You are on page 1of 8

Medan Makna

Dengan sistem semantik, tata bahasa atau leksikogramar, dan ekspresi, bahasa telah
membingkai atau mengungkung seseorang untuk berpikir, merasakan sesuatu, bersikap atau
bertindak, dan berkeyakinan terhadap sesuatu. Dengan kata lain, bahasa telah membingkai
kognisi, emosi, sikap, dan unsur spritual seseorang dalam memahami alam semesta.

Setiap bahasa memiliki sistim semantik, leksikogramar dan ekspresi yang unik (di samping
keuniversalan bahasa) yang membedakan satu bahasa dengan yang lain. Hal ini berimplikasi
bahwa pengalaman atau pemahaman tentang realitas yang dibentuk dengan suatu bahasa
berbeda dengan pengalaman atau pemahaman yang dibentuk dengan bahasa lain.

Dengan kata lain, bahasa merupakan sarana pembentukan jati diri seseorang atau suatu
bangsa. Satu bangsa berbeda dengan yang lain karena persepsi bangsa itu terhadap alam dan
sosial semesta berbeda dengan persepsi yang lain dan perbedaan persepsi itu akibat perbedaan
bahasa.

Semantik merupakan salah satu komponen dalam cabang ilmu linguistik yang mengkhusus
dalam pengkajian makna. Makna bahasa terutama makna kata dapat kita petakan menurut
komponennya. Pandangan seperti ini, dapat dilihat dalam teori medan makna yang
menyatakan bahwa kosakata dalam suatu bahasa terbentuk dalam kelompok-kelompok kata
yang menunjuk kepada satu perkongsian makna tertentu, misalnya apabila kita mendengar
seseorang menyebut ‘alat ganti kereta’, tentunya kita terbayang bermacam-macam jenis alat
ganti kereta. Dalam hal ini kesemua alat ganti tersebut sebenarnya berkongsi satu bilik yang
dinamakan bilik alat ganti. Apakah sebenarnya medan makna?

Medan makna menurut Kamus Linguistik (KL: 1997) Kumpulan butir leksikel yang
maknanya saling berhubung kait disebabkan kehadiran masing-masing dalam konteks yang
serupa.

Untuk menggambarkan hubungan sesuatu butir leksikel , kata atau antarkata melalui satu
medan makna yang dikongsi oleh kata yang lain dalam suatu bidang tertentu dapat
diungkapkan melalui komponen makna yang terdapat dalam kata-kata dalam suatu bidang
tertentu. Komponen makna menunjukkan bahwa setiap kata maknanya terbentuk dari
beberapa unsur atau komponen. Misalnya, kata-kata yang menggambarkan kekerabatan dan
kekeluargaan , seperti 'ayah', "ibu', 'adik'. 'kakak'.

Kesemua komponen tadi berbeza dari segi maknanya tetapi kesemuanya mempunyai
hubungan makna yang mengikat atau dikongsi bersama oleh kesemua kata tersebut. Secara
mudahnya kita boleh andaikan sekiranya kata ‘keluarga’ itu sebagai medannya, maka kata
ayah, ibu , adik dan kakak sebagai komponen yang wujud dalam medan makna ‘keluarga’.

Melalui pengkelasan kata berdasarkan kesamaan atau perkaitan makna sesuatu kata itu sangat
membantu pengkaji bahasa dalam banyak segi antaranya seseorang itu akan lebih memahami
budaya dan akal budi sesuatu bangsa itu. Sebagai contoh, kata ‘lauk’ bagi penduduk di
beberapa kawasan di Kedah tidak sama dengan makna lauk bagi penduduk di tempat lain.
Kata ‘lauk’ itu sebenarnya dimaksudkan ‘lauk ikan’, lebih khusus lagi ikan yang dimaksudkan
adalah ikan kembung. Oleh itu apabila kita mendengar seseorang berkata ‘tidak ada lauk’
sedangkan terdapat bermacam sayuran dan hidangan ayam di atas meja maka yang
dimaksudkannya adalah tidak ada lauk ikan. Hal ini menunjukkan betapa ikan kembung
merupakan antara menu utama yang mesti ada dalam masyarakat di negeri Kedah.

Selain untuk menunjukkan hubungan makna antarkata, pengkelasan makna juga berguna,
antara lain untuk perumusan makna dalam kamus dan untuk menentukan apakah kalimat yang
digunakan dapat diterima atau tidak secara semantik. Tentu saja untuk mengungkapkan
komponen makna tersebut perlu dilakukan melalui analisis yang lazim dikenal sebagai
analisis komponen makna. Analisis ini dalam kajian semantik leksikal tentu cukup menonjol
mengingat manfaatnya yang cukup beragam dalam mengkaji makna kata dan hubungan
makna antarkata dalam suatu bahasa. Kegunaan pengkelasan berdasarkan hubungan antarkata
dapat dilihat dalam penghasilan tesaurus. Kandungan tesaurus yang memperlihatkan perkaitan
antara satu kata dengan kata yang lain dan kebanyakannya berkongsi satu medan makna yang
sama.
Dalam kehidupan dan persepsi bangsa Indonesia beras atau nasi berperan penting sebagai
bahan makanan atau sumber kehidupan. (Suku Batak, misalnya mengucapkan selamat dengan
Horas sambil menaburkan atau menaruh beras ke kepala seseorang).

Bagi bangsa Indonesia jika seseorang belum makan nasi, dia mengganggap dia belum makan.
Akibat pentingnya beras atau nasi dalam persepsi bangsa Indonesia, bangsa Indonesia mampu
membuat gambaran yang rinci dan spesifik tentang beras atau nasi di dalam bahasa Indonesia
dengan realisasi sejumlah kata mengenai makanan utama ini, seperti padi, beras, nasi, pulut,
ketan, lontong, bubur, tapai, gabah, menir, dedak, jerami, lemang, tajin, emping, bertih, kerak,
dan kata atau frase yang terkait langsung dengan makanan utama itu, seperti sawah, ladang,
bendang, padi darat, padi sawah, padi ladang, padi-padian, padi usang, padi menguning, padi
menghijau, ombak padi, akar padi, batang padi, perut padi, padi bunting, daun padi, bunga
padi, walangsangit, pipit, beras baru, beras putih, beras hitam, beras merah, pulut putih, pulut
hitam, emping pulut, padi angin, nasi mentah, nasi masak, nasi tanak, nasi goreng, nasi lemak,
nasi uduk, lumbung, dan lain-lain.

Berbeda dengan konteks sosial Indonesia yang memerlukan beras atau nasi, bangsa Inggris
tidak membutuhkan beras atau nasi seperi kebutuhan bangsa Indonesia. Akibatnya, bahasa
Inggris hanya memiliki satu kata untuk fenomena itu, yakni rice. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa masyarakat atau konteks sosial memengaruhi atau menentukan bahasa.

Kedua, bahasa atau teks menentukan konteks sosial. Jika seseorang berbicara atau
mengucapkan suatu aspek bahasa atau membuat teks, bahasa atau teks yang digunakan itu
bertaut dengan, merujuk ke, atau menentukan konteks sosial.

Misalnya, ketika seseorang mengatakan teks atau frase pada suatu hari.., beginilah ceritanya...
teks yang digunakan itu mengacu ke konteks sosial atau situasi bahwa dia ’bercerita tentang
sesuatu hikayat’ atau peristiwa.

Dengan kata lain, teks yang digunakan menandai konteks sosial, yakni adanya narasi yang
akan disampaikan dalam interaksi. Demikian juga ketika penyiar radio swasta di Medan
menyatakan tadi malam pada pukul 10.15 di Rumah Sakit Pirngadi Medan telah..., pendengar
dapat memrediksi bahwa konteks sosial ekspresi itu adalah ’berita kemalangan’ atau ’berita
meninggalnya seseorang’. Kedua contoh ini jelas menunjukkan bahwa bahasa memengaruhi
konteks sosial.

Medan makna merupakan apa yang dibicarakan, pelibat merupakan siapa yang terlibat dalam
interaksi, terkait, atau terbabit dalam suatu pembicaraan, dan sarana mengacu ke bagaimana
bahasa digunakan. Setiap pemakaian bahasa atau interaksi bahasa mencakup dan melibatkan
ketiga unsur situasi itu: apa, siapa, dan bagaimana. Hubungan ideologi, budaya dan situasi
sebagai unsur konteks sosial adalah hubungan semiotik konotatif. Ideologi direalisasikan oleh
budaya dan budaya direalisasikan oleh situasi.

Hubungan konteks sosial dengan bahasa atau teks, yang bersifat semiotik konstrual atau
saling menentukan atau dua arah dijelaskan sebagai berikut. Ideologi terealisasi dalam budaya
dan budaya secara faktual direalisasikan oleh situasi yang terjadi dari apa, siapa, dan
bagaimana. Selanjutnya, situasi direalisasikan ke dalam semantik. Semantik atau arti
direalisasikan oleh tata bahasa atau leksikogramar dan akhirnya, leksikogramar direalisasikan
oleh fonologi, grafologi atau isyarat.

Implikasi dari hubungan semiotik konstrual antara konteks sosial dan bahasa adalah ideologi,
budaya, dan konteks situasi suatu komunitas atau bangsa terealisasi dalam bahasa. Dengan
kata lain, bahasa merupakan realisasi atau ekspresi ideologi, budaya, dan situasi suatu bangsa.
Setelah proses semiotik konstrual dalam hubungan konteks sosial dan bahasa berlangsung
selama bertahun-tahun (puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun) konteks sosial menyatu
dengan bahasa.

Bahasa Inggris membentuk penutur bahasa itu memiliki jati diri yang cermat waktu, cermat
angka atau jumlah, dan cermat posisi orang. Kecermatan ini dikodekan di dalam tata bahasa
bahasa Inggris dan tata bahasa bahasa Inggris inilah yang menguatkan dan membangun jati
diri penutur bahasa atau bangsa Inggris.
Tata bahasa atau leksikogramar bahasa Inggris terfokus pada waktu, angka, dan posisi orang,
yang secara teknis linguistik masing-masing diistilahkan sebagai Tense, Singular/Plural, dan
Person.

Dengan Tense tersirat kapan satu peristiwa atau kegiatan berlangsung: masa lalu, sekarang,
atau masa depan. Dengan Singular/Plural dijelaskan berapa banyak benda atau orang yang
terlibat dalam teks: satu atau tunggal, lebih dari satu atau jamak. Dengan Person ditandai
apakah seseorang orang pertama, kedua atau ketiga. Klausa Benny has bought a book
berterima karena kalimat itu dibingkai dengan ketiga kecermatan itu.

Klausa itu jelas menunjukkan kegiatan membeli buku telah berlangsung dengan hasil nyata
saat ini (the present perfect tense) dan dengan demikian *Benny to buy a book tidak berterima
karena unsur waktu tidak dipenuhi. Klausa itu terikat kepada angka, yakni jumlah (satu atau
lebih dari satu) buku yang dibeli adalah satu. Dengan demikian kalimat *Benny has bought
book tidak benar karena tidak cermat angka. Klausa itu juga jelas menunjukkan bahwa Benny
adalah orang ketiga dan hal itu ditandai dengan finite has.

Dengan demikian clausa Benny have bought a book tidak berterima karena menggunakan
have, yang seharusnya has sebagai orang ketiga tunggal. Jati diri penutur bahasa Inggris yang
cermat waktu, cermat angka, dan cermat posisi orang telah menumbuhkan karakter bangsa
yang cenderung kepada kewirausahawanan, kebebasan, dan pendewaan individu.

Bahasa Jepang memiliki konsep bonsai, yakni budaya atau kata dengan pengertian
mengecilkan atau mengerdilkan sesuatu yang besar agar berterima dalam ruang yang terbatas.
Dengan konsep bahasa itu, Jepang memiliki jati diri sebagai bangsa yang terampil membuat
tiruan sesuatu benda yang besar ke bentuk yang kecil. Dengan kata lain, mengecilkan atau
membuat tiruan benda nyata merupakan jati diri bangsa Jepang.
Barat berhasil dengan ciptaan mereka berupa mobil, traktor, kompor gelombang mikro, dan
komputer yang besar. Tetapi temuan Barat itu kurang menarik bagi orang Asia karena terlalu
besar. Misalnya, traktor buatan Barat sangat besar, sedangkan petani di Asia rata-rata hanya
memilki tanah yang sempit atau terbatas kurang dari satu hektar.

Yang diperlukan adalah traktor tangan yang kecil. Dengan konsep bonsai dalam bahasanya,
Jepang telah berhasil membangun karakter bangsanya sebagai pemodifikasi temuan orang lain
atau benda dalam alam semesta. Dengan kata lain, karakter membuat tiruan atau membuat
sesuatu menjadi kecil bangsa Jepang telah sukses merebut pasar mobil, traktor tangan,
televisi, komputer, dan kompor gelombang mikro di seluruh dunia.

Budaya tidak langsung dalam bertingkah laku merupakan jati diri penutur bahasa atau bangsa
Indonesia. Budaya tidak langsung ini direalisasikan oleh klitik atau morfem terikat–nya di
dalam tata bahasa bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia umumnya berbudaya tidak
langsung dalam menyatakan sesuatu kepada mitrabicara.

Sering terjadi satu maksud disindirkan kepada orang lain dengan maksud mengenai orang
tertentu secara tidak langsung. Dalam teks maunya dia datanglah sekarang atau teringatnya
kemana dia pergi, makna –nya adalah ’aku’: ’mauku dia datanglah sekarang’, ’teringatku
kemana dia pergi’.

Demikian juga pertanyaan dengan klitik –nya: siapa namanya?, mana bukunya?, dan siapa
ibunya? yang diajukan kepada mitra bicara bermakna ’kamu’: ’siapa namamu?’, ’mana
bukumu?’, dan ’siapa ibumu?’ ***** (Prof Amrin Saragih, PhD, MA : Penulis adalah Kepala
Balai Bahasa Medan )

Dengan kata lain, bahasa merupakan sarana pembentukan jati diri seseorang atau suatu
bangsa. Satu bangsa berbeda dengan yang lain karena persepsi bangsa itu terhadap alam dan
sosial semesta berbeda dengan persepsi yang lain dan perbedaan persepsi itu akibat perbedaan
bahasa.

HAKIKAT MAKNA
Semantik sendiri sebagai ilmu turunan dari Linguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang
makna suatu kata. Semantik menitikberatkan pada objek studi yang berkaitan tentang makna.
Banyak teori tentang makna telah dikemukakan orang. Menurut teori yang dikembangkan dari
pandangan Ferdinand de Saussure bahhwa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang
dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Kalau tanda linguistic itu disamakan
identitasnya dengan kata atau leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep
yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem; kalau tanda linguistic itu disamakan dengan
morfeem, maka berarti makna itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap
morfem, baik yang disebut morfem dasar maupun morfem afiks.

Makna itu tidak lain daripada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem. Kita
dapat menentukan makna setelah dalam bentuk kalimat.

Contohnya: Sudah hampir pukul dua belas!

Bila diucapkan oleh seorang ibu asrama putri kepada seorang pemuda maka bermaksud
mengusir, sedangkan jika yang mengatakan adalah seorang karyawan kantor berarti
menunjukkan waktu makan siang.

Makna kata dapat dibangun dalam kaitannya dengan benda atau objek di luar bahasa. Dalam
konsepsi ini, kata berperan sebagai label atau pemberi nama pada benda-benda atau objek-
objek yang berada di alam semesta. Makna kata juga dapat dibentuk oleh konsepsi atau
pembentukan konsepsi yang terjadi dalam pikiran pengguna bahasa. Proses pembentukannya
berkait dengan pengetahuan atau persepsi penggunaan bahasa tersebut terhadap fenomena,
benda atau peristiwa yang terjadi di luar bahasa. Dalam konteks ini, misalnya penggunaan
bahasa akan tidak sama dalam menafsirkan makna kata demokrasi karena persepsi dan
konsepsi mereka berbeda terhadap kata itu. Selain kedua konsepsi itu, makna kata juga dapat
dibentuk oleh kaitan antara stimulus, kata dengan respons yang terjadi dalam suatu peristiwa
ujaran.
Beranjak dari ketiga konsepsi ini maka kajian semantik pada dasarnya sangat bergantung pada
dua kecenderungan. Pertama, makna bahasa dipengaruhi oleh konteks di luar bahasa, benda,
objek dan peristiwa yang ada di alam semesta. Kedua, kajian makna bahasa ditentukan oleh
konteks bahasa, yakni oleh aturan kebahasaan suatu bahasa.Begitu pula dengan pengertian
tentang kalimat, ujaran dan proposisi perlu dipahami dalam kajian antik. Dalam keseharian,
kerap tidak kita bedakan atau kalimat dengan ujaran.

Kalimat sebagaimana kita pahami satuan tata bahasa yang sekurang-kurangnya terdiri dari
subjek dan predikat. Sedangkan ujaran dapat terdiri dari satu kata, frase atau kalimat yang
diujarkan oleh seorang penutur yang ditandai oleh adanya unsur fonologis, yakni kesenyapan.
dalam semantik kedua konsep ini memperlihatkan sosok kajian makna yang berbeda. Makna
ujaran, misalnya lebih banyak dibahas dalam semantik tindak tutur. Peran konteks
pembicaraan dalam mengungkapkan makna ujaran sangat penting. Sementara kajian makna
kalimat lazimnya lebih memusatkan pada konteks tatabahasa dan unsur lain yang dapat
dicakup dalam tata bahasa dalam bahasa Inggris, misalnya unsur waktu dapat digramatikakan
yang terwujud dalam perbedaan bentuk kata kerja.

http://anaksastra.blogspot.com/2009/02/semantik-leksikal.html

Bibliografi

Kamus Linguistik, 1997. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Abdullah Hassan, 1989. Linguistik Am untuk guru Bahasa Malaysia. Petaling Jaya: Fajar
Bakti

http://anaksastra.blogspot.com/2009/02/semantik-leksikal.html

http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2157:bahasa-
dalam-pengembangan-jati-diri-bangsa-i&catid=59:opini&Itemid=215

You might also like