Professional Documents
Culture Documents
ISI
Awal lahirnya partisipasi politik di Indonesia dimulai dengan munculnya organisasi Budi
Utomo yang juga merupakan cikal bakal partai politik di Indonesia. Partisipan hanya terbatas bagi
kalangan priyayi yang terpelajar. Sesudah kemerdekaan Indonesia, dengan Maklumat Wakil Presiden
No. X, 16 Oktober 1945 dan Maklumat Wakil Pemerintah 3 November 1945, Indonesia menganut
sistem multipartai, yang ditandai dengan munculnya 25 partai politik. Euforia masa-masa
kemerdekaan pada masa itu melahirkan berbagai macam idealis yang mereka anggap sesuai untuk
diterapkan di tubuh perpolitikan Indonesia. Nasionalis, Sosialis, Komunis, Agama dan Tradisionalis
Jawa; semuanya eksis sebagai ideologi dasar partai-partai pada masa itu. Masyarakat Indonesia yang
merasa seolah-olah hidup di era “kebebasan” setelah sekian lama terbelenggu oleh penjajahan
akhirnya dapat menyuarakan pendapatnya dan merasa terpanggil untuk membangun negerinya.
Tahun 1955 adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia, karena pada saat itu
adalah saat dilakukannya pemilihan umum yang pertama. Ketika itu, terminologi “sayap
kanan” dan “sayap kiri” yang dipopulerkan oleh Presiden Soekarno . Partai-partai yang berlandaskan
agama (Masyumi, NU PSII, Perti dsb.) dianggap sebagai partai “sayap paling kanan” sedangkan yang
berlandaskan ideologi Sosialis dan komunis (PKI, PSI) disebut partai “sayap paling kiri”. Nasionalis
sendiri berada ditengah-tengahnya.
Masyarakat yang pro ideologi Agama cenderung memilik budaya politik santri dan abangan
sementara para kader-kader partai berasal dari kalangan pesantren. Masyarakat kalangan ideologi
Sosialis dan Komunis mayoritas merupakan kalangan pekerja dan buruh yang mendambakan
persamaan derajat sosial sebagaimana ideologi tersebut menjadi landasan di Uni Soviet. Kalangan
elitis yang baru saja pulang belajar di tanah Uni Soviet (Rusia) mempunyai andil dalam hal kaderisasi
terhadap masyarakat kalangan buruh. Hal tersebut menjadikan Partai Komunis Indonesia sebagai
salah partai terbesar di Indonesia pada masa itu dan masuk ke dalam 5 besar partai yang “merajai”
pemilu di tahun 1955.
Sedangkan masyarakat yang cenderung memilih Nasionalis, mayoritas merupakan
pendukung dari pada Soekarno. Partai Nasional Indonesia (PNI) begitu populer dikarenakan
kharisma Soekarno sebagai salah satu figur Founding Father, proklamator kemerdekaan dan juga
pemimpin Indonesia yang pertama setelah sekian lama Indonesia dijajah oleh bangsa asing. Sebagai
partisipan politik, masyarakat Indonesia mempunyai andil di dalam memberikan opini
Pada masa Orde Baru atau bisa juga disebut sebagai era dari Presiden Soeharto, partisipasi
politik masyarakat Indonesia dalam kegiatan politik tidak terlalu besar seperti pada masa sekarang
ini, dimana pada masa sekarang masyarakat sudah sangat aktif dalam memberikan opini mereka
terhadap segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Pada masa Orde Baru, masyarakat
cenderung mengikuti apa yang telah dirumuskan oleh pemerintah pada saat itu, mereka tidak bisa
melakukan aksi protes bila memang mereka tidak setuju dengan suatu kebijakan yang telah diambil
oleh pemerintah, sehingga apapun keputusan yang diambil dianggap merupakan keputusan yang
terbaik bagi masyarakat.
Partisipasi pada masa Orde Baru ini juga bisa dikatakan merupakan partisipasi yang
dimobilisasi, melalui penggiringan opini oleh penguasa kepada masyarakat sehingga masyarakat
akan mengikuti kehendaknya. Partisipasi yang dimobilisasi bisa dikatakan merupakan suatu kegiatan
partisipasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam memberikan suara,
berdemonstrasi ataupun mengambil tindakan-tindakan lainnya untuk mempengaruhi pengambil-
pengambil keputusan pemerintah tetapi keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut tidak berasal dari
pribadinya sendiri.
Selain hal di atas, ada 2 hal yang juga mempengaruhi kepatuhan masyarakat terhadapa
pemerintah pada masa orde baru ini, yaitu:
1. Pertama, dikarenakan adanya dukungan kalangan militer terhadap pemerintahan,
sehingga masyarakat tidak mau mencampuri urusan pemerintah. Karena pada saat itu,
kalangan militer sangat disengani bahkan ditakuti oleh masyarakat.
2. Kedua, masyarakat telah cukup senang akan kondisi dalam negeri yang sangat kondusif
dan harga kebutuhan yang dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat.
Namun setelah terjadi krisis pada tahun 1997, keadaan berubah 180 derajat,dimana harga
kebutuhan rakyat melonjak tinggi dan adanya tekanan dari kalangan akademisi baik oleh mahasiswa
ataupun dosen-dosen yang sangat berpengaruh untuk melakukan sebuah transformasi yang kita
kenal dengan “Reformasi”, kepatuhan masyarakat terhadap pemerintahpun berubah menjadi
pemberontakan besar-besaran yang menolak pemerintahan orde baru segera turun dari kursi
pemerintahan karena dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis dan adanya berbagai monopoli
oleh kroni-kroni Soeharto di sektor-sektor yang menjadi andalan Indonesia serta korupsi yang sangat
merajalela yang membuat rakyat senggara dan berbalik dari yang tadinya yang mendukung
pemerintah malah sekarang menyerang pemerintah.
Untuk partisipasi yang dimobilisasi ini bisa dicontohkan ketika pada setiap pemilihan umum
yang akan dilakukan untuk memilih calon presiden pada masa orde baru ini, setiap anggota PNS atau
setiap masyarakat yang bekerja sebagai PNS, diwajibkan untuk memilih Partai Golkar dalam pemilu,
karena bila tidak kebanyakan dari mereka akan dikenakan sanksi bila memilih partai lain seperti
pemecatan ataupun sanksi lainnya yang sangat memberatkan para pekerja, oleh karena itu mau
tidak mau masyarakat yang bekerja sebagai PNS akan memilih partai Golkar dalam setiap pemilu,
sehingga hal itu memungkinkan partai ini selalu memenangkan pemilu dan memerintah pada masa
orde baru.
Hutington, Samuel P, dan Nelson, Joan, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta:PT. Rineka
Cipta, 1994.