Professional Documents
Culture Documents
PEMBAHASAN
a. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari
b. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit
bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan
c. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu
d. Penyuapan, yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada
uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.
35
Evi Hartanti , Tindak Pidana Korupsi , Sinar Grafika , Jakarta 2005, halaman 20.
35
pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau
(disingkat KAK 2003) ada 4 macam tipe tindak pidana korupsi sebagai berikut :36
Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Bab III
Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 KAK 2003. Pada ketentuan Pasal 15
atau memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak
langsung suatu keuntungan yang tidak pantas (layak), untuk pejabat tersebut atau
orang lain atau badan hukum agar pejabat yang bersangkutan bertindak atau
menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya.
36
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Alumni ,Bandung, 2007, halaman 41.
36
Sector).
Tipe tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam ketentuan Pasal 21, 22
KAK 2003.
suatu keuntungan yang tidak semestinya kepeda seseorang yang memimpin atau
berkerja pada suatu badan disektor swasta untuk diri sendiri atau orang lain
korelasi erat antara tipe tindak pidana korupsi penyuapan disektor publik maupun
swasta.
(Ilicit Enrichment).
Pada asasnya, tindak pidana korupsi perbuatan memperkaya secara tidak sah
secara tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat
publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan
memperkaya diri sendiri sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri mempunyai
kerugian negara yang bukan sebagai anasir esensial dalam Pasal 3 butir 2 KAK
2003.
Influence).
Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 KAK 2003. Tipe
menawarkan atau memberikan kepeda seseorang pejabat publik atau orang lain,
secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya,
agar pejabat publik itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang
korupsi adalah upaya dini untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan
adalah :
Pasal 5 ayat (1) huruf b,Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal
38
12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b,
Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d,
(Pasal 12 huruf i)
Pasal 12 C)
dan lembaga – lembaga pemerintahan, yaitu : a). Suap b). Hadiah c). Pemerasan
d). Pungli e). Mark up f). Transaksi rahasia g). Penggelapan h). Mengkhianati
amanah i). Melanggar sumpah jabatan j). Kolusi k). Nepotisme m).
seperti lembaga sosial kemasyarakatan. Oleh karena itulah maka Syeh Husen
Alatas dalam bukunya Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, menyatakan bahwa inti
Lebih lanjut Syed Husen Alatas menyatakan bahwa korupsi itu dapat
1. Korupsi Transaktif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan
atas dasar kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima
2. Korupsi Ekstortif (Memeras). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi dimana
dengan melakukan penunjukan secara tidak sah terhadap kawan atau kerabat
perlakuan istimewa dalam bentuk uang atau bentuk lain kepada mereka secara
37
Chaerudin DKK, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
(Bandung PT Refika Aditama, 2008) hal 2
40
4. Korupsi Investif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang berwujud
5. Korupsi Suportif (Dukungan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang
6. Korupsi Autogenik. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan
7. Korupsi Defensif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan
diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci
undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak
pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan
tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama
tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat
korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan
(1).
dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
38
Tintin Sri Murtinah, Tinjauan Konseptual Yuridis Terhadap Korupsi
42
jabatan umum secra terus menerus atau sementara waktu (lihat Pasal
9);
Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab
No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999, maka adalah sesuatu hal
yang menarik bila melihat kepada kajian yang dilakukan oleh The Norwegian
satu sama lainnya. Selain itu pengkategorian korupsi ini juga memiliki tujuan
Suap juga dapat berupa pajak tidak resmi, jika pejabat publik
dua individu, yaitu pemerintah di satu sisi dan publik di sisi lainnya,
dipegang oleh orang-orang yang dekat dan keluarga dari pihak yang
berkuasa.
dan suap. Sebagai contoh dari bentuk penipuan adalah bila agen-agen
perdagangan ilegal.
46
dapat juga berasal dari atas, jika negara sendiri yang bertindak sebagai
mafia.
hal privatisasi dan distribusi yang bias dari sumber daya milik negara.
sampai ayat (4) UU PTPK 1971; Pasal 38 ayat (1),(2),(3) dan (4) UU
PTPK 1999).
yang telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah
lagi (Pasal 23 ayat 5 UU PTPK 1971; Pasal 38 ayat (5) UU PTPK 1999)
lingkupnya, terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU
atas dilanjutkan dibawah ini. Pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8 UU PTPK
2001.
bersumber pada negeri Belanda, dianut asas keine strafe ohne schuld atau geen
straf zonder schuld baik dalam kejahatan maupun dalam pelanggaran, kadang-
39
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal 93
48
Pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal
dalam delik korupsi, tetapi dapat juga dilakukan pemeriksaan sidang dan putusan
ketentuan Pasal 23 ayat (1) sampai dengan 4 UU PTPK 1971 (Pasal 38 ayat (1),
Begitu pula bagi orang yang meninggal sebelum ada putusan yang tidak
dapat diubah lagi, yang diduga telah melakukan korupsi, hakim atas tuntutan
(Pasal 23 ayat (5) UU PTPK 1971). Kesempatan banding dalam putusan ini tidak
ada. Orang yang telah meninggal dunia tidak mampu melakukan delik. Delik
disita.
Begitu pula dalam perumusan Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU PTPK 1971,
dan/atau perekonomian negara” bahkan pada sub b ada tambahan kata “dapat”
timbul akibat perbuatan melawan hukum itu merupakan suatu hal yang
“langsung dan tidak langsung” telah dihapus dalam Pasal 2 dan 3 UU PTPK 1999.
Scrict liability ialah suatu konsepsi yang tidak memerlukan pembuktian adanya
delik-delik tertentu.
sangat sulit.
Dalam hal delik korupsi yang berbentuk penggelapan oleh pegawai negeri
atau pejabat (Pasal 415 KUHP), yang ditarik menjadi delik korupsi (Pasal 8UU
Dalam yurisprudensi ditentukan bahwa suatu kas bon (pinjaman seorang pegawai
pada kas) atas izin bendaharawan, walaupun uang itu dibayar kembali,
Agung tanggal 7 April 1956). Bahkan ditentukan lebih lanjut bahwa walaupun
tidak bermanfaat lagi bendaharawan itu, asal uang itu tidak dipergunakan pada
itu pada akhirnya dikembalikan, yang berarti negara tidak rugi, delik penggelapan
Hal ini dianut oleh yurisprudensi, mungkin atas pertimbangan bahwa delik
tersebut termasuk delik jabatan, yang tidak selalu kerugian negara menjadi alasan
utama, tetapi “hal pegawai yang tidak becus” yang mencampuradukan uang
Berlainan dengan delik ekonomi dan delik fiskal yang bukan hanya orang
yang menjadi penanggung jawab pidana, tetapi juga badan hukum dan koperasi,
1971 menyebut “badan” atau “badan hukum”, tetapi bukan sebagai penanggung
jawab pidana, melainkan sebagai pihak yang diperkaya atau diuntungkan oleh
delik korupsi (sesuai Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU PTPK 1971). Sementara itu,
(Pasal 1sub 3 c menyebut dengan kata “setiap orang”), termasuk juga korporasi.
2001 (Pasal 2 sampai dengan Pasal 16, Pasal 21 dan 22) menyebut pelaku
korupsi dikenal semacam alasan pembenar, yang tercantum dalam pasal 17 ayat
(2) UU PTPK 1971 berikut ini. “kalau dalam perbuatan itu negara tidak dirugikan
perbuatannya)
Kantorowicz. Ini disebut dan diperkenalkan oleh Moeljatno dalam Pidato Dies
Natalis VI Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1955 yang berjudul
dipertanggungjawabkan, jika :
1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga dia dapat
mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya, juga akan mengerti akan
akibatnya.
2. jiwa orang itu adalah sedemikian rupa sehingga dia dapat menentukan
3. orang itu sadar dan insaf bahwa perbuatan yang dilakukan adalah
Toelichting, yang melihat hanya dalam dua hal saja. Orang dapat menerima tidak
memilih antara berbuat dan tidak berbuat apa yang dilarang oleh undang-
undang.
40
Sathocid Kartenegara, Hukum Pidana I Kumpulan Kuliah, Balai Lektor Mahasiswa,
Jakarta halaman 243-244
53
adalah melanggar hukum dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk
menentukan kehendaknya42
1. Kemampuan bertanggungjawab
Ada persamaan pendapat antara Vos dan Mezger yang tidak memasukan
pidana.
2. Mampu bertanggungjawab
41
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, CV
Mandar Maju, Bandung, 2001, halaman 31
42
Ibid halaman 31
43
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, 1986, halaman 59-60
54
a. Akal dan
b. Kehendak
Dengan akal atau daya pikir, orang dapat membedakan antara perbuatan
kehendak atau kemauan atau keinginan yang dapat menyesuaikan tingkah laku
ketentuan pada Pasal 1 ayat (2) UU PTPK 1971 (sekarang Pasal 15 UU PTPK
jika sebelumnya perbuatan seperti itu bukan delik atau si pembuat tidak
adanya tindak pidana itu telah cukup, bila ada suatu konsensus untuk
pidana karena pasal itu termasuk bab IX Buku I, yang tidak dinyatakan berlaku
undangan lain yang bersanksi pidana. Hal yang dinyatakan berlaku hanyalah
delapan bab yang pertama Buku I KUHP. Jadi meliputi bab I-VIII dan tidak
menjadi sama dengan delik, seperti pada Pasal 1 ayat (1) sub a,b,c,d, dan e UU
20 Tahun 2001).
percobaan ini menyimpang dari ketentuan Pasal 53 KUHP. Ketentuan ini mirip
tetapi masih ada perbedaan karena dalam UU TPE khususnya jika dibaca
ketentuan Pasal 53 KUHP, artinya harus ada niat, ada permulaan pelaksanaan, dan
pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak sendiri. Hal yang
sepertiganya. Memang menurut Pasal 103 KUHP berlaku juga ketentuan seperti
korporasi dapat dijatuhi pidana melakukan delik korupsi. Jadi yang dapat dijatuhi
pidana adalah baik pimpinan yang memberi perintah maupun mereka yang
salah satunya.
orang secara individual, misalnya naik motor tidak memakai helm, yang pasti
diri sendiri, sulit diterapkan kepada korporasi. Akan tetapi, yang paling umum
57
telah menyebar ke seluruh sel dan masuk ke aliran darah. Karena parahnya
sehingga pencucian darah sekalipun sepertinya menjadi sesuatu yang sia-sia. Oleh
sudah menjadi kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), oleh karenanya
pemberantasannya juga harus dengan cara-cara yang luar biasa. Segenap daya dan
berbahaya ini. Penulis masih berkeyakinan bahwa hukum islam masih memiliki
power dan peranan yang signifikan dan strategis dalam rangka ikutserta
memberantas korupsi di Indonesia. Tidak bisa dibiarkan bangsa ini selalu menjadi
Salah satu kontribusi hukum islam yang bisa digali menurut penulis
adalah dengan cara melihat korupsi dalam pandangan hukum islam dan
sudut pandang hukum Islam paling tidak ada empat usaha yang harus segera
1. Memaksimalkan hukuman
tanah air mendorong lahirnya berbagai wacana dan gagasan tentang relevansi
hukuman mati sebagai alternatif hukuman maksimal bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Kontrovesi pun bergulir dengan derasnya, antara yang setuju dan
menolak. Namun, tentu kita sepakat dalam satu hal bahwa perlu adanya penjeraan
mengherankan jika banyak kalangan berharap, atau paling tidak membuka kran,
pemberlakuan hukuman mati sebagai sanksi maksimal bagi pelaku tindak pidana
menganut pemberlakuan hukuman mati. Dari titik ini maka pewacanaan dan
implementasi hukuman mati bagi koruptor jelas memiliki akar filosofis dan
yuridis.
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 dinyatakan secara
tegas bahwa, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat [1] dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.
59
tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi
pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan
pidana korupsi.
pada dua aspek dasar, yaitu ganti rugi/balasan (retribution) dan penjeraan
hukuman, dua hal secara inhern menjadi unsur yang harus ada di dalamnya: (1)
kekerasan suatu hukuman, dan (2) keharusan hukuman itu diberikan kepada
memiliki dua efek, yaitu internal dan general. Internal supaya pelakunya kapok,
diproyesikan kepada masyarakat secara umum agar takut untuk melakukan tindak
kriminal.44
karena termasuk jarimah ta’zir maka hakim yang menentukan. Hakim bisa
masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang
koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu
hukuman terhadap koruptor, maka menurut penulis, hakim bisa merujuk atau
misalnya bisa disamakan dengan menyita harta koruptor dan menjadikannya kas
media baik cetak maupun elektronik supaya koruptor tersebut merasa malu dan
melakukan korupsi uang negara yang sangat banyak di mana pada satu sisi
perbuatannya bisa menyebabkan kehancuran negara dan pada sisi yang lain rakyat
negara tersebut sedang ditimpa krisis dan bencana, hakim sepantasnya dan
Korupsi pada batas-batas tertentu di mana tindak pidana korupsi tersebut jauh
lebih berbahaya dari jarimah hudud dan qisas menurut penulis merupakan
tersebut disetujui oleh syaikhul Islam al-Imam Ibn Taimiyah dan al-Imam Ibn al-
Qayyim.
Intinya kalau bangsa ini ingin benar-benar keluar dari cap bangsa paling
korup, bangsa ini harus berani memberikan sanksi atau hukuman maksimal
kepada para pelaku tindak pidana korupsi, bukan malah memberikan kebebasan
kepada para koruptor sehingga bisa lepas dari jeratan hukum. Kalau tidak, bangsa
ini akan selalu dipegang oleh orang-orang yang korup dan tidak
bertanggungjawab.
court) didukung oleh beberapa faktor, yaitu: pertama lembaga peradilan yang
kehakiman merupakan amanah dari Allah. Oleh karena itu, sebelum memutuskan,
hakim selalu berlindung dan mengharap ridha Allah agar hukum yang ditetapkan
Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat karena salah satu
hukum semua orang sama sebagaimana adagium hukum yang selalu dikutip para
62
ahli hukum “Equality Before Law”. Untuk menegakkan keadilan tersebut Allah
SWT menegaskan dalam tiga ayat dalam Firmannya, yakni pertama surat An-
Nisa’ ayat (57) bahwa menegakkan hukum adalah kewajiban bagi semua orang.
Kedua surat Al-Maidah ayat (8) bahwa setiap orang apabila menjadi saksi
hendaknya berlaku jujur dan adil. Ketiga surat An-Nisa’ ayat (135) bahwa
segala bentuk kejahatan, memberi pelajaran pada pelaku tindak kejahatan dengan
tegak, hukum harus jadi panglima di negeri ini, lembaga peradilan harus amanah
dan bebas dari segala intervensi siapapun, sebagai benteng terakhir para pencari
keadilan, lembaga peradilan harus memberikan jaminan rasa adil bagi setiap
warga tanpa pandang bulu. Jangan lagi ada ungkapan bahwa hukum
Penegakan supremasi hukum harus adil tanpa pandang bulu, baik orang lemah,
63
orang kuat, orang miskin, orang kaya, anak petani, anak pejabat. Kalau melakukan
korupsi harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. Rasulullah telah memberi
contoh bahwa beliau sendiri yang akan memotong tangan putri yang paling
kewibawaan di depan para pencari keadilan, sehingga siapapun tidak akan coba-
hukum niscaya perlu dilakukan. Sistem birokrasi di Indonesia dikenal paling ribet
lalu lintas dan lain sebagainya. Yang ironis adalah di Departemen Agama sebagai
tikus-tikus kelaparan. Kita bisa melihat misalnya kasus korupsi dana abadi umat
untuk naik haji yang barangkali didapat dengan cara harus menjual tanah,
kambing, sapi dan barang-barang lainnya harus dikorupsi oleh para pejabat yang
ibadah haji. Ada dua segi dari tuntutan privatisasi ini; pertama, pengelolaan
ibadah haji yang semula bersifat tunggal oleh pemerintah, dikembangkan menjadi
“Free Enterprise” bagi pihak swasta. Kedua, kebijakan privatisasi perlu dipahami
64
yang selama ini justru menyebabkan praktek korupsi, kolusi, nepotisme (KKN)
Demikian juga sistem hukum di negeri ini yang masih berbau penjajah
perlu segera dibenahi. Sistem hukum yang berlaku adalah sistem hukum Belanda
formal-prosedural seperti ini sebaiknya diganti dengan paradigma the rule of law
perduli apakah kekayaan yang dimiliki si tertuduh sesuai atau tidak dengan
baik dan bisa dihukum karenanya. Usulan banyak kalangan agar diberlakukan
sistem ‘pembuktian terbalik’ terutama dalam kasus korupsi penting dicatat dan
kalau memungkinkan bisa segera diterapkan sehingga apabila ada orang yang
dituduh korupsi si tertuduh lah yang harus membuktikan bahwa dia tidak
melakukan korupsi. Namun demikian, sistem seperti ini perlu diberikan rambu-
rambu agar tidak dengan seenaknya setiap orang menuduh orang lain korupsi.
aktifitas sedikit banyak berkelindan dengan korupsi, mau menjadi PNS harus
65
nyogok, mau jadi polisi/TNI juga harus nyogok, mau ngurus SIM dan STNK
harus ada punglinya, biaya proyek harus dimark up, mau sekolah di sekolah
negeri pun harus dengan ‘uang ekstra’ bahkan beasiswa untuk mahasiswa
tidakmampu pun harus juga disunnat atau kalau tidak harus memberikan ‘uang
Ketika korupsi sudah menjadi budaya, menurut Musa Asy’arie tidak ada
jalan lain yang dapat diharapkan untuk memberantas tindakan korupsi melainkan
adalah mengubah secara fundamental tata pikir, tata kesadaran dan tata perilaku
harus ada perubahan secara fundamental tata pikir, tata kesadaran dan tata
perilaku seluruh bangsa Indonesia mulai dari pejabat yang tertinggi sampai rakyat
jelata.
Untuk kepentingan jangka panjang, Starting point yang paling penting dan
strategis dalam melahirkan anak bangsa yang memiliki tata pikir, tata kesadaran
dan tata perilaku yang bebas korupsi adalah paradigma pendidikan. Paradigma
pendidikan ke depan harus bisa menciptakan anak bangsa yang nantinya bisa
66
hidup jauh dari tindakan-tindakan koruptif, dari awal sudah harus ditanamkan
bahwa perbuatan korupsi adalah perbuatan ‘haram’ yang harus dijauhi dan
dimusuhi. Oleh karena itu, ajaran-ajaran agama dan ajaran Antikorupsi harus