Professional Documents
Culture Documents
Muqaddimah
Aceh – sebagai salah satu daerah di Nusantara
yang memiliki banyak naskah tulisan tangan – adalah
contoh yang baik dalam melihat kasus pemeliharaan
naskah oleh masyarakat. Berdasarkan observasi,
naskah-naskah Aceh yang dimiliki oleh masyarakat
disimpan dan dipelihara dengan menempatkannya di
lemari-lemari dan peti-peti sehingga kondisi fisik
naskah sangat dikhawatirkan keawetannya.
Naskah-naskah Aceh memiliki banyak ragam,
termasuk di dalamnya ragam yang bernuansa
keagamaan, baik yang menyangkut ajaran Islam
sendiri maupun tentang kehidupan yang bernafaskan
keIslaman. Misalnya, naskah-naskah dalam katalog
naskah Aceh yang dikompilasikan oleh Voorhoeve dan
Teuku Iskandar pada tahun 1994. Satu hal yang perlu
dicatat bahwa unsur tasawuf, termasuk di dalamnya
tarekat turut mewarnai, jika tidak mendominasi,
penulisan naskah keagamaan di wilayah ini. Naskah-
naskah tasawuf Aceh menjadi terkenal terutama
dengan hadirnya karya-karya besar tokoh-tokoh
terbesar di antara karyanya)
tasawuf,Hujjah
Hamzahal-Balighah ‘ala Jama’ah As-Sumatrâni,
Fansûri, Syamsuddin al-Mukhasamah (berisi tentang
Nûruddin Ar-Râniri, dan Abdurrauf al-Fansûri.
Selain nama-nama besar yang sudah sangat
terkenal tersebut, masih banyak nama-nama lain yang
–juga—tidak kalah produktipnya, sebut saja Syeikh
Faqih Jalaluddin yang memiliki buah karya dalam
bidang tasawuf juga dalam bidang-bidang lain seperti
fiqh, tauhid, sejarah, dan lain-lain.
SELAYANG PANDANG
NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
Ulama-ulama 23
Aceh
Pendidikan
Karya-karyanya
Diantara karya-karya yang telah dihasilkan oleh
Faqih Jalaluddin ialah dari yang telah disebutkan oleh
Wan Mohd Shaghir Abdullah ada sebanyak lima karya,
yaitu karya dalam bidang Fiqh sebanyak tiga buah dan
karya dalam bidang Tasawuf sebanyak dua buah.
Adapun naskah Syamsu al-Ma’rifat tidak disebutkan di
dalamnya. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian
filologi terhadap naskah ini, maka akan menambah
43 Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di
Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group bekerjasama dengan
…. PPIM UIN Jakarta dan KITLV, 2008. hlm. 35.
kontribusi bagi penambahan data terhadap karya-
karya ulama Aceh khususnya dan Nusantara
umumnya, termasuk Faqih Jalaluddin yang merupakan
salah seorang ulama yang berpengaruh pada
masanya, namun pada masa kini jarang dikenal oleh
masyarakat, khususnya bagi masyarakat Aceh sendiri.
Hal tersebut dikarenakan sulitnya ditemukan tulisan
tentang Faqih Jalaluddin.
Adapun informasi-informasi mengenai Faqih
Jalaluddin didapatkan dari naskah-naskah kuno yang
merupakan hasil karyanya. Adapun karya-karya Faqih
Jalaluddin yang dapat diketahui dari tulisan Wan Mohd.
Shaghir Abdullah ialah sebagai berikut dan penulis
tambahkan dibawahnya naskah Syamsu al-Ma’rifat
sebagai daftar baru dari daftar yang telah ada.
Hidayah al-Awam (berisi tentang Fiqh, mengenai
perintah agama), merupakan karya pertama
yang di karang oleh Faqih Jalaluddin.
Safinat al-Hukam fi Talkhis al-Khisham (berisi
tentang Fiqh, kemungkinan merupakan
karyanya yang terbesar di antara karyanya).
Hujjah al-Balighah ‘ala Jama’ah al-Mukhasamah
(berisi tentang Fiqh).
Manzhar al-Ajla ila Martabah al-A’la (berisi tentang
Tasawuf).
Asrar as-Suluk ila Malail Muluk (berisi tentang
Tasawuf).
syamsu al- Ma’rifat ila hadharatihi syarifati (berisi
tentang Tasawuf).
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
التوبة واجبة من كل ذنب فإن كانت المعصية بين العبد وبييين ال ي:قال العلماء
أن يقلع عين المعصيية وأن ينيدم:تعالى ل تتعلق بحق ادمي فلها ثلثة شروط
.على فعلها وأن يعزم أن ل يعود إليها أبدا فإن فقد أحد الثلثة لم تصح توبته
“Ulama berkata; Taubat itu hukumnya wajib bagi
setiap maksiat yang dilakukan, jika maksiat itu
51 Lihat al-Quran Surat al-Tahrim:8, surat An-Nur:3)
52Imam Abi Zakaria, 2000, Riyadlus Shalihin, Beirut; Libanon,
33. Lihat juga Khalid al-Sayyid Rusyah, 2005. Ladzatul Ibadah,
Iskandariah: Daar al-Shafa wa al-Marwah. Hal.287-290.
berkaitan dengan haq-haq Allah terdapat tiga
persyaratan, pertama; hendaknya mencerabut
diri dari maksiat, menyesali semua perbuatan
maksiatnya, dan beradzam (berniat) untuk tidak
akan kembali lagi melakukan perbuatan dosa
yang dilakukan. Jika salah satu dari ketiga
persyaratan tersebut maka taubatnya tidak sah
(tidak diterima Allah Swt)”.
Tapi jika berkaitan dengan haq-haq manusia
maka syarat taubat menjadi empat perkara, tiga
perkara tersebut di atas ditambah dengan satu
persyaratan lainnya yakni mengembalikan semua haq-
haq yang telah diambilnya. (Zakaria, 2000, hal.34).
SWT.
Konsep al-Tauhid
Tauhid al-Af‘al
Tauhid al-Asma‘
Tauhid al-Sifat
Tauhid al-Dzat
فببإذا قضببيتم الصببلوة فبباذكروا الب قيامببا وقعببودا وعلببى جنببوبكم فإذااطمببأننتم
ثم ل تينهم مبن بيبن ايبديهم. قال فبما اغويتني لقعدن لهم صراطك المستقيم
ومن خلفهم وعن أيمانهم وعن شمْاءلهم ول تجد اكثرهم شكرين
واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفببة ودون الجهببر مببن القببول والصببال ول
تكن من الغافلين
واذكر ربك اذا نسيت وقل عسى ان يهديني ربي لقرب من هذا رشدا...
Konsep al-Taubat
2010
85 Al-Fahsya’ ( ) الفحشاءdalam tafsir DEPAG-RI diartikan dengan
perbuatan keji. Sementara dalam kamus Al Munawwir, arti Al-
Fahsya’ adalah suatu sikap/amalan yang buruk, jelek, jorok,
cabul, kikir, bakhil, kata-kata kotor, kata yang tidak bisa diterima
oleh akal sehat, dan kata fail / pelakunya diartikan zina. (lihat
Kamus Al Munawwir : hal. 1113)
86 Al-Mungkar ( )اْلُمنَكِرdalam tafsir DEPAG-RI diartikan sama,
yaitu perbuatan mungkar. Abdullah Ar-Rojihi dalam kitabnya Al
Qoulul bayyin Al Adhhar fiddakwah menyebutkan bahwa Munkar
adalah setiap amalan / tindakan yang dilarang oleh syariat Islam,
tercela di dalamnya yang mencakup seluruh kemaksiatan dan
bid’ah, yang semua itu diawali oleh adanya kemusyrikan. Dalam
ungkapan lain dijelaskan bahwa Munkar adalah kumpulan
kejelekan, apa yang diketahui jelek oleh syariat dan akal,
kemusyrikan, menyembah patung dan memutus hubungan
silaturrahmi.
menetapkan berbagai macam peristilahan tentang
kebersihan. Umpamanya, tazkiyah, thaharah,
nazhafah, dan fitrah, seperti dalam hadis yang
memerintahkan khitan, sementara dalam membangun
perilaku bersih ada istilah ikhlas, thib al-nafs,
ketulusan kalbu, bersih dari dosa, tobat, dan lain-lain
sehingga makna bersih amat holistik karena
menyangkut berbagai persoalan kehidupan, baik dunia
dan akhirat.
Ada beberapa persoalan tentang kebersihan
yang harus difahami diantaranya;
Hissiyah dan jasmaniah
Bersih secara konkrit adalah kebersihan dari
kotoran atau sesuatu yang dinilai kotor. Kotoran yang
melekat pada badan, pakaian, tempat tinggal, dan lain
sebagainya yang mengakibatkan seseorang tak
nyaman dengan kotoran tersebut. Umpamanya, badan
yang terkena tanah atau kotoran tertentu, maka dinilai
kotor secara jasmaniah, tidak selamanya tidak suci.
Jadi, ada perbedaan antara bersih dan suci. Mungkin
ada orang yang tampak bersih, tetapi tak suci.
َ ك َوِإَلَهَت
ك َ ض َوَيَذَر
ِ لْر
َْ ي ا
ْ سُدْوا ِف
ِ سى َوَقْوَمُه ِلُيْف
َ ن َأَتَذُر ُمْو
َ عْو
َ ن َقْوِم ِفْر
ْ ل ِم
ُ ل اْلَم
َ َوَقا
ل ِفي َنِكَره
َ ل ِل
ْ جَع
ْ نا
ّ ل ِإ
َ عَم
َ
ي الَكِبْيُر
ّ ل ُهَو الَعِل
َ نا
ّ ل َوَأ
ُطِ ن ُدْوِنِه الَبا
ْ ن ِم
َ عْو
ُ ن َما َيْد
ّ ق َوَأ
ّح
َ ل ُهَو ال
َ نا
ّ ك ِبَأ
َ َذِل
“Yang demikian itu karena Allahlah yang haq (untuk
disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain
Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
حِزن
ْ ك ُي
َ ن َذِل
ْ ل َأ
ِجْ ن َأ
ْ ِم،س
ِ طْوا ِبالّنا
ُ خَتِل
ْ حّتى َت
َ خِر
َ ن ْال
َ ن ُدْو
ِ جى اْثَنا
َ ل َيَتَنا
َ لَثًة َف
َ ِإَذا ُكْنُتْم َث
Ke-Esa-an (al-Tauhid)
Dakwah yang dikembangkan rasul Allah selama
13 tahun di Makkah al-Mukarramah dalam rangka
menguatkan aqidah umat yang Inti pokoknya adalah
meng-Esa-kan Allah Swt dari semua persekutuan baik
dengan benda maupun non benda. Al-Quran sebagai
kitab suci memfokuskan masalah Aqidah. Sedang inti
dari akidah adalah keyakinan bahwa Allah SWT Maha
Esa. Tidak ada tuhan dan sekutu bagi-Nya.
Allah berfirman : “Katakanlah: “Dia-lah Allah,
yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan
tidak pula diperanakan. Dan tidak ada seorang pun
yang setara dengan dia.” (Q.S.Al-Ikhlas : 1-4). Iman
kepada Allah ialah percaya sepenuhnya, tanpa
keraguan sedikit pun, akan adanya Allah SWT Yang
Maha Esa dan Maha Sempurna, baik Zat, sifat maupun
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
Martabat Wahdah;
Martabat ta’yun awal ( awal kenyataan). Pada
tahap wahdah ini mulailah terlihat konsep individual.
Inilah kenyataan Muhammad yang tersembunyi di
dalam rahasia Tuhan. Namun tetap pada tahap ini
semua kenyataan belum terpisah antara yang satu
dengan yang lainnya, karena masih terikat satu sama
lain. Antara ide yang satu belum ada perbedaan
dengan ide yang lain, karena masih tersembunyi di
dalam wahdat. Mereka masih terkumpul di dalam
(kenyataan) Muhammad yang merupakan awal
pemancaran yang merupakan hakekat sejati. Jadi yang
dinamakan wahdah ialah hakikat Muhammad (hakikat
Muhammadiyah), semua hakikat masih berkumpul
dalam martabat wahdah dan belum terpisah-pisah.
Martabat wahdah ini dapat di ibaratkan dengan
sebutir biji; batang, cabang-cabang dan daun-daunnya
masih tersembunyi di dalam biji itu dan belum
terpisah-pisah. Batang, cabang-cabang dan daun-daun
melambangkan engkau, aku, mereka, sedangkan
bijinya tunggal (wahdat).
Pada martabat ini dengan tegas dan jelas
diungkap oleh Faqih Jalaluddin;
“…Martabat Wahdah yang dinamakan dia
martabat Ta'Yun Awal (Nyata Yang Pertama) dan
dinamakan juga Syu'un Zaatiah ertinya
pekerjaan Zat dan dinamakan juga Hakikat
Muhammadiah dan Syuhuudul Wahdah Fil
Kasrah. Dan martabat ini adalah keadaan Sifat
Maani yang tujuh kerana Sifat Maani itu
martabat sifat. Martbat ini adalah ibarat
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
Martabat Wahdiah;
Martabat ini juga disebut dengan faidh al-
muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani
(entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat
kedua). Pada martabat ini Allah Swt bertajali melalui
asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau
alam kasatmata. Dengan kata lain, melalui firman kun
(jadilah), maka entitas permanen secara aktual
menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam
semesta.
Dengan demikian alam ini tidak lain adalah
kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus
atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah
manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk
yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ’aradh
atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar
(substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada
substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula
dalam tasawuf. Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah,
maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan
tenggelam tanpa akhir.
Syaikh Faqih Jalaluddin menegaskan konsepnya
dalam kitab Syamsul Ma’rifah;
“…Martabat Wahdiah yang dinamakan dia Martabat
Ta'yun Saani ertinya nyata yang kedua dan
dinamakan juga A'Yan Sabitah dan Hakikat
Insaaniah. Dan dalam ini takluk Ilmu dan Iradat
adalah Takluk Tanjizi Qadim dan Taklum Iradat
adalah Taklum Suluhi Qadim. Adapun martabat ini
keadaan Sifat Maknuwiyah kerana Sifat
Maknuwiyah adalah martabat Asma dan adalah
martabat ini ibarat daripada ilmu Allah Taala
dengan ZatNya dan sifatnya dan segala makhluk
atas jalan perceraian dan perbezaan setengah
dengan setengahnya. Maka tiga martabat {Ahdiah,
Wahdah dan Wahdiah}ini Qadim lagi Azali kerana ia
martabat yang dibangsakan kepada Ketuhanan.
Adapun sekelian makhluk wujud di dalam Ilmu Allah
jua belum zhohir kepada Wujud Khoriji…” (Syamsul.
Hal.14)
103 Dapat dilihat lebih rinci dalam Sri Mulyati (et,al), 2006.
Hal.51-52
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
wilayah Madinah.
Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad
al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru kepada
Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil
mengembangkan Tarikat Syattariyah di Nusantara.
Namun sebelum Abdul Rauf, telah ada seorang tokoh
sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap
ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara
melalui bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi,
sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-
wujud. Ia adalah karya Muhammad bin Fadlullah al-
Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid
Wajihuddin.
Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan
metafizik martabat tujuh ini lebih terkenal di
Nusantara seiring karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van
Bruinessen beranggapan bahwa kemungkinan kerana
pelbagai ulasan menarik dari kitab ini yang menyatu
dengan Tarikat Syattariyah, sehingga ramai murid-
murid asal Nusantara yang berguru kepada al-
Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarikat ini
berbanding tarikat-tarikat lainnya yang diajarkan oleh
kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga
oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam
ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun tidak ada
petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai
apakah Syamsuddin menganut tarikat ini. Namun yang
jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat
Syattariyah sangat terkenal di kalangan orang-orang
Nusantara yang kembali dari Tanah Arab.
Tarikat Syathariyah pertama kali diasaskan oleh
Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarikat Syaththariyah
berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah)
dibawa oleh Syeikh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082)
dan Syeikh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua
ulama ini diteruskan oleh Syeikh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili
ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya
Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Tarikat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-
Din berkembang pada empat kelompok, iaitu;
Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana.
Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril
Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang
diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan.
Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang
ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.
Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa tarikat Syaththariyah
di Minangkabau masih terpelihara kukuh. Untuk
mendukung keberadaan tarikat, kaum Syathariyah
mengasaskan pertubuhan rasmi berupa organisasi
sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera
Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh
alam Minangkabau, bahkan di wilayah berjiran iaitu
Riau dan Jambi. Bukti kuat dan kukuhnya keberadaan
tarekat Syaththariyah dapat dibuktikan dengan
wujudnya kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan
al-Din Ulakan.
Adapaun ajaran tarikat Syaththariyah yang
berkembang di Minangkabau sama seperti yang
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
105Filsafat adalah salah satu disiplin ilmu yang berdasar pada konsep
pencarian kebenaran dengan menggunakan pemikiran kritis, sistematis, radikal dan
universal, pencarian kebenaran sampai pada akar-akarnya.
garis pemisah atau pembeda, karena Tuhan berbeda
dengan makluqNya. Kedekatan yang dapat diperoleh
oleh manusia dalam kontemplasi sufistiknya hanyalah
kedekatan rasa dan batin tidak bisa melampaui batas
kemanusiaannya. Dalam bahasa lain bahwa tasawuf
akhlaqi lebih menekankan pada penerapan sebuah
ajaran yang terkait dengan persoalan etika
berhubungan baik dengan Allah sebagai Khâliq
maupun antara hamba dengan hamba lainnya yang
dalam bahasa al-Quran disebut dengan istilah Hablum
mi Allah wa Hablum min al-Nâs.
Kelompok yang termasuk dalam bagian ini
tercatat beberapa nama seperti Khulafâurrâsyidîn
{Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Al-Khattâb, Utsman bin
Affân dan ‘Alî bin Abi Thâlib} juga beberapa Sahabat
Nabi lainnya seperti Abu Dzar al-Ghifârî, Abu Darda’,
Salmân al-Fârisî, Abdullah bin Umar, Abu Ubaidah bin
Jarrâh dan Mus’ab bin Umaîr serta beberapa nama
lain. Selain nama-nama tersebut tercatat beberapa
nama dari kelompok Tabi’in seperti Hasan al-Bashrî,
Uwais al-Qarnî, Ibrahim bin Adham, Dzunnun al-Mishri.
Dan tokoh Sufi dari kalangan Tabiut tabi’in seperti Al-
Muhâsibî, Junaid al-Baghdâdî, Imam al-Qusyairî, Al-
Ghazâlî, Abdul Qadir al-Jailânî, Al-Syiblî dan lainnya.
Konsep al-taubah
Secara bahasa kata al-taubah berasal dari kata
“tâbâ, yatûbu, taubatan” yang berarti kembali dari
pengembaraan, perjalanan jauh. Kembali ke asal
kejadian. Sedangkan pengertian al-taubah secara
istilah adalah kembali –setelah banyak melakukan
aktivitas yang bertentangan dan melanggar ajaran dan
titah Allah SWT—kepada ajaran Tauhid dengan
melaksanakan ajaran-ajaran yang telah diperintahkan
Tuhan dan menjauhi segala larangan dan pantangan
yang telah digariskan dalam al-Quran dan al-sunnah
rasulNya. Taubat yang dilakukan oleh manusia setelah
kekhilafannya dilakukan dengan taubat yang sebenar-
benarnya (al-taubat an-Nashuha). Dalam konsep ini
Syeikh Faqih Jalaluddin mengemukakan;
“Firman Allah Ta’ala tûbû ilallahi106 taubatan
nasuha, artinya taubatlah kamu kepada Allah
dengan taubat yang sahih. Sabda Nabi şallallahu
‘Alaihi Wasallam waman tâba minaz zanbi kaman
la zanba lahu, artinya barang siapa taubat
daripada dosa107 adalah ia seperti orang yang tiada
berdosa…” (syamsul, hal.01).
Konsep bersuci
Firman Allah swt “Sesunguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan yang suka
menyucikan diri ” (Al Baqarah:222). Bersuci atau al-
Thaharah ialah suatu pekerjaan yang dilakukan untuk
menghilangkan hadas atau najis yang ada di badan,
pakaian atau tempat tinggal. Dalam ajaran Islam
bersuci merupakan perbuatan yang menyebabkan
diterima atau ditolaknya suatu ibadah. Bersuci dalam
pengertian yang lebih luas --meminjam istialh yang
digunakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin-- dapat dibagi
menjadi dua klassifikasi;Thaharah maknawiyah
(menyucikan batin) dan thaharah hissiyah
(menyucikan lahir).
Thaharah Maknawiyah; Thaharah maknawiyah
adalah membersihkan hati dari kesyirikan dalam
beribadah kepada Allah SWT dan membersihkannya
dari penipuan dan kedengkian kepada para hamba-
Nya yang beriman. Itulah sebabnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala (SWT) memberikan predikat najis bagi
orang-orang musyrik. “Sesungguhnya kaum musyrikin
itu adalah najis. (At-Taubah [9]: 28).
Thaharah Maknawiyah memiliki beberapa unsur
utama seperti:
Thaharah dari dosa besar, yakni syirik, membunuh,
sihir, zina, durhaka kepada orang tua, mencuri,
menuduh berzina, dan lari dari medan
pertempuran; serta dari dosa kecil seperti
melalaikan tugas, menyia-nyikan waktu,
membicarakan dan mendengar aib orang lain,
menyakiti hati orang lain.
Thaharah dari penyakit hati seperti riya’, ‘ujub,
sombong, dengki, khianat, dan sebagainya.
Rasulullah SAW; “Tiada satu hati pun kecuali
memiliki awan seperti awan menutupi bulan.
Walaupun bulan bercahaya tetapi karena
hatinya ditutup oleh awan ia menjadi gelap.
Ketika awannya menyingkir ia pun kembali
bersinar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Thaharah Hissiyah adalah membersihkan badan,
pakaian dan tempat dari hadas kecil maupun hadas
besar.Thaharah dari najis ada tiga jenis yakni wudhu,
mandi, dan pengganti dari keduanya yaitu tayammum.
Sementara Syeikh Faqih Jalaluddin membagi
bersuci menjadi tiga dimensi utama pertama, suci
Zahir yakni suci dari semua hadas kecil maupun besar,
suci badan maupun tempat dan pakaian. Kedua; suci
batin berupa pensucian batin dari segala yang bersifat
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
111 Kata Zikir bukan berarti hanya mengucapkan kalimat “Laa Ilaha Illa
Allah” melainkan keyakinan yang ada dalam hati seorang muwahhid bahwa
tidak ada yang patut disembah melainkan hanya Allah semata.
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
112 Terlihat konsep tauhid muqarrabin ini sangat dekat dengan konsep al-
ittihad yang dikedepankan oleh Abu yazid al-Bustami. Dari sini mungkin dapt
dikatakan bahwa syeikh Faqih Jalaluddin sebagian pemikirannya terpengaruh
dengan konsep-konsep tasawuf yang dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Bustami
dan juga yang laiinya dari tasawuf Falsafi.
Tuhfah al Mursalah ila Ruhin-Nabi. Dalam kitab ini
diterangkan bahwa Dzat Tuhan merupakan Wujud
Mutlak, tidak dapat dipersepsikan oleh akal, perasaan,
khayal dan indera. Dzâtullah sebagai aspek bathin
segala yang maujud (ada), karena Tuhan meliputi
segala sesuatu (QS.Fushilat:54) dan untuk bisa
memahami wujud Tuhan yang sebenarnya secara
transenden harus setelah bertajalli sebanyak tujuh
martabat. ini menjelaskan manifestasi Tuhan (tajallî)
dalam alam semesta melalui 7 tahap emanasi dari
wujud mutlak hingga wujud relatif, yaitu ahadiyyah,
wahdah, wâhidiyyah, arwâh, mitsâl, jism, dan insân
kâmil. Dalam arti tertentu, teori martabat tujuh
sesungguhnya mengekspresikan juga faham wahdatul
wujud yang dimunculkan Ibnu ‘Arabi. Pola pemikiran
tersebut diakomodasi oleh Hamzah Fansuri dan
Abdurrauf al-Singkili pada akhirnya dikritik oleh
Nuruddin ar-Raniri.
Syeikh Faqih Jalaluddin sebagai generasi
berikutnya juga mengakomodasi pemikiran Hamzah
Fansuri maupun Abdurrauf al-Singkili dalam
menjelaskan bagaimana Allah menciptakan jagad
alam raya ini. Istilah-istilah yang digunakan dalam
menyebut martabat tujuh agak berbeda dengan
istilah popular yang dikemukakan Syeikh Muhammad
Ibn Fadllillah Burhanpuri.
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat
seperti, Pertama; Martabat Laa Ta’yin (tidak ada suatu
apapun yang menyertai Allah bagaikan sebuah
lingkaran kosong), sedangkan dalam istilah lain
Corak tasawuf faqih Jalaluddin
Konsep Dzikir
Ibn ‘Atha’illah mengatakan, bahwa “Qaumun
Tasbiqu Anwaruhum azkaruhum, aw Qaumun tasbiqu
Azkaruhum Anwaruhum wa Qaumun Tatasawa
Azkaruhum Wa Anwaruhum Wa Qaumun La Azkara wa
La Anwara Naudzubillahi Min Dzalika” ( Al-
Hikam:254)113. Artinya;”ada orang yang nur
(kecerahan hati) nya mendahului zikirnya, ada orang
yang zikirnya mendahului nurnya, ada pula orang yang
nurnya berbarengan dengan zikirnya. Dan ada pula
orang yang tanpa zikir dan tanpa nur –kita berlindung
kepada Allah dari sifat tersebut--114.
Dari ungkapan tersebut terlihat bahwa
manusia –dalam masalah zikir oleh Ibn ‘Athaillah—
terbagi menjadi empat katagori. Pertama; kelompok
orang yang berzikir setelah digetarkan oleh ilham dan
perasaan akan kehadiran Allah. Kedua; kelompok
orang yang berzikir untuk membersihkan hati mereka
sehingga cahaya dan nikmat Allah turun menghampiri
mereka. Ketiga; kelompok orang-orang yang
melakukan zikir sebelum hatinya tercerahkan
(berusaha melakukan zikir walaupun hatinya belum
bersih). Keempat kelompok orang yang tidak
mengindahkan zikir kepada Allah.
Kelompok terakhir inilah yang disinggung
dalam lanjutan hikmah Ibn ‘Athaillah;’ jangan engkau
tinggalkan zikir dikarenakan engkau tidak merasakan
kehadiran Allah dalam zikir tersebut, sebab
kelalaianmu terhadapNya dengan tidak adanya zikir
kepadaNya itu lebih berbahaya daripada kelalaianmu
terhadapNya dengan adanya zikir kepadaNya”.115
Kesimpulan
Melihat beberapa konsep dasar ajaran yang
dituangkan oleh Syeikh Faqih Jalaluddin, maka corak
tasawuf yang dikembangkan dapat diklasifikasi
menjadi dua corak;
Corak Falsafi (Syi’i), corak ini dapat dilihat dari
ajaran-ajaran beliau tentang konsep al-tauhid
seperti ungkapan beliau;
”....Maka adalah tauhid itu tiga perkara,
pertama tauhid awam, yakni mubtadi
alamatnya was-was, maka makna zikirnya
tiada yang sebenar-benar disembah hanya
Allah. Kedua tauhid muqarrabin, yakni
mutawasiţ alamatnya hening hati, maka
makna zikir tiada yang kutuntut hanya
Allah. Ketiga tauhid ¡idiqin, yakni muntahi
alamatnya ketiadaan ingat akan yang lain
daripada Allah. {Maka} makna zikirnya
tiada yang maujud hanya Allah dan fanalah
ia dalam zat tuhannya maka tepilah
padanya segala alam. Inilah martabat
segala ’arif billah dan fanā'ul fanā pun
namanya dan jami’ul jami’ pun namanya
dan kesudah-sudahan jalan pun namanya...
” (Syamsul, hal.03)
Referensi