You are on page 1of 179

Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Muqaddimah
Aceh – sebagai salah satu daerah di Nusantara
yang memiliki banyak naskah tulisan tangan – adalah
contoh yang baik dalam melihat kasus pemeliharaan
naskah oleh masyarakat. Berdasarkan observasi,
naskah-naskah Aceh yang dimiliki oleh masyarakat
disimpan dan dipelihara dengan menempatkannya di
lemari-lemari dan peti-peti sehingga kondisi fisik
naskah sangat dikhawatirkan keawetannya.
Naskah-naskah Aceh memiliki banyak ragam,
termasuk di dalamnya ragam yang bernuansa
keagamaan, baik yang menyangkut ajaran Islam
sendiri maupun tentang kehidupan yang bernafaskan
keIslaman. Misalnya, naskah-naskah dalam katalog
naskah Aceh yang dikompilasikan oleh Voorhoeve dan
Teuku Iskandar pada tahun 1994. Satu hal yang perlu
dicatat bahwa unsur tasawuf, termasuk di dalamnya
tarekat turut mewarnai, jika tidak mendominasi,
penulisan naskah keagamaan di wilayah ini. Naskah-
naskah tasawuf Aceh menjadi terkenal terutama
dengan hadirnya karya-karya besar tokoh-tokoh
terbesar di antara karyanya)
tasawuf,Hujjah
Hamzahal-Balighah ‘ala Jama’ah As-Sumatrâni,
Fansûri, Syamsuddin al-Mukhasamah (berisi tentang
Nûruddin Ar-Râniri, dan Abdurrauf al-Fansûri.
Selain nama-nama besar yang sudah sangat
terkenal tersebut, masih banyak nama-nama lain yang
–juga—tidak kalah produktipnya, sebut saja Syeikh
Faqih Jalaluddin yang memiliki buah karya dalam
bidang tasawuf juga dalam bidang-bidang lain seperti
fiqh, tauhid, sejarah, dan lain-lain.

Di antara karya-karya yang telah dihasilkan oleh


Faqih Jalaluddin ialah dari yang telah disebutkan oleh
Wan Mohd Shaghir Abdullah ada sebanyak lima karya,
yaitu karya dalam bidang Fiqh sebanyak tiga buah dan
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

karya dalam bidang Tasawuf sebanyak dua buah.


Adapun naskah Syamsu al-Ma’rifat tidak disebutkan di
dilamnya. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi
penting untuk dilakukan sebagai salah satu kontribusi
bagi dunia akademik dan melengakapi berbagai
koleksi terhadap karya-karya ulama Aceh. Disamping
itu juga mengekspos tokoh lokal yang sejatinya sudah
harus menjadi tokoh nasional karena aktivitasnya baik
di bidang pendidikan maupun dunia tulis-menulis, hal
tersebut dapat dibuktikan dengan beragam karya
yang telah dihasilkannya.

Adapun karya-karya Faqih Jalaluddin yang dapat


diketahui dari tulisan Wan Mohd. Shaghir Abdullah
sebagai berikut; Hidayah al-Awam1 (berisi tentang
Fiqh, mengenai perintah agama), merupakan karya
pertama yang di karang oleh Faqih Jalaluddin, Safinat
al-Hukam fi Talkhis al-Khisham2 (berisi tentang Fiqh,

1 Naskah ‫ هـدايـــة الـعـــوام‬dimaksudkan sebagai petunjuk bagi


orang-orang awam dalam berbagai persoalan keagamaan. Kitab
ini sangat ringkas berbicara tentang fiqh. Pada mukadimahnya,
Syeikh Faqih Jalaluddin menulis bahwa,”pada hijrah Nabi seribu
seratus empat puluh, pada lima hari bulan Muharam (5 Muharam
1140 H/23 Ogos 1727 M, pen:) zaman Paduka Seri Sultan, yang
besar kerajaannya, lagi yang maha tinggi darjatnya, iaitu Sultan
Alauddin Ahmad Syah Johan berdaulat Zhillullah fi al-Alam,
adamullahu daulatahu, Amin, maka tatkala itu meminta kepada
faqir yang hina Khadim al-Ulama (yang berkhidmat pada ulama),
Haji Jalaluddin oleh seorang sahabat raja itu, yang takut akan
Allah Taala, bahawaku suratkan baginya suatu risalah yang
simpan (maksudnya: risalah yang ringkas, pen:). Maka aku namai
akan dia Hidayah al-‘Awam lihat
http://www.2lisan.com/biografi/tokoh-islam/biografi-syeikh-
jalaluddin-al-asyi.
2 Naskah ‫ ســـفينة الحكـــام فـــي تلخيـــص الخصـــام‬dimasudkan dapat
memberikan gambaran tetang bagaimana huku-hukum keislaman
terangkum dalam bidang fiqh dan berorientasi pada Mazhab
Syafi’ie, di dalamnya berbicara tentang berbagai istilah,
peringatan untuk golongan hakim yang zalim dan beberapa
kaedah, semua gambaran tersebut dapat ditemukan pada
kemungkinan merupakan karyanya yang terbesar di
antara karyanya), Hujjah al-Balighah ‘ala Jama’ah al-
Mukhasamah3 (berisi tentang Fiqh), Manzhar al-Ajla ila
Martabah al-A’la4 (berisi tentang Tasawuf), Asrar as-
Suluk ila Malail Muluk5 (berisi tentang Tasawuf), dan
syamsu al- Ma’rifat ila hadharatihi syarifati6 (berisi
tentang Tasawuf). Kitab yang disebut terakhir inlah
mukadimah. Kitab ini mulai ditulis pada bulan Muharam, hari
Jumaat 1153 H/1740 M. Seperti halnya kitab Hidayatul Awam juga
dikarang atas perintah Sultan Alauddin Johan Syah. Kitab ini
merupakan karya terbesar beliau dalam bidang fiqh.
3Naskah ‫حجة البليغة على جماعة المخا صمة‬, kitab ini termasuk dalam
kategori ilmu. Pada mukadimah kitab ini Syeikh Faqih Jalaluddin
menulis: “Ada pun kemudian dari itu, maka tatkala Hijrah Nabi
s.a.w seratus lima puluh delapan tahun, kemudian daripada
seribu pada empat hari bulan Muharam, waktu Dhuha, hari Sabtu
(4 Muharam 1158 H/1745 M) zaman Saiyidina wa Maulana
Paduka Seri Sultanah Alauddin Jauhar Syah, Syah Berdaulat
Zhillullah fi al-Alam, telah meminta kepadaku setengah daripada
kekasihku, salah seorang daripada pengawal sultan yang
tersebut itu, bahawa ku suratkan baginya risalah yang simpan
pada menyatakan dakwa, dan baiyinah, dan barang yang
bergantung dengan keduanya. Ku perkenankan pintanya, dan ku
suratkan baginya risalah ini ” dan dipenghujung kitab ini beliau
mencatat, Tamat al-kitab Hujjah al-Balighah ‘ala Jama’ah al-
Mukhasamah karangan faqir yang hina Faqih Jalaluddin ibnu asy-
Syeikh Kamaluddin ibnu al-Qadhi Baginda Khathib at-Tarun
Pasir… pada 27 Rabiul akhir, waktu Dhuha pada zaman Alauddin
Jauhar Syah, pada hijrah seribu seratus lima puluh delapan tahun
(27 Rabiul akhir 1158 H/1745 M).
Dalam kitab ini syeikh Faqih Jalaluddin al-Asyi menjelaskan
makna yang terkandung dalam hadits Nabi s.a.w. yang
maksudnya bahwa qâdi itu tiga perkara, dua golongan menjadi isi
neraka dan satu golongan menjadi isi surga.
Beliau berkata: “…Maka dua golongan yang akan menjadi isi
neraka itu yaitu; Pertama qâdi yang jahil, tiada baginya ilmu,
jikalau mufakat hukumnya itu dengan kebenaran sekali pun tiada
jua sah hukumnya itu dengan sebab meninggalkan daripada
belajarnya …” dalam persoalan ini beliau kemukakan dua hadits
Nabi s.a.w. yang menjadi dalilnya. Pertama; “Barangsiapa tiada
guru baginya maka syaitanlah gurunya.” Sabda Nabi itu beliau
tafsirkan, barangsiapa ada gurunya itu syaitan, maka tiada lagi
syak akan dia isi neraka. Qâdi jenis kedua, ialah: “qâdi yang alim,
namun tiada menghukum seperti yang dalam ilmunya,
sementara qâdi golongan yang ketiga ialah: “qâdi yang alim,
yang ia menghukum seperti hukum yang dalam ilmunya.”
Sebagai kata akhir beliau adalah memberikan peringatan,
“Ingat-ingat kiranya yang memberi fatwa, maka adalah bahaya
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

yang menjadi obyek dari kajian dalam penelitiaan ini.

Dalam melakukan penelitian ini ada


permasalahan pokok yang diajukan pertama; akan
mengungkapkan jatidiri penulis naskah sekaligus
melihat bagaimana konsep pemikiran tasawuf penulis
Naskah, dan kedua;bagaimana corak tasawuf yang
terdapat dalam naskah tersebut.
Berangkat dari dua persoalan tersebut, maka
penelitian ini bertujuan untuk untuk menghadirkan
biografi tokoh penulsi naskah dan mengetahui isi
naskah tasawuf tersebut, serta mengetahui corak
tasawuf yang terdapat dalam naskah.
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah manfaat akademis berupa
pengembangan khazanah ilmu-ilmu keagamaan Islam
khususnya bidang tasawuf dan manfaat praktis bagi
yang besar pada memberi fatwa itu belum lagi tahqiq sesuatu
masalah daripada hadis, dan dalil, atau daripada kitab segala
ulama. Maka janganlah difatwakan sekali-kali akan dia.
4 Naskah ‫ منظـــر الجلء إلـــى مرتبـــة العلـــى‬ini merupakan naskah
tasawuf yang juga diperintahkan oleh seorang raja ketika itu
untuk menulis kitab ini, disebutkan bahwa kitab ini selesai ditulis
1152 H/1739 M. Naskah ini pernah disalin oleh Tuan Guru Haji
Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu, selesai penyalinan
pada tahun 1273 H/1856 M.
5 Naskah ‫ أســرار الســلوك إلــى مْل الملــوك‬Karya beliau dalam bidang
tasawuf juga. Dalam naskah tidak tersebut nama pengarang
tetapi dapat dipastikan sebagai karya Faqih Jalaluddin al-Asyi
berdasarkan silsilah yang tersebut dalam kalimat, “… telah
mengambil zikir, dan talkin, dan khirqah, dan khalifah, fakir yang
mengarang risalah ini daripada syeikhnya yang ahli az-zauq, lagi
Arif Billah, iaitu Syeikh Daud ibnu Ismail qaddasallahu sirrahu,
dan ia mengambil dari (Syeikh) Abdur Rauf …”, yang disebut
murid Baba Daud adalah Syekh Fakih Jalaluddin al’Asyi.
6 Naskah ‫ شمس المعرفة إلى حضرته الشريفة‬kitab ini termasuk dalam
kitab yang berbicara tentang tasawuf dan berbagai persoalan
aplikasinya, kitab ini tergabung dalam sebuah bandel naskah
dengan Tibyan Fil Ma’rifat Al Adyan (11A), Sulam Mustafidin
(11E), Sulam Mustafidin (11C), dan tentang kejadian Manusia
(11E).
pengambil kebijakan dalam hal ini Kementerian
Agama dalam rangka meningkatkan kualitas
pemahaman dan pengamalan ajaran agama.

Studi ini mengacu pada satu naskah (Codex


Unicus) tulisan tangan “Syamsul Ma’rifati Ila Hadratihi
al-Syarifa” karya Syiekh Faqih Jalaluddin terkait
dengan tasawuf, maka metode yang akan
dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
Filologi dengan focus; Deskripsi teks,Transliterasi &
Suntingan Naskah, dan terakhir melakukan kajian dan
analisis terhadap teks naskah tersebut.

Ketiga hal itu digunakan dalam penelitian ini


dengan tujuan agar para pembaca dapat mengetahui
gambaran teks secara umum dan juga diharapkan
para pembaca dapat membaca –walau bukan teks
aselinya—teks sebagaimana aselinya, sementara
kajian dan analisis teks bertujuan untuk memudahkan
para pembaca memperoleh informasi terkait dengan
isi dan kandungan teks. Selain metode Filologis
sebagai metode dasar dari penelitian ini, juga akan
digunakan pendekatan sufistik dalam rangka
membahas naskah dari sudut konteksnya.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
Sejarah Aceh;
asal muasal Aceh

SELAYANG PANDANG
NANGGROE ACEH
DARUSSALAM

Asal muasal Aceh terselubung kabut kerahasiaan,

dan hampir semua sejarawan Asia Tenggara


menyatakan bahwa sulit mendapatkan sumber yang
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

akurat mengenai asal nama Aceh7. Walau demikian


Denys Lombard mengungkapkan beberapa fakta mitos
yang dijadikan sumber asal muasal Aceh seperti ditulis
dalam bukunya “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar
Muda (1607-1636)”, Snouk Hurgronje berkata;
“… telah mendengar cerita bahwa seseorang
bernama Tengku Kutakarang, ulama dan
hulubalang yang meninggal pada bulan
November 1895 dan menganggap orang Aceh
lahir dari percampuran orang Arab, Parsi, dan
Turki…”8

Tercatat di dalam sejarah Kedah, Marong


Mahawangsa (+1220 M/517 H) Aceh sudah tersebut
sebagai suatu negeri di Pesisir Pulau Perca
(Sumatera). Orang Portugis Barbarosa (1516 M/922 H)
adalah orang Eropa yang datang ke daerah ini
menyebut “Achem” sementara dalam buku-buku
sejarah Tionghoa (1618 M) terkait dengan Aceh
mengatakan A –tse dalam bentuk yang lebih tua
adalah Taji atau Tashi, bagi mereka berarti negeri
Silam ataupun sebutan kepada negeri Pasai Pa
menjadi Ta9.
J. Kreemer dalam bukunya ‘Atjeh’ (Leiden 1922)
mengatakan bahwa sejarah Aceh sebelum tahun 1500
sebagian besar masih dalam kegelapan. Dalam berita

7 Lihat dalam M. Hasbi Amiruddin, 2006. Aceh dan Serambi


Makkah, Banda Aceh: Yayasan Pena, hal. 5-6
8 Denys Lombard , 1967, Le Sultanat d’ Atjeh au temps
d’Iskandar Muda (1607-1636), (terj) oleh Winarsih Arifin, 2008.
Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta:KPG. Hal. 62
9 Din Shamsuddin, Hubungan Aceh dengan Semenanjung
khususnya di Utara (Prasaran pada dialog Utara VI Malaysia
bagian Utara dan Sumatera bagian Utara 23- 29 Desember 1995
di Langsa. Lhoksemawe, Sigli, Banda Aceh, hal.1 dan lihat pula
dalam M. Hasbi, hal. 6
yang berasal dari orang-orang Cina, orang Arab, dan
orang-orang Eropa sebelum tahun tersebut yang
berhasil berkunjung ke Sumatera, nama Aceh sebagai
‘Pulau Emas’ hanya sedikit mendengarnya disebut.
Pendapat lain dari Kreemer bahwa Kerajaan Aceh
telah erdiri sebelum tahun 1500, kerajaan tersebut
meliputi seluruh wilayah Aceh dan nama itu juga
dipakai sebagai nama pelabuhan yang akhirnya
terkenal dengan nama Kuta Radja.
Walaupun demikian asal mula nama Aceh masih
tetap msiterius, tidak ada yang tahu dari mana
sumbernya, namun menurut Tengku Syech
Muhammad Noerdin10, pada akhir hayatnya beliau
meninggalkan beberapa buah karangan dan pada
salinan kepada penerbitan pemerintah menyatakan
bahwa nama Aceh itu berasal dari “Ba’ (baca Bak yang
berarti pohon) si aceh-aceh”. Pohon itu dilukiskan
semacam pohon beringin yang besar dan rindang11.

10 Beliau ini yang pada masa hidupnya banyak membantu


Prof. Snouck Hurgronye dan Prof. Husein, baik dalam mencari
bahan-bahan atau dalam menyalin Hikayat-hikayat Aceh dari
huruf Latin, disamping juga banyak mengumpulkan bahan-bahan
tentang kehidupan, peradaban dan adat istiadat Aceh dan juga
sempat diperbantukan pada Balai Pustaka.
11Abu Bakar Atjeh 1980, tentang nama Aceh dalam Ismail
Sunni (Ed) Bunga rampai tentang Aceh, Jakarta:Bhatara Karya
Aksara) hal.19.
istem keberagamaan
masyarakat Aceh
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Masyarakat Aceh hingga saat ini masih tetap

berpenduduk 100% muslim sehingga kebanyakan


masyarakat Aceh mengklaim bahwa Aceh sama
dengan Islam seperti halnya Makkah adalah Islam.
Tentu yang dimaksudkan adalah masyarakat Aceh
seperti halnya juga masyarakat muslim di kota
Makkah. Klaim tersebut sangat beralasan karena Islam
masuk –menurut sebagian sejarawan—melalui Aceh
oleh karena itulah masyarakat Aceh seluruhnya
muslim.
Pada bagia berikut sangat penting untuk
mendudukan persoalan tersebut, bagaimana Islam
masuk ke Aceh sehingga masyarakatnya menjadikan
Islam sebagai way of life nya.
Dalam teori sejarah masuknya Islam ke
Nusantara, Islam masuk dan datang melalui para
saudagar Arab yang datang dan pergi terutama
melalui pelabuhan di pesisir Aceh. Saudagar-saudagar
dari tanah Arab (Suriah dan Makkah) datang bukan
hanya berdagang, sambil berdagang mereka juga
menyebarkan dakwah Islamiyah diamana saja mereka
menetap. Proses dakwah ini mereka lakukan untuk
mengamalkan ajaran rasul Allah Saw yang
menekankan bahwa dakwah merupakan kewajiban
bagi setiap muslim kapan dan dimanapun mereka
berada. “Sampaikanlah oleh kamu sekalian apa-apa
yang telah kamu terima dariku walaupun satu ayat”
(Balligû Annî Walau Âyat).
Pandangan lain menyatakan bahwa Islam masuk
ke tanah Aceh pada abad ke 13 melalui India, namun
Prof. Dr. Uka Tjandra Sasmita mengatakan bahwa teori
tersebut lemah.
“…Kelemahan kelompok ahli ini jelas bahwa
mereka tidak menyadari adanya jalur pelayaran
yang sudah ramai dan bersifat internasional jauh
sebelum abad ke 13 M melalui selat Malaka dan
mungkin pula pesisir Barat Sumatera. Keramaian
pelayaran melalui perairan tersebut di atas dapat
dibuktikan berdasarkan berita-berita baik dari
orang Muslim sendiri maupun dari orang Cina.
Berita Cina berasal dari abad ke-7 dan berita
Jepang berasal dari abad ke-8 serta berita
Chaujukua yang berasal dari abad ke-12…”12.

Sir John Crowford mengatakan bahwa Islam di


Aceh dibawa dari Arab, pandangan ini didasarkan pada
anutan mazhab Syafi’i yang lahir di semenanjung
Tanah Arab, oleh masyarakat Melayu termasuk Aceh13.

12 Lihat Mahayuddin Hj Yahaya dan A.J. Halimi, tt. Sejarah


Islam, (Kuala Lumpur:Fajar Bakti Sdn. Bhd) hal.559
13 Lihat Tuanku Abdul jalil “Kerajaan Islam Perlak Poros
Aceh- Demak-Ternate dan Siapa Laksamana Malahayati” dalam
A. Hasjmy, 1993.Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, Bandung:Al-Ma’arif. halaman. 269-270
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Meskipun demikian Crowford tidak menampik bahwa


interaksi penduduk Nusantara dengan kaum
muslimin yang berasal dari pantai Timur India
merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam
Nusantara14.
Terdapat tiga tokoh ilmuan meyakini bahwa
Islam yang datang ke tanah Aceh adalah Islam yang
berasal dari tanah Arab dibawa oleh orang-orang Arab,
ketiga ilmuan tersebut adalah T.W. Arnold, Syed
Naguib al-Attas, dan juga Buya Hamka15.
Terlepas dari beragam teori yang dikembangkan
dalam melihat masuknya Islam ke Nusantara termasuk
Aceh, namun perlu juga dilihat dari dimensi lain
seperti dimensi ajaran teologi yang dikembangkan
para penyebar Islam tersebut. Dakwah yang
dikembangkan oleh para Gujarat adalah dakwah
doktrin terhadap pertahanan aqidah Islamiyah dari
kelompok kafir yang ingin merusak dan memurtadkan
mereka kepada ajaran-ajaran nenek moyang, dakwah-
dakwah seperti ini mereka lakukan agar dapat
mempertahankan eksistensi mereka di wilayah Aceh.
Doktrin dakwah inilah yang menyebabkan rakyat
Aceh selalu istiqâmah dalam mempertahankan
serangan-serangan kaum kafir seperti Portugis,
Belanda dan juga Jepang disaat Jepang tidak menepati
janjinya memberi kebebasan dalam menjalankan
14 Azyumardi Azra, 2005. Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta:Prenada Media.
Halaman. 8-9
15 Uka Thandra Sasmita, Proses Kedatangan Islam dan
Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” dalam A. Hasjmy
(peny.) Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia.
Bandung:Al-Ma’arif, 1993) hal.358
agamanya. Doktrin Aceh sama dengan Islam berarti
memerangi orang Aceh dapat berarti memerangi Islam
itu sendiri, oleh karena itu mempertahankan Aceh
berarti juga mempertahankan Islam, maka perang
yang mereka lancarkan melawan kaum kafir berarti
perang sabil, perang suci dan mati adalah mati
syahid16.

16 M. Hasbi Amiruddin, 2006. Aceh dan Serambi Makkah,


Banda Aceh:Yayasan Pena Banda Aceh, hal.25-26
t Istiadat dalam Masyarakat Aceh
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Dan hendaklah ada sekelompok di antara kamu

yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan


yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung17
Kata 'urf dan ma'ruf pada ayat itu mengacu
kepada kebiasaan dan adat istiadat yang tidak
bertentangan dengan al-khair, yakni prinsip-prinsip
ajaran Islam. Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa
adat kebiasaan dalam suatu masyarakat selama
tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam,
dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan
hukum (al-âdat muhakkimah). Demikian ketentuan
yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian
banyak rincian argumentasi keagamaan.
Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula
dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah,
kata al-ma’ruf – yang sering disebut dalam Al-Qur’an –
diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf
ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat
(kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil
penilaian hati nurani18.

17 Lihat QS Ali 'Imran [3]:104.


18 Dalam masalah hati Rasulullah SAW bersabda” Alâ Wa
Inna fi al-Jasadi Mudghatan Idzâ Shaluhat Shaluha al-Jasadu
Kulluhû Wa Idza Fasadat Fasada al-Jasadu Kulluhu Illâ Wahiya al-
Qalbu” Muttafaqun Âlâih. (Ketahuilah bahwa sesunggunya dalam
jasad seseorang terdapat seonggok daging, jika daging tersebut
baik maka baiklah seluruh anggota tubuh tersebut, namun jika
sebaliknya daging tersebut rusak maka akan rusaklah seluruh
anggota tubuh itu). Periksa dalam Abi Hamid Al-Ghazali,dkk.tt.
Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian
secara general digunakan dengan makna tradisi, yang
tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan
tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu
saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai
dengan tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah
sesuai dengan tuntunan wahyu19. Amr bi al-ma’ruf
berarti memerintahkan sesama manusia untuk
bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas
menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai wahyu.
Karakter hukum Islam yang akomodatif terhadap
adat (tradisi) amat bersesuaian dengan fungsi Islam
sebagai agama universal (untuk seluruh dunia).
“Wajah” Islam pada berbagai masyarakat dunia
tidaklah harus sama (monolitik). Namun, keberagaman
tersebut tetaplah dilingkupi oleh wihdat al-manhaj
(kesatuan manhaj) yaitu al-manhaj al-Nabawiy al-
Muhammadiy.
Bagi masyarakat Aceh hukum dan adat secara
prinsip berbeda, namun dalam tataran aplikasi kedua
elemen etika sosial kemasyarakatan tadi saling terkait
satu sama lain. Hal tersebut terlihat dalam sebuah
Hadih Maja mengatakan “Hukum ngon Adat Lagee Zat
ngon sifeut” (hukum bersama adat semisal senyawa
zat dengan sifat tertentu). Jadi jika disebut hukum
Tazkiyatun Nufus Wa Tarbiyatuha Kamâ Yuqarriruhû Ulamâ’a al-
Salaf. Beirut: Dârul Qalam. h. 27.
19 Kata baik dapat diartikan sebagai semua tuntunan yang
berdasar pada al-qur’an maupun al-sunnah dan juga yang tidak
bertentangan dengan hati sanubari manusia secara umum.
Wahyu yang dimaksud bukan hanya sebatas ayat-ayat al-Qur’an
namun juga termasuk hadits Nabi SAW.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

maka berorientasi pada hukum Syara’ yang ditetapkan


Allah dan rasulNya berupa tata aturan yang
bersumber al-qur’an dan al-Sunnah, tapi jika disebut
adat maka bermakna tata aturan yang bersumber dari
hasil olah pikir manusia.
Ungkapan dalam Hadih Maja lain yang sangat
popular di tengah-tengah masyarakat Aceh adalah
“Adat Bak Po Teumeureuhom Hukom Bak Syiah Kuala,
Qanun Bak Patroe Phang Reusam Bak Laksamana”
(Pihak yang mengatur tata adat dan pemerintahan ada
pada Sultan, pihak yang mengatur Syariat Islam
(hukum) ada pada Ulama. Kemudian yang mengatur
peraturan pelaksanaannya ada pada Putri Pahang
sebagai Wazir Sultan di bidang legislative dan yang
mengatur tentang Reusam/Upacara kebiasaan Adat
dan perniagaan ada pada Laksamana sebagai Wazir
Sultan di bidang Reusam)20.

Perkembangan pendidikan di Aceh

Seperti diketahui bahwa jaya dan majunya


sebuah masyarakat sangat ditentukan oleh seberapa
maju dunia pendidikannya. Aceh sebagai salah satu
daerah yang terkenal dengan panatisme
masyarakatnya terhadap nilai-nilai keberagamaan,
juga, termasuk dari sisi pendidikannya. Kualitas
pendidikannya dapat dilihat dari seberapa banyak
produk ulama dan ilmuan yang dihasilkan, sebut saja
20 Lebih jauh tentang masalah ini periksa, M. Hasbi
Amiruddin, 2006. Aceh dan Serambi Makkah, Banda
Aceh:Yayasan Pena Banda Aceh, hal.34-35
misalnya Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, Nuruddin
al-Raniri, Syaikh Muhammad bin Ahmad Chatib
Langien, Syaikh Faqih Jalaluddin, Syaikh Muhammad
Zain al-‘Asyi dan masih banyak lagi yang lain.
Ulama-ulama tersebut tidak hanya
mentransformasi pengetahuan melainkan mendirikan
banyak Dayah (Pesantren) sebagai media
pembelajaran, juga, tidak jarang mereka
meninggalkan buah karya yang maha dahsyat nilainya
dalam pemberdayaan pengetahuan. Karya-karya
mereka beragam pengetahuan mulai dari
aklhak/tasawuf, fiqh, al-qur’an, ilmu-ilmu alat (nahw
dan Sharf), tafsir, tajwid, tauhid, sejarah dan lain
sebagainya.
Pendidikan Dayah pada saat itu dimulai dari
pendidikan paling rendah, tingkat menengah sampai
tingkat tinggi. Pembelajaran yang ada di rumah-rumah
ataupun di meunasah –biasanya—pendidikan pada
tingkat rendah, namun jika para ulama di undang
untuk memberikan materi di rumah-rumah (privat) ada
juga yang pada tingkat menengah dan tinggi, seperti
mengajar putra-putri uleebalang dan orang
terkemuka21.
System pendidikan yang terbagi menjadi tiga
tingkatan tersebut dapat dilihat dari system
pembelajaran yang berlaku. Untuk pendidikan rendah
dan menengah biasanya diajar oleh para santri yang
telah mendapatkan legitimasi dari guru dan telah

21 M. Hasbi Amiruddin, 2006. Aceh dan Serambi Makkah,


Banda Aceh:Yayasan Pena Banda Aceh, hal.28-29
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

memiliki ilmu pengetahuan tingkat tinggi. Santri-santri


yang mengajar tersebut dikenal dengan sebutan
teungku rangkang, sedangkan untuk teungku-teungku
rangkang tadi diajarkan oleh teingku Chik (Teungku
Besar) yang dikenal dengan sebutan teungku dibalee.
Eksistensi dayah-dayah sampai saat ini masih
tetap berjalan karena dayah-dayah tersebut mengikuti
pola perkembangan zaman baik perkembangan politik
maupun sosial budaya yang ada. Masa kemajuan
dayah yang cukup pesat adalah pada masa kesultanan
Aceh, hal ini dapat dibuktikan dengan terus
bertambahnya jumlah dayah yang ada, juga, dengan
bertambah banyaknya para Ulama yang eksis, selain
ulama-ulama local juga banyak terdapat ulama-ulama
yang di datangkan dari luar negeri. Disamping
mengajar di berbagai dayah yang ada ulama-ulama,
tamu tersebut juga didatangkan untuk kebutuhan
kesultanan bidang hukum agama terutama ulama dari
Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah.
Indikator lain terhadap pertumbuhan dan
perkembangan dayah adalah banyaknya kitab-kitab
tulisan tangan (manuscript) yang beredar dan tersebar
pada dayah-dayah tersebut baik yang dijadikan
referensi bagi pembelajaran Internasional maupun
nasional dan juga lokal. Di antara ulama-ulama yang
sangat popular dan mampu membuat referensi bagi
dunia akademik di tingkat internasional adalah
Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani,
Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf al-Singkili. Sebut saja
kitab tafsir lengkap 30 Juz dalam bahasa Melayu yang
saat ini sudah berbahasa Indonesia yang pertama
merupakan karya monumental Abdurrauf al-Singkili.
Seiring dengan terjadinya perang Belanda di
Aceh, eksistensi dayah mulai surut karena banyak
dayah yang terbakar dan rusak, para ulama banyak
yang meningggal, dan kitab-kitab, baik yang ditulis
oleh ulama asal aceh ataupun ulama asal Timur
Tengah dalam berbagai disiplin ilmu tak urung menjadi
sasaran kaum penjajah. Selain kehilangan banyak
dayah dan juga kitab, eksistensi dayahpun
diminimalisir dengan dilakukannya kontrol yang
sangat ketat, mereka melarang mengajarkan
beberapa materi pembelajaran terkait dengan isu
politik dan materi-materi yang dianggap dapat
memajukan kebudayaan bangsa.
Setelah banyak tekanan dari pihak Belanda
dalam berbagai versinya termasuk di dalamnya
mendirikan sekolah-sekolah modern versi Belanda,
maka eksistensi dayah semakin menurun dan lambat
laun munculnya lembaga-lembaga formal yang
mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dunia
kerja, akhirnya masyarakat Aceh mulai tertarik dengan
system pendidikan tersebut.
Akhirnya pada tahun 1928 ulama dayah
berusaha mendirikan lembaga-lembaga model lain
yaitu dengan pola dan system kombinasi antara
pelajaran umum dan juga pelajaran agama. Ulama-
ulama Aceh tidak menginginkan pelajaran agama jauh
dari masyarakat, oleh karena itulah sekolah apapun
yang di didirikan harus dimasukkan pelajaran agama.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Walaupun demikian masih banyak sampai saat ini


dayah-dayah yang tetap mempertahankan system
masa lalu, tidak menerima system pembelajaran
madrasah seperti dayah Ulee Titi22 dan juga dayah
yang menginduk kepada dayah tersebut.

Ulama-ulama 23
Aceh

22Pondok pesantren yang berdiri semenjak sepertiga abad


silam, sekarang beralamat di Desa Siron sebuah desa yang
terletak di pinggiran jalan raya menuju Blang Bintang. Desa Siron
termasuk dalam wilayah Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh
Besar. Dalam usia yang ke-78, Pondok Pesantren Ulee Titi bisa
dikatagorikan salah satu pesantren tertua di tanah Aceh yang
penuh dengan balutan sejarah. Lembaga yang dirintis oleh
Tengku (Tgk) H.Ishaq al-Amiry2 seorang tokoh ulama karismatik
yang memiliki keuletan dan ketabahan yang tak tertandingi
sehingga mampu menentang ancaman dan rintangan yang
menghadangnya baik dari dalam maupun dari luar pondok.
Keuletan (al-mujahadah), ketabahan (alshabr) dan konsisten (al-
istiqamah) menjadi ciri khas yang patut kita teladani.
23 Secara bahasa, ‘ulama’ berasal dari kata kerja dasar
‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku
‘alimun (orang yang mengetahui – mufrad/singular) dan ‘ulama
(jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian
ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat
masyhur dalam hal ini adalah : ‘innama yakhsya Allahu min
‘ibadihi al ulama’ artinya : sesungguhnya yang paling taqwa
kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama (Fathir 28). ‘Al
ulama-u waratsatu al anbiya’ artinya : ulama adalah pewaris para
nabi – hadits.
Secara hakikat, taqwa tidak mudah dipakai untuk
kategorisasi, sebab yang mengetahui tingkat ketaqwaan
seseorang hanyalah Allah. Penyebutan taqwa di sini hanya untuk
memberi batasan bahwa ulama haruslah beriman kepada Allah
dan secara dhahir menunjukkan tanda-tanda ketaqwaan. Jadi
Islamolog yang tidak beriman kepada Allah tidak masuk dalam
kategori ulama. Untuk batasan kedua, ulama adalah mereka yang
mewarisi nabi. Al Maghfurllah Kiyai Ahmad Siddiq, Situbondo,
menyatakan bahwa yang diwarisi ulama dari nabi adalah ilmu
dan amaliyahnya yang tertera dalam al-Quran dan hadis.
Dengan batasan ini, ahli-ahli ilmu lain yang tidak
berhubungan dengan al-Quran dan hadis tidak masuk dalam
kategori ulama. Kyai Ahmad mengistilahkan kelompok ahli itu
sebagai zuama. Kata al-’ulama’ dan al-’alimun sekalipun berasal
dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki perbedaan
makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat
ditengarai dalam Al-Qur’an ketika kata al-’ulama’ disebutkan
hanya 2 (dua) kali dan kata al-’alimun sebanyak 5 (lima) kali, dan
Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk
jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah isim fail dari kata
dasar:’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu.
Dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Al-
Quran memberikan gambaran tentang ketinggian
derajat para ulama, Allah meninggikan derajat orang-
orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan
ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Ayat tersebut menjelaskan keutamaan para ahli
ilmu dan orang-orang yang senantiasa menuntut ilmu
agama. Di samping karena keimanan yang dimilikinya,
mereka juga diangkat derajat dan kedudukannya oleh
Allah karena bertambah ilmu agama yang dapat
mendekatkannya ke haribaan Ilahi Rabbi.
Imam Ath-Thabari menjelaskan bahwa Allah SWT
mengangkat kaum mukminin dari kalian karena
ketaatannya terhadap Rabb. Apapun yang
diperintahkan untuk dilapangkan mereka harus
melapangkannya ataukah melaukan kebajikan jika
diperintahkan melakukannya. Dengan keutamaan
ilmu yang dimilikinya Allah mengangkat derajat orang-
orang yang berilmu dari ahlul iman di atas kaum
mukminin yang tidak diberikan ilmu, jika mereka
mengamalkan apa yang mereka ketahui”.
Lanjutnya beliau seraya mengutip ungkapan
Imam Qatadah rahimahullah berkata:“Sesungguhnya
dengan ilmu seseorang dapat memiliki keutamaan.
Sesungguhnya ilmu memiliki hak atas pemilik dan hak

kata al-’alim sebanyak 13 (tiga belas) kali. Periksa, Shihab dalam


Membumikan al-Qur’an, Jakarta; Lentera Hati.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

ilmu terhadap kamu wahai seorang alim adalah


keutamaan. Dan Allah memberikan kepada tiap
pemilik keutamaan keutamaannya.”
Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa demikian
tinggi derajat dan kedudukan para ulama di atas yang
lainnya. Merekalah orang-orang yang senantiasa
mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Swt dan juga di
kalangan manusia. Dalam ayat lain Allah Swt
berfirman: ‫ن َنشآُء‬
ْ ‫ت َم‬
ٍ ‫جا‬
َ ‫َنْرَفُع َدَر‬
“Kami tinggikan derajat orang yg Kami kehendaki”.
Imam Malik rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini
berkata: Yaitu dengan ilmu pengetahuan.”
Zaid bin Aslam rahimahullah dalam menafsirkan
firman Allah Swt berkata:
‫ض َوآَتْيَنا َداُوَد َزُبوًرا‬
ٍ ‫عَلى َبْع‬
َ ‫ن‬
َ ‫ض الّنِبّيي‬
َ ‫ضْلَنا َبْع‬
ّ ‫َوَلَقْد َف‬
“Dan sesungguh telah Kami lebihkan sebagian
nabi-nabi itu atas sebagian dan Kami berikan Zabur .”
kata beliau: “yaitu dengan ilmu pengetahuan”.
Asy’ats bin Syu’bah Al-Misshishi menceritakan
bahwa:”Suatu hari Harun Ar-Rasyid24 pergi ke Raqqah

24Harun Ar-Rasyid lahir di Rayy pada tahun 766 dan wafat


pada tanggal 24 Maret 809, di Thus, Khurasan. Harun Ar-Rasyid
adalah khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasiyah dan
memerintah antara tahun 786 hingga 803. Ayahnya bernama
Muhammad Al-Mahdi, khalifah yang ketiga dan kakaknya, Musa
Al-Hadi adalah khalifah yang keempat.Ibunya Jurasyiyah dijuluki
Khayzuran berasal dari Yaman. Meski berasal dari dinasti
Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid dikenal dekat dengan keluarga
Barmaki dari Persia (Iran. Harun banyak belajar dari Yahya ibn
Khalid Al-Barmak. Era pemerintahan Harun, yang dilanjutkan oleh
Ma'mun Ar-Rasyid, dikenal sebagai masa keemasan Islam (The
Golden Age of Islam), di mana saat itu Baghdad menjadi salah
satu pusat ilmu pengetahuan dunia.
Di masa pemerintahannya, tercatat banyak prestasi,
diantaranya:Mewujudkan keamanan, kedamaian serta
kesejahteraan rakyat. Membangun kota Baghdad dengan
bangunan-bangunan megah. Membangun tempat-tempat
dengan rombongannya termasuk Abdullah ibnul
Mubarak sampai sandal mereka pun terputus dan
debu berterbangan. Lalu salah seorang budak wanita
Amirul Mukminin mengintip dari dalam istana seraya
bertanya: “Siapa ini?” Mereka menjawab: “Seorang
alim dari Khurasan telah datang.”
Dengan ilmulah seseorang akan mendapatkan
kemuliaan dunia sebelum akhirat. Sebagaimana Allah
Swt telah memilih Thalut untuk memimpin Bani Israil
firman-Nya:
‫ت َمِلًكا‬
َ ‫طاُلو‬
َ ‫ث َلُكْم‬
َ ‫ل َقْد َبَع‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ل َلُهْم َنِبّيُهْم ِإ‬
َ ‫َوَقا‬
“Nabi mereka mengatakan kepada
mereka:‘Sesungguh Allah telah mengangkat Thalut
menjadi rajamu.’”
Di dalam Shahih Muslim dari ‘Amir bin Watsilah
bahwa Nafi’ bin Abdil Harits bertemu ‘Umar di ‘Usfan.
Ketika itu ‘Umar mengangkat beliau sebagai gubernur
di Makkah. Kemudian ‘Umar bertanya: “Siapa yang
engkau angkat jadi pemimpin daerah lembah?” Beliau
menjawab: “Ibnu Abza.” Umar bertanya: “Siapa Ibnu
Abza?” Beliau menjawab: “Dia adalah salah satu bekas
budak kami.” Umar bertanya: “Engkau jadikan yg
memimpin mereka dari kalangan maula?” Beliau
menjawab: “Sesungguhnya dia mempunyai ilmu
tentang kitab Allah Swt dan alim dalam ilmu warisan.”
Lalu ‘Umar berkata: “Ketahuilah sesungguhnya
peribadatan.Membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan
perdagangan. Mendirikan Bait al- Hikmah, sebagai lembaga
penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi,
perpustakaan, dan penelitian. Membangun majelis Al-Muzakarah,
yakni lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan yang
diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Nabimu Saw telah bersabda:


َ ‫خِرْي‬
‫ن‬ َ ‫ضُع ِبِه آ‬
َ ‫ب َأْقَواًما َوَي‬
َ ‫ل َيْرَفُع ِبَهَذا اْلِكَتا‬
َ ‫نا‬
ّ ‫ِإ‬
“Sesungguh Allah mengangkat sebagian kaum dgn
kitab ini dan dengan Allah merendahkan yg lainnya.”
Abu Darda25 radhiallahu ‘anhu berkata:
“Barangsiapa yg menganggap bahwa berangkat
seseorang mencari ilmu itu bukan jihad26 maka
sungguh dia kurang akal dan fikiran.”
Selain masalah ketinggian derajat para ulama,
Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan
karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang
yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di

25 Nama lengkapnya adalah Uwaimir bin Zaid bin Qais,


seorang sahabat perawi hadist dari Anshar, dari kabilah Khajraj,
ia hapal al-Quran dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.
Dalam perang Uhud Rasulullah bersabda mengenai dirinya “
Prajurit berkuda paling baik adalah Uwaimir” Beliau ini
dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Salman Al Farisi. Dia
mengikuti semua peperangan yang terjadi setelah perang Uhud.
Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, Abu Darda’ diangkat
menjadi Hakim di daerah Syam, Ia adalah mufti (pemberi fatwa)
penduduk Syam dan ahli Fiqh penduduk Palestina.
26 Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd. Artinya
adalah saling mencurahkan usaha. Lebih jauh lagi Imam an-
Naisaburi dalam kitab tafsirnya menjelaskan arti kata jihad –
menurut bahasa-, yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk
memperoleh maksud tertentu. Makna jihad menurut bahasa
(lughawi) adalah kemampuan yang dicurahkan semaksimal
mungkin; kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik
menggunakan senjata atau tidak; kadang-kadang dengan
menggunakan harta benda dan kata-kata; kadang-kadang berupa
dorongan sekuat tenaga untuk meraih target tertentu; dan
sejenisnya. Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu
kerja keras. Jihad dengan makna mengerahkan segenap kekuatan
untuk berperang di jalan Allah juga digunakan oleh para fuqaha.
menurut mazhab Hanafi, jihad adalah mencurahkan pengorbanan
dan kekuatan untuk berjuang di jalan Allah, baik dengan jiwa,
harta benda, lisan dan sebagainya. Menurut mazhab Maliki, jihad
berarti peperangan kaum Muslim melawan orang-orang kafir
dalam rangka menegakkan kalimat Allah hingga menjadi kalimat
yang paling tinggi. Para ulama mazhab Syafi’i juga berpendapat
bahwa jihad berarti perang di jalan Allah. (lihat Al-Qardawi, 2010,
Fiqh Jihad, Bandung:Mizan)
dalam salah satu ayat: “Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama [orang yang berilmu]. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir: 28).
Sedangkan di dalam hadits Nabi disebutkan
bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan
peninggalan dan warisan oleh para Nabi. Dan para
ulama adalah warisan (peninggalan) para Nabi. Para
Nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas),
dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan
berupa ilmu. (HR Ibnu Hibban).
Di samping sebagai perantara antara diri-Nya
dengan hamba-hambaNya Allah Swt juga menjadikan
para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu
agama. Sehingga ilmu syariat terus terpelihara
kemurnian dan keasliannya sebagaimana pada
priodesasi awal. Oleh karena itulah kematian salah
seorang ulama memunculkan fitnah dan malapetaka
besar bagi muslimin.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin ‘Amr ibn al-‘Ash Rasulullah Saw bersabda;

‫ق‬ َ .‫ض اْلُعَلمبَاِء‬


ِ ‫حّتببى ِإَذا َلبْم ُيْبب‬ ِ ‫ن ِبَقْبب‬
ْ ‫ َوَلِك‬،‫ن اْلِعبَاِد‬
َ ‫عُه ِم‬
ُ ‫ض اْلِعْلَم اْنِتَزاعًا َيْنَتِز‬
ُ ‫ل َيْقِب‬
َ ‫ل‬
َ ‫نا‬
ّ ‫ِإ‬
‫ضّلوا‬
َ ‫ضّلوا َوَأ‬
َ ‫عْلٍم َف‬
ِ ‫سِأُلوا َفَأْفَتْوا ِبَغْيِر‬
ُ ‫ل َف‬
ً ‫جّها‬
ُ ‫س ُرُؤْوسًا‬
ُ ‫خَذ الّنا‬
َ ‫عَاِلمًا اّت‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu
pengetahuan dari dengan hamba-hambaNya.
Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkan
para ulama, maka ketika Allah Swt tidak
menyisakan seorang alim pun maka orang-orang
akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-
orang bodoh. Kemudian mereka ditanya tentang
persoalan agama, dan mereka pun berfatwa
tanpa dasar ilmu akhirnya mereka sesat dan juga
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

menyesatkan orang lain.”

Ibnu Rajab27 Al-Hambali rahimahullah


mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi
hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan
dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua
merupakan tanda-tanda akan datangnya hari
kiyamat”.
Abdullah bin ‘Amr28 menegaskan bahwa:
“Sesungguhnya termasuk tanda-tanda akan
datangnya hari kiamat adalah direndahkannya
(derajat) para ulama dan diangkatnya (menjadi mufti)
orang jahil.”
Eksistensi seorang ulama telah digambarkan
Rasul Allah Saw sebagai sebuah kunci baik untuk
membuka segala kebajikan maupun menutup semua
kejahatan, hal tersebut dapat dilihat dalam sabda
beliau;
‫شّر‬
ّ ‫ق ِلل‬
ُ ‫خْيِر َوَمغَاِلْي‬
َ ‫ح ِلِل‬
ُ ‫َمفَاِتْي‬

27 Al Imam Al Hafidz dan Al Allamah Zainuddin


Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin Al Hasan bin
Muhammad bin Abu Al Barakat Mas'ud As Salami Al Baghdadi D
Dimasyqi Al Hambali -rahimahullah- , yang lebih terkenal dengan
nama Ibnu Rajab Al Hambali. Rajab adalah gelar kakeknya yang
bernama Abdurrahman. Semua sumber yang membahas biografi
Ibnu Rajab sepakat bahwa beliau -rahimahullah- dilahirkan di
Bahgdad pada tahun 736 H, delapan puluh tahun setelah
jatuhnya ibukota Ilmu ketika itu, Baghdad ke tangan bangsa
Mongol .
28 Dia adalah seorang dari Abadilah yang faqih, ia memeluk
agama Islam sebelum ayahnya, kemudian hijrah sebelum
penaklukan Mekkah. Abdullah seorang ahli ibadah yang zuhud,
banyak berpuasa dan shalat, sambil menekuni hadits Rasulullah
SAW. Jumlah hadits yang ia riwayatkan mencapai 700 hadits,
Sesudah minta izin Nabi SAW untuk menulis, ia mencatat hadits
yang didengarnya dari Nabi. Mengenai hal ini Abu Hurairah
berkata “ Tak ada seorangpun yang lebih hapal dariku mengenai
hadits Rasulullah, kecuali Abdullah bin Amr bin al-Ash. Karena ia
mencatat sedangkan aku tidak”.
“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan
dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.”
Begitu pentingnya posisi ulama dalam Islam,
maka hal tersebut kemudian berkembang pesat di
Aceh sebagai Serambi Makkah, pola hubungan
dakwah ulama Aceh sangat dipengaruhi oleh pola
dakwah yang dikembangkan oleh para ulama timur
tengah. Hal tersebut tergambar dalam gerakan
keagamaan yang tidak jauh berbeda dengan gerakan
keagamaan yang dibangun di Timur Tengah, pada
tahun 1939.
Sementara pada masa kekuasaan Belanda
bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dgn
wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam
berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam
sebuah organisasi dagang Islam yg didirikan di
Surakarta pada tahun 1912 tiba di Aceh pada sekitar
tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial
Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah
membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini
bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian
pada tahun 1939 Partai Indonesia Raya (Parindra)
membukan cabang di Aceh menjadi partai politik
pertama di sana. Pada tahun yg sama para ulama
mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh)
sebuah organisasi anti-Belanda.
PUSA berhasil menjadi penghilang dahaga
penyejuk jiwa dari rakyat Aceh yang mendambakan
kepemimpinan yang memihak kepada mereka. Sebab
realitas politik saat Aceh dikuasai dan dijajah Belanda,
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

ditambah dengan sikap tidak berpihak beberapa


golongan dari uleebalang dan juga bersikap tidak adil,
rakyat (aceh) merasakan kesengsaraan lahir batin.
Keberadaan ulama PUSA terus mendapat
dukungan penuh dari rakyat, sehingga muncul kesan,
menjadi orang Aceh harus menjadi PUSA, baik sebagai
pengurus maupun hanya sebatas simpatisan. Kondisi
ini tercipta karena ulama tersebut berhasil
mewujudkan keinginan rakyat. Pada tahun 1942,
secara bahu membahu dengan kaum uleebalang –
yang sudah insaf dan kembali mendukung gerakan
ulama--, ulama memberontak kepada Belanda. Namun
sangat disayangkan dengan gerakan pemberontakan
yang diprakarsai oleh ulama terhadap Belanda ini
kemudian membuat langkah Jepang –untuk
menancapkan kakinya-- lebih mudah masuk ke Aceh.
Jadi masyarakat Aceh terbebas dari cengkraman
Belanda masuk dalam kubangan penjajah Jepang.
Ulama Aceh, seperti diketahui, selain sebagai tokoh
agamawan juga merupakan tokoh kunci dalam
merebut dan mengusir para penjajah dari tanah
rencong dan juga bumi persada tercinta ini.
Produktivitas ulama Aceh
Seperti diketahui bahwa Ulama Aceh masa lalu
cukup produktif berkarya terutama dalam bidang ilmu-
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

ilmu keagamaan seperti bidang tauhid29, fiqh30, tafsir31,


tasawuf32, politik dan ketatanegaraan, ekonomi, ilmu-
ilmu alat (Nahwu dan Sarf), dan juga dalam bidang
keilmuan lain. Namun produktivitas ulama mulai
terasa menurun ketika Kolonial Belanda menguasai
Aceh, hal tersebut lebih disebabkan kesibukan mereka
menggerakan masyarakat untuk mengusir para

29 Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas pengokohan


keyakinan-keyakinan agama Islam dengan dalil-dalil naqli
maupun aqli yang pasti kebenarannya sehingga dapat
menghilangkan semua keraguan, ilmu yang menyingkap
kebatilan orang-orang kafir, kerancuan dan kedustaan mereka.
Dinamakan ilmu tauhid karena pembahasan terpenting di
dalamnya adalah tentang tauhidullah (mengesakan Allah). Allah
swt. berfirman:
ِ ‫لْلَبا‬
‫ب‬ َ ‫عَمى ِإّنَما َيَتَذّكُر ُأْوُلوْا ا‬
ْ ‫ن ُهَو َأ‬
ْ ‫ق َكَم‬
ّ‫ح‬
َ ‫ك اْل‬
َ ‫ك ِمن َرّب‬
َ ‫ل ِإَلْي‬
َ ‫َأَفَمن َيْعَلُم َأّنَما ُأنِز‬
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar, sama
dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang
berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d:
19)
30 Pengertian Fiqh menurut Etimologi atau bahasa berarti;
faham sebagaimana firman Allah SWT “Dan lepaskanlah
kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku.”
Pengertian fiqh seperti diatas juga tertera dalam ayat lain seperti;
Surah Hud 91 Surah At Taubah 122 Surah An Nisa 78. Sementara
makna Fiqh dalam terminologi Islam telah mengalami proses
penyempitan makna; apa yang dipahami oleh generasi awal umat
ini berbeda dengan apa yang populer di genersi berikutnya.
Pengertian fiqh dalam terminologi generasi Awal dapat berarti
pemahaman yg mendalam terhadap Islam secara utuh. Ubaidillah
bin Mas’ud menyebutkan “Istilah fiqh menurut generasi pertama
identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk
kejiwaan sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia
dan aku tidak mengatakan fiqh itu sejak awal hanya mencakup
fatwa dan hukum-hukum yg dhahir saja.” Sementara terminologi
Mutaakhirin fiqh dimaknai sebagai Ilmu furu’ yaitu “mengetahui
hukum Syara’ yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci.
Lebih spesifik lagi para ahli hukum dan undang-undang Islam
memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-
hukum syara’ yg furu dgn berlandaskan hujjah dan argumen.
31 ‫هو علم يعرف به فهم كتاب ال المنزل علي نبيه محمد )ص( وبيبان معبانيه وإسبتخراج أحكببامه و حكمببه‬
Ilmu yang dengannya diketahui:maksud kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw. Makna-makna al-
Qur’an dapat dijelaskan, Hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya
dapat diketahui
32 Definisi tasawuf secara lughawi maupun istilah terdapat
banyak makna yang dikemukakan, namun dalam tulisan ini
penjajah.
Produktivitas tersebut dapat dilihat misalnya
dengan banyaknya karya-karya yang dapat dijadikan
referensi bagi dunia akademis baik skala lokal,
nasional, dan juga internasional.
Diantara ulama-ulama yang memiliki banyak
karya adalah;
Hamzah Fansuri; seperti diketahui Hamzah Fansuri
adalah salah satu ulama yang sangat produktif,
namun karya-karya beliau banyak yang
dimusnahkan terutama karya yang terkait dengan
faham wujudiah, hal ini atas perintah seorang ulama
Aceh lainnya Nuruddin ar-Raniri karena dianggap
menyalahi konsep aqidah Islamiyah. Namun ada
beberapa karya yang masih dapat diakses baik
yang berbentuk prosa maupun dalam bentuk Syair,
seperti Syarb al-‘Asyiqin, Asrar al-‘Arifin fi Bayani
‘Ilmi al-Suluk wa al-Tauhid dan kitab Zînatul
Muwahhidin. Karya lain berupa syair empat baris
bersajak AAAA, atau yang diistilahkan oleh
Syamsuddin as-Sumatrâni dengan ruba’i. Diantara
Syair Hamzah Fansuri adalah Syair Perahu, Syair
Burung Pinggai, dan Syair Dagang33.
Syamsuddin as-Sumatrani: setelah Hamzah fansuri
meninggal, kekuasaan Ulama dalam Kerajaan Aceh
dibatasi pada orang-orang yang tertarik dan intens dengan
pengetahuan-pengetahuan yang terkait dengan bathin
seseorang, dan orang-orang yang tertarik untuk mencari jalan
atau praktek-praktek kearah kesadaran dan pencerahan diri,
lihat, Harapandi, 2007, dalam Meluruskan Pemikiran tasawuf;
Upaya Mengembalikan Tasawuf berdasarkan Al-qur’an dan Al-
sunnah, Pustaka Irfani:Jakarta
33 Lihat Sehat Ihsan Shadiqin, 2009. Tasawuf Aceh,
Aceh:BP Bandar. Hal.55
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Darussalam dipegang oleh Syamsuddin as-


Sumatrani, dia adalah salah satu tokoh sufi
terkemuka dalam kerajaan Aceh dan ikut
memberikan andil besar dalam perkembangan dan
kebesaran peradabannya, sumbangannya bukan
hanya dalam bidang agama, namun juga dalam
bidang politik dan ekonomi kerajaan. Sejarah hidup
beliau tercatat dalam beberapa Hikayat
diantaranya, Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan Kitab
Bustanus Salatin. Karya-karya yang dihasilkan oleh
Syamsuddin as-Sumatrani diantaranya adalah Syarh
Ruba’i Hamzah Fansuri, Syarah Syair Ikan Tongkol,
Kitab jauharul Haqa’iq, Tanbîhut Thullâb fi Ma’rifati
Malikil Wahhab, Risalah Tubayyin Mulahazatul
Muwahhidin wal Mulhidin fi Dzikr Allah, Mir’atul
Mu’minin, Nur al-Daqa’iq, Thariq al-Salikin, Mir’atul
Iman atau kitab Bahr al-Nur, kitab al-Harakah, dan
kitab Haqiqatus Shufi.
Nuruddin ar-Raniry: beliau ini diberikan tugas sebagai
Mufti dalam kerajaan Aceh seperti kedudukan
Syamsuddin as-Sumatrani, masa Sultan Iskandar
Tsani yang tidak lain adalah menantu Sultan
Iskandar Muda sendiri. Kedudukan ini sangat
strategis dan berpengaruh melebihi wewenang
Qadhi Malikul ‘Adil (perdana Menteri). Selain sebagai
Mufti ia juga sebagai hakim, penulis dan
penyanggah ajaran wujudiyah. Menurut Azra ar-
Raniry merupakan mujaddid yang paling penting di
Nusantara pada abad 1734. Hal ini dapat diketahui

34 Azra, Jaringan Ulama…, hal. 203


dengan melihat berbagai pembaharuan pemikiran
keIslaman yang dilakukannya, terutama dalam
masalah fikih, akidah dan keimanan umat Islam saat
itu. Sampai saat ini telah ditemukan 29 karangan ar-
Raniry35. Kitab-kitab tersebut membahas berbagai
dimensi ilmu keIslaman, yang paling banyak adalah
masalah tauhid, fikih dan sejarah. Beberapa kitab
tersebut dimaksudkan untuk menyerang doktrin
wujudiyah dan menunjukkan beberapa argument
tandingannya. Diantara karya ar-raniry adalah
Shirat al-Mustaqim, Durrah al-Faraid Bisyarhi
al-‘Aqaid, Hidayat al-Habib fi Targib wa Tarhib,
Bustan as-Salatin fi Zikri Awwalin wa al-Akhirin, dan
kitab Hilal al-Zill.
Tengku Syech Muhammad Bin Ahmad Chatîb Lânġien:
beliau adalah seorang ulama kharismatik terlahir
dari keturunan ke-5 Smiet Bardan seorang Muballig
asal Inggris. Dari sinilah lahir dua silsilah penguasa
Aceh. Pertama silsilah yang melahirkan Umarâ dan
kedua; silsilah yang melahirkan Ulamâ besar di
kalangan masyarakat Aceh36. Beliau ini hidup pada
akhir abad XIX awal abad XX, beliau dikenal juga
sebagai Tgk Syik Di Tepin Raya. Selain sebagai
muballiq juga sebagai pengarang yang sangat
produktif, hasil-hasil karya beliau yang paling

35Syed Muhammad Naguib al-Attas, A Comentary on he


Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniry, (Kuala Lumpur:Ministry of
Culture, 1986), hal. 8-12
36Wawancara dengan Kepala Museum Aceh Drs.
Nuruddin, M.Si pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2009 di Gedung
Museum Aceh Ruang Koleksi. Menurut silsilah beliau juga
termasuk keturunan Syaikh Muhammad bin Ahmad Khatib
Langien.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

popular sampai saat ini dipakai di dayah-dayah


seluruh Aceh adalah kitab Dawâul Qulûb yang
terkumpul dalam kitab Jamu Jawâ’i' al-Mushannafât37
yang popular dengan “kitab delapan” karena
terkumpul delapan kitab, dikumpulkan oleh al-Âlim
al-Fâdlil al-Syaikh Ismâil Ibn ‘Abdul Muttalib al-Âsyi’.
Dalam sumber lain ditemukan bahwa naskah
lain yang dihasilkan oleh Tgk Muhammad bin Ahmad
Khatib Langgien adalah; I’lâmul Muttaqîn Min
Irsyâdul Murîdîn; berisi tentang ilmu yang harus
dipelajari, keutamaan menuntut ilmu disertai hadits-
hadits yang mewajibkan menuntut ilmu, juga
tentang taubat baik dari dosa kecil maupun dosa
besar, dan hal-hal lain.
Kumpulan Karangan; Minhâjul al-tamîmî Fî
Tabwîb al-Hikami;naskah ini berisi tentang ilmu
yang bermanfaat, taubat, ikhlas dalam beramal,
hikmah sembahyang, menjaga waktu, zikir dan
persoalan riya, Ka’su al-Muhaqqiqîn; bersisi uraian
dan penjelasan tentang tarekat, Uyûn al-Haqîqah Li
Ahli al-Kasyf al-Musyâhadah; berisi tentang

37 Kitab tersebut mengandung 8 teks yang ditulis oleh


ulama’-ulama besar Aceh seperti Hidâyatul Awâm oleh al-Allâmah
Jalâluddin, kitab ini berbicara tentang berbagai persoalan dalam
ilmu fiqh, Farâidul Qur’an membicarakan masalah-masalah
keutamaan al-Qur’an, Kasyful al-Kirâm dan Talkhîsul Falâh oleh
Âlim al-Kâmil Mukammil Syaikh Muhammad Zaini, kitab ini yang
pertama berbicara tentang niat pada saat takbîrautl Ihrâm dan
kitab kedua berbicara tentang hukum thalaq dan nikah dalam
kajian fiqh, Syifâul Qulûb oleh Maulânâ al-Ârif billah Syaikh
Abdullah, kitab ini berbicara tentang persoalan ilmu-ilmu hadits,
Al-Mawâidzul Badîah oleh Wali Allah bilâ Nizâ’ Syaikh Abdurrauf
al-Fanshûrî, Dawâul Qulûb oleh Tgk Syaikh Muhammad bin
Ahmad Khâtib Langien, kitab ini berbicara tentang persoalan obat
hati (ilmu Dzâhir Bâthin) dalam perspektif sûfî, dan I’lâmul
Muttaqîn oleh Syaikh Jamâluddin.
martabat manusia serta uraian tentang 7 martabat
manusia, Rubâ’î Hamzah Fansûrî dan beberapa
catatan tentang Faham Wujûdiyah, Mi’rajus Sâlikîn;
berisi tentang silsilah tharekat syatâriyah, cara-cara
mengambil tharekat bagi seorang murid, serta
pengertian Syariat, tharekat, ma’rifat dan haqiqat,
Asrâru Ad-Dîn: berisi tentang rahasia-rahasia ajaran
agama, Nujûmul Hudâ Li Ahlil Qurbâ, dan Jalan Salik
dan jalan suluknya, hadits dan artinya (tentang
tasawuf), doa tasawuf dan astrologi (tidak diketahui
judulnya).
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
Kelahiran
Faqih Jalaluddin merupakan seorang ulama Aceh
yang hidup setelah masa Syaikh Abdurrauf Sinkil. Ia
adalah murid dari Syaikh Abu Daud al-Jawi ibn Ismail
ibn Agha Ali Mustafa ibn Agha Ali Rumi38 yang popular
dengan Baba Daud. Wan Mohd. Shaghir Abdullah
berkeyakinan bahwa Faqih Jalaluddin sempat bertemu
masa dan belajar langsung kepada Abdurrauf al-Sinkili,
mengingat hubungan dekat yang terjalin antara
Abdurrauf dengan Baba Daud, begitu juga antara Baba
Daud dengan Faqih Jalaluddin. Dengan demikian dapat
diperkirakan ia hidup di sekitar akhir abad 17 sampai
paruh kedua abad ke 18.
Wan Mohd. Shaghir Abdullah mengutarakan
adanya kekeliruan mengenai nama Ayah Faqih
Jalaluddin yang terdapat di antara dua naskah, yaitu
38Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang
Abad, Jakarta; LIBRA, 1996. Beliau adalah salah seorang murid
dari Syaikh Abdurrauf Sinkil.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

jam’u Jawami’ al-Mushannafat39 dan Hujjat al-Balighah.


Pada naskah Hujjat al-Balighah disebutkan namanya
ialah Faqih Jalaluddin ibnu asy-Syeikh Kamaluddin ibnu
al-Qadhi Baginda Khathib at-Tarun Pasir. Sementara
pada naskah jam’u Jawami’ al-Mushannafat nama
Kamaluddin ditulis dengan Jalaluddin.
Sementara Teungku Iskandar40 menyebutkan
informasi yang berbeda, nama Faqih disebutkan
dengan Jalaluddin bin Muhammad Kamaluddin bin
Baginda Khatib, pengarang Safinat al-Hukkam fi
Takhlis al-Khassam. Dikatakan bahwa ia berasal dari
daerah Tarusan, Minangkabau. Faqih termasuk dalam
salah satu nama ulama Aceh yang merupakan
pengarang pada abad 18.

Pendidikan

Mengenai pendidikan yang diperoleh oleh Faqih


Jalaluddin, belum ditemukan adanya peneliti yang
mengkaji secara dalam mengenai hal ini. Informasi
yang dapat diketahui bahwa Faqih Jalaluddin telah
belajar kepada Baba Daud serta mendapatkan ijazah,
khirqah tarekat Qadiriyah dan Syattariyah dari
gurunya tersebut, sebagaimana yang tersebut dalam
naskah Syamsu al-Ma’rifat:

39Kitab Jam’u Jawami’ al-Musannafat adalah karya al-Syaikh


Ismail bin Abdul Muttalib al-‘Asyi yang berisi kumpulan karya-
karya ulama asal Aceh dan dikenal di lingkungan masyarakat
dayah Aceh sebagai kitab delapan. Kitab-kitab yang terkait di
dalmnya adalah kitab Risalah Hidayatul Awam, Risalah talkhis al-
Falah, Risalah Dawa’ al-Qulub, Risalah Faraidul Qur’an, Risalah
Syifa’ al-Qulub, Risalah I’lam al-Muttaqin, Risalah Kasyf al-Kiram,
dan Risalah Mawaizd al-Badi’ah.
40Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang
Abad, Jakarta; LIBRA, 1996.
“…risalah pada menyatakan silsilah tariqat yang
amat tinggi martabatnya yaitu thariqat Qādiriy
dan Syaţţariy, yaitu maka adalah fakir yang hina
Faqih Jalaluddin yang mengambil bai’at dan
talqin dan khirqah dan ijazah syeikhnya yang
’arif billah yaitu syeikh Baba Daud ibn Ismail
faqih yang ia mengambil syekhnya Amiruddin
’Abdurrauf dan....”

Setelah memperolah ilmu pengetahuan dari


gurunya Baba Daud, Faqih Jalaluddin kemudian pergi
belajar ke tanah Suci Mekkah dan juga India. Hal ini
menunjukkan bahwa tradisi keulamaan di Aceh pada
waktu itu masih berpusat pada tanah Suci Mekkah
sebagaimana ulama-ulama besar pada masa
sebelumnya, sebut saja misalnya Syaikh Abdurrauf
Sinkel, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry dan juga
yang lainnya41.
Dapat dikatakan bahwa Faqih Jalaludin juga
merupakan seorang ulama besar Aceh sehingga ia
dilantik sebagai Qadhi Malikul Adil di Kerajaan Aceh
Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin
Maharaja Lela Ahmad Syah (1139 H- 1147 H/ 1727 M-
1723 M) dan pada masa Sultan Alauddin Johan Syah
(1147 H- 1174 H/ 1735 M- 1760 M) fakta tersebut
dapat dilihat dalam kutipan Wan Mohd. Saghir
Abdullah dalam naskah Hidayah al-Awwam42, bahwa:
“… pada Hijrah Nabi seribu seratus empat
41 Azyumardi Azra, 2005. Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII. Jakarta:Prenada
Media.
42 Kitab Hidayah al-Awwam ini merupakan salah satu dari
delapan kitab yang tergabung pada Jam’u Jawami’ al-Musannafat
bagian pertama yang ditulis oleh al-Allamah Jalaluddin anak
Syaikh ‘Arif bi Allah Syaikh Jalaluddin, halaman. 2-3. Lihat kitab
Jam’u Jawami’ al-Musannafat karya Ismail bin ‘Abdul Muttalib,tt.
(Medan: Al-Syifa’)
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

puluh, pada lima hari bulan Muharram (5


Muharram 1140 H/ 23 Ogos 1727 M, pen) zaman
Paduka Seri Sultan, yang amat besar
kerajaannya, lagi yang maha tinggi darajatnya,
yaitu Sultan Alauddin Ahmad Syah Johan
berdaulat Zhulillah fi al-‘Alam, adamallahu
daulatu, Amin, maka tatkala itu meminta kepada
Faqir yang hina Khadim al-Ulama (yang
berkhidmad pada ulama), Haji Jalaluddin… oleh
seorang sahabat raja itu, yang takut akan Allah
taala, bahawa kusuratkan baginya suatu risalah
yang simpan (maksudnya: risalah yang ringkas,
pen). Maka aku namai akan dia Hidayah al-
Awam… ”

Sebagai seorang ulama, Faqih Jalaluddin juga


mengarang kitab-kitab keagamaan seperti Fiqh dan
Tasawuf. Dalam bidang tafsir Qur’an, ia telah
membantu gurunya Baba Daud menyalin tafsir
Tarjuman al-Mustafid dan menyelesaikan tafsir itu
sehingga menjadi lebih lengkap dan sempurna, di
mana Tarjuman al-Mustafid merupaka salah satu karya
Abdurrauf Sinkil yang merupakan tafsir Melayu
pertama di dunia Melayu.43

Karya-karyanya
Diantara karya-karya yang telah dihasilkan oleh
Faqih Jalaluddin ialah dari yang telah disebutkan oleh
Wan Mohd Shaghir Abdullah ada sebanyak lima karya,
yaitu karya dalam bidang Fiqh sebanyak tiga buah dan
karya dalam bidang Tasawuf sebanyak dua buah.
Adapun naskah Syamsu al-Ma’rifat tidak disebutkan di
dalamnya. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian
filologi terhadap naskah ini, maka akan menambah
43 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di
Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group bekerjasama dengan
…. PPIM UIN Jakarta dan KITLV, 2008. hlm. 35.
kontribusi bagi penambahan data terhadap karya-
karya ulama Aceh khususnya dan Nusantara
umumnya, termasuk Faqih Jalaluddin yang merupakan
salah seorang ulama yang berpengaruh pada
masanya, namun pada masa kini jarang dikenal oleh
masyarakat, khususnya bagi masyarakat Aceh sendiri.
Hal tersebut dikarenakan sulitnya ditemukan tulisan
tentang Faqih Jalaluddin.
Adapun informasi-informasi mengenai Faqih
Jalaluddin didapatkan dari naskah-naskah kuno yang
merupakan hasil karyanya. Adapun karya-karya Faqih
Jalaluddin yang dapat diketahui dari tulisan Wan Mohd.
Shaghir Abdullah ialah sebagai berikut dan penulis
tambahkan dibawahnya naskah Syamsu al-Ma’rifat
sebagai daftar baru dari daftar yang telah ada.
Hidayah al-Awam (berisi tentang Fiqh, mengenai
perintah agama), merupakan karya pertama
yang di karang oleh Faqih Jalaluddin.
Safinat al-Hukam fi Talkhis al-Khisham (berisi
tentang Fiqh, kemungkinan merupakan
karyanya yang terbesar di antara karyanya).
Hujjah al-Balighah ‘ala Jama’ah al-Mukhasamah
(berisi tentang Fiqh).
Manzhar al-Ajla ila Martabah al-A’la (berisi tentang
Tasawuf).
Asrar as-Suluk ila Malail Muluk (berisi tentang
Tasawuf).
syamsu al- Ma’rifat ila hadharatihi syarifati (berisi
tentang Tasawuf).
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Ringkasan Isi Naskah


Syamsul ma’rifa Ilâ Hadlratihî al-Syarîfati
Deskripsi Naskah Syamsu al Ma’rifa

Naskah ini berjudul Syamsu al-Ma’rifa Ilâ


Hadratihî Al-Syarifa, yang dikarang oleh syeikh Faqih
Jalaluddin. Naskah ini didapatkan dari Museum Ali
Hasyimi di ketapang Banda Aceh pada tanggal 28 April
2010. Nomor naskah ini tercatat dua katagori yaitu
nomor lama dan nomor baru: Nomor lama naskah ini
15/NKT/YPAH/1992, sedangkan nomor baru naskahnya
11E/TS/12/YPAH/2005 nomor baru ini berdasarkan
katalog hasil research Tokyo University Of Foreign
Studies (TUFS), kerja sama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat
(PKPM) Nanggroe Aceh Darussalam 2005.
Ada beberapa catatan penting –sebagai
perbaikan, karena ternyata setelah dilakukan
pengecekan pada naskah aselinya —terdapat
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

beberapa kekeliruan dalam catalog tersebut seperti


pada naskah No.11A/TS/1/YPAH/2005 atau
15/NKT/YPAH/1992 pada katagori naskah tasauf. Di
dalam katalog naskah itu disebutkan bahwa pada
nomor naskah 11A berjudul Tibyan fil ma’rifat al
adyan, 11B naskah Tibyan fil ma’rifat Al adyan, 11C
naskah sulam mustafidin, 11D naskah sulam
mustafidin, dan 11E naskah syaamsul ma’rifat ila
hadhratihi ash syaarifa.
Sementara fakta yang ada bahwa pada naskah
nomor 11A berjudul Tibyan fil ma’rifat al adyan, 11B
naskah Sulam Mustafidin, 11B naskah sulam
mustafidin, 11D Syamsu al- ma’rifat ila hadhratihi al-
syaarifa, dan pada naskah bernomor 11E terdapat
naskah tentang kejadian manusia. Begitu juga dengan
jenis kertasnya yang dijlaskan di buku kertas eropa
padahal yang sebanarnya kertas buku tulis biasa dan
ada juga perbedaan dengan baris dan jumlah
halamannya, kebanyakan tidak sama. Jadi naskah
yang dijadikan kajian pada penelitian ini adalah
naskah bernomor seri 11 D bukan 11 E.

Ukuran naskahnya 20 x 5 cm sedangkan ukuran


teksnya 15,5 cm x17,5 cm, yang terdiri 11 halaman
dan tiap-tiap halaman 22 baris. Naskah ini ditulis
dengan huruf Arab jawi bahasa Arab Melayu,
tulisannya masih baik dan jelas, hurufnya kecil-kecil,
rapat dan tidak memakai tanda baca atau harakat.
Ditulis dengan memakai tinta tradisional hitam
sementara rubrikasinya memakai tinta merah.
Terdapat penomoran halaman pada naskah ini yang
ditulis dengan pinsil biasa dan juga menggunakan
alihan di setiap halaman rekto untuk menentukan
halaman berikutnya. Keadaan naskahnya masih baik
dan masih jelas dibaca. Naskah ini merupakan
kumpulan karangan yang tergabung dengan naskah
Tibyan Fil Ma’rifat Al Adyan (11A), Sulam Mustafidin
(11E), Sulam Mustafidin (11C), dan tentang kejadian
Manusia (11E).
Teks naskah ditulis dalam bentuk prosa, dengan
tulisan khat Farisi, pada kertas tipis bergaris biasa.
Pada naskah ini terdapat beberapa halaman yang
ditulis pada pias halaman, terdapat juga “oksordium”
atau kata pengantar di awal naskahnya dan “kolofon”
bagian akhir naskahnya. Naskah ini tidak ada sampul
hanya kulit buku biasa.

Isi Singkat Naskah

Dari segi judul naskah ini dapat dimaknai sebagai


usaha memebrikan penjelasan kepada persoalan
essensi Ilahiyyah yang tersembunyi dari para makhluk
Allah Swt. Secara garis besar isi kadungan naskah ini
dapat dilihat dalam naskah ini hal-hal terkait dengan
masalah tasawuf adalah;

Pertama; tentang al-taubat, Dalam konsep ini


Syeikh Faqih Jalaluddin mengemukakan;
“Firman Allah Ta’ala tûbû ilallahi taubatan nasuha,
artinya taubatlah kamu kepada Allah dengan
taubat yang sahih. Sabda Nabi şallallahu ‘Alaihi
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Wasallam waman tâba minaz zanbi kaman la


zanba lahu44, artinya barang siapa taubat daripada
dosa adalah ia seperti orang yang tiada berdosa…”
(syamsul, hal.01).

Lanjutnya bahwa taubat itu terbagi menjadi dua


perkara;
“… Maka adalah taubat itu dua perkara. Pertama
taubat zahir, kedua taubat batin. Maka
perhimpunan kedua taubat itu yaitu taubat qutbil
aqtâbi syekh ‘Abdul Qadir Jailaniy45 astaghfirullahal
‘azdim min ismi wamin dzalali wamin wujudi wa
min ‘ilmi wamin ‘amali, artinya mohon ampun aku
kepada Allah yang amat besar daripada dosa besar
dan daripada dosa kecil dan daripada ingat akan
diriku dan ilmuku dan ‘amalku…” (Syamsul 01)

Dari ungkapan tersebut tersurat dengan jelas


bahwa taubat zahir dan juga taubat batin dapat
disatukan dalam satu tarikan nafas tanpa dipisah-
pisahkan antara keduanya, hal tersebut terbukti

44 Orang yang bertaubat setelah tergelincir dalam kesalahan


ibarat orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, namun
taubat tersebut harus pula diikuti dengan perbuatan kebajikan
“Wa atbi’i al-Sayyiata al-hasanata” (maka hendaklah diikuti
keburukan dengan kebajikan). Dalam salah satu haditsnya Rasul
Allah mengatakan; “Lâ Kabîrata Maal Ishtigfâr Walâ Shaghîrata
Maal Asrâr” (tidak dikenal dosa besar jika dibarengi dengan
istighfar dan tidak ada namanya dosa kecil bila dilakukan terus-
menerus).
45 Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-
Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani. Riwayat pertama
yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua
menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat
kedua lebih dipercaya oleh ulama. Silsilah Syekh Abdul Qodir
bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a, melalui
ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12
generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami r.a, memberikan
komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi
berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal
sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah
kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang
ibu". (Baca Harapandi, 2001. Pemikiran Teologi Sufistik Syaikh
Abdul Qadir El-Jaelani, Wahyu Press;Jakarta)
dengan statemen syekh Abdul Qadir al-Jailani di atas.
Lebih dari itu hasil yang diharapkan dari aktivitas
taubat adalah pemurnian kembali ketauhidan
seseorang setelah menghambakan dirinya kepada
selain Allah Sang Khaliq. Pernyataan tegas Faqih
Jalaluddin dalam potongan teksnya;
“…Maka hasillah daripada taubat ini tauhid yang
dimaksud pada menjalani jalan kepada Allah. Maka
makna tauhid46 itu yaitu Esa Allah aza wajalla dan
zatnya dan sifatnya dan pada fa’al-Nya…”
(Syamsul, hal. 01)

Setelah ungkapan penyesalan dibuktikan


dengan mencerabut diri dari perbuatan maksiat,
menyesali semua yang telah terlanjur dilakukan, dan
berniat dengan sungguh-sungguh untuk tidak akan
pernah kembali lagi melakukan kemaksiatan dan
akhirnya menyerahkan seluruh persoalan kepada Sang
Pencipta inilah hakikat taubat yang sebenar-benar
taubat {Taubatan Nashuha}.
“…Jikalau sekalian perintah dan sekalian ikhtiar
melainkan yang sepatutnya kita pada saat kerja
dan pada saat ketika hendaklah menyerahkan diri
kepada Allah, dan senantiasa hati berhadap
kepada-Nya serta memuji Dia dan ‘ibadah akan Dia
pada tiap-tiap waktu, demikianlah orang taubat
yang dikasihi Allah” (Syamsul, 02)

46Tauhid terbagi menjadi tauhid Nafsiyyah dan juga tauhid


Salbiyyah. Tauhid Nafsiyyah adalah sikap seorang hamba yang –
hanya—mengakui bahwa hanya Allah-lah yang harus di sembah
dan tiada tuhan melainkanNya, Dialah yang Maha Esa Dzat satu-
satunya dan esensinya tidak dapat ditiru oleh makhlukNya,
sementara tauhid Salbiyyah adalah sikap peng-Esaan Allah Swt
secara total dalam perkataan maupun perbuatan namun dapat
teraplikasikan dalam sikap hambaNya seperti Alah Maha
Pengasih, maka seorang hamba harus mengaplikasikan sikap
kasih juga terhadap hamba Allah yang lain.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Jadi hakikat al-taubat dalam pandangan syeikh


Faqih Jalaluddin merupakan kesadaran sedalam-
dalamnya terhadap segala ketentuan yang telah
digariskan Allah beserta rasulNya dalam berbagai
dasar al-quran maupun al-sunnah. Dengan kesadaran
bahwa Allah Maha Melihat (Bashirun)47 terhadap
seluruh aktivitas yang kita lakukan, maka akan
terpelihara dari perbuatan-perbuatan melanggar
ketentuan Ilahi. Kesadaran akan kehadiran Allah dalam
berbagai locus membuat kita menjadi awas dan selalu
berada pada jalur yang telah ditetapkan Allah Swt.

Perwujudan dan manifestasi Allah dalam alam


raya ini dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah
Wihdat el-Wujud (kesatuan wujud)48. Konsep Wihdatul
47 Bashirun artinya yang melihat, maka mustahil Allah itu
buta. Sifat ini telah ditegaskan sendiri oleh Allah dalam al-Qur’an
"Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (Q.S.Al-
Hujurat : 18). Maka sepatutnyalah bagi setiap mu'min yang
memiliki keyakinan yang benar untuk senatiasa memperbanyak
rasa malu melakukan dosa dan kelalaian kepada Allah Yang Maha
Melihat. Penglihatan Allah tentunya sangat berbeda dengan
penglihatan manusia atau makhluq lainnya karena Allah bersifat
Laitsa Kamitslihi Syaiun (Allah berbeda dengan makhluqNya dari
segala segi).
48 Muhiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn
Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Ta'i (28 Juli 1165-
16 November 1240) atau lebih dikenal sebagai Ibnu Arabi adalah
seorang sufi terkenal dalam perkembangan tasawuf di dunia
Islam. Ibnu Arabi dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1165 di Al-
Andalus, Spanyol. Pada usianya yang ke 8, bersama keluarganya,
ia pindah ke Sevilla. Pada tahun 1198, ia pergi ke Fez, Maroko.
Ibnu Arabi sangat dikenal dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia
mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali
Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan
lahiriah dari-Nya. Keberadaan makhluk tergantung pada
keberadaan Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang
paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri Tuhan
yang paling sempurna, menurutnya. Pengaruh Ibnu Arabi dalam
bidang tasawuf, khususnya tasawuf filosofis, sangat luar biasa.
Gagasan Ibnu Arabi menyebar luas dan memiliki pengikut yang
tidak sedikit jumlahnya. Di Indonesia, paham wihdat al-wujud
Ibnu arabi berpengaruh besar. Terbukti dengan banyak ulama
Wujud adalah konsep yang dirumuskan oleh Ibnu
Arabi, beliau mengemukakan bahwa tidak ada sesuatu
pun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain
Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya.
Keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan
Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang
paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri
Tuhan yang paling sempurna, menurutnya.

Ibn Al-‘Arabi adalah pendiri faham Tauhid Wujudi


bahkan ia merupakan panutan dalam pemikiran ini.
Pemikiran yang selalu menjadi sorotan tajam dari
kaum fuqoha. Pemikiran inilah yang menjadi landasan
konsep pendidikannya bahkan semua pola pikirnya
berporos pada pemahaman ini. Perlu digaris bawahi
bahwa Ibn Arabi belum pernah menyebutkan istilah
wahdatul wujud dalam kitabnya namun istilah ini
dicetuskan oleh orientalis/ kafirin. Namun dari
berbagai ajarannya bisa dikatakan bahwa
pemahamannya adalah wahdatul wujud.

Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud Ibn


Arabi mengungkapkan:
“ketahuilah bahwa wujud ini satu namun Dia
memiliki penampakan yang disebut dengan alam
dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan
asma (nama-nama), dan memiliki pemisah yang
disebut dengan barzakh yang menghimpun dan
memisahkan antara batin dan lahir itulah yang
dikenal dengan Insan Kamil”.
Dalam kalimat lain juga menjelaskan:

Indonesia yang memakai prinsip wihdat al-wujud, diantaranya:


Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani dan Abdus Samad al-
Palimbani.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

“Ketahuilah bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah


Swt. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai
ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan
sumber segala nama, dan tujuan terakhir dari
segala tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta
mencakup segala tuntutan, kepadaNya lah isyarat
yang difirmankan Allah kepada RasulNya Saw
-bahwa kepada Tuhanmulah tujuan terakhir- karena
Muhammad adalah mazhar dari pernyataan
pertama (ta’ayyun awwal), dan Tuhan yang khusus
baginya adalah Ketuhanan Yang Teragung ini.
Ketahuilah bahwa segala nama dari nama-nama
Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang
bernama dengan ‘mahiat’ atau ‘ain sabitah’ (esensi
yang tetap).

Setiap nama juga memiliki gambaran di luar


yang diberi nama dengan mazahir (penampakan atau
fenomena) dan segala nama tadi merupakan pengatur
dari mazahir (fenomena-fenomena) ini. Sedang
Haqiqat Muhammadiyah merupakan gambaran dari
nama ‘Allah’ yang menghimpun segala nama
ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala
yang ada dan Allah Swt sebagai Tuhannya. Haqiqat
Muhammadiyah yang mengatur gambaran alam
seluruhnya dengan Tuhan yang tampil padanya,
disebut dengan Rab al-arbab (Allah Swt).”

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan


Haqiqat Muhammadiyah di sini bukan hanya Nabi
Muhammad sebagai manusianya namun Haqiqat
Muhammadiayah adalah Asma dan Sifat Allah serta
Akhlaqnya. Nabi muhammad disebut dengan
Muhammad karena Beliau mampu berakhlaq dengan
seluruh akhlaq ketuhanan tersebut.
Selanjutnya Ibn Arabi juga mengatakan:

“ketahuilah bahwa yang ada hanya sifat-sifatNya


Allah, af’alNya maka semuanya adalah Dia,
denganNya, dariNya dan kepadaNya. Kalaulah ia
terhijab dari alam ini walaupun sekejap maka
binasalah alam ini secara keselurhan, kekalnya alam
ini dengan penjagaanNYa dan penglihatanNya
kepada alam. Akan tetapi jika sesuatu sangat
tampak jelas dengan cahayaNya hingga
pemahaman tidak mampu untuk mengetahuinya
maka penampakan itulah yang disebut dengan
hijab.”

Jadi asma dan sifat itulah yang disebut dengan


Haqiqat Muhammadiyah, dan alam muncul dari
hakikat tersebut. Oleh sebab itu Ibn Arabi
mengungkapkan:
“Alam pada hakikatnya adalah satu namun yang
hilang dan muncul adalah gambarnya saja”.

Maksudnya hakikat alam tadi berasal dari Zat


Yang Satu, yang pada dasarnya gambaran alam tadi
hilang dan muncul, artinya alam itu pada hakikatnya
tiada berupa gambar saja. Dalam hal ini ia
menyatakan: “Maha Suci Allah yang menciptakan
segala sesuatu Dialah segala sesuatu tadi.” Artinya
penampakannya tiada lain Dia juga, yang tampil
dariNya adalah Dia juga.
Lebih jelasnya Syaikh Abd Ar-Rauf Singkil
menjelaskan dalam sebuah karyanya:
“wujud alam ini tidak benar-benar sendiri,
melainkan terjadi melalui pancaran. Yang dimaksud
dengan memancar di sini adalah bagaikan
memancarnya pengetahuan dari Allah Ta’ala.
Seperti halnya alam ini bukan benar-benar Zat Allah,
karena ia merupakan wujud yang baru, alam juga
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

tidak benar-benar lain dariNya. Karena ia bukan


wujud kedua yang berdiri sendiri disamping Allah.”
Jadi alam bukanlah sebenarnya Allah namun
pancarannNya dengan kata lain hijabnya. Hal ini
dikuatkan oleh penjelasan Willian dalam salah satu
karyanya mengenai Ibn Arabi: “Hanya satu wujud dan
seluruh eksistensi tiada lain adalah pancaran dari
Wujud Yang Satu.” Kesimpulannya yang tampak itulah
makhluk cipatanNya sedang ZatNya tetaplah ghaib.
Hal ini dijelaskan oelh Ibn Arabi sebagai berikut:

“Allah nyata ditinjau dari penampakanNya pada


cipatanNya dan batin dari segi Zatnya.”
Untuk lebih jelasnya, Tajalliyat Allah pada lingkatan
wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa
kesempurnaan dan keagungan yang abadi. Zatnya
merupakan sumber pancaran yang tak pernah habis
keindahan dan keagunganNya. Ia merupakan
perbendaharaan yang tersembunyi yang ingin tampil
dan dikenal. Allah sebagai keindahan ingin membuka
perbendahataan tersembunyi tersebut dengan
Tajalliyat (teofani) Haq tentunya yang merupakan
penampakan-penampakan dari keagungan, keindahan
dan kesempurnaanNya dalam pentas alam yang maha
luas.

Ibn Arabi berkata: “Alam maujud atau mengada


denganNya”. Tajalliyat al-Wujud dengan gambaran
global dalam tiga hadirat: Hadirat Zat (Tajalliyat
Wujudiya Zatiya) yaitu pernyataan dengan diriNya
untuk diriNya dari diriNya. Dalam hal ini Ia terbebas
dari segala gambaran dan penampakan. Ini dikenal
dengan Ahadiyat. Pada keadaan ini tampak Zat Allah
terbebas dari segala sifat, nama, kualitas, dan
gambaran. Ia merupakan Zat Yang Suci yang dikenal
dengan rahasia dari segala rahasia, gaib dari segala
yang gaib, sebagaimana ia merupakan penampakan
Zat, atau cermin yang terpantul darinya hakikat
keberadaan yang mutlak. Tajalliyat Wujudiya Sifatiya
yang merupakan pernyataan Allah dengan diriNya,
untuk diriNya, pada penampakan kesempurnaanNya
(asma) dan penampakan sifat-sifatNya yang azali.
Keadaan ini dikenal dengan wahdah.

Pada hal ini tampak hakikat keberadaan yang


mutlah dalam hiasan kesempurnaan ini lah yang
dikenal dedngan Haqiqat Muhammadiyah (kebenaran
yang terpuji), setelah ia tersembunyi pada rahasia
gaib yang mutlak denganjalan faid al-aqdas (atau
limpahan yang paling suci karena ia langsung dari Zat
Allah). Dalam keadaan ini tampillah al-A’yan as-
Sabitah (esensi-esensi yang tetap) atau ma’lumat
Allah. Tajalliyat Wujudiyah Fi’liyah (af’aliyah) yaitu
pernyataan Haq dengan diriNya untuk diriNya dalam
fenomena esensi-esensi yang luar (A’yan Kharijah)
atau hakikat-hakikat alam semesta. Keadaan ini
dikenal dengan mutlaq dengan ZatNya, sifatNya dan
perbuatanNya dengan jalan limpahan yang suci (al-
faid al-muqaddas). Allah pun tampak pada gambaran
esensi-esensi luar (A’yan Kharijah), baik yang abstrak
maupun yang kongkrit yang merupakan asal dari alam
semesta seluruhnya.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Allah Swt merupakan awal dari tajalliyat wujud


segala fenomenanya dan dimensinya. Jadi Dia tidak
berasal dari ketiadaan dan tidak berakhir kepada
ketiadaan pula. Ia merupakan karya absolut yang
berada pada lingkatan yang absolut, ia berasal dari
yang Haq dengan Haq dan kepada yang Haq, baik
dalam tahap Zat, Sifat dan Af’al. semuanya adalah
penampakan dari hakikat yang satu.

Namun apakah berarti alam adalah Allah dan


Allah adalah alam. Bisa dikatakan ‘ya’ atau ‘tidak’,
sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam salah satu
karyanya:

“Dalam hal ini ada sebagian golongan sufi yang


terpeleset jatuh dalam kekhilafan dari yang
sebenarnya, mereka berkata tidak ada kecuali apa
yang engkau lihat bahwa alam adalah Allah dan
Allah adalah alam tiada lain. Sebabnya kesaksian ini
terjadi karena mereka belim benar benar mencapai
apa yang dicapai oleh muhaqiqun. Kalau mereka
mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqin maka
meraka tidak akan berkata demikian dan
menetapkan segala hakikat pada tempatnya dan
mengetahuinya dengan ilmu dan penyingkapan.”
Disamping itu penyatuan antara manusia dan
hamba adalah mustahil ataupun Allah bertempat
adalah juga mustahil. Hal ini ia jelaskan dalam sebuah
kitabnya:

“Ittihad adalah mustahil karena dua zat menjadi


satu, tidak akan mungkin bertemu antara hamba
dan Tuhan pada satu wajah selamanya ditinjau dari
ZatNya.”
Dari pernyataan ini jelas beliau tidak berpaham
panteisme, jadi bagaimana menafsirkan wahdatul
wujud tersebut? Sebagaimana yang diungkapkan
sebelumnya bahwa Zat Allah adalah sumber
segalanya. Jadi yang disebut eksistensi atau wujud
adalah Zat tersebut. Sedangkan keadaan yang dikenal
dngan Haqiqat Muhammadiyah (A’yan sabitah,
wahdah, tajalliyat wjudiyah sifatiyah) merupakan
penampakan atau bayangan dari Zat Yang Suci yang
bernama Allah. Kemudian keadaan yang bernama
Wahdaniyat (tajalliyat wujudiyah fi’liyah atau a’yan
kharijiyah) adalah bayangan dari wahdah atau Haqiqat
Muhammadiyah. Jadi seluruhnya bayangan dari Zat
Yang Suci. Lebih jelasnya alam ini (a’yan kharijiyah)
penampakan atau bayangan dari Asma Allah yang
dikenal dengan Haqiqat Muhammdiyah ataupaun
A’yan Sabitah. Sedangkan Asma adalah penampakan
dari Zat Yang Maha Suci. Jadi bayangan adalah
sesuatu yang pada hakikatnya tiada namun ia ada
bergantung kepada Zat Allah, sebagaimana bayangan
suatu benda.

Penjelasan diatas dikuatkan dengan perkataan Ibn


Arabi dalam kitab Futuhat:
Jika Engkau nyatakan: “Tiada sesuatupun yang
setara denganNya maka hilanglah bayangan
sementara bayangan terbentang maka hendaklah
engkau memperhatikan lebih teliti.”
Dalam kitab Al-Jalalah beliau menjelaskan:

“Segala sesuatu memiliki bayangan dan bayangan


Allah adalah Arasy. Akan tetapi bukanlah setiap
bayangan terbentang. Arasy bagi Tuhan adalah
bayangan yang tidak terbentang, apakah engkau
tidak memperhatikan bahwa jisim yang memiliki
bayangan apabila diliputi oleh cahaya maka
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

bayangannya ada padanya.”


Bayangan yang dimaksud di sini adalah alam
semesta. Manusia memiliki banyak bayangan jika dia
disinari oleh beberapa cahaya yang datang dari
berbagai arah, wajahnya akan muncul dalam berbagai
cermin yang pada hakikatnya ia adalah satu namun
dipatulkan oleh beraam cermin. Begitu pula Allah Esa
dari segi ZatNya dan berbilang dari segi
penampakanNya dalam gambaran serta bayanganNya
dalam cahaya. Jadi jelas bahwa sebenarnya alam ini
adalah bayangan yang hakikatnya tiada atau dikenal
dengan batil. Ibn Arabi menjelaskan:

“sebenar-benar ungkapan yang dikatakan oleh


orang Arab bahwa; “segala sesuatu selain Allah
adalah batil” karena siapa yang keberadannya
tergantung kepada yang lain maka dia adalah
tiada.”

Ia juga mengungkapkan dalam Risalah al-


Wujudiyah: “Sesungguhnya engkau tidak pernah ada
sama sekali dan bukan pula engkau ada dengan
dirimu atau ada di dalamNya atau bersamaNya dan
bukan pula engkau binasa ataupun ada.”

Untuk menjelaskan perkataan ini ia mengutip


perkataan Abu Said Al-Kharraj menyatakan: “Aku
mengenal Allah dengan menghimpun segala dua hal
yang bertentangan.” Artinya Dialah Yang Lahir dan
Yang Batin tanpa keadaan yang lain. Dijelaskan juga
dalam kitabnya Ar-risalah Al-Wujudiyah: “Dialah Yang
Awal tanpa berawal, Yang Akhir tanpa berakhir, Yang
Lahir tanpa jelas, Yang Batin tanpa tersembunyi.”
Hal ini jika difahami berarti bahwa manusia tidak
memiliki keberadaanyang independen dalam arti kata
keberadaannya pada hakikatnya adalah bayangan dari
keadaan Allah. Karena pada hakikatnya manusia tiada
yang ada Allah. Jadi manusia adalah penampakan,
bayangan atau ayat Allah yang pada hakikata adalah
tiada atau khayal. Karena suatu yang sifatnya khayal
berjumpa dengan khayal seolah kelihatan nyata.

Dalam Fusus al-Hikam Ibn Arabi


mengungkapkan: “Ketahuilah bahwa hadirat khayal
merupakan hadirat yang menghimpun dan mencakup
segala sesuatu dan yang bukan sesuatu.”

Jadi jelas bahwa alam ini adalah fana atau


khayal dan yang kekal dan tampak adalah ZatNya
Yang Suci dengan penampakan-penampakan yang
indah dan agung yang mewujudkan kesempurnaanNya
yang tiada batas.” Di lain bukunya Ibn Arabi
mengungkapkan: “Tidak ada dalam wujud ini selain
Allah, kita walaupun ada (Maujudun) maka
sesungguhnya keberadaan kita denganNya, barang
siapa yang keberadaannya dengan selain Allah maka
ia masuk dalam hukum ketiadaan.”

Maksudnya ialah bahwa Allah ada dengan


sendiriNya dan tidak mengambil keberadaannya dari
yang lain. Sedangkan alam adalah ada karena Allah
mengadakannya. Jadi alam adalah keberadaan yang
mungkin ada yang pada hakikatnya tiada. Di sini kita
harus membedakan antara wujud dan maujud. Wujud
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

merupakan isim masdar yang berarti keadaan dan


Maujud merupakan isim maf’ul berarti sesuatu yang
mengada karena pengaruh lain.

Bisa ditafsirkan bahwa Allah adalah keberadaan


itu sendiri atau Zat Yang Maha Ada, sedang maujud
adalah sesuatu yang menjadi ada disebabkan hal lain.
Maujud merupakan ‘objek’ yang berarti sesuatu yang
menerima pengaruh perbuatan yang lain. Jadi sesuatu
yang menjadi ada karena adanya keberadaan yang
lain bukanlah keberadaan yang sejati namun
keberadannya bergantung kepada Wujud Yang Sejati.
Keberadaannya disebut dengan khayal, artinya ia ada
karena bergantung pada Wujud Sejati. Namun jika
sesuatu tidak bergantung kepada Wujud Sejati tentu
dia tiada, karena siapa yang akan memberikannya
keberadaan, Jadi jelas yang dimaksud dengan Wahdat
al-Wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu.
Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah
alam.

Dalam menerangkan wahdatul wujud Ibnu Arabi


kadang mengutip kuplet berikut, sebagaimana yang
termaktub dalam kitab al-Alif: Dalam segala sesuatu
Dia memiliki ayat49 Menunjukkan kenyataan bahwa Dia
adalah Satu.

Kesatuan wujud ini juga dapat difahami dari

49 Persoalan ayat Allah dalam pemahaman keagamaan


terbagi menjadi dua katagori; pertama ayat-ayat kauliah berupa
al-qur’an dan al-sunnah dan kedua; ayat kauniyyah berupa
hamparan alam raja ndan segala isinya. Dalam konteks ini maka
seorang makhluk yang dianugerahi akal dituntut untuk dapat
dengan baik memperhatikan ayat-ayat kauiniyyah tersebut.
sebuah hadis yang sering dikutip Ibn Arabi dalam
menerangkan masalah Wahdat al-Wujud yaitu:
Kanallahu wala syai’a ma’ahu50 artinya ‘dahulu Allah
tiada sesuatu apapun besertaNya’. Disempurnakan
dengan perkataan wahuwal aana ‘ala makaana artinya
‘sekarang Ia sebagaimana keadaanNya dahulu’.
Maksud dari kedua pernyataan ini tidak ada sesuatu
apapun yang menyertai Allah selamanya dan
segalaNya pada sisiNya adalah tiada. ‘Tiada Tuhan
selain Allah’ artinya segala sesuatu berupa alam yang
gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada
hakikatnya tiada. Karena segala sesuatu yang tiada
bisa dijadikan Tuhan oleh manusia dan yang pada
hakikatnya yang ada hanya Zat Allah Yang Maha Suci
yang bernama Allah.

Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas


ialah, alam bisa dikatakan Allah dan bisa juga tidak.
Dilihat dari keterbatasan alam dan hakikatnya yang
merupakan khayal semata maka alam bukanlah Allah.
Namun jika dilihat bahwa alam tidak akan muncul
dengan sendirinya dan mustahil ada wujid disamping
Allah ataupun diataNya atau dibawahNya atau
ditengahNya atau didalamNya atau diluarNya maka
alam adalah penampakan Allah. Penampakan itu tiada
lain allah jua adanya.

50 Dalam redaksi “hadits” yang dijadikan landasan para


sufi;” Kuntu Kanza Makhfiyyan fa ahbabtu an-U’raf fa Khalaqtul
Khalqa wabihi ‘Arafuni” (dulu kala Aku adalah Permata
tersembunyi yang tidak ada seorangpun mengetahuinya, maka
Aku ingin dikenal dan Aku ciptakan makhlukKu, melalui dialah
Aku kemudian dikenali.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Dibalik itu semua dalam memahami hal ini


bukanlah cukup dengan logika namun harus
dibuktikan dengan penyaksian sebagaimana
pernyataan Ibn Arabi: “Tauhid adalah penyaksian
danbukan pengetahuan, barang siapa menyaksikan
maka ia telah bertauhid barang siapa hanya
mengetahui ia belum bertauhid.” Jadi beginilah yang
dapat difahami dari Wahdat al-Wujud. Permasalahan
Tanzih dan Tasybih akan lebih menjelaskan konsep
Wahdat Wujud.

Jadi hakikat tujuan al-taubah adalah


mendekatkan diri kembali—setelah terperosok ke
jurang kesalahan—kepada Allah Swt. Allah dalam al-
quran menegaskan bahwa manusia diperintahkan
untuk kembali kepada Allah Swt dengan sebaik-baik
kembali (taubatan Nashuha) “Tûbû Ila Allah Taubatan
Nashûha”51.

Untuk menjadi hamba yang bertaubat, jika


berkaitan dengan haq-haq Allah harus memenuhi tiga
persoalan utama sebagaimana dikatakan dalam kitab
riyadus shalihin52 (Zakaria, 2000, hal. 33);

‫التوبة واجبة من كل ذنب فإن كانت المعصية بين العبد وبييين ال ي‬:‫قال العلماء‬
‫ أن يقلع عين المعصيية وأن ينيدم‬:‫تعالى ل تتعلق بحق ادمي فلها ثلثة شروط‬
.‫على فعلها وأن يعزم أن ل يعود إليها أبدا فإن فقد أحد الثلثة لم تصح توبته‬
“Ulama berkata; Taubat itu hukumnya wajib bagi
setiap maksiat yang dilakukan, jika maksiat itu
51 Lihat al-Quran Surat al-Tahrim:8, surat An-Nur:3)
52Imam Abi Zakaria, 2000, Riyadlus Shalihin, Beirut; Libanon,
33. Lihat juga Khalid al-Sayyid Rusyah, 2005. Ladzatul Ibadah,
Iskandariah: Daar al-Shafa wa al-Marwah. Hal.287-290.
berkaitan dengan haq-haq Allah terdapat tiga
persyaratan, pertama; hendaknya mencerabut
diri dari maksiat, menyesali semua perbuatan
maksiatnya, dan beradzam (berniat) untuk tidak
akan kembali lagi melakukan perbuatan dosa
yang dilakukan. Jika salah satu dari ketiga
persyaratan tersebut maka taubatnya tidak sah
(tidak diterima Allah Swt)”.
Tapi jika berkaitan dengan haq-haq manusia
maka syarat taubat menjadi empat perkara, tiga
perkara tersebut di atas ditambah dengan satu
persyaratan lainnya yakni mengembalikan semua haq-
haq yang telah diambilnya. (Zakaria, 2000, hal.34).

Syaikh Khalid al-Sayyid Rusyah dalam bukunya


Ladzzatul Ibadah menegaskan 15 langkah untuk
bertaubat agar bias menjadi manusia paripurna;

Mengingat semua dosa dan kesalahan yang pernah


dilakukan serta mengingat mudlarat yang
ditimbulkan dari perbuatan maksiat tersebut

Memfokuskan diri dengan ketulusan niat untuk


benar-benar kembali hanya kepada Allah semata

Hendaklah memulai dan memelihar kesucian


dzahir dan batinnya dari segala kotoran terlihat
maupun tidak terlihat dengan senantiasa
memohon ampunan Allah dan memperbanyak
bacaan istigfar53.

Melakukan khalwat dalam dirinya (menyepi) untuk


mengingat Allah Swt dan selalu membaca ayat-

53Rasul Allah bersabda; Wahai sekalian manusia (beriman)


bertaubatlah kepada Allah dan bacalah istighfar karena saya
sesungguhnya bertaubat kepada Allah dalam satu hari 100 kali.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

ayat azab dan iqab.

Selalu menangis karena takut kepada Allah Swt


terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya

Selalu mengingat berbagai nikmat dan anugerah


yang telah diberikan Allah kepadanya dan
melihat semua pemberianNya dengan mata
kasih saying

Membenci semua dosa dan kesalahan yang


terlanjur dilakukan dengan menjauhkan diri dari
kelezatan yang diperoleh dari perbuatan maksiat

Mengangkat kedua tangannya dalam berdoa


dengan menyerahkan sepenuh hatinya semua
perbuatannya diampuni Allah Swt

Mengulang-ulangi istighfar setiap waktu dan


tempat

Melakukan salat setiap waktu dan bersujud


kehadiratNya dengan membaca doa, dan
berniat untuk tidak akan pernah kembali lagi
melakukan kesalahan yang sama

Meninggalkan tempat maksiat tersebut dengan


berpindah ke lokasi lain (berhijrah dari negeri
yang Dzalim)54

54Perbuatan ini pernah dilakukan oleh seorang hamba Allah


yang membunuh 100 jiwa tanpa kesalahan namun bertaubat
dengan tulus dan pergi meninggalkan tempat tinggalnya (karena
daerah yang dia tempati selalu merangsangnya berbuat dzalaim).
Saat dia melangkahkan kakinya untuk berhijrah dan belum
sampai pada tujuan Allah memanggilnya dan meninggal di
tengah perjalanan hijrahnya. Akhirnya Allah memasukan dia ke
dalam rahmat dan kasih sayangnya berupa Surga.
Melakukan ketaatan kepada Allah terhadap semua
kekeliruan yang telah ditinggalkan pada masa
lalunya

Memohon kepada Allah untuk ditetapkan dalam


keataan kepada Allah Swt

Mengulang-ulangi taubatnya dan selalu merasa


bahwa taubatnya tidak akan diterima Allah Swt

Merasakan kelemahan dan kegelisahan yang


sangat terhadap semua kesalahan yang telah
dilakukannya dan merasakan kehinaan yang
berlarut-larut saat mengingat dosa-dosanya.55

Kelima belas metode dan langkah bertaubat


tersebut jika dilakukan dengan benar, maka dapat
dipastikan taubatnya diridlai Allah SWT dan kembali
kepada fitrah yang telah di sepakati saat berada di
alam arwah, Allah berfirman

‫ألست بربكم قالوا بلى شهدنا‬

“Bukankah Aku ini tuhan kalian, maka jawabnya


seluruh makhluq –saat berada di alam arwah—
iya Engkau adalah tuhan kami”.

Pengakuan terhadap Allah sebagai pencipta


inilah kemudian yang menjadikan seluruh makhluk
Allah sebagai muslim, walaupun pada akhirnya kondisi
lingkungan, pergaulan dan asuhan orang tualah yang
menyebabkan mereka –setelah berada di atas dunia—
menjadi “melenceng” dari ajaran dan petunjuk Allah

55Lihat juga Khalid al-Sayyid Rusyah, 2005. Ladzatul Ibadah,


Iskandariah: Daar al-Shafa wa al-Marwah. Hal.293-294.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

SWT.

Terkait dengan konsep inilah maka keyakinan


teologis manusia muslim, bahwa seluruh manusia
yang terlahir ke atas dunia ini adalah muslim dan jika
meninggal saat bayi sebelum baliqh ia akan
dimasukkan ke dalam surganya Allah terlepas dari
latar belakang agama keluarganya. Hal ini diperkuat
oleh hadits Rasul Allah Saw.

‫كل مو لود يولد على الفطرة فأ بواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه‬

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci


(fitrah), orang tuanyalah yang menyebabkan
mereka berkeyakinan pada agama Yahudi,
Nashrani dan juga berada dalam agama Majusi”.

Dalam hadits tersebut dengan tegas menyebut


tiga agama yang ada, Islam tidak tersurat di
dalamnya, ini mengindikasikan bahwa Islam
merupakan agama bawaan (agama aseli) agama fitrah
(suci). Yang dimaksudkan dengan kata ala al-fitrah itu
adalah berada pada kesucian asal yakni pancaran dari
Yang Maha Suci, oleh karena itulah ruh yang ada
dalam diri setiap manusia merupakan lambang
kesucian yang pada gilirannya akan bersatu dalam
kebahagiaan jika jasad yang ditempatinya baik,
namun jika sebaliknya jasad yang ditempati adalah
jasad yang tidak baik maka ruh tersebut akan merasa
sangat menderita.
Kedua; mensucikan diri

Firman Allah swt “Sesunguhnya Allah menyukai


orang-orang yang bertaubat dan yang suka
menyucikan diri” (Al Baqarah:222). Bersuci atau al-
Thaharah ialah suatu pekerjaan yang dilakukan untuk
menghilangkan hadas atau najis yang ada di badan,
pakaian atau tempat tinggal. Dalam ajaran Islam
bersuci merupakan perbuatan yang menyebabkan
diterima atau ditolaknya suatu ibadah. Bersuci dalam
pengertian yang lebih luas--meminjam istilah yang
digunakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin56-- dapat dibagi
menjadi dua klassifikasi;Thaharah maknawiyah
(menyucikan batin) dan thaharah hissiyah
(menyucikan lahir).
Thaharah Maknawiyah adalah membersihkan hati
dari kesyirikan57 dalam beribadah kepada Allah SWT

56lahir pada tahun 1347H/1928M di Unaizah. Keilmuannya


diperoleh melalui kakeknya dari jalur Ibu al’Allamah Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Sulaiman bin Damigh dan dibawah bimbingan
beliau Ibnu Utsaimin berhasil menghafal alquran (30 Juz). Selain
kakeknya ia belajar kepada Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-
Sa’di, Syaikh Ali Ash-Shalihi dan Syaikh Muhammad Abdul Aziz bin
Muthawwi’ dalam bidang tauhid, fiqih dan bahasa Arab. Kemudian
ia masuk ke Ma’had Al-Ilmiyah di Riyadh pada tahun 1373H
(dalam usia 26 tahun) dan pada kesempatan inilah Ibnu Utsaimin
belajar shahih Bukhari, beberapa risalah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan beberapa kitab fiqih kepada Syaikh Abdul Aziz Bin
Abdullah Bin Baz rahimahullah. Diantara guru beliau yang lain
ialah Syaikh Muhammad Al Amin bin Muhammad Al Mukhtar dan
Syaikh Abdurahman bin Ali bin ‘Audan. Menyelesaikan studinya
pada Fakultas Syariah di Riyadh pada tahun 1344 dalam usia 30
Tahun.
57Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah pada
perkara yang merupakan hak istimewa-Nya. Hak istimewa Allah
seperti: Ibadah, mencipta, mengatur, memberi manfaat dan
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

dan membersihkannya dari penipuan dan kedengkian


kepada para hamba-Nya yang beriman. Itulah
sebabnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
predikat najis bagi orang-orang musyrik.
“Sesungguhnya kaum musyrikin itu adalah najis. (At-
Taubah [9]: 28).
Thaharah Maknawiyah memiliki beberapa unsur
utama seperti:
Thaharah dari dosa besar, yakni syirik, membunuh,
sihir, zina, durhaka kepada orang tua, mencuri,
menuduh berzina, dan lari dari medan
pertempuran; serta dari dosa kecil seperti
melalaikan tugas, menyia-nyikan waktu,
membicarakan dan mendengar aib orang lain,
menyakiti hati orang lain.

mudharat, membuat hukum dan syariat dan lain-lainnya. Allah


Swt berfirman. Artinya” Sesungguhnya menyekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezhaliman yang besar" [QS.Luqman: 13].
Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik
kepadaNya, jika ia meninggal dunia dalam kemusyrikannya. Allah
berfirman. Artinya” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar". [QS. An-Nisaa': 48]
Thaharah dari penyakit hati58 seperti riya’59, ‘ujub60,
sombong, dengki, khianat, dan sebagainya.
Rasulullah SAW;
“Tiada satu hati pun kecuali memiliki awan
seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan
bercahaya tetapi karena hatinya ditutup oleh
awan ia menjadi gelap. Ketika awannya
menyingkir ia pun kembali bersinar.”61 (HR.
58 Syeikh Abdul Akhir Hammad Alghunaimi menjelaskan
persoalan hati dalam kitab “Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah...".
Hati itu dapat hidup dan dapat mati, sehat dan sakit. Dalam hal
ini, ia lebih penting dari pada tubuh. Allah berfirman, artinya:
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang
dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya
berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari
padanya." (Al-An'am : 122). Hati itu mati karena kekufuran, lalu
Kami hidupkan kembali dengan keimanan. Hati yang hidup dan
sehat, apabila ditawari kebatilan dan hal-hal yang buruk, dengan
tabi'at dasarnya ia pasti menghindar, membenci dan tidak akan
menolehnya. Lain halnya dengan hati yang mati. Ia tak dapat
membedakan yang baik dan yang buruk.
59 Riya’ merupakan sa;ah satu sifat tercela yang berarti
syirik kecil (Al-Syirk al-Ashghar), Rasul Allah saw bersabda:
Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kamu
sekalian ialah syirik yang paling kecil. Mereka bertanya: Apakah
itu syirik yang paling kecil ya Rasulullah? Beliau menjawab: Riya!
Allah berfirman pada hari kiyamat, ketika memberikan pahala
terhadap manusia sesuai perbuatan-perbuatannya: Pergilah kamu
sekalian kepada orang-orang yang kamu pamerkan perilaku amal
kamu di dunia. Maka nantikanlah apakah kamu menerima
balasan dari mereka itu.
60 Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah meringkas defenisi ujub
sebagai perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah
dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh
jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan
boleh jadi saudaranya itu lebih wara' dari perkara haram dan
lebih suci jiwanya ketimbang dirinya. Sementara imam Al-Fudhail
bin Iyadh rahimahullah berkata: "Iblis jika ia dapat melumpuhkan
bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap
diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa
terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: "Saya tidak akan mencari
cara lain." Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan.
Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa
banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub?.
61Upaya membersihkan diri dari dosa dan penyakit hati
berawal dari lingkup pribadi dengan menerapkan beberapa
perintah Allah SWT;Membersihkan hati dengan shalat malam atau
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Bukhari dan Muslim)

Thaharah Hissiyah adalah membersihkan badan,


pakaian dan tempat dari hadas kecil maupun hadas
besar.Thaharah dari najis ada tiga jenis yakni wudhu,
mandi, dan pengganti dari keduanya yaitu tayammum.
Sementara Syeikh Faqih Jalaluddin membagi
bersuci menjadi tiga dimensi utama pertama, suci
Zahir yakni suci dari semua hadas kecil maupun besar,
suci badan maupun tempat dan pakaian. Kedua; suci
batin berupa pensucian batin dari segala yang bersifat
al-amrad al-qulub62, juga mensucikan panca indra dari
al-muharramat, al-makruhat dan juga dari al-syubhat.
Ketiga suci Sirr berupa kesucian yang bertujuan
penghambaan secara totalitas manusia terhadap
tuhannya, hanya kepada Allahlah semua ibadah kita
arahkan “Inna Shalâtî Wa Nusukî Wa mahyayâ Wa
mamâtîLillâhi Rabbil al-‘Alamîn”.
“….Sabda Nabi şallallāhu ‘alaihi wasallam inna li
ma’allahi waqtan la yasa’uni ghairi rabbi,
bahwasanya bagiku serta Allah ada waktu yang
tiada melalui sir akan daku dalamnya lain daripada
Tuhanku…” (Syamsul, hal.02).

Penjelasan tersebut dengan tegas dikatakan bahwa


sesungguhnya eksistensi Allah Swt selalu berada

qiyamullail (qumillaila illah qaliilaa), Membersikan hati dengan


membaca al-Qur`an (wa rattilil qur`aana tartiila), Membersikah
hati dengan zikir (wadzkurisma rabbika), Mensucikan diri dengan
bertawakal hanya kepada Allah SWT, Mensucikan dengan
bersabar terhadap perkataan orang.
62Persoalan hati Imam al-Ghazali membaginya menjadi tiga
bagian, pertama qalbun Salim (hati yang bersih, sehat, suci),
kedua, Qalbun Marid (hati yang sakit), dan ketiga; Qalbun Mayyit
(hati yang mati). Lihat al-Ghazali dalam Tazkiyat al-Nufus. Saudi
Arabia:Daar al-Kutub al-Arabiyah.
dalam lubuk hati manusia, qiyaman (berdiri) wa
qu’udan (duduk) wa ala Junubihim (dalam keadaan
berbaring) hendaknya selalu merasakan keberadaan
dalam dirinya. Hadits Rasul Allah Saw; “An Ta’buda
Allah Kaannaka Tarahu fainlam tarahu fainnahu
yaraka”63 Engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya dan jika kamu tidak dapat
melihatNya maka sesungguhnya Allah melihat kamu.
Tentang pembagian suci ini Syeikh Faqih Jalaluddin
mengungkapkan;
“…bermula suci itu tiga perkara, pertama suci ,
kedua suci batin, ketiga suci sir. Maka suci itu yaitu
bersuci daripada hadats besar dan kecil, dan
bersuci daripada sekalian najis pada badan dan
tempat dan pakaian. Dan suci batin itu yaitu
menyucikan hati daripada ku’eh dan dengki dan
‘adam, bakhil, ‘ujub, ria, sum’ah. Dan menyucikan
panca indera yang lima daripada yang haram dan
makruh dan syubhat yaitu penglihat pendengar,
pencium, perasa, fitnah. Dan bersuci sir daripada
ingat akan yang lain daripada Allah. Maka sir itu
yaitu suatu yang ditaruhkan Allah ke dalam hati
hamba-Nya yang dikasihi-Nya akan Dia, supaya
jadilah Ia akan alat hamba menghadap kepada
Tuhannya…” (Syamsul, hal.02)

63Hadits rasul tersebut menegaskan tentang konsep dasar


dari al-Ihsan, yang jika dilihat maknanya baik secara etimologis,
kata ihsân adalah bentuk mashdar dari ahsana-yuhsinu-ihsânan,
yang berarti berbuat baik. Dalam terminologi tafsir, para mufassir
mengartikan konsep ihsân relatif tidak sama dan tergantung pada
konteks ayat yang mereka tafsirkan. Dalam al-Qur’an sendiri,
kata ihsân banyak disebut dalam berbagai bentuknya. Kata al-
ihsan dalam al-Qur’an disebut sebanyak 13 kali, kata al-
muhsinûn-muhsinîn sebanyak 38 kali, kata ahsana sebanyak 9
kali, ahsanû sebanyak 6 kali, dan kata-kata yang seakar dengan
hasuna disebut dalam al-Qur’an kurang lebih sebanyak 221 kali.
Salah satun contoh ayat al-qur’an adalah surat an-Nahl:90.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Konsep al-Tauhid

Konsep tauhid, yang secara literal berarti


mengesakan Tuhan. Tauhid memiliki empat makna
yang berbeda yakni: pertama, mengimani dan
meyakini keesaan Tuhan, kedua, disiplin kehidupan
lahir dan batin berdasarkan kepercayaan tersebut,
ketiga, pengalaman dalam persatuan dan penyatuan
dengan Tuhan, dan keempat, teosofi atau filosofi
tentang kenyataan yang bertolak dari pengalaman
kultural.
Persoalan tauhid seperti ini dapat dilihat dalam
Ibda’ jurnal Studi Islam dan Budaya64 yang ditulis oleh

64 P3M STAIN Purwokerto, Jurnal Ibda` Vol. 3 No. 2 Jul-Des


2005 (307-322).
Atabik sebagai hasil penelitian terhadap Konsep
Tauhid dalam erspektif Syaikh Nafis al-Banjari (Telaah
atas Kitab al-Durr al-Nafis karya Syaikh Muhammad
Nafis al-Banjari).

Tauhid al-Af‘al

Tauhid al-af’al secara harfiah berarti mengesakan


Allah dalam segala perbuatan. Menurut Syaikh Nafis
al-Banjari65, segala apapun yang terjadi di alam ini
pada hakikatnya adalah af‘al (perbuatan) Allah. Selain
itu, ia memandang bahwa apa yang terjadi di alam ini
dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu:
a. Baik pada bentuk (rupa) dan hakikat (isi),
maksudnya sesuatu itu baik lahir maupun isinya
baik, seperti iman dan ta‘at;
b. Buruk pada bentuknya (rupa), namun baik pada
isi (hakikat), maksudnya sesuatu itu boleh jadi
jelek dilihat dari sisi syari‘at, akan tetapi dari sisi
hakikat adalah baik, seperti kufur dan maksiat.
Mengenai hal ini Syaikh Nafis menyatakan:
“suatu perbuatan bahwa itu datang dari Allah,
adalah dengan pandangan dan syuhud; melihat
dengan mata kepala dan mata hati, dan
65 Muhammad Nafis bin Idris bin Husain al-Banjari, yang lebih
dikenal dengan sebutan Muhammad Nafis al-Banjari lahir di
Martapura sekitar tahun 1148 H/1735 M. Gelar kehormatan yang
disandangkan kepadanya adalah Maulana al-allamah al-fahhamah
al-mursyid ila thariq al-salamah, ketika ia belajar di Haramain. Hal
itu berarti ia telah sah mengajarkan tarekat kepada orang lain.
Setelah mendapatkan pengakuan itu, ia kembali ke Martapura
dan menyebarkan Islam khususnya di pedalaman Kalimantan
Selatan. Tidak ditemukan catatan mengenai tahun wafatnya,
meskipun diinformasikan bahwa ia meninggal dan dimakamkan di
satu tempat bernama Kelua, sebuah desa berjarak sekitar 125 km
dari kota Banjarmasin.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

hendaklah diyakini oleh hati (pandangan hakikat)


bahwa perbuatan itu adalah perbuatan Allah. Oleh
karena itu, jika menisbatkan suatu perbuatan
bukan sebagai perbuatan Allah, maka hal itu
harus dipandang sebagai perbuatan dalam arti
majazi, bukan dalam pengertian hakiki.
Perbandingan perbuatan manusia dengan
perbuatan Allah, adalah laksana wayang yang
dimainkan oleh sang Dalang dengan berbagai
gerakan dan laku. Perumpamaan itu mengandung
maksud bahwa Allah merupakan sumber dari
segala perbuatan”.

Walaupun segala perbuatan dan kejadian pada


hakikatnya adalah perbuatan Allah, tidak berarti
manusia bisa terlepas dari kewajiban (gugur taklif)
dalam melaksanakan ketentuan hukum Allah
(syari‘at). Apabila sekali saja seseorang beriktikad
gugur taklif syara‘, maka ia tergolong kafir zindiq.
Dengan kata lain, pandangan hakikat tidak boleh
merusak pandangan syari‘at. Jika seseorang beriktikad
bahwa segala perbuatan adalah perbuatan Allah baik
atau jahat–demikian kata Syaikh–maka ia lepas dari
syirik khafi dan dari segala hal yang membahayakan
aqidah.
Akan tetapi, sekali saja seseorang meyakini bahwa
dirinya ikut andil dalam suatu perbuatan maka
jatuhlah ia ke dalam syirik khafi, meskipun ia terlepas
dari syirik jaliy yakni menduakan Tuhan. Akan tetapi,
meski lepas dari kategori syirik jaliy, pada intinya
tetap dalam kategori syirik samar (khafi), dan ketika
itu terjadi maka ia lepas dari predikat sebagai seorang
mukmin. Sebaliknya, jika seorang salik meyakini
bahwa tiada yang berbuat, tiada yang hidup, tiada
yang maujud di dalam wujud ini selain Allah ta‘ala,
maka ketika itu ia tergolong sebagai mukmin, dan
jadilah ia sebagai ahli tauhid.
Syaikh Nafis juga menjelaskan bahwa segala
perbuatan baik yang terjadi pada diri seseorang
maupun di luar dirinya, semua itu tidak terlepas dari
perbuatan yang bersifat mubasyarah (langsung) dan
perbuatan yang bersifat tawallud (terlahir). Maksud
dari istilah mubasyarah menurut Syaikh adalah
perbuatan yang beserta dengan qudrat yang baru,
seperti gerak pena dalam tangan orang yang menulis,
sedangkan pengertian perbuatan dengan tawallud
adalah perbuatan yang terjadi dari perbuatan
mubasyarah, seperti sebuah batu pada tangan orang
yang melempar. Kedua perbuatan itu pada hakikatnya
adalah perbuatan Allah, sedangkan perbuatan
manusia dipandang sebagai perbuatan majazi.
Bila seorang salik akan berlatih dengan pandangan
(musyahadah) seperti itu, maka sedikit demi sedikit
dengan tidak membaurkan antara pandangan syariat
dengan pandangan hakikat, maka ia akan sampai
kepada maqam yang disebut tauhid al-af‘al. Maqam
inilah yang mula-mula dianugerahkan oleh Allah
kepada seorang salik dan kepada orang yang majdzub.
Orang yang majdzub adalah orang yang di-amil oleh
Allah dengan tiba-tiba serta diberitahu oleh Allah
tentang dzat-Nya, sifat-Nya, Asma‘-Nya dan af‘al-Nya
tanpa pelatihan dan ijazah dari guru. Yang dimaksud
salik –menurut Syaikh Nafis- adalah orang yang
bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah dengan
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

riyadlah serta mendapatkan ijazah dari guru. Di


samping itu, ia tidak mengingkari atau melanggar
dalam mengerjakan perintah agama, aturan, dan
perintah gurunya. Adapun seorang yang ‘arif adalah
orang yang mengenal Allah dan mengenal hamba-Nya,
sementara itu ia dapat membedakan antara Khaliq
dengan makhluq, dan ia men-syahadah terhadap
semua hal tersebut. Apabila maqam ini dapat dicapai
dengan baik, maka ia akan memasuki maqam
berikutnya yakni tauhid al-Asma‘.

Tauhid al-Asma‘

Pengertian tauhid Asma (mengesakan Tuhan


dengan asma-Nya) yang dimaksud oleh Syaikh Nafis
al-Banjari pada intinya menyatakan bahwa semua
asma yang ada di dalam alam ini pada hakikatnya
kembali kepada sumbernya yaitu Allah SWT. Oleh
karena itu, cara memandang keesaan nama-nama
Allah menurut Syaikh Nafis adalah berawal dari
pandangan mata, kemudian ditanggapi dengan mata-
hati bahwa segalanya kembali kepada sumbernya.
Syaikh Nafis melihat bahwa semua nama yang ada
di alam ini tentu diberikan kepada yang diberi nama
(wujud musamma). Dalam arti hakiki sudah barang
tentu sesuatu yang diadakan itu sesungguhnya tidak
ada karena yang ada hanyalah Allah. Karena itu,
segala yang ada karena diadakan, yakni wujud alam
ini diadakan pada hakikatnya adalah khayal dan wahm
(dugaan belaka), bila dinisbatkan kepada Allah.
Dengan demikian, maka kembalilah semua asma
kepada wujud yang sebenarnya yaitu Allah, dan wujud
Allah itu qa‘im (tetap) pada segala asma. Dengan kata
lain, kita katakan dan kita pandang bahwa segala
nama apapun kembali kepada asma Allah sebagai
sumbernya Pengertian asma Allah pada segala nama
apa saja yang ada di alam ini digambarkan oleh Syaikh
Nafis seperti sebuah kaca polos yang diwarnai dengan
berbagai warna seperti merah, kuning, hijau, dan
sebagainya. Kemudian, kaca itu diletakkan di bawah
sinar matahari tentu akan terlihat bermacam warna
memancar dari kaca itu sebagaimana warna yang ada.
Artinya, bermacam-ragam warna yang ada pada sinar
itu sesungguhnya hanya satu, yakni pancaran sinar
matahari.
Adapun cara mengamalkan pandangan tentang
tauhid al-Asma bahwa jika kita melihat ada seseorang
yang pemurah, kita harus memandang bahwa yang
pemurah itu hanyalah Allah. Karena itu, pemurah yang
melekat pada diri seseorang itu hanyalah madhar isim-
Nya (penampakan) dari asma Allah, yakni al-karim
(Maha Pemurah). Demikian juga jika ada orang yang
sabar dari segala kemaksiatan, maka sesungguhnya
yang sabar hanyalah Allah ta‘ala, sedangkan yang ada
pada hamba atau seseorang itu hanyalah madhar
isim-Nya, yakni shaburun.
Dengan mengutip ungkapan orang-orang arif,
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Syaikh Nafis menyatakan bahwa bagi Allah itu tidak


ada sifat yang berdiri kepada-Nya dan yang
bertambah atas-Nya, seperti segala sifat ma‘aniy,
melainkan yang ada bagi-Nya hanyalah asma-Nya.
Menurut Syaikh, sebagian para ‘arif tersebut
berargumentasi demikian dengan dalil naqly dan juga
dalil aqly, dan mengenai hal ini Syaikh Nafis
mengungkapkan:
Tauhid asma ini merupakan maqam kedua dari
segala maqam para ‘arifin, dan inilah yang diberikan
Allah kepada para salik dan majdzub. Ini merupakan
faidah dan tsamrah (buah) dari maqam yang pertama,
yakni maqam orang yang senantiasa memandang
wahdat al-‘af‘al. Maqam ini juga merupakan jenjang
untuk meningkat pada maqam berikutnya yaitu tauhid
al-sifat.

Tauhid al-Sifat

Tauhid sifat (mengesakan Allah dengan sifat)


dalam pandangan Syaikh Nafis tidak lain hanyalah
ungkapan tentang fana‘-nya seluruh sifat makhluk
termasuk dirinya sendiri di dalam sifat Allah. Menurut
Syaikh Nafis, jika seorang arif memandang sifat-sifat
Allah, maka sifat-sifat yang ada pada dzat-Nya seperti
qudrah, iradah, ilmu, bashar, kalam dan lain-lain pada
hakikatnya adalah sifat-sifat Allah semata. Karena itu,
sifat yang dimiliki makhluk hanyalah majazi adanya.
Jika musyahadah seorang arif lebih mantap, maka
dapat dirasakan bahwa sifat-sifat manusia itu fana di
dalam sifat-sifat Allah, dan terasa di dalam dirinya
bahwa pendengarannya adalah pendengaran Allah.
Dengan kata lain, tidak ada pendengaran kecuali
pendengaran Allah, demikian pula dengan sifat-sifat
lainnya. Dengan demikian menurut Syaikh Nafis,
semua sifat Tuhan itu ber-tajalli dalam sifat-sifat
insani, dan itulah yang disebut tajalli sifat sehingga
hasil dari syuhud pada akhirnya adalah tidak lagi
melihat sifat-sifat manusia, tetapi yang ada hanya
Allah-lah yang mempunyai sifat, sedangkan makhluk
pada hakikatnya tidak memiliki apa-apa.
Apabila kita perhatikan–demikian menurut Syaikh
Nafis–maka fana-lah semua sekalian sifat makhluk
pada sifat Allah. Tiada orang mendengar, melainkan
dengan pendengaran Allah; tiada orang melihat,
melainkan dengan penglihatan Allah; tiada orang
mengetahui, melainkan dengan pengetahuan Allah;
tiada orang yang hidup, melainkan dengan hidup
Allah; dan tiada orang berkata, melainkan dengan
perkataan Allah.
Untuk mencapai tajalli sifat ini haruslah dengan
tadrij (bertahap). Jika kita pandang bahwa hanya Dia
yang bersifat hayyun, maka fana- lah sifat hayat itu
dari diri manusia, demikian juga dengan sifat-sifat
lainnya, sampai habis satu demi satu sifat tersebut,
dan inilah yang dimaksud dengan tadrij. Jika telah
berhasil dicapainya maqam fana ini, maka jadilah si
salik baqa‘ bi sifatillah. Dengan kata lain, ketika
seorang salik mencapai fana fi sifatillah, maka ketika
itu ia telah mencapai baqa bi sifatillah, dan ketika itu
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

dibukakanlah segala rahasia sifat-Nya yang mulia


sehingga diperolehlah rasa tamakkun (mantap).
Jika fase tamakkun ini telah diperoleh dan
ditekuninya, maka seorang sufi akan diberi kekuatan
yang bertambah untuk dapat menanggung atau
menerima tajalli dzat. Karena itu, seorang tidak akan
bisa mencapai tajalli dzat sebelum ia mencapai
tamakkun dan tetap pada tajalli segala sifat. Inilah
yang telah dicapai oleh para anbiya dan di bawahnya
adalah auliya. Selanjutnya jika maqam ini telah dapat
ditempuh, maka baginya gelar resmi dari Allah
sebagai khalifatullah, seperti gelar yang diterima Nabi
Adam AS. Kemudian, siapapun yang telah mencapai
maqam ini akan diberi pengajaran oleh Allah tentang
segala asma, yang pada gilirannya akan dikaruniai
ilmu laduni. Mereka yang mencapai maqam ini telah
mencapai apa yang disebut kasyf, yakni terbukanya
segala hakikat sesuatu berkat cahaya yang
dianugerahkan Allah kepada mereka dan tidak
terlindung sedikit pun. Selanjutnya mereka yang telah
mencapai maqam ini, mereka akan semakin tekun
dalam melakukan peribadatan kepada Allah, bukan
karena terpaksa dan bukan karena berharap apapun.

Tauhid al-Dzat

Tauhid Dzat, menurut Nafis al-Banjari merupakan


tingkatan tertinggi dari semua tingkatan tauhid. Inilah
puncak pengetahuan makhluk tentang Tuhan sebagai
tujuan akhir perjalanan spiritual seorang sufi. Pada
saat mencapai tingkatan ini seorang arif akan
merasakan kelezatan yang tidak dapat digambarkan
dengan kata-kata dan suara, dengan huruf ataupun
dengan angka. Tidak ada yang dapat mencapai
maqam ini kecuali Nabi Muhammad SAW karena tidak
ada yang dijadikan oleh Allah dari Dzat-Nya, kecuali
Nabi Muhammad SAW.
Syaikh mengungkapkan bahwa wujud yang lain
selain Allah adalah fana‘ di bawah wujud Allah. Karena
itu, tiada yang maujud (yang ada) secara hakiki
kecuali wujud Allah. Untuk lebih mempermudah
memahami konsep tersebut, al-Banjari membuat
perumpamaan tentang buih, ombak dan laut.
Ketiganya pada hakikatnya adalah air, atau dengan
kata lain ketiga-tiganya adalah kenyataan wujud air.
Hanya saja jika air itu bergerak maka dinamakan
ombak, dan dari gerakan itu muncullah buih,
sedangkan air yang berbatas dan bertepi disebut laut.
Dengan demikian jelaslah bahwa pada hakikatnya
semua itu adalah air, saat ombak, buih dan laut sirna.
Alam semesta ini adalah fana‘ dan pada
hakikatnya tidak ada karena yang ada hanya wujud
Allah, dan wujud Allah meliputi segala sesuatu. Oleh
karena tidak ada yang maujud pada hakikat kecuali
Allah, maka fana‘-lah semua perbuatan makhluk pada
perbuatan Allah, fana‘ pula semua asma makhluk pada
asma ‘ Allah, fana‘ pula semua sifat makhluk pada
sifat Allah, dan akhirnya fana‘-lah semua dzat makhluk
pada Dzat Allah. Menurut Nafis al-Banjari pada kondisi
ini makhluk tidak ubahnya laksana benang yang
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

melayang di udara, ke mana angin bertiup ke sanalah


ia ikut melayang. Oleh karena itu, apabila tajalli dzat
ini menimpa pada seorang hamba yang
dikehendakinya, maka tak seorang pun dapat
menceritakan keadaan yang dialaminya karena hal itu
merupakan pengalaman perasaan yang bersifat
sangat individual. Bahkan bisa jadi menurut al-Banjari,
mereka yang sampai pada tingkatan ini seolah hampir
tidak bisa memegangi ketentuan hukum syari‘at.
Dalam pandangan Syeikh Faqih Jalaluddin al-
tauhid diartikan sebagai aktivitas amaliah dalam arti
praktek bukan teori. Hal ini ditunjukkan ketika
melakukan pengklassifikasian tauhid menjadi tiga
bagian dan merangkaikannya dengan posisi zikir66 bagi
muwahhid (pengamal tauhid). Menurutnya tauhid
pertama adalah tauhidnya orang awam yakni al-
mubtadi’ (permulaan) tandanya was-was dan zikir
berada pada posisi tidak ada yang diembah melainkan
Allah semata. Kedua, tauhid muqarrabin, yakni
mutawasiţ tandanya hening hati, makna zikir tiada
yang kutuntut hanya Allah. Ketiga, tauhid sidiqin,
yakni muntahi tandanya tidak ada yang diingat kecuali
mengingat Allah semata dan makna zikirnya tiada
yang maujud hanya Allah dan fana’lah ia dalam zat
tuhannya. Tingkatan ini dianggap sebagai Martabat
orang ’arif billah dikenal juga dengan istilah fanā'ul
fanā, dan juga jami’ul jami”67.

66 Kata Zikir bukan berarti hanya mengucapkan kalimat “Laa


Ilaha Illa Allah” melainkan keyakinan yang ada dalam hati
seorang muwahhid bahwa tidak ada yang patut disembah
melainkan hanya Allah semata.
67 Terlihat konsep tauhid muqarrabin ini sangat dekat dengan
Persoalan tersebut dapat dilihat dalam potongan
teks berikut;
”....Maka adalah tauhid itu tiga perkara,
pertama tauhid awam, yakni mubtadi
alamatnya was-was, maka makna zikirnya
tiada yang sebenar-benar68 disembah hanya
Allah. Kedua tauhid muqarrabin, yakni
mutawasiţ alamatnya hening hati, maka makna
zikir tiada yang kutuntut hanya Allah. Ketiga
tauhid shidiqin, yakni muntahi alamatnya
ketiadaan ingat akan yang lain daripada Allah.
{Maka} makna zikirnya tiada yang maujud
hanya Allah dan fanalah ia dalam zat tuhannya
maka tepilah padanya segala alam. Inilah
martabat segala ’arif billah dan fanā'ul fanā
pun namanya dan jami’ul jami’ pun namanya
dan kesudah-sudahan69 jalan pun namanya... ”
(Syamsul, hal. 03)

konsep al-ittihad yang dikedepankan oleh Abu yazid al-Bustami.


Dari sini mungkin dapt dikatakan bahwa syeikh Faqih Jalaluddin
sebagian pemikirannya terpengaruh dengan konsep-konsep
tasawuf yang dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Bustami dan juga
yang laiinya dari tasawuf Falsafi.
68 Teks: sebenar3.
69 Teks: kesudah2an
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Konsep martabat tujuh


Istilah ajaran martabat tujuh, tidak pernah
dikenal pada masa Rasulullah, beliau tidak
mengajarkan secara khusus. Ajaran martabat tujuh
didalam tasawuf merupakan perkembangan dari ilmu
tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Konsep martabat tujuh mencoba
mensistematiskan teori tajalli ibn arabi dan al-jilli.
karena itu ada beberapa martabat tambahan yang
membuat apa yang digagas ibn arabi dan al-jilli
menjadi lebih bisa dimengarti. konsep ini muncul
ketika mencoba melihat proses terjadinya tajalli dan
taraqit dalam proses munculnya insan kamil. dalam
teori tajalli, insan kamil muncul sebagai sintesis dari
makrokosmos yang permanen dan aktual serta
sekaligus sebagai cermin citra tuhan secara paripurna,
sedangkan teori taraqit muncul sebagai makhluk yang
paling unggul dalam tingkat kesadaran rohani dan
pengetahuannya, sehingga ia mencapai peringkat
tertinggi di antara makhluk yang ada dalam menapaki
maqamat kerohanian. perbedaan tersebut menandai
adanya suatu perkembangan pandangan dalam
melihat hubungan antara tuhan dan alam semesta.
Bagi ibn arabi tajalli tuhan mengambil dua
bentuk: pertama tajalli gaib atau tajalli dzati, yang
berbentuk penciptaan potensi; dan kedua tajalli
syuhudi (penampakan diri secara nyata), yang
mengambil bentuk penampakan diri dalam citra
tertentu.
Proses tajalli, sebenarnya, dimulai dari tajalli zat
pada sifat-sifat dan asma, kemudian pada perbuatan-
perbuatan, sehingga memunculkan alam semesta.
akan tetapi, dalam rangka meningkatkan martabat
rohani, tajalli tersebut ditempatkan dengan urutan
terbalik, dimulai dari tajalli perbuatan-perbuatan dan
berakhir pada tajalli zat. pemutarbalikan itu bukan
tidak beralasan, tetapi didasarkan atas pandangan
bahwa tajalli al-afal yang paling dekat dengan
kenyataan empiris, sedangkan tajalli zat merupakan
yang paling abstrak dan jauh, dari kenyataan. maka
untuk mendekatkan diri haruslah dimulai dari yang
terdekat menuju yang jauh dan amat abstrak.
Insan kamil bukan semata-mata sebagai sintesis
dari tajalli ilahi, tetapi juga merupakan hasil upaya
manusia dalam meningkatkan martabat
kerohaniannya. upaya peningkatan martabat
kerohanian itu, menurut a1-jilli, merupakan proses
kembali ke kehadirat ilahi dengan menyusuri tajalli-
tajalli sehingga sampai kepada zat yang mutlak.
Dalam proses kembali ke asal ini, sufi harus
memulai perjalanannya melalui tajalli perbuatan-
perbuatan (tajalli al-afal), dengan memandang bahwa
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

kodrat tuhan berlaku atas segala sesuatu. dengan


demikian, segala perbuatannya senantiasa terkendali
di bawah kodrat i1ahi. setelah itu, ia pun melintasi
tajalli nama-nama (tajalli al-asma), dimana ia
mendapat sinar dari asma allah. dalam taraf ini sufi
memandang zat tuhan sebagai pemilik nama-nama
yang hakiki adalah zat yang mahasuci. dengan
demikian, satu demi satu dari nama-nama tuhan itu
memberikan pengaruh kepadanya. kemudian sufi
memasuki tajalli sifat-sifat (tajalli al-shifat), dimana ia
diliputi oleh sifat-sifat ilahi. dalam taraf ini sufi
merasakan dirinya fana (sirna) di dalam sifat-sifat ilahi,
sehingga sifat-sifat dirinya sendiri dirasakannya sudah
tidak ada lagi. taraf tertinggi yang dicapai oleh sufi
ialah ketika ia berada pada tajalli zat (tajalli al-dzat).
pada taraf ini sufi merasa dirinya sirna di dalam zat
yang mutlak itu sepenuhnya. sehingga tercapailah
peringkat paripurna, bentur tapane70.
Selain dua persoalan utama tersebut, disinyalir
juga, bahwa muncul dan berkembangnya ajaran
martabat tujuh ditengarai oleh Muhammad Ibn
Fadllillah Burhanpuri (w. 1620) dalam kitabnya Al
Tuhfah al Mursalah ila Ruhin-Nabi.
Dalam kitab ini diterangkan bahwa Dzat Tuhan
merupakan Wujud Mutlak, tidak dapat dipersepsikan
oleh akal, perasaan, khayal dan indera. Dzâtullah
sebagai aspek bathin segala yang maujud (ada),

70Lihat, kalijana dalam konsep tajalli tuhan martabat lima


merambah martabat tujuh,
http://arkoun.multiply.com/journal/item/47/konsep_tajalli_tuhan_
martabat_lima_merambah_martabat_tujuh. diunduh, tanggal 28
Desember 2010.
karena Tuhan meliputi segala sesuatu (QS.Fushilat:54)
dan untuk bisa memahami wujud Tuhan yang
sebenarnya secara transenden harus setelah bertajalli
sebanyak tujuh martabat. ini menjelaskan manifestasi
Tuhan (tajallî) dalam alam semesta melalui 7 tahap
emanasi dari wujud mutlak hingga wujud relatif, yaitu
ahadiyyah, wahdah, wâhidiyyah, arwâh, mitsâl, jism,
dan insân kâmil. Dalam arti tertentu, teori martabat
tujuh sesungguhnya mengekspresikan juga faham
wahdatul wujud yang dimunculkan Ibnu ‘Arabi. Pola
pemikiran tersebut diakomodasi oleh Hamzah Fansuri
dan Abdurrauf al-Singkili pada akhirnya dikritik oleh
Nuruddin ar-Raniri.
Syeikh Faqih Jalaluddin sebagai generasi
berikutnya juga mengakomodasi pemikiran Hamzah
Fansuri maupun Abdurrauf al-Singkili dalam
menjelaskan bagaimana Allah menciptakan jagad
alam raya ini. Istilah-istilah yang digunakan dalam
menyebut martabat tujuh agak berbeda dengan
istilah popular yang dikemukakan Syeikh Muhammad
Ibn Fadllillah Burhanpuri.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat
seperti, Pertama; Martabat Laa Ta’yin (tidak ada suatu
apapun yang menyertai Allah bagaikan sebuah
lingkaran kosong), sedangkan dalam istilah lain
Martabat ini dinamakan martabat Ahadiyyah. Kedua;
Martabat Ta’yin Awwal (pada martabat ini Allah sudah
mulai berkehendak menjadikan sesuatu bagaikan
lingkaran yang baru mempunyai titik kecil), martabat
ini juga dikenal dengan istilah martabat Wahdah.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Ketiga; Martabat Ta’yin Tsani (pada martabat ini Allah


sudah menentukan kehendakNya dalam menjadikan
sesuatu bagaikan lingakaran yang di dalamnya ada
“alif”), martabat ini juga dikenal dengan istilah
martabat Wahidiyah. Ketiga martabat tersebut disebut
dengan martabat Qadim (martabat Ketuhanan).
Keempat; Martabat alam arwâh merupakan aspek lahir
yang masih dalam bentuk mujarrad dan murni. Kelima;
Martabat alam mitsâl, pada martabat ini diibarat
sesuatu yang telah tersusun dari bagian-bagian, tetapi
masih bersifat halus, tidak dapat dipisah-pisahkan.
Keenam Martabat alam ajsam (tubuh) yakni ibarat
sesuatu dalam keadaan tersusun secara marteriil telah
menerima pemisahan dan dapat dibagi-bagi sudah
dapat terukur tebal tipisnya. dan terakhir ketujuh;
Martabat insân kâmil mencakup segala martabat
diatasnya, sehingga dalam manusia terkumpul tiga
martabat yang sifat bathin dan tiga martabat lahir.
Konsep Dzikir 71

Dzikir secarai generic, berasal dari kata dzakara,


artinya ingat. Dzikrullah yaitu ingat kepada Allah SWT
kapan dan dimanapun. Dalam pengertian yang
bersifat umum, dzikir yang dilakukan dalam bentuk
ibadah seperti: shalat, zakat, puasa, Haji, dan lain-lain.
Sementara pengertian dzikir secara lebih khusus
dilakukan secara verbalistik (dengan mulut) atau
dengan merasuk kedalam jiwa seperti mengingat,
mengenang, merasakan, menghayati (dengan qalbu).
Umumnya aktivitas Dzikir dilakukan setelah
melaksanakan shalat lima waktu.

‫فببإذا قضببيتم الصببلوة فبباذكروا الب قيامببا وقعببودا وعلببى جنببوبكم فإذااطمببأننتم‬

71 Didalam kitab Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan


bahwa: Dzikir atau mengingat Allah ialah apa yang dilakukan oleh
hati dan lisan berupa tasbih atau mensucikan Allah, memuji dan
menyanjung-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran dan
keagungan serta sifat-sifat keindahan dan kesempurnaan yang
telah dimiliki-Nya. Dalam ungkapan lain dzikir adalah seluruh
aktivitas batin yang tercermin dari mengingat Allah baik secara
sendiri-sendiri ataupun berjamaah, juga aktivitas anggota badan
seperti berjuang dan bekerja dengan tujuan dan niat Lillahi Rabbil
‘Alamin adalah bagian dari makna dzikir secara makro dan
komprhensif.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

‫فأقيموا الصلوة إن الصلوة كانت على المْومنين كتابا موقوتا‬

Maka apabila kamu selesai mengerjakan shalat


maka berdzikirlah kamu kepada Allah di waktu
berdiri, duduk dan di waktu berbaring.
(QS. An Nisaa’ : 103)

Dzikir yang bersifat khusus ini banyak macam dan


bentuknya, seperti mengucapkan Tasbih
(Subhanallâh), membaca Tahmid (Alhamdulillâh),
melafalkan Tahlil (Lâ Ilâha Illallâh),
mengumandangkan Takbir (Allâhu akbar), membaca
Tilawatil Qur’an, dan sebagainya. Namun yang paling
utama dari semua ucapan tersebut adalah melafalkan
secara zahir (nyata) ataupun dalam hati kalimat lâ
Ilâha Illallâh. Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata:
Saya dengar Rasulullah SAW bersabda : “Dzikir yang
paling utama ialah kalimat lâ Ilâha Illallâh“ ( HR. Imam
Turmudzi)

Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya


menegaskan bahwa perumpamaan orang yang
berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak
berdzikir bagaikan orang yang hidup dan orang yang
mati (HR.Bukhari)72

Sebagian referensi membagi Dzikir menjadi dua


yakni Dzikir Jahri (nyata) dan Dzikir Sirri (rahasia). Hal
tersebut dapat dilihat dari firman Allah dalam surat al-
Mulk.

‫وأسروا قولكم اوجهروا به انه عليم بذات الصدور‬

72 Lihat, Salim Bahreisy (terj) 1983, kitab Riadhus Shalihin,


Bandung:PT Al-Ma’arif. Jilid.II.Cet.7, halaman.343
Dan rahasiakanlah (sirri) perkataanmu atau
nyatakanlah (jahri); sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui apa yang bergejolak di dalam dada.
(Al Mulk : 13).

Dzikir Jahri adalah dzikir yang diucapkan secara


verbalistic terhadap lafadz tasbih, tahmid, tahlil, dan
takbir’. Dzikir yang dilaksanakan setelah mengerjakan
shalat, untuk memohon perlindungan Allah dari segala
gangguan dan serangan syetan yang selalu mengajak
ke jalan kesesatan sehingga melanggar perintah Allah.
Sumpah Iblis terhadap Allah yang akan mengganggu
manusia habis-habisan dapat dilihat dalam surat al-
A’raf.

‫ ثم ل تينهم مبن بيبن ايبديهم‬. ‫قال فبما اغويتني لقعدن لهم صراطك المستقيم‬
‫ومن خلفهم وعن أيمانهم وعن شمْاءلهم ول تجد اكثرهم شكرين‬

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah


menghukum saya tersesat, saya benar-benar
akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan
Engkau yang lurus, kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (taat).” (QS. Al A’raaf:16-17)

Dzikir Jahr bila dilakukan secara berjamaah, maka


akan terdengar suara indah bergemuruh merupakan
salah satu bukti dihari kemudian sebagai orang-orang
yang mengingat Allah dalam berkelompok. Hal
tersebut telah ditegaskan Allah dalam hadits
QudsiNya.

“Abu Hirairah r.a. berkata, Rasulullah SAW


bersabda: Allah telah berfirman; Aku selalu
mengikuti sangkaan hambaKu, dan Aku selalu
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

menyertainya jika ia berdzikir (ingat) kepadaKu.


Jika ia mengingatKu dalam hatinya, Aku ingat
padanya dalam hatiKu, dan jika ia Dzikir
kepadaKu dalam majelis orang-orang, niscaya Aku
ingat dia dalam gerombolan yang lebih baik dari
gerombolannya” (HR.Bukhari-Muslim).

Dzikir Sirri atau dzikir khafi – dzikir yang


tersembunyi – karena ia diingatkan di dalam hati, tidak
menggunakan mulut, melainkan dzawq (perasaan) dan
syu`ûr (kesadaran) yang ada di dalam qalbu.
Karenanya dzikir ini menjadi tersamar (khafiy) hanya
pelaku dan Allah SWT saja yang dapat mengetahuinya.
Dengan Dzikir Sirri kita berusaha menghadirkan Allah
di dalam hati terus menerus, tanpa batasan ruang dan
waktu.

‫واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفببة ودون الجهببر مببن القببول والصببال ول‬
‫تكن من الغافلين‬

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu


dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan
dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi
dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-
orang yang lalai. (QS. Al A’raaf : 205)

Dalam Dzikir Sirri orang mengingat Allah,


merasakan kehadiran Allah, menyadari keberadaan
Allah. Di dalam qalbunya tumbuh rasa cinta, rasa rindu
kepada Allah, rasa dekat, bersahabat, seakan melihat
Allah. Itulah ihsân73, dimana dalam ibadahmu kamu
73 Mengenai konsep Ihsan yang selama ini kita fahami
sebatas pada pengertian yang sempit, namun dari pengkajian
Husni yang terekam dalam tulisannya berjudul konsep ihsan
dalam pemikiran para mufassir mendapatkan konsep ihsan bisa
berarti (1) melaksanakan segenap kewajiban, (2) sabar dalam
menerima segala perintah dan larangan Allah, (3) taat dan
senantiasa menyempurnakan ketaatan, baik kadar maupun
caranya, (4) memaafkan, (5) ikhlas, (6) merasakan kehadiran
merasa melihat Allah, atau setidaknya merasa sedang
dilihat oleh Allah SWT. Inilah dzikir yang hakiki, sebab
hubungan manusia dengan Allah SWT tidak terjadi
dengan tubuh jasmaninya melainkan dengan
qalbunya.

‫واعلمو أن ال يحول بين المرء وقلبه وانه اليه تحشرون‬...

…Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah


berhubungan dengan manusia melalui
qalbunya…(Al Anfaal : 24)

Karena Allah SWT berhubungan (terconected)


melalui Qalb (hati) hambaNya –bukan dengan
jasadNya--, maka jangan puas hanya dengan dzikir
mulut, tembuskan dzikir ke dalam qalbu, getarkan
qalbu dengan rasa rindu (Syauq) kepada Allah,
getaran yang juga menggoncang sel-sel kelenjar
hormon untuk aktif menjaga keseimbangan hormon di
dalam tubuh. Hormon adalah pengendali metabolisme
tubuh. Dengan dzikir sirri metabolisme akan berjalan
lancar alamiah menimbulkan kehangatan dan daya
tahan tubuh (immune) terhadap berbagai penyakit.

Dengan berzikir seseorang akan selalu berada


pada jalur yang telah ditentukan Allah dan rasulNya,
karena berzikir hakikatnya adalah memelihara
connecsitas kita dengan Sang Pencipta saat apa dan

Allah, (7) penekanan pada aspek esoteris dibandingkan pada


dunia eksoteris, (8) ilmu, (9) memegang teguh kebenaran, (10)
memiliki pengertian yang baik tentang ajaran-ajaran Allah yang
lurus, dan (11) memiliki pemahaman tentang hukum yang layak
diterapkan di kalangan masyarakat Islam. Luasnya makna konsep
ini memang karena konsep itu diungkapkan oleh al-Qur’an dalam
berbagai konteks. Lihat artikel Husni dalam “Tajdid | Jurnal Ilmu-
ilmu Agama Islam dan Kebudayaan” 29 December, 2010.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

kapanpun serta dimana kita berada, Allah SWT selalu


mengawasi kita, sekalipun kamu berada dalam batu
besar yang tertutup “Walau Kuntum Fi Burujin
Musyayyadah”. Kesadaran kita akan pengawasan Allah
akan membuat manusia terpelihara dari aktivitas yang
dilarang Allah, serta membuat manusia selalu berada
pada koridor kebajikan, kemanfaatan, bukan
sebaliknya.

‫ وسبحوه بكرة واصيل‬.‫يا يها الذين امنوا اذكروا ال ذكرا كثيرا‬

“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah


(dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah pada
pagi dan sore“ (Al Ahzab: 41-42)

Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa setiap


kita lupa (lalai) untuk mengingatNya Iapun meminta
kita untuk kembali ingat kepadaNya, karena dengan
ingat kepada Allah kita akan berada pada jalur
keselamatan.

‫واذكر ربك اذا نسيت وقل عسى ان يهديني ربي لقرب من هذا رشدا‬...

” …Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu


lupa dan katakana semoga Allah memberikan
hidayahNya untuk selalu mendekatkan diri
kepadaNya ” (Al Kahfi : 24)
Ibn ‘Atha’illah mengatakan, bahwa “Qaumun
Tasbiqu Anwaruhum azkaruhum, aw Qaumun tasbiqu
Azkaruhum Anwaruhum wa Qaumun Tatasawa
Azkaruhum Wa Anwaruhum Wa Qaumun La Azkara wa
La Anwara Naudzubillahi Min Dzalika” ( Al-
Hikam:254)74. Artinya;”ada orang yang nur (kecerahan
74 Ibn ‘Atha’illah,tt. Al-Hikam, Daar el-Fikr.
hati) nya mendahului zikirnya, ada orang yang zikirnya
mendahului nurnya, ada pula orang yang nurnya
berbarengan dengan zikirnya. Dan ada pula orang
yang tanpa zikir dan tanpa nur –kita berlindung
kepada Allah dari sifat tersebut75.
Dari ungkapan tersebut terlihat bahwa
manusia –dalam masalah zikir oleh Ibn ‘Athaillah—
terbagi menjadi empat katagori. Pertama; kelompok
orang yang berzikir setelah digetarkan oleh ilham dan
perasaan akan kehadiran Allah. Kedua; kelompok
orang yang berzikir untuk membersihkan hati mereka
sehingga cahaya dan nikmat Allah turun menghampiri
mereka. Ketiga; kelompok orang-orang yang
melakukan zikir sebelum hatinya tercerahkan
(berusaha melakukan zikir walaupun hatinya belum
bersih). Keempat kelompok orang yang tidak
mengindahkan zikir kepada Allah.
Kelompok terakhir inilah yang disinggung
dalam lanjutan hikmah Ibn ‘Athaillah;’ jangan engkau
tinggalkan zikir dikarenakan engkau tidak merasakan
kehadiran Allah dalam zikir tersebut, sebab
kelalaianmu terhadapNya dengan tidak adanya zikir
kepadaNya itu lebih berbahaya daripada kelalaianmu
terhadapNya dengan adanya zikir kepadaNya”.76
Zikir adalah sebaik-baik jalan menuju Allah
SWT, jadi tidak boleh ditinggalkan walaupun sedang
tidak konsentrasi penuh. Melakukan zikir hendaknya
dilakukan dengan menghadirkan tuhan dalam hati,

75 Lihat juga, lisma Dyawati Fuaida 2008 (terj), al-Hikam.


Jakarta:Serambi, hal.385
76 Lihat Sri Mulyati, Tarekat, hal.77
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

sehingga mampu mencapai zikir yang dapat


melupakan segalanya selain Allah. Zikir merupakan
salah satu metode yang efektif untuk menjernihkan
hati. “Tidaklah tampak zikir kecuali bila dari
penyaksian (Musyahadah) dan perenungan (Al-
Tafakkur)” (Hikam; 256)
Seperti amaliah lain berzikir pun memiliki
metode-metode tertentu agar dapat –cepat—diterima
oleh Allah SWT, Ibn ‘Athaillah menegaskan ada tiga
metode berzikir. Pertama; Zikir dengan lisan (Zikr al-
dzahir atau dzikr al-huruf atau dzikr al_jahr). Kedua;
zikir dalam hati (dzikr al-qalb atau dzikr al-sirr atau
dzikr al-khafi). Ketiga; zikir anggota badan (dzikr a’dha
al-abdan atau dzikr al-jawarih)77.
Ketiga macam metode zikir tersebut secara
bersamaan saling menopang, zikir hati tidak akan
tercapai secara maksimal jika belum melalui zikir lisan.
Jika seseorang dapat melakukan zikir secara
bersamaan lisan dan hati maka sempurnalah hasil
suluknya78.
Syeikh Faqih Jalaluddin dalam persoalan zikir
terbagi menjadi dua bagian. Pertama; Zikir hasanat
yaitu zikir yang menghasilkan pahala dan tidak
memakai tata aturan maupun metode apapun. Dalam
periode ini seorang manusia membaca apapun dari
kalimat-kalimat thayyibah yang ada dalam al-qur’an
maupun al-sunnah seperti mengucapkan istighfar,
tasbi, tahmid dan juga tahlil serta kalimat-kalimat lain

77 Sri Mulyati, Tarekat, hal.77


78 Lihat, al-Qusyairy, 1997. Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu
Tasawuf. Surabaya: Risalah Gusti
seperti membaca atau mengamalkan al-asma’ al-
Husna79.
Kedua zikir darajat yaitu zikir yang
menghasilkan pahala dan penentuan derajat manusia
disisi Allah80, zikir ini memakai tata aturan berupa tata
tertib zikir. Hal tersebut dapat dilihat dalam bagian
teks naskahnya;
”... adapun zikir itu dua perkara, pertama zikir
hasanat namanya yakni zikir [yang]
menghasilkan pahala jua [yang] tiada
berkehendak kepada adab dan tertib. Kedua
zikir darajat namanya yaitu berkehendak ia
kepada adab dan tertib...” (Syamsul, hal. 06)

Tata tertib zikir yang dimaksud –secara runtut


—adalah: Pertama; membaca surat al-Fatihah kepada
Nabi dan keluarganya, kemudian al-fatihah kepada al-
Syaikh (guru/mursyid), alfatihah berikutnya kepada
para guru-guru yang telah mengajarkan pengetahuan,
beserta kepada kedua orang tua, dan juga al-fatihah
untuk kaum muslimin/muslimat. Kedua; membaca
istighfar81 secara umum”astaghfirullahal Adzim 10 kali.
79 Rasul Allah dalam sebuah haditsny mengungkapkan
bahwa siapapun diantara kita yang membaca al-Asma’ al-Husan
(nama-nama baik Allah) sebanyak 99, maka doa yang dia baca
dikabulkan Allah Swt.
80 Secara umum derajat manusia disisi Allah dibedakan oleh
ketaqwaannya kepada Allah semata, tidak dibedakan dengan
pangkat, golongan, jabatan, ras warna kulit, suku bangsa dan
sebab-sebab fisik lainnya. Inna Akramakum Inda Allah Atqakum
(sesungguhnya orang yang mulia disisiKu adalah mereka yang
paling taqwa). Rasul juga menegaskan dalam haditsnya
sesungguhnya manusia tidak dilihat dari bentuk tubuh, dan juga
tidak dari warna kulitnya namun Allah akan melihat seseorang
dari hati dana amaliahnya.
81 Sebagai perbedaan, istighfar yang dibaca oleh Rasul Allah
setiap malam ketika ingin tidur sebanyak 100 kali, beliau
bersabda;”Inni Laastaghfiru Kulla Lailatin Miatu Marrah”
(sesungguhnya aku membaca Istighfar setiap malam sebanyak
100 kali)
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Ketiga; membaca Istighfar khusus seperti diucapkan


oleh Syaikh abdul Qadir al-jailani ” astaghfarillaha min
ilmi wamin zalalli wamin wujud wamin ’amali”.
Keempat; membaca selawat atas nabi SAW 10 kali.
Kelima; Menghadirkan syekh (mursyid) sebagai
wasilah untuk meminta pertolongan agar semua yang
dicita-citakan berhasil. Keenam; meyakini bahwa
Syeikh sebagai pengganti Nabi untuk dijadikan wasilah
dalam berdoa. Ketujuh; merasukkan lafadz kalimat
”Laa Ilaha Illa Allah” dalam jiwa dan rasakan dalam
dada kira dan kanan. Kedelapan;lenyapkan lafadz
kalimat ”Laa Ilaha Illa Allah” dan rasakan yang tersisi
adalah makna dari kalimat tersebut, sehingga antara
nama dan yang diberikan nama menyatu dalam satu
kesatuan (al-Ismu wa al-Musamma wahidun).
Kesembilan; setelah itu semua terasa, maka tetapkan
diri dalam kebersatuan makna kalimat ”Laa Ilaha Illa
Allah” hingga memperoleh ma’rifat melalui kalimat
tersebut.
Kajian & Analisis
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Konsep al-Taubat

Al-Taubah secara bahasa berasal dari kata


Tâba, Yatûbu, Taubatan yang berarti kembali dari
pengembaraan, perjalanan jauh. Kembali ke asal
kejadian. Sedangkan pengertian Taubat secara istilah
adalah kembali –setelah banyak melakukan aktivitas
yang bertentangan dan melanggar ajaran dan titah
Allah SWT—kepada ajaran Tauhid dengan
melaksanakan ajaran-ajaran yang telah diperintahkan
Tuhan dan menjauhi segala larangan dan pantangan
yang telah digariskan dalam al-Quran dan al-sunnah
rasulNya.
Dasar aktivitas Taubat dalam al-Quran –yang
paling Populer—adalah ayat ”Tûbû Ila Allah Taubatan
Nashûhâ” (kembalilah kepada Allah dengan sebenar-
benar Taubat), sementara dalam al-Sunnah adalah
hadits Nabi yang banyak diriwayatkan dalam berbagai

persinya;" Bertaubatlah kalian dari segenap dosa dan


kesalahan yang telah kalian lakukan karena aku (rasul
Allah) bertaubat dan beristigfar seratus kali dalm
sehari semalam”.
Bertaubat dengan taubat nashûha sebagaimana
ditegaskan rasul mempunyai beberapa persyaratan,
pertama; Mencabut diri dari perbuatan dosa, kedua;
Meninggalkan dosa dengan sepenuh hati, dan ketiga;
berniat untuk tidak akan kembali lagi melakukan dosa
dan kesalahan apapun. Jika kesalahan yang dialkukan
terkait dengan manusia maka ditambah satu syarat
lagi yakni, keempat; Meminta maaf dengan –jika
berkaitan dengan harta—mengembalikan hak-hak
orang yang telah diambil dan didzaliminya.
Rasul Allah SAW menegaskan dalam sabdanya; “Al-
Tâibu Min Az-Zanbi Kaman Lâ Zanba Lahu, Wa Idza
Ahabba Allahu Abdan lam Yadhurrahu Zanbun” (orang
yang bertaubat dari dosa bagaikan orang yang tidak
pernah berdosa dan jika Allah mencintai seorang
hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.
Selanjutnya beliau membacakan ayat sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri (QS. Al-
Baqarah:222).
Ketika beliau ditanya, wahai Rasulullah apakah
tanda orang yang bertaubat? Beliau menjawab
“menyesali kesalahan”. Lanjutnya dalam riwayat Anas
bin Malik. Rasulullah SAW bersabda “Tiada sesuatu
yang lebih dicintai Allah selain pemuda yang
bertaubat”.82
Salah satu cerita hamba Allah yang telah bertaubat
dengan sebenarnya adalah seorang laki-laki yang
telah membunuh sampai 100 orang, lalu dengan
sepenuh hati ia bertaubat dengan meninggalkan desa

82Periksa, Imam Al-Qusyairy An-Naisabury, 1997. Risalah


Qusyairiyyah;Induk Ilmu Tasawuf. Surabaya: Risalah Gusti.
Halaman.78-79
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

kelahirannya untuk kembali kepada ajaran Allah dan


rasulNya, namun ditengah perjalanan ia pun
meninggal. Lalu ia dimasukkan ke dalam rahmat allah
SWT berupa Surga.
Para Sufi dalam melaksankan al-Taubat
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat
berpindah kejenjang berikutnya, karena pada proses
ini manusia sangat sulit untuk tidak terjerumus ke
lembah kenistaan. Sebagai manusia biasa pergumulan
antara nafsu dan akal –yang kadang sangat sering
dimenangkan oleh nafsu dan akal menjadi kalah--.
Dalam persoalan inilah fungsi taubat selalu
dianjurkan, tanpa pernah berputus asa, mengeluh
dengan segala kenistaan yang pernah kita lakukan.
Kita harus optimis bahwa selama kita sadar akan
kelemahan dan kealfaan diri saat itulah kita termasuk
dalam hamba Allah yang tercerahkan.
Faqih jalaluddin dalam naskah Syamsul Ma’rifa
menegaskan bahwa persoalan taubat seorang hamba
dari semua kesalahan yang telah dilakukannya
mendapatkan posisi yang sangat penting dalam
perjalanan menuju Allah.
“…Maka firman Allah Ta’ala innallaha yuhibbul
tawwabina wayuhibbul muta¯ahhirin, artinya
bahwasanya Allah Ta’ala mengasihi Ia akan
segala orang yang taubat dan mengasihi Ia akan
segala orang yang suci. Firman Allah Ta’ala tubu
ilallahi taubatan na¡uha, artinya taubatlah kamu
kepada Allah dengan taubat yang sahih. Sabda
Nabi şallallahu ‘Alaihi Wasallamwaman tâba
minaz zanbi kama la zanba lahu, artinya barang
siapa taubat daripada dosa adalah ia seperti
orang yang tiada berdosa. Lagi pada suatu
riwayat haditsnya taba minaz zanbi kayaumi
waladat hu ummuhu, artinya barang siapa
taubat daripada dosa adalah ia seperti hari yang
baru dilahirkan oleh ibunya, akan dia suci
daripada dosa…”.

Dalam persoalan ini taubat terbagi menjadi dua


perkara yakni taubat zahir dari semua perkara dosa
dan kealpaan seperti melakukan kesalahan maksiat
secara langsung, sedangkan taubat batin adalah
menjauhkan diri dari semua sikap hasad, dengki,
ujub, dan berbagai penyakit hati lainnya;
“…Maka adalah taubat itu dua perkara. Pertama
taubat zahir, kedua taubat batin. Maka
perhimpunan kedua taubat itu yaitu taubat
qu¯bil aq¯abi syekh ‘Abdul Qadir Jailaniy
astaghfirullahal ‘adzim min ismi wamin zaki
wamin wujudi wa min ‘ilmi wamin ‘amali,
artinya mohon ampun aku kepada Allah yang
amat besar daripada do{sa} besar dan daripada
dosa kecil dan daripada ingat akan diriku dan
ilmuku dan ‘amalku. Maka hasillah daripada
taubat ini tauhid yang dimaksud pada menjalani
jalan kepada Allah. Maka makna tauhid itu yaitu
Esa Allah aza wajalla dan zatnya dan sifatnya
dan pada fa’al-Nya.Firman Allah Ta’ala qul
huwallahu ahad, artinya katakan olehmu ya
Muhammad yaitu Allah Ta’ala Esa Ia.
Sungguhpun ada kita dengan perbuatan kita
tiada disebutkan dari karena wujud kita ini
keadaannya seperti wujud bayang-bayang jua
adanya. Dengan dalil firman Allah Ta’ala wallahu
khalaqakum wama ta’malun, sebermula Allah
Ta’ala jua yang yang menjadikan kamu serta
perbuatan kamu…”

Taubat batin akan menghasilkan kemurnian


tauhid kepada Allah tanpa mensekutukannya dengan
hal-hal duniawi lainnya, semua persoalan diserahkan
hanya kepadaNya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Faqih Jalaluddin dalam naskah Syamsul Ma’rifat;


“…Kata ‘arif sabda Nabi şallallāhu ‘alaihi
wasallam la tataharraku zarratan illa bi iznillahi
tiada bergerak satu zarrah melainkan dengan
izin Allah jua. Maka dengan dalil ini nyatalah
pada kita Allah Ta’ala Esa Ia dan dalam tangan
qudrat-Nya. Jikalau sekalian perintah dan
sekalian ikhtiar melainkan yang sepatutnya kita
pada saat kerja dan pada saat ketika hendaklah
menyerahkan diri kepada Allah, dan senantiasa
hati berhadap kepada-Nya serta memuji Dia dan
‘ibadah akan Dia pada tiap-tiap waktu,
demikianlah orang taubat yang dikasihi Allah…”

Dari ungkapan tersebut jelas bahwa hasil akhir


dari pertaubatan manusia adalah menyatu dengan
Allah SWT, artinya kita hendaknya merasakan
hadirnya Allah dalam setiap langkah dan aktivitas
yang kita lakukan, tidak aka nada persoalan sekecil
apapun yang luput dari pengetahuan Allah, semua
waktu dan peluang yang tersedia hendaknya diisi
dengan berbuat kebajikan dan berorientasi pada Allah
semata.
bersihan dalam raga dan jiwanya. Maka dalam upaya membangun keseimbangan ini agaknya konseptualisasike
ersuci tetapi tidak bersih atau yang lain non-muslim mereka tak suci tetapi bersih. Yang jelas rasul adalah "toko

Kebersihan dalam Islam


Dalam kehidupan makhluk bernyawa kebersihan
merupakan salah pokok dalam memelihara
kelangsungan eksistensinya, sehingga tidak ada
satupun makhluk kecuali berusaha untuk
membersihkan dirinya, walaupun makhluk tersebut
dinilai kotor. Pembersihan diri tersebut, secara fisik
misalnya, ada yang menggunakan air, tanah, air dan
tanah83. Bagi manusia membersihkan diri tersebut
dengan tanah dan air tidak cukup, tetapi ditambah
dengan menggunakan dedaunan pewangi, malahan
pada zaman modern sekarang menggunakan sabun
mandi, bahkan untuk pembersih wajah ada sabun
khusus dan lain sebagainya84.

83Air, tanah, tanah bersama air merupakan media


pembersihan kotoran/najis secara dzahir. Dari Abu Hurairah,
beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ِ ‫ن ِبالّتَرا‬
‫ب‬ ّ ‫لُه‬
َ ‫ت ُأو‬
ٍ ‫سْبَع َمّرا‬
َ ‫سَلُه‬
ِ ‫ن َيْغ‬
ْ ‫ب َأ‬
ُ ‫حِدُكْم ِإَذا َوَلَغ ِفيِه اْلَكْل‬
َ ‫طُهوُر ِإَناِء َأ‬
ُ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing
adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”
(lihat juga dalam kitab Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al
Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots,
cetakan kedua, 1392)
84 Lihat Prof .Dr. M. Aburrahman MA dalam Islamicnet
Articel http://saga-islamicnet.blogspot.com/2010/01/konsep-
kebersihan-dalam-islam.html. Di copy pada tanggal 30 Desember
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Pada manusia konsep kebersihan, bukan hanya


secara fisik (dzahir), tetapi juga psikhis (bathin),
sehingga dikenal istilah kebersihan jiwa, kebersihan
hati, dan juga kebersihan spiritual.
Agama dan ajaran Islam menaruh perhatian
amat tinggi pada kebersihan, baik lahiriah fisik
maupun batiniyah psikis. Kebersihan lahiriyah itu tidak
dapat dipisahkan dengan kebersihan batiniyah. Oleh
karena itu, ketika seorang Muslim melaksanakan
ibadah tertentu harus membersihkan terlebih dahulu
aspek lahiriyahnya. Ajaran Islam yang memiliki aspek
akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak ada kaitan
dengan seluruh kebersihan ini. Hal ini terdapat dalam
tata cara ibadah secara keseluruhan. Orang yang mau
shalat misalnya, diwajibkan bersih fisik dan psikhisnya.
Secara fisik badan, pakaian, dan tempat salat harus
bersih, bahkan suci. Secara psikhis atau akidah harus
suci juga dari perbuatan syirik. Manusia harus suci dari
al-fahsya85 dan al-munkarat86.
Dalam membangun konsep kebersihan, Islam

2010
85 Al-Fahsya’ (‫ ) الفحشاء‬dalam tafsir DEPAG-RI diartikan dengan
perbuatan keji. Sementara dalam kamus Al Munawwir, arti Al-
Fahsya’ adalah suatu sikap/amalan yang buruk, jelek, jorok,
cabul, kikir, bakhil, kata-kata kotor, kata yang tidak bisa diterima
oleh akal sehat, dan kata fail / pelakunya diartikan zina. (lihat
Kamus Al Munawwir : hal. 1113)
86 Al-Mungkar (‫ )اْلُمنَكِر‬dalam tafsir DEPAG-RI diartikan sama,
yaitu perbuatan mungkar. Abdullah Ar-Rojihi dalam kitabnya Al
Qoulul bayyin Al Adhhar fiddakwah menyebutkan bahwa Munkar
adalah setiap amalan / tindakan yang dilarang oleh syariat Islam,
tercela di dalamnya yang mencakup seluruh kemaksiatan dan
bid’ah, yang semua itu diawali oleh adanya kemusyrikan. Dalam
ungkapan lain dijelaskan bahwa Munkar adalah kumpulan
kejelekan, apa yang diketahui jelek oleh syariat dan akal,
kemusyrikan, menyembah patung dan memutus hubungan
silaturrahmi.
menetapkan berbagai macam peristilahan tentang
kebersihan. Umpamanya, tazkiyah, thaharah,
nazhafah, dan fitrah, seperti dalam hadis yang
memerintahkan khitan, sementara dalam membangun
perilaku bersih ada istilah ikhlas, thib al-nafs,
ketulusan kalbu, bersih dari dosa, tobat, dan lain-lain
sehingga makna bersih amat holistik karena
menyangkut berbagai persoalan kehidupan, baik dunia
dan akhirat.
Ada beberapa persoalan tentang kebersihan
yang harus difahami diantaranya;
Hissiyah dan jasmaniah
Bersih secara konkrit adalah kebersihan dari
kotoran atau sesuatu yang dinilai kotor. Kotoran yang
melekat pada badan, pakaian, tempat tinggal, dan lain
sebagainya yang mengakibatkan seseorang tak
nyaman dengan kotoran tersebut. Umpamanya, badan
yang terkena tanah atau kotoran tertentu, maka dinilai
kotor secara jasmaniah, tidak selamanya tidak suci.
Jadi, ada perbedaan antara bersih dan suci. Mungkin
ada orang yang tampak bersih, tetapi tak suci.

Hissiyah dan maknawiyah


Al-Quran dan hadis banyak menggunakan
lafal atau kosa-kata thaharah yang mengindikasikan
pada kesucian badan dari kotoran atau najis atau
sesuatu yang menimbulkan ketidaknyamanan
jasmaniah seseorang. Dalam Surat al-Maidah: 6 dan
surat al-Nisa: 43, ayat yang mewajibkan wudlu dan
atau mandi sebelum shalat, misalnya tampak
mengandung dua makna sekaligus, yaitu thaharah
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

secara hissiyah -jasmaniah (konkrit-nyata) karena


dibersihkan dengan air dan thaharah maknawiah
(abstrak) karena dibersihkan dengan air atau tanah
ketika air itu tidak ada.
Dikatakan mengandung dua makna sekaligus
karena pada ayat itu disebutkan juga makna,
“Sesungguhnya Allah adalah pengampun dan
penyayang” pada akhir surat al-Nisa: 43 karena wudu
dan mandi juga shalat adalah jalan membersihkan
dosa. Kesucian secara rohani karena dia sudah dengan
ketaatan, istigfar dan taubat kepada Allah. Pada
ibadah-ibadah tersebut. Memang dalam kehidupan
keseharian makna suci ini, sering diungkapkan kepada
seseorang yang sedang haid atau dalam keadaan
junub, misalnya. Orang yang sudah bersih atau suci
dari haid, disebut, “Hatta yath-hurna” (al-Baqarah:
222) bila sudah mandi junub, bukan hanya dicuci.
Sebagimana disebutkan terdahulu bahwa
kebalikan dari thaharah adalah najasah atau najis.
Dalam ungkapan lain ada juga istilah danas, kotor
Dalam Islam istilah najis terkonsep dalam fuqaha.
Mereka menetapkan bab tertentu tentang thaharah
dan najis tersebut. Dahulu di kalangan fuqaha, najis itu
sendiri ditetapkan sebagai berikut: Najis mughallzhah87
dan mukhaffafah88.

87Dikatakan mughallazhah sesuai dengan artinya berat,


karena dalam membersihkannya di samping mengunakan air
sebanyak tujuh kali juga ditambahkan dengan tanah.
88Sementara dikatakan Mukhafafah sesuai dengan
maknanya ringan, karena najis yang dengan sekali atau dua kali
cucian sudah cukup tidak lagi memerlukan tanah sebagai
tambahannya.
Maknawiyah
Agaknya perlu dielaborasi di sini tentang
kesucian secara maknawi yang banyakmenggunakan
kata tazkiyah yang makna asalnya berarti berkembang
dan berkah. Pada dasarnya kebersihan maknawiyah
sudah disinggung di atas, tetapi dalam Islam juga
menggunakan istilah tazkiyah dalam arti tazkiyat al-
nafsi sama dengan thaharat al-nafs dan tazkiyat al-
mali.

Tazkiyah wa thaharah al-Nafs


Kesucian jiwa adalah kesucian karena ia sebagai
orang beriman Al-Quran dan Sunnah atau ajaran Islam
itu berfungsi sebagai tazkiyah, penyucian dari
kesesatan diri. Maka muwahhid (orang yang
bertauhid) adalah orang yang suci juga. Untuk itu,
maka kebalikannya adalah najis, sebagai mana
disebut al-Quran bahwa orang musyrik itu najis,
sebagaimana diterangkan dalam dalam surat al-
Taubah: 28 “Innama al-musyrikunan najasun fala
yaqraub al-masjidal haram ba’da amihim hadza…”
sebaliknya orang beriman adalah suci jiwanya dengan
akidah yang benar.
Tanah Mekah dan Madinah bgi umat Islam
adalah Tanah suci karena tidak boleh diinjak oleh
orang kafir. Kesucian jiwa berkaitan juga dengan
akhlak mulia dan taubat. Ketika seseorang bertaubat
berarti mensucikan dirinya dari segala dosa yang
dilakukannya. Penyucian dosa dengan istigfar dan
tidak mengulangi lagi perbuatannya. Bagi dosa yang
memerlukan hukum pidana Islam, maka dengan
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

melalui proses eksekusi pidana itu.

Tazkiyat wa thaharat al-mal


Kesucian harta adalah dimensi lain dari dimensi
kesucian dalam Islam, tetapi juga di sini tidak
selamanya bahwa menggunakan kata tazkiyah karena
thuhratan atau thaharah. Namun, sebagaimana
dimaklumi zakat disebut zakat karena mensucikan
harta. Memang, dalam hal ini belum berimbang antara
mensucikan badan atau masalah yang bersifat
badaniyah dengan penyucian harta, padahal banyak
cara penyucian harta ini, utamanya dengan zakat.
Ongkos penyucian badan dan pemeliharaannya bila
dihitung perbulan amat mahal. Mulai dari sikat gigi
dan odolnya, pakaian, malahan dari kalangan tertentu
ada yang sengaja mandi SPA dan Sauna, belum lagi
dari kalangan “perempuan” tingkat tertentu, setiap
bulan mengeluarkan dana tertentu untuk merawat
wajah dan penataan rambutnya89.
Untuk penyucian harta adalah dengan
mengeluarkan zakat karena zakat itu sendiri artinya
suci. Belum lagi dengan melalui sadaqah, infaq, wakaf,
misalnya. Saat ini lembaga zakat membantu orang-
orang kaya menegluarkan zakatnya, sehingga harta
yang dimiliki mereka adalah harta yang suci.
‫حذ من اموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها‬
”Ambillah dari harta mereka sadaqah (zakat),

89Lihat Prof .Dr. M. Aburrahman MA dalam Islamicnet


Articel http://saga-islamicnet.blogspot.com/2010/01/konsep-
kebersihan-dalam-islam.html. Di copy pada tanggal 30 Desember
2010
kau sucikan dan bersihkan mereka dengannya”
(QS. Al-Taubah:103)
Sementara harta yang tidak pernah dizakati
hakikatnya adalah harta yang kotor, bahkan termasuk
dalam katagori orang-orang yang yaknizun al-zahab
wa al-fidhdhah (al-Tubah: 34) sehingga akan
membakar dirinya di neraka.

Syeikh faqih Jalaluddin, dalam pandangannya


tentang kebersihan yang secara tegas dalam naskah
Syamsul Ma’rifah memandang sangat perlu bagi setiap
manusia yang ingin dekat dan selalu connected
dengan Allah, sebab tanpa bersih dan suci jiwa raga
mustahil kebersamaan dengan Allah akan terjalin. Hal
tersebut dapat dilihat dalam konsep beliau tentang
kebersihan. Beliau melihat bahwa manusia harus suci
dari tiga hal;

“…Syahdan bermula suci itu tiga perkara,


pertama suci žahir, kedua suci batin, ketiga suci
sir. Maka suci žahir itu yaitu bersuci daripada
hadats besar dan kecil, dan bersuci daripada
sekalian najis pada badan dan tempat dan
pakaian. Dan suci batin itu yaitu menyucikan
hati daripada ku’eh dan dengki dan ‘adam,
bakhil, ‘ujub, ria, sum’ah. Dan menyucikan
panca indera yang lima daripada yang haram
dan makruh dan syubhat yaitu penglihat
pendengar, pencium, perasa, fitnah. Dan bersuci
sir daripada ingat akan yang lain daripada Allah.
Maka sir itu yaitu suatu yang ditaruhkan Allah ke
dalam hati hamba-Nya yang dikasihi-Nya akan
Dia, supaya jadilah Ia akan alat hamba
menghadap kepada Tuhannya…”

Dalam pemaknaan “pakaian žahir” menurut


Syeikh Faqih Jalaluddin adalah dengan mengerjakan
lima rukun Islam secara baik dan benar sesuai
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

tuntunan al-quran dan al-Sunnah. Pengaplikasian


rukun Islam tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu
rukun dengan rukun yang lain sebab rukun yang satu
dengan yang lain saling bertautan, bagaikan sebuah
pondasi bangunan, yang harus saling terkait, satu dan
lainnya –akan roboh dan rusak—jika yang lainnya tidak
berkait. Dalam bahasa al-Qur’an “Kal Bunyanun
Marshush”90 (bagaikan sebuah bangunan yang salin
bertautan).
Khusus dalam pelaksanaan ibadah haji
menurutnya sangat ditekankan, bahkan sampai
seseorang –yang tentunya sebelum meninggal dalam
keadaan mampu dan atau keluarganya mampu
setelah dia meninggal—maka wajib di badalkan91. Hal

90 Lihat al-quran surat al-Shaf/61:4


91Badal haji adalah sebuah istilah yang dikenal dalam fiqih
Islam. Bentuknya seseorang adalah melakukan ibadah haji
namun pahalanya diniatkan bagi orang lain, baik yang masih
hidup namun tidak mampu pergi maupun yang sudah wafat. Para
ulama berbeda pandangan diantaranya mengatakan boleh
dengan syarat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia dan
belum melakukan ibadah haji, atau karena sakit berat sehingga
tidak memungkinkannya melakukan ibadah haji namun ia kuat
secara finansial. Ulama Hanafi mengatakan orang yang sakit atau
kondisi badanya tidak memungkinkan melaksanakan ibadah haji
namun mempunyai harta atau biaya untuk haji, maka ia wajib
membayar orang lain untuk menghajikannya, apalagi bila
sakitnya kemungkinan susah disembuhkan, ia wajib
meninggalkan wasiat agar dihajikan. Mazhab Maliki mengatakan
menghajikan orang yang masih hidup tidak diperbolehkan. Untuk
yang telah meninggal sah menghajikannya asalkan ia telah
mewasiatkan dengan syarat biaya haji tidak mencapai sepertiga
dari harta yang ditinggalkan. Mazhab Syafi'i mengatakan boleh
menghajikan orang lain dalam dua kondisi; Pertama : untuk
mereka yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena tua
atau sakit sehingga tidak sanggup untuk bisa duduk di atas
kendaraan. Orang seperti ini kalau mempunyai harta wajib
membiayai haji orang lain, cukup dengan biaya haji meskipun
tidak termasuk biaya orang yang ditinggalkan. Kedua orang yang
telah meninggal dan belum melaksanakan ibadah haji, Ahli
warisnya wajib menghajikannya dengan harta yang ditinggalkan,
kalau ada. Ulama syafi'i dan Hanbali melihat bahwa kemampuan
ini diperkuat dengan pernyataan beliau dalam naskah
Syamsul Ma’rifah.
“…Adanya sebermula pakaian žahir itu yaitu
mengerjakan rukun Islam yang lima, yaitu
mengucap dua kalimat syahadat92 dan
mendirikan sembahyang dan memberi zakat
harta dan puasa pada bulan Ramadhan dan naik
haji ke Mekah jika kuasa berjalan kepadanya
atau diberinya upah akan yang sudah mati…”

Persoalan Syahadat merupakan kalimat yang


paling penting, karena dengan kalimat inilah kemudian
seseorang –dalam agama Islam—menjadi aman darah,
kehormatan dan juga harta bendanya. Dengan kalimat
inilah generasi terdahulu—as-Sabiqunal Awwalun—rela
mati demi menegakkan kalimat ini. Para sahabat Nabi
mati-matian memperjuangkan kalimat agung ini, dan
dengan kalimat ini seseorang memperoleh ganjaran
Surga di akhirat kelak.
Kalimat Laa Ilaaha Illallah adalah kalimat yang
terdiri dari 4 kata, yaitu : kata (‫)ل‬, kata (‫)ِإَلَه‬, kata (‫)ِإل‬
dan kata (‫ليي‬
ُ ‫)ا‬. Adapun secara bahasa kalimat Laa
Ilaaha Illallah dapat diuraikan sebagai berikut :

Laa (‫ )ل‬adalah nafiyah lil jins (Meniadakan keberadaan

melaksanakan ibadah haji ada dua macam, yaitu kemampuan


langsung, seperti yang sehat dan mempunyai harta. Namun ada
juga kemampuan yang sifatnya tidak langsung, yaitu mereka
yang secara fisik tidak mampu, namun secara finansial mampu.
Keduanya wajib melaksanakan ibadah haj
92Lihat Al-Qur’an surat Az-Zukhruf : 86) “Dan sembahan-
sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat
memberi syafa`at; akan tetapi (orang yang dapat memberi
syafa`at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dalam
keadaan mereka mengetahui(nya)”. Dan Rasul Allah Saw
menyebutkan bahwa “Barangsiapa yang meninggal dalam
keadaan mengatahui bahwa sesungguhnya tiada sembahan yang
berhak disembah kecuali Allah maka akan masuk Surga.” (HSR.
Bukhary dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu).
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

semua jenis kata benda yang datang setelahnya).


Misalnya perkataan orang Arab “Lâ rojula fid dâri”
(Tidak ada laki-laki dalam rumah) yaitu menafikan
(meniadakan) semua jenis laki-laki di dalam rumah.
Sehingga laa dalam kalimat tauhid ini bermakna
penafian semua jenis penyembahan dan
peribadahan yang haq dari siapapun juga kecuali
kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Ilaha (‫ )ِإَلَه‬adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna


maf’ul (obyek) sehingga bermakna ma`luh yang
artinya adalah ma’bud (yang diibadahi). Karena
aliha maknanya adalah ‘abada sehingga makna
ma’luh adalah ma’bud. Hal ini sebagaimana dalam
bacaan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma terhadap
ayat 127 pada surah Al-A’raf :

َ ‫ك َوِإَلَهَت‬
‫ك‬ َ ‫ض َوَيَذَر‬
ِ ‫لْر‬
َْ ‫ي ا‬
ْ ‫سُدْوا ِف‬
ِ ‫سى َوَقْوَمُه ِلُيْف‬
َ ‫ن َأَتَذُر ُمْو‬
َ ‫عْو‬
َ ‫ن َقْوِم ِفْر‬
ْ ‫ل ِم‬
ُ ‫ل اْلَم‬
َ ‫َوَقا‬

“ Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun


(kepada Fir’aun) : Apakah kamu membiarkan Musa
dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri
ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta ilahataka
(peribadatan kepadamu)?”.

Ilahataka yaitu peribadatan kepadamu, karena


Fir’aun itu disembah dan tidak menyembah. Hal ini
menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas memahami bahwa
kata Ilahah artinya adalah Ibadah.

3) Illa (‫ )ِإل‬Pengecualian di sini adalah mengeluarkan


kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang
telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di
atas laa rajula fid dari illa Muhammad, yaitu
Muhammad (sebagai kata setelah illa) dikeluarkan
(dikecualikan) dari hukum sebelum illa yaitu
peniadaan semua jenis laki-laki di dalam rumah,
sehingga maknanya adalah tidak ada satupun jenis
laki-laki di dalam rumah kecuali Muhammad. Jika
diterapkan dalam kalimat tauhid ini makna
maknanya adalah bahwa hanya Allah yang
diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah
dinafikan oleh kata laa sebelumnya.

4) Lafadz Allah (‫ل‬


ُ ‫ )ا‬asal katanya adalah Al-Ilah dibuang
hamzahnya untuk mempermudah membacanya,
lalu lam yang pertama diidhgamkan (digabungkan)
pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam
yang ditasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal
sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-
Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih.
Adapun maknanya, berkata Al-Imam Ibnu Qoyyim
dalam Madarij As-Salikin (1/18): “Nama “Allah”
menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh
(yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh
makhluk beribadah kepadanya dengan penuh
kecintaan, pengagungan dan ketundukan”. Lafadz
jalalah “Allah” adalah nama yang khusus untuk
Allah saja, adapun seluruh nama-nama dan sifat-
sifat Allah yang lainnya kembali kepada lafadz
jalalah tersebut. Karena itulah tidak ada satupun
dari makhluk-Nya yang dinamakan Allah.

Kemudian dari perkara yang paling penting


Corak tasawuf faqih Jalaluddin

diketahui bahwa Laa ini –sebagaimana yang telah


diketahui oleh semua orang yang memiliki ilmu
bahasa Arab- membutuhkan isim dan khabar
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Malik dalam
Alfiyahnya93 :

‫ل ِفي َنِكَره‬
َ ‫ل ِل‬
ْ ‫جَع‬
ْ ‫نا‬
ّ ‫ل ِإ‬
َ ‫عَم‬
َ

“Jadikan amalan Inna (menashab isim dan merafa’


khabar) untuk laa bila isimnya nakirah”.

Isim laa adalah kata ilaha, adapun khabarnya,


disinilah letak perselisihan manusia dalam
penentuannya. Adapun yang dipilih oleh para ulama
Salaf secara keseluruhan adalah bahwa khabarnya
(dibuang) oleh karena itulah harus menentukan
khabarnya untuk memahami maknanya dengan benar.
Dan para ulama Salaf sepakat bahwa yang dibuang
tersebut adalah kata haqqun atau bihaqqin (yang
berhak disembah), dengan dalil firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Luqman ayat 30 :

‫ي الَكِبْيُر‬
ّ ‫ل ُهَو الَعِل‬
َ ‫نا‬
ّ ‫ل َوَأ‬
ُ‫ط‬ِ ‫ن ُدْوِنِه الَبا‬
ْ ‫ن ِم‬
َ ‫عْو‬
ُ ‫ن َما َيْد‬
ّ ‫ق َوَأ‬
ّ‫ح‬
َ ‫ل ُهَو ال‬
َ ‫نا‬
ّ ‫ك ِبَأ‬
َ ‫َذِل‬
“Yang demikian itu karena Allahlah yang haq (untuk
disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain
Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Dan mirip dengannya dalam surah Al-Hajj ayat


62. Maka dari seluruh penjelasan di atas, kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa makna Laa ilaaha
illallah adalah tidak ada sembahan yang berhak untuk
93 Kitab Alfiyah Ibnu Malik, cukup terkenal dan sangat
disegani oleh kalangan santri senior. Berisi kaidah-kaidah lanjutan
dan tinggi dalam fan ilmu nahwu dan sharaf. Hafalannya tidak
kurang dari 1000 bet.
disembah kecuali Allah. Maka kalimat tauhid ini
menunjukkan akan penafian/penolakan/peniadaan
semua jenis penyembahan dan peribadahan dari
semua selain Allah Ta’ala, apa dan siapapun dia, serta
penetapan bahwa penyembahan dan peribadahan
dengan seluruh macam bentuknya –baik yang zhohir
maupun yang batin- hanya ditujukan kepada Allah
semata tidak kepada selainnya.

Oleh karena itu semua yang disembah selain


Allah Ta’ala memang betul telah disembah, akan
tetapi dia disembah dengan kebatilan, kezhaliman,
pelampauan batas dan kesewenang-wenangan. Inilah
makna yang dipahami oleh orang-orang Arab –yang
mukmin maupun yang kafirnya- tatkala mereka
mendengar perkataan laa ilaha illallah sebagaimana
yang akan datang penjelasannya insya Allah
Ta’ala.Berikut sebagian perkataan para ulama yang
menunjukkan benarnya apa yang telah kami
paparkan.

Al-Wazir Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh


menegaskan bahwa “Lafazh “Allah” sesudah “illa”
menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib
(diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka tidak ada
(seorangpun) selain dari-Nya yang berhak
mendapatkannya (penyembahan itu)”. Dan beliau juga
berkata : “Dan termasuk faedah dari hal ini adalah
hendaknya kamu mengetahui bahwa kalimat ini
mencakup kufur kepada thaghut (semua yang
disembah selain Allah) dan beriman hanya kepada
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka tatkala engkau


menafikan penyembahan dan menetapkan kewajiban
penyembahan itu hanya kepada Allah subhanahu
maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan
beriman kepada Allah”

Sementara Imam Ibnu Rajab : “Al-Ilah adalah


yang ditaati dan tidak didurhakai karena
mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta,
takut, berharap dan bertawakkal kepada-Nya,
meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak
boleh kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa
yang mengikutsertakan makhluk-Nya pada salah satu
dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan
penyembahan (ibadah) ini maka dia telah merusak
keikhlasannya dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah. Dan
padanya terdapat peribadatan kepada makhluk
(kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak
atau sedikitnya hal-hal tersebut terdapat padanya”.

Ungkapan lain juga dikemukakan oleh Imam Al-


Baqo`iy : “Laa Ilaaha Illallah yaitu peniadaan yang
besar dari menjadikan yang diibadahi yang benar
selain Raja yang paling mulia karena sesungguhnya
ilmu ini, khususnya Laa Ilaahaa Illallah adalah
peringatan yang paling besar yang menolong dari
keadaan hari kiamat dan sesungguhnya menjadi ilmu
jika bemanfaat, dan menjadi bermanfaat jika disertai
dengan ketundukan dan beramal dengan
ketentuannya. Kalau tidak maka itu adalah kebodohan
semata”.
Persoalan yang termasuk dalam katagori
“pakain žahir” adalah ketika seseorang mampu
mengi’tiqadkan (meyakini) dalam hati tentang enam
rukun iman94 dan teraplikasikan dalam sikap
keberagamaan sehari-hari. Hal tersebut dapat dilihat
pada teks Syamsul Ma’rifa”;
“…Dan mengetahui serta mengi’tiqadkan rukun
Iman yang enam, yaitu percaya akan Allah dan
percaya akan segala malaikat dan percaya akan
segala kitab Allah dan percaya akan segala
Rasul Allah dan percaya akan hari kiamat dan
percaya akan untung baik dan untung jahat
daripada Allah jua. Dan mengi’tiqadkan rukun
syahadat yang empat yaitu mengisbatkan zat
Allah dan mengisbatkan akan af’il Allah dan
mengisbatkan kebenaran. Dan mengerjakan
pohon agama yang empat itu yaitu Iman, Islam,
Tauhid, Ma’rifat yakni mengetahui sifat Allah
yang dua puluh, demikianlah pakaian yang
žahir…”

Selain pakain žahir, juga terdapat pakaian batin


yang tersurat dalam teks Syamsul Ma’rifah. Pakain

94Konsep Iman dalam kalangan teolog beragam perspektif,


bagi al-Muktazilah Iman adalah “Zat” yang jika digunakan untuk
kemaksiatan secara terus-menerus, maka imannya akan habis
oleh karenanya tidak lagi menjadi orang beriman, namun karena
masih melaksanakan amaliah-amaliah al-hasanah maka tidak
juga dikatakan kafir (al-Manzilah bayn Manzilatain). Sedangkan
konsep al-Iman menurut ahl al-Sunnah wa al-Jamaah adalah
“sifat”, jika dipakai secara terus-menerus untuk kemaksiatan
iman tersebut tidak habis, namun mengempis dan akhirnya
berkurang, jadi iman dapat berkurang (yanqush) dan bertambah
(yazid).
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

batin95 yang dimaksudkan adalah pakaian yang terdiri


dari persoalan batin seperti taubat, memerangi hawa
nafsu, berusaha melakukan kebajikan, takut akan azab
Allah dan juga harap akan rahmat Allah, juga
melakukan kontemplasi, sabar dari semua bala’ dan
bersyukur terhadap semua nikmat Allah, juga berniat
dengan penuh keikhlasan. Pernyataan tersebut sesuai
dengan ungkapan yang tertuang dalam teks Syamsul
Ma’rifa;
“…Adapun pakaian yang batin itu yaitu taubat
kepada Allah dan berusaha pada sekalian
kebajikan dan memerangi hawa nafsu dan takut
akan azab Allah, dan harap akan rahmat Allah

95 Kata “pakaian batin” dalam al-Quran dikenal dengan


istilah “libasut Taqwa”.Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26
menjelaskan dua fungsi pakaian: Wahai putra putri Adam,
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian
yang menutup auratmu dan juga (pakaian) bulu (untuk menjadi
perhiasan), dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Ayat ini
setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu penutup
aurat dan perhiasan.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas
berbicara tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa,
dalam arti pakaian dapat menghindarkan seseorang
terjerumus ke dalam bencana dan kesulitan, baik bencana
duniawi maupun ukhrawi. Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur
menjelaskan jalan pikiran ulama yang berpendapat demikian. Ia
menulis dalam tafsirnya tentang ayat tersebut:Libasut taqwa
dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir, Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far
dengan nashab (dibaca libasa sehingga kedudukannya sebagai
objek penderita). Ini berarti sama dengan pakaian-pakaian lain
yang diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk
abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini adalah
pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya adalah
pakaian berupa perisai yang digunakan dalam peperangan untuk
memelihara dan menghindarkan pemakainya dari luka dan
bencana lain.
Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata
tersebut tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu,
salah satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian
batin yang dapat menghindarkan seseorang dari bencana
duniawi dan ukhrawi. (periksa Prof.Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat).
dan pertapa dan sabar akan bala dan syukur
akan nikmat dan niat yang baik dan ikhlas, dan
benar susah hati dan insaf hati dan mengira-
ngirai amal baik dan jahat pada waktu ashar.
Dan tawakkal kepada Allah pada barang kerja
dan kasih dan rindu hati kepada Allah, sebab
menerima nikmat yang berturut-turut dan ridha
akan takdir Allah. Dan berpekerjaan akan
kebesaran Allah dan muraqabah, yaitu Allah
Ta’ala menilik Ia akan segala perbuatan hamba-
Nya senantiasa dan memberi akan tauhid
dengan zikir, jangan lalai hati kepada Allah...”

Pakaian ketiga dalam persepktif Syeikh Faqih


Jalaluddin adalah ”pakaian sirr” pernyataan tersebut
dapat dilihat dalam teks naskah Syamsul Ma’rifa;
”...Ada pun pakaian sir itu, maka yaitu
mengekalkan harap kepada Allah pada sekalian
waktu dengan mengembalikan amanah kepada
yang mempunyai dia. Firman Allah Ta’ala an
tuwaddul amanati ila ahliha, artinya kembalikan
oleh kamu sekalian amanah itu kepada yang
empunya dia. Maka yang dikehendaki dengan
amanah itu pada ahli sufi yaitu sifat yang tujuh,
hayah, ilmu, qudrah, iradah, sama’, başar,
kalam, dan panca indera yang lima penglihat
pendengar perasa penyentuh [pencium]...”

Dari ungkapan tersebut maka yang diinginkan


dengan ”Pakaian Sir” adalah menyerahkan semua
harapan (al-raja’) hanya kepada Allah semata dan
mengembalikan semua pemberiaanNya berupa
amanah (menyerahkan secara totalitas seluruh
pemberian Allah Swt), Dialah yang akan membalas
semua perbuatan yang kita lakukan kelak.
Amanah dalam kontek sufi –perspektif Syeikh
Faqih Jalaluddin—terangkum dalam sifat Allah yang
tujuh yakni sifat hayah (hidup), ilmu (Mengetahui),
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

qudrah (Kuasa), iradah, (berkehendak) sama’


(mendengar), başar (melihat), kalam (berbicara).
Sifat hidup ini dapat ditransfer ke dalam diri
manusia sebagai makhluk hidup, maka hendaklah
menggunakan kehidupannya sebaik mungkin dengan
senantiasa mengarahkan aktivitas, aqwal dan hatinya
kepada Sang Pencipta Yang Maha Tunggal. Hidup yang
dianugerahkan Allah kepada kita sangat pendek dan
misteri karena kita tidak akan pernah tahu kapan dan
dimana ajal akan menjemput kita. Seorang sahabat
Nabi pernah berujar ketika dianugerahi hadiah berupa
emas oleh khalifah Umar, ia berkata;”Ya Amirul
Mukminin Man Yadminuka An Taisyu Ilaa Ghadan”
(Wahai Amirul Mukminin siapakah yang dapat
menjamin usia kita akan sampai besok pagi?).
Mendengar pertanyaan ini Sayyidina Umar merasa
bahwa kehidupan kita di pentas dunia ini tidaklah bisa
diprediksi kapan kita akan meninggal, oleh karena
itulah Rasul Allah memerintahkan kita untuk
memanfaatkan usia muda sebelum datangnya usia
tua.
Allah Maha mengetahui, sifat ini memiliki
konsekwensi yang sangat kuat bagi manusia yang
berpikir. Dengan pengetahuannya Allah bisa
mengetahui seluruh aktivitas dzahir batin kita, bahkan
lintasan dan denyutan nadi kitapun di ketahuianya.
Oleh karena itulah manusia hendaknya selalu waspada
dalam menjalankan kehidupannya, dan mengarahkan
jiwa raganya untuk mengabdi sepenuhnya hanya
kepada Allah Sang Penguasa Alam raya dan isinya.
Allah Maha Kuasa (Qudrah), sifat ini juga
memiliki pemahaman bahwa Allah berkuasa atas
segala yang kita tidak mampu melakukannya, bagi
Allah tidak ada yang sulit. Oleh karena itulah
hendaknya sikap yang harus ditumbuhkan adalah
merasakan semua problema yang menghampiri kita
pasti akan diberikan jalan keluar “Inna Maal ‘Usri
Yusra” Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada
kemudahan atau jalan keluarnya.
Allah Maha Mendengar (Sama’), sifat ini bagi
manusia hendaknya menjadi perhatian sehingga tidak
serampangan mengucapkan kata-kata kotor,
membuat fitnah dan bergosif, jika sifat Allah ini sudah
dapat dijadikan renungan dan pedoman dalam
kehidupan kita maka hidup yang kita jalankan akan
mendapatkan ridla dan berkah. Rasulullah SAW
menerangkan hukum dan akibat perbuatan ini dalam
sabdanya,

‫حِزن‬
ْ ‫ك ُي‬
َ ‫ن َذِل‬
ْ ‫ل َأ‬
ِ‫ج‬ْ ‫ن َأ‬
ْ ‫ ِم‬،‫س‬
ِ ‫طْوا ِبالّنا‬
ُ ‫خَتِل‬
ْ ‫حّتى َت‬
َ ‫خِر‬
َ ‫ن ْال‬
َ ‫ن ُدْو‬
ِ ‫جى اْثَنا‬
َ ‫ل َيَتَنا‬
َ ‫لَثًة َف‬
َ ‫ِإَذا ُكْنُتْم َث‬

“Jika kalian sedang bertiga, maka janganlah dua


orang berbisik tanpa seorang yang lain, sehingga
kalian membaur dalam pergaulan dengan manusia,
sebab yang demikian itu akan membuatnya
sedih.”( Hadits riwayat Al-Bukhari)96

Allah Maha Melihat (bashar), sifat ini mengandung


implikasi bagi seluruh manusia agar tidak melakukan
perbuatan yang dilarang Allah dan rasulNya. Karena
Allah Maha melihat semua aktivitas yang dzahir

96 (lihat Ibnu Hajar Al ‘Asqolani dalam kitab Fathul Bari,


11/83)
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

maupun yang tersembunyi. Allah SWT berfirman;


‫صيُر‬
ِ ‫سِميُع الَب‬
ّ ‫يءٌ َوُهَو ال‬
ْ ‫ش‬
َ ‫س َكِمْثِلِه‬
َ ‫َلْي‬
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,
dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
(Asy-Syura: 11)
PenglihatanNya bisa menembus langit dan bumi
tanpa sedikitpun terhalang oleh penghalang batas
tempat dan waktu.

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam


enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas
´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-
Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” [Al Hadiid 4]

Dia bisa melihat semut hitam yang berjalan di


atas batu hitam di langit yang kelam. Tak ada
selembar daun pun yang jatuh ke bumi tanpa Allah
melihatnya. Tidak pula daun kering atau basah kecuali
Allah melihatnya.

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang


ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan
dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan
tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi,
dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfudz)” [Al An’aam 59]

Allah bisa melihat meski itu hanya sebesar


dzarrah, tidak ada apapun yang luput dari
pengawasan dan penglihatan Allah.

(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya


jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan
berada dalam batu atau di langit atau di dalam
bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus
lagi Maha Mengetahui.” [Luqman 16]

“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib


di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.” [Al Hujuraat 18]

Selain sifat amanah diekspresikan melalui


pengamalan makna-makna yang terkandung dalam
sifat-sifat Allah, juga, terekam dalam lima pancaindra
yakni penglihat-an, pendengar-an, perasa, penyentuh,
dan pencium. Jika berbagai amanah telah
dilaksanakan dan Allah menerima semuanya,
kembalilah seseorang menjadi faqir97 yang hanya
97 Pengertian faqir dalam tasawuf ia diartikan sebagai
pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya
semata-mata ke pada Tuhan. Dua ayat al-Qur`an yang dijadikan
rujukan, yaitu Q 2:268 dan Q 35-15. Dalam Q 2:268, Allah
berfirman, ”Setan mengancammu dengan ketiadaan milik (al-
faqr) dan menyuruhmu melakukan perbuatan keji. Tetapi Allah
menjanjikan ampunan dan karunia kepadamu dari-Nya sendiri
dan Allah maha luas pengetahuan-Nya.” Dalam Q 35 :15, ”Hai
manusia ! Kamulah yang memerlukan (fuqara’) Allah. Sedangkan
Allah, Dialah yang maha kaya lagi maha terpuji.” (Yusuf Ali 1983:
109 dan 1157-8).
Faqir bukanlah orang miskin dalam artian harfiah. Ibn Abu
`Ishaq al-Kalabadhi dalam bukunya al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl
al-Tashawwuf )abad ke-11 M) mengutip Ibn al-Jalla yang
mengatakan, ’Kefaqiran ialah bahwa tiada sesuatu pun yang
menjadi milikmu, atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh
menjadi milikmu’. Ini sejalan dengan firman Tuhan, ’Sedangkan
mereka lebih mengutamakan kepentingan orang banyak,
dibanding semata-mata kepentingan mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118).
Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip
seorang sufi yang mengatakan, ”Laysa al-faqr man khala min al-
zad, inna-ma al-faqr man khala min al-murad, yakni ’Faqir bukan
orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang
pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah’.” Dia juga
mengutip Syekh Ruwaym, ”Min na`t al-faqr hifzzhu sirrihi wa
syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’, yakni ’Ciri faqir ialah
hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari
kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”
(Nicholson 1982:35).
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

berharap akan pertolongan dan bantuan Allah, maka


Allah akan datang dengan bantuan berupa
keridlaanNya terhadap semua perbuatan hambanNya.

Syaikh Faqih Jalaulddin memberikan komentar


lebih jauh tentang penggunaan amanah yang
membawa kepada kefakiran seseorang.

”Maka tatkala habislah amanah itu kembali


kepada yang empunya dia maka jadilah ia fakir
sekali-kali, dan patutlah ia menerima sadaqah.
Firman Allah Ta’ala innama shaadaqatu lil fuqara'i
sesungguhnya segala şadaqah itu milik bagi
segala faqir. Hasilnya, setelah sucilah hatinya itu
daripada yang lainnya daripada Allah maka
patutlah ia menerima beroleh yang ia persalinan
daripada Allah kepada hamba-Nya, demikianlah
suci yang dikasihi Allah”

Dari ungkapan tersebut jelaslah bahwa orang


yang benar-benar memanfaatkan dan menggunakan
amanah Allah sesuai dengan ketentuanNya akan
menjadi fakir dalam arti yang lebih luas yakni segala
sesuatu yang ia miliki merupakan –hakikatnya—milik
Allah, karena Allahlah yang menjadikan sesuatu itu
ada di tangan-tangan yang Dia kehendaki. Kapan Allah
berkehendak mengambilnya kembali, maka akan
diambil tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan
tidak ada kekuasaan manusia sedikitpun untuk
menolak kehendak Allah tersebut. Pada posisi ini kita
sebagai manusia diharapkan menerima dengan
ikhlash segala ketentuan yang telah ditentukan Allah
sejak azali.
Jika demikian adanya mengapa kita harus
merasa bahwa apa yang kita miliki ini adalah milik
kita?, mengapa kita sering merasa bahwa nikmat yang
dianugerahkan Allah kepada kita pertanda sayang
sementara musibah yang juga dianugerahkan Allah
kepada kita sering dianggap sebagai tanda Allah benci
(tidak sayang) kepada kita?. Padahal jika dilihat dari
aspek lain semua nikmat dan juga musibah datangnya
dari Allah, oleh karena itulah kita diminta untuk
merasakan dan mensikapi secara bersamaan baik
nikmat maupun musibah karena semua itu akan
menjadi bukti peringkat keimanan kita.

Ke-Esa-an (al-Tauhid)
Dakwah yang dikembangkan rasul Allah selama
13 tahun di Makkah al-Mukarramah dalam rangka
menguatkan aqidah umat yang Inti pokoknya adalah
meng-Esa-kan Allah Swt dari semua persekutuan baik
dengan benda maupun non benda. Al-Quran sebagai
kitab suci memfokuskan masalah Aqidah. Sedang inti
dari akidah adalah keyakinan bahwa Allah SWT Maha
Esa. Tidak ada tuhan dan sekutu bagi-Nya.
Allah berfirman : “Katakanlah: “Dia-lah Allah,
yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan
tidak pula diperanakan. Dan tidak ada seorang pun
yang setara dengan dia.” (Q.S.Al-Ikhlas : 1-4). Iman
kepada Allah ialah percaya sepenuhnya, tanpa
keraguan sedikit pun, akan adanya Allah SWT Yang
Maha Esa dan Maha Sempurna, baik Zat, sifat maupun
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Af’al-Nya. Dalam mengenal Allah SWT manusia hanya


mampu sampai pada batas memgetahui bahwa Zat
Tuhan Yang Maha Esa itu ada (wujud)” Tidak lebih dari
itu. Untuk lebih lanjut manusia memerlukan wahyu
sebagai petunjuk dari Tuhan. Sebab itulah, Tuhan
mengutus para Rasul atau Nabi-Nya untuk
menjelaskan apa dan bagaimana Tuhan itu dengan
petunjuk wahyu.
Meskipun demikian, Nabi hanya menjelaskan
bentuk sifat-sifat Allah yang maha kuasa dengan bukti
keberadaan, keesaan, dan kekuasaan-Nya. Nabi
sendiri dalam salah satu hadisnya menyatakan tidak
diperkenankan-Nya memikirkan zat Allah, sebab tidak
akan mencapai hakikat yang sebenarnya. Seorang
mukmin hanya perlu berpikir mengenai apa yang telah
diciptakan-Nya dan menghayati sepenuhnya akan
keberadaan zat Allah Yang Maha Esa98. Dengan
demikian, keimanan seseorang mukmin kepada Allah
terhimpun dalam persepsi yang sama.
Secara umum Syeikh Faqih Jalaluddin membagi
tauhid itu menjadi tiga perkara, hal ini dapat diketahui
melalui ungkapan beliau;
”...Maka adalah tauhid itu tiga perkara, pertama
tauhid awam, yakni mubtadi alamatnya was-was,
maka makna zikirnya tiada yang sebenar-benar
disembah hanya Allah. Kedua tauhid muqarrabin,
yakni mutawasiţ alamatnya hening hati, maka
makna zikir tiada yang kutuntut hanya Allah.
Ketiga tauhid shidiqin, yakni muntahi alamatnya
ketiadaan ingat akan yang lain daripada Allah.
Makna zikirnya tiada yang maujud hanya Allah
98 Sabda Nabi” Tafakkaru fi Khalqi Allah Wala Tafakkaru Fi Dzat Allah”
(berpikirlah tentang makhluk ciptaan Allah dan jangan pernah berpikir tentang
eksistensi Allah)
dan fanalah ia dalam zat tuhannya maka tepilah
padanya segala alam. Inilah martabat segala ’arif
billah dan fanā'ul fanā pun namanya dan jami’ul
jami’ pun namanya dan kesudah-sudahan jalan
pun namanya...”

Dari ungkapan tersebut dapat dilihat tiga pilar


tauhid berikut tanda-tandanya, pertama tauhid [orang]
awam yang ditandai dengan penuh was-was (ragu-
ragu) tidak sepenuhnya yakin terhadap Allah Swt,
dalam kondisi ini makna zikirnya adalah tiada yang
sebenar-benarnya disembah hanya Allah Swt.
Dalam konteks ini walaupun tingkatan awam
namun fokus zikir yang dilalukan tetap berorientasi
hanya kepada Allah karena zikir dengan lafadz apapun
apakah Laa Ilaaha Illa Allah, Subhanalla, Alhamdulilla,
Allahu Akbar, Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billahil
Aliyil ‘Adzim, seluruhnya bermaksud untuk
menyatakan bahwa hanya kepada Allahlah semua
ibadah kita peruntukkan.
Kedua tauhid al-Muqarrabin ditandai dengan
keyakinan yang penuh dalam hati, hening dan tenang
dalam menghadapi semua ketentuan Allah Swt, dalam
posisi ini makna zikirnya adalah tidak ada yang dicari
dan diinginkan melainkan Allah semata.
Dalam strata ini Syaikh Faqih Jalaluddin
menekankan pada tingkatan manusia yang sudah
tidak hanya terfokus pada zikir verbalistik namun
sudah sampai pada tingkat zikir dengan hati.
Ketenangan hati menjadi inti dari zikir pada tingkat ini,
hati bergetar dimana dan kapanpun tanpa batas waktu
dan tempat, qiyaman wa Quudan Wa alaa Junubihim
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Yatafakkarunallah (berdiri, duduk dan berbaring selalu


ingan Allah). Maester Sufi Syaikh Jalaluddin Rumi
mengatakan Ingatlah Allah di saat anda berada dalam
keramaian, niscaya anda akan menjadi orang yang
diingat saat dalam kesepian.
Ketiga tauhid shidiqin99 terjadi proses fana100
kepada Allah Ta’ala diiringi dengan baqa’ hanya
berada dekat dengan Sang Khaliq, dalam kondisi ini
makna zikirnya adalah tidak ada yang maujud
melainkan Allah semata (‫)ل موجييود إل اليي‬. Pada tingkat
inilah dikenal Istilah martabat al-’Arif billah, Fana’ul
Fana’ dan atau Jami’ul Jami’.

Ke-Esa-an dalam Penciptaan


Salah satu yang harus diyakini oleh segenap
manusia beriman adalah ke-Esa-an Allah dalam
mencipta. Tidak ada yang menyekutukannya baik dari
makhluk manusia maupun makhluk-makhlukNya yang

99 Kata shidiqin berasal dari kata Shadaqa yang berarti jujur,


benar, lurus, jadi orang-orang yang sudah berada pada posisi
shidiqin adalah mereka yang sudah seharusnya selalu berada
pada jalan lurus jalan yang telah digariskan Allah SWT, tidak lagi
berbelok dari jalur yang telah ditentukan tersebut, perkataan dan
perbuatannya selalu benar karena kebenaran dapat
mengarahkan kepada kejujuran dan kejujuran akan membuat
orang memperoleh ganjaran pahala dan surga disisi Allah SWT.
100 Konsep fana’ dalam tasawuf berarti gugurnya sifat-sifat
tercela dan baqa’ sebagai lawan katanya berarti muncul dan
tetapnya sifat-sifat terpuji. Barang siapa fana dari sifat-sifat
tercela maka akan dijumpai dalam dirinya sifat-sifat terpuji.
Siapapun yang berusaha melakukan ajaran Allah dan rasulNya,
maka dia telah fana’ dari melanggar hukum dan ketentuan Allah.
Barang siapa yang fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah
ilmunya. Siapa yang fana’ dari syahwatnya, yang kekal adalah
kesadarannya, siapa yang fana; dari kesenangannya, yang kekal
adalah zuhudnya, siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang
kekal adalah kehendaknya. Periksa. Imam al-Qusyairy, 1997
dalam Risalatul Qusyairiyyah;Induk Ilmu
Tasawuf.Surabaya:Risalah Gusti, hal. 39-40
lain.
Ketika Allah menciptakan alam ini –menurut
Syeikh Faqih Jalaluddin—melalui tujuh tahapan. Prinsip
penciptaan seperti itu juga dikenal dalam konsep
Abdus- Shomad al-Falimbâni dengan istilah Martabat
tujuh.
Ajaran martabat tujuh di susun oleh Muhammad
Ibn Fadhilah dalam kitabnya Al Tuhfah al Mursalah ila
Ruhin-Nabi. Dalam kitab ini diterangkan bahwa Dzat
Tuhan merupakan Wujud Mutlak, tidak dapat
dipersepsikan oleh akal, perasaan, khayal dan indera.
Dzatullah sebagai aspek bathin segala yang maujud
(ada), karena Tuhan meliputi segala sesuatu (Lihat
surat Fushilat :54).
Ajaran inilah yang kemudian popular dikalangan
sufi Jawi terutama oleh Abdus-Shimad al-Palimabni
kemudian kaitannya dengan tulisan ini Syaikh Faqih
Jalaluddin Al-‘Asyi juga mennegaskannya dalam kitab
“Syamsul Ma’rifah”. Dalam ajaran ini mengedepankan
bahwa untuk bisa memahami wujud Tuhan yang
sebenarnya secara transenden harus setelah bertajalli
sebanyak tujuh martabat yakni :
Martabat Ahdiah;
Martabat Ahadiyat, yaitu martabat la Ta'yun dan
ithlaq. Pada tahapan ini belum mengenal individu,
inilah martabat yang
tersembunyi (kosong), karena belum ada ide-ide,
martabat ini popular dengan sebutan Dzat Mutlak.
Hakikat ketuhanan tak seorangpun dapat meraih-Nya,
bahkan para nabi dan juga para walipun tidak dapat
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

menjangkauNya. Para malaikat yang berdiri dekat


Allah tidak dapat meraih hakikat Yang Maha Luhur,
tak seorangpun mengetahui atau merasakan hakikat-
Nya.
Sifat-sifat dan nama-nama belum ada, sebuah
manifestasi yang jelaspun belum ada. Hanya Dialah
yang ada dan nama-Nya ialah " wujud makal" Dzat
Yang langgeng, hakikat segala hakikat. AdaNya ialah
kekosongan ( kosong tapi ADA). Diantara semua
martabat, tidak ada satupun yang melebihi martabat
ini semua martabat lainnya berada dibawahnya.
Pernyataan terhadap Martabat ini dapat dilihat
dalam ungakapan Syaikh Faqih Jalaluddin;
”...Martabat Ahadiah yang dinamakan Martabat La
Ta'Yun (Martabat yang tiada Nyata Hakikat
Muhammadiah) dan dinamakan juga Zat Al-Mutlak
atau Zat Al-Bakhat yaitu memandang dengan hati
akan semata-mata Wujud Zat Allah Taala dengan
tiada iktibar SifatNya dan AsmaNya dan AfaalNya
dengan sekira-kira ghaib segala Alam dan
dirinya(hamba) dengan memandang Allah Taala;
tiada ingat dalam hatinya' hanya Allah Taala jua.
Dan martabat ini adalah Martabat Sifat Nafsiah
(istilah Ilmu Usuluddin) kerana martabat Zat pada
ulama Tahqiq daripada Ahli Tasauf. Dan tiada
sampai kepada darjah martabat ini melainkan
sentiasa berbimbang dengan zikir Allah kerana
martabat ini Martabat Wahdatul-Wujud (Wujud yang
Esa). Kata Sidi Mustaffa Al-Bakri Rahimallahi Taala;
"Ketahuilah olehmu bahawasanya jalan yang
terlebih hampir makrifat kepada Allah Taala itu
ialah Zikrullah; bahawasanya ahli zikir itu Ahli Allah
dan dialah orang yang tertentu hampir dan
kedudukan yang hampir dan martabat mereka itu
ialah mertabat yang dipercayai Allah Taala
rahsiaNya dan mencapai mereka itu dengan sebab
yang demikian itu akan martabat orang-orang
dahulu iaitu mereka yang dapat petunjuk dan jauh
daripada jalan murka dan sesat". (Syamsul. Hal.12)

Martabat Wahdah;
Martabat ta’yun awal ( awal kenyataan). Pada
tahap wahdah ini mulailah terlihat konsep individual.
Inilah kenyataan Muhammad yang tersembunyi di
dalam rahasia Tuhan. Namun tetap pada tahap ini
semua kenyataan belum terpisah antara yang satu
dengan yang lainnya, karena masih terikat satu sama
lain. Antara ide yang satu belum ada perbedaan
dengan ide yang lain, karena masih tersembunyi di
dalam wahdat. Mereka masih terkumpul di dalam
(kenyataan) Muhammad yang merupakan awal
pemancaran yang merupakan hakekat sejati. Jadi yang
dinamakan wahdah ialah hakikat Muhammad (hakikat
Muhammadiyah), semua hakikat masih berkumpul
dalam martabat wahdah dan belum terpisah-pisah.
Martabat wahdah ini dapat di ibaratkan dengan
sebutir biji; batang, cabang-cabang dan daun-daunnya
masih tersembunyi di dalam biji itu dan belum
terpisah-pisah. Batang, cabang-cabang dan daun-daun
melambangkan engkau, aku, mereka, sedangkan
bijinya tunggal (wahdat).
Pada martabat ini dengan tegas dan jelas
diungkap oleh Faqih Jalaluddin;
“…Martabat Wahdah yang dinamakan dia
martabat Ta'Yun Awal (Nyata Yang Pertama) dan
dinamakan juga Syu'un Zaatiah ertinya
pekerjaan Zat dan dinamakan juga Hakikat
Muhammadiah dan Syuhuudul Wahdah Fil
Kasrah. Dan martabat ini adalah keadaan Sifat
Maani yang tujuh kerana Sifat Maani itu
martabat sifat. Martbat ini adalah ibarat
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

daripada Ilmu Allah Taala dengan ZatNya dan


segala SifatNya dan segala yang maujud atas
jalan Ijmal iaitu tiada boleh dibezakan setengah
dengan setengahnya dan takluk dalam martabat
ini takluk Suluhi…” (Syamsul. Hal.13)

Martabat Wahdiah;
Martabat ini juga disebut dengan faidh al-
muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani
(entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat
kedua). Pada martabat ini Allah Swt bertajali melalui
asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau
alam kasatmata. Dengan kata lain, melalui firman kun
(jadilah), maka entitas permanen secara aktual
menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam
semesta.
Dengan demikian alam ini tidak lain adalah
kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus
atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah
manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk
yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ’aradh
atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar
(substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada
substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula
dalam tasawuf. Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah,
maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan
tenggelam tanpa akhir.
Syaikh Faqih Jalaluddin menegaskan konsepnya
dalam kitab Syamsul Ma’rifah;
“…Martabat Wahdiah yang dinamakan dia Martabat
Ta'yun Saani ertinya nyata yang kedua dan
dinamakan juga A'Yan Sabitah dan Hakikat
Insaaniah. Dan dalam ini takluk Ilmu dan Iradat
adalah Takluk Tanjizi Qadim dan Taklum Iradat
adalah Taklum Suluhi Qadim. Adapun martabat ini
keadaan Sifat Maknuwiyah kerana Sifat
Maknuwiyah adalah martabat Asma dan adalah
martabat ini ibarat daripada ilmu Allah Taala
dengan ZatNya dan sifatnya dan segala makhluk
atas jalan perceraian dan perbezaan setengah
dengan setengahnya. Maka tiga martabat {Ahdiah,
Wahdah dan Wahdiah}ini Qadim lagi Azali kerana ia
martabat yang dibangsakan kepada Ketuhanan.
Adapun sekelian makhluk wujud di dalam Ilmu Allah
jua belum zhohir kepada Wujud Khoriji…” (Syamsul.
Hal.14)

Martabat Alam Arwah; Martabat Alam Arwah yang


dinamakan dia Nur Muhammad SAW. iaitu ibarat
daripada keadaan suatu yang seni yang semata-
mata belum menerima susunan dan belum boleh
dibezakan.
Martabat Alam Mishal; Martabat Alam Mishal ini
ibarat daripada suatu daripada suatu yang seni
yang tiada menerima susunan dan tak boleh
menceraikan setengah dengan setengahnya dan
tiada menerima belah bahagi.
Martabat Alam Ijsam; Martabat Alam Ijsam ibarat
daripada suatu yang bersusun daripada api, angin,
air, tanah dan menerima bercerai setengah dengan
setengahnya seperti segala jisim-jisim.
Martabat Alam Jamik; Martabat Al-Jamik dan
dinamakan dia Martabat Insan.
Secara lengkap kutipan tentang beberapa konsep
martabat tujuh tersebut diungkapkan oleh Syeikh
Faqih Jalaluddin dalam teks naskah Syamsul Ma’rifa
menyatakan bahwa martabat-martabat tersebut
dengan ungkapan yang berbeda;
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

“…Syahdan, adapun martabat turun-temurun


Allah Ta’ala menjadikan sekalian alam tujuh
perkara dengan ijmal-Nya. Yakni mukhtasar
pertama;martabat la ta’yin namanya, artinya
tiada ada didalamnya suatu juapun seperti
daerah ini lingkaran saja. Dari karena Allah
Ta’ala tatkala itu belum punya lagi ia
berkehendak akan menjadikan segala alam
martabat ahdiyah pun namanya, artinya Esa
sendirinya..”
Kedua; martabat ta’yin awal pun namanya,
artinya nyata yang pertama seperti daerah ini
lingkaran yang ada titik di tengahnya adalah
nuqţah di dalamnya. Dari karena tatkala itu
sudahlah berkehendak Allah Ta’ala akan
menjadikan segala alam tetapi belum punya
lagi tertentu yang dikehendakinya martabat
wahidah pun namanya, artinya mempunyai
Esa, dan hakikat muhammad pun namanya
dan martabat sifat Allah pun namanya dan
syau'un zan pun namanya,yakni lagi zat.

Ketiga; martabat ta’yin tsani namanya,


artinya yaitu yang kedua seperti daerah ini
lingkaran yang ada alif di dalamnya adalah
nuqţah itu sudah jadi alif dari karena tatkala
itu telah menentukan Allah Ta’ala akan yang
dikehendakinya menjadikan dia seperti langit
dengan rupa langitnya dan bumi dengan rupa
buminya dan malaikat dengan rupa
malaikatnya dan jin dengan rupa jinnya dan
manusia dengan rupa manusianya, demikian
lagi segala makhluk masing-masing dengan
rupanya. Demikianlah dalam ma’lumat Allah
Ta’ala. Maka tatkala dikehendaki-Nya
menžahir akan dia, maka berfirman Allah kun
artinya jadilah engkau, fayakun artinya maka
jadilah. Ia seperti rupa yang dalam maklumat
itu dan namanya yang dalam ilmu Allah
i’yanu £abitah, yakni yang tetap dalam ilmu
Allah. Dan namanya yang sekarang ini i’yanu
kharijiyah, yakni diluar maklumat Allah. Maka
kita ini pun masuk kepada i’yanu kharijiyah
jua. Maka sebab itulah dapat dikata kita ini
[adalah] bayang-bayang Allah. Maka
martabat ketiga ini martabat wahidiyah pun
namanya, yakni di bangsakan kepada Esa
dan hakikat adam pun namanya dan
martabat asma Allah pun namanya.
Keempat martabat ’alam arwah, Kelima
martabat alam misal yakni segala rupa
makhluk, Keenam martabat ’alam ijsam yakni
lembaga adam ’alaihissalam dan segala anak
cucunya, dan Ketujuh martabat ’alam insan
yakni sudah bersusun nyawa dan badan.
Maka martabat yang empat ini mahdits
(huduts) yakni baharu yaitu martabat
kehambaan karena ia dibawah kalimat kun
fayakun.

Silsilah Tariqat Qadiriyah101


Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh 'Abdul
Qadir al-Jailani (m. 1166) dari Gilan di Iran, yang

101 Tarekat Qadiriyah adalah salah satu tarekat yang diakui


(mu’tbarah) di Indonesia. Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh
'Abdul Qadir al-Jailani (m. 1166) dari Gilan di Iran, yang kemudian
bermukim di Baghdad, Irak. Setelah wafatnya, tarekatnya
disebarkan oleh putra-putranya. Tarekat Qadiriyah telah
menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa
bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania,
dan di wilayah Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah,
serta di tempat- tempat lain.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

kemudian bermukim di Baghdad, Irak. Setelah


wafatnya, tarekatnya disebarkan oleh putra-putranya.
Tarekat Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat,
termasuk Suriah, Turki, beberapa bagian Afrika seperti
Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di
wilayah Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia
Tengah, serta di tempat- tempat lain.

Ritual dan Wirid Tarekat Qâdîriyah; Selama


dalam proses perkembangan dan penyebarannya
tarekat ini banyak mengembangkan ritual dan wirid
yang akan dijadikan standar bacaan oleh para
pengikutnya, terutama ketika menyebar di Turki,
Mesir, India, dan Afrika. Ritual dan wirid yang ada
sebagian merupakan ritual yang diajarkan oleh al-
Syaikh Abdul qadir al-Jailânî dan sebagian lagi jelas-
jelas merupakan penambahan yang dilakukan
kemudian.

Simbol-simbol kadang diadopsi untuk


memberikan penekanan bahwa tarekat ini sangat
berbeda dengan tarekat lain baik dari segi keutamaan
maupun ritual dan wirid yang dibaca. Qadiriah Turki
mengadopsi mawar hijau sebagai simbol
mereka.Ketika seorang calon murid akan diterima di
tarekat, Syaikh Qadiri menyampirkan pada peci
bulunya sebentuk mawar yang terdiri dari delapan
belas bagian dengan Segel Sulaiman di tengahnya.
Peci ini disebut dengan tâj (mahkota).

Lain halnya dengan Tarekat qadiriah Mesir,


mereka memunculkan sorban putih dan panji-panji
putih. Sejumlah nelayan yang menjadi pengikut
tarekat ini membawa jaring-galah beraneka warna
tatkala mengikuti prosesi. Sementara di Maroko
sejumlah penganut tarekat ini melantunkan Dzikir
diiringi instrumen musik. Di Tangier Al-Jazair para
anggota Jilâlah menyimpang seekor ayam jantan
berbulu putih di zâwiyah, tatkala diambil sumpahnya.
Ayam-ayam tersebut disebut muharrar dan tidak boleh
disembelih.

Diantara praktek spiritual yang terpenting dalam


tarekat Qadiraih ini adalah melantunkan asma Allah
berulang-ulang. Dalam aplikasinya terdapat berbagai
tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir yang
terdiri atas satu, dua, tiga, dan empat. Zikir dengan
satu gerakan dilaksanakan dengan mengulang-ulang
asma Allah melalui tarikan napas panjang yang kuat,
seakan dihela dari tempat yang tinggi, diikuti
penekanan dari jantung dan tenggorokan kemudian
dihentikan sehingga nafas kembali normal, hal seperti
ini harus diulang secara kontinu dalam waktu yang
cukup lama.

Zikir dengan dua gerakan dilakukan dengan


duduk dalam posisi shalat, kemudian melantunkan
asma Allah di dada sebelah kanan, lalu di jantung, dan
kesemuanya dilakukan berulang-ulang dengan
intensitas tinggi. Hal seperti ini dianggap sangat
efektif untuk meninggikan konsentrasi dan
menghilangkan rasa gelisah serta pikiran yang kacau.
Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk
bersila dan mengulang pembacaan asma Allah di
bagian dada sebelah kanan,kemudian disebelah kiri,
dan akhirnya di jantung. Kesemuanya ini dilakukan
dengan intensitas yang lebih tinggi serta pengulangan
yang lebih sering.

Sedangkan Zikr dengan empat gerakan


dilakukan dengan duduk bersila, dan mengucapkan
asma Allah secara berulang-ulang di dada bagian
kanan, kemudian bagian kiri, lalu ditarik kearah
jantung, dan terakhir dibaca persis di depan dada,
cara terakhir dengan empat gerakan ini diharapkan
dilakukan lebih kuat dan waktunya lebih lama.

Praktek-praktek zikir tersebut dapat dilakukan


secara bersama dalam kelompok-kelompok kecil
maupun besar dengan suara tinggi maupun rendah,
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

sambil duduk dengan formasi lingkaran setelah


melakukan salat pada waktu subuh maupun malam
hari. Jika seorang pengikut sanggup melantunkan
asma Allah empat ribu kali setiap harinya, dua bulan
berturut-turut tanpa terputus, dapat dipastikan bahwa
orang tersebut akan mendapatkan pengalaman
spiritual yang menjadi dambaan setiap peserta
tarekat.

Silsilah tarekat ini sampai ke Indonesia dapat


dilihat dalam beberapa referensi diantaranya adalah
buku “Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat
Muktabarah di Indonesia oleh Sri Mulyati (et.al).

“Dalam buku ini pada halaman 27-28 dijelaskan


bahwa silsilah pendiri tarekat ini sampai Rasulullah
adalah Abu Muhammad ‘Abd al-Qadir Jilani ibn Abi
Shalih ibn Musa ibn Janki Dusat (Janka Dusat) ibn Abi
Abdillah ibn Yahya al-Zahid ibn Muhammad ibn Dawud
ibn Musa ibn Abd Allah al-Mahdi ibn Hasan al-Musanna
ibn Hasan al-Sibthi ibn ‘Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah
al-Zahra ‘al-Batul binti Rasulullah SAW”102.

Yang penting untuk dilihat pada tarekat ini adalah


bagaimana aliran ini masuk ke Indonesia. Proses
masuknya Tarekat Qadiriyah ke Indonesia dikisahkan
lewat penyair besar Hamzah Fansuri. Ia mendapatkan
Khilafat (ijazah untuk mengajar) ilmu syaikh ‘Abdul
Qadir ketika bermukim di Aythia, ibu kota Muangthai
(orang Persia dan India menamakannya, dalam bahasa
Parsi, Syahr-I Naw, “Kota Baru”). Hal itu dapat
dibuktikan adanya bait yang berbunyi:

Hamzah min asalnya Fansuri


Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi

102 Lihat Sri Mulyati (et.al),2006. Mengenal dan Memahami


Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia.Jakarta:Kencana
Prenada Grouf. Hala.26.
Beroleh Khilafat yang ‘ali
Darpada Abdul Qadir Jilani103

Syeikh Faqih Jalaluddin al-‘Asyi menjelaskan


tentang silsilah terkat ini dalam kitab Syamsul
Ma’rifah;

”...Inilah kesudah-sudahan risalah pada


menyatakan silsilah tariqat yang amat tinggi
martabatnya yaitu thariqat Qadiriy dan Syaţţariy,
yaitu maka adalah fakir yang hina Faqih Jalaluddin
yang mengambil bai’at dan talqin dan khirqah dan
ijazah syeikhnya yang ’arif billah yaitu syeikh Baba
Daud ibn Ismail faqih yang dan ia mengambil
syekhnya Amiruddin ’Abdur rauf. Dan ia
mengambil daripada syekhnya Ahmad Qusyasyiy.
Dan ia mengambil daripada syekhnya Ahmad
Śinnawiy. Dan ia mengambil daripada syekhnya
Said (tinggal daripada naskah sebab sudah hilang)
’Alwi. Dan ia mengambil daripada syekhnya Said
Muhammad al Ghauś. Dan ia mengambil daripada
syekhnya Hajji Huduri. Dan ia mengambil daripada
syekhnya Hidayatullah Sarmastu. Dan ia
mengambil daripada syekhnya ’Alauddin. Dan ia
mengambil daripada syekhnya ’Abdul Wahāb. Dan
ia mengambil daripada syekhnya ’Abdur rauf. Dan
ia mengambil daripada syekhnya Mahmūd. Dan ia
mengambil daripada syekhnya ’Abdul Ghifari. Dan
ia mengambil daripada syekhnya Muhammad. Dan
ia mengambil daripada syekhnya ’Ali. Dan ia
mengambil daripada syekhnya Ja’far. Dan ia
mengambil daripada syekhnya ’Abdullah. Dan ia
mengambil daripada syekhnya ’Abdul Razāq. Dan
ia mengambil daripada syekhnya quţub al aqţāb
syekh ’Abdul Qadir Jailāniy. Dan ia mengambil
daripada syekhnya Abi Sa’id. Dan ia mengambil
daripada syekhnya Abi Hasan. Dan ia mengambil
daripada syekhnya Abi Farh. Dan ia mengambil
daripada syekhnya Abi Fadhal. Dan ia mengambil
daripada syekhnya Abi bakar Syibaliy. Dan ia
mengambil daripada syekhnya Junaidi al

103 Dapat dilihat lebih rinci dalam Sri Mulyati (et,al), 2006.
Hal.51-52
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Baghdadiy. Dan ia mengambil daripada syekhnya


Siriy Siqţiy. Dan ia mengambil daripada syekhnya
Ma’ruf Kurkhiy. Dan ia mengambil daripada
syekhnya Imam anak Musa ar Rida. Dan ia
mengambil daripada syekhnya Musa al Każimi. Dan
ia mengambil daripada syekhnya Imam Ja’far
Şadiq. Dan ia mengambil daripada syekhnya Imam
Bastu. Dan ia mengambil daripada syekhnya Imam
Zainal ’Ābidin. Dan ia mengambil daripada
ayahnya Husain yang syahid. Dan ia mengambil
daripada ayahnya Amirul Mu’minin ’Ali. Dan ia
mengambil daripada panghulu sekalian ’alam
Muhammad şallallāhu ’alaihi wasallam. (Syamsul,
halaman.33)

Dari ungkapan tersebut dapat dijelaskan bahwa


Syaikh Faqih Jalaluddin termasuk guru dalam tarekat
Qadiriyyah dan juga tarekat Syattariyah, karena
ketersambungan silsilahnya sampai kepada Rasul
Allah SAW. Secara ringas silsilah tersebut mulai dari
dirinya (Faqih Jalaluddin) yang mengambil ilmu
(tarekat) dari syeikh Baba Daud ibn Ismail faqih dan
Baba Daud mengambil dari Syeknya Amiruddin ’Abdur
rauf dan beliau mengambil hirqahnya dari gurunya
Ahmad Qusyasyi dan ia juga mengambil dari gurunya
Ahmad Sinnawi dan beliau mengambil dari syaikhnya
Said Alwi dan beliau mengambil dari syekhnya Said
Muhammad al Ghauś, beliau mengambil dari Syehnya
Hajji Huduri dan dari syekhnya Hidayatullah Sarmastu,
kemudian dari syekhnya ’Ala Uddin dan dari Syeknya
’Abdul Wahāb dan mengambil dari Syekh Abdurrauf
dan dari Syeknya Mahmud kemjdian dari Syeikh Abdul
Ghifari dan kemudian dari Muhammad kemudian dari
’Ali kemudian dari Syekh Ja’far kemudian dari Syekh
Abdullah kemudian dari Syaekh Abdurrazaq kemudian
lanjut ke Abdul Qadir Jailani hingga ke Rasulullah SAW.

Silsilah Tariqat syattariyah


Tarikat Syattariyah adalah aliran tarikat yang
pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarikat
ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopularkan
dan berjasa mengembangkannya, iaitu Abdullah asy-
Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan
Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah.
Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut
Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid
al-Isyqi atu biasa dikenali Abu Yazid al-Bistami, yang
dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya Tarikat Syattariyah tidak
menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan
sufi mana pun. Tarikat ini dianggap sebagai suatu
tarikat tersendiri yang memiliki karakteristik-
karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan amalan.
Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai
Abdullah asy-Syattar. Ia adalah keturunan Syihabuddin
Suhrawardi. Kemungkinan besar dilahirkan di salah
satu tempat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia
ditahbiskan secara rasmi menjadi anggota Tarikat
Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif.
Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata
syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang
dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang
dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan
illallah (itsbah), juga nampaknya merupakan
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

pengukuhan dari gurunya atas darjat spiritual yang


dicapainya yang kemudian membuatnya berhak
mendapat limpahan hak dan kelebihan sebagai
Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut
Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual
tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini,
dalam hirarki yang sama, kemudian juga dipakai di
dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat
ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan
zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga).
Namun kerana kurang terkenalnya dan tidak
berkembang Tarekat Isyqiyah ini di tanah
kelahirannya, dan bahkan malah semakin pudar akibat
perkembangan Tarikat Naqsyabandiyah, Abdullah asy-
Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut.
Permulaannya ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah
ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa
(Multan). Di India inilah, ia mula terkenal dan berhasil
mengembangkan tarikatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari
Tarikat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarikat
Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin
mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di
India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal
di India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggalan Abdullah asy-Syattar, Tarikat
Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya,
terutama Muhammad A’la, berbangsa Bengali, yang
dikenal sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang
paling berperanan dalam mengembangkan dan
menjadikan Tarikat Syattariyah sebagai tarikat yang
berdiri sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior
(w.1562), keturunan keempat dari Abdullah asy-
Syattar. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah,
cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-
praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syah
Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati
di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif
dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai
akhir abad ke-16, tarikat ini telah memiliki pengaruh
yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syattariyah
terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan
sampai ke Nusantara.
Tradisi tarikat yang bernafas India ini dibawa ke
Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka,
Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid
Wajihuddin, dan dia mendirikan zawiyah di Madinah.
Syeikh ini tidak saja mengajarkan Tarikat Syattariah,
tetapi juga sejumlah tarikat lainnya, misalnya Tarekat
Naqsyabandiyah. Kemudian Tarikat ini disebarluaskan
dan dipopularkan ke dunia berbahasa Arab lainnya
oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619).
Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang
kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat
tersebut, seorang guru berasal dari Palestin, Ahmad al-
Qusyasyi (w.1661).
Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim
al Kurani (w. 1689), yang berasal dari Turki, tampil
menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan
penganjur Tarikat Syattariyah yang cukup terkenal di
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

wilayah Madinah.
Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad
al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru kepada
Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil
mengembangkan Tarikat Syattariyah di Nusantara.
Namun sebelum Abdul Rauf, telah ada seorang tokoh
sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap
ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara
melalui bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi,
sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-
wujud. Ia adalah karya Muhammad bin Fadlullah al-
Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid
Wajihuddin.
Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan
metafizik martabat tujuh ini lebih terkenal di
Nusantara seiring karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van
Bruinessen beranggapan bahwa kemungkinan kerana
pelbagai ulasan menarik dari kitab ini yang menyatu
dengan Tarikat Syattariyah, sehingga ramai murid-
murid asal Nusantara yang berguru kepada al-
Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarikat ini
berbanding tarikat-tarikat lainnya yang diajarkan oleh
kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga
oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam
ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun tidak ada
petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai
apakah Syamsuddin menganut tarikat ini. Namun yang
jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat
Syattariyah sangat terkenal di kalangan orang-orang
Nusantara yang kembali dari Tanah Arab.
Tarikat Syathariyah pertama kali diasaskan oleh
Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarikat Syaththariyah
berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah)
dibawa oleh Syeikh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082)
dan Syeikh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua
ulama ini diteruskan oleh Syeikh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili
ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya
Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Tarikat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-
Din berkembang pada empat kelompok, iaitu;
Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana.
Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril
Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang
diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan.
Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang
ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.
Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa tarikat Syaththariyah
di Minangkabau masih terpelihara kukuh. Untuk
mendukung keberadaan tarikat, kaum Syathariyah
mengasaskan pertubuhan rasmi berupa organisasi
sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera
Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh
alam Minangkabau, bahkan di wilayah berjiran iaitu
Riau dan Jambi. Bukti kuat dan kukuhnya keberadaan
tarekat Syaththariyah dapat dibuktikan dengan
wujudnya kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan
al-Din Ulakan.
Adapaun ajaran tarikat Syaththariyah yang
berkembang di Minangkabau sama seperti yang
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah


pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;
Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya
dengan alam. Faham ketuhanan dalam hubungannya
dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan
faham Wahdat al- Wujud, dengan pengertian bahawa
Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu
immanent dengan alam, bezanya oleh al-Sinkili ini
dijelaskannya dengan menekankan pada
‘transcendence’nya Tuhan dengan alam. la
mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah,
sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki.
Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam
‘transcendence’nya, al-Sinkili menjelaskan bahwa
sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘alam), Dia
selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang
kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad
(cahaya Muhammad).
Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan
pola-pola dasar (al ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari
semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola
dasar luar (al-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam
bentuk konkritnya. Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili
di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan
al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab
Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat
dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan
Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at,
Tauhid tarekat, dan Tauhid hakikat, iaitu tingkatan
penghayatan tauhid yang tinggi.
Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia
sempurna. Insan kamil lebih menjurus kepada hakikat
manusia dan hubungannya dengan penciptanya
(Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan
yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya
manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak
mungkin disifatkan itu. Oleh kerananya, Adam
diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya,
mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya,
sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang
diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya.
Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang
sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan
perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir
dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat
Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi
pada satu zaman) yang datang sesudah mereka.
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan
cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang
Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama;
Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal
dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga;
Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarikat).
Dalam hal ini Tarikat Syaththariyah menekankan pada
rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, iaitu memadukan
tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat,
yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan
tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam
kalimah la ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah.


Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya
diperlukan sebagai jalan untuk menemukan
pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan
Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-
mawt al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut
juga al-mawt al-ma’nawi (kematian ideasional) yang
merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian
alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan
bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah
boleh menafikan jalan syari’at. (Maknanya kematian
sebelum mati-penulis).
Abdul Rauf al-Singkili sendiri yang kemudian
turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada
abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk
menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika
melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di
Tanah Arab selama 19 tahun dan berguru kepada
berbagai tokoh agama dan ahli tarikat ternama.
Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke
Aceh dan mengembangkan tarikatnya.
Kemasyhurannya dengan cepat tersebar ke luar
wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang
menyebarkan tarikat yang dibawanya. Antara lain,
misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh
muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan;
di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya,
oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarikat ini kemudian
menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di
Sulewasi Selatan Tarikat Syaththariyah disebarkan
oleh salah seorang tokoh Tarikat Syattariyah yang
cukup terkenal dan juga murid kepada Ibrahim al-
Kurani iaitu Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699). Bila
dilihat kepada pengamalan dan caranya, terdapat
perbezaan antara pengamalan tariqa ini di kawasan
lain dengan apa yang diamalkan di Sulawesi.
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang
tarikat ini dapat ditemukan di Jawa dan Sumatera,
yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan.
Tarikat ini, kata Martin, relatif dapat dengan mudah
berpadu dengan berbagai-bagai tradisi setempat; ia
menjadi tarikat yang paling “mempribumi” di antara
pelbagai tarikat yang ada. Pada sisi lain, melalui
Syattariyah-lah pelbagai gagasan metafizik sufi dan
pelbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas
ajaran martabat tujuh menjadi bahagian dari
kepercayaan popular orang-orang Jawa.
Silsilah tarekat ini juga disebutkan oleh Faqih
Jalaluddin dalam kitab Syamsul Ma’rifah sebagai kata
penutup seperti diungkapkan;
“…Adapun peraturan silsilah kita yang
dibangsakan kepada thariqat Syaţţariy daripada
faqir yang mengarang risalah ini sampai kepada
syekh Hidayat Allah Sarmastu bersamaan jua
dengan silsilah Qadiriy, maka syekh inilah yang
menghimpunkan sekalian thariqat yang amat
banyak. Daripada syekh ini pula naik kepada
Imam Qadinin Syaţţariy. Dan ia mengambil
daripada syekhnya ’Abdullah. Dan mengambil
dari pada syekhnya Muhammad ’Arif. Dan ia
mengambil daripada syekhnya Muhammad
’Asyiq. Dan ia mengambil daripada syekhnya
Khudaquliy. Dan ia mengambil daripada
syekhnya Quţub ibnu Hasan. Dan ia mengambil
daripada syekhnya Abi al Mużaffar. Dan ia
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

mengambil daripada syekhnya Muhammad


Maghribiy. Dan ia mengambil daripada syekhnya
bangsa ruhani Abi Yazid al Bisţamiy. Dan ia
mengambil daripada syekhnya ruhani Ja’far
Şādiq. Dan ia mengambil daripada Imam
Muhammad Bāqir. Dan ia mengambil daripada
Imam Zainal ’Ābidin. Dan ia mengambil daripada
amirul mu’minin Husain. Dan ia mengambil
daripada ayahnya pintu ilmu ’Ali al Murtaďa
karamallahu wajhahu. Dan ia mengambil
daripada Rasulullah rabbil ’alamin şallallahu
’alaihi wasallam, dan ia daripada Allah ’aza
wajalla. (Syamsul, hal.34)

Lebih lanjut beliau mengungkapkannya;


”...Maka inilah silsilah kita yang dibangsakan
kepada thariqat syaţţariy rahimallahu ta’āla
ajma’in. Setelah itu, maka ada lagi pula faqir
mengambil ilmu ma’rifatullah daripada Nabi Hiďir
’alaihissalām, dan pada khalifah Saidi syekh
’Abdul Qādir Jailāni qudus Allah rūhahu pada
halnya muwafaqat dengan ma’rifatullah yang
turun-temurun daripada segala ahli silsilah yang
tersebut itu. Maka beberapa lagi tinggal silsilah
yang bersambut dengan silsilah kita ini, tersebut
dalam kitab samaul majid karangan syekh yang
quţub, yaitu syekh Ahmad Al Qusyāsyiy
rahmatullahu ta’āla. Maka tiadalah faqir
sebutkan dalam risalah ini karena mengambil
simpan...” (Syamsul,hal.34)
Corak Tasawuf
Syeikh Faqih Jalaluddin
Al-’Asyi
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Tasawuf dan berbagai coraknya


Tasawuf sebagai mengambil setiap sifat mulia
dan meninggalkan setiap sifat rendah. Dalam
ungkapan lain beliau juga mengatakan bahwa
tasawwuf adalah mengingat Allah secara berjamaah,
al-wujd dengan penuh perhatian, dan aktivitas dengan
mengikuti al-Quran dan al-Sunnah demikian kata
Imam Junaid al-Bagdhadi (w.910). sementara
komentar Al-Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili (w.1258)
sebagai praktik dan latihan diri melalui cinta yang
dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada
jalan Tuhan. lain lagi dengan Sahl Ibn Abdullah al-
Tusturi (w.283) tasawuf baginya adalah orang yang
senantiasa membersihkan diri dari kekejian, mengisi
diri dengan al-tafakkur kepada Allah, berhubungan
hanya kepadaNya semata, dan di dalam dirinya
memandang sama antara emas (barang berharga
duniawi) dengan al-Madar (barang yang tidak memiliki
nilai jual).104
Dari berbagai ungkapan tersebut terlihat jelas
bahwa tasawuf berorientasi pada poros “Batin/hati”
yang harus selalu di jaga dan dipelihara agar tidak
bergeser kepada hal-hal yang dapat membuat terlena
dan lalai dalam berhubungan dengan Khaliqnya. Hasil
akhir dari konsep tasawuf adalah menjalin hubungan
yang harmonis dengan Tuhan secara konsisten. Jadi
melihat hasil tersebut sufi adalah orang yang telah
dimampukan Allah untuk mensucikan “hati” nya dan
menegakkannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan
melangkah pada jalan yang benar sesuai dengan
qudwah al-hasanah dari Nabi.
Al-Tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu tidak
luput dari pro dan kontra. Persoalan pro kontra
tersebut didasari –paling tidak—disebabkan oleh
berbagai persoalan diantaranya adalah persoalan
sudut pandang dan sistem serta materi yang termuat
dalam berbagai persoalan tasawuf. Persolan pro
kontra ini –juga—terjadi karena suatu pandangan
bahwa al-tasawuf Falsafi lebih mengarah dan
membawa pada kesyirikan dan –paling tidak—
menciptakan aqidah yang sesat. Sementara dalam
ajaran al-Tasawuf akhlâqî selalu berorientasi pada
amaliah al-hasanah dan sesuai dengan ajaran

104 Lihat Fatawi Ibnu Tiamiyah (XI:17)


Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Tuhan.Pada hakikatnya antara al-tasawuf Falsafi (Syi’i)


dan al-Tasawuf akhlâqî (Sunni) terletak pada teori dan
praktek.
Al-Tasawuf Falsafî105 sebenarnya lebih
berorientasi pada teori-teori yang ada dan
menggunakan pendekatan filsafat secara sistematis,
radikal dan universal, sementara dalam al-Tasawuf
akhlâqî lebih berorientasi pada aplikasi terhadap suatu
ajaran, ajaran-ajaran yang teraplikasikanpun lebih
mengarah pada akhlaq dan tatacara berinteraksi
dengan lingkungan manusia maupun lingkungan alam
sekitar.
Tasawuf falsafi adalah corak tasawuf yang
berupaya mendekatkan diri dengan Tuhan
beradasarkan kedekatan personal tanpa jarak pemisah
dan pembeda sehingga dapat manunggal dengan
Tuhannya baik dalam bentuk al-hulul, al-ittihad, al-
ma’rifat, wihdat al-wujud, al-Mahabbah ataupun
bentuk-bentuk lain.
Tokoh-tokoh yang terkenal dalam tasawuf falsafi
adalah Husain ibnu Manshûr al-Hallâj yang popular
dengan konsep al-hulul, Abu Yazid al-Bustami dengan
teori Al-Ittihad, fana, dan baqa, Ibnu ‘Arabi dengan
konsep Wihdat el-wujudnya, Insan Kamil
dikembangkan oleh Al Jilli, dan Wihdatul al-Mutlaqah
digagas oleh pemikiran Ibn Sab’in.
Sementara tasawuf akhlaqi berpandangan
bahwa antara manusia dengan Tuhan masih terdapat

105Filsafat adalah salah satu disiplin ilmu yang berdasar pada konsep
pencarian kebenaran dengan menggunakan pemikiran kritis, sistematis, radikal dan
universal, pencarian kebenaran sampai pada akar-akarnya.
garis pemisah atau pembeda, karena Tuhan berbeda
dengan makluqNya. Kedekatan yang dapat diperoleh
oleh manusia dalam kontemplasi sufistiknya hanyalah
kedekatan rasa dan batin tidak bisa melampaui batas
kemanusiaannya. Dalam bahasa lain bahwa tasawuf
akhlaqi lebih menekankan pada penerapan sebuah
ajaran yang terkait dengan persoalan etika
berhubungan baik dengan Allah sebagai Khâliq
maupun antara hamba dengan hamba lainnya yang
dalam bahasa al-Quran disebut dengan istilah Hablum
mi Allah wa Hablum min al-Nâs.
Kelompok yang termasuk dalam bagian ini
tercatat beberapa nama seperti Khulafâurrâsyidîn
{Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Al-Khattâb, Utsman bin
Affân dan ‘Alî bin Abi Thâlib} juga beberapa Sahabat
Nabi lainnya seperti Abu Dzar al-Ghifârî, Abu Darda’,
Salmân al-Fârisî, Abdullah bin Umar, Abu Ubaidah bin
Jarrâh dan Mus’ab bin Umaîr serta beberapa nama
lain. Selain nama-nama tersebut tercatat beberapa
nama dari kelompok Tabi’in seperti Hasan al-Bashrî,
Uwais al-Qarnî, Ibrahim bin Adham, Dzunnun al-Mishri.
Dan tokoh Sufi dari kalangan Tabiut tabi’in seperti Al-
Muhâsibî, Junaid al-Baghdâdî, Imam al-Qusyairî, Al-
Ghazâlî, Abdul Qadir al-Jailânî, Al-Syiblî dan lainnya.

Ajaran-ajaran tasawuf Faqih Jalaluddin


Beberapa ajaran penting dalam bidang tasawuf
baik tersurat maupun tersirat yang dapat diambil dari
naskah Syamsu al- Ma’rifat ilâ hadharatihî al- syarifati
adalah;
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Konsep al-taubah
Secara bahasa kata al-taubah berasal dari kata
“tâbâ, yatûbu, taubatan” yang berarti kembali dari
pengembaraan, perjalanan jauh. Kembali ke asal
kejadian. Sedangkan pengertian al-taubah secara
istilah adalah kembali –setelah banyak melakukan
aktivitas yang bertentangan dan melanggar ajaran dan
titah Allah SWT—kepada ajaran Tauhid dengan
melaksanakan ajaran-ajaran yang telah diperintahkan
Tuhan dan menjauhi segala larangan dan pantangan
yang telah digariskan dalam al-Quran dan al-sunnah
rasulNya. Taubat yang dilakukan oleh manusia setelah
kekhilafannya dilakukan dengan taubat yang sebenar-
benarnya (al-taubat an-Nashuha). Dalam konsep ini
Syeikh Faqih Jalaluddin mengemukakan;
“Firman Allah Ta’ala tûbû ilallahi106 taubatan
nasuha, artinya taubatlah kamu kepada Allah
dengan taubat yang sahih. Sabda Nabi şallallahu
‘Alaihi Wasallam waman tâba minaz zanbi kaman
la zanba lahu, artinya barang siapa taubat
daripada dosa107 adalah ia seperti orang yang tiada
berdosa…” (syamsul, hal.01).

Lanjutnya bahwa taubat itu terbagi menjadi dua


perkara;
“… Maka adalah taubat itu dua perkara. Pertama
taubat zahir, kedua taubat batin. Maka
perhimpunan kedua taubat itu yaitu taubat qutbil
aqtabi syekh ‘Abdul Qadir Jailaniy astaghfirullahal
‘azdim min ismi wamin dzalali wamin wujudi wa
min ‘ilmi wamin ‘amali 108, artinya mohon ampun

106 Teks: ilallahi,(lam pada kata Allah berbaris fathah pendek)


107 Teks: Desya, dari bahasa Aceh yang artinya dosa.
108 Pada Huruf ‘ terdapat dua baris, yaitu fathah dan dammah.
aku kepada Allah yang amat besar daripada
do{sa}109 besar dan daripada dosa kecil dan
daripada ingat akan diriku dan ilmuku dan
‘amalku…” (Syamsul 01)

Dari ungkapan tersebut tersurat dengan jelas


bahwa taubat zahir dan juga taubat batin dapat
disatukan dalam satu tarikan nafas tanpa dipisah-
pisahkan antara keduanya, hal tersebut terbukti
dengan statemen syekh Abdul Qadir al-Jailani di atas.
Lebih dari itu hasil yang diharapkan dari aktivitas
taubat adalah pemurnian kembali ketauhidan
seseorang setelah menghambakan dirinya kepada
selain Allah Sang Khaliq. Pernyataan tegas Faqih
Jalaluddin dalam potongan teksnya;
“…Maka hasillah daripada taubat ini tauhid yang
dimaksud pada menjalani jalan kepada Allah. Maka
makna tauhid itu yaitu Esa Allah aza wajalla dan
zatnya dan sifatnya dan pada fa’al-Nya…”
(Syamsul, hal. 01)

Setelah ungkapan penyesalan dibuktikan


dengan mencerabut diri dari perbuatan maksiat,
menyesali semua yang telah terlanjur dilakukan, dan
berniat dengan sungguh-sungguh untuk tidak akan
pernah kembali lagi melakukan kemaksiatan dan
akhirnya menyerahkan seluruh persoalan kepada Sang
Pencipta inilah hakikat taubat yang sebenar-benar
taubat.
“…Jikalau sekalian perintah dan sekalian ikhtiar
melainkan yang sepatutnya kita pada saat kerja
dan pada saat ketika hendaklah menyerahkan diri
kepada Allah, dan senantiasa hati berhadap
kepada-Nya serta memuji Dia dan ‘ibadah akan Dia
109Teks: Desya, dari bahasa Aceh yang artinya dosa.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

pada tiap-tiap waktu, demikianlah orang taubat


yang dikasihi Allah” (Syamsul, 02)

Jadi hakikat al-taubat dalam pandangan syeikh


Faqih Jalaluddin merupakan kesadaran sedalam-
dalamnya terhadap segala ketentuan yang telah
digariskan Allah beserta rasulNya dalam berbagai
dasar al-quran maupun al-sunnah. Dengan kesadaran
bahwa Allah Maha Melihat (Bashirun) terhadap seluruh
aktivitas yang kita lakukan, maka akan terpelihara dari
perbuatan-perbuatan melanggar ketentuan Ilahi.

Konsep bersuci
Firman Allah swt “Sesunguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan yang suka
menyucikan diri ” (Al Baqarah:222). Bersuci atau al-
Thaharah ialah suatu pekerjaan yang dilakukan untuk
menghilangkan hadas atau najis yang ada di badan,
pakaian atau tempat tinggal. Dalam ajaran Islam
bersuci merupakan perbuatan yang menyebabkan
diterima atau ditolaknya suatu ibadah. Bersuci dalam
pengertian yang lebih luas --meminjam istialh yang
digunakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin-- dapat dibagi
menjadi dua klassifikasi;Thaharah maknawiyah
(menyucikan batin) dan thaharah hissiyah
(menyucikan lahir).
Thaharah Maknawiyah; Thaharah maknawiyah
adalah membersihkan hati dari kesyirikan dalam
beribadah kepada Allah SWT dan membersihkannya
dari penipuan dan kedengkian kepada para hamba-
Nya yang beriman. Itulah sebabnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala (SWT) memberikan predikat najis bagi
orang-orang musyrik. “Sesungguhnya kaum musyrikin
itu adalah najis. (At-Taubah [9]: 28).
Thaharah Maknawiyah memiliki beberapa unsur
utama seperti:
Thaharah dari dosa besar, yakni syirik, membunuh,
sihir, zina, durhaka kepada orang tua, mencuri,
menuduh berzina, dan lari dari medan
pertempuran; serta dari dosa kecil seperti
melalaikan tugas, menyia-nyikan waktu,
membicarakan dan mendengar aib orang lain,
menyakiti hati orang lain.
Thaharah dari penyakit hati seperti riya’, ‘ujub,
sombong, dengki, khianat, dan sebagainya.
Rasulullah SAW; “Tiada satu hati pun kecuali
memiliki awan seperti awan menutupi bulan.
Walaupun bulan bercahaya tetapi karena
hatinya ditutup oleh awan ia menjadi gelap.
Ketika awannya menyingkir ia pun kembali
bersinar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Thaharah Hissiyah adalah membersihkan badan,
pakaian dan tempat dari hadas kecil maupun hadas
besar.Thaharah dari najis ada tiga jenis yakni wudhu,
mandi, dan pengganti dari keduanya yaitu tayammum.
Sementara Syeikh Faqih Jalaluddin membagi
bersuci menjadi tiga dimensi utama pertama, suci
Zahir yakni suci dari semua hadas kecil maupun besar,
suci badan maupun tempat dan pakaian. Kedua; suci
batin berupa pensucian batin dari segala yang bersifat
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

al-amrad al-qulub110, juga mensucikan panca indra dari


al-muharramat, al-makruhat dan juga dari al-syubhat.
Ketiga suci Sirr berupa kesucian tujuan penghambaan
manusia terhadap tuhannya, hanya kepada Allahlah
semua ibadah kita arahkan “Inna Shalâtî Wa Nusukî
Wa mahyayâ Wa mamâtîLillâhi Rabbil al-‘Alamîn”.
“….Sabda Nabi şallallāhu ‘alaihi wasallam inna li
ma’allahi waqtan la yasa’uni ghairi rabbi,
bahwasanya bagiku serta Allah ada waktu yang
tiada melalui sir akan daku dalamnya lain
daripada Tuhanku…” (Syamsul, hal.02)

Tentang pembagian suci ini Syeikh Faqih Jalaluddin


mengungkapkan;
“…bermula suci itu tiga perkara, pertama suci ,
kedua suci batin, ketiga suci sir. Maka suci itu yaitu
bersuci daripada hadats besar dan kecil, dan
bersuci daripada sekalian najis pada badan dan
tempat dan pakaian. Dan suci batin itu yaitu
menyucikan hati daripada ku’eh dan dengki dan
‘adam, bakhil, ‘ujub, ria, sum’ah. Dan menyucikan
panca indera yang lima daripada yang haram dan
makruh dan syubhat yaitu penglihat pendengar,
pencium, perasa, fitnah. Dan bersuci sir daripada
ingat akan yang lain daripada Allah. Maka sir itu
yaitu suatu yang ditaruhkan Allah ke dalam hati
hamba-Nya yang dikasihi-Nya akan Dia, supaya
jadilah Ia akan alat hamba menghadap kepada
Tuhannya…” (Syamsul,hal.02)

110 Persoalan hati Imam al-Ghazali membaginya menjadi tiga bagian,


pertama qalbun Salim (hati yang bersih, sehat, suci), kedua, Qalbun Marid (hati
yang sakit), dan ketiga; Qalbun Mayyit (hati yang mati). Lihat al-Ghazali dalam
Tazkiyat al-Nufus. Saudi Arabia:Daar al-Kutub al-Arabiyah. Hal. 23
Konsep tentang al-Tauhid
Konsep tauhid yang dikemukakan oleh Syeikh
Faqih Jalaluddin adalah tauhid dalam arti praktek
bukan teori. Hal ini ditunjukkan ketika melakukan
pengklassifikasian tauhid menjadi tiga bagian dan
merangkaikannya dengan posisi zikir111 bagi
muwahhid (pengamal tauhid). Menurutnya tauhid
pertama adalah tauhidnya orang awam yakni al-
mubtadi’ (permulaan) tandanya was-was dan zikir
berada pada posisi tidak ada yang diembah melainkan
Allah semata. Kedua, tauhid muqarrabin, yakni
mutawasiţ tandanya hening hati, makna zikir tiada
yang kutuntut hanya Allah. Ketiga, tauhid sidiqin,
yakni muntahi tandanya tidak ada yang diingat kecuali

111 Kata Zikir bukan berarti hanya mengucapkan kalimat “Laa Ilaha Illa
Allah” melainkan keyakinan yang ada dalam hati seorang muwahhid bahwa
tidak ada yang patut disembah melainkan hanya Allah semata.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

mengingat Allah semata dan makna zikirnya tiada


yang maujud hanya Allah dan fana’lah ia dalam zat
tuhannya. Tingkatan ini dianggap sebagai Martabat
orang ’arif billah dikenal juga dengan istilah fanā'ul
fanā, dan juga jami’ul jami”112.
Persoalan tersebut dapat dilihat dalam
potongan teks berikut;
”....Maka adalah tauhid itu tiga perkara,
pertama tauhid awam, yakni mubtadi
alamatnya was-was, maka makna zikirnya
tiada yang sebenar-benar disembah hanya
Allah. Kedua tauhid muqarrabin, yakni
mutawasiţ alamatnya hening hati, maka makna
zikir tiada yang kutuntut hanya Allah. Ketiga
tauhid shidiqin, yakni muntahi alamatnya
ketiadaan ingat akan yang lain daripada Allah.
{Maka} makna zikirnya tiada yang maujud
hanya Allah dan fanalah ia dalam zat tuhannya
maka tepilah padanya segala alam. Inilah
martabat segala ’arif billah dan fanā'ul fanā
pun namanya dan jami’ul jami’ pun namanya
dan kesudah-sudahan jalan pun namanya... ”
(Syamsul, hal.03)

Konsep martabat tujuh


Istilah ajaran martabat tujuh, tidak pernah
dikenal pada masa Rasulullah, beliau tidak
mengajarkan secara khusus. Ajaran martabat tujuh
didalam tasawuf merupakan perkembangan dari ilmu
tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Ajaran martabat tujuh di susun oleh Muhammad
Ibn Fadllillah Burhanpuri (w. 1620) dalam kitabnya Al

112 Terlihat konsep tauhid muqarrabin ini sangat dekat dengan konsep al-
ittihad yang dikedepankan oleh Abu yazid al-Bustami. Dari sini mungkin dapt
dikatakan bahwa syeikh Faqih Jalaluddin sebagian pemikirannya terpengaruh
dengan konsep-konsep tasawuf yang dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Bustami
dan juga yang laiinya dari tasawuf Falsafi.
Tuhfah al Mursalah ila Ruhin-Nabi. Dalam kitab ini
diterangkan bahwa Dzat Tuhan merupakan Wujud
Mutlak, tidak dapat dipersepsikan oleh akal, perasaan,
khayal dan indera. Dzâtullah sebagai aspek bathin
segala yang maujud (ada), karena Tuhan meliputi
segala sesuatu (QS.Fushilat:54) dan untuk bisa
memahami wujud Tuhan yang sebenarnya secara
transenden harus setelah bertajalli sebanyak tujuh
martabat. ini menjelaskan manifestasi Tuhan (tajallî)
dalam alam semesta melalui 7 tahap emanasi dari
wujud mutlak hingga wujud relatif, yaitu ahadiyyah,
wahdah, wâhidiyyah, arwâh, mitsâl, jism, dan insân
kâmil. Dalam arti tertentu, teori martabat tujuh
sesungguhnya mengekspresikan juga faham wahdatul
wujud yang dimunculkan Ibnu ‘Arabi. Pola pemikiran
tersebut diakomodasi oleh Hamzah Fansuri dan
Abdurrauf al-Singkili pada akhirnya dikritik oleh
Nuruddin ar-Raniri.
Syeikh Faqih Jalaluddin sebagai generasi
berikutnya juga mengakomodasi pemikiran Hamzah
Fansuri maupun Abdurrauf al-Singkili dalam
menjelaskan bagaimana Allah menciptakan jagad
alam raya ini. Istilah-istilah yang digunakan dalam
menyebut martabat tujuh agak berbeda dengan
istilah popular yang dikemukakan Syeikh Muhammad
Ibn Fadllillah Burhanpuri.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat
seperti, Pertama; Martabat Laa Ta’yin (tidak ada suatu
apapun yang menyertai Allah bagaikan sebuah
lingkaran kosong), sedangkan dalam istilah lain
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Martabat ini dinamakan martabat Ahadiyyah. Kedua;


Martabat Ta’yin Awwal (pada martabat ini Allah sudah
mulai berkehendak menjadikan sesuatu bagaikan
lingkaran yang baru mempunyai titik kecil), martabat
ini juga dikenal dengan istilah martabat Wahdah.
Ketiga; Martabat Ta’yin Tsani (pada martabat ini Allah
sudah menentukan kehendakNya dalam menjadikan
sesuatu bagaikan lingakaran yang di dalamnya ada
“alif”), martabat ini juga dikenal dengan istilah
martabat Wahidiyah.
Ketiga martabat tersebut disebut dengan
martabat Qadim (martabat Ketuhanan). Keempat;
Martabat alam arwâh merupakan aspek lahir yang
masih dalam bentuk mujarrad dan murni. Kelima;
Martabat alam mitsâl, pada martabat ini diibarat
sesuatu yang telah tersusun dari bagian-bagian, tetapi
masih bersifat halus, tidak dapat dipisah-pisahkan.
Keenam Martabat alam ajsam (tubuh) yakni
ibarat sesuatu dalam keadaan tersusun secara
marteriil telah menerima pemisahan dan dapat dibagi-
bagi sudah dapat terukur tebal tipisnya. dan terakhir
ketujuh; Martabat insân kâmil mencakup segala
martabat diatasnya, sehingga dalam manusia
terkumpul tiga martabat yang sifat bathin dan tiga
martabat lahir.

Konsep Dzikir
Ibn ‘Atha’illah mengatakan, bahwa “Qaumun
Tasbiqu Anwaruhum azkaruhum, aw Qaumun tasbiqu
Azkaruhum Anwaruhum wa Qaumun Tatasawa
Azkaruhum Wa Anwaruhum Wa Qaumun La Azkara wa
La Anwara Naudzubillahi Min Dzalika” ( Al-
Hikam:254)113. Artinya;”ada orang yang nur
(kecerahan hati) nya mendahului zikirnya, ada orang
yang zikirnya mendahului nurnya, ada pula orang yang
nurnya berbarengan dengan zikirnya. Dan ada pula
orang yang tanpa zikir dan tanpa nur –kita berlindung
kepada Allah dari sifat tersebut--114.
Dari ungkapan tersebut terlihat bahwa
manusia –dalam masalah zikir oleh Ibn ‘Athaillah—
terbagi menjadi empat katagori. Pertama; kelompok
orang yang berzikir setelah digetarkan oleh ilham dan
perasaan akan kehadiran Allah. Kedua; kelompok
orang yang berzikir untuk membersihkan hati mereka
sehingga cahaya dan nikmat Allah turun menghampiri
mereka. Ketiga; kelompok orang-orang yang
melakukan zikir sebelum hatinya tercerahkan
(berusaha melakukan zikir walaupun hatinya belum
bersih). Keempat kelompok orang yang tidak
mengindahkan zikir kepada Allah.
Kelompok terakhir inilah yang disinggung
dalam lanjutan hikmah Ibn ‘Athaillah;’ jangan engkau
tinggalkan zikir dikarenakan engkau tidak merasakan
kehadiran Allah dalam zikir tersebut, sebab
kelalaianmu terhadapNya dengan tidak adanya zikir
kepadaNya itu lebih berbahaya daripada kelalaianmu
terhadapNya dengan adanya zikir kepadaNya”.115

113 Ibn ‘Atha’illah,tt. Al-Hikam, Daar el-Fikr.


114 Lihat juga, lisma Dyawati Fuaida 2008 (terj), al-Hikam. Jakarta:Serambi,
hal.385
115 Lihat Sri Mulyati, Tarekat, hal.77
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Zikir adalah sebaik-baik jalan menuju Allah


SWT, jadi tidak boleh ditinggalkan walaupun sedang
tidak konsentrasi penuh. Melakukan zikir hendaknya
dilakukan dengan menghadirkan tuhan dalam hati,
sehingga mampu mencapai zikir yang dapat
melupakan segalanya selain Allah. Zikir merupakan
salah satu metode yang efektif untuk menjernihkan
hati. “Tidaklah tampak zikir kecuali bila dari
penyaksian dan perenungan” (Hikam; 256)
Seperti amaliah lain berzikir pun memiliki
metode-metode tertentu agar dapat –cepat—diterima
oleh Allah SWT, Ibn ‘Athaillah menegaskan ada tiga
metode berzikir. Pertama; Zikir dengan lisan (Zikr al-
dzahir atau dzikr al-huruf atau dzikr al_jahr). Kedua;
zikir dalam hati (dzikr al-qalb atau dzikr al-sirr atau
dzikr al-khafi). Ketiga; zikir anggota badan (dzikr a’dha
al-abdan atau dzikr al-jawarih)116.
Ketiga macam metode zikir tersebut secara
bersamaan saling menopang, zikir hati tidak akan
tercapai secara maksimal jika belum melalui zikir lisan.
Jika seseorang dapat melakukan zikir secara
bersamaan lisan dan hati maka sempurnalah hasil
suluknya117.
Syeikh Faqih Jalaluddin dalam persoalan zikir
terbagi menjadi dua bagian. Pertama; Zikir hasanat
yaitu zikir yang menghasilkan pahala dan tidak
memakai tata aturan maupun metode apapun. Kedua
zikir darajat yaitu zikir yang menghasilkan pahala dan

116 Sri Mulyati, Tarekat, hal.77


117 Lihat, al-Qusyairy, 1997. Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf.
Surabaya: Risalah Gusti
penentuan derajat manusia disisi Allah, zikir ini
memakai tata aturan berupa tata tertib zikir. Hal
tersebut dapat dilihat dalam bagian teks naskahnya;
”... adapun zikir itu dua perkara, pertama zikir
hasanat namanya yakni zikir [yang]
menghasilkan pahala jua [yang] tiada
berkehendak kepada adab dan tertib. Kedua
zikir darajat namanya yaitu berkehendak ia
kepada adab dan tertib...” (Syamsul, hal. 06)

Tata tertib zikir yang dimaksud –secara runtut


—adalah: Pertama; membaca surat al-Fatihah kepada
Nabi dan keluarganya, kemudian al-fatihah kepada al-
Syaikh (guru/mursyid), alfatihah berikutnya kepada
para guru-guru yang telah mengajarkan pengetahuan,
beserta kepada kedua orang tua, dan juga al-fatihah
untuk kaum muslimin/muslimat.
Kedua; membaca istighfar secara
umum”astaghfirullahal Adzim 10 kali. Ketiga;
membaca Istighfar khusus seperti diucapkan oleh
Syaikh abdul Qadir al-jailani ” astaghfarillaha min ilmi
wamin zalalli wamin wujud wamin ’amali”. Keempat;
membaca selawat atas nabi SAW 10 kali.
Kelima;Menghadirkan syekh (mursyid) sebagai wasilah
untuk meminta pertolongan agar semua yang dicita-
citakan berhasil. Keenam;meyakini bahwa Syeikh
sebagai pengganti Nabi untuk dijadikan wasilah dalam
berdoa. Ketujuh; merasukkan lafadz kalimat ”Laa Ilaha
Illa Allah” dalam jiwa dan rasakan dalam dada kira dan
kanan. Kedelapan;lenyapkan lafadz kalimat ”Laa Ilaha
Illa Allah” dan rasakan yang tersisi adalah makna dari
kalimat tersebut, sehingga antara nama dan yang
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

diberikan nama menyatu dalam satu kesatuan (al-


Ismu wa al-Musamma wahidun). Kesembilan; setelah
itu semua terasa, maka tetapkan diri dalam
kebersatuan makna kalimat ”Laa Ilaha Illa Allah”
hingga memperoleh ma’rifat melalui kalimat tersebut.
Demikian beberapa tata cara melakukan zikir
yang diungkapkan oleh Syeikh Faqih Jalaluddin dalam
bagian teks naskahnya.
KALIMAT AKHIR
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Kesimpulan
Melihat beberapa konsep dasar ajaran yang
dituangkan oleh Syeikh Faqih Jalaluddin, maka corak
tasawuf yang dikembangkan dapat diklasifikasi
menjadi dua corak;
Corak Falsafi (Syi’i), corak ini dapat dilihat dari
ajaran-ajaran beliau tentang konsep al-tauhid
seperti ungkapan beliau;
”....Maka adalah tauhid itu tiga perkara,
pertama tauhid awam, yakni mubtadi
alamatnya was-was, maka makna zikirnya
tiada yang sebenar-benar disembah hanya
Allah. Kedua tauhid muqarrabin, yakni
mutawasiţ alamatnya hening hati, maka
makna zikir tiada yang kutuntut hanya
Allah. Ketiga tauhid ¡idiqin, yakni muntahi
alamatnya ketiadaan ingat akan yang lain
daripada Allah. {Maka} makna zikirnya
tiada yang maujud hanya Allah dan fanalah
ia dalam zat tuhannya maka tepilah
padanya segala alam. Inilah martabat
segala ’arif billah dan fanā'ul fanā pun
namanya dan jami’ul jami’ pun namanya
dan kesudah-sudahan jalan pun namanya...
” (Syamsul, hal.03)

Selain konsep al-tauhid juga dapat dilihat


dalam ajaran beliau tentang martabat tujuh, seperti
halnya konsep yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri,
Abdurrauf al-Singkili dan juga oleh Abdushamad al-
Palimbani. Ajaran-ajaran tersebut tertuang dalam
naskah Syamsul Ma’rifati Ilaa Hadratihi al-Syarifati
sebagai berikut;
Pertama; Martabat Laa Ta’yin (tidak ada suatu
apapun yang menyertai Allah bagaikan sebuah
lingkaran kosong), sedangkan dalam istilah lain
Martabat ini dinamakan martabat Ahadiyyah. Kedua;
Martabat Ta’yin Awwal (pada martabat ini Allah sudah
mulai berkehendak menjadikan sesuatu bagaikan
lingkaran yang baru mempunyai titik kecil), martabat
ini juga dikenal dengan istilah martabat Wahdah.
Ketiga; Martabat Ta’yin Tsani (pada martabat ini Allah
sudah menentukan kehendakNya dalam menjadikan
sesuatu bagaikan lingakaran yang di dalamnya ada
“alif”), martabat ini juga dikenal dengan istilah
martabat Wahidiyah. Ketiga martabat tersebut disebut
dengan martabat Qadim (martabat Ketuhanan).

Keempat; Martabat alam arwâh merupakan


aspek lahir yang masih dalam bentuk mujarrad dan
murni. Kelima; Martabat alam mitsâl, pada martabat
ini diibarat sesuatu yang telah tersusun dari bagian-
bagian, tetapi masih bersifat halus, tidak dapat
dipisah- pisahkan. Keenam Martabat alam ajsam
(tubuh) yakni ibarat sesuatu dalam keadaan tersusun
secara marteriil telah menerima pemisahan dan dapat
dibagi-bagi sudah dapat terukur tebal tipisnya. dan
terakhir ketujuh; Martabat insân kâmil mencakup
segala martabat diatasnya, sehingga dalam manusia
terkumpul tiga martabat yang sifat bathin dan tiga
martabat lahir.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Corak Akhlaqi (Sunni), corak seperti ini dapat dilihat


dari ajaran-ajaran beliau tentang konsep al-taubah
seperti ungkapan beliau;
“Firman Allah Ta’ala tûbû ilallahi taubatan
nasuha, artinya taubatlah kamu kepada Allah
dengan taubat yang sahih. Sabda Nabi
şallallahu ‘Alaihi Wasallam waman tâba minaz
zanbi kaman la zanba lahu, artinya barang
siapa taubat daripada dosa adalah ia seperti
orang yang tiada berdosa…” (syamsul,
hal.01).

Lanjutnya bahwa taubat itu terbagi menjadi dua


perkara;
“… Maka adalah taubat itu dua perkara.
Pertama taubat zahir, kedua taubat batin.
Maka perhimpunan kedua taubat itu yaitu
taubat qutbil aqtabi syekh ‘Abdul Qadir
Jailaniy astaghfirullahal ‘azdim min ismi wamin
dzalali wamin wujudi wa min ‘ilmi wamin
‘amali,artinya mohon ampun aku kepada Allah
yang amat besar daripada dosa besar dan
daripada dosa kecil dan daripada ingat akan
diriku dan ilmuku dan ‘amalku…” (Syamsul
01)

Dari ungkapan tersebut tersurat dengan jelas


bahwa taubat zahir dan juga taubat batin dapat
disatukan dalam satu tarikan nafas tanpa dipisah-
pisahkan antara keduanya, hal tersebut terbukti
dengan statemen syekh Abdul Qadir al-Jailani di atas.
Lebih dari itu hasil yang diharapkan dari aktivitas
taubat adalah pemurnian kembali ketauhidan
seseorang setelah menghambakan dirinya kepada
selain Allah Sang Khaliq.
“…Maka hasillah daripada taubat ini tauhid
yang dimaksud pada menjalani jalan kepada
Allah. Maka makna tauhid itu yaitu Esa Allah
aza wajalla dan zatnya dan sifatnya dan pada
fa’al-Nya…” (Syamsul, hal. 01)

Selain persoalan konsep al-taubah juga dapat


dilihat dari konsep beliau tentang kebersihan
(bersuci). Hal ini dapat dilihat dari sistem
pengklasifikasian bersuci menjadi tiga dimensi utama.
Pertama; Suci Zahir yakni suci dari semua hadas kecil
maupun besar, suci badan maupun tempat dan
pakaian. Kedua; suci batin berupa pensucian batin dari
segala yang bersifat al-amrad al-qulub, juga
mensucikan panca indra dari al-muharramat, al-
makruhat dan juga dari al-syubhat. Ketiga suci Sirr
berupa kesucian tujuan penghambaan manusia
terhadap tuhannya, hanya kepada Allahlah semua
ibadah kita arahkan “Inna Shalâtî Wa Nusukî Wa
mahyayâ Wa mamâtîLillâhi Rabbil al-‘Alamîn”.

“….Sabda Nabi şallallāhu ‘alaihi wasallam inna


li ma’allahi waqtan la yasa’uni ghairi rabbi,
bahwasanya bagiku serta Allah ada waktu yang
tiada melalui sir akan daku dalamnya lain
daripada Tuhanku…” (Syamsul, hal.02)

Tentang pembagian suci ini Syeikh Faqih


Jalaluddin mengungkapkan;
“…bermula suci itu tiga perkara, pertama suci ,
kedua suci batin, ketiga suci sir. Maka suci itu
yaitu bersuci daripada hadats besar dan kecil,
dan bersuci daripada sekalian najis pada badan
dan tempat dan pakaian. Dan suci batin itu
yaitu menyucikan hati daripada ku’eh dan
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

dengki dan ‘adam, bakhil, ‘ujub, ria, sum’ah.


Dan menyucikan panca indera yang lima
daripada yang haram dan makruh dan syubhat
yaitu penglihat pendengar, pencium, perasa,
fitnah. Dan bersuci sir daripada ingat akan yang
lain daripada Allah. Maka sir itu yaitu suatu
yang ditaruhkan Allah ke dalam hati hamba-
Nya yang dikasihi-Nya akan Dia, supaya jadilah
Ia akan alat hamba menghadap kepada
Tuhannya…” (Syamsul,hal.02)
Rekomendasi
Dari temuan penelitian tersebut dapat ditarik
beberapa point sebagai rekomendasi untuk dapat
dijadikan bahan acuan kebijakan terkait dengan
materi-materi yang tertuang dalam teks naskah
Syamsul ma’rifati Ila Hadratihi al-Syarifati;
Ajaran- ajaran tentang taubat, dan bersuci dapat
dijadikan sebagai pengayaan bahan ajar di
tingkat Madarasah Aliyah sehingga tidak
hanya memahami konsep bersuci secara lahir
saja namun lebih kepada makna batin. Ajaran
tersebut juga dapat dijadikan bahan acuan
bagi para penyuluh agama agar dapat
memperkaya diri mereka dengan materi-
materi yang bersumber pada naskah.
Ajaran-ajaran yang terkait dengan al-tauhid dan
martabat tujuh serta konsep-konsep zikir perlu
dijadikan bahan pengayaan bagi literature dan
buku ajar bagi kalangan akademisi.
Perlu dibuat program pelestarian terhadap hasil-
hasil pemikiran ulama terdahulu dalam bentuk
buku- biografi Ulama Nusantara
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

Perlu dilakukan pengkajian secara kontinu


terhadap berbagai hasil pemikiran ulama-
ulama terdahulu

Referensi

Abu Bakar Atjeh 1980, tentang nama Aceh dalam


Ismail Sunni (Ed) Bunga rampai tentang Aceh,
Jakarta:Bhatara Karya Aksara)
Abu al-Wafa al-Ghanamy al-Taftazani, 1973, Ibnu
Sab’ien wa Falsafatuhu al-Sufiyyah, Berut, Dar el-
Kuttab al-Libnani, cet. I
Al-Ghazali,1923. Tazkiyat al-Nufus. Saudi Arabia:Daar
al-Kutub al-Arabiyah
al-Qusyairy, 1997. Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu
Tasawuf. Surabaya: Risalah Gusti
Azyumardi Azra, 2005. Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII; akar
pembaruan Islam Indonesia, edisi Revisi.
Jakarta:Prenada Media Group
Denys Lombard , 1967, Le Sultanat d’ Atjeh au temps
d’Iskandar Muda (1607-1636), (terj) oleh Winarsih
Arifin, 2008. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar
Muda (1607-1636). Jakarta:KPG
M. Hasbi Amiruddin, 2006. Aceh dan Serambi Makkah,
Banda Aceh: Yayasan Pena
Syed Muhammad Naguib al-Attas, A Comentary on he
Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniry, (Kuala
Lumpur:Ministry of Culture, 1986)
Sehat Ihsan Shadiqin, 2009. Tasawuf Aceh, Aceh:BP
Bandar
Sri Mulyani, et.al, 2006.Tarekat-tarekat Muktabarah di
Indonesia, Jakarta:Prenada Media Group
Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu
Sepanjang Abad, Jakarta; LIBRA, 1996.
Ismail bin ‘Abdul Muttalib,tt. kitab Jam’u Jawami’ al-
Musannafat (Medan: Al-Syifa’)
Ibn ‘Atha’illah,tt. Al-Hikam, Daar el-Fikr
Lisma Dyawati Fuaida 2008 (terj), al-Hikam.
Jakarta:Serambi
Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di
Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group
bekerjasama dengan …. PPIM UIN Jakarta dan KITLV,
2008
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 1978. Fatawi Ibnu
Tiamiyah (XI:17). Riyadl:Maktabah al-Sunnah.
Faqih Jalaluddin,tt. Manuscript; Syamsu al-Ma’rifati Ilaa
Hadratihi al-Syarifati.
------------------------,tt. Hidayah al-Awam
Corak tasawuf faqih Jalaluddin

------------------------,tt. Safinat al-Hukam fi Talkhis al-


Khisham
-----------------------,tt. Hujjah al-Balighah ‘ala Jama’ah al-
Mukhasamah
-----------------------,tt. Manzhar al-Ajla ila Martabah al-
A’la
----------------------,tt. Asrar as-Suluk ila Malail Muluk
Din Shamsuddin, (makalah)” Hubungan Aceh dengan
Semenanjung khususnya di Utara (Prasaran pada
dialog Utara VI Malaysia bagian Utara dan Sumatera
bagian Utara 23- 29 Desember 1995 di Langsa.
Lhoksemawe, Sigli, Banda Aceh

You might also like