Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyakit infeksius yang mematikan dengan jumlah
penderita mencapai jutaan orang di seluruh dunia. Tujuan obyektif pengelolaan TB adalah
(1)
pengobatan, menghentikan transmisi bakteri dan mencegah munculnya resistensi obat.
Walaupun menjadi masalah epidemi global, TB secara umum menimpa populasi di negara-
negara miskin, 98% penyebab kematian karena TB. Diperkirakan 2 milyar jiwa penduduk
dunia mendapat infeksi laten Mycobacterium tuberculosis (MTB). Pada tahun 2005, tercatat
8,9 juta kasus baru TB, dan 1,8 juta jiwa meninggal karena TB. (2) Tujuh puluh ribu penderita
MDR-TB diprediksi di benua Eropa dan yang tertinggi tersebar di bekas wilayah Uni Soviet,
termasuk Baltik, Kazakhstan, Uzbekistan dan Rusia. Tetapi WHO memperkira-kan 60%
(1,3)
jumlah penderita MDR-TB adalah di Cina, India dan Rusia. Sedangkan Eropa Tengah,
Barat dan Afrika jumlahnya lebih rendah, kecuali di Afrika Selatan. (1)
Walaupun beberapa daerah di dunia berhasil menurunkan angka DRTB, bukti statistik
yang terakumulasi dalam beberapa tahun terakhir menemukan kecenderungan peningkatan.
Pada tahun 2000 diprediksi kasus DRTB sebanyak 273 kasus sedangkan WHO pada tahun
2007 memperkirakan prevalensi global MDR-TB adalah 425.000 kasus pertahun, dan hanya
4,3% semua kasus yang sudah dikelola. Munculnya laporan ada peningkatan kasus XDR-TB
(extensively drug resistant tuberculosis) pada penderita HIV di provinsi KwaZulu-Natal
Afrika Selatan membuat makin besarnya perhatian terhadap penanggulangan DRTB. (4)
Perubahan pola masalah kesehatan global telah terjadi selama 2 dekade, terutama
penyebaran HIV dan drug-resistant TB (DRTB). Sepertiga dari 40 juta jiwa yang terinfeksi
dengan human immunodeficiency virus (HIV) mendapat ko-infeksi TB menyebabkan
mortalitas yang signifikan. Peningkatan DRTB telah menjadi salah satu masalah penting
dalam pengendalian tuberkulosis global. (1,2)
Pemerintah Norwegia telah melaksanakan pemetaan pola resistensi TB dan uji
kepekaan obat (obatsusceptibility test atau DST) di negara tersebut sejak tahun 2002 dan
hasilnya dilaporkan setiap tahun. Hasil pemantauan ini dapat mencegah ledakan kasus DRTB
(lampiran). Cara ini tentu membutuhkan biaya yang mahal dan mungkin sulit diterapkan di
negara berkembang. (1)
Perancis adalah negara yang kaya akan sumber daya dengan angka kesakitan TB
rendah; sebagian besar kasus TB menimpa penduduk imigran dan MDR-TB merupakan
kasus yang langka, yaitu pada imigran baru, riwayat terapi OAT sebelumnya dan yang
terinfeksi HIV. Hal ini merupakan petunjuk bahwa jejaring surveilens di Perancis yang ketat
dan panduan bagi penyedia pelayanan penderita TB dengan riwayat episode dan terapi TB.
Dalam konteks isu global epidemiologi TB, pengadaan jejaring pelayanan yang menitikberat
pada manfaat surveilens yang berbasis kultur TB dan uji sensitifitas obat di negara-negara
berkembang dan prevalensi MDR-TB yang tinggi akan menguras biaya, tetapi akan lebih
(4)
mahal jika sistim surveilens resistensi obat terpadu seperti diatas tidak dilakukan. WHO
menyatakan bahwa surveilens merupakan bagian integral dari strategi DOTS. Surveilens
resistensi obat anti-TB sangat penting untuk memberikan informasi beratnya masalah dan
kecenderungan resistensi, untuk pengembangan panduan pengelolaan, dan untuk memantau
efek intervensi.(5,6)
Kultur, isolasi strain M. tuberkulosis dan uji sensitifitas obat merupakan pemeriksaan
yang tidak rutin dilakukan di jejaring sarana kesehatan tingkat pertama, sehingga penderita
memerlukan referal ke tingkat lanjut.
Penyebab DRTB
DRTB disebabkan oleh kesalahan manusia. Populasi M. tuberkulosis yang belum
terpajan OAT sudah mengandung mutant yang resisten. Terapi TB yang tidak tepat seperti
monoterapi (OAT tunggal) menyebabkan kelompok bakteri yang rentan akan mati,
sedangkan kelompok yang tidak rentan akan tetap hidup. Kelompok bakteri yang masih
hidup akan menghasilkan populasi yang resisten terhadap obat yang telah diberikan. (1)
Mekanisme aksi dan gen yang dipengaruhi tiap OAT berbeda (gambar 1). World Health
Organization (WHO) saat ini menggunakan istilah resistensi primer dan didapat untuk kasus
baru dan kasus dengan riwayat terapi OAT. Cara transmisi DRTB sama dengan TB pada
umumnya. (1)
Ada 3 alasan seorang penderita untuk menjalani terapi ulang TB, yaitu kegagalan,
relaps (kambuh) atau tidak memenuhi syarat (default).(5,6) Kegagalan pengobatan
didefinisikan sebagai apusan sputum dan kultur positif yang terjadi setelah penderita
tuberkulosis menjalani terapi yang benar. (1) Kultur positif dapat berarti relaps (kekambuhan)
atau persisten. Sekitar 90%-95% penderita TB paru sensitif akan mengalami konversi kultur
negatif setelah menjalani terapi OAT yang terdiri dari isoniazid dan rifampisin pada bulan
ketiga. Beberapa pakar juga menganggap kegagalan terapi jika kultur sputum tetap positif
sesudah pengobatan selama 4 bulan atau menjadi positif lagi sesudah periode kultur negatif.
Berarti penegakan kegagalan terapi adalah sesudah 4 bulan pengobatan OAT. (1,5,6)
Kebijakan pemerintah, faktor tenaga kesehatan, ketersediaan sumber daya dan
ketaatan penderita mempunyai kontribusi signifikan terhadap kegagalan pengelolaan TB.
(1,5,6,7)
Tabel 3. Mutasi gen yang menyebabkan resistensi pada OAT lini pertama
Obat Gen yang terlibat Mekanisme Aksi
Rifampicin rpoB Inhibisi sintesis asam nukleat
Isoniazid katG, inhA, kasA Inhibisi sintesis asam nukleat dan proses metabolik lainnya
Ethambutol embB Inhibisi sintesis dinding sel
Pyrazinami pncA Mempengaruhi dinding sel
d
Dikutip dari (1)
Bila kegagalan terapi dicurigai, maka seorang dokter harus menegakkan penyebabnya
sebelum mengganti rejimen OAT. Langkah yang perlu dilakukan adalah: (5,6,10)
Mendiskusikan atau verifikasi hasil DST dengan pakar mikrobiologi.
Mengulangi DST obat untuk menentukan apakah telah terjadi resistensi obat selama
terapi. Semua penderita yang mengalami kegagalan terapi harus dianggap sebagai
resistensi obat sampai terbukti lain.
Penderita dikelola dengan cara minum obat sendiri dan DOT.
Penderita yang sedang dikelola dengan pendekatan DOT, diindikasikan pemeriksaan
konsentrasi obat dalam serum terutama jika resistensi terjadi selama pengobatan atau
adanya resiko malabsorpsi.
Definisi
Klasifikasi resistensi tuberkulosis (1):
Monoresistensi : Resistensi terhadap hanya satu obat antituberkulosis
Multi-drug-resistensi (MDR-TB): Resistensi terhadap rifampisin dan isoniazid (kedua
obat paling penting dalam pengelolaan TB) ditambah dengan obat lain.
Poliresistensi: Resistensi terhadap lebih dari satu obat tetapi tanpa MDR
Extensive multi-drug-resistensi (XDRTB): MDR ditambah resistensi terhadap salah satu
fluroquinolon dan sekurangnya satu obat injeksi dari lini kedua (amikasin, kapreomisin
atau kanamisin.
Jenis resistensi (1)
Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang belum diterapi.
Resistensi didapat adalah resistensi pada penderita yang sudah pernah diterapi yang
disebabkan oleh perubahan strain mikroorganisme selama pengobatan atau oleh infeksi
baru oleh mikroorganisme yang sudah resisten.
Penentuan karakter genetik dengan DNA fingerprint dapat membedakan apakah strain bakteri
identik dengan isolat sebelumnya pada penderita yang sama.
Pengobatan dengan implementasi DOTS memiliki angka keberhasilan lebih dari 95%
dan dapat mencegah perkembangan strain tuberkulosis multi drug resistant (MDR TB).
WHO memperluas program DOTS pada tahun 1998 untuk mencakup pengelolaan MDR-TB
yang disebut dengan DOTS-Plus. Implementasi DOTS-Plus membutuhkan kapasitas untuk
melakukan uji kerentanan obat (drug-susceptibility testing atau DST) dan ketersediaan OAT
lini kedua disamping kebutuhan strategi DOTS yang dibahas sebelumnya. DOTS-Plus
memang membutuhkan sumber daya yang lebih mahal dibandingkan DOTS, dan komitmen
pemerintah dibutuhkan lebih besar bila ingin mengimplementasikannya. Keterbatasan
sumber daya untuk implementasi DOTS-Plus akan menyebabkan ketimpangan dari
keseluruhan program DOTS yang telah berjalan dan menurunkan standar perawatan program
TB. (5,6)
Surveilens bulanan sampai konversi kultur negatif direkomendasikan dalam strategi
DOTS-Plus. Jika kultur tetap positif atau gejala TB tidak menyembuh sesudah 3 bulan
pengelolaan, maka penderita perlu dire-evaluasi untuk kemungkinan terjadinya TB resisten
atau ketidak- patuhan penderita dalam pengobatan. Jika kultur tidak mengalami konversi
sesudah terapi 3 bulan, dokter dapat mempertimbangkan rujukan ke rumahsakit untuk
memastikan pemantauan terapi yang ketat.(5,6)
Kelompok obat antituberkulosis
Obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama
OAT lini pertama adalah agen kemoterapi tuberkulosis dengan khasiat (efikasi)
tertinggi dengan toksisitas rendah untuk mencapai angka kesembuhan tertinggi.
Keterjangkauan (biaya dan kontinuitas suplai) juga menjadi parameter kategori OAT lini
pertama. Obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama yang termasuk dalam daftar rekomendasi
WHO adalah: (5,6)
Rifampisin (RIF)
Isoniazid (INH)
Ethambutol (EMB )
Pirazinamid (PZA)
Streptomisin (SM)
Monoresistensi ethambutol (EMB atau E), pirazinamid (PZA atau Z), atau streptomisin (SM
atau S)
Resistensi tunggal terhadap E, Z, atau S akan berpengaruh sedikit terhadap efikasi
rejimen pengganti dan penghentian E atau S tidak akan menurunkan atau menurunkan khasiat
(efikasi) dan memperpanjang durasi pengobatan. Tidak digunakannya Z setidaknya
memerlukan perpanjangan durasi terapi dengan INH dan rifampisin sampai 3 bulan, jadi
durasi total menjadi 9 bulan. Sebagian besar monoresistensi PZA adalah karena
ditemukannya M. bovis pada isolat.
Dosis rekomendasi
Harian 3 kali seminggu
OBAT
Dosis dan rentang Maksimum Dosis dan rentang Maksimum harian
(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) (mg)
Isoniazid 5 (4–6) 300 10 (8–12) 900
Rifampisin 10 (8–12) 600 10 (8–12) 600
Pirazinamid 25 (20–30) – 35 (30–40) –
Ethambutol 15 (15–20) – 30 (25–35) –
Streptomisina 15 (12–18) 15 (12–18) 1000
a
(1) Penderita berusia lebih dari 60 tahun mungkin tidak mentoleransi dosis lebih dari 500–750 mg/hari,
beberapa panduan merekomendasi pengurangan dosis sampai 10 mg/kg/hari. (2) Penderita dengan berat badan
kurang dari 50 kg mungkin tidak mentoleransi dosis lebih dari 500–750 mg/hari.
Ketaatan pasien dapat dievaluasi secara obyektif dengan uji analisis urin untuk kadar
isoniazid dan rifampisin. Interpretasi analisis urin berdasarkan fakta bahwa waktu paruh
isoniazid lebih panjang dibandingkan rifampisin:
Urin positif untuk isoniazid dan rifampisin à kemungkinan penderita patuh.
Urin positif untuk isoniazid saja à penderita minum obat terakhir , beberapa hari sebelum
datang ke klinik, tetapi obat belum diminum pada hari itu.
Urin positif untuk rifampisin saja à penderita tidak minum obat dalam beberapa terakhir,
tetapi baru diminum sebelum datang ke klinik.
Urin negatif untuk isoniazid dan rifampisin à penderita belum minum obat selama
beberapa hari.
Kesimpulan
1. Semua penderita dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan kembali untuk
pengobatan kembali harus dicurigai sebagai kasus TB resistensi obat.
2. Resistensi obat anti TB dapat terjadi secara primer dan didapat.
3. Pemilihan rejimen terapi pada penderita TB resisten akan dipengaruhi oleh hasil DST in
vitro, OAT yang sudah diberikan sebelumnya dan biaya.
4. Penderita yang dicurigai telah resisten harus mendapatkan terapi jika didapatkan gejala
penyakit TB yang berat tetapi hasil DST belum diperoleh.
5. Data surveilens pola resistensi di suatu daerah turut mempengaruhi kebijaksanaan
rejimen standar empirik sebelum hasil DST diperoleh.
6. Perencanaan rejimen pengobatan pada DRTB harus berdasarkan hasil kultur dan pola
DST.
7. Intoleransi terhadap satu OAT tidak selalu berarti intoleransi dengan obat lainnya.
8. Obat anti tuberkulosis oral atau intravena lini kedua mungkin diperlukan berdasarkan
pola resistensinya.
9. OAT lini ketiga tidak diperlukan pada pengobatan TB monoresistensi dan poliresistensi.
Daftar Kepustakaan
1. Winje BA, Mannsåker T, Langeland N, Heldal E. Drug resistance in tuberculosis, The
Journal of the Norwegian Medical Association, 2008; 128: 2588–92.
2. Green E, Obi C.L, Nchabeleng M, de Villiers B.E, Sein P.P, Letsoalo T, Hoosen A.A,
Bessong P.O, Ndip R.N. Drug-susceptibility Patterns of Mycobacterium tuberculosis in
Mpumalanga Province, South Africa: Possible Guiding Design of Retreatment Regimen, J.
Health Popul Nutr; 28(1):7-13, 2010, New Delhi.
3. Bai GH, Park YK, Choi YW. Trend of anti-tuberculosis drug-resistance in Korea, 1994–
2004. Int J Tuberc Lung Dis 2007; 11: 571–5
4. Schluger NW. Tuberculosis drug resistance in Europe: sunny days, but clouds on the
horizon?, Eur Respir J 2007; 30: 825–827
5. World Health Organization. in Treatment of Tuberculosis : Guide For National
Programmes, 3rd ed. WHO Press, 2003, Switzerland,
6. World Health Organization. Standard treatment regimens, in Treatment of tuberculosis:
guidelines, 4th ed. WHO Press, 2010, Switzerland, p. 29-52
7. The Government of Nepal Ministry of Health and Population. Drug Resistant Tuber-
culosis Management Guidelines and Manual, 2nd revision, June 2010.
8. Gagneux S. Evolutionary forces in Mycobacterium tuberculosis. European Society of
Mycobacteriology 30th Annual Congress, 2009, p. S.21-26
9. Drobniewski F, Balabanova Y, Nikolayevsky V, Ruddy M, Kuznetzov S, Zakharova S,
Melentyev A, Fedorin I. Drug-Resistant Tuberculosis, Clinical Virulence, and the
Dominance of the Beijing Strain Family in Russia, JAMA. 2005;293:2726-2731
10. Curry FJ. Drug-resistant tuberculosis: A survival guide for clinicians. National
Tuberculosis Center and California Department of Health Services, San Francisco: 2004;
p. 32-4
11. Vernon A, Burman W, Benator D, Khan A, Bozeman L. Acquired rifamycin
monoresistance in patients with HIV-related tuberculosis treated with once-weekly
rifapentine and isoniazid, The Lancet. Vol 353. May 29, 1999, p. 1843- 47
12. Cattamanchi A, Dantes RB, Metcalfe JZ, Jarlsberg LJ, Grinsdale J, Kawamura LM,
Osmond D, Hopewell PC, Nahid P. Clinical Characteristics and Treatment Outcomes of
Isoniazid Mono-Resistant Tuberculosis, Clin Infect Dis. 2009 January 15; 48(2): 179–185
13. Kimerling M E, Slavuckij A, Chavers S, Peremtin G G, Tonkel T, Sirotkina O,
Golubchikova V, Baddeley A. The risk of MDR-TB and polyresistant tuberculosis among
the civilian population of Tomsk city, Siberia, Int J Tuberc Lung Dis. 1999, 7(9):866–72
14. Standard for Treatment, in International Standards for Tuberculosis Care: Diagnosis,
Treatment and Public Health, USAID, California, 2006. p. 29-43.
15.
Tabel 3. Hasil DST M. tuberculosis di Norwegia tahun 2002–2006
Tahun pelaporan
Resistensi Obat
2002 2003 2004 2005 2006
Isoniazid (H) 3 8 10 9 7
Rifampisin (R) 2 1
Monoresistensi
Ethambutol (E) 2 2 1
Streptomisin (S) 8 21 19 20 14
Jumlah total mono resistensi 13 31 30 31 22
H+R 3 1 2
H+R+E 1 2
Multiresistensi
H+R+S 2 3 1
H+R+E+S 1 2 2
Jumlah total multi- resistensi 7 3 4 3* 3
H+S 8 10 4 7 15
Poli-resistensi H+E 1 1
H+E+S 4 2 1 1
Jumlah total poli-resistensi 12 12 5 8 17
Jumlah pasien yang dilakukan DST 192 273 246 214 225
Jumlah (%) pasien yang dilaporkan resistensi 32 (17) 46 (17) 39 (16) 42 (20) 42 (19)
¼ pasien dengan multi-resistensi yang dilaporkan tahun 2005, satu pasien didiagnosis dan memulai terapi diluar
Norwegia
*tidak dikultur di Norwegia
Dikutip dari (1)