Professional Documents
Culture Documents
c
c
c
!"#$%&'#$$&(
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S-1) Filsafat Islam
)*+
c
*c
c
,--.#-%.#
/ c c0)c
cc
c c
))
c c/cc
1*1ccc
%--.
±c±
)c
c
c,? ±
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu.
Dinamika perkembangan ilmu yang begitu pesat dan cepat serta pengaruhnya
pemikiran kita untuk mempelajari berbagai metode cabang ilmu secara terpadu
menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai
sehari-hari, dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari
sejarah kebudayaannya.
didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni: Apakah yang ingin kita ketahui?
Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? dan Apakah nilai pengetahuan
tersebut bagi kita?1 Hal ini juga sesuai dengan dimensi utama filsafat ilmu itu
dan cara-cara untuk memperolehnya. Sebab filsafat ilmu itu sendiri bersinggungan
yang sangat azasi. Lahirnya sejumlah karya pemikiran besar pun sebenarnya
merumuskan format penafsiran baru yang lebih bermutu atas ketiga pertanyaan
dapat dicirikan dan dibedakan dari cara mereka menjawab dan menyikapi
pengetahuan manusia yang pada abad modern ini telah merasuki setiap sudut
kehidupan manusia.
dan provokatif adalah pandangan yang dikemukakan dan dibela secara gemilang
oleh Paul Karl Feyerabend. Ia mengajukan pandangan yang sangat menantang dan
baru dalam filsafat ilmu. Baginya, tidak ada penilaian mengenai watak dan status
1
Jujun Suparjan Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2.
2
Beerling, et.al., Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soejono Soemargono,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. xii.
ilmu akan lengkap tanpa suatu usaha untuk memahaminya secara integral dan
harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya secara mendalam, sehingga hal
tersebut bukan saja akan meningkatkan apresiasi kita terhadap ilmu itu sendiri,
dikandungnya.
juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari ilmu, dan tidak mau
melihat kenyataan bahwa ilmu telah mampu membentuk peradaban seperti apa
yang kita saksikan sekarang ini, kepicikan seperti itu kemungkinan besar
Menghadapi dua pola pendapat yang ekstrem ini seyogianya kita harus
bersikap lapang dan bijak dengan menyadari bahwa meskipun ilmu memang
keilmuan bukanlah satu-satunya sumber kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat
Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran saja.
Adalah ketinggi hatian yang tidak mempunyai dasar sama sekali, jika kita
beranggapan bahwa ilmulah alpha dan omega dari segala kebenaran yang ada.
mengapa pada abad modern ini ilmu pengetahuan diberi penghargaan tinggi
dalam masyarakat dibandingkan bidang-bidang lainnya. Seolah-olah kini ilmu
olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih unggul daripada sihir-sihir atau ilmu
Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada
menganggap 'kearifan ilmiah' sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ai lebih
baik daripada 'kearifan' para ahli sihir dan tukang-tukang sulap. Feyerabend
3
Prasetya T.W., "Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim
Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1993), hlm. 47.
4
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan
Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 149.
do not show that it is better than the µbasic wisdom¶ of witches and
warlocks. 5
terselubung. Dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia
juga menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen menentukan yang
lain, maka diperlukan penyelidikan terhadap watak, tujuan dan metode dari ilmu
itu serta bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Hal ini harus dilakukan dengan
meetings and private conversations, letters, and like´.6 Ia pun tidak bisa sekedar
asumsi tanpa penelitian lebih jauh, bahwa suatu bentuk pengetahuan yang sedang
diteliti itu harus sesuai dengan hukum-hukum logika, sebagaimana yang biasanya
Feyerabend meyakini bahwa tidak ada metodologi ilmu yang ada selama
5
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge
(London: New Left Books, 1975), hlm. 205.
6
Ibid., hlm. 253.
Feyerabend, mengingat kompleksitas sejarah, maka tidak masuk akal untuk
Seperti halnya Kuhn yang berasumsi bahwa tidak ada suatu teori apa pun
universal dan historis. Maksudnya, kebenaran universal yang tidak terikat dengan
ruang dan waktu, yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik
menyatakan bahwa ilmu-ilmu atau teori-teori tidak bisa saling diukur dengan
observasi yang sama dalam suatu konteks yang berbeda. Perbedaan dua teori atau
7
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,
2003), hlm. 119 dan 116.
lebih cukup mendasar, sehingga tidak mungkin saling membandingkan teori-teori
The idea that science can, and should, be run according to fixed and
universal rules, is both unrealistic and pernicious. It is unrealistic, for it
takes too simple a view of the talents of man and of the circumstances
which encourage, or cause, their development. And it is pernicious, for the
attempt to enforce the rules is bound to increase our professional
qualifications at the expense of our humanity. In addition, the idea is
detrimental to science, for it neglects the complex physical and historical
conditions which influence scientific change. It makes our science less
adaptable and more dogmatic«All methodologies have their limitations,
and the only rule that survives is µanything goes¶. 9
[Ide bahwa ilmu dapat dan harus berjalan sesuai dengan hukum-hukum
universal yang mapan, adalah tidak realistis dan juga merusak. Ia tidak
realistis, karena terlalu menyederhanakan bakat manusia dan keadaan
lingkungan yang mendorong atau menyebabkan perkembangan. Dan ia
merusak, karena usaha untuk memberlakukan hukum-hukum itu
cenderung meningkatkan kualifikasi profesional kita yang mengorbankan
rasa kemanusiaan. Selain itu, ide itu pun merugikan ilmu, karena ia
mengabaikan kondisi fisik dan historis yang kompleks yang
mempengaruhi perubahan ilmiah. Ia menyebabkan ilmu semakin kurang
bisa dikelola dan semakin dogmatik«Semua metodologi mempunyai
keterbatasannya dan satu-satunya 'hukum' yang survive adalah 'apa saja
boleh'].
para ilmuwan ini ternyata ditunjang dengan alasan yang kuat. Menurutnya: ³the
evaluating the historical situation in which he makes his decisions; it does not
8
Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan:
Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 167-168.
9
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 295-6.
contain rules that tell him what to do´.10 Maksudnya, "Metodologi dan program-
hukum yang mendikte apa yang harus diperbuat ilmuwan´. Maka tidaklah
yang memandang bahwa manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan
beings¶.11
kebebasan bagi para individu untuk memilih antara ilmu dan bentuk-bentuk
10
Ibid., hlm. 186.
11
Ibid., hlm. 20.
pengetahuan lain. Jadi jelas sekali, bahwa Feyerabend menolak sikap otoriter
perkembangan ilmu yang hendak diwujudkan dalam hukum dan sistem. Sebab
ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun hukum yang berlaku.
Ia harus bebas karena memang kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan merupakan
suatu upaya yang anarkistik. Pendapat Feyerabend ini juga harus dilihat
masyarakat kita dewasa ini, ilmu pengetahuan menduduki posisi yang sama
dengan posisi agama seperti halnya pada masa Abad Pertengahan. Ilmu
pengetahuan memiliki kuasa mutlak. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak
manusia.
Apa yang perlu kita lakukan dalam masalah ini, tulis Feyerabend, adalah
ideologis, persis seperti nenek moyang kita membebaskan kita dari kungkungan
'agama satu-satunya' yang benar". Ia menyatakan, ³let us free society from the
12
Ibid., hlm. 307.
Hal ini perlu ditempuh karena menurut citra Feyerabend, setiap individu
dilahirkan ke dalam suatu masyarakat yang sudah eksis lebih dulu, dan dalam
pengertian itu, masyarakat itu bukanlah pilihannya yang bebas. Kebebasan yang
dimiliki seorang individu akan tergantung pada posisi yang ia duduki di dalam
struktur sosial tersebut, dan oleh karena itu, suatu analisa tentang struktur sosial
individu.
Setidaknya ia menyadari hal semacam ini dan dalam satu bagian tentang
his assistants, the attitude of his colleagues, his playmets²he or she²is restricted
makna, anarkisme ilmu pengetahuan, sebagai suatu kritik yang diajukan dan
sebenarnya. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua
13
Ibid., hlm. 187.
Yang pertama, dengan memegang semboyan anti-metode (Against
pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang
baku dan universal serta tahan sepanjang masa, dan juga dapat membawahi semua
melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul
ukuran unggul yang universal. Keduanya adalah tradisi partikular yang tidak
alternatif, satu dengan yang lain tidak selalu terdapat konsistensi atau
kesepadanan.14
bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka
yang dipropagandakan oleh para ilmuwan. Ia memilih istilah realisme ilmiah yang
14
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 130.
dalam salah satu bentuknya berupa aktivitas-aktivitas kita mengumpulkan
hakikat realitas yang menjadi cita-cita dari pengembangan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Realisme ini akan bisa terwujud pada saat teori-teori, sistem pemikiran,
bukan sekedar sebagai skema-skema bagi setiap proses kejadian yang kodratnya
sakitnya. Sebagai obat bukan berarti ilmu pengetahuan harus menjadi anarkis,
rasionalitas yang lebih jelas dan bebas, kurang lebih seperti yang diproyeksikan
porsi pemahaman yang tepat dan seimbang. Sebab pada kenyataannya istilah
ekstrem itu dimaksudkan untuk memberikan kritik eksternal terhadap metode dan
praktek ilmu pengetahuan yang acapkali mengaburkan karakter dan tujuan dasar
utamanya. Tetapi hal itu mungkin bisa dipahami karena memang seorang anarkis
di bidang ilmu pengetahuan oleh Feyerabend diistilahkan²mengutip pendapat
Maka berkaitan dengan persoalan itu pula, skripsi ini diangkat guna
aspek penting lain yang terdapat di dalamnya. Secara khusus, dalam tulisan ini
penulis ingin melacak dan mengurai sejauhmana konsistensi dari seluruh sistem
Sebagai sebuah kajian serius tentang tokoh filsafat ilmu pengetahuan baru,
masih relatif kurang bisa dibaca, dipelajari dan diakses lebih jauh oleh para
peminat filsafat pada khususnya serta kalangan dunia akademis pada umumnya.
Mungkin hal inilah yang kemudian menjadi latar dari pemilihan tokoh dan
pembahasan topik Paul Karl Feyerabend, yang dalam rekaan awal penulis,
Namun setelah melalui proses studi yang runut dan seksama, ternyata
penulis menemukan beberapa endapan gagasan vital dan relatif belum banyak
tonggak kebangkitan era filsafat ilmu pengetahuan baru pasca dominasi aliran
sebagai simbol kemajuan peradaban modern, yang telah beralih fungsi menjadi
semacam arogansi intelektual, atau terkesan hanya menjadi menara gading, dan
pada akhirnya berujung pada retorika serta ideologi tertutup yang penuh
seperti yang dinyatakan oleh Feyerabend, kita jadi mafhum bahwa semua klaim
diperdebatkan dalam konteks dan dalam paradigma atau komunitas tertentu pula.
Tidak satupun yang diterima sebagai fakta, teori, atau kesimpulan yang selesai
dalam menggali dan mengolah ide-ide dasar ilmu pengetahuan Paul Karl
Feyerabend secara lebih jelas dan obyektif. Harapannya, paling tidak urgensi
topik dalam penulisan karya ilmiah ini bisa menambah koleksi seri tokoh filsafat
±,?
Dari deskripsi umum di atas, ada beberapa kata kunci yang perlu kiranya
dicermati dari pola pemikiran yang dibangun oleh tokoh utama dalam fokus
kajian skripsi ini, yakni Paul Karl Feyerabend. Banyak jalinan ide penting
semasa hidupnya.
Oleh karena itu, agar alur pembahasan ini tepat sasaran, terarah dan sesuai
dengan maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka tentu saja ruang lingkup
masalah yang akan dijadikan sumber acuan nantinya terbatas dan terumus dalam
Feyerabend?
A,? 2
),?
dari penelitian ini sendiri adalah kajian kepustakaan (Vibrary Research) yang
memuat data-data dan bahan-bahan yang mendukung dan melengkapi terhadap isi
pembahasan ini baik berupa buku, ensiklopedi, jurnal, artikel, dan sebagainya.
berusaha untuk menghimpun data primer maupun sekunder yang sekiranya ada
kaitannya dengan pokok pembicaraan dalam skripsi ini. Data primer itu berupa
buku masterpiece Paul Karl Feyerabend sendiri yang berjudul Against Method,
dilengkapi pula dengan tulisan atau karya ilmiah para ahli yang secara khusus
mengenai seorang tokoh16, dalam hal ini Paul Karl Feyerabend. Dalam kaitan ini,
penulis berusaha menyelami pikiran, karya dan latar belakang historis yang
15
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi
(Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2002), hlm. 9.
16
Anton Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 61.
Untuk mempermudah prosedur pengolahan data itu, maka dalam
Dengan metode ini, peneliti menguraikan dan membahas secara sistematis dan
beberapa gagasan penting lainnya secara lebih lengkap dan jelas. (2) Interpretatif.
Dalam hal ini, peneliti berusaha menyelami karya tokoh untuk menangkap
kandungan arti dan nuansa yang dimaksudkan secara spesifik.18 (3) Analisis.
Dengan cara ini, penulis akan merinci istilah-istilah atau pendapat-pendapat tokoh
nantinya akan bisa diperoleh suatu pemahaman yang benar pula tentang ciri, sifat,
,? 2
paling berani dan paling ekstrem, yang terutama didasarkan pada karya
17
Ibid., hlm. 65.
18
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
98. Lihat juga dalam Anton Bakker dan A. Charris Zubair, op.cit., hlm. 63.
19
Ibid., hlm. 60.
monumentalnya, Against Method. W.H. Newton-Smith20 menilai bahwa tidak ada
kritik terhadap ilmu pengetahuan setegar dan selantang kritik Feyerabend. Kritik
yang disampaikan melalui buku itu telah menggambarkan panggung filsafat pada
Feyerabend, baik dalam versi Bahasa Indonesia maupun asing. Misalnya tulisan
Prasetya T.W. yang berjudul ³Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend´, yang dimuat dalam antologi buku Hakikat Pengetahuan dan Cara
kemunculan Feyerabend dalam ranah filsafat ilmu pengetahuan serta sejarah awal
perjalanannya menjadi seorang anarkis. Dalam buku itu juga, dijelaskan tentang
definisi dari anti-metode dan anti-ilmu pengetahuan yang menjadi kritik utama
Selain itu pula, buku yang secara representatif dalam menampilkan dan
yang termaktub dalam bukunya Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian
20
W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul
Ltd., 1981), sebagaimana yang dikutip oleh Endro Witj., Feyerabend: Rasionalitas Ilmu Yang
Goyah, dalam Fokus, Februari 1989, hlm. 34.
21
Kees Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987),
hlm. 17.
22
Prasetya T.W., ³Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend´, dalam
Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta:
Gramedia, 1993).
Tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya.23 Buku ini secara teliti dan
cukup argumentatif-korektif.
aktual dan liberal Feyerabend secara menyeluruh, mulai dari konsep anti-metode
Feyerabend adalah apa yang ditulis oleh Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya,
tentang sosok filsuf Paul Karl Feyerabend yang kerapkali mendera sains dengan
induksi yang selama ini dijadikan panduan utama cara kerja ilmiah. Dengan
23
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan
Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982).
24
W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul
Ltd., 1981).
25
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,
2003).
berhasil membuka sumbat penyatuan metode yang selama ini diberhalakan oleh
sains.
Dari sekian literatur tersebut di atas, ada perbedaan yang cukup signifikan
dengan maksud penelitian ini, yaitu bahwa artikel yang ditulis oleh Prasetya T.W.
hanya sebatas mengenalkan sejarah awal dan garis-garis besar haluan filsafat ilmu
Sedangkan buku A.F. Chalmers dan W.H. Newton-Smith sekedar rangkuman dari
saja yang pembahasannya terkesan ambivalen tanpa disertai jalinan sketsa ilmu
Demikian juga dengan buku Akhyar Yusuf Lubis sebagai buku pengantar
secara khusus hanya µmemandu¶ pembaca untuk mengenal ciri, sifat dan latar
belakang pemikiran filsafat Feyerabend yang disisipi juga penjelasan tentang titik
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis secara spesifik berusaha
tidak kritis cenderung hanya terpaku pada satu bentuk kebenaran monologis yang
, ?
!
Untuk lebih mudah dan urutnya penulisan ini, maka pembahasan dalam
skripsi ini akan dikelompokkan menjadi beberapa bab dan sub-bab, yaitu:
sistematika pembahasan.
Kemudian ±ab II, berisi tentang biografi singkat Paul Karl Feyerabend
yang terdiri dari riwayat hidup, karya serta tokoh-tokoh yang membentuk watak
Paul Karl Feyerabend yang berkisar tentang persoalan apa saja boleh (anything
goes), ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, ilmu tidak
dari penulis berdasarkan seluruh hasil pembahasan yang dilakukan dan ditekuni
±c±
±*c
c c1c± )#$%&'#$$&(
c,? 3
Paul Karl Feyerabend lahir pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945
ia belajar seni suara teater, dan sejarah teater di Institute for Production of
universal yang berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.
eksperimen dengan teori yang ternyata relasi itu tidak sesederhana apa yang
perkembangan baru dalam ilmu fisika, terutama fisika kuantum. Ia melihat bahwa
fisika kuantum telah menolak beberapa patokan dasar fisika yang ketika itu
Karl Raimund Popper di London. Waktu itu ia masih tetap berpegang teguh pada
Ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang fisika dari Wina University dan
kemajuan ilmu pengetahuan. Sikap Feyerabend tentang ³apa saja boleh´ dan
27
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,
2003), hlm. 101-102.
bahwa sasaran dari kreativitas dalam ilmu pengetahuan itu adalah sebagai bentuk
pengembangbiakan teori-teori.28
Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Pada tahun-tahun itu pula ia mulai
anarkisnya. Lagi pula seperti yang ia akui, Lakatoslah yang mendorongnya untuk
µPaul, µhe said, µyou have such strange ideas, why don¶t you write them down?30
dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam
mengejar ilusi-ilusi kalau mencari hukum universal guna mencapai hasil dalam
ilmu pengetahuan?
28
John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition
(New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 177.
29
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge
(London: New Left Books, 1975), hlm. 5. Feyerabend mempersembahkan buku ini kepada Imre
Lakatos dengan menulis To Imre Vakatos, friend and fellow-anarchist.
30
Ibid., hlm. vii.
pertobatannya dipercepat karena percakapannya dengan Carl Freither von
pada tahun 1970, suatu karangan panjang yang pada tahun 1975 diolah lagi
menjadi sebuah buku dengan judul yang sama pula. Terbitnya buku itu ternyata
kontroversi, diskusi dan kritik yang cukup beragam corak dan pemaknaannya dari
para tokoh filsafat dan kaum ilmuwan secara luas. Maka sebagai jawaban atas
buku yang memuat penjelasan serta argumentasi atau perluasan gagasan yang
sudah diulas dalam buku yang dikritik sebelumnya. Namun begitu, munculnya
pemikiran anarkisnya.
pada abad ke-20. Ia giat melakukan perlawanan terhadap setiap gagasan ilmu
ilmu dan ilmu palsu. Walaupun mulai dulu sampai sekarang banyak usaha-
usahanya yang disia-siakan, tetapi usaha itu bisa dijadikan sebagai dasar persiapan
31
Prasetya T.W., op.cit., hlm. 49.
32
Yuri Balashov and Alex Rosenberg (eds.), Philosophy of Science: Contemporary
Readings (London: Routledge, 2002), hlm. 141.
Dalam analisis Don Cupitt, sebagai seorang filsuf sains dari California
yang sangat Californian sekali, Feyerabend berargumen bahwa apa yang ia sebut
pengetahuan saintifik. Baik filsuf maupun yang lainnya berhak menetapkan dan
menggambarkan apa saja yang diperbolehkan sebagai metode saintifik, baik yang
termasuk kategori sains asli ataupun yang bukan sains sekalipun. Sebab beberapa
pertentangan seperti yang nampak jelas pada kasus konflik agama dan (menurut
Feyerabend) juga berlaku pada kasus sains. Sudah banyak contoh sejarah yang
±,?
!456
diri mulai dari tahun 1920-an sampai Feyerabend muncul di panggung filsafat.
Semenjak tahun 1920, panggung filsafat ilmu pengetahuan dikuasai oleh aliran
19 yang telah dirintis oleh tokoh positivisme klasik August Comte (1798-1857)
dan para pengikutnya yang dinilai diwarnai pemikiran yang bersifat dogmatis dan
33
Don Cupitt, After God: Masa þepan Agama, terj. Abdul Qodir Shaleh (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2001), hlm. 204-205.
34
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Epistemologi dan Vogika (Bandung: Remadja
Karya, 1985), hlm. 2.
Filsafat Comte adalah anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang
kenyataan yang tidak mempunyai arti faktual sama sekali. Sebab bagi Comte,
hanya ada satu hal yang penting, yaitu savoir pour prévoir, ³mengetahui supaya
siap untuk bertindak´, ³mengetahui agar manusia dapat memperkirakan apa yang
akan terjadi´. Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan
dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Hubungan-
hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan konsep-konsep atau
hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran manusia. Tetapi
lawan dari filsafat positivisme ini bukanlah suatu filsafat negatif, melainkan
berturut-turut melewati tiga tahap (stadia) yang berbeda, yakni tahap teologis
yang berdasarkan fantasi, tahap metafisis yang abstrak dan tahap positif-ilmiah´.
Dalam tahap teologis ini terdapat tiga tahap lagi: animisme, politeisme dan
benda-benda itu merupakan sesuatu yang bergerak. Banyak benda disebut suci
35
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat ±arat Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm.
54-55.
dan sakti yang biasa diidentikkan dengan dewa-dewa, seperti dewa api, dewa
lautan, dewa angin, dewa panen, dan sebagainya, diatur dalam suatu sistem
tunggal, yakni satu keilahian yang pada akhirnya melahirkan pemikiran tentang
monoteisme.36
manusia mulai sadar dan mengetahui bahwa upaya teologis dan metafisis itu tidak
ada gunanya. Dari sini kemudian manusia berusaha mencari hukum-hukum alam
Di lain pihak, kaum Positivisme Logis itu sendiri menolak filsafat yang
tidak menghiraukan kenyataan dan susunan serta hasil ilmu pengetahuan empiris.
pengetahuan yang telah diatur dan dirumuskan dalam kaidah-kaidah ilmu alam
dan diperoleh dari pengamatan inderawi serta dapat diperiksa secara empiris.
ilmu matematika (ilmu pasti) dan ilmu-ilmu lain yang diperoleh dari gejala-gejala
yang dapat diamati oleh indera. Pengetahuan semacam ini yang disebutnya
36
Ibid., hlm. 55.
37
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 114-
115.
pengetahuan atas dasar pengalaman dan pengamatan inderawi, kalangan
menjadi pokok perdebatan filsafat klasik, terutama mengenai sebab pertama (first
bentuk pikiran yang menyatakan adanya suatu dunia yang bersifat adialami atau
transendental.39
yang terbatas.40
Positivisme Logis bertitik tolak dari data empiris dan tetap setia pada
dengan memakai ungkapan dasar dalam suatu ilmu yang bercorak empiris atau²
38
A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat ±arat (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), hlm. 65.
39
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1996), hlm. 116.
40
Frederick Suppe (ed.), The Structure of Scientific Theories (Urbana University of
Illionis Press, 1974), hlm. 4.
tidak menyinggung tentang bukti dan data empirik (kenyataan), tetapi hanya
Menurut Positivisme Logis, hanya apa yang nampak jelas dan berguna
saja yang secara prinsipil bisa diverifikasi melalui observasi dan eksperimentasi.
Persoalan tentang nilai sebuah teori atau makna suatu penjelasan dianggapnya
tidak berarti apa-apa karena tidak memberikan jawaban yang pasti dan terukur.44
menunjuk pada pengalaman langsung dan konkrit. Dan bahasa figuratif atau
41
Cornelis Anthonie van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia, 1985),
hlm. 82.
42
Jean Piaget, Strukturalisme, terj. Hermoyo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995),
hlm. 63.
43
Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), hlm. 193.
44
Henry van Laer, Filsafat Sains ±agian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara Umum,
Yudian W. Asmin (ed.), (Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995),
hlm. 133.
kiasan juga hanya akan dianggap mempunyai akan makna apabila diterjemahkan
epistemologis dengan argumen semantik, persis seperti dilakukan oleh Locke dan
Hobbes yang melihat kerancuan dan kekaburan kategori itu terdapat dalam
penggunaan kiasan metaforis bahasa. Mereka yakin pula bahwa filsafat hanya bisa
maju jika menggunakan bahasa lugas literal murni. Imbasnya lantas timbul
keyakinan umum yang semakin kuat bahwa dalam dunia kebahasaan manusia
sebetulnya yang berperan besar adalah memang bahasa literal itu sendiri.45
ilmu. Pandangan semacam itu menguasai dan diterima luas oleh para filsuf ilmu
pengetahuan pada zaman itu. Penerimaan secara luas ini membuat pandangan
semacam itu oleh Frederick Suppe disebut The Received View.46 Sebagai tradisi
intelektual yang berakar pada ilmu pengetahuan alam kodrati (natural sciences),
klasik ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena memang kesan baik
yang diberikan oleh ilmu fisika sebagai disiplin ilmu yang prestisius dengan
adanya orang-orang besar dan terhormat dalam bidang ilmu pengetahuan yang
45
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan ±agi Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 126-127.
46
Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 161.
47
Soeroso H. Prawirohardjo, Pengamatan Meta-Teoritis atas Ilmu Pengetahuan dan
Implikasinya ±agi Program Pendidikan Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Yogyakarta: U.P.
Indonesia, 1984), hlm. 9-10.
Berdasarkan kronologi sejarahnya, Positivisme Logis muncul pertama kali
sebagai suatu logika bagi ilmu-ilmu fisika. Tahun 1895, Ernst March menjabat
sebagai guru besar pertama filsafat ilmu-ilmu induksi di Universitas Wina, dan
pada tahun 1922, posisi itu digantikan oleh Moritz Schlick, seorang murid dari
Max Planck yang pada saat itu ia memusatkan karyanya pada filsafat fisika.
Kemudian pada tahun 1929, kelompok ini menerbitkan sebuah manifesto yang
Conception of the World: The Vienna Circle´ (Suatu Konsepsi Ilmiah Tentang
Dunia: Lingkaran Wina).48 Para anggota yang ikut bergabung dalam kelompok ini
adalah para kaum positivis yang kebanyakan adalah ahli ilmu alam, matematikus
ini telah dipelopori oleh Moritz Schlick yang kala itu menjabat sebagai guru besar
Filsafat di Wina, dan resmi dibentuk pada tahun 1923 dengan sebutan The Vienna
tahun 1929 untuk memperkenalkan aliran tersebut. Namun ketika Hitler berkuasa,
yang sangat berbahaya. Popkin & Stroll menambahkan pula bahwa para anggota
Lingkaran Wina ini adalah Moritz Schlick, Hans Hahn, Friederich Waismann,
48
Roy J. Howard, Pengantar atas Teori-teori Pemahaman Kontemporer: Hermeneutika;
Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis, Ninuk Kleden-Probonegoro (ed.), (Bandung:
Nuansa, 2000), hlm. 51.
49
Bawengan, G.W., Sebuah Studi Tentang Filsafat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983),
hlm. 113.
Kelompok ini pernah mengadakan seminar atau studi kelompok dengan
mengikuti ketentuan logika formal dan bahwa pernyataan itu harus bersifat
ilmiah. Positivisme Logis ini biasa disebut sebagai hasil karya Ludwig Josef
Philosophicus yang terbit pada tahun 1921, lalu berkembang ke seluruh dunia
menyatakan bahwa filsafat bukanlah suatu teori, melainkan suatu aktivitas atau
kegiatan. Wittgenstein pun yakin bahwa teka-teki dan kekacauan filsafati akan
maka pernyataan itu pun seyogianya dapat dijawab secara jelas dan tuntas. Tetapi
yang tidak bermakna itu, maka dalam pandangan Wittgenstein harus ditemukan
peraturan-peraturan tentang permainan bahasa (language game) yang digunakan
bagaimana suatu ungkapan bahasa itu harus berarti atau bermakna, tetapi kita
harus bisa menangkap apa arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa itu.
Oleh karena itu, kita harus mengalisis bentuk-bentuk hidup (forms of life) sampai
arti ditentukan oleh bagaimana suatu kata digunakan dalam konteksnya. Lewat
analisis bahasa, seseorang akan dapat memperoleh kejelasan (clarify) arti bahasa
sains seperti bahasa pada dasarnya adalah milik bersama suatu kelompok. Dan
tidak lain hanya menawarkan suatu metode yang sering disebut sebagai metode
sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya sekedar membuat lebih jelas tentang
maksud yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa verbal. Metode analisis
50
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 122.
51
Thomas S. Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 203.
bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein ini disebut juga dengan metode
klarifikasi.
tergantung pada teori yang menjadi mediasi dalam proses pemahaman. Sedangkan
pengalaman dan pemahaman itu sendiri terjadi lewat bahasa. Oleh karena itu,
yang kita alami senantiasa sudah terefleksikan yang dinyatakan dalam bahasa.
Jadi, distorsi itu tidak hanya terjadi pada waktu obyek atau peristiwa
Disamping itu, Positivisme Logis ini juga biasa disebut sebagai Logika
merupakan seorang tokoh kelahiran Jerman, datang ke Wina pada tahun 1927 dan
ikut secara aktif di Lingkaran Wina. Ia adalah seorang ahli yang terlatih dalam
bidang fisika dan juga seorang logisian yang rajin bekerja keras. Para anggota
aliran ini sendiri adalah bekas ilmuwan yang terjun ke dunia filsafat dan
ilmuwan yang terkenal itu diantaranya adalah Ludwig Boltzmann, Pierre Duhem,
52
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 111-113.
53
Bawengan, G.W., op.cit., hlm. 114.
Positivisme Logis sebenarnya merupakan perkawinan antara dua aliran,
Morton White adalah berhubungan erat dengan kritik terhadap ajaran August
White, setidaknya terdapat dua kutub dalam aliran Positivisme Logis yang patut
juga kiranya mendapat perhatian cermat dalam diskursus perdebatan filsafat ilmu
pengetahuan kontemporer.
Yang pertama adalah pihak negatif, suatu golongan yang ekstrem, militan,
logika dan ilmu pengetahuan. Disisi lain mereka juga membantah sekaligus
menyerang metafisika dan etika yang gagasan awalnya sudah mulai dilontarkan
beberapa filsuf analitik yang embrionya berasal dari Lingkaran Wina itu sendiri.
menolak setiap ajaran, pandangan dan pengertian yang tidak memakai rumusan
ilmiah.
pengaruh cukup besar, Alfred Jules Ayer (1910-1970) lewat bukunya Vanguage,
Truth and Vogic (1963), juga berupaya mengeliminasi metafisika yang didasarkan
pada prinsip verifikasi, yaitu agar suatu pernyataan (statement) benar-benar penuh
arti, maka pernyataan tersebut haruslah dapat diverifikasi oleh salah satu atau
lebih dari kelima pancaindera. Tokoh positivisme logika modern Inggris dan salah
satu penganut empirisis logis ini menandaskan bahwa kata ³makna´ dalam
menandai kreasi wacana baru dan sekaligus merupakan masa transisi bagi suatu
zaman filsafat ilmu pengetahuan baru. Popper membuka babak baru sekaligus
sebagai masa transisi dipicu oleh adanya dua alasan penting. Pertama, lewat teori
Popper sendiri dalam hal ini mengakui bahwa ia tidak pernah berasumsi dengan
prinsip ³mungkin´ atau ³bisa jadi´ benar (probability). Bahkan mungkin saja
yang disalahkan (difalsifikasi) itu menjadi benar dalam arti verifiable (dapat diuji)
secara ilmiah. Oleh Popper distingsi itu diganti dengan apa yang disebut garis
54
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali
(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 59.
batas (demarcation) antara ungkapan yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Menurut
Popper, pokok demarkasi terletak pada ada tidaknya kemungkinan falsifikasi bagi
adanya kesimpulan deduktif, kecuali hanya perubahan sifat pengulangan kata dari
logika deduktif yang memiliki derajat kebenaran yang tidak lagi diperselisihkan.
but not only tautological transformation of deductive logic whose validity is not
untuk menguji kesahihan (validasi) dan ketepatan (akurasi) suatu teori ilmu
kesimpulan antar teori dalam hal konsistensi internal dari sistem yang diuji.
Kedua, penyelidikan terhadap bentuk logis dari teori dengan obyek penelitian
teori tersebut untuk memastikan apakah teori tersebut mempunyai karakter suatu
55
Karl Raimund Popper, The Vogic of Scientific þiscovery (New York: Harper & Row
Pub., 1968), hlm. 40-42.
56
Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan:
Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 160.
teori empiris atau teori ilmiah, atau juga mungkin terjadi hubungan tautologis
menentukan apakah teori itu telah memenuhi standar mutu hipotesis umum
sebagai scientific advance yang tahan dari berbagai ujian dan kritik maupun
Keempat, pengujian terhadap teori dengan cara aplikasi empiris dari kesimpulan
yang berasal dari teori tersebut. Dari cara yang terakhir inilah, suatu pernyataan
tunggal dapat menghasilkan suatu prediksi kemungkinan baru yang dapat diuji
hasil aplikasi praktis dan eksperimen. Apabila putusan itu positif, berarti
kesimpulan tunggal itu acceptable (dapat diterima secara logika) atau verified
(dapat dibuktikan secara empiris). Tetapi jika kesimpulan tersebut negatif atau
falsified (tidak dapat dibuktikan keabsahannya), maka teori yang digunakan untuk
mendeduksi teori-teori tersebut secara logis tidak dapat diterima sebagai sebuah
masalah induksi. Dengan itu pula, Popper serentak merubah seluruh pandangan
tradisional atau The Received View yang dipegang oleh Lingkaran Wina. Bila cara
57
Conny R. Semiawan, et.al., þimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung:
Rosdakarya, 1991), hlm. 51-52.
kerja ilmu pengetahuan tradisional didasarkan pada prinsip verifikasi, maka dasar
falsifiabililtas belum cukup untuk menjajaki kebenaran suatu teori, sebab masih
ada kondisi lain yang diperlukan oleh ilmu untuk dapat berkembang lebih maju.
penilaian mereka kini lebih layak diganti dengan, ³Apakah teori yang baru ini
memiliki daya saing untuk menggantikan teori yang ditantangnya?´. Jadi disini
berlaku pragmatisme dari suatu teori ilmiah yang merupakan racun ampuh
terhadap paham determinisme yang bersifat statis dan yang sebelumnya tidak
bahwa cara kerja (berdasarkan prinsip falsifiabilitas) itu bisa dilihat secara nyata
dikatakan bahwa tidak hanya hipotesa melainkan juga hukum dan teori yang
kokoh dalam proses falsifikasi lalu ditinggalkan.58 Dari situ Popper meyakini
58
Christiaan R.O.M. Verhaak dan Robert Haryono Imam, op.cit., hlm. 161.
tidak ada ungkapan, hukum dan teori yang definitif dan baku. Semua pengetahuan
semua hasil ilmu itu tidak sempurna, dapat ditambah dan diperbaiki. Jika tidak
demikian, maka ilmu pengetahuan justru akan merosot menjadi ideologi tertutup
melukiskan secara akurat gejala suatu fenomena dunia atau alam semesta. Jadi
apabila suatu hipotesis akan dijadikan bagian dari bangunan struktur ilmu, maka
persoalan yang menarik melalui dugaan yang berani melawan (dan terutama)
apabila tidak lama kemudian ternyata salah daripada mengulang suatu rangkaian
kebenaran yang tidak relevan lagi dengan konteks zamannya. Kita mesti belajar
bahwa dugaan kita salah, maka lalu kita akan belajar banyak tentang model
59
Seperti dikutip oleh Conny R. Semiawan, op.cit., hlm. 58.
mungkin saja ditempuh, sebab pada dasarnya ilmu memang berkembang maju
dipakai sebagai landasan berpikir pragmatis tanpa selalu menganggap semua teori
Smith adalah mengira sains dapat memberikan satu pandangan utuh tentang dunia
serpihan-serpihan dunia yang bersifat fisikal, bisa dikalkulasi dan diuji lewat
kerja alam semesta, karena pertanyaan seperti itu akan menyeret kalian ke dalam
sebuah lubang, dan tak seorang saintis pun bisa keluar darinya dengan selamat.
Ketahuilah, tak ada manusia yang dapat memahami bagaimana alam bekerja´.60
itu tidak semata-mata didasarkan pada koherensi logis dan linguistis belaka,
60
Huston Smith, Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas, terj.
Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. xviii.
61
I. Bambang Sugiharto, op.cit., hlm. 77.
Popper juga selalu mendorong tentang perlunya mengembangkan budaya
berbau mitos untuk mengikis tradisi-tradisi dogmatik yang selama ini hanya selalu
satu uraian pokok ajarannya menjelaskan bahwa setiap pernyataan teoretis harus
perbaikan lanjutan. Sebab hanya dengan demikian daya topang dan kemungkinan
ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari dan ditemukan pada kekuatan
nalar ilmiah saja, seperti yang dikatakan oleh Descartes dan Leibniz, melainkan
bahwa sifat rasional itu justru dibentuk oleh adanya sikap keterbukaan terhadap
kritik dan kenyataan empiris menuju suatu kebijakan dan strategi ilmu yang lebih
historis dan dinamis mengenai ilmu yang harus selalu memodifikasi dan
62
Jujun Suparjan Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 112.
mencari keteraturan. Justru kitalah yang harus berusaha secara aktif memaksakan
hukum keteraturan (regularities) kepada alam. Sebab pada hakikatnya sifat kritis
berarti bahwa kita seperti kata Kant senantiasa siap terbuka pada semua aneka
bentuk perubahan yang kita hadapi dan pengalaman yang kita alami. Tetapi
(imposed regularities) oleh sistem makrokosmos alam semesta ini dalam sistem
sebuah keyakinan awal bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita refleksikan
dan bahasa kita. Tetapi sebenarnya kalau saja kita mau, kita selalu bisa keluar dari
kerangka acuan dasar itu setiap saat. Memang kita akan terperangkap dalam
kerangka yang lain, tetapi kerangka itu pasti yang lebih baik. Lalu disitu pun kita
bisa saja keluar lagi untuk kemudian merefleksikan ulang tentang kerangka acuan
dasar itu. Inti persoalannya adalah bahwa suatu diskusi kritis dan perbandingan
pembaharuan yang benar hanya terjadi dalam beberapa fase saja, yaitu sewaktu
anggapan para ahli ilmu pengetahuan pindah dari suatu paradigma (istilah teknis
Kuhn, artinya ³susunan dasar´ ilmu alam pada zaman dan wilayah perkembangan
ilmu tertentu) ke paradigma yang lain tanpa adanya hubungan logis antara
keduanya.
Karl Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Polter, Stephen Toulmin dan A. Kaplan.
Mereka ini disebut sebagai generasi filsafat ilmu pengetahuan baru karena
sejarah ilmu pengetahuan bagi penyusunan filsafat ilmu pengetahuan yang lebih
Hal ini nampak dari cara kerja Feyerabend dalam menentang empirisme
menegaskan bahwa tidak mungkin untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah
65
Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 10.
66
Dudley Shapere, Meaning and Scientific Change, dalam Ian Hacking (ed.), hlm. 29.
elektron bersama-sama. Berdasarkan percobaan, kemustahilan ini ditarik dari
kenyataan bahwa setiap kuantitas cahaya yang cukup untuk menangkap posisinya
akan merubah kecepatannya, dan sebaliknya, setiap kuantitas cahaya yang tidak
pada tingkat sub-mikroskopik kita tidak berhak untuk memberikan suatu sifat
mengatakan bahwa para ahli fisika tidak membangun peralatan yang canggih
untuk membantah hipotesis dan pondasi ilmu pengetahuan yang telah ada,
partikel elektron yang lebih kecil daripada atom. Akibatnya, kenyataan obyektif
terbatas dan tidak utuh. Istilah-istilah seperti massa, kecepatan, posisi, volume,
tekanan, kekuatan dan unsur-unsur semesta atomik yang paling kecil merupakan
sifat-sifat utama dari materia yang bergerak secara bebas. Dunia nyata
dapat melihat elektron dan sekaligus mengukur kecepatannya pada waktu yang
bersamaan. Apa yang kita amati bukanlah alam an sich, tetapi alam yang tampak
seperti dalam metode penelitian, dan gerakan sub-atomik alam itu sesungguhnya
terdiri dari bermiliar-miliar atom, dan bukannya atom-atom itu sendiri. Sehingga
dengan alasan bahwa teori kuanta (partikel) itu masih jauh dari kadar kepastian,
dan karena kebebasan kita juga tidak dilaksanakan pada tingkat mikroskopik,
fisik.67
ternyata membawa sains modern kepada cara analisis yang bersifat atomistik
ditelusuri sampai batas akhir, karena sains baru akan merasa tahu ³bagaimana´
secara persis dari proses alami jika telah menemukan komponen-komponen fisis
67
Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal
(Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 176 dan 315.
perkembangan ilmu dari masa ke masa. Dari sini kemudian perkembangan ilmu-
metafisika dan pencocokan lebih teliti pada data dan cara berpikir yang lebih
benar.
Kalau filsafat ilmu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 lebih
difokuskan pada upaya untuk menemukan penjelasan yang radikal tentang apa,
bagaimana dan untuk apa gejala alam itu, maka filsafat di abad modern
Filsafat ilmu abad modern bersumber pada manusia itu sendiri yang pada
berimajinasi. Oleh karena itu, filsafat ilmu abad modern tidak lagi mengutamakan
penalaran semata, tetapi bertujuan juga untuk meningkatkan dan membuka tabir
serta mendalami realitas alam yang penuh misteri dan paradoks ini melalui
the Received View). Suppe secara khusus menempatkan mereka dalam kelompok
68
Frederick Suppe (ed.), op.cit., hlm. 119.
Anehnya, pada posisi ini Feyerabend justru didekatkan dengan Popper. Dikatakan
terhadap empirisme kontemporer yang dianut oleh para pengikut The Received
View.
melainkan juga karena mereka melihat adanya hubungan antara sejarah ilmu
bahwa filsafat ilmu pengetahuan tanpa sejarah ilmu pengetahuan adalah omong
kosong ilmiah belaka. Sebaliknya, sejarah filsafat tanpa sejarah ilmu pengetahuan
adalah buta.69
keadaan bahwa dengan satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Sebab
berdasarkan keyakinan Lakatos, seandainya ada gerak lawan lain yang muncul
dari ranah pengalaman subyek peneliti pasti memproduk suatu teori baru, karena
fakta tanpa kerangka teoretis tidak pernah dapat menjadi relevan secara ilmiah.
Yang terjadi dalam pembaruan suatu ilmu itu sebetulnya merupakan peralihan
dari teori yang satu ke teori yang lain. Atau lebih jelasnya lagi, yang berlangsung
sebetulnya adalah suatu program penelitian. Jika nantinya semua ini menghasilkan
69
Prasetya T.W. op.cit., hlm. 52.
teori yang lebih baik, maka ini bisa dikatakan sebagai program penelitian
membuktikan salah. Kompleksitas itu terdiri atas sejumlah teori ilmiah yang
menurut Popper tidak dapat berlaku sekaligus (yaitu apabila teori yang baru
masuk, maka yang lama dianggap gugur), tetapi justru deretan teori-teori ilmiah
itu yang dimaksud Lakatos dengan program riset (research program) yang dalam
Feyerabend merasa bosan akan segala law and order yang ingin dicapai oleh para
terkekang oleh semua cara kerja yang telah diperincikan dengan teliti itu dengan
hanya berlandaskan pada teori dan hipotesis yang kurang ditopang oleh kenyataan
Dalam Against Method72, Feyerabend mengatakan bahwa para ilmuwan tidak bisa
70
Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 86.
71
Soedjono Dirdjosisworo, op.cit., hlm. 17.
72
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 211.
eksperimen, teknik-teknik matematis, prasangka-prasangka epistemologis dan
Kaitan itu dilukiskan oleh Feyerabend sebagai sebuah perkawinan yang cocok
kejelasan, konfirmasi dan teori perbandingan yang diberikan oleh para filsuf
demi pembaruan suatu ilmu. Bahkan yang kini sama sekali tidak ilmiah, atau
kaku, dengan maksud agar lebih banyak bahan yang bervariasi sifatnya dapat
bahwa ilmu itu adalah suatu aktivitas rasional yang beroperasi hanya berdasarkan
satu atau beberapa metode tertentu. Sebab bagi Feyerabend, ilmu tidak
73
John Losee, Philosophy of Science and Historical Enquiry (Oxford: Clarendon Press,
1974), hlm. 4.
74
Cornelis Anthonie van Peursen, op.cit., hlm. 90.
mempunyai segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya lebih unggul
±c±
'
c
c
c c1c± )
A,? c2±Ô (
Pada zaman Yunani kuno, hubungan antara kesatuan alam semesta yang
Plato) itulah yang benar, sedangkan hasil pengetahuan rasional abstrak Plato itu
adalah mimpi yang tidak berguna. Teori lain (para Sophis) menganggap obyek
akal) merupakan pemikiran dan bayangan yang tidak realistik dari obyek natural.
tentang mulai adanya krisis dalam pemikiran filsafat Yunani. Orang-orang Yunani
merasa jemu terhadap banyak ajaran yang dikemukakan oleh para filsuf pra-
Akibatnya kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan mulai disanggah. Hal
ini jelas membawa pengaruh yang tidak baik bagi kebudayaan Yunani zaman itu.
Nilai-nilai tradisional dalam bidang agama dan moral dirubuhkan serta kecakapan
bersifat menjatuhkan telah menjadikan manusia dan segala hal yang berhubungan
dengan akal budi pengetahuan sebagai pusat perhatian utama. Anehnya, Sokrates
adalah lawan yang terbesar dari kaum Sophis. Hal ini mungkin disebabkan oleh
pengetahuan hidup yang hendak dirongrong dan dirusak oleh kaum Sophis.
mengenai prinsip baik dan buruk atau adil dan tidak adil yang terdapat dalam
berkembang dalam masyarakat memang tidak dapat tahan terhadap kritik. Tetapi
ia juga merasa bahwa nilai-nilai yang ada itu pasti ada yang bergerak menuju
kepada tercapainya suatu norma yang bersifat mutlak, absolut dan abadi. Ia
membela yang benar dan baik sebagai nilai-nilai obyektif yang harus diterima dan
dijunjung tinggi oleh semua manusia. Ia sadar bahwa mengenai satu hal ia lebih
tahu daripada kebanyakan orang, sehingga tanpa ragu-ragu ia pun berujar, ³Saya
tidak tahu apa-apa, tetapi saya juga tidak mengira mengetahui sesuatu´.
75
Martinus Anton Wesel Brouwer dan M.P. Heryadi, Sejarah Filsafat ±arat dan
Sezaman (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 22.
Seauton´ (Kenalilah dirimu) ini menyiratkan bahwa ia mencintai kebijaksanaan
dari nilai kebenaran yang mereka ajukan itu hanya sebatas pengamatan yang
nampak dari bagian permukaan luarnya saja. Padahal menurut Sokrates, kesadaran
akan adanya hakikat yang mutlak itu justru berada dalam jiwa manusia yang
selalu berpikir serta berusaha mencari dan menyelidiki problem mendasar dari
pengaruh yang positif pada kebudayaan Yunani. Aliran Sophis inilah yang pada
gaya bahasa baru yang sangat mempengaruhi para sejarawan dan penulis drama
filsafat dan meletakkan dasar bagi pendidikan untuk para pemuda secara
sistematis. Dan yang paling penting adalah mereka menyiapkan kelahiran suatu
genre pemikiran filsafat baru yang direalisasikan oleh tiga mahaguru filsuf
persoalan. Setiap persoalan digagas atau dirancang dalam satu sistem kehidupan
yang dialogis dan kritis, sehingga peranan akal sehat dan logika diakui sangat
penting.
76
Burhanuddin Salam, Sejarah Filsafat, Ilmu dan Teknologi (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), hlm. 42.
Sejak filsuf Yunani Kuno berusaha meruntuhkan mitos dengan
mengedepankan logos, yang berusaha untuk mencari dasar realitas a( rche) dalam
sebagai suatu respons positif terhadap berbagai usaha yang dilakukan oleh para
pemahaman, bahwa semua realitas yang terjadi dalam fenomena alam semesta ini
dilihat dari segi kehendak Tuhan sebagai prima causa yang menggerakkan dan
peran pada Abad Pertengahan ini adalah dogmatisme gerejani dengan beragam
matematis, abstrak dan teknis, sehingga setiapkali terjalin hubungan dengan akal
sehat, pada saat itu juga terjadi perpecahan. Dogmatisme tersebut telah cukup
masa kebodohan dan kegelapan dalam sejarah dunia filsafat, namun begitu
cirinya yang khas. Kebudayaan modern sendiri tidak dapat melepaskan diri dari
dalam filsafat modern pun tidak mungkin ada dan berkembang tanpa berkiblat
kategori dan analogi yang didasarkan pada ketelitian, obyektivitas dan penguraian
pada empirisme, walaupun para ilmuwan dan filsuf Aristotelian berupaya keras
memberikan cara pandang yang relatif baru bagi perkembangan sains, terutama
77
Listiyono Santoso, ³Sains dan Problematika Ketuhanan Abad Pencerahan (Hampiran
Empirisme Radikal David Hume, 1711-1776)´, dalam Win Usuluddin Bernadien (ed.), þance of
God, Tarian Tuhan (Yogyakarta: Apeiron-Philotés, 2003), hlm. 84.
78
A. Hanafi, Filsafat Skolastik (Jakarta: Pustka Alhusna, 1983), hlm. 82.
dengan teori heliosentrisnya yang menggugurkan paham geosentris tentang pusat
tata surya.
Bruno, misalnya, memahami alam semesta ini sebagai sesuatu yang tidak
terbatas dan tidak menentu serta tidak terhitung jumlahnya dalam ruang dan
menolak ajaran gerakan alami, dan mengajukan prinsip kelambanan, yaitu prinsip
yang menyatakan bahwa sebuah benda cenderung untuk diam atau bergerak di
tempat ia berada, kecuali apabila ia dipengaruhi oleh suatu benda yang terdapat di
perubahan-perubahan kuantitatif.79
Secara historis, Renaissance itu sendiri adalah suatu gerakan yang meliputi
suatu zaman saat manusia merasa diri dan alam pikirannya telah dilahirkan
kembali dalam keadaan bebas dan beradab berdasarkan logika serta otoritas yang
utuh sebagai subyek yang berpikir, yang sempat diberangus oleh dominasi otoritas
gerejani Abad Pertengahan. Manusia kembali kepada sumber yang murni bagi
subyektivitasnya yang menjadi titik acuan pengertian realitas. Subyek bukan saja
diri dan kesadaran penuh terhadap otonomi dan kebebasan alamiahnya untuk
79
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1996), hlm. 269.
80
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat ±arat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm.
11.
menciptakan realitas itu sendiri. Dalam terminologi Hegel (1770-1832)81 manusia
bukan lagi dipahami sebagai substansi, melainkan subyek yang mempunyai pusat
kesadaran kritis untuk selalu membenturkan diri terhadap realitas dan dunia.
dunia realitas, disebabkan ketidakpercayaan pada spirit dan hukum alam. Dalam
Kebenaran Ideal, sementara Kebenaran Ideal itu sendiri juga selalu dalam proses
µmenjadi¶. Perubahan yang dihasilkan dari proses bergerak ke depan dan proses
µmenjadi¶ inilah yang oleh subyek modern itu sendiri dinilai sebagai kemajuan.82
tidak lagi berasal dari Kitab Suci atau dogma Gereja, dan juga bukan berasal dari
kekuasaan feodal, melainkan dari diri manusia sendiri83, yaitu melalui rasio
yang kemudian menjadi arus utama filsafat yang paling dominan dalam
mencapai puncaknya pada abad ke-17 yang dikenal dengan Abad Pencerahan
(Aufklärung). Tradisi khas dari filsafat abad ini terletak pada mainstream
81
Franz von Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
hlm. 60.
82
Yasraf Amir Piliang, Hiper-Realitas Kebudayaan (Yogyakarta: VKíS, 19990), hlm. 17.
83
Nico Syukur Dister, ³Descartes, Hume dan Kant, Tiga Tonggak Filsafat Modern´,
dalam F.X. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 55.
utamanya dalam menempatkan akal atau rasio dan pengalaman manusia sebagai
budaya feodalisme. Jadi filsafat dituntut harus kembali berpatokan pada dua nilai
utama yang dianut dalam masyarakat: hal yang berguna dan kesejahteraan
manusia. Yang ditentang oleh aliran filsafat ini adalah suatu hierarki atas dasar
wahyu Tuhan dan mendukung ideologi dari pluralisme politis dan religius. Hal itu
disebabkan oleh adanya pengertian baru bahwa dengan akal dan metode ilmiah
pengamatan seluas dunia nyata yang selalu menampakkan diri sebagai realitas
berusaha menyangkal pendapat seperti yang sering diutarakan oleh banyak pihak
bahwa Filsafat Pencerahan hanya terdiri dari sekumpulan fakta-fakta kecil yang
Sebab dalam Filsafat Pencerahan itu terdapat dua aras pemikiran penting:
orang menciptakan ilmu nyata (positif) tentang corak jiwa manusia (ilmu jiwa
rasional) dengan mempelajari daya psikis, terutama bahasa. Selain itu, metode
eksperimental dalam ilmu alam dan kimia menjadi metode utama yang sangat
dihargai dan digunakan secara silih berganti serta saling melengkapi satu sama
lain. Dua azas itu memungkinkan kita mengerti bahwa terdapat suatu sejarah akal
pengalaman.84
menginterpretasikan setiap kejadian yang ada secara berbeda atau bahkan baru
sama sekali tanpa memerlukan lagi intervensi tiap kuasa yang datang dari luar
berbagai revolusi ilmiah yang sangat mengagumkan lewat berbagai pemikiran dan
dan pemikir seperti Galileo Galilei, Francis Bacon dan pada abad berikutnya Rene
pengertian filsafat alam mulai memperoleh arti khusus sebagai penelaahan yang
diperkenalkan oleh para pembaharu dari zaman Renaissance dan awal abad ke-
17.86
84
M.A.W. Brouwer dan M.P. Heryadi, op.cit., hlm. 75-77.
85
Sebagaimana dikutip oleh Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 47.
86
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 13.
Perkembangan ilmu pengetahuan dari yang semata-mata bersifat rasional-
kehidupan sehari-hari telah pula mengalami perubahan drastis dengan cara dan
pengertian matematika, setiap kenyataan pasti bersifat kualitatif dan dapat diukur.
Pada sisi lain, penemuan teleskop dari Galileo Galilei semakin memperkuat
halnya bulan. Lewat pengamatan astronomis itu pula, Galileo sampai pada sebuah
percepatan dan jarak yang ditempuh dalam jangka waktu tertentu, sehingga
87
A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, terj. Kees Bertens
(Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 6-7.
88
Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 159.
Apa yang diintrodusir dan diwariskan oleh teori heliosentris ini adalah
babak baru bagi kebenaran logis rasionalisme dan empirisme yang meruntuhkan
kebenaran dogmatisme agama saat itu. Berbagai pendekatan dan juga penemuan
sains oleh para filsuf dan ilmuwan abad ini, seperti Francis Bacon (1561-1626)
evolusinya, dan sebagainya, seolah telah menjadi awal bagi tersingkirnya doktrin
keagamaan.
atas dasar observasi dan hitungan matematis. Alam bagi Galileo merupakan satu-
teologi dalam derajat yang sama. Tragisnya, ahli astronomi dan fisika Italia ini
pada tahun 1633 justru dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Gereja Roma di bawah
heliosentrisme dari Copernicus, seorang pastor yang meninggal pada tahun 1543.
Pendapat dan perjuangan yang telah dirintis oleh Galileo itu kemudian
menjelaskan bahwa alam sebagai mesin besar yang berjalan sesuai dengan hukum
gerakan dan segenap proses yang terjadi di dalamnya ditentukan oleh massa dan
posisi yang dimiliki oleh berbagai partikel materi yang terdapat di dalamnya.
Prinsip mekanika tentang gerak alam ini berimplikasi logis bahwa dunia
diciptakan seperti sebuah mesin dengan hukum mekanikanya, dan Tuhan yang
semula diyakini begitu intim dengan manusia mulai dicurigai sebagai remote
putar. Fenomena ini dalam pandangan Newton tidak mungkin terjadi seandainya
tidak ada kekuatan gravitasi. Dari gejala inilah Newton kemudian memperoleh
kekuatan sentral, yaitu gravitasi. Newton menyatakan bahwa semua benda langit
saling tarik menarik dengan gaya yang berbanding lurus dengan massanya serta
berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Prinsip yang sederhana ini telah
mampu menerangkan berbagai garis orbit yang sangat kompleks bagi berbagai
mengitari matahari karena adanya gaya gravitasi yang keluar dari matahari.89
Sementara itu, jauh sebelum Isaac Newton, Francis Bacon sebagai peletak
yang akan datang dapat diramalkan kejadiannya atas penemuan yang lampau.
Berbagai prinsip ini pulalah yang kemudian mempengaruhi dan dijabarkan oleh
89
Joko Siswanto, Kosmologi Einstein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm. 38.
Newton dengan teori gravitasi universalnya sebagaimana yang telah penulis
uraikan di atas.
pengetahuan yang menggunakan dua arus besar dalam tradisi filsafat, yaitu
macam. Pertama adalah pengetahuan intuitif, artinya akal mesti mengetahui dan
mengakui tentang kebenaran suatu proposisi tertentu tanpa harus mencari dalil
sebab´, ³keseluruhan lebih besar daripada sebagian´, dan ³satu adalah separuh
dua´. Yang kedua adalah pengetahuan informasi dan teoretis. Maksudnya adalah
bahwa akal tidak dapat mempercayai dan menilai kebenaran suatu proposisi,
informasi pengetahuan primer lain, seperti: ³bumi itu bulat´, ³gerak adalah sebab
setiap gagasan manusia adalah pengetahuan rasional yang bersifat pasti dan
90
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 383.
mengandung prinsip nonkontradiksi, sehingga cakupan wilayah pengetahuan
menurut kaum rasionalis berpijak dari proposisi umum menuju ke proposisi yang
lebih khusus, dari yang universal ke yang partikular. Bahwa materi itu memiliki
asal, kita ketahui dari ³bahwa setiap yang berubah pasti memiliki asal´. Jadi
pikiran itu bergerak dari proposisi universal, ³setiap yang berubah pasti memiliki
asal´ ke proposisi partikular ³materi itu memiliki asal´. Akhirnya mesti diingat
bahwa doktrin rasional tidak bersikap masa bodoh terhadap peran eksperimen
rasional yakin bahwa eksperimen saja tidak mungkin menjadi sumber azasi dan
masalah penalaran pikiran yang menurut mereka selalu berangkat dari yang
khusus ke yang umum, yaitu dari batas-batas eksperimen yang sempit ke hukum-
hukum dan prinsip-prinsip yang universal; selalu beranjak dari realitas khusus
doktrin empirisme dalam mencari dalil berpikir bersandar pada metode induksi,
sebab ia merupakan metode yang bergerak dari yang partikular ke yang universal.
Aliran pemikiran ini menolak prinsip logika silogistik yang berpatokan dari yang
umum ke yang khusus, karena dalam pembuktian dan kesimpulan akhirnya
dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai penemuan di bidang sains dan
keagamaan manusia, dan juga tentang hakikat serta peranan Tuhan. Ukuran
kebingungan.
tentang satu substansi yaitu Tuhan yang dapat ditangkap oleh akal atau rasio
manusia, karena dalam dunia tidak ada hal yang bersifat rahasia dan akal manusia
kebenaran yang terpercaya, yang dilanjutkan dan dirubah secara radikal oleh
tabularasa-nya, bahwa pada mulanya rasio harus dianggap as a white paper dan
seluruh isinya berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah (sensation) dan
substansi, sebab yang dialami hanya merupakan kesan saja tentang beberapa ciri
Berbagai cita rasa hasil dari kombinasi penangkapan, pengalaman dan kesadaran
itu adalah suatu perasaan atau naluri-pembawaan yang berada di luar kekuasaan
akal.92
gagasan tentang realitas jika gagasan itu ternyata berbeda dengan konsep-konsep
manusia merupakan masalah yang tidak bisa dijangkau oleh nalar. Oleh karena
itu, lanjut Hume, sebaiknya kita pusatkan saja perhatian kita ke alam luar sesuka
kita, dan biarkan imajinasi kita menjelajah langit-langit atau ujung-ujung alam
semesta. Sebab kita selamanya tidak akan dapat melampaui hal-hal di luar batas
kemampauan rasio kita sendiri. Kita juga mustahil mampu menjawab persoalan
dasar filsafat yang dipertentangkan oleh kaum idealis dan kaum realis. Idealisme
sendiri berpendapat bahwa realitas itu ada dalam kesadaran dan pengetahuan
91
Sutardjo Adisusilo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta:
Kanisius, 1983), hlm. 43.
92
A. Epping, Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie: Eerste, Nederlandse,
Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie (Bandung: Jemmars, 1983), hlm. 244-245.
manusia, sementara kaum realisme menduga bahwa realitas itu ada secara
dianggap abstrak. Apa yang diterima sebagai kebenaran dogma keagamaan, pada
abad ini benar-benar mulai dipertanyakan dan ditinjau kembali. Penemuan sains
dan teknologi pada masyarakat Barat tersebut membawa sinyal otonomi baru
agama dan Tuhan. Kepercayaan diri yang baru terhadap kekuatan alamiah
manusia ini mengandung arti bahwa manusia mulai yakin bahwa mereka mampu
mencapai pencerahan lewat usaha mereka sendiri. Mereka sudah tidak lagi merasa
semua jenis kebenaran, dan sains yang telah ditemukan oleh para ilmuwan
betapa Abad Renaissance yang kemudian dilanjutkan oleh Abad Pencerahan telah
93
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali
(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 90.
94
Karen Amstrong, op.cit., hlm. 384.
95
Ibid., hlm. 386.
ideologis berbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dalam
pakaian yang alim sekalipun. Pada Abad Renaissance, otoritas agama benar-benar
telah ditinggalkan, sementara pada Abad Pencerahan, otoritas agama dan peranan
logis bahwa fenomena dan problem ketuhanan pun harus diletakkan pada domain
verifikasi atas realitas obyektif Tuhan dengan cara yang sama seperti ketika
pemikiran filsafat itu muncul. Feyerabend ingin menolak kedua posisi yang
kritik terhadap empirisme dan positivisme ilmiah. Tetapi ia juga cukup banyak
menyodorkan bukti bahwa rasionalitas itu sendiri bukanlah suatu yang mapan.
itu bulat dan berputar tidak rasional menurut Hipparchus dan Ptolemeus, tetapi
Dalam pandangan Ptolemeus, bumi menjadi pusat dari bulan, matahari dan
lima bintang yang telah dikenal luas pada saat itu (Jupiter, Mars, Mercury,
Saturnus dan Venus) serta semua bintang lainnya di langit. Peredaran bintang-
bintang yang tampak bergerak mundur dari bumi dijelaskan oleh Ptolemeus
dengan teori Epicycle. Dalam teori ini, setiap planet bergerak pada suatu lingkaran
yang titik pusatnya bergerak pada suatu lingkaran lain yang pusatnya juga adalah
termasuk matahari sangat berpengaruh besar sampai pada Abad Pertengahan dan
Masa Pencerahan.
meyakinkan semua orang bahwa sebenarnya mataharilah yang menjadi pusat orbit
bintang-bintang lainnya.
alam. Pertama, tidak ada sentrum bagi seluruh bola-bola langit. Kedua, bumi
sentrumnya. Keempat, jarak antara bumi ke matahari tidak bisa diukur melalui
luas cakrawala ruang angkasa. Kelima, bumi setiap hari mengelilingi porosnya
sendiri. Keenam, gerakan bumi menunjukkan lebih dari satu macam. Ketujuh,
Sehingga tidak heran jika dari berbagai rumusan metode ilmiah yang
96
Joko Siswanto, op.cit., hlm. 11. Baca juga dalam Androngi, Filsafat Alam Semesta
(Semarang: Bintang Pelajar, 1986), hlm. 110.
dewasa ini sebagai peletak dasar dari Ilmu Bintang modern.97 Walaupun di pihak
³secara sah dianggap sesat´ jika dikontradiksikan dengan ajaran Kitab Suci
Tetapi dari hasil diskusi yang membuat heboh itu, akhirnya terungkap
bahwa ilmu bumi benar dan pandangan kitab suci mengenai langit dan masalah
kesalahan pihak Gereja Katolik pada waktu itu adalah mereka memandang kitab
suci sebagai sumber dan pedoman segala ilmu dalam arti sempit dan keras.
Padahal kitab suci adalah suara Tuhan yang mengajak umat manusia menuju
Lalu dari semua itu siapa yang benar? Menurut Feyerabend, itu tergantung
informasi tersebut. Tentu banyak orang dewasa ini tanpa pikir panjang akan
memilih teknologi daripada kehidupan yang harmonis dengan alam. Tetapi bagi
97
The Liang Gie, Vintasan Sejarah Ilmu (Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna,
1998), hlm. 71.
98
Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend: Penggagas Anti-Metode (Jakarta: Teraju,
2003), hlm. 118.
adalah asli, agung, bersifat universal, terlepas dari subyektivitas, konteks dan
Feyerabend membuktikan bahwa tidak ada teori yang mengandung cacat, tidak
ada teori yang sepenuhnya konsisten dengan fakta, tidak ada rasionalitas yang
tidak terkait dengan konteks. Atas dasar itu, sangat dipahami apabila Feyerabend
pengetahuan tidak diperlukan metode atau paradigma umum, yang berlaku dan
sebuah pandangan yang meyakini bahwa nilai dan kebenaran ditentukan oleh
pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap individu atau masyarakat, yang di
mengandung arti kebenaran relatif. Artinya, tidak ada hal yang benar secara
99
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna
(Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 235.
absolut; dan sebaliknya tidak ada hal yang salah secara absolut, semuanya
semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa suatu teori tidak penah dapat bersifat
lapisan-lapisan baru dari kenyataan atau struktur realitas, memaksa kita untuk
a-historis yang merupakan pedoman untuk menilai suatu teori lebih baik daripada
teori lainnya. Apa yang dianggap paling akurat atau lebih baik mengenai teori-
teori ilmiah akan berbeda-beda dari individu atau mayarakat yang satu dengan
yang lainnya. Sebab tujuan mencari pengetahuan akan tergantung pada apa yang
penting bagi, atau apa yang dihargai oleh, seorang atau suatu masyarakat tertentu.
pada tujuan penguasaan materiil atas kekayaan alam, tetapi hal itu akan
memperoleh status yang rendah dalam satu kultur dimana pengetahuan justru
ucapan Kuhn, ³tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan
atau faedah suatu teori akan selalu relatif bagi individu atau masyarakat yang
menginterpretasikannya. Bagi seorang relativis, kriteria untuk menilai faedah
teori-teori akan tergantung dari nilai-nilai atau kepentingan yang dianut oleh suatu
individu atau masyarakat. Jadi contohnya, teori tentang pasang surut air laut
berdasarkan pada gaya tarik bulan adalah ilmu yang berguna bagi kaum
Newtonian, tetapi bagi Galileo dipandang sudah mirip dengan mistik ghaib;
sementara itu dalam masyarakat masa kini, teori Marx tentang perubahan historis
yang dipandang sebagai ilmu yang baik, oleh sementara kalangan dianggap
propaganda belaka.100
Menurut Feyerabend, tidak ada gagasan, baik yang kuno maupun yang
meningkatkan setiap teori. Begitu pula tidak ada interferensi (campur tangan)
politis yang ditolak. Ini boleh jadi dibutuhkan untuk menghilangkan chauvinisme
sains yang menolak pemikiran lain, selain mempertahankan satus quo. Hal
secara dinamis dan drastis, dengan terlebih dahulu diawali oleh introduksi suatu
100
A.F. Chalmers, Apa itu yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian Tentang Watak dan
Status Ilmu serta Metodenya (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), hlm. 107-108.
101
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of
Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 33.
perangkat konsep atau pola pengetahuan baru yang sebelumnya tidak ada,
walaupun dalam proses penemuannya bukan merupakan hasil yang lahir dari
untuk melihat sejarah dari obyek yang diteliti) sehingga segala hal harus
sistem atau paradigma baru sebagai titik tolak, dengan pengujian ulang terhadap
diterima oleh masyarakat ilmiah sebagai suatu pertanda terjadinya perubahan yang
cukup siginifikan untuk disebut evolusi atau bahkan suatu revolusi yang mampu
historis seperti yang dapat kita amati dalam penemuan Newton, Darwin, Einstein
kebenaran ilmiah itu tidak dapat semata-mata didasarkan atas konsep keilmuan
(ilmu berasal dan berkembang karena keseluruhan konteks, baik rasional ataupun
empiris) saja, tetapi juga merupakan suatu sistem terbuka yang dipengaruhi oleh
102
Martinus Anton Wesel Brouwer, Psikologi Fenomenologis, Frans M. Parera
(penyunting), (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 83.
kondisi lingkungan kehidupan manusiawi dengan seluruh aspek pembangunan
masyarakat spiritual maupun material ataupun dalam kaitan dengan konteks ilmu
itu sendiri.
ide baru, dan kemudian berkembang menjadi suatu pemahaman baru yang
sebelumnya tidak ada ataupun tidak diharapkan akan ada; suatu tindakan kreatif
yang bersumber dari suatu inovasi, bertolak dari masukan ilmu yang sudah ada
sebagai batu loncatan bagi penemuan dan perubahan konseptual yang signifikan.
pengembangan ilmu yang disajikan melalui berbagai kekuatan yang datang dari
dan dialog mengenai makna dari segenap pengalaman hidup melalui dinamika
perkembangan ilmu.103
Dalam kaitan ini, Thomas Kuhn juga menunjukkan bahwa bahkan dalam
terdapat pula faktor-faktor lain. Dalam pemilihan sebuah teori baru misalnya,
yang terlibat bukan sekedar rasio yang analitis, verbal dan matematis, melainkan
juga cita rasa estetis, nilai-nilai moral dan juga ikatan-ikatan sosial kelompok
yang tidak dapat dibuktikan dan diungkapkan secara eksplisit sebagai dasar bagi
103
Conny R. Semiawan, et.al., þimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu (Bandung:
Rosdakarya, 1998), hlm. 76 dan 80.
simbolis, implisit serta tidak terukur secara matematis dan empiris, tetapi menjadi
faktor yang bekerja dalam proses penemuan teori atau paradigma baru dan
Selaras dengan apa yang dikemukakan Kuhn tersebut, dalam salah satu
pada umumnya dan masyarakat ilmiah pada khususnya dewasa ini, menurut
umumnya dan pengetahuan ilmiah pada khususnya sebagai tujuan; dan tujuan itu
dapat dicapai dengan syarat bahwa fakta yang diteliti, metode yang dipakai untuk
Premis dasar ini merupakan cikal bakal kekeliruan tesis positivisme yang
tidak hanya terletak pada sikapnya yang menolak cita rasa estetis dan nilai-nilai
dapat dibangun di atas dasar-dasar yang berakar pada cita rasa estetis, nilai-nilai
104
Michael Polanyi, Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan, terj. Michael Dua (Jakarta:
Gramedia, 1996), hlm. ix-x.
105
Jika Polanyi berbicara tentang cita rasa estetis, nilai-nilai moral dan ikatan-ikatan
sosial, maka yang dimaksud disini bukan prinsip-prinsip moral universal dan abstrak dalam
pengertian Kant, melainkan kebiasaan atau tradisi suatu masyarakat.
moral dan ikatan-ikatan sosial itu. Situasi semacam ini oleh Polanyi disebut
dengan inversi atau pemutarbalikan estetis dan moral, suatu kondisi di mana cita
rasa estetis dan moralitas menjadi dasar tersembunyi bagi kegiatan-kegiatan yang
jelas-jelas tidak manusiawi. Padahal cita rasa estetis dan moral merupakan sesuatu
yang sensitif dalam diri kehidupan manusia dan yang menuntut manusia untuk
Tetapi jika cita-cita itu diganti dengan tujuan-tujuan yang sekuler semata-mata,
Selain itu, kekeliruan mendasar dari positivisme yang juga ditentang keras
oleh Feyerabend dapat kita telaah dari sudut pandang epistemologi sebagai suatu
pengetahuan merupakan masalah penting, dan oleh karena itu usaha mencari
faktor-faktor yang dapat membuahkan pengetahuan baru lebih penting dari usaha
manusia, maka dalam pandangan Polanyi jenis pengetahuan ini justru dilihat
106
Michael Polanyi, op.cit., hlm. xi.
personal ke dalam kesatuan pemahaman sebagai suatu aktivitas inteligensi
keseluruhan realitas itu sendiri hanya bisa dicapai melalui proses integrasi
Hal ini perlu ditegaskan kembali oleh karena adanya kenyataan bahwa
sejak awal pendekatan mekanis Galileo terhadap alam, fisika klasik cenderung
diterima tanpa sikap kritis terhadap kategori-kategori umum yang dimuat dalam
Baru setelah terjadi pergantian abad ke-20, kemudian ahli fisika sudah
oleh adanya tiga hal penting, yaitu perubahan pemikiran manusia, kemajuan
teknologi dan lahirnya metode-metode ilmiah baru. Indikasinya, dalam abad ke-
pengetahaun, yakni: (1) Teori relativitas Einstein; (2) Teori kuantum dari Plank;
107
James B. Conant, Apakah Ilmu Pengetahuan Itu?, dalam C.A. Qadir (penyunting),
Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, terj. Bosco Carvalho, et.al., (Jakarta: Yayasan Obo r Indonesia,
1995), hlm. 41.
108
Burhanuddin Salam, op.cit., hlm. 265.
Lebih lanjut, imbas dari berbagai inovasi pemikiran modern tersebut
menyebabkan dunia fisika dewasa ini mengalami apa yang disebut ³krisis
sederhana dan dapat diketahui secara obyektif dengan observasi dan eksperimen
Secara filosofis, implikasi dari modifikasi teori fisika terutama dalam hal
pandangannya tentang ilmu pengetahuan. Paling tidak kondisi itu dipicu oleh
beberapa kejadian yang terdapat dalam dunia ilmu fisika seiring dengan
elektron dalam waktu yang bersamaan. Prinsip ini beranggapan bahwa dalam
keadaan yang lumrah, hukum fisika tidak akan mampu menjangkau realitas
mempunyai status yang tidak jelas. Yang lazim diketahui sampai saat ini hanyalah
pendapat umum bahwa cahaya itu disebarkan dalam bentuk gelombang. Dan
mengenai kenyataan bahwa atom hanya ada dalam bentuk-bentuk energi.109 Pada
tahun 1900, Plank mengemukakan teori kuantum yang menyatakan bahwa tenaga
dari sinar yang dipancarkan ataupun diserap terdiri atas kelipatan-kelipatan bulat
dari suatu takaran tertentu. Dalam hemat Planck, cahaya dapat dilihat sebagai term
partikel atau sebagai gelombang (term of waves). Namun tidak ada interpretasi
yang secara konsisten dapat digunakan pada keseluruhan situasi dengan selalu
metodologi-metodologi yang telah ada sudah tidak sejalan atau tidak cocok lagi
memberi sumbangsih kepada kemajuan fisika, maka ia tidak perlu terlebih dahulu
109
Kenneth T. Gallagher, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), P. Hardono Hadi
(penyunting), (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 174-175.
110
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 12.
Mengingat begitu kompleksnya kenyataan yang berkembang pesat serta
juga terkait dengan masa depan yang tidak dapat diramalkan secara pasti dalam
metodologi dapat mendikte seorang ilmuwan. Misalnya dalam situasi tertentu kita
harus menerima teori A, menolak teori B, atau lebih menyukai teori A daripada
dukungan induktif dari fakta-fakta yang diterima umum´ dan ³tolaklah teori yang
tidak sesuai dengan fakta-fakta yang sudah diterima umum´, tidaklah relevan
dengan episode pengembangan ilmu itu sendiri yang dianggap sebagai fase yang
Dalam pengertian inilah istilah ³apa saja boleh´ itu berlaku. Prinsip apa
saja boleh (anything goes) secara harfiah berarti membiarkan segala sesuatu
atau hukum yang telah baku. Prinsip ini tidak dimaksudkan sebagai metode baru,
melainkan hanya sekedar upaya agar para ilmuwan yang sudah terbiasa bekerja
semua metode yang paling jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan satu-
satunya hukum yang akan hidup terus dan dapat bertahan di tengah semua situasi
111
Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl
Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja
Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 57.
Sebab nyatanya, gagasan mengenai adanya keteraturan metode atau
rasionalitas teori ternyata banyak sekali menyisakan pandangan yang naif tentang
manusia dan keadaan sosialnya. Untuk itu barangsiapa yang melihat kekayaan
obyektivitas, kebenaran saja, sehingga menjadi jelas bahwa tidak ada satu pun
prinsip yang dapat dipertahankan dalam semua keadaan seperti itu ataupun dalam
semua tingkat perkembangan manusia. Inilah prinsip: apa saja boleh. Hal tersebut
Prinsip apa saja boleh ini juga sangat sesuai dengan pokok pikiran
Feyerabend lainnya, yakni tentang kebebasan individu yang akan kami paparkan
hukum dan metode yang telah disepakati bersama. Menurut prinsip ini juga, setiap
orang secara bebas dapat mengikuti pilihan pradigma dan aturan teori serta boleh
112
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 18-19.
ide kritis. Dalam pengertian ini, seorang ilmuwan perlu keberanian untuk
kebebasan yang liar, dan bukan pula kecenderungan sesaat yang tidak berarti
sedikitpun. Dengan begitu, prinsip apa saja boleh bukanlah berarti bahwa apa saja
Salah satu komponen penting lain dari analisa Feyerabend tentang ilmu
pengetahuan adalah pandangannya bahwa ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur
dengan standar yang sama. Konsepsi Feyerabend ini berasal dari apa yang disebut
maklumi, bahwa ada dua asumsi penting dalam pandangan induktivisme tentang
kokoh bagi ilmu pengetahuan.113 Mereka percaya bahwa: (1) Seorang pengamat
sedikit banyak dapat menangkap langsung beberapa sifat dari dunia eksternal
yang diobservasi; (2) Dua orang pengamat yang mempunyai indera yang normal
akan melihat obyek atau gejala-gejala dari tempat yang sama, niscaya akan
Inilah yang disanggah Feyerabend dengan alasan bahwa apa yang dilihat
113
A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 22.
114
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 107.
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman di masa lalunya, pengetahuan dan
teori sehingga tidak dapat dijadikan dasar yang obyektif bagi penilaian tentang
teori berdasarkan hasil pengamatan itu tidak dapat saling diukur satu sama lain.115
observasi yang digunakan akan tergantung pada konteks dimana makna dan
istilah yang kita pakai tergantung pada konteks teori yang digunakan. Letusan
gunung berapi bagi seorang ahli geologi, dapat dijelaskan sebagai gangguan di
bawah tanah, tetapi bagi warga suku primitif, letusan gunung berapi mungkin
dalam teori ilmu pengetahuan. Prinsip ketidakterbandingkan antara satu teori atau
Maksudnya, bahwa dalam satu penelitian ilmiah dapat melibatkan pendapat dan
Jika seseorang tertarik dengan penelitian empiris dan ingin mengerti teori
dalam berbagai aspek, maka ia harus memahami dan mengadopsi metode yang
pluralistik. Ia harus dapat membandingkan antara satu teori dengan teori yang lain
berdasarkan hasil pengamatan serta kumpulan data dan fakta yang diperolehnya.
115
John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth Edition
(New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 187.
Ia harus mencoba pula untuk memperbaiki daripada membuang pandangan-
compare theories with other theories rather than with µexperience¶, µdata¶, or
µfacts¶, and he will try to improve rather than discard the views that appear to
yang diobservasi. Ini artinya Kuhn juga mengakui ketergantungan observasi pada
teori. Dalam penjabarannya, setiap paradigma akan memandang dunia ini secara
berlainan, sebab setiap paradigma itu memang memiliki asumsi dan standar yang
konsep dasar dari teori yang satu dengan standar teori yang lain, sebab kedua teori
seperti itu, maka jelas tidak mungkin saling membandingkan ataupun mereduksi
beberapa konsekuensi teori-teori rival itu secara logis, sebab dua teori rival itu
tidak akan bisa saling diukur dengan standar yang sama pula.
116
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 33.
Hal ini tepat sekali jika dihubungkan dengan keyakinan Kuhn dan
Feyerabend bahwa teori-teori itu memang tidak memiliki tolok ukur yang sama
antara yang satu dengan yang lainnya. Itulah maksud dari penyangkalan
sebagaimana yang dikemukakan oleh T.S. dan P.K. Feyerabend bahwa dua
pengertian teori itu tidak bisa saling diukur dan diperbandingkan satu sama lain.
³Which refutes the contention of T.S. Kuhn and P.K. Feyerabend that two concept
pengetahuan itu tidak dapat saling diukur dengan beberapa teori yang lain secara
bersamaan, dalam arti bahwa memang tidak ada hal yang patut untuk dibanding-
bandingkan. (..., both of whom argued that successive scientific theories are often
incommensurable with each other in the sense that there is no neutral way of
Feyerabend adalah mekanika kuantum dan mekanika klasik, teori penggerak dan
mekanika Newtonian, materialisme di satu pihak dan dualisme antara badan dan
akal di pihak yang lain. Salah satu contoh Feyerabend tentang ilmu-ilmu yang
tidak bisa saling diukur tersebut adalah mengenai hubungan antara mekanika
merupakan obyek-obyek fisik yang mempunyai bentuk, massa dan volume. Sifat-
117
Mario Augusto Bunge, Philosophy of Science, Volume One: From Problem to Theory,
Revised Edition (New York: Transaction Publishers, 1998), hlm. 78.
118
James Ladyman, Understanding Philosophy of Science (London: Routledge, 2002),
hlm. 115.
sifat itu eksis dalam obyek-obyek fisik dan dapat dirubah akibat adanya campur
tangan fisik. Sedangkan dalam teori relativitasi , sifat-sifat seperti bentuk, massa
dan volume tidak eksis lagi, tetapi menjadi relasi-relasi antar obyek-obyek. Ia
menjadi kerangka referensi dan bisa dirubah tanpa interaksi fisik apapun.
akan mempunyai makna berbeda dari keterangan observasi serupa dalam teori
relativitas.119
Adanya kenyataan bahwa sepasang teori rival tidak bisa saling diukur,
tidak lantas berarti bahwa teori-teori tersebut tidak bisa diperbandingkan dengan
cara apapun. Salah satu cara untuk memperbandingkan sepasang teori adalah
diobservasi, lalu kita catat seberapa jauh derajat masing-masing teori itu sejalan
tersebut linear atau non-linear, koheren atau inkohern, dan lain sebagainya.
tidak bisa saling diukur itu, terpaksa akan membawa kita ke suatu aspek subyektif
dalam personalitas kita juga. Secara tegas Feyerabend menjelaskan bahwa setelah
i
Teori relativitas atau dikenal juga dengan teori Einstein adalah teori tentang realitas
fisik yang menggambarkan fenomena alam secara kuantitatif. Teori relativitas terdiri dari dua
bagian, yaitu teori relativitas khusus yang diciptakan Einstein pada tahun 1905 dan teori relativitas
umum yang dimunculkan Einstein pada tahun 1916. Isi pokok teori tersebut menyangkut ide-ide
fundamental yang dipakai untuk menjelaskan alam, yakni ide-ide tentang ruang, waktu, massa,
gerak dan gravitasi. Lihat Joko Siswanto, op.cit., hlm. 27.
119
A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 146.
kita menyingkirkan kemungkinan pembandingan teori-teori secara logis untuk
dilakukan oleh seorang ilmuwan tentang dunia fisik yang diamati itu tidak bisa
terlepas dari kondisi sosiologis, intervensi pribadi maupun interest psikologis dari
subyek yang memberikan isi terhadap obyek pengamatan itu. Dari sekian
permasalahan itu sudah cukup kiranya kita jadikan dasar penolakan pandangan
Feyerabend menunjukkan bahwa tidak ada satu metode pun yang dianggap lebih
baik dari bentuk metode yang lain.121 Feyerabend mengkritik keras pandangan
120
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 285.
121
Paul Karl Feyerabend, ³How to Defend Society Against Science´, dalam Ian Hacking
(ed.), Scientific Revolutions (New York: Oxford University Press, 1981), hlm. 156ff.
ilmuwan dan masyarakat yang mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan
individu dalam masyarakat industri diperbudak oleh sistem produksi dan selalu
hanya untuk menghabiskan hasil produksi yang melimpahruah saja. Dan setiap
individu, kecuali kaum buruh, dituntut harus menyesuaikan diri dengan keadaan
ini sebab ia bukan merupakan kelas yang revolusioner, tetapi mereka hanya kelas
yang demikian itu, harapan untuk mengadakan perubahan hanya terletak pada
mahasiswa.122
filsafat hanya berfungsi menyesuaikan diri dengan sistem lama yang telah ada.
Marcuse.
122
Endang Daruni Asdi dan A. Husnan Aksa, Filsuf-filsuf þunia dalam Gambar
(Yogyakarta: Karya Kencana, 1981), hlm. 166.
Kegagalan dari program kaum positivis selama ini adalah bahwa
perbedaan budaya, yang secara tiba-tiba goyah oleh dunia ilmu pengetahuan dan
mengenai realitas tunggal alam semesta pun telah beralih menjadi kekaburan
tidak dapat dijinakkan lewat pemikiran kaku tentang kebenaran obyektif sebab ia
of such notion´.123
pengetahuan lain. Bahkan menurutnya tidak lebih unggul dari mitos, magi atau
123
Paul Karl Feyerabend, Farewell to Reason (New York: Verso, 1987), hlm. 9.
voodoo. Baginya sains bukanlah satu-satunya tradisi terbaik yang ada, kecuali
menyatakan bahwa kebenaran itu terkait dengan tradisi dan bersifat relatif.
tidak relevan lagi dengan keaadan yang ada dan kenyataan yang berkembang
dewasa ini. Ilmu pengetahuan dalam penilaian Feyerabend telah mengambil alih
ilmu dengan Kitab Suci secara harmonis. Tetapi Thomas Hobbes dan para
berpendapat bahwa segala kejadian itu ditentukan oleh gerakan dan bentuk dari
pancaindera itu sama sekali subyektif. Pandangan inilah yang diterapkan secara
menilai ilmu lebih unggul dan lebih berbobot atas bentuk-bentuk pengetahuan
pengetahuan yang lain. Karena alasan itu pulalah, kemudian Feyerabend tidak
menerima keharusan superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain. Lebih
lanjut, dari segi tesisnya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur, ia
menolak ide bahwa akan bisa lahir suatu argumen yang menentukan dan
menguntungkan ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lain yang tidak bisa diukur.
menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai agama baru, terutama dalam
memilih agama secara bebas, bahkan bebas untuk memilih tidak beragama, tetapi
mereka dilarang mempelajari semua yang dianggap tidak ilmiah (mitos, voodoo).
Semua ini dirasa tidak wajar tetapi tetap saja terjadi, karena para ilmuwan dan
ilmu pengetahuan dengan negara sebagaimana agama dipisahkan dari negara pada
yang prinsipil antara ilmu pengetahuan dan mitos dan voodoo.124 Jadi kalau saja
kata mitos diartikan untuk menunjukkan gejala dan peristiwa alam atau manusia
seperti yang terjadi dalam tradisi dahulu kala, dan tetap saja dilestarikan dengan
cara-cara yang sama oleh orang-orang yang masih rendah tingkat peradabannya,
maka sesungguhnya tidak ada perbedaan antara mitos dan logos (teori ilmiah).
124
Akhyar Yusuf Lubis, op.cit., hlm. 127-128.
kebutuhan-kebutuhan yang dipertahankan oleh masyarakat. Ia berkata, ³...that
science is just another ideology, along with magic and astrology, against which
Dengan demikian, catatan penting yang dapat kita ambil dari salah satu
gagasan pokok Feyerabend ini adalah bahwa tidak ada universalitas sebuah teori
yang secara mutlak lebih unggul kebenarannya dari teori yang lain. Sebab, sejarah
, ? !!7
tunggal atau hanya dengan menerapkan satu metode yang dianggap mapan.
125
Paul Karl Feyerabend, ³How to Defend Society Against Science´, hlm. 156ff.
metodologis. Ia menyatakan bahwa setiap orang harus mengikuti kecenderungan
sebenarnya hanya merupakan uraian lanjutan dari apa yang disebut oleh John
individu menuju kehidupan yang lebih maju dan produktif. Dalam perspektif
diatur oleh segala macam aturan dan sistem hukum yang berlaku, sebab pada
dasarnya kegiatan ilmiah atau ilmu pengetahuan itu memang merupakan upaya
yang anarkistik.
pengetahuan memiliki kedudukan dan kuasa mutlak yang sama dengan otoritas
agama pada masa Abad Pertengahan. Artinya ilmu pengetahuan tidak lagi
berkesimpulan bahwa pelembagaan ilmu dalam masyarakat kita dewasa ini sudah
dianggap tidak konsisten lagi dengan sikap kemanusiaan itu sendiri. Padahal
sombong, bebal, dangkal, tidak sempurna dan tidak jujur. Ia mengatakan, ³...there
memilih agama yang mereka kehendaki, tetapi tetap saja warga masyarakat tidak
diperkenankan untuk mempelajari ilmu sihir dan voodoo. Dalam pengertian ini,
jelas tidak ada pemisahan antara negara dan ilmu. Ia berujar, ³thus, while an
American can now choose the religion he likes, he is still not permitted to demand
that his children learn magic rather than science at school. There is a separation
between state and church, there is no separation between state and sciencé.127
Dan bagi Feyerabend, tidak ada cara lain yang dapat ditempuh dalam dilema ini
monotafsir ilmu yang secara ideologis telah dimonopoli oleh institusi negara.
126
Paul Karl Feyerabend, Farewell to Reason (New York: Verso, 1987), hlm. 25.
127
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of
Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 299.
hak kebebasan untuk memilih tanpa adanya unsur pemaksaan ideologi tertentu
eksplorasi tentang ³apa saja boleh´ dan berbagai problem teori-teori keilmuan
diskursus ilmu pengetahuan modern dan postmodern yang sudah mulai banyak
diperdebatkan.
dapat didedikasikan bagi masa depan umat manusia adalah bahwa ia masih
terhadap segala bentuk penyempitan ideologis. Salah satu peran penting filsafat
filsafat ilmu pengetahuan Feyerabend itu bisa membimbing kaum cerdik pandai
untuk berpikir mandiri, mendalam, kritis dan berani. Filsafat Feyerabend dapat
128
A.F. Chalmers, op.cit., hlm. 152.
pula mencegah meluasnya kantong-kantong kosong pemikiran filosofis yang lolos
ilmu-ilmu empiris yang dalam opini budaya modern ini seolah-olah hanya ilmu-
dan obyektif, filsafat Feyerabend dapat dijadikan alat untuk mendeteksi setiap
tradisi dan filsafat Indonesia asli secara lebih terbuka, kritis dan kreatif.
±c±8
c c
c
c
c c1c± )
,?
c
Aliran ini didasarkan pada ajaran bahwa masyarakat yang ideal itu dapat mengatur
sendiri dengan cara yang disenangi demi pemenuhan kebutuhan dan ideal-ideal
mereka. Dalam pengertian ini anarkisme tidak bisa disamakan dengan Nihilisme,
129
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 9-10.
tetapi lebih serupa dengan libertarianisme politik dan antinomianismei . Konotasi
hukum atau peraturan apapun dan secara aktif melibatkan diri dalam promosi
sebagai sebuah paham kebebasan bertindak tanpa mau diikat oleh undang-undang;
i
Antinomian (bhs. Yunani, anti, melawan, nomos, hukum) 1. seseorang yang
menginginkan kebebasan dari aneka peraturan dan hukum dalam masyarakat. Seseorang yang
ingin hidup di luar masyarakat dalam keadaan alami atau hidup dalam masyarakat dengan ikatan
seminimal mungkin oleh norma-norma sosial. (Penganut antinomi, sebgai lawan dari kaum aktivis
atau anarkis, umumnya tidak langsung terlibat dalam usaha penghapusan hukum-hukum dan
struktur politik suatu masyarakat. 2. dalam teologi, (a) seseorang yang percaya bahwa hanya
keimanan, bukan hukum moral, yang diperlukan bagi keselamatan. (b) dalam pengertian teologis
yang lebih ekstrem, seseorang yang memandang rendah hukum dan batasan-batasan sosial serta
meletakkan di atas segalanya soal keimanan dan pengetahuan tertentu yang menjanjikan
keselamatan. Lihat dalam Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995), hlm. 17.
130
Ibid., hlm. 13.
131
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,
1994), hlm. 30.
used to denote a state of social chaos, but it is obvious that the word can be
used in this sense only by one who denies the validity of anarchism.132
negara menurut pendapat mereka adalah musuh terbesar manusia yang jika
yang wajar. Jadi ia termasuk kebiasaan kuno dari budaya Barat yang bersumber
dari konsep filosofis yang telah melekat dan mengakar secara baik dalam sifat
kuno yang terdapat dalam pemikiran Jean Jacques Rousseau. Dalam pengertian
kekacauan sosial dalam suatu negara, bahkan kata ini juga dipakai oleh seseorang
yang tetap untuk memisahkan atau membedakan antara sampah dengan teori yang
dapat diamati.133
132
Dagobert D. Runes (ed.), þictionary of Philosophy (Littlefield Adams & Co., Totowa:
New Jersey, 1971), hlm. 11-12.
133
Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm. 9.
Disamping itu juga terdapat beberapa pandangan filsuf tentang definisi
anarkisme, diantaranya:
1.? Sebagai doktrin politis dan filosofis, istilah ini baru beredar pada abad
sikap individualisme.
menggantikan negara.
5.? Mikhail Bakunin, penulis dan aktivis politik Rusia, menganut doktrin
religius.
Sedangkan dalam analisa Feyerabend sendiri, term anarkisme itu tidak lain
perlawanan yang jelas terhadap semua sistem dan struktur elit tersebut.
A Dadais is convinced that a worthile life will arise only when we start
taking things lightly and when we remove from our speech the profound
but already putrid meanings it has accumulated over the centuries...I hope
that having read the pamphlet the reader will remember me as flippant
Dadais and not as a serious anarchist.135
134
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 48-49.
135
W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul
Ltd., 1981), hlm. 146-147.
(Seorang Dadais percaya bahwa hidup yang berguna itu hanya dapat
dibangun apabila kita mulai melakukan sesuatu yang gampang dan berhenti dari
omong besar kecuali jika kita ingin pengertian-pengertian itu menjadi busuk
dadaisi seperti yang dijelaskan oleh Hans Richter dalam bukunya þada: Art and
only had no programme, it was against all programmes¶. This does not exclude
bukan hanya tidak punya program, tetapi anti-program. Ia pembela status quo,
tetapi juga anti status quo. Hal itu ditempuh untuk memberikan kebebasan bagi
tidak adanya ukuran atau aturan yang tetap dan pasti untuk menentukan antara
i
Istilah dadais muncul dari dunia seni di Perancis dan Jerman setelah Perang Dunia I
sekitar tahun 1916-1922. þadaisme berarti suatu gerakan protes dari dunia seni yang ditujukan
bukan hanya terhadap seni yang sudah mapan, melainkan akhirnya juga menjadi gerakan protes
terhadap segala bentuk kemapanan.
136
Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of
Knowledge (London: New Left Books, 1975), hlm. 23.
Dalam posisi seperti itu, anarkisme juga tidak bisa disebut skeptisisme.
Jika skeptisisme berpendapat bahwa suatu pandangan bisa benar dan bisa salah
atau bahkan bisa juga tidak ada penilaian berarti baginya, maka tidak demikian
halnya dengan anarkisme epistemologis. Seorang anarkis di bidang ini tidak segan
bahkan tidak malu untuk mempertahankan pandangan yang dianggap sudah basi
alternatif hukum. Dari perspektif ini, ilmu pengetahuan secara hakiki merupakan
bahwa sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya berisi fakta-fakta dan kesimpulan-
bahwa para ilmuwan hanya meninjau fakta ilmu pengetahuan dari dimensi ide
belaka, sehingga tidak heran andaikata sejarah dan ide-ide ilmu pengetahuan yang
berkembang itu kemudian menjadi pelik, rancu dan penuh dengan kesalahan
kemajuan dengan memilih salah satu pemikiran yang kita minati secara lebih
rasional, jelas dan bebas. Pungkasan ide anarkisme Feyerabend yang secara
esensial perlu kita gali maknanya dalam realitas keseharian kita adalah
,? c!
tentang anarkisme di atas sebenarnya adalah suatu kritik terhadap perjalanan dan
Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang
kaitan antar keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
dan dipahami oleh para kaum positivis dengan melakukan penyingkapan dan
yang selama ini telah dikembangkannya. Dan kritik yang kedua dinamakannya
dengan anti-ilmu pengetahuan (Against Science) yang secara lebih mendalam lagi
138
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 18.
1)? Anti-Metode (Against Method)
oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal,
memiliki resistensi terhadap kritik yang tahan sepanjang masa serta dapat pula
membawahi fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend, klaim itu tidak realistis
dan jahat. Tidak realistis, karena kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil
Lagi pula, gagasan itu merusak ilmu pengetahuan dan menghambat laju
menunjukkan bukti bahwa sejarah ilmu pengetahuan itu selalu dipenuhi dengan
menganggap ilmu berada di atas segala aspek budaya lain sehingga menyebabkan
sendiri.
kritiknya tersebut adalah dengan mengajukan suatu prosedur yang diberi nama
139
Prasetya T.W., op.cit., hlm. 55.
kritik dari luar yang sangat diperlukan demi kemajuan ilmu pengetahuan, karena
sulitnya otokritik yang berasal dari dalam tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri.
dengan peraturan yang lain, tetapi tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa
semua metode yang sudah jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan cara
irasionalitas dari beberapa aturan yang mungkin dianggap sebagai hal yang paling
My intention is not to replace one set of general ruler by another such set:
my intention is, rather, to convince the reader that all methodolgies, even
the most obvious ones, have their limits. The best way to show this is to
demonstrate the limits and even the irrationality of some rules which she,
or he, is likely to regard as basic.140
induksi sebagai satu-satunya metode yang dianggap valid ataupun juga dengan
kaum induktivisme naif yang berpendapat bahwa batang tubuh ilmu pengetahuan
ilmiah dibangun di atas prinsip induksi yang dasarnya cukup kuat. Ketika
ditemukan sejumlah fakta observasi dan eksperimen yang sesuai dengan teori,
maka teori atau hukum diperkuat atau dikorborasi. Prinsip induksi berupaya
mencari fakta yang mendukung dan menghindari fakta yang tidak sesuai dengan
teori.
tidak menghendaki adanya fakta yang konsisten dengan teori. Melalui kontra-
140
Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 23.
induksi, Feyerabend mengusulkan counterrule, yaitu memberikan hipotesis yang
tidak konsisten dengan teori yang mapan atau dengan fakta yang bahkan tidak
sesuai atau tidak terukur sekalipun. Jadi, kontra-induksi yang dikemukakan oleh
pembelaan khusus, karena tidak ada satu pun teori yang menarik dan sesuai
dengan semua fakta yang selalu dapat diketahui dalam bidang domainnya secara
pasti dan meyakinkan. Oleh karena itu, pertanyaan pokoknya bukan apakah teori-
teori yang kontra-induktif ini harus diakui dalam ilmu pengetahuan atau tidak,
tetapi apakah kesenjangan yang ada antara teori dengan fakta harus diperbesar
atau diperkecil? Atau apa yang harus kita lakukan dalam menjawab persoalan ini?
dunia nyata yang diamati. Dan untuk itu semua, Feyerabend kemudian merancang
melakukan kritik terhadap fakta untuk memutuskan rantai dan konsep yang sudah
mapan. Kedua, mengacaukan prinsip-prinsip teoretis yang paling masuk akal, dan
persepsi yang ada. Semua itu merupakan langkah yang disebut oleh Feyerabend
sebagai kontra-induksi. Itu sebabnya kontra-induksi selalu masuk akal dan selalu
mempunyai kemungkinan untuk berhasil (counterinduction is, therefore, always
saja boleh (anything goes) yang telah penulis terangkan dalam bab sebelumnya.
Jadi dalam dalam kaitan ini kami hanya akan membahas tentang prinsip
kehidupan dan kerangka institusional yang tunggal. Ini berarti bahwa prinsip
pemikiran Feyerabend yang pada prinsipnya bertujuan untuk mencapai tiga hal
utama: (1) memberikan model abstrak tentang kritik terhadap ilmu pengetahuan;
nantinya terbentuk suatu basis bagi kritisisme dan reformasi ilmu pengetahuan.142
berbagai teori, terutama teori yang bertentangan dengan satu teori yang telah
ones´.143
teori-teori yang tidak cocok dengan pandangan yang sudah lazim diterima.
penemuan alternatif baru, tetapi juga membuka peluang bagi tampilnya kembali
ilmu pengetahuan itu tidak dapat diperoleh dengan hanya mengikuti teori tunggal,
beraneka ragam dan berbeda satu sama lain berkembang secara bebas.
yang seringkali mengaburkan maksud dan tujuan utamanya. Dengan sikap ini,
Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap
143
W.H. Newton-Smith, op.cit., hlm. 131.
lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti
karena adanya propaganda dari para ilmuwan dan institusi terkait yang diberi
hakikat dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sehingga ilmu pengetahuan yang
dianggap paling benar itu telah menguasai sistem kebenaran dunia ilmiah, dan
Semboyan extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada
keselamatan) yang lebih dari satu abad lalu ada dalam tradisi gereja, diadopsi oleh
para ilmuwan dengan mengatakan extra scientiam nulla salus (di luar ilmu
pengetahuan tidak ada kebenaran).144 Walaupun dewasa ini tidak ada lagi orang
yang dihukum mati dengan dakwaan subversif atau ³sesat´ terhadap rumus-rumus
sanksi sosial yang justru lebih berat daripada batas-batas toleransi yang ada dalam
sejatinya ingin menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan salah satu
gagasan terbuka dan plural dari sekian banyak pilihan ideologi yang ada dalam
pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka. Maka tidak
144
Prasetya T.W., op.cit., hlm. 58.
yang paling unggul dan bahkan paling menentukan kehidupan masyarakat. Karena
masalahnya terletak pada muatan ideologis dari komunitas para ilmuwan dan
situasi inilah yang dikatakan oleh Richard Rorty bahwa epistemology is dead, atau
kita saat ini adalah bahwa kita perlu mengembangkan pola pikir²dalam bahasa
filsuf John Henry Newman²illative sense, yaitu bagian intelektual manusia yang
manusia mengambil sikap terhadap obyek tersebut. Mungkin illative sense ini
beragam persepsi, penafsiran dan perbedaan pendapat itu tidak lantas membuat
,?
apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur dengan
saja boleh yang diusungnya adalah bahwa tidak ada keteraturan metode
sendiri.
ubahnya seperti sihir, mitos, magi, voodoo, dan tidak ubahnya juga
budaya ilmiah alternatif oleh para ilmuwan dan institusi terkait lain
semisal negara itu menurut keyakinan Feyerabend mesti dilawan
±,? '
1.? Sebagai sebuah pemantik dan pengenalan awal dari wacana filsafat
sistematis, serta tidak memiliki standar aturan yang dinilai baku untuk
menentukan antara yang ilmiah dan yang non-ilmiah. Untuk itu, maka
prinsip apa saja boleh (anything goes), ilmu tidak bisa saling diukur
sketsa pemikiran saja, sebab masih banyak padanan ide dan ragam
penafsiran lain yang bisa dielaborasi secara tajam dan mendalam dari
Bahkan yang lebih parah lagi, batas-batas yang kita paksakan atas
rumpun teori ilmu pengetahuan, tentu akan membuat kita tidak pernah
merasa benar sendiri serta tidak mudah merasa puas dengan segala
pengetahuan yang telah kita peroleh. Sebab studi filsafat sebagai pilar
3.? Di samping itu juga, perlu kecermatan dan ketelitian dalam menelaah
peran dan fungsi teoretis ilmu pengetahuan yang telah dirintis oleh para
bahwa ada aspek relativitas teori ilmu pengetahuan yang selalu terbatas
bentuk atau bidang pengetahuan lain. Maka saran akhir yang bisa
dan terpilah-pilah.
)cc
cc
Asdi, Endang Daruni dan A. Husnan Aksa. Filsuf-filsuf þunia dalam Gambar.
Yogyakarta: Karya Kencana, 1981.
Ash-Shadr, Muhammad Baqir. Falsafatuna. terj. Muhammad Nur Mufid bin Ali.
Bandung: Mizan, 1998.
Brouwer, Martinus Anton Wesel dan M.P. Heryadi. Sejarah Filsafat ±arat dan
Sezaman. Bandung: Alumni, 1986.
Epping, A., Th. C. Stockum dan Juntak S.F., Filsafat Ensie: Eerste, Nederlandse,
Systematisch, Ingerichte, Encyclopaedie. Bandung: Jemmars, 1983.
Gie, The Liang. Vintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna,
1998.
Hanafi, A., Ikhtisar Sejarah Filsafat ±arat. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981.
Laer, Henry van. Filsafat Sains ±agian Pertama: Ilmu Pengetahuan Secara
Umum. Yudian W. Asmin (ed.). Yogyakarta: Pusat Penterjemah dan
Penulis Muslim Indonesia, 1995.
Melsen, A.G.M. van. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita. terj. Kees
Bertens. Jakarta: Gramedia, 1992.
__________. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Gadjah Mada
University Press, 1996.
Popper, Karl Raimund. The Vogic of Scientific þiscovery. New York: Harper &
Row Pub., 1968.
Polanyi, Michael. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan. terj. Michael Dua.
Jakarta: Gramedia, 1996.
Smith, W.H. Newton. The Rationality of Science. Boston: Routledge & Keagan
Paul Ltd., 1981.
Smith, Huston. Kebenaran Yang Terlupakan: Kritik atas Sains dan Modernitas.
terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: IRCiSoD, 2001.
Sutrisno, F.X. Mudji dan F. Budi Hardiman (ed.). Para Filsuf Penentu Gerak
Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Semiawan, Conny R., et.al., þimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung:
Rosdakarya, 1998.
Tim Redaksi Driyarkara (penyunting). Hakikat Ilmu dan Cara Kerja Ilmu-ilmu.
Jakarta: Gramedia, 1993.