau masyarakat, yang di

dalamnya semua hal (pandangan, nilai, keyakinan, kebenaran, makna)

mengandung arti kebenaran relatif. Artinya, tidak ada hal yang benar secara

99
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 235.
absolut; dan sebaliknya tidak ada hal yang salah secara absolut, semuanya

mengandung porsi kebenarannya masing-masing.

Berbagai penemuan aspek eksperimental dalam bidang ilmu pengetahuan

semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa suatu teori tidak penah dapat bersifat

definitif. Selalu mungkin bahwa eksperimen-eksperimen baru yang menyelidiki

lapisan-lapisan baru dari kenyataan atau struktur realitas, memaksa kita untuk

merevisi teori-teori yang sudah lazim diterima.

Kaum relativis menyangkal adanya suatu standar rasionalitas universal dan

a-historis yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik daripada

teori lainnya. Apa yang dianggap paling akurat atau lebih baik mengenai teori-

teori ilmiah akan berbeda-beda dari individu atau mayarakat yang satu dengan

yang lainnya. Sebab tujuan mencari pengetahuan akan tergantung pada apa yang

penting bagi, atau apa yang dihargai oleh, seorang atau suatu masyarakat tertentu.

Misalnya, masyarakat kapitalis Barat memberikan penghargaan yang sangat tinggi

pada tujuan penguasaan materiil atas kekayaan alam, tetapi hal itu akan

memperoleh status yang rendah dalam satu kultur dimana pengetahuan justru

diharapkan dapat memberikan kepuasaan individual. Diktum seorang filsuf

Yunani Kuno, Protagoras, ³manusia adalah ukuran segala-galanya´, menunjukkan

suatu relativisme dalam hubungannya dengan individu-individu, sedangkan

ucapan Kuhn, ³tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan

masyarakat bersangkutan´, merupakan pernyataan relativisme mengenai

masyarakat. Karakterisasi kemajuan dan spesifikasi kriteria untuk menilai jasa

atau faedah suatu teori akan selalu relatif bagi individu atau masyarakat yang
menginterpretasikannya. Bagi seorang relativis, kriteria untuk menilai faedah

teori-teori akan tergantung dari nilai-nilai atau kepentingan yang dianut oleh suatu

individu atau masyarakat. Jadi contohnya, teori tentang pasang surut air laut

berdasarkan pada gaya tarik bulan adalah ilmu yang berguna bagi kaum

Newtonian, tetapi bagi Galileo dipandang sudah mirip dengan mistik ghaib;

sementara itu dalam masyarakat masa kini, teori Marx tentang perubahan historis

yang dipandang sebagai ilmu yang baik, oleh sementara kalangan dianggap

propaganda belaka.100

Menurut Feyerabend, tidak ada gagasan, baik yang kuno maupun yang

absurd, yang tidak tidak mampu meningkatkan pengetahuan. Totalitas sejarah

pemikiran diarsobsikan (dituangkan) ke dalam sains dan dipergunakan untuk

meningkatkan setiap teori. Begitu pula tidak ada interferensi (campur tangan)

politis yang ditolak. Ini boleh jadi dibutuhkan untuk menghilangkan chauvinisme

sains yang menolak pemikiran lain, selain mempertahankan satus quo. Hal

tersebut dikemukakan oleh Feyerabend sebagai berikut:

There is no idea, however ancient and absurd, that is not capable of


improving of knowledge. The whole history of thought is absorbed into
science and is used for improving every single theory. Nor is political
interference rejected. It may be needed to overcome the chauvinism of
science that resists alternatives to the status quo.101

Perkembangan ilmu selama berabad-abad selalu ditandai oleh cara-cara

analisis dan partisipasi pengamatan terhadap terjadinya perubahan yang bergerak

secara dinamis dan drastis, dengan terlebih dahulu diawali oleh introduksi suatu

100
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan
Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 107-108.
101
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of
Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 33.
perangkat konsep atau pola pengetahuan baru yang sebelumnya tidak ada,

walaupun dalam proses penemuannya bukan merupakan hasil yang lahir dari

suatu krisis atau konflik.

Pada awal pertumbuhannya, ilmu bercorak positivistis (bebas dari pikiran

etis), deterministis (berdasar prinsip kausalitas), evolusionistis (kecenderungan

untuk melihat sejarah dari obyek yang diteliti) sehingga segala hal harus

dijelaskan dengan metode kuantitatif (mengukur dan menghitung), eksperimental

(merubah gejala dengan mempertahankan variabel) dengan metode observasi dan

riset.102 Pada perkembangan selanjutnya, adanya berbagai pengkajian ide, teori,

sistem atau paradigma baru sebagai titik tolak, dengan pengujian ulang terhadap

cara penyajian serta diseminasinya semakin memperjelas fase-fase yang kemudian

diterima oleh masyarakat ilmiah sebagai suatu pertanda terjadinya perubahan yang

cukup siginifikan untuk disebut evolusi atau bahkan suatu revolusi yang mampu

melahirkan transformasi keilmuan fundamental.

Terjadinya perubahan tersebut ditandai oleh kriteria analisis logis maupun

historis seperti yang dapat kita amati dalam penemuan Newton, Darwin, Einstein

dan revolusi biologi molekuler (yang berhubungan dengan molekul) serta

perkembangan ilmu-ilmu bumi dewasa ini. Dalam mewujudkan konsep keilmuan,

kebenaran ilmiah itu tidak dapat semata-mata didasarkan atas konsep keilmuan

yang bersifat rasional, logis, empiris, rasionalistis kritis, ataupun konstruktivis

(ilmu berasal dan berkembang karena keseluruhan konteks, baik rasional ataupun

empiris) saja, tetapi juga merupakan suatu sistem terbuka yang dipengaruhi oleh

102
Martinus Anton Wesel Brouwer, Psikologi Fenomenologis, Frans M. Parera
(penyunting), (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 83.
kondisi lingkungan kehidupan manusiawi dengan seluruh aspek pembangunan

masyarakat spiritual maupun material ataupun dalam kaitan dengan konteks ilmu

itu sendiri.

Setiap evolusi ilmu selalu dimulai dengan suatu latihan intelektual

(intellectual exercise) oleh kelompok ilmuwan tertentu yang menumbuhkan suatu

ide baru, dan kemudian berkembang menjadi suatu pemahaman baru yang

sebelumnya tidak ada ataupun tidak diharapkan akan ada; suatu tindakan kreatif

yang bersumber dari suatu inovasi, bertolak dari masukan ilmu yang sudah ada

sebagai batu loncatan bagi penemuan dan perubahan konseptual yang signifikan.

Oleh karena itu, keterbukaan terhadap berbagai tuntutan modernisasi dan

pengembangan ilmu yang disajikan melalui berbagai kekuatan yang datang dari

luar harus diimbangi pula dengan kemampuan mengadakan penemuan,

improvisasi dan kreasi-kreasi yang terus-menerus, yang menampilkan renungan

dan dialog mengenai makna dari segenap pengalaman hidup melalui dinamika

perkembangan ilmu.103

Dalam kaitan ini, Thomas Kuhn juga menunjukkan bahwa bahkan dalam

perkembangan ilmu yang paling positivis, empiris dan pragmatis sekalipun

terdapat pula faktor-faktor lain. Dalam pemilihan sebuah teori baru misalnya,

yang terlibat bukan sekedar rasio yang analitis, verbal dan matematis, melainkan

juga cita rasa estetis, nilai-nilai moral dan juga ikatan-ikatan sosial kelompok

yang tidak dapat dibuktikan dan diungkapkan secara eksplisit sebagai dasar bagi

terbentuknya suatu masyarakat. Semua dimensi ini bersifat nonverbal atau

103
Conny R. Semiawan, et.al., þimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung:
Rosdakarya, 1998), hlm. 76 dan 80.
simbolis, implisit serta tidak terukur secara matematis dan empiris, tetapi menjadi

faktor yang bekerja dalam proses penemuan teori atau paradigma baru dan

sekaligus mengakhiri krisis menuju suatu tahap revolusi ilmiah.

Selaras dengan apa yang dikemukakan Kuhn tersebut, dalam salah satu

tesis pentingnya tentang pengembangan ilmu pengetahuan, Michael Polanyi

menawarkan tentang perlunya kehidupan kreatif masyarakat ilmiah yang pada

gilirannya didasarkan pada kepercayaan akan kemungkinan terungkapnya

kebenaran-kebenaran yang hingga kini masih tersembunyi. Sebab masyarakat kita

pada umumnya dan masyarakat ilmiah pada khususnya dewasa ini, menurut

Polanyi telah mengidap suatu pandangan yang bercorak positivis. Positivisme

sendiri melihat bahwa obyektivitas dalam bidang pengetahuan manusia pada

umumnya dan pengetahuan ilmiah pada khususnya sebagai tujuan; dan tujuan itu

dapat dicapai dengan syarat bahwa fakta yang diteliti, metode yang dipakai untuk

memahami realitas serta pembuktian yang digunakan untuk menguji kebenaran

harus lepas dari personalitas manusia.104

Premis dasar ini merupakan cikal bakal kekeliruan tesis positivisme yang

tidak hanya terletak pada sikapnya yang menolak cita rasa estetis dan nilai-nilai

moral serta ikatan-ikatan sosial105, karena dianggapnya sebagai realitas subyektif

semata-mata, melainkan juga pada pandangannya bahwa suatu masyarakat tidak

dapat dibangun di atas dasar-dasar yang berakar pada cita rasa estetis, nilai-nilai

104
Michael Polanyi, Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan, terj. Michael Dua (Jakarta:
Gramedia, 1996), hlm. ix-x.
105
Jika Polanyi berbicara tentang cita rasa estetis, nilai-nilai moral dan ikatan-ikatan
sosial, maka yang dimaksud disini bukan prinsip-prinsip moral universal dan abstrak dalam
pengertian Kant, melainkan kebiasaan atau tradisi suatu masyarakat.
moral dan ikatan-ikatan sosial itu. Situasi semacam ini oleh Polanyi disebut

dengan inversi atau pemutarbalikan estetis dan moral, suatu kondisi di mana cita

rasa estetis dan moralitas menjadi dasar tersembunyi bagi kegiatan-kegiatan yang

jelas-jelas tidak manusiawi. Padahal cita rasa estetis dan moral merupakan sesuatu

yang sensitif dalam diri kehidupan manusia dan yang menuntut manusia untuk

menghargai keindahan, kemurahan hati dan ikatan-ikatan sosial masyarakat.

Tetapi jika cita-cita itu diganti dengan tujuan-tujuan yang sekuler semata-mata,

maka ia akan berubah menjadi tindakan-tindakan yang koersif.

Selain itu, kekeliruan mendasar dari positivisme yang juga ditentang keras

oleh Feyerabend dapat kita telaah dari sudut pandang epistemologi sebagai suatu

cabang filsafat yang berbicara tentang aspek-aspek pengetahuan manusia. Bagi

Polanyi, persoalan dasar epistemologi adalah bagaimana seseorang dapat

memiliki suatu pengetahuan. Penemuan yang berkesinambungan di bidang ilmu

pengetahuan merupakan masalah penting, dan oleh karena itu usaha mencari

faktor-faktor yang dapat membuahkan pengetahuan baru lebih penting dari usaha

mencari verifikasi dengan pengukuran positif terhadap pengetahuan.106 Berbeda

dengan pandangan positivisme yang melihat pengetahuan yang tidak terungkap

sebagai pengetahuan yang harus disingkirkan karena berada di ambang kesadaran

manusia, maka dalam pandangan Polanyi jenis pengetahuan ini justru dilihat

sebagai dasar dari semua pengetahuan manusia.

Pengetahuan yang tidak terungkap atau²istilah Polanyi, lacit

knowledge²merupakan integrasi intelektual atas unsur-unsur pengalaman

106
Michael Polanyi, op.cit., hlm. xi.
personal ke dalam kesatuan pemahaman sebagai suatu aktivitas inteligensi

manusia dalam mengartikan dan memahami realitas. Sementara pemahaman atas

keseluruhan realitas itu sendiri hanya bisa dicapai melalui proses integrasi

personal atas fakta-fakta partikularnya. Dengan begitu positivisme bukanlah satu-

satunya sistem penjelasan terhadap struktur pengetahuan manusia.

Hal ini perlu ditegaskan kembali oleh karena adanya kenyataan bahwa

sejak awal pendekatan mekanis Galileo terhadap alam, fisika klasik cenderung

diterima tanpa sikap kritis terhadap kategori-kategori umum yang dimuat dalam

pendekatan tersebut. Fisika klasik menganggap saintisnya sebagai saksi murni

dari peristiwa-peristiwa alami yang tidak dipengaruhi oleh subyek, dengan

mengandalkan dikotomi antara yang subyektif dan yang obyektif.

Baru setelah terjadi pergantian abad ke-20, kemudian ahli fisika sudah

mulai mengalami semacam krisis intelektual yang diakibatkan oleh penemuan

fakta-fakta eksperimental yang tidak mereka bayangkan sebelumnya, dan yang

bahkan dianggapnya mustahil terjadi.107 Pergeseran itu setidaknya disebabkan

oleh adanya tiga hal penting, yaitu perubahan pemikiran manusia, kemajuan

teknologi dan lahirnya metode-metode ilmiah baru. Indikasinya, dalam abad ke-

20 ini berkembang tiga teori yang cukup menggelisahkan dunia ilmu

pengetahaun, yakni: (1) Teori relativitas Einstein; (2) Teori kuantum dari Plank;

dan (3) Teori elektris tentang materi.108

107
James B. Conant, Apakah Ilmu Pengetahuan Itu?, dalam C.A. Qadir (penyunting),
Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, terj. Bosco Carvalho, et.al., (Jakarta: Yayasan Obo r Indonesia,
1995), hlm. 41.
108
Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 265.
Lebih lanjut, imbas dari berbagai inovasi pemikiran modern tersebut

menyebabkan dunia fisika dewasa ini mengalami apa yang disebut ³krisis

penjelasan´. Perkembangan baru dalam fisika mengakibatkan perubahan

pandangan dalam epistemologi, yang dalam istilah Thomas S. Kuhn dikatakan

³perkembangan fisika abad ke-20 telah menimbulkan revolusi ilmiah yang

menggulirkan paradigma baru´. Alam dalam pandangan Newtonian yang di

atasnya prinsip positivisme ditegakkan; alam yang mekanis, deterministik,

sederhana dan dapat diketahui secara obyektif dengan observasi dan eksperimen

ilmiah, kini mulai diragukan.

Secara filosofis, implikasi dari modifikasi teori fisika terutama dalam hal

mekanika kuantum tersebut semakin menunjukkan betapa goyahnya pondasi atau

asumsi-asumsi dasar positivisme yang menuntut ilmuwan dan filsuf merevaluasi

pandangannya tentang ilmu pengetahuan. Paling tidak kondisi itu dipicu oleh

beberapa kejadian yang terdapat dalam dunia ilmu fisika seiring dengan

kemajuan-kemajuan dan penemuan-penemuan baru yang sangat revolusioner dan

di luar prediksi semula.

Pertama, adanya problem ³prinsip ketidakpastian (Uncertainly principle)´

Heisenberg tentang kemustahilan untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah

elektron dalam waktu yang bersamaan. Prinsip ini beranggapan bahwa dalam

keadaan yang lumrah, hukum fisika tidak akan mampu menjangkau realitas

mikrokosmos atau dunia sub-atomik. Kemudian masalah yang Kedua, adalah

adanya paradoks terkenal tentang kodrat cahaya yang sampai sekarang

mempunyai status yang tidak jelas. Yang lazim diketahui sampai saat ini hanyalah
pendapat umum bahwa cahaya itu disebarkan dalam bentuk gelombang. Dan

permasalahan penting yang Ketiga, adalah adanya penemuan Max Planck

mengenai kenyataan bahwa atom hanya ada dalam bentuk-bentuk energi.109 Pada

tahun 1900, Plank mengemukakan teori kuantum yang menyatakan bahwa tenaga

dari sinar yang dipancarkan ataupun diserap terdiri atas kelipatan-kelipatan bulat

dari suatu takaran tertentu. Dalam hemat Planck, cahaya dapat dilihat sebagai term

partikel atau sebagai gelombang (term of waves). Namun tidak ada interpretasi

yang secara konsisten dapat digunakan pada keseluruhan situasi dengan selalu

menetapkan hukum matematika formal.110

Hal itulah yang digunakan Feyerabend untuk memperlihatkan bagaimana

metodologi-metodologi yang telah ada sudah tidak sejalan atau tidak cocok lagi

dengan sejarah perkembangan fisika. Ia menyangkal klaim bahwa ada metode

yang mampu menjelaskan sejarah fisika. Ia juga menolak anggapan bahwa

superioritas fisika atas bentuk-bentuk pengetahuan lain dapat dikukuhkan dengan

bantuan suatu metode ilmiah tertentu. Pendeknya, apabila seseorang hendak

memberi sumbangsih kepada kemajuan fisika, maka ia tidak perlu terlebih dahulu

mengenal metodologi-metodologi ilmu kontemporer, tetapi ia memang perlu

mengenal tentang beberapa teori yang terdapat dalam pengetahuan fisika. Ia

menunjukkan bahwa tidaklah bijaksana jika para ilmuwan di dalam melakukan

pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan terikat oleh hukum-hukum yang diatur

dalam metodologi-metodologi ilmu.

109
Kenneth T. Gallagher, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), P. Hardono Hadi
(penyunting), (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 174-175.
110
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 12.
Mengingat begitu kompleksnya kenyataan yang berkembang pesat serta

juga terkait dengan masa depan yang tidak dapat diramalkan secara pasti dalam

rangka perkembangan ilmu pengetahuan, maka tidak logis kiranya mengharapkan

metodologi dapat mendikte seorang ilmuwan. Misalnya dalam situasi tertentu kita

harus menerima teori A, menolak teori B, atau lebih menyukai teori A daripada

teori B. Hukum-hukum seperti ³terimalah teori yang mendapatkan paling banyak

dukungan induktif dari fakta-fakta yang diterima umum´ dan ³tolaklah teori yang

tidak sesuai dengan fakta-fakta yang sudah diterima umum´, tidaklah relevan

dengan episode pengembangan ilmu itu sendiri yang dianggap sebagai fase yang

paling kreatif dan progresif dalam sejarah peradaban umat manusia.

Dalam pengertian inilah istilah ³apa saja boleh´ itu berlaku. Prinsip apa

saja boleh (anything goes) secara harfiah berarti membiarkan segala sesuatu

berlangsung dan berjalan tanpa dijejali aturan-aturan dan hukum-hukum. Bahkan

prinsip ini mengimplikasikan suatu perlawanan terhadap segala macam aturan

atau hukum yang telah baku. Prinsip ini tidak dimaksudkan sebagai metode baru,

melainkan hanya sekedar upaya agar para ilmuwan yang sudah terbiasa bekerja

dengan memakai standar-standar universal harus bersedia menerima tradisi-tradisi

dan praktek-praktek riset.111 Dengan ini Feyerabend ingin menegaskan bahwa

semua metode yang paling jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan satu-

satunya hukum yang akan hidup terus dan dapat bertahan di tengah semua situasi

dan dalam tahap perkembangan manusia adalah prinsip ini.

111
Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja
Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 57.
Sebab nyatanya, gagasan mengenai adanya keteraturan metode atau

rasionalitas teori ternyata banyak sekali menyisakan pandangan yang naif tentang

manusia dan keadaan sosialnya. Untuk itu barangsiapa yang melihat kekayaan

bahan yang disediakan oleh sejarah, tetapi tidak sungguh-sungguh dalam

menggarapnya pada gilirannya akan mengurangi kepekaan nalurinya, dan mereka

sangat membutuhkan jaminan kejelasan dari cendekiawan, ketelitian,

obyektivitas, kebenaran saja, sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada satu pun

prinsip yang dapat dipertahankan dalam semua keadaan seperti itu ataupun dalam

semua tingkat perkembangan manusia. Inilah prinsip: apa saja boleh. Hal tersebut

dikemukakan Feyerabend sebagai berikut:

[T]he idea of a fixed method, or of a fixed theory of rationality, rests on


too naive a view of man and hissocial surrounding. To those who look at the rich
material provided by history, and who are not intent on impoverishing it in order
to please their lower instincts, their craving for intellectual security in the form of
clarity, precision, µobjectivity¶, µtruth¶, it will become clear that there is only one
principle that can be defended under all circumstances and in all stages of human
development. It is the principle: anything goes.112

Prinsip apa saja boleh ini juga sangat sesuai dengan pokok pikiran

Feyerabend lainnya, yakni tentang kebebasan individu yang akan kami paparkan

dalam sub-topik pembahasan selanjutnya. Menurut Feyerabend, jika kita ingin

rasional dalam situasi-situasi konkrit sebenarnya prinsip apa saja boleh

membebaskan kita dari keharusan untuk bertindak di bawah ketentuan-ketentuan

hukum dan metode yang telah disepakati bersama. Menurut prinsip ini juga, setiap

orang secara bebas dapat mengikuti pilihan pradigma dan aturan teori serta boleh

juga mengikuti kecenderungan tertentu sebagai usaha untuk menumbuhkan ide-

112
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 18-19.
ide kritis. Dalam pengertian ini, seorang ilmuwan perlu keberanian untuk

mengajukan ide-ide, gagasan-gagasan baru tanpa harus dikekang oleh tradisi

ilmiah. Namun tentu saja kebebasan yang dipraktekkannya itu bukanlah

kebebasan yang liar, dan bukan pula kecenderungan sesaat yang tidak berarti

sedikitpun. Dengan begitu, prinsip apa saja boleh bukanlah berarti bahwa apa saja

boleh tanpa batas, tanpa aturan dan tanpa tujuan.

),?  ±)1

Salah satu komponen penting lain dari analisa Feyerabend tentang ilmu

pengetahuan adalah pandangannya bahwa ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur

dengan standar yang sama. Konsepsi Feyerabend ini berasal dari apa yang disebut

sebagai prinsip ketergantungan observasi pada teori. Sebagaimana yang kita

maklumi, bahwa ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme tentang

observasi. Pertama, ilmu pengetahuan diperoleh lewat observasi. Kedua,

kepercayaan bahwa observasi yang sungguh-sungguh obyektif menjadi dasar yang

kokoh bagi ilmu pengetahuan.113 Mereka percaya bahwa: (1) Seorang pengamat

sedikit banyak dapat menangkap langsung beberapa sifat dari dunia eksternal

yang diobservasi; (2) Dua orang pengamat yang mempunyai indera yang normal

akan melihat obyek atau gejala-gejala dari tempat yang sama, niscaya akan

melihat hasil yang sama pula.114

Inilah yang disanggah Feyerabend dengan alasan bahwa apa yang dilihat

pengamat dalam pengalaman visual ketika memandang suatu obyek sangat

113
A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 22.
114
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 107.
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman di masa lalunya, pengetahuan dan

harapan-harapannya. Bagi Feyerabend, hasil observasi itu selalu tergantung pada

teori sehingga tidak dapat dijadikan dasar yang obyektif bagi penilaian tentang

kelayakan sebuah teori. Feyerabend menyimpulkan bahwa tingginya mutu sebuah

teori berdasarkan hasil pengamatan itu tidak dapat saling diukur satu sama lain.115

Makna dan interpretasi tentang konsep-konsep dan keterangan-keterangan

observasi yang digunakan akan tergantung pada konteks dimana makna dan

keterangan observasi itu muncul. Feyerabend beranggapan bahwa arti setiap

istilah yang kita pakai tergantung pada konteks teori yang digunakan. Letusan

gunung berapi bagi seorang ahli geologi, dapat dijelaskan sebagai gangguan di

bawah tanah, tetapi bagi warga suku primitif, letusan gunung berapi mungkin

dianggap sebagai hukuman para dewa akibat dosa-dosa manusia.

Feyerabend menerima pandangan Kuhn tentang tidak adanya kriteria bagi

ilmuwan yang disebabkan oleh adanya ketidaksepadanan atau ketidakkonsistenan

dalam teori ilmu pengetahuan. Prinsip ketidakterbandingkan antara satu teori atau

pandangan dengan yang lainnya berkaitan dengan prinsip inkonsistensi.

Maksudnya, bahwa dalam satu penelitian ilmiah dapat melibatkan pendapat dan

alternatif-alternatif yang bervariasi.

Jika seseorang tertarik dengan penelitian empiris dan ingin mengerti teori

dalam berbagai aspek, maka ia harus memahami dan mengadopsi metode yang

pluralistik. Ia harus dapat membandingkan antara satu teori dengan teori yang lain

berdasarkan hasil pengamatan serta kumpulan data dan fakta yang diperolehnya.

115
John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition
(New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 187.
Ia harus mencoba pula untuk memperbaiki daripada membuang pandangan-

pandangan yang kelihatannya kehilangan daya kompetisi. Feyerabend menulis

masalah itu sebagai berikut: ³...will adopt a pluralistic methodology, he will

compare theories with other theories rather than with µexperience¶, µdata¶, or

µfacts¶, and he will try to improve rather than discard the views that appear to

lose in the competition´.116

Sebelumnya Thomas Kuhn telah menggambarkan ilmu sebagai aktivitas

pemecahan teka-teki ilmu pengetahuan, baik secara teoretis maupun

eksperimental. Pemecahan itu dibimbimg oleh peraturan-peraturan dalam suatu

paradigma. Kuhn secara tegas menyatakan bahwa paradigma bukan saja

membimbing teknis penelitian, tetapi juga membimbing interpretasi fenomena

yang diobservasi. Ini artinya Kuhn juga mengakui ketergantungan observasi pada

teori. Dalam penjabarannya, setiap paradigma akan memandang dunia ini secara

berlainan, sebab setiap paradigma itu memang memiliki asumsi dan standar yang

berbeda atau bahkan saling bertentangan satu sama lain.

Dalam beberapa kasus-kasus fundamental dari dua teori rival mungkin

terdapat perbedaan yang begitu signifikan, sehingga tidak mungkin merumuskan

konsep dasar dari teori yang satu dengan standar teori yang lain, sebab kedua teori

rival itu tidak memiliki kesamaan keterangan-observasi apapun. Dalam kasus

seperti itu, maka jelas tidak mungkin saling membandingkan ataupun mereduksi

beberapa konsekuensi teori-teori rival itu secara logis, sebab dua teori rival itu

tidak akan bisa saling diukur dengan standar yang sama pula.

116
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 33.
Hal ini tepat sekali jika dihubungkan dengan keyakinan Kuhn dan

Feyerabend bahwa teori-teori itu memang tidak memiliki tolok ukur yang sama

antara yang satu dengan yang lainnya. Itulah maksud dari penyangkalan

sebagaimana yang dikemukakan oleh T.S. dan P.K. Feyerabend bahwa dua

pengertian teori itu tidak bisa saling diukur dan diperbandingkan satu sama lain.

³Which refutes the contention of T.S. Kuhn and P.K. Feyerabend that two concept

are mutually ³incommensurable´, i.e., incomparable´.117

Kuhn dan Feyerabend berpendapat bahwa seingkali teori-teori ilmu

pengetahuan itu tidak dapat saling diukur dengan beberapa teori yang lain secara

bersamaan, dalam arti bahwa memang tidak ada hal yang patut untuk dibanding-

bandingkan. (..., both of whom argued that successive scientific theories are often

incommensurable with each other in the sense that there is no neutral way of

comparing their merits).118

Pasangan-pasangan teori yang tidak bisa saling diukur menurut

Feyerabend adalah mekanika kuantum dan mekanika klasik, teori penggerak dan

mekanika Newtonian, materialisme di satu pihak dan dualisme antara badan dan

akal di pihak yang lain. Salah satu contoh Feyerabend tentang ilmu-ilmu yang

tidak bisa saling diukur tersebut adalah mengenai hubungan antara mekanika

klasik dengan teori relativitas.

Menurut pandangan mekanika klasik, realitas yang nampak di dunia ini

merupakan obyek-obyek fisik yang mempunyai bentuk, massa dan volume. Sifat-

117
Mario Augusto Bunge, Philosophy of Science, Volume One: From Problem to Theory,
Revised Edition (New York: Transaction Publishers, 1998), hlm. 78.
118
James Ladyman, Understanding Philosophy of Science (London: Routledge, 2002),
hlm. 115.
sifat itu eksis dalam obyek-obyek fisik dan dapat dirubah akibat adanya campur

tangan fisik. Sedangkan dalam teori relativitasi , sifat-sifat seperti bentuk, massa

dan volume tidak eksis lagi, tetapi menjadi relasi-relasi antar obyek-obyek. Ia

menjadi kerangka referensi dan bisa dirubah tanpa interaksi fisik apapun.

Akibatnya keterangan apapun mengenai obyek-obyek fisik dalam mekanika klasik

akan mempunyai makna berbeda dari keterangan observasi serupa dalam teori

relativitas.119

Adanya kenyataan bahwa sepasang teori rival tidak bisa saling diukur,

tidak lantas berarti bahwa teori-teori tersebut tidak bisa diperbandingkan dengan

cara apapun. Salah satu cara untuk memperbandingkan sepasang teori adalah

dengan mengkonfrontasikan teori-teori itu pada serangkaian situasi yang dapat

diobservasi, lalu kita catat seberapa jauh derajat masing-masing teori itu sejalan

dengan situasi-situasi tersebut yang ditafsirkan menurut kondisi masing-masing

teori. Cara lain membandingkan teori-teori adalah seperti yang diusulkan

Feyerabend dengan melibatkan pertimbangan-pertimbangan apakah teori-teori

tersebut linear atau non-linear, koheren atau inkohern, dan lain sebagainya.

Walaupun begitu, Feyerabend tidak menampik bahwa hakikat ilmu yang

tidak bisa saling diukur itu, terpaksa akan membawa kita ke suatu aspek subyektif

dalam personalitas kita juga. Secara tegas Feyerabend menjelaskan bahwa setelah

i
Teori relativitas atau dikenal juga dengan teori Einstein adalah teori tentang realitas
fisik yang menggambarkan fenomena alam secara kuantitatif. Teori relativitas terdiri dari dua
bagian, yaitu teori relativitas khusus yang diciptakan Einstein pada tahun 1905 dan teori relativitas
umum yang dimunculkan Einstein pada tahun 1916. Isi pokok teori tersebut menyangkut ide-ide
fundamental yang dipakai untuk menjelaskan alam, yakni ide-ide tentang ruang, waktu, massa,
gerak dan gravitasi. Lihat Joko Siswanto, op.cit., hlm. 27.
119
A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 146.
kita menyingkirkan kemungkinan pembandingan teori-teori secara logis untuk

membandingkannya dengan sejumlah konsekuensi deduktif, maka sebenarnya

yang tinggal tersisa adalah penilaian estetik, penilaian selera, prasangka-

prasangka metafisis, keinginan-keinginan religius, pendeknya, apa yang tersisa

adalah keinginan-keinginan subyektif kita. Diutarakannya, ³...What remains are

aesthetic judgements, judgements of taste, metaphysical prejudices, religious

desires, in short, what remains are our subjective whises´.120

Hasil penelitian, penemuan ataupun pemilihan berbagai teori yang

dilakukan oleh seorang ilmuwan tentang dunia fisik yang diamati itu tidak bisa

terlepas dari kondisi sosiologis, intervensi pribadi maupun interest psikologis dari

subyek yang memberikan isi terhadap obyek pengamatan itu. Dari sekian

permasalahan itu sudah cukup kiranya kita jadikan dasar penolakan pandangan

positivisme logis dengan argumentasi ilmiahnya tentang mutu kebenaran sebuah

teori berdasarkan hasil observasi, yang dalam perjalanan sejarahnya ternyata

banyak tersandung oleh kesalahan-kesalahan yang fatal.

,?   ±




Aspek lain yang penting dari anasir-anasir pokok pemikiran Feyerabend

adalah menyangkut posisi ilmu dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya.

Feyerabend menunjukkan bahwa tidak ada satu metode pun yang dianggap lebih

baik dari bentuk metode yang lain.121 Feyerabend mengkritik keras pandangan

120
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 285.
121
Paul Karl Feyerabend, ³How to Defend Society Against Science´, dalam Ian Hacking
(ed.), Scientific Revolutions (New York: Oxford University Press, 1981), hlm. 156ff.
ilmuwan dan masyarakat yang mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan

teknologi begitu tinggi.

Namun sebelum mengulas gagasan Feyerabend tersebut, perlu juga

kiranya dikemukakan pendapat dari Herbert Marcuse (1898-1979) yang

menyatakan bahwa masyarakat industri telah berkembang menjadi masyarakat

berdimensi satu yang berada di bawah penguasaan prinsip teknologi. Setiap

individu dalam masyarakat industri diperbudak oleh sistem produksi dan selalu

berada dalam cengkeraman masyarakat konsumsi. Produktivitas bukan lagi

sebagai alat, melainkan telah menjadi tujuan.

Dalam masyarakat seperti itu, kebutuhan hidup dihambur-hamburkan

hanya untuk menghabiskan hasil produksi yang melimpahruah saja. Dan setiap

individu, kecuali kaum buruh, dituntut harus menyesuaikan diri dengan keadaan

ini sebab ia bukan merupakan kelas yang revolusioner, tetapi mereka hanya kelas

yang sekedar berusaha mempertahankan hak untuk hidup. Dalam masyarakat

yang demikian itu, harapan untuk mengadakan perubahan hanya terletak pada

orang-orang pinggiran (marginal men), yaitu para seniman, cendekiawan, dan

mahasiswa.122

Marcuse mengkritik tajam asumsi positivisme dan neo-positivisme yang

menurutnya mematikan pemikiran negatif (negasi), sehingga pemikiran dan

filsafat hanya berfungsi menyesuaikan diri dengan sistem lama yang telah ada.

Dalam hal inilah gagasan Feyerabend memiliki kedekatan pandangan dengan

Marcuse.

122
Endang Daruni Asdi dan A. Husnan Aksa, Filsuf-filsuf þunia dalam Gambar
(Yogyakarta: Karya Kencana, 1981), hlm. 166.
Kegagalan dari program kaum positivis selama ini adalah bahwa

keragaman budaya selalu dinyatakan lewat pemahaman disiplin ilmu antropologi,

dan meningkatnya perbedaan budaya yang mendapat kehormatan sampai di taraf

internasional berarti bahwa sebuah keragaman pada dasarnya menggambarkan

adanya perbedaan gambaran tentang kenyataan alam selalu dihubungkan dengan

perbedaan budaya, yang secara tiba-tiba goyah oleh dunia ilmu pengetahuan dan

cendekiawan kontemporer, dan ide tentang adanya satu kebenaran obyektif

mengenai realitas tunggal alam semesta pun telah beralih menjadi kekaburan

pemikiran di kalangan kaum cendekiawan.

Akibatnya seperti yang diungkapkan oleh Feyerabend, ³keragaman budaya

tidak dapat dijinakkan lewat pemikiran kaku tentang kebenaran obyektif sebab ia

juga mengandung keragaman pemikiran serupa´. Katanya, ³cultural variety

cannot be tamed by a formal notion of objective truth because it contains a variety

of such notion´.123

Kaum positivisme dan neo-positivisme mengemukakan bahwa ilmu

pengetahuan unggul karena dua alasan. Pertama, keunggulan metodologis.

Maksudnya dengan metode empiris-analitis, ilmuwan dapat menentukan dan

membuktikan kebenaran teorinya. Kedua, ilmu pengetahuan unggul karena dapat

membuktikan hasil-hasl (teknologi) yang dapat diandalkan.

Feyerabend menolak dengan tegas anggapan-anggapan tersebut dengan

mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah lebih unggul dari bentuk-bentuk

pengetahuan lain. Bahkan menurutnya tidak lebih unggul dari mitos, magi atau

123
Paul Karl Feyerabend, Farewell to Reason (New York: Verso, 1987), hlm. 9.
voodoo. Baginya sains bukanlah satu-satunya tradisi terbaik yang ada, kecuali

bagi mereka yang sudah terbiasa memperlakukannya secara istimewa. Feyerabend

menyatakan bahwa kebenaran itu terkait dengan tradisi dan bersifat relatif.

Ilmu pengetahuan pada masyarakat ilmiah modern telah dianggap paling

benar, sehingga memonopoli kebenaran di tengah-tengah masyarakat luas. Ilmu

pengetahuan dan metodenya menindas semua pandangan alternatif yang dianggap

tidak relevan lagi dengan keaadan yang ada dan kenyataan yang berkembang

dewasa ini. Ilmu pengetahuan dalam penilaian Feyerabend telah mengambil alih

peran yang dimainkan oleh kaum agamawan.

Bacon, Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton di awal kebangkitan ilmu

pengetahuan modern masih menganggap bahwa ilmu pengetahuan dan agama

saling melengkapi. Bacon masih mencita-citakan bertemunya penjelasan antara

ilmu dengan Kitab Suci secara harmonis. Tetapi Thomas Hobbes dan para

pengikutnya yang muncul kemudian, memberikan tafsir atas segala fenomena

alam yang sepenuhnya bercorak naturalis dan determinis. Misalnya Hobbes,

berpendapat bahwa segala kejadian itu ditentukan oleh gerakan dan bentuk dari

obyek yang bersifat kebendaan. Sedangkan cita rasa yang berdasarkan

pancaindera itu sama sekali subyektif. Pandangan inilah yang diterapkan secara

radikal oleh Comte dan kaum Positivisme Logis.

Feyerabend menyesalkan pembela-pembela ilmu yang secara tipikal

menilai ilmu lebih unggul dan lebih berbobot atas bentuk-bentuk pengetahuan

lainnya tanpa melakukan penyelidikan yang memadai terhadap pengetahuan-

pengetahuan yang lain. Karena alasan itu pulalah, kemudian Feyerabend tidak
menerima keharusan superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain. Lebih

lanjut, dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia

menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen yang menentukan dan

menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain yang tidak bisa diukur.

Secara khusus, Feyerabend menyerang pandangan ilmuwan yang

menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai agama baru, terutama dalam

masyarakat Amerika. Menurut Feyerabend, dalam masyarakat Amerika, orang

memilih agama secara bebas, bahkan bebas untuk memilih tidak beragama, tetapi

mereka dilarang mempelajari semua yang dianggap tidak ilmiah (mitos, voodoo).

Semua ini dirasa tidak wajar tetapi tetap saja terjadi, karena para ilmuwan dan

institusi pendukungnya dengan gencar selalu melakukan propaganda bahwa ilmu

pengetahuan itu lebih unggul.

Maka untuk mengatasi hal tersebut, Feyerabend menyarankan pemisahan

ilmu pengetahuan dengan negara sebagaimana agama dipisahkan dari negara pada

masa Renaissance. Lebih jauh ia memproklamirkan bahwa tidak ada perbedaan

yang prinsipil antara ilmu pengetahuan dan mitos dan voodoo.124 Jadi kalau saja

kata mitos diartikan untuk menunjukkan gejala dan peristiwa alam atau manusia

seperti yang terjadi dalam tradisi dahulu kala, dan tetap saja dilestarikan dengan

cara-cara yang sama oleh orang-orang yang masih rendah tingkat peradabannya,

maka sesungguhnya tidak ada perbedaan antara mitos dan logos (teori ilmiah).

Feyerabend mengungkapkan bahwa ilmu adalah satu bentuk ideologi saja,

yang berhubungan dengan sihir dan astrologi serta bertentangan dengan

124
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 127-128.
kebutuhan-kebutuhan yang dipertahankan oleh masyarakat. Ia berkata, ³...that

science is just another ideology, along with magic and astrology, against which

society needs to be defended?´125

Dengan demikian, catatan penting yang dapat kita ambil dari salah satu

gagasan pokok Feyerabend ini adalah bahwa tidak ada universalitas sebuah teori

yang secara mutlak lebih unggul kebenarannya dari teori yang lain. Sebab, sejarah

ilmu pengetahuan itu memang selalu berproses untuk menyempurnakan dan

mengembangkan teori-teori yang telah ada lewat pergulatan pemikiran yang

simultan dan relatif µmendekati¶ hakikat sebuah kebenaran.

, ? !!7

Kritik-kritik konstruktif Feyerabend cukup ampuh membongkar

(mendekonstruksi) pandangan saintisme modern. Berdasarkan analisis sejarah, ia

dapat mengajukan bukti-bukti bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang justru

karena memberinya kebebasan, bukan dengan memagarinya melalui peraturan

tunggal atau hanya dengan menerapkan satu metode yang dianggap mapan.

Perkembangan dunia ilmu pengetahuan lebih dimungkinkan dengan membiarkan

teori-teori yang beraneka ragam secara bebas dalam mengembangkan visi

intelektualitas secara kreatif.

Bertitik tolak dari keyakinan seperti itulah, maka di bagian lain

pandangannya tentang ilmu pengetahuan Feyerabend juga menekankan tentang

pentingnya makna kebebasan individu dari berbagai macam belenggu

125
Paul Karl Feyerabend, ³How to Defend Society Against Science´, hlm. 156ff.
metodologis. Ia menyatakan bahwa setiap orang harus mengikuti kecenderungan

individualnya dan mengerjakan hal-ihwalnya sendiri.

Gagasan awal tentang kebebasan individu Feyerabend ini sendiri

sebenarnya hanya merupakan uraian lanjutan dari apa yang disebut oleh John

Stuart Mill (1806-1873) sebagai ³sikap kemanusiawian´ yang dalam realisasi

konkritnya ditujukan untuk membebaskan dan sekaligus meningkatkan kebebasan

individu menuju kehidupan yang lebih maju dan produktif. Dalam perspektif

Feyerabend, perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat diterangkan ataupun

diatur oleh segala macam aturan dan sistem hukum yang berlaku, sebab pada

dasarnya kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan itu memang merupakan upaya

yang anarkistik.

Pandangan Feyerabend tersebut harus ditelusuri pula berkaitan dengan

analisisnya tentang masyarakat yang dicita-citakannya. Ia melihat bahwa ilmu

pengetahuan memiliki kedudukan dan kuasa mutlak yang sama dengan otoritas

agama pada masa Abad Pertengahan. Artinya ilmu pengetahuan tidak lagi

berfungsi untuk membebaskan manusia, namun justru memasungnya dengan

teori-teori dan aturan-aturan yang ketat dan mengikat.

Ilmu telah menjadi ideologi absolut-tunggal yang membatasi, menguasai

dan bahkan memperbudak manusia. Sehingga pada akhirnya Feyerabend

berkesimpulan bahwa pelembagaan ilmu dalam masyarakat kita dewasa ini sudah

dianggap tidak konsisten lagi dengan sikap kemanusiaan itu sendiri. Padahal

sebenarnya seperti yang ditunjukkan oleh Feyerabend, terdapat beberapa

pemikiran universal tentang manusia yang digunakan untuk menetapkan beberapa


pendekatan teoretis untuk memecahkan perselisihan-perselisihan manusia yang

sombong, bebal, dangkal, tidak sempurna dan tidak jujur. Ia mengatakan, ³...there

is some universal notion of human understanding which might be used to provide

some theoretical approach to solving human conflicts as ³conceited, ignorant,

superfisial, incomplete, and dishonest´.126

Di sekolah-sekolah, misalnya, ia melihat bahwa ilmu masih diajarkan

sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Lagi-lagi ia menampilkan contoh tentang

masyarakat Amerika yang menurutnya memberikan kebebasan warganya untuk

memilih agama yang mereka kehendaki, tetapi tetap saja warga masyarakat tidak

diperkenankan untuk mempelajari ilmu sihir dan voodoo. Dalam pengertian ini,

jelas tidak ada pemisahan antara negara dan ilmu. Ia berujar, ³thus, while an

American can now choose the religion he likes, he is still not permitted to demand

that his children learn magic rather than science at school. There is a separation

between state and church, there is no separation between state and sciencé.127

Dan bagi Feyerabend, tidak ada cara lain yang dapat ditempuh dalam dilema ini

kecuali dengan berusaha membebaskan masyarakat itu sendiri dari pengaruh

monotafsir ilmu yang secara ideologis telah dimonopoli oleh institusi negara.

Dalam masyarakat yang diimpikan oleh Feyerabend, negara secara

ideologis adalah netral. Negara semestinya bertugas untuk mengatur perjuangan

antara ideologi-ideologi untuk menjamin setiap individu dapat mempertahankan

126
Paul Karl Feyerabend, Farewell to Reason (New York: Verso, 1987), hlm. 25.
127
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of
Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 299.
hak kebebasan untuk memilih tanpa adanya unsur pemaksaan ideologi tertentu

yang bertentangan dengan pilihan sadar dan kehendak hati nuraninya.128

Demikianlah gambaran umum tentang ide kebebasan individu dan

masyarakat Feyerabend yang merupakan pertautan epsitemologis dari pemikiran-

pemikiran utamanya tentang anarkisme ilmu pengetahuan. Bermula dari

eksplorasi tentang ³apa saja boleh´ dan berbagai problem teori-teori keilmuan

lainnya, Feyerabend terus berusaha µberkelit¶ dari sanjungan keberhasilan dan

kemapanan sains, sehingga ia mampu menghadirkan kronik pemikiran baru dalam

diskursus ilmu pengetahuan modern dan postmodern yang sudah mulai banyak

diperdebatkan.

Surplus positif dari filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend yang mungkin

dapat didedikasikan bagi masa depan umat manusia adalah bahwa ia masih

diperlukan untuk mensukseskan apa yang oleh Jürgen Habermas disebut

³program pencerahan´, dengan selalu melakukan perlawanan secara kritis

terhadap segala bentuk penyempitan ideologis. Salah satu peran penting filsafat

Feyerabend yang berpijak pada rasionalitas dan universalisasi ilmu pengetahuan

itu dalam kehidupan masyarakat luas adalah bahwa ia bisa membantu

menjernihkan substansi suatu permasalahan dan menyingkirkan berbagai macam

kepalsuan dan pemaksaaan ideologis, termasuk juga doktrin-doktrin agama yang

begitu dogmatis dan tanpa kompromistis. Sedangkan dalam komunitas akademik,

filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend itu bisa membimbing kaum cerdik pandai

untuk berpikir mandiri, mendalam, kritis dan berani. Filsafat Feyerabend dapat

128
A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 152.
pula mencegah meluasnya kantong-kantong kosong pemikiran filosofis yang lolos

dari tantangan kritik, sembari mempertanyakan ulang tentang kejelasan metode

dan wawasan, serta menghubungkan kesenjangan pemahaman ilmu itu sendiri

dengan tuntutan-tuntutan praktis kehidupan.

Lantas, apa kontribusi konkrit yang bisa diberikan model pembelajaran

filsafat Feyerabend tersebut terhadap dunia keilmuan di Indonesia? Secara praktis,

gagasan-gagasan filsafat Feyerabend itu setidaknya bisa membantu kita

mengambil jarak sekaligus memberikan kritik tandingan terhadap klaim ideologi

ilmu-ilmu empiris yang dalam opini budaya modern ini seolah-olah hanya ilmu-

ilmu empirislah yang sanggup mendefinisikan arti kemanusiaan dan tujuan

perkembangan masyarakat. Dalam kehidupan sosial, dengan analisis yang bebas

dan obyektif, filsafat Feyerabend dapat dijadikan alat untuk mendeteksi setiap

kedok-kedok ideologis berbagai ketidakadilan sosial serta pelanggaran-

pelanggaran terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya. Dalam bidang

agama, pluralisme metodologi yang ditawarkan Feyerabend kiranya juga bisa

membantu melepaskan subyektivitas keberagamaan kita dari pandangan dunia dan

pembelaan agama yang berbeda untuk bersama-sama membahas tantangan yang

dihadapi bangsa, serta mencari pemecahan yang berorientasi pada penghormatan

nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, maka perluasan wacana filsafat

Feyerabend ini akan memungkinkan masyarakat untuk memikirkan kembali

masalah-masalah dasar hidupnya secara rasional dengan bahasa, wawasan dan

argumentasi yang universal dalam rangka menggali kekayaan budaya, tradisi-

tradisi dan filsafat Indonesia asli secara lebih terbuka, kritis dan kreatif.
 ±c±8

 c c 
  c c 
c c1c± )



,?
c

Secara etimologi, anarkisme berasal dari kata Yunani an archos = tanpa

pemerintahan. Ia merupakan sebuah aliran dalam filsafat sosial yang menghendaki

dihapuskannya negara atau pemerintahan serta kontrol politik dalam masyarakat.

Aliran ini didasarkan pada ajaran bahwa masyarakat yang ideal itu dapat mengatur

urusannya sendiri tanpa mempergunakan kekuasaan yang berlawanan dengan

paham sosialisme dan komunisme. Tokoh-tokohnya: Gerrard Winstanley (1609-

1660), William Goldwin (1756-1836), Mikhail Bakunin (1814-1876) dan Peter

Kropotkin (1842-1921). 129

Anarkisme (bhs. Yunani, awalan a, tidak, kebutuhan akan, ketiadaan,

kekurangan + anarchos, seorang pengatur, pengarah, ketua, orang yang

berwenang, komandan. Dalam bahasa Yunani istilah anarchos atau anarchia

berarti tidak memiliki pemerintahan²keadaan tanpa penguasa). Konotasi positif:

Anarkisme adalah ideologi sosial yang menolak pemerintahan yang otoriter.

Aliran ini berpandangan bahwa individu-individu harus mengatur diri mereka

sendiri dengan cara yang disenangi demi pemenuhan kebutuhan dan ideal-ideal

mereka. Dalam pengertian ini anarkisme tidak bisa disamakan dengan Nihilisme,

129
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 9-10.
tetapi lebih serupa dengan libertarianisme politik dan antinomianismei . Konotasi

negatif: Anarkisme adalah kepercayaan yang menyangkal untuk menghormati

hukum atau peraturan apapun dan secara aktif melibatkan diri dalam promosi

kekacauan melalui perusakan masyarakat. Aliran ini mengajarkan penggunaan

terorisme individual sebagai sebuah alat untuk meningkatkan terjadinya

disorganisasi sosial dan politik.130

Kamus Ilmiah Populer dengan gamblang mendefinisikan anarkisme

sebagai sebuah paham kebebasan bertindak tanpa mau diikat oleh undang-undang;

hal kesewenang-wenangan bertindak (melenyapkan undang-undang).131

Sementara þictionary of Philosophy secara terperinci memberikan

pengertian anarkisme sebagai berikut:

Anarchism: This doctrine advocates the abolition of political control


within society: The State, it contends, is man¶s greatest enemy²eliminate
it and the evils of human life will disappear. Positively, anarchism
envisages a homely life devoted to unsophisticated activity and filled with
simple pleasure. Thus it belong in the ³primitive tradition´ of Western
culture and springs from the philosophical concept the inherent and radical
goodness of human nature. Modern anarchism probably owes not a little,
in an indirect way, to the influence of the primitivistic strain in the thought
of Jean Jacques Rousseau. In an popular sense the word ³anarchy´ is often

i
Antinomian (bhs. Yunani, anti, melawan, nomos, hukum) 1. seseorang yang
menginginkan kebebasan dari aneka peraturan dan hukum dalam masyarakat. Seseorang yang
ingin hidup di luar masyarakat dalam keadaan alami atau hidup dalam masyarakat dengan ikatan
seminimal mungkin oleh norma-norma sosial. (Penganut antinomi, sebgai lawan dari kaum aktivis
atau anarkis, umumnya tidak langsung terlibat dalam usaha penghapusan hukum-hukum dan
struktur politik suatu masyarakat. 2. dalam teologi, (a) seseorang yang percaya bahwa hanya
keimanan, bukan hukum moral, yang diperlukan bagi keselamatan. (b) dalam pengertian teologis
yang lebih ekstrem, seseorang yang memandang rendah hukum dan batasan-batasan sosial serta
meletakkan di atas segalanya soal keimanan dan pengetahuan tertentu yang menjanjikan
keselamatan. Lihat dalam Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995), hlm. 17.
130
Ibid., hlm. 13.
131
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,
1994), hlm. 30.
used to denote a state of social chaos, but it is obvious that the word can be
used in this sense only by one who denies the validity of anarchism.132

Jadi yang dimaksud dengan istilah anarkisme adalah: ajaran yang

menganjurkan dihapuskannya penguasaan politik dalam masyarakat. Sebab

negara menurut pendapat mereka adalah musuh terbesar manusia yang jika

disingkirkan akan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan yang ada dalam

kehidupan manusia. Jelasnya, anarkisme mengimpikan kehidupan yang bersahaja

dengan menekuni kegiatan yang sederhana dan mengisinya dengan kesenangan

yang wajar. Jadi ia termasuk kebiasaan kuno dari budaya Barat yang bersumber

dari konsep filosofis yang telah melekat dan mengakar secara baik dalam sifat

dasar manusia. Anarkisme modern kelihatannya juga tidak jarang, walaupun

dengan cara yang berlainan, berusaha untuk mempengaruhi pandangan-pandangan

kuno yang terdapat dalam pemikiran Jean Jacques Rousseau. Dalam pengertian

populer, kata ³anarki´ seringkali digunakan untuk menunjukkan adanya

kekacauan sosial dalam suatu negara, bahkan kata ini juga dipakai oleh seseorang

yang menyangkal terhadap keabsahan anarkisme itu sendiri.

Dalam bidang ilmu pengetahuan, anarkisme diartikan sebagai anarchy

epistemological (kesewenang-wenangan epistemologis) yang digunakan dan

dipopulerkan oleh Paul Karl Feyerabend. Menurutnya, tidak ada ukuran-ukuran

yang tetap untuk memisahkan atau membedakan antara sampah dengan teori yang

dapat diamati.133

132
Dagobert D. Runes (ed.), þictionary of Philosophy (Littlefield Adams & Co., Totowa:
New Jersey, 1971), hlm. 11-12.
133
Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm. 9.
Disamping itu juga terdapat beberapa pandangan filsuf tentang definisi

anarkisme, diantaranya:

1.? Sebagai doktrin politis dan filosofis, istilah ini baru beredar pada abad

ke-19. Pertama kali digunakan oleh Proudhon dan kemudian diangkat

kembali oleh Bakunin untuk menyatakan adanya aneka ragam doktrin

yang berkisar seputar keyakinan bahwa negara yang teratur harus

dilenyapkan, sebab ia merupakan biang keladi ketidakadilan dalam

kehidupan masyarakat. Sedangkan mengenai cara penghapusannya

berbeda-beda menurut pandangan para penganutnya: evolusioner;

revolusioner; garis keras (ekstrem), garis lunak (moderat).

2.? William Goldwin, penulis politik Inggris, mengharapkan munculnya

anarkisme melalui perkembangan moral manusia secara bertahap.

3.? Max Stirner, filsuf Jerman, berkeyakinan bahwa keberadaan anarkisme

adalah pasti dalam wujud pemberontakan²bukan revolusi²

perseorangan seiring dengan adanya penumpukan dan pengembangan

sikap individualisme.

4.? Joseph Proudhon, filsuf Perancis, mendukung pertumbuhan dan

perkembangan secara bertahap hubungan timbal balik atau kegotong-

royongan; suatu rasa sosial yang semakin meningkat di tengah

masyarakat. Dan penyebarluasan kerjasama sukarela semacam ini akan

menggantikan negara.

5.? Mikhail Bakunin, penulis dan aktivis politik Rusia, menganut doktrin

revolusioner yang bermuara pada penghancuran negara.


6.? Leo Tolstoy, filsuf sosial dan novelis Rusia, menganjurkan revolusi

moral tanpa kekerasan yang mengarah pada penghapusan negara.

Dalam hal ini ia lebih cenderung mewakili pandangan anarkisme

religius.

7.? Peter Kropotkin, filsuf sosial dan pengarang Rusia, mengutarakan

bahwa teori Darwin terlalu melebih-lebihkan kompetisi dalam evolusi;

padahal konsep gotong royong tidak kalah pentingnya. Dan anarkisme

itu sendiri merupakan gerakan kembali kepada masyarakat alamiah.134

Sedangkan dalam analisa Feyerabend sendiri, term anarkisme itu tidak lain

adalah anarkisme epistemologis yang dipertentangkan dengan anarkisme politis

atau religius. Dikatakannya, apabila anarkisme politis anti terhadap kemapanan

(kekuasaan, negara, institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang menopangnya),

maka anarkisme epistemologis justru tidak selalu memiliki loyalitas ataupun

perlawanan yang jelas terhadap semua sistem dan struktur elit tersebut.

Di akhir renungannya tentang anarkisme, Feyerabend sendiri secara

pribadi menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang dadais yang

dilukiskannya sebagai berikut:

A Dadais is convinced that a worthile life will arise only when we start
taking things lightly and when we remove from our speech the profound
but already putrid meanings it has accumulated over the centuries...I hope
that having read the pamphlet the reader will remember me as flippant
Dadais and not as a serious anarchist.135

134
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 48-49.
135
W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul
Ltd., 1981), hlm. 146-147.
(Seorang Dadais percaya bahwa hidup yang berguna itu hanya dapat

dibangun apabila kita mulai melakukan sesuatu yang gampang dan berhenti dari

omong besar kecuali jika kita ingin pengertian-pengertian itu menjadi busuk

karena ditumpuk-ditumpuk selama berabad-abad...Saya berharap bahwa setelah

membaca selebaran ini pembaca mengenangku sebagai seorang Dadais yang

sembrono, dan bukan sebagai anarkis yang sesungguhnya).

Seorang anarkisme epistemologis menurut Feyerabend ibarat seorang

dadaisi seperti yang dijelaskan oleh Hans Richter dalam bukunya þada: Art and

Anti-Art. Feyerabend mengutip pandangan Richter sebagai berikut: µþada¶, µnot

only had no programme, it was against all programmes¶. This does not exclude

the skillful defence of programmes to show the chimerical character of any

defence, however µrational¶.136

Maksud Feyerabend adalah bahwa dalam epistemologi terdapat bentuk

anarkisme yang berupaya mempertahankan sekaligus menentang kemapanan. Ia

bukan hanya tidak punya program, tetapi anti-program. Ia pembela status quo,

tetapi juga anti status quo. Hal itu ditempuh untuk memberikan kebebasan bagi

perkembangan metode-metode alternatif. Anarkisme Feyerabend yang demikian

itu terkadang diartikan orang sebagai kesewenang-wenangan epistemologi, karena

tidak adanya ukuran atau aturan yang tetap dan pasti untuk menentukan antara

yang ilmiah dan yang non-ilmiah.

i
Istilah dadais muncul dari dunia seni di Perancis dan Jerman setelah Perang Dunia I
sekitar tahun 1916-1922. þadaisme berarti suatu gerakan protes dari dunia seni yang ditujukan
bukan hanya terhadap seni yang sudah mapan, melainkan akhirnya juga menjadi gerakan protes
terhadap segala bentuk kemapanan.
136
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of
Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 23.
Dalam posisi seperti itu, anarkisme juga tidak bisa disebut skeptisisme.

Jika skeptisisme berpendapat bahwa suatu pandangan bisa benar dan bisa salah

atau bahkan bisa juga tidak ada penilaian berarti baginya, maka tidak demikian

halnya dengan anarkisme epistemologis. Seorang anarkis di bidang ini tidak segan

bahkan tidak malu untuk mempertahankan pandangan yang dianggap sudah basi

dan konyol sekalipun.

Lantas mengapa diksi yang ditawarkan oleh Feyerabend adalah

anarkisme? Karena anarkisme epistemologis merupakan anarkisme teoretis.

Menurut hemat Feyerabend anarkisme teoretis itu lebih manusiawi daripada

alternatif hukum. Dari perspektif ini, ilmu pengetahuan secara hakiki merupakan

usaha yang anarkistik mutlak. Feyerabend memberikan argumentasi historis,

bahwa sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya berisi fakta-fakta dan kesimpulan-

kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta tersebut. Ia juga berisi ide-ide,

interpretasi terhadap fakta-fakta, masalah-masalah yang timbul dari kesalahan

interpretasi, interpretasi yang bertentangan, dan sebagainya. Feyerabend melihat

bahwa para ilmuwan hanya meninjau fakta ilmu pengetahuan dari dimensi ide

belaka, sehingga tidak heran andaikata sejarah dan ide-ide ilmu pengetahuan yang

berkembang itu kemudian menjadi pelik, rancu dan penuh dengan kesalahan

seperti pemikiran dari para penemunya.137

Situasi semacam itulah yang dilukiskan Feyerabend sebagai sakit

epistemologis, dan obat paling mujarab untuk mengembalikan eksistensinya pada

koridor semula adalah dengan prinsip anarkisme. Dengan demikian, anarkisme,


137
Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja
Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 54.
sebagaimana pengakuan Feyerabend bisa membantu kita untuk mencapai

kemajuan dengan memilih salah satu pemikiran yang kita minati secara lebih

rasional, jelas dan bebas. Pungkasan ide anarkisme Feyerabend yang secara

esensial perlu kita gali maknanya dalam realitas keseharian kita adalah

pernyataannya berikut ini: ³And my thesis is that anarchism helps to achieve

progress in any one of the senses one cares to choose´.138

,? c!


Secara garis besar, seluruh pemikiran individualisme ekstrem Feyerabend

tentang anarkisme di atas sebenarnya adalah suatu kritik terhadap perjalanan dan

perkembangan ilmu pengetahuan yang telah didominasi oleh sains positivistik.

Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang

kaitan antar keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Kritik pertama disebutnya sebagai anti-metode (Against Method) yang

berusaha (mendekonstruksi) format metode ilmu pengetahuan yang telah dibuat

dan dipahami oleh para kaum positivis dengan melakukan penyingkapan dan

pembongkaran terhadap asumsi-asumsi beserta kesalahan dari teori-teori baku

yang selama ini telah dikembangkannya. Dan kritik yang kedua dinamakannya

dengan anti-ilmu pengetahuan (Against Science) yang secara lebih mendalam lagi

mencoba mengoreksi tentang praktek ilmiah, fungsi dan kedudukan ilmu

pengetahuan dalam kehidupan masyarakat yang dianggap memiliki standar

universal yang melampaui batas-batas partikularitas dan relativitasnya.

138
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 18.
1)? Anti-Metode (Against Method)

Dengan semboyan ini, Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang

oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal,

memiliki resistensi terhadap kritik yang tahan sepanjang masa serta dapat pula

membawahi fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend, klaim itu tidak realistis

dan jahat. Tidak realistis, karena kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil

dari pandangan sederhana atas dasar kemampuan seseorang dari lingkungan

tertentu. Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha memaksakan hukum-hukum

yang menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional kita dengan

mempertaruhkan sifat kemanusiaan kita.

Lagi pula, gagasan itu merusak ilmu pengetahuan dan menghambat laju

perkembangannya karena mengabaikan adanya kompleksitas situasi fisik dan

historis yang memungkinkan perubahan ilmu pengetahuan.139 Dengan

menunjukkan bukti bahwa sejarah ilmu pengetahuan itu selalu dipenuhi dengan

pertentangan teori, Feyerabend juga menyangkal pandangan saintisme yang

menganggap ilmu berada di atas segala aspek budaya lain sehingga menyebabkan

ilmu pengetahuan modern menghalangi kebebasan berpikir para ilmuwan itu

sendiri.

Dan langkah pertama yang dilakukan Feyerabend untuk menindaklanjuti

kritiknya tersebut adalah dengan mengajukan suatu prosedur yang diberi nama

kontra-induksi (counterinduction). Prosedur ini dimaksudkan sebagai standar

139
Prasetya T.W., op.cit., hlm. 55.
kritik dari luar yang sangat diperlukan demi kemajuan ilmu pengetahuan, karena

sulitnya otokritik yang berasal dari dalam tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri.

Maksud Feyerabend bukanlah mengganti seperangkat aturan-aturan

dengan peraturan yang lain, tetapi tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa

semua metode yang sudah jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan cara

terbaik untuk menjelaskan ini adalah dengan menunjukkan batas-batas,

irasionalitas dari beberapa aturan yang mungkin dianggap sebagai hal yang paling

mendasar. Hal tersebut diungkapkan Feyerabend sebagai berikut:

My intention is not to replace one set of general ruler by another such set:
my intention is, rather, to convince the reader that all methodolgies, even
the most obvious ones, have their limits. The best way to show this is to
demonstrate the limits and even the irrationality of some rules which she,
or he, is likely to regard as basic.140

Hal ini jelas berbeda dengan paradigma positivisme yang menganggap

induksi sebagai satu-satunya metode yang dianggap valid ataupun juga dengan

kaum induktivisme naif yang berpendapat bahwa batang tubuh ilmu pengetahuan

ilmiah dibangun di atas prinsip induksi yang dasarnya cukup kuat. Ketika

ditemukan sejumlah fakta observasi dan eksperimen yang sesuai dengan teori,

maka teori atau hukum diperkuat atau dikorborasi. Prinsip induksi berupaya

mencari fakta yang mendukung dan menghindari fakta yang tidak sesuai dengan

teori.

Kontra-induksi yang ditawarkan Feyerabend itu adalah juga untuk

mengatasi masalah kekurangan prinsip verifikasi atau falsifikasi yang sama-sama

tidak menghendaki adanya fakta yang konsisten dengan teori. Melalui kontra-

140
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 23.
induksi, Feyerabend mengusulkan counterrule, yaitu memberikan hipotesis yang

tidak konsisten dengan teori yang mapan atau dengan fakta yang bahkan tidak

sesuai atau tidak terukur sekalipun. Jadi, kontra-induksi yang dikemukakan oleh

Feyerabend itu sesungguhnya berperan penting untuk menjembatani

permasalahan teori dan fakta.

Walaupun begitu, menurut Feyerabend, masalah ini tidak memerlukan

pembelaan khusus, karena tidak ada satu pun teori yang menarik dan sesuai

dengan semua fakta yang selalu dapat diketahui dalam bidang domainnya secara

pasti dan meyakinkan. Oleh karena itu, pertanyaan pokoknya bukan apakah teori-

teori yang kontra-induktif ini harus diakui dalam ilmu pengetahuan atau tidak,

tetapi apakah kesenjangan yang ada antara teori dengan fakta harus diperbesar

atau diperkecil? Atau apa yang harus kita lakukan dalam menjawab persoalan ini?

Maka untuk bisa menyadari dan melakukan kritik terhadap asumsi-asumsi

ilmu pengetahuan diperlukan standar eksternal guna memeriksa karakteristik dari

dunia nyata yang diamati. Dan untuk itu semua, Feyerabend kemudian merancang

pertanyaan mendasar tentang apa yang seharusnya dilakukan? Pertama,

melakukan kritik terhadap fakta untuk memutuskan rantai dan konsep yang sudah

mapan. Kedua, mengacaukan prinsip-prinsip teoretis yang paling masuk akal, dan

Ketiga, memperkenalkan persepsi yang bukan merupakan bagian dari dunia

persepsi yang ada. Semua itu merupakan langkah yang disebut oleh Feyerabend

sebagai kontra-induksi. Itu sebabnya kontra-induksi selalu masuk akal dan selalu
mempunyai kemungkinan untuk berhasil (counterinduction is, therefore, always

reasonable and it has always a chance of success).141

Sebagai ganti atas anti-metode, Feyerabend memasukkan beberapa prinsip

(bukan metode), yaitu prinsip pengembangbiakan (proliferation) dan prinsip apa

saja boleh (anything goes) yang telah penulis terangkan dalam bab sebelumnya.

Jadi dalam dalam kaitan ini kami hanya akan membahas tentang prinsip

pengembangbiakan yang secara harfiah berarti membiarkan semua berkembang

sendiri. Maksudnya kita tidak bekerja dengan sistem pemikiran, bentuk-bentuk

kehidupan dan kerangka institusional yang tunggal. Ini berarti bahwa prinsip

pengembangbiakan juga menafikan adanya sikap otoritarianisme terhadap produk

pemikiran manusia yang paling absurd sekalipun.

Prinsip pengembangbiakan ini merupakan realisasi kritik dari alternatif

pemikiran Feyerabend yang pada prinsipnya bertujuan untuk mencapai tiga hal

utama: (1) memberikan model abstrak tentang kritik terhadap ilmu pengetahuan;

(2) mengembangkan konsekuensi-konsekuensinya; dan (3) membandingkan

konsekuensi-konsekuensi itu dengan ilmu pengetahuan. Berdasarkan hal yang

ketiga, Feyerabend mengharapkan bahwa perbandingan antara fenomena-

fenomena sejarah dan pandangan epistemologis mampu memberikan kriteria

penilaian yang holistik terhadap struktur aktual ilmu pengetahuan, sehingga

nantinya terbentuk suatu basis bagi kritisisme dan reformasi ilmu pengetahuan.142

Siasat Feyerabend ini, menurut W.H. Newton-Smith, adalah untuk

memperlemah kesetian kita terhadap kemantapan suasana dengan menciptakan


141
Ibid., hlm. 23.
142
Prasetya T.W., op.cit., hlm. 56.
hal yang bertentangan dengan keadaan yang melarang kita untuk mengembangkan

berbagai teori, terutama teori yang bertentangan dengan satu teori yang telah

diterima oleh umum pada zaman sekarang ini. Smith mengatakan,

³«Feyerabend¶s strategy is to weaken our allegiance to the consistency condition

by developing a case an incompatible counterrule which in this case enjoins us to

proliferate theories, especially theories incompatible with currently accepted

ones´.143

Prinsip pengembangbiakan berusaha menemukan dan mengembangkan

teori-teori yang tidak cocok dengan pandangan yang sudah lazim diterima.

Dengan demikian, prinsip ini tidak hanya memungkinkan adanya penemuan-

penemuan alternatif baru, tetapi juga membuka peluang bagi tampilnya kembali

teori lama yang sudah tidak diakui lagi keberadaannya.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa prinsip pengembangbiakan ini

bukan aturan metodologis, sebab ternyata ia juga menegaskan bahwa kemajuan

ilmu pengetahuan itu tidak dapat diperoleh dengan hanya mengikuti teori tunggal,

aturan atau metode apapun, melainkan dengan membiarkan teori-teori yang

beraneka ragam dan berbeda satu sama lain berkembang secara bebas.

2)? Anti-Ilmu Pengetahuan (Against Science)

Anti-ilmu pengetahuan Feyerabend ini tidak berarti ia anti terhadap ilmu

pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan

yang seringkali mengaburkan maksud dan tujuan utamanya. Dengan sikap ini,

Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap

143
W.H. Newton-Smith, op.cit., hlm. 131.
lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti

sihir, voodoo, magi, mitos, dan lain sebagainya.

Ditegaskannya, ilmu pengetahuan menjadi pemikiran tunggal-mutlak

karena adanya propaganda dari para ilmuwan dan institusi terkait yang diberi

wewenang untuk selalu mempengaruhi kesadaran kolektif masyarakat tentang

hakikat dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sehingga ilmu pengetahuan yang

dianggap paling benar itu telah menguasai sistem kebenaran dunia ilmiah, dan

pada gilirannya menjadi semacam ideologi yang menindas kebudayaan alternatif.

Semboyan extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada

keselamatan) yang lebih dari satu abad lalu ada dalam tradisi gereja, diadopsi oleh

para ilmuwan dengan mengatakan extra scientiam nulla salus (di luar ilmu

pengetahuan tidak ada kebenaran).144 Walaupun dewasa ini tidak ada lagi orang

yang dihukum mati dengan dakwaan subversif atau ³sesat´ terhadap rumus-rumus

formal ilmu pengetahuan, tetapi mereka secara hukum konvensional mendapat

sanksi sosial yang justru lebih berat daripada batas-batas toleransi yang ada dalam

suatu masyarakat sekalipun.

Dari semua bentuk pengingkaran yang sangat radikal tersebut, Feyerabend

sejatinya ingin menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan salah satu

gagasan terbuka dan plural dari sekian banyak pilihan ideologi yang ada dalam

masyarakat. Dengan begitu, Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu

pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka. Maka tidak

wajar mendewa-dewakan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya pengetahuan

144
Prasetya T.W., op.cit., hlm. 58.
yang paling unggul dan bahkan paling menentukan kehidupan masyarakat. Karena

masalahnya terletak pada muatan ideologis dari komunitas para ilmuwan dan

pihak-pihak yang selalu berusaha menciderai kemurnian citra ilmu pengetahuan

dengan kepentingan-kepentingan subyektif-individual yang menyebabkan proses

idealisasi ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengalami stagnasi. Mungkin

situasi inilah yang dikatakan oleh Richard Rorty bahwa epistemology is dead, atau

dalam konstruksi filsafat Feyerabend disebut sebagai anti-ilmu pengetahuan

(Against Science) itu.

Relevansi pemikiran yang dapat kita pertautkan makna aktualitasnya dari

dasar-dasar epistemologi Feyerabend di atas dengan fenomena budaya akademik

kita saat ini adalah bahwa kita perlu mengembangkan pola pikir²dalam bahasa

filsuf John Henry Newman²illative sense, yaitu bagian intelektual manusia yang

dapat mengandaikan adanya kompleksitas suatu obyek, dan kemungkinan

manusia mengambil sikap terhadap obyek tersebut. Mungkin illative sense ini

mirip dengan konsep phronesis dari Aristoteles, yakni semacam kebijaksanaan

untuk mengakui segala keterbatasan pengetahuan kita, tanpa kehilangan kepastian

bahwa kita dapat bicara mengenai kebenaran. Adanya pengakuan terhadap

kompleksitas berbagai persoalan kemanusiaan dan keterbatasan kemampuan

manusia menguasainya yang pada akhirnya mengandaikan keterbukaan terhadap

beragam persepsi, penafsiran dan perbedaan pendapat itu tidak lantas membuat

kita harus kehilangan sandaran pencarian perennial tentang adanya kemungkinan

bahwa kita dapat mencapai²betapapun mencapai disini mesti ditafsirkan sebagai

(makin) mendekati²hakikat kebenaran yang kita maksud.


 ±c±8






,? 

Dari seluruh pembahasan tentang konstruksi epistemologis Paul Karl

Feyerabend beserta persoalan-persoalan dasarnya tersebut di atas, maka dapat

ditarik beberapa kesimpulan penting sebagai berikut:

1.? Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan Paul Karl Feyerabend disusun atas

dasar protes terhadap proses pemapanan ilmu pengetahuan yang selama

ini didominasi oleh aliran Positivisme Logis dari Lingkaran Wina

(Vienna Circle) yang menempatkan dan merumuskan ilmu pengetahuan

sebagai kalkulasi aksiomatis semata. Disamping itu, prinsip-prinsip

ilmu pengetahuan Feyerabend juga merupakan wujud dari

ketidaksetujuannya pada empirisme kontemporer dan teori mekanika

kuantum mutakhir dari Interpretasi Kopenhagen untuk menunjukkan

bahwa metodologi-metodologi yang telah ada sudah tidak sejalan atau

tidak cocok lagi dengan sejarah perkembangan fisika. Adapun prinsip-

prinsip ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh Feyerabend itu adalah

apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur dengan

standar yang sama, ilmu tidak mengungguli bidang pengetahuan lain,

dan kebebasan individu.

2.? Feyerabend juga berhasil mengembangkan sistem ilmu pengetahuan

revolusioner yang menjadi suatu analisis alternatif untuk


menginterpretasi dunia dengan metode anarkisme epistemologi yang

ditujukan untuk semakin menemukan hakikat ilmu pengetahuan yang

selama ini secara ideologis dianggap lebih unggul daripada bentuk

pengetahuan lain lewat kritik anti-metode (Against Method) dan anti-

ilmu pengetahuan (Against Science)nya. Selain itu, salah satu ide

penting Feyerabend lainnya sebagai penjelasan lanjutan dari tesis apa

saja boleh yang diusungnya adalah bahwa tidak ada keteraturan metode

atau teori dalam ilmu pengetahuan. Ia berargumen bahwa selama ini

para ilmuwan cenderung memakai standar-standar universal dan baku,

sehingga menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional

kita dan menegasikan pula pluralisme metodologi yang pada hakikatnya

bisa menjadi sarana kritisisme dan kemajuan ilmu pengetahuan itu

sendiri.

Corak pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend, terlepas dari

kontroversi ilmiah yang menyertainya, telah mampu memberikan

perspektif baru untuk melepaskan diri dari segala bentuk

otoritarianisme ilmu pengetahuan yang dianggap Feyerabend tidak

ubahnya seperti sihir, mitos, magi, voodoo, dan tidak ubahnya juga

seperti ³agama baru´ pada masa Abad Pertengahan yang memonopoli

sistem kebenaran dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan

yang dipropagandakan menjadi ideologi tunggal-mutlak yang menindas

budaya ilmiah alternatif oleh para ilmuwan dan institusi terkait lain
semisal negara itu menurut keyakinan Feyerabend mesti dilawan

dengan penentangan metode yang anarkistik.

±,? '

1.? Sebagai sebuah pemantik dan pengenalan awal dari wacana filsafat

ilmu pengetahuan Feyerabend, dalam skripsi ini penulis hanya sebatas

µmengantarkan¶ khalayak pembaca pada orientasi umum tentang

anarkisme epistemologi Feyerabend yang oleh sebagian kalangan

dianggap tidak memberikan tawaran metodologi yang jelas dan

sistematis, serta tidak memiliki standar aturan yang dinilai baku untuk

menentukan antara yang ilmiah dan yang non-ilmiah. Untuk itu, maka

saran singkat yang bisa penulis sampaikan adalah, bahwa di masa

mendatang mungkin alangkah lebih baik jika pengembangan kajian dari

tulisan ini lebih difokuskan pada implikasi-implikasi sosial-praktis dari

prinsip apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur

dengan standar yang sama, ilmu tidak harus mengungguli bidang

pengetahuan lain dan kebebasan individu Feyerabend di tengah arus

liberalisasi pemikiran masyarakat kontemporer. Dengan begitu, maka

perdebatan filosofis tentang Feyerabend tidak hanya berkisar pada satu

sketsa pemikiran saja, sebab masih banyak padanan ide dan ragam

penafsiran lain yang bisa dielaborasi secara tajam dan mendalam dari

tesis-tesis utama Feyerabend yang begitu kontroversial dan ekstrem itu

guna memperoleh bekal pemahaman yang lebih benar dan lengkap

tentang struktur fundamental dari filsafat Feyerabend itu sendiri.


2.? Dalam mengkaji pemikiran filsafat Feyerabend ini kita dituntut untuk

melakukan apropriasi, yaitu kemampuan memahami orang lain tanpa

terhanyut ke dalam alam pikirannya secara total. Sebab kerapkali krisis

persepsi terhadap pluralitas dan kompleksitas dari setiap dialektika

pemikiran membuat kita tidak bisa menangkap dan menggali muatan-

muatan filosofis yang menjadi asumsi dasar masalah tersebut, sehingga

tidak jarang menimbulkan pemaknaan yang justru kontraproduktif.

Bahkan yang lebih parah lagi, batas-batas yang kita paksakan atas

persoalan yang sejatinya kompleks itu sering merupakan penjelmaan

dari sikap-sikap subyektif-egoistik kita. Oleh karena itu, selain beresiko

menghasilkan rumusan pemecahan masalah yang keliru, kita pun

cenderung bersikap fanatik²mati-matian membela pendapat kita tanpa

peluang menyadari bahwa pendapat kita itu salah. Namun dengan

adanya unsur ³relativisme saintifik´²istilah Haidar Bagir²dalam

rumpun teori ilmu pengetahuan, tentu akan membuat kita tidak pernah

merasa benar sendiri serta tidak mudah merasa puas dengan segala

pengetahuan yang telah kita peroleh. Sebab studi filsafat sebagai pilar

utama rekonstruksi pemikiran lewat metodologi berpikirnya yang ketat,

mengajar kita untuk senantiasa meneliti, mendiskusikan dan menguji

kesahihan serta akuntabilitas setiap gagasan²termasuk anarkisme ilmu

pengetahuan Feyerabend²agar bisa dipertanggungjawabkan secara

intelektual dan ilmiah. Evolusi ilmu pengetahuan dan kebudayaan

manusia telah sampai ke zaman yang memaksa kita untuk berpikir


holistik, sistemik dan refleksif-mendalam untuk memahami realitas

beserta problem-problem besar yang diakibatkannya.

3.? Di samping itu juga, perlu kecermatan dan ketelitian dalam menelaah

setiap rekonstruksi filosofis yang cukup provokatif dari Feyerabend,

sehingga kita mampu mencerna makna substansial dari setiap realitas

yang ada. Anarkisme, sebagaimana ditegaskan Feyerabend berbeda

dengan anarkisme politis maupun religius. Demikian juga, anything

goes tidak berarti pula tanpa batas-batas fungsional yang mengikuti

kecenderungan individual yang tidak berarti dan tidak bernilai. Juga

pengertian Against Method, tidak lantas itu meniadakan atau mengganti

peran dan fungsi teoretis ilmu pengetahuan yang telah dirintis oleh para

ilmuwan, tetapi itu menurut Feyerabend, dipakai untuk menunjukkan

bahwa ada aspek relativitas teori ilmu pengetahuan yang selalu terbatas

oleh adanya ketergantungan observasi pada teori. Atau Against Science,

yang tidak bermakna anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri,

melainkan bahwa subyektivitas para ilmuwan dalam penetapan sebuah

proposisi atau hipotesis ilmu pengetahuan menyebabkan praktek ilmiah

tidak bisa dijadikan sebagai simbol superioritas ilmu pengetahuan atas

bentuk atau bidang pengetahuan lain. Maka saran akhir yang bisa

penulis usulkan adalah dibutuhkan sikap kehati-hatian dalam

memahami dan menyelidiki pokok-pokok pikiran filsafat ilmu

pengetahuan Feyerabend dengan menghindari penafsiran yang dangkal

dan terpilah-pilah.
)c c
 cc


Asdi, Endang Daruni dan A. Husnan Aksa. Filsuf-filsuf þunia dalam Gambar.
Yogyakarta: Karya Kencana, 1981.

Adisusilo, Sutardjo. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:


Kanisius, 1983.

Androngi. Filsafat Alam Semesta. Semarang: Bintang Pelajar, 1986.

Al-Qur¶an dan Terjemahnya. Semarang: Alwaah, 1993.

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna. terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali.
Bandung: Mizan, 1998.

Beerling, R.F. Filsafat þewasa Ini. Jakarta: Balai Pustaka, 1951.

Brouwer, Martinus Anton Wesel. Psikologi Fenomenologis. Frans M. Parera


(penyunting). Jakarta: Gramedia, 1984.

Brouwer, Martinus Anton Wesel dan M.P. Heryadi. Sejarah Filsafat ±arat dan
Sezaman. Bandung: Alumni, 1986.

Bertens, Kees. Panorama Filasafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


1987.

Bakker, Anton dan A. Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.


Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu. alih bahasa Soejono Soemargono.


Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Bunge, Mario Augusto. Philosophy of Science, Volume One: From Problem to


Theory, Revised Edition. New York: Transaction Publishers, 1998.

Balashov, Yuri and Alex Rosenberg (eds.). Philosophy of Science: Contemporary


Readings. London: Routledge, 2002.

Bernadien, Win Usuluddin (ed.). þance of God, Tarian Tuhan. Yogyakarta:


Apeiron Philotés, 2003.
Chalmers, A.F., Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak
dan Status Ilmu serta Metodenya. Jakarta: Hasta Mitra, 1982.

Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Epistemologi dan Vogika. Bandung:


Remadja Karya, 1985.

Epping, A., Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie: Eerste, Nederlandse,
Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie. Bandung: Jemmars, 1983.

Feyerabend, Paul Karl. Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of


Knowledge. London: New Left Books, 1975.

__________________. ³How to Defend Society Against Science´, dalam Ian


Hacking (ed.). Structure Revolutions. New York: Oxford University
Press, 1981.

__________________. Farewell to Reason. New York: Verso, 1987.

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Pedoman Penulisan Proposal dan


Skripsi. Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002.

G.W., Bawengan. Sebuah Studi Tentang Filsafat. Jakarta: Pradnya Paramita,


1983.

Gie, The Liang. Vintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna,
1998.

____________. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 1999.

Gallagher, Kenneth T., Epistemologi (Filsafat Pengetahuan). P. Hardono Hadi


(penyunting). Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat ±arat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Hanafi, A., Ikhtisar Sejarah Filsafat ±arat. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981.

_______, Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983.

Hamersma, Harry. Tokoh-tokoh Filsafat ±arat Modern. Jakarta: Gramedia, 1992.

Harris, James Franklin. Against Relativism: A Philosophical þefense of Method.


La Salle, Illinois: Open Court, 1997.

Howard, Roy J., Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika;


Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis. Ninuk Kleden-
Probonegoro (ed). Bandung: Nuansa, 2000.
Kuhn, Thomas S., Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. terj. Tjun Surjaman.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat. alih bahasa Soejono Soemargono.


Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.

Losee, John. Philosophy of Science and Historical Enquiry. Oxford: Clarendon


Press, 1974.

Laer, Henry van. Filsafat Sains ±agian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara
Umum. Yudian W. Asmin (ed.). Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan
Penulis Muslim Indonesia, 1995.

_________. A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth


Edition. New York: Oxford University Press, 2001.

Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. terj.


Musa Kazhim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2001.

Ladyman, James. Understanding Philosophy of Science. London: Routledge,


2002.

Lubis, Akhyar Yusuf. Feyerabend: Penggagas Anti-Metode. Jakarta: Teraju,


2003.

Magnis-Suseno, Franz von. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius,


1992.

Melsen, A.G.M. van. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita. terj. Kees
Bertens. Jakarta: Gramedia, 1992.

Mudhofir, Ali. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Liberty, 1992.

__________. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Gadjah Mada
University Press, 1996.

Popper, Karl Raimund. The Vogic of Scientific þiscovery. New York: Harper &
Row Pub., 1968.

Prawirohardjo, Soeroso H. Meta-Teoritis atas Ilmu Pengetahuan dan


Implikasinya ±agi Program Pendidikan Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984.

Peursen, Cornelis Anthonie van. Susunan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia,


1988.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arkola, 1994.

Piaget, Jean. Strukturalisme. terj. Hermoyo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,


1995.

Polanyi, Michael. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan. terj. Michael Dua.
Jakarta: Gramedia, 1996.

Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: VKíS, 1999.

_______________. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.


Yogyakarta: Jalasutra, 2004.

Qadir, C.A. (penyunting). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. terj. Bosco


Carvalho, et.al. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Runes, Dagobert D. (ed.). þictionary of Philosophy. Littlefield Adams & Co.,


Totowa: New Jersey, 1971.

Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Suppe, Frederick (ed.). The Structure of Scientific Theories. Urbana University of


Illionis Press, 1974.

Siswanto, Joko. Kosmologi Einstein. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.

Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Smith, W.H. Newton. The Rationality of Science. Boston: Routledge & Keagan
Paul Ltd., 1981.

Smith, Huston. Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas.
terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD, 2001.

Sutrisno, F.X. Mudji dan F. Budi Hardiman (ed.). Para Filsuf Penentu Gerak
Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Semiawan, Conny R., et.al., þimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung:
Rosdakarya, 1998.

Suriasumantri, Jujun Suparjan. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 1995.

____________ (penyunting). Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan


Tentang Hakikat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Salam, Burhanuddin. Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi. Jakarta: Rineka Cipta,
2000.

Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme: Tantangan ±agi Filsafat. Yogyakarta:


Kanisius, 2000.

Tim Redaksi Driyarkara (penyunting). Hakikat Ilmu dan Cara Kerja Ilmu-ilmu.
Jakarta: Gramedia, 1993.

Tim Penulis Rosda. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

Verhaak, Christiaan R.O.M. dan Robert Haryono Imam. Filsafat Ilmu


Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: Gramedia,
1991.

You might also like