You are on page 1of 11

HISAB DAN RUKYAT DALAM PENENTUAN TANGGAL

1 RAMADHAN DAN SYAWAL

Abu Nabila

I. Hisab dan Ru’yatul Hilal


Secara harfiyah Hisab bermakna 'perhitungan'. Di dunia Islam istilah 'hisab' sering
digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan
terhadap bumi. Pentingnya penentuan posisi matahari karena umat Islam untuk ibadah
shalatnya menggunakan posisi matahari sebagai patokannya. Sedangkan penentuan posisi
bulan adalah untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan
baru dalam Kalender Hijriyah. Karena penentuan dimulainya sebuah hari/tanggal pada
Kalender Hijriyah berbeda dengan pada Kalender Masehi, yaitu dimulai ketika
terbenamnya matahari di tempat tersebut. Sedangkan pada sistem Kalender Masehi, sebuah
hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat.
Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat orang mulai
berpuasa, awal Syawal saat orang mangakhiri puasa dan merayakan Idul Fithri, serta awal
Dzul-Hijjah saat orang akan wukuf haji di Arafah (9 Dzul-Hijjah) dan ber-Idul Adha (10
Dzul-Hijjah). Dalam al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah Subhana wa
Ta’la memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan
perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari
dan bulan beredar menurut perhitungan (Hisab).

‫و‬ ِ ّ ‫ل ال‬
َ ُ‫ذي ه‬ َ َ‫جع‬
َ ‫س‬
َ ‫م‬ ّ ‫ضَياءً ال‬
ْ ‫ش‬ ِ ‫ل َوَقّدَرهُ ا ُنوَراْلَقَمَر اَو‬
َ ‫ِلَتْعَلُموا َمَناِز‬
‫عَدَد‬
َ ‫ن‬ َ ‫سِني‬
ّ ‫ب ال‬َ ‫سا‬َ‫ح‬ِ ‫َواْل‬
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-
Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).[QS. 10:5]

ٍ ‫سَبا‬
‫ن‬ ْ‫ح‬
ُ ‫س َواْلَقَمُر ِب‬
ُ ‫شْم‬
ّ ‫ال‬
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.[QS. 55:5]
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda
astronomis (khususnya matahari dan bulan) maka umat Islam sudah sejak awal mula
muncul peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadapa ilmu astronomi (disebut ilmu
falak). Salah satu astronom Muslim ternama yang telah mengembangkan metode Hisab
modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Kwarizmi, Al Batani, dan
Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi yang
jauh lebih tinggi dan akurat. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah
ada. Hisab seringkali digunakan oleh ulama yang mendukung hisab dan ru’yat sebelum
melakukan ru’yat (pengamatan). Salah satu output hisab adalah penentuan kapan waktu
ijtimak yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang, atau
disebut pula konjungsi geosentris, yakni peristiwa dimana Matahari dan Bulan berada
di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtima’ (dari Bulan Baru ke
Bulan Baru berikutnya) terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode
sinodik. Pada saat sekitar ijtimak, Bulan sulit terlihat dari bumi, karena permukaan bulan

Halaman 1 dari 11
yang nampak dari Bumi tidak mendapatkan sinar matahari, sehingga dikenal istilah Bulan
Baru. Pada petang pertama kali setelah ijtimak, Bulan terbenam sesaat sesudah
terbenamnya matahari.
Aktivitas ru’yat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali
setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam
sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib)
waktu setempat telah memasuki tanggal 1. Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat
terlihat. Menurut pakar hisab, “Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya
matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena
iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit"
sekitarnya. Sehingga, kebanyakan pakar hisab menggunakan beberapa kriteria, yaitu:
a. Kriteria Danjon (1932, 1936) yang menyebutkan bahwa Hilal dapat terlihat
tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-
Matahari sebesar 8 derajat.

Kedudukan Hilal, menurut Kriteria Danjon

b. Kriteria Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum
Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari
terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan
sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian
(altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh
Muhammadiyah dan PERSIS dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan
Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000
PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi
menggunakan metode Imkanur-rukyat.
c. Kriteria Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama
Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan
dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi
Pemerintah, dengan prinsip: Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
1) Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas
cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari
minimum 3°, atau
2) Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak
ijtimak.
Menurut pakar hisab, saat ini ru’yat juga dapat dilakukan dengan menggunakan
peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Camera Imaging. Sedangkan
Halaman 2 dari 11
pakar astronomi dari LIPI Farid Ruskanda memperkenalkan dua cara yang bisa digunakan
untuk menentukan awal bulan yang diyakini bisa menjembatani Hisab dan Ru’yat, dengan
memanfaatkan teknologi gelombang Radar dan gelombang Radio yang mampu
menembus awan dan cuaca buruk. Dengan menggunakan analisis gelombang Radar dan
gelombang Radion ini, pakar hisab mampu mengetahui terlihatnya hilal, tanpa harus
menggenapkan bulan sya’ban atau bulan Ramadhan menjadi 30 hari lagi.
Tentu saja, menurut pendapat saya, Hisab telah menyalahi hadist nabi shalallaahu
alaihi wa salam, yaitu [1]:

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu anhu, Ia berkata: Saya dengar Rasululláh


shalallaahu alaihi wa salam. bersabda : “Apabila kamu lihat-dia, maka bershaumlah; dan
apabila kamu lihat-dia maka berbukalah ;tetapi jika dimendungkan atas kamu,
qadarkanlah baginya”.[ Muttafaq ‘alaih]

Karena, makna ( ‫ْواَلُه ْقُدُر َفا‬


) berarti ( ‫لِثْينَفَاْكِمُلواْالِعّد َۃ‬
) yaitu: َ ‫َث‬
“Sempurnakanlah bilangan tiga-puluh hari”, bukan “Lakukanlah Hisab terhadapnya”.
Sebagaimana Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu anhu, Ia berkata: Saya dengar Rasululláh


shalallaahu alaihi wa salam. bersabda : “Apabila kamu lihat-dia, maka bershaumlah; dan
apabila kamu lihat-dia maka berbukalah; tetapi jika dimendungkan atas kamu, maka
sempurnakanlah bilangan tiga-puluh hari”. [HR. Bukhari]

II. Ru’yatul Hilal Dan Pendapat Syara’


Ru’yat secara bahasa adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni
penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtima’. Ru’yat
secara bahasa dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti
teleskop. Akan tetapi, secara syara’, ru’yat hanya dapat dilakukan dengan mata telanjang
saja berdasarkan pendapat syara’ yang rajih (kuat).
Perbedaan pendapat adalah suatu yang niscaya ditengah-tengah kaum Muslimin,
sepanjang, perbedaan tersebut hanya berkaitan permasalahan furu’iyyah bukan ushulliyah.
Perkara-perkara yang wajib untuk diimani dengan pembenaran yang pasti (tashdiqul jazm),
dan perkara-perkara syaria’t yang memiliki nash dengan penunjukan (dilalah) yang qoth’I,
tidak boleh terjadi perbedaan pendapat. Sehingga apabila menyelisihi (atau mengingkari)
sedikit saja perkara-perkara ushuliyyah tersebut maka seseorang bisa jatuh pada kekufuran.
Tetapi pada perkara-perkara aqidah atau syariat yang hanya memiliki nash yang tidak
qoth’I baik dari segi periwayatan, atau penunjukan, atau kedua-duanya, maka perbedaan
dalam hal ini tidaklah jatuh kepada kekufuran. Akan tetapi kaum muslimin tetap wajib
membenarkan nash-nash yang tidak qoth’I tersebut dengan dugaan yang kuat (ghalabatul
dzan), dan mencari pendapat yang terkuat (rajih) dengan menggunakan kaidah-kaidah
kekuatan dalil (Quwwatud-Dalil) [1] yang berkaitan permasalahan furu’iyyah ini.

Halaman 3 dari 11
Shaum Ramadhan, adalah kewajiban bagi kaum muslimin (terkecuali bagi yang telah
dikecualikan oleh nash, seperti: orang yang sakit berat, musafir, wanita hamil dan
menyusui, orang tua yang lemah, wanita haid dan nifas) yang dinyatakan secara qathi’
sebagaimana yang dinyatakan di dalam QS. 2:185

‫ب عََلى‬ َ
َ ِ ‫ما ك ُت‬
َ َ‫م ك‬
ُ ‫صَيا‬ ُ ُ ‫ب ع َل َي ْك‬
ّ ‫م ال‬ َ ِ ‫مُنوا ك ُت‬ َ ‫نآ‬ َ ‫ذي‬ِ ّ ‫َيا أي َّها ال‬
‫ن‬َ ‫م ت َت ُّقو‬ ْ ُ ‫م ل َعَل ّك‬
ْ ُ ‫ن قَب ْل ِك‬
ْ ‫م‬ ِ ‫ن‬َ ‫ذي‬ ِ ّ ‫ال‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.[QS. 2:185]
Pada saat melaksanakan Shaum, kaum Muslimin dilarang berbuka di siang hari pada
bulan Ramadhan tanpa uzur dengan sengaja, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadist:

َ ‫ضا‬
‫ن‬ َ ‫ن َرَم‬
ْ ‫طَر َيْوًما ِم‬
َ ‫ن َأْف‬
ْ ‫ل َم‬
ُ ‫صَها ا‬ َ ‫خ‬ّ ‫صٍة َر‬َ ‫خ‬ْ ‫غْيِر ُر‬
َ ‫ي‬ْ ‫ِف‬
ِ ‫عْذٍر َلْم َيْق‬
‫ض‬ ُ ‫ي ِرَواَيٍة‬
ْ ‫صَياَم الّدْهِر َوِف‬
ِ ‫عْنُه‬
َ
“Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa rukhshoh (keringanan) yang Allah
jadikan sebagai rukhsoh dalam satu riwayat tanpa udzur maka dia tidak mampu
menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa”.
[Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no.2540, Ahmad
2/386, 442, 458, 470, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 1/296-297 no.273-275 dan
1/361 no.367, Abu Daud no.2396, Tirmidzy no.723, Ibnu Majah no.1672, An-Nasa`i dalam
Al-Kubra 2/244-245 no.3278-3283, Ad-Darimy dalam Sunannya no.1713-1715, Ibnu
Khuzaimah 3/238 no.1987, Ad-Daruquthny 2/211 no.29 dan dalam ‘Ilalnya 8269-274, Al-
Baihaqy 4/228 dan dalam Syu’abul Iman 3/318, Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 3/157,
Al-Khotib dalam Tarikhnya 8/462 dan Ibnu Hajar dalam Taghliq At-Ta’liq 3/170 – Dikutip
dari tulisan salah seorang Ulama yang melemahkannya sebagaimana juga yang
dikemukakan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albâni rahimahullaahu di dalam ‘Ringkasan
Shahih Bukhari’, karena : Imam Bukhari di dalam shohih-nya meriwayatkannya secara
Mua’laq (tidak disebutkan sanadnya) dan dianggap ada perawi yang majhul (tidak
dikenal)]
Akan tetapi bagi mereka yang lupa hingga mencampuri istrinya, maka Allah Subhana wa
Ta’la mewajibkan atasnya kafaarat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadist [2]:

Dari Abi Hurairah radhiyallaahu anhu. Ia berkata : Telah datang seorang kepada
Nabi shalallaahu alaihi wa salam, lalu berkata : “Saya telah binasa, yá Rasólulláh
shalallaahu alaihi wa salam!”. Sabda-nya: “Apa yang membinasakan-mu ?” Ia jawáb:
Halaman 4 dari 11
“Saya telah setubuhi isteri saya di dalam Ramadhan”. Maka sabdanya: “Apakah mampu
engkau merdekakan seorang hamba ?” Ia jawáb: “Tidak!”. Sabdanya: “Kuatkah engkau
shaum dua bulan berturut-turut ?”. Jawábnya : “Tidak!” Sabdanya : “Mampukah engkau
memberi makan enam puluh miskin?”. Ia jawáb : “Tidak!”. Kemudian ia duduk, lantas
ada orang bawakan kepada NabI shalallaahu alaihi wa salam satu wadah yang berisi
kurma. Maka sabdanya : “Shadaqahkan-lah ini”. Maka ia berkata: “Apakah kepada
orang yang lebih miskin daripada kami? Karena tidak ada di antara dua batu hitamnya,
penduduk rumah yang lebih perlu kepadanya daripada kami”. Lalu Nabi shalallaahu
alaihi wa salam tertawa hingga kelihatan gigi-gigi siungnya, kemudian Nabi shalallaahu
alaihi wa salam bersabda : “Pergilah dan berilah makan dia ahlimu!”. Diriwáyatkan-dia
oleh “Tujuh” (Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam
Tarmudzi, Imam Nasa’I, Imam Ibnu Majah) tetapi lafazh dari Imam Muslim.
Kaum muslimin juga diperintahkan untuk segera berbuka ketika memasuki bulan
Syawal, karena berpuasa pada kedua hari raya Ied’ tersebut diharamkan oleh Rasulullah
shalallaahu alaihi wa salam. Sebagaimana yang dinyatakan pada hadist [2]:

Dari Abi Sa’id al-Khudri, bahwasanya Rasululláh shalallaahu alaihi wa salam


melarang puasa di dua hari. Hari (raya) Fithri dan hari (raya) Adhá. [Muttafaq ‘alaih]
Apabila kita lihat kondisi kaum muslimin pada saat ini, pada saat Khilafah tidak lagi
berdiri untuk menaungi mereka dalam satu kepemimpinan dan satu sistem negara, kaum
muslimin seringkali mengalami masa perbedaan di setiap saat menentukan kapan jatuhnya
tanggal 1 Ramadhan, tanggal 1 Syawal, dan 9 dzulhizah. Padahal, akibat dari perbedaan
ini, berimplikasi terjadinya perbuatan dosa yang dilakukan berjama’ah bagi kelompok-
kelompok Islam yang mengambil pendapat yang lemah (marjuh). Sehingga perbedaan ini,
bukanlah perbedaan yang mendatangkan rahmat, tetapi perbedaan yang mendatangkan
kerusakan atau mafsadat yang besar.
Saya berpendapat, bahwa perbedaan ini bukanlah perkara yang termasuk Ushulliyah,
tetapi bukan berarti kaum muslimin membiarkan dirinya begitu saja mengambil pendapat
yang lemah (marjuh). Buah dari perbedaan pendapat dikalangan Imam Mujtahid ini diikuti
pula oleh Muqallid. Para Imam mujtahid ketika keliru berijtihad akan mendapat 1 pahala,
sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadist:

Bila seorang hakim mengupayakan hukum (dengan jujur) dan keputusannya benar,
maka dia akan memperoleh dua pahala. Tetapi bila keputusannya salah maka dia akan
memperoleh satu pahala. [Muttafaq ‘alaih]
Syaikh Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullaahu mengatakan di dalam kitab Al-
Ushul min 'Ilmil Ushul [3]:“Seorang mujtahid harus mengerahkan kesungguhannya dalam
mencari yang benar, kemudian menghukumi dengan apa yang nampak baginya, jika ia
benar maka ia akan mendapat 2 ganjaran; ganjaran atas ijtihadnya dan ganjaran atas
mendapatkan yang benar, karena dalam mendapatkan kebenaran berarti ia telah
menampakkan yang benar dan mengamalkannya”.

Halaman 5 dari 11
Akan tetapi, hal ini belum tentu berlaku bagi Muqallid yang mengikuti pendapat dari
Imam mujtahid yang keliru atau lemah, dengan anggapan tetap mendapat satu pahala
ketika pendapat yang diikutinya ternyata keliru atau lemah. Karena hadist riwayat Imam
Bukhari diatas, hanya menyebutkan bentuk “Kemurahan” dari Allah Subhana wa Ta’la
diberikan kepada Hakim atau Mujtahid, bukan kepada Muqallid. Karena itu, bagi para
Muqallid, baik Muqallid Am atau Muqallid Muttabi’ seperti kebanyakan kaum Muslimin
dan diri kita saat ini, harus banyak belajar dan menuntut Ilmu, supaya Allah Subhana wa
Ta’la Berkenan Memaafkan ketidaktahuan kita, dan “ketidak-ingintahuan” diri kita tentang
Pendapat hukum syara’ yang terkuat, aammiieen.
Sangat sering, perbedaan pendapat ini difasilitasi oleh penguasa-penguasa muslim
melalui sidang Itsbat atau sejenisnya, tetapi dipersatukan hanya khusus pada wilayah
kekuasaan mereka. Mereka, hanya memandang pentingnya persatuan secara nasional pada
saat penentuan kapan berpuasa atau berbuka, tanpa mempertimbangkan bahwa pendapat
yang dikemukakan adalah pendapat yang rajih (kuat) atau marjuh (lemah), apalagi
mempertimbangkan pentingnya persatuan kaum Muslimin se-dunia pada saat menunaikan
perintah Allah Subhana wa Ta’la ini. Hal inilah sebagai akibat kerusakan yang ditimbulkan
oleh adanya sekat-sekat nasional pada negeri-negeri muslim, tersebar ide-ide pemikiran
kufur Nasionalisme, dan tegaknya sistem pemerintahan yang tidak berlandaskan Islam.
Padahal, secara sharih (jelas) Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam memerintahkan kita
untuk melaksanakan shaum dengan standar ru’yatul hilal al-alamiyyah (melihat bulan
secara global - ini istilah saya)

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat
hilal. Lalu apabila mendung menghalangi kalian, maka sempurnakanlah hitungan syaban
sampai tiga puluh hari”. [Mutaffaq ‘alaih]
Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah rahimahullaahu, didalam kitab Mafahim
Islamiyyah mengatakan [4]: “Hadits-hadits Nabi tersebut sangat jelas maksudnya bahwa
sesungguhnya sebab syar’i bagi puasa Romadhon adalah melihat hilal (ru’yatul hilal,
bukan hisab) Romadhon, dan sebab syar’i bagi ‘idul fithri adalah melihat hilal bulan
syawal. Tidak ada perbedaan antara orang Syam dan orang Yaman, dan antara orang
Iran dan orang Maroko. Kaum muslimin adalah satu umat. Seruan Allah (asy-Syâr’i)
kepada kaum muslimin pada zaman Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam di Madinah
adalah seruan bagi semua muslim pada han itu di setiap tempat. Karena sesungguhnya
lafadz-Iafadz hadits di atas datang dengan bentuk umum. Kata “Melihat bulan” (
‫ ) ْٔوَيِتِه‬adalah
‫ُر‬ isim jenis yang dimudhofkan (Mudhof ilaihi) yang menunjukkan makna
umum. begitu pula dhomir pada dua kata “Berpuasalah kalian dan berbukalah kalian” (
‫طُروا‬
ِ ْ‫صوُمواَوأف‬ ُ ) menunjukkan kepada umumnya kaum muslimin. Maka seruan (khithob)
Syâri’ itu menjadi umum mencakup semua orang Islam dimana saja berada”.
Apa yang Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah rahimahullaahu sampaikan
tersebut juga diperkuat dengan hadist dari Ibnu Umar radhiyallaahu anhu sendiri [2]:

Dari Ibnu Umar radhiyallaahu anhu, Ia berkata :“Orang-orang memperhatikan


tanggal satu, lalu saya khabarkan kepada Nabi shalallaahu alaihi wa salam. bahwa saya
telah melihatnya, maka Beliau shaum dan menyuruh orang-orang shaum.”[Diriwáyatkan-
dia oleh Abu Dáwud dan dishahihkan oleh Hákim dan Ibnu Hibbán]
Halaman 6 dari 11
Nabi shalallaahu alaihi wa salam mengajarkan kepada kita untuk melakukan
aktivitas ru’yat disetiap penentuan tanggal 1 Ramadhan, dan tanggal 1 Syawal. Beliau
shalallaahu alaihi wa salam menanyakan kepada shahabat yang telah melihatnya,
kemudian ketika shabat tersebut mengaku telah melihatnya, maka Beliau shalallaahu
alaihi wa salam memerintahkan untuk mengumumkannya kepada semua kaum muslimin
dan memerintahkan mereka untuk bershaum. Hal ini berarti, apa yang dilihat oleh salah
seorang shahabat (yang kesemuanya berkriteria adil) adalah mengikat seluruh kaum
muslimin. Pada saat ini, metode pengumuman bisa dilakukan dengan washilah apa saja,
baik dengan SMS, Telpon, atau Internet, yang mampu menjangkau tempat yang sangat
jauh. Hal ini berarti, bahwa hasil ru’yatul hilal yang diperoleh salah seorang muslim yang
adil disuatu wilayah, bisa diumumkan kepada kaum muslimin di wilayah yang berjauhan.
Sehingga perintah untuk melaksanakan shaum juga mengikat bagi kaum muslimin di suatu
wilayah yang mendapatkan berita ru’yatul hilal tersebut pada saat sebelum sebelum fajar.
Karena saat sebelum fajar inilah saat untuk menentukan niat bershaum Ramadhan
sebagaimana yang disebutkan di dalam hadist [2]:

Dari Hafshah Ummul-Mu’minin radhiyallaahu anha, bahwasanya Nabi shalallaahu


alaihi wa salam telah bersabda:“Barangsiapa sebelum fajar tidak menetapkan (niat)
shaum, maka tidak (sah) shaum baginya”.[Diriwáyatkan-dia oleh “Lima” (Imam Ahmad,
Imam Ibnu Majah, Imam At-tarmudzi, Imam Nasa’i, Imam Abu Dawud), tetapi Tirmidzi
dan Nasa’i condong kepada mentarjihkan kemauqufannya, tetapi hadist tersebut dishahkan-
Sebagai hadist marfu’ oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbán]
Dikalangan ulama yang mengikuti metode ru’yatul hilal, terbagi menjadi 2 pendapat,
yaitu ada yang mengikuti Mathla’ lokal, dan mathla’ global. Memang benar, bahwa Imam
Muslim meriwayatkan hadist dari Kuraib radhiyallaahu anhu [1]:
Diriwayatkan dari Kuraib bahwa Ummul Fadl radhiyallaahu anha
telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah radhiyallaahu anhu di
Syam. Kuraib radhiyallaahu anhu berkata, “Aku memasuki Syam lalu
menyelesaikan urusan Ummul Fadl radhiyallaahu anha. Ternyata bulan
Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal
(bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota
Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibn ‘Abbas radhiyallaahu anhu lalu
bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan
kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam
Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab
lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa,
begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah)
melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami
menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami
melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada
ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab)
demikianlah Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam telah memerintahkan
kepada kami’.[HR. Muslim no. 1087, at-Tirmidzi no. 647 dan Abû Dâwud
no. 1021. Riwayat Abû Dâwud dan at-Tirmidzi di-shahih-kan oleh Syaikh
Nashiruddin al-Albâni rahimahullaahu dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi
1/213]

Halaman 7 dari 11
Sedangkan, terdapat hadist lainnya yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
radhiyallaahu anhu, yang berbunyi:

Dari Ibnu ‘Abbás radhiyallaahu anhu bahwasanya seorang ‘Arab desa datang
kepada Nabi shalallaahu alaihi wa salam, lalu ia berkata: “Sesungguhnya saya melihat
hilal”. Sabdanya : “Apakah engkau mengaku bahwasanya tidak ada Tuhan (yang
sebenarnya) melainkan Allah ?“. Ia jawáb : “Yá”. Sabdanya: “Apakah engkau mengaku
bahwasanya Muhammad itu pesuruh Allah ?“. Ia jawab : “Yá”. Sabdanya : “Maka
berilah tahu kepada manusia, Yá BiIáI! supaya mereka shaum besok”.[Diriwayatkan-dia
oleh “Lima” (Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, Imam At-tarmudzi, Imam Nasa’i, Imam
Abu Dawud) dan dishahih-kan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbán, tetapi Nasa’i men-
tarjihkan kemursalannya].
Saya berusaha untuk melakukan Thoriqatul jam’i (menyatukan 2 dalil yang terlihat
berlawanan) pada hadist riwayat Kuraib radhiyallaahu anhu dengan hadist riwayat Ibnu
Abbas radhiyallaahu anhu tersebut sebelum menggunakan metode tarjih sebagaimana
pandangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullaahu:
“Jika mampu beramal dengan keduanya, maka hal itu lebih utama karena beramal
dengan kedua dalil lebih utama daripada melalaikan salah satu dari keduanya. (Hukum)
asal pada suatu dalil adalah melaksanakannya, bukan melalaikannya.” [6]
Jika hadits riwayat ibnu Abbas radhiyallaahu anhu adalah dalil yang bersifat umum
karena sejalan maknanya dengan hadist Mutaffaq ‘alaih dan riwayat Ibnu umar
radhiyallaahu anhu sebelumnya, maka hadits riwayat Kuraib radhiyallaahu anhu yang
adalah dalil yang mengkhususkan dalil riwayat ibnu Abbas radhiyallaahu anhu tersebut.
Dengan menggunakan 2 kaidah ushul fiqh [1]:
• Sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada keumumannya, selama tidak ada
dalil yang mengkhususkannya
• Wajib membawa umum menuju khusus bila ditemukan dalil yang lebih khusus
Jika menggunakan Thoriqatul jam’i untuk menjelaskan kedua hadist tersebut, maka
penjelasannya adalah sebagai berikut:
Dalam menentukan kapan waktu pelaksanaan shaum, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma, diperlukan 2 aktivitas utama,
yaitu: aktivitas ru’yatul-hilal oleh seorang yang adil; dan aktivitas mengabarkan hasil
ru’yatul-hilal tersebut. Jadi, kewajiban ru’yatul-hilal ini tidak dilakukan oleh seluruh
shahabat, cukup fardhu kifayah dimana kaum muslimin lainnya akan mendapatkan
pengabaran dari Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam melalui Bilal radhiyallaahu anhu.
Aktivitas pengabaran perihal hilal ini juga dilakukan oleh Kuraib radhiyallaahu anhu
dengan memberitahukan posisi Hilal melalui ru’yat yang dilakukannya, dan puasanya
Muawiyyah radhiyallaahu anhu di negeri Syam, kepada Ibnu Abbas radhiyallaahu anhu.
Antara daerah kota Medinah dan Syam adalah daerah yang cukup jauh, jaraknya
melebihi perjalanan sehari dengan menggunakan kendaraan kuda tercepat pada waktu itu.
Daerah yang berjauhan ini, meniscayakan adanya kesulitan dalam hal waktu yang
diperlukan untuk penyampaian berita yang benar mengenai terlihatnya hilal. Sebab, apabila
Halaman 8 dari 11
perjalanan yang dilakukan melebihi ½ hari (kira-kira 8 – 12 jam), maka daerah yang akan
dituju, akan mengalami keterlambatan untuk memulai shaum. Misal, di daerah syam
terlihat hilal pada saat menjelang maghrib (setelah waktu ijtima’), kemudian segera
setelah magrib dan jama’ taqdim Isya, diutuslah seorang shahabat ke Medinah. Apabila
sampai di Medinah sebelum fajar, maka ada waktu untuk memulai shaum di Medinah.
Tetapi apabila sampai di Medinah jam 7 pagi, maka shaum yang dilaksanakan pasti
terlambat satu hari. Sebagai usaha mencegah keterlambatan menunggu berita dari Syam
tersebut agar dapat melaksanakan shaum tepat pada waktunya, Shahabat di kota Medinah,
atas perintah Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam juga harus melakukan ru’yatul hilal
sendiri tidak bergantung dengan khabar ru’yatul hilal yang disampaikan oleh Kuraib
radhiyallaahu anhu.
Permasalahan yang muncul dari penjelasan ini, adalah bagaimana penjelasan
mengenai sikap Ibnu Abbas radhiyallaahu anhu ketika mendapatkan khabar bahwa
ru’yatul hilal ternyata berhasil dilakukan shahabat dari luar kota Medinah. Apakah Ibnu
Abbas radhiyallaahu anhu akan menerimanya?? Atau menolaknya?? Lalu bagaimana nash
dari Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam??
Ibnu Abbas radhiyallaahu anhu menjawab: ‘Tidak, (sebab) demikianlah
Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam telah memerintahkan kepada kami’.
Pernyataan tersebut menyatakan bahwa Ibnu Abbas radhiyallaahu anhu dan
para shahabat lainnya di kota medinah melaksanakan ibadah shaum yang selisih sehari
daripada pelaksanaan shaum Muawiyah radhiyallaahu anhu dan para shahabat lainnya di
daerah Syam, seolah-olah (dalam pandangan Ibnu Abbas radhiyallaahu anhu)
Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam tetap memerintahkan shaum berdasarkan ru’yatul
hilal di Medinah saja. Padahal, terdapat hadist marfu’ dari Rasulullah
shalallaahu alaihi wa salam, yang disampaikan oleh Ibnu Abbas radhiyallaahu anhu
sendiri yang menyatakan bahwa Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam menerima
khabar hasil ru’yatul hilal yang dilakukan shahabat dari luar Medinah.
ّ ‫ن اعرابّياجاءالى الّنب‬
‫ي‬ ّ ‫عن ابن عّبا س ا‬
(seorang arab desa kepada datang Nabi Shalallaahu wa salam ...)
Pernyataan hadist yang disampaikan oleh Kuraib radhiyallaahu anhu ini, dikomentari
oleh Syaikh Muhammad Ramadhan al-Muhtasib [1] sebagai berikut:
“Sebenarnya dalil yang mereka gunakan adalah ijtihad Ibn ‘Abbas
radhiyallaahu anhu, bukan hadits yang diriwayatkan secara marfu’.
Walaupun hadits itu secara lafadziyyah seakan-akan menunjukkan
marfu’, yakni perkataan Ibn ‘Abbas radhiyallaahu anhu, “Tidak, (sebab)
demikianlah Rasulullah shalallaahu alaihi wa salam telah memerintahkan
kepada kami”, namun bila kita bandingkan riwayat-riwayat lain yang
juga diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas radhiyallaahu anhu sendiri, maka
terlihatlah bahwa perkataan Ibn ‘Abbas radhiyallaahu anhu itu adalah hasil
ijtihad beliau sendiri. Ibn ‘Abbas radhiyallaahu anhu sendiri banyak
meriwayatkan hadits marfu’ yang bertentangan dengan hadits riwayat
dari Kuraib radhiyallaahu anhu di atas”.
Hadist yang menyampaikan berita tentang ijtihad shahabat atau mazhab shahabat atau
atsar, diketegorikan sebagai hadist mauquf. Pandangan Ulama seputar hadist mauquf dan
pendapat shahabat:
“Fatwa shahábat atau anggapan shahábat sendiri yang diriwáyatkan kepada kita,
dinamakan Mauquf yakni terhenti sampai di shahábat, tidak di Nabi shalallaahu alaihi wa
salam. Satu rangkaian perkataan yang dikatakan Hadits, apabila kita periksa sanadnya
dan terdapat hanya sampai shahábat, tidak sampai Nabi shalallaahu alaihi wa salam,

Halaman 9 dari 11
maka dinamakan juga Hadits Mauquf.… Termasuk dalam bahagian mardud (tertolak),
yakni yang tidak boleh dipakai jadi dalil, ialah Hadits-hadits: Mauquf,...” [2]
“Mahzhab shahabat sesungguhnya bukan dalil syara’”[5]
Sedangkan metodologi yang digunakan untuk menentukan kekuatan dalil atau tarjih
diantara dua hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas radhiyallaahu anhu adalah:
“Khabar yang benar-benar memperoleh kesepakatan (muttafaq) pelimpahannya
(disandarkan secara marfu’) kepada Nabi shalallaahu alaihi wa salam lebih kuat (rajih)
daripada khabar yang mengalami perbedaan pendapat dalam hal keberadaan
pelimpahannya kepada (disandarkan secara mauquf) kepada Nabi shalallaahu alaihi wa
salam.”[6]
Berdasarkan pandangan ulama-ulama tersebut, maka pendapat yang lebih rajih (kuat)
menurut saya adalah hadits marfu’ yang diriwayatkan ibnu Abbas radhiyallaahu anhu yang
mendasari mathla’ global, bukan hadits yang tidak disepakati ke-marfu’annya tentang
mathla’ lokal.
Pendapat para Imam, berkaitan dengan mathla’ global adalah [1]:
Imam ash-Shan’ani rahimahullaahu berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’
yaitu apabila ru’yat didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yat pada suatu
negeri adalah ru’yat bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[Subulus Salam, jld.
2, hal. 310]
Imam al-Mashfaqi rahimahullaahu menyatakan dalam kitabnya bahwa, “Perbedaan
mathla’ tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Demikian pula melihat sabit disiang hari,
sebelum dhuhur atau menjelang dhuhur. Dalam hal tersebut, penduduk negeri Timur Madinah
harus mengikuti ru’yat kaum muslimin yang ada di belahan Barat Madinah apabila ru’yat
mereka dapat diterima (sah menurut syara’).”[Ad-Durul Mukhtar wa Raddu Mukhtar,
jld. 2, hal. 131-132.]
Shiddiq Hasan Khan rahimahullaahu berkata, “Apabila penduduk suatu negeri melihat
hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-
hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu ‘karena melihat hilal dan berbuka karena hilal’
(Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat,
maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yat itu
untuk semuanya…”[Ar-Raudhah an-Nadiyah, jld. 1, hal. 146]
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah rahimahullaahu dalam Majmu’ al-Fatawa, dimana
beliau berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yat tidak digunakan bagi semuanya
(negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka
ada yang membatasi dengan jarak qashar sholat, ada yang membatasi dengan perbedaan
mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if)
karena jarak qashar sholat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan
pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa.
Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus
imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak
iklim.”[Majmu’ al-Fatawa, jld. 25, hal. 104-105]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullaahu tatkala ditanya apakah manusia harus
berpuasa jika mathla’-nya berbeda, beliau menjawab, “yang benar adalah bersandar pada
ru’yat dan tidak menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi Saw memerintahkan
untuk bersandar dengan ru’yat dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi Saw tidak
mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu”.[Tuhfatul
Ikhwan, hal. 163]
Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah rahimahullaahu dalam kitabnya berkata,
“Maka apabila melihat hilal ramadhan atau hilal syawal telah tetap melalui syara’, maka
terikatlah kaum muslimin. Ya semua, dengan ru’yat ini dalam puasa dan hari raya mereka,

Halaman 10 dari 11
tidak ada perbedaan antara satu negeri dan negeri yang lain…”[Mafahim Islamiyah, jld. 2,
bab 24]
Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili rahimahullaahu dalam kitabnya menetapkan
keabsahan metode ru’yat dan kelemahan metode hisab karena tidak didukung oleh dalil-dalil
syar’i, berdasarkan fatwa-fatwa para fuqoha seperti Imam Hanafi, Maliki dan Hambali. [Al-
Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jld. 3, hal. 1649-1662]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullaahu dalam mengomentari
ucapan Syaikh Sayyid Sabbiq rahimahullaahu yang mendukung pendapat yang mewajibkan
ru’yat bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan,
“…Saya —demi Allah— tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia
memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang
shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri.
Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibn Taimiyyah,
di dalam al-Fatawa jilid 25, asy-Syaukani dalam Nailul Authar, Shiddiq Hasan Khan di dalam
ar-Raudhah an-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini
tidak bertentangan dengan hadits Ibn ‘Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang
disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah
bahwa hadits Ibn ‘Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yat negerinya,
kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat
hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibn ‘Abbas) meneruskan
puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan
demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu
Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai
kepadanya ru’yat hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah di dalam al-Fatawa 75/104…” [Tamamul
Minnah, hal. 397-398]
Dengan demikian, semakin jelas bagi kita bahwa upaya menyatukan penentuan awal
bulan Ramadhan dan bulan Syawal adalah upaya yang benar-benar dilandasi oleh pendapat
yang terkuat (Quwwatud-Dalil). Dan, melalui upaya ini pula, semoga kesatuan Ummat
Islam sebelum dan pada saat terwujudnya sistem Al-Khilafah ar-Rasyidah ala’ Minhajin-
Nubuwwah dapat terwujud, aammiieen.
III. Referensi
[1] Syaikh Muhammad Ramadhan al-Muhtasib rahimahullaahu, FIKIH PUASA
PRAKTIS :Berpuasa Seperti Rasulullah Shalalahu Alaihi Wasallam, E-Book,
Newcastle, Australia, 2006.
[2] Hasan. A, Syarah Bulughul Marom Min Adillatil-Ahkam : Imam Ibnu Hajar Al-
Asqalani rahimahullaahu, Noyes Publications, New Jersey, 1996.
[3] Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullaahu, Al-Ushul min 'Ilmil
Ushul, http://tholib.wordpress.com, 2007.
[4] Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah rahimahullaahu, Mafahim
Islamiyyah juz. II, Al-Itqon, New Jersey, 1996.
[5] Syaikh Atha bin Khalil rahimahullaahu, Taisir Al-Wushul ila al-Ushul, Pustaka
Thoriqul Izzah, New Jersey, 1996.
[6] Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullaahu, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz.
I, Pustaka Thoriqul Izzah, New Jersey, 1996.

Halaman 11 dari 11

You might also like