You are on page 1of 14

Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma

YPA-Handayani 04 November 2010

”KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL


TENTANG KECAKAPAN HIDUP DAN IMPLIKASINYA PADA
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”
Oleh: Dr. H. Moh. Alifuddin

Penghadir yang mulia,


Izinkan saya memulai orasi ilmiah ini dengan memaparkan sedikit
background tentang Yayasan Pendidikan Alifuddin Handayani, disingkat YPA-
Handayani. YPA-Handayani merupakan penyelenggara pendidikan nonformal
yang berbasis di Indonesia Timur. Yayasan ini menyelenggarakan beberapa
rumpun jenis kursus atau pelatihan. Didirikan sejak tahun 1982 atau 28 tahun
silam dan hingga kini terus berkembang dan tersebar di beberapa provinsi dan
kabupaten/kota antara lain: Makassar, Bulukumba, Sinjai, Bone, Palopo, Wajo,
Pare-pare, Mamuju, Majene, Kendari, Kolaka Utara, Kolaka, Konawe, Konawe
Selatan, Bombana, Raha, Bau-Bau dan Buton. Perkembangan tersebut tidak
terlepas dari strategi manajemen yang diterapkan yang sifatnya unik, antara
lain tampak dari orientasi penyelenggaraan, pola rekrutmen peserta,
pelaksanaan proses belajar-mengajar, pembiayaan pelatihan, keluaran
(output), penyaluran para alumni, pemberian modal kerja kepada para alumni,
sampai pada pembinaan pengembangan alumninya. Dalam hal orientasi
penyelenggaraan, YPA peduli (concern) pada kebutuhan aktual calon
konsumen yang didasarkan pada kebutuhan daerah setempat. Untuk di daerah
perkotaan misalnya, YPA memberikan kursus-kursus yang sesuai kebutuhan
masyarakat kota seperti kursus Bahasa Jepang, kursus Bahasa Inggris, kursus
komputer dan lain-lain yang selaras dengan kebutuhan aktual masyarakat kota.
Sedangkan untuk daerah perdesaan, YPA memberikan kursus atau pelatihan
mengemudi, nelayan, pertanian, perkebunan, menjahit, memasak, industri
rumah, kerajinan tradisional, anyaman, penggergajian, pandai besi, montir,
elektronika, dan kursus/pelatihan kerja sesuai kebutuhan masyarakat setempat.
Dengan orientasi penyelenggaraan seperti itu, maka dalam proses pengerahan

1
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

(recruitment) peserta YPA menerapkan pola jemput bola, yakni dengan


mendatangi daerah-daerah yang masyarakatnya membutuhkan kursus atau
pelatihan.
Pelaksanaan proses belajar-mengajar bukan hanya dilakukan secara
klasikal di kelas, tetapi juga di lapangan. Kursus-kursus bahasa, akuntansi dan
komputer misalnya diselenggarakan di kelas, sedangkan pelatihan mengemudi,
nelayan, pertanian, perkebunan, kerajinan, anyaman atau penggergajian
dilaksanakan di lapangan (sawah, pegunungan, pinggir pantai, teras rumah
warga masyarakat atau di bawah pepohonan). Pola pelaksanaan seperti ini
dilakukan dalam rangka menciptakan para alumni yang betul-betul memiliki
kecakapan hidup (life skill), dalam arti siap kerja atau siap berwirausaha.
Penyelenggaraan pendidikan nonformal yang dilakukan YPA
mencerminkan suatu strategi manajemen pendidikan berbasis konteks
(context). Konteks dalam artian ini sekurang-kurangnya mengacu pada
kebutuhan masyarakat lokal (setempat) dan pola penyelenggaraan kursus atau
pelatihan yang dilakukan di kelas dan di lapangan, yang ditopang oleh pola
rekrutmen, proses belajar-mengajar, pembiayaan pelatihan, penyaluran kerja,
pemberian modal kerja dan pembinaan pengembangan alumni yang seluruhnya
didedikasikan untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang berbasis
konteks tersebut.
Fenomena penyelenggaraan pendidikan nonformal pada YPA yang
menggunakan strategi manajemen pendidikan berbasis konteks ini cukup unik
(dibandingkan dengan penyelenggaraan pendidikan nonformal pada lembaga-
lembaga pendidikan lain) sehingga layak atau memenuhi unsur keunikan suatu
penelitian ilmiah, khususnya penelitian kebijakan (policy research). YPA dalam
menyelenggarakan kursus dan pelatihan juga mengacu pada kebijakan
pendidikan nonformal yang berlaku di Indonesia, namun dalam
penyelenggaraannya tidak seluruhnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
penyelenggaraan pendidikan nonformal, baik yang terkait dengan orientasi
penyelenggaraan, pola rekrutmen peserta, proses belajar-mengajar, keluaran
(output), penyaluran para alumni, pembiayaan, pemberian modal kerja maupun
pembinaan pengembangan alumni. Dalam beberapa aspek ini, YPA memiliki

2
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

kebijakan yang unik dan dari keunikannya tersebut YPA tumbuh dengan pesat.
Hingga kini telah meluluskan alumni sebanyak ± 850.000 (delapan ratus lima
puluh ribu) orang dan hampir semua telah bekerja di berbagai instansi
pemerintah, swasta, dalam dan luar negeri.
Fenomena tersebut sekurang-kurangnya mengundang tiga pertanyaan:
(1) Bagaimana kebijakan pendidikan nonformal dalam menanggapi kebutuhan
kecakapan hidup perserta didik? (2) Bagaimana kebijakan pendidikan
nonformal yang diterapkan YPA dalam meningkatkan kecakapan hidup para
alumninya? (3) Bagaimana implikasi kecakapan hidup sebagai keluaran
(output) pelaksanaan kebijakan pendidikan nonformal oleh YPA pada
kesejahteraan para alumninya?

Bapak/ibu/sdr/sdr(i) yang saya muliakan,


Untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut, kiranya perlu sedikit dibahas
mengenai teori yang relevan sebagai pijakan ilmiah, yakni mengenai kebijakan,
kecakapan hidup, dan kesejahteraan.
Mengenai kebijakan, Mintzberg (dalam Scott dan Davis, 2007: 319)
menjelaskan bahwa kebijakan merujuk pada: (a) rencana – cara bertindak yang
sengaja ditetapkan; (b) permainan – manuver yang dimaksudkan untuk
menyesatkan orang lain; (c) pola – kumpulan tindakan yang konsisten, apakah
bertujuan atau tidak; (d) posisi – lokasi atau wadah yang menunjuk bidang
tindakan; dan (e) perspektif – cara memandang dunia. Sedangkan bagi
Schermerhorn, Hunt dan Osborn (2005: 390), kebijakan merupakan pedoman
bertindak yang menguraikan sasaran penting dan secara luas menunjukkan
bagaimana aktivitas dapat dikerjakan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan
merefleksikan pedoman bertindak yang menguraikan sasaran penting dan
secara luas menunjukkan bagaimana aktivitas dapat dikerjakan serta
menunjukkan standar tingkah laku yang mengakibatkan orang-orang
mengambil tindakan dengan cara tertentu.
Kebijakan tidak akan ada gunanya tanpa dilaksanakan. Pelaksanaan
kebijakan merupakan sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting
daripada sekedar pembuatan kebijakan. Implementasi kebijakan bukan sekedar

3
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran berbagai keputusan politik ke


dalam mekanisme prosedur secara rutin lewat saluran-saluran birokrasi,
melainkan juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang
memperoleh apa dari suatu kebijakan. Van Meter dan Van Horn (dalam
Nakamura and Smallwood, 1980: 112) menjelaskan bahwa implementasi
kebijakan merupakan “tindakan oleh publik dan individu (atau kelompok) yang
ditujukan untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan
sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan merupakan
hal yang sangat penting dan vital.
Implementasi kebijakan minimal terkait dengan tiga hal. Pertama,
adanya tujuan atau sasaran kebijakan. Kedua, adanya aktivitas atau kegiatan
pencapaian tujuan. Ketiga, adanya hasil kegiatan. Ini berarti bahwa
implementasi kebijakan merupakan suatu proses dinamis, di mana pelaksana
kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya
mendapatkan suatu hasil sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan.
Untuk melihat kebehasilan implementasi kebijakan diperlukan suatu
evaluasi, semacam penaksiran, pemberian angka atau penilaian
, kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam
arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan
produksi informasi mengenai nilai atau kebijakan manfaat hasil kebijakan. Oleh
karena itu evaluasi kebijakan dimaksudkan untuk mengetahui empat aspek,
yaitu: proses pembuatan kebijakan, proses implementasi, konsekuensi
kebijakan, dan efektivitas dampak kebijakan (Dunn, 1997: 608).
Evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari
metode-metode analisis kebijakan lainnya, yaitu: fokus pada nilai,
interdependensi fakta nilai, orientasi masa kini dan masa lampau, dan dualitas
nilai (dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara) (Dunn, 1997: 608-609).
Menurut Dunn (1997: 429-430), paling tidak terdapat enam tipe kriteria evaluasi
kebijakan, yaitu: efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan, responsivitas, dan
ketepatan.
Untuk evaluasi kebijakan diperlukan riset kebijakan, yang menurut
Majchrzak (1984: 13) disebut sebagai proses penyelenggaraan penelitian untuk

4
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

mendukung kebijakan atau analisis terhadap masalah-masalah sosial yang


bersifat fundamental, dilakukan secara teratur untuk membantu pengambil
kebijakan memecahkan masalah dengan jalan menyediakan rekomendasi yang
berorientasi pada tindakan atau tingkah laku pragmatik. Menurut Majchrzak
(1984: 18-20), riset kebijakan memiliki lima karakteristik, yakni: fokus pada
multidimensional, menggunakan pendekatan induktif empiric, fokus pada
variabel-variabel yang lunak, tanggap terhadap pengguna studi, dan secara
eksplisit menyertakan nilai-nilai. Riset kebijakan dilakukan berdasarkan
tahapan-tahapan tertentu.
Ikhwal kecakapan hidup, Brolin mengatakan bahwa kecakapan hidup
(life skills) merupakan kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan
oleh seseorang agar berfungsi secara independen dalam kehidupannya.
Sedangkan United States Labor Office menyatakan bahwa life skills adalah
kecakapan sehari-hari yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam
kehidupannya. Kemudian Tim Broad-Based Education (Depdiknas, 2002)
mendefinisikan kecakapan hidup sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang
untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar
tanpa merasa tertekan, proaktif, kreatif mencari solusi untuk mengatasinya
(Subijanto, 2007: 365).
Pada hakikatnya kecakapan hidup adalah kemampuan, keterampilan
dan kesanggupan yang diperlukan seseorang dalam menghadapi dan
menjalankan kehidupan nyata (Subijanto, 2007: 365).
Kecakapan hidup dapat dikelompokkan dalam lima aspek, yaitu (1)
kecakapan mengenal diri atau kemampuan pribadi, (2) kecakapan sosial atau
kecakapan antarpribadi, (3) kecakapan berpikir rasional, (4) kecakapan
akademik, dan (5) kecakapan vokasional, yang dilakukan pada jalur pendidikan
sekolah dan luar sekolah dengan penekanan yang berbeda pada setiap
jenjangnya (Analisa Situasi dan Kondisi Pendidikan Untuk Semua Tahun 2005:
59).
Untuk membangun kecakapan hidup dengan spesifikasi seperti itu
diperlukan usaha ekstra melalui jalur pendidikan. Dalam konteks ini, program
pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal

5
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

keterampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja,


peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat.
Kecakapan hidup ini memiliki cakupan yang luas, berinteraksi antara
pengetahuan yang diyakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri
(Anwar, 2005: 20).
Kecakapan hidup dalam lingkup pendidikan nonformal ditujukan pada
penguasaan keterampilan kejuruan, yang intinya terletak pada penguasaan
khusus untuk keterampilan tertentu. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat
dikatakan bahwa kecakapan hidup dalam konteks kepemilikan keterampilan
khusus, sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti bahwa program
kecakapan hidup dalam pemaknaan program pendidikan nonformal diharapkan
dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri mencari
nafkah dalam konteks peluang yang ada di lingkungannya (Anwar, 2005: 21).
Departemen Pendidikan Nasional membagi kecakapan hidup menjadi
empat jenis, yaitu: (1) kecakapan pribadi (personal skills) yang mencakup
kecakapan mengenal diri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional
(social skills); (2) kecakapan sosial (social skills); (3) kecakapan akademik
(academic skills); dan (4) kecakapan vokasional (vocational skills) (Anwar,
2005: 28).
Pendidikan life skills memberikan manfaat secara pribadi bagi peserta
didik dan manfaat sosial bagi masyarakat. Bagi peserta didik, pendidikan
kecakapan hidup dapat meningkatkan kualitas berpikir, kualitas kalbu, dan
kualitas fisik. Peningkatan kualitas tersebut pada akhirnya akan dapat
meningkatkan pilihan-pilihan dalam kehidupan individu, misalnya karir,
penghasilan, pengaruh, prestise, kesehatan jasmani dan rohani, peluang,
pengembangan diri, kemampuan kompetitif, dan kesejahteraan pribadi. Bagi
masyarakat, pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kehidupan yang
maju dan mandiri, peningkatan kesehatan sosial, pengurangan perilaku
destruktif sehingga dapat mereduksi masalah-masalah sosial, dan
pengembangan masyarakat yang secara harmonis mampu memadukan nilai-
nilai agama, teori, solidaritas ekonomi, kuasa dan seni (cita rasa) (Subijanto,
2007: 368).

6
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

Tentang kesejahteraan, Spicker et al mengatakan kesejahteraan antara


lain mengandung makna sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini
menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai sebuah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Midgley et al (dalam
Hamzah, 2007: 172) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a
condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala
kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta
manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang
mengancam kehidupannya.
Ini berarti bahwa kesejahteraan adalah kondisi kehidupan manusia yang
aman dan bahagia karena terpenuhinya kebutuhan material dan non-material
yang meliputi: gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, pendapatan dan
memperoleh perlindungan dari risiko dan ancaman.
Di Indonesia, pendidikan nonformal dan kecakapan dihidup di atur
dalam paket peraturan perundang-undangan. Menurut UU Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan nonformal
adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang. Menurut pasal 26 ayat (3), pendidikan
nonformal antara lain meliputi pendidikan kecakapan hidup.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan
Luar Sekolah antara lain disebutkan lembaga kursus untuk memperoleh
keterampilan bekerja. Ini merupakan pendidikan kecakakan hidup.
Menurut Permendiknas Nomor 49 tahun 2007 tentang Standar
Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Nonformal, tujuan satuan
pendidikan nonformal meliputi: (1) Menggambarkan pencapaian tingkat mutu
yang seharusnya dicapai dalam program pembelajaran; (2) Mengacu pada visi,
misi dan tujuan pendidikan nasional serta relevan dengan kebutuhan
pemberdayaan masyarakat; (3) Diputuskan oleh pengelola dan/atau
penyelenggara pendidikan nonformal dengan memperhatikan masukan dari
berbagai pihak; dan (4) Disosialisasikan kepada segenap pihak yang
berkepentingan.

7
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

Dalam Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nonformal


disebutkan bahwa kelembagaan kursus dan kursus para-profesi yang
berorientasi pada peningkatan kecakapan hidup (PKH) yang bermutu dan
relevan dengan kebutuhan masyarakat serta pelayanan yang semakin meluas,
adil dan merata, khususnya bagi penduduk miskin dan penganggur terdidik,
dapat bekerja dan/atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional
(Suryadi, 2007: 9). Sejalan dengan hal itu, maka pembangunan pendidikan
non-formal antara lain bertujuan agar: terwujud kelembagaan kursus dan
pelaksanaan kursus para profesi yang bermutu dan berorientasi kecakapan
hidup (PKH), khususnya bagi penduduk penganggur usia produktif untuk dapat
bekerja dan atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional (Suryadi,
2007: 9-15). Dalam kebijakan ini ditegaskan bahwa penyelenggaraan kursus
diorientasikan pada upaya peningkatan kecakapan hidup yang bermutu dan
relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kemudian dalam Renstra Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah
2005-2009 antara lain dinyatakan program kursus dan pendidikan kecakapan
hidup (Suryadi, 2007: 15).

Hadirin yang saya muliakan,


Metode yang digunakan dalam penelitian yang diorasikan ini adalah
evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan antara lain bertujuan untuk mengetahui
implementasi sebuah kebijakan sehingga dapat diperoleh informasi apakah
pelaksanaannya telah sesuai yang diharapkan. Dalam penelitian ini, evaluasi
kebijakan dimaksudkan untuk mengetahui implementasi dan dampak atas
kebijakan pendidikan nonformal pada YPA di Sulawesi Selatan dalam rangka
meningkatkan kecakapan hidup dan implikasinya pada kesejahteraan
masyarakat.

Penghadir yang mulia,


Ada temuan penting yang perlu dikemukakan dalam kesempatan ini.
Pertama, pendidikan nonformal sudah memiliki payung hukum yang cukup

8
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

kuat. Setidaknya ada tiga landasan hukum yang mengatur tentang pendidikan
nonformal, yakni PP Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah,
UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 khususnya pada Pasal 26 ayat (1) sampai
dengan ayat (6), dan Permendiknas No. 49 tahun 2007 tentang Standar
Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Nonformal. Selain itu, juga
disinggung dalam rencana strategik yang dikembangkan oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Luar Sekolah 2005-2009 yang antara lain menyatakan
bahwa program kursus dan pendidikan kecakapan hidup.
Namun, apabila dicermati dalam setiap peraturan tersebut, tidak
ditemukan adanya penjelasan rinci yang mengatur secara khusus tentang
pendidikan kecakapan hidup. Hal itu dapat terjadi karena dalam pendidikan
kecakapan hidup sangat bervariasi, sehingga dalam prakteknya diserahkan
kepada lembaga penyelenggara. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan
hidup juga terus berkembang, sehingga jika diatur secara ketat justru
mematikan kreativitas penyelenggara pendidikan nonformal. Dalam hal ini
tugas pemerintah hanyalah mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan
pendidikan nonformal oleh lembaga-lembaga penyelenggara.
Secara eksplisit pendidikan kecakapan hidup disinggung dalam undang-
undang, namun tidak diuraikan secara jelas. Hal ini menyebabkan dalam
implementasinya kurang mendapatkan perhatian, sehingga hasilnya kurang
sesuai dengan harapan. Kondisi ini menyiratkan suatu fakta empirik bahwa
pendidikan kecakapan hidup yang diatur dalam peraturan terkait belum
sepenuhnya dapat mengantisipasi kebutuhan kecakapan hidup yang
berkembang di masyarakat. Selain dari faktor muatan yang kurang, dari segi
implementasinya juga belum maksimal.
Kedua, secara umum kebijakan yang dikembangkan YPA berusaha
memberikan bekal bagi setiap peserta didik dengan keterampilan nyata yang
dibutuhkan di masyarakat. Hal tersebut terlihat dalam tujuan yang diwujudkan
YPA, yakni: (1) kursus plus, yaitu memberikan bekal pengetahuan
kewirausahaan selain materi inti, (2) program profesi 1 tahun, program ini
disebut 3 in 1, karena selain materi inti (aplikasi komputer, teknologi komputer,
otomotif, teknologi HP, dll) dibekali juga dengan pengetahuan kewirausahaan

9
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

dan bahasa Inggris, dan (3) program profesi 6 bulan, program ini ditujukan bagi
orang yang sibuk bekerja atau yang ingin cepat bekerja sehingga konsentrasi
program ini adalah pada materi inti dan kewirausahaan.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, YPA berusaha membekali
peserta didik di tengah-tengah masyarakat dengan kebutuhan keterampilan dan
kecakapan hidup aktual sehingga dapat bermanfaat dalam rangka meraih
kesuksesan dan kesejahteraan hidup. Untuk itu YPA mengembangkan
berbagai keterampilan khusus, seperti: menjahit, kursus komputer, kursus
teknisi, kursus otomotif, kursus bahasa, dan keterampilan-keterampilan khusus
lainnya. Namun, dalam implementasinya, ternyata masih terkendala
sejumlah faktor seperti masalah budaya lokal yang melekat di masyarakat,
seperti orientasi untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
YPA menggunakan prinsip pemberian otonomi secara luas kepada pihak
pengelola, khususnya para Direktur YPA seluruh Indonesia, dalam mengelola
pendidikannya. Hal itu bertujuan untuk mendorong kreativitas para pengelola,
sehingga diharapkan dapat menyukseskan pencapaian visi dan misi YPA.
Secara operasional hal itu dilakukan dengan cara menyiapkan sarana dan
prasarana, menyiapkan tenaga instruktur, menjalankan pelatihan secara disiplin
dan berusaha menyalurkan alumni dalam dunia kerja. Satu kendala yang masih
dihadapi adalah pandangan hidup masyarakat lokal, yaitu orientasi yang sangat
besar untuk menjadi PNS, sehingga dorongan itu mengurangi minat dan
keseriusan untuk memanfaatkan pendidikan nonformal.
Ketiga, program kecakapan hidup yang dikembangkan YPA berhasil
meningkatkan kesejaheraan hidup alumni. Kesejahteraan tersebut dapat
diperoleh karena alumni mudah mendapatkan pekerjaan ketika selesai
mengikuti pelatihan keterampilan di YPA. Hal itu masuk akal karena
berdasarkan data yang dimiliki oleh pihak yayasan, tingkat keterserapan lulusan
mencapai 95%. Lulusan ada yang bekerja di swasta, menjadi PNS, dan juga
wiraswasta. Sebagian besar (±60%) peserta didik yang masuk YPA belum
bekerja, sehingga belum memiliki bekal ketarampilan. Sementara sisanya
(±40%) sudah bekerja dan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan yang
sudah dimiliki dan juga ingin mendapatkan keterampilan baru.

10
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

Bapak/ibu/sdr/sdr(i) yang saya banggakan,


Dengan temuan tersebut, maka kesimpulannya adalah: Pertama,
kebijakan pendidikan nonformal dalam menanggapi kebutuhan kecakapan
hidup perserta didik telah diantisipasi dengan terbitnya beberapa produk
peraturan hukum menyangkut pendidikan nonformal, yaitu: Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan
Pemerintah Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 49 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Nonformal, dan Rencana Strategik
Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah 2005-2009. Secara eksplisit
pendidikan kecakapan hidup disinggung dalam peraturan perundang-undangan
tersebut, namun dalam implementasinya belum sesuai dengan harapan. Dalam
prakteknya banyak lembaga pelatihan yang hanya bertanggung jawab sampai
keluaran (output), tanpa mau berusaha menyalurkan atau mempekerjakan
peserta didik setelah lulus.
Kedua, YPA telah mengimplementasikan dengan baik peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan pendidikan nonformal
terutama menyangkut pendidikan kecakapan hidup. Hal itu salah satunya
diwujudkan dalam bentuk kebijakan umum YPA yaitu berusaha membekali
peserta didik dengan kebutuhan keterampilan dan kecakapan hidup aktual
sehingga bermanfaat dalam meraih kesuksesan dan kesejahteraan hidup.
Kurikulum yang dikembangkan mengacu pada kurikulum standar nasional
dengan menambahkan muatan lokal. Konsep pendidikan nonformal yang
dikembangkan YPA sudah sejalan dengan peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan pendidikan nonformal, khususnya Undang-undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ketiga, program kecakapan hidup yang dikembangkan oleh YPA telah
berhasil meningkatkan kesejaheraan hidup alumni. Kesejahteraan tersebut
dapat diperoleh karena alumni mudah mendapatkan pekerjaan ketika selesai
mengikuti pelatihan keterampilan di YPA. Tingkat keterserapan lulusan dalam
dunia kerja mencapai 95% yang terdistribusi dalam berbagai sektor pekerjaan,

11
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

seperti swasta, PNS, dan wiraswasta. Penghasilan yang diperoleh sangat


bervariasi tergantung dari perusahaan atau instansi tempat mereka bekerja
atau usaha yang digeluti. Penghasilan yang diperoleh umumnya tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi juga berhasil memberikan
kontribusi untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan bahkan saudara-
saudaranya. Dengan demikian pendidikan kecakapan hidup yang
dikembangkan YPA mampu memberikan implikasi yang positif terutama bagi
kesejahteraan alumni beserta keluarganya.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka rekomendasi yang relevan
untuk dikemuKakan adalah:
Pertama, menanggapi beberapa pandangan kalangan yang melihat
masih banyaknya lembaga pendidikan nonformal yang hanya memanfaatkan
situasi menguntungkan, bermunculan ketika hanya ada proyek pemerintah,
maka pihak Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan
Nasional perlu bersikap tegas. Bagi lembaga pendidikan nonformal yang
terbukti hanya memanfaatkan keuntungan sepihak, kiranya layak dicabut
izinnya. Selain itu, Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen
Pendidikan Nasional juga perlu melakukan evaluasi pada sejumlah lembaga
penyelenggara pendidikan nonformal. Hal ini khususnya untuk melihat
komitmen setiap lembaga pendidikan nonformal untuk ikut serta menyalurkan
lulusan ke dunia kerja. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan yang
mengharuskan setiap lembaga pendidikan nonformal memberikan laporan
secara periodik tentang tingkat keterserapan lulusan dalam dunia kerja dan
juga yang berhasil menciptakan usaha sendiri atau berwiraswasta. Dengan
cara ini, maka dapat diketahui kinerja dari setiap lembaga pendidikan
nonformal, sehingga jika kinerjanya buruk perlu diberikan teguran, sedangkan
bagi lembaga yang kinerjanya baik perlu diberikan penghargaan.
Kedua, kiranya ditinjau kembali apakah biaya yang dikenakan pada
peserta didik memang tidak terjangkau oleh kalangan bawah. Jika demikian,
berarti YPA telah mereduksi fungsi sosialnya dan lebih berorientasi keuntungan
(profit oriented). Filosofi ini tentu berseberangan dengan status organisasi yang
berbentuk yayasan, yang seharusnya justru banyak membantu kalangan

12
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

kurang mampu. Perlu pula dievaluasi kembali apakah hal itu memang
disebabkan oleh sosialisasi yang tidak menyentuh kalangan bawah, sehingga
kalangan bawah tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang manfaat
lembaga pendidikan nonformal.
Ketiga, YPA membenahi kondisi perpustakaan, sehingga dapat
dioptimalkan oleh peserta didik untuk meningkatkan pengetahuannya.
Pembenahan yang perlu dilakukan yaitu dengan menciptakan ruang
perpustakaan yang nyaman, memperbanyak koleksi, menyediakan pustakawan
yang kompeten dan selalu memperbarui koleksi perpustakaan.
Demikian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga
bermanfaat, terutama sebagai upaya untuk mematut pendidikan nonformal
dalam rangka meningkatkan kecakapan hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Dan khususnya para wisudawan, sekali lagi saya ucapkan selamat, semoga
kecakapan hidup yang telah dimiliki dapat berimplikasi positif untuk
kesejahtraan masyarakat khususnya keluarga, sekian wabillahi taufik wal
hidayah assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu.

Referensi

Analisa Situasi dan Kondisi Pendidikan Untuk Semua Tahun 2002, Sekretariat
Forum Koordinasi Nasional Jakarta .
Anwar. Pendidikan Kecakapan Hidup. Bandung: Alfabeta, 2005.
Dunn, N. William. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan Samodra
Wibawa, dkk. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.
Hamzah, Fahri. Negara BUMN dan Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Yayasan
Faham Indonesia, 2007.
Majchrzak, Ann. Methods for Policy Research. London: Sage Publishing, 1984.
Nakamura, Robert T. & Frank Smallwood. The Politics of Policy Implementation.
New York: Martin Press, 1980.
Schermerhorn, John R. Jr., James G. Hunt & Richard N. Osborn. Organizational
Behavior (Danvers: John Wiley & Sons., Inc., 2005.
Scott, Richard W. & Gerald F. Davis. Organizations and Organizing. New
Jersey: Pearson Education, 2007.
Subijanto, “Program Pendidikan Life Skills Bagi Siswa Sekolah Menengah Atas
di Wilayah Pesisir,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun ke-13,
No. 066, Mei 2007.

13
Orasi Ilmiah Wisuda Program Diploma
YPA-Handayani 04 November 2010

Suryadi, Ace. Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Pendidikan Non Formal


Tahun 2007.

14

You might also like