You are on page 1of 89

BAB II

SISTEM SOSIAL-BUDAYA
DALAM PERSPEKTIF TEORITIS
Oleh Dr. ARIFIN, M.Si.
A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian
Ruang lingkup kajian tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis
adalah menyangkut tentang: (a) fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori
sistem; (b) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori fungsional struktural dan neo-
fungsional; (c) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori konflik dan neo-Marxian;
(d) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori interaksionis simbolik; (e) sistem
sosial-budaya dalam perspektif teori fenomenologi; (f) sistem sosial budaya dalam
perspektif teori posmodern; (g) sistem sosial budaya dalam perspektif teori integrasi;
dan (h) kesimpulan.
Sedangkan tujuan pembahasan tentang sistem sosial-budaya dalam
perspektif teoritis, antara lain: (1) diharapkan para mahasiswa, khususnya program
studi ilmu-ilmu sosial dapat memahami beberapa alternatif wacana tentang fenomena
sosial-budaya dalam perspektif: Teori sistem; Teori fungsional struktural dan neo-
fungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori interaksionis simbolik dan teori
fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi; (2) diharapkan para peneliti atau
peminat studi ilmu-ilmu sosial, dapat memahami konsep-konsep dasar tentang
fenomena sosial-budaya dalam perspektif: Teori sistem; Teori fungsional struktural
dan neo-fungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori interaksionis simbolik dan
teori fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi, untuk kemudian dapat
dijadikan sebagai theoritical orientation dalam melakukan analisis fenomena sosial
dalam proses social research; dan (3) setelah memahami konsep-konsep dasar
tentang teori-teori tersebut, diharapkan para mahasiswa, peneliti dan peminat studi
ilmu-ilmu sosial dapat melakukan kajian lebih lanjut pada referensi-referensi ilmiah
yang dianjurkan.
B. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Sistem
Pada bab I telah diuraikan tentang konsep ’aktifitas sosial dan kebudayaan
sebagai suatu sistem’. Dan perlu ditegaskan kembali bahwa, ‘dalam memahami
aktifitas kehidupan sosial dan kebudayaan seyogyanya menggunakan pendekatan
integratif atau memandang bahwa aktifitas sosial-budaya merupakan suatu sistem,
karena antar unsur-unsur sosial dan unsur-unsur kebudayaan dalam kehidupan
masyarakat pada hakikatnya adalah saling mempengaruhi’, hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: (1) dalam realitas hidup sehari-hari, antar unsur-unsur
sosial-budaya tersebut bersifat adaptif; (2) dalam praktik-praktik sosial sehari-hari

29
masing-masing unsur sosial-budaya saling berhubungan secara timbal balik; (3)
perubahan pada satu unsur sosial atau unsur budaya akan mempengaruhi perubahan
pada unsur sosial atau unsur budaya yang lain; dan (4) pada hakikatnya pola perilaku
sosial atau budaya sehari-hari untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup selalu
menampilkan keterpaduan antar unsur-unsur sosial dan budaya (Koentjaraningrat,
1981; Soemardjan, S., 1981; Soekanto, S dan Ratih, L. 1988).
Orientasi filosofis dari teori sistem sebenarnya adalah mengacu pada aliran
positivisme yang dikembangkan oleh bapak sosiologi dunia August Comte. Comte
dikenal sebagai pencetus nama atau istilah sosiologi untuk studi ilmu masyarakat
(Abraham, F.M. 1982; Wibisono, K., 1983). Sosiolog Graham C. Kinloch (2005)
menyimpulkan beberapa asumsi pokok dari pandangan Comte tentang fenomena
kehidupan sosial, antara lain: Pertama, bahwa alam semesta diatur oleh hukum-hukum
alam yang tidak terlihat (invisible natural), sejalan dengan proses evolusi dan
perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang berkembang dan dominan
berlaku di masyarakat.
Kedua, bahwa proses evolusi itu terjadi melalui tiga tahap perkembangan,
yaitu: (a) tahapan teologis, yaitu tahapan alam pikiran dan tindakan manusia yang
selalu mencari akar sebab-sebab terjadinya sesuatu dari aspek supranatural (kekuatan
gaib/ Tuhan); (b) tahapan metafisis, yaitu tahapan alam pikiran abstraksi-abstraksi
yang dipersonifikasikan dan dilihat sebagai penyebab (kausal). Pada tahapan ini, alam
pikiran manusia sudah mulai kitis tentang fenomena hidup, tetapi masih belum bisa
melepas ikatan magis atau teologisnya; dan (c) tahapan positivistik, yaitu tahapan alam
pikiran manusia rasional, atau tahapan positif/ ilmiah, dan sudah lepas dari ikatan
magis. Tahap ini merupakan puncak evolusi kehidupan manusia, karena pada tahap ini
terjadi puncak perkembangan ilmu pengetahuan (Wibisono, K., 1983).
Ketiga, bahwa sistem sosial sebagai suatu kesatuan berkembang melalui tiga
tahap tersebut, dan puncaknya adalah tahap ke tiga (tahap positif). Tugas sosiologi
sebagai suatu ilmu pengetahuan positif adalah mengkaji dan memahami sistem sosial
tersebut secara integral, agar mampu memberi kontribusi terhadap pemecahan
masalah-masalah sosial; Keempat, bahwa sistem sosial terbagi menjadi dua hal, yaitu:
(a) statistik sosial (social static), yaitu menyangkut sifat-sifat manusia dan masyarakat,
serta hukum-hukum (nilai-nilai) yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk sosial;
dan (b) dinamika sosial (social dynamic), yaitu menyangkut hukum-hukum perubahan
sosial (Rossides, 1978; Surbakti, R., 1997a).
Kelima, bahwa yang mendasari sistem itu adalah naluri kemanusiaan yang
terdiri dari tiga faktor utama, yaitu: (a) naluri-naluri pelestarian (instincts of
preservation) dalam hidup; (b) naluri-naluri perbaikan (instincts of improvement) dalam

30
hidup; dan (c) naluri sosial, misalnya kasih sayang, pemujaan dan cinta semesta. Jadi,
menurut Comte, sistem sosial terdiri dari statis dan dinamis yang didasarkan pada
seperangkat nilai sosial tertentu yang pada akhirnya ditemukan pada naluri
kemanusiaan. Struktur-struktur sosial sebagai satu kesatuan (sistem) yang
berkembang melalui tiga tahapan utama (teologis, metafisis, dan positivistis).
Pembahasan tentang teori sistem dalam mencermati fenomena sosial banyak
dibahas dalam studi sosiologi. Ilmuwan sosial Jerman yang berjasa dalam melahirkan
teori sistem adalah Nilas Luhmann, sedangkan ilmuwan sosial yang berjasa dalam
mengembangkan atau mempopulerkan teori sistem adalah Kenneth Bailey dan Walter
Buckley (Ritzer dan Goodman, 2003). Berikut ini akan dijelaskan sembilan konsep
penting pandangan ‘teori sistem’ yang dikemukakan oleh para ahli (pendukung teori
sistem) dalam memahami fenomena sosial-budaya di masyarakat.
Pertama, teori sistem asal usulnya adalah dimunculkan atau diilhami dari ilmu-
ilmu pasti (hard sciences) atau ilmu-ilmu alam (natural sciences). Jadi, menurut teori
sistem, setiap peneliti yang ingin memahami fenomena sosial-budaya yang
berkembang di masyarakat, logika berpikirnya atau metode dan pendekatan yang
dipakai adalah sama seperti dalam memahami fenomena ilmu-ilmu alam (ilmu pasti).
Oleh karena itu teori sistem oleh para teoritisi dikelompokkan pada teori yang
berorientasi pada pandangan atau paham positivisme (Ritzer, ed. 2001). Dalam
pandangan Tacott Parsons, bahwa kehidupan organisme (kehidupan biologis)
merupakan contoh suatu sistem, dan kehidupan sosial juga dapat diibaratkan seperti
suatu kehidupan organisme. Pada tingkat macro (besar), misalnya, masyarakat dunia
(kemanusiaan) dapat dipandang sebagai sebuah sistem (terdiri dari beberapa negara,
ras, dan prinsip/ hukum hak asasi manusia, dan sebagainya), pada tingkat mezo
(menengah), misalnya, negara (state) atau bangsa (nation) dapat dipandang sebagai
sebuah sistem, demikian juga pada tingkat micro (kecil), misalnya: satuan keluarga,
satuan pendidikan, satuan perusahaan, ikatan pertemanan, dan segmen-segmen
tertentu dapat dipandang sebagai sebuah sistem (Johnson, D.P. 1981).
Kedua, pendekatan teori sistem adalah memandang bahwa semua aspek atau
unsur-unsur dalam sistem sosiokultural (sosial-budaya) adalah dari segi proses,
khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi. Oleh karena itu teori sistem
secara inheren bersifat integratif, sedangkan bentuk integratif antar unsur sosial-
budaya tersebut adalah bersifat menyatu dan umpan balik (feed back). Dinamika
sosial-budaya yang terjadi di masyarakat akan mengarah pada terwujudnya
keserasian fungsi antar unsur-unsur sosial-budaya dalam kehidupan kelompok (social
and cultural integrations). Unsur-unsur sosial dalam kehidupan kelompok merupakan
subsistem dari sistem dalam kelompok, demikian juga unsur-unsur budaya

31
merupakan subsistem budaya dalam kehidupan di masyarakat, masing-masing
subsistem tersebut bersifat integratif (Coser, L. and Rosenberg, B. 1969; Harper, C.L.
1989; Bachtiar, W. 2006).
Ketiga, teori sistem dalam memandang tentang ‘perubahan sosial’ adalah
setiap perubahan yang tidak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan.
Perubahan adakalanya hanya terjadi sebagian (pada subsistem) dan tidak
menimbulkan akibat besar terhadap unsur-unsur lain dalam sistem. Kehidupan
kelompok (macro, mezo atau micro) sebagai suatu sistem sifatnya sangat kompleks,
tidak hanya berdimensi tunggal, melainkan merupakan kombinasi dari beberapa
komponen, antara lain: (a) unsur pokok, misalnya: individu, tindakan individu; (b)
hubungan antar unsur, misalnya: nilai-norma, status-peran, solidaritas, interaksi; (c)
berfungsinya unsur dalam sistem, misalnya, pelaksanaan peranan individu
berdasarkan nilai-norma; (d) pemeliharaan batas, misalnya: persyaratan menjadi
anggota kelompok, kriteria menjadi anggota sistem dan sebagainya; (e) subsistem,
misalnya: segmen, divisi khusus, jenis seksi; dan (f) lingkungan, misalnya, keadaan
alam, kondisi geopolitik.
Menurut teori sistem, ada beberapa kemungkinan terjadinya perubahan sosial
dalam suatu kelompok, antara lain: (a) perubahan komposisi anggota kelompok,
misalnya, bertambah/ berkurangnya anggota; (b) perubahan struktur, misalnya: terjadi
ketimpangan atau konflik, pergantian kekuasaan, hubungan kompetitif; (c) perubahan
fungsi, misalnya, adanya spesialisasi jenis peran-peran dalam kelompok; (d)
perubahan batas, misalnya: penggabungan antar subsistem, longgarnya syarat/
kriteria anggota; (e) perubahan hubungan antar subsistem, misalnya, munculnya
dominasi aspek politik pada aspek ekonomi; dan (f) perubahan lingkungan, misalnya,
bencana alam atau rusaknya lingkungan (ekologi) (Lauer, R.H. 1978; Sztompka, P.
1993).
Keempat, Menurut Buckley, bahwa sifat atau bentuk hubungan sistem
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) hubungan ‘sistem mekanik’, cirinya antara
lain: (a) bersifat langsung dan otomatis atau ‘transfer energi’; (b) lebih bersifat tertutup;
dan (c) cenderung bersifat entropik; (2) hubungan ‘sistem organik’, cirinya adalah: (a)
hubungan antar aspek dalam sistem tersebut sudah lebih menekankan aspek
pertukaran informasi daripada aspek pertukaran energi; (b) lebih terbuka daripada
sistem mekanik; dan (c) cenderung bersifat negentropik; dan (3) hubungan ‘sistem
sosiokultural’, cirinya adalah: (a) hubungan antar aspek atau unsur dalam sistem
tersebut adalah lebih menekankan pada pertukaran informasi; (b) sifatnya paling
terbuka; (c) cenderung lebih banyak terjadi ketegangan dalam sistem, apabila
dibandingkan pada sistem mekanik dan sistem organik; dan (d) bersifat purposif dan

32
mengejar tujuan karena sistem ini menerima umpan balik (feed back) dari lingkungan
yang menyebabkan mereka terus bisa berubah untuk meraih tujuan.
Kelima, ada perbedaan teori sistem yang dikembangkan Buckley dengan teori
sistem yang dikembangkan Parsons, antara lain: (1) menurut Buckley, faktor ‘umpan
balik’ (feed back) adalah aspek yang esensial (mendasar) dalam ‘sistem sosiokultural’
atau pendekatan sibernetik (cybernetic), sedangkan menurut Parsons, faktor menjaga
atau terwujudnya ‘keseimbangan’ (equilibrium) unsur-unsur dalam sistem adalah
aspek yang esensial dalam memahami ‘teori sistem’; dan (2) Buckley, memandang
peran subjek atau individu ikut mewarnai ‘sistem sosiokultural’, karena kesadaran
(jiwa) individu tidak terpisahkan dari tindakan dan interaksi, atau antara ‘kesadaran’
dan ‘tindakan’ serta ‘interaksi’ bersifat integratif, sedangkan menurut Parsons
kesadaran (jiwa) individu tidak menentukan tindakan dan interaksi sosial, yang
menentukan struktur, atau struktur yang menentukan tindakan atau interaksi sosial
seseorang (Abraham, F.M. 1982; Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Jadi, bagi
Buckley, faktor internal (subjek) seseorang menentukan struktur dalam sistem,
sedangkan bagi Parsons, faktor eksternal (struktur dari sistem) menentukan
seseorang (subjek).
Keenam, beberapa prinsip atau konsep dasar ‘teori sistem sosiokultural’
Buckley adalah: (1) teoritisi sistem menerima ide bahwa ‘ketegangan’ dalam sistem
adalah sesuatu yang normal, selalu hadir, dan merupakan realitas yang diperlukan
dalam sistem sosial; (2) penekanan pada ketegangan dan variasi aktivitas dalam
sistem membuat perspektif sistem sosial menjadi dinamis; (3) proses sosial didalam
sistem sosial selalu terjadi ‘proses seleksi’ secara terbuka terhadap kemampuan
individu atau antar individu, sehingga proses sosial dalam sistem lebih dinamis. Jadi,
faktor kualitas individu atau kualitas internal individu menentukan proses sosial; (4)
level interpersonal merupakan dasar pengembangan dari struktur yang lebih luas.
Demikian juga proses transaksional dalam interpersonal, yang berupa pertukaran,
negoisasi, dan tawar menawar (bargaining) adalah proses-proses yang melahirkan
truktur sosial dan kultural yang lebih stabil; dan (5) melalui transaksi dan bargaining
yang dilakukan secara terus menerus akan melahirkan penyesuaian dan akomodasi
yang relatif stabil (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Sedangkan menurut Parsons,
setiap sistem mempunyai empat ‘fungsi memaksa’, artinya, setiap sistem harus
menghadapi dan harus berhasil menyelesaikan masalah-masalah: adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola yang tersembunyi. Keempat
fungsi memaksa tersebut diterapkan pada sistem tindakan, baik yang bersifat alamiah,
kultur, kepribadian dan masyarakat (Hamilton, P. ,ed., 1990).

33
Ketujuh, teoritisi sistem dalam studi sosiologi yang mencoba
mengkombinasikan antara teori fungsional struktural Parsons dengan teori sistem
umum adalah Luhmann. Kritik Luhmann terhadap pandangan Parsons adalah: (1)
pendekatan Parsons tidak memberikan tempat untuk ‘referensi diri’ (self reference),
sedangkan menurut Luhmann ‘kemampuan masyarakat untuk merujuk pada dirinya
sendiri adalah penting untuk memahaminya sebagai sebuh sistem’; dan (2)
pendekatan Parsons tentang skema AGIL tidak memberi kemungkinan (contingency)
adanya faktor-faktor lain yang ikut menentukan dalam suatu sistem sosial, sedangkan
menurut Luhmann, bahwa segala sesuatu mungkin bisa memberikan pengaruh yang
berbeda. Jadi, faktor eksternal (lingkungan fisik dan struktur sosial) bukan satu-
satunya faktor yang menentukan gerak sistem, tetapi juga faktor internal (jiwa,
motivasi, mentalitas) individu sebagai warga kelompok juga ikut menentukan gerak
sistem (Hamilton, P. ,ed. 1990). Menurut Luhmann, suatu ‘sistem’ selalu kurang
kompleks daripada ‘lingkungan’, namun sistem mengembangkan subsistem-
subsistem baru dan membangun berbagai hubungan antar subsistem untuk
mengatasi lingkungan secara efektif (Ritzer, ed, 2001).
Kedelapan, Luhmann mengembangkan teori sistem dengan istilah ‘sistem-
sistem autopoietic’, beberapa karakteristik ‘sistem-sistem autopoietic’ Luhmann antara
lain: (a) sebuah sistem autopoietic’ menghasilkan elemen-elemen dasar, misalnya
sistem ekonomi modern menghasilkan elemen dasar ‘uang’; (b) sistem autopoietic’
mengorganisasikan diri (self organizing) dalam dua cara, yaitu mengorganisasi diri
dengan membuat batas-batas diri dan mengorganisasikan struktur internalnya,
misalnya sistem ekonomi dengan menetapkan harga barang tertentu atau peraturan
tertentu; (c) sistem autopoietic’ adalah self referential, misalnya sistem ekonomi
menggunakan harga sebagai cara untuk mengacu pada dirinya sendiri; dan (d)
sebuah sistem autopoietic’ adalah sistem tertutup, artinya tidak ada kaitan antara
sistem dengan lingkungan. Jadi, menurut Luhmann, ‘bahwa masyarakat adalah sistem
autopoietic’, dimana masyarakat adalah: (a) menghasilkan elemen-elemen dasarnya,
(b) membangun struktur dan batas-batasnya sendiri; (c) self reference; dan (d)
tertutup’.
Elemen dasar dari masyarakat adalah ‘komunikasi’, dan komunikasi dihasilkan
oleh masyarakat. Individu mempunyai makna atau relevansi dengan masyarakat
apabila individu tersebut dapat berkomunikasi secara efektif dalam proses interaksi
sosial di masyarakat. Menurut Luhmann, ada perbedaan antara konsep ‘sistem
psikis’ dengan ‘sistem sosial’, yaitu: ‘sistem psikis’ adalah kesadaran individu, dan
elemen-elemen dari ‘sistem psikis adalah representasi konseptual, sedangkan ‘sistem
sosial’ adalah ‘makna (meaning) sosial/kolektif’, dan elemen-elemen dari ‘sistem

34
sosial’ adalah komunikasi (communication) . Jadi, dalam sistem psikis, makna
dikaitkan dengan kesadaran, sedangkan dalam sistem sosial makna dikaitkan dengan
komunikasi. Baik sistem psikis maupun sistem sosial adalah berevolusi secara
bersama-sama.
Menurut Luhmann, dalam sistem sosial terdapat ’differensiasi’, dan dalam
masyarakat modern proses differensiasi dalam sistem semakin kompleks, yang sering
disebut ’differensiasi sistem fungsional’. Differensiasi adalah ’replika keberagaman
dalam sistem’. Dalam sistem yang differensial terdapat dua lingkungan yaitu:
lingkungan internal (pola yang khas didalam sub sistem), dan lingkungan eksternal
(pola yang khas antar sub sistem). Ada beberapa bentuk differensial dalam sistem
menurut Luhmann, yaitu: (a) differensial segmentasi, yaitu keberagaman dalam
membagi bagian-bagian dari sistem berdasarkan jenis kebutuhan hidup; (b)
differensiasi stratifikasi, yaitu keberagaman dalam sistem karena perbedaan status
secara hirarkhis (vertikal); (c) differensiasi pusat-pinggiran, yaitu keberagaman dalam
sistem yang didasarkan pada pembagian pusat (center) dan pinggiran (periphery);
dan (d) differensiasi sistem fungsional, yaitu differensiasi yang paling kompleks yang
banyak terjadi pada masyarakat modern, dan lebih bersifat fleksibel daripada
differensiasi lainnya. Dalam differensiasi sistem fungsional, apabila terjadi perubahan
pada sub-sistem akan begitu cepat mempengaruhi sub-sistem lainnya (Ritzer dan
Goodman (2003).
Kesembilan, teoritikus Ritzer dan Goodman (2003) memberikan beberapa
kritik terhadap teori sistem Luhmann, antara lain: (1) Luhmann, melihat bahwa
keharusan perkembangan evolosioner sesungguhnya adalah regresif dan tidak mesti
(unnecessary), hal ini tentu banyak bertentangan dengan realitas sosial di
masyarakat yang terus berkembang (dinamik) dan terbuka (tidak tertutup seperti
pandangan Luhmann); (2) Luhmann, melihat bahwa differensiasi adalah ’kunci’ untuk
mendiskripsikan perkembangan (evolusi) masyarakat dan meningkatnya kompleksitas
sistem sosial dalam menghadapi lingkungannya. Dalam realitas sosial di masyarakat
tidak hanya faktor differensiasi yang menjadi kunci penyebab terjadinya perubahan
evolusi di masyarakat, tetapi masih ada dua faktor lain yang ikut menentukan yaitu:
de-differensiasi (proses memudarnya atau pembubaran batas-batas antar sub sistem
sosial); dan interpenetrasi (proses pembentukan institusi untuk memperkuat hubungan
sistem); (3) teori sistem Luhmann cenderung melihat proses-proses dalam sistem
adalah antievolusioner, karena evolusi didefinisikan sebagai peningkatan differensiasi.
Tampaknya teori sistem Luhmann terbatas kemampuannya untuk mendeskripsikan
relasi antar subsistem dalam sistem sosial. Tidak semua sistem tampak tertutup dan
otonom seperti yang diasumsikan Luhmann. Meskipun teori sistem Luhman ada

35
kelemahannya, namun konsep-konsep dasar dari teori sistem tersebut banyak
sumbangannya dalam proses analisis fenomena sosial budaya di masyarakat.
Beberapa konsep pandangan teori sistem tentang fenomena sosial, yang telah
diuraikan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: (1) masyarakat
adalah suatu sistem, memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan dan bersifat
organik; (2) sistem sosial itu berkembang sesuai dengan beragam kebutuhan yang
mendasarinya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kebutuhan ekonomi; (3) struktur
sosial terdiri atas struktur normatif masyarakat yang berdasarkan sistem pembagian
kerja yang mengikutinya; (4) memandang bahwa masyarakat diatur oleh hukum-
hukum alam, dan unsur-unsur dalam masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh
serta berkembang terus melalui tahapan-tahapan untuk menuju masyarakat yang
lebih positif dan industri; dan (5) bentuk perubahan sosial-budaya yang terjadi di
masyarakat adalah berlangsung secara evolusi.
C. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural dan Neo-
Fungsional Struktural
Perspektif teori fungsional struktural dalam memahami fenomena sosial
budaya telah dikaji oleh para ahli antropologi dan sosiologi. Diantara para pendekar
teori fungsional struktural dari disiplin antropologi antara lain: R. Brown, Malinowski, E.
Durkheim, dan C. Kluckohn. Sedangkan para pendekar teori fungsional struktural dari
disiplin sosiologi antara lain: Pitirim Sorokin, Talcott Parsons, Roebert K. Merton, dan
Jeffrey C. Alexander (Surbakti, R., 1997a; Bachtiar, W. 2006). Kajian berikut ini akan
lebih menekankan pada pandangan para teoritisi sosiologi tentang teori fungsional
struktural, sedangkan pandangan para antropolog tentang teori fungsional struktural
tidak dibahas, hal ini bukan berarti pandangan para sosiolog berada pada posisi lebih
penting atau lebih baik dari pandangan para antropolog.
Nenurut Robert Nisbet, ‘bahwa teori fungsional struktural adalah satu
bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad 20’. Meski
hegeomoni teori fungsional struktural mendominasi dua dekade sesudah Perang Dunia
II, pada era akhir abad 20 teori teori fungsional struktural mulai dikritik para ilmuwan
sosial. Menurut Demerath dan Peterson, ‘bahwa teori fungsional struktural masih perlu
dikembangkan, karena masih ada sisi kelemahannya’. Dari pandangan ini akhirnya
muncul ‘teori neofungsionalisme’ (Ritzer dan Goodman, 2004).
Kajian berikut tentang teori fungsional struktural, lebih difokuskan pada lima
permasalahan, antara lain: (1) Bagaimana pandangan teori fungsional Pitirim Sorokin
dan George Homans dalam memahami fenomena sosial-budaya?; (2) Bagaimana
pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena
sosial-budaya?; (3) Bagaimana pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton

36
dalam memahami fenomena sosial-budaya?; dan (4) Bagaimana pandangan
Neofungsionalisme Jeffey C. Alexander dalam memahami fenomena sosial-budaya?;
1. Pandangan teori fungsional Pitirim Sorokin dan George Homans dalam
memahami fenomena sosial-budaya
Menurut para ahli, makna fungsional dalam kontek kehidupan sosial-budaya,
adalah ‘unsur-unsur sosial atau unsur-unsur budaya dalam suatu kehidupan kolektif
saling berkontribusi, atau saling memberi pengaruh positif antar unsur untuk
mewujudkan kehidupan kolektif yang integratif’. Oleh karena itu apabila unsur-unsur
sosial atau unsur-unsur budaya tersebut dalam proses-proses sosial kolektif tidak
saling memberikan pengaruh positif disebut ‘disfungsional’. Dalam pandangan para
ahli teori fungsional, setiap kehidupan sosial dan kebudayaan mempunyai unsur-
unsur, dan masing-masing unsur tersebut cenderung untuk saling kait-mengkait
untuk menuju kearah keserasian fungsi dalam sebuah sistem, apabila keserasian
fungsi antar unsur dalam suatu sistem tidak terjalin dengan baik, kehidupan
kelompok tersebut mengalami konflik dan akan menyebabkan terjadinya disintegrasi
sosial-budaya (Abraham, M.F, 1982; Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984).
Teori fungsionalis mempunyai pola atau kerangka berpikir yang sama dalam
memahami fenomena sosial-budaya dengan teori organisme, bahkan ada sebagian
ahli mengatakan, bahwa asumsi-asumsi teori fungsionalis tentang kehidupan sosial-
budaya di masyarakat adalah bersumber pada pandangan teori organisme
Toynbee, Sorokin dan Spengler, juga bersumber pada teori psikologi Gestalt
(Bachtiar, W., 2006). Para ilmuwan sosial yang mendukung asumsi-asumsi teori
fungsionalis antara lain: A. Toynbee; Pitirim Sorokin; Spengler; Benedict; Florian
Znanieeki; R. Brown; Malinowski. George Homans. Pada pembahasan berikut ini,
hanya menguraikan beberapa pokok pikiran teori fungsionalis dari Pitirim Sorokin
dan George Homans, tujuan dipilihnya dua teoritikus tersebut adalah karena
pandangan kedua teoritikus tersebut cukup besar dalam perkembangan teori yang
berparadigma fungsional, dan diharapkan para pembaca secara mandiri lebih
terdorong untuk lebih memperdalam pandangan-pandangan teoritikus A. Toynbee;
Spengler; Benedict; Florian Znanieeki; R. Brown; dan Malinowski.
Pandangan Pitirim Sorokin tentang fenomena sosial
Pandangan Sorokin tentang ‘hakikat realitas sosial’ (pokok-pokok persoalan
sosiologi) mempunyai kesamaan dengan pandangan Comte. Diantara sisi
kesamaan pandangan Comte dengan Sorokin, antara lain: (a) keduanya
memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis budaya; dan (b) keduanya
menekankan betapa pentingnya peran ilmu pengetahuan (rasionalis) dalam
memahami dunia dan segala bentuk pola organisasi sosial serta perilaku manusia.

37
Sedangkan perbedaan pandangan antara Comte dengan Sorokin, antara lain: (a)
Comte mengusulkan proses perubahan sosial-budaya bersifat linear yang
mengarah pada terbentuknya masyarakat positif, sedangkan Sorokin mengusulkan
proses perubahan sosial-budaya bersifat siklus (tahap sejarah cenderung berulang);
dan (b) Comte, dalam menilai kebenaran suatu fenomena hidup lebih menekankan
pada aspek rasional (kebenaran inderawi), sedangkan Sorokin, menilai bahwa
dalam menentukan kebenaran suatu fenomena tidak cukup hanya dari sudut
kebenaran inderawi, tetapi juga dari sudut akal budi, dan intuisi atau kepercayaan
(Johnson, D.P, 1986).
Beberapa pokok pikiran Sosiolog Pitirim Sorokin (lahir di Rusia, 1889) tentang
fenomena sosial budaya antara lain: Pertama, tentang integrasi sosial-budaya.
Menurut Sorokin, bahwa kunci dalam memahami realitas sosial-budaya di
masyarakat adalah harus memahami arti nilai, norma dan simbol yang berkembang
di masyarakat. Dalam budaya terdapat unsur-unsur yang saling terkait, atau saling
memberi kontribusi fungsional, atau saling bergantung (terintegrasi). Terwujudnya
tingkat integrasi yang tinggi pada sistem sosial-budaya dalam kehidupan
masyarakat adalah apabila terdapat seperangkat ‘norma hukum’ yang dijadikan
sebagai pedoman berperilaku (pola perilaku) di masyarakat, atau dengan kata lain,
bahwa tingkat budaya integrasi yang penuh arti logis (logico meaningfull)
merupakan dasar terbentuknya integrasi sosial-budaya yang paling tinggi di
masyarakat (Rossides, 1978).
Kedua, tentang perubahan sosial-budaya, bahwa pola perubahan sosial-
budaya bersifat siklus (berulang), tetapi pengulangan itu menunjukkan pola-pola
yang berubah (tidak tetap), atau sering disebut ‘berulang-berubah’ (varyingly
recurrent). Sedangkan aspek budaya yang terulang adalah tema-tema budaya
dasar. Dalam memahami tentang pola perubahan sosial-budaya, perlu
menggunakan pendekatan ‘integralis’. Kebenaran realitas empirik atau data empirik
tidak hanya ditentukan oleh satu kebenaran inderawi (seperti pandangan
positivisme Comte), tetapi kebenaran itu harus bisa terbuktikan secara integralis
dari tiga aspek, yaitu kebenaran inderawi, kebenaran akal budi dan kebenaran
kepercayaan atau intuisi. Bagi Sorokin, suatu epistemologi yang komprehensif
harus mengakui bahwa kenyataan (realitas) sosial-budaya adalah bersifat
‘multidimensional’ dan dapat ditangkap sebagiannya oleh inderawi, sebagiannya
oleh akal budi dan sebagaiannya oleh kepercayaan atau intuisi.
Ketiga, tentang tipe-tipe mentalitas budaya. Sorokin menyebutkan ada tiga
tipe mentalitas budaya (disebut ketiga supersistem sosio-budaya), dan beberapa
tipe kecil yang merupakan bagian dari tiga tipe mentalitas budaya tersebut, yaitu: (1)

38
tipe kebudayaan ideasional. Tipe ini mempunyai asumsi bahwa realitas (kenyataan
akhir) bersifat nonmateri, transenden, tidak bisa ditangkap oleh indera. Dunia ini
tergantung pada Tuhan (transenden). Tipe kebudayaan ideasional, dibagi menjadi
dua, yaitu: (a) kebudayan ideasional asketik, yaitu mentalitas yang menunjukkan
ikatan yang kuat pada prinsip ‘manusia harus mengurangi kebutuhan material agar
bisa lebih dekat pada dunia transenden’; dan (b) kebudayaan ideasional aktif, yaitu
mengurangi kebutuhan inderawi, tetapi berusaha mengubah dunia material supaya
selaras dengan dunia transenden; (2) kebudayaan inderawi (sensate culture), yaitu
dunia materi merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Kebudayaan ini dibagi
dua, yaitu: (a) kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong manusia
untuk aktif/ sebanyak mungkin meraih pemenuhan kebutuhan materi/ kepuasan
materi. Mental ini mendorong pertumbuhan iptek; (b) kebudyaan inderawi pasif.
Kebudayaan ini menghasilkan hasrat yang berlebihan (memuja nafsu) atau budaya
hedonisme; dan (c) kebudayaan inderawi sinis, yaitu memunculkan budaya munafik
(hipokrit); dan (3) kebudayaan campuran, yang terdiri dari dua tipe, yaitu: (a)
kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan yang merupakan campuran dari mentalitas
ideasional (transenden) dan inderawi (material) secara seimbang. Antara
transenden dan material saling mengisi/ berhubungan/ terintegrasi; (b) kebudayaan
ideasional tiruan (pseudo ideational culture), artinya antara transenden dan material
tidak terintegrasi tetapi saling berdampingan (Rossides, 1978; Johnson, D.P, 1986).
Keempat, tentang unsur budaya. Setiap kebudayaan hakikatnya mempunyai
dasar-dasar budaya (unsur-unsur budaya), antara lain: (a) bahasa; (b) filsafat; (c)
kepercayaan/ agama; (d) etika; (e) hukum; (f) politik; (g) ekonomi; (h) seni; (i)
teknologi. Masing-masing dasar-dasar budaya tersebut saling kait mengkait dalam
suatu kesatuan, yang disebut ‘supersistem budaya’. Menurut Sorokin, setiap
kehidupan kelompok tidak akan bisa lepas dari nilai-budaya yang berkembang
dalam kelompok, nilai-budaya tersebut berfungsi sebagai ikatan para anggota
kelompok dalam mewujudkan integrasi kelompok (Rossides, 1978).
Kelima, tentang bentuk mobilitas sosial (social mobility). Dalam kehidupan
masyarakat selalu terjadi mobilitas sosial. Mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam
struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok
sosial. Ada dua bentuk mobilitas sosial, yaitu: (1) mobilitas vertikal, yaitu
perpindahan status sosial yang dialami seseorang atau kelompok orang pada
lapisan sosial yang berbeda. Mobilitas sosial ertikal, dibedakan menjadi dua, yaitu:
(a) social climbing (perpindahan status naik), bisa berbentuk lapisan sosial
seseorang atau kelompok naik lebih tinggi. Sedangkan penyebabnya, adalah:
terjadinya peningkatan kualitas ketrampilan, keahlian atau prestasi karyanya, dan

39
adanya kekosongan kedudukan (alih generasi dalam jabatan); (b) social sinking
(perpindahan status turun), bisa berbentuk status sosial seseorang turun, dan tidak
dihargainya lagi kedudukan tertentu sebagai lapisan elit (misalnya jabatan direktur
perusahaan yang bangkrut). Sedangkan penyebab social sinking adalah seseorang
melakukan tindak pidana, dan sesorang memasuki masa purna tugas; (2) mobilitas
horisontal, yaitu perpindahan status sosial seseorang atau kelompok orang dalam
lapisan sosial yang sama (Surbakti, R., 1997a).
Meskipun sumbangsih pemikiran Sorokin dalam khasanah teori sosiologi
cukup besar, ada beberapa titik kelemahan pandangan Sorokin, antara lain: (a)
Sorokin terlalu menggeneralisasikan dan menyederhanakan fenomena sosial-
budaya di setiap masyarakat, padahal fenomena sosial-budaya sangat kompleks
dan unik, atau fenomena sosial-budaya banyak dipengaruhi oleh kondisi time and
space); dan (b) analisis Sorokin mengenai kebudayaan lebih bersifat umum
(makro), sehingga hasil analisisnya belum tentu bisa menjangkau atau mewakili
kreasi budaya secara khusus (mikro) dari keseluruhan yang ada di masyarakat yang
sifatnya sangat dinamik.
Pandangan George Homans tentang fenomena sosial
Beberapa pokok pikiran Sosiolog George Homans, tentang fenomena sosial
budaya antara lain: Pertama, setiap kehidupan kelompok merupakan suatu sistem,
dalam suatu sistem terdapat elemen-elemen yang saling kait-mengkait (fungsional).
Elemen-elemen dalam suatu sistem (fungsional) dapat dianalisis dari aspek: (a)
aktivitas anggota dalam kelompok; (b) interaksi antar anggota didalam kelompok,
dan antar kelompok; (c) sentimen atau solidaritas terhadap kelompok; dan (d)
norma yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan kelompok
yang sistemik. Semua elemen dalam sistem yang ada dalam kelompok membentuk
piramida interaksi antar elemen (fungsional). Jadi, setiap elemen dalam sistem
bersifat fungsional dalam proses perubahan-perubahan sosial-budaya.
Kedua, dalam sebuah sistem terdapat sistem internal dan sistem eksternal.
Sistem internal memiliki lingkup tingkah laku individu dalam kelompok, sedangkan
sistem eksternal adalah tingkah laku yang mewakili kelompok berkaitan dengan
lingkungan, atau reaksi kelompok terhadap kondisi lingkungan. Hubungan antara
berbagai elemen yang ada dalam kelompok merupakan sistem sosial yang
mempengaruhi sistem internal. Menurut Homans, bahwa: (a) ketergantungan dalam
hubungan timbal balik akan mempengaruhi perasaan seseorang. Jika, interaksi
sosial antar dua pihak sering dilakukan akan memunculkan perasaan suka (positif)
pada masing-masing pihak, demikian juga sebaliknya; (b) ketergantungan timbal
balik antara perasaan dan aktivitas. Seseorang akan merasakan perasaan orang

40
lain melalui hubungan timbal balik, karena masing-masing pihak saling merasakan
manfaatnya. Hal ini akan mempengaruhi semua aktivitas dalam sistem eksternal;
dan (c) penyandaran sebagai hasil hubungan, seringnya berinteraksi dengan pihak
lain merupakan wujud dari aktivitas dan perasaan individu. Jadi, setiap sistem
memiliki bagian-bagian sistem (subsistem) baik bersifat internal maupun eksternal.
Ketiga, norma sosial merupakan bagian dari budaya terpenting (dasar) dalam
sebuah kelompok sebagai suatu sistem. Setiap elemen/ anggota/ subsistem dalam
proses aktivitas dan interaksinya berdasarkan norma sosial. Sistem internal dan
sistem eksternal dalam proses aktivitas kelompok saling berkaitan, Homans
mengistilahkan ‘pengaruh arus balik’. Jadi, semua aktivitas dalam sistem tersebut
berdasarkan pada norma yang berlaku dalam kelompok.
Keempat, Homans berpendapat, ada elemen dasar dalam aktivitas kelompok
sebagai sistem yang terintegrasi (fungsional), antara lain: (1) ketergantungan timbal
balik dan sentimen, artinya seringnya hubungan timbal balik sesama anggota dalam
kelompok, akan memperkuat perasaan pertemanan satu sama lain (kuatnya
hubungan antar elemen); (2) perasaan dan aktivitas, artinya perasaan pertemanan
yang kuat dalam kelompok sebagai suatu sistem akan diekspresikan melalui
beragam aktivitas kerja dalam sistem; dan (3) aktivitas dan interaksi, artinya
seseorang yang sering berinteraksi dengan orang lain melalui beragam aktivitas,
tidak terbatas hanya pada orang yang sering berinteraksi, tetapi juga pada orang
lain yang kurang berinteraksi (Bachtiar, W. 2006).
Kelima, bagi Homans, manusia dalam melakukan beragam tindakan di
masyarakat didasarkan kepada rasionalitas. Setiap tindakan diperhitungkan nilai
fungsinya, atau imbalannya atau pertukaran yang dia peroleh dari tindakan. Oleh
karena itu G. Homans termasuk salah satu pendukung teori pertukaran. Proses
pertukaran dalam kehidupan sosial (masyarakat) melibatkan aspek ‘kegiatan’,
‘interaksi’ dan ‘sentimen’ secara integral. Disintegrasi kelompok akan terjadi apabila
proses pertukaran dalam kehidupan kelompok tidak terjadi dengan baik. Dalam
proses pertukaran dalam kelompok, terjadi saling interaksi, pengaruh, penyesuaian,
persaingan, pencarian penghargaan, keadilan, kedudukan dan inovasi-inovasi,
untuk memperoleh keuntungan psikis dalam pertukaran imbalan dan hukuman yang
terjadi dalam kehidupan kelompok. Menurut Homans, bahwa semua struktur sosial
terbentuk dari proses pertukaran yang sama. Agar terjadi hubungan yang kuat
antara proses pertukaran dasar dengan pola organisasi sosial yang bersifat
kompleks, maka menurut Homans diperlukan proses ‘institusionalisasi’
(melembagakan atau menjadikan nilai-norma sebagai pola dalam organiasasi
secara ajek) (Turner, J.H., 1982).

41
Meskipun analisis atau pandangan G. Homans tentang beragam fenomena
sosial telah banyak pengaruhnya terhadap khasanah wacana teori-teori sosial,
sosiolog dan teoritikus Tunner, J.H. (1992) memberikan beberapa analisis kritik
terhadap beberapa sisi kelemahan sudut pandang Homans, antara lain: (a)
pandangan Homans terlalu menekankan aspek positivistis dalam mencermati
keterlibatan individu dalam proses-proses sosial, hal ini tentu tidak bisa dijadikan
sebagai pedoman dalam memahami fenomena sosial yang sangat dinamik dan
kompleks; (b) konsep atau prinsip tentang ‘pertukaran’ sebagai unsur dasar dalam
mewarnai setiap kegiatan kelompok atau organisasi kelompok memiliki banyak
kelemahan, karena dalam realitasnya unsur pertukaran bukan satu-satunya unsur
terpenting dalam ‘proses institusionalisasi’; dan (c) gagasan atau pandangan
Homans tentang ‘konsep pertukaran’, memunculkan permasalahan metodologis
dalam studi fenomena sosial di masyarakat.
Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman, bahwa paradigma organik
(organisme) dan paradigma fungsionalis (fungsionalisme) mempunyai konsep
pemahaman yang relatif sama dalam memandang tentang masyarakat, yaitu
‘bahwa masyarakat sebagai suatu kesatuan, atau masyarakat memiliki unsur-unsur
atau elemen-elemen yang saling berhubungan’. Beberapa asumsi pokok
pandangan paradigma organik dan fungsional tentang kehidupan sosial di
masyarakat antara lain: (1) masyarakat adalah suatu sistem yang saling
berhubungan dan bersifat organik; (2) sistem sosial ini berkembang sejalan dengan
kebutuhan-kebutuhan yang mendasarinya; (3) masyarakat mengalami
perkembangan dari tradisional (non industrial) menuju masyarakat industri dan
modern (bersifat evolusi); (4) struktur sosial terdiri atas struktur normatif masyarakat
yang berlandaskan sistem pembagian kerja yang mengikutinya; dan (5) secara
umum sistem sosial dibagi menjadi dua aspek, yaitu struktur sosial (masyarakat
statis) dan perubahan sosial (masyarakat dinamik) (Kinloch, G. 205).
2. Pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami
fenomena sosial-budaya
Sebenarnya ilmuwan sosial yang terlibat dalam pengembangan teori
fungsional struktural adalah cukup banyak, baik yang berlatar belakang kajian
antropologi maupun sosiologi, misalnya: Levi Strauss; Emille Durkheim; R. Brown;
Talcott Parsons; Robert K Merton; Walter Buckley; Amitai Etzioni, dan sebagainya.
Dalam kajian berikut ini lebih menekankan pada pandangan-pandangan teori
fungsional struktural versi Talcott Parsons dan versi Robert K Merton. Pemilihan
dua pandangan teoritikus sosiologi tersebut bukan berarti penulis menempatkan
Parsons dan Merton dalam posisi teoritikus fungsional struktural yang paling baik

42
dan sempurna. Uraian singkat tentang teori fungsional struktural dari versi Parsons
dan Merton tersebut diharapkan bisa memotivasi para pembaca untuk lebih jauh
memahami perspektif fungsional struktural dalam memahami fenomena sosial-
budaya di masyarakat.
Parsons lahir di Colorado, USA tahun 1902. Selama hidupnya dia membuat
sejumlah besar karya teoritis. Ada perbedaan penting antara karya awal dan karya
yang terakhirnya. Menurut Herry Priyono (2002), ada tiga tahap refleksi teoritik
Parsons, antara lain: (1) Tahap pertama, ketika dia menyusun teori Tindakan
Voluntaristik (1949); (2) Tahap kedua, ketika dia meninggalkan teori tindakan
voluntaristik ke Teori Sistem (1951); dan Tahap ketiga, tahap terakhir ketika dia
menerangkan Teori Fungsional Struktural pada evolusi masyarakat (1966).
Menurut Theodorson, dalam Raho, B. (2007), pengertian fungsionalisme
struktural adalah ‘salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang
saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi
tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain’. Apabila terjadi perubahan pada
unsur sosial-budaya pada salah satu bagian akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan pada sistem, dan akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
perubahan pada bagian yang lain. Kemudian asumsi dasar teori fungsional
struktural adalah ‘bahwa semua elemen atau unsur kehidupan sosial-budaya dalam
masyarakat harus berfungsi (fungsional) sehingga masyarakat secara keseluruhan
bisa menjalankan fungsi dengan baik’. Kajian berikut ini, tentang teori fngsional
struktural Parsons lebih banyak menitikbertakan pada konsep ‘Skema AGIL’ dan
konsep ‘Fungsional Struktural’.
Skema AGIL dalam fungsional struktural Parsons
Konsep, skema Adaptation, Goal attainment, Integration, dan Latensi (AGIL).
Menurut Parsons ada empat fungsi penting yang diperlukan dalam menganalisis
semua sistem ‘tindakan’ manusia untuk pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu:
adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L). Setiap kehidupan
kelompok agar tetap bertahan (survive), maka sistem sosial dalam kelompok itu
harus memiliki empat fungsi yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu:
a. Adaptation (menyesuaikan diri dengan lingkungan). Sebuah sistem (dalam suatu
kelompok) harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus
menyesuaikan diri kondisi lingkungan, dan dengan kebutuhan lingkungannya.
Kemudian aspek ‘Organisme perilaku’ adalah merupakan sistem tindakan yang
melaksanakan fungsi adaptasi (menyesuaikan dan mengubah lingkungan
eksternal) dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan yaitu ‘Sistem ekonomi’,

43
adalah merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui: tenaga kerja, produksi, dan
alokasi.
b. Goal attainment (Pencapaian tujuan). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok)
harus mendefinisikan tujuan dan upaya mencapai tujuan utamanya. Kemudian
aspek ‘Sistem kepribadian’, adalah melaksanakan fungsi pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan dalam sistem, dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk
mencapai tujuan utamanya. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Sistem
pemerintahan’ (sistem politik), adalah melaksanakan fungsi pencapain tujuan
dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor (sumber daya
manusia) untuk mencapai tujuan utama yang telah dirumuskan.
c. Integration (Integrasi). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus mengatur
hubungan antar bagian dalam sistem. Sistem juga harus mengelola hubungan
ketiga fungsi lainnya (adaptation; goal attainment; latency). Kemudian aspk
‘Sistem sosial’, adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan
bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Komunitas
kemasyarakatan’ (contoh, hukum, Undang-Undang atau seperangkat aturan),
adalah akan menjalankan fungsi terbentuknya integrasi, atau mengkoordinasi
beragam komponen masyarakat menuju terwujudnya integrasi sosial-budaya.
d. Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus
memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, serta mendorong (memotivasi)
individu atau pola kultural dalam kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai-
norma (seperangkat aturan) yang berlaku. Kemudian aspek ‘Sistem kultural’,
adalah melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor
seperangkat norma dan nilai yang mendorong individu bertindak sesuai dengan
nilai-norma. Sedangkan bidang ‘sistem fiduciari’ (contoh lembaga keluarga,
sekolah, dan lembaga keagamaan), adalah menangani fungsi pemeliharaan pola
(nilai-norma yang sudah menjadi etos/ pola hisup dalam kelompok) dengan
menyebarkan nilai, norma pada aktor (individu) untuk ‘disosialisasikan,
diinternalisasikan dan dienkulturasikan’ pada dirinya.
Setiap peneliti dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya di
masyarakat, apabila menggunakan teori fungsionalisme struktural versi Parsons,
seharusnya menggunakan skema AGIL sebagaimana yang tergambarkan pada
gambar 2.1 pada halaman berikut, yang keempat aspeknya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lain secara fungsional.

44
Sedangkan hubungan AGIL disetiap sistem tindakan dalam kehidupan
kelompok, dapat digambarkan seperti dalam skema berikut:
GOAL ATTAINMENT
ADAPTATION
- Sistem Kepribadian
- Organisme Perilaku
- Sistem Pemerintahan
- Sistem Ekonomi
(sistem politik)

LATENCY
- Sistem Kultural INTEGRATION
- Sistem Fiduciari’ - Sistem Sosial
(lembaga keluarga, - Komunitas
sekolah, agama) Kemasyarakatan
(hukum, norma)

Gambar 2.1 tentang hubungan timbal balik skema AGIL (Johnson D, 1986; Ritzer
dan Goodman, 2004)

Konsep fungsional struktural Parsons


Untuk memahami skema AGIL tersebut, perlu dipahami beberapa pemikiran
kunci dari Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’ secara integral. Sedangkan
beberapa konsep kunci tentang teori fungsionalisme struktural Parsons antara lain:
a. Sistem kultural, merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai sistem
tindakan individu dalam kelompok. Kultur mengatur interaksi antar aktor
(individu), menginteraksikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial.
b. Kultur, dipandang sebagai: (1) sistem simbol yang terpola (ajek/ sebagai etos),
teratur yang menjadi sasaran orientasi para aktor; dan (2) aspek-aspek
kepribadian yang sudah terinternalisasi dan pola-pola yang sudah terlembagakan
di dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan
pola tindakan individu dalam kelompok agar sesuai dengan nilai-norma sosial-
budaya. Individu tidak merdeka dalam bertindak, karena semua tindakan individu
sudah ditentukan oleh kultur (budaya) (Surbakti, R., 1997a; Bachtiar, W., 2008).
c. Kultur, dapat dipindahkan dari satu sistem ke sistem lain melalui penyebaran
(difusi) dan dipindahkan dari kepribadian satu ke sistem kepribadian lain melalui
proses ‘pembelajaran budaya’, yaitu: proses internalisasi; proses sosialisasi; dan
proses enkulturasi (Koentjaraningrat, 1989; Ritzer dan Goodman, 2004). Proses
internalisasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk
membentuk pribadi (akhlak) yang baik sesuai kultur yang berlaku’. Proses
sosialisasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk

45
berinteraksi sosial, berkomunikasi atau bergaul dalam kelompok dengan baik
sesuai kultur yang berlaku’. Proses enkulturasi adalah ‘proses melatih diri sejak
dini sampai meninggal untuk tanggap pada sistem kontrol, disiplin pada aturan
dengan baik sesuai kultur yang berlaku’. Pada hakikatnya setiap manusia
sepanjang hidupnya selalu dalam proses pembelajaran budaya (internalisasi,
sosialisasi dan enkulturasi), dan proses pembelajaran budaya tersebut
ditentukan oleh kultur yang berlaku, bukan ditentukan oleh jiwa dan pikiran
individu. Jadi, kultur (eksternal) menentukan pikiran dan jiwa (internal)
seseorang.
d. Sistem sosial, yaitu terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi
(hubungan timbal balik) dalam situasi yang mempunyai aspek lingkungan (fisik).
Aktor (individu) mempunyai motivasi untuk ‘mengoptimalkan kepuasan’, yang
berhubungan dengan situasi lingkungan mereka, yang didifinisikan dan dimediasi
dalam term sistem simbol yang terstruktur secara kultural.
e. Konsep kunci ‘sistem sosial’ menurut Parsons adalah: (a) aktor; (b) interaksi; (c)
lingkungan; (c) optimalisasi; (d) kepuasan; dan (e) kultur. Meski Parsons melihat
sistem sosial sebagai interaksi (hubungan timbal balik), tetapi dia tidak
menggunakan interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistem
sosial. Dia menggunakan ‘status-peran’ sebagai unit dasar dari sistem sosial.
Status adalah menyangkut posisi struktural individu dalam sistem sosial
(kelompok), sedangkan peran (role) adalah apa yang harus dilakukan individu
dalam posisinya. ‘Aktor’ dalam pandangan Parsons, bukan dilihat dari sudut
pikiran, ide, keyakinan dan tindakan sehari-hari individu (seperti dalam teori
berparadigma definisi sosial, yaitu teori intraksionisme simbolik), tetapi ‘aktor’
dilihat sebagai ‘kumpulan dari beberapa status dan peran yang terpola oleh
struktur dalam sistem sosial-budaya’. Jadi individu ter-determinasi oleh aktor
eksternal, atau individu ditentukan oleh struktur sosial-budaya (Rossides, 1978.
f. Ada tujuh persyaratan fungsional dari ‘sistem sosial’ menurut Parsons, yaitu: (1)
sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi
dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya (antar sub sistem); (2)
untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan
yang diperlukan dari sistem yang lain; (3) sistem sosial harus mampu memenuhi
kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan; (4) sistem sosial harus
mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya; (5) sistem
sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu; (6)
apabila dalam sistem terjadi konflik hal itu akan menimbulkan kekacauan, oleh
karena itu harus dikendalikan; dan (7) untuk kelangsungan hidupnya, sistem

46
sosial memerlukan bahasa (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990). Disini
menunjukkan analisis sistem Parsons bersifat makro, bukan mikro.
g. Inti pemikiran Parsons ada dalam empat sistem tindakan, yaitu: (1) sistem
kultural; (2) sistem sosial; (3) sistem kepribadian; dan (4) organisme perilaku,
yang keempatnya terkait dengan skema AGIL, sebagaimana diuraikan di atas.
h. Ada tujuh asumsi dasar Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’, yaitu: (1)
sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung;
(2) sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan; (3) sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan
yang teratur; (4) sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk
bagian-bagian lain; (5) sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya;
(6) alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan
untuk memelihara keseimbangan sistem; dan (7) sistem cenderung menuju ke
arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan
pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem,
mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan
kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam (Ritzer dan Goodman, 2004).
Ketujuh asumsi inilah yang menempatkan analisis struktur keteraturan
masyarakat sebagai prioritas utama teori fungsionalisme struktural Parsons.
i. Aktor (individu) dan sistem sosial. Mengenai hal ini Parsons berpandangan: (1)
antara aktor dan struktur sosial mempunyai hubungan sangat erat; (2)
persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah
proses internalisasi dan sosialisasi; (3) dalam proses sosialisasi, nilai dan norma
diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor),
sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan; (4)
aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi. Sosialisasi
dikonseptualisasikan sebagai proses konservatif (sebagian besar kebutuhan
dibentuk oleh masyarakat). Norma dan nilai yang dipelajari sejak kecil cenderung
tidak berubah, dan cenderung berlaku sampai tua; (5) perhatian Parsons lebih
tertuju kepada sistem sebagai satu kesatuan ketimbang pada aktor (individu) di
dalam sistem. Dalam fungsionalisme struktural Parsons, adalah, bagaimana cara
sistem mengontrol atau mengendalikan aktor (individu), bukan mempelajari
bagaimana cara aktor menciptakan dan memelihara sistem (Abraham, 1982;
Craib, 1984; Hamilton, 1990).
j. Bagaimana ‘sistem sosial’ menghadapi realitas pribadi individu yang beragam
agar tidak terjadi problem?. Parsons mengemukakan pendapat, yaitu: (1) dalam
sistem sosial harus ada mekanisme pengendalian sosial yang dilakukan dengan

47
baik (hemat); (2) sistem sosial harus mampu menghormati perbedaan
(differensial), bahkan penyimpangan tertentu (sistem sosial harus lentur atau
flexible); (3) sistem sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang bagi aktor
untuk berperan, yang memungkinkan terjadinya perwujudan beragam
kepribadian di masyarakat tanpa mengancam integrasi dalam masyarakat
(kelompok).
k. Masyarakat. Menurut Parsons masyarakat merupakan salah satu ‘sistem sosial
khusus’, karena kolektif ini relatif mampu mencukupi kebutuhannya sendiri.
Parsons membedakan antara empat struktur atau subsistem dalam masyarakat
menurut fungsi (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, antara lain: (1) subsistem
ekonomi (dalam Adaptation); (2) subsistem pemerintahan (dalam Goal
attainment); (3) sistem komunitas kemasyarakatan (dalam Integration); dan (4)
subsistem fiduciari (dalam Latency), lihat bagan di atas.
l. ‘Sistem kepribadian’. Pandangan Parsons tentang sistem kepribadian
(personalitas) adalah: (1) personalitas diartikan sebagai sistem orientasi dan
motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir dengan baik. Komponen
dasarnya adalah ‘disposisi dan kebutuhan’. Disposisi kebutuhan merupakan
‘unit-unit motivasi tindakan individu yang paling penting’; (2) ada tiga tipe dasar
disposisi kebutuhan, yaitu: (a) memaksa aktor mencari cinta, persetujuan, dan
sejenisnya, dari hubungan sosial mereka; (b) meliputi internalisasi nilai yang
menyebabkan aktor mengamati berbagai standar nilai-norma dalam kultural; dan
(c) adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan
menerima respon yang tepat; dan (3) hubungan sistem kepribadian dengan
sistem sosial adalah: (a) aktor harus belajar melihat dirinya sendiri (kepribadian)
sesuai dengan nilai-norma yang berlaku di masyarakat (sistem sosial); dan (b)
peran yang diharapkan untuk dilakukan individu, terkait erat dengan status
(kedudukan) yang dimiliki oleh aktor di masyarakat. Berdasarkan ketiga konsep
tersebut dapat dipahami, bahwa dalam fungsionalisme struktural Parsons,
menempatkan citra aktor dalam aktivitas sosial dalam posisi sangat pasif,
dipaksa oleh dorongan hati dan didominasi oleh kultur atau gabungan dorongan
hati dan kultur (disposisi-kebutuhan) (Craib, 1984; Hamilton, 1990; Ritzer dan
Goodman, 2004).
m. Konsep perubahan sosial. Pandangan Parsons tentang proses perubahan sosial
di masyarakat adalah berlangsung secara evolusioner. Menurut Parsons, ada
tiga komponen paradigma proses perubahan sosial secara evolusioner, yaitu: (1)
‘proses diferensiasi’, artinya: setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan
subsistem yang beragam strukturnya dan fungsionalnya; (2) proses diferensiasi

48
menimbulkan ‘sekumpulan masalah integrasi baru’ bagi masyarakat (masing-
masing subsistem mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri secara
meningkat dan berkualitas). Masyarakat akan berevolusi dari sistem yang
bersifat ascription (atas dasar kelahiran) ke sistem yang berdasarkan
achievement (atas dasar prestasi/ keahlian); dan (3) ‘sistem nilai dasar’, artinya
semakin maju masyarakat semakin beragam nilai-norma yang dianut. Oleh
karena itu diperlukan sistem nilai dasar (umum /pokok /ide dasar) yang lebih
tinggi untuk melegitimasi atau sebagai pandangan hidup (way of life) bagi
beragam norma, tujuan dan fungsi yang ada pada subsistem masyarakat
(Soekanto, S dan Ratih, L. 1988).
n. Parsons, menilai masyarakat akan berevolusi dalam tiga tahap, yaitu: (1)
masyarakat primitif; (2) masyarakat lanjutan; dan (3) masyarakat modern. Dia
membedakan tiga tahap ini berdasarkan dimensi kultural (Abraham, 1982; Craib,
1984; Hamilton, 1990). Jadi, pandangan Parsons tentang perubahan sosial-
budaya adalah: (1) proses perubahan sosial yang terjadi akan mengarah pada
keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal,
perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (2)
proses diferensiasi struktural akan menimbulkan perubahan baru di dalam
subsistem, tetapi tidak mengubah struktur sistem sosial-budaya secara
keseluruhan. Nilai-nilai pokok dianggap tetap tidak berubah; (3) perubahan
evolusi masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan
adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (4) apabila terjadi perubahan
struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial
bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting), hal ini akan
mempengaruhi perubahan unit-unit lain dalam sistem (Appelbaum, R.P. 1970;
Harper, C.L. 1989; Lauer, 1993) atau perubahan revolusi.
Parsons (1966) mengembangkan teori perubahan sosial yang dibedakan
menjadi tiga macam perubahan yaitu: (1) perubahan ke arah sistem perbaikan
(mempertahankan sistem), yakni memperbaiki pola utama ‘equilibrium’. Ini dianggap
perubahan yang sesuangguhnya (namun pola perubahan ini masih statis); (2)
perubahan dalam arti sebagai makna perbaikan unit-unit perbedaan, sub sistem
kedalam pola fungsional secara khusus atau saling ketergantungan (perubahan
koordinasi aktivitasnya dan fungsi-fungsinya); dan (3) perubahan ‘adaptive
apgrading’, artinya sistem sosial menjadi sangat efektif dalam generasi dan
distribusi sumber, sehingga meningkatkan survivalnya (Harper, 1989; Lauer, 1993).
Meskipun pandangan Parsons tentang teori fungsional struktural, telah
dianggap sangat penting bagi setiap ilmuwan sosial dalam melakukan analisis

49
fenomena sosial, masih ada sisi kelemahan sebagai kritik dari teori fungsional
struktural Parsons, antara lain
Pertama, kritik substantif (krtik utama), antara lain: (a) teori fungsional
struktural tidak berkaitan dengan sejarah (bersifat ahistoris), lebih memusatkan
pada masyarakat kontemporer maupun masyarakat abstrak, atau teori fungsional
struktural tidak mampu menjelaskan peristiwa masa lalu; (b) teori fungsional
struktural dianggap tidak mampu menjelaskan proses perubahan sosial secara
efektif pada masa kini, atau teori fungsional structural lebih senang menjelaskan
struktur sosial statis daripada proses perubahan itu sendiri (yang dinamis); (c) teori
fungsional struktural tidak mampu menjelaskan fenomena konflik secara efektif, hal
ini karena teori fungsional struktural terlalu menekankan aspek keharmonisan antar
unsur;, dan cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang bersifat merusak dan
terjadi di luar kerangka kehidupan masyarakat; (d) teori fungsional struktural
cenderung memusatkan perhatian pada masalah kultural, norma, dan nilai. Individu
dipandang sebagai dipaksa oleh kekuatan kultural dan sosial (faktor eksternal), atau
individu dianggap tidak merdeka dalam menentukan jalan hidup; dan (e) teori
fungsional struktural dalam praktiknya banyak digunakan untuk mendukung status
quo dan elite dominan (Coser, L. and Rosenberg, B. 1969; Turner, J.H. 1982).
Kedua, kritik logika dan metodologi, menurut Mills, Abrahamson dan Cohen,
antara lain: (a) teori fungsional struktural pada dasarnya kabur, tidak jelas dan
bermakna ganda (yaitu lebih memilih sistem sosial abstrak daripada masyarakat
nyata); (b) teori fungsional struktural termasuk teori yang lebih bersifat umum
(abstrak), padahal dalam melakukan analisa fenomena sosial akan lebih baik
memakai ‘teori middle range’, spesifik yang lebih historis (Merton); (c) pada
dasarnya belum ada metode yang memadai untuk mengkaji persoalan fenomena
social dengan menggunakan kerangka berpikir fungsional struktural; (d) teori
fungsional struktural membuat analisis konservatif dan sulit, sebab analisis
fungsional structural hanya cocok bagi kondisi sistem yang sama, sedangkan sistem
yang beragam sangat sulit; (e) logika teori fungsional struktural bersifat tautologi.
Argumentasi Tautologi adalah argumen yang konklusinya semata-mata
menegaskan apa-apa yang terkandung di dalam premis. Jadi, dinyatakan bahwa
sistem sosial ditentukan oleh hubungan antar bagian dalam sistem dan bagian
dalam sistem ditentukan oleh tempatnya dalam sistem sosial yang lebih luas; (f)
teori fungsional struktural dianggap terlalu teleologis (seolah-olah benar secara
logika, tetapi tidak selalu benar secara empiris); (g) teori fungsional struktural terlalu
banyak mengadopsi dari ahli fungsional struktural antropologi, yang tentu kurang
cocok untuk analisis masyarakat modern (Ritzer dan Goodman, 2004).

50
Dari kedua konsep tentang kelemahan (kritik) terhadap teori fungsional
struktural Parsons tersebut, dapat disimpulkan bahwa: (a) penerapan prinsip-prinsip
biologis (hukum organism) pada kehidupan masyarakat memang menimbulkan
berbagai persoalan atau mempunyai banyak titik kelemahan; (b) anggapan bahwa
persoalan masyarakat merupakan elemen integral dan homeostatik yang kurang
menekankan problem kekuasaan, memunculkan tuduhan bahwa pandangan
Parsons bersifat elitis dan konservatif; (c) konsep struktur fungsionalisme Parsons
bersifat statis dan tidak berkembang atau banyak sisi kelemahannya apabila
digunakan untuk melakukan analisis masyarakat sekarang yang sangat dinamik,
dan kompleks; (d) penilaian Parsons, bahwa masyarakat Barat merupakan bentuk
masyarakat modern, dapat menimbulkan ethnosentrisme; dan (e) metode ‘deduksi
historis’ yang didasarkan pada analogi biologi, tentu banyak titik kelemahan apabila
diterapkan dalam realitas sosial-budaya yang unik, dinamik dan kompleks.
Reaksi para pengikut fungsionalis struktural terhadap kritik di atas antara lain:
(1) teori fungsional struktural tidak seluruhnya bersifat statis equilibrium (Parsons),
tetapi ada juga yang bersifat dinamis (Merton); (2) teori fungsional struktural juga
mengakui adanya struktural konflik dan konflik internal di dalam struktur, namun
perubahan yang terjadi itu hanya bersifat evolusi (bukan revolusi) (contoh, Aliran
neo evolusi perspektif Merton); dan (3) Neo evolusi perspektif Merton, melihat
bahwa equilibrium dari statis mengarah ke equilibrium dinamis (melihat masyarakat
relatif kompleks, sehingga terbuka untuk berubah).
3. Pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton dalam memahami
fenomena sosial-budaya
Merton adalah murid Parsons, tetapi dia juga mengecam beberapa aspek
fungsionalisme struktural Parsons. Langkah atau pandangan Merton ini lebih
membantu para peneliti sosial dalam menggunakan teori fungsional struktural untuk
memahami beragam fenomena sosial-budaya di masyarakat. Ada beberapa
perbedaan antara fungsionalisme struktural (FS) Parsons dengan Merton, antara
lain: (1) FS Parsons merupakan penciptaan teori-teori besar (Grand theory) dan
luas cakupannya, sedangan FS Merton menyukai teori yang terbatas, teori tingkat
menengah (Middle range theory); dan (2) FS Merton lebih menyukai teori Marxian
(fungsionalisme struktural lebih ke kiri secara politis), sedangkan FS Parsons tidak
(Ritzer dan Goodman, 2004).
Berikut ini merupakan beberapa pokok pikiran R.K. Merton berkaitan dengan
teori fungsionalisme strukturalnya dalam memahami fenomena sosial di
masyarakat, antara lain:

51
Pertama, Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural yang
dikembangkan oleh antropolog Malinowski dan Radcliffe Bron, antara lain: (1)
postulat, ‘bahwa semua keyakinan dan praktik sosial-budaya yang sudah baku
adalah fungsional untuk kehidupan individu dan masyarakat’. Hal ini telah terjadi
integrasi tingkat tinggi. Postulat ini bagi Merton hanya berlaku bagi masyarakat
primitif atau masyarakat terisolir dengan jumlah komunitas yang kecil, tetapi tidak
cocok bagi masyarakat modern yang sangat dinamik dan kompleks; (2) postulat,
‘fungsionalisme universal’, artinya, bahwa seluruh bentuk sosial, kultur (budaya),
dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif (mengikat dan memaksa).
Bagi Merton, tidak setiap struktur, adat, gagasan, kepercayaan mempunyai fungsi
positif, terlebih dalam masyarakat yang kompleks atau modern yang multikultural
dijumpai beragam struktur; dan (3) postulat, tentang ‘indispensability’, artinya semua
struktur yang baku tersebut secara fungsional adalah penting untuk masyarakat.
Bagi Merton, dalam hidup sosial-budaya perlu ada beragam alternatif struktur dan
fungsional dalam masyarakat, terutama pada masyarakat modern yang sangat
kompleks (Abraham, F.M. 1982; Surbakti, R. 1997a).
Kedua, sasaran studi struktural fungsional menurut Merton adalah: peran
sosial, pola institusional, proses sosial, pola budaya, emosi yang terpola secara
kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk
pengendalian sosial dan sebagainya. Dan perhatian analisis struktur fungsional
seharusnya lebih memusatkan pada ’fungsi sosial’ daripada pada ‘motif individual’.
Fungsi bagi Merton didefinisikan sebagai ‘konsekwensi-konsekwensi yang dapat
diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu’
(Johnson, D.P. 1981; Raho, B. 2007).
Ketiga, beberapa konsep penting Merton tentang: disfungsi; nonfunctions; net
balance; dan manifest, antara lain: (1) konsep disfungsi, menurut Merton, sistem
sosial, struktur, atau institusi dapat menimbulkan akibat positif dan juga negatif
(disfungsi) dalam sistem sosial. Contoh, sistem perbudakan di Amerika Serikat akan
menimbulkan disfungsi tatanan kehidupan politik (adanya rasdiskriminasi); (2)
konsep nonfunctions, yang didefinisikan sebagai akibat-akibat yang sama sekali
tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan, artinya bentuk tindakan
sosial lama (kuno) yang tetap ‘bertahan hidup’ dan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekarang; (3) konsep net balance
(keseimbangan bersih), artinya setiap peneliti dalam melakukan analisis sosial
harus mampu mengembangkan pertanyaan pada ‘tingkatan analisis fungsional’,
dengan menimbang, membandingkan, menjumlah fungsi positif dan disfungsinya,
misalnya: sistem perbudakan mungkin lebih fungsional bagi unit sosial tertentu

52
(lapisan sosial-ekonomi elit) dan lebih disfungsional bagi unit sosial lainnya
(masyarakat bawah/ lapiran bawah). Inilah yang membedakan Merton dengan tokoh
fungsional struktural lainnya (umumnya teoritisi fungsional hanya menganalisis
masyarakat sebagai satu kesatuan); dan (4) konsep manifest (fungsi nyata) dan
latent (fungsi tersembunyi). Kedua istilah ini memberikan tambahan penting bagi
analisis fungsional versi Merton. Fungsi nyata (manifest) adalah fungsi yang
diharapkan (contoh, lembaga rumah sakit adalah berfungsi merawat dan
menyembuhkan orang sakit). Fungsi tersembunyi (latent) adalah fungsi yang tidak
diharapkan (contoh, rumah sakit adalah lembaga yang menghabiskan uang/
kekayaan bagi yang sakit, dan bisa menimbulkan jumlah orang sakit bertambah).
Menurut Merton, fungsi latent ada yang fungsional untuk sistem sosial dan ada yang
tidak fungsional (Johnson, D.P. 1981; Bachtiar, W. 2006).
Keempat, sumbangan terpenting Merton terhadap fungsionalisme struktural
dan terhadap analisis sosial-budaya pada umumnya, khususnya tentang
analisisnya mengenai hubungan antara: kultur (budaya), struktur sosial dan anomie,
antara lain: (1) kultur, adalah seperangkat nilai normatif yang terorganisir, yang
menentukan perilaku bersama anggota masyarakat atau kelompok; struktur sosial
adalah seperangkat hubungan sosial yang terorganisir, yang dengan berbagai cara
melibatkan anggota masyarakat atau kelompok di dalamnya; dan anomie, adalah
kondisi individu atau kelompok yang tidak mampu bertindak sesuai dengan nilai
normatif atau tujuan yang terstruktur secara sosial dalam kelompoknya. (2) setiap
melakukan analisis fenomena sosial-budaya, perlu menghubungkan ketiga konsep
tersebut (kultur, struktur sosial dan anomie), artinya analisis terhadap pola aktivitas
individu dalam masyarakat dianggap perilaku menyimpang atau tidak menyimpang
sangat dipengaruhi oleh bagaimana analisis hubungan antar ketiga konsep
tersebut; dan (3) Merton lebih tertarik dengan disfungsi yang dalam hal ini adalah
anomie, lebih khusus, Merton menghubungkan terjadinya anomie karena adanya
kesenjangan antara kultur (budaya) dan struktur sosial (Craib, 1984; Hamilton,
1990).
Kelima, beberapa konsep dasar Merton tentang organisasi birokrasi modern,
antara lain: (1) birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional
dan formal, (2) birokrasi meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas
yang jelas; (3) kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-
tujuan organisasi; (4) jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan kedalam
keseluruhan struktur birokratis; (5) status dalam birokrasi tersusun kedalam
susunan yang bersifat hirarkhis; (6) berbagai kewajiban serta hak-hak di dalam
birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci; (7) otoritas pada

53
jabatan bukan pada orang, tetapi ada pada kelompok; dan (9) hubungan antar
individu dibatasi secara formal oleh nilai-norma yang telah disepakati kelompok
(Poloma, 2000).
Keenam, beberapa prinsip tentang studi perubahan sosial (social change)
menurut Merton, antara lain: (1) struktur birokrasi dapat melahirkan tipe kepribadian
yang lebih mematuhi aturan normatif dalam kelompok. Apabila perilaku dalam
birokrasi tidak sesuai dengan aturan normatif kelompok, maka akan terjadi anomie
(non konformis); (2) anomie, disini bukan bersifat psikologis, melainkan lebih
berkaitan dengan tidak serasinya (kesenjangan) antara kultural dengan struktural
dalam kelompok. Jadi, fenomena anomi dalam kehidupan sosial (masyarakat)
memerlukan penjelasan secara sosiologis, bukan psikologis; (3) analisa fungsional
struktural menurut Merton, tidak hanya menggunakan tiga postulat di atas (yaitu:
postulat kesatuan fungsional masyarakat; postulat fungsional universal dan postulat
indispensability), tetapi juga perlu dipadu dengan analisis lainnya, yaitu: analisis
konsep disfungsi (anomie); analisis konsekwensi keseimbangan fungsional (net
balance); dan analisis fungsi manifes dan fungsi latent (Craib, 1984; Hamilton, 1990;
Poloma, 2000).
Ketujuh, tentang perangkat peran (role-set). Setiap individu di masyarakat
memiliki status, dan setiap status terdapat beberapa peranan atau seperangkat
peran (role-set). Seperangat peran tersebut harus terintegrasi dengan baik, apabila
role-set tersebut tidak terjadi integrasi secara baik akan terjadi konflik (disintegrasi).
Oleh karena itu Merton memusatkan analisisnya pada struktur sosial dan
menyelidiki elemen-elemen fungsional dan elemen-elemen disfungsional dalam
kelompok. Elemen fungsional adalah beragam elemen yang dapat menghindarkan
terjadinya konflik (disintegrasi) dalam kelompok, sedangkan elemen disfungsional
adalah beragam elemen yang dapat memunculkan terjadinya konflik di masyarakat
(Soekanto, S dan Ratih, L. 1988; Raho,B., 2007)..
Menurut Merton, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk
meminimalkan konflik di masyarakat, antara lain: (1) membangun intensitas
keterlibatan individu dalam beragam peranan dalam kehidupan di masyarakat; (2)
membangun sikap kompetitor (persaingan) diantara individu yang ada dalam role-
set (seperangkat peran) secara positif dan konstruktif; (3) apabila terjadi konflik
dalam role set (seperangkat peran), maka setiap anggota dalam kelompok harus
segera melakukan penyelesaian konflik; dan (4) melakukan isolasi peran, sehingga
sulit diamati oleh orang lain yang ada dalam role set (seperangkat peran). Jadi,
Merton dalam melakukan studi sosial memberikan penekanan pentingnya

54
melakukan ‘analisis elemen-elemen disfungsional’ dan ‘alternatif-alternatif
fungsional’ dalam kehidupan masyarakat.
4. Pandangan Neofungsionalisme dalam memahami fenomena sosial-budaya
Diantara teoritikus sosial yang dapat dikatakan sebagai tokoh teori
neofungsionalisme, antara lain: Jeffrey Alexander dan Paul Colomy.
Neofungsionalisme muncul di tahun 1980-an, sebagai bentuk upaya menghidupkan
kembali teori fungsional struktural yang dianggap mulai redup sejak 1960-an hingga
1970-an. Neofungsionalisme didefinisikan oleh Colomy sebagai ‘rangkaian kritik diri
(internal) terhadap teori fungsional struktural, dan ingin mencoba memperluas
cakupan intelektual teori fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti
teorinya’. Jadi, teori fungsional struktural yang lama dianggap terlampau sempit dan
kaku, dan tujuan Alexander dan Colomy adalah menciptakan teori sintesis yang
disebut ‘Neofungsionalisme’. Ada beberapa kelemahan (problem) yang dihadapi
oleh teori fungsional struktural yang perlu dijawab oleh Neofungsionalisme, antara
lain: (1) anti individualisme; (2) antagonistik terhadap perubahan; (3) konservatif;(4)
idealisme; dan (5) bias antiempiris.
Berikut ini beberapa pokok pikiran atau pandangan teori Neofungsionalisme
Alexander dan Colomy, dalam memahami beragam fenomena sosial-budaya di
masyarakat, antara lain
Pertama, neofungsionalisme, bekerja dengan ‘model masyarakat deskriptif’.
Model ini melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur sosial yang saling
berinteraksi menurut pola tertentu, hubungan antar unsur tersebut diistilahkan
sebagai ‘hubungan secara simbiosis’, tidak ditentukan oleh satu kekuatan semata
(misalnya, eksternal menentukan internal atau sebaliknya). Jadi, masyarakat
dianggap lebih bersifat terbuka, dinamik dan pluralis (beragam).
Kedua, neofungsionalisme, memusatkan perhatian yang sama besarnya
terhadap tindakan individu (mikro) dan keteraturan sosial (makro). Hal ini berbeda
dengan teori fungsional struktural, yang lebih menekankan pada aspek keteraturan
sosial atau tradisional dan bersifat makro didalam memahami struktur sosial dan
budaya). Sedangkan neofungsionalisme, selain memperhatikan tingkat makro juga
pola tindakan individu ditingkat yang lebih mikro, juga tindakan rasional dan
tindakan eskpresif individu dalam proses-proses sosial di masyarakat.
Ketiga, neofungsionalisme, tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi
bukan dilihat sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai ‘kemungkinan
sosial’, sedangkan dalam pandangan teori fungsional struktural, kondisi integrasi
atau equilibrium lebih dilihat sebagai fakta yang sempurna atau suatu keharusan
dalam kehidupan kelompok. Neofungsionalisme mengakui penyimpangan dan

55
kontrol sosial sebagai realitas dalam sistem sosial yang sangat dinamik dan
kompleks. Neofungsionalisme mengakui keseimbangan tetapi dalam konteks yang
lebih luas (keseimbangan statis dan dinamik). Sedangkan dalam fungsional
struktural keseimbangan bersifat statis.
Keempat, neofungsionalisme, tetap menerima penekanan Parsonian
tradisional atas konsep kepribadian, konsep kultur, konsep sistem sosial dan
organisme perilaku (dalam struktur tindakan) dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
neofungsionalisme juga menganggap interpenetrasi atas sistem sosial dapat
menghasilkan ketegangan (konflik) dan perubahan sosial yang lebih dinamik.
Kelima, neofungsionalisme, memusatkan perhatian pada perubahan sosial
dalam proses diferensiasi di dalam sistem sosial, kultural dan kepribadian.
Perubahan tidak hanya menghasilkan konsensus dan equilibrium (seperti
pandangan teori fungsionalisme struktural), tetapi juga menimbulkan ketegangan
antar individu dan kelompok. Hal ini berbeda dengan pandangan teori fungsional
struktural yang memandang perubahan hanya menghasilkan kondisi equilibrium
(keseimbangan dalam sistem). Jadi, bagi neofungsionalisme perubahan sosial
dalam masyarakat bisa membawa pengaruh terjadinya ‘integrasi sosial’ dan
‘disintegrasi sosial’..
Keenam, Neofungsionalisme, secara tidak langsung menyatakan
komitmennya terhadap kebebasan dalam menyusun dan mengonseptualisasikan
teori berdasarkan analisis sosial-budaya pada tingkat makro dan mikro. Bagi
neofungsionalisme, menganalisis fenomena atau realitas sosial budaya di
masyarakat, tidak cukup hanya menggunakan pendekatan makroskopik tetapi juga
menggunakan pendekatan mikroskopik. Sedangkan dalam teori fungsional
struktural proses analisis fenomena sosial-budaya hanya pada tingkat makro, oleh
karena itu cakupan analisis neofungsionalnya lebih luas apabila dibandingkan
dengan fungsional struktural.
Ketujuh, riset teori fungsional struktural, dipandu oleh skema konseptual
tunggal dan mengikat area-area riset khusus dalam satu paket yang ketat, bersifat
positivistik dan realitas sosial eksternal (kondisi makro) sangat menentukan realitas
internal (kondisi mikro), sedangkan karya empiris teori neofungsionalisme
diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan di seputar logika umum dan
memiliki sejumlah ‘cabang’ dan ‘variasi’ yang agak otonom pada tingkat dan domain
empiris yang beragam, bisa bersifat makro dan mikro.
Jadi, teori neofungsionalisme, bagi Alexander dan Colomy, bukan hanya
sekedar ‘elaborasi’ atau ‘revisi’ terhadap teori fungsional struktural Parsons dan
Merton, tetapi lebih sebagai ‘rekonstruksi dramatis’ terhadap teori fungsional

56
struktural, karena antara teori fungsional struktural dengan neofungsional pada
aspek-aspek tertentu mempunyai perbedaan yang mendasar. Jadi, Alexander dan
Colomy nampak ‘memadukan’ fungsionalisme struktural dengan ide-ide teori
pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme, fenomenologi. (Hamilton, 1990;
Ritzer dan Goodman, 2004).
D. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Konflik dan Neo-Marxian
Beberapa sosiolog yang merupakan pendukung teori konflik antara lain: Karl
Marx; Ralf Dahrendorf; Robert Park; Vilfredo Pareto; Torstein Veblen; Jonathan Turner;
Lewis Coser; Wright Mills; dan David Reisman. Diantara tokoh tersebut yang terkenal
sebagai pengembang teori konflik atau perspektif konflik (conflict perspectives) adalah
Karl Marx dan R. Dahrendorf. Berikut ini akan dikemukakan pokok-pokok pikiran teori
konflik Marx dan Dahrendorf, dan pokok-pokok pikiran teori neo-konflik (neo-Marxian)
Lewis Coser dan David Reisman. Sedangkan latar belakang munculnya teori konflik
adalah disebabkan sebagai reaksi terhadap teori fungsionalisme struktural, tetapi
menurut Dahrendorf, munculnya teori konflik bukan bermaksud untuk mengganti teori
fungsionalisme struktural dalam proses analisis realitas sosial-budaya di masyarakat,
akan tetapi mengkritisi atau mengisi ruang analisis fenomena sosial yang tidak
tersentuh oleh teori fungsional struktural. Teori konflik bersumber dari teori Marxian
dan pemikiran konflik sosial dari George Simmel. Pada tahun 1950-an dan 1960-an
teori konflik memberikan alternatif lain bagi peneliti sosial dalam melakukan analisis
sosial-budaya selain teori fungsional struktural, tetapi akhir-akhir ini teori konflik Marx
kedudukannya digantikan oleh teori-teori neo-Marxian (Kinloch, G. C., 2005; Raho, B.,
2007).
Pembahasan perspektif / teori konflik berikut ini hanya menyinggung tentang: (1)
pokok-pokok teori konflik versi Karl Marx dalam memahami fenomena sosial; (2)
pokok-pokok teori konflik versi R. Dahrendorf; dalam memahami fenomena sosial; (3)
Beberapa kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf; (3) pokok-pokok teori
konflik neo-konflik (neo Marxian) dan teori konflik integratif L. Coser dan D. Reisman;
dan (4) beberapa perbedaan pandangan teori fungsional struktural dengan teori konflik
dalam memahami fenomena sosial. Pertimbangan penulis menyajikan pembahasan
keempat hal tersebut adalah untuk memberikan wacana awal tentang teori konflik, dan
diharapkan para pemerhati teori-teori sosial bisa lebih memperdalam beberapa
pandangan teoritikus konflik lainnya.
1. Teori konflik versi Karl Marx dalam memahami fenomena sosial
Dari beberapa pandangan para ahli yang mengkaji tentang teori konflik versi
Marx, dapat disimpulkan beberapa asumsi dasar atau pokok-pokok pandangan Karl
Marx dalam memahami fenomena sosial sehari-hari, antara lain:

57
Pertama, Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan
yang akan ‘menyudahi konflik melalui konflik’. Dan ciri utama hubungan-hubungan
sosial di masyarakat adalah pejuangan kelas. Tidak ada masyarakat tanpa konflik,
dan konflik sosial merupakan pertentangan antar segmen atau antar kelas di
masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai materi, atau konflik
disebabkan oleh cara produksi barang-barang material, sebab materi merupakan
infrastruktur kehidupan (Mutahhari, M. 1986; Cambell, 1994).
Kedua, tindakan-tindakan, sikap-sikap, ide-ide, motivasi, pandangan hidup
dan kepercayaan individu tergantung pada hubungan-hubungan sosialnya, dan
hubungan sosialnya tergantung pada situasi kelasnya dan struktur ekonomis dari
masyarakatnya. Jadi, faktor ekonomi (material) sebagai dasar atau pondasi utama
(infrastruktur) setiap aktivitas kehidupan sosial budaya di masyarakat (aktivitas
sosial merupakan suprastruktur), atau sistem materi/ benda dianggap sebagai
penentu (infrastruktur) terhadap sistem ide/ gagasan; pandangan hidup,
pengetahuan, hukum, dan kepercayaan (suprastruktur) (Mutahhari, M. 1986). Jadi,
kepentingan fisik (bendawi), keprimaan dan kepentingan kebutuhan bendawi adalah
mendahului atau memotivasi munculnya kebutuhan jiwa atau kebutuhan-kebutuhan
akal manusia.
Ketiga, eksistensi manusia sejati adalah eksistensi dimana kemampuan-
kemampuan produksi manusia dikembangkan secara memuaskan. Bagi Marx,
bahwa proses cara produksi (mode of production) barang-barang material di
masyarakat itu terbagi menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu: (a)
kelompok kapitalis (pemilik modal kapitalis), dan (b) kelompok proletariat (pekerja/
buruh). Kelompok kapitalis berusaha memperoleh keuntungan materi sebesar-
besarnya dengan meminimalkan upah kaum proletar, sedangkan disisi lain kaum
proletariat juga ingin mendapat upah yang tinggi karena kerja kerasnya, sehingga
konflik tidak bisa dihindarkan. Konflik diperparah oleh realitas kaum buruh
(proletariat) yang ter-alienasi (‘terasing’) oleh: pekerjaannya, karena diperlakukan
sebagai bagian alat produksi yang bersifat mekanik; hasil pekerjaannya, karena
mereka hanya mendapat upah minimal; kemampuannya, karena mereka tunduk
pada mesin; dan hubungan kerja, karena terjadi persaingan yang tidak sehat
(Johnson, D.P. 1981. Ritzer, G. (ed). 2001).
Keempat, dalam masyarakat kapitalis, dominasi kelas penguasa (the ruling
class) sangat besar, sedangkan kelas proletar (buruh) terkungkung oleh kaum
kapitalis, sehingga proletar teralienasi (terasing), untuk memecahkan alienasi. Marx
menawarkan konsep dialektika (Tesis= kesadaran kelas; Antitesis = melawan
terhadap dominasi kelas penguasa; dan Sintesis = muncul dominasi baru/

58
masyarakat tanpa kelas/ masyarakat komunis). Jadi, dari proses hukum dialektika
tersebut, Marx meramalkan akan tercipta masyarakat tanpa kelas (Sosialisme
komunis). Oleh karena itu, asumsi dasar Marx tentang perubahan sosial adalah,
masyarakat akan berevolusi dari: feodalisme ke kapitalisme dan terakhir adalah
sosialisme komunis (Surbakti, R., 1997a; Jones, PIP.2003).
Kelima, konsep kunci Marx tentang materialisme dialektika adalah: Mode of
Production/ MoP (tata cara produksi); the force of production (kekuatan produksi),
hal ini dapat menentukan struktur kelas); dan Relation of production (hubungan
produksi). Hubungan produksi oleh Marx disebut struktur kelas. MoP ini oleh Marx
dianggap sebagai substruktur yang mendasari dan menentukan kehidupan sosial di
masyarakat. Jadi, materi sebagai sumber segala persoalan hidup manusia,
sedangkan semua aspek selain materi hanyalah penunjang atau sesuatu yang tidak
begitu penting bagi kehidupan manusia (Mutahhari, M. 1986; Salim, 2002).
Keenam, kepentingan ekonomi menjadi sebab dasar terjadinya konflik
(kapitalis mengeksploitasi kaum proletar). Konflik mengarah ke pola perubahan
revolusi. Bagi Marx, satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk keluar dari sistem
kapitalis yang ‘sangat’ tidak adil itu adalah melakukan revolusi. Menurut Marx, suatu
perubahan secara revolusi bisa terwujud apabila ada dua hal, yaitu: (a) kaum
proletariat harus mempunyai kesadaran diri yang sangat kuat bahwa dia sebagai
orang yang tertindas, hal ini untuk menumbuhkan militansi gerakan untuk berubah
secara revolusi; dan (b) kaum proletariat harus mengelompokkan diri dalam satu
wadah organisasi yang disebut ‘organisasi kaum buruh’. Menurut Marx, agar
kesadaran kaum buruh (proletariat) tetap kokoh dan militan, maka diperlukan
propaganda secara terus menerus (Abraham, F.M. 1982; Surbakti, R. 1997a)
Jadi, pandangan Karl Marx, tentang perkembangan kehidupan masyarakat
dari konsep ‘hak milik’ sampai tebentuknya ‘masyarakat komunis’ (tanpa kelas),
dapat diilustrasikan sebagai berikut:
a. Pentingnya hak milik (kelas sosial ditentukan oleh hak milik alat-alat produksi,
dan hak milik ini dikuasai kaum borjuis atau kaum kapitalis).
b. Determinisme ekonomi (kepentingan materi/ ekonomi sebagai dasar dari segala
aspek hidup: politik, ideologi, sosial, budaya). Politik, ideologi, sistem sosial
ditentukan oleh kelas borjuis, karena menguasai ekomoni atau alat produksi.
c. Polarisasi kelas (terjadi kelas radikal yang terpecah dalam masyarakat antara
kelas borjuis dan proletar secara terus menerus), hal ini sebagai reaksi dari
determinisme ekonomi.
d. Teori nilai surplus (para kapitalis terus mengeksploitasi kaum buruh, sehingga
keuntungan (profit) menumpuk pada kaum borjuis), akibat berikutnya adalah

59
terjadi kesenjangan sosial-ekonomi antara kelas kaya dan kelas miskin semakin
besar.
e. Alienasi (keterangingan, yaitu kaum buruh terasing terhadap kerja, terasing
terhadap modal, terasing dari jiwa aman dalam bekerja, karena kaum buruh terus
dieksploitasi oleh majikan/kaum borjuis).
f. Solidaritas dan antagonisme kelas (dengan tumbuhnya kesadaran kelas, maka
terjadi kristalisasi hubungan internal masing-masing kelas (terutama dalam kelas
buruh) dan cenderung homogen secara internal, sehingga perjuangan kelas
semakin hebat).
g. Revolusi (gerakan perubahan yang mendasar, yaitu gerakan kaum proletar
meruntuhkan peran dan dominasi kaum borjuis (kapitalis), yang terus
mengeksploitasinya), sehingga kaum proletariat mampu menguasai negara,
yang akhirnya muncul diktator proletariat.
h. Terciptanya masyarakat tanpa kelas (komunis). Setelah revolusi berhasil, maka
hak milik pribadi lenyap, timbul masyarakat tanpa kelas. Sosialisme komunis
inilah oleh Marx dinilai sebagai masyarakat ideal (Rossides, D. W. 1978; Jones,
PIP.2003).
Uraian singkat tentang pokok-pokok pikiran Karl Marx tentang fenomena
sosial tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) keberadaan materi
(ekonomi) menentukan kesadaran seseorang (kesadaran sosiologi seseorang); (2)
perubahan pada aspek materi akan menentukan perubahan sosial, budaya atau
politik atau ideologi; (3) masyarakat tergantung pada kondisi-kondisi materi, dan
kesadaran sosialnya ditentukan oleh model-model produksi atau Mode of
Production/ MoP; the force of production; dan Relation of production; dan (4) tipologi
evolusi masyarakat menurut Marx adalah dari: Kesukuan → Komunalisme →
Feodalisme → Kapitalisme → Pemberontakan → Sosialisme (masyarakat komunis).
2. Teori konflik versi Dahrendorf dalam memahami fenomena sosial
Dahrendorf dianggap tokoh teori konflik yang lebih baik analisisnya apabila
dibandingkan dengan Marx. Berikut ini beberapa pokok pikiran atau teori konflik
Dahrendorf, dalam memahami fenomena sosial budaya, antara lain:
a. Setiap masyarakat, setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen
kemasyarakatan menyumbang terhadap perubahan sosial, baik dalam bentuk
integrasi sosial maupun disintegrasi sosial.
b. Apapun keteraturan hidup yang terdapat dalam masyarakat, adalah berasal dari
pemaksaan kelompok elit (lapisan atas) kepada para anggotanya (lapisan

60
bawah). Jadi, teori konflik Dahrendorf lebih menekankan peran kekuasaan dalam
mempertahankan ketertiban (keteraturan) sosial di masyarakat.
c. Setiap masyarakat dimanapun mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan
konsensus, oleh karena itu menurut Dahrendorf, teori sosiologi harus dibagi
menjadi dua bagian, yaitu: teori konflik dan teori konsensus.
d. Bahwa tidak ada masyarakat tanpa konsensus dan konflik. Konsensus dan
konflik merupakan dua sisi dalam satu keping mata uang, keduanya menjadi
persyaratan satu sama lain dalam mewarnai proses-proses sosial di masyarakat.
Dalam kehidupan sosial di masyrakat tidak akan terjadi konflik kecuali ada
konsensus sebelumnya, demikian juga sebaliknya, konflik yang terjadi antar
kelompok dapat menimbulkan konsensus internal (terjadinya solidaritas ingroup)
dan integrasi sosial dalam kelompok.
e. Meski ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak
optimis untuk mengembangkan satu teori tunggal untuk dua persoalan tersebut.
Oleh karena itu, untuk menghindari teori tunggal Dahrendorf membangun teori
‘konflik masyarakat’.
f. Tesis sentral Dahrendorf adalah ‘bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu
menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis’. Dahrendorf sedikit
banyak masih dipengaruhi oleh teori fungsionalisme struktural (Abraham, 1982;
Craib, 1984). Asumsi atau tesis Dahrendorf tentang otoritas adalah, ‘bahwa
berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang beragam, dan
otoritas tidak hanya melekat pada individu, tetapi juga di dalam posisi-posisi
sosial di masyarakat’.
g. Tugas pertama dalam melakukan analisis konflik di masyarakat adalah
mengidentifikasi berbagai peran otoritas sosial yang ada di dalam masyarakat,
yaitu otoritas yang ada pada struktur sosial berskala luas (makro), seperti peran-
peran otoritas. Jadi, yang dianalisis bukan mengkaji peran individu yang bersifat
mikro. Menurut Dahrendorf, otoritas yang melekat pada posisi pada struktur
sosial adalah unsur kunci dalam analisis teori konflik versi Dahrendorf. Otoritas
secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Individu yang punya
posisi otoritas makro diharapkan mengendalikan bawahan. Otoritas individu
(mikro) ini tunduk pada kontrol yang ditentukan oleh masyarakat, atau tunduk
pada otoritas makro. Karena otoritas makro adalah absah, sehingga sanksi dapat
dijatuhkan pada pihak yang menentang pada otoritas makro.
h. Bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut ‘asosiasi yang
dikoordinasikan secara imperatif’. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu

61
yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas. Masyarakat terdiri dari beragam posisi
(Individu dapat menempati posisi otoritas (superordinasi) disatu unit, dan
menempati posisi yang subordinasi di unit lain). Konsep kunci lain teori konflik
Dahrendorf adalah ‘kepentingan’. Otoritas disetiap asosiasi bersifat dikotomi,
yaitu ada dua kelompok kepentingan, yaitu pemegang posisi otoritas/
superordinat (kelompok elit) dan kelompok subordinat (kelompok bawah) yang
saling berbeda kepentingan. Ada dua kepentingan yaitu kepentingan
tersembunyi (tidak disadari) dan kepentingan nyata (sudah disadari).
i. Individu pada posisi dominan (superordinat/ kelompok penguasa/ berpengaruh)
berupaya mempertahankan ‘status quo’, sedangkan posisi subornidat terus
mendesak untuk terjadi perubahan sosial dalam hidupnya. Individu
‘menyesuaikan diri’ dengan perannya bila mereka menyumbang bagi konflik
antara superordinat dan subordinat. Harapan peran yang tak disadari ini disebut
‘kepentingan tersembunyi’. Menurut Dahrendorf melihat analisis hubungan
antara kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata itu merupakan salah
satu tugas utama teori konflik.
j. Kelompok, konflik dan perubahan. Dahrendorf membedakan tiga tipe kelompok,
yaitu: (1) kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan
kepentingan yang sama, kelompok semu ini adalah calon anggota kelompok
kedua, (2) kelompok kepentingan (interst group), kelompok ini adalah agen riil
dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi,
tujuan, program dan anggota yang jelas), (3) kelompok konflik (conflict group),
yaitu berbagai jenis kelompok yang secara riil (aktual) terlibat konflik kepentingan
dalam proses-proses sosial dalam kelompok. Jadi, menurut Dahrendorf, bahwa,
‘konsep kepentingan tersembunyi; kepentingan nyata; kelompok semu;
kelompok kepentingan; dan kelompok konflik adalah konsep dasar untuk
menerangkan konflik sosial yang terjadi di masyarakat’. Di bawah kondisi yang
ideal tidak ada lagi variabel lain yang diperlukan, tetapi karena kondisi tak pernah
ideal, maka banyak faktor lain ikut berpengaruh dalam proses konflik sosial
(inilah yang membedakan dengan teori konfliknya Marx). Jadi, penyebab
terjadinya konflik menurut Dahrendorf adalah multiaspek, bukan hanya faktor
ekonomi atau kepentingan materiil seperti pandangan Marx.
k. Kondisi teknis seperti kualitas personil dalam kelompok; situasi politik; dan
kondisi sosial (hubungan komunikasi) ikut mewarnai kuat atau tidaknya terjadi
konflik sosial di masyarakat. Oleh karena itu cara merekrut anggota dalam
kelompok semu secara acak (kebetulan) dapat meredam konflik. Jadi, berbeda
dengan pandangan Marx, Dahrendorf yakin bahwa ‘lumpen proletariat’ tidak

62
akan membentuk konflik bila proses rekrutmennya acak, tetapi apabila rekrutmen
anggota kelompok dilakukan secara struktural (kaku dan ditetapkan/ tidak acak)
maka akan memudahkan terjadinya konflik sosial.
l. Aspek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah, ‘hubungan konflik dengan
perubahan’. Disini Dahrendorf mengakui pikiran Coser, tentang ‘fungsi konflik
dalam mempertahankan status quo’. Tetapi Dahrendorf mengakui bahwa konflik
merupakan realitas sosial, dan berfungsi menyebabkan perubahan sosial dan
perkembangan kehidupan kelompok (konflik yang hebat akan membawa
perubahan dalam struktur sosial) (Rossides, D. W. 1978; Johnson, 1981; Craib,
1984; Jones, PIP.2003).
Menurut Turner (1982), teori konflik yang dikembangkan oleh para teoritikus
konflik setelah Marx, pada dasarnya berakar dari pemikiran Karl Marx dan pemikiran
Max Weber, hanya kedua tokoh ini mempunyai perbedaan sudut pandang, yaitu
Marx dari aspek materi (ekonomi), sedangkan Weber dari sudut kekuasaan
birokrasi. Ada enam proposisi yang dikemukakan Marx, dan tiga proposisi yang
dikemukakan Weber, berkaitan dengan konflik. Proposisi Karl Marx tentang konflik
antara lain:
a. Semakin distribusi pendapatan tidak merata, semakin besar konflik kepentingan
antara kelompok atas dan kelompok bawah.
b. Semakin kuat kesadaran kelompok bawah (proletar) akan kepentingan mereka
bersama, maka akan semakin keras kaum proletar mempertanyakan keabsahan
sistem pembagian pendapatan yang ada.
c. Semakin besar kesadaran akan interest (kepentingan) kelompok mereka
(proletar) dan semakin keras pertanyaan mereka terhadap keabsahan sistem
pembagian pendapatan, semakin besar kecenderungan mereka untuk kerjasama
memunculkan konflik menghadapi kelompok yang menguasai sistem yang ada
(kelompok kapitalis).
d. Semakin kuat kesatuan ideologi anggota kelompok bawah (proletar) dan
semakin kuat struktur kepemimpinan politik mereka, semakin besar
kecenderungan terjadinya polarisasi sistem yang ada.
e. Semakin meluas polarisasi, semakin keras konflik yang terjadi.
f. Semakin keras konflik yang ada, semakin besar perubahan struktural yang terjadi
pada sistem (perubahan revolusi), dan perubahan secara revolusi akan semakin
member peluang terwujudnya proses pemerataan sumber-sumber ekonomis.
Sedangkan proposisi yang diajukan Weber berkaitan dengan konflik sosial, di
masyarakat antara lain:

63
a. Semakin besar derajat merosotnya legitimasi politik penguasa dalam birokrasi
pemerintahan, semakin besar kecenderungan timbulnya konflik social antara
kelas atas dan bawah
b. Semakin karismatik pimpinan kelompok bawah, semakin besar kemampuan
kelompok ini memobilisasi kekuatan dalam suatu sistem, semakin besar tekanan
kepada penguasa (lapisan atas) melalui penciptaan suatu sistem undang-undang
dan sistem administrasi pemerintahan.
c. Semakin besar atau kuat sistem perundang-undangan dan administrasi
pemerintahan dalam kehidupan kelompok, akan mendorong dan menciptakan
kondisi terjadinya hubungan antar anggota kelompok sosial.
d. Kesenjangan hirarki sosial, rendahnya mobilisasi vertikal akan semakin
mempercepat terjadinya proses kemerosotan legitimasi politik penguasa dan
semakin besar kecenderungan terjadinya konflik antara kelas atas dan kelas
bawah di masyarakat (Wrong, D. (ed), 1970).
3. Kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf
Menurut para ahli, ada beberapa titik kelemahan pandangan Karl Marx dalam
memahami fenomena sosial, antara lain:
a. Marx terlalu menekankan ‘determinisme ekonomi’ (material) dalam teorinya,
padahal faktor ekonomi tidak selalu menjadi ‘kunci utama’ memahami fenomena
sosial-budaya dan politik di masyarakat yang sangat dinamik dan kompleks.
b. Marx terlalu menekankan bahwa perubahan sosial itu muncul sebagai ‘akibat
perjuangan kelas’, padahal banyak faktor penyebab terjadinya perubahan sosial-
budaya, tidak hanya karena perjuangan kelas saja, masih ada kepentingan atau
aspek-aspek lain, misalnya faktor: keyakinan, ideologi, budaya, psikhologis, dan
sebagainya.
c. Marx tidak memperhitungkan terjadinya ‘kelas baru’ dalam proses modernisasi
(kapitalis modern), yaitu kelas menengah (para profesional, teknisi, dan
sebagainya) yang mampu menjembatani dua kepentingan yang berbeda yaitu,
antara kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas baru ini muncul bukan semata-
mata faktor material, tetapi karena ‘keahlian, kemampuan, ketrampilan atau
profesionalnya’.
d. Kesadaran kelas (class conciousness) yang oleh Marx dianggap dapat muncul
diantara kaum proletar karena tertindas, dalam realitasnya banyak ‘kesadaran
kelas’ tidak muncul secara murni hanya dari kaum proletar yang tertindas, yaitu
kaum ‘cerdik cendekia’, bahkan ada juga kesadaran dari kaum proletar yang
tertindas tersebut sifatnya adalah kesadaran palsu (false consicousness), karena

64
ketika sebagian kaum proletar yang berhasil naik kelas elit justru dia berjuang
untuk dirinya sendiri, bukan untuk kelasnya (palsu).
e. Marx kurang memperhatikan ‘peranan agama’ atau tokoh agama sebagai
penggerak atau motivator dalam proses perubahan dalam masyarakat. Dalam
realitasnya sangat banyak bukti yang menunjukkan bahwa peran tokoh agama
adalah sangat sentral untuk menjadi aktor penggerak terjadinya perubahan
sosial budaya di masyarakat
f. Perubahan sosial dan pergolakan sosial, dalam realitas yang terjadi di
masyarakat, tidak hanya disebabkan oleh konflik antar kelas yang berbasis
kepentingan ekonomi (materi). Disamping itu apa yang diramalkan Marx, bahwa
‘kapitalisme dunia akan runtuh dan digantikan sosialisme komunis’ (masyarakat
tanpa kelas) sampai sekarang belum terbukti. Hal ini membuktikan bahwa
pandangan Marx bersifat ‘ahistoris’ atau mengingkari realitas sejarah..
g. Hampir tidak mungkin dalam suatu masyarakat, hanya ada konflik, dan konflik
sebagai sumber perubahan, tanpa ada struktur wewenang atau mekanisme
pengatur (penguasa), yang mengatur kehidupan masyarakat yang ‘cenderung
integratif dan konflik’, karena sifat dasar masyarakat adalah, ‘adanya integrasi
dan konflik’. Jadi, pandangan Marx bertentangan dengan realitas karakter dasar
sosial budaya di masyarakat yang selalu ada integrasi dan konflik.
h. Marx mencampuradukkan konsep sosiologis yang bersifat empiris (dapat diuji
kebenarannya) dengan konsep yang bersifat filosofis. Konsep hak milik yang
dikemukakan Marx terlalu menekankan pada ‘hak milik dalam arti sempit’ (hak
milik secara hukum atau pemodal pribadi), padahal dalam masyarakat modern
konsep ‘hak milik suatu industri bisa luas atau kompleks’, yaitu manajer,
masyarakat, buruh (saham masyarakat).
i. Marx tidak melihat bahwa dalam kelas juga terjadi perkembangan adanya
‘spesialisasi kelas’ (dekomposisi kelas), yaitu dalam kelas proletar ada dua kelas:
kelas proletar murni (kelas buruh) dan kelas lumpen proletar (kelas buruh tapi
ahli/ profesional dengan gaji tinggi). Marx sangat keliru dalam memandang
bahwa perkembangan kekuatan produksi akan mengarah pada homogenitas
internal kaum proletariat, dalam kenyataannya tidak pernah ada homogentitas
internal proletariat, yang terjadi adalah heterogenitas internal proletariat, karena
adanya un-skill labour, semi skill labour dan skill labour atau profesional
(Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).
Sedangkan beberapa teoritikus ilmu sosial yang mengemukakan kritik
terhadap teori konflik versi Dahrendort, antara lain: Weingart (1969), Hazelring

65
( 1972), dan Turner (1973). Dari beberapa kritik para ilmuwan tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Model Dahrendorf tak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian seperti
yang ia nyatakan. Jadi, teori konfliknya merupakan terjemahan yang tidak
memadai dari teori Marxian.
b. Teori konflik Dahrendorf lebih menyerupai dengan fungsionalisme struktural
daripada dengan teori Marxian. Dahrendorf dalam teorinya menekankan:
‘Asosiasi yang dikoordinir secara paksa; Posisi dan peran secara langsung
mengkaitkan dengan fungsionalisme struktural’.
c. Teori konflik hampir seluruhnya bersifat ‘makroskopik’ (sama dengan
fungsionalisme struktural) dan akibatnya sedikit sekali yang ditawarkan kepada
kita untuk memahami pikiran, motivasi, keyakinan, pandangan dan tindakan
individu (mikroskopik).
d. Teori konflik Dahrendorf tidak memadai karena masing-masing hanya berguna
untuk menerangkan sebagian saja (sisi fenomena konflik) dari kehidupan sosial
(Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).
Menurut para ahli, ada ada beberapa sisi perbedaan antara teori konflik Marx
dengan teori konflik Dahredorf, sebagaimana dalam bagan berikut.
Bagan 2.1. Tentang Perbedaan teori konflik Marxis dan Dahrendorf:

No Teori Konflik Marx Teori Konflik Dahrendorf

01 Perubahan terjadi secara Perubahan belum tentu terjadi karena


revolusi. Dan masyarakat terus revolusi, tetapi secara gradual, karena
dalam situasi konflik ada beberapa hal yang mengalami
disfungsi
02 Sumber konflik adalah Sumber konflik adalah kepemilikan
kepemilikan sarana produksi. wewenang (otoritas) dalam kelompok
Atau faktor ekonomi (materi) yang beragam. Jadi bukan hanya materi
sebagai infra strukturnya (ekonomi)
03. Kelompok Lumpen Proletariat Kelompok Lumpen Proletariat tidak akan
akan menjadi penggerak menjadi penggerak konflik bila proses
terjadinya konflik dalam rekrutmennya acak.
kelompok,

04. Konflik akan berakhir kalau Konflik berjalan terus menerus


terjadi masyarakat tanpa kelas sepanjang ada masyarakat.
(sosialis komunis)

Para Sosiolog membedakan dua kategori besar dalam teori konflik, yaitu:
a. Konflik endogenous (konflik dari dalam) masyarakat, yang sebab terjadinya
secara analitis dibedakan menjadi: (1) keinginan berubah secara inheren dari
warga masyarakat; (2) distribusi kebutuhan atau kepentingan yang beragam

66
terhadap sesuatu yang dihargai dalam masyarakat; (3) konflik nilai didalam
masyarakat yang merupakan akumulasi dari inovasi, revolusi teknologi, krisis
lingkungan dan orientasi nilai baru; (4) konflik kewenangan (otoritas) didalam
kelompok; (5) konflik individual dan konflik didalam masyarakat.
b. Konflik eksogenous (konflik dari luar) masyarakat, yang sebab terjadinya secara
analitis adalah: (1) adanya peperangan antar masyarakat; (2) terjadinya invasi
kultural, atau penjajahan politik dari luar; dan (3) konflik ideologi, seperti
kapitalisme, komunisme, demokrasi, fundamentalisme antar masyarakat atau
banga.
c. Uraian tentang teori konflik Marx dan Dahrendorf tersebut di atas dapat
disimpulkan dengan beberapa asumsi dasar perspektif konflik tentang
‘perubahan sosial-budaya’ sebagai berikut: (a) setiap masyarakat senantiasa
dalam proses perubahan, perubahan dianggap inheren dalam masyarakat
(Spencer, M. 1982; Horton and Hunt, 1984); (b) setiap elemen masyarakat
memberikan andil untuk terjadinya konflik dan perubahan sosial-budaya.
Masyarakat bukanlah sebuah sistem yang berada dalam situasi equilibrium,
melainkan terbentuk karena adanya paksaan dan tujuan tertentu (Zeitling, 1973;
Surbakti, R., 1997; Turner, B., 2000); (c) konflik endogenous berasal dari
kegagalan integrasi dan struktural yang sama. Konflik terjadi karena distribusi
penghargaan tidak sama dan paksaan dari pihak superordinat dan kurangnya
nilai konsensus dalam kelompok; (d) sumber konflik adalah karena adanya
‘kepentingan ekonomi’ (menurut Marx) dan ‘beragam kepentingan’, misalnya:
kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan aspek sosial (menurut Dahrendorf); (e)
masyarakat selalu berubah setiap saat dan perubahan sosial itu terjadi di mana-
mana; (f) konflik meskipun inheren dalam struktur sosial, tidak selamanya
merusak dan bersifat nyata (manifest), namun juga bersifat tersembunyi (latent).
Konflik bisa ditekan dan dikontrol, tetapi tidak bisa dihilangkan oleh siapapun
dalam proses kehidupan masyarakat (Blowers, 1976; Rossides, D. W. 1978;
Turner, J., 1982).
4. Pandangan teori neo Marxian atau neo konflik
Sebelum menjelaskan tentang beberapa konsep tentang teori neo-Marxian
atau neokonflik, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan teori
neo Marxian adalah: (a) teori-teori konflik yang dikemukakan para ilmuwan sosial
setelah munculnya teori konflik Marx, dan teori tersebut masih berorientasi pada
teori konflik Marx serta sifatnya lebih menyempurnakan asumsi-asumsi Marx
tentang konflik sosial dalam hubungannya dengan perubahan sosial di masyarakat;
(b) apabila perspektif konflik Marx lebih mendasarkan pada aspek ekonomi sebagai

67
‘pen-determinasi’ (infra-struktur) semua aspek kehidupan sosial (Bottomre and
Rubel, 1956; Mutahhari, 1986), maka teori neo Marxis beranggapan bahwa faktor
kunci konflik bukan semata-mata karena kepentingan ekonomi, tetapi ‘multi-faktor’
(Ritzer, 2001; Kinloch, 2005). Variasi teori Neo Marxian atau neo-konflik ini sangat
beragam, antara lain: (a) Determinisme Ekonomi; (b) Marxisme Hegelian; (c) Teori
Kritis; (d) Sosiologi Ekonomi Neo-Marxian; (e) Marxisme Berorientasi Historis; (f)
Analisis Sosial Neo-Marxian; dan (g) Teori Post-Marxis (Johnson, D.P., 1981;
Sztompka, P. 1993).
Pengaruh teori konflik dalam studi sosiologi berada dalam rentang waktu
yang sangat panjang (sejak tahun 1818 sampai awal tahun 1960-an). Para tokoh
teori konflik antara lain: (a) Karl Marx dan Robert Park, yang dikenal dengan
pendekatan ‘Sistemik konvensional’ (revolusionis); (b) Vilfredo Pareto dan Torstein
Veblen, yang dikenal dengan ‘Tipe naturalistik konvensional teori konflik’
(revolusionis); (c) Ralf Dahrendorf dan Wright Mills, yang dikenal penganut
pendekatan atau aliran ‘Sistemik modern’ (revolusionis); dan (d) Lewis Coser dan
David Reisman, yang dikenal penganut model ‘Naturalistik modern’ (fungsionalis-
evolusionis) (Kinloch, 2005).
Banyak teoritisi konflik yang masuk dalam kelompok Neo-Marxian atau
neokonflik, antara lain: (a) George Lukacs, sumbangan besar Lukacs terhadap teori
neo Marxian adalah berupa gagasan tentang ‘reifikasi dan kesadaran kelas’; (b)
Antonio Gramsci, dia tetap mengakui faktor ekonomi sebagai penyebab konflik dan
revolusi, tetapi ada juga faktor lain yaitu massa perlu mengembangkan ‘ideologi
revolusioner’, dan dalam membangkitkan ideologi revolusioner, massa harus ada
‘tokoh intelektual’. Baik Lukacs maupun Gramsci sama-sama memusatkan
perhatian pada aspek ‘Gagasan kolektif’ daripada aspek ‘Struktur ekonomi’ sebagai
penyebab konflik, sebagaimana pandangan oleh Karl Marx; (c) Henri Lefebvre, dia
mengatakan bahwa teori Marxian (neokonflik) perlu menggeser fokusnya dari ‘cara-
cara produksi ke produksi ruang’ (dari produksi ke reproduksi). Ruang berfungsi
dengan berbagai macam cara untuk mereproduksi sistem kapitalis, struktur kelas di
dalam sistem ekonomi. Menurut H. Lefebvre, setiap aksi revolusioner harus
berhubungan dengan ‘restrukturisasi ruang’ (Ritzer dan Goodman, 2004); (d) Lewis
Coser, menurut Coser bahwa: Konflik meningkatkan penyesuaian sosial; Konflik
bermula dari tuntutan rasio penghargaan; Struktur sosial bisa berbentuk tertutup
dan terbuka; Tipe-tipe masalah menyangkut pengaruh konflik dan konflik akan
menjadi fungsional bagi sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969); dan (e) David
Reisman, dia menjelaskan relevansi ‘perubahan demografi’ sebagai fundasi konflik
sosial. Baik L. Coser maupun D. Reisman adalah termasuk tokoh teori Neo-Marxis

68
atau neo konflik (teori konflik modern) yang bersifat naturalistik, makroskopik,
organik, evolusioner dan struktural (Kinloch, 2005)
Dalam posisi kajian ini, teori Neo Marxian atau neokonflik yang diuraikan
secara singkat adalah teori neokonflik Lewis Coser, yang oleh sebagian ahli
dianggap sebagai ‘teori konflik modern yang bersifat ‘Naturalistik dan evolusioner’.
Hal ini bukan berarti hanya teori Neo Marxian L. Coser saja yang cocok untuk
dijadikan orientasi teori dalam suatu kajian fenomena sosial-budaya di masyarakat.
Berikut beberapa substansi pokok pikiran atau asumsi teori konflik L. Coser, dalam
memahami fenomena sosial-budaya antara lain:
a. Konflik akan cenderung meningkatkan daripada menurunkan penyesuaian sosial
adaptasi dan memelihara batas kelompok. Konflik bisa bersifat fungsional dan
bisa tidak fungsional. Konflik muncul ketika ada akses dari penuntut untuk
memperoleh imbalan sesuai dengan kerjanya dalam kehidupan sosial di
masyarakat.
b. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (Teori fungsional
struktural), tetapi untuk melakukan proses perubahan dan dinamika hidup, maka
kehidupan kelompok memerlukan adanya konflik antar unsur (sub sistem) (teori
konflik). Jadi, konflik dan konsensus (fungsional struktural), perpecahan dan
integrasi adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam
masyarakat, meski porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi
merupakan bagian integral dalam sistem sosial (Poloma, M. M. 1979; Cambell,
1994).
c. Struktur sosial berbeda-beda bentuknya. Ada yang berbentuk mobilitas sosial,
eksistensi institusi katup keselamatan (savety-valve institutions), konflik
institusional, dan toleransi, yang pada tingkatan tertentu memiliki hubungan erat,
tingkat berpartisipasi kelompok, dan panjangnya konflik. Jadi, semakin erat
sistem stratifikasi, semakin sedikit pulalah institusi katup keselamatan; Semakin
rendah institusionalisasi toleran konflik institusional, semakin lebih dekat merajut
kelompok, partisipasi kelompok dan apabila perjuangan dalam kelompok lebih
lama, lebih intens akan berpotensi menjadi konflik sosial di masyarakat.
d. Konflik yang realistis dalam sebuah struktur sosial yang terbuka memberikan
kontribusi penyesuaian struktur yang lebih hebat, fleksibelitas dan integritas
sosial. Sebaliknya konflik yang tidak realistis dalam lingkungan yang fleksibel dan
tertutup akan menimbulkan kekerasan dan disintegrasi.
e. Pada dasarnya perspektif fungsional struktural dan perspektif konflik adalah
‘saling kait mengkait’ dalam memahami masyarakat secara holistik tentang
proses-proses sosial. Menurut teoritikus neokonflik, baik teori fungsional maupun

69
teori konflik, adalah sama-sama teori parsial (hanya menyinggung satu sisi/
aspek kehidupan) dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya di
masyarakat.
f. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (teori fungsional),
tetapi untuk melakukan proses perubahan dan mendorong terjadinya dinamika
hidup, maka kehidupan sosial memerlukan adanya konflik antar unsur sosial atau
sub sistem (teori konflik). Jadi, konflik dan konsensus (fungsional), perpecahan
dan integrasi adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam
masyarakat, meski porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi
merupakan bagian integral dalam sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969;
Cambell, 1981).
g. Fungsi konflik adalah: (a) konflik antar kelompok dalam memperkokoh solidaritas
ingroup, atau bisa juga menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok
lain; (b) konflik dapat mengaktifkan peran individu, yang semula terisolasi
menjadi tidak terisolasi, semula pasif menjadi aktif, semula statis menjadi
dinamik; (c) konflik juga membantu fungsi komunikasi (artinya fungsi, peran dan
batas-batas musuh dengan konflik semakin jelas) antar anggota dalam kelompok
atau antar kelompok. Di atas merupakan fungsi konflik yang lebih positif, tetapi
konflik juga mempunyai ‘disfungsi’ atau fungsi negatif (Poloma, M. M. 1979;
Ritzer dan Goodman, 2004).
h. Ada beberapa konsep penting dari pandangan L. Coser dalam menganalisis
tentang konflik dan perubahan sosial-budaya di masyarakat, antara lain: (a)
terdapat hubungan yang erat antara struktur sosial masyarakat dengan konflik
dan kekuasaan; (b) bahwa bentuk perubahan sosial lebih bersifat evolusi
daripada revolusi; (c) bahwa konflik yang mempunyai suatu fungsi tentang
kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan lingkungan hidupnya (makna
fungsional konflik); dan (d) kerangka konflik yang terjadi di masyarakat tidak
semata-mata berbasis ekonomi (seperti pandangan Karl Marx), tetapi juga
berbasis non ekonomi (Turner, J.H. 1982; Kinloch, 2005).
5. Pandangan teori konflik integratif Collins
Tokoh utama dalam upaya membangun ‘teori konflik yang lebih sintesis dan
integratif’, adalah Randall Collins (karyanya Conflict Sociology, 1975). Sedangkan
beberapa pokok pikiran Randall Collins tentang teori ‘konflik integratif’ antara lain:
a. Teori konflik integratif Collins lebih condong berorientasi ‘mikro’, sedangkan
konflik Marx dan Dahrendorf lebih bersifat ‘makro’. Jadi, Collins telah memberi
‘kontribusi penting bagi teori konflik versi Marx, khususnya dalam menambah
analisis fenomena sosial-budaya pada tingkat mikro, dan dia mengatakan,

70
bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari’
di masyarakat.
b. Perhatian terhadap konflik tidak akan bersifat ideologis (politis). Bahwa konflik
adalah proses sentral dalam kehidupan sosial. Konflik Marx dan Dahrendorf
memulai dan tetap menganalisis level kemasyarakatan (makro), sedangkan
Collins lebih mendekati konflik dari sidut pandang individu (mikro), karena akar
atau orientasi teori Collins adalah ‘fenomenologi dan etnometodologi’.
c. Marx dan Dahrendorf memandang, bahwa struktur sosial berada di luar
(eksternal), dan memaksa atau menentukan pihak aktor (individu) dalam proses-
proses sosial-budayanya, sedangkan Collins cenderung melihat struktur sosial
tidak dapat dipisahkan dari aktor (individu) yang berbuat atau membangunnya
(internal). Struktur sosial oleh Collins lebih sebagai ‘pola interaksi’, ketimbang
sebagai ‘kesatuan eksternal dan imperatif’ (seperti pandangan Marx dan
Dahrendorf).
d. Menurut Collins, teori konfliknya sedikit sekali dipengaruhi oleh Marxian, dan
justru lebih banyak dipengaruhi pandangan Weber, Durkheim dan terutama teori
fenomenologi dan teori etnometodologi.
e. Tentang stratifikasi sosial. Collins lebih memusatkan pada stratifikasi sosial,
karena stratifikasi sosial adalah institusi yang menyentuh banyak ciri kehidupan,
bidang: ekonomi, politik, keluarga, gaya hidup, sosial dan sebagainya. Jadi,
proses analisis Collins terhadap fenomena sosial adalah lebih tertuju pada
fenomena ‘mikrososiologi stratifikasi’.
f. Collins mengkritik teori fungsionalisme dan Marxian, antara lain: (1) teori
fungsional struktural dan teori konflik Marx dianggap sebagai teori yang gagal
menjelaskan stratifikasi sosial; (2) teori fungsional struktural dan teori konflik
Marx, dalam penjelaskan fenomena sosial bersifat monokasual untuk kehidupan
yang multikasual (kompleks). Meskipun demikian pandangan R. Collins tetap ada
sebagian yang dipengaruhi oleh pandangan Marx.
g. Teori stratifikasi konflik Collins. Meski Collins pola pikirnya dilatarbelakangi oleh
pandangan Marxian dan Weber, tetapi teorinya tentang stratifikasi konflik lebih
menyerupai teori fenomenologi dan etometodologi. Asumsi Collins adalah (1)
setiap orang mempunyai sifat sosial (sociable), tetapi juga mudah berkonflik
dalam prose-proses sosial di masyarakat; (2) setiap orang dalam hidup
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, sehingga dalam kehidupan kelompok
atau masyarakat sering terjadi beragam benturan kepentingan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup.

71
h. Pendekatan konflik Collins terhadap stratifikasi dapat dikelompokkan menjadi
tiga prinsip, yaitu: (1) bahwa manusia hidup dalam dunia subyektif yang
dibangun sendiri (faktor internal); (2) orang lain mempunyai kekuasaan atau
pengaruh untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subyektif sesorang
individu (faktor eksternal); dan (3) orang lain sering mencoba mengontrol orang
yang menentang mereka. Ketiga sebab inilah yang memunculkan konflik antar
individu, dan konflik bersifat integratif.
i. Berdasarkan tiga pendekatan tersebut Collins mengembangkan lima prinsip
analisis konflik yang diterapkan pada stratifikasi sosial (Collins, yakin lima prinsip
itu bisa juga diterapkan disetiap bidang kehidupan sosial budaya), yaitu: (1)
bahwa teori konflik harus memusatkan perhatian pada kehidupan nyata
ketimbang pada formulasi abstrak (hal ini menunjukkan Collins lebih menyukai
gaya analisis material Marxian daripada gaya abstraksi fungsionalisme); (2)
bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material
yang mempengaruhi interaksi (misalnya, lingkungan fisik, mode komunikasi,
senjata, peralatan), namun Collins tetap memandang sumber daya masing-
masing aktor beragam; (3) bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang
mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mengeksploitasi kelompok
sumber daya yang terbatas; (4) teoritisi konflik harus melihat fenomena kultural
seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya
dan kekuasaan; (5) sosiolog tidak boleh berteori saja tentang stratifikasi, tetapi
juga harus menelitinya secara empiris, dan bila memungkinkan secara
komparatif. Hipotesis harus dirumuskan dan diuji secara empiris.
j. Dari kelima prinsip analisis konflik tersebut, Collins mengemukakan tiga proposisi
tentang hubungan antara konflik dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial
(konflik integratif), antara lain: (1) pengalaman memberikan dan menerima
perintah, adalah faktor yang menentukan pandangan dan tindakan individu
sehari-hari; (2) makin sering orang memberikan perintah, dia akan makin
bangga, makin percaya diri, makin formal dan makin mengidentifikasikan diri
dengan tujuan oragnisasi serta dengan mengatasnamakan organisasi dia
menjustifikasi perintahnya; dan (3) makin sering orang menerima perintah, makin
ia patuh , makin fatalistis, makin terasing dari tujuan organisasi, makin
menyesuaikan diri secara eksternal, makin mencurigai orang lain, makin
memikirkan imbalan ekstrinsik dan amoral (Ritzer dan Goodman, 2004).
k. Collins juga memandang: (1) organisasi adalah arena untuk bersaing; (2)
penggunaan paksaan menimbulkan upaya yang kuat untuk menghindari menjadi

72
pihak yang yang dipaksa; (3) Bahwa penawaran pemberian imbalan secara
material adalah strategi yang lebih baik.

6. Perbedaan teori fungsionalisme struktural dan teori konflik


Menurut para ahli ada beberapa perbedaan pandangan antara teori fungsional
struktural dan teori konflik dalam memahami fenomena sosial di masyarakat.
Perbedaan tersebut dapat dilustrasikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.2. Tentang perbedaan teori fungsionalisme struktural dan teori Konflik:

No Konsep Perspektif Perspektif


fenomena Fungsional Struktural Konflik
sosial
01 Kehidupan Masyarakat cenderung untuk Masyarakat cenderung untuk
sosial mempertahankan sistem berada dalam konflik terus
(masyarakat) kerja menuju kearah menerus antar individu/
keseimbangan (equilibrium), kelompok dan terus dalam
dan relatif terintegrasi, ketegangan.
keserasian fungsi sosial
02 Stratifikasi Lapisan sosial diperlukan Lapisan sosial tidak
sosial semua orang, untuk diperlukan oleh semua orang,
menentukan status dan karena menimbulkan
peran, hak dan kewajiban diskriminasi hidup
masing-masing individu Lapisan sosial dapat
dalam masyarakat. menghambat keahlian, bakat
Lapisan sosial dapat lapisan yang bawah
digunakan sebagai media Sekelompok orang yang
selektif atas keahlian punya kepentingan ekonomi
individu, media kompetisi dan kekuasaan akan
menuju status lebih tinggi berkembang untuk
Setiap lapisan membangun mengeksploitasi lapisan
pola gaya hidup dan bawah
perasaan yang berbeda.
03 Diferensiasi Kondisi objektif kehidupan Kondisi subjektif kehidupan,
sosial yang menampilkan serba yang menunjukkan adanya
keberagaman, untuk lapisan elite untuk
menentukan hak dan memaksakan dan
kewajibannya berdasarkan melanggengkan kekuasaan/
norma yang disepakati kepentingannya pada yang
Tidak dapat dihindarkan, lemah
terutama pada masyarakat Tidak perlu dan tidak adil.
yang kompleks, disebabkan Terutama disebabkan
beragam keahlian, profesi perbedaan dalam
individu dalam masyarakat kekuasaan. Jadi,perlu
ditempuh jalan penyusunan
masyarakat sosialistis
04 Perubahan Timbul dari perubahan Dipaksanakan oleh suatu
sosial kebutuhan fungsional kelas ke kelas lainnya untuk
masyarakat yang terus ke pentingan kelas elite. Atau
menerus. Bentuk perubahan kelas proletar melakukan

73
bersifat evolusi, dan selalu gerakan revolusi untuk
mengarah ke seimbangan merubahan dominasi kelas
sistem borjuis

05 Tertib Sosial Hasil usaha tidak sadar dari Dihasilkan dan di


(social anggota masyarakat untuk pertahankan oleh pemaksa
control) mengorganisir kegiatan yang ter organisir oleh kelas
mereka secara produktif yang dominan.
Kehidupan sosial tergantung Kehidupan sosial selalu
kepada solidaritas bersama menghasilkan suatu oposisi,
karena ke hidupan sosial
melahir kan konflik struktural
06 Nilai-nilai Konsensus atas nilai-nilai, Kepentingan yang
dalam sebagai pemersatu anggota bertentangan akan
kehidupan masyarakat (norma- nilai memecahbelah masyarakat.
sosial dasar hidup) Konsensus nilai, hanyalan &
Kehidupan sosial melibatkan alat kaum penindas (elite).
komitmen/ konsensus Kehidupan sosial penuh
bersama untuk hidup dorongan kepentingan (dasar
berkelompok hidup) untuk menguasai
07 Lembaga2 Berfungsi menanamkan Berfungsi menanamkan nilai
sosial nilai-nilai umum (disepakati dan kesetiaan yang
bersama) demi keserasian melindungi kepentingan kaum
fungsi (integrasi). elite yang punya hak
istimewa
08 Hukum dan Menjalankan peraturan yang Menjalankan peraturan yang
pemerintahan mencerminkan kesepakatan dipaksakan oleh kelas
(konsensus) nilai-nilai dominan untuk melindungi
masyarakat hak istimewanya

09 Sistem sosial Sistem-sistem sosial Sistem sosial tidak


diintegrasikan dalam terintegrasi dan ditimpa oleh
kehidupan kelompok. Dan kontradiksi-kontradiksi. Dan
sistem sosial cenderung sistem sosial cenderung
untuk bertahan lama untuk berubah

( Horton & Hunt, 1996; Craib, 1992).

7. Pandangan paradigma fungsional dan struktural radikal

Menurut para ahli, teori sistem, teori fungsional struktural termasuk neo-
fungsional, dan teori konflik termasuk neo-Marxian adalah teori-teori sosiologi yang
berparadigma fakta sosial (Ritzer, G., 1980), atau teori-teori yang berparadigma
fungsional dan berparadigma struktural radikal. Menurut Burrell dan Morgan (1994),
beberapa pandangan paradigma fungsional dan paradigma struktural radikal antara
lain:
Pertama, pandangan paradigma fungsional, antara lain: (1) paradigma ini
dalam memahami fenomena sosial menggunakan pendekatan objektiv dan
berorientasi pada paham positivisme; (2) paradigma ini bercirikan: menjelaskan

74
kehidupan sosial dari dimensi status quo, order sosial, konsensus, integrasi sosial,
solidaritas kelompok. Paradigma ini melakukan kajian sosiologi dari pendekatan
makro; dan (3) paradigma ini cenderung berorientasi pada masalah dan upaya
pencarian solusi praktikal dari permasalahan yang ada. Atau pentingnya
pemahaman realitas sosial ke arah order, equilibrium, stabilitas sosial, dan perlunya
nilai-norma sosial sebagai alat kontrol sosial individu (eksternal mempengaruhi
internal). Paradigma ini berpengaruh pada teori-teorinya: A. Comte; H. Spencer; T.
Parsons; E. Durkheim, dan V. Pareto.
Kedua, pandangan paradigma struktural radikal, antara lain: (1) paradigma ini
mengusulkan studi sosiologi perubahan radikal dari sudut pandang objektivistis
Teori-teori yang tergolong pada paradigma ini antara lain: teori konflik dan
variannya; teori radikal organism; (2) paradigma ini berkaitan dengan perubahan
radikal, analisis emansipasi dan potensi yang lebih menekankan pada konflik
struktural, model dominasi, kontradiksi dan perampasan; dan (3) paradigma ini
berawal dari pandangan yang bersifat realis positivisme dan nomotetik (manusia
ditentukan oleh struktur sosial atau faktor eksternal). Paradigma struktural radikal
memandang bahwa perubahan radikal di masyarakat diciptakan dalam struktur
masyarakat kontemporer, dan masyarakat kontemporer banyak ditandai oleh
adanya krisis politik dan krisis ekonomi. Paradigma ini mewarnai pandangan Karl
Marx (Burrell, G. and Morgan, G. 1994; Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001).
E. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Interaksionis Simbolik
Uraian tersebut di atas (teori sistem; teori fungsional struktural dan neo-
fungsional; teori konflik dan neo-Marxian) merupakan teori-teori yang tergolong pada
paradigma fakta sosial dan berorientasi pada paham positivisme, atau naturalisme,
atau saintisme (Poloma, M. M. 1979; Ritzer, G. 1980), atau teori-teori yang tergolong
pada paradigma fungsional dan paradigma struktural radikal. Sedangkan teori
interaksionis simbolik dan teori fenomenologi termasuk teori yang berparadigma
definisi sosial dan berorientasi pada paham idealisme, atau konstruktivisme. Atau teori
yang berparadigma humanis radikal dan paradigma interpretif (Burrell, G. and Morgan,
G. 1994). Ditinjau dari segi orientasi filosofis, maka teori interaksionis simbolik adalah
berlandaskan pada aliran filsafat pragmatisme. Sedangkan pokok-pokok pandangan
aliran filsafat pragmatisme antara lain: (1) realitas yang sejati itu tidak pernah ada di
dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan (individu) ketika individu itu berpikir dan
bertindak di dan terhadap dunia; (2) bahwa manusia mengingat dan mendasarkan
pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti bermanfaat bagi mereka;
(3) manusia mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui
berdasarkan manfaatnya bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari; dan (4) apabila

75
individu ingin memahami orang lain yang melakukan tindakan (aktor), maka individu
yang memahami tersebut harus mendasarkan pemahamana itu pada apa yang
sebenarnya dilakukan / dipikirkan oleh orang lain (Kattsoff, L.O., 1996; Mulyana, D.,
2002).
Teori interaksionis simbolik juga telah mengilhami perkembagan teori-teori lain
yang berbasis paradigma definisi sosial, antara lain: (a) teori penamaan/ label (labeling
theory) tentang terjadinya perilaku menyimpang; (2) teori dramaturgi oleh Erving
Goffman; dan (3) teori etnometodologi oleh Harold Garfinkel. Jadi, ketiga teori tersebut
dapat dianggap sebagai varian-varian teori interaksionis simbolik. Berikut ini akan
dijelaskan secara garis besar tentang pandangan teori interaksionis simbolik dalam
memahami fenomena sosial-budaya di masyarakat.
Pandangan teori Interaksionis Simbolik tentang fenomena sosial-budaya
Menurut para ahli tokoh-tokoh yang mengembangkan teori interaksionis simbolik
antara lain: Horton Cooley; John Dewey; William I. Thomas; Herbert Mead; Herbert
Blumer; dan Erving Goffman. Dalam kajian ini penjelasan teori interaksionis simbolik
akan banyak menguraikan pandangan-pandangan George Herbert Mead dan Herbert
Blumer, karena kedua tokoh ini dianggap oleh para teoritisi sosial sebagai pendekar
teori interaksionis simbolik. Perspektif teori interaksionis simbolik H.Mead dan Blumer
sebenarnya berada di bawah payung ‘perspektif fenomenologi’ dan termasuk dalam
paradigma ‘definisi sosial’ (Rossides, 1978; Soeprapto, 2002). Perspektif
fenomenologis adalah mewakili semua pandangan ilmu sosial yang menganggap
‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami
tindakan sosial-budaya’. Pandangan teori interaksionis simbolik oleh para ahli juga
sering disebut sebagai teori sosial yang tergolong dalam ‘perspektif interpretif’ dan
berorientasi pada ‘filsafat pragmatisme’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002).
Teori interaksionis simbolik George Herbert Mead
Herbert Mead adalah pemikir terpenting dalam sejarah teori interaksionis
simbolis, dan buku berjudul ‘Mind, Self, and Society’ adalah karya terpenting H. Mead.
Berikut ini beberapa pokok pandangan teori interaksionis simbolik versi H. Mead,
antara lain
Pertama, tentang Tindakan. Dalam menganalisis tindakan, Mead melakukan
pendekatan perilaku dan berfokus pada stimulus (pendorong) dan respon. Menurut
Mead, ‘stimulus sebagai kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai
paksaan atau perintah untuk bertindak’. Mead mengidentifikasi ada empat tahap dasar
yang saling berhubungan dalam bertindak, yaitu: (1) tahap impuls, yaitu tindakan yang
melibatkan ‘respon panca indera secara cepat/ langsung’. Contoh impuls, adalah rasa
lapar dan haus. Respon manusia terhadap stimulus rasa lapar tidak seperti binatang,

76
karena respon manusia masih melibatkan pikiran dan perasaan; (2) tahap persepsi,
dimana pelaku mencari dan bertindak terhadap stimulasi yang berhubungan dengan
impuls, pada kasus rasa lapar adalah berbagai cara dilakukan untuk meraih perasaan
puas. Orang memiliki kemampuan untuk merasakan atau menerima stimulus melalui
mendengar, mencium, mengecap, melihat, meraba. Individu tidak hanya merespon
stimulasi eksternal dengan cepat (langsung/ otomatis) tetapi individu memikirkan,
menilainya, melihat pengalaman yang lalu, dan menyeleksi stimulus yang ada untuk
mencari yang terbaik; dan (3) tahap pelaksanaan, yaitu tahap mengambil suatu
tindakan yang memuaskan atau yang dianggap baik dan menyelamatkan hidupnya ke
depan. Menurut H. Mead, manusia merupakan pencipta, pelaku, pelaksana dan
pengarah diri sendiri dalam tindakan atau interaksi (Turner, J. 1982; Surbakti, R.,
1997b) .
Manusia melakukan tindakan sesuatu adalah berdasarkan ‘arti /makna’ yang
dimilikinya, sedangkan asal mula munculnya ‘arti/ makna terhadap sesuatu’ adalah dari
proses interaksi sosial. Jadi, interaksi simbolik memandang ‘arti / makna’ merupakan
produk sosial / hasil modifikasi dari interaksi sosial. Manusia adalah makhluk yang ikut
serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya
sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi selama proses interaksi
(Campbell, T. 1981; Soeprapto, R., 2002).
Dalam bertindak, individu berusaha untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang
diinginkan atau apa yang menjadi tujuannya, menggambarkan arah tingkah lakunya,
memperkirakan situasinya, mencatat dan menginterpretasikan tindakan orang lain,
mengecek dirinya sendiri, menggambarkan apa yang akan dilakukan dengan faktor-
faktor lain. Jadi, bagi Herbert Mead, manusia adalah makhluk aktif, dinamik, dan
mampu memodifikasi dan menginterpretasi tindakan dalam proses interaksisosial
(Rossides, D. W. 1978; Abraham, F.M. 1982).
Kedua, tentang Isyarat. Menurut Herbert Mead, isyarat adalah mekanisme dasar
dalam tindakan sosial dan dalam proses-proses sosial di masyarakat. Ada dua macam
isyarat, yaitu: (a) isyarat ‘tidak signifikan’ yaitu tindakan yang muncul karena tidak
diawali dengan kesadaran tinggi; dan (b) isyarat ‘signifikan’, yaitu tindakan yang mucul
dari kesadaran yang tinggi. Isyarat vokal (bahasa) dalam interaksi sosial adalah sangat
penting untuk pengembangan isyarat ‘signifikan’. Jadi, bahasa adalah faktor terpenting
dalam kehidupan manusia, karena dengan bahasa berkembanglah ilmu pengetahuan.
Atau bahasa merupakan simbol yang signifikan dalam proses interaksi sosial. Dengan
menggunakan orientasi pragmatisnya, H. Mead juga melihat ‘fungsi’ dari isyarat pada
umumnya dan simbol signifikan pada khususnya. Fungsi isyarat adalah ‘untuk
melakukan penyesuaian diri bagi individu dan akan diwujudkan dalam tindakan sosial

77
tertentu sesuai dengan objek tindakan dalam interaksinya’. Simbol signifikan akan
bekerja atau berfungsi lebih baik dalam aktivitas sosial individu dibandingkan isyarat
non signifikan (Turner, J. 1982).
Ketiga, tentang pikiran. H. Mead menyatakan bahwa ciri unik pikiran manusia
adalah kapasitasnya dalam hal: (1) menggunakan simbol untuk menunjukkan objek di
sekitarnya; (2) melatih beberapa jalan alternatif untuk menyikapi objek tersebut; (3)
menghalangi jalan yang tidak tepat, yang dapat berakibat buruk bagi individu. Mead
menganggap proses penggunaan bahasa dan simbol sebagai sebuah pelatihan
imajinatif; dan (4) pikiran lebih merupakan ‘proses’ daripada struktur.
Sintesa George Herbert Mead: ‘Pikiran, Diri Sendiri, dan Masyarakat’. George
Herbart Mead menyatukan konsep mereka dalam sebuah teori perspektif yang
koherens yang menghubungkan munculnya pikiran manusia, rasa sosial diri sendiri,
dan struktur masyarakat dengan proses interaksi sosial. Mead mengawali sintesanya
dengan dua asumsi utama. Pertama, kelemahan biologis manusia mendorong mereka
untuk bekerja sama (berinteraksi) dengan orang lain dalam konteks kelompok sosial
agar dapat bertahan dalam hidup, dan kedua, aksi atau tindakan antar individu yang
diwarnai dengan kerja sama sesama anggota, menyebabkan pertahanan dan
penyesuaian diri pada lingkungan mereka akan tetap terjaga dengan baik. Berawal dari
asumsi ini, Mead mereorganisasi konsep mereka agar dapat menunjukkan bagaimana
pikiran, rasa sosial dan diri sendiri, dan masyarakat muncul dan didukung oleh proses
interaksi sosial.
Keempat, tentang ’diri’ (self). Konsep ‘diri’ menurut H. Mead adalah ‘suatu
proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain’. Bagi Mead,
konsep ‘diri’ terletak pada konsep ‘pengambilan peran orang lain’ (taking the role of the
other). Jadi, konsep ‘diri’ merupakan penjabaran ‘diri sosial’ (social self). Oleh karena
itu, bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta
secara sosial, tetapi juga menciptakan masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat
diramalkan. Kesadaran individu adalah pemahaman manusia atas pengalamannya
sendiri, yang memungkinkannya mendefinisikan dirinya sendiri dan keadaannya. Bagi
Mead, perilaku manusia tidak terdeterminasi (tertekan atau ditentukan secara mutlak)
oleh lingkungan (faktor eksternal) sebagaimana paham kaum positivis (teori fungsional
struktural dan teori konflik). Dengan munculnya konsepsi ‘diri’ (self) ini, tindakan
individu mengambil konsistensi, dan kapasitas untuk mendapatkan gambaran diri
sendiri sebagai objek evaluasi dalam interaksi tergantung pada proses pikiran individu.
Manusia adalah makhluk yang memiliki ‘diri sendiri’ (objek dirinya sendiri), artinya
manusia akan melakukan interaksi dengan dirinya sendiri untuk menghadapi dunia
luar, manusia akan menginterpretasi apa yang ada di dunia luar sesuai dengan

78
pikirannya. Menurut H. Mead, ada tiga tingkatan penting pada pengembangan diri, dan
dapat meningkatkan konsepsi diri yang lebih stabil. (1) tingkat awal, pengambilan
peran dimana gambaran diri dapat ditimbulkan orang terdekat (masa bayi). Dalam
permainan, bayi hanya mampu mengenal orang-orang di sekitarnya dalam jumlah
terbatas, awalnya mungkin hanya satu atau dua orang yang terdekat. (2) tingkat
kedua, seiring dengan pertumbuhan biologis dan praktek pengambilan peran, individu
dewasa mampu mengambil peran beberapa orang ditambah orang-orang dalam
aktifitas organisasi kelompok; (3) tingkat ketiga, pada pengembangan diri ditunjukkan
saat individu dapat mengambil peran ‘penyamarataan sesama’ atau ‘komunitas tingkah
laku/ etika’ di masyarakat. Pada tingkat ini, individu terlihat mampu mengartikan
perspektif komunitas secara menyeluruh, menangkap simbol-simbol dan
menginterpretasi, nilai dan norma dalam berbagai macam interaksi di lingkungan atau
masyarakat (Abraham, F.M. 1982; Turner, J. 1982)..
Kelima, tentang masyarakat. Menurut H. Mead, masyarakat, atau ‘institusi’
adalah menunjukkan proses interaksi yang terorganisasi dan berpola antar individu
dan antar kelompok yang beraneka ragam. Masyarakat juga tergantung pada
kapasitas diri individu , terutama pada proses evaluasi diri dalam penyamarataan
dengan yang lain. H. Mead memandang masyarakat selalu mengalami perubahan
secara terus-menerus, karena keberadaan masyarakat tergantung pada kapasitas ‘diri’
individu atau perkembangan pikiran individu yang bersifat sangat dinamik. Masyarakat
dapat berubah atau dibangun kembali (rekonstruksi) melalui proses yang ditunjukkan
oleh konsep pikiran dan diri sendiri melalui interaksi sosial. Bahwa kehidupan
kelompok manusia (masyarakat) adalah sebuah proses dimana objek-objek diciptakan,
dikukuhkan, ditransformasikan dan bahkan dibuang menurut pikiran individu.
Kehidupan kelompok (masyarakat) dan perilaku manusia akan selalu berubah sejalan
dengan perubahan yang terjadi didalam dunia objek mereka (Surbakti, R., 1997b;
Soeprapto, R., 2002).
Menurut H.Mead, memandang bahwa interaksi sosial dalam masyarakat terjadi
dalam dua bentuk utama, antara lain: (a) percakapan isyarat (interaksi non simbolik);
dan (b) penggunaan simbol-simbol penting (interaksi simbolik). Bagi Mead, interaksi
simbolik merupakan interaksi yang sangat penting, dan ada beberapa konsep penting
yang terdapat dalam interaksi simbolik, antara lain: (1) interaksi simbolis adalah
proses-proses formatif dalam haknya sendiri; (2) dalam proses interaksi individu terus
menerus melakukan pengembangan penyesuaian tingkah laku, melalui proses
dualisme definisi dan interpretasi; dan (3) dalam pembuatan proses interpretasi dan
definisi dari tindakan satu orang ke orang lain adalah berpusat pada diri individu.

79
Keenam, tentang metodologi. Metodologi H. Mead dalam memahami fenomena
sosial adalah seperti Max Weber, yaitu metode interpretif dan introspeksi. Tipologi
pandangan Mead antara lain: (1) interaksi sosial meliputi pemikiran, bahasa dan
kesadaran akan diri sendiri; (2) melalui bahasa individu dapat mempelajari sikap dan
emosi; (3) karena individu memberikan respons yang cukup berarti, kemudian
merealisasikannya melalui komunikasi verbal dan nonverbal, kehidupan sosial itu
sendiri termasuk ‘saya’ (reaksi terhadap orang lain), dan ‘aku’ (diasumsikan sebagai
sikap); (4) kehidupan sosial itu sediri memiliki sebuah aspek kreatif, dinamik dan
spontan yang memberikan kontribusi bagi pola sosialisasi yang baru dan
mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Dinamiknya (perubahan terus menerus)
dalam kehidupan masyarakat karena masyarakat ditentukan oleh pikiran individu yang
dinamik dan kreatif (Abraham, F.M. 1982; Turner, J. 1982).
Menurut Kinloch, G. (2005), teori H. Mead tentang masyarakat banyak
menimbulkan beberapa perasalahan atau kelemahan antara lain: (1) sintesis analisis
antara individu dan masyarakat tidak jelas; (2) kualitas evolusi masyarakat juga sangat
umum dan tidak jelas; (3) aspek kreatif dan spontan dari sosial itu sendiri juga hanya
dijelaskan secara umum; dan (4) masalah metodologi pendekatan interpretatif-
introspektif terus berlanjut sehingga menjadi hambatan bagi para peneliti dalam
meyakinkan validasi yang dibuat.

Teori interaksionis simbolik Herbert Blumer


Beberapa asumsi dasar teori Blumer tentang realitas sosial, antara lain: (1) bagi
masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, telah disiapkan sebuah perbuatan
yang berdasarkan mana-makna, yang objeknya terdiri atas dunia mereka. Objek-objek
ini terdiri atas tiga tipe utama: fisikal, sosial, dan abstrak; (2) menggambarkan asosiasi
sebagai suatu ‘proses ketika (masyarakat) memberi petunjuk antara satu dan lainnya
dan menafsirkan indikasi-indikasi lain, seperti tingkah laku manusia yang diinterpretasi
dan dikonstruksi; (3) tindakan tindakan sosial terus menguntruksi sebuah proses yang
para pelakunya mencatat, menafsirkan dan menilai untuk menghadapi situasi mereka;
(4) hubungan secara kompleks tentang tindakan-tindakan yang terdiri atas organisasi,
institusi, pembagian tugas kerangka yang menunjukkan saling bergantung. Jadi,
asumsi dasar Blumer adalah: (1) tindakan didasarkan pada makna dan objek; (2)
tindakan diinterpretasi dan dikonstruksi; (3) tindakan meliputi diri dan peran yang
diambil; dan (4) organisasi sosial (masyarakat) itu bersifat dinamik, atau terus
berubah-ubah, karena kehidupan masyarakat ditentukan oleh pikiran individu yang
bersifat dinamik.

80
Teori interaksionis simbolik Blumer adalah bertumpu pada tiga premis utama,
yaitu: (a) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada
pada sesuatu itu bagi mereka, (b) makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang
dilakukan dengan orang lain sepanjang hidupnya, dan (c) makna-makna tersebut
disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Turner, J. 1982;
Soeprapto, 2002). Pada dasarnya banyak sudut pandang H. Mead dan H. Blumer
tentang fenomena sosial berada pada titik temu pemikiran yang relatif sama, oleh
karena itu berikut ini dikemukakan kesimpulan dari beberapa titik kesamaan
pandangan kedua teoritikus interaksi simbolik.
Kesamaan H.Mead dan H. Blumer dalam memahami fenomena sosial
Berikut ini merupakan pokok-pokok pandangan teori interaksionis simbolik
Herbert Mead dan Herbert Blumer, dalam memahami fenomena sosial budaya atau
tindakan sosial individu dalam masyarakat, antara lain:
1. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘realitas sosial-budaya’, baik versi Mead
maupun Blumer, antara lain: (a) sejatinya realitas sosial-budaya itu tidak pernah ada
di dunia nyata, melainkan secara aktif ‘diciptakan’ ketika manusia bertindak ‘di dan
terhadap’ dunia atau lingkungan sekitarnya. Apa yang nyata bagi manusia
tergantung pada ‘definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan individu itu
sendiri’. Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu selama proses sosial budaya
adalah mendasarkan pada pemahamannya dan pengetahuannya sendiri tentang
dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu itu bermakna atau berguna bagi
hidupnya. Manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah berdasarkan
‘kegunaan dan tujuannya’ (Mulyana, 2002); dan (b) dalam pandangan teori
Interaksionis simbolik H Mead dan Blumer, manusia selalu berubah-ubah dari waktu
ke waktu, baik menyangkut pandangan tentang: Diri dan lingkungannya; Tujuannya;
Orientasi hidupnya; Simbol-simbol yang digunakan; Aturan-aturan; Peralatannya
dan sebagainya. Oleh karena itu memahami manusia harus dengan pendekatan
dinamik dan kontekstual serta menyelami pikiran atau pendangannya dalam
kehidupan sehari-hari (Rossides, D. W. 1978; Poloma, 1979).
2. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘individu’, baik versi Mead maupun Blumer,
antara lain: (a) bahwa individu merespons suatu ‘situasi simbolik’. Individu
merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial-budaya
(tindakan sosial di masyarakat) berdasarkan makna yang terkandung dalam objek
tersebut; (b) ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis,
tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan fungsional
struktural), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu dalam
mendefinisikan, menafsirkan atau menginterpretasikan situasi itu sesuai dengan

81
kedalaman makna yang terkandung dalam situasi itu. Jadi, individu bersifat aktif
bukan pasif (Surbakti, R., 1997b; Ritzer, 2001); dan (c) dalam pandangan teori
Interaksionis simbolik, hakikat ‘makna sesuatu’ adalah produk interaksi sosial,
karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan ‘dinegoisasikan’ melalui
penggunaan bahasa. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari
waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi atau kondisi yang dialami dan
ditemukan individu dalam proses interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari.
3. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang proses interaksi sosial. Baik
versinya Mead dan Blumer, bahwa dengan ‘bahasa’ manusia memungkinkan untuk
menjadi makhluk yang ‘sadar diri’ (self conscious) dalam proses interaksi sosial.
Kunci dalam proses interaksi sosial adalah ‘simbol’. Simbol merupakan sesuatu
yang ‘berada demi’ (stands for) yang lain. Semua interaksi sosial antar individu atau
antar kelompok individu dalam masyarakat adalah melibatkan suatu pertukaran
simbol. Contoh, kata ‘mobil’ merupakan suatu simbol, artinya dengan menyebut
kata mobil, maka antar individu dapat memikirkan ‘mobil’ sesuai konsep pikiran
masing-masing (jenis mobil, baru/ bekas, warna mobil, dan sebagainya) walaupun
wujud mobil itu tidak terlihat, demikian juga semua tindakan sosial manusia dalam
proses interaksi sosial merupakan ‘pertukaran simbol’ (Rossides, D. W. 1978;
Ramlan, S., 1997).
4. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Pikiran’ (Mind), yaitu, Pikiran
adalah kemampuan manusia dalam menggunakan simbol untuk menunjukkan objek
di sekitarnya, atau ‘Pikiran’ adalah kemampuan memahami simbol (Turner,J.,
1982).. ‘Pikiran’ lebih merupakan ‘proses’ daripada ‘struktur’ (dalam pandangan
fungsional struktural, pikiran adalah bagian dari struktur). Sedangkan ‘Diri’ (self)
pada dasarnya adalah kemampuan untuk menempatkan seseorang sebagai subjek
sekaligus objek. Diri (self) tidak mungkin ada tanpa adanya pengalaman sosial.
Setiap diri itu berkembang ketika orang belajar ‘mengambil peranan orang lain’
dalam proses interaksi sosial. Tindakan manusia dalam proses interaksi sosial tidak
ditentukan oleh faktor eksternal, melainkan ditentukan oleh faktor internal, yaitu:
pikirannya, motivasinya, pengetahuannya, pandangan hidupnya. Jadi, kualitas
faktor internal tersebut itulah yang membentuk objek, menilai berdasarkan makna
dan memutuskan untuk berbuat berdasarkan makna itu (Turner,J., 1982; Poloma,
2000).
5. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Masyarakat’, baik versi Mead
maupun Blumer, adalah: bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi,
tergantung pada pikiran atau pandangan individu-individu dalam masyarakat.
Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan

82
masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu
terus berubah melalui interaksi simbolik. Masyarakat sebagai penyaji sistem
sosialisasi yang dinamik, dan fenomena sosial-budaya itu sendiri dirumuskan
individu-individu dari proses interaksi dan sosialisasi melalui sejumlah tingkat yang
berbeda (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001; Soekanto, 2002).
6. Dari penjelasan tersebut di atas, maka ‘asumsi dasar’ teori interaksionis simbolik H.
Mead dan Blumer adalah: (a) Individu, adalah rasional dan produk dari hubungan
sosial (interaksi sosial). Individu bukalah merupakan kepribadian yang terstruktur,
pasif, terdeterminasi oleh faktor eksternal, tetapi individu adalah sosok dinamis; (b)
Masyarakat, adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan
sosialisasi yang baru dari individu. Masyarakat dan kelompok selalu berubah dan
tergantung oleh pikiran-pikiran individu; (c) Realitas sosial, adalah bersifat individu
dan sosial yang dinamik. Individu memiliki ‘pikiran’ untuk menginterpretasikan
situasi, menilai tindakan orang lain dan tindakannya sendiri; (d) Interaksi sosial,
adalah meliputi ‘pikiran, bahasa dan kesadaran’ akan diri sendiri; Interaksi sosial
mengarah pada komunikasi non verbal; Bahasa menciptakan pemikiran dan
kelompok; (e) Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa;
Kebenaran ide, sikap dan perspektif, semua di konseptualisasikan sebagai sebuah
proses dari apa yang dia amati selama interaksi; Pola aktivitas sosial itu sendiri
memiliki aspek kreatif dan spontan (Turner,J., 1982; Ritzer, 2001; Kinloch, 2005).
Sedangkan perbedaan pandangan antara teori fungsional struktural-konflik
(paradigma fakta sosial) dengan teori interaksionis simbolik (paradigma definisi sosial)
dalam memahami fenomena perubahan sosial budaya antara lain:
1. Bahwa perubahan sosial-budaya dalam perspektif interaksionis simbolik, sangat
ditentukan oleh kemampuan individu dalam menangkap, menafsirkan dan
memodifikasi simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas sosialnya di
masyarakat. Jadi, faktor ‘internal individu’ yang menentukan perubahan sosial
budaya. Sedangkan dalam teori fungsional struktural dan konflik, faktor penentu
perubahan sosial budaya adalah faktor ‘eksternal’, berupa lingkungan, ekonomi,
struktur sosial-budaya, konsensus terhadap nilai dan norma, yang oleh Giddens
diistilahkan imperialisme positivis atau imperialisme struktural (Giddens, 1985).
2. Posisi individu menurut teori interaksionis simbolik dalam proses perubahan sosial
budaya adalah, diposisikan sebagai ‘sosok yang aktif, kreatif, dan dinamik’ dalam
membuat kebijakan, memodifikasi pola dan bentuk-bentuk perubahan sosial-budaya
melalui proses pemahaman dan pemaknaan simbol selama proses interaksi
sosialnya. Sedangkan menurut teori fungsional struktural dan konflik, posisi individu
dalam proses perubahan sosial budaya adalah ‘pasif, terdeterminasi oleh struktur

83
norma sosial budaya, individu bagaikan wayang yang tidak punya kreativitas,
semua tindakan individu sudah ditentukan oleh faktor eksternalnya’ (Rossides, D.
W. 1978; Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001).

F. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Fenomenologi


1. Fenomenologi dalam perspektif filsafat
Sebelum menjelaskan beberapa pandangan teori fenomenologi terhadap
kehidupan sosial-budaya, penulis memandang perlu untuk menguraikan secara singkat
tentang fenomenologi dalam perspektif filsafat. Aliran fenomenologi juga dikenal dalam
dunia kajian filsafat, dan diantara tokoh terkenal dari metode atau aliran fenomenologi
dalam studi filsafat adalah Edmund Husserl (1859-1938). Berikut ini merupakan
beberapa pokok pikiran Husserl tentang fenomenologi dalam perspektif filsafat antara
lain:
Pertama, Husserl menolak sikap ‘scientisme’, yang menghadapi fenomena hidup
(gejala kehidupan) dengan menggunakan metode eksakta (kuantitatif). Bagi Husserl,
objek pertama bagi filsafat bukan dari ‘pengertian hasil rasionalistik’ tentang
kenyataan, tetapi dari kenyataan itu sendiri.
Kedua, menurut Husserl, dunia sekitar manusia itu ‘berada’, adalah tergantung
oleh proses terjadinya hubungan ‘antar subjektivitas transendental’ dalam komunitas
antar individu yang ada dalam komunitas tersebut.
Ketiga, metode Husserl disebut metode fenomenologi, dengan beberapa ciri
antara lain: (1) titik tolak metodenya dalam objek dan subjek. Untuk mencapai objek
pengertian menurut keasliannya harus dilakukan metode reduksi (pembersihan) dari
unsur-unsur yang tidak nyata, misalnya membersihkan pengertian tentang sesuatu dari
unsur-unsur tradisi, manusia harus otonom. Jadi, yang dimaksud metode reduksi
adalah ‘penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan
intuisi dilakukan berulang-ulang’; (2) objek penyelidikan adalah ‘fenomena’ atau gejala.
Fenomena itu adalah data dari gejala yang sederhana, tanpa ditambah hal lain (apa
adanya); (3) fenomena alam itu fakta (relasi) yang dapat diterapkan dalam observasi
empiris, tetapi fenomenologi Husserl juga dapat berupa pandangan ‘rohani’, namun
fenomenologi Husserl tidak sama dengan fenomenologi agama; (4) ‘metode reduksi’
merupakan salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui
sesuatu, seorang fenomenologis harus bersikap netral atau otonom (tidak terpengaruh)
dari teori atau pandangan yang telah ada, artinya diberi kesempatan ‘berbicara tentang
dirinya sendiri’.

84
Keempat, ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomena
dalam pendekatan fenomenologis, yaitu: (1) reduksi fenomenologis, maksudnya
adalah apa yang kita lihat tentang segala sesuatu (misalnya ‘X’) dalam kehidupan
sehari-hari kita yakini sebagai kenyataan. Akan tetapi, karena yang dituju oleh
fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya (di balik kenyataan ‘X’
yang nampak), dan pemahaman dibalik yang nampak hanya dapat dicapai dengan
‘mengalami secara intuitif’, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam
pandangan mata itu untuk sementara harus ‘ditinggalkan’, ‘segala subjektivitas
disingkirkan’, ‘dibebaskan dari teori-teori yang ada’, sehingga yang muncul dalam
kesadaran adalah ‘fenomena itu sendiri’ (hal ini disebut reduksi fenomenologis); (2)
reduksi eidetis (inti sari), maksudnya adalah dengan reduksi eidetis, semua segi,
aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan (karena
aspek dan profil tersebut tidak menggambarkan objek secara utuh). Setiap objek
adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Hakikat (realitas)
yang dicari dalam reduksi eidetis adalah struktur dasar yang fundamental dan hakiki.
Dalam reduksi eidetis memberlakukan kriteria kohersi, artinya, pengamatan yang terus
menerus terhadap objek harus bisa dipadukan dalam suatu horison yang konsisten;
dan (3) reduksi fenomenologi transendental. Reduksi ini tidak lagi mengenai objek,
atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran.
Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang
menampakkan diri dalam kesadaran. Kesadaran dalam fenomenologi transendental,
bukan kesadaran empiris (bendawi) lagi, melainkan kesadaran yang bersifat murni
atau transendental, yaitu sebagai ‘subjektivitas’ atau ‘aku transendental’. Dari reduksi
fenomenologi transendental inilah yang menyebabkan Husserl oleh para ahli
dikategorikan penganut aliran idealisme (Rossides, 1978; Bachtiar, W., 2006)
Kelima, tujuan dari adanya ketiga reduksi tersebut adalah menemukan
bagaimana objek dikonstitusi dengan fenomena asli dalam kesadaran. Namun para
fenomenolog (murid-murid Husserl) lebih banyak menggunakan reduksi fenomenologi
(tidak menggunakan reduksi fenomenologi transendental).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga reduksi tersebut
memberikan kejelasan bahwa metode fenomenologi itu menutut ‘manusia tidak begitu
saja menerima pengertian dan rumusan tentang sesuatu hal dari teori atau pandangan
yang berpaham strukturalis, karena pengertian atau pemahaman tersebut belum
menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Pandangan atau pengertian pertama
tentang sesuatu perlu dilanjutkan pada pandangan kedua untuk menghilangkan tabir
yang menghalangi pada pandangan pertama, pandangan kedua untuk menemukan

85
hakikat objek’. Metode fenomenologi ini di era sekarang banyak dipakai dalam studi
filsafat, sosial budaya, ideologi, dan politik (Praja, J.S., 2005).
2. Fenomenologi dalam perspektif teori
Menurut para ahli, teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi mempunyai
kesamaan pandangan, yang menganggap bahwa ‘kesadaran atau jiwa manusia dan
makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’. Oleh karena
itu, baik teori fenomenologi maupun teori interaksionis simbolik adalah sering disebut
sebagai teori dalam ‘perspektif interpretif’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002).
Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa teori interaksionis simbolik
dan teori fenomenologi adalah teori-teori sosiologi yang berparadigma definisi sosial
atau berparadigma interpretif. Berikut ini kesimpulan sosiolog Burrell dan Morgan
(1994) tentang ciri-ciri pandangan paradigma interpretis dalam memahami fenomena
sosial-budaya, antara lain: (1) memahami dunia (masyarakat) seperti apa adanya, atau
menuntut pemahaman terhadap realitas sosial berdasarkan kesadaran subjektivitas
individu dalam proses-proses sosialnya; (2) dalam studi sosiologi harus memahami
fenomena sosial yang terbangun oleh pikiran atau jiwa subjek (individu) secara terus
menerus dalam praktek kehidupan sehari-hari (meliputi pandangan, asumsi, nilai,
motivasi, tujuan, dan keyakinannya); (3) bersifat nominalis, artinya kehidupan sosial
tergantung pada sebutan atau pandangan subjek, dunia sosial eksternal (realitas sosial
eksternal) hanyalah sebuah nama atau label. Jadi, yang menentukan sesuatu itu
bermakna atau tidak adalah pikiran dan jiwa individu. Disamping itu paradigma ini
bersifat anti positivism, voluntaris (manusia sepenuhnya otonom, manusia mempunyai
keinginan secara bebas atau sukarela dalam berekspresi); dan (4) berorientasi pada
ideologi atau aliran filsafat idealisme. Disamping itu, paradigma ini dalam studi
sosiologi bersifat mikro (studi tentang individu dan organisasi yang kecil). Teori-teori
sosiologi yang termasuk dalam paradigma ini adalah: teori interaksionis simbolik, teori
fenomenologi, teori ethnometodologi, teori tindakan rasional Weber (Soerbakti, R.,
1979b; Soeprapto, R. 2002). Fenomenologi dalam perspektif filsafat oleh Husserl
tersebut kemudian dikembangkan dalam teori sosiologi oleh Alfred Vierkandt; Alfred
Schutz; dan Harold Garfinkel. Kajian tentang teori fenomenologi berikut ini adalah
menitikberatkan beberapa pandangan teoritikus fenomenologi Alfred Schutz dan
Harold Garfinkel.
Beberapa pokok pikiran teori atau pendekatan fenomenologi versi Alfred Schutz
(1899-1959), antara lain: Pertama, Schutz menganalisis tentang fenomena sosial-
budaya di masyarakat mendasarkan pada aspek pengalaman-pengalaman individu
(hal ini bertolak belakang dengan pandangan teori-teori yang berbasis stuktural).
Pandangan Schutz banyak berorientasi pada piranti-piranti filsafat fenomenologi

86
Edmund Husserl. Schutz menyetujui metode atau pandangan Husserl tentang
‘memahami realitas sosial-budaya dengan menganalisis kondisi ‘batiniah individu’,
yakni beragam pengalaman individu tentang fenomena hidup, yang ia sebut ‘arus
kesadaran’. Menurut Husserl segala objek kehidupan sosial-budaya dipahami melalui
kesadaran pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang dimiliki individu untuk
menghasilkan ‘apersepsi’ (pemberian makna secara spontan terhadap objek). Jadi,
semua kesadaran adalah kesadaran akan sebuah objek, oleh karena itu realitas objek

merupakan konstruksi individu (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001).


Kedua, kesadaran mengkonstruksi tersebut merupakan wujud kemampuan
individu dalam merefleksi (yaitu bercermin diri untuk melihat apa sisi negatif dan positif,
lalu mengambil langkah ke depan yang terbaik) terhadap beragam fenomena
kehidupan sehari-hari. Dengan merefleksikan beragam peristiwa masa lampau dipadu
dengan pengetahuan yang ada, individu menganalisis dunia sebagaimana dunia itu
tampak pada kesadaran individu, mengidentifikasi dan memeriksa ‘beragam objek’.
Jadi, menganalisis terhadap fenomena sosial-budaya di masyarakat harus
mendasarkan kepada beragam pengalaman individu yang dihayatinya. Beragam
pengalaman individu di masa lalu dan pengetahan yang dimiliki akan menjadi landasan
untuk bertindak dan mengambil sikap terhadap ‘dunia kehidupan sehari-hari’.
Perpaduan pengalaman dan pengetahuan tersebut akan menghasilkan ‘tindakan
bermakna’, artinya individu melakukan sesuatu tindakan sesuai dengan kesadaran dan
terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Menurut Schutz, bahwa manusia hanya bisa
mulai memahami makna tindakan individu ketika individu itu melihat kembali pada saat
melakukan refleksi. Kemudian manusia dapat menyeleksi unsur-unsur pengalamannya
yang memungkinkan untuk melihat tindakan-tindakan dia sendiri yang bermakna
(Cambell, T., 1981).
Ketiga, pengalaman masa lalu yang banyak mewarnai tindakan individu
merupakan ‘pra-fenomenal’. Bagi Schutz pra fenomenal adalah sesuatu yang
fundamental untuk kehidupan manusia sehari-hari. Pengalaman masa lalu dan
pengetahuan yang dimiliki individu akan membangun kesadaran untuk melakukan
‘tindakan bermakna’ bagi masa depan. Oleh karena itu kehidupan sehari-hari manusia
adalah sebuah ‘orientasi pragmatis ke masa depan’. Manusia adalah makhluk yang
berpotensi memunculkan masalah dan menyelesaikan masalah, sehingga manusia
selalu membangun ‘kesadaran diri yang aktif/ dinamik’ atau ‘motivasi diri supaya lebih
baik di masa depan’. Untuk menyelamatkan atau memecahkan masalah tersebut
manusia ‘mendefinisikan’ situasinya, artinya individu harus memutuskan dan
menetapkan dalam situasi macam apakah ia berada, untuk bisa memecahkan masalah

87
dan meraih tujuan. Agar manusia dapat mendefinisikan situasinya, maka manusia
berbekal pengalaman dan pengetahuan untuk melakukan ‘identifikasi objek’.
Kemampuan individu dalam ‘mengidentifikasi’ sesuatu untuk ‘mendefinisikan’ objek
apapun berdasarkan ‘pengalaman dan pengetahuannya’ (misalnya, mobil, rumah,
binatang, pohon dan sebagainya), oleh Schutz disebut ‘tipifikasi’ (typification). Jadi,
apa yang dilakukan manusia (individu) adalah menyusun sebuah ‘dunia-dunia’ yang ia
‘maksudkan’ dalam kesadarannya sehari-hari, dengan memakai tipifikasi-tipifikasi yang
diteruskan kepadanya oleh kelompok-kelompok sosialnya.
Keempat, pandangan Schutz tentang masyarakat antara lain: (1) pada diri
manusia ada kesadaran akan kehidupan secara bersama, hal ini merupakan
‘kesadaran sosial’. Kesadaran sosial ini berlangsung dengan dua cara, yaitu: (a)
kesadaran ‘mengandaikan’ adanya kegiatan orang lain yang dialami bersama dalam
tindakan sosial untuk saling memberi reaksi; dan (b) kesadaran memakai tipifikasi-
tipifikasi yang diciptakan dan dikomunikasikan dalam kelompok sosial (kehidupan
bersama); (2) sebuah masyarakat adalah sebuah komunitas linguistik. Masyarakat
berada melalui simbol-simbol komunikasi timbal balik antar individu. Oleh karena itu
kesadaran sehari-hari juga merupakan kesadaran sosial atau kesadaran yang
diwariskan secara sosial (dibelajarkan/ disosialisasikan) mengenai masyarakat. Jadi,
dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia ‘inter-subjektif’, keberadaan kelompok
bukanlah ‘milikku’ tetapi ‘milik kita’, konsep hubungan inter subjektif merupakan
hubungan kita (we-relationship); (3) antar individu menjalin hubungan langsung (tatap
muka) dan hubungan tak langsung atau hubungan-hubungan mereka (they-
relationships) untuk membentuk totalitas masyarakat. Masyarakat adalah sebuah
konstruksi tipe-tipe ideal yang didefinisikan menurut fungsi-fungsi individu yang
bersangkutan; dan (4) masyarakat sebagai sebuah sistem peran-peran dan institusi-
institusi tempat para individu harus menyesuaikan diri. Jadi, masyarakat merupakan
produk kultural para individu. Masyarakat merupakan sebuah konsep pragmatif (nilai
guna/ manfaat) yang dipakai untuk menata beragam pengalaman individu untuk
harapan dan tujuan hidup bersama (Rossides, D. W. 1978; Cambell, T., 1981; Ritzer,
G and Smart, B. (ed). 2001).
Salah satu sosiolog yang mendapat pengaruh dari pandangan Schutz adalah
Harold Garfinkel (Bachtiar, W. 2006). Berikut ini beberapa pokok pikiran atau
pandangan teoritikus Harold Garfinkel, antara lain: Pertama, meskipun Garfinkel
mengakui pandangan atau teorinya dipengaruhi oleh pola pikir Max Weber, tetapi
pandangan-pandangan Schutz dijadikan sebagai sumber pokok dalam membangun
teorinya yang dia sebut ‘teori etnometodologi’. Jadi, Garfinkel tidak menamakan
teorinya dengan ‘teori fenomenologi’ seperti Schutz, tetapi menyebutnya ‘teori

88
etnometodologi’. Pada pokoknya, esensi sudut pandang teori etnometodologi tentang
fenomena sosial adalah relatif sama dengan teori fenomenologi, yaitu ‘meletakkan
aspek pikiran, jiwa, pandangan atau potensi agen (dimensi internal) sebagai penentu
dalam melakukan tindakan sosial dan proses-proses sosial, dan menolak pandangan
struktur sosial (dimensi eksternal) sebagai penentu proses-proses sosial di
masyarakat’.
Kedua, kajian etnometodologi menekankan bahwa aksi-aksi sosial-budaya dan
organisasi sosial diproduksi oleh agen-agen (individu) yang dipahami mampu
mengarahkan aksinya (tindakannya) dengan mengunakan rasionalisasi pikiran sehat
(common sense) yang sesuai dengan situai atau kondisi yang dialami oleh individu
(agen) dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, Garfinkel dengan teorinya etnometdologi juga sama-sama mempunyai
pandangan seperti teori fenomenologi, yaitu menfokuskan pada makna dan bagaimana
makna tersebut secara inter-subjektif dikomunikasikan dalam kehidupan sosial.
Menurut Garfinkel, bahwa: (a) perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan
sesuatu yang lebih memiliki makna dari pada langsung kata-kata itu sendiri; (b)
perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum; (c)
pemahaman secara umum yang menyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan
tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara inter-subjektif;
dan (c) transaksi dan peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional.
Keempat, menurut Garfinkel setiap peneliti sosial-budaya dalam menganalisis
fenomena sosial-budaya harus mengamati dan mempertanyakan pada setiap agen,
bagaimana pandangan, motivasi tentang tindakan sosial sehari-hari untuk
mendapatkan penjelasan dan pengertian secara benar. Jadi, setiap peneliti harus
terlibat aktif dalam kehidupan sehari-hari untuk mengamati dan memahami makna-
makna yang sebenarnya dari proses ‘inter-subjektif’ para agen dalam kehidupan
sehari-hari (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001; Bachtiar, W. 2006).
G. Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Posmodern
Uraian singkat tentang pandangan teori postmodern berikut ini diawali dari
pembahasan singkat tentang dua hal, yaitu: Pertama, pengertian tentang post-
modernisme; dan Kedua, beberapa pandangan teori post-modern tentang fenomena
sosial budaya
Pengertian post-modernisme
Istilah ‘post-modern’ pertama kali muncul pada tahun 1930 yang dipakai oleh
Federico de Onis dalam bidang seni, kemudian berikutnya istilah ‘post-modernisme’
dipakai di bidang historiografi oleh sejarawan A. Toynbee pada tahun 1947 (Sugiharto,
B., 1996). Menurut para ahli, tidak ada definisi atau pengertian yang sama tentang

89
post-modernisme yang dikemukakan oleh para ahli, karena setiap bidang kajian
(disiplin ilmu) telah mendefinisikan post-modernisme sesuai dengan sudut pandang
bidang kajian atau keilmuan masing-masing, contoh, pengertian post-modernisme
menurut seorang seniman atau sastrawan akan berbeda sudut pandangnya dengan
seorang ahli dibidang arsitektur, atau berbeda dengan sosiolog, ekonom, politikus,
filosof, dan sebagainya.
Berikut ini merupakan beberapa konsep tentang pengertian post-modernisme,
ditinjau dari beberapa bidang kehidupan, antara lain:
1. Post-modernisme, bermakna hilangnya batas antara seni dan kehidupan,
hilangnya batas budaya tinggi dan budaya rendah yang dikonsepsikan oleh
modernisme, peleburan segala batas yang diusung oleh modernisme. Hal ini
berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi seni-budaya.
2. Post-modernisme, bermakna munculnya atau berkembangnya kecenderungan pola
kehidupan yang bertolak belakang dengan segala macam gaya hidup modern,
bebasnya daya naluri setiap individu, membumbungnya kesenangan material
individu, tingginya intensitas ketegangan struktural masyarakat akibat pola hidup
modern. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi
sosial-ekonomi.
3. Post-modernisme, bermakna logika kultural yang membawa transformasi budaya
secara terus menerus disemua unsur-unsur budaya pada umumnya. Hal ini berarti
pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi kebudayaan.
4. Post-modernisme, bermakna adanya dominasi teknologi reproduksi dalam
jaringan-jaringan global kapitalisme multikultural dengan berbasis teknologi
informatika dan komunikasi. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme
dintinjau dari segi teknologi-ekonomi.
5. Post-modernisme, bermakna peleburan segala batas, wilayah dan keberagaman
budaya tinggi-rendah, penampilan dengan kenyataan, terjadinya intensifikasi
dinamisme hidup dalam segala hal, upaya tidak henti-hentinya melakukan inovasi,
eksperimentasi dan revolusi sosial secara terus menerus. Hal ini berarti pengertian
konsep post-modernisme ditinjau dari segi sosial.
6. Post-modernisme, bermakna ketidakpercayaan segala bentuk narasi besar
(generalisasi konsep yang diusung modernisme), penolakan filsafat metafisis,
filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang baku (mentalisasi) seperti:
Hegelianisme, Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme dan sebagainya,
atau post-modernisme merupakan suatu paham yang menunjuk pada segala
bentuk refleksi kritis atas beragam paradigma (paham-paham) modernisme. Hal ini

90
berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi filsafat (Sugiharto, B.,
1996).
Diantara faktor penyebab kekaburan makna istilah ‘post-modernisme’ adalah
adanya awalan ‘post’ dan akhiran ‘isme’. Awalan ‘post’ dalam post-modernisme adalah
untuk menunjukkan pada situasi waktu dan tata sosial sebagai produk teknologi
informasi, globalisasi, gaya hidup cenderung hedonis, konsumerisme yang berlebihan,
deregulasi pasar, usangnya negara-bangsa, dan penggalian kembali beragam inspirasi
tradisi lokal. Sedangkan akhiran ‘isme’ dalam post-modernisme adalah untuk menunjuk
pada paham, pandangan, atau kritik-kritik filosofis, atau gambaran dunia (world view),
epistemologi dan ideologi-ideologi modern yang dianggap telah mapan.
Pandangan teori post-modern tentang fenomena sosial
Menurut para ahli, ilmuwan sosial yang dapat dikategorikan sebagai tokoh dan
pendukung teori post-modern, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) kelompok
teoritikus post-modern dekonstruktif, antara lain: Derrida; Lyotard; Foucault; Rorty; dan
Baudrillard; dan (2) kelompok teoritikus post-modern konstruktif (revisioner), antara
lain: Heidegger; Gadamer; Recoeur; Mary Hesse; dan Jomeson. Dalam perdebatan di
kalangan ilmuwan sosial di Indonesia, kelompok kedua (kontruktif atau revisioner) tidak
banyak disinggung dalam berbagai kegiatan, kajian, atau diskusi ilmiah, karena
pandangan kelompok post-modern konstruktif ini mempunyai kecenderungan tidak
berseberangan secara ekstrim dengan modernisme, atau tidak memposisikan tentang
perbedaan modernisme dengan post-moderinsme bagaikan langit dan bumi atau
bagaikan hitam dan putih, tetapi kelompok post-modernisme kontruktif memandang
bahwa ‘post-modernisme hanyalah kritik imanen yang hendak mengoreksi atau
merevisi beberapa kelemahan atau kekurangan dari pandangan-pandangan
modernisme yang lekat dengan kemapanan, kebakuan, keuniversalan (Sugiharto, B.,
1996). Berikut ini akan dikemukakan beberapa pokok pandangan teoritikus post-
modern Jomeson dan Baudrillard.
Beberapa pokok pikiran teori post-modern versi Fredric Jomeson (1984), antara
lain: Pertama, pandangan Jomeson oleh para teoritisi sosial dikelompokkan pada
paham teori post-modern yang bersifat ‘moderat’, artinya ‘tidak ada pemisahan waktu
secara radikal (mutlak) antara modernitas dengan post-modernitas, keduanya
mempunyai hubungan atau kesinambungan dalam proses-proses kehidupan’. Oleh
karena itu Jomeson, menolak pandangan kalangan teoritikus post-modern ‘radikal’
(misalnya Lyotard dan Baudrillard), bahwa ‘teori Marxian adalah narasi besar , par-
excellence, sehingga dianggap tidak relevan lagi dengan kehidupan post-modernitas’.
Bagi Jomeson, teori Marxian merupakan teori yang mampu menawarkan penjelasan
terbaik tentang post-modernitas. Jomeson termasuk teoritikus Marxian, oleh karena itu

91
dia menilai tentang kapitalisme, bahwa ‘kapitalisme menciptakan pembebasan dan
kemajuan yang sangat berharga, tetapi pada waktu bersamaan kapitalisme
meningkatkan penindasan dan alienasi kehidupan sosial’.
Kedua, menurut Jomeson, ada tiga tahap dalam sejarah kapitalisme, yaitu: tahap
pertama adalah kapitalisme pasar (munculnya pasar nasional); tahap kedua, adalah
imprialis (munculnya jaringan kapitalis global); dan tahap ketiga adalah kapitalisme
akhir (munculnya ekspansi kapital luar biasa). Analisis Jomeson tentang teori post-
modern adalah berbasis pada analisis kultur ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh
model basis konsep infrastruktur dan suprastruktur karya Karl Marx. Jadi, Jomeson
menghubungkan antara kultur realitas dengan kapitalisme pasar, kultur modernis
dengan kapitalisme monopoli (imprialis), dan kultur post-modern dengan kapitalisme
multinasional (kapitalisme akhir atau kapitalisme modern).
Ketiga, bagi Jomeson, masyarakat post-modern mempunyai beberapa ciri,
antara lain: (1) produk kultural masyarakat post-modern banyak ditandai oleh serba
dangkal dan sulit dipelajari makna kedalamannya, karena sulit dibedakan yang asli dan
palsu; (2) kehidupan masyarakat post-modern banyak ditandai oleh sikap kepura-
puraan dan kelesuan emosi. Kehidupan post-modern, alienasi telah digantikan oleh
fragmentasi, sehingga kehidupannya ‘mengambang bebas dan impersonal’; (2)
kehidupan post-modern ditandai oleh hilangnya makna kesejarahan. Hilangnya
kesejarahan ini menyebabkan ‘kanibalisasi acak semua masa lalu’. Pemikiran post-
modern bersifat pastiche, yaitu pemikiran yang kadang-kadang kontradiktif dan
membingungkan tentang makna masa lalu. Padahal realitas kehidupan membuktikan
bahwa ‘kehidupan sosial budaya masa lalu mempunyai keterkaitan erat dengan masa
kini dan masa akan datang’; (3) terdapat sejenis teknologi baru yang berkaitan erat
dengan masyarakat post-modern, yaitu teknologi reproduksi dominan, misalnya
dominannya media elektronika dan komputer yang canggih dalam segala aspek
(Ritzer, G. 2003).
Jadi, Jameson menilai, bahwa kehidupan manusia di era post-modern adalah
terkatung-katung dan tidak mampu memahami sistem kapitalis multinasional atau
pertumbuhan kultur yang meledak-ledak di tempat mereka hidup’. Oleh karena itu bagi
Jameson masalah sentral dalam kehidupan post-modern adalah ‘kehilangan
kemampuan manusia untuk menempatkan dirinya sendiri dalam ruang (space) dimana
dia hidup dan untuk meletakkannya secara kognitif’ (Ritzer, G and Goodman, D.J.
2003).
Beberapa pokok pikiran teori post-modern versi Jean Boudrillard antara lain:
Pertama, pandangan Boudrillard oleh para teoritisi sosial dikelompokkan pada paham
teori post-modern yang bersifat ‘radikal’, artinya ‘terdapat pemisahan waktu secara

92
radikal (mutlak) antara modernitas dengan post-modernitas’. Boudrillard menolak
seluruh gagasan yang membatasi disiplin ilmu, dan dia memusatkan perhatiannya
pada upaya menganalisis masyarakat masa kini yang menurutnya tidak lagi didominasi
oleh produksi, tetapi lebih didominasi oleh ‘media, model sibernetika dan sistem
pengendalian komputer, pemrosesan oleh teknologi informasi, industri hiburan dan
kemajuan ilmu pengetahuan (science)’. Menurut Boudrillard kehidupan masyarakat
modern mengalami proses diferensiasi, maka kehidupan post-modern dapat
dipandang mengalami proses de-diferensiasi (Ritzer, G. 2003).
Kedua, menurut Boudrillard kehidupan post-modern ditandai oleh simulasi atau
‘manusia hidup di abad simulasi’. Proses simulasi mengarah kepada penciptaan
reproduksi objek atau peristiwa, sehingga semakin sulit membedakan yang asli dan
yang palsu (dunia imitasi yang luar biasa di berbagai aspek). Jadi, simulasilah yang
menggambarkan sesuatu yang nyata, yang menjadi utama dan yang berkuasa.
Kehidupan manusia menjadi budak simulasi, yang membentuk sistem lingkaran yang
tidak berujung pangkal.
Ketiga, kehidupan sosial-budaya post-modern oleh Boudrillard dilukiskan sebagai
hiperrealitas, artinya informasi tentang segala aspek kehidupan didominasi oleh
teknologi informasi media (TV, Internet, Tabloid, Surat Kabar), sehingga informasi
media sering dianggap sebagai realitas sosial-budaya, bahkan isi informasi media
melebihi dari realitas itu sendiri. Sering masyarakat tidak menyadari telah disuguhkan
kebohongan dan distorsi realitas yang diusung oleh media (fenomena inilah disebut
hiperrealitas). Akibatnya adalah ‘bahwa apa yang nyata (realitas sosial-budaya)
disubordinasikan), dan terasa semakin sulit membedakan mana informasi realitas
sosial-budaya yang nyata dengan realitas yang sekedar tototan (info-komersial).
Keempat, bagi Boudrillard, era post-modern telah menyuguhkan perubahan
kultur (budaya) yang bersifat revolusi besar-besaran dan dapat dianggap sebagai
bencana besar. Revolusi kultural (revolusi budaya) itu menurut Boudrillard
menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin aktif (memberontak)
seperti pandangan Karl Marx. Massa yang pasif, ketidakacuhan, apatis merupakan
gambaran yang tepat untuk melukiskan adanya kejenuhan massa terhadap apa yang
dilakukan media, simulasi, dan hiperrealitas. Kondisi kehidupan seperti ini melukiskan
massa sebagai sebuah ‘lubang hitam’. Menurut Kellner, visi teori post-modern
Boudrillard adalah ‘ledakan makna dalam media terhadap realitas; ledakan kehidupan
sosial ke dalam massa; ledakan massa ke dalam lubang hitam nihilisme; dan
ketidakbermaknaan kehidupan’.
Uraian singkat pandangan teori post-modern Boudrillard tersebut terasa cukup
untuk memposisikan Boudrillard sebagai teoritikus post-modern radikal. Dia menolak

93
seluruh gagasan yang membatasi disiplin ilmu. Dia menilai kehidupan post-modern
atau masyarakat masa kini sebagai kultur yang mati, disamping itu kehidupan
masyarakat masa kini sudah mulai kelihatan terlalu primitif. Kehidupan masyarakat
masa kini (seperti Amerika Serikat) oleh Boudrillard dianggap tidak mungkin terjadi
reformasi sosial, yang terlihat adalah malapetaka kehidupan simulasi, hiperrealitas,
dan ledakan segala sesuatu ke dalam ‘lubang hitam’ yang tidak dapat dimengerti
(Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003; Ritzer, G. 2003).
Beberapa kritik terhadap teori post-modern
Beberapa kritik yang dikemukakan para ahli tentang pandangan teori post-
modern, antara lain: Pertama, diantara penyebab terjadinya pandangan negatif
terhadap post-modernisme, antara lain: (a) kecenderungan adanya pandangan umum
yang menyamakan asumsi-asumsi post-modernisme itu dengan asumsi-asumsi
kelompok post-strukturalis yang pada umumnya adalah kaum neo-Nietzschean, atau
post-modernisme diidentikkan dengan kaum dekonstruksionis, yaitu kerjanya ‘hanya
mengbongkar-bongkar segala tatanan sosial-budaya yang ada dan menihilkan segala
sesuatu yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat; (b) post-modernisme sering
dinilai atau dipandang memiliki makna yang ‘ambigu’ (pengertian yang sangat longgar
dan memungkinkan adanya multitafsir). Ambiguitas dan kelonggaran makna terhadap
post-modernisme, adalah relevan atau sesuai dengan sulitnya mendefinisikan istilah
‘modern atau kemodernan’ itu sendiri. Makna istilah ‘modern’ atau ‘kemodernan’ juga
memungkinkan adanya multitafsir di kalangan ilmuwan sosial, artinya makna atau arti
‘modern’ akan memberikan pengertian dan penafsiran yang berbeda dari sudut politik,
ekonomi, ideologi, bahasa, nilai-norma budaya, hukum, agama, pendidikan, teknologi,
dan sebagainya (Sugiharto, B., 1996). Contoh tentang terjadinya multitafsir tentang
makna ‘negara modern’, yaitu suatu negara tertentu (X) bisa dikatakan sebagai
‘negara/ masyarakat modern’ ditinjau dari segi teknologi, tetapi bisa juga negara (X)
tersebut belum bisa disebut sebagai negara modern apabila ditinjau dari segi norma
budaya dan agama.
Kedua, teori post-modern dikritik karena kegagalannya untuk berbuat sesuai
dengan standar ilmiah modern (standar saintis yang dihindari oleh post-modern). Ide-
ide post-modern tidak dapat dibuktikan, khususnya dengan riset-riset empirik, ilmiah
(saintis), dan paradigma objektivis. Semua standar saintis modern ditolak oleh post-
modern. Ide-ide teori post-modern tidak menawarkan narasi besar, tetapi potongan-
potongan gagasan yang sering kelihatan kontadiksi satu sama lain; Ketiga, karena
pengetahuan yang dihasilkan oleh post-modern tidak dapat dilihat sebagai suatu tubuh
ide-ide saintis, kebenaran empirik (objektivis), melainkan subjektivis, maka ide-ide
kebenaran post-modern lebih bersifat ideologis, sehingga dibicarakan itu bukan ide-ide

94
itu benar atau tidak, melainkan apakah manusia percaya atau tidak terhadap ide
tersebut. Keempat, karena kerangka berpikir post-modern tidak didasarkan pada
norma dan logika saintis (logika deduktif), maka post-modern bebas untuk melakukan
apa yang mereka suka, ada yang menyebut post-modern ‘bermain-main’ dengan
berbagai macam ide. Oleh karena itu generalisasi umum (luas) yang ditawarkan post-
modern sering tidak berkualitas menurut standar positivisme. Oleh karena itu asumsi-
asumsi post-modern tentang fenomena sosial-budaya sulit diterima oleh kalangan
saintis sosial; Kelima, ide-ide post-modern tentang fenomena hidup sering kali sangat
kabur dan abstrak, sehingga sulit ditangkap atau dipahami secara logis sistematis dan
objektif, karena konsep-konsep dasar ide post-modern sering berubah-ubah.
Keenam, dalam analisisnya, teoritisi sosial post-modern sering kali melancarkan
kritik terhadap masyarakat modern, namun kritik-kritik itu dapat dipertanyakan
validitasnya, karena pada umumnya kritik mereka kekurangan basis normatif (landasan
ilmiah) untuk membuat penilaian; Ketujuh, karena pandangan teori post-modern
menolak pendekatan subjek dan subjektivitas, maka teori post-modern sering kali
kekurangan suatu teori tentang agen (subjek). Disamping itu teoritisi sosial post-
modern paling-paling bisa mengkritik masyarakat, tetapi kekurangan visi tentang
bagaimana masyarakat itu seharusnya, karena teori post-modern cenderung bersifat
sangat pesimis dalam menyikapi atau menilai proses kehidupan; dan Kedelapan,
sering teoritisi sosial post-modern menilai dirinya telah terlibat pada kajian isu-isu
sosial utama, tetapi dalam kenyataannya mereka sering mengabaikan hal-hal yang
dianggap sebagai problem penting di masa sekarang (Ritzer, G and Goodman, D.J.
2003).
Meskipun banyak sisi negatif atau titik kelemahan dari teori post-modern
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kehadiran teori post-modern memberikan
sisi-sisi positif khususnya bagi perkembangan wacana teori sosiologi modern, antara
lain: (1) kehadiran teori post-modern mendorong tumbuhkan budaya kritik konstruktif
bahkan kritik dekonstruktif terhadap pandangan teori-teori sosiologi konvensional
dalam memahami fenomena sosial yang bersifat statis dan terstruktur. Hal ini tentu
dapat mendorong terjadinya dinamika pemikiran kritis dalam memahami fenomena
sosial-budaya yang sangat kompleks; (2) teori post-modern yang menolak adanya
‘narasi besar atau narasi makro’, dan menawarkan ‘narasi lokal atau narasi mikro’,
secara tidak langsung telah menambah beragam khasanah perspektif bagi para
teoritikus sosial dalam memahami fenomena sosial budaya yang sangat dinamik; dan
(3) teori post-modern yang menolak adanya ‘kebakuan orientasi atau pandangan,
kepatuhan dalam orientasi dan interpretasi terhadap teori-teori konvensional yang telah
ada’, akan mendorong munculnya keterbukaan beragam interpretasi baru (diferensiasi

95
pandangan), sehingga kehidupan mampu menyajikan diferensiasi multi aspek (Ritzer,
G. 2003).
H. Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Integrasi
Pembahasan tentang perspektif teori integrasi dalam memahami fenomena
sosial budaya berikut ini, hanya menyinggung tentang tiga hal, antara lain: Pertama,
embrio atau cikal bakal munculnya teori integrasi; Kedua, beberapa pandangan teori
integrasi ’mikro-makro’ Ritzers; dan Ketiga, beberapa asumsi teori integrasi ’strukturasi’
Giddens .
Embrio munculnya teori integrasi
Ditinjau dari segi ‘analisis sosial-budaya’, para ahli ilmu sosial membedakan
menjadi dua macam pendekatan kajian atau analisis terhadap fenomena sosial
budaya, yaitu: Pertama, analisis teori mikro dan; Kedua, analisis teori makro. Analisis
teori mikro, memandang individu (subjek) sebagai sentra dan penentu atau penggerak
proses-proses sosial budaya di masyarakat. Sedangkan analisis teori makro,
memandang struktur sosial atau faktor eksternal, atau masyarakat (objek) menentukan
berbagai proses sosial dan budaya individu di masyarakat (Sanderson, 1991; Salim, A.
2002). Diantara teori-teori ekstrem makro yang paling terkemuka di abad 20 adalah: (a)
teori determinisme kultural (teori fungsional-struktural) oleh Talcott Parsons (1966),
tetapi Parsons juga sedikit menyinggung adanya integrasi mikro-makro, hanya konsep
mikro dalam teorinya Parsons kurang memberikan peran individu secara merdeka atau
bebas berkreativitas; (b) teori konflik versi Karl Marx dengan pendekatan ‘ekonomi
sentris’ dan versi Dahrendorf (1959), yang memusatkan perhatiannya pada ‘asosiasi
yang dikoordinasi secara imperatif’; (c) teori makrostrukturalisme oleh Peter Blau
(1977), yang mengaku ‘aku adalah seorang determinis struktural’; dan (d) teori
jaringan sosial oleh White, Boorman (1976), yang menganggap ‘unit analisis dalam
sosiologi struktural, lebih menekankan pada jaringan sosial, dan kurang menyinggung
pada peran individu’.
Sedangkan teori-teori ekstrem mikro yang paling terkemuka di abad 20 ini
adalah: (1) teori interaksionisme simbolik oleh H. Mead dan H. Blumer. Diantara inti
pemahaman teori ini adalah ‘kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses
interaksi sosial dan komunikasi antar individu, antar kelompok dengan menggunakan
simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar atau interaksi sosial’;
(2) teori fenomenologi oleh Alfred Schutz, yang lebih memfokuskan pada empat
unsur pokok yaitu: (a) perhatiannya terhadap peran aktor; (b) ‘kenyataan’ adalah
penting atau pokok, dan sikap yang alamiah (natural attitude); (c) mempelajari proses
pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka;
(d) memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan tindakan; (3) teori etnometodologi

96
oleh Garfinkel (1967), yang mamusatkan perhatian pada organisasi, kehidupan
sehari-hari dan berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas; dan (4) teori
pertukaran sosial oleh George Homans, dan teori behavioral sosiologi oleh Skinners,
juga termasuk perspektif mikro (paradigma perilaku sosial) (Ritzer, 2002). Dari uraian
tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa:
a. Di kalangan teoritisi sosial, telah terjadi perbedaan sudut pandang dalam
memahami fenomena sosial dan cara malakukan analisis sosial-budaya. Silang
pendapat tersebut berlangsung cukup lama, dari abad 19 sampai abad 20, bahkan
mungkin sampai sekarang.
b. Masing-masing perspektif, baik dari teori mikro maupun teori makro mempunyai
keterbatasan analisis argumentatif dan ketidakmampuan dalam mengkaji secara
utuh fenomena sosial-budaya yang begitu kompleks dan dinamik. Masing-masing
terbatas pada lingkup paradigmanya.
c. Realitas tersebut mendorong munculnya pendapat, bahwa kajian sosial-budaya ke
depan perlu menggunakan perspektif ganda atau integrasi antara mikro-makro,
dengan tujuan utama adalah diperoleh pemahaman yang lebih utuh (tidak parsial)
tentang suatu fenomena sosial-budaya (Creswell, J.W. 1994; Giddens, A. 1995).
Pendekatan terpadu atau integrasi dalam memahami realitas fenomena sosial-
budaya, secara implisit, sebenarnya telah ditunjukkan oleh empat teoritikus sosial
terkemuka sebelumnya. Pandangan keempat teoritikus berikut ini dapat dikatakan
sebagai ‘embrio’ bagi pembentukan paradigma terpadu atau teori sosial integratif.
Sedangkan pokok pikiran para teoritukus tersebut antara lain:
1. Emille Durkheim, yaitu asumsi tentang pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas
barang sesuatu yang bersifat material (norma hukum dan arsitektur) dan non
material (kesadaran kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel dengan
kategori realitas sosial atas tingkatan makro-objektif dan makro-subjektif.
Sayangnya Durkheim tidak menjelaskan tentang kaitan secara jelas antara unit-unit
realitas sosial makroskopik dengan mikroskopik. Jadi, konsep Durkheim tentang
pendekatan terpadu dalam memahami fenomena sosial belum lengkap, dan
penekanannya masih terarah kepada fenomena makroskopik (lebih menekankan
pendekatan struktural). Apabila individu mempunyai kebebasan dalam bertindak,
maka kebebasan itu datang dari paksaan struktur makro (faktor eksternal)
(Durkheim, E. 1974; Baal,V.J., 1987).
2. Karl Marx. Pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi
analisis Marx terhadap fenomena sosial tetap memberikan tekanan yang lebih besar
kepada struktur makro. Marx mulai dengan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif
dan voluntaristis. Marx, yakin individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif,

97
kreatif yang berperan dalam mengembangkan masyarakat dalam proses historis.
Hal ini berarti proses-proses mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat
(makro objektif), yang berarti Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika
antara realitas sosial tingkat mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model
integrasi mikro-makro Karl Marx masih memberatkan pada struktur makro
(determinisme struktural), khususnya mempersoalkan ‘kapitalisme’, yaitu analisis
Marx bersifat ‘ekonomi sentris’, dan konsep ‘reification’ (mematerialkan barang
sesuatu). Bagi Marx ‘materi/ ekonomi’ adalah dasar dari segala sesuatu
(infrastruktur) (Bottomre and Rubel, 1956; Mutahhari, M. 1986; Surbakti, R., 1997a).
3. Max Weber. Menurut Mizman, Weber juga menggunakan konsep ‘reification’, hanya
Weber tidak mempersoalkan kapitalisme seperti Marx. Weber melihat dunia
semakin rasional dan semakin birokratis. Perhatian Weber terhadap faktor makro-
objektif ditunjukkan pada ‘struktur birokrasi’. Sedangkan faktor mikro-subjektif
adalah perhatiannya pada ‘rasionalisasi nilai-norma’. Weber, punya perhatian pada
realitas sosial tingkat makro (contoh, konsep ‘kharisma’ yang melembaga; konsep
‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber juga punya perhatian besar pada tingkat
mikro (contoh, pandangan individu, bahwa ‘manusia memiliki pikiran rasional dan
pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial dalam kehidupan sosial).
Jadi, pandangan Weber banyak membantu untuk kepentingan analisis terpadu
mikro-makro (Wrong, D. (ed). 1970).
4. Talcott Parsons. Meskipun Parsons lebih memusatkan perhatian pada fakta sosial,
dia juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep
tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan
Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai
tingkat realitas sosial yang lebih mikro. Sistem tindakan kultural Parsons adalah,
paralel dengan konsep makro subjektif dan makro objektif. Sebagian konsep
kepribadian Parsons juga paralel dengan tingkat mikro subjektif. Meskipun Parsons
juga menyinggung suatu pemikiran teoritis yang terpadu (integrasi), namun titik
berat argumentasinya masih terletak pada ‘sisi struktur makro’, yakni pada
pengaruh sistem sosial dan sistem kultural terhadap kepribadian. Individu ter-
determinasi oleh faktor eksternal sebagai akibat internalisasi sistem nilai
masyarakat. Kemampuan individu (sistem kepribadian atau sistem mikro) untuk
mengubah masyarakat (sistem makro) adalah kecil sekali atau hampir tidak ada
(Soekanto, S dan Ratih, L. 1988; Ritzer, 2002).
Ada beberapa pandangan para ahli, yang mendorong perlunya melakukan
analisis sosial-budaya dengan menggunakan pendekatan integrasi antara ‘perspektif
mikro-makro’ antara lain :

98
a. Helmut Wanger dalam karyanya ‘Displacement of Scope: A Problem of the
Relationship betweem Small Scale and Large Scale Siciological Theory’ (1964),
yang membahas pentingnya hubungan antara teori sosiologi berskala mikro (kecil)
dan teori berskala besar (makro).
b. Walter Waller dalam karyanya ‘Overview of Contemporary Sociological Theori’,
dalam Sociological Theory (1969), membahas tentang ‘Kontinun (rangkaian
kesatuan) antara teori mikro-makro’.
c. Jim Kemeny dalam karyanya ‘Perspective on the mikro macro distinction’, dalam
Sociological Review, 24: 731-752 (1976), berpendapat ‘perlu adanya perhatian
lebih besar terhadap perbedaan mikro-makro maupun terhadap cara dimana teori
mikro-makro saling berhubungan satu sama lain’.
d. Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya ‘Macro Sosiological Theor: Perspectives
on Sociological Theory (1985a) menyimpulkan bahwa, ‘Konfrontasi antara teori
makro dan mikro mestinya sudah berlalu’. Begitu juga Smelser dalam Ontology
The Micro Macro Link (1987) berkesimpulan tentang ‘perlunya hubungan timbal
balik antara teori mikro makro’ (Alexander, 1987).
Beberapa pandangan tokoh (para teoritikus) tersebut di atas dapat dikatakan
sebagai ‘embrio’ tentang pandangan pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro
(misalnya teori interaksionis simbolis, fenomenologi, dan sebagainya) dengan teori-
teori makro (misalnya teori fungsional struktural, teori konflik dan sebagainya) dalam
melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Menurut Ritzer dan Goodman (2003),
ada dua pola (model) utama karya tentang integrasi mikro makro dalam studi sosiologi
yaitu: (1) beberapa teoritikus yang memusatkan perhatian pada ‘integrasi tingkat
analisis sosial mikro dan makro’; dan (2) beberapa teoritikus yang memusatkan
perhatian untuk membangun sebuah ‘teori baru’ yang membahas hubungan antara
tingkat mikro dan makro dalam analisis sosial. Berikut ini akan dijelaskan pokok-pokok
pikiran teori integrasi versi George Ritzer dan versi A. Giddens.
Teori integrasi mikro-makro George Ritzer dalam memahami fenomena sosial
Gerakan perlunya analisis sosial dengan pola ‘integrasi mikro makro’ begitu
sangat popular di tahun 1980-1990-an (sebagai analisis sosial terkini dalam studi
sosiologi). Menurut Ritzer, pada dasarnya pokok perhatian ‘integrasi mikro-makro’
adalah sejajar (sinonim) dengan pokok perhatian ‘integrasi agen-struktur’. Pada
umumnya teoritisi sosiologi Amerika lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi mikro-
makro’, sedangkan teoritisi sosiologi Eropa lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi
agen-struktur’ (Ritzer dan Godman, 2003).
Ada yang memandang, masalah ‘mikro-makro’ dan ‘agen- struktur’ adalah, mirip
bahkan sama atau serupa, tetapi ada juga yang memandang antara keduanya (mikro-

99
makro dan agen- struktur) mampunyai perbedaan signifikan. Berikut kita bisa pahami
tentang konsep ‘agen-struktur’ dan konsep ‘mikro-makro’, menurut para ahli, antara
lain:
a. Konsep agen (agency), pada umumnya menunjuk pada tingkat mikro (aktor
manusia individual, jadi agen diartikan sama dengan mikro). Agen menurut Burns,
bisa juga bermakna ‘kolektifitas (makro) yang bertindak’ (misalnya: agen individu
atau kelompok terorganisir; agen organisasi; agen bangsa). Sedangkan Touraine,
memandang, kelas sosial sebagai aktor. Apabila mengikuti pandangan Burns dan
Touraine, maka kita ‘tidak bisa menyamakan agen dengan fenomena tingkat
mikro’.
b. Konsep struktur, umumnya bermakna mengacu pada struktur sosial berskala besar
(tingkat makro), tetapi konsep ini juga dapat mengacu pada struktur mikro. Jadi
baik agen maupun struktur, dapat mengacu pada fenomena tingkat mikro atau
makro, atau kepada kedua-duanya.
c. Konsep mikro, sering mengacu pada kesadaran atau aktor kreatif (menurut teori
agen), tetapi pengertian mikro juga dapat mengacu pada ‘behaver’ (dalam teori
Behavior-Skinners).
d. Konsep makro, sering mengacu pada struktur sosial berskala luas, tetapi makro
juga dapat mengacu pada kultur dari kolektivitas tertentu. Jadi, mikro mungkin
bisa, atau mungkin juga tidak, mengacu pada ‘agen’. Dan makro bisa, atau
mungkin juga tidak, mengacu pada ‘struktur’.
Bagaimana melakukan analisis fenomena sosial dengan menggunakan
pendekatan atau teori integrasi mikro-makro?. Paling tidak ada empat macam model
teori integrasi mikro-makro yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: (1) model
integrasi paradigma sosiologi oleh George Ritzer; (2) model sosiologi multidimensional
oleh Jeffery Alexander; (3) model mikro ke makro oleh Coleman and Liska; dan (4)
model sosiologi figurasional oleh Norbert Elias. Pada pembahasan berikut ini, model
yang dipilih untuk dijelaskan adalah model pertama, yaitu model ‘integrasi paradigma
sosiologi’ atau integrasi mikro-makro G. Ritzer.
Beberapa pokok pikiran model analisis sosial-budaya integrasi mikro-makro
oleh G. Ritzer dalam karyanya yang berjudul ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science
(1975) antara lain:
Pertama, lahirnya karya Ritzer tentang ‘Integrasi paradigma sosiologi’,
sebagian dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: (1) adanya kebutuhan untuk
membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana, dan lebih lengkap serta
integratif dalam memahami berbagai aspek kehidupan sosial-budaya; (2) paradigma
yang ada (paradigma fakta sosial; definisi sosial dan perilaku sosial) cenderung berat

100
sebelah atau hanya memusatkan pada tingkat khusus atau dimensi tertentu dalam
melakukan analisis sosial-budaya; (3) mengusulkan pandangan, bahwa pada
dasarnya tidak ada posisi hegemoni dalam paradigma sosiologi. Paradigma integrasi
adalah untuk melengkapi paradigma yang ada dan bukan dimaksudkan untuk
menciptakan posisi hegemoni yang baru; (4) dalam realitas sosial, kehidupan sosial
sesungguhnya tidak terbagi dalam tingkatan, yang terpisah dari dua hal yang
berbeda. Realitas sosial paling tepat harus dilihat sebagai fenomena sosial yang
beragam yang membentuk suatu kehidupan sosial yang saling terkait (aspek makro
dan aspek mikro).
Kedua, menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial makro dan mikro adalah juga
fenomena objektif atau subjektif. Dengan demikian konsekuensinya (seharusnya)
adalah terdapat empat tingkat utama dalam setiap melakukan analisis fenomena
sosial-budaya. Dan setiap sosiolog harus memusatkan perhatiannya pada hubungan
dialektik (timbal balik) dari keempat tingkat tersebut secara integratif dalam setiap
melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Namun setiap peneliti tetap harus
memperhatikan fokus atau permasalahan yang akan dikajinya. Apabila peneliti hanya
ingin melihat dimensi objektif (aspek struktural/ aspek makro), dan hanya ingin
melihat dimensi subjektif (aspek agen/ aspek mikro), tentu peneliti tersebut tidak perlu
menggunakan empat tingkat utama dalam analisis sosial-budaya secara integratif.
Hubungan dialektik antar empat tingkatan analisis fenomena sosial yang
ditawarkan Ritzer tersebut dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:

MAKROSKOPIK

101
I II
MAKRO-OBJEKTIF MAKRO-SUBJEKTIF
Contoh: Masyarakat, Contoh: Nilai, Norma,
Hukum, Birokrasi, Kebiasaan, adat
Teknologi & Bahasa (Skala Luas). Realitas
(Skala Luas) non material

OBJEKTIF SUBJEKTIF

III IV
MIKRO-OBJEKTIF MIKRO-SUBJEKTIF
Contoh: Pola perilaku, Contoh: persepsi,
tindakan dan interaksi keyakinan, pandangan/
(Skala kecil konstruksi sosial
kesatuan objektif) (Skala kecil/ mental)

MIKROSKOPIK

Gambar : 2.2 Tentang Hubungan dialektik Integrasi mikro-makro Ritzer (diadopsi dari
Ritzer, 2002)

Keterangan:
1) Tingkat makro objektif, meliputi realitas material berskala luas (besar), misalnya:
masyarakat, birokrasi, dan teknologi.
2) Tingkat makro subjektif, meliputi fenomena non material berskala luas, misalnya:
nilai, norma, adat (budaya ide atau sistem budaya).
3) Tingkat mikro objektif, meliputi fenomena kesatuan objektif berskala kecil, misalnya:
pola tindakan individu, pola interaksi sosial.
4) Tingkat mikro subjektif, meliputi proses mental berskala kecil, yaitu upaya individu
untuk membangun (merekonstruksi) realitas sosial-budaya sehari-hari, misalnya,
berpendapat atau bersikap atau berpandangan.

Masing-masing keempat tingkat analisis tersebut mempunyai arti penting sendiri-


sendiri, tetapi yang paling penting setiap peneliti sosial apabila melakukan analisis
fenomena sosial-budaya ‘harus’ membahas, mengkaji dan menjelaskan ‘hubungan
dialektika’ antara keempatnya secara integratif dalam perspektif ruang dan waktu
(rentang historis). Contoh, Mengkaji tentang ‘Perubahan sosial masyarakat Porong
Kabupaten Sidoarjo, suatu kajian proses dan dampak lumpur Lapindo’. Dalam hal ini
apabila peneliti mengunakan teori integrasi mikro-makro versi George Ritzer, maka
peneliti harus menjelaskan secara integral hubungan dialektik antara empat aspek
tersebut di atas (lihat gambar 2.2)
Ketiga, menurut Ritzer, ada ‘dua kontinum realitas sosial’ yang berguna dalam
membangun tingkatan utama kehidupan sosial yaitu: (1) kontinum mikroskopik-
makroskopik; dan (2) kontinum objektif-subjektif. Kontinum mikroskopik-makroskopik.

102
Dalam kehidupan sosial-budaya selalu tersusun serentetan kesatuan, mulai dari yang
berskala besar sampai yang terkecil atau sebaliknya. Di ujung makro dari kontinum
adalah, ‘fenomena sosial-budaya berskala besar atau luas, seperti: kelompok luas
(contoh, sistem kehidupan kapitalis dan sosialis dunia), kebudayaan (cultural
universals) dan masyarakat dunia’. Di ujung mikro dari kontinum adalah, ‘aktor
individu, pikiran individu dan tindakan individu’. Sedangkan diantara ujung mikro ke
makro, terdapat: bentuk ‘interaksi’ antar individu, kemudian kearah lebih besar yaitu
‘kelompok’, kemudian lebih besar lagi ke ‘organisasi’, kemudian ke ‘masyarakat atau
budaya’, kemudian terbesar adalah ‘sistem dunia’. Perhatikan bagan berikut

Mikroskopk Makroskopik

Kelom Siste
Inter- -pok Orga- Masy. m
aksi nisasi & Dunia
Budya

Gambar 2.3. Tentang garis kontinum mikro-makro, diadopsi dari Ritzer dan Goodman
( 2003)
Disetiap ujung kontinum mikro-makro kita dapat membedakan antara komponen
objektif-subjektif. Istilah subjektif disini mengacu pada sesuatu yang semata-mata
terjadi hanya di dalam dunia gagasan (idea) individu. Sedangkan objektif berhubungan
dengan ‘peristiwa nyata, kejadian material’ dengan lingkup yang luas. Sebuah
masyarakat tersusun dari struktur objektif (seperti pemerintahan, birokrasi, teknologi
dan hukum) dan fenomena subjektif (seperti nilai, norma, gagasan, pandangan,
persepsi individu).
Ujung kontinum objektif (fenomena sosial-budaya objektif), yang mempunyai
wujud nyata, wujud materi, misalnya: aktor; tindakan sosial; interaksi sosial; struktur
birokrasi; UU atau hukum; aparatur negara, dan sebagainya. Sedangkan ujung
kontinum Subjektif, misalnya: Ide, pandangan, persepsi, nilai yang diyakini, dan
konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial budaya, norma, motivasi. Kemudian
antara ujung objektif dan subjektif adalah ‘tipe campuran’ (ada unsur objektif dan ada
unsur subjektif). Perhatikan bagan kontinum objektif-subjektif sebagai berikut:

Objektif Subjektif

Tipe
Aktor; Campuran, Pandangan,
Tindakan; Kombinasi Nilai, Norma,
Interaksi; dalam Konstruksi
Undang- berbagai pikiran ttg
undang; tingkat unsur realitas sosial
truktur 103
objektif- budaya
Birokrasi subjektif
Gambar 2.4. Tentang garis kontinum Objektif-Subjektif, diadopsi dari Ritzer dan
Goodman (2003).
Jadi, setiap peneliti sosial dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya,
seharusnya membahas hubungan antara dua kontinum tersebut (kontinum
makroskopik-mikroskopik dan kontinum objektif-subjektif), dan yang terpenting adalah
‘representasi skematis hubungan kedua kontinum tersebut dengan empat tingkat
utama analisis sosial secara dialektif-integratif”.
Kemudian, bagaimana hubungan antara keempat tingkat utama analisis sosial-
budaya dengan ketiga paradigma, yaitu Paradigma: Fakta sosial, Definisi Sosial, dan
Perilaku sosial?. Sebelum menjawab permasalahan ini, hal yang penting perlu
diperhatikan adalah, peneliti harus mampu menjelaskan hubungan kesatuan
(hubungan integratif atau dialektik) dari model empat tingkat utama, yaitu: (1) makro-
objektif, seperti birokrasi; (2) realitas makro-subjektif, seperti nilai; (3) fenomena mikro-
objektif, seperti pola interaksi; dan (4) fakta mikro-subjektif, seperti proses konstruksi
pikiran individu tentang realitas sosial-budaya (pandangan individu). Di bawah ini
gambaran hubungan antara keempat ‘tingkatan utama analisis sosial-budaya dengan
keempat paradigma (termasuk paradigma terpadu) menurut G. Ritzer.
Tabel : 2.3 tentang hubungan antara tingkat realitas sosial dengan empat paradigma:

No. Empat Tingkat Paradigma Sosial


Realitas Sosial
Fakta Sosial
1. a. Makro Subjektif (Teori Fungsional struktural;
Teori Konflik; Teori Sistem;
b. Makro Objektif Teori Sosiologi Makro) Paradigma
Terpadu
Definisi Sosial (Lihat gambar 2.2)
2. c. Mikro Subjektif (Teori Aksi Weber; Teori
interaksionis simbolik; Teori
d. Mikro Objektif Fenomenologi)
Perilaku Sosial
(Teori Behavioral sosiologi;
Teori Exchange)
(diadopsi dari Ritzer, 2002)

104
Keempat, teori ‘Integrasi paradigma terpadu’ oleh Ritzer dapat dianggap sebagai
Exemplar. Menurut Ritzer, ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami,
berkaitan dengan penggunaan ‘integrasi paradigma terpadu’ dalam melakukan analisis
sosial-budaya, yaitu:
1. Paradigma terpadu ‘bukan’ dimaksudkan sebagai pengganti paradigma sosiologi
yang sudah ada (paradigma fakta sosial; paradigma definisi sosial dan paradigma
perilaku sosial). Paradigma yang ada akan tetap bermakna bagi analisis fenomena
sosial-budaya selama tidak ada anggapan bahwa satu paradigma tertentu itu dapat
menjelaskan semua fenomena sosial-budaya di masyarakat secara komprehensif.
2. Bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar keempat tingkat
realitas sosial-budaya, yaitu: (a) tingkat makro-objektif, contohnya birokrasi, norma
hukum, bahasa; (b) tingkat makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan kultur;
(c) tingkat mikro-objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti:
kerjasama, konflik dan pertukaran; dan (d) tingkat mikro-subjektif, contohnya proses
berpikir, merasakan, dan konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial-budaya.
Jadi, yang penting dalam paradigma terpadu adalah ‘keempat tingkat sosial
tersebut harus diperlakukan secara integratif’, artinya setiap persoalan sosial
budaya yang dikaji harus diselidiki atau dijelaskan dari empat tingkatan sosial
tersebut secara terpadu.
3. Paradigma terpadu disamping menekankan perhatian pada sosiologi modern, yang
diarahkan kepada realitas sosial budaya tingkat makroskopik, juga tidak
mengabaikan realitas sosial budaya tingkat mikroskopik. Perlu dipahami, bahwa
keempat tingkat realitas sosial tersebut adalah pembagian konseptual, bukan
menggambarkan kenyataan sebenarnya. Realitas sosial budaya di masyarakat
selalu tampil dalam keberagaman, kompleks dan sangat dinamik (terus menerus
berubah). Penggambaran dalam analisis sosial budaya ke dalam empat tingkat
tersebut tidak bertentangan dengan kenyataan sebenarnya, oleh karena itu setiap
peneliti sosial-budaya dituntut untuk lebih memahami secara integral fenomena
sosial budaya yang dikajinya. Paradigma terpadu (keempat tingkat) sifatnya saling
melengkapi, hal ini memungkinkan bagi peneliti dalam proses pengumpulan data
penelitian harus menggunakan beragam cara, metode atau teknik, misalnya:
metode wawancara, observasi, kuesioner, dokumentasi, eksperimen, dan
sebagainya.
4. Paradigma terpadu haruslah ‘bersifat historis’. Harus mampu menerangkan
keseluruhan realitas sosial dalam semua masyarakat dan sepanjang sejarah
(keterkaitan antara fenomena sosial-budaya masa lampau, kini dan akan datang).
Paradigma ini harus pula diorientasikan pada studi tentang perubahan sifat realitas

105
sosial-budaya. Namun perlu diingat, bahwa tekanan hubungan keempat tingkat
realitas sosial tersebut antar masyarakat bisa beragam.
5. Paradigma terpadu harus mengambil ‘manfaat dari logika dialektis’. Diantara ciri
logika dialektis adalah: (a) memandang satu sisi manusia sebagai pencipta
sebagian besar struktur sosial-budaya dan disisi lain struktur sosial-budaya itu pada
gilirannya akan membatasi atau memaksa manusia untuk bertindak sesuai dengan
struktur sosial-budaya yang dicipta; (b) mempunyai pandangan yang sangat jelas
tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik (eksternal) dan mikroskopik
(internal), (c) tidak menitikberatkan pada salah satu tingkat realitas sosial tertentu
(semua tingkat realitas sosial dipandang berada dalam hubungan yang bersifat
dialektis/ empat tingkatan realitas sosial seperti pada gambar 2.2); (d) dimulai
dengan asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam alam yang nyata’, segala sesuatu
saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-lamanya; dan (e) berpikir
dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan berbagai tingkat realitas sosial,
juga dapat membiasakan kita kepada hubungan kontradiksi. Contoh: Marx,
memusatkan perhatiannya pada kontradiksi yang ada dalam masyarakat kapitalis;
Weber, melihat adanya kontradiksi antara rasionalisasi melawan kebebasan
individual; G. Simmel, menyelidiki kontradiksi antara kultur subjektif dan kultur
objektif; (Rossides, 1978; Ritzer, 2002; Ritzer dan Goodman, 2003).
Teori integrasi strukturasi Giddens dalam memahami fenomena sosial-budaya
Para sosiolog mengatakan, bahwa pada umumnya teoritisi Eropa dalam
mencermati feomena sosial-budaya lebih perhatian pada hubungan atau integrasi
antara ‘agen dan struktur’. Ada empat contoh utama teori ‘integrasi agen-struktur’
dalam melakukan analisis sosial budaya yaitu: (a) teori strukturasi oleh Anthony
Giddens; (b) teori strukturalisme-genesis oleh Pierre Bourdieu; (c) teori
morphogenesis, kultur dan agen oleh Margareth Archer; dan (d) teori kolonisasi
kehidupan dunia oleh Habermas (Turner, B., 2000).
Menurut Bryan Tunner, Jary, Cohen dan Craib, salah satu upaya yang ‘paling
terkenal’ teori yang mengintegrasikan agen-struktur adalah ‘Teori Strukturasi’ oleh A.
Giddens, oleh karena itu dalam penjelasan ‘teori integrasi agen-struktur’ berikut ini
hanya menjelaskan beberapa prinsip teori agen struktur oleh A. Giddens. Giddens
dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration
(1984), mengatakan ‘setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah selalu
menyangkut penghubungan tindakan atau agen dengan struktur, tetapi dalam hal ini
bukan berarti bahwa struktur ‘menentukan’ agen atau sebaliknya’. Giddens juga
mengatakan ‘Bidang mendasar studi ilmu sosial budaya, menurut teori strukturasi,
bukanlah pengalaman aktor individual atau bentuk-bentuk kesatuan sosial tertentu,

106
melainkan praktik (interaksi) sosial yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu
dan ruang (time and space)’ (Giddens, 1984).
Teori Strukturasi, sebagian mendapat pengaruh dari: (1) teori Marx, khususnya
menyangkut konsep peran manusia (agen) dalam menentukan gerak sejarah; (2)
pengaruh teori interaksionis simbolik (individu kreatif, dinamik); dan (3) teori fungsional
struktural (orientasi masyarakat atau struktur). Menurut Berstein, tujuan fundamental
dari teori strukturasi adalah, untuk ‘menjelaskan hubungan dialektika dan saling
pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur’ (Faisal, S., 1998; Priyono, 2002).
Beberapa konsep penting yang perlu dipahami tentang teori integrasi agen-
struktur atau ‘teori strukturasi Giddens’ dalam bukunya The Constitution of Society:
Outline of the Theory of Structuration (1984), dalam memahami fenomena sosial
budaya antara lain:
a. Dalam teori ‘strukturasi’, agen dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan
saling terpisah satu dengan yang lain. Agen dan struktur ibarat ‘dua sisi dari satu
keping mata uang’. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa terpisahkan dalam
praktik atau aktivitas sosial-budaya sehari-hari setiap individu. ‘Tindakan pelaku
(agen) dan struktur saling mengandaikan’. Dualitas struktur mengandaikan, bahwa
struktur merupakan ‘sarana’ (medium) dan juga ‘hasil’ (outcame) dari kegiatan-
kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini berarti bahwa saat
pelaksanaan atau pengadaan (moment of production) adalah juga saat
pelaksanaan atau pengadaan kembali (moment of reproduction). Oleh karena itu
Giddens mendifinisikan ‘Strukturasi’ dalam daftar terminologi sebagai ‘strukturasi
relasi-relasi sosial yang melintasi waktu dan ruang, berkat adanya dualitas struktur’
b. Dalam teori strukturasi, praktik sosial atau tindakan sosial manusia itu dapat dilihat
sebagai ‘perulangan’ (rutinization), artinya praktik sosial ‘bukan dihasilkan sekali jadi
oleh aktor sosial, tetapi secara terus menerus, mereka ciptakan berulang-ulang
melalui suatu cara tertentu, dan dengan cara itu juga individu menyatakan diri
mereka sebagai aktor’. Jadi, praktik sosial atau aktivitas sosial-budaya tidak
semata-mata dihasilkan melalui kesadaran atau melalui konstruksional pikiran
individu tentang realitas (seperti pandangan teori interaksionis simbolik dan teori
fenomenologi), juga bukan semata-mata diciptakan oleh struktur sosial (seperti teori
fungsional struktural, teori konflik). Tetapi melalui praktik sosial berulang-ulang
(rutinization) agen-struktur itulah, baik kesadaran (internal) maupun struktur
(eksternal) diciptakan.
c. Secara umum teori strukturasi memusatkan perhatian pada proses dialektika
dimana praktik sosial, struktur, dan kesadaran diciptakan. Jadi, teori strukturasi
menjelaskan masalah ‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’.

107
Dalam teori strukturasi, agen atau aktor sosial melakukan refleksi, tetapi peneliti
sosial (sosiolog) juga melakukan refleksi dalam mempelajari masalah hubungan
agen dan struktur. Oleh karena itu Giddens mengemukakan gagasan yang terkenal
yaitu ‘proses penelitian fenomena sosial-budaya perlu menggunakan pendekatan
atau metode ‘Hermeneutika ganda’, artinya, baik agen (aktor sosial) maupun
peneliti sosial sama-sama menggunakan bahasa, yaitu: (a) aktor sosial,
menggunakan bahasanya untuk menerangkan apa yang mereka kerjakan sehari-
hari, dan (b) peneliti sosial-budaya, menggunakan bahasanya untuk menerangkan
tindakan aktor sosial yang ditelitinya. Jadi, perlu diperhatikan untuk
mengkombinasikan antara bahasa awam (para agen praktik sosial) dan bahasa
ilmiah (para peneliti).
d. Dalam teori strukturasi Giddens, terdapat lima komponen (elemen) penting yang
perlu dipahami, yaitu: (1) konsep agen; (2) konsep struktur dan sistem sosial; (3)
konsep waktu-ruang (time-space); (4) konsep rutinisasi (routinization); dan (5)
konsep strukturasi (Giddens, 1984). Berikut ini akan dijelaskan singkat tentang
kelima konsep tersebut
Pertama, konsep atau pemikiran tentang ‘agen’. Agen dalam pandangan
Giddens adalah: (a) agen atau aktor sosial terus menerus memonitor pemikiran dan
aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka dalam kehidupan
sehari-hari; (b) agen (pelaku) menunjuk pada orang kongkret dalam ‘arus kontinu
tindakan dan peristiwa di dunia’; (c) dalam upaya mencari rasa aman, aktor atau
agen merasionalkan kehidupan (aktivitas) mereka. Menurut Giddens, yang
dimaksud dengan rasionalisasi adalah ‘mengembangkan kebiasaan sehari-hari
yang tidak hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga
memungkinkan mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien’; (d)
agen atau aktor juga mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini berupa
keinginan atau hasrat untuk bertindak (potensi untuk bertindak). Jadi, ‘rasionalisasi,
refleksivitas terus menerus terlibat dalam tindakan, sedangkan motivasi sebagai
potensinya’.
Dalam diri ‘aktor atau agen’ terdapat ‘kesadaran’. Giddens membedakan tiga
dimensi internal pelaku (kesadaran atau motivasi individu) yaitu: (1) ‘motivasi tidak
sadar’ (unconscious motives), yaitu menyangkut keinginan atau kebutuhan yang
berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri; (2)
‘kesadaran diskursif’ (discursive consiousness), yaitu mengacu pada kapasitas kita
merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita (tindakan melalui
hasil agumentasi pikiran yang rasional); (3) ‘kesadaran praktis’ (practical
consciousness), yaitu menunjuk pada gugus pengetahuan praktik yang selalu bisa

108
diurai (tidak perlu argumentatif). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk
memahami teori strukturasi (Faisal, 1998). Batas antara kesadaran praktis dan
kesadaran diskursif ‘sangatlah lentur dan tipis’, tetapi tidak seperti antara
‘kesadaran diskursif’ dan ‘motivasi tidak sadar’, yang relatif jelas perbedaannya.
Jadi, kesadaran diskursif, memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita
dalam kata-kata secara rasional. Kesadaran praktis, melibatkan tindakan yang
dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa
yang mereka lakukan. Tipe ‘kesadaran praktis’ inilah yang sangat penting bagi teori
strukturasi. Kesadaram praktis agen inilah yang membuat transisi halus dari ‘agen’
ke ‘agensi’ (agency). Agensi (keagenan atau peranan individu), adalah ‘sesuatu
yang sebenarnya atau seharusnya dilakukan oleh agen’. Keagenan berarti peran-
peran individu atau kejadian yang dilakukan oleh individu, misalnya: Peran seorang
dosen adalah mengajar, membimbing mahasiswa, meneliti dan sebagainya, peran
petani adalah membajak, menanam padi, memanen padi dan sebagainya. Giddens
sangat menekankan arti penting keagenan dalam teorinya.
Menurut Giddens, agen juga ‘sering’ bertindak tidak sesuai dengan tujuan
semula atau sering tindakan yang sengaja dilakkan melahirkan akibat yang tidak
diharapkan. Disamping itu agen juga mempunyai kemampuan atau kekuasaan
untuk menciptakan ‘pertentangan’ dalam kehidupan sosial, bahkan Giddens
mengatakan, bahwa agen atau aktor tidak berarti apa-apa tanpa kekuasaan untuk
menciptakan pertentangan. Jadi, agen atau aktor akan berhenti jadi agen apabila ia
kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Menurut Giddens,
kekuasaan untuk menciptakan pertentangan ini bersifat logis mendahului
subjektivitas, karena tindakan melibatkan kekuasaan (kemampuan) untuk
mengubah situasi (Ritzer dan Goodman, 2003).
Kedua, konsep tentang ‘struktur dan sistem sosial’. Menurut Giddens, struktur
dan sistem sosial dapat dipahami sebagai berikut: (a) struktur didefinisikan sebagai
‘properti-properti yang berstruktur (aturan dan sumber daya)’. Struktur hanya akan
terwujud karena adanya aturan dan sumber daya, atau struktur dipahami sebagai
‘kumpulan aturan dan sumber daya yang berulangkali terorganisasikan’ (recursively
organized sets of rules and resources). Struktur itu sendiri ‘tidak ada dalam ruangan
dan waktu’, karena struktur ‘hanya ada di dalam dan melalui akivitas agen manusia’.
Tidak ada struktur bila tidak ada aktivitas manusia. Jadi, definisi struktur menurut
Giddens tidak sama dengan definisi struktur menurut para teoritikus fungsional
struktural. Menurut teoritikus Fungsional struktural dan teori konflik, struktur adalah
‘sesuatu yang berada di luar (eksternal) aktor atau individu dan memaksa
(determinis) pada aktor dalam aktivitas sosial’. Bagi Giddens, struktur adalah ‘apa

109
yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur
itu sendiri yang membentuk dan menentukan kehidupan sosial, ada faktor agen
yang juga ikut menentukan’. Jadi, struktur adalah ‘aturan dan sumber daya yang
terbentuk dari dan membentuk keterulangan praktik sosial’. Struktur, bukanlah
benda melainkan ‘skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial’. Skemata
mirip ‘aturan’ yang merupakan hasil (out came) dan sekaligus menjadi ‘sarana’
(medium) bagi berlangsungnya praktik sosial kita. Struktur, bukan bersifat
mengekang (constraining) individu (seperti pandangan teori fungsional struktural),
tetapi bersifat ‘memberdayakan’ (enabling) (Giddens, 1984).
Sedangkan konsep struktural, menurut Giddens mempunyai tiga gugus besar,
yaitu: (1) struktur ‘signifikasi’ (signification) menyangkut skemata simbolik,
penyebutan terhadap sesuatu dan wacana tentang sesuatu yang dilakukan aktor
(agen); (2) struktur ‘dominasi’ (domination), yang mencakup skemata penguasaan
atau wewenang terhadap orang lain (aspek politik) dan penguasaan terhadap
barang (aspek ekonomi); (3) struktur ‘legitimasi’ (legitimation) yang mencakup
skemata peraturan-peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum, untuk
menata proses-proses sosial di masyarakat.
Kemudian konsep sistem sosial. Pengertian sistem sosial menurut Giddens,
‘mirip’ dengan pengertian stuktur dalam pandangan konvensional (teori fungsional
struktural atau teori konflik). Sistem sosial menurut Giddens adalah sebagai praktik
sosial yang dikembangbiakkan (reproduced) atau hubungan yang direproduksi
antara aktor(egen) dan kolektivitas (kelompok) yang diorganisir sebagai praktik
sosial tetap. Sistem sosial ‘tidak mempunyai’ struktur, tetapi dapat memperlihatkan
ciri-ciri strukturalnya. Struktur tidak dapat memunculkan dirinya sendiri dalam ruang
dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial, dalam bentuk praktik sosial
yang direproduksi. Sistem sosial oleh Giddens dilihat baik sebagai ‘media’ maupun
sebagai ‘hasil tindakan aktor’ dan sistem sosial yang secara berulang-ulang
(regulation) mengorganisisr kebiasaan aktor. Jadi, sistem sosial ‘merupakan
institusionalisasi dan regularisasi praktik-praktik sosial’ dalam kehidupan sehari-hari
(Giddens, 1984).
Ketiga, konsep waktu dan ruang (time and space) dan rutinisasi
(routinization). Ada beberapa prinsip Giddens dalam memahami waktu dan ruang
menurut teori strukturasi, antara lain: (a) ruang dan waktu, merupakan variabel
(unsur) penting dalam teori strukturasi. Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang
dan waktu (biting into space and time), serta berada pada akar pembentukan baik
subjek maupun objek sosial (Faisal, 1998). Banyak teoritisi sosial menganggap
ruang dan waktu cenderung diperlakukan sebagai ‘lingkungan’ (environments)

110
tempat ketika suatu tindakan sosial dilaksanakan, atau sebagai salah satu ‘faktor
tidak tetap’, sedangkan menurut teori ‘trukturasi adalah, ‘ruang dan waktu secara
integral turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’. Sistem sosial berkembang
atau meluas menurut waktu dan ruang, sehingga orang lain tidak perlu lagi hadir
pada waktu yang sama dan di ruang yang sama. Menurut Bryand and Jary, prestasi
Giddens yang diakui oleh para ilmuwan adalah analisisnya tentang ‘upaya
mengedepankan masalah waktu dan ruang dalam analisa sosial’ (Ritzer dan
Goodman, 2003).
Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu: (1) duree, pengalaman hari
demi hari (reversible time), yaitu berkenaan dengan keberlangsungan waktu
pengalaman atau kegiatan hari demi hari yang dapat dibalik, misalnya berangkat
dari rumah, berada di jalan, sampai keadaan di kantor, kemudian pulang dari kantor,
berada di jalan, sampai di rumah kembali; (2) jangka hidup individual (irreversible
time), yaitu berkenaan dengan rentang waktu kehidupan individu yang tidak dapat
dibalik, misalnya lahir-hidup-mati; (3) longue duree, lembaga-lembaga, yaitu
berkenaan dengan waktu keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari
lembaga-lembaga atau waktu kelembagaan (institutional time) yang merupakan baik
syarat (condition) maupun hasil (outcame) kegiatan-kegiatan sosial yang terpola
dalam kontinuitas hidup sehari-hari.
Waktu tidak dapat dipisahkan dari ruang, karena kontekstualitas kehidupan
sosial menyangkut baik ruang maupun waktu, ‘seluruh kehidupan sosial terjadi
didalam, dan terbentuk oleh, persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam
memudarnya waktu dan berubahnya tempat’. Bahwa tubuh manusia ‘tidaklah
menempati ruang dan waktu dalam arti sama seperti benda-benda material lain
yang berada dalam ruang dan waktu’. Jadi, posisi tubuh manusia paling baik
dipahami sebagai ‘tubuh aktif, kreatif yang terarah pada tugas-tugasnya’ atau
sebagai ‘pengambilan posisi’ (positioning). Ruang atau tempat (space) dalam teori
strukturasi tidak dapat sekedar dipahami untuk menunjuk suatu ‘titik dalam ruang’
(point in space), tetapi lebih dipahami dengan istilah ‘tempat peristiwa’ (locale) yang
merujuk pada pemakaian ruang sebagai ‘latar interaksi’ (setting of interaction)
(Giddens, 1984). Istilah locale erat hubungannya dengan konsep regionalisasi
(regionalization) dalam geografi waktu, yakni lebih menunjukkan pada penempatan
wilayah ruang-waktu sehubungan dengan kegiatan sosial yang dirutinisasikan
(zoning of time-space in realtion to routinized social practices), misalnya; ada ruang
kerja, ruang makan, ruang tamu, ruang tidur dan sebagainya, yang hal-hal tersebut
menunjukkan adanya pembentukan sistem-sistem interaksi.

111
Keempat, konsep penting lain dalam teori strukturasi adalah ‘rutinisasi’
(routinization), karena yang rutin adalah elemen dasariah kegiatan sosial sehari-
hari, ‘istilah hari demi hari’ mengungkapkan dengan tepat sifat terutinisasi yang
diperoleh kehidupan sosial yang terentang melintasi ruang dan waktu. Keterulangan
merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of soial life).
Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan terpisah-
pisah atau sekedar sekumpulan tindakan, atau tindakan manusia dinilai sebagai
‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan. Tindakan manusia sangat
terkait dengan ruang dan waktu. Interaksi sosial dipelajari dalam rangka kehadiran
bersama (co-presences). ‘Ingatan’ adalah aspek penghadiran (presencing) dan cara
mendiskusikan kemampuan pengetahuan (knowledge-ability) pelaku manusia.
Ingatan tidak menunjuk pada pengalaman masa lalu, dan bukan pula pemanggilan
kembali masa lalu ke masa kini. ‘Persepsi’ bukan lah kumpulan persepsi-persepsi
tetapi ‘aliran kegiatan’ (flow of activity) yang diintegrasikan dengan gerakan tubuh
dalam ruang dan waktu. Regulation (keterulangan terus menerus), atau rutinisasi
(routinization) akan melahirkan rasa aman ontologis (ontological security)
sehubungan dengan masa depan individu. Sedangkan situasi kritis dalam
kehidupan sosial dapat mengacaukan rutinitas yang dapat diramalkan dan
menghancurkan rasa kedatangan masa depan (futural sence) (Giddens, 1984;
Priyono, 2002).
Kelima, konsep strukturasi. Pemahaman terhadap konsep strukturasi ini
menjadi kunci dalam teorinya Giddens. Beberapa hal penting yang dapat dipahami
tentang ‘strukturasi’ adalah: (a) konsep strukturasi mendasarkan pemikiran bahwa
‘konstitusi agen dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena biasa yang
berdiri sendiri (dualisme) tetapi mencerminkan dualitas; (b) strukturasi meliputi
‘hubungan dialektika’ antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah
dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan.
Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga
sebaliknya; (c) rutinisasi merupakan elemen dasariah kegiatan sosial sehari-hari.
Atau teterulangan merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature
of soial life). Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan
terpisah-pisah, tindakan manusia dinilai sebagai ‘aliran terus menerus’ (on going
flow) kegiatan-kegiatan; dan (d) tindakan manusia sangat terkait dengan ruang dan
waktu (time and space). Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang dan waktu
(biting into space and time), serta berada pada akar pembentukan baik subjek
maupun objek sosial. Jadi, ‘ruang dan waktu secara integral turut membentuk
tindakan atau kegiatan sosial’. Dengan demikian dalam memahami konsep ‘teori

112
strukturasi’ Giddens harus memahami secara integral tentang lima komponen
(elemen) penting, yaitu: konsep agen; konsep struktur dan sistem sosial; konsep
waktu-ruang; konsep rutinisasi; dan konsep strukturasi (Faisal, 1998; Priyono,
2002).
Keenam, Anthony Giddens, menurut Turner, B. (2000), bahwa salah satu
teori yang paling terkenal dewasa ini, yang menganjurkan pentingnya integrasi
mikro-makro atau subjektif-objektif atau integrasi agen-struktur dalam melakukan
analisis fenomena sosial adalah Teori Strukturasi oleh A. Giddens. Giddens dalam
bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984)
mengatakan bahwa: (1) setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah seharusnya
selalu mengintegrasikan antara tindakan (agen) dengan struktur. Tetapi dalam hal
ini bukan berarti bahwa struktur (makro) ‘menentukan’ agen (mikro) atau sebaliknya;
(2) bidang mendasar studi ilmu sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah
pengalaman aktor individual (agen) atau bentuk-bentuk kesatuan sosial (struktur)
tertentu, melainkan praktik (interaksi) sosial agen-struktur yang berulang-ulang,
yang diatur melintasi waktu dan ruang (time and space), seimbang dan saling
mengisi; (3) praktik sosial atau aktivitas sosial tidak dihasilkan melalui kesadaran
individu tentang realitas (seperti pandangan teori-teori paradigma subjektivis), juga
bukan diciptakan oleh struktur sosial (seperti pandangan teori-teori paradigma
objektivis), tetapi melalui integrasi agen-struktur yang terus berinteraksi melintasi
dimensi ruang dan waktu. Jadi, teori strukturasi menjelaskan masalah ‘agen-
struktur secara historis, prosessual dan dinamis’. Strukturasi meliputi hubungan
dialektika antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan
dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada
tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya. (Giddens, 1995).
Jadi, dalam pandangan teori strukturasi Giddens, setiap penelitian yang hendak
mengkaji fenomena sosial tidak akan bisa menghasilkan analisis data secara baik
apabila tidak berusaha untuk mengintegrasikan agen-struktur.
Argumentasi perlunya menggunakan pendekatan integratif
Beberapa argumentasi berikut ini cukup bisa dijadikan alasan pentingnya
melakukan penelitian sosial-budaya dengan menggunakan pendekatan integratif
(kuantitatif-kualitatiuf), antara lain:
Pertama, pandangan Ritzer tentang integrasi mikro-makro dan pandangan
Giddens tentang teori strukturasi di atas merupakan bukti teoritis pentingnya
penggunakan pendekatan integratif kuantitatif-kualitatif dalam penelitian sosial
(Giddens, 1995; Ritzer, 2002).

113
Kedua, setiap metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, masing-masing
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena
keduanya justru saling melengkapi (complement each ather) dalam memahami
fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing
pendekatan penelitian itulah yang menyebabkan perlunya pendekatan memadukan
kuantitatif-kualitatif (Brannen (ed), 2002)
Ketiga, kuantitatif dan kualitatif bisa digunakan bersama atau digabungkan
dengan syarat: (a) meneliti pada objek yang sama dengan mempunyai dua tujuan yang
hendak diungkapnya, misalnya kualitatif untuk menemukan hipotesis sedangkan
kuantitatif untuk menguji hipotesis (Stainback, S., 1988). Digunakan secara bergantian,
misalnya pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif, sehingga ditemukan
hipotesis, selanjutnya hipotesis tersebut diuji dengan metode kuanti (Sugiyono, 2007).
Keempat, penggabungan bisa dilakukan pada aspek metode pengumpulan
datanya, yaitu dalam penelitian kuantitatif metode utama dalam pengumpulan datanya
adalah menggunakan angket, kemudian dari beberapa item pada angket tersebut
didalami lagi dengan menggunakan metode observasi dan wawancara takterstruktur
(ciri metode pengumpulan data kualitatif). Jadi menggunakan triangulasi dalam
pengumpulan data.
Kelima, menurut Bryman dalam Brannen, J. (2002), ada beberapa alasan bahwa
penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan yaitu: (a) hasil-hasil penelitian
kuantitatif dapat dicek pada penelitian kualitatif, tujuannya adalah untuk memperkuat
kesahihan temuan; (b) penelitian kualitatif dapat membantu memberikan informasi
dasar tentang konteks dan subjek, hal ini sangat penting bagi penelitian kuantitatif yaitu
sebagi sumber hipotesis dan membantu dalam membuat konstruksi skala; (c)
penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan untuk memberikan gambaran
hasil research yang lebih komprehensif, karena keduanya saling mengisi kelemahan
masing-masing; (d) penelitian kuantitatif biasanya dikemudikan oleh perhatian peneliti,
sementara penelitian kualitatif mengambil perspektif subjek sebagai titik tolak.
Penekanan-penekanan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi; (e)
penelitian kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara ubahan-ubahan,
sebab penelitian kuantitatif biasanya mudah untuk menentukan hubungan antar
ubahan (variabel) tetapi sering lemah dalam memberi alasan dari hubungan antar
variabel tersebut, hal ini akan dibantu dengan penelitian kualitatif; (f) penggabungan
akan mampu memberikan penjelasan tentang hubungan antara tingkat makro
(kuantitatif) dan mikro (kualitatif), karena kedua hal ini selalu melekat pada fenomena
sosial.

114
Keenam, ada permasalahan dalam studi ilmu sosial (fenomena sosial) yang
banyak terpecahkan dengan penerapan analisis statisitik (Quantitative research), akan
tetapi ada juga permasalahan sosial (fenomena sosial) lain yang sulit dijelaskan
dengan menggunakan analisis statistik saja, sehingga mengharuskan peneliti untuk
menggunakan metode penelitian kualitatif (Qualitative research), khususnya apabila
ingin menyelami kedalaman makna, pandangan, nilai-nilai yang dianut para agen
praktik sosial yang terentang dalam ruang dan waktu (space and time) yang begitu
sangat dinamik dan kompleks (Alvesson and Skoklberg, 2000; Creswell, 2005).
Ketujuh, pengumpulan data penelitian dengan teknik angket (pendekatan
kuantitatif) seringkali belum mampu menjamah dimensi-dimensi psikologis yang unik
dan makna terdalam (menukik kedalam pikiran aktor), oleh karena itu dipandang perlu
untuk melibatkan observasi partisipatif dan wawancara takterstruktur, yang umumnya
dikenal dalam metode kualitatif. Oleh karena itu seorang peneliti yang mengharapkan
dapat memperoleh pemahaman tentang fenomena sosial yang dikaji secara lebih
komprehensif salah satu jalan adalah menggunakan pendekatan perpaduan kuantitatif-
kualitatif (Arifin, 2008).
I. Kesimpulan
Uraian singkat tentang kehidupan sosial-budaya di masyarakat dalam perspektif
teoritis di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: Pertama, dalam
pandangan teori sistem, bahwa setiap kehidupan sosial mempunyai unsur-unsur sosial
dan unsur yang satu dengan yang lain saling terkait (sebagai sistem). Demikian juga
kehidupan kebudayaan mempunyai unsur-unsur budaya yang saling kait mengkait
(sebagai suatu sistem). Teori sistem sangat dipengaruhi oleh paham positivisme dan
teori organisme; Kedua, dalam pandangan teori fungsional struktural kehidupan sosial
budaya di masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial dan struktur buaya (kondisi
eksternal). Proses-proses kehidupan sosial budaya di masyarakat selalu
berkecenderungan untuk terintegrasi dan selalu menjaga terwujudnya keseimbangan
sistem (equilibrium). Individu berkembang karena dia dipengahui oleh struktur sosial
dan budaya.
Ketiga, dalam pandangan teori konflik versi Marx, kehidupan masyarakat
merupakan suatu proses perkembangan yang akan ‘menyudahi konflik melalui konflik’,
jadi konflik menyatu dalam kehidupan. Dan ciri utama hubungan-hubungan sosial di
masyarakat adalah pejuangan kelas yang berbasis kepentingan ekonomi, bagi bagi
Marx faktor ekonomi merupakan infrastruktur kehidupan, sedangkan semua asek non
ekonomi merupakan suprastruktur. Semua teori konflik dan neo-konflik (neo-Marxian)
adalah berbasis kepada pandangan Marx, hanya saja pandangan teori konflik
Dahrendorf dan neo konflik Coser dan sebagainya, tidak menjadikan faktor ‘ekonomi/

115
materi’ sebagai satu-satunya sebab terjadinya konflik, tetapi banyak faktor lain,
misalnya kekuasaan dan kondisi sosial non-material lainnya.
Keempat, fenomena sosial budaya dalam pandangan teori teori interaksionis
simbolik dan teori fenomenologi, relatif sama karena kedua teori ini ada dalam satu
paradigma yaitu paradigma definisi sosial atau berparadigma interpretif. Diantara ciri
pandangan paradigma ini antara lain: (1) memahami dunia (masyarakat) seperti apa
adanya, atau menuntut pemahaman terhadap realitas sosial berdasarkan kesadaran
subjektivitas individu dalam proses-proses sosialnya; (2) dalam studi sosiologi harus
memahami fenomena sosial yang terbangun oleh pikiran atau jiwa subjek (individu)
secara terus menerus dalam praktek kehidupan sehari-hari (meliputi pandangan,
asumsi, nilai, motivasi, tujuan, dan keyakinannya); (3) bersifat nominalis, artinya
kehidupan sosial tergantung pada sebutan atau pandangan subjek, dunia sosial
eksternal (realitas sosial eksternal) hanyalah sebuah nama atau label. Disamping itu
paradigma ini bersifat anti positivism, voluntaris (manusia sepenuhnya otonom,
manusia mempunyai keinginan secara bebas atau sukarela dalam berekspresi).
Paradigma ini berorientasi pada ideologi atau aliran filsafat idealisme, dengan
pendekatan mikroskopik dalam melakukan analisis sosial-budaya.
Kelima, teoritikus post-modern dapat dikelompokkan menajdi dua, yaitu teori
post-modern yang bersifat moderat, dan teori post-modern yang bersifat radikal.
Meskipun banyak sisi kelemahan dari teori post-modern, kehadiran teori post-modern
memberikan sisi-sisi positif khususnya bagi perkembangan wacana teori sosiologi
modern, antara lain: (1) kehadiran teori post-modern mendorong tumbuhkan budaya
kritik konstruktif bahkan kritik dekonstruktif terhadap pandangan teori-teori sosiologi
konvensional dalam memahami fenomena sosial yang bersifat statis dan terstruktur;
(2) teori post-modern yang menolak adanya ‘narasi makro’, dan menawarkan ‘narasi
mikro’, secara tidak langsung telah menambah beragam khasanah perspektif bagi para
teoritikus sosial dalam memahami fenomena sosial budaya yang sangat dinamik; dan
(3) teori post-modern yang menolak adanya ‘kebakuan orientasi atau pandangan,
kepatuhan dalam orientasi dan interpretasi terhadap teori-teori konvensional yang telah
ada’, akan mendorong munculnya keterbukaan beragam interpretasi baru (diferensiasi
pandangan)..
Keenam, setiap teori atau paradigma mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Teori yang berparadigma fakta sosial (objektivistik) dan definisi sosial (subjektivistik),
keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi
(complement each ather) dalam memahami fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki masing-masing teori dan pendekatan itulah yang
menyebabkan perlunya memadukan beragam teori dan pendekatan dalam analisis

116
sosial-bidaya. Ada permasalahan dalam studi ilmu sosial-budaya yang bisa
terpecahkan dengan penerapan teori dan pendekatan objektivis (Quantitative
research), akan tetapi ada juga permasalahan fenomena sosial-budaya yang sulit
dijelaskan dengan menggunakan pendekatan objektivis, sehingga mengharuskan
peneliti untuk menggunakan teori dan pendekatan subjektivis (Qualitative research).
Jadi, analisis fenomena sosial dengan menggunakan teori integrasi Ritzer atau
Giddens adalah sangat proporsional.

117

You might also like