You are on page 1of 33

BAB III

PEMBAHASAN

A. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi

Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi,

yaitu sebagai berikut:35

a. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari

pajak dan bea cukai, pemersan dan penyuapan.

b. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit

bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan

pangkat, punggutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan

dijalan,pelabuhan dan sebagainya.

c. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu

punggutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah,

tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.

d. Penyuapan, yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada

seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.

e. Pemerasan, yaitu orang yang mememang kekuasaan menuntut pembayaran

uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.

f. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan

mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.

35
Evi Hartanti , Tindak Pidana Korupsi , Sinar Grafika , Jakarta 2005, halaman 20.
35

g. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas

pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau

berhak bila dilakuka secara adil.

Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi 2003

(disingkat KAK 2003) ada 4 macam tipe tindak pidana korupsi sebagai berikut :36

a. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery

of National Public Officials)

Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Bab III

tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization and Law

Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 KAK 2003. Pada ketentuan Pasal 15

diatur mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of National

Public Officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan

atau memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak

langsung suatu keuntungan yang tidak pantas (layak), untuk pejabat tersebut atau

orang lain atau badan hukum agar pejabat yang bersangkutan bertindak atau

menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya.

Kemudian, terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pajabat-pejabat

dari organisasi internasional publik (bribery og foreign public officials and

officials of public international organization) diatur dalam ketentuan Pasal 16 dan

pengelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh

seorang pejabat publik diatur dalam ketentuan Pasa 17 KAK 2003.

36
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Alumni ,Bandung, 2007, halaman 41.
36

b. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan di Sektor Swasta (Bribery in the private

Sector).

Tipe tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam ketentuan Pasal 21, 22

KAK 2003.

Ketentuan tersebut menentukan setiap negara peserta konvensi

mempertimbangkan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dalam

melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan dan perdagangan

menjanjikan, menawarkan atau memberikan, secara langsung atau tidak langsung,

suatu keuntungan yang tidak semestinya kepeda seseorang yang memimpin atau

berkerja pada suatu badan disektor swasta untuk diri sendiri atau orang lain

melanggar tugasnya atau secara melawan hukum. Apabila dibandingkan, ada

korelasi erat antara tipe tindak pidana korupsi penyuapan disektor publik maupun

swasta.

c. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan Memperkaya Secara Tidak Sah

(Ilicit Enrichment).

Pada asasnya, tindak pidana korupsi perbuatan memperkaya secara tidak sah

(Ilicit Enrichment) diatur dalam ketentuan Pasal 20 KAK 2003.

Ketentuan Pasal 20 KAK 2003 mewejibkan kepada setiap negara peserta

konvensi mempertimbangkan dalam prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya untuk

menetapkan suatu tindak pidana bila dilakukan dengan sengaja, memperkaya

secara tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat

publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan

pendapatannya yang sah. Apabila dijabarkan, kriminalisasi perbuatan


37

memperkaya diri sendiri sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri mempunyai

implikasi terhadap ketentuan Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 khususnya unsur

kerugian negara yang bukan sebagai anasir esensial dalam Pasal 3 butir 2 KAK

2003.

d. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Memperdagangkan Pengaruh (Trading in

Influence).

Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 KAK 2003. Tipe

tindak pidana korupsi baru dengan memperdagankan pengaruh (Trading in

Influence) sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menjanjikan,

menawarkan atau memberikan kepeda seseorang pejabat publik atau orang lain,

secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya,

agar pejabat publik itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang

diperkirakan, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli

tindakan tersebut atau untuk orang lain.

Mengetahui bentuk atau jenis perbuatan yang dikategorikan sebagai

korupsi adalah upaya dini untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan

Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal – Pasal UU No 31 Tahun 1999 jo UU

No 20 Tahun 2001 tersebut, korupsi dikelompokan 7 bentuk korupsi diantaranya

adalah :

1. Korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan Negara. (Pasal 2 dan 3)

2. Korupsi yang terkait dengan suap menyuap.(Pasal 5 ayat (1) huruf a,

Pasal 5 ayat (1) huruf b,Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal
38

12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b,

Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d.)

3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9,

Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c)

4. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan.(Pasal 12 huruf e,

Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf f)

5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.(Pasal 7 ayat (1) huruf a,

Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d,

Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h)

6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan.

(Pasal 12 huruf i)

7. Korupsi yang terkait dengan gratikasi (Pemberian Hadiah).(Pasal 12 B jo.

Pasal 12 C)

Berikut ini, beberapa bentuk Korupsi yang sering terjadi di masyarakat

dan lembaga – lembaga pemerintahan, yaitu : a). Suap b). Hadiah c). Pemerasan

d). Pungli e). Mark up f). Transaksi rahasia g). Penggelapan h). Mengkhianati

amanah i). Melanggar sumpah jabatan j). Kolusi k). Nepotisme m).

Penyalahgunaan jabatan dan fasilitas Negara .

Korupsi sebagaimana dalam pembahasan tersebut di atas adalah

merupakan sebuah penyalahgunaan wewenang ataupun kekuasaan dari

kepentingan publik kepada kepentingan peribadi, kelompok dan atau golongan

yang dapat merugikan kekayaan negara ataupun perekonomian negara.


39

Penyalahgunaan wewenang ini dapat diperluas bukan hanya dalam lingkup

pemerintahan semata. Tetapi juga dalam semua lingkup kehidupan masyarakat

seperti lembaga sosial kemasyarakatan. Oleh karena itulah maka Syeh Husen

Alatas dalam bukunya Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, menyatakan bahwa inti

dari korupsi itu adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan peribadi.

Lebih lanjut Syed Husen Alatas menyatakan bahwa korupsi itu dapat

dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk, sebagai berikuti37:

1. Korupsi Transaktif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan

atas dasar kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima

dari keuntungan peribadi masing-masing pihak dan kedua pihak sama-sama

aktif melakukan usaha untuk mencapai keuntungan tersebut.

2. Korupsi Ekstortif (Memeras). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi dimana

terdapat unsur paksaan, yaitu pihak pemberi dipaksa untuk melakukan

penyuapan guna mencegah terjadinya kerugian bagi dirinya, kepentingannya,

orang-orang, atau hal-hal yang penting baginya

3. Korupsi Nepotistik (Perkerabatan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi

dengan melakukan penunjukan secara tidak sah terhadap kawan atau kerabat

untuk memegang suatu jabatan publik, atau tindakan yang memberikan

perlakuan istimewa dalam bentuk uang atau bentuk lain kepada mereka secara

bertentangan dengan norma atau ketentuan yang berlaku

37
Chaerudin DKK, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
(Bandung PT Refika Aditama, 2008) hal 2
40

4. Korupsi Investif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang berwujud

pemberian barang atau jasa tanpa ada keterkaitan langsung dengan

keuntungan tertentu, melainkan mengharapkan suatu keuntungan yang akan

diperoleh di masa depan

5. Korupsi Suportif (Dukungan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang

berbetuk upaya penciptaan suasana yang dapat melanggengkan, melindungi

dan memperkuat korupsi yang sedang dijalankan

6. Korupsi Autogenik. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan

secara individual untuk mendapatkan keuntungan karena memahami dan

mengetahui serta mempunyai peluang terhadap obyek korupsi yang tidak

diketahui oleh orang lain

7. Korupsi Defensif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan

oleh korban korupsi dalam rangka mempertahankan diri terhadap upaya

pemerasan terhadap dirinya.

Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang

diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci

dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya.

Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-

undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak

pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan

tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama

tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20


41

tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat

dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.38

Kategorisasi pertama ini lebih mengacu terhadap pelaku tindak pidana

korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan

sehingga memungkinkan terjadinya korupsi. Perincian dari kategorisasi tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Korupsi yang terjadi antara pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan pihak non penyelenggara negara berupa

pemberian atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara

tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang

bertentangan dengan kewajiban, dilakukan berhubungan dengan

sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak

dilakukan dalam jabatannya (lihat Pasal 5 ayat (1);

b. Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan yang

dapat mempengaruhi putusan perkara, dengancara memberikan atau

menjanjikan sesuatu kepada hakim (lihat Pasal 6 ayat (1);

c. Korupsi yang terjadi di lingkungan kegiatan

pemborongan, pembangunan, dan pengadaan barang (lihat Pasal 7 ayat

(1).

d. Penggelapan uang atau surat berharga yang

dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang

38
Tintin Sri Murtinah, Tinjauan Konseptual Yuridis Terhadap Korupsi
42

ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau

sementara waktu (lihat Pasal 8);

e. Pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau

orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu

jabatan umum secra terus menerus atau sementara waktu (lihat Pasal

9);

f. Gratifikasi (pemberian uang, barang, rabat/diskon,

komisi, pinjaman tanpa bungan, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,

perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lain sebagainya) yang

diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berkaitan

dengan jabatan dan kewajibannya (lihat Pasal 11 dan 12);

g. Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri

karena jabatan atau kedudukannya (Pasal 13);

h. Pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang

lain baik secara formal maupun materiil yang mengkategorikan

perbuatan tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14);

i. Perbuatan percobaan pembantuan atau pemufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);

j. Perbuatan, yang terjadi di dalam wilayah Republik

Indonesia, memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan

untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16).

Kategorisasi kedua menitikberatkan pada perbuatan yang berkaitan dengan

kategorisasi pertama, sebagai berikut:


43

a. Perbuatan mencegah, merintangi, atau

menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi

dalam perkara korupsi (lihat Pasal 21);

b. Perbuatan tidak memberikan keterangan atau

memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22);

c. Pelanggaran terhadap ketentauan dalam Pasal 220,

Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana ( Pasal 23).

Sebagai bahan pembanding terhadap kategorisasi menurut Undang-undang

No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999, maka adalah sesuatu hal

yang menarik bila melihat kepada kajian yang dilakukan oleh The Norwegian

Agency for Development Cooperation. Pengkategorian tersebut ditujukan untuk

mencegah timbulnya overlapping dan tertukarnya pengertian-pengertian tersebut

satu sama lainnya. Selain itu pengkategorian korupsi ini juga memiliki tujuan

untuk memudahkan pengidentifikasian terhadap karakter-karakter dasar korupsi.

Kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut (2004):

a. Penyuapan adalah pembayaran (baik dalam bentuk

uang ataupun dalam bentuk lainnya) yang diberikan atau diterima

dalam suatu hubungan yang korup. Untuk membayar atau menerima

suap dapat digolongkan sebagai korupsi, dan harus dipahami sebagai

inti dari korupsi. Penyuapan adalah suatu jumlah tertentu, suatu

persentase dari nilai kontrak, atau bentuk-bentuk lain dari pemberian


44

uang, yang biasanya dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat

membuat kontrak atas nama negara atau mendistribusikan keuntungan

kepada negara, individu, pengusaha dan klien.

Suap sendiri dapat dibedakan atas pembayaran kembali, uang pelicin,

dan hadiah, yang diterima dari publik. Bentuk-bentuk pembayaran

tersebut ditujukan untuk mempercepat dan mempermudah berbagai

urusan yang berkaitan dengan birokrasi negara. Pemberian tersebut

dipergunakan untuk menghindari pajak, peraturan-peraturan yang

berkaitan dengan lingkungan hidup, atau bahkan untuk memproteksi

pasar dan monopoli, perizinan ekspor-impor, dan lain-lain.

Suap juga dapat berupa pajak tidak resmi, jika pejabat publik

membebankan “biaya tambahan” (under the table payment) kepada

konsumen (masyarakat/publik). Dapat pula dikategorikan sebagai

suap apabila seorang pejabat pemerintah atau orang-orang partai yang

melakukan kampanye dan kemudian oleh para pemilihnya diberikan

donasi ataupun bentuk-bentuk hadiah lainnya.

b. Penggelapan merupakan bentuk pencurian yang

dilakukan oleh pejabat publik terhadap publik, merupakan bentuk

penyalahgunaan dana publik. Penggelapan terjadi bila pejabat negara

mencuri dari institusi publik yang dipimpinnya. Bagaimanapun,

pegawai yang tidak loyal dapat menggelapkan uang dan bentuk-bentuk

lainnya dari tempat mereka bekerja.


45

Dari sudut hukum, penggelapan tidak termasuk dalam kategori

korupsi. Menurut terminasi hukum korupsi merupakan transaksi antara

dua individu, yaitu pemerintah di satu sisi dan publik di sisi lainnya,

yaitu oknum pemerintah tersebut mempergunakan hukum dan

peraturan untuk melindungi dirinya dari bentuk suap. Penggelapan

lebih tepat dikategorikan sebagai bentuk pencurian karena perbuatan

tersebut tidak melibatkan sisi publik secara langsung. Berdasarkan hal

tersebut harus ada political will yang bertindak sebagai suatu

kekuasaan kehakiman yang bebas dan kemampuan hukum untuk

mengawasi penggelapan. Penggelapan merupakan bentuk dari korupsi

dan penyalahgunaan wewenang. Dapat dikategorikan sebagai

penggelapan adalah manakala pejabat publik melalui kekuasaan dan

kewenangan yang dimilikinya memperluas bisnis pribadi dan

mendistribusikannya kepada anggota-anggota keluarga mereka.

Sejumlah bentuk perusahaan negara dan badan usaha negara lainnya

dipegang oleh orang-orang yang dekat dan keluarga dari pihak yang

berkuasa.

c. Penipuan merupakan kejahatan ekonomi yang melibatkan bentuk-

bentuk tipuan. Hal ini merupakan perluasan bentuk dari penggelapan

dan suap. Sebagai contoh dari bentuk penipuan adalah bila agen-agen

negara dan perwakilan-perwakilan negara terikat dalam jaringan

perdagangan ilegal.
46

d. Pemerasan adalah meminta uang ataupun bentuk-bentuk lainnya

yang mempergunakan kekerasan dan paksaan. Yang dapat

dikategorikan sebagai bentuk pemerasan dalam hal ini adalah

penarikan uang perlindungan atau uang keamanan yang biasa

dilakukan oleh “preman-preman”. Praktek korupsi pada bentuk ini

dapat juga berasal dari atas, jika negara sendiri yang bertindak sebagai

mafia.

e. Kolusi merupakan mekanisme penyalahgunaan wewenang dalam

hal privatisasi dan distribusi yang bias dari sumber daya milik negara.

Kolusi merupakan perbuatan yang melibatkan orang-orang yang

memiliki kedekatan seperti misalnya keluarga, orang yang dipercayai

ataupun kolega. Kolusi berkaitan dengan korupsi yang berdampak

terhadap tidak meratanya distribusi sumber daya. Kolusi bukan hanya

merupakan permasalahan hukum dan prosedur melainkan juga

menyangkut mengenai permasalahan kualifikasi, skill dan inefisiensi.

f. Nepotisme adalah bentuk khusus dari kolusi,

pemegang kekuasaan lebih menyenangi dalam berhubungan dengan

orang-orang tertentu seperti misalnya keluarga.

B. Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi


47

Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum

pidana umum. Hal itu nyata dalam hal39 :

1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia (Pasal 23 ayat (1)

sampai ayat (4) UU PTPK 1971; Pasal 38 ayat (1),(2),(3) dan (4) UU

PTPK 1999).

2. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa

yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah

lagi (Pasal 23 ayat 5 UU PTPK 1971; Pasal 38 ayat (5) UU PTPK 1999)

bahkan kesempatan banding tidak ada.

3. Perumusan delik dalam UU PTPK 1971 yang sangat luas ruang

lingkupnya, terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU

PTPK 1971; Pasal 2 dan 3 UU PTPK 1999

4. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik penggelapan (Pasal 415

KUHP) oleh yurisprudensi baik di Belanda maupun di Indonesia sangat

luas. Ulasan mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana tersebut di

atas dilanjutkan dibawah ini. Pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8 UU PTPK

2001.

Meskipun di negeri Belanda dan Indonesia, yang hukum pidananya

bersumber pada negeri Belanda, dianut asas keine strafe ohne schuld atau geen

straf zonder schuld baik dalam kejahatan maupun dalam pelanggaran, kadang-

kadang unsur kesengajaan tidak diutamakan seperti halnya Wet op de

39
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal 93
48

economische delicten 1950 di negeri Belanda dan UU TPE di Indonesia mengenai

pemidanaan orang yang tidak dikenal (onbekende overtreder) (Pasal 6 UU TPE).

Pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal

dalam delik korupsi, tetapi dapat juga dilakukan pemeriksaan sidang dan putusan

dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa (putusan in absentia) sesuai dengan

ketentuan Pasal 23 ayat (1) sampai dengan 4 UU PTPK 1971 (Pasal 38 ayat (1),

(2),(3)dan (4) UU PTPK 1999).

Begitu pula bagi orang yang meninggal sebelum ada putusan yang tidak

dapat diubah lagi, yang diduga telah melakukan korupsi, hakim atas tuntutan

penuntut umum dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita

(Pasal 23 ayat (5) UU PTPK 1971). Kesempatan banding dalam putusan ini tidak

ada. Orang yang telah meninggal dunia tidak mampu melakukan delik. Delik

dilakukan sewaktu ia masih hidup, tetapi pertanggungjawabannya setelah

meninggal dunia dibatasi sampai pada perampasan barang-barang yang telah

disita.

Begitu pula dalam perumusan Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU PTPK 1971,

terdapat unsur “langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara

dan/atau perekonomian negara” bahkan pada sub b ada tambahan kata “dapat”

merugikan keuangan negara. Ini menunjukan bahwa “kerugian negara” yang

timbul akibat perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu hal yang

dipertanggungjawabkan sama dengan strict liability karena “langsung atau tidak

langsung (dapat) merugikan keuangan negara” merupakan perumusan yang amat

luas artinya sehingga dengan mudah penuntut umum membuktikannya. Kata-kata


49

“langsung dan tidak langsung” telah dihapus dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK 1999.

Scrict liability ialah suatu konsepsi yang tidak memerlukan pembuktian adanya

sengaja dan alpa pembuat delik.

A.Z. Abidin menyebut tiga alasan diterimanya scrict liability terhadap

delik-delik tertentu.

1. Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu

demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati.

2. Pembuktian mens rea (sikap batin si pembuat) terhadap delik-delik serupa

sangat sulit.

3. suatu tingkat tinggi “bahaya sosial” dapat membenarkan penafsiran suatu

delik yang menyangkut scrict liability.

Dalam hal delik korupsi yang berbentuk penggelapan oleh pegawai negeri

atau pejabat (Pasal 415 KUHP), yang ditarik menjadi delik korupsi (Pasal 8UU

PTPK 2001), secara expressis verbis tercantum unsur (bestanddeel) sengaja.

Dalam yurisprudensi ditentukan bahwa suatu kas bon (pinjaman seorang pegawai

pada kas) atas izin bendaharawan, walaupun uang itu dibayar kembali,

dirumuskan sebagai penggelapan oleh bendaharawan itu (Putusan Mahkamah

Agung tanggal 7 April 1956). Bahkan ditentukan lebih lanjut bahwa walaupun

tidak bermanfaat lagi bendaharawan itu, asal uang itu tidak dipergunakan pada

tujuannya, dikualifikasikan sebagai penggelapan (Putusan Mahkamah Agung

tanggal 30 Juni 1964).

Jadi dapat dikatakan bahwa walaupun bendaharawan itu karena alasan

perikemanusiaan meminjamkan uang kepada seorang pegawai dan walaupun uang


50

itu pada akhirnya dikembalikan, yang berarti negara tidak rugi, delik penggelapan

pun dipandang telah terjadi.

Hal ini dianut oleh yurisprudensi, mungkin atas pertimbangan bahwa delik

tersebut termasuk delik jabatan, yang tidak selalu kerugian negara menjadi alasan

utama, tetapi “hal pegawai yang tidak becus” yang mencampuradukan uang

pribadi dengan uang negara menjadi masalah inti.

Berlainan dengan delik ekonomi dan delik fiskal yang bukan hanya orang

yang menjadi penanggung jawab pidana, tetapi juga badan hukum dan koperasi,

delik korupsi hanya mengenal orang sebagai penanggungjawab pidana. UU PTPK

1971 menyebut “badan” atau “badan hukum”, tetapi bukan sebagai penanggung

jawab pidana, melainkan sebagai pihak yang diperkaya atau diuntungkan oleh

delik korupsi (sesuai Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU PTPK 1971). Sementara itu,

UU PTPK 1999 Jo. UU No 20 tahun 2001 menjadikan korporasi subjek delik.

UU PTPK 1999 Jo UU No 20 tahun 2001 memperluas pengertian orang

(Pasal 1sub 3 c menyebut dengan kata “setiap orang”), termasuk juga korporasi.

Pasal 1 sub 1 UU PTPK 1999 Jo UU No 20 tahun 2001 memberi arti korporasi

adalah sebagai berikut.

“kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan

badan hukum maupun bukan badan huku”

Sementara itu, Pasal 1 sub 3 UU PTPK 1999 Jo UU No 20 tahun 2001

menyebutkan sebagai berikut :

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.” Di

dalam setiap rumusan delik korupsi UU PTPK 1999 Jo UU No 20 tahun


51

2001 (Pasal 2 sampai dengan Pasal 16, Pasal 21 dan 22) menyebut pelaku

delik dengan kata “setiap orang”.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana perlu dibahas karena pada delik

korupsi dikenal semacam alasan pembenar, yang tercantum dalam pasal 17 ayat

(2) UU PTPK 1971 berikut ini. “kalau dalam perbuatan itu negara tidak dirugikan

atau dilakukan demi kepentingan umum”.

Dalam hal ini,dikemukakan pendapat para penulis hukum pidana

khususnya pertanggungjawaban pidana, baik yang memisahkan perbuatan dan

pertanggungjawaban pidana maupun tidak.

Simons merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut.

“Eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande,

van een toeekeningsvatbaar persoon” (Suatu perbuatan yang oleh hukum

diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum,dilakukan oleh

seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas

perbuatannya)

Pendapat yang memisahkan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana

pertama-tama dianut oleh seorang sarjana hukum pidana Jerman, Herman

Kantorowicz. Ini disebut dan diperkenalkan oleh Moeljatno dalam Pidato Dies

Natalis VI Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1955 yang berjudul

“Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana.”


52

Satochid Kartanegara40 mengatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan

(toerekeingsvatbaarheid) adalah mengenai keadaan jiwa seseorang sedangkan

pertanggungjawaban adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si

pelaku atau pembuat. Selanjutnya, Sathocid mengatakan, seseorang dapat

dipertanggungjawabkan, jika :

1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga dia dapat

mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya, juga akan mengerti akan

akibatnya.

2. jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga dia dapat menentukan

hendaknya atas perbuatan yang dilakukan.

3. orang itu sadar dan insaf bahwa perbuatan yang dilakukan adalah

perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum,

masyarakat dan tatasusila.

Menurut Vos, pendapat Simons itu sejalan dengan Memori Van

Toelichting, yang melihat hanya dalam dua hal saja. Orang dapat menerima tidak

dapat dipertanggungjawabkan pada si pembuat :

1. Dalam hal perbuatannya dipaksa. Si pembuat tidak ada kebebasan untuk

memilih antara berbuat dan tidak berbuat apa yang dilarang oleh undang-

undang.

40
Sathocid Kartenegara, Hukum Pidana I Kumpulan Kuliah, Balai Lektor Mahasiswa,
Jakarta halaman 243-244
53

2. Dalam hal si pembuat dalam ketentuan tertentu sehingga tidak

menginsyafi bahwa perbuatannya akan bertentangan dengan hukum dan

dia tidak mengerti akan akibat perbuatannya, gila dan sebagainya.41

Simons, mengatakan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeingsvatbaarheid)

dapat dipandang sebagai keadaan psikis sedemikian rupa sehingga si pembuat

atau pelaku mampu untuk menginsyafi atau mengetahui bahwa perbuatannya

adalah melanggar hukum dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk

menentukan kehendaknya42

E. Mezger menentukan tiga macam dalam pengertian kesalahan, yakni :

1. Kemampuan bertanggungjawab

2. Bentuk kesalahan berwujud kesengajaan dan kealpaan.

3. Alasan-alasan penghapus kesalahan

Ada persamaan pendapat antara Vos dan Mezger yang tidak memasukan

unsur melawan hukum perbuatan dalam bidang kesalahan. Sedangkan Moelyanto

dan Roeslan Saleh memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban

pidana.

Roeslan Saleh43 mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan yang

mengakibatkan dipidanannya terdakwa, pada terdakwa harus ada :

1. Melakukan perbuatan pidana (Delik)

2. Mampu bertanggungjawab

3. Dengan sengaja atau alpa

41
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, CV
Mandar Maju, Bandung, 2001, halaman 31
42
Ibid halaman 31
43
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, 1986, halaman 59-60
54

4. Tidak ada alasan pemaaf.

Selanjutnya Roeslan Saleh mengatakan dalam hal kemampuan bertanggungjawab

ada dua faktor , yaitu :

a. Akal dan

b. Kehendak

Dengan akal atau daya pikir, orang dapat membedakan antara perbuatan

yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Dan dengan

kehendak atau kemauan atau keinginan yang dapat menyesuaikan tingkah laku

mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

Menurut Kantorowicz, untuk adanya penjatuhan pidana terhadap pembuat

(Strafvorrassetzungen) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan

pidana (Strafbare Handlung), lalu sesudah itu diikuti dengan dibuktikannya

adanya Schuld atau kesalahan subjektif pembuat.

Mengenai pertanggungjawaban pidana pada delik korupsi, perlu kita tinjau

ketentuan pada Pasal 1 ayat (2) UU PTPK 1971 (sekarang Pasal 15 UU PTPK

1999 Jo UU No 20 tahun 2001) yang mengatur tentang percobaan dan

pemufakatan melakukan korupsi.

Dengan sendirinya ketentuan ini terutama tentang permufakatan

melakukan perbuatan korupsi, memperluas pertanggungjawaban pidana. Artinya

jika sebelumnya perbuatan seperti itu bukan delik atau si pembuat tidak

dipertanggungjawabkan atas perbuatan seperti itu, sekarang menjadi delik.

Hal ini dikemukakan oleh Sudarto sebagai berikut.


55

“Coba kita bayangkan betapa luasnya aturan ini, betapa mudahnya

seseorang dapat dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi yang

berbentuk permufakatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Untuk

adanya tindak pidana itu telah cukup, bila ada suatu konsensus untuk

melakukan kejahatan dari dua orang lebih”

Harus diingat bahwa penjelasan atau penafsiran autentik tentang

pemufakatan yang tercantum dalam Pasal 88 KUHP tidak berlaku untuk

perundang-undangan pidana khusus dan perundang-undangan lain yang bersanksi

pidana karena pasal itu termasuk bab IX Buku I, yang tidak dinyatakan berlaku

oleh Pasal 103 KUHP untuk perundang-undangan khusus dan perundang-

undangan lain yang bersanksi pidana. Hal yang dinyatakan berlaku hanyalah

delapan bab yang pertama Buku I KUHP. Jadi meliputi bab I-VIII dan tidak

termasuk Bab IX. Namun demikian, norma tentang penafsiran autentik

permufakatan ini dapat diambil sebagai pencerminan untuk menafsirkan

permufakatan melakukan perbuatan korupsi.

Meskipun belum terjadi perbuatan korupsi secara materiel, pidananya

menjadi sama dengan delik, seperti pada Pasal 1 ayat (1) sub a,b,c,d, dan e UU

PTPK 1971 (sekarang Pasal 2,3,5 sampai dengan 14 UU PTPK 1999 Jo UU No

20 Tahun 2001).

Begitu pula tentang percobaan melakukan korupsi, pidananya sama

dengan delik korupsi diatas. Dengan demikian, ketentuan UU PTPK tentang

percobaan ini menyimpang dari ketentuan Pasal 53 KUHP. Ketentuan ini mirip

dengan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU TPE),


56

tetapi masih ada perbedaan karena dalam UU TPE khususnya jika dibaca

penjelasannya, dikatakan pada delik percobaan, pidanannya dapat dipotong

dengan sepertiga (jadi) dapat menjadi sama dengan Pasal 53 KUHP.

Dalam percobaan melakukan delik korupsi syarat harus sama dengan

ketentuan Pasal 53 KUHP, artinya harus ada niat, ada permulaan pelaksanaan, dan

pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak sendiri. Hal yang

menyimpang dari Pasal 53 KUHP ialah pidananya tidak dipotong dengan

sepertiganya. Memang menurut Pasal 103 KUHP berlaku juga ketentuan seperti

Pasal 53 KUHP untuk perundangan-undangan pidana khusus kecuali kalau

undang-undang itu menentukan lain (lex specialis derogat legi generali).

Korporasi juga sudah dinyatakan bertanggung jawab pidana. Artinya

korporasi dapat dijatuhi pidana melakukan delik korupsi. Jadi yang dapat dijatuhi

pidana adalah baik pimpinan yang memberi perintah maupun mereka yang

memimpin sendiri perbuatan korupsi itu bersama-sama dengan korporasinya atau

salah satunya.

Sebagaimana halnya dengan delik umum, tidak semua delik korporasi

dapat dipertanggungjawabkan pidana. Ada delik yang memang ditujukan kepada

orang secara individual, misalnya naik motor tidak memakai helm, yang pasti

korporasi tidak mungkin menjadi subjek. Begitu pula delik perkosaan,

pembunuhan anak sendiri, penganiayaan, dan lain-lain.

Dalam delik korupsi, ada delik misalnya melawan hukum memperkaya

diri sendiri, sulit diterapkan kepada korporasi. Akan tetapi, yang paling umum
57

dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi dalam delik korupsi ialah

perbuatan menyuap pejabat publik.

C. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pandangan Hukum Islam

Korupsi di Indonesia sudah begitu menggurita, layaknya sebuah virus ia

telah menyebar ke seluruh sel dan masuk ke aliran darah. Karena parahnya

sehingga pencucian darah sekalipun sepertinya menjadi sesuatu yang sia-sia. Oleh

karena itu, usulan untuk melakukan pemotongan generasi (cutting generation),

yang seakan-akan merupakan sebuah keputusasaan, menjadi alternatif

penyembuhan yang sangat logis.

Korupsi memang bukan lagi hanya merupakan kejahatan biasa tetapi

sudah menjadi kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), oleh karenanya

pemberantasannya juga harus dengan cara-cara yang luar biasa. Segenap daya dan

kekuatan bangsa harus dicurahkan untuk memberantas penyakit yang sangat

berbahaya ini. Penulis masih berkeyakinan bahwa hukum islam masih memiliki

power dan peranan yang signifikan dan strategis dalam rangka ikutserta

memberantas korupsi di Indonesia. Tidak bisa dibiarkan bangsa ini selalu menjadi

bangsa ranking teratas dalam hal korupsi.

Salah satu kontribusi hukum islam yang bisa digali menurut penulis

adalah dengan cara melihat korupsi dalam pandangan hukum islam dan

bagaimana pemberantasan korupsi di Indonesia dalam hukum Islam untuk

kemudian dikontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia saat ini.


58

Menurut penulis, untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia dari

sudut pandang hukum Islam paling tidak ada empat usaha yang harus segera

dilakukan. Empat usaha tersebut adalah:

1. Memaksimalkan hukuman

Keprihatinan masyarakat terhadap maraknya tindak pidana korupsi di

tanah air mendorong lahirnya berbagai wacana dan gagasan tentang relevansi

hukuman mati sebagai alternatif hukuman maksimal bagi pelaku tindak pidana

korupsi. Kontrovesi pun bergulir dengan derasnya, antara yang setuju dan

menolak. Namun, tentu kita sepakat dalam satu hal bahwa perlu adanya penjeraan

terhadap pelaku korupsi.

Melihat dampak yang diakibatkan oleh perilaku koruptif, maka tidak

mengherankan jika banyak kalangan berharap, atau paling tidak membuka kran,

pemberlakuan hukuman mati sebagai sanksi maksimal bagi pelaku tindak pidana

korupsi. Secara yuridis, ini dimungkinkan mengingat hukum di Indonesia masih

menganut pemberlakuan hukuman mati. Dari titik ini maka pewacanaan dan

implementasi hukuman mati bagi koruptor jelas memiliki akar filosofis dan

yuridis.

Bahkan, pada pasal 2 ayat [2] UU No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui dengan UU No. 20

Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 dinyatakan secara

tegas bahwa, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

ayat [1] dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
59

Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “keadaan

tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi

pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan

terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana

alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,

penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan sebagai pengulangan tindak

pidana korupsi.

Hukum Islam mendasarkan rumusan hukuman dalam pelanggaran pidana

pada dua aspek dasar, yaitu ganti rugi/balasan (retribution) dan penjeraan

(deterrence). Dalam hal retribusi sebagai alasan rasional dibalik pemberian

hukuman, dua hal secara inhern menjadi unsur yang harus ada di dalamnya: (1)

kekerasan suatu hukuman, dan (2) keharusan hukuman itu diberikan kepada

pelaku perbuatan kriminal. Sedangkan tujuan penjeraan yang pokok adalah

mencegah terulangnya perbuatan pidana tersebut di kemudian hari. Penjeraan

memiliki dua efek, yaitu internal dan general. Internal supaya pelakunya kapok,

tidak mengulangi perbuatannya lagi. General maksudnya penjeraan itu

diproyesikan kepada masyarakat secara umum agar takut untuk melakukan tindak

kriminal.44

Dalam hal pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi

karena termasuk jarimah ta’zir maka hakim yang menentukan. Hakim bisa

berijtihad dalam menentukan berat ringannya hukuman. Meski demikian, dalam


44
Ratno Lukito “Reformulasi Teori Hukuman Dalam Sistem Hukum Pidana Islam
(Upaya Menuju Reformasi Hukuman)” dalam Asy-Syir’ah, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN
Sunan Kalijaga, 2001), Nomor 8. Tahun 2001, hlm. 87
60

menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada

tujuan syara’(hukum islam) dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan

masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang

koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu

juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.45

Karena hakim memiliki kewenangan untuk berijtihad dalam menentukan

hukuman terhadap koruptor, maka menurut penulis, hakim bisa merujuk atau

menjadikan bahan pertimbangan bentuk-bentuk sanksi mengenai korupsi yang ada

dalam hukum Islam. Misalnya kalau penyalahgunaan wewenang atau jabatan

(ghulul) sanksinya adalah membakar hartanya, memukul dan atau mengarak

keliling pelakunya bahkan bisa sampai hukuman mati. Tentunya sanksi-sanksi

tersebut harus disesuaikan dengan konteks hukum di Indonesia. Membakar harta

misalnya bisa disamakan dengan menyita harta koruptor dan menjadikannya kas

negara. Mengarak keliling pelakunya bisa memasang nama-nama koruptor di

media baik cetak maupun elektronik supaya koruptor tersebut merasa malu dan

tidak berani lagi mengulangi perbuatannya. Bahkan kalau pejabat tersebut

melakukan korupsi uang negara yang sangat banyak di mana pada satu sisi

perbuatannya bisa menyebabkan kehancuran negara dan pada sisi yang lain rakyat

negara tersebut sedang ditimpa krisis dan bencana, hakim sepantasnya dan

seharusnya memberikan hukuman mati kepada koruptor tersebut.

Menurut ulama’ Hanafiyah, hukuman jarimah ta’zir tidak terbatas pada

sekedar mencambuk atau memenjarakan saja, bahkan adakalanya ta’zir itu


45
Abd. Azis Dahlan (et all.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, Cet. 1, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 976
61

merupakan hukuman mati, apabila keadaan dan peristiwa menghendaki demikian.

Korupsi pada batas-batas tertentu di mana tindak pidana korupsi tersebut jauh

lebih berbahaya dari jarimah hudud dan qisas menurut penulis merupakan

peristiwa hukum yang menghendaki hukuman mati. Pendapat ulama’ Hanafiyah

tersebut disetujui oleh syaikhul Islam al-Imam Ibn Taimiyah dan al-Imam Ibn al-

Qayyim.

Intinya kalau bangsa ini ingin benar-benar keluar dari cap bangsa paling

korup, bangsa ini harus berani memberikan sanksi atau hukuman maksimal

kepada para pelaku tindak pidana korupsi, bukan malah memberikan kebebasan

kepada para koruptor sehingga bisa lepas dari jeratan hukum. Kalau tidak, bangsa

ini akan selalu dipegang oleh orang-orang yang korup dan tidak

bertanggungjawab.

2. Penegakan Supremasi hukum

Dalam sejarah peradilan Islam, tegaknya supremasi hukum (supreme of

court) didukung oleh beberapa faktor, yaitu: pertama lembaga peradilan yang

bebas. Maksudnya kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala

macam intervensi kekuasaan eksekutif. Kedua amanah. Maksudnya kekuasaan

kehakiman merupakan amanah dari Allah. Oleh karena itu, sebelum memutuskan,

hakim selalu berlindung dan mengharap ridha Allah agar hukum yang ditetapkan

memiliki rasa keadilan.

Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat karena salah satu

falsafah diberlakukannya hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Di depan

hukum semua orang sama sebagaimana adagium hukum yang selalu dikutip para
62

ahli hukum “Equality Before Law”. Untuk menegakkan keadilan tersebut Allah

SWT menegaskan dalam tiga ayat dalam Firmannya, yakni pertama surat An-

Nisa’ ayat (57) bahwa menegakkan hukum adalah kewajiban bagi semua orang.

Kedua surat Al-Maidah ayat (8) bahwa setiap orang apabila menjadi saksi

hendaknya berlaku jujur dan adil. Ketiga surat An-Nisa’ ayat (135) bahwa

manusia dilarang mengikuti hawa nafsu.

Dalam penerapan sanksi, Islam sangat mempertimbangkan rasa keadilan,

baik keadilan sosial (social justice) maupun keadilan individual (individual

justice). Abu Zahrah berkomentar bahwa kedatangan Islam adalah untuk

menegakkan keadilan dan melindungi keutamaan akal budi manusia. sedangkan

as-Sabuni menyatakan bahwa Islam datang dengan membawa kepentingan

menuju pada tegaknya keadilan, melindungi kehormatan manusia, mencegah

segala bentuk kejahatan, memberi pelajaran pada pelaku tindak kejahatan dengan

memberikan sanksi seimbang sesuai dengan tingkat kesalahan seseorang.

Untuk memberantas korupsi di Indonesia mau tidak mau hukum harus

tegak, hukum harus jadi panglima di negeri ini, lembaga peradilan harus amanah

dan bebas dari segala intervensi siapapun, sebagai benteng terakhir para pencari

keadilan, lembaga peradilan harus memberikan jaminan rasa adil bagi setiap

warga tanpa pandang bulu. Jangan lagi ada ungkapan bahwa hukum

menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah, dan tidak

punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki

akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat.

Penegakan supremasi hukum harus adil tanpa pandang bulu, baik orang lemah,
63

orang kuat, orang miskin, orang kaya, anak petani, anak pejabat. Kalau melakukan

korupsi harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. Rasulullah telah memberi

contoh bahwa beliau sendiri yang akan memotong tangan putri yang paling

dicintai, Fatimah, andaikan Fatimah mencuri. Pengadilan harus memiliki

kewibawaan di depan para pencari keadilan, sehingga siapapun tidak akan coba-

coba untuk merongrong kewibawaan lembaga peradilan.

3. Perubahan dan Perbaikan Sistem

Pembenahan sistem baik sistem birokrasi pemerintahan maupun sistem

hukum niscaya perlu dilakukan. Sistem birokrasi di Indonesia dikenal paling ribet

sehingga kadang-kadang sulit dilakukan pengawasan. Sudah bukan rahasia lagi

bahwa terdapat pungli misalnya di bagian imigrasi, pembuatan SIM, pelanggaran

lalu lintas dan lain sebagainya. Yang ironis adalah di Departemen Agama sebagai

tempatnya orang-orang ‘beriman’ ternyata mereka jauh lebih rakus ketimbang

tikus-tikus kelaparan. Kita bisa melihat misalnya kasus korupsi dana abadi umat

dalam penyelenggaraan ibadah haji. Sungguh sangat memperihatinkan ongkos

untuk naik haji yang barangkali didapat dengan cara harus menjual tanah,

kambing, sapi dan barang-barang lainnya harus dikorupsi oleh para pejabat yang

sebenarnya kehidupannya sudah lebih layak.

Khusus penyelenggaraan ibadah haji, menurut penulis penting dipikirkan

kecenderungan tuntutan global berupa tuntutan privatisasi penyelenggaraan

ibadah haji. Ada dua segi dari tuntutan privatisasi ini; pertama, pengelolaan

ibadah haji yang semula bersifat tunggal oleh pemerintah, dikembangkan menjadi

“Free Enterprise” bagi pihak swasta. Kedua, kebijakan privatisasi perlu dipahami
64

sebagai upaya melepas monopoli penyelenggaraan dan kontrol oleh pemerintah

yang selama ini justru menyebabkan praktek korupsi, kolusi, nepotisme (KKN)

besar-besaran dalam bisnis haji.

Demikian juga sistem hukum di negeri ini yang masih berbau penjajah

perlu segera dibenahi. Sistem hukum yang berlaku adalah sistem hukum Belanda

yang tergolong kepada sistem Eropa Kontinental di mana lebih menitikberatkan

kepada formal-prosedural dan cenderung positivistik. Paradigma rechstaat yang

formal-prosedural seperti ini sebaiknya diganti dengan paradigma the rule of law

yang mementingkan keadilan.

Dalam sistem Eropa Kontinental, metode pembuktian yang dipakai

misalnya adalah barangsiapa yang menuduh seseorang korupsi maka si penuduh

tersebut harus bisa memberikan bukti-bukti lengkap atas tuduhannya, tidak

perduli apakah kekayaan yang dimiliki si tertuduh sesuai atau tidak dengan

pendapatannya. Kalau tidak, maka dia dianggap melakukan pencemaran nama

baik dan bisa dihukum karenanya. Usulan banyak kalangan agar diberlakukan

sistem ‘pembuktian terbalik’ terutama dalam kasus korupsi penting dicatat dan

kalau memungkinkan bisa segera diterapkan sehingga apabila ada orang yang

dituduh korupsi si tertuduh lah yang harus membuktikan bahwa dia tidak

melakukan korupsi. Namun demikian, sistem seperti ini perlu diberikan rambu-

rambu agar tidak dengan seenaknya setiap orang menuduh orang lain korupsi.

4. Revolusi Kebudayaan (mental)

Korupsi layaknya sudah menjadi budaya khas Indonesia. Hampir setiap

aktifitas sedikit banyak berkelindan dengan korupsi, mau menjadi PNS harus
65

nyogok, mau jadi polisi/TNI juga harus nyogok, mau ngurus SIM dan STNK

harus ada punglinya, biaya proyek harus dimark up, mau sekolah di sekolah

negeri pun harus dengan ‘uang ekstra’ bahkan beasiswa untuk mahasiswa

tidakmampu pun harus juga disunnat atau kalau tidak harus memberikan ‘uang

sukarela’ kepada pengurus beasiswa padahal mereka sudah memperoleh honor

tersendiri dari pengurusan beasiswa tersebut.

Paradigma birokrasi di negeri ini masih berkiblat pada paradigma lama

yaitu paradigma ‘kekuasaan’ bukan paradigma ‘pelayanan’ sehingga segala

sesuatunya pemegang kekuasaan yang mengatur. Jika ingin mendapatklan

perlindungan, pekerjaan, proyek dan lain sebagainya harus memberikan ‘sesuatu’,

suap dan sogokan kepada penguasa yang melayani.

Ketika korupsi sudah menjadi budaya, menurut Musa Asy’arie tidak ada

jalan lain yang dapat diharapkan untuk memberantas tindakan korupsi melainkan

dengan melakukan revolusi kebudayaan. Yang dimaksud revolusi kebudayaan

adalah mengubah secara fundamental tata pikir, tata kesadaran dan tata perilaku

sebagai akar budaya politiknya. Jadi untuk memberantas korupsi di Indonesia

harus ada perubahan secara fundamental tata pikir, tata kesadaran dan tata

perilaku seluruh bangsa Indonesia mulai dari pejabat yang tertinggi sampai rakyat

jelata.

Untuk kepentingan jangka panjang, Starting point yang paling penting dan

strategis dalam melahirkan anak bangsa yang memiliki tata pikir, tata kesadaran

dan tata perilaku yang bebas korupsi adalah paradigma pendidikan. Paradigma

pendidikan ke depan harus bisa menciptakan anak bangsa yang nantinya bisa
66

hidup jauh dari tindakan-tindakan koruptif, dari awal sudah harus ditanamkan

bahwa perbuatan korupsi adalah perbuatan ‘haram’ yang harus dijauhi dan

dimusuhi. Oleh karena itu, ajaran-ajaran agama dan ajaran Antikorupsi harus

masuk dalam kurikulum pendidikan nasional.

You might also like