Professional Documents
Culture Documents
Kelompok 1
• Novy E. ( 0906613595 )
• Rehuel Ayal ( 0906613720 )
Teori Normatif
juga semakin maju. Hal itu dilatarbelakangi keterkaitan yang erat antara media dan
cenderung mengarah pada paham kapitalis, di mana profit menjadi tujuan utama
operasionalnya. Panduan kerja media tertuang pada teori normatif yang berkembang dari
teori-teori yang dominan pada tiap masa. Teori normatif adalah sebuah teori yang
menjelaskan bagaimana standar struktur dan mekanisme operasional yang ideal bagi sistem
media.
Perdebatan tentang aturan main media telah dimulai pada abad ke-20 di Amerika.
Saat itu paham yang berkembang adalah ideologi liberal radikal, di mana masyarakat
beranggapan bahwa media seharusnya bebas dari aturan ataupun hukum. Paham ini
berpengaruh terhadap peran dan posisi pers atau media. Pemikiran ini yang kemudian
melahirkan First Amandment Absolutist yang menjamin kebebasan pers. Dalam amandemen
pertama dari Undang-Undang Dasar Amerika ini, media dalam bentuk apapun secara total
tidak terikat oleh aturan apapun. Kondisi media yang bebas tanpa aturan kemudian
menimbulkan kritik dari beberapa golongan yang menghendaki adanya Technocratic Control.
Harold Laswell dan Walter Lipmann percaya bahwa harus ada mengatur media, baik dari
lembaga swasta atau pemerintah. Hal ini dikarenakan mereka tidak percaya media bisa
bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan publik yang paling vital. Tetapi dalam
perkembangannya, ide ini masih belum dapat diterima karena beberapa kalangan khawatir
bahwa campur tangan pemerintah dapat menjadikan media sebagai alat pemerintah untuk
kepentingan penguasa. Kemudian kalangan pers beralih pada paham libertarian, di mana
peran dan posisi pers diserahkan pada pasar. Ide ini berkembang dari asumsi bahwa setiap
individu mampu berpikir secara logis dan rasional untuk menilai tayangan media dan memilah
yang baik dan buruk. Isi media dipengaruhi oleh mekanisme pasar, pasar media (audiens)
yang akan menentukan apakah sebuah program dapat diterima atau tidak, dan media akan
Abdurrahman Wahid. Sebelumnya, gerak gerik media di Indonesia sangat dibatasi dan
berada di bawah kontrol pemerintah. Media yang berani melawan pemerintah dapat dibredel
dengan mudahnya. Namun sejak munculnya kebebasan pers, media dapat mencari berita
dengan jauh lebih leluasa, sekalipun berita terkait dengan penguasa. Tentunya pers yang
telah diberi haknya itu juga harus tetap mematuhi norma-norma yang ada, apalagi kode etik
dilupakan oleh insan pers. Sama halnya seperti yang terjadi di Amerika, pers Indonesia
seperti mengalami euforia kebebasan pers. Telah ada beberapa lembaga yang mengawasi
kegiatan pers di Indonesia, namun selain itu juga harus ada tindakan tegas yang dikenakan
Awal mula munculnya paham libertarian adalah sebagai tandingan dari paham
authoritarian. Paham authoritarian adalah sebuah paham di mana semua bentuk komunikasi
berada di bawah pemerintahan yang sedang berkuasa. Pada sistem ini masih terdapat
kebebasan berpendapat tetapi sangat terbatas. Karena itu, munculah paham libertarian di
mana hak atau kepentigan individu sangat dijunjung tinggi dibandingkan dengan kepentingan
diperoleh kebenaran. Paham ini kemudian menyebar ke Negara-negara lain di Eropa dan juga
Amerika seiring dengan berkembangnya paham demokrasi. Karena kebebasan ini, maka
sistem pemerintahan di Amerika berubah menjadi demokrasi di mana pers atau media
memiliki kepentingan atau peran yang penting dalam kehidupan Negara. Paham komunikasi
libertarian ini mengajarkan bahwa individu harus diberi kebebasan untuk menyatakan ide
dan pendapatnya di pasar ide. Dalam pers, pers harus bebas dari campur tangan pemerintah
, dan bahkan disini pers dapat berfungsi sebagai alat pengawas dari pemerintah.
Walaupun adanya kebebasan berkomunikasi pada paham ini, tetapi tetap harus
dikontrol. Karena itu, bisa dibilang bahwa kebebasan yang ada pada paham ini tidak bersifat
mutlak. Mengapa demikian? Sebagai contoh pada kasus aborsi. Apakah pantas jika kita
menyebutkan profil lengkap dari dokter yang melakukan aborsi dan menyebutnya seorang
pembunuh? Atau apakah pantas bila kita mengatakan sesuatu kebohongan tentang kaum
gay? Atau misalnya dalam media. Apakah pantas sebuah media memberitakan kebohongan
Tentu saja hal-hal tersebut di atas tidak dapat dilakukan karena dapat merugikan
kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. Maka dari itu diperlukan adanya
siapakah yang berhak dalam membuat batasan tersebut? Jawabannya pasti Pemerintah.
Karena itulah, pada kenyataan atau pada prakteknya, paham libertarian ini tidak menjamin
Radikal
Pers Libertarian yang radikal muncul ditandai dengan adanya era Penny Press dan
Yellow Journalism. Yellow Journalism adalah jurnalisme yang meremehkan berita yang sah
dan semata-mata hanya mementingkan keuntungan. Keuntungan dalam hal ini adalah
bilamana mereka dapat menjual lebih banyak Koran. Jurnalisme ini mementingkan berita-
berita sensasi yang terkadang menyesatkan penonton dan tidak mendasarkan beritanya
pada etika jurnalisme. Koran atau media yang laku terjual merupakan tantangan ekonomi
Market place of ideas adalah media yang membuat aturannya sendiri. Dalam hal ini,
media seharusnya dapat mengontrol atau membuat aturan sendiri akan pasar ide. Media
apat dengan bebas membuat isi berita mengenai hal yang baik atau buruk, benar atau salah,
dan itu semua diserahkan kepada audience yang memilih. Doktrin Laissez-faire dalam hal ini
Dalam sistem media di Amerika sistem ini berlaku demikian : Seseorang yang datang
dengan ide baik akan membuat berita dan menyampaikannya melalui media massa. Bila ada
orang lain yang menyukainya, itu berarti ia membeli pesan tersebut. Jika ia membeli pesan
tersebut, maka mereka telah membayar untuk biaya produksi dan distribusi dari media
massa tersebut. Sebaliknya, jika orang tidak menyukai berita yang disampaikan, mereka
tidak akan membelinya dan hal ini membuat media tersebut tidak laku terjual. Karena itu,
sistem ini sangat begantung pada kebijakan dari konsumen atau penerima berita tersebut.
Bila mereka adalah consumer yang bijak, maka media yang tidak menyajikkan berita yang
Seperti yang telah disebutkan di atas, Market place of Ideas adalah self-regulating
atau dapat mengatur dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibutuhkan peran pemerintah
dalam menyensor pesan tersebut. Konsumen tidak akan membeli berita yang buruk. Tetapi,
hal ini lebih berlaku untuk media massa seperti Koran atau majalah di mana orang harus
mengeluarkan uang untuk membeli media tersebut. Lalu bagaimana dengan radio dan
televisi? Audience dapat menerima berita yang ditawarkan secara gratis oleh radio dan
televisi. Hal seperi ini tentu saja akan membuat audience menerima begitu saja pesan yang
Pertanyaan tersebut di atas membuat peraturan pemeritah atas konsumen pasar ide
itu diterima. Banyak pertanyaan yang muncul akan perlunya hukum perlindungan konsumen
tersebut. Jawabannya hanyalah, bila konsumen pasar ide diuntungkan oleh peraturan. lalu
Commission
Pada tahun 1920 dan 1930an, teori normatif baru akan media massa mulai
bermunculan. Teori tersebut menolak sistem libertarian radikal dan ide dari teknokratik
control. Hal ini dikarenakan teori libertarian radikal dianggap terlalu bebas dan tidak
mengindahkan etika jurnalisme. Perdebatan pada masa itu seputar adanya yellow journalism
yang membuktikan bahwa self regulating atas media tidaklah cukup. Tanpa adanya regulasi
dari pemerintah, media terutama radio tidak pantas untuk memberitakan hal-hal publik
sebaik dengan yang seharusnya. Di tahun 1920 ini, regulasi pemerintah terhadap sarana
publik telah dapat diterima sebagai akhir dari kompetisi yang tidak penting.
Pada masa ini, media dianggap tidak dapat terlalu bebas tetapi juga tidak bisa
dibiarkan berada di bawah control pemerintah. Karena itu, pemerintah membentuk sebuah
komisi yang bersifat independen dan dialankan oleh orang-orang dari kalangan media,
akademisi, dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mengawasi dan memberikan aturan terhadap
media yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak.Salah satu yang dilakukan Amerika
adalah dengan membentuk Federal Radio Commission atau disebut dengan FRC. FRC ini
dibentuk sebagai aksi untuk kepentingan publik. Komisi ini memberikan madat untuk stasiun
radio untuk menyediakan layanan yang penting untuk masyarakat karena statsiun radio
tersebut telah memiliki hak istimewa atas gelombang udara. Tetapi selebihnya, FRC tidak
dapat menyensor isi berita yang disampaikan tetapi komisi tersebut dapat menghukum
media yang memberitakan hal yang tidak baik dengan mencabut izin siarannya.
Industri radio adalah industri pertama yang menyetujui akan regulasi pemerintah.
Kesuksesan dari FRC ini telah mendorong usaha untuk meregulasi industri media lainnya.
Dalam bidang perfilman, kelompok religi juga telah menyarankan untuk diadakan
dengan melakukan self-censorship atau telah melakukan penyensoran sendiri akan karyanya.
Dalam bidang media cetak juga telah dipertimbangkan untuk diterapkan regulasi dari
Pemerintah.
Begitu pula halnya di Indonesia. Indonesia juga memiliki sebuah komisi yang
mengatur akan sistem penyiaran media. Komisi tersebut dinamakan Komisi Penyiaran
Indonesia atau KPI. Lembaga independen di Indonesia ini berfungsi sebagai regulator
Jurnalisme Profesional
Akibat dari tekanan regulasi pemerintah terhadap media, pemimpin industri media
meresponnya dengan usaha para jurnalis untuk lebih professional. Karena itu, industri
berusaha untuk memberikan subsidi kepada para jurnalis atau praktisi media untuk dilatih
dan dimasukkan ke dalam sekolah profesional. Sejak saat itu, sema asosiasi media yang ada
demokrasi di mana pers menjadi pilar keempat yang memegang peranan penting, Media
dianggap sebagai lembaga institusi sosial independen yang menjamin institusi lain yang
melayani publik. Dalam hal ini juga, media berfungsi sebagai watchdog atau anjing penjaga
Seperti yang telah disebutkan di atas terdapat standar khusus akan jurnalisme
Kinerja Media. Batasan atau limit tersebut antara lain sebagai berikut :
dikecam oleh rekan atau teman sejawat jika melanggar standar profesional yang
ditetapkan. Hal ini membuat profesionalisme terkadang dilakukan hanya pada saat
2. Standar profesional dianggap bersifat abstrak dan ambigu. Tidak adanya batasan-
batasan yang jelas akan standar profesional yang ada, apalagi orientasi tiap media
berbeda-beda.
3. Berbeda dengan bidang kesehatan dan hukum, profesionalitas media tidak disertai
dengan standar yang baik untuk pelatihan dan surat ijin. Pelatihan bagi para jurnalis
dianggap kurang memadai dibandingkan dengan jumlah jurnalis yang ada sehingga hal
ini dapat melahirkan pekerja media yang tidak berkualitas. Surat ijin atau lisensi
yang bersifat sebagai control juga tidak terdapat di perusahaan media karena tiap
media mempunyai kebijakannya sendiri dan tidak ada lembaga di atasnya yang
4. Berbeda dengan profesi lain, pekerja media tidak independen dalam melakukan
memiliki batas kemampuan untuk mengontrol apa yang mereka lakukan. Seperti yang
diketahui, terdapat hierarki atau susunan dalam perusahaan media. Dalam birokrasi
yang besar ini, dianggap sulit untuk menyerahkan atau membagikan tanggung jawab.
Pekerja di level bawah menggap dirinya hanya sebagai “following orders” atau
pengikut saja. Sedangkan pekerja di level atas dapat saja dengan mudah memungkiri
setiap apa yang terjadi di level bawah. Karena itu, terkadang sering terjadi benturan
antara idelasme jurnalis dengan kepentingan ekonomi yang dituntut oleh birokrasi.
mendapat konsekuensi secara langsung. Hal ini membuat standar profesional kadang
Bermula pada tahun 1942 pada saat sebuah komisi bernama The Hutchin Comision on
Freedom of The Press didirikan Komisi ini beranggotakan tokoh-tokoh dari masyarakat ,
tokoh akademis, tokoh politik, dan tokoh-tokoh dari organisasi kemasyarakatan. Tujuan dari
komisi ini adalah mencari kebijakan dan peraturan yang terbaik untuk kepentingan media.
Teori tanggung jawab social punya asumsi utama bahwa kebebasan, mengandung didalamnya
suatu tanggung jawab yang sepadan, dan pers yang telah menikmati kedudukan terhormat
Denis McQuaill, Social Responsibility Theory memiliki pengertian perkawinan dari konsep-
konsep tentang prinsip kebebasan dan pilihan dari individual, prinsip kebebasan media dan
prinsip kewajiban media terhadap masyrakat. Kerangka dari teori ini adalah :
mana pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan cakupan dan
prestasi yang lebih tinggi, pada saat yang sama mempertahankan pengaturan oleh
pengawasan lembaga independen dan aturan yang berlaku ajeg dan adil seperti; kode
pers, tinjauan berkala oleh komisi pengkajian, pengkajian perlementer, dan sistem
subsidi pers.
Komisi ini tidak menyetujui dengan adanya mekanisme dari libertarian dan mempunyai
anggapan bahwa perlu adanya guide kepada media yang berupa aturan kesepakatan bersama
dan bukan murni dari pemerintah. Hal ini mendapat dukungan dari peneliti di bidang ilmu
sosial dari Chicago School. Menurut mereka, untuk menciptakan suatu masyarakat yang
hebat , maka masing-masing kelompok dari masyarakat yang berbeda-beda harus bekerja
masyarakat plural yang merupakan masyarakat yang berbeda dari etnis dan budaya.
3. Dalam menyampaikan pesan , media harus berdasar kepada aturan baik dalam
6. Publik mempunyai hak untuk mendapatkan penampilan yang terbaik dari media.
7. Para pekerja media dan jurnalis harus bertanggung jawab kepada masyarakat
sebagai marketnya.
perusahaan media, akan tetapi pada kenyataannya tanggung jawab sosial dari media masih
belum ada. Kinerja dari media masih sangat besar dipengaruhi oleh kepentingan di bidang
ekonomi dan kompetisi untuk meraih profit. Selain itu, kekuasaan politis dari pimpinan
perusahaan juga bisa menjadi faktor lain yang menjadi penyebabnya. Kekuasaan tertinggi
tetap berada di pimpinan perusahaan, maka jika pekerja medianya idealis, tetap saja
Kemudian muncul isu yang berkembang dengan keberadaan dari civic journalism.
Civic Jurnalism adalah bentuk dari jurnalisme yang interaktif dimana pemberitaan yang
dilakukan di media juga bisa mengambil reportase dari masyarakat yang bukan pekerja
media bersangkutan yang kemudian bisa untuk dipublikasikan. Hal ini dianggap dapat
meningkatkan rasa kreatifitas dan partisipasi dari masyarakat dalam mewujudkan gagasam
great community.
Di samping itu ada beberapa teori normatif lainnya seperti development Media
theory yang merupakan sebuah teori normatif yang menyebutkan bahwa Negara dan media
bekerja secara bersama-sama untuk memastikan bahwa media dapat mendampingi Negara
dalam rencana pembangunannya. Teori ini juga menyebtukan bahwa media tidak boleh
mengkriitik pemerintahan bila keadaan Negara belum berada pada titik stabil.
Di samping itu ada juga teori democratic-participant theory yang merupakan sebuah
teori normatif yang menganjurkan media untuk membantu kebudayaan majemuk dalam level
masyarakat umum. Western concept juga merupakan teori normatif lain mengenai sistem
media. Western concept adalah sebuah teori normatif yang menggabungkan aspek dari
libertarian dan social responsibility theory. Selain teori-teori tersebut di atas, terdapat
juga teori lainnya seperti Revolutionary Concept, Authoritarian Concept, dan Communism
Concept.