Professional Documents
Culture Documents
INKLUSIF
(Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati
Semarang)
TESIS
Oleh :
Siti Barokah
NIM. 065112072
PROGRAM MAGISTER
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
2008
DR. H.Abdul Muhaya, MA.
Perum BPI Blok K-17 Ngaliyan Semarang
Telpon, 024 – 7625443
NOTA PEMBIMBING
Pembimbing
2
DEPARTEMEN DEPARTEMEN AGAMA
iiiiiI IAIN WALISONGO
PROGRAM PASCASARJANA
Jln. Raya Ngaliyan (kampus 3) Semarang
50185. Telp./Fax (024) 7614454. E-mail :
Pascaws @ plasa.com Home Page :
www.pascawalisongo.cjb.com
PENGESAHAN
Direktur
3
DEKLARASI
Siti Barokah
NIM. 065112072
4
Abstraksi
5
Kata Pengantar
6
semangat menapaki hidup dengan ilmu, amal dan kebijakan, serta
seluruh perangkat tenaga administrasi yang tidak mampu disebut
namanya satu persatu yang telah membantu terselesainya
penulisan tesis ini;
5. Suamiku, Drs. Pudji Tikno, M.M, Putri-putriku, Puti Widya
Ekasani SE, Osi Isna Sabela dan putra bungsuku Ikhsan Salasa,
yang memberikan dukungan besar berupa dorongan, semangat,
serta mampu menimbulkan persaingan dalam berbuat kebaikan,
yang insya Allah menuju kepada yang diridhoiNya
6. Teman-teman sejawat di Seksi Kurikulum Subdin Pendidikan Luar
Biasa (PLB) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Tengah, yang pada bulan Juli 2008 ini telah bubar dengan
diberlakukannya Susunan Organisasi dan Tenaga Kerja (SOTK)
yang baru dan melebur menjadi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Tengah
7. Dan seluruhnya yang memberikan dukungan, dorongan, semangat
,bimbingan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
semoga semuanya selalu pada kebaikan yang dilandasi dengan
akal dan syariah yang mampu menuntunnya ke jalan bimbingan
Tuhan.
Dan dengan kerendahan hati, dimohon kritik, saran dan
masukan dari semua pihak untuk perkembangan Pendidikan
Inklusif di masa mendatang, sebagai Pendidikan yang berorientasi
pada rasa atau hati sebagai fitrah yang suci untuk menuju sang
Illahi.
Semarang, Juli 2008
Penulis
7
DAFTAR SINGKATAN
8
MOTTO
ﻤﻦﻠﻢﻴﺬﻖﻠﻢﻴﻌﺮﻒ
”Barang siapa yang tidak pernah merasakan, maka
ia tidak akan pernah tahu”
(Sufi)
DAFTAR ISI
9
Halaman Judul ............................................................. i
Halaman Persetujuan ................................................... ii
Halaman Pengesahan ................................................... iii
Pernyataan Keaslian Karya Tulis Tesis ...................... iv
Abstraksi ...................................................................... v
Kata Pengantar ............................................................ vi
Daftar Singkatan .......................................................... viii
Motto ............................................................................ ix
Daftar Isi ...................................................................... x
Daftar Tabel ................................................................ xiii
Daftar Lampiran .......................................................... xiv
I. PENDAHULUAN
10
4. Deontologi .................................................... 31
5. Etika Hak ...................................................... 33
6. Teori-teori Akhlak ........................................ 33
E. Strategi Pembentukan Moralitas ....................... 34
- Mujahadah dan Riyadhah ............................... 35
- Kebijakan atau Jalan Tengah ......................... 36
- Kepatuhan terhadap Agama ........................... 39
- Kekuatan Ilmu ................................................. 42
F. Cakupan Moralitas Peserta Didik
1. Moralitas Peserta Didik .............................. 43
2. Faktor-faktor Pembentuk Moralitas
Peserta Didik ............................................... 46
11
A. Kesimpulan ........................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
12
Tabel 1.1. : Data Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
SD Hj. Isriati Semarang ......................... 6
Tabel 2.1. : Perbedaan Moral, Etika dan Akhlak ....... 24
Tabel 2.2. : Ciri-ciri Pemikir Heteronomous dan
Otonomous ........................................... 45
Tabel 3.1. : Kegiatan Pelayanan Guru Pembimbing
terhadap Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus ................................................ 77
Tabel 4.1. : Deskripsi Subyek Berdasarkan Kelompok
Peserta Didik ...................................... 89
Tabel 4.2. : Skor Subyek pada Nilai Rerata, Minimal
dan Maksimal ..................................... 90
Tabel 4.3. : Skor Subyek pada Nilai Rerata, Minimal
dan Maksimal untuk ABK .................... 90
Tabel 4.4. : Kategori Moralitas Peserta Didik Berke-
butuhan Khusus berdasarkan Rerataan
Teoritik dan Standar Deviasi ............... 91
Tabel 4.5. : Kategori Moralitas Peserta Didik Normal 1
berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar
Deviasi ............................................. 92
Tabel 4.6. : Kategori Moralitas Peserta Didik Normal 2
berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar
Deviasi ............................................. 93
Tabel 4.7. : Rekapitulasi Hasil Penelitian Kategori
Moralitas Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus, Normal 1 dan Normal 2 ......... 94
Tabel 4.8. : Kategori Moralitas Peserta Didik Berke-
s-d butuhan Khusus berdasarkan Rerataan
Teoritik dan Standar Deviasi ............... 95
Tabel 4.16. : Kategori Moralitas Peserta Didik Berke-
butuhan Khusus berdasarkan Rerataan
Teoritik dan Standar Deviasi ............... 104
DAFTAR LAMPIRAN
13
Lampiran 1 : Daftar kuesioner peserta didik
Lampiran 2 : Butir Jawaban Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Lampiran 3 : Butir Jawaban Non Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus (Normal 1)
Lampiran 3 : Butir Jawaban Non Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus (Normal 2)
Lampiran 4 : Rekapitulasi Butir Jawaban Peserta Didik
Lampiran 5 : Lampiran-lampiran Hasil Analiysis SPSS
14
BAB I
PENDAHULUAN
15
pendidikan juga bertujuan untuk menciptakan peserta didik yang
bermoral. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang
berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, cet.Ke III: 2288)
Perilaku baik yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya
tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga
dilaksanakan dengan sukarela. Ia muncul bersamaan dari peralihan
dari kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang
diatur dari dalam, yang disertai tanggung jawab pribadi untuk
tindakan masing-masing (Elizabeth B.Hurlock, 1978: 75).
Bertingkah laku baik, bagi peserta didik, seharusnya terwujud
dalam seluruh pola kehidupan yang berimplikasi pada keluarga, guru,
dan teman. Ciri tersebut harus merupakan trade mark yang menjadi
jati dirinya untuk dijadikan bekal menuju kedewasaan peserta didik.
Secara sosiologis, peserta didik merupakan bagian dari
lingkungan dimana mereka hidup, berbuat dan berkarya dengan apa
yang dimilikinya dan apa yang didapatkannya termasuk nilai baik
buruk yang didapatkan secara turun-temurun..
Kondisi-kondisi yang masih konsisten dan mampu memberikan
kekuatan bagi mereka dan merupakan warisan dari nenek moyang
yang tidak pernah luntur oleh perkembangan kehidupan bangsa yang
menggeser nilai-nilai kehidupan bangsa ini ialah prinsip rukun1 dan
prinsip hormat 2. Warisan tersebut merupakan warisan budaya yang
luhur, sebagaimana tertuang dalam peribahasa “Rukun agawe santoso,
crah agawe bubrah”. Yang artinya pertikaian membuat perceraian,
rukun membangun kekuatan (Purwadi, Djoko Dwiyanto, 2006: 257).
1
Rukun adalah kesatuan perasaan antar individu dalam melaksanakan sebuah
visi bersama dengan menyingkirkan segala jenis pertengkaran dan pertentangan
(Purwadi, 2006:257)
2
Berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur
secara hirarkis, bahwa keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan
oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri
sesuai dengannya (H. Geertz dalam Franz Magnis-Suseno, 2001:60).
16
Sikap saling menghargai, saling menghormati, saling
mengasihi, saling berempati, saling tolong menolong dan saling
bekerja sama, seharusnya dipertahankan atau diuri-uri sebagai filosofi
bangsa supaya manusia menjadi manusia yang sehat jasmani, sehat
rokhani, sehat sosial maupun sehat spiritualnya, sebagaimana kriteria
sehat menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ironisnya, fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan,
mengisyaratkan bahwa telah terjadi degradasi moral, tayangan
Televisi, kupasan media cetak, berita di dalam internet marak dengan
berita-berita tentang sikap-sikap negatif, seperti tidak menghargai, dan
menghormati kepada para guru-guru, bahkan sampai terjadi
perkelaian, tawuran, pelecehan, pemerkosaan dan juga pembunuhan
yang dilakukan oleh peserta didik di jenjang Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) di
berbagai kota besar di negara ini. Hal ini merupakan indikasi
merosotnya moralitas yang mustinya dijunjung tinggi demi
terwujudnya manusia yang bermoral. Sehingga yang tercipta sekarang
ini adalah sebuah ras yang non manusiawi, dan inilah mesin berbentuk
manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam
yang fitrah (Ary Ginanjar Agustian, 2001: xliii).
Untuk membentuk dan mengarahkan peserta didik pada
moralitas baik atau berperilaku baik diperlukan kondisi dan situasi
yang benar-benar berada dalam keadaan selaras, tenang, tentram,
tanpa perselisihan, pertentangan, damai satu sama lain, suka bekerja
sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat.
Situasi dan kondisi tersebut diatas dianggap sebagai asumsi
bahwa jiwa manusia dalam mengambil keputusan sangat dipengaruhi
oleh kondisi jiwa dan lingkungan dimana mereka hidup, mereka
bersosialisasi, mereka meniru. Menurut Jensen & Kingston (1986),
sebagaimana dikutip oleh John W. Santrock, peniruan merupakan
suatu bagian yang penting dari proses membujuk peserta didik/anak-
17
anak untuk berperilaku dengan baik kepada orang lain (John W.
Santrock, 2002: 49)
Dalam perspektif Jawa, pendidikan moral harus diarahkan
pada dua kaidah yang paling menentukan dalam pola pergaulan
masyarakat. Kaidah yang pertama menegaskan bahwa dalam setiap
situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan konflik. Kaidah kedua adalah sikap hormat, kaidah ini
menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat
kedudukannya (Frans Magnis Suseno, 2001: 38). Dua kaidah tersebut
seharusnya dijadikan dasar dalam pendidikan moralitas, khususnya
bagi peserta didik, yang berada di SD Hj. Isriati Semarang memiliki
latar belakang budaya Jawa.
Ary Ginanjar menyatakan bahwa proses pendidikan moralitas
itu harus dilakukan secara kronologis. Ary mengungkapkan bahwa
dengan menabur gagasan, akan memetik perbuatan, dengan menabur
perbuatan akan memetik kebiasaan, dengan menabur kebiasaan akan
memetik karakter, dan dengan menabur karakter, akan memetik nasib
(Ary Ginanjar, 2003: lviii).
Secara psikologis, pendidikan moral sangatlah tepat diberikan
pada anak berusia 6 s-d 12 tahun. Menurut Kohlberg3, anak pada usia
6 s-d 12 dalam perkembangan moralnya berada pada tingkat tiga,
dimana mereka berfokus pada orientasi keserasian interpersonal dan
konformitas (Sikap anak baik), dan tingkat empat, mereka juga berada
3
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi.
Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang
semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang
melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini,
dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya
berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan,
walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya
.(http.www //google. Moral).
18
pada orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas
hukum dan aturan), (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral).
Pengetahuan yang disampaikan oleh guru-guru dalam proses
pembelajaran diharapkan sebagai sesuatu gagasan yang selanjutnya
perlu dibarengi dengan perbuatan nyata dengan melihat keberbedaan,
memperlakukan sentuhan kasih sayang dan kesabaran, karena
tanggung jawab yang dihadapinya untuk segera bertindak begitu saja,
sebagaimana Prinsip Pendidikan. Karena itulah pendidikan hendaknya
tidak hanya diarahkan pada kecakapan yang bersifat intelektual
semata, tetapi harus diarahkan pada penemuan tujuan pendidikan,
sebagaimana dirumuskan oleh UNESCO yaitu Learning how to know,
Learning how to learn, Learning how to do, Learning how to be,
Learning how to live together. Dalam kurikulum yang telah dibakukan
disebutkan pentingnya menyeimbangkan tiga ranah yaitu ranah proses
berpikir, ranah nilai dan ranah keterampilan 4.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dirjen Management
Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, merekomendasikan ada
9 jenis anak berkebutuhan khusus atau sering disingkat ABK 5 yang
perlu ditangani. Di Jawa Tengah terdapat 155 (seratus lima puluh
lima) sekolah penyelenggara inklusif 6. Pendidikan Inklusif adalah
suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswi yang memiliki
hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang
4
Benjamin S.Bloom dan kawan-kawannya berpendapat bahwa taksonomi
(pengelompokan) tujuan pendidikan harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis
domain (=daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu (1)
Ranah proses berpikir (coknitive domain), (2) Ranah nilai atau sikap (affektive
domain), dan (3) Ranah keterampilan (psychomotor domain) (Anas Sudijono, 2007:
49).
5
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang secara signifikan
(bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan (phisik, mental-intelektual,
social, emosional) dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan
pendidikan khusus.
6
Data ini diperoleh dari Seksi Kurikulum, Subdin Pendidikan Luar Biasa Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Jalan Pemuda Nomor 134
Semarang.
19
memungkinkan (Denis, Enrica, 2006, hal. 44). Pendidikan Inklusi di
Jawa Tengah tersebar di 24 (dua puluh empat) Kabupaten/Kota, terdiri
dari 138 (seratus tiga puluh delapan) Sekolah Dasar (SD), 14 (empat
belas) Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 2 (dua) Sekolah
Menengah Atas (SMA), serta 1 Madrasah Aliyah Negeri (MAN).
Anak Berkebutuhan Khusus pada umumnya sudah inheren pada
sekolah reguler. Salah satu sekolah inklusi adalah SD Isriati
Semarang, dijadikan sebagai obyek dalam penelitian ini dengan
pertimbangan bahwa (1) Memiliki keberagaman peserta didik
berkebutuhan khusus, ada 57 (lima puluh tujuh) anak, meliputi jenis
kebutuhan gangguan pendengaran 1 (satu) anak, lambat belajar (slow
learner) 40 (empat puluh) anak, berkesulitan belajar/gangguan
pemusatan perhatian (hyper aktif ringan ada 2 (dua) anak dan hyper
aktif berat ada 2 (dua) anak), Tunalaras/gangguan emosi 9 (lima)
anak, gangguan belajar 1 (satu) anak dan Authis ada 1 (satu) anak, (2)
Menerapkan pendidikan Islami, dengan menambah kurikulum agama
Islam sebagai bekal penanaman akhlak.Untuk lebih jelasnya bisa
melihat tabel dibawah ini.
Tabel 1.1.
20
Fokus dalam penelitian ini akan mendiskripsikan perilaku
peserta didik, dengan mejadikan peserta didik berkebutuhan khusus
sebagai operan condition, mereka yang tampak dalam kondisi fisik,
gerak fisik maupun memiliki perilaku yang berbeda, sehingga bisa
menimbulkan perhatian bagi teman sebayanya, peserta didik
berkebutuhan khusus tersebut memiliki jenis kebutuhan sebagai
berikut :
1. Tunagrahita/lambat belajar/slow learner, yang memiliki ciri-ciri: 1)
Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil
atau besar, 2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia, 3)
Perkembangan bicara atau bahasa terlambat, 4) Tidak ada atau
kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan seperti pandangan
kosong, 5) Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak
terkendali), 6) Sering keluar ludah atau cairan dari mulut (ngiler).
2. Tunalaras (Dysruptive) atau Gannguan Emosi dan perilaku,
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1).Cenderung membangkang, 2)
Mudah terangsang emosinya, emosional, dan mudah marah, 3)
Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu, 4)
Sering bertindak melanggar norma sosial, norma susila atau
hukum (Buku II : Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu
/Inklusi ,2004) .
3. Authis, memiliki ciri-ciri: a) Komunikasi: Kemampuan berbahasa
mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara.
Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti
yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu
singkat, b). Bersosialisasi atau berteman lebih banyak
menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak
tertarik untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat
dalam bersosialisasi atau berteman seperti misalnya tidak menatap
mata lawan bicaranya atau tersenyum, c) Kelainan penginderaan
sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan
rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat, d) Bermain tidak
spontan/reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak
dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai
permainan yang bersifat pura pura, e) Perilaku dapat menjadi
sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan
yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu
benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal
sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri.
Seringkali sulit mengubah rutinitas sehari-hari
(http.www.google.ciri-ciri authis).
21
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Signifikansi
Manfaat Praktis
1. Dengan diketahui moralitas baik peserta didik berkebutuhan
khusus maupun normal yang belajar bersama-sama mengikuti
proses pembelajaran pada SD Hj. Isriati Semarang sebagai
penyelenggara Pendidikan Inklusif, maka akan bisa diambil
manfaat dari pembelajaran hidup bersama (learning to live
together).
7
Anak yang dalam proses pertumbuhan/perkembangan secara signifikan
(bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan pada (phisik, mental-intelektual,
social, emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, sehingga perleu
memperoleh pelayanan Pendidikan Inklusif.
22
2. Dengan diketahui perbedaan moralitas peserta didik
berkebutuhan khusus dengan non berkebutuhan khusus pada SD
Hj. Isriati Semarang sebagai penyelenggara Pendidikan
Inklusif, maka secara umum suguhan-suguhan teman-teman
(anak berkebutuhan khusus) memberikan sentuhan batiniah
sehingga memberikan manfaat pada semua (orang tua, guru dan
teman sebaya).
E. Telaah Pustaka
23
(b) Program dan pelaksanaan layanan bimbingan konseling
termasuk bimbingan sosial sudah ada tetapi dalam realisasinya
belum optimal;
(c) Jenis layanan bimbingan sosial yang diberikan ada yang
mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus dalam semua
kegiatan sekolah, dan ada yang mengikut sertakan orangtua
dalam program kegiatan tersebut;
(d) Kendala yang dihadapi guru adalah ketidak pahamannya
tentang anak berkebutuhan khusus, tidak adanya panduan
untuk melaksanakan pendidikan inklusi, kurangnya tenaga
profesional dan sarana prasarana untuk menunjang kelancaran
program pendidikannya.
24
(e) handicap seen in relation to external factors, especially school
environment. (Santoso, Muhammad Abdul Fattah , 2005.
Pemikiran tersebut sangat mendukung berkembangnya
Pendidikan Inklusif, hasil analisis perbandingan tersebut
menemukan lima karakteristik dari Pendidikan Islam dan
Pendidikan Inklusi, a) pendidikan sebagai suatu kewajiban, b)
pendidikan untuk semua, c) prinsip dari tidak adanya pemisahan,
d) suatu pandangan utuh dari peserta didik, dan e) mengerti
rintangan dalam hubungan dalam faktor-faktor eksternal,
khususnya lingkungan sekolah.
3. Dalam penelitian ini penulis berusaha memberikan
kontribusi dalam bentuk penyajian fakta dengan mendiskripsikan
moralitas peserta didik berkebutuhan khusus dan normal yang
belajar bersama-sama pada sekolah penyelenggara Pendidikan
Inklusif yang diharapkan memberikan makna dalam kehidupan,
dengan asumsi bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki
fitrah kesucian 8, sehingga manusia tidak terhalang oleh kondisi-
kondisi fisik semata namun lebih kepada segi batiniah yang
mempunyai kekuatan yang tidak terhingga untuk mengantarkan
manusia pada posisi tertingginya, yaitu keutamaan atau
kebahagiaannya dalam melaksanakan kewajiban untuk berbuat
baik demi kemaslakhatan dirinya, lingkungan dan masa depannya
dengan memperhatikan dan mengedepankan nilai moralitas yang
dimilikinya, yaitu menjaga kerukunan dan tetap hormat sesuai
dengan derajat kedudukannya.
8
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (keburukan) dan
ketaqwaannya (kebaikan) (SQ Asy Syams (Matahari), 91: 8).
25
F. Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
26
dilakukan untuk mengungkapkan sejarah perkembangan
penyelenggaran pendidikan inklusif, digunakan untuk
memperoleh data tentang jumlah anak berkebutuhan khusus
(ABK), jenis anak berkebutuhan khusus dan perilaku peserta
didik normal terhadap peserta didik berkebutuhan khusus,
serta data-data lain yang mendukung untuk memperjelas
analisis penelitian ini.
3. Telaah Dokumen adalah teknik penggalian data yang terdapat
dalam bentuk dokumen seperti buku, peraturan-peraturan,
catatan dan lainnya (Arikunto,1985: 131). Teknik ini
digunakan untuk memperoleh data tentang keadaan
lingkungan, sejarah penyelenggaran Pendidikan Inklusif,
pembelajaran dan perhatian guru pembimbing yang fokus
terhadap peserta didik berkebutuhan khusus.
G. Sistimatika Penulisan
9
SPSS adalah suatu software yang berfungsi untuk menganalisis data,
melakukan perhitungan statistic baik untuk statistic parametrik maupun non
parametrik dengan basis windows (Imam Ghozali, 2001: 15)
27
BAB I, Pendahuluan yang mengungkapkan fenomena
kehidupan peserta didik dalam tayangan televisi, berita mass
media serta dalam internet menunjukkan warna yang suram, untuk
itu penulis berasumsi bahwa situasi tersebut lebih disebabkan oleh
situasi yang tidak mendukung berkembangnya moralitas baik yang
telah tertanam pada diri individu dalam pelayanan pendidikan
yang diberlakukan di Indonesia, yang diungkap dalam latar
belakang masalah, untuk itu perlu diungkapkan permasalahan
tentang bagaimana moralitas peserta didik pada pendidikan inklusi
yang mampu mengakomodir semua keberbedaan peserta didik,
untuk mencari jawaban permasalahan tersebut informasi data dan
fakta dengan menggunakan observasi, wawancara, telaah dokumen
serta intrumen pertanyaan kepada peserta didik pada SD Hj. Isriati
Semarang sebagai tempat researh ini dilakukan, kemudian untuk
penguatan, apakah fakta tersebut telah mendukung
berlangsungnya pelayanan pendidikan yang seharusnya
diberlakukan.
28
BAB IV, analisis deskripsi dengan menggunakan SPSS, untuk
menjawab permasalahan terungkap dalam bab ini dengan
mengungkapkan fakta moralitas peserta didik berkebutuhan
khusus, moralitas peserta didik non berkebutuhan khusus atau
normal 1 serta peserta didik non berkebutuhan khusus atau normal
2, dengan indikator sikap hormat dan sikap rukun peserta didik
terhadap orang tua, terhadap guru serta terhadap teman sebaya.
29
BAB II
LANDASAN TEORI
Moral
Moral, konon diambil dari bahasa Latin mos (jamak, mores)
yang berarti kebiasaan, adat. Sementara moralitas secara lughowi juga
berasal dari kata mos bahasa Latin (jamak, mores) yang berarti
kebiasaan, adat istiadat. Kata ’bermoral’ mengacu pada bagaimana
suatu masyarakat yang berbudaya berperilaku, dan kata moralitas juga
merupakan kata sifat latin moralis mempunyai arti yang pada dasarnya
sama dengan moral hanya ada nada lebih abstrak. Kata moral dan
moralitas memiliki arti yang sama, maka dalam pengertian disini lebih
ditekankan pada penggunaan moralitas, karena sifatnya yang abstrak.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk (K.Berten, 2007: 7). Senada
dengan pengertian tersebut, W.Poespoprodjo mendefinisikan moralitas
sebagai ”kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa
perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup
tentang baik buruknya perbuatan manusia (W.Poespoprojo, 1998: 18).
Baron, dkk mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Asri Budiningsih,
bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan
tindakan yang membicarakan salah atau benar (Asri Budinningsih,
2004: 24).
Moralitas seringkali dipahami sebagai suatu sikap moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk
(K.Berten, 2007: 7). Pengertian tentang baik dan buruk merupakan
sesuatu yang umum, yang terdapat dimana-mana. Dengan kata lain,
moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal
(K.Berten, 2007: 12). Keharusan moral didasarkan pada kenyataan
30
bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau
norma-norma (K.Berten, 2007: 14)
Moral adalah suatu aturan atau tata cara hidup yang bersifat
normatif yang sudah ikut serta bersama kita seiring dengan umur yang
kita jalani (Amin Abdulah: 167), sehingga titik tekan ”moral” adalah
aturan-aturan normatif yang perlu ditanamkan dan dilestarikan secara
sengaja baik oleh keluarga, lembaga pendidikan, lembaga pengajian
atau komunitas-komunitas yang bersinggungan dengan masyarakat.
Immanuel Kant, seorang pemuka madzab filsafat baru, yang
disebut filsafat kritis (critical philosophy), karena karyanya ini
memberikan Kant reputasi internasional, mengatakan bahwa moralitas
adalah hal keyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar
penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara,
agama atau adat-istiadat (Frans Magnis-Suseno,1992). Menurut Kant,
moralitas meliputi melaksanakan panggilan kewajiban, dan tidak ada
kewajiban moral yang tidak sanggup dikerjakan. Tetapi demikian
dengan perasaan dan simpati bisa datang dan pergi terlepas dari
kehendak manusia, dan ia tidak dapat disatukan dengan peraturan H B
Acton, 2003: 22)
Seseorang dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Seseorang
boleh “ikut-ikutan” dengan pandangan serta tatanan moral masyarakat.
Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila
kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral sosial itu, maka
seseorang tersebut harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya
menjadi kewajibannya, seseorang tidak boleh mengikuti apa yang
diharapkan oleh lingkungannya (Fran Magnis Suseno, 1992).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa
moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan
dengan etiket atau adat sopan santun. Namun dalam Ensiklopedi
Indonesia, dijelaskan bahwa Moralitas memiliki makna: 1) Pola-pola
kaidah tingkah-laku, budi bahasa yang dipandang baik dan luhur
31
dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu. Secara terperinci
dapat dibedakan dalam (a) asas atau sifat moral, kebajikan; (b) sistem
atau ilmu pengetahuan tentang moral; (c) ajaran, makna atau
kesimpulan tentang moral; (d) peri keadaan yang sesuai dengan nilai
dan azas akhlak yang baik. 2) Drama: Bentuk Drama yang
berkembang di Eropa dalam abad pertengahan, kira-kira abad ke 14-
16, dimaksud untuk menunjukkan kepada penonton tentang
perjuangan abadi antara baik dan buruk dalam jiwa manusia. Tokoh-
tokoh lakon merupakan personifikasi kebajikan dan kejahatan. Drama
moralitas tumbuh terlepas dari drama misteri keagamaan, dan
merupakan langkah penting dalam penduniawian drama (Kamus
Bahasa Indonesia 1990: 2288-2289).
Moral yang diartikan juga sebagai akhlak adalah indikasi
seseorang yang paling sempurna imannya yaitu yang paling baik
akhlaknya. Yang lemah lembut dan tidak pernah menyakiti orang.
Seorang manusia tidak akan mencapai hakikat iman sebelum ia
mencintai orang lain, seperti ia mencintai dirinya (Sabda Rasulllullah
dalam Jalaluddin Rakhmat, 2003: 146-147).
Dengan demikian moralitas dapat disimpulkan sebagai kualitas
perbuatan atau tingkah laku manusia yang berhubungan dengan salah
atau benar, baik atau buruk yang diyakininya sebagai suatu aturan-
aturan normatif atau kaidah-kaidah dan berlaku dalam suatu komunitas
masyarakat tertentu yang dilakukan karena adanya suatu keharusan
atau kewajiban. Manusia diajak untuk membatinkan dirinya kepada
baik dan luhur. Dan tingkah laku manusia senantiasa tampil sebagai
akumulasi ekspresi 10 aktualisasi potensi batin dan responsi 11 pengaruh
lingkungan (Baharuddin, 2004: 393).
10
Ekspresi berarti bahwa tingkah laku menjadi media (sarana) untuk
mengekpresikan kondisi psikis.
11
Responsi berarti tingkah laku muncul sebagai respon (tanggapan) terhadap
stimulus lingkungan. Tingkah laku manusia senantiasa menampilkan dua sisi
ekspresi dan responsi. Perbedaan antara satu tingkah laku dengan tingkah laku
lainnya terletak pada prosentase masing-masing sisi.
32
Etika
Kata etika seringkali dipakai bersamanan dengan kata moral,
ketika seseorang berbicara tentang etika, tak lepas pula dengan kajian
yang membicarakan baik atau buruk, benar atau salah. Untuk
memahami pengertian dan istilah etika berikut uraiannya. Etika12
adalah cabang filsafat yang juga disebut sebagai filsafat moral yang
mempersoalkan baik dan buruk (Purwadi, Joko Dwiyanto, 2006:14).
Beretika mengacu pada bagaimana seharusnya manusia
berperilaku. Etika memberikan nasehat-nasehat mengenai perilaku,
biasanya dalam bentuk ungkapan, mutiara-kata, peribahasa, dan
sebagainya yang menyiratkan, tetapi tidak menyatakan dengan tegas,
tujuan yang baik dan didambakan yang moga-moga akan dicapai
dengan menuruti nasehat itu, dan akibat-akibat jelek yang akan
menimpa jika petuah itu dilanggar (Jujun S.Suriasumantri, 2006: 24).
K.Berten mendefnisikan etika sebagai ilmu yang membahas
tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan
moralitas (K. Berten, 2007: 15), dalam mempelajari dan membahas
moralitas, etika menggunakan tiga pendekatan yang oleh Berten
diterangkan sebagai etika deskriptif yang melukiskan tingkah laku
moral, etika normatif yang membicarakan moral dan adanya diskusi-
diskusi yang membahas tentang moral, dan metaetika, dalam
pendekatan ini telah memberikan penilaian atau rekomendasi tentang
moral, apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk, sebagai suatu
penegasan yang seakan memberikan klaim pada status moral.
12
Etika berasal dari kata Yunani yang artinya ’watak’. Sedangkan moral
berasal dari bahasa Latin mos yang merupakan bentuk tunggal, bentuk jamaknya
mores yang artinya ’kebiasaan’. Istilah etika atau morel dan dalam bahasa
Indonesia dapat diartikan kesusilaan. Obyek formal etika adalah kebaikan dan
keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Obyek
material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang
dilakukan secara sadar dan bebas. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukan
secara tidak sadar dan tidak bebas tidak dapat dikenai penilaian moral.
33
Rekomendasi perbuatan baik atau buruk oleh para filosof masih
menjadi pokok pembicaraan dalam dunia filsafat, ada dua golongan
dalam menjawab persoalan ini (Ahmad Amin,1975: 84), yaitu :
1. Golongan pertama, berpendapat bahwa tiap-tiap manusia
mempunyai instinc yang dapat memperbedakan antara yang hak
dan yang batal, baik dan buruk, berakhlak dan tidak. Kekuatan
ini kadang berbeda sedikit karena perbedaan masa dan milliu,
tetapi tetap berakar pada manusia. Maka tiap-tiap manusia
mempunyai semacam ilham13 yang dapat mengenal sesuatu
akan baik dan buruknya.
2. Golongan kedua berpendapat bahwa, pengertian manusia
tentang baik dan buruk akan sama dengan pengertian manusia
tentang sesuatu yang lainnya, ialah tergantung pada
pengalaman. Dan bisa tumbuh sebab kemajuan zaman,
kecerdasan berpikir dan beberapa pengalaman 14
13
Ilham ini didapat manusia ketika manusia melihat sesuatu, oleh karena
manusia dapat merasa bahwa itu baik atau buruk, meskipun manusia tidak belajar
ilmu pengetahuan atau menerima pendapat orang lain.Kekuatan ini bukan buah dari
milliu, zama atau pendidikan, tetapi adalah instinc, bagian dari tabiat manusia yang
diberikan Tuhan untuk dapat membedakan antara baik dan buruk.
14
Golongan dua ini berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai instinc untuk
mengetahui baik dan buruk, tetapi pengalamanlah yang dapat memberikan hukum
baik pada sebagian perbuatan dan hukum buruk pada bagian yang lainnya. Dan
yang membuat perubahan berpikir perorangan dan bangsa dalam memberikan ukum
pada sesuatu adalah karena luas dan lingkaran pengetahuannya serta banyak
pengalamannya
34
besar, yang bisa dijadikan sebagai pijakan untuk memahami tentang
etika. Miskawaih memahami etika sebagai keadaan jiwa yang
mendalam yang menyebabkan munculnya perbuatan-perbuatan tanpa
pertimbangan yang mendalam.
Miskawaih memulai pembahasan etikanya dengan menganalisis
kebahagiaan dan mengidentifikasi kebaikan tertinggi guna
menyimpulkan kebahagiaan manusia selaku manusia. Kebahagiaan
haruslah menjadi tujuan tertinggi dengan sendirinya, karena
berhubungan dengan akal, yang merupakan hal yang paling mulia pada
diri manusia (Ibn Miskawaih, 1913: 10). Pendapat tersebut senada
dengan pendapat Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin
Rakhmat, mengatakan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang
bahagiya. Jadi baik adalah bahagiya. Hidup yang bahagiya adalah
hidup yang sempurna karena memiliki semua hal yang baik
(kesehatan, kekayaan, persahabatan, pengetahuan, kebajikan atau
kemuliaan. Hal-hal yang baik itu komponen kebahagiaan, semua dicari
untuk bahagiya (Jalaluddin Rakhmat, 2004: 41).
Akhlak
35
mudah dengan tanpa membutuhkan pemikiran dan penelitian terlebih
dahulu, jika ungkapan itu memunculkan tindakan baik dan terpuji
secara akal dan syara’ maka disebut akhlak baik, namun sebaliknya
jika memunculkan tindakan tercela maka disebut akhlak tercela (Al
Ghozali, Jilid III: 52).
Akhlak bukanlah merupakan ”perbuatan” baik ataupun
”pebuatan” buruk, juga bukan ”kekuatan” baik ataupun ”kekuatan”
buruk, juga bukan merupakan ”pembeda” antara baik dan buruk, akan
tetapi akhlak itu merupakan”hal” keadaan atau kondisi, dimana jiwa
mempunyai potensi yang bisa memunculkan daripadanya menahan
atau memberi. Jadi akhlaq itu adalah ibarat dari ”keadaan jiwa dan
bentuknya yang batiniah”(Zaki Mubarok,1924: 152). Akhlak adalah
situasi permanen dalam jiwa yang melahirkan bentuk-bentuk polalaku
tanpa melalui dorongan dari luar dan tanpa pengetahuan.
Tokoh muslim seangkatan dengan Al-Ghazali, Raghib al
Isfahani (wafat sekitar tahun 1108 M) dengan pemikiran akhlak
tentang konsep Nilai (khair). Ada tiga bentuk khair, yaitu khair li
dhatihi, khair li ghairihi, dan khair li dhatihi, khair li ghairihi.
Namun pada akhirnya konsep tersebut diklasifikasikan hanya menjadi
dua, yaitu : khair muthlaq (hakiki) dan khair muqayyad (kondisional).
Baik hakiki (khair muthlaq) adalah perbuatan baik yang dipilih
karena perbuatan itu sendiri dan setiap orang yang berakal
menginginkan perbuatan tersebut. Khair muthlaq ini tidak terikat
ruang dan waktu. Indikasi khair adalah memiliki manfaat, indah, dan
lezat. Oleh karena itu apapun tyang membawa manfaat dan
memotivasi untuk meraih kebaikan akhirat (khair ukhrawi) dan
kebahagiaan hakiki (sa’adah haqiqiyah) disebut juga khair dan
sa’adah. Akan tetapi sebaliknya, perbuatan seperti aniaya, tercela dan
merugikan diri ataupun orang lain, disebut sebagai tidak baik (sharr)
Baik kondisional (Khair muqayyad)adalah suatu perbuatan
yang selain memiliki sifat-sifat baik hakiki, didalamnya juga terdapat
36
sifat-sifat khair sharr. Untuk menjustivikasi apakah sesuatu itu baik,
ditentukan dari sejauh mana sifat-sifat baik itu mampu memberikan
kontribusi pada sesuatu yang dinilai baik tersebut. Apabila baik yang
terdapat pada sesuatu itu mampu memberikan lebih dibandingkan
dengan sifat-sifat yang tidak baik, maka obyek tersebut dinilai khair
muqayyad.
Akhlak atau keadaan batin yang telah tertanam dan inheren di
dalam diri manusia, bisa dikatakan sebagai modal pertama dan utama,
dan kualitas perbuatan manusia tergantung bagaimana manusia itu
cerdas dalam kecenderungannya dan mengkondisikan kecenderungan,
apakah manusia cenderung kepada hal-hal yang baik, ataukah
sebaliknya. karena apabila manusia memiliki akhlak yang baik, maka
akan beruntunglah hidupnya, begitu pula sebaliknya apabila manusia
memiliki kecenderungan buruk maka hancurlah hidupnya.
Pengertian baik dan buruk menurut al-Quran adalah kenikmatan
dan musibah (pendapat mufassir dalm ibn Taimiyyah, 2004: 1). Dan
barang siapa mengikuti sunnah dalam perkataan maupun perbuatan
maka ia akan berbicara dengan baik dan benar. Dan barang siapa
mengikuti hawa nafsu maka ia akan berbicara bohong.
37
manuisia itu telah tertanam suatu keadaan dimana keduanya (baik dan
buruk) bersemayam di dalam tiap-tiap diri manusia atau dalam jiwa.
Untuk lebih jelasnya, perbedaan antara moral, etika dan akhlak
bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Perbedaan Moral, Etika dan akhlak
38
- Setiap manusia yang ber-
nyawa dan berakal.
39
istiadat) atau dengan istilah ’akhlak’(dalam ruang agama)(Amin
Abdullah, 2004: 167).
Dalam kontek pembahasan tesis ini, moralitas yang dimaksud
dalam judul adalah moralitas Jawa, yaitu prilaku baik yang didasarkan
pada prinsip rukun dan prinsip hormat yang merupakan budaya leluhur
yang mampu mengokohkan sendi kehidupan sosial masyarakat Jawa.
1. Emotivisme
40
pertimbangan, b). evaluasi positif atau negatif yang ditempatkan pada
kejadian-kejadian fakta tersebut.
Emotivism yang diungkapkan adalah dengan mengambil
pertimbangan moral lebih menekankan pada express bukan kepada
report-attitudes, sebagai contoh tentang analisa ”Ini adalah baik”,
sesuai dengan teorinya, meminta dengan tegas bahwa berkenaan
dengan pernyataan ini, aku melakukan juga dan berkenaan dengan ini
aku ingin kau melakkannya juga.
Ada tiga kemungkinan yang membedakan, yang berkenaan
dengan emosi, yaitu :
a. Berkenaan dengan emosi mungkin bergantung kepada diskripsi,
yaitu perubahan yang kemudian diikuti dengan seketika, atau
sangat segera, dengan berubah dari yang sebelumnya.
b. Ungkapan emosi berkenaan dengan bagaimanapun suatu titik boleh
selalu datang ketika suatu perubahan di dalam suatu diskriptif
mengganggu, berkaitan dengan emosi.
c. Arti emosi mungkin berkaitan dengan diskriptif.
Emotivisme lahir sebagai teori moralitas yang menonjolkan
pengaruh positivisme logis dalam etika, konsep-konsep moral menurut
teori Emotivism adalah sesuatu yang unanalysable (W.D.Hudson) tak
dapat dianalisa, sebab penganut faham positivisme logic, senantiasa
mengehendaki adanya keserbapastian kriteria, sesuatu yang sulit
dipenuhi oleh konsep-konsep moral.
Dalam menelaah pertimbangan-pertimbangan moral (moral
judgement), kaum emotivis hanya berisi apresiasi-apresiasi dan
tuntutan-tuntutan. Mereka menyimpulkan bahwa pertimbangan-
pertimbangan moral dalam kenyataannya tidak dapat melukiskan
apapun dan hanya bersifat emotif belaka, hanya mengenai persetujuan-
persetujuan dan ketidak setujuan tentang sesuatu tindakan tertentu
(W.D.Hudson).
41
2. Intuisionisme
42
kembali banyak diantara apa yang dikatakan mengenai kejadian itu.
(Juhaya S.Praja, 2005: 31)
Perbedaan tersebut terletak pada ungkapan: pengetahuan
mengenai (knowledge about) dan pengetahuan tentang (knowledge of).
Pengetahuan mengenai (knowledge about) disebut pengetahuan
discursive atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada
perantaranya. Dan Pengetahuan tentang (knowledge of) disebut
pengetahuan yang langsung atau pengetahuan intuitif, dan
pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung bandingkan dengan
ma’rifat qolbiyah dalam tasawuf (Ibid : 31).
Menurut Bergson, Intuisi ialah suatu sarana untuk mengetahui
secara langsung atau seketika (ibid : 32), intuisi tidak mengingkari
nilai pengalaman, inderawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya. Intuisi dapat menyingkapkan pada kita keadaan
yang senyatanya (Ibid : 33).
Dengan demikian teori intuitif belum mampu memberikan
kejelasan tentang sesuatu yang benar atau sesuatu yang baik, karena
masing-masing manusia akan memiliki dan mengungkapkan sesuai
dengan apa yang ada dalam masing-masing keadaan hati yang sangat
bersifat relatif, sehingga teori etika intuitif meurut penulis tetap akan
memberikan peluang untuk menelusuri tentang apa yang disebut baik,
benar yang begitu sulit untuk ditangkap oleh akal, indra dan
pengalaman, namun akan sangat dibantu dengan menjalankan syariah
sesuai dengan kemampuan dan kekuatan yang mampu dijalankan oleh
seseorang, sehingga dalam hal syariah kalau seseorang ingin baik
maka kerjakanlah begitu saja tanpa ada pertimbangan akal, karena
yang ada hanya ketaatan kepada sang Khalik.
Namun ketika manusia berhadapan dengan kegiatan sosial
peranan akal dijadikan sebagai alat berpikir untuk memberikan
pertimbangan, apakah tindakan seseorang bisa diterima oleh orang lain
atau lingkungan tersebut. Dalam hal lingkungan sosial peranan akal
43
masih dibutuhkan dan dalam hal agama peranan akal dinomor duakan.
Perbuatan yang dilakukan hanya semata-mata ketaatan dan kepatuhan
kepada sang Khaliq sebatas manusia itu mengetahui dan mampu untuk
melaksanakan perbuatan tersebut.
Pokok Persoalan Etika, sebagai ilmu yang membahas tentang
tingkah laku moral, maka pokok persoalan etika adalah perbuatan
manusia itu sendiri, namun tidak semua perbuatan manusia menjadi
pokok persoalan etika.
Berikut ini macam-macam perbuatan manusia :
a. Perbuatan yang dilakukan dengan kehendak atau voluntary actions
yakni, perbuatan ini dilakukan dengan penuh kesadaran dan
pikiran, inilah perbuatan yang memiliki nilai etis atau dapat
dinilai dari sisi baik dan buruk.
b. Perbuatan yang dilakukan dengan tanpa kehendak atau involuntary
actions, seperti contoh denyut jantung, darah, bernafas, dan lain
sebagainya. Perbuatan ini dilakukan dengan tanpa kesadaran dan
pikiran. Sehingga perbuatan ini tidak memiliki nilai etis atau tidak
dapat dinilai dari sisi baik dan buruk, sehingga tidak masuk dalam
persoalan etika.
c. Perbuatan semu, yakni perbuatan yang berdimensi etik tetapi
dilakukan diluar kesadarannya atau hanya kehendaknya. Perbuatan
ini menjadi perbuatan etis yang bersyarat. Contoh perbuatan yang
dilakukan dalam keadaan tidur, perbuatan ini tidak dapat dinilai
baik atau buruk dan tidak dapat dituntut dari segi etika.
d. Perbuatan yang netral, yakni perbuatan dengan ikhtiar akan tetapi
tidak berdimensi etik. Misalnya ketika mengikuti perkuliahan kita
bebas memakai pakaian dengan lengan panjang atau pendek, hal
ini tidak bisa dinilai baik atau buruk sebab perbuatan itu bebas
dari tuntutan etika ( Umar Bakri, 1977: 3-4)
Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah
konflik yang menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang
44
mana yang tidak baik dan mana yang selayaknya. Disinilah, etika
memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa yang seharusnya”
atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan
serta apa yang salah dan apa yang benar. (Harlan B. Miller, 1988).
Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau
panduan bagi ilmu dalam realisasi pengembangannya. Thomas Shanon
dalam Pengantar Bioetika (1995), untuk mengatasi konflik batin
dikemukakan teori-teori etika yang bermaksud untuk menyediakan
konsistensi dan koheren dalam mengambil keputusan–keputusan moral
(Deontologi dalam www// google).
3. Konsekuensialisme
4. Deontologi
45
memperhatikan segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan
menyalahkan moral.
Manfaat paling besar yang dibawakan oleh etika deontologis
adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar adalah bahwa
deontologi tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan.
Dengan hanya berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak
melihat beberapa aspek penting sebuah problem.
Menurut teori ini, perbuatan dikatakan baik apabila dilakukan
karena kehendak yang baik. Perbuatan adalah baik jika hanya
dilakukan karena kewajiban, dan juga karena wajib dilakukan. Dan
suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena
hormat untuk hukum moral. Hukum moral mengandung imperatif
kategoris, artinya perintah yang mewajibkan begitu saja tanpa
syarat. Tindakan manusia terjadi begitu saja tanpa ada sebab
musababnya.
Menurut Immanuel Kant, tentang teori moralnya, sebagaimana
dijelaskan oleh K. Berten, dapat diuraikan dalam tiga hal yaitu : a)
”Engkau harus begitu saja” (Du sollst). Imperatif kategoris
menjiwai semua peraturan etis, misalnya hutang harus dibayar,
(senang atau tidak senang), janji harus ditepati, dan lain
sebagainya. b) Kalau hukum moral harus dipahami sebagai
imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral, kehendak
harus otonom (menentukan dirinya sendiri) dan bukan heteronom
(ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan atau emosi).
Dan c) Dengan menemukan otonomi kehendak maka manusia akan
menemukan kebebasan dalam bertindak, manusia itu bebas dalam
mentaati hukum moral.
Orang yang bertindak karena kewajiban, berarti melakukan apa
yang dianggapnya masuk akal. Apa yang masuk akal bukan semata-
mata apa yang memajukan kepentingan orang itu sendiri, tetapi apa
yang akan membawa tindakannya kedalam keharmonisan dengan
46
tindakan-tindakan yang dilakukan orang lain sepanjang tindakan-
tindakan itu masuk akal juga (HB Acton, 2003: 84-85)
5. Etika Hak.
6. Teori-Teori Akhlak
47
akhlak yang diidentikkan dengan watak itu sebenarnya dapat
menerima perubahan atau dapat diformat.
Namun al-Ghazali juga menjelaskan dan mengakui bahwa tidak
semua bentuk pada manusia menerima perubahan. Al-Ghazali
menjelaskan bahwa eksistensi alam ini terklasifikasi dalam dua
kategori. Pertama, sesuatu yang tidak termasuk dalam bingkai ikhtiar
manusia yaitu ciptaan Allah yang sudah diformat sempurna dalam
standar kemakhlukannya, sehingga tidak perlu lagi menerima
kesempurnaan atau perubahan, seperti susunan tata surya dan juga
susunan tubuh manusia. Kedua, sesuatu yang eksistensinya diformat
dalam kekurangan sehingga masih harus disempurnakan lewat wilayah
ikhtiar manusia.
Demikian halnya dengan akhlak, secara garis besar al-Ghazali
memberikan penjelasan bahwa akhlakpun sama dengan eksistensi
alam, yaitu ada yang sudah diformat sempurna seperti akhlak para
nabi yang secara alamiah mempunyai kesempurnaan akal dan polalaku
yang baik, keseimbangan nafsu dan amarah, bahkan secara otomatis
sudah tunduk pada akal dan syara’, dan ada yang diformat menerima
perubahan. Dan dalam form yang menerima perubahan inilah, manusia
mempunyai andil yang besar untuk melakukan perubahan menuju
kepada perbaikan. Lalu dengan cara apa manusia melakukan
perubahan tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan
yang dijumpai pada watak manusia sangatlah berbeda-beda ada
manusia yang sangat baik sekali, baik, buruk dan jahat sekali. Penulis
merasa yakin dan sependapat dengan mengungkap kembali apa yang
telah di sampaikan al-Ghazali, untuk itu pemikirannya dalam usaha
memperbaiki akhlak.
48
berikut: Socrates, apakah moral itu bisa diajarkan, atau hanya bisa
dicapai melalui praktik kehidupan sehari-hari? Seandainya melalui
pengajaran dan praktik tidak bisa dicapai, apakah moral bisa dicapai
secara alamiah atau dengan cara lain? (Nurul Zuriah, 2007: 20-21).
Pernyataan Meno diatas sampai sekarang masih terus diperdebatkan,
terutama dikalangan ahli psikologi dan filsafat moral dalam Beck, ed,
1987 (Ibid: 21).
Kalau moral dipahami sebagai suatu adat kebiasaan yang hanya
terjadi pada masyarakat tertentu, maka manusia akan sulit untuk
berpegang pada satu aturan saja, manusia akan terus berjalan menurut
keadaan dimana mereka hidup dan begitu banyak adat kebiasaan-adat
kebiasaan yang harus dipatuhi dan harus dihormati, namun sangat
penting untuk terus diupayakan supaya adat kebiasaan yang baik atau
moralitas perlu ditanamkan pada diri manusia supaya menjadi manusia
yang bermoral, dengan cara memberikan latihan yang terus menerus
dan dengan hati yang bersungguh-sungguh, yang akhirnya akan
tertanam kebiasaan baik tersebut.
49
Tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan sering dijumpai bahwa
watak manusia sangatlah berbeda-beda ada manusia yang sangat baik
sekali, baik, buruk dan jahat sekali, dan sifat-sifat kemarahan dan
kesyahwatan akan terus menyertahi manusia selama hidupnya,
sehingga tidak mungkin sifat-sifat itu dihilangkan dari dirinya. Tetapi
yang diinginkan adalah supaya manusia mampu mengendalikan dan
membimbing dengan jalan melatih dan bersungguh-sungguh. Dan
menempatkan sifat-sifat itu dalam kedudukan sedang atau
pertengahan, yakni antara sifat melampaui batas dan sifat menyia-
nyiakan. Sehingga tetap masih dikendalikan oleh akal pikiran yang
sehat (Al-Ghazali,1983: 510).
15
Kebijakan menurut Ibn Miskawaih merupakan bagian dalam jiwa yang
memiliki posisi tengah yang disebut juga dengan al hikmah. Posisi ini berada
diantara kehinaan yaitu bodoh (al saft) dan dungu (al balh). Kebodohan
menggunakan wilayah berpikir pada sesuatu yang tidak baik, sedangkan dungu
adalah sengaja menyingkirkan wilayah berpikir. Adapun yang menjadi posisi
tengahnya adalah kepandaian. Salah satu ujung yang mengapit posisi tengah adalah
kondisi mental yang berlebihan sedang yang satunya dalam kondisi kurang (Ibn
Miskawaih,1923:23).
50
pembagian kebijakan versi Plato dan pemahaman Aristoteles, dimana
keduanya diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh (Ibn
Miskawaih,1913: 24)
Ibn Miskawaih membicarakan etika sebagai kebijakan,
menurutnya kebijakan merupakan bagian dalam jiwa yang memiliki
posisi tengah yang disebut juga dengan al hikmah. Posisi ini berada
diantara kehinaan yaitu bodoh (al saft) dan dungu (al balh).
Kebodohan menggunakan wilayah berpikir pada sesuatu yang tidak
baik, sedangkan dungu adalah sengaja menyingkirkan wilayah
berpikir. Adapun yang menjadi posisi tengahnya adalah kepandaian.
Salah satu ujung yang mengapit posisi tengah adalah kondisi mental
yang berlebihan sedang yang satunya dalam kondisi kurang (Ibn
Miskawaih,1923: 23). Ibn Miskawaih, menyebutkan kekuatan jiwa (al
quwwatun nafsiyah) sebagaimana dikatakan Platinus, keutamaan-
keutamaan dan keburukan-keburukannya yang berkaitan dengannya.
Adapun yang berkaitan dengan keutamaan, pembagiannya menjadi
empat bagian, yaitu : kearifan, sederhana, keberanian,dan keadilan.
1. Kearifan, merupakan keutamaan dari jiwa berpikir yang
mengetahui, terletak pada mengetahui yang ada, atau
mengetahuai yang ilahiah dan manusiawi;
2. Sederhana, merupakan keutamaan dari bagian hawa nafsu.
Keutamaan ini tampak pada diri manuisa ketika manusia
tersebut mengarahkan hawa nafsu menurut penilaian baik dan
buruknya, sehingga manusia tidak tersesat oleh hawa nafsunya
dan manusia bebas dari hamba hawa nafsu;
3. Keberanian, keberanian jiwa amarah yang muncul pada diri
seseorang ketika jiwa ini tunduk dan patuh terhadap jiwa
berpikir serta menggunakan penilaian baik dalam menghadapi
hal-hal yang membahayakan;
4. Keadilan, juga merupakan kebajikan jiwa, yang timbul akibat
menyatunya tiga kebajikan yang tersebut diatas, ketiganya
51
bertindak selaras (tidak kontradiksi) (Ibn Miskawaih, 1994:
45)
Jiwa, Menurut Ibn Miskawaih, Jiwa manusia dibagi menjadi
tiga fakultas jiwa. Pertama, fakultas berpikir (al-quwwah al-natiqah)
ia merupakan jiwa tertinggi untuk berpikir dan menangkap fakta.
Organ tubuh yang digunakan adalah otak. Kedua, fakultas amarah (al-
quwwah al-qadabiyah), yakni jiwa keberanian untuk menghadapi
resiko, ambisi pada kekuasaan, kedudukan dan kehormatan. Organ
tubuh yang digunakan adalah hati. Ketiga, fakultas nafsu sahwat (al-
quwwah al-syahwiyyah), yakni dorongan nafsu makan, keinginan
terhadap kelezatan, minuman, seksual, dan segala macam inderawi.
(Suparman Syukur,2004: 327), merupakan substansi yang independen
yang mengembalikan badan dan ia bersifat kekal. Esensi jiwa tidak
akan mati dan terlibat dalam gerak abadi serta sirkulasi (keatas
menuju akal dan akal aktif, dan kebawah menuju ke materi) dan
kebahagiaan akan tumbuh melalui yang pertama (akal aktif) dan
kemalangan akan tumbuh melalui yang kedua (materi).
Raghib al-Isfahani, menjelaskan secara psikologis, munculnya
perilaku seseorang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : lintasan
pikiran (saanih), ide (khaitir), dari keduanya muncul kehendak
(iraadah), kemudian cita-cita (hazm), sampai akhirnya muncul
termanivestasi dalam perbuatan (’amal) (Amril M, 2002: 32). Menurut
Raghib, benih perbuatan moral dimulai pada tahap ide (khaitir), oleh
karena itu pada tahap ini sebaiknya seseorang dituntut untuk
melakukan pengujian-pengujian terhadap ide yang dimilikinya,
sehingga pada tahap ini bisa dikontrol atau dimanag dengan baik
sebelum samapai pada kehendak.
Menurut Elizabeth B.Hurlock (1978) perilaku yang dapat
disebut Moralitas yang sesungguhnya tidak saja sesuai dengan standar
sosial melainkan juga dilaksanakan dengan sukarela. Ia muncul
bersamaan dari peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri
52
atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai tanggung jawab
pribadi untuk tindakan masing-masing.
Tindakan sukarela yang disertahi dengan tanggung jawab
pribadi untuk tindakan masing-masing tidaklah bisa dipaksakan atau
diajarkan, tindakan ini menyangkut sikap batin yang telah dipola
dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah ditanamkan oleh
lingkungannya. Sehingga untuk membentuk moralitas peserta didik
dengan pembiasaan perlunya diberikan latihan-latihan yang sungguh-
sungguh (Imam Gazali).
Gagasan yang ditimbulkan dari hasil pemikirian yang cerdas
pentingnya selalu diekpresikan dalam kehidupan nyata dalam bentuk
penyampaikan informasi-informasi atau tulisan-tulisan yang
membutuhkan tindak lanjut. Dengan sarana pendidikan, peserta didik
memperoleh informasi-informasi yang baik yang akan dijadikan
sebagai sesuatu yang akan tertananm didalam hatinya.
Dengan informasi yang baik peserta didik terus akan
mengakumulasi dengan jalan melakukan atau bertindak sesuai dengan
arahan dan bimbingan dari pendidik dan orang-orang yang
menanamkan kebaikan tersebut pada perkembangan hidupnya selama
peserta didik megalami perkembangan moral dalam usia sekolah dasar
(7-12 tahun).
53
dengan isian perbuatan-perbuatan yang baik tersebut mampu
menunjukkan hidupnya untuk menuju kepada tujuan akhir hakikinya
yaitu mencapai kebahagiannya untuk menuju Tuhan.
Sebagaimana diungkapkan Muhammad Noor Syam bahwa
khusus dalam tingkah laku manusia, manusia sebagai subyek telah
memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya,
disamping kecenderungan dan dorongan-dorongan ke arah yang tidak
baik (Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 116), lihat pula QS Asy Syams: 8,
yang artinya ”Pada dasarnya Allah telah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan (keburukan) dan ketaqwaannya (kebaikan)”.
Tugas manusialah untuk melatih, terutama para pendidik dan
orang tua, dengan demikian, peserta didik yang mendapat pengajaran
dan pembelajaran di sekolah, pentingnya tugas guru untuk melatih dan
memberikan bantuan pada peserta didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada peserta didik (Zuharini dalam
Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 118).
Peranan guru dan perancang pembelajaran dalam
mengembangkan strategi pembelajaran moral mestinya harus lebih
banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengambil peran moral, baik di dalam lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya dan lingkungan
masyarakarat yang lebih luas. Kesempatan untuk mengambil peran
sosial nampaknya meberikan kontribusi yang signifikan dalam
perkembangan moral. Penelitian Holstein dalam Kohlberg &Turriel,
memperlihatkan bahwa anak-anak yang maju dalam perkembangan
moral, memiliki orang tua yang juga maju dalam penalaran moral.
Orang tua yang berusaha mengenal pandangan anak, dan yang
mendorong terjadinya dialog, mempunyai anak yang secara moral
lebih matang.(C.Asri Budiningsih, 2004: 84)
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kolhberg (Cremers,
1995) disamping di dalam keluarga, pengambilan peran dalam
54
kelompok keluarga, pengambilan peran dalam kelompok sebaya, di
sekolah dan di masyarakat yang lebih luas, akan meningkatkan
perkembangan moralnya (Ibid). Pada diri peserta didik telah tertanam
potensi utama yang terus dilatih dengan stimulus-stimulus yang positif
sebagaimana menurut tokoh muslim yang dikenal dengan hujat al-
Islam, Al Ghozali menawarkan suatu konsep, yang bukan saja bersifat
lahiriah namun lebih bersifat batiniah, yaitu akhlaq sebagaimana
Sabda Rasulullah SAW, bahwa Mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Yang lemah lembut dan
tidak pernah menyakiti orang (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 146-147).
Dan karena akhlaklah yang akan membawa dia kepada jalan
keselamatan (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 145).
Al-Ghazali memberikan pemahaman untuk penelusuran yang
sering menyertahi akhlak dengan empat opsi, yaitu pola laku positif
atau negatif, kemampuan untuk mengakses keduanya, pengetahuan
tentang keduanya, serta situasi jiwa dalam kecenderungannya terhadap
salah satunya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akhlak bukanlah bentuk
polalaku, kemampuan untuk membentuk polalaku, maupun
pengetahuan tentang polalaku.
Polalaku itu tidak disebut akhlak manakala tidak menetap
dalam jiwa karena akhlak tidak bersifat temporer. Sebagai contoh
seseorang yang memberikan infak karena sesuatu karena sebab-sebab
tertentu, seseorang yang marah, karena merasa didzalimi, dan setelah
seseorang itu tahu atau sadar, dimana didalam hatinya masih ada
guratan-guratan yang diketahuinya, sehingga hal semcam ini belum
dikatakan seorang yang berakhlak, karena tindakannya disebabkan
adanya dorongan-dorongan dan pertimbangan-pertimbangan dari luar
dirinya.
Ada empat rukun yang harus dipenuhi, agar diketahui
kesemprunaan suatu akhlak, yaitu 1) kekuatan ilmu, 2) kekuatan
marah, 3) kekuatan nafsu syahwat dan 4) kekuatan berlaku adil.
55
Keempat rukun ini harus merupakan satu kesatuan utuh. Sebagaimana
bentuk lahir, wajah misalnya, tidak bisa dikatakan sempurna
keindahannya manakala hanya berfokus pada keindahaan kedua
matanya saja, sementara apresiasi hidung diabaikan, demikian juga
dengan keempat rukun tersebut.
Kekuatan Ilmu
16
Hikmah adalah situasi jiwa yang dapat dipergunakan untuk mengatur marah
dan nafsu syahwat dan mendorongnya menurut kehendak pengetahuan. Pemakaian
dan pengendaliannya diatur oleh kehendak pengetahuan.
17
Keberanian adalah suatu keadaan jiwa yang merupakan sifat kemarahan,
tetapi yang dituntun dengan sifat akal pikiran untuk terus maju atau mengekangnya
56
kelapangan dada18 dan keadilan 19. Dan dari keempat sendi-sendi
pokok tersebut, timbulnya semua akhlak yang baik dan terpuji.
18
Kelapangan dada ialah mendidik kekuatan syahwat atau kemauan dengan
didikan yang bersendikan akal pikiran serta syariat agama.
19
Keadilan ialah suatu kekuatan dalam jiwa yang dapat membimbing
kemarahan dan syahwat itu dan membawanya kearah yang sesuai dengan hikmah
dan kebijaksanaan. Ada kalanya dibiarkan dan adakalanya dikekang dan semua ini
dengan mengingat keadaan dan suasana yang sedang dihadapinya (Ihya Ulumuddin
Imam al-Ghazali,1983:506-507).
20
Dalam mempelajari aturan-aturan ini para pakar perkembangan anak menguji
tiga bidang yang berbeda, pertama bagaimana anak-anak berpikir atau bernalar
tentang aturan-aturan untuk perilaku etis, kedua, bagaimana anak-anak
sesungguhnya berperilaku dalam keadaan moral dan ketiga bagaimana anak-anak
merasakan moral itu.
57
1) Heteronomous morality yaitu tahap perkembangan moral yang
terjadi pada anak-anak berusia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-
aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh
berubah.
2) Autonomous morality yaitu tahap perkembangan moral yang
terjadi pada anak-anak yang lebih tua (kira–kira usia 10 dan
lebih), pada fase ini anak-anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan
dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan di dalam menilai
suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-
maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Dan anak-anak usia 7-
10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap yang
menunjukkan beberapa ciri dari keduanya.
58
Tabel 2.2.
Ciri-ciri Pemikir Heteronomous dan Otonomous
21
Immanent justice adalah konsep bahwa apabila suatu aturan dilanggar,
hukuman akan dikenakan segera.
59
perkembangan moral menandai perkembangan selama tahun-tahun
sekolah dasar setingkat anak usia 7-12 tahun (John W. Santrock, 2002:
342).
Islam mulai menerapkan pemberlakuan syariah bagi anak-anak
usia baligh (7-12), pada usia tersebut anak-anak telah diwajiban untuk
melakukan syariah seperti shalat, merupakan ibadah pertama yang
dimintai pertanggungan jawab di hadapan Tuhannya. Dengan
demikian anak pada usia tersebut telah dianggap mampu bertanggung
jawab akan kewajibannya. Sebagaimana penelitian akan
perkembangan moral yang dilakukan oleh Kohlberg, yang menyatakan
bahwa perkembangan moral manusia ada dalam tahapan-tahapan yang
sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan intelektualnya.
Menurut penulis pada dasarnya manusia termasuk peserta didik
telah memiliki potensi moral (baik dan buruk) yang telah tertanam
didalam batinnya (diri), baik buruk akan tumbuh dan berkembang
sangat dipengaruhi oleh stimulus-stimulus dan tauladan-tauladan
yang melingkupinya. Permasalahannya bagaimana mengkondisikan
dan mengarahkan peserta didik pada kecenderungan akal aktif (potensi
batiniah baik), atau peserta didik dengan moralitas baik.
60
Dan sifat urat syaraf itu menerima suatu perubahan, jisim atau
benda termasuk manusia disebut menerima perubahan, bila dapat
dirubah menurut bentuk-bentuk baru, dan bila dapat dirubah, maka
akan tetap dalam perubahan itu, kertas yang dilipat terasa pertama kali
sedikit menerima penolakan, maka apabila terus diupayakan dan
dipaksakan maka lambat laun akan dapat berubah dalam bentukan itu
(Ibid: 22).
Dalam bentukan yang dikehendaki sebagaimana peserta didik
yang dikehendaki dalam pembentukan moralitas yang dijunjung tinggi
maka akan memiliki moralitas yang baik dan kebiasaaan moralitas
yang baik yang telah terbentuk akan mepunyai dua sifat, pertama
memberikan kemudahan pada perbuatan itu karena telah menjadi
kebiasaan dan kedua menghemat waktu dan perhatian, karena manusia
itu hampir menjadi segolongan adat kebiasaan yang berjalan di
permukaan bumi dan nilainya akan bergantung kepada kebiasaannya
(ibdi: 32)
Butler mengemukakan bahwa sejumlah peserta didik untuk
setiap angkatan termasuk pada usia 6-12 tahun haruslah dididik untuk
mengetahui dan mengagumi kitab suci. Sedang Dernihkevich
menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi
(Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 109). Dan tugas utama pendidikan
adalah mempersiapkan peserta didik kearah kematangan akal dengan
memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru/pendidik
adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada
peserta didik. (Ibid : 115).
Peserta didik mempunyai bermacam-macam kebutuhan,
pemenuhan kebutuhan ini merupakan syarat yang penting bagi
perkembangan pribadi yang sehat dan utuh. Kebutuhan tersebut antara
lain Kebutuhan rasa kasih sayang, kebutuhan rasa aman, rasa harga
diri, kebebasan, sukses dan ingin tahu. (Khoiron Rosyadi, 2004: 195).
Kebutuhan dasar peserta didik tersebut merupakan haknya yang musti
61
diberikan oleh keluarga, pendidik pada saat pembelajaran dan
pembentukan masa perkembangannya, sehingga masa-masa yang
sangat menentukan tersebut benar-benar memperoleh porsi yang akan
mengantarkan dan sekaligus sebagai basic landasan dasar pada masa-
masa pengisian hidup berikutnya.
Perkembangan anak pada khususnya sangat tergantung pada
lingkungan dimana mereka hidup, dan peserta didik yang hidup
bersama keluarga, bersama-sama dengan teman sebayanya dan
lingkungan sekolah hampir kurang lebih 6 (enam) jam sehari, tentu
sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap penanaman moral
mereka terutama cara-cara temannya berpikir, temannya bertindak
dalam menyikapi atau merespon suatu sikap atau tindakan, temannya
berkata, kondisi temannya, cara temannya berpakaian, temannya
bersikap, karena pada dasarnya manusia hidup itu banyak meniru
(Akhmad Abdullah, 1975)
Seorang pendidik atau guru mempunyai peranan yang sangat
strategis dan besar dalam memberikan, menkondisikan, membuat
situasi pembelajaran menjadi berarti, John Dewey sebagaimana
dikutip Wasty Soemanto, ingin mengubah hambatan dalam demokrasi
pendidikan dengan jalan :
1. Memberi kesempatan pada murid/peserta didik untuk belajar
perorangan
2. memberi kesempatan murid untuk belajar melalui pengalaman
3. Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan
memberikan tujuan yang dapat menjelaskan ke arah kegiatan
belajar yang merupakan kebutuhan pokok peserta didik
4. Mengikut sertakan murid di dalam setiap aspek kegiatan
belajar yang merupakan kebutuhan poko peserta didik
5. menyadarkan murid bahwa hidup itu dinamis. Oleh karena itu,
murid harus dihadapkan dengan dunia yang selalu berubah
62
dengan kemerdekaan beraktifitas, dengan orientasi kehidupan
masa kini (Jalaluddin & Abdullah Idi, 2007: 93)
63
1. Mempelajari kecakapan-kecakapan jasmaniah yang dibutuhkan
untuk permainan sehari-hari;
2. Membentuk sikap yang baik terhadap diri sendiri sebagai suatu
makhluk yang tumbuh;
3. Belajar bergaul dengan teman sebaya;
4. Mempelajari peranan sosial laki-laki atau perempuan;
5. Memperkembangkan kecakapan dasar dalam menulis; membaca
dan berhitung;
6. Memperkembangkan pengertian yang perlu unuk kehidupan
sehari-hari;
7. Memperkembangkan kata hati, kesusilaan dan ukuran-ukuran
nilai;
8. Memperkembangkan sikap terhadap lembaga dan kelompok
sosial (Khoiron Rosyadi, 2004: 194).
Untuk menguatkan dan meninggikan pendidikan moral,
terutama akhlaknya, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu :
1. Meluaskan lingkungan pikiran, artinya terus berusaha untuk
belajar dengan semangat;
2. Berkawan dengan orang-orang terpilih, bukan berarti menolak
berkawan dengan orang awam namun lebih membekali diri
dengan lingkungan yang berpikir baik dan bijak. Karena pada
dasarnya manusia hidup suka mencontoh;
3. Membaca dan menyelidiki perjuangan para pahlawan dan yang
berpikiran luar biasa;
4. Supaya manusia memaksakan dirinya melakukan perbuatan
baik bagi umum, berbuat baik adalah kewajiban manusia,
karena kualitas antara lain terletak pada perbuatan baiknya;
5. Apa yang telah disampaikan di dalam kebiasaan tentang
menekan jiwa melakukan perbuatan yang tidak ada maksud
kecuali menundukkan jiwa. Dan menderma dengan perbuatan-
64
perbuatan setiap haridengan maksud membiasakan jiwa agar
taat, memelihara kekuatan penolaksehingga diterima ajakan
baik dan ditolak ajakan buruk (Ahmad Amin,1975: 63-66).
65
BAB III
66
penambahan ketetapan-ketetapan bagi layanan pendidikan di dalam
kelas-kelas reguler ketimbang diluar kelas-kelas tersebut (J.David
Smith,2006: 42).
Berry mengatakan bahwa embrio bagi kelahiran istilah
mainstreaming yang telah dikembangkan dimana-mana dengan
istilah least restrictive environment, pada artikel Dunn tahun 1968
berjudul ”Special Education for for the Mildly Retardet: is Much of
it Justifiable?” dalam artikel tersebut Dunn meminta para pendidik
khusus agar mempertimbangkan dengan seksama dengan adanya
hal-hal yang menunjukkan adanya kemajuan akademik yang lebih
besar pada anak-anak yang memiliki hambatan, yang ditempatkan
dikelas-kelas reguler daripada di kelas-kelas khusus.
Menurut Dunn (1968) tekanan untuk meneruskan dan
memperluas program (kelas-kelas khusus) menjadi hal yang tidak
diinginkan bagi kebanyakan anak-anak yang dipandang akan
memerlukannya (Ibid: 42). Dia juga menekankan labeling kepada
anak-anak untuk ditempatkan di kelas khusus membuat stigma yang
sangat destruktif bagi konsep diri mereka. Juga pemindahan anak
dari kelas reguler ke kelas khusus mungkin memberikan pengaruh
yang signifikan pada perasaan rendah diri dan problem penerimaan
diri ( Ibid). Keadaan ini berlaku pula pada situasi sekarang, bahkan
di Jawa Tengah dimana penempatan peserta didik pada sekolah luar
biasa (sekolah khusus) akan bisa menimbulkan traumatik bagi
peserta didik itu dan juga orang tua.
Dikatakan lebih lanjut oleh Lilly (1970), setelah publikasi
artikel ini muncul berbagai seruan untuk mengaktifkan pemikiran
Dunn pada kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik pendidikan
suatu ”zero reject model” yang menganjurkan bahwa tidak seorang
anak pun dengan keterbelakangan mental ’ditolak’ dari kelas
reguler dan ditempatkan di kelas khusus (Ibid: 43)
67
Berkenaan dengan promosi tersebut diatas, kebijakan yang
diambil oleh Council for Exception Children Policies Comission,
(1973) selanjutnya menetapkan bahwa semua siswa yang ”memiliki
hambatan” sebaiknya menghabiskan waktu secukupnya saja di luar
kelas reguler, hanya sebanyak yang diperlukan untuk mengontrol
variabel-variabel pengajaran mereka (Ibid: 43). Oleh Will (1986),
sekretaris dari badan tersebut membuat istilah dalam REI (Reguler
Education Initiative) menegaskan dengan menyatukan pendidikan
khusus dan reguler, satu ’tanggung jawab bersama’ akan tercipta
sehingga akan melayani anak-anak tanpa stigma label-label
diagnostik atau kelas-kelas yang terpisah (Ibid: 43)
Dijelaskan oleh Heller dan Schilit (1987), yang harus
diperhatikan bahwa sangat penting untuk diketahui kalau
pendidikan khusus tidak bisa mencari solusi-solusi institusional
bagi masalah-masalah individu tanpa mengubah situasi dan kondisi
dalam institusi tersebut. Menurut Mc Laughlian dan Warren (
1992), lembaga bisa diubah secara mendasar hanya sekolahlah yang
harus diubah secara mendasar”. Intinya pendidikan khusus bisa
diubah secara mendasar, hanya jika institusi sekolah umum diubah,
hal ini ditemukan berulang-ulang dalam literatur-literatur mengenai
perubahan pendidikan khusus yang telah ditulis dalam tahun
terakhir (Ibid : 44}.
Istilah inklusi yang dianggap istilah baru untuk
mendiskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan
(penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah
(dan juga diartikan sebagai menyatukan anak-anak berkelainan
(penyandang hambatan/cacat) dengan cara-cara yang realistis dan
komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh( Ibid
:45).
Perhatian yang besar terhadap semua peserta didik tanpa
melihat perbedaan, utamanya kondisi fisik atau melihat hambatan
68
faktual adalah suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswa atau
peserta didik yang memiliki hambatan dalam setiap tingkat
pendidikan mereka yang memungkinkan (Ibid: 46), hal ini sejalan
dengan ajaran Islam dalam Al-Quran, bahwa manusia pada
dasarnya sama, kecuali ketaqwaannya, sebagaimana tersurat dalam
surat al-Hujarat (49): 13 yang artinya ”Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Dalam buku J. Smith menggunakan istilah optimal inclusion
sebagai filosofi yang dipilihnya dengan pengertian untuk
mendorong pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat
inklusi yang memuaskan tiap individu siswa/peserta didik. Tujuan
utamanya, secara faktual adalah membantu pembaca menjadi
pendidik profesional yang dapat melihat sebagai yang utama dan
pertama kali dalam setiap keadaan, sedangkan cara atau hambatan
yang dimilikinya itu hanyalah satu karakter dari individualitasnya
(Ibid). Pemikiran tersebut dilatar belakangi bila hambatan
dipandang sebagai sesuatu yang sekunder bagi semua individu
siswa, pikiran itu mungkin berubah sekaligus merefleksikan
keterbukaan dan penerimaan yang lebih besar bagi seseorang serta
optimisme yang lebih besar dalam memperlakukan para penyandang
hambatan dengan lebih santun. (Ibid: 46)
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan
pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusif, selama
memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar
69
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang
mungkin ada pada mereka.” (pernyataan Salamanca,1994)
Inklusi itu masa depan, milik ras manusia, hak asasi manusia,
pengupayaan agar bisa hidup berdampingan satu sama lain,
bukanlah sesuatu hal yang harus dilakukan kepada seseorang atau
untuk seseorang, dilakukan bersama bagi satu sama lain, bukanlah
sesuatu yang kita lakukan sedikit saja ( Marsha Forest, 2005: 19).
Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam.
Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah
inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang
sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh
para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi
juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian
dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman
sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individualnya dapat terpenuhi.
Menurut Heller, Holtzman&Messick (1982), mengatakan
bahwa layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus
secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil
identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan
bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan
anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang
sangat heterogen.
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis
lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah
penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah
penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik
70
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan
dan teman sebayanya ( www.google.Pendidikan Inclusive).
Dalam J. Smith menggunakan istilah optimal inclusion sebagai
filosofi yang dipilihnya dengan pengertian untuk mendorong
pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat inklusi yang
memuaskan tiap individu siswa/peserta didik. Tujuan utamanya,
secara faktual adalah membantu pembaca menjadi pendidik
profesional yang dapat melihat sebagai yang utama dan pertama
kali dalam setiap keadaan, sedangkan cara atau hambatan yang
dimilikinya itu hanyalah satu karakter dari individualitasnya (Ibid).
Pemikiran tersebut dilatar belakangi bila hambatan dipandang
sebagai sesuatu yang sekunder bagi semua individu siswa, pikiran
itu mungkin berubah sekaligus merefleksikan keterbukaan dan
penerimaan yang lebih besar bagi seseorang serta optimisme yang
lebih besar dalam memperlakukan para penyandang hambatan
dengan lebih santun. (Ibid: 46)
Pelayanan pendidikan yang selama ini diberlakukan seakan
membentuk kotak-kotak pelayanan pendidikan, yang secara
psikhologis sangat merugikan peserta didik dalam bersosialisasi,
yang mustinya dalam peletakan dasar dalam pembelajaran ini harus
diberikan dengan suguhan-suguhan menyeluruh tentang kehidupan
nyata, bahwa disekeliling kehidupannya ada kehidupan yang
berbeda dari dirinya, namun kenyataan yang sering ditemukan
dalam dunia pendidikan hanyalah keterbatasan-keterbatan yang
tidak mampu memberikan sumbangan yang bermakna bagi
perkembangan peserta didik khususnya perkembangan moralnya
dalam menuju kedewasaannya, karena dalam masa pembelajaran,
peserta didik/remaja sekolah adalah masa untuk belajar menjadi
orang dewasa, bukan untuk menjadi remaja yang sukses (Elias,
Maurice J.et all, 2003: 33)
71
Pengkotak-kotakan pemberian pelayanan pendidikan, yang
selama ini dipraktekkan dalam dunia pendidikan, utamanya praktek
pembatasan-pembatasan bagi peserta didik yang berkelainan (tuna
netra, tunadaksa, dll) menarik perhatian internasional dan nasional
sehingga menumbuhkan ide bagi lembaga-lembaga yang komitmen
terhadap dunia pendidikan dan hak asasi manusia.
Lembaga dunia maupun nasional yang komitment terhadap
pendidikan, khususnya pelayanan itu harus diberikan dalam bentuk
inklusif. lembaga-lembga tersebut menaruh perhatian lebih dan
konsisten memberikan landasan-landasan untuk penanganan,
perkembangan serta penggarapan bagi pendidikan inklusif sebagai
suatu pelayanan pendidikan masa depan (education for future),
lembaga Internasional dan Nasional tersebut antara lain adalah :
• Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (PUS) pada
tahun 1990,
• Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai
Pendidikan Berkebutuhan Khusus tahun 1994,
• Kerangka Dakar, Pendidikan Untuk Semua (PUS) tahun 2000,
• Deklarasi Bangkok tentang Pendidikan tahun 2004, para
Menteri dan para Pejabat Tinggi Kementerian dari 10 negara
Asia Tenggara, bertemu dalam forum kementerian tanggal 26
Mei di Bangkok, Thailand. Untuk mendiskusikan isu
”peningkatan akses terhadap, dan kualitas dari, pendidikan
melalui lingkungan belajar yang ramah anak”. Indonesia
diwakili oleh Bapak Indra Jati Sidi, Ph.D yang menjabat Dirjen
Dikdasmen.
• Rekomendasi Simposium Internasional tentang Inklusi dan
Penghapusan Hambantan untuk Belajar, Patisipasi dan
Perkembangan tahun 2005,
- Inklusi
- Sekolah ramah Anak
• Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para
Penyandang Cacat tahun 1993,
• Undang-Undang tentang Penyandang Cacat tahun 1997,
• Deklarasi Bandung dengan Tema Indonesia menuju Inklusi
tahun 2004,
• Konggres Internasional ke-8 tentang mengikutsertakan anak
penyandang kecacatan ke dalam masyarakat, menuju
72
kewarganegaraan yang penuh pada tahuan 2004 (Kompendium,
2006).
73
pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan
pendidikan inklusif.
Sebagai bentuk kepedulian pada program Inklusif, Pemerintah
melalui Deklarasi Bandung dengan Tema Indonesia menuju
Pendidikan Inklusif tahun 2004, pada salah satu pernyataan yang
disepakati menyebutkan yaitu untuk ”Menyusun Rencana Aksi
(Action Plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas
fisik dan non fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan,
rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak
berkebutuhan khusus lainnya”.
Tindak lanjut dari pernyataan tersebut, tersurat dalam buku
panduan (tookit) edisi Indonesia terdiri dari buku 1 sampai 6 yang
menyebutkan bahwa pendidikan inklusif sebagai upaya untuk
menyikapi keberagaman atau keberbedaan, dengan metode-metode,
antara lain dalam :
Menjadikan Lingkungan Inklusif, Ramah terhadap
Pembelajaran (LIRP);
Bekerja Sama dengan Keluarga dan Masyarakat untuk
Menciptakan LIRP;
Mengajak Semua Anak Bersekolah dan Belajar;
Menciptakan Kelas Inklusif, Ramah terhadap Peserta Didik;
Mengelola Kelas Inklusif dengan Pembelajaran yang Ramah
Menciptakan LIRP yang sehat dan Aman.
74
berbeda, (dalam kemampuan, kelompok etnis, usia, latar belakang,
gender, emosi, sosial dan lain sebagainya), semua anak bisa
belajar, sehingga sistimlah yang harus dirubah untuk menyesuaikan
dengan kondisi anak.
Masalah akan selalu timbul ketika suatu pendidikan
menampung semua bentuk kondisi dimana lingkungan tersebut
menerima, merawat dan mendidik semua anak tanpa memandang
perbedaan jenis kelamin (gender), fisik, intelektual, sosial,
emosional, linguistik atau karakteristik lainnya. Mereka bisa saja
anak-anak yang cacat atau berbakat, anak jalanan atau pekerja, anak
dari orang-orang desa atau nomadik, anak dari minoritas budayanya
atau etnisnya, linguistiknya, anak-anak yang terjangkit HIV/AIDS,
atau anak-anak dari area atau kelompok yang lemah dan termarginal
lainnya
Pada kenyataannya intelegensi peserta didik ada pada
tingkatan-tingkatan sebagaimana tampak pada kurve sebagai
berikut
KURVA INTELEGENSI
ANAK
Normal
Sub normal Super normal
IQ < 90 IQ 90-120
IQ > 120
ATAU
Super normal
IQ > 120
Normal
IQ 90-120
Sub normal
IQ < 90
75
Sehingga pelayanan pendidikan yang diberikan dan
diberlakukan harus bisa dan mampu mengakomodir semua
tingkatan intelegensi yang inheren pada setiap peserta didik yang
ada dalam kehidupan. Pendidikan Inklusif sebagai wadah yang
mampu memberikan dan mengakomodir semua itu.
Melalui pendidikan inklusif, peserta didik berkelainan dan
berkebutuhan khusus dididik atau diajar bersama-sama dengan
peserta didik lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam
masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus
yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena
itu, peserta didik berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan
peluang yang sama dengan peserta didik normal untuk mendapatkan
pelayanan pendidikan di sekolah-sekolah reguler terdekat.
Pendidikan inklusif diharapkan mampu memecahkan persoalan
dalam pelayanan dan penanganan pendidikan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus selama ini, manusia sisa-sisa, termarginalkan
segera akan disingkirkan atau tidak diperdengarkan lagi karena
komitmen semua pihak melaksanakan pendidikan untuk semua dan
pelayanan pendidikan yang kecenderungannya diberikan bagi
seluruh warga negara, tidak terkecuali bagi mereka yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial dan
warga negara yang berusia 7 s/d 15 tahun wajib untuk mengikuti
pendidikan dasar.
76
disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003).
Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan
interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih
asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti
halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-
hari.
Landasan yuridis internasional, seperti tersebut diatas lembaga
dunia dan Undang-undang penguat yang menyuarakan supaya
gaung pendidikan inklusif dapat diakses keseluruh antero dunia,
sebagai ungkapan kembali bahwa Deklarasi PBB tentang HAM
tahun 1948, Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama
tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada
pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai
tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja
mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas.
77
dengan pengungkapan ceritera pengalaman hidup seorang laki-laki
negro dengan tulisannya dalam judul Novelnya ”Invisble Man”,
namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National
Academy of Sciences (Amerika Serikat) pada tahun 1980, hasilnya
menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan
atau anak berkebutuhan khusus di sekolah, kelas atau tempat khusus
tidak efektif dan diskriminatif.
78
dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan
atau penyimpangan tertentu, tetapi kelainan atau penyimpangan
tersebut tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan
pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak
dengan kebutuhan khusus.
Ada 9 (sembilan) jenis anak kebutuhan khusus, untuk keperluan
pendidikan inklusi, karena berdasarkan berbagai studi, hanya ada
sembilan jenis kelainan yang paling sering dijumpai di sekolah-
sekolah reguler. Jika masih dijumpai di sekolah, diluar 9 jenis
kebuthan khusus tersebut, maka guru dapat bekerjasama dengan
pihak yang relevan untuk menanganinya, yaitu lembaga-lembaga
terapi penanganan anak-anak seperti anak autis, anak korban
narkoba, anak yang memiliki penyakit kronis, dan lain-lain.
Secara singkat kesembilan jenis kebutuhan khusus tersebut,
masing-masing dijelaskan sebagai berikut :
1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan, adalah
anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa
kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi
pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap
memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran,
adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu
berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan
pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
3. Tunadaksa/mengalami kelainan angota tubuh/gerakan, adalah
anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada
alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
4. Berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa,
adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (inteligensi),
kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task
commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal),
sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi
nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
79
5. Tunagrahita atau retardasi mental adalah anak yang secara
nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan
perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa
sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik,
komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan
layanan pendidikan khusus.
6. Lamban belajar (slow learner), adalah anak yang memiliki
potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum
termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami
hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan
dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding
dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang
normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-
ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik
maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan
pendidikan khusus.
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik, adalah anak
yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca,
menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan
karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena
factor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di
atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan
khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa
kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar
menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung
(diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak
mengalami kesulitan yang signifikan (berarti)
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi, adalah anak yang
mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau
kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan
bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang
mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan
karena faktor ketunarunguan.
9. Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan
norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia
maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan
dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan
pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya
maupun lingkungannya (Pedoman Penyelenggaraan
Pendidikan Terpadu/Inklusi, 2004).
80
Peserta didik yang memiliki kelainan seperti tersebut diatas
direkomendasikan seyogyanya belajar bersama-sama dengan
peserta didik normal dalam kelas reguler, dengan demikian
mereka berada bersama-sama dalam kelas yang sama, memperoleh
kesempatan yang sama tanpa membedakan atau tanpa ada
diskriminasi. Pendidikan inklusif memberikan wadah bagi
kebersamaan mereka, untuk memperoleh kesempatan
mengembangkan potensi diri yang dimiliki masing-masing peserta
didik.
81
megah di atas tanah seluas 11.765 meter persegi, satu komplek
dengan TK Hj. Isriati Baiturrahman dan Masjid Raya Baiturrahman,
di sebelah barat Lapangan Pancasila Simpang Lima Semarang.
Sejak berdiri pada tahun 1985 sampai dengan sekarang SD Hj.
Isriati Baiturrahman telah mengalami tiga periode kepemimpinan.
Periode pertama, pada tahun 1985 – 1987, disebut sebagai periode
keperintisan. Pada periode ini SD Hj. Isriati Baiturrahman di bawah
kepemimpinan Siti Nizam Maria Ulfah, S.Pd.. Beliau bersama lima
orang guru dan pengurus Yayasan merintis berdirinya SD Hj. Isriati
Baiturrahman dengan siswa sebanyak 12 anak pada tahun pertama
dan 30 anak pada tahun ke dua.
Periode kedua, pada tahun 1987 – 2000, periode ini disebut
sebagai periode pencarian jati diri. Pada periode ini SD Hj. Isriati
di bawah kepemimpinan Hj. Dra. Sri Tantowiyah, M.Pd.. Beliau
bersama para guru mengembangkan pendidikan di SD Hj. Isriati
sekaligus mencari dan membentuk jati diri SD Hj. Isriati
Baiturrahman. Selama 13 tahun inilah SD Hj. Isriati memantapkan
diri sebagai sekolah Islam dan menunjukkan perkembangan yang
sangat pesat, baik dari sisi kuantitas siswanya maupun kualitasnya.
Periode ketiga, pada tahun 2000 – 2008. Periode ini disebut
sebagai periode pengembangan mutu. Pada periode ini SD Hj.
Isriati di bawah kepemimpinan Sunoto. Pada masa ini SD Hj. Isriati
memfokuskan pada peningkatan mutu dan kinerja sekolah melalui
peningkatan mutu sumber daya manusia, peningkatan mutu
kegiatan belajar mengajar, dan sarana prasarana. Alhamdulillah
lima tahun terakhir ini program tersebut telah terwujud.
Perjalanan terus berlangsung dalam sejarah peletakan dasar
pada tunas-tunas bangsa lewat pendidikan merupakan tugas mulia
yang harus mendapatkan dukungan dari semua pihak dengan karya
nyata sangat diharapkan demi terwujudnya masyarakat kota
82
Semarang yang utuh dan sehat untuk menyongsong era globalisasi
dunia yang tak kenal batas.
Untuk itu kolaborasi pendidikan sebagai proses belajar hidup
guna mengatasi keburukan dan mengembangkan kebaikan (Abdul
Munir Mulkhan, 2002:46) dengan sentuhan agama dan praktek
nyata sangatlah tepat dan dibutuhkan. Karena saleh, cerdas, dan
sukses hidup bagi manusia adalah persoalan yang bisa dipahami dan
dievaluasi, bukan takdir sebagai suatu hak prerogative Allah (Ibid).
Sesuai dengan peraturan Pemerintah yang menyebutkan fungsi
Pendidikan agama adalah membentuk manusia Indonesia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan
hubungan inter dan antarumat beragama (Peraturan Pemerintah RI
,2007,bab.II: 2). Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya
kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai agama yang meyerasikan penguasaannya
dalam ilmu pengetahuan dan seni (ibid).
Berbagai lomba telah diikutinya, lomba mata pelajaran, pidato
Bahasa Inggris, Sains, Sempoa, Vokal, Baca Puisi, Menggambar,
Pilihan Dai kecil (Pildacil), kegiatan tersebut diikutinya mulai dari
tingkat kecamatan, tingkat kota, wilayah Jawa Tengah dan tingkat
Provinsi Jawa Tengah. Semua kegiatan tersebut memperoleh
prestasi yang tidak mengecewakan, selalu mendapatkan juara.
83
adalah pendidikan yang memberikan pelayanan kepada anak-anak
biasa (regulars children) dan anak-anak berkebutuhan khusus22
(special need children). dan mereka dilayani secara inklusif. Di
kelas reguler, anak-anak reguler bersama Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) menggunakan kurikulum Berbasis Kompetensi yang
dimodifikasi. Kurikulum yang dimodifikasi adalah kurikulum yang
mengkombinasikan antara kurikulum yang diberlakukan dengan
memperhatikan kondisi peserta didik.
Kurikulum yang diberlakukan pada SD Hj. Isriati
Baiturrahman menggunakan Kurikulum Nasional (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) dan Kurikulum Lokal, baik Kurikulum
Departemen Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama
secara terintegrasi. Perbandingan antara Kurikulum Departemen
Pendidikan Nasional dan Kurikulum Departemen Agama sekitar
80% : 20.
Didalam perjalanan melayani masyarakat, SD Hj. Isriati ingin
memberikan pelayanan terbaik kepada semua masyarakat tanpa
pandang bulu sesuai amanat yang tertuang dalam Undang–Undang
Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 “Bahwa Pendidikan adalah
Hak bagi semua warga Negara Indonesia, termasuk anak
berkebutuhan khusus”.
Berawal dari niat memberikan pelayanan untuk semua, dan
bersamaan dengan program Pemerintah yang mensosialisasikan dan
mencanangkan Program Inklusif pada tahun 2003, dan dengan
unsur ketidak sengajaan tersebut, SD Hj. Isriati menyelenggarakan
pendidikan Inklusif, barangkali ada hikmah dibalik jiwa yang besar
ada kebesaran Tuhan yang luar biasa, bahwa pada hakikatnya
manusia itu sama di hadapan TuhanNya, mereka anak berkebutuhan
22
Anak yang dalam proses pertumbuhan/perkembangan secara signifikan
(bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan pada (phisik, mental-intelektual,
social, emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, sehingga perlu
memperoleh pelayanan Pendidikan Inklusif
84
khusus (ABK) memang tetap harus diberikan porsinya, harus
diberikan haknya, harus diberikan tempat yang layak, harus
dimanusiakan, harus dilayani, harus dikembangkan potensinya,
karena hidup adalah menanam benih kebaikan yang buahnya akan
dipetik oleh generasi-generasi sesudahnya.
85
adalah sifat fitrah manusia, untuk menerapkan kepada peserta
didik merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan
kasih sayang para peserta didik merasakan sentuhan yang bisa
dirasakan dari dalam dirinya untuk kemudian sikap kasih
sayang bisa berkembang dengan menerapkan pada diri sendiri,
para pendidik dan tenaga kependidikan, kepada orang tua dan
kepada teman sebayanya. Dengan harapan para peserta didik
akan menjadi seorang yang penyayang, seorang penyayang
bukan saja menyayangi dirinya sendiri, melainkan menyayangi
dirinya dan orang lain (sabda Rasul)
Prinsip keperagaan, setiap memberikan pembelajaran
kepada peserta didik ini perlu didukung dengan alat peraga,
disamping dengan kata-kata yang tidak terlalu cepat, karena
mereka perlu dituntun dengan pelan dan menjelaskan dengan
telaten. Dengan alat peraga memperjelas pelajaran yang
diberikan kepada mereka. Peserta didik dengan kondisi lemah
akal pikirnya dalam menerima pembelajaran, biasanya
membutuhkan ketelatenan, mereka tidak seera merta mampu
untuk menerima pembelajaran dengan instan, mereka peerlu
pemberian yang bertahap dan teliti, mereka memang bisa
digolongkan peserta didik yang lambat, sehingga segala
sesuatunya tidak bisa cepat bahkan untuk memperjelas
pembelajaran yang diberikan oleh para pendidik memerlukan
alat peraga, alat peraga bisa beraneka macamnya
Prinsip habilitasi dan rehabilitasi adalah usaha untuk
mengembalikan peserta didik pada kondisi yang proporsional
sesuai dengan keadaan kemampuannya.
2. Penanganan peserta didik tunalaras/anak yang mengalami
gangguan emosi dan perilaku, dimana mereka mengalami
kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku yang
tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam
86
lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya,
sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya
memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan
dirinya maupun lingkungannya.
Beberapa prinsip yang diterapkan untuk ABK tunalaras seperti
Prinsip kebutuhan dan keaktifan, prinsip kebebasan
yang terarah, prinsip penggunaan waktu luang, prinsip
kekeluargaan dan kepatuhan, prinsp setia kawan dan idola serta
perlindungan, prinsip minat dan kemampuan, prinsip
emosional, sosial dan perilaku, prinsip disiplin, prinsip kasih
sayang
Prinsip-prinsp yang diterapkan untuk ABK tuna laras
sebetulnya juga merupakan kebutuhan peserta didik pada
umumnya, namun pada ABK tuna laras tampak sekali
kehidupan yang sarat dengan emosional dan kecenderungaan
berbuat menggannggu teman-teman sebayanya sehingga
penerapan prnsip- prinsip tersebut bertujuan unuk mengarahkan
kepada kenormalan supaya situasi pembelajaran tidak
terganngu dengan hadirnya anak berkebutuhan khusus tuna
laras dan peserta didik bisa melaksanakan pembelajaran dengan
tenang dan tidak gaduh.
3. Penanganan bagi peserta didik authis sebetulnya menggunakan
prinsip-prinsp yang hampir sama dengan prinsip yang
diterapkan pada ABK tunalaras, ABK ini hampir memiliki
kecenderungan yang mirip dengan ABK tunalaras hanya
koncentrasi pada autis seakan tidak mampu untuk konsentrasi
pada satu pelajaran, mereka lebih asyik dengan dunia sendiri,
kalau ABK autis maunya yang ini, maka mereka tidak mau
dibelokkan untuk memilih yang lainnnya, mereka asyik dengan
dunia imajinasinya sendiri.
87
Prinsip-prinsip yang diterapkan adalah prinsip
kebutuhan dan keaktipan, prinsip keperagaan, prinsip
kebebasan yang terarah, prinsip penggunaan waktu luang,
prinsip kekeluargaan dan kepatuhan, prinsip minat dan
kemampuan prinsip setia kawan dan idola serta perlindungan,
prinsip emosional, sosial dan perilaku, prinsip kasih sayang.
Peniruan adalah suatu bagian yang penting dari proses
membujuk anak-anak untuk berperilaku dengan baik kepada
orang lain (John W. Santrock, 2002:49). Ketika seorang
pendidik memperlakukan dengan baik kepada ABK yang
memang membutuhkan perhatian yang hkusus dan sentuhan
hati maka saat inilah untuk membentuk moralitas mereka
dimana saat-saat perkembangan moral berada pada posisi
meniru dan taat pada guru/pendidik.
88
dengan kebaikan-kebaikan akan menimbulkan kesan yang dalam bagi
perkemabangan peserta didik pada masa-masa perkembangan
berikutnya. Pendidik atau para guru pada SD Hj. Isriati Semarang
melakukan berbagai hal, dengan memenuhi bahasa kasih sayang. Ada
lima hal yang diterapkannya :
a. Kata-kata pendukung, berupa kata-kata pujian dengan tulus, kata-
kata pujian dsb;
b. Saat-saat berkesan, dengan menyampaikan cerita-cerita
pengalaman yang pernah dialami oleh peserta didik dengan
pengalaman-pengalaman yang positif yang menarik bagi peserta
didik;
c. Menerima hadiah-hadiah, yaitu dengan memberikan hadiah-
hadiah bagi peserta didik yang telah berhasil melakukan
pekerjaan dengan baik atau telah membantu temannya dengan
baik pula;
d. Pelayanan, seorang guru harus memberikan pelayanan yang
terkait dengan peningkatan, supaya peserta didik merasa ada
perhatian dan penuh dengan kasih sayang;
e. Sentuhan fisik, hal tersebut perlu dilakukan supaya ada kedekatan
antara peserta didik dengan pendidik, misalnya dengan menepuk-
nepuk bahunya atau mengelus kepalanya.
Kelima hal tersebut pentingnya dilakukan sebagai bentuk
pendidikan yang bisa dibarengi dengan perbuatan yang perlu
diberikan sebagai suatu contoh yang harus dlihat oleh peserta didik
untuk selanjutnya akan ditiru dalam perbuatan nyatanya pada saat
peserta didik bergaul dan bersosialisasi dengan lingkungan.
Disamping menerapkan prinsip pelayanan pembelajaran
tersebut diatas para pendidik dan tenaga kependidikan
dilngkungan SD Hj. Isriatai menerapkan pemebelajaran-
pembelajaran yang bersifat keagamaan, dengan adanya
penerapan Kurikulum Islami, sebagai konsekwensi dan
89
komitmen sejak awal, bahwa SD Hj. Isriati merupakan sekolah
yang menggunakan kombinasi kurikulum nasional dan kurkulum
Departemen agama.
Penerapan tersebut berupa penerapan perbuatan sebagai
ketaatan kepada Tuhan seperti, perbuatan-perbuatan yang
dibiasakan yaitu :
1. Awal pembelajaran diawali dengan berdoa bersama diaula
yang dikemas sebagai apel bersama, yang diikuti oleh semua
pesera didik dari kelas I sampai dengan kelas VI, do’a yang
dibaca adalah 1) membaca dua kalimah syahadat, suatu
persaksian atau janji yang harus ditanamkan dalam diri
setiap peserta didik sebagai suatu kebiasaan 2) membaca
surat al-Fatikhah dan 3) do’a belajar. Ketiga bacaan tersebut
dibaca oleh peserta didik yang telah dilatih serta didampingi
oleh bapak guru pembimbing. Doa tersebut dibacakan dan
diucapkan dalam tiga bahasa, bahasa Arab, bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris;
2. Mengaji, membaca Al-Quran, serta belajar seni baca al-
Quran;
3. Mewajibkan peserta didik untuk menjalankan shalat wajib
dhuhur dengan dimasukkan kedalam kurikulum;
4. Memperkenalkan hadis-hadis rasul yang pendek-pendek
misalnya man jadda wa jadda (barang siapa bersungguh
maka akan memperoleh hasil). Hadis pendek tersebut
difigura sebagai hiasan dinding yang bisa dibaca setiap saat;
5. Memakai kerudung sebagai penutup aurot bagi wanita, dan
memakai celana panjang bagi laki-laki, dll. mengaji,
melakukan shalat berjamaah dlsb.
Disamping pembiasaan tersebut diatas, diberikan
pelayanan yang intensif yang dilakukan oleh guru pembimbing
khusus, berikut kegiatan Guru Pembimbing terhadap peserta
90
didik berkebutuhan khusus, yang disajikan dalam tabel untuk
memberi kemudahan kepada pembaca, peserta didik yang nama-
namanya disebutkan dengan jelas dibawah ini ditulis dengan
persetujuan kepala sekolah, guru pembimbing serta orang tua.
Dari hasil identifikasi terhadap peserta didik yang
mengalami hambatan dalam belajar dan perilaku yang tidak
semestinya sebagai peserta didik yang seharusnya patuh serta
taat dan berperilaku baik atau bermoral, ditemukan ada beberapa
peserta didik yang menonjol dan membutuhkan pelayanan yang
ekstra. Pelayanan kepada peserta didik yang mengalami kelainan
yang dilakukan oleh guru pembimbing, sebagai berikut :
Tabel 3.1.
Kegiatan Pelayanan yang diberikan oleh Guru Pembimbing
terhadap para peserta didik berkebutuhan khusus
91
lah di sekolah khusus (SLB)
92
cari perhatian
93
dasarnya memiliki rokh kesucian yang amat sangat dekat dengan
keselarasan kebaikan dan manusia yang bermoral dan bermartabat.
Dengan demikian pendidikan yang dilakukan dalam
pendidikan inklusif membantu tumbuh kembangkan pendidikan
yang memiliki rokh kehidupan manusia yang hakiki, yaitu
manusia yang pada hatinya telah terdapat cahaya nur illahi yang
memang harus dilatih terus menerus, supaya cahaya tersebut tidak
padam.
94
hanya terjadi pada seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan
dan bahwa hukuman juga tidak terelakan.
Usia peserta didik pada jenjang sekolah dasar (sekitar usia 7 s/d
15 tahun), sebagaimana peserta didik pada SD Hj.Isriati Semarang,
pada usia tersebut peserta didik memiliki oriantasi penalaran moral
pada tingkat kepatuhan terhadap aturan–aturan atau norma-norma
yang berlaku, belum memiliki pola pikir sendiri, pendapat sendiri,
mereka memiliki kecenderungan berpikir yang tidak neko-neko,
masih murni, masih lugu, masih kaku, kalau aturannya berbunyi
melarang mereka mereka akan mematuhinya sesuai dengan aturan
tersebut, mereka belum banyak mendapat pengaruh dari luar
dirinya.
Lingkungan keluarga (orang tua, kakek neneknya, saudara-
saudaranya dan juga anggota keluarga yang lainnya). Lingkungan
sekolah dan sekaligus lingkungan teman sebayanya yang baru
dikenalnya dan akan diketahuinya ketika mereka berbaur dan
bersama-sama bersekolah selama proses pendidikan di Sekolah.
Lingkungan sekolah yang baru dimasukinya memberikan
konsekwensi pada dirinya untuk mematuhi aturan-aturan yang
diterapkan dan memmiliki hukum wajib dengan ketentuan apabila
peraturan-peraturan tersebut dilanggar mereka akan mendapatkan
sangsi, teguran bahkan hukuman sehingga mereka berusaha untuk
menjadi peserta didik yang baik dengan mentaati aturan-aturan
yang diberlakukan di sekolah tersebut serta mematuhi perintah-
perintah guru/para pendidik serta tenaga kependidikan yang ada di
sekolah tersebut yang akhirnya membentuk peserta didik menjadi
anak yang baik, peseta didik yang bermoral, moralitasnya baik.
Keaneka ragaman teman sebaya, karena mereka berasal dari
berbagai keadaan, berbagai kondisi dan berbagai latar belakang, hal
itupun akan memberikan sesuatu yang baru kepada peserta didik,
sesuatu pemikiran yang baru diketahuinya ketika mereka bersekolah
95
atau bersosialisasi dengan teman-temannya. Teman-teman yang
dalam keberbedaan fisik dan emosional termasuk teman-temannya
yang memiliki kebutuhan khusus (ABK), keberbedaan ini akan
mempengaruhi pemikiran yang memberikan warna dalam pemikiran
selanjutnya, atau ungkapan perasaannya atau emosinya.
Emosi negatif dalam bentuk kejengkelan, ketidak sabaran atau
yang lainnya itu akan timbul, misalnya ada temannya yang nakal,
ada temannya yang kurang pandai dalam mata pelajaran, atau ada
temannya yang terlalu aktip dalam geraknya atau acuh (autis). Dan
juga emosi dalam bentuk positif misalnya merasa kasihan melihat
temannya yang kurang beruntung, tidak mempunyai anggota tubuh
yang lengkap tidak bisa melihat dengan baik (tuna daksa, tuna
netra, tuna grahita). Keadaan ini tentu merupakan keadaan-keadaan
yang diketahui dan dikenalnya ketika mereka bersekolah.
Menurut Tomkins (lih.Morgan,dkk.,1984) mengemukakan
bahwa emosi itu menimbulkan energi untuk motivasi. Disamping
itu Tomkins juga mengemukakan pendapat bahwa adanya 9 macam
innate emotions, berdasarkan atas tipe gerak dan ekspresi yang
nampak pada seseorang. Tiga bersifat positif, yaitu 1) interest atau
excitement, 2) enjoyment atau joy, 3) surprise atau startie. Yang
enam bersifat negatif, yaitu: 1) distress atau anguish, 2) fear atau
terror, 3) shame atau humilitation, 4) contemp, 5) disgust, 6) anger
atau rage. Dengan demikian adanya suguhan-suguhan teman
sebaya yang memiliki keberbedaan dengan dirinya akan
merangsang emosinya untuk bertindak atau bersikap. Dan sikap
atau tindakan tersebut bisa berbentuk negatif atau positif.
Kecenderungannya untuk bersikap positif mempunyai harapan
yang membahagiakan kepada semua lingkungan yang dekat dengan
peserta didik, mereka akan merasa bahagya dan puas ketika
menyaksikan peserta didik terus bissa melakukan perbuatan baik
karena dorongan kondisi yang memang telah disiapkan oleh
96
lingkungan sekolah. Sekolah yang menerapkan kurikulum islami
akan lebih membentuk kebiasaan-kebiasasan baik ini akan tumbuh
tanpa dengan disadarinya yatu dengan intuitif. Dimana kebenaran
intuitif tumbuh dengan sendirinya tanpa ada dorongan baik dari
dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Bahkan kadang-kadang
tidak diketahuinya mengapa peserta didik berbuat baik dengan tiba-
tiba.
Selanjutnya dengan kebiasaan yang baik yang telah ditanamkan
oleh sekolah yang menerapkan kurikulum islami disamping
kurikulum nasional, peserta didik akan memiliki akhlak yang baik
pula, karena pada dasarnya akhlak yang baik itu harus dibentuk
dikondisikan, diberi stimulus, adanya figur yang tetap konsisten
bisa dijadikan pegangan oleh peserta didik, bisa dijadikan refernsi
oleh mereka menjadi manusia yang baik, bahagia dan memiliki
kepuasan diri, yang dientik dengan manusia yang berakhlakul
karimah (Imam Ghazali)
Secara umum, ketika masuk dalam lingkungan SD Hj. Isriati
Semarang, yang lokasinya persis berdampingan dengan masjid
Baiturrakhman Semarang yang sangat megah tersebut, bertemu
dengan banyak peserta didik yang lalu lalang dengan ceria seakan
menggambarkan kebahagian yang tercermin dari dalam hati,
tingkah laku yang nampak mencerminkan kehidupan rokhani yang
sehat. Implementasi moralitas peserta didik didiskripsikan pada
uraian berikut.
97
keluarga, moralitas pertama yang akan dilihat bagaimana peserta
didik berusaha untuk menyelaraskan hubungan dan menjaga
keharmonisan antara dirinya dengan kedua orang tuanya.
Lingkungan sosial kedua, ketika peserta didik dalam
perkembangan hidup mulai memasuki dunia sekolah, maka peserta
didik bertemu dan bersosialisasi dengan guru yang merupakan
peletak kebaikan dan merupakan model yang ditemukan peserta
didik, sehingga perkembangan moral berikutnya adalah moralitas
peserta didik terhadap guru. Kemudian di sekolah disamping
bertemu dan bersosialisasi dengan guru-gurunya, mereka juga
bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya.
Untuk mengetahui sikap moralnya, dibawah ini diuraikan
beberapa pertanyaan untuk mengungkap sikap hormat maupun
sikap rukun baik terhadap orang tua, guru maupun teman
sebayanya.
98
Penalaran atau pemikiran, tindakan dan perasaan moral
yang dipilih dalam kecenderungannya yang berlandaskan dengan
sikap rukun adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan,
antara lain : 1) Jika sedang ada persoalan dirumah, di sekolah
dengan guru maupun dengan teman, saya berusaha untuk
bermusyawarah, mengutarakan kepada orang tua, 2) Jika terjadi
perselisihan, saya memilih untuk mengalah, karena mengalah itu
perbuatan mulia dan disayangi Tuhan, 3) Jika bepergian, saya
menggandeng dan mengiringi orang tua, 4) Kalau akan bepergian
dan bertemu orang tua, saya mencium tangannya, 5) Saya merasa
kesepian atau sedih apabila ditinggal pergi orang tua lebih dari
tiga hari, dan 6) Apabila dinasehati, diperintah orang tua, saya
menurut, dan melaksanakan perintahnya
99
tauladan-tauladan yang diajarkan dan dicontohkan oleh bapak-
ibu guru, 3) Saya peduli dengan jerih payah, perbuatan baik dan
mulia bapak/ibu guru dengan memberikan ilmu dan mengajar
saya, 4) Saya bertindak segera apabila bapak/ibu guru menyuruh
saya melakukan suatu pekerjaan, 5) Saya merasa bapak/ibu guru
seperti malaikat dalam memberikan ilmu pada semua peserta
didik, karena tidak mengharapkan balasan, dan 6) Saya merasa
kehilangan apabila ada bapak/ibu guru yang sedang menderita
sakit, dan saya mendo’akannya biar cepat sembuh dan sabar
menerimaa cobaan hidup.
100
kelompok belajar, supaya teman-teman yang lainnya bersedia
bergabung, 3) Saya menjalin hubungan dengan teman, dengan
cara menelpon, pergi atau bersilaturrokhim kerumahnya, 4) Saya
membantu teman-teman, dengan berbuat semampu saya,
memberi berupa materi maupun bukan materi, 5) Saya
mengagumi teman yang baik hati, suka menolong teman lainnya,
suka membantu dan tidak suka berkelahi, menmbulkan masalah,
serta 6) Saya sedih apabila melihat teman-teman berkelahi, tidak
akur dengan teman lain dan berbuat tidak sopan.
Dari beberapa pertanyaan tersebut, dikategorikan dalam
4 kategori, kategori pertama, apabila peserta didik menjawab
dengan memilih jawaban selalu, maka moralitas peserta didik
bisa dinilai dengan sangat baik, kategori kedua, apabila peserta
didik menjawab dengan memilih jawaban sering kali, maka
moralitas peserta didik bisa dinilai dengan baik, kategori ketiga
apabila peserta didik menjawab dengan memilih jawabaan
kadang-kadang, maka moralitas peserta didik bisa dinilai
dengan cukup, dan kategori keempat, apabila peserta didik
menjawab dengan memilih jawaban tidak pernah, maka
moralitas peserta didik dinilai tidak baik.
101
BAB IV
DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA
102
Tabel 4.1.
1. Berkebutuhan khusus 7
2 Normal 1 19
3 Normal 2 14
Jumlah 40
103
Tabel 4.2.
Skor Subyek Pada Nilai Rerata, Minimal dan Maksimal
2. 19 112 88 140
Normal 1
3. 14 118 71 144
Normal 2
104
Sementara itu pengelompokan Peserta Didik berdasarkan
Kategori Moralitas Peserta Didik Berkebutuhan Khusus didasarkan
dalam tiga kategori moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, dan
sedang. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata
yang harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik
dan standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).
Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 113
dan deviasi standarnya adalah 29. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali (71,
42 %), baik (14,29 %) dan sedang (14, 29 %) yang secara lengkap
dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.4.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berkebutuhan khusus Berdasarkan
Rerataan Teoritik dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Jumlah Persentase
Skor
Moralitas Baik 114- 143 5 71, 42 %
1.
sekali
2. Moralitas Baik 85- 113 1 14, 29 %
105
Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa Moralitas
peserta didik normal 1 mimiliki skor yang bergerak antara 88 sampai
dengan 140. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-
rata yang harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata
teoritik dan deviasi standar teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar,
1993). Rerataan teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
112 dan deviasi standarnya adalah 14. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik
sekali (10,52 %), baik (42, 11 %), sedang (26,32 %) serta kurang baik
(21,05) yang secara lengkap dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 4.5.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
No Rentang
Jumlah Persentase
Kategori Skor
Moralitas Baik 128 - 140 2 10, 52 %
1.
sekali
106
Rerataan teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
144 dan deviasi standarnya adalah 19. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik
sekali (7, 14 %), baik (57,14 % ) sedang (14, 29 %) dan kurang baik
(21, 43 %) yang secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.6.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
Kategori Jumlah Persentase
No Skor
107
Tabel 4.7.
Rekapitulasi Hasil Penelitian Kategori Moralitas Peserta Didik
Berkebutuhan Khusus, Normal 1 dan Normal 2.
Rerata
Kategori Jumlah Persentase Keterangan
No Skor
108
Hasil Penelitian
Tabel 4.8.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Jumlah Persentase Keterangan
Skor
1. Moralitas Baik 40 - 49 4 57, 14 %
sekali
2. 31 - 39 2 28, 57 % Sangat
Moralitas Baik
Baik
3. Moralitas 22 - 30 1 14, 29 %
Sedang
109
yang sangat baik, hal ini didasarkan dari pencapaian nilai prosentase
yang lebih dari prosentase rata-rata yang dihasilkan yaitu sebesar 57,
14 %.
Tabel 4.9.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Jumlah Persentase Keterangan
Skor
Moralitas 39 - 49 4 57, 14 %
1. Baik
sekali
Sangat
2. Moralitas 28 - 38 2 28, 57 %
Baik Baik
3. Moralitas 17 - 27 1 14, 29 %
Sedang
110
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa moralitas peserta
didik berkebutuhan khusus (ABK) terhadap Guru memiliki moralitas
yang sangat baik, hal ini didasarkan dari pencapaian nilai prosentase
yang lebih dari prosentase rata-rata yang dihasilkan yaitu sebesar 57,
14 %.
111
Tabel 4.10.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Skor
Jumlah Persentase Keterangan
Moralitas 37 - 47 4 57, 14 %
1. Baik
sekali
Sangat
2. Moralitas 25 - 36 2 28, 57 %
Baik Baik
3. Moralitas 13 - 24 1 14, 29 %
Sedang
112
58 %), baik (36, 84 %), sedang (21, 05 %) serta kurang baik (10, 53
%) yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.11.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Jumlah Persentase Keterangan
Skor
Moralitas 40 - 45 6 31, 58 %
1.
Baik sekali
2. Moralitas 34 - 39 7 36, 84 %
Baik
Baik
3. Moralitas 28 - 33 4 21, 05 %
Sedang
4. Moralitas 22 - 27 2 10, 53 %
Kurang Baik
113
bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali
(21,05 %), baik (36, 84 %) dan sedang (42, 11 %) yang secara
lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5.12.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Jumlah Persentase Keterangan
Skor
Moralitas 42 - 48 4 21, 05 %
1. Baik
sekali
2. Moralitas 37 - 41 7 36, 84 % Baik
Baik
3. Moralitas 30 - 36 8 42, 11 %
Sedang
114
dan deviasi standarnya adalah 7. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali
(10,53 %), baik (31,58 %), sedang (52,63 %) serta kurang baik (5,26
%) yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.13.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Jumlah Persentase Keterangan
Skor
Moralitas 46 – 53 2 10, 53 %
1.
Baik sekali
2. Moralitas 38 – 45 6 31, 58 %
Baik
Sedang
3. Moralitas 30 - 37 10 52, 63 %
Sedang
4. Moralitas 22 - 29 1 5, 26 %
Kurang Baik
115
harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan
standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).
Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40
dan deviasi standarnya adalah 7. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali (64,
29 %), baik (14, 29 %), sedang (21, 43 %) serta kurang baik (10, 53
%) yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.14.
Kategori Moralitas peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Jumlah Persentase Keterangan
Skor
Moralitas 41 - 48 9 64, 29 %
1.
Baik sekali
2. Moralitas 33 - 40 2 14, 29 %
Baik
Sangat Baik
3. Moralitas 25 - 32 3 21, 43 %
Sedang
Moralitas
4. 25 - 32 3 21, 43 %
Kurang
Baik
116
kategori moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan
kurang baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-
rata yang harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata
teoritik dan standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar,
1993).
Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 43
dan deviasi standarnya adalah 13. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali
(7,14 %), baik (35,71 %), sedang (50 %) serta kurang baik (7,14 %)
yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.15.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Jumlah Persentase Keterangan
Skor
Moralitas 58 - 71 1 7,14 %
1.
Baik sekali
2. Moralitas 44 - 57 5 35,72 %
Baik
Sedang
3. Moralitas 30 - 43 7 50 %
Sedang
4. Moralitas 26 - 29 1 7,14 %
Kurang Baik
117
bahwa moralitas sangat baik tersebut ditunjukkan dalam hubungannya
terhadap guru.
Pengelompokan subyek didasarkan dalam empat kategori
moralitas peserta didik yaitu sangat baik, baik, sedang dan kurang
baik. Perhitungan ini didasarkan pada perhitungan skor rata-rata yang
harus diperoleh subyek dengan membandingkan rerata teoritik dan
standart deviasi teoritik dari skala yang dimaksud (Azwar, 1993).
Rerata teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah 38
dan deviasi standarnya adalah 7. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa subyek penelitian berada pada tingkat moralitas baik sekali
(10,53 %), baik (35,71 %), sedang (42,92 %) serta kurang baik (7,14
%) yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.16.
Kategori Moralitas Peserta Didik Berdasarkan Rerataan Teoritik
dan Standar Deviasi
Rentang
No Kategori Jumlah Persentase Keterangan
Skor
Moralitas 47 - 54 2 10, 53 %
1.
Baik sekali
2. Moralitas 39- 46 5 35, 71 %
Baik
Sedang
3. Moralitas 31 - 38 6 42, 92 %
Sedang
4. Moralitas 23 - 30 1 7, 14 %
Kurang Baik
118
B. Hasil Analisis Data Penelitian
119
normal 2 terhadap guru dan teman sebaya memiliki kriteria sedang
dengan prosentase masing-masing 42, 86 % dan 46, 24 %.
120
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat didiskripsikan
bahwa moralitas peserta didik pada Sekolah Inklusif SD Hj. Isriati
Semarang bisa disimpulkan sebagai berikut :
1. Moralitas peserta didik berkebutuhan khusus menunjukkan
moralitas yang sangat baik dengan prosentase 71, 42 %.
2. Moralitas peserta didik berkebutuhan khusus terhadap orang tua,
terhadap guru maupun terhadap teman sebaya menunjukkan
moralitas baik, dengan prosentase 57, 14 %.
3. Moralitas peserta didik non peserta didik berkebutuhan khusus
(peserta didik yang tempat duduknya berdekatan dengan
peserta didik berkebutuhan khusus atau normal 1 dan peserta
didik yang tempat duduknya berjauhan dengan peserta didik
berkebutuhan khusus atau normal 2, menunjukkan moralitas
baik dengan prosentase berkisar antara 52, 63 % sampai dengan
64, 28 %.
4. Moralitas peserta didik Normal 1 menunjukkan moralitas Baik
terhadap orang tua maupun terhadap guru, dengan prosentase
57, 84 % sampai dengan 68, 42, terhadap teman sebaya
menunjukkan moralitas sedang dengan proentase 42, 11 %.
5. Moralitas peserta didik Normal 2 menunjukkan moralitas sangat
baik terhadap orang tua dengan prosentase 64, 29 %, terhadap
guru maupun terhadap teman sebaya menunjukkan moralitas
sedang dengan prosentase 42, 86 %, sampai dengan 46, 24 %.
121
B. Saran dan Penutup
Saran
Penelitian ini hanya memiliki ruang lingkup bagi peserta didik
berkebutuhan khusus serta peserta didik normal yang berada
dilingkungan SD Hj Isriati Semarang sebagai penyelengara
pendidikan inklusif, serta hanya memotret moralitas peserta didik
berkebutuhan khusus, normal 1 dan normal 2. Berkaitan dengan hal
tersebut maka disarankan kepada :
Penutup
122
Adik-adik yang disayang Tuhan
Perkenankan bu Barokah minta tolong kepada adik-adik untuk
mengisi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan dibawah ini.
Hasil jawaban adik-adk sangat membantu tugas bu Barokah dalam
menyelesaikan/membuat Tesis/karya penelitian dengan judul
“Moralitas Peserta Didik pada Pendidikan Inklusif”.
Selamat bekerja ya, Tuhan akan membalas perbuatan adik-adik yang
dilakukan dengan baik dan ikhlas, atas bantuan dan jerih payah adik-
adik, bu Barokah mengucapkan terima kasih dan semoga keikhlasan
Adik-adik menjadi ladang amal dan Tuhan selalu bersama-sama
orang-orang yang baik dan ikhlas. Amiin
Semarang, Juli 2008
Saya,
Bu Siti Barokah/Mahasiswi Pascasarjana IAIN Walisongo
123
NO PERTANYAAN JAWABAN
S SK K TP
MORALITAS TERHADAP ORANG
TUA
Hormat
Rukun
124
8. Jika terjadi perselisihan, saya memilih
untuk mengalah, karena mengalah itu
perbuatan mulia dan disayangi Tuhan.
MORALITAS TERHADAP
GURU/PENDIDIK
Hormat
125
17. Saya merasa bersalah bila saya bercanda
dengan teman-teman dan tanpa
sepengetahuan saya ternyata hal tersebut
di ketahui oleh bapak/ibu guru.
Rukun
Hormat
126
25. Kalau saya bermusyawarah dan
berdiskusi dengan teman, saya berusaha
tidak menyinggung perasaannya, dengan
berbicara tenang.
Rukun
127
36. Saya merasa terpanggil untuk membantu
teman, ketika ada teman lain yang
mengganggunya
Keterangan:
S = Selalu
SK = Sering kali
KK = Kadang-kadang
TP = Tidak pernah
128